Professional Documents
Culture Documents
OLEH
SOBAR SUTISNA2
PUSAT PEMETAAN BATAS WILAYAH, BAKOSURTANAL
JL. RAYA BOGOR KM. 46,
CIBINONG 16911.
ABSTRAK
Penentuan batas-batas maritime Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI) merupakan satu paket dengan penentuan wilayah dan batas NKRI,
baik di darat, laut maupun udara, yang memerlukan perjuangan panjang dan
berliku-liku. Perjuangan tersebut berjalan sejak proklamasi kemerdekaan RI
tanggal 17 Agustus 1945, karena wilayah adalah salah satu unsur yang harus
dimiliki Negara, dan sudah seharusnya batas-batasnya jelas dan tegas. Akan
tetapi kondisi nyata saat ini masih belum tuntas dan masih perlu perjuangan
yang tidak ringan. Dalam hal ini permasalahannya tidak lah sederhana,
melainkan memiliki kompleksitas dan dinamika politik yang tinggi disertai
berbagai pertimbangan teknis, sosial, ekonomi, sejarah, budaya, pertahanan
dan keamanan yang tidak sederhana pula. Perjalanan Bangsa Indonesia
dalam memperjuangkan hak-hak atas wilayah dan batasnya perlu dipetakan
untuk dapat diketahui dan dipahami oleh masyarakat, khususnya para
intelektualis, akademisi dan para praktisi di bidangnya masing-masing.
Permasalahannya bukan hanya sekedar menarik garis-garis batas yang
bersifat maya di lapangan, tetapi juga memerlukan pemahaman tentang
kondisi lingkungan, sumberdaya yang ada dan potensi-potensi lainnya, serta
implikasi legal dan teknis implementasinya di lapangan. Karena itulah
penanganan masalah wilayah dan batas-batasnya tidak bisa hanya ditangani
secara sektoral dan adhoc, tetapi harus dikelola secara terintegrasi lintas
sektoral dengan memperhatikan hubungan antara Pusat dan Daerah, serta
didukung oleh suatu ‘Komisi Permanen’ (Permanen Commission, PC) yang
terdiri dari wakil-wakil instansi terkait dan para pakar yang berbobot untuk
mendukungnya. Dalam makalah ini juga disampaikan ilustrasi peta-peta batas
maritime NKRI sesuai perjalanan waktu dari saat berdirinya RI hingga pada
saat ini. Makalah ini juga memberikan pandangan dan masukan bagi adanya
penyelenggaraan suatu sistem pengelolaan masalah batas wilayah dan
wilayah perbatasan secara terpadu.
1. PENDAHULUAN
1
Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Kelautan 2004, Keluarga Mahasiswa
Teknik Geodesi (KMTG) UGM, Yogyakarta, 24-25 Maret 2004.
2
Dr. Ir. Sobar Sutisna, M.Surv.Sc. adalah Kepala Pusat Pemetaan Batas Wilayah; juga
Ketua Umum Ikatan Surveyor Indonesia.
1
kolonialisasi (walau tidak tercantum pada Undang-undang Dasar 1945), maka
wilayah negara Republik Indonesia secara otomatis sama dengan wilayah
Hindia Belanda. Lalu, mana saja wilayahnya dan dimana batas-batasnya,
masih perlu penegasan lebih lanjut sesuai amanat proklamasi. Sebagai
catatan, tidaklah jelas apabila di bulan Desember 1949, Negeri Belanda dalam
pengakuannya terhadap berdirinya negara RI juga menyatakan penyerahan
wilayah-wilayah kedaulatannya. Inilah salah satu persoalan yang belum tegas
dan perlu penelusuran.
2
1960, 8 FEBRUARI PENETAPAN PERPU NO. 4/1960 TENTANG PERAIRAN INDONESIA
KEMUDIAN DIKUKUHKAN SEBAGAI UU NO.4/PRP/1960
DITETAPKAN DIDLMNYA ‘DAFTAR KOORDINAT GEOGRFIS TITIK-
TITIK GARIS PANGKAL KEPULAUAN INDONESIA’;
1961, 6 SEPTEMBER RATIFIKASI ATAS TIGA KONVENSI JENEWA 1958;
UU RI NO.19/1961
1963, 27 MEI PENETAPAN LINGKUNGAN MARITIM INDONESIA DAN
PENCABUTAN KEPUTUSAN-KEPUTUSAN GUBERNUR DJENDERAL
BELANDA TTG LINGKUNGAN MARITIM;
KEPPRES NO. 103/1963
1969, 17 FEBRUARI PENGUMUMAN PEMERINTAH RI TENTANG LANDAS KONTINEN
INDONESIA
1969, 5 NOVEMBER PENGESAHAN HASIL PERUNDINGAN BATAS LANDAS KONTINEN
BERSAMA INDONESIA DAN MALAYSIA DI SELAT MALAKA, DAN DI
LAUT CHINA SELATAN (BAG BARAT DAN TIMUR);
KEPPRES NO. 89/1969
1971, 10 MARET PENGESAHAN HASIL PERUNDINGAN GARIS BATAS LAUT WILAYAH
BERSAMA ANTARA INDONESIA DENGAN MALAYSIA DI SELAT
MALAKA;
UU RI NO. 2/1971
1971, 1 JULI PENGESAHAN HASIL PERUNDINGAN BATAS DASAR LAUT TERTENTU
ANTARA INDONESIA DENGAN AUSTRALIA DI LAUT ARAFURA DAN
DI SEBELAH SELATAN PULAU IRIAN (NEW GUINEA);
KEPPRES NO. 42/1971
1972, 11 MARET PENGESAHAN HASIL PERUNDINGAN GARIS-GARIS BATAS LANDAS
KONTINEN BERSAMA ANTARA INDONESIA DENGAN MALAYSIA DAN
THAILAND DI BAGIAN UTARA SELAT MALAKA;
KEPPRES NO. 20/1972
1972, 4 DESEMBER PENGESAHAN HASIL PERUNDINGAN BATAS-BATAS DASAR LAUT
TERTENTU ANTARA INDONESIA DENGAN AUSTRALIA DI LAUT
TIMOR DAN LAUT ARAFURA ;
KEPPRES NO. 66/1972
1973, 6 JANUARI PENETAPAN LANDAS KONTINEN INDONESIA;
UU RI NO. 1/1973
1973, 8 DESEMBER PENGESAHAN HASIL PERUNDINGAN GARIS-GARIS BATAS
TERTENTU ANTARA INDONESIA DAN PNG;
UU RI NO. 6/1973
1973, 8 DESEMBER PENGESAHAN HASIL PERUNDINGAN GARIS BATAS LAUT WILAYAH
BERSAMA ANTARA INDONESIA DENGAN SINGAPURA DI SELAT
SINGAPURA;
UU RI NO. 7/1973
1974, 25 DESEMBER PENGESAHAN HASIL PERUNDINGAN PENETAPAN GARIS BATAS
LANDAS KONTINEN ANTARA INDONESIA DENGAN INDIA DI LAUT
ANDAMAN;
KEPPRES NO. 66/1972
1975, 11 DESEMBER PERSETUJUAN BERSAMA ANTARA INDONESIA DENGAN TAILAND
TENTANG PENETAPAN GARIS BATAS DASAR LAUT BERSAMA DI
LAUTANDAMAN
1976 PERNYATAAN KEINGINAN RAKYAT TIMTIM UNTUK BERINTEGRASI
DENGAN NKRI
1977, 31 JANUARI PENGESAHAN HASIL PERUNDINGAN PENETAPAN GARIS BATAS
DASAR LAUT ANTARA INDONESIA DENGAN THAILAND DI LAUT
ANDAMAN;
KEPPRES NO. 1/1977
3
1977, 4 APRIL PENGESAHAN HASIL PERUNDINGAN GARIS BATAS LANDAS
KONTINEN BERSAMA ANTARA INDONESIA DENGAN INDIA DI LAUT
ANDAMAN DAN SAMUDERA HINDIA;
KEPPRES NO. 26/1977
1977, 17 DESEMBER PENGESAHAN HASIL KESEPAKATAN ANTARA INDONESIA DENGAN
THAILAND MENGENAI BATAS LANDAS KONTINEN BERSAMA DI
BAGIAN UTARA SELAT MALAKA DAN DI LAUT ANDAMAN;
KEPPRES NO. 21/1977
1978 PENGESAHAN INTEGRASI TIMTIM KEDALAM WILAYAH NKRI;
TAP MPR RI NO. VI TAHUN 1978.
1978, 16 AGUSTUS PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA INDONESIA, INDIA DAN
THAILAND TENTANG PENETAPAN TITIK PERTEMUAN TIGA GARIS
BATAS DAN PENETAPAN GARIS BATAS KETIGA NEGARA DI LAUT
ANDAMAN;
KEPPRES NO. 24/1978
1982 KONVENSI KETIGA PBB TTG HUKLA (UNCLOS-82)
1985 RATIFIKASI KETENTUAN DALAM UNCLOS-82 OLEH RI;
UU RI NO. 17/1985
1996 UU RI NO. 4/PRP/1960 TENTANG PERAIRAN INDONESIA
DICABUT, DAN DIGANTIKAN DENGAN UU RI NO. 6/1996
1998 PENYESUAIAN GARISPANGKAL KEPULAUAN DI LAUT NATUNA DAN
SEKITARNYA;
PP NO. 61/1998.
1998 KESEPAKATAN RI-AUSTRALIA TENTANG BATAS-BATAS ZEE
ANTARA KEDUA NEGARA;
BELUM DIRATIFIKASI OLEH PIHAK INDONESIA.
1999 JAJAK PENDAPAT (REFERENDUM) DI TIMOR-TIMUR; RAKYAT
TIMTIM MEMILIH UNTUK MENJADI NEGARA SENDIRI.
2000, AGUSTUS AMANDEMEN KEDUA UUD-45 MENAMBAHKAN PASAL 25E
TENTANG WILAYAH NEGARA
2002, JULI PP NO.38 TH 2002 MENETAPKAN GARIS PANGKAL KEPULAUAN
INDONESIA
2002, AGUSTUS AMANDEMEN TERAKHIR UUD-45 PASAL 25E TENTANG WILAYAH
NEGARA, MENJADI PASAL 25A.
2002, DESEMBER KEPUTUSAN MAHKAMAH INTERNASIONAL (ICJ) TENTANG STATUS
KEPEMILIKAN PULAU LIGITAN DAN PULAU SIPADAN
2003 KESEPAKATAN INDONESIA-VIETNAM TENTANG BATAS LANDAS
KONTINEN ANTARA KEDUA NEGARA DI LAUT CHINA SELATAN;
BELUM DIRATIFIKASI OLEH PIHAK INDONESIA.
4
Atas dasar ketentuan peralihan dalam Undang-undang Dasar 1945
(UUD-45), maka ketentuan yang erat terkait dengan masalah wilayah RI
adalah Territorial Zee en Maritime Krigen Ordonansi tahun 1939 (TZMKO-39).
Maka sesuai dengan ketentuan yang berlaku pada TZMKO-39, negara RI
terdiri dari pulau-pulau besar dan kecil yang satu sama lain dipisahkan oleh
laut dan/atau selat di sekelilingnya, lihat ilustrasinya dalam Peta 1. Hal ini
jelas tidak menguntungkan Indonesia. Ini berarti kapal asing pada waktu itu
dapat dengan leluasa melayari laut atau selat yang mengelilingi atau disekitar
pulau-pulau kita hingga tiga mil-laut mendekati pantai. Hal itu jelas
mengancam eksistensi keutuhan wilayah negara RI dipandang dari sudut
mana pun.
5
Pada tanggal 17 Februari 1969 dikeluarkan Pengumuman Pemerintah
(Deklarasi) tentang Landas Kontinen Indonesia yang kemudian dipertegas
dengan UU RI No. 1 tahun 1973. Laut di atas landas kontinen ini merupakan
laut zone ekonomi eksklusif (ZEE)/laut internasional dengan batas sejauh 200
mil-laut dari garis pantai yang dapat dimanfaatkan Indonesia. Selama era ini,
khususnya mulai 1969 hingga satu decade, Pemerintah RI gencar melakukan
perundingan-perundingan batas baik batas-batas darat, maupun batas-batas
maritime, baik secara bilateral maupun trilateral. Hasil-hasil tersebut dapat
dilihat pada Tabel 1 mulai kurun waktu 1969 hingga 1979. Peta 3
mensuperimposekan ketetapan UU RI No. 1/1973 diatas dan hasil-hasil
perundingan batas selama decade 1969-1978 pada Peta 2. Keadaan peta
batas-batas wilayah kemudian berubah ketika Indonesia melalui Ketapan MPR
tentang integrasi Timor-Timur ke wilayah Indonesia sebagai Provinsi ke-27.
6
internasional ketentuan UNCLOS-82 dinyatakan efektif berlaku sejak 16
Nopember 1994. Menindak lanjuti hal ini, Indonesia kemudian melakukan
perubahan terhadap UU RI No. 4/Prp.1960 melalui penetapan UU RI No.
6/1996 tentang Perairan Indonesia, serta menetapkan formasi titik-titik dasar
(base points) baru di kepulauan Natuna sehingga sesuai dengan ketentuan
UNCLOS-82 melalui PP No. 61 tahun 1998, sehingga tertutuplah ‘kantong
Natuna’, maka dengan sendirinya juga mengubah batas-batas laut territorial
dan laut yurisdiksi Indonesia. Keputusan-keputusan politik di atas jelas telah
memantapkan ‘fondasi’ bagi penentuan batas-batas maritime Indonesia.
7
ditandai dengan: (i) hasil jajak pendapat (referendum) rakyat di Timor-Timur
pada tahun 1999 yang berakhir dengan terbentuknya negara baru Republik
Demokratik Timor-Leste (RDTL), (ii) ditetapkannya Peraturan Pemerintah No.
38 tahun 2002 (PP No. 38/2002) bulan Juli 2002, dan (iii) diputuskannya
status kepemilikan pulau-pulau Sipadan dan Ligitan menjadi milik Malaysia
oleh Mahkamah Internasional (ICJ) di Den Haag pada 17 Desember 2002.
8
yang berhadapan dengan negara tetangga yang jaraknya kurang dari
ketentuan batas minimal, terdapat regim median line maupun regim equity in
benefits. Selain regim-regim batas maritime, Indonesia juga memiliki regim-
regim batas darat dengan tiga negara tetangga. Tabel 2 berikut menunjukkan
keberadaan regim-regim perbatasan dan status penanganannya bersama
negara tetangga. Ilustrasi batas-batas wilayah NKRI (kedaulatan dan
yurisdiksi) sesuai status saat ini digambarkan dalam Peta 5.
SINGAPORE Tdk ada Ada Tdk ada Tdk ada Ada trijunction
dgn Malaysia
PAPUA NEW Astro- Ada Ada Ada Batas darat dan laut
meridian dan ditangani secara parsial
GUINEA
thalweg Sistem georeferensi di
darat = Astronomis
9
tahun 1999 dan UU RI No. 25 tahun 1999. Didalam kerangka otonomi daerah
ini, dikenal azas desentralisasi tugas dan kewenangan Pemerintahan secara
lebih luas dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah Provinsi,
Kabupaten dan Kota. Adakah hubungannya dengan peta batas maritime
Negara RI, jelas tidak ada. Akan tetapi ada hal baru dalam system
pengelolaan wilayah maritime Indonesia, dimana Pemerintah Daerah
memiliki/diberikan kewenangan pengelolaan di wilayah laut sesuai dengan
ketentuan Pasal 3 dan Pasal 10 ayat (3) UU RI No. 22/1999. Ketentuan mana
tidak pernah dikenal sebelumnya didalam UU RI No. 5/1974 tentan
Pemerintah Daerah.
10
6. PERLUNYA SISTEM TERPADU BAGI PENGELOLAAN MASALAH BATAS NKRI
Perubahan (amandemen) terakhir Undang Undang Dasar Negara
Republik Indonesia 1945 (UUD-45), Bab IXA, tentang Wilayah Negara pada
Pasal 25A menyatakan:
“Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara
kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah yang batas-batas
dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang”.
Pasal ini jelas menyebutkan bentuk negara Indonesia adalah Negara Kesatuan
Republik (Unity Republic) yang berwujud negara kepulauan (archipelagic
state). Konvensi PBB tentang Hukum Laut Internasional tahun 1982 (UNCLOS
82), Bab IV, Pasal 46 mendefinisikan negara kepulauan sebagai berikut:
(a) “archipelagic State” means a State constituted wholly by one or
archipelagos and may include other islands;
(b) “archipelago” means a group of islands, including parts of islands,
interconnecting waters and other natural features are so closely
interrelated that such islands, waters and other features form an intrinsic
geographical, economic and political entity, or which historically have
been regarded as such.
11
No. 17 tahun 1985 (UU No. 17/1985). Atas ketentuan UNCLOS-82 tersebut,
batas-batas maritime yang harus ditetapkan oleh RI adalah batas laut
territorial dan batas zona tambahannya (contiguous zone), batas zona
ekonomi ekslusif (ZEE), serta batas landas kontinennya. Hak dan wewenang
didalam batas laut teritorial, akan berbeda dengan hak dan wewenang di
dalam batas ZEE dan hingga batas landas kontinen, sehingga pengaturannya
lebih lanjut hendaknya ditetapkan dengan undang-undang.
Dari uraian di atas, nampak jelas cakupan yang harus ditangani dalam
pengelolaan perbatasan negara dalam kerangka memperjuangkan dan
memelihara kebutuhan vital bangsa Indonesia, baik di bidang politik,
ekonomi, maupun pertahanan dan keamanan nasional. Diawal perjuangan
bidang politik dan hankam, Indonesia pada era 1950 – 1970 dihadapkan pada
pergolakan di dalam negeri yang membahayakan persatuan dan kesatuan
bangsa, kestabilan politik dan keamanan, antara lain dari gangguan gerakan
PRRI – Permesta, dan lain-lain. Karenanya selama perairan Indonesia
diantara pulaunya merupakan laut bebas, maka selama itu pula bangsa
Indonesia akan merasa dirinya terpecah-pecah dalam beribu-ribu pulau yang
terpisah-pisah. Aspek politik dan Hankamnas lainnya pada waktu itu juga
berkaitan dengan pembebasan Irian Barat dan GPK di Kalimantan. Rangkaian
kepentingan seperti itulah yang kemudian terlihat dalam pola penanganan
masalah perbatasan negara lebih menonjol pendekatan sekuriti-nya.
12
penanganan masalah perbatasan secara lebih efektif dan efisien. Seperti
diketahui bahwa kebijakan dan praktek penanganan masalah perbatasan
negara selama ini sifatnya “adhoc” dan parsial, seperti contoh-contoh adanya
kepanitiaan berikut:
Panitia Koordinasi Penyelesaian Masalah Wilayah Nasional dan Dasar Laut
(Pankorwilnas) yang dibentuk tahun 1971 dan berakhir tahun 1996 dan
digantikan oleh Dewan Kelautan Nasional (DKN) tahun 1997 dan
kemudian menjadi Dewan Maritim Indonesia (DMI) tahun 1999.
Sementara Pankorwilnas telah berakhir tapi produk turunannya terus
berjalan secara adhoc tanpa ada kejelasan hubungannya dengan DMI,
seperti adanya:
a. General Border Committee (GBC) RI-Malaysia diketahui oleh Panglima
ABRI (sekarang TNI).
b. Joint Commission Meeting (JCM) RI-Malaysia diketuai oleh Deplu.
c. Joint Border Committee (JBC) RI-PNG diketuai oleh Menteri Dalam
Negeri.
d. Joint Border Committee (JBC) RI-UNTAET diketuai oleh Dirjen Umpem
Depdagri.
e. Subkomisi Teknis Batas Landas Kontinen diketahui oleh Dirjen Migas,
Deptamben.
f. Sub Komisi Teknis (TSC) Survei dan Demarkasi (untuk batas darat)
RI-Malaysia diketuai oleh Sekjen Depdagri.
g. Sub Komisi Teknis (TSC) Survei penegasan dan pemetaan batas RI-
PNG diketuai Kapusurta TNI sejak 1995, sebelumnya diketuai oleh
ketua Bakosurtanal.
h. Sub Komisi Teknis (TSC) Border Demarcation dan Regulation RI-
TimTim diketuai oleh Kapusurta TNI, Wkilnya Bakosurtanal.
i. Dan sub-sub komisi lainnya yang bersifat “adhoc” dan parsial.
Pola penangan seperti di atas jelas kuran produktif dan kurang efisien,
serta sering menyebabkan banyak kelemahan dalam beberapa hal, seperti:
Selalu diperlukan review dan konsolidasi setiap kali akan melakukan
perundingan.
Representasi delegasi hanya tertumpu kepada figure kekuatan Ketua
Delegasi.
Tindak lanjut hasil perundingan kurang sosialisasi dan sering kurang
terakomodasi dalam program tahunan.
13
Pemerintah Daerah tidak berperan aktif, demikian pula masyarakat di
perbatasan tidak memperoleh perhatian sebagai mana mestinya.
Adanya kendala membuat komitmen sekalipun oleh Ketua Delegasi
karena kurang konsolidasi.
Birokrasi pengambilan keputusan menjadi panjang dan terpisah-pisah.
Tidak ada sistem baku baik dalam aspek pengelolaan (management
aspects) maupun dalam aspek teknisnya (technical aspects).
Dari uraian di atas, nampak jelas lingkup permasalahan yang dapat kita
kelompokkan menjadi: (i) masalah teknis perbatasan mencakup delimitasi,
demarkasi dan perapatan pilar batas, (ii) masalah inventarisasi sumberdaya
alam, demografi, dan lingkungan perbatasan, (iii) masalah sosialisasi dan
penempatan tanda pengenal pos lintas batas, (iv) masalah sarana perbatasan
terkait dengan imigrasi, patroli perbatasan, pajak dan cukai, dan keamanan,
(v) masalah pengawasan sumber daya alam dan lingkungan hidup mencakup
kehutanan, pertambangan, perikanan, perkebunan, pertanahan, pelestarian
dan pemanfaatan, (vi) masalah berkaitan dengan pertahanan dan keamanan
negara, (vii) masalah peran serta Pemerintah Daerah dan masyarakat
perbatasan, dlsb.
Dari uraian dan atas dasar pemikiran diatas, diperlukan suatu produk
kebijakan public berupa UU tentang Batas Wilayah Negara beserta Hak-
haknya, dan untuk implementasinya perlu dipercayakan kepada suatu
‘lembaga tetap’ atau ‘komisi tetap’ yang diberi tugas dan tanggung jawab
14
untuk merumuskan sistem dan penanganan masalah perbatasan negara, dan
mungkin perlu didukung oleh suatu National Permanent Secretariat untuk
penanganan masalah perbatasan sebagai fasilitator kegiatan berbagai komisi
dan sub-komisi nasional dalam penanganan perbatasan. ‘Komisi Tetap’ juga
harus berfungsi sebagai Clearing House dari setiap posisi dan perjuangan
kepentingan Indonesia dalam masalah perbatasan.
15