You are on page 1of 8

DIRECTLY OBSERVED TREATMENT SHORT COURSE (DOTS)

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa kunci keberhasilan program


penanggulangan tuberkulosis adalah dengan menerapkan strategi DOTS, yang juga telah dianut oleh
negara kita. Oleh karena itu pemahaman tentang DOTS merupakan hal yang sangat penting agar TB
dapat ditanggulangi dengan baik.

DOTS mengandung lima komponen, yaitu :


1. Komitmen pemerintah untuk menjalankan program TB nasional
2. Penemuan kasus TB dengan pemeriksaan BTA mikroskopis
3. Pemberian obat jangka pendek yang diawasi secara langsung, dikenal dengan istilah DOT (Directly
Observed Therapy)
4. Pengadaan OAT secara berkesinambungan
5. Monitoring serta pencatatan dan pelaporan yang baku /standar

Saat ini terdapat 6 elemen kunci dalam strategi stop TB yang direkomendasi oleh WHO:
1. Peningkatan dan ekspansi DOTS yang bermutu, meningkatkan penemuan kasus dan penyembuhan
melalui pendekatan yang efektif terhadap seluruh pasien terutama pasien tidak mampu
2. Memberikan perhatian pada kasus TB-HIV, MDR-TB, dengan aktiviti gabungan TB-HIV, DOTS-PLUS
dan pendekatan-pendekatan lain yang relevan
3. Kontribusi pada sistem kesehatan, dengan kolaborasi bersama program kesehatan yang lain dan
pelayanan umum
4. Melibatkan seluruh praktisi kesehatan, masyarakat, swasta dan nonpemerintah dengan pendekatan
berdasarkan Public-Private Mix (PPM) untuk mematuhi International Standards of TB Care
5. Mengikutsertakan pasien dan masyarakat yang berpengaruh untuk berkontribusi pada pemeliharaan
kesehatan yang efektif
6. Memungkinkan dan meningkatkan penelitian untuk pengembangan obat baru, alat diagnostik dan
vaksin. Penelitian juga dibutuhkan untuk meningkatkan keberhasilan program

A. Tujuan :
· Mencapai angka kesembuhan yang tinggi
· Mencegah putus berobat
· Mengatasi efek samping obat jika timbul
· Mencegah resistensi

B. Pengawasan
Pengawasan terhadap pasien TB dapat dilakukan oleh :

Pasien berobat jalan


Bila pasien mampu datang teratur, misal tiap minggu maka paramedis atau petugas sosial dapat
berfungsi sebagai PMO. Bila pasien diperkirakan tidak mampu datang secara teratur, sebaiknya
dilakukan koordinasi dengan puskesmas setempat. Rumah PMO harus dekat dengan rumah pasien TB
untuk pelaksanaan DOT ini
Beberapa kemungkinan yang dapat menjadi PMO:
1. Petugas kesehatan
2. Orang lain (kader, tokoh masyarakat)
3. suami/istri/keluarga/orang serumah

Pasien dirawat :
Selama perawatan di rumah sakit yang bertindak sebagai PMO adalah petugas rumah sakit, selesai
perawatan untuk pengobatan selanjutnya sesuai dengan berobat jalan.
C. Langkah Pelaksanaan DOT
Dalam melaksanakan DOT, sebelum pengobatan pertama kali dimulai, pasien diberikan penjelasan
bahwa harus ada seorang PMO dan PMO tersebut harus ikut hadir di poliklinik untuk mendapat
penjelasan tentang DOT

D. Persyaratan PMO

PMO bersedia dengan sukarela membantu pasien TB sampai sembuh selama pengobatan dengan OAT
dan menjaga kerahasiaan penderita HIV/AIDS.

- PMO diutamakan petugas kesehatan, tetapi dapat juga kader kesehatan, kader dasawisma, kader
PPTI, PKK, atau anggota keluarga yang disegani pasien

E. Tugas PMO

-Bersedia mendapat penjelasan di poliklinik


-Melakukan pengawasan terhadap pasien dalam hal minum obat
-Mengingatkan pasien untuk pemeriksaan ulang dahak sesuai jadwal yang telah ditentukan
-Memberikan dorongan terhadap pasien untuk berobat secara teratur hingga selesai
-Mengenali efek samping ringan obat, dan menasehati pasien agar tetap mau menelan obat
-Merujuk pasien bila efek samping semakin berat
-Melakukan kunjungan rumah
-Menganjurkan anggota keluarga untuk memeriksa dahak bila ditemui gejala TB

F. Penyuluhan
Penyuluhan tentang TB merupakan hal yang sangat penting, penyuluhan dapat dilakukan secara :

· Peroranga/Individu
Penyuluhan terhadap perorangan (pasien maupun keluarga) dapat dilakukan di unit rawat jalan, di
apotik saat mengambil obat dll
· Kelompok
Penyuluhan kelompok dapat dilakukan terhadap kelompok pasien, kelompok keluarga pasien,
masyarakat pengunjung rumah sakit dll

Cara memberikan penyuluhan


. Sesuaikan dengan program kesehatan yang sudah ada
. Materi yang disampaikan perlu diuji ulang untuk diketahui tingkat penerimaannya sebagai bahan
untuk penatalaksanaan selanjutnya
. Beri kesempatan untuk mengajukan pertanyaan, terutama hal yang belum jelas
. Gunakan bahasa yang sederhana dan kalimat yang mudah dimengerti, kalau perlu dengan alat
peraga (brosur, leaflet dll)

PENCATATAN DAN PELAPORAN


Pencatatan dan pelaporan merupakan salah satu elemen yang sangat penting dalam sistem informasi
penanggulangan TB. Semua unit pelaksana pengobatan TB harus melaksanakan suatu sistem
pencatatan dan pelaporan yang baku. Untuk itu pencatatan dibakukan berdasarkan klasifikasi dan tipe
penderita serta menggunakan formulir yang sudah baku pula.
Pencatatan yang dilaksanakan di unit pelayanan kesehatan meliputi beberapa item/formulir yaitu :
1. Kartu pengobatan TB (01)
2. Kartu identiti penderita TB (TB02)
3. Register laboratorium TB (TB04)
4. Formulir pindah penderita TB (TB09)
5. Formulir hasil akhir pengobatan dari penderita TB pindahan (TB10)
Cara pengisisan formulir sesuai dengan buku pedoman penanggulangan TB Nasional (P2TB)
Jika memungkinkan data yang ada dari formulir TB01 dimasukkan ke dalam formulir Register TB (TB03).

Catatan :
. Bila seorang pasien TB paru juga mempunyai TB di luar paru, maka untuk kepentingan pencatatan
pasien tersebut harus dicatat sebagai pasien TB paru.
. Bila seorang pasien ekstraparu pada beberapa organ, maka dicatat sebagai ekstraparu pada organ
yang penyakitnya paling berat
. Contoh formulir terlampir

LAMPIRAN
LAMPIRAN I

ALUR DIAGNOSIS P2TB


LAMPIRAN II
INTERNATIONAL STANDARD FOR TUBERCULOSIS CARE
International Standard for Tuberculosis Care (ISTC) merupakan standar yang melengkapi guideline
program penanggulangan tuberkulosis nasional yang consisten dengan rekomendasi WHO. Standar
tersebut bersifat internasional dan baru di launching pada bulan februari 2006 serta akan segera
dilaksanakan di Indonesia.
International Standard for Tuberculosis Care terdiri dari 17 standar yaitu 6 estándar untuk diagnosis , 9
estándar untuk pengobatan dan 2 standar yang berhubungan dengan kesehatan masyarakat. Adapun ke
17 standar tersebut adalah :
1. Setiap individu dengan batuk produktif selam 2-3 minggu atau lebih yang tidak dapat dipastikan
penyebabnya harus dievaluasi untuk tuberkulosis

2. Semua pasien yang diduga tenderita TB paru (dewasa, remaja dan anak anak yang dapat
mengeluarkan dahak) harus menjalani pemeriksaan sputum secara mikroskopis sekurang-kurangnya 2
kali dan sebaiknya 3 kali. Bila memungkinkan minimal 1 kali pemeriksaan berasal dari sputum pagi hari

3. Semua pasien yang diduga tenderita TB ekstraparu (dewasa, remaja dan anak) harus menjalani
pemeriksaan bahan yang didapat dari kelainan yang dicurigai. Bila tersedia fasiliti dan sumber daya, juga
harus dilakukan biakan dan pemeriksaan histopatologi
4. Semua individu dengan foto toraks yang mencurigakan ke arah TB harus menjalani pemeriksaan
dahak secara mikrobiologi

5. Diagnosis TB paru, BTA negatif harus berdasarkan kriteria berikut : negatif paling kurang pada 3 kali
pemeriksaan (termasuk minimal 1 kali terhadap dahak pagi hari), foto toraks menunjukkan kelainan TB,
tidak ada respons terhadap antibiotik spektrum luas (hindari pemakaian flurokuinolon karena mempunyai
efek melawan M.tb sehingga memperlihatkan perbaikan sesaat). Bila ada fasiliti, pada kasus tersebut
harus dilakukan pemeriksaan biakan. Pada pasien denagn atau diduga HIV, evaluasi diagnostik harus
disegerakan.

6. Diagnosis TB intratoraks (paru, pleura,KGB hilus/mediastinal) pada anak dengan BTA negatif
berdasarkan foto toraks yang sesuai dengan TB dan terdapat riwayat kontak atau uji tuberkulin/interferon
gamma release assay positif. Pada pasien demikian, bila ada fasiliti harus dilakukan pemeriksaan biakan
dari bahan yang berasal dari batuk, bilasan lambung atau induksi sputum.

7. Setiap petugas yang mengobati pasien TB dianggap menjalankan fungsi kesehatan masyarakat yang
tidak saja memberikan paduan obat yang sesuai tetapi juga dapat memantau kepatuhan berobat
sekaligus menemukan kasus-kasus yang tidak patuh terhadap rejimen pengobatan. Dengan melakukan
hal tersebut akan dapat menjamin kepatuhan hingga pengobatan selesai.

8. Semua pasien (termasuk pasien HIV) yang belum pernah diobati harus diberikan paduan obat lini
pertama yang disepakati secara internasional menggunakan obat yang biovaibilitinya sudah diketahui.
Fase awal terdiri dari INH, rifampisin, pirazinamid dan etambutol diberikan selama 2 bulan. Fase lanjutan
yang dianjurkan adalah INH dan rifampisin yang selama 4 bulan. Pemberian INH dan etambutol selama 6
bulan merupakan paduan alternatif untuk fase lanjutan pada kasus yan keteraturannya tidak dapat dinilai
tetapi terdapat angka kegagalan dan kekambuhan yang tinggi dihubungkan dengan pemberian alternatif
tersebut diatas kususnya pada pasien HIV. Dosis obat antituberkulosis ini harus mengikuti rekomendasi
internasional. Fixed dose combination yang terdiri dari 2 obat yaitu INH dan rifampisin, yang terdiri dari 3
obat yaitu INH, rifampisin, pirazinamid dan yang terdiri dari 4 obat yaitu INH, rifampisin, pirazinamid dan
etambutol sangat dianjurkan khususnya bila tidak dilakukan pengawasan langsung saat menelan obat.

9. Untuk menjaga dan menilai kepatuhan terhadap pengobatan perlu dikembangkan suatu pendekatan
yang terpusat kepada pasien berdasarkan kebutuhan pasien dan hubungan yang saling menghargai
antara pasien dan pemberi pelayanan. Supervisi dan dukungan harus memperhatikan kesensitifan
gender dan kelompok usia tertentu dan sesuai dengan intervensi yang dianjurkan dan pelayanan
dukungan yang tersedia termasuk edukasi dan konseling pasien. Elemen utama pada strategi yang
terpusat kepada pasien adalah penggunaan pengukuran untuk menilai dan meningkatkan kepatuhan
berobat dan dapat menemukan bila terjadi ketidak patuhan terhadap pengobatan. Pengukuran ini dibuat
khusus untuk keadaan masing masing individu dan dapat diterima baik oleh pasien maupun pemberi
pelayanan. Pengukuran tersebut salah satunya termasuk pengawasan langsung minum obat oleh PMO
yang dapat diterima oleh pasien dan sistem kesehatan serta bertanggungjawab kepada pasien dan
sistem kesehatan

10. Respons terapi semua pasien harus dimonitor. Pada pasien TB paru penilaian terbaik adalah
dengan pemeriksaan sputum ulang (2x) paling kurang pada saat menyelesaikan fase awal (2 bulan),
bulan ke lima dan pada akhir pengobatan. Pasien dengan BTA+ pada bulan ke lima pengobatan
dianggap sebagai gagal terapi dan diberikan obat dengan modifikasi yang tepat (sesuai standar 14 dan
15). Penilaian respons terapi pada pasien TB paru ekstraparu dan anak-anak, paling baik dinilai secara
klinis. Pemeriksaan foto toraks untuk evaluasi tidak diperlukan dan dapat menyesatkan (misleading)

11. Pencatatan tertulis mengenai semua pengobatan yang diberikan, respons bakteriologis dan efek
samping harus ada untuk semua pasien
12. Pada daerah dengan angka prevalens HIV yang tinggi di populasi dengan kemungkinan co infeksi
TB-HIV, maka konseling dan pemeriksaan HIV diindikasikan untuk seluruh TB pasien sebagai bagian dari
penatalaksanaan rutin. Pada daerah dengan prevalens HIV yang rendah, konseling dan pemeriksaan HIV
hanya diindikasi pada pasien TB dengan keluhan dan tanda tanda yang diduga berhubungan dengan
HIV dan pada pasien TB dengan riwayat risiko tinggi terpajan HIV.

13. Semua pasien TB-HIV harus dievaluasi untuk menentukan apakah mempunyai indikasi untuk diberi
terapi antiretroviral dalam masa pemberian OAT.Perencanaan yang sesuai untuk memperoleh obat
antiretroviral harus dibuat bagi pasien yang memenuhi indikasi. Mengingat terdapat kompleksiti pada
pemberian secara bersamaan antara obat antituberkulosis dan obat antiretroviral maka dianjurkan untuk
berkonsultasi kepada pakar di bidang tersebut sebelum pengobatan dimulai, tanpa perlu
mempertimbangkan penyakit apa yang muncul lebih dahulu. Meskipun demikian pemberian OAT jangan
sampai ditunda. Semua pasien TB-HIV harus mendapat kotrimoksasol sebagai profilaksis untuk infeksi
lainnya.

14. Penilaian terhadap kemungkinan resistensi obat harus dilakukan pada semua pasien yang berisiko
tinggi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya, pajanan dengan sumber yang mungkin sudah
resisten dan prevalens resistensi obat pada komuniti. Pada pasien dengan kemungkinan MDR harus
dilakukan pemeriksaan kultur dan uji sensitifity terhadap INH, rifampisin dan etambutol.

15. Pasien TB dengan MDR harus diterapi dengan paduan khusus terdiri atas obat-obat lini kedua.
Paling kurang diberikan 4 macam obat yang diketahui atau dianggap sensitif dan diberikan selama paling
kurang 18 bulan. Untuk memastikan kepatuhan diperlukan pengukuran yang berorientasi kepada pasien.
Konsultasi dengan pakar di bidang MDR harus dilakukan.

16. Semua petugas yang melayani pasien TB harus memastikan bahwa individu yang punya kontak
dengan pasien TB harus dievaluasi (terutama anak usia dibawah 5 tahun dan penyandang HIV), dan
ditatalaksana sesuai dengan rekomendasi internasional. Anak usia dibawah 5 tahun dan penyandang
HIV yang punya kontak dengan kasus infeksius harus dievaluasi baik untuk pemeriksaan TB yang laten
maupun yang aktif

17. Semua petugas harus melaporkan baik TB kasus baru maupun kasus pengobatan ulang dan
keberhasilan pengobatan kepada kantor dinas kesehatan setempat sesuai dengan ketentuan hukum dan
kebijakan yang berlaku

Sumber : http://www.klikpdpi.com
Langsung diamati Pengobatan, Strategi Short-Course

Pengobatan ini langsung diamati, Short-Course (DOTS) strategi telah terbukti


menjadi strategi yang sangat efektif dan terjangkau untuk TB pengendalian dan
sangat berharga di rangkaian miskin sumber daya. Jika diterapkan secara tepat,
DOTS telah terbukti memiliki tingkat keberhasilan rata-rata (menyembuhkan dan
selesainya pengobatan) dari 80 persen dan juga dapat membantu mencegah
munculnya dan penyebaran TB yang resistan terhadap obat.

Strategi DOTS memiliki enam komponen, seperti diuraikan dalam The Stop TB
Strategy [PDF, 299KB]:
* Mengejar berkualitas tinggi DOTS perluasan dan peningkatan
* Alamat TB / HIV dan MDR-TB dan tantangan khusus lainnya
* Kontribusi memperkuat sistem kesehatan
* Melibatkan seluruh penyedia pelayanan
* Memberdayakan orang dengan TB, dan masyarakat
* Aktifkan dan mempromosikan penelitian

Pelaksana DOTS tepat membutuhkan investasi dalam: memperkuat sistem


kesehatan termasuk personil terlatih, sistem fungsional untuk mengadakan,
menyampaikan, dan mengelola pasokan diandalkan tinggi obat TB mutu, dan
pemantauan yang efektif dan sistem pengawasan.

USAID bekerja di sejumlah negara-negara prioritas dalam rangka memfokuskan


sumber daya, bantuan teknis, dan staf. Kriteria seleksi untuk negara-negara
prioritas meliputi:

* High kejadian TB (tingkat kejadian diperkirakan lebih dari 100/100, 000) dan /
atau jumlah kasus TB tinggi total
* Signifikan HIV / AIDS prevalensi
* Risiko meningkatnya epidemi multi-obat TB yang resistan
* Pemerintah komitmen dan kapasitas teknis dan manajerial
* Kapasitas dari USAID dan mitra kunci TB
* Pertimbangan kebijakan Asing

Meskipun USAID mendukung program-program TB di lebih dari 40 negara dan


program-program regional negara-negara berikut telah diidentifikasi sebagai negara
prioritas untuk USAID.

* Program Negara diperluas. USAID memperluas usaha di negara berikut ini


untuk membantu meningkatkan dan memperkuat Strategi DOTS di seluruh negeri:
Afghanistan, Bangladesh, Brasil, Kamboja, Republik Demokratik Kongo, Ethiopia,
India, Indonesia, Kenya, Mozambik, Nigeria, Pakistan, Filipina, Rusia, Afrika Selatan,
Tanzania, Uganda, Ukraina, Zambia, dan Zimbabwe.

* Negara dengan Target Intervensi. upaya program USAID di negara berikut ini
fokus pada cakupan geografis yang dipilih atau kesenjangan menangani dalam
program DOTS yang ada:
Angola, Bolivia, Republik Dominika, Georgia, Ghana, Haiti, Honduras,
Kazakhstan, Kyrgyzstan, Malawi, Meksiko, Namibia, Peru, Senegal, Sudan Selatan,
Tajikistan, Turkmenistan, dan Uzbekistan.

DIRECTLY OBSERVED TREATMENT SHORT COURSE (DOTS)


Organisasi Kesehatan
Dunia (WHO) menyatakan bahwa kunci keberhasilan program penanggulangan tuberculosis
adalah dengan menerapkan strategi DOTS, yang juga telah dianut oleh negara kita. Oleh karena
itu pemahaman tentang DOTS merupakan hal yang sangat penting agar TB dapat ditanggulangi
dengan baik. DOTS mengandung lima komponen, yaitu : 1. Komitmen pemerintah untuk
menjalankan program TB nasional 2. Penemuan kasus TB dengan pemeriksaan BTA
mikroskopik 3. Pemberian obat jangka pendek yang diawasi secara langsung, dikenal dengan
istilah DOT (Directly Observed Therapy) 4. Pengadaan OAT secara berkesinambungan 5.
Monitoring serta pencatatan dan pelaporan yang (baku/standar) baik Istilah DOT diartikan
sebagai pengawasan langsung menelan obat jangka pendek setiap hari oleh Pengawas Menelan
Obat (PMO)

A. Tujuan 1. Mencapai angka kesembuhan yang tinggi 2. Mencegah putus berobat 3. Mengatasi
efek samping obat jika timbul 4. Mencegah resistensi

B. Pengawasan Pengawasan terhadap pasien TB dapat dilakukan oleh : 1. Pasien berobat jalan
Bila pasien mampu datang teratur, misal tiap minggu maka paramedis atau petugas sosial dapat
berfungsi sebagai PMO. Bila pasien diperkirakan tidak mampu datang secara teratur, sebaiknya
dilakukan koordinasi dengan puskesmas setempat. Rumah PMO harus dekat dengan rumah
pasien TB untuk pelaksanaan DOT ini. Beberapa kemungkinan yang dapat menjadi PMO a.
Petugas kesehatan b. Orang lain (kader, tokoh masyarakat dll) c. Suami/Istri/Keluarga/Orang
serumah
46

2. Pasien dirawat Selama perawatan di rumah sakit yang bertindak sebagai PMO adalah petugas
RS, selesai perawatan untuk pengobatan selanjutnya sesuai dengan berobat jalan.

C. Langkah Pelaksanaan DOT Dalam melaksanakan DOT, sebelum pengobatan pertama kali
dimulai, pasien diberikan penjelasan bahwa harus ada seorang PMO dan PMO tersebut harus
ikut hadir di poliklinik untuk mendapat penjelasan tentang DOT

D. Persyaratan PMO 1. PMO bersedia dengan sukarela membantu pasien TB sampai sembuh
selama pengobatan dengan OAT dan menjaga kerahasiaan penderita HIV/AIDS. 2. PMO
diutamakan petugas kesehatan, tetapi dapat juga kader kesehatan, kader dasawisma, kader PPTI,
PKK, atau anggota keluarga yang disegani pasien

E. Tugas PMO 1. Bersedia mendapat penjelasan di poliklinik 2. Melakukan pengawasan


terhadap pasien dalam hal minum obat 3. Mengingatkan pasien untuk pemeriksaan ulang dahak
sesuai jadwal yang telah ditentukan 4. Memberikan dorongan terhadap pasien untuk berobat
secara teratur hingga selesai 5. Mengenali efek samping ringan obat, dan menasehati pasien agar
tetap mau menelan obat 6. Merujuk pasien bila efek samping semakin berat 7. Melakukan
kunjungan rumah 8. Menganjurkan anggota keluarga untuk memeriksa dahak bila ditemui gejala
TB

http://webcache.googleusercontent.com/search?
q=cache:mieTXqbK3fAJ:www.scribd.com/doc/42860551/Referat-
TBC+pengobatan+tb+dengan+dot&cd=23&hl=id&ct=clnk&gl=id&client=fi
refox-a

You might also like