You are on page 1of 15

MEMBONGKAR PEMIKIRAN HASAN AL-BANNA (2)

Oleh:

Asy-Syaikh Ayid Asy-Syamiri Hafizahullah

Ikhwanul Muslimin

Kalau kita melihat para penggagas dan orang-orang yang berada di


sekitar Ikhwanul Muslimin kita akan temukan bahwa sesungguhnya
mereka adalah ahli bid’ah yang telah dibantah.

Pembesar mereka berakidah Asy’ariyah dan Hasan Al-Banna adalah


seorang yang berakidah Asy’ari. Dalam kitabnya “Al-’Aqa’id” ia
menetapkan 13 sifat bagi Allah yang terbagi menjadi : sifat tujuh yang
merupakan sifat ma’ani, sifat lima yang disebut dengan sifat nafsiyah
dan sifat wujud. Inilah rumusan aqidah Asma’ wash Shifat Allah dari
Asy’ari.

Dalam memahami sifat Dzatiyah Allah seperti Tangan, Dua mata,


Wajah, Kaki, Telapak kaki, Kedatangan dan Tertawa, mazhab Asy’ari
memiliki dua prinsip : kalau tidak mentakwil pasti membiarkan
maknanya (tafwidh). Mentakwil adalah memaknakan dengan makna
yang tidak menunjukkan lafazhnya, seperti “tangan” diartikan dengan
“memberi kenikmatan” atau sifat “marah” diartikan dengan “pahala”.
Adapun membiarkan sifat (tafwidh) adalah tidak mau memberi makna.
Misalnya tentang sifat “wajah” dikatakan, “Aku tidak menetapkan sifat
wajah”. Lantas, apa maksud firman Allah,

‫لِل َواِْلْكَراِم‬
َ‫ج‬َ ‫ك ُذو اْل‬
َ ‫جُه َرّب‬
ْ ‫َويَْبَقى َو‬
“Dan tetap kekal wajah Rabbmu.” (Ar-Rahman : 27).

Sebenarnya mereka meniadakan sifat ini. Sisi pertama dengan


mentakwil dan sisi kedua dengan diam tidakmentakwil, dengan
meyakini tidak ada maknanya.

Hasan al-Banna termasuk golongan Asy’ari dimana ia menetapkan sifat yang tujuh, sifat-
sifat negatif yang lima dan sifat nafsiyah. Setelah itu dia memilih jalan yang berbeda dari
jalan asy’ari, yaitu jalan membiarkan (tafwidh), serta menggabungkan prinsipnya dengan
manhaj salaf.

Sebelumnya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah telah membantah prinsip


tafwidh dengan mantap dan panjang lebar dalam kitab
‘Majmu’Fatawa”.

Maka Hasan Al-Banna adalah seorang yang berakidah Asy’ari yang


sesat dan juga seorang sufi sebagimana dia akui sendiri dalam
kitabnya “Mudzakirat Da’iyah”. Dia menhadiri wirid-wirid dan dzikir-
dzikir shufiyah, membai’at tarekat Al-Hashafiyah Asy-Syadziliyah. Ia
kagum pada kitab-kitab sufi dan ia sebutkan dalam bukunya beberapa
judul kitab-kitab sufi tersebut, antara lain “Al-Mawahib Al-Laduniyah”
(Pemberian-Pemberian Langsung dari Allah) karya Al-Qisthilani. Orang-
orang yang bergabung bersamanya mengikuti prinsipnya. Ia
membentuk Yayasan Al-Hashafiyah yang kemudian diketuai oleh
Ahmad Askari atau As-Sukri. Di dalam buku “Mudzakirat” di atas,
Hasan Al-Banna menyebutkan bahwa Yayasan Al-Hashafiyah yang
dibentuknya berubah bentuk yang baru yaitu menjadi Ikhwanul
Muslimin.

Ketika membentuk jama’ah baru ia masih dalam akidah sebelumnya.


Setelah itu ia menulis dzikir-dzikir, wirid-wirid dan lain sebagainya
supaya Ikhwanul Muslimin punya dzikir khusus sebagimana tarekat-
tarekat yang lain. Ia juga ebuka kesempatan bagi tarekat-tarekat sufi
yang lain untuk bergabung dan membai’at Ikhwanul Muslimin.

Di dalam kitab “Mudzakirat Da’iyah” Hasan Al-Banna memuji kalangan


shufiyah, pertemuan-petemuan mereka, dzikir berjama’ah, maulud
Nabi, sima’ (mendengar) nyanyian. Pada akhir hayatnya ia sempat
membagi-bagikan kitab-kitab sufi kepada teman-temannya. Demikian
juga dalam risalah-risalahnya ia membahas asma wash shifat. Hasan
Al-Banna telah menerangkan akidahnya dan menulis untuk pengikut-
pengikutnya.

Prinsip-Prinsip Ikhwanul Muslimin

Prinsip Pertama : Persatuan Batil

Dalam perjalanan hidupnya, Hasan Al-Banna bermukim di negara Mesir


yang memiliki banyak partai. Ada partai sekuler, sosialis, dan
nasionalis. Ia hendak menyatukan golongan-glongan itu ke dalam
wadah Ikhwanul Muslimin. Golongan yang dia ketuai ini, hendak
mengumpulkan semua golongan dalam satu nama. Tidak diragukan
lagi bahwa sesungguhnya itu adalah suatu “trik politik”. Dengan
semboyan persatuan ia bermaksud mengumpulkan lawan-lawan dalam
akidahnya tersebut. Ia mengikat mereka dengan nama Islam yang
umum tanpa melihat pemahaman Islam yang benar dan kewajiban
berpegang teguh dengannya. Secara faktual ia mempraktekkan
prinsip, “Kami sepakat dengan apa yang kita sepakati dan saling
memaafkan pada perkara yang kita perselisihkan.”

Itulah prinsip pertama Hasan Al-Banna yang merupakan prinsip politik:


prinsip persatuan. Umar At-Tilmisani dalam bukunya “Dzikriyat la
Muzdakarat” menyebutkan bahwa manhaj Ikhwanul Muslimin sudah
semakin jauh menyimpang, misalnya saja sampai pada tingkat
berupaya menjalin kerjasama dengan Syi’ah. Ketika ia bertanya
kepada Hasan Al-Banna tentang apa sikap kita terhadap Syi’ah, Hasan
Al-Banna menjawab, “Syi’ah seperti empat mazhab yang ada.”.

Hasan Al-Banna menyatukan semua orang yang mengaku Islam


apakah mereka berakidah sufi, wihdatul wujud, syi’ah dan rafidhah.
Kalau kita melihat hizb yang dia bentuk, tampak seolah penggagasnya
hendak membuat sebuah daulah negara).

Dan kita ketahui negara demokrasi di masa kini memberi kebebasan


kepada warganya ntuk menganut akidah mana saja. Siapa pun akan
tetap diakui sebagai warga negara selama ia patuh terhadap UU
negara.

Hasan Al-Banna telah membuat aturan-aturan, organisasi, anggaran


dasar dan anggaran rumah tangga, kewajiban-kewajiban, bai’at dan
larangan-larangan bagai jama’ah Ikhwanul Msulimin yang harus
dipegang oleh setiap orang yang bergabung di dalamnya.

Adapun akidah yang dia inginkan adalah akidah Shufiyah, Asy’ariyah,


atau akidah Ta’thil (meniadakan sifat Allah), atau akidah Syi’ah. Dia
mengharuskan pengikutnya berbai’at dan itu termasuk bagian dari
sepuluh rukun (ushul ‘isyrin) yang dia sebutkan dalam risalah-
risalahnya. Seolah-olah ia hendak mendirikan negara. Bahkan kita
pernah menjumpai sebagian anggota Ikhwanul Muslimin tidak
melaksanakan shalt seperti yang telah disebutkan oleh Abbas As-Sisi.
Konon ia pernah mendatangi sekelompok anggota Ikhwanul Muslimin
dalam satu pertempuran, ia berkata, “Kami hendak shalat Ashar akan
tetapi tidak ada satu pun dari mereka yang mengerjakan shalat.”

Adalah Shalah Syadi sedang berpergian dan banyak orang membuat


kerusuhan dengan bom dan mereka melakukannya di atas kapal, ia
berkata, “Salah seorang di antara mereka tidak shalat.”

Dalam bukunya “Dzikriyat la Muzdakarat” At-Tilmisani berkata,


“Seorang saudagar kaya yang masih minum arak minta bai’at kepada
Hasan Al-Banna dan ia dibai’at serta dimasukkan ke dalam
keanggotaan Ikhwanul Muslimin.”

Mencukur jenggot, menjulurkan pakaian di bawah mata kaki dan mendengarkan musik
adalah tidak apa-apa menurut Ikhwanul Muslimin. Bahkan boleh saja hal itu dilakukan
terang-terangan. Mereka mempunyai persediaan dana yang banyak untuk membeli alat
musik yang baru sebagaimana disebutkan dalam kitab “Dzikriyat la Muzdakarat”. Jadi
para pengikutnya boleh melakukan apa saja, asal tetap patuh pada perintah jama’ah.

Jama’ah ini mirip negara, mereka tidak menyerukan Islam, mereka menyeru untuk
membentuk negara. Orang-orang yang menyerukan Islam haruslah menyeru kepada satu
akidah yang benar, kepada satu peribadatan, dan kepada satu muamalah yang sesuai
dengan dalil. Adapun mereka tidak demikian.

Tata cara shalat Ikhwanul Muslimin berbeda-beda. Ada yang mencukur


jenggot, ada yang tidak. Ada shalat berjamaah dana ada yang tidak.
Ada yang berakidah Asy’ari, ada Syi’ah dan lainnya, semuanya masuk
ke dalam Ikhwanul Muslimin, persis seperti negara demokrasi.

Urusan yang paling penting adalah bai’at kepada Hasan Al-Banna,


patuh loyal kepada bendera Ikhwanul Muslimin, taat, melaksanakan
tugas yang dirancang oleh jama’ah dan imam. Dengan demikian
tujuan yang paling besar adalah agar setiap orang menjadi Ikhwanul
Muslimin.

Prinsip kedua : Bai’at

Bai’at Ikhwanul Muslimin adalah bai’at shufiyah dan bai’at kemiliteran,


sebagaimana yang telah ditetapkan Hasan Al-Banna ketika
menerangkan rukun bai’at yang sepuluh. Ia menerangkan rukun bai’at
ini adalah bai’at shufiyah dan militer. Ikrarnya berbunyi, “Mendengar,
taat, tidak merasa berat, ragu dan bimbang.”

Sebelum membentuk jama’ah Ikhwanul Muslimin ia telah membai’at


dengan cara sufi yang ia sebutkan dalam kitabnya “Mudzakarat
Da’iyah.” Ia telah membai’at Syaikh Hashafiyah, setelah itu ia
membentuk Ikhwanul Muslimin dan mengadopsi manhajnya ke dalam
jama’ahnya. Bahkan istilah “mursyid ‘am” yang menjadi gelar Al-
Banna diambil dari istilah sufi, yang berarti “wali yang sempurna.”
Sebagian orang memang mengelarinya “mursyid” dalam kitab-kitab
shufiyah. Semua kitab itu ada pada saya dan telah saya teliti. Dan
ternyata memang sebutan “Mursyid” berasal dari istilah orang-orang
sufi.

Hasan Al-Banna telah memilih sebutan ini untuk dirinya, demikian pula
para penggantinya menggunkan gelar yang sama.
Bai’at mereka dibagi menjadi dua macam:

Pertama, bai’at Shufiyah yang mengharuskan taat seratus persen


kepada guru dan pemimpin. Umar At-Tilmisani berkata dalam bukunya
“Dzikriyat La Mudzakkarat” berkata, “Seorang di hadapan Hasan Al-
Banna harus seperti mayat di depan orang yang memandikannya.” Ini
termasuk syiar Sufiyah yang berbunyi, “Mendengar dengan
pendengaran Al-Banna, melihat dengan penglihatan Al-Banna.” Yang
berarti mengharuskan ta’at, tidak boleh melanggar.

Kedua, baiat Militer. Bai’at ini mengharuskan sseorang taat pada


pimpinan dalam jihad , peperangan dan yang berkaitan dengannya
sebagaimana yang telah disebutkan dimuka ahwa jama’ah ikhwanul
muslimin adalah jama’ah sufiyah dan militer.

Gejala militerismenya nampak jelas ketika pada tahun 1940 M Hasan


Al Banna membentuk tandzim (Organisasi sayap) khusus bagi Ikhwanul
Muslimin. Anggotanya di baiat (sumpah setia) kepada pimpinan (Hasan
Al Banna) dengan mushaf Al Qur’an. Bila pemimpin memberikan
instruksi untuk membuat keributan atau melakukan pembunuhan,
maka harus dilaksanakan.
Demikianlah hari-hari yang mereka lalui. Mereka memunuh dan
membantai manusia. Hal ini disebutkan oleh Mahmud As Shabagh
dalam bukunya “‘Tandzim khash.” (kelompok khusus). Mahmud
menyebut beberapa contoh gerakan yang dilakukan Ikhwanul Muslimin
seperti kerusuhan, pembunuhan, demonstrasi, pembunuhan
polisi/tentara pemerintah dan rakyat jelata,. Serta cerita-cerita lainnya
dari liku-liku mereka yang panjang.

Saya akan sebutkan satu kasus yang menunjukkan aktifitas


kemiliteran dari Ikhwanul Muslimin. Pernah ditemukan lembaran-
lembaran dokumen yang berisi rencana menggulingkan pemerintahan
Faruq dalam aksi tandzim rahasia Ikhwanul Muslimin. Tak disangka
dokumen ini terbuka dalam mobil jip, lalu pihak pemerintah menciduk
orang-orang yang namanya tersebut dalam tandzim rahasia itu.
Mendengar anak buahnya diciduk, Hasan Al Banna mengutus
seseorang melalui As Sindi – As Sindi adalah pemimpin “tandzim
khusus” yang melaksanakan perintah-perintah Hasan Al Banna.

Kepemimpinan Hasan Al Banna dalam organisasi adalah langkah


politik praktis yang diketahui kebanyakan orang, sedangkan “tandzim
khusus” adalah sayap militer yang melakukan manuver-manuver yang
diperintahkan ketua umum. Jadi menurut Al Banna, dialah yang
memberi tugas-tugas kepada As Sindi dalam kedudukannya sebagai
ketua umum.
Ia (Hasan Al Banna) sendiri telah mengutus seseorang untuk
menggoyang pemerintah yang menyimpan dokukmen rahasia milik
Ihwanul Muslimin. Caranya dengan meletakkan sebuah tas koper berisi
bom di sisi lemari yang menyimpan dokumen tersebut. Ia (utusan Al
Banna) meletakkan kopernya dan pergi. Lalu seorang lelaki lain
melihat tas itu dan mengambilnya. Maka si utusan mengikuti orang ini
untuk meminta kopernya kembali (supaya disangka bahwa ia lupa
membawa kopernya sendiri). Ketika lelaki itu melihat utusan Al Banna
ia terus berjalan. Kemudian utusan Al Banna berlari di belakangnya
dan berteriak, “Lemparkan koper itu, ada bom di dalamnya”. Maka
lelaki itu melemparkan koper tersebut, dan meledakkan bom. Seketika
itu juga lelaki itu mati karena terkena ledakan bom. Publik bertanya-
tanya tentang kejadian tersebut -karena sudah diketahui bahwa yang
ingin diambil adalah dokumen yang terdapat dalam lemari rahasia.
Sementara utusan Al Banna mengingkari kalau ia punya hubungan
dengan Ikhwanul Muslimin.

Beberapa media menuduh bahwa kejadian itu didalangi oleh Ihkwanul


Muslimin. Dalam koran Ikhwanul Muslimin, Hasan Al Banna membut
siaran pers bahwa ia berlepas diri dari kejaian itu dan menyatakan
bahwa perbuatan itu bukan dari Islam. Mahmud Ash Shobagh berkata,
utusan Al Banna tadi ketika diperlihatkan kepadanya koran yang
memberitakan Ikhwanul Muslimin menyatakan bahwa disebabkan
perbuatanmu kamu bukan orang Islam lagi. Iapun mengaku dan
berkata, “Mereka telah menipuku, merekalah yang mengutusku agar
meletakkan bom, sekarang mereka mengkafirkanku”.

Akan tetapi lelaki itu tidak mengerti maksud Hasan Al Banna, kaena
ucapan Hasan Al Banna tidak seperti yang difahaminya. Ucapannya itu
dimaksudkan Al Banna sebagai ucapan dalam kondisi perang,
sedangkan perang adalah tipu daya, kata Mahmud Ash Shabagh.

Yakni Hasan Al Banna berdusta dalam siarannya. Ia berkeyakinan


hidup dalam negeri perang, dan dengan begitu ia telah mengkafirkan
negeri yang ia tempati. Jadi orang pertama yang mencetuskan
masalah mengkafirkan daulah/negara adalah Hasan Al Banna, bukan
Sayyid Quthub, dialah yang mengorganisir ‘tandzim khusus’ seelah
mengkafirkan negara dan berusaha menggulingkan kepala negara.
Mahmud Ash Shobagh mengabarkan kepada kita bahwa Hasan Al
Banna memandang baha peperangan adalah tipu daya dan
peperangan hanyalah dilancarkan kepada orang-orang kafir.

Bahkan pada tahun 1944 M Hasan Al Banna membai’at Jamal Abdul


Nasher. Jamal masuk dalam tandzim khusus yang dikomandani As
Sindi. Tujuannya ialah menggulingkan pemerintahan Faruq. Sungguh
Hasan Al Banna tidak akan menggulingkan suatu pemerintahan kecuali
karena dia menganggap pemerintahan itu kafir. Untuk kemudian ia
mengkafirkan hakimnya. Jadi inilah prinsip pergerakan. Dan inilah latar
belakang dibalik aksi teror yang dia perintahkan melalui As Sindi
secara langsung.

Kami akan membicarakan bagaimana bai’at dijalankan oleh anggota


Ikhwanul Muslimin. Pernah terjadi kasus seorang hakim yang bernama
Khozim. Ia menjatuhkan vonis penjara bagi sebagian anggota Ikhwanul
Muslimin. As Sindi tidak terima. Akhirnya ia mengkafirkan hakim tadi.
Ia lalu menyuruh beberapa anggota pasukan khusus Ikhwanul Muslimin
untuk membunuh sang hakim. Namun dalam operasinya, dua orang
anggota Ikhwanul Muslimin tertangkap dan dipenjara. Mendengar
anggotanya dipenjara, Hasan Al-Banna marah besar kepada Sindi,
mengapa ia marah besar? Karena As Sindi berbuat menurut kemauan
sendiri tanpa ada komando darinya. Mahmud As Shobagh
menyebutkan bahwa Hasan Al-Banna dan tokoh Ikhwanul Muslimin
lainnya kemudian mengadili As-Sindi. Lihatlah “Negara kecil Ikhwanul
Muslimin”. Semestinya yang diadili adalah si pembunuh di hadapan
mahkamah. As-Sindi ditanya, “Mengapa kamu berbuat tanpa
komando?”

Seandainya ia telah mendapatkan perintah membunuh dari pimpinan


yang itu merupakan bagian dari keharusan bai’at yang berbunyi :
“Dengarlah, jangan ragu…” niscaya ia akan selamat dari pengadilan.
Hasan Al-Banna tidak mempermasalahkan tentang bolehkah
membunuh hakim itu, tetapi mendebat mengapa As-Sindi berbuat
semaunya ?

Mahmud As-Shobagh berkata, “Aku pernah sekali duduk bersama


Imam Hasan Al-Banna ketika dia sedang marah kepada hakim Khozin,
karena dia menghukum Ikhwanul Muslimin dengan hukum seperti itu,
sehingga aku menyangka Imam ini menyuruhku membunuhnya.”
Orang-orang bertanya, “Mengapa kamu hendak membunuh hakim itu
karena kamu menyangka bahwa Imam Hasan Al-Banna ingin
membunuhnya ?”

Dengan demikian itu adalah kesalahan. Kenapa salah? Karena Hasan


Al-Banna belum memerintahkannya? jadilah Hasan Al-Banna sebagai
satu-satunya ahli fatwa di tubuh Ikhwanul Muslimin. Jika ia
mengatakan “Bunuhlah!” maka anggotanya dengan taat akan
membunuh.

Dari sini diketahui bahwa baiat Ikhwanul Muslimin adalah baiat sufiyah
di satu sisi dan baiat militer di sisi yang lain. Seolah terbentuk sebuah
negara dimana yang bertindak sebagai hakim adalah Hasan Al-Banna.
Dialah yang berhak menfatwakan pembunuhan, memberikan instruksi-
instruksi, teror, jihad dan lain sebagainya. Bukti paling nyata adalah
usaha kudeta pemerintah pada tahun 1953 M.

Prinsip ketiga : Marhalah (Fase-fase) dalam Dakwah

Inilah prinsip aliran batiniyah sebagaimana yang disebutkan Al-Ghazali


dalam bukunya “Ihya ‘ Ulumuddin.”

Aliran sufyah memiliki fase-fase (marhalah) dalam dakwah.


Maksudnya, pertama kali orang-orang yang didakwahi diberi ajaran
Islam secara umum. Kemudian jika hal ini diterima, maka mereka
diberikan ajaran-ajaran khusus sampai kepada apa yang mereka
inginkan.

Dalam risalahnya, Hasan Al-Banna menyebutkan bahwa dakwahnya


meliputi tiga marhalah.

Marhalah pertama adalah marhalah umum yaitu dakwah kepada


Islam secara umum seperti dakwah untuk meninggalkan riba, maksiat-
maksiat, menampakkan syiar-syiar Islam dan membantu kebutuhan
kaum muslimin.

Marhalah kedua adalah marhalah khusus yang lepas dari marhalah petama.
Ketika seorang masuk ke dalam Ikhwanul Muslimin, dia tetap dalam keadaan buta
tentang Ikhwanul Muslimin, kecuali bahwa organisasi ini berusaha menolong Islam dan
kaum muslimin, hajat-hajat, kemiskinan, kelaparan kaum muslimin dan seterusnya.
Kemudian Al-Banna berkata, kita melihat orang yang kita pilih dari marhalah kedua ini
dan ketika itu kita akan menggembleng orang-orang tertentu lalu kita masukkan mereka
ke marhalah ini. Dan marhalah kedua adalah marhalah khusus yang membina pribadi
untuk taat, mendengar, jihad, membunuh, membuat teror, semua urusan yang diinginkan
pemimpin dan mengkafirkan pemerintah.

Setelah itu Al-Banna berkata, tibalah saatya marhalah ketiga yaitu


marhalah jihad.

Al-Banna sendiri telah sampai pada marhalah ketiga dan


menjalankannya. Dia telah mencipta marhalah pertama hingga banyak
kaum muslimin yang masuk ke dalamnya kemudian dia mencipta
marhalah kedua melalui As-Sindi dan “Tanzhim khusus”.

Terakhir dia membentuk marhalah ketiga dan terbunuh pada tahun


1948 sebelum dapat merealisasikan konsepnya. Marhalah ketiga baru
dapat direalisasikan oleh penerusnya, Al-Hudhaibi, pada tahun 1952
dengan keberhasilan mengkudeta pemerintah Al-Faruq.
Jadi secara hakikat Hasan Al-Bannalah yang membuat pondasi-pondasi
tadi sebelum Sayyid Quthub, dialah yang mencipta prinsip pengkafiran
pemerintah muslim, terorisme, dan kudeta yang semuanya telah ia
ucapkan, lakukan dan tuangkan ke dalam buku-bukunya. Sedangkan
Sayyid Quthub adalah salah satu individu yang terpengaruh oleh
konsep Hasan Al-Banna yang insya Allah kita bicarakan sebentar lagi.

Maksudnya bahwa Ikhwanul Muslimin memiliki fase-fase (marhalah-


marhalah) yang menjadi prinsip gerakan mereka, dan marhalah ini
menampilkan sesuatu yang umum kemudian memasukkan sesuatu
yang lebih khusus.

Oleh karena itulah manusia merasa kesulitan. Jika anda menyebutkan


suatu masalah dari marhalah ke dua kepada orang yang masih berada
pada marhalah pertama, maka dia akan berkata , ” Tidak, ucapanmu
tidak benar!” Marhalah-marhalah inilah yang menjadikan manusia dan
negara bimbang dalam menyikapi Ikhwanul Muslimin.

Prinsip keempat: Dusta

Termasuk prinsip yang mereka pegangi adalah berbohong (taqiyah)


dan menampakkan apa yang tidak sama dengan yang disembunyikan.
Prinsip ini telah dijelaskan oleh Hasan Al-Banna. Dan dia pada tahun
1940 telah membentuk tanzhim khusus yang di antara sekian banyak
prioritas utamanya adalah membuat teror di mana-mana. Hal ini
disesbutkan oleh Mahmud Abdul Halim dalam bukunya “Ikhwanul
Muslimin wa Ahwal Tsintai ‘Asyara Tarikh.”

Pada tahun 1944 M Jamal Abdul Nasher mambai’at tanzhimnya


-tanzhim yang berupaya mengkudeta pmerintahan Faruq. Pada tahun
1946 M, Hasan Al-Banna mengirim surat terbuka kepada Raja Faruq, ia
memuji Raja Faruq dan berkata, “Sesungguhnya Ikhwanul Muslimin
merasa takut terhadap kemuliaan Anda dan Ikhwanul Muslimin begini
dan begini,” demikianlah ia memuji Raja faruq dan mendoakan
kebaikan untuknya.

Sementara itu dia merencanakan kudeta dari tahun 1944 M dan


mengorganisir tanzhim khusus pada tahun 1940 M enam tahun
sebelum mengirim surat. Maka hal ini bisa dikatakan termasuk
masalah tipu daya (taqiyah). Sebelumnya kita telah menyebutkan dari
Mahmud Ash-Shabagh bahwa Hasan Al-Banna cuci tangan dari aksi
teror salah seorang anggotanya. Ia lakukan ini dalam rangka perang,
sedangkan perang adalah tipu daya!

Prinsip kelima: Tanzhim Hizb


Setelah itu bagaimanakah cara Hasan Al-Banna mengikat tali kendali
dakwah dan golongan ini? Dia membentuk prinsip lainnya, aitu
organisasi kepartaian (tanzhim hizb).

Ia membentuk kepemimpinan umum dengan sistem kepemimpinan


“ala mursyid” dan dinamakan “Maktab Al-Irsyad” (kantor bimbingan).
Dia sendiri adalah pimpinan puncak.

Bagi tiap-tiap maktab terdapat anggota-anggota, kepala keluarga, dan


wakil-wakilnya yang menyebarkan prinsip ini ke keluarga-keluarga
mereka. Bila terjadi kasus tertentu dalam satu keluarga maka masalah
itu harus disampaikan kepada kepala keluarga. Kepala keluarga
menyampaikannya kepada wakil. Wakil-wakil menyampaikannya
kepada kantor bimbingan umum yang bermarkas di Mesir dan
akhirnya sampai ke Hasan Al-Banna.

Dengan demikian mereka menempuh organisasi negara dalam prinsip-


prinsip yang telah dibentuk Al-Banna dan tidak ditemukan pada zaman
salaf.

Pada zaman salaf ada pemimpin-pemimpin yang baik dan jelek. Kemudian ulama salaf
menerangkan sunnah bagaimana bermuamalah dengan pemimpin. Mereka menyebarkan
ilmu agama di masjid-masjid. Itulah jalan salaf. Adapun Ikhwanul Muslimin menempuh
jalan bid’ah yang telah dicipta oleh Hasan Al-Banna yaitu jalan batiniyah. Bagi mereka
yang membaca kitab-kitab batiniyah niscaya akan menemukan mereka punya wakil-
wakil yang diberi nama nuqaba’ (naqib-naqib) seperti penamaan organisasinya.

Sebelum dinasti Umawiyah jatuh, dai-dai dinasti Abbasiyah


mempraktekkan metode ini. Mereka punya wakil-wakil yang tersebar
dalam jabatan-jabatan daulah (negara) Umawiyah. Wakil-wakil itu
punya tanggung jawab dan harus melaporkan kepada pucuk pimpinan
tertinggi.

Oleh karena itulah Sururiyah banyak membicarakan jatuhnya dinasti


Umawiyah dan membahas tentang metode dinasti abbasiyah yang
berhasil menggulingkan dinasti Umawiyah.

Hasan Al-Banna menciptakan prinsip ini, bagaimana ia mengikat


pengikutnya dengan tanzhim tersebut. Tanzhim ini tidak melihat alim
atau tidaknya sosok orang yang akan dicalonkan menjadi pemimpin.

Al-Hadhami, pengganti Hasan Al-Banna, adalah seorang yang


mencukur jenggot, bekerja pada konsultan hakim pemerintahan Mesir,
orang yang tidak mempunyai pengetahuan agama yang mendalam.
Tetapi dia dijadikan pemimpin sepeninggal Al-Banna.
Anggota-anggota Ikhwanul Muslimin terkejut atas wafatnya Hasan Al-
Banna karena yang menggantikannya adalah Al-Hadhami, seorang
yang suka memakai jas setengah lengan baju, mencukur jenggot, dan
bekerja sebagai konsultan. Kini ia menjadi ketua umum Ikhwanul
Muslimin. Mengapa? Karenapengangkatannya tidak ada hubungannya
sama sekali dengan agama, tetapi berhubungan dengan
kepemimpinan “negara”.

Bagi yang mau melihat gambaran Ikhwanul Muslimin dalam


menjalankan tanzhim khususnya, bisa menelaah buku karya Mahmud
Ash Shabagh dan Shalah Syadi. Kita akan menemukan sebagian besar
mereka memotong jenggot dan menggelari Hasan Al-Banna dengan
gelar syahid dan pahlawan. Mereka tidak mementingkan agama,
mendengarkan musik, dan tujuan utama mereka adalah membentuk
negara bukan membenahi akidah yang lurus. Islam hanyalah sekedar
lipstik agar manusia tertarik kepadanya.

Hasan Al-Banna telah membuat tanzhim dan komando-komando.


Seperti yang ia sebutkan dalam kitabnya “Al-Mudzakkarat”, bahwa
bagi anggota yang tidak taat akan dikenai hukuman. Sampai-sampai
mereka, para anggota, harus minta izin jika ingin haji atau nikah.
Kesalahan yang dilakukan oleh anggota harus dibayar dengan tebusan
dan kasus-kasus aneh lainnya.

Hasan Al-Banna telah mengaplikasikan prinsip pemisahan. Ia memisah


orang yang tidak taat kendati ia telah mengabdi dua puluh atau tiga
puluh tahun kepada jamaah, namun tetap hak-haknya tidak
diperhatikan.

Teman seperjuangannya yang sama-sama mempelopori pendirian


Ikhwanul Muslimin berbeda pendapat dengan Al-Banna. Maka orang ini
pun ia kucilkan hingga akhirnya timbul polemik berkepanjangan di
antara keduanya dan berkas-berkasnya masih terpelihara sampai
sekarang. Al-Hadhami juga pernah mengucilkan Al-Baquri ketika ia
absen dari pergerakan dan menyetujui ditahannya Menteri Sosial dan
Wakaf Mesir pada zaman pemerintahan jamal Abdul Nasher. Al-
Hadhami berkata kepada Al Baquri, “Kamu terbuang dan diasingkan,
kamu harus minta maaf.” Kemudian ia minta maaf. Jadi Ikhwanul
Muslimin persis dengan negara, bukan dakwah.

Prinsip keenam: Pemimpin dakwah bukan orang alim atau


thalibul ilmi tetapi seorang yang telah mencapai strata
kepemimpinan.

Sesungguhnya sejak zaman Nabi Adam ‘alaihssalam, orang yang


paling athu mengenai agama akan menjadi rujukan masyarakat. Dan
kalau kita membaca sejarah Bani Israil, kita akan melihat bahwa orang
yang paling tahu tentang agamalah yang dijadikan pemimpin tanpa
melihat apakah ia seorang ahli ibadah yang rusak akhlaknya atau
bukan, apakah ia masih berpegang teguh dengan agama Musa atau
tidak, apakah ia sudah mengganti agama Musa atau belum. Yang
penting, pemimpin ini paling tahu tentang agama. Demikian juga
seperti pada zaman Nabi Isa ‘alaihissalam sampai zaman Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam yang pernah mengutus sahabat yang
paling alim, Muadz bin Jabal dan selainnya sebagai pemimpin.

Setelah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam wafat, para Khulafaur


Rasyidin menggantikannya. Kemudian lahir daulah Umawiyah,
Abbasiyah, dan zaman kerajaan-kerajaan, sampai ke masa Hasan Al-
Banna yang menjadikan pemimpin dakwah bukan dari kalangan orang
alim atau thalabul ilmi, tetapi orang yang mencapai tingkat tertentu
dalam kepemimpinan. Merekalah yang diserahi tanggung jawab
menyangkut urusan ulama, thalabul ilmi, dan pelajaran-pelajaran
agama.

Ikhwanul Muslimin membentuk “negara” kendati tidak ada orang alim


didalamnya. Yang penting, orang yang ditokohkan ini taat, patuh
terhadap perintah, petunjuk, dan aturan-aturan jamaah. Pendeknya ia
mau mempersembahkan ketatannya kepada sebuah jamaah yang
tidak bisa diutak-atik lagi. Kondisi ini terkadang dapat mengantarkan
seseorang kepada jabatan yang tinggi hingga bisa saja ia menjadi
seorang ketua umum.

Dengan demikian, negara tidak punya hubungan dengan ilmu agama.


Akan tetapi asas negara ialah kalau berhasil mengkudeta, secara
otomatis telah siap kepala negaranya, menteri-menterinya, gubernur-
gubernurnya, atau aturan-aturan yang harus ditaati.

Sebagaimana negara demokrasi, negara ini tdak membahas atau


bersinggungan dengan apa yang disebut bid’ah-bid’ah. Yang penting
rakyat taat dengan aturan-aturannya kemudian silakan pilih apakah
rakyat akan shalat atau tidak shalat. Dan anggota Ikhwanul Muslimin
ada yang tidak shalat, ada yang menjadi sufi dan lain-lain. Di antara
mereka ada juga yang menganut keyakinan sufi, khurafat, serta akidah
lainnya. Prinsip ini kami katakan merupakan bagian dari prinsip-prinsip
Hasan Al-Banna.

Prinsip ketujuh: Cara Bermuamalah dengan Negara

Termasuk prinsip yang telah dirancang Hasan Al-Banna adalah


bagaimana jama’ah bermuamalah bersama negara. Prinsip yang
diambil dari (golongan-gologan) partai-partai sebelumnya seperti
partai Yasariyah, Rubiyah atau Rusiah atau selainnya.

Dalam mu’amalahnya dengan negara, Ikhwanul Muslimin menempuh


jalan demonstrasi, mencari sebanyak mungkin dukungan dan
membuat selebaran-selebaran. Termasuk dalam aturan khususnya
sebagaimana yang disebut oleh Mahmud Abdul Halim dalam bukunya
“Ikhwanul Muslimin adalah perkara baru yang membua sejarah” dan
Mahmud Ash-Shabagh dalam bukunya “Tanzim Khash” termasuk
program penting mereka adalah mencetak dan menyebarluaskan
selebaran-selebaran. Dalam aturan khususnya seorang anggota belajar
dan mengajar membuat selebaran dan menyebarluaskannya di banyak
tempat.

Demonstrasi bukan barang asing lagi bagi mereka. Biasannya mereka


memulai gerakan unjuk rasa itu dari kampus-kampus. Dalam acara
demonstrasi tersebut mereka membawa bahan peledak yang pernah
menimbulkan korban dari pihak keamanan dan pelajar. Gerakan-
gerakan semacam ini jelas tidak pernah diajarkan Nabi
Shalallahu’alaihi wasallam dan para sahabatnya dalam agama,
demikian juga mencari dukungan-dukungan.

Imam Ahmad bin Hambal pernah dipenjara oleh khalifah Al Makmun


tetapi beliau tidak melakukan demonstrasi , mencari dukungan, atau
melakukan kudeta. Ibnu Taymiyyah dipenjara dan mati dalam penjara
tetapi muridnya, Ibnul Qoyyim, tidak mencari dukungan, membuat
selebaran ataupun melancarkan kerusuhan-kerusuhan dan selainnya.
Mereka hanya berdoa kepada Allah dengan cara yang baik. Berdoa
dengan hikmah, meminta pertolongan-Nya dan agar diberi
kemampuan memikul cobaan. Allah memberi petunjuk kepada yang Ia
kehendaki dan menyesatkan siapa yang Ia kehendaki.

Allah Subhanahu wata’ala berfirman :

‫ساء‬َ ‫سْتُهُم اْلَبْأ‬


ّ ‫خَلْوْا ِمن َقْبِلُكم ّم‬
َ ‫ن‬َ ‫جّنَة َوَلّما َيْأِتُكم ّمَثُل اّلِذي‬
َ ‫خُلوْا اْل‬
ُ ‫سْبُتْم َأن َتْد‬
ِ ‫ح‬
َ ‫َأْم‬
ّ ‫صَر ا‬
‫ل‬ ْ ‫ن َن‬
ّ ‫ل َأل ِإ‬ ّ ‫صُر ا‬ ْ ‫ن آَمُنوْا َمَعُه َمَتى َن‬َ ‫سوُل َواّلِذي‬ ُ ‫حّتى َيُقوَل الّر‬ َ ‫ضّراء َوُزْلِزُلوْا‬ ّ ‫َوال‬
ٌ ‫َقِري‬
‫ب‬
“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal
belum datang kepadamu sebagaimana halnya orang-orang terdahulu
sebelum kamu ? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan,
serta digoncangkan sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang
beriman bersamanya, ‘Bilakah datang pertolongan Allah?’. Ingatlah,
sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.” (Al-Baqoroh : 214)
Allah berfirman :

َ ‫س َأن ُيْتَرُكوا َأن َيُقوُلوا آَمّنا َوُهْم لَ ُيْفَتُنو‬


‫ن‬ ُ ‫ب الّنا‬
َ ‫س‬
ِ ‫ح‬
َ ‫( َأ‬1) ‫الم‬
“Alif laam miim. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan
mengatakan :’Kami telah beriman’, sedangkan mereka tidak diuji?” (Al-
Ankabut:1-2).

َ ‫صاِبِري‬
‫ن‬ ّ ‫جاَهُدوْا ِمنُكْم َوَيْعَلَم ال‬
َ ‫ن‬
َ ‫ل اّلِذي‬
ّ ‫جّنَة َوَلّما َيْعَلِم ا‬
َ ‫خُلوْا اْل‬
ُ ‫سْبُتْم َأن َتْد‬
ِ ‫ح‬
َ ‫َأْم‬
“Apakah kamu mungira bahwa kamu akan masuk surga , padahal
belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad diantaramu dan
belum nyata orang-orang yang sabar” ( Ali Imran : 142).

Metode para Nabi adalah dengan cara mendidik dan mengajarkan


kebaikan. Adapun demonstrasi dan mencari dukungan/perlindungan
kepada selain-Nya dapat menimbulkan pembunuhan orang-orang baik
dan kerusuhan-kerusahan. Hasan Al-Banna mempergunakan cara-cara
ini semuanya dan peristiwa-peristiewa yang pernah dilakukan Hasan
Al-Banna bisa dibaca dalam buku karya Mahmud Ash-Shabagh “Tanzim
Khash” karya Shalah Syadi ” Al-Hasha minal Umur” dan buku karya
Ahmad Kamal ” Alkhutuut ‘alal Huruf” Dalam buku-buku tersebut
pembaca bisa menemukan bagaimana Ikhwanul Muslimin melakukan
aksi-aksi kerusuhan bahkan sampai dengan perkara “membunuh
manusia yang lewat dengan cara digigit”.

Mahmud Ash-Shabagh berkata, cara-cara itu dilakukan dalam rangka


mencapai sasaran dakwah (maslahat dakwah) walaupun dengan cara
menggigit manusia yang lewat di jalan sampai mati. Kasus-kasus ini
semuanya pernah dilakukan dalam perjuangan ala Hasan Al-Banna .

Prinsip kedelapan : Masuk ke Parlemen-parlemen dan Pemilu

Hasan Al-Banna berdakwah dengan memasuki parlemen, bersatu,


melobi dan berbasa-basi dengan partai lain denan tujuan untuk
mendesak pemerintah dan mencapai maksud-maksud tertentu, seperti
yang pernah ia lakukan bersama partai Al-Yasari dan selainnya.

(Ditulis oleh Syaikh Ayyid asy Syamari, pengajar di Makkah al


Mukaramah, dalam rangka menjawab pertanyaan sebagian jama’ah
Ahlusunnah wal Jama’ah asal Belanda tentang perbedaan Ikhwanul
Muslimin, Quthbiyyah, Sururiyah dan Yayasan Ihya ut Turats. Penerbit
Maktabah As-Sahab 2003. Judul asli Turkah Hasan Al Banna wa
Ahammul Waritsin. Penerjemah Ustadz Ahmad Hamdani Ibnul Muslim.)
Sumber: www.salafy.or.id (dengan sedikit penambahan) fggh

You might also like