Professional Documents
Culture Documents
A. Pengantar
Sistem hukum yang berlaku di Indonesia banyak dipengaruhi oleh sistem hukum Belanda,
termasuk Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pengaruh sistem hukum Belanda ini
salah satunya melalui konkordansi. Dan KUHP yang digunakan kita sekarang disusun tahun
1915. Ada beberapa perbedaan sistem yang diatur dalam KUHP Indonesia dengan sistem
KUHP Belanda. Misalnya sanksi bagi pelaku pencurian (pasal 362) maksimum dipidana penjara
5 tahun, sedangkan di Belanda sendiri maksimum pidana penjara selama 4 tahun. Demikian
juga untuk peniupuan (pasal ……) dipidana penjara maksimum 4 tahun, sedangakan diBelanda
maksimum pidana penjara selama 3 tahun. Alasan ini karena penduduk Indonesia lebih
heterogen dibanding dengan penduduk Belanda.
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan kenapa KUHP yang berlaku sekarang sudah tidak
sesuai dengan keadaan masyarakat Indonesia, apalagi untuk menghadapi globalisasi yang lebih
mempermudah hubungan antar negara.
Pertama, Faktor Politik : Negara RI yang sudah merdeka semestinya mempunyai KUHP sendiri
yang menjadi simbol dan kebanggan dari sebuah negara yang merdeka yang telah lepas dari
kungkungan penjajahan politik.
Kedua, faktor Sosiologis : Nilai-nilai sosial dan kebudayaan bangsa selayaknya mendapatkan
tempat dalam pengaturan hukum nasionalnya khususnya dalam hukum pidana.Ukuran untuk
mengkriminalisasikan suatu perbuatan harus berdasarkan pendapat kolektif masyarakat,
tentang apa yang baik, benar, bermanfaat atau sebaliknya. Selain itu juga menyangkut filsafat
dan tujuan hukum pidana dan pertanggungjawaban pelaku pidana.
Ketiga, faktor Praktis : Teks resmi dari KUHP sekarang merupakan teks yang ditulis dalam
bahasa Belanda. Sedangkan teks yang tercantum dalma KUHP yang disusun beberapa ahli
(Prof.Moeljatno dsb) bukan merupakan terjemahan otentik, bukan terjemahan asli yang
diresmikan UU.
Sudah cukup lama pemerintah mempunyai niat untuk merevisi KUHP sekarang dengan telah
dibuatnya RUU-KUHP. Tetapi mengingat hukum pidana merupakan hukum publik, maka sejauh
manakah negara memberikan perlindungan bagi warganya karena ini sangat sensitif dilihat dari
perspektif hubungan dengan penyelenggaraan kekuasaan negara. Memang tidak dapat
dilepaskan proses pembuatan hukum pidana dimanapun akan diwarnai kepentingan berbagai
kelompok di masyarakat serta perbedaan persepsi kepentingan anatar pemerintah dan
kelompok di masyarakat.
Ketentuan Pasal 193 – Pasal 287 RUU KUHP 2000 terdiri dari tindak pidana yang berkaitan
dengan ideologi Komunisme Marxisme dan Leninisme, tindak pidana yang berkaitan dengan
pemerintahan, tindak pidana terhadap pertahanan dan keamanan, tindak pidana yang berkaitan
dengan wilayah negara, tindak pidana yang berkaitan dengan hubungan dengan negara
sahabat, tindak pidana yang berkaitan dengan kewajiban dan hak kenegaraan serta tindak
pidana yang berkaitan dengan ketertiban umum. Sama halnya dengan KUHP lama dan KUHP
Belanda kejahatan terhadap keamanan negara sekarang diberi nama Tindak Pidana Terhadap
Proses Kehidupan Ketatanegaraan tercantum dalam Bab I Buku II. Jadi, delik kepentingan
negara dan umum merupakan bab-bab pendahulu dalam Buku II KUHP. Berbeda misalnya
dengan KUHP Argentina yang delik-delik terhadap individu menempati urutan depan dalam
Buku II.
Pada saat bersamaan dalam upaya pelarangan penyebaran dan pengembangan ajaran
komunisme/marxisme leninisme dalam segala bentuk dan perwujudannya walaupun dengan
catatan dilakukan secara melawan hukum, ada suatu gagasan untuk menarik beberapa pasal
yang berkaitan dengan tindak pidana yang berkaitan dengan ideology komunisme marxisme
dan leninisme. Pertimbangan penarikan beberapa pasal ini dinilai bertentangan dengan Pasal 23
Undang-Undang No. 39 Tahun 1999, sehingga pasal-pasal tersebut dihapuskan saja. Masalah
penyebaran ajaran komunisme marxisme dan leninisme dalam bidang kehidupan
ketatanegaraan ini meliputi : 1. dasar negaranya, dan 2. stabilitas social, sedangkan masalah
penyebaran dan pengembangan ajaran komunisme leninisme dan marxisme dalam bidang
keorganisasian mengatur : 1. keyakinan politik organisasi dan 2. hubungan individu dengan
organisasi.
Mengenai tindak pidana yang berkaitan dengan pemerintahan yang meliputi : a. kejahatan
terhadap kepala negara, b. kejahatan terhadap martabat presiden atau wakil presiden, c. makar
terhadap pemerintahan yang sah, d. pemberontakan, e. membocorkan rahasia negara, f.
pengkhianatan, g. quasi pengkhianatan, h. perunding yang merugikan negara, i. Kejahatan di
bidang bela negara. Di dalam pasal-pasal tindak pidana yang berkaitan dengan pemerintahan
disebutkan istilah makar namun tidak dijelaskan criteria/cara-cara/perbuatan-perbuatan yang
disebut dengan makar. Di dalam RUU KUHP yang dinamakan makar berdasarkan Pasal 186
adalah niat untuk melakukan suatu perbuatan yang telah diwujudkan dengan adanya
permulaan pelaksanaan perbuatan tersebut.
Dengan demikian perkembangan kejahatan terhadap negara dalam RUU KUHP ini sebenarnya
masih perlu diperhatikan dan dianalisa lebih dalam lagi bagi Tim Perumus RUU KUHP 2000
tersebut sehingga segala bentuk dan penempatan tindak pidana kejahatan terhadap negara ini
menjadi jelas fungsi dan kedudukannya di dalam RUU KUHP dalam menciptakan suatu negara
yang tetap adil, aman dan sejahtera tanpa memilih antara pihak-pihak tertentu. Dalam position
paper ini kami akan mengangkat problematic bagaimana membuat suatu peraturan perundang-
undangan pidana yang dapat membangun system ketatanegaraan baru yang bercirikan
demokrasi dengan tanpa membunuh atau merampas kemerdekaan tiap individunya.
1. Universalisme HAM
Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang mengemban tugas mengelola
dan memelihara alam semesta dengan penuh ketaqwaan dan penuh tanggung jawab untuk
kesejahteraan umat manusia, oleh penciptanya dianugerahi hak asasi untuk menjamin
keberadaan harkat dan martabat kemuliaan dirinya serta keharmonisan lingkungannya. Hak
asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat
universal dan langgeng. Oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak
boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapa pun. Bahwa selain hak asasi, manusia juga
mempunyai kewajiban dasar antara manusia yang satu terhadap yang lain dan terhadap
masyarakat secara keseluruhan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Sejak tahun 1984 dengan Undang-Undang RI Nomor 7 tahun 1984, Indonesia telah meratifikasi
Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (The
Convention on The Elimination of Discrimination Against Women/CEDAW). Dalam konvensi
mengenai hak-hak perempuan tahun 1953, dinyatakan dalam mukadimahnya bahwa konvensi
ini mengakui bahwa setiap orang mempunyai hak untuk mengambil bagian dalam
pemerintahan negaranya, secara langsung atau tidak langsung melalui wakil-wakil yang dipilih
secara bebas, dan mempunyai hak serta akses yang sama pada pelayanan publik di negaranya,
dan dengan maksud untuk menyetarakan status laki-laki dan perempuan dalam memperoleh
dan menjalankan hak-hak politik sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam Piagam PBB dan
DUHAM. Dalam Deklarasi Vienna dan Program Aksi (Konferensi Dunia Hak Asasi Manusia) bulan
Juni tahun 1993, dinyatakan bahwa HAM dari perempuan adalah bagian dari HAM yang tidak
dapat dicabut, integral, dan tidak dapat dipisahkan. Partisipasi perempuan yang seutuhnya dan
sejajar dalam kehidupan politik, sipil, ekonomi, social, budaya pada tingkat nasional, regional,
dan internasional, serta pemberantasan semua bentuk diskriminasi berdasarkan jenis kelamin
adalah tujuan utama bagi masyarakat internasional.
Konferensi Duham meminta semua pemerintah untuk mengambil tindakan-tindakan yang tepat
sesuai dengan kewajiban internasionalnya, serta dengan menghormati sistem hukum masing-
masing, untuk melawan intoleransi dan kekerasan yang terkait yang didasari oleh agama atau
kepercayaan termasuk praktek-pratek diskriminasi terhadap perempuan dan termasuk
penodaan tempat-tempat religius, serta mengakui bahwa tiap orang mempunyai hak
atas kebebasan untuk berpikir, menuruti hati nurani, berekspresi, dan beragama.
Konferensi ini juga meminta semua negara untuk mepraktekkan ketentuan-ketentuan dari
Deklarasi Penghapusan Semua Bentuk Intolerasi dan Diskriminasi Berdasarkan Agama dan
Kepercayaan.
Dalam Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan (KTP) tahun 1993, dinyatakan
bahwa kaum perempuan berhak untuk menikmati dan memperoleh perlindungan HAM dan
kebebasan asasi yang sama dalam bidang politik, ekonomi, social, budaya, sipil, atau bidang-
bidang lainnya. Hak-hak tersebut termasuk, antara lain:
a. hak atas kehidupan, 1
b. hak atas persamaan, 2
c. hak atas kemerdekaan dan keamanan pribadi, 3
d. hak atas perlindungan yang sama di muka umum, 4
e. hak untuk bebas dari segala bentuk diskriminasi, 5
f. hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan fisik maupun mental yang sebaik-baiknya,
6
g. hak atas pekerjaan yang lakyak dan kondisi kerja yang baik, 7
h. hak untuk tidak mengalami penganiayaan atau kekerjaman lain, perlakuan atau
penyiksaan secara tidak manusiawi atau sewenang-wenang. 8
Prinsip-prinsip dasar dari Peraturan Internasional dapat dilihat pada Declaration of Human Right
(Deklarasi Umum HAM) menyatakan bahwa setiap orang berhak turut serta dalam
pemerintahan negaranya, secara langsung atau melalui perwakilan yang dipilih dengan bebas,
setiap orang berhak atas kesempatan yang sama untuk diangkat dalam jabatan pemerintahan
negaranya, kehendak rakyat harus dinyatakan dalam bentuk pemilihan umum yang
dilaksanakan secara berkala dan murni dengan hak pilih dan setiap orang berhak atas suatu
tatanan social dan internasional dimana hak-hak dan kebebasan-kebebasan yang termaktub di
dalam deklarasi ini bisa dilaksanakan sepenuhnya.
1
Duham pasal 3 dan Konvenan Internasional tentang hak-hak Sipil dan Politik, pasal 6.
2
Konvenan Internasional tentang hak-hak Sipil dan Politik, pasal 26
3
Duham pasal 3 dan Konvenan Internasional tentang hak-hak Sipil dan Politik, 9.
4
Konvenan Internasional tentang hak-hak Sipil dan Politik, pasal 26
5
Konvenan Internasional tentang hak-hak Sipil dan Politik, pasal 26
6
Konvenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial, Budaya, pasal 12
7
Duham pasal 23 dan Konvenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial, Budaya, pasal 6 dan 7.
8
Duham pasal 5; Konvenan Internasional tentang hak-hak Sipil dan Politik, 7; Konvensi Menentang Penyiksaan dan
Perlakuan atau Hukuman lain y ang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia.
Kovenan Internasional tentang hak-hak sipil dan politik menjelaskan bahwa semua orang
mempunyai hak untuk menentukan nasibnya sendiri. Atas kekuatan hak itu mereka bebas
untuk menentukan status politik dan bebas untuk mengejar perkembangan ekonomi, social dan
budaya mereka sendiri. Pada saat yang sama juga negara menjamin semua individu yang
berada di dalam wilayahnya dan tunduk kepada kekuasaan pengadilan hak-hak yang diakui
dalam kovenan in, tanpa pembedaan apapun seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa,
agama, pendapat politik atau yang lain, asal-usul kebangsaan ataupun social, harta milik,
kelahiran atau status lainnya.
Hal lainnya yang dijelaskan lagi masih dalam Kovenan ini adalah bahwa di dalam Pasal 19 ayat
(2) dikatakan pelaksanaan hak-hak yang diberikan tersebut membawa berbagai kewajiban dan
tanggung jawabnya sendiri. Maka dari itu dapat dikenakan pembatasan-pembatasan tertentu,
tetapi hal demikian hanya boleh ditetapkan dengan undang-undang dan sepanjang keperluan
untuk :
a. menghormati hak-hak dan nama baik orang lain
b. menjaga keamanan nasional atau ketertiban umum atau kesehatan atau kesusilaan
umum.
c.
Hak untuk berkumpul secara bebas harus diakui. Tidak satupun pembatasan dapat dikenakan
terhadap pelaksanaan hak ini kecuali yang ditentukan oleh undang-undang dan sebagaimana
diperlukan dalam suatu masyarakat demokrasi demi kepentingan keamanan nasional,
keamanan dan ketertiban umum, serta menjaga kesehatan atau kesusilaan umum atau
menjaga hak dan kebebasan orang lain. Setiap warga negara harus mempunyai hak dan
kesempatan untuk tanpa pembedaan apapun dan tanpa pembatasan yang wajar untuk
berpatisipasi dalam menjalankan segala urusan umum, baik secara langsung maupun melalui
wakil-wakil yang dipilih secara bebas sehingga dalam hal memilih dan dipilih pada pemilihan
berkala yang bebas dengan hak pilih yang sama dan universal serta diadakan melalui
pengeluaran suara tertulis dan rahasia yang menjamin para pemilih untuk menyatakan
kehendak mereka secara bebas juga layak mendapatkan pelayanan umum di negaranya sendiri
pada umumnya atas dasar persamaan. Dalam hal perlindungan hukum melarang segala
diskriminasi dan menjamin semua orang mendapat perlindungan yang sama dan efektif
terhadap diskriminasi atas dasar apapun seperti misalnya ras, warna kulit, jenis kelamin,
bahasa, agama, pendapat politik atau yang lain, asal-usul kebangsaan atau social, harta milik,
kelahiran atau status lain.
Dalam Kode Etik Para Pejabat Penegak Hukum, dikatakan bahwa dalam melaksanakan
kewajiban mereka, para petugas penegak hukum harus menghormati dan melindungi martabat
manusia, dan menjaga serta menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia semua orang.
Menurut TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966, membahas mengenai pembubaran Partai Komunis
Indonesia dinyatakan sebagai organisasi terlarang di seluruh wilayah negara RI bagi PKI
Indonesia dan larangan setiap kegiatan untuk menyebarkan atau mengembangkan faham atau
ajaran Komunis/mrxisme-leninisme. Dijelaskan bahwa faham atau ajaran komunism/marxisme-
leninisme pada inti-hakekatnya bertentangan dengan Pancasila dan orang-orang serta
golongan-golongan di Indonesia yang menganut faham atau ajaran komunisme/marxisme-
leninisme, khususnya PKI, dalam sejarah kemerdekaan RI telah nyata-nyata terbukti beberapa
kali berusaha merobohkan kekuasaan Pemerintah RI yang sah dengan jalan kekerasan. Oleh
sebab itu terhadap PKI dan terhadap kegiatan-kegiatan yang menyebarkan atau
mengembangkan faham atau ajaran komunisme/marxisme-leninisme akan diambil tindakan
tegas untuk menghentikannya.
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana lama (terjemahan Belanda) yang telah disesuaikan
dengan UU baru, tidak mengatur tentang tindak pidana yang berkaitan dengan ajaran/aliran
marxisme-leninisme/komunisme. Karena tindak pidana ini dianggap bersifat khusus, sehingga
diatur secara terpisah dari KUHP lama. Karena tindak pidana ini dikategorikan sebagai tindak
pidana khusus, maka ia diatur secara tersendiri, yakni di dalam UU PNPS Nomor 11/1963,
tentang pemberantasan tindak pidana subversi, hal ini diperkuat dengan adanya Tap MPRS No.
XXV/MPRS/1966. Selang 33 tahun kemudian, seiring dengan arus reformasi bergulir, UU PNPS
ini dicabut oleh UU No. 26 Tahun 1999 tentang Pencabutan UU No. 11/PNPS/1963 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Subversi, dengan alasan sebagai bagian dari proses penegakkan
HAM di Indonesia.
Dalam batang tubuh UU No 11/PNPS/1963 tidak disebut laatr belakang politik sebagai unsur
esensiil dalam tindak pidana subversi. Tetapi dalam penjelasan dikatakan bahwa : “Subversi
selalu berhubungan dengan politik dan merupakan alat untuk mencapai tujuan-tujuan politik
yang dikehendaki oleh pihak/golongan yang berkepentingan”. Sedangkan dalam Putusan MA
tgl 5 Mei 1971 no 26/K/Kr/1969 menyatakan tindak pidana subversi tidak lagi merupakan unsur
esensiil. Unsur yang diperlukan bagi delik subversi adalah prebuatan nyata dari terdakwa.
Kasus pada waktu itu diDesa Sawangan, Kecamatan Kebasen, Banyuwangi (5 Juni 1966),
terdakwa dituduh mengumpulkan massa 200 orang dan melecehkan Kepala Desanya. Majelis
hakim (Prof. R. Sardjono. SH, Bustanul Arifin. SH, Indroharto. SH) memutuskan prekara
tersebut dikategorikan sebagai delik subversi, Dalam pertimbangannya perbuatan tersebut
murni perbuatan terdakwa bukan karena latar belakang politik.
Dalam RUU KUHP terdapat pasal yang berusaha untuk menindak bagi seseorang yang
meneyebarkan paham komunisme , leninisme-Marxisme. Kalau hal itu diterapka maka harus
dipretimbangkan beberapa pertimbangan;
Pertama, Apakah ada relevansinya menyususn suatu UU ytang dimaksudkan untuk mennetang
suatu ideologi yang pada dasarnya tidak punya kekuatan dan aktualitas lagi. Kalau ada
kekhawatiran munculnya komunisme, maka itu tergantung pada pretanyaan apakah
ketidakmerataan ekonomi dan sosial mendapat perhatian untuk diatasi atau dibiarkan.
Kedua, kalau runtuhnya komunisme yang ditandai bubarnya sistem ini di Blok Timur sudah
menghilangkan sama sekali kepercayaan orang terhadap siistem ini (sebagai ideologi yang
sanggup menggerakkan pembangunan ekonomi), maka UU nati komunisme akan tidak
mempunyai manfaat lagi.
Hal lain yang perlu dipertimbangkan apakah sebuah UU lebih memungkinkan anggota
masyarakat membela dan mempertahankan hak atau lebih memberi wewenang kepada
penguasa untuk mempergunakan kekuasaannya melakukan intervensi.
Melarang menggunakan teori kelas dan berpretensi bahwa konflik kelas tidak prenah ada,
hanay akan memberi kesempatan untuk akumulasi dan mengerasnya konflik tersebut.
Pada kebanyakan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Kejahatan Terhadap Proses Kehidupan
Ketatanegaraan ditempatkan pada bab-bab pertama dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,
akan tetapi ada negara yang menempatkan Kejahatan Terhadap Proses Kehidupan
Ketatanegaraan di bagian belakang dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana-nya. Dengan
demikian negara tersebut mengutamakan kejahatan-kejahatan yang ditujukan kepada
perorangan baru kemudian diikuti oleh pengaturan terhadap kejahatan-kejahatan yang
ditujukan kepada negara atau kepentingan umum.
Rumusan Kejahatan terhadap Negara dalam RUU KUHP digolongkan ke dalam dua pokok
tinjauan, yaitu :
Ada beberapa aturan yang berhubungan erat dengan RUU KUHP, diantaranya :
Pasal 24 :
(1) Setiap orang berhak untuk berkumpul, berapat dan berserikajt untuk maksud-maksud
damai.
Pasal 25 :
“ Setiap orang berhak untuk menyampaikan pendapat dimuka umum termasuk hak untuk
mogok sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan “.
Pasal 28 :
“ Setiap orang berhak mencari suaka untuk memperoleh perlindungan politik dari negara lain”.
Pasal 107 b : “ Dipidana penjara paling lama 20 tahun jika menyatakan keinginan untuk
meniadakan atau mengganti Pancasila yang menimbulkan korban jiwa atau kerugian harta
benda” .
107 c: “ Dipidana penjara paling lama 15 tahun jika menyebarkan ajaran komunisme/Marxisme-
Leninisme yang menimbulkan korban jiwa atau kerugian harta benda “.
107d : “ Dipidana penjara paling lama 20 tahun jika menyebarkan ajaran komunisme/Marxisme-
Leninisme demgan maksud mengubah Pancasila “.
Pasal 107 e : Dipidana penjara paling lama 15 tahun jika :
(1) Mendirikan organisasi yang patut diduga menganut komunisme/Marxisme- Leninisme.
(2) Mengadakan hubungan dengan memberikan bantuan kepada organisasi baik
didalam/diluar negeri yang berasaskan komunisme/Marxisme- Leninisme yang bermaksud
mengubah dasar negara atau menggulingkan Pemerintah yang sah.
Ketika hukum pidana ini bersinggungan dengan antara kepentingan kekuasaan dengan hak-
hak warga negara maka ini merupakan hal yang sangat sensitif. Belum jelasnya
katerigorisasi mana yang adapat disebut sebagai tindakan subversi dan bukan menjadi tarik
ulur bagi berbagai kepentingan. Walaupun telah dikeluarkan UU No 26 tahun 1999, tetapi
dilapangan hal ini belum diterapkan. Bahkan semacam terjadi kontradiktif dengan RUU-
KUHP.
RUU KUHP ini tidak sesuai dengan jiwa demokrasi yang menjadi tuntutan sekarang di
masyarakat. Pembelengguan terhadap masyarakat untuk menyampaikan pendapat atau
mengkritisi suatu teori (leninisme, marxisme, komunisme) dianggap suatu tindakan
subversi. Padahal dalam UU no 39 Tahun 1999 (pasal 23), setiap orang diberikan kebebasn
untuk mengeluarkan pendapat. Berarti disini antara KUHP snediri dengan aturan yang lain
masih belum sejalan.
• RUU KUHP harus lebih memperjelas definisi tentang tindakan subversi/makar, apakah
itu untuk kegiatan yang dilatar belakangi oleh politik atau tidak (perbuatan perorangan
belaka.
• Sistem/aturan yang adad dlaam KUHP harus selaras dengan aturan yang lainnya,
sehingga tidak menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda dalam praktiknya.