You are on page 1of 28

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang masalah

Timbulnya ketertarikan Penulis terhadap permasalahan ini berlatar

belakang dari perasaan keprihatinan dan perenungan terhadap realita masyarakat

dewasa ini yang semakin banyak mengalami kemerosotan kepada etika dan moral.

Sebenarnya jika berpikir secara jernih, maka disinilah pentingnya peranan

lembaga kemasyarakatan, terlebih untuk memberikan konstribusi yang berarti

dalam mengatur perilaku daripada warga masyarakat. Hadirnya Gereja Batak

Karo Protestan (GBKP) yang bertempat di Jl. Raya Pemogan No. 237 Suwung

Kauh – Denpasar Selatan merupakan solusi untuk menjawab permasalahan ini.

Melalui suatu fase pembelanjaran Katekisasi, maka Moderamen Gereja Batak

Karo Protestan berusaha memperlengkapi warga jemaat supaya dapat menjadi

katekisan yang dewasa, mandiri dalam konteks persekutuan (koinonia), kesaksian

(marturia) dan pelayanan (diakonia).

Katekisasi atau dapat juga diartikan sebagai Ngawan dalam prinsip

gereja GBKP bisa diartikan sebagai suatu proses dalam menuju katekisan yang

“dewasa dan mandiri” maksudnya ialah bahwa warga jemaat yang dipersiapkan

menjadi warga sidi (ngawan) memahami apa yang ia percayai dengan sungguh-

sungguh dan benar, bukan disebabkan ikut-ikutan orangtua atau berdasarkan

keturunan keluarga. Katekisan sendiri berasal dari hati yang bulat mengenal

Tuhan yang berkarya di dunia, sejak sepanjang sejarah Israel, Gereja mula-mula,

1
ke-kinian hingga Yesus akan datang kembali dan menempatkan Tuhan sebagai

Gembala. Artinya, kesadaran untuk bersekutu dengan Tuhan sebagai upaya untuk

lebih mengetahui kehendak-Nya melalui pembacaan Alkitab dan berdoa kepada-

Nya, sudah merupakan kerinduan yang tidak dapat dipisahkan dari dirinya sendiri.

Dalam konteks persekutuan, kesaksian dan pelayanan, sebagai perorangan maka

peserta katekisan sudah dianggap sanggup untuk menempatkan dirinya dengan

benar terutama kepada konteks Gereja maupun Masyarakat. Maksudnya ialah

bahwa hidupnya sebagai orang yang beriman yang sekaligus juga adalah sebagai

warga keluarga besar “Kerajaan Allah”, bukanlah diperuntuhkan bagi kepentingan

dirinya pribadi saja, tetapi juga ditempatkan bagi kepentingan “Tubuh Kristus”

dan dunia.

Hal ini dimulai dari lingkup yang paling kecil yaitu keluarga, dan

diperluas ke dalam lingkup berjemaat setempat (sektor/Perpulungen Jabu-Jabu),

Runggun, Klasis, Sinodal hingga umat Allah di segala waktu maupun tempat

(Oikumene). Persekutuan orang beriman diwujudkan secara nyata dalam ibadah

maupun dalam tindakan, seperti tindakan saling mendoakan satu dengan lainnya,

saling mendukung, saling membantu serta saling melayani kepada terhadap

pertumbuhan kasih. Kehadiran orang beriman ibarat “garam”, dapat terasakan

manfaatnya bagi lingkungannya; dan juga ibarat “terang”, dapat terlihat

kesaksiannya sebagai suluh dalam kegelapan/penuntun bagi orang yang sesat,

pemberi harapan bagi orang yang putus asa, pemberi semangat bagi orang yang

letih lesu dan sebagainya. Artinya, kehidupan persekutuan, kesaksian dan

pelayanan tidak dapat dipisahkan dalam hakekat kehidupan orang beriman.

2
Melihat kondisi orang Kristen semacam itulah maka kehadirannya akan

dirindukan masyarakat yang pluralistis. Walaupun berbeda keyakinan, namun

kehadiran orang Kristen masih didambakan oleh karena fungsinya yang tidak

tergantikan itu. Orang Kristen harus dapat membawa kebenaran, keadilan,

kesucian, kejujuran Allah di tengah-tengah dunia yang sistem nilainya berubah-

ubah ini. Nilai Ilahi yang kekal harus dapat dipertahankan oleh anal-anak Tuhan.

Oleh kuat Kuasa Tuhan sajalah mereka sanggup bertahan. Maka dengan itu

moralitas Kristiani dalam segala aspeknya harus dijunjung dan dipelihara supaya

mereka dapat menjadi “Gereja panutan” bagi masyarakat. Dengan demikian

melalui pembelanjaran Ngawan/Katekisasi ini hendaknya tidak hanya dipakai

untuk menambah pengetahuan saja, tetapi juga dapat menumbuhkan kesadaran

hubungan dengan keberadaan ilahi (spiritual), membangun sikap serta perilaku

(moral) yang menjadi dasar untuk bertindak (aktualisasi diri) dalam membangun

integritas diri yang mencintai keluarga, Gereja dan terlebih lagi Masyarakat.

Pada kesempatan kali ini, izinkanlah pula untuk diutarakan bebarapa

fungsi dan tujuan daripada lembaga kemasyarakatan dalam memenuhi kebutuhan-

kebutuhan dasar atau pokok manusia, dimana hal ini dirasa penting untuk

diutarakan karena memiliki visi dan misi yang sama dengan pelayanan iman

daripada GBKP sebagai social-institution. Beberapa fungsi itu antara lain :

1. Memberikan pedoman pada anggota masyarakat, bagaimana mereka harus

bertingkah-laku atau bersikap di dalam menghadapi masalah-masalah dalam

masyarakat, terutama yang menyangkut kebutuhan-kebutuhan.

2. Menjaga keutuhan masyarakat.

3
3. Memberikan pegangan kepada masyarakat untuk mengadakan sistem

pengendalian sosial (social control). Artinya, sistem pengawasan

masyarakat terhadap tingkah-laku anggota-anggotanya (Soekarto, 1999:

217-219).

Hal yang menjadi daya tarik lainnya yang dilihat berdasarkan ketiga

fungsi daripada social-institution, dimana yang dikaitkan pula dengan peranan

lembaga GBKP untuk membentuk karaktek jemaat yang unggul dan merujuk

terhadap teladan Kristus maka perkembangan iman jemaat menjadi sesuatu yang

perlu diperhatikan. Kerapkali sebenarnya seseorang akan melakukan tindakan

yang kurang terpuji maka akan lebih banyak diakibatkan oleh adanya kesempatan

serta tidak disertai dengan rasa taqwa dan iman yang kuat terhadap apa yang

diyakininya. Selain itu faktor kurangnya rasa perhatian dan kasih sayang dari

orang terdekat juga akan menjadi pemicu utama untuk seseorang dapat melakukan

tindakan yang tentu tidak sesuai dengan aturan yang berlaku. Sehingga inilah

sebenarnya misi yang ingin dicapai oleh lembaga GBKP untuk mengurangi

kemerosotan moral terutama terhadap generasi muda yang semakin banyak

ditemukan dalam kehidupan masyarakat dewasa ini. Melihat perkembangan ilmu

pengetahuan dan teknologi yang semakin pesat serta kadang tidak terkendali,

maka GBKP merasa perlu untuk melakukan pengendalian sosial dalam lingkup

jemaatnya. Mengapa demikian karena seperti yang sudah diutarakan sebelumnya

terhadap fungsi daripada GBKP sebagai social-institution, dimana terkandang

karena masalah kebutuhan manusia yang tak pernah puas terhadap apa yang sudah

dimilikinya maka tentu pedoman mengenai cara bersikap dan berperilaku yang

4
baik tentu akan menjadi satu hal yang mampu menjawab kepada krisis moral yang

sedang digeluti dan dihadapi oleh bangsa kita.

Beberapa alasan di atas menjadi acuan berpikir penulis dalam

mengangkat hal ini menjadi satu penelitian yang tentu menarik untuk dikaji dan

dianalisa secara kacamata Antropologi yang tentu berlandaskan terhadap budaya,

dimana tradisi belajar Ngawan tentu akan mewakilinya. Ngawan merupakan suatu

tahapan atau proses dimana seseorang yang sudah dinilai dewasa dalam gereja

untuk mendapatkan pengajaran mengenai Firman Tuhan yang berguna untuk

pembentukan karaktek unggul dan sesuai dengan teladan Yesus Kristus. Adapun

jangka waktu yang telah diprogramkan bagi peserta berdasarkan Moderamen

pusat GBKP adalah sekitar 6 bulan, sedangkan di gereja lain misalnya katakalah

HKBP dapat berkisar sampai 9-12 bulan. Mengenai defenisi maupun

penyebutannya akan disesuaikan dengan budaya khas daripada gereja masing-

masing misalnya pada orang Batak Karo biasa disebut dengan Ngawan/Katekisasi

tetapi orang Batak Toba akan menyebutnya dengan naik Sidi. Sedangkan

defenisinya secara sederhana yaitu memiliki penekanan yang sama kepada proses

kemandirian dan kedewasaan serta sudah dapat berpikir dewasa maupun

menanggung dosanya sendiri. Metode yang digunakan dalam GBKP sendiri

bersifat baku, seperti yang tercantum di bawah ini :

1. Metode pengajaran adalah metode-metode pendidikan yang umum dengan

cara diskusi, ceramah, dan dialog.

5
2. Setiap bahasan menggunakan metodenya sendiri sesuai dengan sub-pokok

bahasan serta tujuan khususnya, sehingga sangat diharapkan kekreatifan

pengajar.

3. Para peserta harus diajak untuk mampu mengerti, memahami dan

menghayati semua pelajaran dan diarahkan untuk mampu mewujudkannya

di dalam kehidupan sehari-hari.

1.2 Rumusan masalah

Adapun beberapa rumusan masalah yang ingin disajikan antara lain :

1. Mengapa Katekisasi/Ngawan serasa perlu untuk dilakuakan?

2. Bagaimana cara melakukannya dan apa perbedaannya dengan yang ada

pada Gereja lain?

3. Dampaknya pada sikap, perilaku maupun tingkah laku peserta yang

mengikuti pembelanjaran Ngawan?

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

6
1.3.1 Tujuan Penelitian

Bertitik tolak kepada keadaan moral bangsa yang semakin merosot dan

menurunnya rasa cinta maupun keadilan terhadap sesama maka pembelanjaran

Ngawan dirasa perlu untuk dilakukan. Umumnya konsep keadilan berarti bahwa

setiap orang berhak memperoleh haknya; setiap orang menerima apa yang

seharusnya diterima. Dalam keadaan adil maka hak semua orang dapat ditentukan

secara konsisten dan bijak. Hukum-hukum berlaku bagi semua orang secara sama.

Tidak ada lagi perbedaan dan pilih kasih atau diskriminasi. Orang berhak untuk

diperlakukan secara sama dengan orang lain karena ia adalah seorang manusia dan

setiap manusia sangat tinggi harganya. Kini tidak hanya manusia semua ciptaan

dihargai hak maupun keberadaannya. Begitu luhur, mulia, serta tinggi nilai

keadilan yang terwujud. Kebahagian manusia dapat tercapai dengan adanya sikap

tidak mementingkan diri sendiri, dan diikuti dengan upaya hidup bagi orang lain

(berbagi kehidupan).

Namun dalam kenyataannya, nilai luhur itu sering tidak terasa. Yang

muncul justru malah ketidakadilan. Keadilan sering menjadi milik orang atau

kelompok penguasa, berduit dan berpendidikan. Hukum rimba masih berlaku,

yang kuat mau menindas yang lemah. Orang pintar memakai kepintarannya

menekan orang bodoh dan tak berpendidikan. Penguasa bermodal besar

mengeksploitasi buruh tanpa memberi imbalan yang sepatutnya. Suara pekerja

diabaikan dan dianggap angin lalu karena akan mengurangi pemasukan

keuntungan (lihat Penolakan Buruh terhadap Revisi RUU No. 13 tentang

Ketenaga kerjaan). Bahkan dalam menghadapi demo besar-besaran para buruh

7
pada tanggal 1 Mei 2006 yang lalu, berketepatan dengan Hari Buruh se-Dunia

Pemerintah menyiapkan ribuan personil aparat kepolisian. Buruh yang seharusnya

aset berharga malah kini dianggap sebagai ancaman yang berbahaya. Jika prinsip

keadilan diterapkan maka penyaluran distribusi kesejahteraan, hak yang harus

diterima pekerja semestinya diberlakukan. Hukum juga sering diputar balikkan.

Yang benar bisa jadi salah (tertuduh) dan yang salah jadi pemenang asal punya

uang, kuasa, pengaruh, serta relasi. Seharusnya semua orang sama tanpa

diskriminasi (perbedaan) dalam mmendapatkan perlakuan yang adil.

Dengan demikian maka pembelanjaran Ngawan terasa penting dilakukan

karena di dalamnya anak didik katekisasi (peserta) mulai membiasakan diri

berpikir dan bertindak dengan adil. Ikut aktif menaburkan benih-benih keadilan.

Lambat-laut pula generasi penerus kini dan nanti tentu akan memperlihatkan

suasana Kerajaan Allah dimanapun mereka berada. Adanya keadilan sebagai salah

satu wujud/tanda mulai baiknya nilai norma dan moral masyarakat. Tujuan yang

kedua berkaitan dengan cara dilakukannya akan diprogramkan oleh gereja setiap

tahunnya dan untuk peserta minimal harus sudah duduk pada kelas 1 Sekolah

Lanjutan Tingkat Atas. Kurikulum katekisasi berpatokan pada Pemahaman Iman

GBKP, sehingga pokok-pokok dalam pemahaman iman GBKP akan menjadi

Pokok Utama (PU) materi pengajaran katekisasi yang didukung oleh Tujuan

Kurikulernya (TK). Pokok Utama ini diterangi oleh Pokok Bahasan (PB) yang

mempunyai Tujuan Instruksional Umum (TIU) yang dijabarkan dalam Sub Pokok

Bahasan (SPB) yang juga mempunyai Tujuan Instruksional Khusus (TIK). Pada

akhir sub-pokok bahasan akan ada pertanyaan yang harus didiskusikan yang

8
berhubungan dengan pencapaian evaluasi serta dialog maupun kesaksian daripada

peserta katekisan.

Sedangkan perbedaannya berkisar terhadap metode, kurikulum,

Kualifikasi tenaga Pengajar, nama, serta jangka waktu atau lama belajar. Tujuan

yang ketiga berkaitan dengan dampak yang dirasakan peserta, dimana lebih

mengarah kepada pembentukan etika dan moral. Etika maupun moral yang baik

akan menjauhkan daripada perbuatan tercela, dimana perbuatan tercela adalah

perbuatan yang melanggar kesusilaan, melanggar hukum, orang yang lekas marah

dan yang melanggar kehendak Allah. Tindakan-tindakan tercela itu pada abad ke-

21 ini makin berkembang, baik frekwensinya maupun dalam ragamnya serta

intensitas tindakan-tindakan yang melanggar hukum. Kekerasan ditopang oleh

teknologi modern sehingga pelakunya tidak mudah mengidentifikasinya. Fitnah di

buat orang untuk tujusn politik, ekonomi dalam skala besar dan secara terbuka

melalui mas media, pidato maupun tulisan sehingga orang yang terkena sangat

dirugikan. Kemudian dalam mendapatkan kuasa dan kekayaan mendorong orang

juga mencari kepuasan duniawi seperti memakai narkotika dan melakukan seks

bebas di luar nikah. Banyak juga umat Kristen turut terlibat kepada tindakan-

tindakan tersebut karena uang, dimana mereka kebanyakan adalah orang yang

kehilangan kemampuan untuk menahan diri dan tidak mengetahui lagi apa yang

baik dan apa yang buruk.

1.3.2 Manfaat Penelitian

9
Berdasarkan apa yang sudah diprogramkan, maka pada intinya

Penelitian ini akan dilandaskan terhadap 2 (dua) aspek manfaat yang saling

berkaitan dan menunjang satu sama lain, dimana kedua hal itu merupakan sebuah

kesatuan yang utuh sehingga saling terkait antara satu dengan yang lainnya.

Kedua aspek itu yakni berlandaskan terhadap kegunaan akademik maupun

praktis terutama bagi pemecahan masalah atau problema yang ada di masyarakat.

Kegunaan pertama sangat terasa terutama bagi kita yang setiap harinya berusaha

buat memahami suatu fenomenal budaya melalui perpestif Antropologi maupun

perilaku masyarakat yang terus mengalami dinamika sesuai dengan realita dan

kebutuhan zaman. Pada hakikatnya, karena isu yang menarik dari topik ini adalah

masalah pengendalian perilaku yang sesuai dengan norma, sehingga secara

akademiksi penelitian ini sekiranya memberikan banyak kegunaan kepada mereka

yang sedang mengalami krisis jati diri. Secara faktual pula dapat diperhatikan

dalam kehidupan masyarakat maka telah terjadi banyak hal yang dulunya

dianggap begitu tabuh, namun sekarang merupakan hal yang lumrah untuk

dilakukan di masyarakat. Secara akademiksi pula kegunaan terhadap eratnya

hubungan antar manusia di dalam satu masyarakat yang sudah tersusun secara rapi

sedemikian rupa sebagaimana diharapkan mulai mengalami pergeseran dan

peralihan kepada hal-hal yang bersifat menyimpang, misalnya dalam penegakkan

terhadap hukum jadi yang mempunyai kuasa, maka dia yang akan diutamakan.

Pepatah ini pula dalam kaitan dengan topik penelitian yang diangkat mempunyai

korelasi secara timbal-balik, sehingga hal penting yang dapat disimpulkan yang

berlandaskan kepada manfaat praktis maka mempunyai pola hubungan yang

10
saling terkait satu dengan yang lain. Lazimnya, dalam mencapai tujuan kasih dan

pelayanan iman maka lembaga GBKP mencoba menerapkan beberapa cara praktis

yang dikembangkan melalui ajaran kasih dan teladan Kristus, sehingga mampu

menyentuh semua kalangan dari berbagai segi maupun golongan maka pada

akhirnya bentuk-bentuk pengendalian sosial yang disampaikan dapat menjadi

pegangan yang bersifat lunak maupun mudah dicerna baik dari generasi muda

sampai kepada yang lebih tua. Hal-hal ini biasanya berupa petuah-petuah ataupun

nasihat-nasihat yang tidak mengikat. Taraf selanjutnya adalah menerapkan

pengendalian sosial yang lebih ketat, yang kemudian begitu berguna buat

menghindari terjadinya ketidakmengertian daripada jemaat terutama pula untuk

memberikan penalaran yang bersifat membangun, benar maupun positif kepada

umat sehingga merekapun dapat merasa langsung kena dengan kehidupan pribadi

yang dialaminya dalam sikap dan kesehariannya.

1.4 Kerangka Teori dan Konsep

1.4.1 Kerangka Teori

Saat memikirkan dan merumuskan permasalahan ini maka ada satu hal

penting yang terlintas dalam benak, yakni perasaan sedih maupun prihatin

terhadap begitu banyak kekacauan yang semakin marak dan tidak dapat

dibendung lagi untuk kapasitas terjadinya di masyarakat. Dunia sudah semakin

terbalik karena apa yang seharusnya menjadi sakral dan disucikan, maka kini

dapat dinegosiasikan sesuai dengan kepentingan pribadi maupun golongan.

Perasaan saling berbagi dan cinta kasih pula mengalami banyak kemunduran serta

11
keterbelakangan, dimana karena zaman sudah semakin moderen maka tanpa sadar

telah menuntut umat manusia untuk bertindak sebagai pemangsa bagi sesamanya.

Hal ini berarti dalam era kekinian sekarang, maka semakin banyak dari anggota

masyarakat yang malah bertindak secara tidak adil terutama dengan

memanfaatkan kuasa atau jabatan yang dipunyainya untuk melakukan penekanan

terhadap sesamanya manusia. Berbekal sejumlah pengalaman dan simpulan

gagasan dari beberapa peluang diskusi yang dilakukan dengan para sahabat

mengenai “Menipisnya perasaan untuk peduli terhadap atuaran dan norma”,

yang seharusnya dinyatakan dengan mencintai, menjaga maupun mematuhi

atuaran yang sudah digariskan atau ditetapkan maka perihal inilah yang

memberikan motivasi kepada Penulis untuk mengangkat topik ini lebih lanjut

kepada forum ilmiah.

Melalui beberapa proses perenungan terutama dalam memberikan

keseimbangan pola pikir kepada materi, inti masalah yang akan diutarakan, serta

relevansi terhadap perkembangan zaman jadi Penulis telah memilih untuk

memakai teori penelaah dari Ruth Fulton Benedict tentang Teori Pola

Kebudayaan. Teori pola kebudayaan (pattern of culture) dapat disebut juga

sebagai teori konfigurasi kebudayaan, teori Mozaik kebudayaan, representation

collectives, atau teori Etos kebudayaan. Konfigurasi sebenarnya merupakan

rumusan yang sangat abstrak mengenai integrasi suatu kebudayaan dan

masyarakat (cita-cita dan pandangan hidup). Istilah pattern of culture (1934),

dimana sebenarnya diliris ke publik terutama untuk dapat menyajikan inti teori

tersebut secara lebih jelas dan mudah dimengerti orang. Tokoh-tokoh sosial

12
maupun Antropologi yang pernah menyinggung teori konfigurasi kebudayaan ini,

diantaranya yakni Edward Sapir dalam artikelnya “Culture, Genuine and Spurius”

(1924), dan “The Unconscious Patterning of Behaviour in Society” (1927). Pada

isi daripada kedua artikelnya ini maka beliau secara jelas mencoba memaparkan

bahwa dalam suatu konfigurasi yang utuh pula memiliki apa yang dinamakannya

dengan bayang-bayang (Danandjaja, 2005:36-41).

Perihal yang menyebabkan mengapa harus memilih teori ini karena

selain relevan dengan materi dan topik yang akan diangkat, maka titik tolak

lainnya yakni karena melihat bahwasannya tata kelakuan atau pola kebudayaan

yang dianut oleh etnis Karo yang sudah sejak dini telah mengarahkan anak-

anaknya supaya melakukan ibadah dalam setiap minggunya di GBKP. Tanpa

disadari maka lambat-laut hal ini telah menjadi sebuah kebiasaan ataupun perilaku

yang mengalami media pewarisan dari anak ke orang tua, sehingga harapan dari

orang tua supaya sang anak tetap bertahan serta tidak lupa terhadap budaya asli

Karo.

1.4.2 Konsep

13
Pada hakikatnya penelitian ini karena berkaitan dengan masalah

pengendalian sosial serta pengendalian sikap dan perilaku, maka secara nyata

cakupan data yang ditemukan pula akan dicoba dibatasi terhadap adanya

legitimilasi terhadap peranan norma-norma di dalam masyarakat. Pada awal

berdirinya gereja GBKP pula sudah diarahkan kepada lembaga masyarakat yang

berbentuk gereja yang bermanfaat dalam memberikan bimbingan maupun

semangat moril kepada jemaatnya, supaya dapat melakukan apa yang terbaik

dalam keseharian mereka sehingga kasih dan teladan Yesus Kristus akan semakin

tampak nyata pada kehidupan orang percaya. Menurut Soerjono Soekanto dalam

bukunya “Sosiologi sebagai suatu Pengantar”, maka ada 4 (empat) jenis bagian

norma-norma yang diakui di masyarakat dimana masing-masing daripada

unsurnya tentu akan mempunyai kekuatan mengikat yang berbeda-beda. Ada

norma yang peranannya lemah karena kurang mengikat serta adapula yang

mempunyai kekuatan daya ikat yang cukup tegas, sehingga pada umumnya

anggota-anggota dalam masyarakat akan sangat takut untuk melanggarnya. Secara

rinci lagi supaya dapat membedakan yang mana sebenarnya yang bersifat tidak

memaksa maupun memaksa maka secara sosiologis dikenal adanya empat

pengertian yang mengacu kepada kriteria dan bagian norma yang diakui dalam

kehidupan berbangsa, bermasyarakat maupun bernegara seperti tercantum di

bawah ini, yakni :

1. Cara (usage) lebih menonjol di dalam hubungan antar individu dalam

masyarakat. Suatu penyimpangan terhadapnya tak akan mengakibatkan

hukuman yang cukup berat, akan tetapi hanya sekedar celaan dari individu

14
yang dihubunginya. Misalnya dalam kasus kita bertemu dengan kerabat

maupun teman yang kebetulan baru dikenal, maka tentu saja untuk tiap

orang-orang pastinya mempunyai cara masing-masing untuk minum ataupun

sekedar melakukan komunikasi dan membuka suatu obrolan. Ada saja orang

yang minum tanpa mengeluarkan bunyi; serta ada pula yang mengeluarkan

bunyi sebagai pertanda rasa kepuasannya dalam menghilangkan kehausan

maupun dahaganya. Biasanya pada kaitannya dalam pengendalian sikap dan

perilaku memang terkandang terutama terasa sudah merupakan hal yang

lumrah, namun pasti ada dari sebagian orang yang berpikir bahwa cara

seperti itu merupakan hal yang tidak sopan serta kurang menghargai

keberadaan dari orang lain yang berada di sekitarnya. Secara faktual maka

cara ini akan diupayakan untuk lebih gencar diterapkan lembaga GBKP

dalam memacu keharmonisan hubungan jemaat dengan sesama manusia di

lingkungannya sehingga bukan hanya sekedar melakukan ibadah dan

rutinitas ibadah pada setiap minggunya, namun pertemuan itu sendiri

mempunyai makna dalam saling menguatkan satu dengan yang lainnya

terutama pada kehidupan yang sudah semakin terbalik serta tidak lagi

memperhatikan kaidah-kaidah yang berlaku dalam kehidupan masyarakat.

2. Kebiasaan (folkways) mempunyai kekuatan mengikat yang lebih besar

daripada hanya sekedar cara. Kebiasaan diartikan sebagai perbuatan yang

secara legitimilasi akan diulang-ulang dalam bentuk dan penyampaian yang

sama, dimana hal ini dilakukan untuk membuktikan bahwa banyak orang

menyukai perbuatan tersebut. Sebagai contoh dalam membawa cakrawala

15
berpikir memasuki ranah ini, tentu akan dijelaskan dengan adanya kebiasaan

dari masyarakat manapun di dunia dalam memberi hormat kepada orang lain

yang lebih tua daripadanya. Apabila perbuatan tadi tidak dilakukan, maka

akan dianggap sebagai suatu penyimpangan kepada kebiasaan umum dalam

masyarakat. Kebiasaan dalam memberikan tanda hormat kepada orang yang

lebih tua merupakan suatu kebiasaan yang tak dapat diganggu gugat lagi

karena hal itu merupakan bagian dari budaya Indonesia sebagai bangsa

Timur yang beretika dan bersopan santun yang baik. Menurut visi iman dari

GBKP maka pemikiran ini pula, selain dipakai dalam mengajarkan jemaat

untuk tetap menghormati orang yang lebih tua maka akan diupayakan

terutama untuk membiasakan jemaat dalam menghargai orang serta juga

dirinya sendiri. Jadi dengan demikian visi pembentukan perilaku dapat

dimanifestasikan pada bagian ini, karena dengan demikian maka setiap

orang akan lebih sayang terhadap dirinya dan juga kepada orang lain

sehingga tindakan-tindakan yang bisa merugikan serta membawa petaka

baik kepada pribadi maupun kelompok mampu dihindari secara bijak. Pakar

Mac Iver dan Page, juga pernah berkomentar mengenai kebiasaan yang

mengatakan bahwa kebiasaan merupakan perilaku yang diakui dan diterima

oleh masyarakat. Selanjutnya dikatakan bahwa apabila kebiasaan tersebut

tidak semata-mata, hanya dianggap sebagai sebuah cara dalam perilaku saja.

Akan tetapi akan diterima sebagai norma-norma pengatur yang mengacu

kepada tata kelakuan sebagai mores. Tata-kelakuan dalam prinsip GBKP

diarahkan supaya mencerminkan teladan Yesus yang mencerminkan pula

16
daripada wujud ideal kepada kasih dan kebaikan. Tata-kelakuan, di satu

pihak akan memaksakan suatu perbuatan dan di lain pihak pula

melarangnya, sehingga secara langsung merupakan alat agar anggota

masyarakat untuk menyesuaikan perbuatan-perbuatannya dengan tata

kelakuan yang dipakai dalam mengatur kehidupan masyarakat supaya lebih

teratur dan terkendali.

3. Konsep selanjutnya adalah tata kelakuan, dimana perihal ini berfungsi dalam

memberikan batasan-batasan kepada perilaku individu dan

mengindentifikasi individu dengan kelompoknya. Artinya bahwa

kesemuanya itu bertujuan dalam menjaga solidaritas antar anggota

masyarakat. Suatu contoh adalah tindakan-tindakan yang menyimpang,

misalnya melakukan kejahatan. Pastinya akan memberikan sanksi atau

berupa hukuman terutama bermaksud supaya mereka mampu untuk

menyesuaikan tindakan-tindakannya dengan tata kelakuan yang berlaku

dalam masyarakat. Sebaiknya sewaktu-waktu tentu pula ada saja orang yang

mau bertindak untuk memberikan teladan, sehingga sebagai bentuk

kebanggaan terhadap individu yang bersangkutan maka biasanya

dihanturkan ucapan terima kasih dari masyarakat bersangkutan. Sesuai

dengan visi dan misi lembaga GBKP yang tetap memberikan motivasi serta

semangat pantang menyerah kepada jemaat, maka tata kelakuan yang selalu

diterapkan yakni menjaga keutuhan dan kerja sama antara sesama apapun

latar belakang suku serta budayanya karena pada dasarnya semua orang

adalah sama yang serupa dengan citra Kristus.

17
4. Kriteria selanjutnya yang dirasa perlu untuk dijelaskan dalam tataran

konsep, yakni tata kelakuan yang kekal serta kuat integrasinya dengan pola-

pola perilaku masyarakat terutama yang identik terhadap masalah custom

atau adat-istiadat. Pastinya anggota masyarakat yang dengan sengaja atau

tanpa sengaja dalam melanggar adat-istiadat maka harus bersiap dengan

sekumpulan sanksi yang cukup tegas yang kadang-kadang secara tidak

langsung akan diperlakukan. Pada kaitannya dengan suatu jenjang menuju

kedewasaan yang biasanya selalu diberlakukan oleh lembaga GBKP dalam

bagian pelayanannya kepada anggota jemaat, maka dalam masa peralihan

dari anak remaja menuju ke dewasa tentu ada suatu tradisi belajar yang

disebut sekolah Ngawan atau Sidi. Hal ini telah dilakukan sebagai sebuah

tradisi yang terutama dilakukan kepada seorang individu supaya siap

memasuki masa dewasa yang mulai harus berpikir mandiri dan tidak

kekanak-kanakan lagi. Memang biasanya pengajaran ini kurang bersifat

memaksa seperti jalur pendidikan formal, tetapi tergantung sejauh mana

kesiapan dari sang anak. Namun pada umumnya banyak para orang tua

terutama dari kalangan suku Karo akan menganggap penting mengenai hak

ini, sehingga apabila usia anak sudah dilihat cukup siap dan mantang maka

dengan tanpa banyak tanya lagi mereka pastinya akan mengarahkan buah

hatinya untuk ambil bagian di dalamnya. Biasanya proses pengajaran

Ngawan dilakukan antara kurung waktu 6 bulan sampai dengan 1 tahun

lamanya, tergantung dari kebijakan pengurus majelis masing-masing di

setiap runggun GBKP. Pada kalangan orang-orang Indonesia pada

18
umumnya, juga terdapat suatu kepercayaan bahwa kehidupan terdiri dari

beberapa tahap yang harus dilalui dengan seksama. Jadi apabila seseorang

menginjak tahap berikutnya, biasanya diadakan upacara-upacara khusus

diantaranya seperti upacara perkawinan dan potong gigi serta rambut bayi

yang baru tumbuh pada adat Jawa. Diambil berupa gagasan pemikiran dari

review dan intisari materi norma-norma masyarakat dalam buku “Sosiologi

suatu Pengantar” (Soekarto, 1999: 219-226).

1.5 Model

Lembaga GBKP sebagai mediasi kontrol sosial

19
Masyarakat suku atau etnis Karo

Wawasan menuju Kedewasaan atau Ngawan

Teori Kebudayaan dari Ruth Benedict, dalam


kaitannya dengan kebiasaanorang Karo yang pada
peralihan usia anak dari remaja ke dewasa selalu
akan mengalami proses belajar yang disebut
Ngawan

Persekutuan kategorial
Mamre dan Moria dan Kategorial Pemuda
KA/KR

Fungsi integrasi dan kekompakan yang diwujudkan


dalam saling membangun serta mendorong
pertumbuhan kasih yang mengalah kepada teladan
sikap Kristus

Komunikasi dua arah yang baik, sehingga setiap


problem maupun masalah yang terindentifikasi serta
menghambat pertumbuhan iman atau kasih mampu
dipecahkan dan diselesaikan secara mufakat

Respon (Partisipasi) dalam proses pembentukan


Karakter

1.5.1 Penjelasan Model

20
Bagan di atas berusaha untuk memberi asumsi mengenai budaya Karo

yang saling timbak-balik dengan kehidupan gereja dan masyarakatnya, dimana

peran sekolah Ngawan akan mengambil bagian yang cukup signifikan untuk

membentuk karakter individu menjadi unggul serta bertanggung jawab. Adanya

konfigurasi atau pola berupa komunikasi dua arah dari setiap lembaga kategorial

gereja baik Mabre (Bapak), Moria (Ibu), Permata (Pemuda), maupun KA/KR pula

secara nyata telah membantu dalam menyelesaikan problem dan berbagai masalah

yang ditemui secara musyawarah dan mufakat. Rasa saling membangun dan

mendorong pertumbuhan iman dan kasih merupakan bagian dari respon atau

partisipasi anggota jemaat dalam pembentukan norma maupun tata kelakuan yang

sesuai dengan teladan Kristus. Jadi dapat dilukiskan bahwa tipe-tipe temperamen

tersebut dapat dikategorikan dalam konfigurasi dominan. Mayoritas dari orang-

orang dalam segala masyarakat tentu akan berbuat sesuai dengan tipe dominan

dari masyarakatnya. Hal ini merupakan penyebab dari temperamen mereka

terkandang dapat meledak karena hal yang dianggap mustahil untuk terjadi

misalnya, perasaan haru ataupun marah saat orang di dalam kelompoknya

mengalami kejadian tertentu. Perhatian majelis maupun struktur kategorial

terhadap pentingnya melakukan pengendalian terhadap perilaku pemuda karena

melihat perkembangan dunia yang sudah semakin terbalik dan tidak lagi

memperhatikan norma maupun tata kelakuan yang santun, pada akhirnya sepakat

untuk menjadikan bantuan atau media gereja untuk menyampaikan kabar baik

berupa keselamatan dan teladan Kristus. Sehingga pemuda-pemudi dapat berjalan

dalam terang serta kasih Kristus. Fungsi integrasi dan kekompakan yang

21
diwujudkan dalam saling membangun serta mendorong pertumbuhan kasih yang

mengalah kepada teladan sikap Kristus inilah yang menjadi slogan dari GBKP,

terutama untuk memberi contoh yang baik supaya setiap orang mampu melakukan

yang terbaik dalam menjalani kehidupannya di dunia.

1.6 Metode Penelitian

1.6.1 Lokasi Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan pada GBKP (Gereja Batak Karo

Protestan), yang bertempat pada Jalan Raya Pamogan No. 237 Suwung Kauh-

Denpasar Selatan. Singkatnya lokasi ini merupakan tempat beribadah dari penulis

pada setiap minggunya, sehingga dirasa sangat memudahkan dalam proses

memperoleh maupun mengolah data. Selain itu penulis juga merupakan bagian

dari kelompok Pemuda dalam gereja yang selalu mendapat arahan maupun

bimbingan yang positif, sehingga dapat melakukan yang terbaik dari apa yang

bisa dilakukan dan sampai hari ini mampu menjalani kegiatan serta rutinitas

pribadi maupun kampus dengan baik dan tanpa ada sesuatu hal buruk yang

memberi hambatan. Permasalahan ini juga terakhir dari beberapa kesempatan

diskusi dan obrolan kecil yang dilakukan Penulis dengan sesama pemuda-pemudi

gereja sesudah proses ibadah selesai. Melalui kesempatan perbincangan dan tutur

kata yang dilakukan, maka topik keprihatinan dari pemuda-pemudi GBKP

terhadap generasi penerus bangsa yang sudah semakin mengalami kemerosotan

terhadap moral sehingga kebanyakan malah merusak diri sendiri serta melakukan

beberapa hal buruk yang begitu merugikan kehidupan bangsa maupun negara,

22
dimana kesemuanya merupakan akibat dari kemajuan dan perkembangan ilmu

pengetahuan maupun teknologi yang tidak dilakukan proses penyaringan terlebih

dahulu sebelum diputuskan untuk diterima.

Adapun jumlah generasi muda yang dinamakan Permata dapat dibagi ke

dalam dua sektor yakni sektor Denpasar dan Bukit. Pada data Permata 2010

menunjukkan ada sekitar 43 orang terdaftar pada sektor Denpasar dan 20 orang

pada sektor Bukit, dimana anggota kebanyakan adalah masih berstatus mahasiswa

dan sebagian lagi ada yang bekerja. Susunan Kepengurusan Permata Runggun

GBKP Denpasar tahun 2009-2011 terdiri dari beberapa bidang antara lain Bidang

umum, Bidang Pembinaan, Bidang Konsolidasi, Bidang Partisipasi, maupun

Bidang Keuangan. Pada intinya setiap bidang mempunyai tugas dan kewajiban

masing-masing sesuai dengan tata tertib musyawarah anggota terutama

bermanfaat dalam pembentukan Karakter yang unggul dan mandiri.

1.6.2 Jenis dan Sumber Data

23
Jenis data yang dipergunakan dalam penyusunan karya tulis merupakan

data kualitatif dan kuantitatif, dimana ada data yang berwujud dalam bentuk

informasi (kata-kata) yang terangkai sedemikian rupa berupa paparan deskripsi

naratif tentang kajian penelitian yang akan ditunjang oleh data angka untuk

memperkuat realitas daripada fenomena. Sumber data dibagi ke dalam dua

macam, dimana bersifat primer maupun sekunder. Data primer bersumber dari

berbagai kesempatan pengamatan serta wawancara terhadap bebarapa narasumber

di lembaga GBKP selama masa Penelitian berjalan, sedangkan data sekunder

lebih banyak diperoleh dari melihat dan membaca literatum mengenai berbagai

macam pengendalian sosial yang dilakukan untuk membina perilaku seseorang

menjadi lebih baik dan berguna bagi kepentingan banyak orang, serta beberapa

sumber telaah pustaka terkait dengan inti permasalahan dalam pembuatan hasil

akhir guna mempertajam analisis pada sub-sub bahasan yang akan dibahas dan

dicari solusi serta penyelesaiannya di lapangan penelitian.

1.6.3 Teknik Pengumpulan Data

Beberapa metode atau cara pengumpulan data yang dipakai dalam

menemukan hasil data-data yang relevan dan dapat dipertanggungjawabkan

kebenarannya,
kebenarannya, maka Penulis akan didasari atas tahapan-tahapan
tahapan-tahapan mendasar dalam

melakukan penelitian kepada ilmu-ilmu budaya yang bersifat ilmiah yang dapat

diuraikan sebagai berikut :

1. Observasi (Pengamatan)

24
Pengamatan merupakan teknik pengumpulan data dengan melaksanakan

observasi langsung terhadap obyek penelitian berupa resistensi keseimbangan

maupun sejauh mana daya nalar anggota jemaat dalam merespon dan menerima

apa yang telah disampaikan, berkaitan dengan pembentukan sikap dan perilaku

yang sesuai dengan norma maupun tata kelakuan yang berlaku.

2. Metode Wawancara

Wawancara merupakan teknik pengumpulan data dengan cara menanyakan

sesuatu kepada seorang responden. Caranya adalah dengan bercakap-cakap secara

tatap muka. Teknik bertanya dalam wawancara sendiri dapat dikategorikan ke

dalam dua golongan besar, yakni ada yang disebut dengan wawancara berencana

(standardized interview), dan wawancara tanpa rencana (unstandardized

interview). Saat terjun langsung ke lapangan terlebih dahulu penulis melakukan

penyusunan terhadap daftar pertanyaan yang akan ditanyakan kepada responden

yang disasar, dimana kesemuanya itu merupakan syarat utama yang harus

dipenuhi sebelum melaksanakan wawancara berencana. Sehingga dalam pola

seleksi data pun didasarkan kepada proses yang sangat mantang dan berencana.

Perlu diketahui pula dalam mengajukan daftar pertanyaan kepada semua

responden yang telah dipilih untuk ditanya maka secara berkala menggunakan

daftar pertanyaan yang seragam yang dilengkapi pula dengan bahasa dan Tata

Unit yang seragam. Hal ini dilakukan terutama untuk mencegah terjadinya

kemungkinan besar kalau respons yang diperoleh tidak mempunyai nilai seragam

sehingga menjadi sukar untuk diperbandingkan satu sama lain. Wawancara

25
berencana, dalam prakteknya hampir sama dengan kuesioner yang diajukan

kepada informan secara lisan. Wawancara berencana pula sangat sering

dipergunakan untuk kepentingan penelitian dalam ilmu Psikologi. Tujuannya

adalah untuk mengukur tentang pendapat umum ataupun kerapkali dipakai dalam

disiplin sosiologi sebagai indikator pada hal yang bersifat komparatif

(Koenijaraningrat, 1977b: 162-174). Seperti halnya yang diterapkan kepada para

anggota jemaat GBKP sebagai contoh kecil dari komunitas masyarakat Republik

Indonesia, pada umumnya dalam memperoleh informasi akurat, tajam serta

terpercaya dan mampu dipertanggungjawabkan pada forum ilmiah terutama

berkisar mengenai fakta terkait mengenai topik Penulisan (Danandjaja, 2005: 95-

97).
97).

3. Kajian Pustaka

Kajian Pustaka merupakan teknik pengumpulan data dengan mengumpulkan

sumber-sumber tertulis yang relevan dengan topik penulisan dari sumber literatum

buku, media cetak, maupun jurnal yang dikeluarkan oleh kampus dan Yayasan

Guna Widya Fakultas Sastra Unud.

1.6.4 Analisis Data

26
Dalam menunjang metode pendekatan yang telah ditentukan dalam

mencari serta menemukan data yang valid dan akurat, maka mau tidak mau harus

dilaksanakan analisis secara mendalam dan bersifat Kualitatif (qualitatif data

analysis). Analisis data merupakan proses menelaah seluruh hasil tangkapan data

yang telah tersedia dan diperoleh melalui pengamatan, wawancara, pencatatan,

perekaman, dokumentasi, dan sebagainya (Maleong 1990: 190). Akhirnya setelah

semuanya tuntas maka data yang telah terkumpul baik yang diperoleh dari kajian

pustaka maupun observasi selanjutnya lalu kemudian akan di analisis lagi sesuai

dengan teknik analisis yang deskriptif kualitatif yang bertujuan untuk

mendapatkan pembahasan lebih mendalam dan komprehensif.

Selain itu karena penelitian ini bernuasa budaya, maka dalam melakukan

analisis terhadap data atau fakta yang ditemukan di lapangan tentu akan bertitik

tolak kepada pendekatan yang holistik dan menyeruluh. Artinya bahwa dari setiap

hasil tuangan data tentu akan diperoleh sebuah fakta dan kejelasan yang mengarah

kepada kesatuan yang utuh, dimana dari kesemuanya akan menghasilkan suatu

simpulan yang dianggap sebagai sebuah solusi dalam memecahkan masalah yang

ada. Dengan demikian maka nantinya memang apa yang telah dihasilkan dari

penelitian ini memang mampu berguna dan bermanfaat, terutama terhadap

tumbuh berkembangnya moral dan pengendalian sosial yang baik dimana di

dalamnya ada sikap maupun perilaku yang mampu menyesuaikan diri dengan

keadaan serta sesuai dengan aturan dan norma yang berlaku sehingga tindakan

yang melanggar hukum dan tidak bertanggung jawab mungkin akan dapat

ditekan.

27
DAFTAR PUSTAKA

Moderamen Gereja Batak Karo Protestan (GBKP). Buku Katekisasi. Kabanjahe,


Sumatera Utara, 2007.
Koentjaraningrat.1987. Sejarah Teori Antropologi. Universitas Indonesia, Jakarta.
Koentjaraningrat. Pengantar Antropologi. Jakarta: Penerbit Universitas, 1965.
Koentjaraningrat. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta : Penerbit Dian
Rakyat, 1967.
Soerjono Soekanto dan Heni Tjandrasari. J.S. Roucek. Pengendalian Sosial.
Jakarta: Rajawali, 1986.
Soerjono Soekanto dan Ratih Lestarini. Howard S. Becker. Sosiologi
Penyimpangan. Jakarta: Rajawali, 1988.

Soerjono Soekanto, Sosiologi, Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali, 1989.


Soerjono Soekanto, Memperkenalkan Sosiologi, Jakarta : Rajawali, 1988.

DANANDJAYA, James. 2005. Antropologi Psikologi : Kepribadian Indivindu

dan Kolektif. Lembaga Kajian Budaya Indonesia, Jakarta.

Peursen, C.A. van. 1988. Strategi Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.

28

You might also like