You are on page 1of 10

ANALISIS DAMPAK DIKELUARKANNYA PERATURAN PEMERINTAH

PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2009


TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 2008
TENTANG PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT,
DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT
DAERAH; DIKAITKAN DENGAN PASAL 22 UNDANG-UNDANG DASAR REPUBLIK
INDONESIA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG
PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Pendahuluan

Latar Belakang
Indonesia telah sukses menyelenggarakan Pemilihan Umum secara demokratis di tahun 2009
salah satunya adalah Pemilihan Umum Anggota Dewan Perewakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Dimana dalam Pemilu Tahun 2009 seluruh
rakyat dapat berpartisipasi langsung dalam menentukan pilihannya. Salah satunya Ketentuan
tentang pemilihan umum tersebut telah diatur dalam UU Nomor 10 tahun 2008.

Dalam perkembangan pelaksanaan Pemilu tahun 2009 terdapat beberapa permasalahan yang
diatur berbeda dalam UU Nomor 10 Tahun 2008. Beberapa permasalah tersebut yaitu mengenai
Daftar Pemilih Tetap (DPT) dan Tata Cara Penandaan Surat Suara. Komisi Pemilihan Umum
selaku penyelenggara Pemilihan Umum meminta kepada Presiden untuk mengeluarkan Perpu
sehingga dapat mengubah beberapa Pasal dalam UU Nomor 10 Tahun 2010 untuk menakomodir
permasalahan ini dan menjadi payung hukum sehingga tidak terjadi permasalahan dikemudian
hari.

Dengan adanya Perpu Nomor 1 Tahun 2009 yang pada akhirnya dikeluarkan oleh Presiden,
maka KPU dapat dapat melakukan penyempurnaan DPT dengan melakukan penambahan data
pemilih yang sudah tercatat namun belum dimasukan dalam DPT. Hal ini pun berdampak kepada
masyarakat yang sebelum tidak tercantum dalam DPT sementara dapat tercantum dalam DPT
resmi.
Identifikasi Masalah?
1. Bagaimana status Perpu tersebut berdasarkan UU Nomor 10 tahun 2004?
2. Apakah sudah sesuai dikeluarkannya Perpu tersebut bila dikaitkan kedalam Pasal 22
UUD?
3. Bagaimana Pengesahan Perpu tersebut oleh DPR?
Tinjauan Pustaka

Dalam Pasal 22 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia merupakan dasar hukum dapat
dikeluarkannya suatu Perpu, Pasal tersbut berbunyi :
(1) Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan
pemerintah sebagai pengganti undang-undang.
(2) Peraturan pemerintah itu harus mendapatkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat
dalam persidangan yang berikut.
(3) Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut.

Kemudian kedudukan Perpu ini diperjelas dengan adanya UU No 10 Tahun 2004 dalam pasal 1
angka (4) :
“Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-undangan yang
ditetapkan oleh Presiden dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa.”

Dalam UU Nomor 10 tahun 2004, menyatakan tentang jenis dan hierarki peraturan perundang-
undangan dalam Pasal 7, yang dirumuskan sebagai berikut:

(1)   Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut:


a.    Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b.    Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
c.     Peraturan Pemerintah;
d.     Peraturan Presiden;
e.    Peraturan Daerah.
Dijelaskan dalam Pasal 7 ayat (1) bahwa perpu mempunyai kedudukan setingkat dengan
Undang-Undang. Tetapi dalam pelaksanaan suatu Perpu tetap harus memperhatikan Pasal 25,
dimana suatu Perpu tetap harus diajukan kepada DPR.

Dan Pasal 25 :
(1) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang harus diajukan ke Dewan Perwakilan
Rakyat dalam persidangan yang berikut.
(2) Pengajuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan dalam bentuk pengajuan rancangan undang-undang tentang
penetapan peraturan pemerintah pengganti undang-undang menjadi undang-undang.
(3) Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ditolak Dewan Perwakilan
Rakyat, maka Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tersebut tidak berlaku.
(4) Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ditolak Dewan Perwakilan
Rakyat, maka Presiden mengajukan rancangan undang-undang tentang pencabutan
peraturan pemerintah pengganti undang-undang tersebut yang dapat mengatur pula
segala akibat dari penolakan tersebut.
Dalam UUD dan UU Nomor 10 Tahun 2004, secara jelas sudah disebutkan bahwa presiden
dapat menetapkan suatu Perpu, tetapi dengan syarat-syarat yang telah dijelaskan dalam Pasal 25,
Dapat dikatakan Perpu hanyalah peraturan sementara atau dianggap suatu rancangan Undang-
Undang yang tetap harus diajukan kepada DPR.

Berdasarkan ketentuan diatas maka dapat disimpulkan yang menjadi syarat utama penetapan
suatu Perpu oleh Presiden yaitu adanya suatu keadaan ihwal kegentingan yang memaksa.
Mengenai ihwal kegentingan yang memaksa tidak dijelaskan lebih lanjut baik dalam penjelasan
Undang-Undang Dasar maupun Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004.

Hal Ihwal Kegentingan yang Memaksa


Sampai saat ini tidak ada ukuran yang jelas mengenai batasan dari kegentingan yang memaksa
yang dapat menjadi alasan dikeluarkannya suatu perpu. Menurut Prof. Ismail Sunny1 mengenai
keluarnya suatu Perpu dapat diartikan keadaan darurat, lebih dari itu tidak ada. Namun
pemerintah bisa mengartikannya hal tersebut secara luas, dan dalam Hukum Tata Negara
keadaan darurat jelas pengertiannya luas sekali.

Bila melihat kembali sejarah ketatanegaraan Republik Indonesia, hampir sebagian besar Perpu
dikeluarkan oleh Presiden pada saat negara berada dalam posisi darurat
(noodsverordeningsrech).

1
http://irwan214.blogspot.com/2009/08/hal-ihwal-kegentingan-memaksa-dalam.html
Menurut Prof Bagir Manan2 dalam kuliah umumnya, ada beberapa kriteria dari Perpu:
1) Hal ikhwal kegentingan yang memaksa harus didefinisikan secara tegas sebagai alasan
dikeluarkannya suatu Perpu. Syarat hal ikhwal kegentingan yang memaksa itu, apabila
 Ada peristiwa konkrit yang tidak bias dibatasi menurut peraturan yang ada
(prosedur hukum yang biasa). Contoh, terjadinya bencana alam, ada undang-
undang yang tidak siap untuk dilaksanakan, dan lain-lain.
 Ada ancaman yang nyata.
 Negara dalam keadaan darurat, misalnya perang, kerusuhan, krisis ekonomi. Pada
intinya harus ada ukuran mengenai hal ikhwal kegentingan yang memaksa.
2) Lingkup yang dapat diatur oleh Perpu hanya mencakup di bidang administrasi Negara
(eksekutif) tidak boleh menyangkut legislative ataupun yudikatif.

Pembahasan
2
Kuliah Umum IPU 25 Mei 2010 FH UNPAD
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 merupakan UU Organik3, karena melaksanakan secara
tegas perintah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 22A yang
menyatakan bahwa ketentuan mengenai tata cara pembentukan undang-undang diatur
denganundang-undang. Dalam Perpu Nomor 1 Tahun 2009, sudah merupakan hak Presiden
dalam mengeluarkan ketentuan tersebut. Hal ini secara jelas diatur dalam UUD maupun UU
Nomor 10 Tahun 2004.

KPU selaku penyelenggara Pemilihan Umum, membutuhkan suatu ketentuan baru untuk
menyelamatkan Daftar Pemilih yang belum terdaftar maupun ganda. Kemudian KPU melihat
minimnya pengetahuan masyarakat mengenai tata cara pemilihan, apabila ketentuan dalam UU
Nomor 10 Tahun 2008 tidak diubah, dikhawatirkan akan membuat banyak surat suara yang tidak
sah yang akan mempengaruhi jumlah perhitungan.

Untuk merevisi suatu Undang-Undang tidak-lah mudah dan cepat, sedangkan kondisi
perkembangan pelaksanaan Pemilu tahun 2009 terdapat beberapa permasalahan. KPU kemudian
meminta kepada Presiden untuk menetapkan peraturan mengenai Daftar Pemilih Tetap dan Tata
Cara Pemilihan. Perpu Nomor 1 Tahun 2009 hanya merupakan tambahan dari UU No 10 tahun
2008 yaitu penambahan pada pasal 47 dan pasal 176. Apakah hal ini merupakan suatu keadaan
yang masuk dalam katagori hal ikhwal kegentingan yang memaksa?

Menurut Prof Bagir Manan4, Hal ikhwal kegentingan yang memaksa adalah keadaan yang
darurat (emergency). Didalam UUD 1945, UUDS 1950, tidak pernah menjelaskan apa yang
dimaksud dengan hal ikhwal kegentingan yang memaksa. Sehingga penafsiran ini sepenuhnya
merupakan kekuasaan presiden, yakni kebebasan presiden dalam menentukan apakah suatu
keadaan itu genting atau tidak (discretion).

Didalam hukum (Hukum Administrasi Negara), kebebasan ini yang disebut sebagai Freis
Ermessen dalam bidang pemerintahan. Dibidang wetgeving/kekuasaan legislatif, kebebasan ini

3
http://www.legalitas.org/incl-php/buka.php?d=art+4&f=uup3.htm
4
Kuliah Umum, 25 Mei 2010
termasuk hal yang tidak biasa. Karena harusnya Perpu sebagai pengganti undang-undang adalah
kewenangan DPR sebagai fungsi legislatif (menurut Prof. Bagir Manan).

Menurut Mardiyanto (Mendangri)5, Lahirnya Perpu Nomor 1 Tahun 2009, yakni semata-mata
untuk mensukseskan pelaksanaan pemilihan umum (Pemilu) yang kurang 37 hari lagi. Selain itu,
juga untuk menyelamatkan dan melindungi suara rakyat. Dengan harapan, jangan sampai banyak
terjadi suara rakyat banyak dianulir dan yang sudah tidak terdaftar tidak bisa ikut pemilu.

Pemerintah sangat menjaga makna demokrasi dalam Pemilu 2009, Dalam UU Nomor 10 tahun
2008, diatur secara berbeda keadaan rekapitulasi DTP yang tidak sesuai dan Tata Cara Pemilihan
yang dikhwatirkan dapat menyebabkan banyak suara menjadi tidak sah merupakan suatu
ancaman yang dapat menganggu makna demokrasi di Indonesia yang dapat mengambil hak
rakyat untuk memilih.

Dengan banyak Partai Politik yang berpartisipasi dalam Pemilu 2009, merupakan suatu ancaman
yang nyata apabila masyarakat tidak dapat memilih partai yang dikehendakinya dikarenakan
namanya tidak tercantum dalam DPT akibat salah pemasukan dalam rekapitulasi data. Kemudian
sebagian Partai Politik yang pada tahun sebelumnya sudah mempunyai kursi di legeslatif
kahwatir pula, bila para calon pemilih yang akan memilih mereka kemungkinan dapat
mencontreng tidak sesuai dengan yang diatur dalam UU Nomor 10 tahun 2008, sehingga Partai
Politik akan kehilangan peluang lolos dalam pemilu 2009.

Presiden sebagai penanggung jawab Pemilu harus mengambil langkah-langkah yang tepat untuk
menjaga agar legitimasi Pemilu 2009 tidak menjadi persoalan atau digugat dikemudian hari.
Baik menurut UUD maupun UU Nomor 10 Tahun 2004, Perpu tetap harus mendapat persetujuan
dari Dewan Perwakilan Rakyat. Perpu Nomor 1 Tahun 2009, diajukan beberapa bulan sebelum
Pemilihan Umum berlangsung, Perpu ini dibuat dalam waktu yang sangat singkat, sedangkan
pada saat itu DPR akan memasuki masa resses yang akan memungkinkan Perpu tersebut tidak
sempat memperoleh persetujuan dari DPR.

5
http://.kompas.com/read/2009/03/02/22433638/Pemerintah.Pasrah.Perpu.Contreng.Tanpa.Pengesahan.
Dalam pengajuan Perpu Nomor 1 Tahun 2009, Pemerintah melalui Mendangri dan DPR
melakukan pembahasan terhadap Perpu tersebut pada saat sidang panipurna sebelum masa
resses. Terdapat berbagai pandangan mengenai Perpu Nomor 1 Tahun 2009, apakah tetap akan
diajukan/dibahas dalam sidang parnipurna atau tidak akan dibahas. Perbedaan pendapat yang
terjadi sudah masuk kedalam ranah politik. Menurut fraksi di DPR yang setuju, Perpu ini keluar
untuk mencegah terjadinya kerisauan politik dan untk mencegah tidak terpenuhinya persyaratan
pemilu yang demokratis. Sedangkan Fraksi yang tidak setuju, berpendapat Perppu Nomor 1/2009
tidak memenuhi syarat substansi penerbitan Perppu sebagaimana dimaksud dalam UUD 19456.

Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas UU Nomor 10 Tahun 2008
tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD akhirnya disetujui melalui voting dalam Rapat
Paripurna DPR7. Dengan hasil 186 orang menerima, 67 orang menolak, dan 10 orang
menyatakan abstain. Perpu tersebut telah diterima oleh DPR, sedangkan untuk menjadi RUU
akan dibahas dalam sidang parnipurna selanjutnya.

Penutup

6
http://www.dpr.go.id/id/berita/komisi2/0000/00/00/289/mayoritas-fraksi-dpr-setujui-perpu-nomor-12009-
dibawa-ke-paripurna
7
http://www.dpr.go.id/id/berita/bamus/0000/00/00/306/perpu-nomor-1-disetujui-melalui-voting
Perpu Nomor 1 Tahun 2009 yang mengatur tentang perubahan beberapa Pasal dalam UU Nomor
10 Tahun 2008, merupakan Peraturan yang dikeluarkan presiden berdasarkan pertimbangan
demokratis. Mengenai masalah hal ihwal kegentingan yang memaksa yang tidak diatur mengenai
batasannya, membuat penafsiran ini sepenuhnya adalah merupakan kekuasaan presiden, yakni
kebebasan presiden dalam menentukan apakah suatu keadaan itu genting atau tidak (discretion).

Presiden menganggap bahwa dengan tidak benarnya rekapitulasi DPT akan merugikan hak suara
masyarakat, selain itu di sisi politik tata cara pemilihan umum yang tidak jelas sangat
mengkhawatirkan jumlah suara yang akan diperoleh partai politik. Sehingga dengan adanya
masalah yang dapat merugikan banyak pihak, unsur kegentingan yang memaksa dapat
dimasukan dalam keluarnya Perpu Nomor 1 tahun 2009.

Perpu Nomor 1 Tahun 2009, tetap diajukan kepada DPR untuk disetujui agar tidak akan timbul
masalah hukum dikemudian hari. Dikarenakan Perpu ini diajukan beberapa saat sebelum masa
resses DPR tiba, Pengesahan Perpu ini untuk diajukan ke Sidang Parnipurna dalam
pengajuannya sebagai suatu RUU dilakukan pada rapat parnipurna sebelum masa resses dengan
menggunakan votting.

Dalam pelaksanaannya pembuatan Perpu Nomor 1 Tahun 2009 menurut pendapat saya sudah
sesuai dengan apa yang diatur dalam UUD maupun UU.

Daftar Pustaka

You might also like