You are on page 1of 16

a

MAJIKAN BARU

eBook oleh Nurul Huda Kariem MR.


nurulkariem@yahoo.com
MR. Collection's

MATSUSHITA KAHEI berasal dari Provinsi Enshu. la putra samurai desa, dan
menjadi pengikut marga Imagawa, dengan tempat tinggal di Suruga dan
gaji tetap sebesar tiga ribu kan. la penguasa benteng pertahanan di
Zudayama dan pengurus kepala pos penghubung di Jembatan Magome. Di
masa itu Sungai Tenryu dibagi menjadi Tenryu Besar dan Tenryu Kecil.
Kediaman Matsushita berada di tepi Tenryu Besar, beberapa ratus meter
sebelah timur Zudayama.
Pada hari itu Kahei sedang dalam perjalanan pulang dari Benteng
Hikuma, tempat ia mengikuti rapat dengan sesama pengikut Imagawa. Para
pejabat provinsi bertemu secara berkala untuk memperketat pengawasan
terhadap rakyat dan berjaga-jaga terhadap serbuan marga-marga tetangga:
Tokugawa, Oda, dan Takeda.
Kahei membalikkan badan di atas pelana, dan memanggil salah satu dari
ketiga orang yang menyertainya, "Nohachiro!"
Laki-laki yang menyahut memelihara jenggot dan membawa tombak
panjang. Taga Nohachiro berlari menyusul kuda majikannya. Mereka sedang
menyusuri jalan antara Hikumanawata dan perahu tambang di Magome.
Pohon-pohon tumbuh di kedua sisi jalan, dan di balik pepohonan terlihat
pemandangan sawah dan ladang yang menyenangkan.
"Dia bukan petani, dan tampangnya bukan seperti peziarah," Kahei
bergumam.
Nohachiro mengikuti garis pandang Kahei. Ia mengamati kuningnya
bunga-bunga moster, hijaunya gandum, dan air dangkal di persawahan, tapi
ia tidak melihat siapa-siapa.
"Apakah ada sesuatu yang mencurigakan?"
"Ada laki-laki di sebelah sana, di pematang sawah itu. Sepintas mirip
burung bangau. Sedang apa dia, menurutmu?"

117
Nohachiro melihat sekali lagi, dan ternyata memang ada orang yang
membungkuk di pematang.
"Selidiki apa yang sedang dilakukannya."
Nohachiro menyusuri jalan setapak sempit. Berdasarkan peraturan yang
berlaku di semua provinsi, segala sesuatu yang tampak mencurigakan harus
segera diselidiki. Para pejabat provinsi sangat peka terhadap perbatasan
mereka serta penampilan orang asing.
Nohachiro kembali dan memberikan laporannya, "Dia mengaku sebagai
penjual jarum dari Owari. Dia memakai baju luar berwarna putih yang
sudah kusam. Itulah yang mengingatkan Tuan pada burung bangau. Dia
anak kecil dengan muka mirip monyet."
"Ha ha! Bukan bangau atau gagak, tapi monyet, heh?"
"Dan banyak omong, lagi. Dia suka mengumbar kata-kata besar. Waktu
hamba menanyainya, dia berusaha memutarbalikkan semuanya. Dia bertanya
siapa majikan hamba, dan waktu hamba menyebut nama Tuan, dia berdiri
tegak dan memandang ke sini dengan cara yang berani sekali."
"Kenapa dia berdiri membungkuk tadi?"
"Dia bercerita bahwa dia akan bermalam di salah satu losmen di
Magome, dan bahwa dia sedang mengumpulkan keong untuk dimakan
nanti malam."
Kahei menyadari bahwa Hiyoshi telah kembali ke jalan, dan berjalan di
depan mereka.
Ia bertanya pada Nohachiro, "Tak ada yang mencurigakan?"
"Hamba tidak melihat sesuatu yang aneh."
Kahei meraih tali kekang. "Kita tak bisa menyalahkan orang dari
kalangan rakyat jelata kalau mereka tak punya sopan santun." Kemudian,
sambil memberi isyarat berupa anggukan kepala kepada anak buahnya, ia
berkata, "Ayo, jalan lagi." Dalam sekejap mereka telah menyusul Hiyoshi.
Pada waktu melewatinya, Kahei menoleh sambil lalu. Hiyoshi sudah lebih
dulu menyingkir dari jalan dan berlutut penuh hormat di bawah deretan
pohon. Pandangan mereka beradu.
"Tunggu sebentar." Kahei mengekang kudanya, dan sambil berpaling
pada anak buahnya, berkata, "Bawa si tukang jarum ke sini." Lalu ia
menambahkan dengan nada heran, "Orangnya sungguh aneh... ya, ada
sesuatu yang berbeda pada dirinya."
Nohachiro sudah terbiasa dengan tingkah majikannya, dan segera bergerak.
"Hei! Tukang jarum! Majikanku ingin bicara denganmu. Ayo, ikut aku."
Kahei menatap Hiyoshi dari atas kudanya. Ada apa pada diri pemuda
pendek berpenampilan acak-acakan dengan pakaian lusuh ini, yang mem-
buatnya begitu terpesona? Bukan kemiripannya dengan monyet, yang malah
hampir tidak disadari oleh Kahei. Untuk kedua kali pandangannya melekat
lama pada Hiyoshi, namun ia tak sanggup menuangkan perasaannya ke
dalam kata-kata. Sesuatu yang kompleks sekaligus tak berwujud seakan-akan

118
menariknya—kedua mata anak itu! Mata manusia biasanya dianggap sebagai
cerminan jiwa. Kahei tak melihat hal lain yang bernilai pada diri makhluk
kecil dan berkerut-kerut ini, tapi sorot matanya begitu penuh tawa, sehingga
tampak segar dan mengandung... apa? Kemauan gigih, atau barangkali
impian yang tak mengenal batas?
Dia punya daya tarik, pikir Kahei, dan ia memutuskan bahwa ia suka
pada anak bertampang aneh ini. Kalau saja ia mengamati dengan lebih
saksama, ia akan menemukan sepasang telinga semerah jengger ayam jantan
tersembunyi di bawah debu yang menempel di kepala Hiyoshi. Kahei juga
tidak menyadari bahwa meski Hiyoshi masih muda, kemampuan besar yang
akan diperlihatkannya di kemudian hari telah terukir pada garis-garis di
keningnya, yang sepintas lalu membuatnya tampak seperti orang tua.
Ketajaman pandangan Kahei tidak sebesar itu. Ia hanya merasakan kasih
sayang yang aneh terhadap Hiyoshi, bercampur semacam harapan.
Tak mampu membebaskan diri dari perasaan itu, namun tanpa berkata
sepatah pun pada Hiyoshi, ia berpaling pada Nohachiro dan berujar, "Bawa
dia." Ia menggenggam tali kekang dengan erat dan memacu kudanya.
Gerbang depan yang menghadap ke sungai terbuka lebar, dan beberapa
pengikutnya menunggu. Seekor kuda telah ditambatkan, dan sedang me-
rumput. Rupanya ada tamu yang datang ketika Kahei sedang pergi.
"Siapa dia?" ia bertanya sambil turun dari kudanya.
"Kurir dari Sumpu."
Kahei mengangguk dan melangkah masuk. Sumpu merupakan ibu kota
marga Imagawa. Kedatangan kurir bukan hal langka, tapi pikiran Kahei
masih tertuju pada pertemuan di Benteng Hikuma, sehingga ia melupakan
Hiyoshi.
"Hei, kau, mau ke mana kau?" seorang penjaga menegur Hiyoshi yang
hendak melewati gerbang bersama rombongan Kahei. Tangan Hiyoshi dan
buntalan terbungkus jerami yang dibawanya berlepotan lumpur. Percikan-
percikan lumpur yang mengering di wajahnya terasa gatal. Barangkali si
penjaga gerbang mengira Hiyoshi hendak mempermainkannya dengan sengaja
menggerak-gerakkan hidung? Si penjaga gerbang mengulurkan tangan untuk
menangkap tengkuk Hiyoshi.
Sambil melangkah mundur, Hiyoshi berkata, "Aku penjual jarum."
"Pedagang keliling tak bisa melewati gerbang ini tanpa izin. Pergi sana!"
"Sebaiknya tanya majikanmu dulu."
"Kenapa aku harus berbuat begitu?"
"Aku mengikutinya ke sini karena dia yang menyuruhku. Aku datang
bersama samurai yang baru saja masuk."
"Tuan Kahei tak mungkin mengajak orang seperti kau ke rumahnya.
Hmm, tampangmu cukup mencurigakan."
Pada saat itu Nohachiro teringat pada Hiyoshi dan kembali ke gerbang.
"Biarkan dia masuk," ia memberitahu si penjaga gerbang.

119
"Baiklah."
"Ayo ikut, Monyet."
Si penjaga gerbang dan beberapa pelayan tertawa. "Siapa dia sebenarnya?
Dengan pakaiannya yang putih dan buntalan jeraminya yang berlumpur,
dia kelihatan seperti kurir monyet sang Buddha."
Suara-suara riuh itu terngiang-ngiang di telinga Hiyoshi, tapi sepanjang
hidupnya yang kini telah memasuki tahun ketujuh belas ia sudah sering
mendengar ejekan orang. Apakah ejekan-ejekan itu tidak mengganggunya?
Apakah ia sudah terbiasa? Jika mendengar komentar seperti itu, ia tersipu-
sipu, sama seperti orang lain. Namun tindak-tanduknya tidak mencerminkan
perasaannya. Ia tetap tenang, seakan-akan penghinaan-penghinaan itu diucap-
kan ke telinga seekor kuda. Ia malah bisa bersikap sangat luwes pada saat
seperti itu. Hatinya bagaikan bunga yang didukung tinggi-tinggi oleh
sebatang bambu, menunggu sampai badai berlalu. Kesengsaraan tak mampu
membuatnya merasa terganggu ataupun rendah diri.
"Monyet, di sebelah sana ada kandang kosong. Kau tunggu di sana,
supaya tampangmu tidak merusak pemandangan," ujar Nohachiro, yang
kemudian kembali pada kesibukannya.
Menjelang malam, bau masakan tercium dari jendela dapur. Bulan
menampakkan diri di atas pohon-pohon persik. Seusai wawancara resmi
dengan kurir dari Sumpu, lebih banyak lampu dinyalakan, dan jamuan
makan disiapkan untuk mengiringi keberangkatannya besok. Suara gendang
dan seruling mengalun dari rumah utama, tempat pertunjukan Noh sedang
berlangsung.
Marga Imagawa dari Suruga merupakan marga terhormat dan termasyhur.
Mereka bukan hanya tertarik pada puisi, tarian, dan musik, tapi juga pada
setiap kemewahan dari ibu kota: pedang bertatah untuk para samurai dan
kimono bawah bergaya untuk kaum wanita. Cita rasa Kahei sendiri lebih
sederhana. Meski demikian, kediamannya yang mewah berbeda jauh dengan
rumah para samurai di Kiyosu.
Pertunjukan Noh itu buruk sekali, Hiyoshi berkata dalam had, ketika
merebahkan diri di atas jerami yang disebarkannya di lantai kandang. Ia
menyukai musik. Ia tidak memahaminya, namun ia menyukai mimpi indah
yang ditimbulkan. Dengan musik ia dapat melupakan segala-galanya. Tapi
ia terganggu oleh perutnya yang kosong. Oh, kalau saja aku bisa meminjam
panci dan api, ia mengerang dalam hati.
Sambil membawa buntalan jerami yang kotor, ia menyembulkan kepala
lewat pintu dapur. "Maaf, bolehkah aku meminjam panci dan tungku? Aku
bermaksud menyiapkan makanan untukku."
Para pekerja dapur menatapnya sambil terbengong-bengong.
"Dari mana kau tiba-tiba muncul?"
"Aku datang bersama Tuan Kahei tadi. Aku ingin menggodok keong
yang kukumpulkan di sawah."

120
"Keong, heh?"
"Aku diberitahu bahwa keong baik untuk perut, jadi aku makan beberapa
setiap hari. Soalnya perutku mudah terganggu."
"Keong dimakan dengan tahu. Kau punya tahu?"
"Ya."
"Nasi?"
"Aku punya nasi, terima kasih."
"Hmm, di tempat para pelayan ada panci dan tungku menyala. Siapkan
makananmu di sana saja."
Seperti yang setiap malam dilakukannya di losmen-losmen murah, Hiyoshi
memasak sedikit nasi, menggodok beberapa keong, lalu menyantap makan
malamnya. Kemudian ia beranjak tidur. Berhubung tempat para pelayan
lebih nyaman daripada di kandang, ia tetap di sana sampai tengah malam,
sampai para pelayan selesai dengan tugas-tugas mereka dan hendak beristirahat.
"Bangsat! Siapa yang menyuruhmu tidur di sini?"
Mereka menendangnya, mengangkatnya, dan melemparkannya ke luar. Ia
kembali ke kandang, tapi kuda si kurir yang sedang tidur nyenyak seakan-
akan berkata padanya, "Di sini pun tak ada tempat untukmu."
Suara gendang telah berhenti, dan bulan yang pucat sedang menyusut.
Hiyoshi, tidak lagi mengantuk, tak bisa diam. Bekerja atau bersenang-
senang, bagi Hiyoshi tak banyak bedanya, tapi jika ia tidak suka dengan
salah satu, ia cepat sekali bosan.
Barangkali matahari akan terbit pada waktu aku menyapu, ia berkata
dalam hati sambil mulai menyapu kandang, mengumpulkan tahi kuda,
daun-daun, dan jerami menjadi satu tumpukan di tempat yang tak terlihat
oleh si pemilik rumah.
"Siapa di luar?" Hiyoshi menghentikan sapunya dan menatap berkeliling.
"Ah, si tukang jarum."
Hiyoshi akhirnya menyadari bahwa suara itu berasal dari kamar kecil di
pojok rumah induk. Ia melihat wajah Kahei di dalamnya. "Oh, rupanya
tuanku."
Kahei terlalu banyak minum sake bersama si kurir yang ternyata peminum
yang kuat. Kini, setelah mabuknya berkurang, ia berkata dengan suara
lelah, "Sudah hampir subuh?" Ia menghilang dari jendela, membuka kerai-
kerai penghalang hujan di serambi, dan menatap bulan yang menyusut.
"Ayam jantan belum berkokok, jadi masih agak lama sampai matahari
mulai terbit."
"Tukang jarum—bukan, kami akan memanggilmu Monyet—kenapa kau
menyapu pekarangan di tengah malam buta?"
"Hamba tidak punya kesibukan lain."
"Tak ada salahnya kalau kaucoba tidur."
"Hamba sudah tidur. Kalau hamba tidur selama waktu tertentu, entah
kenapa hamba tak bisa berbaring tenang lagi."

121
"Apakah ada sandal di luar?"
Hiyoshi cepat-cepat membawa sepasang sandal jerami yang masih baru,
dan mengaturnya agar mudah dikenakan oleh Kahei.
"Silakan, tuanku."
"Kau baru tiba hari ini, dan kau mengaku sudah cukup tidur. Dari
mana kau tahu keadaan di sini?"
"Maafkan hamba, tuanku."
"Untuk apa?"
"Hamba bukan orang yang penuh curiga. Tapi di rumah seperti ini,
biarpun hamba sedang tidur, hamba mendengar aneka macam bunyi.
Hamba bisa menebak letak segala sesuatu, seberapa besar pekarangan,
bagaimana sistem pembuangan airnya, dan di mana tempat api."
"Hmm, begitu rupanya."
"Sebelum ini, hamba sudah melihat tempat penyimpanan sandal. Ke-
betulan terlintas di benak hamba bahwa seseorang mungkin keluar dan
mencari sandal."
"Aku minta maaf. Aku sama sekali melupakanmu."
Hiyoshi tertawa, namun tidak menjawab. Meski masih anak-anak, ke-
lihatannya ia tidak terlalu menaruh hormat pada Kahei. Kahei lalu menanya-
kan latar belakangnya, dan apakah ia berharap untuk mengabdi pada
seseorang. Hiyoshi segera membenarkannya. Ia menyimpan harapan besar
untuk masa depan, dan ia telah mengembara dari provinsi ke provinsi sejak
berusia lima belas tahun.
"Kau berkelana dari provinsi ke provinsi selama dua tahun karena ingin
mengabdi pada seorang samurai?"
"Ya."
"Kalau begitu, kenapa kau masih berjualan jarum?" Kahei bertanya
dengan tajam. "Mencari selama dua tahun tanpa mendapatkan majikan—
jangan-jangan ada yang tidak beres denganmu?"
"Hamba memiliki kelebihan dan kekurangan, seperti semua orang. Mula-
mula hamba menganggap bahwa setiap majikan dan setiap rumah samurai
sama saja, tapi begitu hamba mengenal dunia, hamba mulai merasa lain."
"Lain? Maksudmu?"
"Sambil mengembara dan mengamati golongan pendekar—jendral-jendral
yang baik, jendral yang buruk, para penguasa provinsi besar dan kecil—
hamba mencapai kesimpulan bahwa tak ada yang lebih penting daripada
pandai memilih majikan. Karena itu, hamba memutuskan untuk terus
berjualan jarum, dan tanpa hamba sadari, dua tahun sudah berlalu."
Kahei menyadari kecerdikan Hiyoshi, namun sekaligus menemukan sifat
pandir dalam dirinya. Dan walaupun kata-kata Hiyoshi mengandung ke-
benaran, ucapannya sedikit berlebihan dan agak sukar diterima. Tapi ada
satu hal yang tak perlu diragukan. Pemuda ini bukan pemuda biasa. Saat
itu juga Kahei memutuskan untuk mempekerjakan Hiyoshi sebagai pelayan.

122
"Maukah kau mengabdi padaku?"
"Terima kasih, tuanku. Hamba akan berusaha," Hiyoshi menjawab tanpa
semangat.
Kahei tidak puas dengan tanggapan Hiyoshi yang kurang gembira, tapi
tidak terlintas di kepalanya bahwa ia sendiri, sebagai majikan baru pemuda
pengembara yang hanya berpakaian baju katun tipis itu, mungkin memiliki
kekurangan dalam hal-hal tertentu.
Seperti para samurai dari marga-marga lain, para samurai Matsushita pun
menjalani latihan keras untuk menyempurnakan keterampilan menunggang
kuda yang amat dibutuhkan dalam suatu pertempuran. Menjelang pagi
mereka meninggalkan asrama dengan membawa tombak dan pedang latihan,
dan pergi ke lapangan luas di depan lumbung padi.
"Hiyaaa!" Tombak beradu dengan tombak, pedang dengan pedang.
Setiap pagi, semua orang, termasuk para samurai rendahan di dapur serta
orang-orang yang menjalani tugas jaga, mengerahkan segenap tenaga dan
kembali dari lapangan dengan wajah merah karena kelelahan. Sudah diketahui
umum bahwa Hiyoshi diterima sebagai pelayan. Para pekerja kandang
memperlakukannya sebagai anak bawang dan sering mempermainkannya.
"Hei, Monyet! Setiap pagi mulai sekarang, setelah kami membawa keluar
kuda-kuda untuk merumput, kau harus membersihkan kandang. Tanam
kotoran kudanya di rumpun bambu itu." Sesudah ia selesai membersihkan
kotoran kuda, salah satu samurai yang lebih tua berkata padanya, "Isi
kendi-kendi besar itu dengan air." Dan terus begitu. "Belah kayu bakar."
Sementara ia membelah kayu bakar, ia diperintahkan untuk melakukan
pekerjaan lain. Singkatnya, ia menjadi pelayan para pelayan.
Mula-mula ia cukup populer. Orang-orang berkomentar, "Tak ada yang
bisa membuatnya marah. Itulah kelebihannya. Tak peduli apa yang kaukata-
kan padanya, dia tak pernah jengkel." Para samurai muda menyukainya,
seperti anak kecil menyukai mainan baru, dan kadang-kadang memberikan
hadiah padanya. Tapi tak lama kemudian orang-orang mulai mengeluh.
"Dia selalu membantah."
"Dia cari muka di depan Tuan."
"Dia menganggap orang lain bodoh semua."
Karena para samurai muda suka membesar-besarkan kesalahan kecil,
adakalanya keluhan-keluhan mengenai Hiyoshi sampai ke telinga Kahei.
"Kita tunggu saja bagaimana perkembangan selanjutnya," Kahei berkata
pada para pengikutnya, lalu melupakan masalah itu.
Para samurai muda semakin mendongkol karena istri dan anak-anak
Kahei selalu menanyakan si Monyet. Terheran-heran, Hiyoshi menyadari
bahwa memang sukar untuk hidup di antara orang-orang yang tidak mau
bekerja dengan tekun, seperti yang selalu dilakukannya.
Hidup di dunia pelayan yang penuh intrik memberikan kesempatan bagi
Hiyoshi untuk mempelajari sifat-sifat manusia. Dengan menggunakan marga

123
Matsushita sebagai acuan, ia dapat memahami kekuatan dan kelemahan
marga-marga besar di sepanjang jalan pesisir. Dan ia gembira karena telah
menjadi pelayan. Kini ia mulai memahami keadaan sesungguhnya dari
negerinya, yang sukar ditangkap ketika ia mengembara dari satu tempat ke
tempat lain. Pelayan biasa, yang bekerja untuk makan dan menyambung
hidup, takkan tahu seperti apa dunia sebenarnya. Tapi pikiran Hiyoshi
selalu terbuka lebar. Rasanya seperti menatap bidak-bidak pada papan go,
lalu menebak-nebak langkah berikut dari para pemain.
Kurir-kurir marga Imagawa terus berdatangan dari Suruga, begitu juga
para pembawa berita dari provinsi-provinsi tetangga, Mikawa dan Kai.
Hiyoshi mulai melihat pola tertentu dalam kedatangan dan kepergian
mereka, dan menyimpulkan bahwa Imagawa Yoshimoto, penguasa Suruga,
sedang berupaya merebut kekuasaan tertinggi. Perwujudan tujuan ini mung-
kin masih makan waktu lama, tapi ia sudah mulai menjalankan langkah-
langkah awal untuk memasuki ibu kota, Kyoto, dengan dalih melindungi
sang Shogun, namun sebenarnya untuk memerintah seluruh negeri atas
namanya.
Di sebelah timur terdapat marga Hojo dari Odawara yang kuat; marga
Takeda dari Kai berada di sisi utara; dan menghalangi jalan menuju ibu
kota adalah wilayah marga Tokugawa dari Mikawa. Terkepung seperti itu,
sasaran pertama Yoshimoto adalah penaklukan Mikawa. Tokugawa Kiyoyasu,
penguasa Mikawa, tunduk kepada Yoshimoto dan masuk ke dalam jajaran
pengikutnya. Putra Kiyoyasu, Hirotada, hanya hidup sedikit lebih lama dari
ayahnya, dan penerusnya, Ieyasu, kini menjalani hari-harinya sebagai sandera
di Sumpu.
Yoshimoto telah mengangkat salah seorang pengikutnya sebagai penguasa
Benteng Okazaki, dan memberinya wewenang untuk memerintah Mikawa
dan mengumpulkan pajak. Para pengikut Tokugawa dipaksa mengabdi pada
marga Imagawa, dan seluruh pendapatan serta perlengkapan militer provinsi
itu, terkecuali uang untuk pengeluaran sehari-hari, beralih ke benteng
Yoshimoto di Suruga. Hiyoshi menilai masa depan Mikawa sungguh suram.
Dari pengalamannya sebagai penjual keliling, ia tahu bahwa orang-orang
Mikawa keras kepala dan tinggi hati. Mereka takkan mau tunduk untuk
selama-lamanya.
Namun marga yang paling diperhatikannya tentu saja marga Oda dari
Owari. Meski ia kini jauh dari Nakamura, Owari merupakan tanah kelahiran-
nya serta tempat tinggal ibunya. Diamati dari kediaman Matsushita, ke-
miskinan Owari dan wilayahnya yang kecil tampak kurang menguntungkan
jika dibandingkan dengan provinsi-provinsi lain, terkecuali Mikawa. Per-
bedaannya dengan wilayah Imagawa yang maju dan makmur mencolok
sekali. Desa asalnya, Nakamura, dihantui kemelaratan, begitu juga rumahnya
sendiri. Apa yang akan terjadi dengan Owari? Hiyoshi berharap suatu hari
kelak sesuatu yang berharga bisa tumbuh dari tanahnya yang gersang. Ia

124
memandang hina sikap congkak yang diperlihatkan para pembesar maupun
orang-orang bawahan di wilayah Imagawa. Mereka meniru adat kebiasaan
yang berlaku di istana, sesuatu yang sejak dulu dianggap berbahaya oleh
Hiyoshi.
Kurir-kurir semakin sering berdatangan. Bagi Hiyoshi, ini berarti sedang
berlangsung perundingan untuk mengikat Provinsi Suruga, Kai, dan Sagami
melalui perjanjian tidak saling menyerang, dengan marga Imagawa sebagai
pusat. Tokoh penggerak utamanya tentu saja Imagawa Yoshimoto. Sebelum
membawa pasukan besar menuju ibu kota, ia terlebih dulu harus yakin
terhadap kesetiaan marga Hojo dan Takeda. Sebagai langkah pertama,
Yoshimoto memutuskan untuk mengawinkan anak perempuannya dengan
anak sulung Takeda Shingen, dan mengusahakan agar salah seorang anak
perempuan Shingen menikah dengan keturunan Hojo. Tindakan ini, bersama
pakta-pakta militer dan perdagangan, mengangkat Imagawa sebagai kekuatan
yang harus diperhitungkan di pesisir timur. Kekuatan ini tecermin dalam
sikap para pengikut Imagawa. Orang seperti Matsushita Kahei berbeda
dengan para pembantu dekat Yoshimoto, tapi ia pun jauh lebih berada
daripada samurai-samurai yang dikenal Hiyoshi di Kiyosu, Nagoya, dan
Okazaki. Tamunya banyak, dan bahkan para pelayan pun tampak bergembira.
"Monyet!" Nohachiro mencari Hiyoshi di pekarangan.
"Di atas sini."
Nohachiro menoleh ke atap. "Sedang apa kau di sana?"
"Memperbaiki atap."
Nohachiro terkesan. "Kenapa kau menyiksa diri pada hari panas begini?"
"Selama ini cuaca bagus terus, tapi tak lama lagi musim hujan akan tiba.
Memanggil tukang atap setelah hujan mulai turun sudah terlambat, jadi
aku mencari sirap yang retak dan memperbaiki semuanya."
"Itulah yang membuatmu tidak disukai di sini. Di siang hari, semua
orang lain sudah mencari tempat teduh."
"Kalau aku bekerja di dekat orang lain, aku akan mengganggu tidur
mereka. Di atas sini, aku tidak mengganggu siapa-siapa."
"Bohong! Kau berada di atas atap untuk mempelajari keadaan."
"Aku tidak heran kalau Tuan berpikiran seperti itu. Kalau seseorang
tidak memperhatikan hal-hal kecil, dalam keadaan darurat dia tidak siap
untuk mempertahankan diri."
"Jangan bicara sembarangan! Kalau Tuan Kahei mendengar ocehanmu,
dia pasti marah sekali. Ayo turun!"
"Baik. Apakah ada tugas lain untukku?"
"Malam ini bakal ada tamu."
"Lagi?"
"Apa maksudmu, 'lagi'?"
"Siapa yang akan datang?"
"Seorang pendekar yang telah mengembara ke setiap pelosok negeri."

125
"Berapa orang yang ikut dalam rombongannya?" Hiyoshi turun dari
atap. Nohachiro mengeluarkan selembar perkamen. "Kita akan menjamu
keponakan Yang mulia Kamiizumi dari Ogo, Hitta Shohaku. Dia disertai
dua belas pengikutnya. Selain itu masih ada penunggang kuda lain dan tiga
kuda beban dengan penuntun masing-masing."
"Rombongannya cukup besar."
"Orang-orang itu telah mencurahkan hidup mereka untuk mendalami
ilmu bela diri. Pasti banyak barang bawaan dan kuda, jadi kosongkan
tempat para pekerja gudang, supaya kita bisa menempatkan mereka di sana
untuk sementara waktu. Tempat itu harus bersih menjelang malam, sebelum
mereka ke sana."
"Baik, Tuan. Berapa lama mereka akan tinggal?"
"Kira-kira enam bulan," ujar Nohachiro. Kelihatan lelah, ia menyeka
keringat yang menempel di wajahnya.

Menjelang malam, Shohaku dan rombongannya berhenti di depan gerbang


dan menepiskan debu yang melekat pada pakaian masing-masing. Pengikut-
pengikut senior dan junior keluar dan mengadakan upacara penyambutan
secara panjang-lebar. Pihak tuan rumah menyampaikan ucapan selamat
datang yang berbunga-bunga. Balasan dari Shohaku pun, seorang laki-laki
berusia sekitar tiga puluh tahun, tak kalah indahnya. Seusai upacara
penyambutan, beberapa pelayan mengambil alih kuda-kuda beban serta
barang-barang bawaan, dan para tamu, dipimpin oleh Shohaku, memasuki
pekarangan.
Hiyoshi menyaksikan seluruh pertunjukan tadi. Penyambutan resmi itu
membuatnya sadar betapa martabat golongan prajurit telah meningkat,
seiring dengan semakin gentingnya masalah-masalah militer. Belakangan ini,
istilah "ilmu bela diri" melekat di bibir semua orang, berikut ungkapan-
ungkapan baru seperti "jurus pedang" dan "jurus tombak". Pendekar-
pendekar seperti Kamiizumi dari Ogo dan Tsukahara dari Hitachi telah
dikenal luas. Pengembaraan beberapa orang dari golongan ini jauh lebih
keras dibandingkan perjalanan ziarah para pendeta Buddha. Tapi orang
seperti Tsukahara selalu disertai oleh enam puluh sampai tujuh puluh
pengikut. Para pengikut membawa burung elang, dan perjalanan mereka
ditempuh dalam kemewahan.
Jumlah anggota rombongan Shohaku tidak mengejutkan Hiyoshi. Tapi
karena mereka akan tinggal selama enam bulan, ia memiliki alasan kuat
untuk menduga bahwa ia akan disuruh-suruh sampai kepalanya pening.
Baru empat atau lima hari, ia sudah diperlakukan sama seperti pelayan-
pelayan mereka.
"Hei, Monyet! Pakaian dalamku kotor. Cepat cuci!"
"Monyet! Belikan obat salep untukku."
Malam-malam musim kemarau lebih pendek, dan tugas-tugas tambahan

126
itu mengurangi waktu tidurnya, sehingga pada suatu siang Hiyoshi tertidur
lelap di bawah bayang-bayang sebatang pohon. Hanya iring-iringan semut
yang tampak bergerak di tanah yang terbakar.
Dua samurai muda, yang tidak menyukainya, berjalan melewati Hiyoshi
sambil membawa tombak latihan.
"Wah, lihat itu. Si Monyet."
"Tidurnya nyenyak sekali, ya?"
"Dasar pemalas tak berguna. Bagaimana dia bisa menjadi anak kesayangan
Tuan dan Nyonya? Mereka takkan senang kalau melihatnya dalam keadaan
sekarang."
"Bangunkan saja. Dia harus diberi pelajaran."
"Apa rencanamu?"
"Bukankah cuma si Monyet yang belum pernah mengikuti latihan bela
diri?"
"Mungkin dia sadar bahwa dia tidak disukai. Dia takut kena pukul."
"Itu tidak benar. Setiap pelayan di rumah samurai wajib berlatih ilmu bela
diri dengan tekun. Itulah yang dikatakan dalam peraturan rumah tangga."
"Jangan katakan padaku. Katakan pada si Monyet."
"Sebaiknya kita bangunkan dia dan kita bawa ke lapangan latihan."
"Ya, idemu menarik sekali."
Salah seorang dari mereka mendorong bahu Hiyoshi dengan ujung
tombak.
"Hei, bangun!"
Kedua mata Hiyoshi tetap terpejam.
"Bangun!" Orang itu mengangkat kaki Hiyoshi dengan tombaknya.
Hiyoshi merosot dan langsung terjaga.
"Ada apa?"
"Ada apa dengan kau, mendengkur di pekarangan di siang hari bolong?"
"Aku, tidur?"
"Kau tidur, bukan?"
"Mungkin aku terlelap tanpa sengaja. Tapi sekarang aku sudah bangun."
"Kurang ajar! Kudengar kau belum pernah muncul di tempat latihan
bela diri."
"Itu karena aku tidak berbakat."
"Kalau kau tidak pernah ikut latihan, bagaimana kau bisa tahu? Walaupun
kau pelayan, peraturan rumah tangga mengharuskanmu berlatih ilmu bela
diri. Mulai hari ini, kami akan memastikan kau ikut."
"Tidak, terima kasih."
"Kau menolak menaati peraturan rumah tangga?"
"Tidak, tapi..."
"Ayo jalan!" Tanpa memberinya kesempatan membantah lebih lanjut,
mereka menyeret Hiyoshi ke lapangan di depan gudang. Mereka akan
memberinya pelajaran karena melanggar peraturan rumah tangga.

127
Di bawah terik matahari, pata pendekar yang sedang berkunjung serta
para pengikut Matsushita berlatih dengan tekun.
Para samurai muda yang mengiringi Hiyoshi memaksanya maju dengan
memukul-mukul punggungnya.
"Ambil tombak atau pedang kayu dan mulai latihan!"
Hiyoshi terhuyung-huyung, nyaris tak sanggup berdiri, tapi ia tidak
meraih senjata.
"Tunggu apa lagi?" Salah seorang memukul dada Hiyoshi dengan gagang
tombaknya. "Kau harus ikut latihan, jadi ambil senjata!" Sekali lagi Hiyoshi
terhuyung-huyung, namun ia tetap tidak mau bertarung. Ia hanya menggigit-
gigit bibir.
Dua anak buah Shohaku—Jingo Gorokuro dan Sakaki Ichinojo—sedang
berlatih dengan tombak sungguhan untuk memberi contoh pada orang-
orang Matsushita. Gorokuro, yang mengenakan ikat kepala, menombak
kantong-kantong beras seberat dua ratus pon dan melemparkannya ke
udara sambil memperlihatkan kekuatan yang luar biasa.
"Dengan keterampilan seperti itu, pasti mudah untuk membantai musuh
di medan tempur. Tenaganya mengagumkan!" salah seorang penonton
berkomentar.
Gorokuro meralat ucapan itu. "Kalian salah besar kalau menganggap ini
sebagai pameran kekuatan. Kalau kalian menerapkan jurus ini dengan
menggunakan tenaga, gagang tombak akan patah dan lengan kalian cepat
lelah." Ia meletakkan tombaknya, lalu menjelaskan, "Prinsip-prinsip pedang
dan tombak sama saja. Rahasia semua ilmu bela diri terletak pada ch'i,
tenaga dalam dari tan t'ien, daerah yang berada dua inci di bawah pusar.
Inilah tenaga tanpa tenaga. Seseorang harus memiliki kekuatan batin untuk
mengatasi kebutuhan akan tenaga dan mengatur aliran ch'i." Kuliahnya
diberikan dengan penuh semangat dan panjang-lebar.
Merasa sangat terkesan, para peserta latihan mendengarkan dengan pe-
nuh perhatian, sampai mereka terganggu oleh kebisingan di belakang
mereka.
"Monyet kurang ajar!" Si samurai muda mengayunkan gagang tombak
dan memukul pinggang Hiyoshi.
"Aduh!" teriak Hiyoshi dengan suara sedih. Pukulan itu cukup menyakit-
kan. Ia meringis dan membungkuk sambil menggosok-gosok pinggang.
Orang-orang segera mengerumuni Hiyoshi.
"Dasar pemalas tak berguna!" seru samurai muda yang memukul Hiyoshi.
"Dia mengaku tak berbakat dan tidak mau ikut latihan."
Hiyoshi mendengar suara-suara menggerutu dari kiri-kanan. Ia dituduh
tak tahu terima kasih dan besar mulut.
"Hmm, hmm," Shohaku bergumam, sambil maju untuk menenangkan
orang-orang. "Melihat penampilannya, dia masih bayi yang belum mengerti
sopan santun. Melanggar peraturan pada waktu mengabdi di rumah samu-

128
rai dan tidak memiliki keinginan untuk berlatih ilmu bela diri merupakan
kesalahan anak ini. Aku yang akan menanyainya. Yang lain harap tenang.
"Anak muda," ia berkata pada Hiyoshi.
"Ya." Sambil menjawab, Hiyoshi menatap mata Shohaku. Namun nada
suaranya telah berubah, sebab sorot mata samurai itu mengungkapkan
bahwa ia orang yang bisa diajak bicara secara terbuka.
"Kelihatannya kau tidak menyukai ilmu bela diri, padahal kau mengabdi
di rumah samurai. Betulkah itu?"
"Tidak." Hiyoshi menggelengkan kepala.
"Kalau begitu, kenapa kau menolak ajakan orang-orang yang baik hati
ini untuk melatihmu ilmu bela diri?"
"Ya, ehm, aku punya alasan. Kalau aku mendalami jalan pedang atau
tombak hingga menjadi ahli, seluruh hidupku mungkin akan habis untuk
itu."
"Ya, memang diperlukan semangat seperti itu."
"Aku bukannya tidak menyukai pedang maupun tombak, tapi mengingat
aku hanya hidup satu kali, rasanya sudah cukup kalau aku memahami
semangatnya saja. Masalahnya, masih banyak hal lain yang ingin kuperdalam
dan kulakukan."
"Apa yang hendak kauperdalam?"
"Belajar."
"Mengenai apa kau hendak belajar?"
"Mengenai seluruh dunia."
"Apa saja yang ingin kaulakukan?"
Hiyoshi tersenyum. "Aku takkan mengatakannya."
"Kenapa tidak?"
"Aku ingin melakukan berbagai hal, tapi sebelum aku bertindak, maka
membicarakannya akan berkesan menyombongkan diri. Dan kalau kucerita-
kan sekarang, kalian semua pasti akan tertawa."
Shohaku menatap tajam ke arah Hiyoshi. Dalam hati ia mengakui
bahwa anak itu memang lain dari yang lain. "Rasanya aku mengerti
sebagian ucapanmu, tapi kau keliru kalau menganggap ilmu bela diri
sekadar sebagai rangkaian jurus."
"Kalau begitu, apa sebenarnya ilmu bela diri?"
"Menurut satu aliran pemikiran, jika seseorang menguasai satu keteram-
pilan, berarti dia telah menguasai seluruh ilmu. Ilmu bela diri bukan jurus-
jurus belaka—ilmu bela diri menyangkut kematangan jiwa. Jika seseorang
mengolah jiwanya dengan sungguh-sungguh, orang itu mampu menguasai
segala sesuatu, termasuk seni belajar dan pemerintahan. Dia memandang
dunia apa adanya, dan sanggup menilai orang."
"Tapi aku yakin orang-orang di sini menganggap menghajar dan menusuk
lawan sebagai bagian yang paling penting. Keterampilan itu memang berguna
untuk prajurit biasa, tapi apakah perlu bagi seorang jendral yang..."

129
"Jaga mulutmu!" salah seorang samurai membentak, lalu meninju pipi
Hiyoshi.
"Aduh!" Hiyoshi memegang mulutnya dengan kedua tangan, seakan-akan
rahangnya patah.
"Komentar-komentarnya yang menghina tak bisa didiamkan. Ini mulai
jadi kebiasaan. Tuan Shohaku, harap mundur. Biar kami yang menyelesai-
kannya."
Bukan orang itu saja yang merasa kesal. Hampir semua orang yang
mendengar ucapan Hiyoshi merasa perlu mengatakan sesuatu.
"Dia menghina kita!"
"Itu sama saja dengan menginjak-injak peraturan rumah tangga."
"Perbuatan keledai ini tak bisa dimaafkan!"
"Habisi saja! Tuan Kahei takkan menyalahkan kita."
Terbawa kemarahan, mereka mungkin saja mewujudkan ancaman itu,
menyeretnya ke semak-semak, lalu memenggal kepalanya. Sukar bagi Shohaku
untuk menghentikan mereka. la harus mengerahkan segenap kekuatannya
untuk menenangkan mereka dan menyelamatkan nyawa Hiyoshi.
Malam itu Nohachiro datang ke tempat para pelayan dan memanggil-
manggil Hiyoshi dengan suara tertahan. Anak itu sedang duduk di salah
satu pojok sambil pasang tampang seolah-olah menderita sakit gigi.
"Ya. Ada apa?" Wajahnya tampak membengkak.
"Masih sakit?"
"Tidak, sudah lumayan," ia berbohong. la menempelkan selembar lap
basah ke mukanya.
"Tuan memanggilmu. Pergi lewat pekarangan belakang, supaya tak ada
yang melihatmu."
"Hah? Tuan Kahei? Hmm, rupanya dia sudah mendengar apa yang
terjadi tadi."
"Tentu saja kata-katamu yang tidak pada tempatnya sudah sampai ke
telinganya. Dan tadi Tuan Hitta mengunjunginya, jadi bisa dipastikan dia
sudah mengetahui peristiwa tadi siang. Ada kemungkinan dia sendiri yang
melaksanakan eksekusinya."
"Kaupikir begitu?"
"Sudah menjadi peraturan marga Matsushita bahwa para pelayan tidak
boleh lalai berlatih ilmu bela diri, baik siang maupun malam. Kalau Tuan
sampai terpaksa mengambil tindakan khusus untuk menegakkan wibawa
peraturan rumah tangga, kepalamu boleh dianggap sudah terpenggal."
"Hmm, kalau begitu aku melarikan diri saja dari sini. Aku tidak mau
mati karena urusan seperti ini."
"Jangan ngawur!" ia menangkap pergelangan tangan Hiyoshi. "Kalau kau
lari, aku terpaksa melakukan seppuku. Aku diperintahkan untuk membawamu
ke sana."
"Melarikan diri pun aku tidak boleh?" tanya Hiyoshi.

130
"Mulutmu memang keterlaluan. Mestinya kau berpikir dulu sebelum
membukanya. Waktu mendengar apa yang kaukatakan hari ini, aku pun
terpaksa mengakui bahwa kau tidak lebih dari seekor monyet sombong."
Nohachiro memaksa Hiyoshi berjalan di depannya, dan ia menggenggam
gagang pedangnya dengan erat. Kawanan agas beterbangan. Cahaya dari
dalam menerangi serambi ruang baca yang baru saja disiram air.
"Hamba membawa si Monyet." Nohachiro berlutut sambil berbicara.
Kahei muncul di serambi. "Mana dia?"
Mendengar suara itu di atas kepalanya, Hiyoshi membungkuk begitu
rendah, sehingga keningnya menyentuh parit di pekarangan.
"Monyet."
"Ya, tuanku."
"Sepertinya orang-orang di Owari berhasil membuat baju tempur jenis
baru. Mereka menyebutnya domaru. Pergilah ke sana dan beli satu set.
Owari daerah asalmu, jadi kurasa kau takkan mengalami kesulitan dalam
perjalanan."
"Tuanku?"
"Berangkatlah malam ini juga."
"Ke mana?"
"Ke tempat kau bisa membeli baju tempur domaru." Kahei mengambil
sejumlah uang dari sebuah kotak, membungkusnya, dan melemparkannya
ke hadapan Hiyoshi. Secara bergantian Hiyoshi menatap Kahei dan uang
itu. Matanya berkaca-kaca, dan air matanya mulai membasahi pipi, lalu
menetes ke punggung tangannya.
"Lebih baik kau segera berangkat, tapi kau tidak perlu terburu-buru
membawa baju tempur itu ke sini. Biarpun makan waktu bertahun-tahun,
carikan yang terbaik untukku." Kemudian Kahei berpesan pada Nohachiro,
"Biarkan dia keluar lewat gerbang belakang, sebelum malam berakhir."
Betapa nasib tak dapat diramalkan! Hiyoshi merinding. Mula-mula ia
menduga ajalnya telah tiba karena ia melanggar peraturan rumah tangga,
dan sekarang... Ia merinding karena reaksinya terhadap kebaikan Kahei—
karena rasa terima kasih—dan ia merasakannya sampai ke tulang sumsum.
"Beribu-ribu terima kasih." Kahei memang tidak membeberkan maksud
sebenarnya, tapi Hiyoshi sudah mengerti.
Ketanggapannya mengejutkan orang-orang di sekelilingnya, pikir Kahei.
Tidak mengherankan kalau sifatnya ini menimbulkan iri dan dengki. Ia
tersenyum getir, lalu bertanya, "Kenapa kau berterima kasih?"
"Karena tuanku membiarkan hamba pergi."
"Itu betul. Tapi, Monyet..."
"Ya, tuanku?"
"Kalau kau tidak pandai-pandai menyembunyikan kecerdasanmu, kau
takkan berhasil."
"Hamba tahu itu."

131
"Kalau kau tahu, kenapa ucapanmu begitu menantang tadi, sehingga
semua orang marah?"
"Hamba kurang pengalaman.... Hamba memukul kepala sendiri segera
setelah kata-kata itu meluncur dari bibir hamba."
"Aku takkan mengatakan apa-apa lagi. Karena kecerdasanmu berharga,
aku akan menolongmu. Sekarang sudah waktunya memberitahumu bahwa
mereka yang iri dan dengki padamu sering menuduhmu pencuri. Kalau ada
peniti hilang, atau jika sebuah kotak obat tidak berada di tempatnya,
mereka segera menudingmu dan berkata, 'Si Monyet yang mengambilnya.'
Omongan mereka yang penuh dengki tak pernah ada habisnya. Kau mudah
memancing kebencian orang lain. Sebaiknya kaupahami itu."
"Ya, tuanku."
"Tak ada alasan bagiku untuk menolongmu hari ini. Para pengikutku
mempunyai alasan kuat. Berhubung kejadian ini dilaporkan secara pribadi
oleh Tuan Shohaku, aku bisa bersikap seakan-akan belum tahu apa-apa, lalu
menyuruhmu melaksanakan sebuah misi. Kau mengerti?"
"Hamba mengerti sepenuhnya. Kebaikan tuanku terukir di hati hamba
untuk selama-lamanya."
Hidung Hiyoshi tersumbat. Berkali-kali ia membungkuk di hadapan
Kahei.
Malam itu ia meninggalkan rumah Mitsushita.
Menoleh ke belakang, ia bersumpah, "Aku takkan lupa. Aku takkan
lupa."
Terkesan oleh kebaikan hati orang itu, Hiyoshi bertanya-tanya bagaimana
ia dapat membalas budinya. Hanya orang yang dikelilingi kebiadaban dan
ejekanlah yang dapat merasakan kebaikan orang lain sebegitu mendalam.
Suatu hari... suatu hari nanti... Setiap kali ia terkesan atau kewalahan
menghadapi sesuatu, kata-kata itu diulang-ulangnya seperti doa seorang
peziarah.
Sekali lagi ia mengembara seperti anjing tak bertuan, tanpa tujuan dan
tanpa pekerjaan. Sungai Tenryu sedang banjir, dan kalau ia berada jauh dari
tempat pemukiman, ia merasa ingin menangis karena kesepian, dan karena
tak tahu bagaimana nasib yang menantinya. Baik alam semesta, bintang-
bintang, maupun air sungai tak dapat memberi petunjuk padanya.

132

You might also like