You are on page 1of 20

Menumbuhkembangkan Berpikir Logis dan Sikap Positif terhadap

Matematika melalui Pendekatan Matematika Realistik

Sahat Saragih *)

Abstrak: Proses pembelajaran matematika yang dilaksanakan guru di kelas menjadi persoalan yang
sangat menarik untuk didiskusikan. Hal ini disebabkan karena pembelajaran bermakna yang diharapkan
dapat meningkatkan kemampuan berpikir logis siswa dan sikap positif terhadap matematika sangat
jarang dilakukan. Yang ada hanya proses penghafalan konsep-konsep matematika yang sifatnya
mekanistik. Akibatnya, beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa hasil belajar

siswa sangat tidak memuaskan. Tulisan ini menguraikan tentang pendekatan

matematika realistik yang baik secara teoritis maupun dari beberapa hasil penelitian

yang dapat mengembangkan kemampuan berpikir logis dan sikap positif siswa

terhadap matematika yang pada akhirnya dapat meningkatkan hasil belajar siswa.

Kata kunci: berpikir logis, sikap positif, dan matematika realistik.

1. Pendahuluan

1.1 Latar Belakang Masalah

Tujuan pembelajaran matematika di jenjang pendidikan dasar dan pendidikan

menengah adalah untuk mempersiapkan siswa agar sanggup menghadapi perubahan

keadaan di dalam kehidupan dan di dunia yang selalu berkembang melalui latihan

bertindak atas dasar pemikiran secara logis, rasional, kritis, cermat, jujur, efisien, dan

efektif (Puskur, 2002). Di samping itu, siswa diharapkan dapat menggunakan

matematika dan pola pikir matematika dalam kehidupan sehari-hari dan dalam

*)

Sahat Saragih adalah dosen Pendidikan Matematika UNIMED & Mahasiswa Program S-3 Jurusan

Pendidikan Matematika PPS UPI Bandung

mempelajari berbagai ilmu pengetahuan yang penekanannya pada penataan nalar dan

pembentukan sikap siswa serta keterampilan dalam penerapan matematika.


Hal senada juga diungkapkan oleh Soedjadi (2004) bahwa pendidikan

matematika memiliki dua tujuan besar yang meliputi: (1) tujuan yang bersifat formal

yang memberi tekanan pada penataan nalar anak serta pembentukan pribadi anak, dan

(2) tujuan yang bersifat material yang memberi tekanan pada penerapan matematika

serta kemampuan memecahkan masalah matematika. Dari tujuan di atas terlihat

bahwa matematika sangat penting untuk menumbuhkan penataan nalar atau

kemampuan berpikir logis serta sikap positif siswa yang berguna dalam mempelajari

ilmu pengetahuan maupun dalam penerapan matematika dalam kehidupan sehari-hari.

Namun, sampai saat ini masih banyak keluhan, baik dari orang tua siswa

maupun pakar pendidikan matematika, tentang rendahnya kemampuan siswa dalam

aplikasi matematika, khususnya penerapan di dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai

contoh, masalah yang berkaitan dengan perbandingan senilai, misalnya seorang

petani membeli 12 kg pupuk urea seharga Rp 4500. Berapa rupiah uang yang

diperlukan jika ia membeli sebanyak 72 kg? Banyak siswa kelas II SMP yang

mengalami kesulitan untuk menjawab pertanyaan tersebut (Saragih, 2000).

Hasil penelitian Suryanto dan Somerset terhadap 16 SLTP pada beberapa

propinsi di Indonesia juga menemukan bahwa hasil tes mata pelajaran matematika

siswa sangat rendah, utamanya pada soal cerita matematika (aplikasi matematika)

Zulkardi (2001).

Sebenarnya tidak hanya siswa pendidikan dasar di Indonesia yang memiliki

kemampuan yang rendah dalam penerapan matematika. Swoboda (2004) mengatakan

bahwa siswa pendidikan dasar di Negara Polandia juga mengalami kesulitan dalam

penerapan matematika antara lain konsep perbandingan. Selanjutnya dikatakan bahwa


pada konferensi-konferensi internasional aspek-aspek baru pemahaman konsep

perbandingan masih dirujuk (Swaboda, 2004).

Cooper dan Harries (2002) melaporkan hasil penelitian terhadap 121 anak-

anak usia 11-12 tahun pada akhir tahun pertama mereka di sekolah menengah yang

berasal dari dua sekolah menengah di Inggris Utara. Hasilnya menunjukkan

ketidakmampuan mereka menggunakan pertimbangan-pertimbangan realistis ketika

memecahkan masalah-masalah realistik.

Sementara itu, tidak sedikit siswa yang memandang matematika sebagai suatu

mata pelajaran yang sangat membosankan, menyeramkan, bahkan menakutkan.

Banyak siswa yang berusaha menghindari mata pelajaran tersebut. Hal ini jelas

sangat berakibat buruk bagi perkembangan pendidikan matematika ke depan. Oleh

karena itu, perubahan proses pembelajaran matematika yang menyenangkan harus

menjadi prioritas utama. Hasil empiris di atas jelas merupakan suatu permasalahan

yang merupakan faktor penting dalam mewujudkan tujuan pembelajaran matematika

sesuai yang diamanatkan dalam kurikulum pendidikan matematika.

Untuk mengatasi permasalahan di atas perlu dicari suatu pendekatan yang

dapat mendukung proses pembelajaran matematika yang menyenangkan dan bukan

menyeramkan sehingga dapat meningkatkan motivasi sekaligus mempermudah

pemahaman siswa dalam belajar matematika. Salah satu pendekatan pembelajaran

matematika yang saat ini sedang dalam uji coba adalah pendekatan matematika

realistik.

Pendekatan matematika realistik ini sesuai dengan perubahan paradigma

pembelajaran, yaitu dari paradigma mengajar ke paradigma belajar atau perubahan

paradigma pembelajaran yang berpusat pada guru ke paradigma pembelajaran yang


berpusat pada siswa. Hal ini adalah salah satu upaya dalam rangka memperbaiki mutu

pendidikan matematika.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, permasalahan yang akan

diungkapkan dan akan dicari solusi pemecahannya adalah: bagaimana

menumbuhkembangkan kemampuan berpikir logis dan sikap positif terhadap

matematika?

1.3 Tujuan Penulisan

Atas dasar permasalahan di atas, secara teoritis tujuan penulisan artikel ini

adalah untuk mengungkap sejauh mana pendekatan matematika realistik dapat

menumbuhkembangkan kemampuan berpikir logis dan sikap positif siswa dalam

matematika yang pada akhirnya dapat meningkatkan pemahaman siswa dalam

matematika.

2. Kajian Literatur dan Bahasan

2.1 Proses Menghafal dan Berpikir Logis

Rendahnya hasil belajar matematika disebabkan oleh beberapa faktor, antara

lain ditinjau dari tuntutan kurikulum yang lebih menekankan pada pencapaian target.

Artinya, semua bahan harus selesai diajarkan dan bukan pemahaman siswa terhadap

konsep-konsep matematika (Marpaung, 2001). Faktor lain yang cukup penting adalah

bahwa aktivitas pembelajaran di kelas yang selama ini dilakukan oleh guru tidak lain

merupakan penyampaian informasi (metode kuliah) dengan lebih mengaktifkan guru,

sedangkan siswa pasif mendengarkan dan menyalin, sesekali guru bertanya dan

sesekali siswa menjawab, guru memberi contoh soal dilanjutkan dengan memberi
soal latihan yang sifatnya rutin dan kurang melatih daya nalar, kemudian guru

memberikan penilaian. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Marpaung

(2001), Zulkardi (2001), dan Darhim (2004).

Akhirnya terjadilah proses penghafalan konsep atau prosedur, pemahaman

konsep matematika rendah, dan tidak dapat menggunakannya jika diberikan

permasalahan yang agak kompleks. Siswa menjadi robot yang harus mengikuti aturan

atau prosedur yang berlaku dan jadilah pembelajaran mekanistik. Akibatnya,

pembelajaran bermakna yang diharapkan tidak terjadi.

Tidak heran apabila belajar bila dengan cara menghafal tersebut tingkat

kemampuan kognitif anak yang terbentuk hanya pada tataran tingkat yang rendah.

Kecenderungan anak terperangkap dalam pemikiran menghafal karena iklim yang

terjadi dalam proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru di sekolah.

Cara-cara menghafal semakin intensif dilakukan anak menjelang ujian. Anak

belajar mengingat atau mengecamkan materi, rumus-rumus, definisi, unsur-unsur,

dan sebagainya. Namun ketika waktu ujian berlangsung, anak seperti menghadapi

kertas buram. Anak tidak mampu mengoperasionalkan rumus-rumus yang dihafalnya

untuk menjawab pertanyaan.

Menurut Mukhayat (2004), belajar dengan menghafal tidak terlalu banyak

menuntut aktivitas berpikir anak dan mengandung akibat buruk pada perkembangan

mental anak. Anak akan cenderung suka mencari gampangnya saja dalam belajar.

Anak kehilangan sense of learning, kebiasaan yang membuat anak bersikap pasif atau

menerima begitu saja apa adanya yang mengakibatkan anak tidak terbiasa untuk

berpikir kritis.

Proses pembelajaran seperti inilah yang merupakan ciri pendidikan di negara


berkembang, termasuk di Indonesia (Romberg, 1998; Armanto, 2001). Untuk

mengatasi permasalahan di atas, perlu diusahakan perbaikan pembelajaran siswa

dengan mengubah paradigma mengajar menjadi paradigma belajar, yaitu

pembelajaran yang lebih memfokuskan pada proses pembelajaran yang mengaktifkan

siswa untuk menemukan kembali (reinvent) konsep-konsep, melakukan refleksi,

abstraksi, formalisasi, dan aplikasi.

Proses mengaktifkan siswa ini dapat dikembangkan dengan membiasakan

anak menggunakan berpikir logis dalam setiap melakukan kegiatan belajarnya.

Kebiasaan yang dilakukan berulang-ulang akan membentuk karakter anak dalam

bagaimana berpikir, bagaimana berbuat, dan bagaimana bertindak sebagai

perwujudan aplikasi pemahaman untuk menjawab segala bentuk kebutuhan dan

persoalan yang dihadapinya. Oleh karena itu, kepada guru diharapkan secara dini

dapat melakukan proses pembelajaran yang dapat meningkatkan berpikir logis.

Untuk memahami apa yang dimaksud dengan berpikir logis dapat dirujuk

beberapa pendapat, antara lain Plato yang mengatakan bahwa berpikir adalah

berbicara dalam hati, atau Gieles dalam Mukhayat (2004) yang mengartikan bahwa

berpikir adalah berbicara dengan dirinya sendiri dalam batin, yaitu

mempertimbangkan, merenungkan, menganalisis, membuktikan sesuatu,

menunjukkan alasan-alasan, menarik kesimpulan, meneliti sesuatu jalan pikiran, dan

mencari bagaimana berbagai hal itu berhubungan satu sama lain.

Kata logis sering digunakan seseorang ketika pendapat orang lain tidak sesuai

dengan pengambilan keputusan (tidak masuk akal) dari suatu persoalan. Hal ini

berarti bahwa dalam kata logis tersebut termuat suatu aturan tertentu yang harus
dipenuhi. Menurut Mukhayat (2004), kata logis mengandung makna besar atau tepat

berdasarkan aturan-aturan berpikir dan kaidah-kaidah atau patokan-patokan umum

yang digunakan untuk dapat berpikir tepat.

Dalam matematika, kata logis erat kaitannya dengan penggunaan aturan

logika. Poedjawijatna (1992) mengatakan bahwa orang yang berpikir logis akan taat

pada aturan logika. Logika berasal dari kata Yunani, yaitu Logos yang berarti ucapan,

kata, dan pengertian. Logika sering juga disebut penalaran. Dalam logika dibutuhkan

aturan-aturan atau patokan-patokan yang perlu diperhatikan untuk dapat berpikir

dengan tepat, teliti, dan teratur sehingga diperoleh kebenaran secara rasional.

Berpikir logis tidak terlepas dari dasar realitas, sebab yang dipikirkan adalah

realitas, yaitu hukum realitas yang selaras dengan aturan berpikir. Dari dasar realitas

yang jelas dan dengan menggunakan hukum-hukum berpikir akhirnya akan

dihasilkan putusan yang dilakukan. Menurut Albrecht (1992), agar seseorang sampai

pada berpikir logis, dia harus memahami dalil logika yang merupakan peta verbal

yang terdiri dari tiga bagian dan menunjukkan gagasan progresif, yaitu: (1) dasar

pemikiran atau realitas tempat berpijak, (2) argumentasi atau cara menempatkan dasar

pemikiran bersama, dan (3) simpulan atau hasil yang dicapai dengan menerapkan

argumentasi pada dasar pemikiran.

Dari uraian di atas terlihat bahwa terdapat perbedaan proses menghafal

dengan berpikir logis. Menghafal hanya mengacu pada pencapaian kemampuan

ingatan belaka, sedangkan berpikir logis lebih mengacu pada pemahaman pengertian

(dapat mengerti), kemampuan aplikasi, kemampuan analisis, kemampuan sintesis,

bahkan kemampuan evaluasi untuk membentuk kecakapan (suatu proses).

Untuk dapat menghantar siswa pada kegiatan berpikir logis hendaknya kepada
siswa dibiasakan untuk selalu tanggap terhadap permasalahan yang dihadapi dengan

mencoba menjawab pertanyaan “mengapa”, “apa”, dan “bagaimana”. Sebagai contoh,

kepada siswa kelas III SD diminta untuk menjawab pertanyaan berapa hasil kali 6x8.

Bagi siswa yang telah terbiasa dengan menghafal tentu ia dapat menjawab langsung

48. Namun jika ditanya mengapa hasilnya 48, siswa akan kebingungan karena

dibenaknya hanya tergambar ingatan angka 48. Bagi siswa yang terbiasa dengan

berpikir logis, pertanyaan seperti di atas sudah sering ia dapatkan. Bahkan, ia akan

mencoba memahami apa arti dari perkalian tersebut. Hal ini berarti bahwa siswa telah

menangkap makna atau pengertian dari soal tersebut.

Sebagai konsekuensinya perlu diperhatikan pendekatan pembelajaran yang

digunakan di kelas. Ruseffendi (2001) berpendapat bahwa untuk membudayakan

berpikir logis serta bersikap kritis dan kreatif proses pembelajaran dapat dilakukan

dengan pendekatan matematika realistik. Selanjutnya dikatakan, jika kita (guru) rajin

memperhatikan lingkungan dan mengaitkan pembelajaran matematika dengan

lingkungan maka besar kemungkinan berpikir logis siswa itu akan tumbuh.

2. 2 Sikap siswa terhadap matematika

Seperti telah diuraikan di atas, tujuan pendidikan matematika antara lain

adalah penekanannya pada pembentukan sikap siswa. Dengan kata lain, dalam proses

pembelajaran matematika perlu diperhatikan sikap positif siswa terhadap matematika.

Hal ini penting mengingat sikap positif terhadap matematika berkorelasi positif

dengan prestasi belajar matematika (Ruseffendi, 1988).

Sikap merupakan suatu kecenderungan seseorang untuk menerima atau

menolak sesuatu, konsep, kumpulan ide, atau kelompok individu. Matematika dapat
diartikan sebagai suatu konsep atau ide abstrak yang penalarannya dilakukan dengan

cara deduktif aksiomatik. Hal ini dapat disikapi oleh siswa secara berbeda-beda,

mungkin menerima dengan baik atau sebaliknya. Dengan demikian, sikap siswa

terhadap matematika adalah kecenderungan untuk menerima atau menolak

matematika.

Berkaitan dengan sikap positif siswa terhadap matematika, beberapa

pendapat, antara lain Ruseffendi (1988), mengatakan bahwa anak-anak menyenangi

matematika hanya pada permulaan mereka berkenalan dengan matematika yang

sederhana. Makin tinggi tingkatan sekolahnya dan makin sukar matematika yang

dipelajarinya akan semakin berkurang minatnya. Menurut Begle (1979), siswa yang

hampir mendekati sekolah menengah mempunyai sikap positif terhadap matematika

yang secara perlahan menurun.

Siswa yang memiliki sikap positif terhadap matematika memiliki ciri antara

lain terlihat sungguh-sungguh dalam belajar matematika, menyelesaikan tugas dengan

baik dan tepat waktu, berpartisipasi aktif dalam diskusi, mengerjakan tugas-tugas

pekerjaan rumah dengan tuntas, dan selesai pada waktunya.

Dengan demikian, untuk menumbuhkan sikap positif terhadap matematika,

perlu diperhatikan agar penyampaian matematika dapat menyenangkan, mudah

dipahami, tidak menakutkan, dan tunjukkan bahwa matematika banyak kegunaannya.

Oleh karena itu, materi harus dipilih dan disesuaikan dengan lingkungan yang

berkaitan dengan kehidupan sehari-hari (kontekstual) dan tingkat kognitif siswa,

dimulai dengan cara-cara informal melalui pemodelan sebelum dengan cara formal.

Hal ini sesuai dengan karakteristik pendekatan matematika realistik.

2.3 Pendekatan Matematika Realistik (PMR)


Perubahan paradigma pembelajaran dari pandangan mengajar ke pandangan

belajar atau pembelajaran yang berpusat pada guru ke pembelajaran yang berpusat

pada siswa membawa konsekuensi perubahan yang mendasar dalam proses

10

pembelajaran di kelas. Perubahan tersebut menuntut agar guru tidak lagi sebagai

sumber informasi, melainkan sebagai teman belajar. Siswa dipandang sebagai

makhluk yang aktif dan memiliki kemampuan untuk membangun pengetahuannya

sendiri.

Untuk mendukung proses pembelajaran yang sesuai dengan perubahan

tersebut dan sesuai dengan tujuan pendidikan matematika, diperlukan suatu

pengembangan materi pelajaran matematika yang difokuskan pada aplikasi dalam

kehidupan sehari-hari (kontekstual) dan disesuaikan dengan tingkat kognitif siswa,

serta penggunaan metode evaluasi yang terintegrasi pada proses pembelajaran tidak

hanya berupa tes pada akhir pembelajaran (formatif atau sumatif) (Subandar, 2001).

Ditinjau dari perubahan kurikulum yang saat ini sedang diberlakukan, yaitu

Kurikulum 2004, pendekatan matematika realistik adalah salah satu pendekatan

pembelajaran yang sesuai dengan perubahan tersebut.

Matematika realistik dikembangkan berdasarkan pandangan Freudenthal yang

berpendapat bahwa matematika merupakan kegiatan manusia yang lebih menekankan

aktivitas siswa untuk mencari, menemukan, dan membangun sendiri pengetahuan

yang diperlukan sehingga pembelajaran menjadi terpusat pada siswa (Soedjadi,

2004). Matematika Realistik pertama kali dikembangkan oleh Institut Freudenthal di

Negeri Belanda dan telah menempatkan negara tersebut pada posisi ke-7 dari 38

negara peserta TIMSS tahun 1999 (Mullis et al., 2000). Matematika realistik juga
telah diadopsi oleh banyak negara maju seperti Inggris, Jerman, Denmark, Spanyol,

Portugal, Afrika Selatan, Brasilia, Amerika Serikat, Jepang, dan Malaysia (de Lange,

11

1996; Zulkardi, 2001). Salah satu hasil yang dicapai oleh negara-negara tersebut

adalah prestasi siswa yang meningkat, baik secara nasional maupun internasional

(Romberg, 1998).

Hasil studi di Puerto Rico menyebutkan bahwa prestasi siswa yang mengikuti

program pembelajaran matematika dengan pendekatan matematika realistik berada

pada persentil ke-90 ke atas (Turmudi, 2004; Haji, 2005), suatu prestasi yang sangat

fantastis untuk mata pelajaran matematika yang banyak dipandang siswa sebagai

mata pelajaran yang sangat menakutkan dan membosankan.

Di Indonesia, beberapa hasil penelitian, antara lain yang dilakukan Fauzan

(2002), menemukan bahwa hasil pembelajaran geometri siswa kelas IV dan V SD

dengan pendekatan matematika realistik pada tes akhir lebih tinggi daripada

pembelajaran secara tradisional. Demikian juga hasil penelitian Armanto (2002) yang

menemukan bahwa hasil pembelajaran perkalian dan pembagian bilangan besar siswa

kelas IV SD dengan pendekatan matematika realistik lebih baik daripada

pembelajaran secara tradisional.

Menurut Turmudi (2004), pembelajaran matematika dengan pendekatan

matematika realistik sekurang-kurangnya telah mengubah minat siswa menjadi lebih

positif dalam belajar matematika. Hal ini berarti bahwa pendekatan matematika

realistik dapat mengakibatkan adanya perubahan pandangan siswa terhadap

matematika dari matematika yang menakutkan dan membosankan ke matematika

yang menyenangkan sehingga keinginan untuk mempelajari matematika semakin

besar.
12

Ide utama dari pendekatan matematika realistik adalah bahwa siswa harus

diberi kesempatan untuk menemukan kembali (reinvent) ide dan konsep matematika

dengan bimbingan orang dewasa melalui penjelajahan berbagai situasi dan persoalan-

persoalan dunia nyata atau real world (Gravemeijer, 1994). Menurut De Lange

(1996) dan Suharta (2004), proses pengembangan konsep dan ide matematika yang

dimulai dari dunia nyata disebut Matematisasi Konsep dan memiliki model skematis

proses belajar seperti gambar berikut:

Dunia Nyata

Matematisasi dalam Aplikasi Matematisasi dan

Refleksi

Abstraksi dan Formalisasi

Gambaran proses belajar di atas tidak mempunyai titik akhir. Hal ini

menunjukkan bahwa proses lebih penting daripada hasil akhir, sedangkan titik awal

proses belajar menekankan pada konsepsi yang sudah dikenal siswa. Hal ini

disebabkan oleh asumsi bahwa setiap siswa memiliki konsep awal tentang ide-ide

matematika. Setelah siswa terlibat secara bermakna dalam proses belajar, ia dapat

ditingkatkan ke tingkat yang lebih tinggi untuk secara aktif membangun pengetahuan

baru.

Matematika tidak disajikan dalam bentuk hasil jadi (a ready-made product),

tetapi siswa harus belajar menemukan kembali konsep-konsep matematika. Siswa

13

membentuk sendiri konsep dan prosedur matematika melalui penyelesaian soal yang

realistik dan kontekstual. Hal ini sesuai dengan pandangan teori constructivism yang
menyatakan bahwa pengetahuan matematika tidak dapat diajarkan oleh guru,

melainkan harus dibangun sendiri oleh siswa (Cobb dalam Armanto, 2001).

Soal kontekstual (context problem) dimaksudkan untuk menopang

terlaksananya suatu proses penemuan kembali (reinvention) yang memberi peluang

bagi siswa untuk secara formal memahami matematika (Gravemeijer,1994, Subandar,

2001). Oleh karena itu, matematika harus dekat dengan siswa dan relevan dengan

situasi kehidupan sehari-hari.

Menurut Gravemeijer (1994) dan Armanto (2002), terdapat tiga prinsip utama

dalam PMR, yaitu a) penemuan terbimbing dan bermatematika secara progresif

(guided reinvention and progressive mathematization); b) fenomena pembelajaran

(didactical phenomenology); dan c) model pengembangan mandiri (self-developed

model). Prinsip penemuan terbimbing berarti bahwa siswa diberi kesempatan untuk

menemukan sendiri konsep matematika dengan menyelesaikan berbagai soal

kontekstual. Soal kontekstual mengarahkan siswa membentuk konsep, menyusun

model, menerapkan konsep yang telah diketahui, dan menyelesaikannya berdasarkan

kaidah matematika yang berlaku.

Bermatematika secara progresif dapat dibagi atas dua komponen, yaitu

bermatematika secara horizontal dan vertikal (Treffers dan Goffree,1985). Yang

dimaksud bermatematika secara horizontal adalah siswa mengidentifikasi bahwa soal

kontekstual harus ditransfer ke dalam soal bentuk matematika untuk lebih dipahami

14

melalui penskemaan, perumusan, dan pemvisualisasian sehingga menemukan

kesamaan dan hubungan dengan model matematika yang telah diketahui siswa.

Bermatematika secara vertikal adalah siswa menyelesaikan bentuk matematika

formal atau tidak formal dengan menggunakan konsep, operasi, dan prosedur
matematika yang berlaku.

Prinsip fenomena pembelajaran menekankan pada pentingnya soal

kontekstual untuk memperkenalkan konsep-konsep matematika kepada siswa.

Menurut Treffers dan Goffree (Subandar, 2001), konteks memainkan peranan utama

dalam semua aspek pendidikan, pembentukan konsep, pembentukan model, aplikasi,

dan dalam mempraktekkan keterampilan-keterampilan tertentu. Dalam konteks perlu

mempertimbangkan dua aspek, yaitu: (1) kesesuaian aplikasi konteks dalam

pengajaran dan (2) kesesuaian dampak dalam proses penemuan kembali bentuk dan

model matematika dari soal kontekstual tersebut. Aktivitas pembelajaran berlangsung

secara progresif dan kental dengan diskusi interaktif antara siswa-siswa dan siswa-

guru serta lingkungan.

Prinsip pengembangan model mandiri (self-developed model) berfungsi untuk

menjembatani jurang antara pengetahuan matematika tidak formal dan matematika

formal dari siswa. Siswa mengembangkan model tersebut dengan menggunakan

model-model matematika (formal dan tidak formal) yang telah diketahuinya dengan

menyelesaikan soal kontekstual dari situasi nyata (real) yang sudah dikenal siswa,

kemudian ditemukan “model dari” (model of) dalam bentuk informal kemudian

diikuti dengan menemukan model dalam bentuk formal sehingga akhirnya

15

mendapatkan penyelesaian masalah dalam bentuk pengetahuan matematika yang

standar.

Dari prinsip di atas diperoleh kesimpulan bahwa Pendekatan Matematika

Realistik (PMR) secara garis besar memiliki lima karakteristik (De Lange, 1996;

Treffers, 1991; Gravemeijer, 1994; Darhim, 2004), yaitu: (1) menggunakan masalah
kontekstual sebagai peluang bagi aplikasi dan sebagai titik tolak dari mana suatu

konsep matematika yang diinginkan dapat muncul; (2) menggunakan model atau

jembatan dengan instrumen vertikal dengan perhatian diarahkan pada pengenalan

model, skema, dan simbolisasi daripada mentransfer rumus atau matematika formal

secara langsung; (3) menggunakan kontribusi siswa dengan kontribusi yang besar

pada proses pembelajaran datang dari siswa sendiri di mana mereka dituntut dari

cara-cara informal ke arah yang formal; (4) terjadinya interaktivitas dalam proses

pembelajaran di mana negosiasi secara eksplisit, intervensi kooperasi, dan evaluasi

sesama siswa dan guru adalah faktor penting dalam proses pembelajaran secara

konstruktif dengan menggunakan strategi informal sebagai jantung untuk mencapai

formal; dan (5) menggunakan berbagai teori belajar yang relevan, saling terkait, dan

terintegrasi dengan topik pembelajaran lainnya. Pendekatan holistik menunjukkan

bahwa unit-unit belajar tidak akan dapat dicapai secara terpisah, tetapi keterkaitan

dan keterintegrasian harus diwujudkan dalam pemecahan masalah.

16

3. Simpulan dan Saran

Proses pembelajaran matematika di kelas sampai saat ini masih didominasi

oleh paradigma mengajar yang memiliki ciri-ciri antara lain: guru aktif

menyampaikan informasi dan siswa pasif menerima; pembelajaran berfokus

(berorientasi) pada guru, bukan pada siswa; ketergantungan siswa pada guru cukup

besar; independensi berpikir siswa kurang dikembangkan; pemahaman siswa

cenderung pada pemahaman instrumental, bukan pada pemahaman relasional.

Praktek pembelajaran di atas jelas tidak memberikan kesempatan kepada siswa untuk

mengembangkan ide-ide kreatif, kurang melatih daya nalar, dan tidak terbiasa melihat

alternatif lain yang mungkin dapat dipakai dalam menyelesaikan suatu masalah.
Akhirnya siswa menjadi robot yang harus mengikuti aturan atau prosedur yang

berlaku, siswa menghafalkan saja semua rumus atau konsep tanpa memahami

maknanya dan tidak mampu menerapkannya dalam situasi lain. Akibatnya terjadilah

pembelajaran mekanistik.

Pembelajaran bermakna yang diharapkan dapat mengembangkan kemampuan

berpikir logis dan sikap siswa terhadap matematika sering terabaikan. Akibatnya

tidak sedikit siswa yang merasa takut terhadap matematika, merasa terbebani dengan

soal-soal matematika, dan bahkan bila mungkin lebih baik menghindari matematika.

Akibatnya, beberapa hasil penelitian menunjukkan hasil belajar yang kurang

memuaskan. Oleh karena itu perlu perubahan pembelajaran dari paradigma mengajar

ke paradigma belajar atau pembelajaran yang berpusat pada guru ke pembelajaran

yang berpusat pada siswa. Upayakan proses pembelajaran yang menyenangkan.

17

Tunjukkan bahwa matematika sangat berguna dalam kehidupan sehari-hari sehingga

matematika tidak dipandang sebagai sesuatu yang menyeramkan. Penilaian harus

dilakukan terhadap keseluruhan, baik proses maupun hasil dalam rangka untuk

memperbaiki proses pembelajaran, bukan merupakan akhir dari proses pembelajaran.

Perubahan paradigma pembelajaran tersebut sesuai dengan paham

konstruktivisme yang menyatakan bahwa pengetahuan matematika tidak dapat

diajarkan oleh guru, melainkan harus dibangun sendiri oleh siswa. Paham ini

mendasari pendekatan matematika realistik.

Kajian teori yang telah dikemukakan di atas maupun hasil penelitian yang

telah dilakukan baik di dalam negeri maupun di luar negeri menunjukkan bahwa

pendekatan matematika realistik layak dipertimbangkan untuk digunakan di jenjang


pendidikan dasar di Indonesia dalam rangka untuk meningkatkan berpikir logis dan

sikap siswa terhadap matematika yang pada akhirnya dapat meningkatkan hasil

belajar siswa dalam matematika.

18

Pustaka Acuan

Albrecht, K. 1992. Daya Pikir. Semarang: Dahar Prize.

Armanto, D. 2001. Aspek Perubahan Pendidikan Dasar Matematika melalui

Pendidikan Matematika Realistik (PMR). (Kumpulan makalah pada Seminar

Nasional Sehari: Penerapan Pendidikan Matematika Realistik Pada Sekolah

Dan Madrasah). Medan: tidak diterbitkan.

Armanto, D. 2002. Teaching Multiplication and Division Realistically in Indonesian

Primary Schools: A Prototype of Local Instructional Theory. Dissertation,

University of Twente. Enschede: Print Partners Ipskamp.

Begle, E. G. 1979. Critical Variables in Mathematics Education. Washington D.C:

The Mathematical Association of America and NCTM.

Cooper, B. dan Harries, T. 2002. Children’s Responses To Contrasting Realistic

Mathematics Problems: Just How Realistic Are Children Ready To Be? The

Netherlands: Educational Studies in Mathematics, Kluwer Academic

Publishers.

Darhim. 2004. Pengaruh Pembelajaran Matematika Kontekstual Terhadap Hasil

Belajar dan Sikap Siswa Sekolah Dasar Kelas Awal Dalam Matematika.

Disertasi, tidak diterbitkan. Bandung: PPS UPI.

De Lange, Jan. 1996. Assessment: No Change without Problems. The Netherlands:

Freudenthal Institute.

Fauzan, A. 2002. Applying Realistic Mathematics Education in Teaching Geometry in


Indonesian Primary Schools. Doctoral Dissertation, University of Twente,

Enschede, The Netherlands.

Gravemeijer, K.P.E. 1994. Developing Realistic Mathematics Education. Utrecht:

CD-b Press.

Haji, S. 2005. Pengaruh Pendekatan Matematika Realistik Terhadap Hasil Belajar

Matematika di Sekolah Dasar. Disertasi, tidak diterbitkan. Bandung: PPS

UPI.

Marpaung, Y. 2001. Implementasi Pendidikan Matematika Realistik di Indonesia.

(Kumpulan makalah pada Seminar Nasional Sehari: Penerapan Pendidikan

Matematika Realistik Pada Sekolah Dan Madrasah). Medan.

19

Mukhayat, T. 2004. Mengembangkan Metode Belajar yang Baik Pada Anak.

Yogyakarta: FMIPA UGM.

Mullis, I.V.S., Martin, M.O., Gonzales, E.J., Gregory, K.d., Garden, R.a., O’Connnor,

K.M., Chrostowski, S.J., and Smith, T.a. (2000). TIMSS 1999: International

Mathematics Report. Boston: The International Study Center, Boston

College, Lynch School of Education.

Poedjawijatna. 1992. Logika Filsafat Berpikir. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Puskur. (2002). Kurikulum dan Hasil Belajar: Kompetensi Dasar Mata Pelajaran

Matematika Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtidaiyah. Jakarta: Balitbang

Depdiknas.

Romberg, T.A. 1998. Problematics Features of the School Mathematics Curiculum.

In Bishop et al. (Eds.). International Handbook of Mathematics Education.

Edited Dordrecht, The Netherlands: Kluwer Academic Publishers.


Ruseffendi, H.E.T. 1988. Pengantar kepada Membantu Guru Mengembangkan

Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA.

Bandung: Tarsito.

Ruseffendi, H.E.T. 2001. Evaluasi Pembudayaan Berpikir Logis Serta Bersikap

Kritis dan Kreatif Melalui Pembelajaran Matematika Realistik. Makalah

disampaikan Pada Lokakarya di Yogyakarta. Yogyakarta.

Saragih, S. 2000. Analisis Strategi Kognitif Siswa SLTP Negeri 35 Medan dalam

Menyelesaikan Soal-soal Matematika. Jurnal Penelitian Kependidikan

Tahun 10. NO. 2 Des 2000. Malang.

Soedjadi, R. 2004. PMRI dan KBK dalam Era Otonomi Pendidikan. Buletin PMRI.

Edisi III, Jan 2004. Bandung: KPPMT ITB Bandung.

Subandar, J. 2001. Aspek Kontekstual dalam Pembelajaran Matematika. Kumpulan

Makalah pada Seminar Nasional Sehari: Penerapan Pendidikan Matematika

Realistik Pada Sekolah Dan Madrasyah. Medan.

Suharta, I.G.P. 2004. Matematika Realistik: Apa dan Bagaimana? Editorial Jurnal

Pendidikan dan Kebudayaan. Edisi 38. Depdiknas Jakarta.

Swoboda, E. 2004. How to prepare prospective teachers to teach mathematics: Some

Remarks. eswoboda@univ.rzeszow.pl. Poland Rzeszow University.

20

Treffers, A. dan Goffree. 1985. Rational Analysis of Realistic Mathematics

Education. The Wiskoba Program. In L.Streefland (ed.), Proceeding of the

ninth International Conference for the Psychology of Mathematics

Education. Volume 2. Utrecht: OW & OC.

Turmudi. 2004. Pengembangan Materi Ajar Matematika Realistik di Sekolah Dasar.

Makalah disampaikan pada Lokakarya Pembelajaran Matematika Realistik


Bagi Guru SD di Kota Bandung tgl. 7,13, dan 14 Agustus 2004 UPI

Bandung. tidak diterbitkan.

Zulkardi. 2001. Realistics Mathematics Education (RME): Teori, Contoh

Pembelajaran dan Teman Belajar di Internet. Makalah yang disampaikan

pada Seminar Nasional pada tgl. 4 April 2001 di UPI Bandung: Bandung:

tidak diterbitkan.

21

You might also like