You are on page 1of 24

TUJUH PILAR ETIKA BISNIS: MENUJU KONSEP KOPREHENSIF

William Arthur Wines

ABSTRAK: Artikel ini mengajukan pertanyaan tentang “mengapa” (“why”) kita


mengajarkan etika bisnis (business ethics). Jawaban kami terhadap “mengapa”
memberikan dua tanggapan terhadap mereka yang menentang kursus atau pengajaran
etika bisnis dan suatu petunjuk untuk isi dari kursus itu. Kami meyakini sebuah
kursus yang jelas dan komprehensif dalam etika bisnis tidak saja berbicara tentang
filsafat moral, dilema-dilema etis, dan tanggung jawab sosial perusahaan (corporate
social responsibility) – pilar-pilar tradisional dari disipslin itu – namun juga bidang-
bidang tambahan yang penting untuk mengerti keberlanjutan (the goings-on) dalam
dunia bisnis dan dalam penyebarannya. “Pilar-pilar baru” ini (these “new pillars”),
yang kami usulkan mencakup psikologi moral, desain organisasional dan tingkah
laku, teori motivasional, dan sebuah unit tentang bagaimana interaksi antara
masyarakat, bisnis dan hukum. Unit terakhir ini berdasarkan pada karya dari Francis
P. McHugh (1988) yang mengajukan suatu integrasi “disiplin-disiplin yang
berhubungan dengan etika bisnis.” Tujuh pilar yang kami ajukan mencakup sebuah
integrasi dari hukum, teori sosio-politik, dan kebijakan untuk menunjukkan
bagaimana bisnis membantu membangun kerangka (konsep) peraturannya sendiri.
Rekomendasi penyimpulnya adalah untuk membangun sebuah “seven pillars” yang
komprehensif dari pendekatan etika bisnis.

Kata Kunci: biang-bidang yang melingkupi etika bisnis, interaksi masyarakat, bisnis
dan hukum, tanggung jawab sosial perusahaan, dilema-dilema etis, filsafat moral,
psikologi moral, alasan moral, teori motivasi, dinamika organisasional, alasan-alasan
untuk mengajarkan etika bisnis.

Introduksi
Pada suatu hari, seorang kolega/rekan mengatakan kepada saya, “Anda tidak
perlu mengajar kepada 90% dari antara kami untuk menjadi ahli etika bisnis. Etika

1
bisnis harus mengajar secara penuh [agaknya dengan aturan perundang-undangan).”1
Saya menjawab bahwa regulasi dan pemenuhan peraturan itu merupakan subyek
atau pokok dari situasi/kondisi legal dari bisnis (Legal Environment of Business)2.
Etika bisnis bukan merupakan sebuah kursus dalam keadilan kriminal, dan umumnya
para praksioner dari aliran utama mengerti masalah-masalah etika itu muncul
berdasarkan tujuan dari hukum itu sendiri3. Akhirnya, saya mengingatkan dia bahwa
setiap bidang fungsional dari seorang professor mempunyai tugas untuk membuat
para mahasiswanya menyadari tentang dasar-dasar pengetahuan yang relevan,
pembentukan batas-batas legal dalam bidangnya baik sebagai laki-laki mapun
perempuan.
Kami berkerja sama secara damai dan memahami perbedaan-perbedaan yang
sama itu. Komentar akhirnya adalah: “Anda harus mengajar secara utuh; karena
itulah yang diharapkan oleh komunitas bisnis supaya anda lakukan.” Diskusi kami
itu menggambarkan salah satu dari masalah atau issue sentral dalam etika bisnis,
yaitu: apakah alasan-alasannya untuk mengajarkan etika bisnis? Mengapa hal itu
harus diajarkan? Beberapanya telah mengusulkan bahwa kursus-kursus
(pelajaran/kuliah) etika bisnis harus dihapuskan dan diganti dengan kursus yang
lebih berhubungan dengan hukum bisnis (business law courses) (Prentice, 2002).
Harvard menanggapi sejumlah pencairan (meltdowns) legal dan etika yang sedang
berlangsung sekarang ini (Farrell, 2006) dengan membuat begitu banyak modul
tentang etika bisnis.4 ADa juga beberapa sekolah (mazab) bisnis lainnya yang mulai
memperkenalkan kepada para mahasiswa MBA-nya tentang white-collar convicts
dengan harapan untuk “scaring them straight” (secara langsung menakut-nakuti
mereka”)5
Dasar argumen ini meyakini bahwa tidak ada gunanya mencoba mengajarkan
etika pada tingkat perguruan tinggi karena secara sederhana hal itu “sangat
terlambat” jika para mahasiswa tidak mengetahui perbedaan-perbedaan antara yang
benar dan salah atas kegiatan bisnisnya (Berleson and Steinier, 1964, p. 562).
Argumen varian lainnya menyatakan bahwa etika bisnis tidak dapat diajarkan
sepanjang para pendidik bisnis (business educators) menolak untuk menelusuri
dasar-dasar etika dari model utamanya (Berg, 1989, pp. 111-132). Sebuah pandangan
yang agak kontroversial menyatakan bahwa etika bisnis sebagaimana diajarkan

2
umumnya tidak relevan kepada para manajer bisnis karena hal itu mengajarkan
tentang sebuah bentuk/jenis dunia lain (otherworldly type) dari kesempurnaan moral
(moral perfectionism) (Stark, 1993). Sebagaimana dapat dilihat, banyak sudut
pandang yang berbeda berkembang dari banyak praanggapan yang berbeda-beda
yang menghasilkan sebuah varietas opini yang lebih luas tentang apa cakupan dari
kursus seperti itu (McHugh, 1988, pp. 3-18); dan opini-opini seperti ini meliputi
cakupan pilihan yang luas seperti tentang apa sasaran-sasaran dari kursus seperti itu.
Artikel ini akan berbicara tentang masalah-masalah fundamental ini.6
Dengan menggarisbawahi keprihatinan tentang mereka yang menantang kursus
(kuliah/pelajaran) etika bisnis nampaknya ada sebuah premis yang tidak dinyatakan:
jika kita memasukan sebuah kursus etika bisnis dalam kurikulum kita, kita harus
mempunyai jaminan bahwa para mahasiswa yang mengambil kursus tersebut akan
menjadi para manajer yang lebih baik dan lebih taat hukum (better and more law-
abiding managers) (Levin, 1990; Miller and Miller, 1976; Vogel, 1987). Akibat
wajar dari premis itu adalah bahwa proponen-proponen dari etika bisnis harus
sanggup memberikan dengan bukti yang kuat (baca : “data empiris”) bahwa sebuah
kursus atau ilmu tertentu dalam etika bisnis akan mempunyai efek yang diharapkan
dengan menggunakan sebuah model yang mencakupi semua variabel konstan
lainnya. Tentu saja, bukti seperti itu tidaklah tersedia; dan juga model-model
computer yang paling canggihpun tidak dapat memuat semua isi variabel lainnya
kecuali sebuah kursus atau mata kuliah dalam perguruan tinggi melampaui rentangan
waktu dari sebuah karir bisnis 40-tahunan.
Sebelum kami dapat berbicara secara mendalam apa yang harus dipikirkan
dalam kursus etika bisnis, kami harus menanggapi para kolega kami yang
memberikan pandangan yang bertentangan dengan kursus itu (Kelly, 2002).
Konsekuensinya, bagian pertama dari artikel ini akan memberikan sebuah tanggapan
terhadap argumen bahwa kursus-kursus etika bisnis tidak perlu ada dalam kurikulum
karena kursus-kursus seperti itu tidak dapat dibuktikan bahwa hal itu dapat
meningkatkan motivasi para mahasiswa untuk menjadi para manajer yang lebih taat
hukum (Academe Today, 1999; Fraedrich and Ferrell, 1992). Dan bagian kedua dari
artikel ini memproses persyaratan dari sebuah freestanding dan sebuah kursus yang

3
luas dalam etika bisnis sebagai bagian dari inti kurikulum (core curricula) MBA dan
tingkat sarjana.
Perluasan bidang-bidang konsep tradisional itu tercakup dalam etika bisnis
yang mencakup disiplin-disiplin yang melampaui filsafat moral dan tanggung jawab
sosial perusahaan (corporate social responsibility). “Pilar-pilar baru” ini harus
mencakup psikologi moral (Gilligan, 1982), desain dan tingkah laku organisasional
(Wines and Hamilton, 2004), teori motivasional (Maslow, 1954) dan tanggapan
terhadap otoritas (Blass, 2000), dan secara singkat tentang kewarganegaraan (civics)
(McHugh, 1988). Artikel ini mengajukan sebuah “Seven Pillars” dari pendekatan
etika bisnis – dengan sebuah penghargaan terhadap kontribusi dari T.E. Lawrence
(Lawrence, 1926).
Artikel ini meringkaskan tiga (3) pilar tradisional dari etika bisnis.8 Sebuah
tinjauan tentang subyek-subyek yang tercakup dalam sebuah sampel dari buku-buku
etika bisnis populer yang menegaskan bahwa secara umum mereka berhadapan
dengan tiga pilar tradisional ini (Hartman, 1998, p. 1). Bagaimanapun, beberapa
topik yang lebih baru muncul dalam jurnal-jurnal ini (Premeux, 2004) dan pada
konferensi-konferensi.9 Hanya karena pendidikan itu sendiri tidak dapat bebas nilai
(“values-neutral”) secara utuh, (Sloan, 1980) maka seleksi terhadap topik-topiknya
dan penekanannya dalam sejumlah kursus harus mencerminkan sekumpulan nilai
dasar dari sebuah perguruan tinggi, departemen dan/atau instruktur.10 Bagaimanapun
yang menarik topik seperti itu mungkin, melampaui skope dari artikel ini. Penyatuan
sederhana (Dubrow and Wilkinson, 1984) membutuhkan para instruktur untuk
berada dalam ikatan dengan nilai-nilai moral yang diyakini bersama.

Tanggapan terhadap “mengapa mengajarkan etika bisnis”?

Pertentangan budaya dalam sekolah-sekolah bisnis

Dalam sebuah artikel profetis 1987, Mulligan menggambarkan pertentangan


dari dua budaya dalam sekolah (mazab) bisnis. Didorong oleh Pierson et al. (1959)
dan Gordon dan Howell (1959) yang melaporkan bahwa sekolah-sekolah atau
mazab-mazab bisnis yang terus memasukan model-model empiris, matematis, dan

4
ilmiah. Pencapaian dari perjuangan keras empiris dan ilmiah telah mencapai pada
mahalnya analisis kualitatif dan humanitas. Dalam transisi itu, dua kultur
pembelajaran itu telah masuk dalam pertentangan dan hampir memperlihatkan
penyingkiran satu sama lain. Mulligan menulis:

… Perbedaan yang paling dalam antara dua kultur itu adalah perbedaan-
perbedaan filosofis, yang menggerakan kultur-kultur itu dalam arah-arah yang
bertentangan – ke dalam pertentangan dan, pandangan-pandangan yang hampir
ekstrim, saling menyingkirkan satu sama lain berhubungan dengan apa yang
dilihat sebagai metode untuk peningkatan pengetahuan dan apa yang dianggap
sebagai obyek dari studi yang dapat diinvestigasikan (1987, p. 595).

Sebagaimana Mulligan tunjukkan kemudian dalam karya pendahuluannya,


titik tabrakan antara dua kultur itu muncul pada suatu titik perbedaan waktu antara
etika bisnis dan ilmu pengetahuan tingkah laku tradisional (tradisional behavioral
sciences).
Pada dasarnya, mereka yang mengakui etika yakin bahwa manusia merupakan
para aktor otonom yang mampu membuat pilihan-pilihan yang bermakna.11 Di mana
hal ini mempunyai “pertentangan” (disconnect) yang besar yang terjadi antara para
ahli etika bisnis dan para koleganya, para ahli ampiris (empiricists). Sebagaimana
Mulligan tunjukkan, “pengamatan batas air – watershed dari David hume, dilakukan
tahun 1773, bahwa anda tidak dapat mencapai suatu “keharusan” moral dari sebuah
yang empiris ‘adalah’ yang tetap kokoh” (1987, p. 596). Konsekuensinya, Karl
Popper dan sejumlah ilmuwan lainnya, yang melihat keputusan-keputusan moral
mengalami kesalahan (lacking falsibiability), yakin keputusan-keputusan moral
berada di luar dari kaidah-kaidah atau aturan-aturan untuk penemuan ilmiah. Para
ahli tingkah laku (kepribadian), secara umum, melihat manusia sebagai mekanisme-
mekanisme yang dapat dipelajari. Inilah “akar dari …. apa yang C.P. Snow sebut
‘ketidakpahaman dan ketidaksukaan’ – incomprehension and dislike – antara dua
kultur (kebiasaan) dalam pendidikan bisnis.” Dari perspektif seorang ahli
kepribadian/perilaku (behavioral scientist) seperti B.F. Skinner, sebuah tindakan

5
bebas akan melenceng – suatu peristiwa tanpa sebab atau, keburukan, sebuah
kejadian yang menyebabkan dirinya.
Sekarang, hampir dua decade setelah Mulligan memperkenalkan artikelnya,
kemenangan dari sekolah ilmiah, matematis dan empiris hampirlah lengkap. Kursus-
kursus etika bisnis tidaklah mncul dari curricula program-program MBA; dan
tingkat kepunahannya tampaknya meningkat terus (Kelly, 2002). Delapan belas
tahun yang lalu, hanya 7% dari program MBA mengharuskan kursus-kursus bebas
dalam etika bisnis (Paine, 1988, p. 10); sekarang jumlah itu nampak terjadi
penurunan bersamaan dengan modul-modul etika bisnis dan pilihan-pilihan dalam
etika bisnis.
Diane Swanson dari Kansas State University dan William Frederick, emeritus
dari University of Pittsburgh, bergabung dalam pemogokan tahun 2002 untuk
mendorong suatu Task Force nasional menyangkut Business Ethics Eduaction
(Kellu, 2002, p. 4). Apa yang mereka lihat “tidak lebih dari suatu ‘penyelidikan
komprehensif dalam peran bahwa sekolah-sekolah bisnis dan badan akreditasinya,
AACSB, berperan dalam menanamkan pada diri mahasiswa-mahasiswanya sebuah
sikap amoral normative yang mengijinkan, mentoleransi, dan pada saat yang sama
mendorong tingkah laku yang tidak etis, curang, korup dan illegal oleh para
praksioner bisnis.’” Swanson dan Frederick berusaha untuk membolisasi upaya
untuk meprotes bahwa draft baru standar-standar AACSB tidak berubah cukup jauh
dalam mendorong kursus-kursus itu dalam etika bisnis. Dalam kenyataannya, draft
sandar itu beredar dalam pemogokan tahun 2002 sama sekali tidak menyebabkan
adanya sebuah kursus yang spesifk dalam etika. Malah, standar-standar sekarang ini,
diadopsi pada tanggal 25 April 2003, yang meneruskan kebijakan AACSB
berdasarkan fleksibilitas dari tahun 1990 dan hanya memuat “pemahaman etika dan
alasan kemampuan” sebagai salah satu dari beberapa yang terkenal sebagai
“pengalaman-pengalaman pembelajaran” (“learning experiences”) yang harus
dimasukan pada suatu tempat, di manapun, dalam kurikulum sebelum tingkat sarjana
(AACSB, 2003). Dalam pengalaman sang penulis, setiap orang pada fakultas COB
bertanggungjawab untuk mengajar etika, etika bisnis tidak diajarkan.12
Pada akhirnya, yang sama pentingnya dengan proponen-proponen itu adalah
dasar Task Force dari argument itu mengalami kemacetan. Hal itu juga berperan

6
dalam kekuatan antagonis dari Task Force. Tanggapan untuk argumen seperti itu
mungkin akan menjadi tantangan yang baik untuk Task Force “untuk membuktikan
bahwa sebuah kursus yang dibutuhkan dalam etika bisnis dalam program M.B.A dua
tahun menghasilkan seorang manajer yang lebih taat hukum, seorang manajer yang
lebih etis.” Beban pokok pembuktian itu tidak dapat ditanggung. Tentu saja, hal itu
merupakan satu hal untuk menegaskan bahwa “sistem nilai yang terpasang secara
ortodoks” dari kemampuan bisnis (Conry and Nelson, 1989, p. 4) umumnya
membantu dan menimbulkan perbuatan yang salah oleh para manajer perusahaan;
namun hal itu merupakan masalah yang sungguh berbeda untuk dijadikan sebagai
bukti. “Bukti” membutuhkan model yang ilmiah, empiris; dan secara tidak
menggembirakan memindahkan perdebatan kembali ke dalam pengadilan dari para
penganut empiristis.

Argumen tujuan-tujuan pendidikan yang lebih tinggi

Lebih lanjut, dasar dari argument seperti itu secara fundamental cacat karena
tidak ada kursus tunggal dalam pendidikan yang lebih tinggi yang didesain untuk
menjadi atau diandaikan untuk menjadi “life-changing” atau sebuah pengalaman
“pembebasan” (“redemptive” experience)13 Sejumlah upaya untuk membuktikannya
meskipun ditentukan dari awalnya mengalami kegagalan. Dasar dari argumen yang
mungkin mempunyai kesempatan yang terbaik untuk berhasil merupakan sesuatu
yang mendapatkan akar-akarnya dalam tujuan dari pendidikan yang lebih tinggi yang
didukung negara di Amerika Serikat (Wines, 2002, pp. 13-14). Pada beberapa
paragraph berikut, hakekat dari argument itu akan dibuat secara garis besar.
Pertama, sejarah tentang sebuah “pendidikan liberal” (liberal education”)
merupakan salah satu “yang luas”, daripada yang liberal dalam pengertian politis,
pendidikan (Cronin, 2004). Pendidikan dulu, dan sekarang didesain untuk (a)
melengkapi para siswa untuk menggunakan intelek mereka (belajar seumur hidup)
(Bloom, 19870; dan (b) menyiapkan para siswa untuk mengambil peran yang berarti
dalam pemerintahan yang partisipatori (participatory government) sebagai anggota
yang aktif dan jelas.14 Peran dari pelatihan kerja pada abad ke-19 dilakukan hampir

7
semuanya melalui para magang dengan kekecualian persiapan untuk pelayanan
religius.15
Pada awal abad 20, beberapa jenis dari pelatihan kerja telah mendapatkan
jalannya di dalam ivy-covered walls dari universitas-universitas yang ada.16 Ilmu
pertanian dan peternakan (animal husbandry) merupakan bagian dari paket
kesepakatan pemberian tanah (land-grant package deal).17 Hukum mulai menjadi
sebuah bagian dari studi ketika Harvard University membuka sebuah sekolah hukum
Amerika pertama pada tahun 1817. Sekolah dagang (commerce school) muncul pada
tahun 1920-an18 ketika “bisnis Amerika sungguh-sungguh merupakan bisnis” (“the
business of America was business.”).19 Awalnya, pertanian telah berkembang dalam
keluarga petani; para pengacara untuk masa yang akan datang telah bekerja sebagai
“pramuniaga” (“clerk”) dan pelayan bar (“read for the bar)”; dan orang-orang
muda telah mulai dalam bisnisnya sebagai pembawa pesan (messenger boys),
pramuniaga, atau membantu dalam perdagangan keluarga. Kadang kala sekitar tahun
1900, “universitas-universitas” itu memutuskan untuk membantu mengembangkan
sebuah agama secular baru dari “kemajuan ilmiah” (“scientific progress”) kepada
mereka yang berusaha untuk memulai usaha di luar pertanian, bisnis, hukum, dan
perdagangan lainnya, - seperti pengobatan, ilmu veterine (kedokteran hewan), dan
kedokteran gigi, dan sejumlah nama lainnya.
Tujuan dari keseimbangan dan penyediaan fundasi seni liberal dan
keterampilan-ketrampilan profesioanl untuk memunculkan manajer bisnis telah
mengalami kegagalan. Juga pretensi keseimbangn itu, yang AACSB anut pada
standar-standar kurikulum akhir tahun 1990, sepertinya tidak nampak.
Vocasionalisme, sering tersamar di bawah mantel kebenaran dari “academic rigor” ,
tidak hanya memiliki dasar yang kuat namun sekarang nampak menghapus semua
non-adherents. Term “rigor” kadang kala digunakan sebagai kata kunci (code word)
untuk tradisi matematis, ilmiah dan empiris – sebagaimana dalam, “sejumlah kursus
tanpa analisis multi-regression tidak adanya kekuatan akademis yang serius. Dalam
kurang dari 50 tahun, keinginan dari sekolah-sekolah perdagangan untuk
mempertahankan statusnya pada kampus dengan mengupayakan “new” rigor dari
para ahli behaviorist telah menghasilkan hampir semua monopoli di kalangan para
empirist; dan ilmu-ilmu kemanusiaan, selama berabad-abad sebuah bagian yang

8
integral dari pendidikan liberal tradisional, hampir secara keseluruh didorong oleh
bagian-bagian Academi bertolak dari aturan-aturan dagang (Hosmer, 1999;
Mulligan, 1987; Wines, 2004).
Untuk sejumlah alasan, pengeliminasian bagian yang sisa dari Colleges of
Business mengalami kemunduran untuk melayani masyarakat Amerika. Pertama,
para pemimpin bisnis dalam masyarakat kita sering ditugaskan dengan menjalankan
fungsi-fungsi komunitas yang penting, segala sesuatu dari dewan sekolah sampai
United Funds sampai dewan-dewan kota (Wines, 2004, p. 16). Kami sedang
menggantikan para manajer baru yang terlupa dari persoalan-persoalan dasar yang
mempertentangkan masyarakat dan tanpa petunjuk seperti terhadap sejarah, budaya,
dan pembelajaran yang diberi petunjuk oleh mereka. Kedua, para mahasiswa bisnis
masuk ke universitas dengan tingkat yang paling rendah untuk ketrampilan dan
pemahaman tentang moral khususnya dari sejumlah siswa tamatan perguruan tinggi
(Conry and Nelson, 1989, pp. 20-22) dan hanya ada mahasiswa-mahasiswa yang
mengalami penurunan dalam kemampuan ilmiahnya ketika mereka menyelesaikan
studinya (1989, p. 20).
Sebagai sebuah bangsa, kami harus menggunakan informasi ini secara serius
(Waddock, 2004). Dengan menambahkan suatu kursus yang dibutuhkan dalam etika
bisnis secara jelas tidak akan menyelesaikan persoalan itu; Bagaimanapun,
penegakan kembali keseimbangan dalam pendidikan tinggi dengan menekankan
kembali alasan-alasan mengapa kami mempunyai pendidikan public yang didukung
negara mungkin akan lebih baik membantu mengurangi persoalan ini. Para lulusan
bisnis, kebanyakan dari mereka yang berjuang untuk memahami hakekat yang sama
dari masalah moral atau alasan moral, yang mempunyai probabilitas kecil dari
pencapaian solusi moral yang dapat dipertahankan secara moral.20 Para lulusan bisnis
yang mempunyai sejumlah latar belakang dalam humanitas dan dalam sejarah
peradaban Barat (Western civilization) mempunyai banyak kesempatan yang baik
dari pencapaian suatu solusi yang dapat dipertanggungjawabkan. Memasukan sebuah
kursus yang dibutuhkan dalam etika bisnis dalam semua program AACSB hanya
akan menunjukkan titik awal yang kosong dalam arah yang benar; namun hal itu
dapat menjadi sebuah langkah awal yang penting.

9
Mengungkapkan hakekat dari tantangan itu sendiri

Pada level yang lain, tantangan untuk menunjukkan bahwa kursus-kursus etika
bisnis mengubah para manajer untuk menjadi lebih sensitif dan dipersiapkan dengan
baik yang dari dirinya sendiri, merupakan sebuah refleksi dari bias yang sekarang ini
menuntun bisnis dan perdagangan orang Amerika (Mitchell and Scott, 1990).
Sekolah-sekolah bisnis, tanpa mencoba, mengubah pemahaman Utilitarian yang kaku
(Mirchell and Scott, 1986). Tantangan ini merupaakn sebuah basis output dari bentuk
pertentangan yang “memperlihatkan kepada kita tentang hasil-hasil kursus yang
dilakukan.” Hal itu sungguh merupakan gagasan utilitarian klasik murni dalam
kerangka pikir tersebut (Rachels, 2003, pp. 91-103). Sebuah pertanyaan yang
mengungkapkan pendekatan kesadaran lelaki kulit putih (white-male consciousness
approach) begitu baik didefinisikan dan digambarkan oleh Ann Wilson Schaef
(1981, pp. 108-114). Hal itu mencerminkan sebuah realitas bahwa bisnis merupakan
praktek yang didominasi lelaki kulit putih (white-male dominated practice)21 yang
mengharuskan para wanita, orang-orang kulit hitam, dan lainnya untuk
menyesuaikan diri dengan format itu jika mereka ingin berhasil. Hal itu tidak
mempunyai nilai baik terhadap proses maupun perbedaan. Mengapa banyak
perempuan tidak menjadi CEO dalam dua decade yang lalu atau mengapa para
professor bisnis wanita begitu jarang dalam fakultas-fakultas AACSB?22 Beberapa
dari jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan itu juga tercermin dalam tantangan-
tantangan yang mempertentangkan pencapaian seseorang berdasarkan kursus etika
bisnis.
Pada sebuah less Olympian level, kesalahan utama dari utilitarianisme klasik
itu adalah bahwa hal itu bukan merupakan sebuah konsep keadilan yang tidak
memadai (Rachels, 2003, p. 106). Dengan demikian, hal itu nampak bahwa kursus-
kurus etika bisnis merupakan subyek terhadap tantangan-tantangan bahwa kursus-
kursus lainnya tidak dihadapi. Sebuah level memainkan bidang yang dibutuhkan,
misalnya, bahwa fakultas manajemen membuktikan para mahasiswanya akan
menjadi para manajer jangka panjang yang lebih baik daripada mereka yang tanpa
dibekali dengan sebuah kursus manajemen; sama halnya, sebelum kami menyetujui
sebuah kursus komposisi bahasa Inggris, memperlihatkan kepada kami bahwa para

1
mahasiswa bahasa Inggris akan menjadi para komunikator tertulis yang lebih baik
daripada mereka yang tidak dibekali dengan kursus itu. Tantangan-tantangan yang
tidak mungkin seperti itu nampaknya disingkirkan secara eksklusif untuk kursus-
kursus etika bisnis dan muncul dari sebuah animositas yang nampaknya didasarkan
pada xenophobia tertentu.
Barangkali, hal ini mencerminkan karya klasik yang memperlihatkan
pendidikan tinggi bisnis mulai dengan para mahasiswa yang berada sekurang-
kurangnya lebih maju dalam kemampuan pertimbangan moralnya dan kemudian
menghasilkan versi-versi yang kerdil untuk tamatan-tamatan itu (Conry and Nelson,
1989, pp. 20-220). Pertanyaan-pertanyaan tentang pendidikan, kualitas hidup,
kemampuan untuk berpikir tentang pilihan-pilihan nilai yang sulit, dan fair play yang
nampaknya tidak menggambarkan secara menonjol dalam pemikiran tentang
scholar-warriors yang mempertahankan menara perdagangan dari mereka yang
menanamkan para mahasiswa bisnis itu dengan keingintahuan moral (Hosmer, 1999;
Mulligan, 1987; Wines, 2004).

Konsep-konsep Daasr dalam Etika Bisnis

Moral atau etika: Soal kosa kata


Meskipun term “moral” dan “etika” digunakan secara bergantian dalam
percakapan sehari-hari, kami mengamati bahwa sejumlah distingsi dalam
penggunaannya dalam paper ini yang kami yakin dapat sangat membantu (Wines,
2006, p. 47). Term “moral” menunjukkan kumpulan dari prinsip-prinsip moral –
prima facie (yaitu, yang dapat diperdebatkan daripada yang mutlak) kaidah-kaidah
yang setiap orang miliki untuk menggunakan nilai-nilai yang dianut. Sebuah code
moral secara individual adalah, dengan demikian, sekumpulan prinsip moral yang
menuntun dirinya atau tindakannya; kita semua memiliki code seperti itu kendatipun
beberapa dari kami mengalami kesulitan untuk mengartikulasinya. Orang-orang yang
lainnya lagi mungkin mengartikulasikan satu set dan hidup oleh yang lain. Untuk
tujuan kita, sebuah kode moral individual yang sesungguhnya adalah sesuatu yang
mendorong pilihan hidupnya baik sebagai laki-laki maupun perempuan. Etika

1
merujuk pada aktivitas yang lebih abstrak dan lebih tinggi daripada aplikasi langsung
dari moral-moral personal terhadap pilihan-pilihan perilaku.
Untuk tujuan kita di sini, etika merupakan aplikasi kognitif, analitis, sistematis
dan reflektif dari prinsip-prinsip moral untuk situasi-situasi yang kompleks,
bertentangan atau tidak jelas. Maka, etika bisnis, bukan merupakan sebuah kursus
tentang kejahatan kerah-putih (white-collar crime). Sokrates mengatakan bahwa
ketika mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang moralitas, “Kita sedang berdiskusi
bukan masalah-masalah kecil, namun bagaimana kita harus hidup.” (Rachels, 2003,
p. 1). Sebuah kursus yang komprehensif dan tegas dalam etika bisnis tidak hanya
menunjukkan pada filsafat moral, dilema-dilema etis, dan tanggung jawab sosial
perusahaan – pilar-pilar tradisional dari disiplin ini23 – namun juga sejumlah bidang
lainnya yang penting untuk memahami pengertian yang sedang berlangsung dalam
dunia bisnis.
James Rest dari University of Minnesota telah mengidentifikasikan empat
langkah dalam pembuatan keputusan moral: (a) sensitivitas moral, (b) keputusan
moral, (c) keinginan/kehendak moral, dan (d) tindakan moral (Rest et al. 1986).
Selama tahun-tahun itu tahap pertama, sensitivitas moral telah memperlihatkan
banyak kesulitan untuk banyak orang dalam bisnis. Ada sebuah kesalahpahaman atau
miskonsepsi umum bahwa bagaimanapun juga apa yang orang lakukan pada tempat
kerja dan kesehatan dari kesadaran moralnya tidak berhubungan (Wines, 1999, pp. 3-
4). Beberapa orang menganggap bahwa keputusan-keputusan dalam dunia ekonomi
adalah bebas nilai (value-free); dan bahwa “karena hukum-hukum pasar” mendikte
tingkah laku, para pembuat keputusan tidak dapat melakukan tanggung jawab secara
moral. Hal ini merupakan posisi yang tidak dapat dipertahankan (Hosmer, 1987, pp.
33-54), hal itu mendukung penyalagunaan kekuasaan ekonomis; dan hal itu secara
tidak langsung mengarahkan pada regulasi bisnis dari negara dan federal. Posisi
seperti itu merupakan “institusionalisasi dari non-responsibility.” (E.F. Schumacher
sebagaimana dikutip dalam Solomon and Hanson, 1983, p. 209).

Leve-level Etika Bisnis


Banyak perhatian diberikan baik dalam ruang kelas maupun dalam literature
terhadap masalah-masalah pembuatan keputusan moral yang dihadapi oleh sang

1
individu (Shaw and Barry, 1998). Hal ini tentunya merupakan sebuah level penting
dari pembuatan keputusan, namun hal itu hanya merupakan tiga level bahwa sebuah
kursus dalam etika bisnis harus menunjukkan: (1) sang individu; (2) level
organisasional; dan (3) level societal/komunitas dari pembuatan keputusan (Solomon
and Hanson, 1985, p.55).
Struktur dan dinamika-dinamika organisasional kadang kala menciptakan
sebuah kultur perusahaan yang menekan para individu untuk mengabaikan gagasan-
gagasan tradisionalnya tentang tanggung jawab moral. Survey-survey para manajer
bisnis menunjukkan bahwa mereka merasa dipaksa oleh dinamika-dinamika
organisasional dan tekanan-tekanan para rekan sejawat pada tempat kerja untuk
sesuai dengan nilai-nilainya; 70% dari sebuah sampel 6000 manajer dan para
eksekutif merasa tekanan untuk marasa aman dan sesuai dengan nilai-nilai personal
(Wartzman, 1987). Rick Wartzman menegaskan, setelah meninjau 10 penelitian atau
studi akademis tentang kultur organisasi dan codes of conduct, “… juga orang-orang
yang paling jujur/tulus adalah tepat/cocok untuk menjadi tidak jujur dan tidak
menghiraukan tanggung jawab-tanggung jawabnya sebagai warga negara ketika
ditempatkan dalam sebuah lingkungan perusahaan yang khas.” (Wartzman, 1987, p.
27). Siapapun berusaha untuk membangun organisasi-organisasi yang lebih baik
harus meninjau studi-studi klasik tentang otoritas dan tentang kekuasaan dari
ekspetasi-ekspektasi peran seprti salah satunya Stanley Milgram (1965, 1967) pada
Yale University dan Philip Zimbardo berdasarkan pengalaman penjara Stanford
University yang terkenal itu (Haney et al., 1973).
Level ketiga dan terakhir dari analisis sosial diperlukan jika kita memutuskan
bahwa kultur perusahaan kita harus bersifat responsive terhadap kebutuhan-
kebutuhan dan kepedulian-kepedulian sosial (Bowie and Duska, 1990, pp. 111-117).
Agar memiliki tongkat penunjuk untuk membantu kita memutuskan kapan menolak
tuntutan-tuntutan masyarakat, kita harus memiliki sejumlah konsep tentang apa itu
sebuah masyarakat yang nampak adil dan berbelaskasih (Rawls, 1971, p. 3).
Sejumlah analisis dari konsep ini harus membawa kita melampaui skope dari artikel
ini; namun level analisis etis ini adalah penting dan disebutkan di sini untuk
memberikan sebuah perspeksif yang lengkap tentang apa yang sedang saya usulkan.

1
Gridlock mental: stimulus untuk pertumbuhan
Elenchus dalam kata Yunani untuk gridlock mental yang Socrates hasilkan
dalam mereka yang berdialog dengan dirinya.24 Psikologi moral modern telah
menemukan bahwa, sesungguhnya, Socrates benar tentang distress atau iritasi yang
merangsang pertumbuhan moral; bagaimanapun, sekarang kita perlu berterima kasih
kepada Lawrence Kohlberg dan James Rest, kita dapat mengukur hal itu. Dalam
mata kuliah etika bisnis, para mahasiswa didorong oleh dilema-dilema situasional
untuk memeriksa sejumlah sudut pandang otomatis atau yang tidak dapat diperiksa.25
Beberapa dari sudut pandang ini telah menjadi begitu refleksif (bukan-kognitif)
dimana pandangan-pandangan itu dihasilkan oleh prinsip-prinsip moral yang telah
menjadi sikap atau idologis atau kebiasaan (Wines and Napier, 1992, pp. 832-834).
Dengan menggunakan persoalan-persoalan hipotesis yang dengan sengaja
digambarkan dengan ambiguitas-ambiguitas yang sudah terbentuk telah mendorong
para siswa untuk mengorek-ngorek nilai-nilainya yang “sudah terkubur” dan asumsi-
asumsi refleksif tentang manusia dan memeriksanya dalam terang matahari kognisi
dan diskusi kelas.

Pilar-pilar Tradisional dari Etika Bisnis

Filsafat moral sebagai unit utama/dasar


Karena etika bisnis dipahami secara universal sebagai sebuah kursus dalam
etika terapan, yaitu, filsafat moral dalam konteks keberadaan kehidupan dalam bisnis
dan perdagangan, untuk pertama klainya dalam sebuah kursus tentang etika bisnis
hampir selalu menjadi sebuah ringkasan dari sekolah-sekolah etika normatif. Pada
tahun 1970-an, etika bisnis belum menjadi umum atau biasa untuk sekolah-sekolah
etika yang tersebar secara sederhana dalam consequential (seperti utilitarianisme)
dan non-consequential (seperti dalam etika Kantian) (Barru, 19790. Beberapanya
tetap menganut etika Aristoteles tentang yang ada (being); namun kemudian, secara
umum, Aristoteles telah menemukan kembali turunannya termasuk dalam sebagian
besar dari karya Bertrand Russel26 dan yang lainnya yang berada pada permulaan
abad ke-20 sudah menghilangkan kontribusi Aristoteles.

1
Tiga puluh tahun kemudian, Aristoteles sudah direhabilitasi dan etikanya
tentang yang ada (being) sekarang dimasukan dalam buku-buku etika bisnis (Halbert
and Ingulli, 2000, p. 29). Dengan baik sekali, hal ini juga membuka jalan untuk
inklusi dari etika feminis (feminist ethics) atau etika perawatan – berdasarkan pada
karya Carol Gilligan dalam Psikologi Perkembangan (Gilligan, 1982; Noddings,
1984). Sejumlah sarjana terkenal berpendapat bahwa Etika Perawatan (ethics of care)
sesungguhnya merupakan bagian dari etika kebajikannya (virtue ethics) Aristoteles,
atau barangkali yang lebih bertahan, hanyalah contoh lain dari etika ontologis
(RAchels, 2003, pp. 160-172).

Tanggung jawab sosial perusahaan


Kendati Nobel Laureate Milton Friedman dan tentunya para ahli ekonomi lainnya
serta para komentator konservatif yakin pasar akan memecahkan secara bijak semua
persoalan dan bahwa bisnis tidak memerlukan sebuah kesadaran sosial (social
conscience) (Friedman, 1970), etika bisnis aliran utama yang termasuk dalam
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Corporate Social Responsibility) [yang
sekarang disebut CSR] sebagai sebuah bidang mandatory dari studi itu sejak akhir
tahun 1960-an (Rue and Byars, 1986, pp. 61-62). Salah satu dari alasan-alasannya
untuk hal ini adalah bahwa CSR dilihat oleh banyak orang sebagai sebuah alternatif
penting untuk lebih banyak regulasi bisnis oleh pemerintah negara dan pemerintah
federal. Hampir semua pengamat, baik liberal – moderat – atau konservatif,
mengetahui bahwa regulasi tidak terikat secara efisien (Stone, 1975) dan aksi-aksi
sebagai halangan untuk bisnis Amerika yang bersaing seefektif mungkin dalam
pertumbuhan ekonomi global yang cepat.

Munculnya dilema-dilema etis eksperiensial


Selama lebih dari dua decade, banyak instruktur etika bisnis telah mengajar dasar-
dasar filsafat moral dan kemudian menggunakan situasi-situasi dilema etika untuk
mendorong para mahasiswa bisnis untuk mengungkapkan sejumlah pandangan
ottomatisnya dalam bidang-bidang manajemen bisnis.27 Hal ini dapat dilakukan
dalam sebuah kursus etika upper-division dalam mana para mahasiswa pertama-
tama berkenalan secara keseluruhan dengan mazab-mazab utama dari filsafat moral.

1
Karena meningkatnya dunia perdagangan global, upaya ini secara sering dilakukan
dari perspektif etika lintas-budaya (cross-cultural ethics), kendatipun tidak selalu
dalam situasi-situasi multi-nasional (Greider, 1997). Etika lintas budaya dapat
dihadapi pada hampir semua kota di seluruh USA. Studi-studi telah meperlihatkan
bahwa intervensi-intervensi dengan menggunakan dilema-dilema etis dapat
menstimulasi level-level pertimbangan moral dalam para mahasiswa bisnis (Conry
and Nelson, 1989).

Pilar-pilar baru Etika Bisnis

Psikologi moral dan skala Kohlberg


Psikologi moral merupakan sebuah disiplin yang relative baru, dan, untuk
hampir semua fakultas bisnis, dianggap merupakan sebuah disiplin yang belum
familiar. Jean Piaget meletakan sebuah dasar yang di atasnya Lawrence Kohlberg
membangun struktur utamanya: sebuah teori tentang perkembangan moral yang
memiliki tiga level dan enam tahapan (1984). Kohlberg mengembangkan sebuah 8-
hour interview yang dapat digunakan untuk menentukan sebuah tahap utama dari
subyek itu. James Rest mengembangkan pengujian ini untuk sebuah 2-hour pencil
and paper test yang terstandar yang memungkinkan ujian berskala besar dan
memfasilitasi penelitian yang lebih besar (1986). Dengan menggunakan kelompok-
kelompok eksperimental dan kelompok-kelompok kontrol, penelitian dalam
kelompok perguruan tinggi telah menunjukkan bahwa teknik-teknik intervensi dapat
secara berhasil menstimulasi sebuah tingkat pengembangan moral yang terus-
menerus.
Bisnis AS umumnya dilihat ada perkembangan yang sedikit menuju
pengeliminasian sebab-sebab dari “meltdown” legal dan etika. Dengan melihat
bencana-bencana seperti yang terjadi pada Arthur Andeson, Enron, Tyco, Global
Crossing, dan World Com (Wines and Hamilton, 2004, pp. 50-52). Beberapa dari
“meltdowns” etis dan legal ini merupakan peringatan terhadap insiden-insiden awal
seperti Equity Funding pada tahun 1970-an.28 Mereka belum siap untuk
menyandarkan dirinya pada pendekatan-pendekatan yang simplistis atau yang
reduktif seperti “hanya mengikuti golden rule dan bisnis anda tidak pernah akan

1
mengalami persoalan.” Dalam Equit Funding, misalnya, lebih dari seratus orang
mengetahui bahwa perusahaan telah menciptakan kebijakan-kebijakan ansuransi
dengan cara yang curang untuk menjual kepada re-insurers dan, kemudian, tidak
seorangpun mengatakan sesuatu sampai seorang pekerja mengeluarkan tiupan
peringatan (blew the whistle). Semua orang ini tidak dapat menjadi orang “jahat”
atau “buruk”. Bagaimana hal itu dapat dijelaskan?

Kultur Perusahaan dan dampak desain organisasional


Kasus klasik, tentang organisai yang kaku dan hirarkis yang menghasilkan
bencana-bencana adalah kasus yang menimpah NASA, the National Aerolnautical &
29
Space Administration. Juga setelah terjadi kecelakaan Challenger, kultur
perusahaan pada NASA tetaplah kaku dan kurang mendukung komunikasi di antara
level-level administrasi (Langewiesche, 2003). Salah satu dari akibat-akibatnya
adalah hilangnya the Space Shuttle Columbia pada bulan Februari 2003. Ada studi-
studi yang berkenaan dengan dorongan yang kuat terhadap organisasi-organisasi
yang kaku dan hirarkis yang lebih cenderung kepada meltdown legal dan etis
daripada struktur-struktur organisasi yang kurang kaku, dan lentur dengan pola-pola
komunikasi yang lebih terbuka (Wines and Hamilton, 2004). Singkatnya, orang-
orang baik akan melakukan hal-hal buruk jika mereka ditempatkan dalam lingkungan
dimana orang melakukan apa saja yang mengancam kehidupannya dan
kemampuannya untuk membuat dirinya tergantung.
Hal ini tidak mencemarkan konsep-konsep tentang manajer sebagai pembuat
keputusan moral atau perusahaan sebagai sebuah lembaga moral sosial.
Bagaimanapun, hal itu merupakan sebuah argumen dengan pendekatan yang terbatas
tidak memadai diberikan pada level pengetahuan tentang bagaimana mendesain
sebuah organisasi yang lebih responsif dan lebih bermoral.

Studi-studi dalam ketaatan kepada otoritas dan motivasi kerja


Stanley Milgram melakukan studi-studi awal pada Yale University pada awal
tahun 1960-an (1963, 1965). Namun Phillip Zimbardo di Stanford mengambil karya
Migram untuk level-level baru dengan Stanford Prison Experimentnya pada tahun
1970-an (Zimbardo et al., 2000, pp. 193-194). Lebih dari 20 tahun yang lalu, kita

1
menonton sebuah perjuangan NEA lokal dengan sebuah Board of Education yang
anti-guru dalam sebuah kota kecil di Midwest. Sang pengacara persekutuan dan
organizer lokal dari NEA memutuskan untuk melakukan “sesuatu yang menjadi
milik mereka” bagi dewan itu dalam satu tahun pemilihan tanpa tawar menawar.
Mereka kembali kepada seorang professor universitas yang menikah dengan salah
satu dari para aktivis perserikatan itu. Harapan mereka adalah bahwa dengan
mendapatkan seorang pendidik pada dewan itu yang meskipun bertentangan mereka
dapat, sekurang-kurangnya, mendapatkan seseorang yang mengerti dan sipantik
dengan posisi mereka dalam dewan sekolah itu. Dengan ini mereka mengharapkan
dapat memperbaiki kesempatan mereka untuk bernegosiasi demi mendapatkan
kesepakatan yang lebih baik tanpa suatu pemogokan.
Ini merupakan taktik pemicu pada mereka. Dengan segera sang professor
bertindak dan berbicara seperti anggota dewan yang sudah dipilih lainnya dan
berusaha untuk mempengaruhi anggota dewan yang lainnya dengan kepeduliannya
terhadap pembayar pajak dollar. Dalam satu tahun, sang professor diplih menjadi
Presiden dari Dewan itu. Tahun itu, kota itu mengalami pemogokan para guru untuk
pertama kalinya dalam sejarah. Keluarga sang professor itu terkoyak; sebuah jalur
terbentang di tengah-tengah yang memisahkan manajemen dan pekerja. Kota itu
terbelah. Goresan luka sosial tetap tergores dalam kesatuan guru selama dua decade
terakhir. Apa yang terjadi? Sang professor universitas itu telah menjadi “salah satu
dari mereka”. Ia tidak selamanya memainkan peran itu; peran itu sedang
mempermainkan dirinya.30
Kekuatan dari sebuah situasi yang ditunjukkan dengan semangat dalam
pengalaman dialami Zimbardos yang terkenal pada Stanford Prison. Pada tahun
1972, Profesor Zimbardo dan dua Asistennya, Banks dan Haney, melakukan sebuah
eksperimen dalam Psychology Building di Tanford University. Sebuah kelompok
yang terdiri dari 24 sukarelawan universitas, semuanya laki-laki kulit putih, dipilih
untuk sebuah eksperimen. Mereka di-screen untuk kesehatan dan stabilitas mental.
Kemudian, peran narapidana dan penjaga (sipir) ditentukan dengan memutar sebuah
koin. Percobaan itu dilakukan selama dua minggu; namun hal itu hanya berlangsung
setelah 6 hari karena situasinya sudah begitu jelasnya.

1
Para penjaga (sipir/opsir) menjadi sadistis dan agresif, dan sekurang-
kurangnya dalam satu kasus, melakukan kekerasan kepada para narapidana. Para
narapidana mulai bertindak seperti “first-timers” dalam penjara-penjara yang riil dan
mengalami “kehilangan identitas personal” dan memperlihatkan tanda-tanda
“pasivitas, ketergantungan, depresi, dan tidak berdaya.” Dalam kurang gari 36-jam,
salah satu dari para narapidana itu memperlihatkan tanda-tanda gangguan
psikosomatis yang berat dan harus segera dilepaskan. Empat narapidana lainnya yang
memperlihatkan tanda-tanda gangguan-gangguan psikologis yang berat juga
dilepaskan. Para penjaga atau sipir menyenangi perbuatan yang menunjukkan
kekuasaan dan secara sukarela melakuan tugas ekstra tanpa bayaran tambahan.
Ketika eksperimen itu dihentikan lebih awal, para penjaga itu kecewa, sementara
para narapidana yang sisa merasa gembira (Brady and Logsdon, 1988).
Pada tahun 1972, Profesor Zimbardo menjelaskan pengamatannya itu dan
mengapa eksperimen itu harus dihentikan dengan pernyataan berikut ini ;

Hanya pada akhir dari enam hari kami harus menutup penjara hinaan itu
karena apa yang kami lihat adalah menakutkan. Hal itu tidak selamanya
nampak pada hampir semua subyek (atau kepada kami) dimana realitas
berakhir dan peran-perannya mulai. Mayoritas sudah sungguh menjadi para
napi yang sesungguhnya atau sipir yang sesungguhnya, tidak sanggup untuk
memisahkan antara permainan-peran dan diri sendiri. Ada perubahan-
perubahan yang sungguh dramatis dalam setiap aspek dari tingkah laku, cara
pikir dan perasaannya. Dalam kurang dari satu minggu pengalaman hukuman
penjara tidak melakukan (secara temporer) suatu masa hidup untuk
pembelajaran, nilai-nilai manusiawi dicurigai, konsep-konsep diri ditantang
dan yang paling buruk, paling mendasar, sisi patologis dari sifat dasar
manusiawi muncul ke permukaan (Zimbardo, 1972, p. 5).

Jika kita dapat mengatur perubahan-perubahan tingkah laku utama dalam diri para
volunteer yang telah digaji dengan sangat murah dan melakukan peran dalam sebuah
penjara, bayangkan apakah mungkin dalam situasi yang riil dimana kehidupan
seseorang dan kesejahteraan ekonomis dari diri dan keluarganya dipertaruhkan.

1
Imperatif-imperatif situasional seperti itu mendorong skenario-skenario seperti
Equity Funding, desain tangki gas Ford Motor Company’s Pinto (Shaw and Barry,
1998, pp. 78-80), Arthur Anderson yang menyobek dokumen-dokumen Enron
(Newsday, 2002), Rely Tampon (Sturdivant and Vernon-Wortzel, 1990), bencana
Challenger (Shaw, 1999, p. 34), dan sejumlah lainnya (Jennings, 1996). Orang-orang
baik akan melakukan hal-hal buruk jika kita membuat mereka terpenjara dalam kotak
seperti Penjara Stanford. Alternatifnya adalah perlu adanya sebuah lingkungan yang
terbuka yang mendukung kebebasan berpikir dan bebas untuk bertanya dan
menjawab. Singkatnya, kita harus mendesain organisasi-organisasi lebih sebagai
pertemuan-pertemuan kota dan tidak sebagai grafik-grafik organisasional yang
hirarkis yang diperoleh dari model-model militer.
Sebuah pertanyaan yang baik yang diajukan kepada para mahasiswa bisnis
adalah “bagaimana kita membuat organisasi-organisasi itu tidak seperti penjara?”
Dua penulis mengusulkan sejak awal tahun 1988 bahwa psikologi sosial dan perilaku
organisasional merupakan bidang-bidang yang sudah diabaikan dan perlu dimasukan
kembali dalam kursus etika bisnis:

Tidak adanya referensi dari eksperimen Zimbardo dalam materi-materi


pengajaran sungguh sangat mengejutkan karena hal itu tidak secara umum
dikutip dalam artikel-artikel dari jurnal-jurnal utama yang mempublikasikan
tentang bidang-bidang etika bisnis. Tentu saja, para sarjana etika bisnis telah
mengabaikan penelitian dalam bidang psikologi sosial dan tingkah laku
organisasional juga ketika hal itu berhubungan secara signifikan dengan
pembuatan keputusan individual. Hal ini mungkin dapat dijelaskan oleh
dominasi tradisional dari para filsuf dan para akademisi lainnya dengan
pelatihan manajemen yang kurang dan eksposur yang kurang terhadap
metodologi eksperimental untuk penelitian etika bisnis (Brady and Logsdon,
1988, p. 708).

Studi-studi motivasional menjelaskan bahwa rational utility maximizer dari Adam


Smith bukan merupakan tipe pekerja dari abad ke-21 di Amerika Serikat. Bayaran
bukan merupakan sebuah motivator yang tinggi, juga di kalangan para karyawan

2
bergengsi (blue-collar employee) (Rue and Byars, 1986, pp. 355-365). Sebagaimana
Herzberg mengemukakan teori bahwa bayaran merupakan sebuah faktor hygiene,
bukan sebuah faktor pendorong (motivator) (Herzberg, 1959 sebagaimana dikutib
dalam Rue and Byars, 1986, p. 361). Penemuan ini kontradiksi dengan teori ekonomi
neo-klasik – menyangkut pandangan bahwa para pekerja dilihat sebagai aktor-aktor
ekonomis rasional yang sempurna. Salah seorang administrator perguruan tinggi,
sebuah ideologi dari teori ekonomi neo-klasik, tidak dapat mengerti mengapa
memberikan “bonus” $500,00 untuk masing-masing publikasi yang berperan sebagai
pengawas tidak hanya gagal untuk menginspirasi para anggota fakultasnya namun
juga dianggap sebagai sebuah penghinaan. Teori motivasi mungkin telah
memperjelas itu.

Bagaimana intearkasi antara masyarakat, bisnis dan hukum


Kursus yang menyentuh peristiwa-peristiwa yang berlangsung sekarang sama
teraturnya dengan Etika Bisnis tidak dapat membantu namun diperkaya oleh
penambahan ilustasi-ilustrasi dari topik-topik yang ada sekarang ini. Ada begitu
banyak untuk memilih dari seorang instruktur yang sanggup memperkaya sillabus ini
dengan potpourri stimulasi intelektual dari ilustrasi-ilustrasi dan dilema-dilema yang
sekarang ini. Bahan yang bisa diambil untuk ulasan-ulasan itu mungkin mencakup,
diantaranya: privasi di tempat kerja; hak-hak sipil dan tindakan afirmatif; CEO pay
issues; gambaran kebijakan-kebijakan terhadap obat bius; masalah-masalah
lingkungan; penggunaan mekanisme pasar untuk menyebarkan perawatan kesehatan;
monopoli-monopoli perusahaan dalam media-media baru; pengiriman pekerja ke
“pedalaman”; dan kebijakan-kebijakan pemerintah tentang penutupan perusahaan.
Bagaimanapun pilar ketujuh itu bukan merupakan peristiwa yang sedang
hangat sekarang ini namun malah merupakan suatu panduan pragmatis dari subyek
atau pokok bahasan yang membantu siswa yang masih baru untuk memahami
perkembangan humanitas modern dalam hidup bersama dan kultur penempaan
bersama yang mencoba mendukung standar-standar progresif dan mencerahkan
kehidupan. Dalam arti tertentu, pilar ini membentuk karya McHugh yang di
dalamnya ia mendaftarkan sosiologi, teori politis, psikologi, sejarah, ekonomi, studi-
studi manajemen, studi-studi kebijakan, dan hukum sebagai disiplin-disiplin “yang

2
berhubungan dengan etika bisnis.” Tujuh pilar itu meliputi pengintegrasian hukum,
teori sosio-politik, dan kebijakan public dalam cara yang menggambarkan evolusi
humanitas modern, ekonomi dan kemasyarakatan. Pada hampir semua masyarakat
barat dan khususnya di USA, bisnis mempunyai suatu ungkapan penting dalam
desain dari lingkungan regulatorinya. Reduksi pragmatis ini adalah penting untuk
mencakupi kursus yang layak itu dalam satu semeseter/seperempat semester. Dengan
bergerak melampaui apa yang McHugh ajukan dalam tahun 1988, proposal ini
mengajukan penekanan-penekanan baru dan fokus-fokus esensial yang penting untuk
mempersiapkan mahasiswa secara serius dengan pemahaman tentang meltdown legal
dan etika dalam bisnis sejak tahun 1988.
Aspek dari kursus etika bisnis ini harus menelusuri hukum yang bukan saja
sebagai basis untuk penstukturan masyarakat namun juga menelusuri cara-cara
dimana bisnis dan organisasi bisnis yang bersatu, seperti National Association of
Manufactures dan U.S Chamber of Comerce, mempengaruhi hukum dan aturan-
aturan legal (Crene and Matten, 2004). Pada level ketiga dari etika bisnis, adalah
signifikansi untuk entitas-entitas bisnis untuk mengapresiasi evolusi norma-norma
masyarakat dan perubahan harapan-harapan masyarakat terhadap bisnis.
Satu contoh yang harus membantu pilar baru ini adalah kasus Enron dan
bagaimana hal itu membantu membentuk pemanfaatan regulasi yang secara langsung
dan tidak langsung menguntungkan sembari beroperasi melalui kekuasaan politis
berdasarkan mandate masyarakat yang kelihatan untuk de-regulasi itu (Kaiser, dalam
Kubasek et al., 2003, pp. E1-E8).

Kesimpulan
Wartawan Walter Lippmann mengatakan, “Apa yang memampukan kaum
lelaki untuk mengetahui lebih banyak daripada para leluhurnya adalah bahwa mereka
mulai dengan suatu pengetahuan tentang apa yang para leluhurnya telah pelajari….
Sebuah masyarakat dapat menjadi progresif hanya jika masyarakat itu
melanggengkan tradisi-tradisinya.”31 Dalam arti tertentu, kita menghadapi dilema
yang sama dengan apa yang dihadapi oleh para pendidik orang Amerika pada tahun-
tahun awal dari Revolusi Industri. Seperti mereka, kita harus menemukan sebuah

2
cara untuk membantu “pembentukan masyarakat yang lebih luas dan untuk
menyiapkan sasaran-sasaran dan nilai-nilai nasional yang mumum.” (Sloan, 1980).
Para mahasiswa bisnis secara sering diindoktrinasi ke dalam sebuah
pendekatan etika utilitarian (berbasis hasil) dan juga ke dalam posisi kegagalan
umum dari “pasar yang akan memeliharanya” (Wedenbaum, 1990, p. 21).
Konsekuensinya, mereka tidak dipersiapkan dengan baik untuk menghadapi pilihan-
pilihan moral yang kompleks. Saya merekomendasikan bahwa kuliah etika bisnis
diperluas dalam ruang lingkup itu untuk meningkatkan kesadaran mahasiswa untuk
menghadapi kompleksitas yang penuh dari kehidupan yang benar dalam bisnis.
Karya Edward Conry tahun 1989 menunjukkan bahwa intervensi-intervensi
menggunakan dilema-dilema moral telah sungguh memberi dorongan pengembangan
moral yang sudah menjadi sebuah yang klasik (Piper et al., 1993). Sekarang kami
mengetahui bahwa pengkondisian dalam kenyamanan kelas akan membantu para
mahasiswa membuat keputusan-keputusan yang lebih baik “under fire” pada
pekerjaan itu. Juga, upaya yang substansial mungkin penting untuk membuat
keseimbangan dari perspektif-perspektif berbasis pasar yang sungguh dianjurkan
dalam kursus bisnis lainnya.
Kursus (pelajaran) etika bisnis di Miami University merupakan sebuah kursus
utama (capstone course) untuk para senior dimana fokusnya adalah “tentang sang
manajer sebagai seorang pembuat keputusan etis dan tentang perusahaan sebagai
sebuah agen sosial.” (Miami Bulletin, 2002, p. 236). Sebuah capstone course harus
menekankan “sharing gagasan, sintesis, dan kritis, refleksi yang mendalam sebagai
pelopor yang signifikan untuk tindakan … “ Ini merupakan sebuah model yang baik
dari kursus yang multidisipliner dan komprehensif yang saya anjurkan untuk
mengadopsinya secara luas.
Sekurang-kurangnya kursus etika bisnis harus didesain untuk membantu
menghasilkan tamatan perguruan tinggi yang tidak melakukan kesalahan intelektual
dari pemikiran satu dimensional32 dan orang yang dapat mengapresiasi peran yang
penting dan berdaya guna dari bisnis pada masyarakat Amerika dan di seluruh bumi
ini:
Ekonomi merupakan institusi dominant dalam masyarakat modern” dan
“perusahaan besar … yang sudah menjadi institusi definitif dari kultur Barat

2
modern. Perusahaan yang besar mendominasi dunia moden ini dalam banyak
cara yang sama seperti yang dilakukan oleh gereja dan universitas pada abad
pertengahan. (Parks, dalam Piper et al., 1993, p. 16).

Sebuah tradisi abad ke-19 adalah mengharuskan prseiden (baca: rector/pimpinan)


universitas untuk mengajar senior capstone course dalam etika.33 Secara progresif,
saya mengajukan agar menghidupkan praktek seperti itu, kendati presiden universitas
tidak mengajar kursus itu, dalam arti yang paling tepat dari kata itu, dan mungkin,
sebuah perubahan kurikulum yang perlu didukung oleh masyarakat kita.

Penghargaan

You might also like