You are on page 1of 6

Bunuh Diri, Luar Biasa dan Masih 

Misteri
BELAKANGAN, kasus bunuh diri kembali marak di Jakarta dan sekitarnya. Modusnya pun
variatif, seperti meloncat dari ketinggian, minum racun tikus, menggantung leher dengan
tambang, hingga yang paling menggiriskan, membakar dirinya sendiri hingga gosong dan tewas.

Psikolog senior lulusan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Sartono Mukadis, mempunyai
jawaban atas berbagai peristiwa itu.

“BUNUH diri”, sebuah kata yang tidak asing lagi bagi pendiri dan penyiar radio swasta
mahasiswa Radio Pancasila Yon A Yani ini. “Pasien pertama saya sewaktu masih mahasiswa
juga bunuh diri. Jadi, saya tidak heran lagi,” kata Sartono, kelahiran Jakarta, 20 Desember 1945,
ini.

Bapak tiga anak yang juga Ketua Masyarakat Peduli Betawi dan mempunyai hobi jalan-jalan ini
juga menyimak berbagai kasus bunuh diri di Jakarta akhir-akhir ini, juga di Batam yang menurut
dia cukup tinggi. Namun, menurut dia, bunuh diri di kota-kota besar di Jepang masih lebih
tinggi.

Berikut petikan wawancara Sartono Mukadis dengan Kompas di rumahnya yang asri dan
sejuk di daerah Pondok Labu, Jakarta Selatan, pekan lalu.
Bagaimana menjelaskan mengapa orang bisa nekat bunuh diri? Apakah ada teori yang
bisa menjawab masalah ini?
Ada banyak teori mengenai mengapa orang nekat bunuh diri. Ada bunuh diri absurditas, bunuh
diri eksistensialis, bunuh diri karena patologis, atau bahkan karena alasan romantisme dan
heroisme. Namun, itu hanya teori karena sampai sekarang pun, bunuh diri tetap masih menjadi
misteri, dan penjelasannya bisa kasus per kasus.

Misalnya?
Saya ambil contoh keluarga Hemingway. Ernest Hemingway mati karena bunuh diri. Ternyata,
kakek dan pamannya juga melakukan hal yang sama. Kalau dicermati, apa yang dilakukannya itu
tanpa sebab, tidak ada bukti depresi. Apakah ini masalah genetis? Dalam kasus ini saya rasa
adalah masalah eksistensi. Hemingway yang penulis hebat itu melakukan hal itu karena modus
eksistensi. Ia ingin mengakhiri eksistensi dirinya dengan cara bunuh diri. Namun, modus seperti
ini memang hanya dilakukan oleh sebagian kecil orang.

Di dalam masyarakat modern atau hipermodern, ada orang yang membayangkan bunuh diri
sebagai sesuatu yang romantis. Misalnya seperti film Ghost. Orang membayangkan, jika saya
mati, saya akan bisa seperti sosok dalam Ghost, bisa melihat kejadian di dalam dunianya dulu.
Pada anak kecil, bunuh diri bisa dikaitkan dengan unsur heroisme, dia memahlawankan
kematian, seperti
Ternyata Bunuhyang
Diri dilihatnya dalam film-film.
Sudah Ditentukan Sejak Bayi. Percaya atau tidak, tindakan seseorang
untuk melakukan bunuh diri ternyata sudah ditentukan saat sang jabang bayi kali pertama
dilahirkan. Hal ini terungkap dalam hasil penelitian yang dilakukan oleh tim dari Swedia
pimpinan Dr Danuta Wasserman yang melakukan penelitian atas 700.000 remaja.

Dari hasil penelitian Dr Danuta Wasserman itu diketahui bahwa berat badan bayi saat dilahirkan
menjadi penentu resiko bunuh diri dikemudian hari. Bayi yang lahir dibawah rata-rata memiliki
resiko dua kali lebih tinggi untuk melakukan bunuh diri dibandingkan dengan bayi yang lahir
secara normal. Resiko itu akan semakin tinggi jika ibu yang melahirkan masih berusia remaja.
Bunuh Diri, Luar Biasa dan Masih Misteri
BELAKANGAN, kasus bunuh diri kembali marak di Jakarta dan sekitarnya. Modusnya pun
variatif, seperti meloncat dari ketinggian, minum racun tikus, menggantung leher dengan
tambang, hingga yang paling menggiriskan, membakar dirinya sendiri hingga gosong dan tewas.

Psikolog senior lulusan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Sartono Mukadis, mempunyai
jawaban atas berbagai peristiwa itu.

“BUNUH diri”, sebuah kata yang tidak asing lagi bagi pendiri dan penyiar radio swasta
mahasiswa Radio Pancasila Yon A Yani ini. “Pasien pertama saya sewaktu masih mahasiswa
juga bunuh diri. Jadi, saya tidak heran lagi,” kata Sartono, kelahiran Jakarta, 20 Desember 1945,
ini.

Bapak tiga anak yang juga Ketua Masyarakat Peduli Betawi dan mempunyai hobi jalan-jalan ini
juga menyimak berbagai kasus bunuh diri di Jakarta akhir-akhir ini, juga di Batam yang menurut
dia cukup tinggi. Namun, menurut dia, bunuh diri di kota-kota besar di Jepang masih lebih
tinggi.

Berikut petikan wawancara Sartono Mukadis dengan Kompas di rumahnya yang asri dan
sejuk di daerah Pondok Labu, Jakarta Selatan, pekan lalu.
Bagaimana menjelaskan mengapa orang bisa nekat bunuh diri? Apakah ada teori yang
bisa menjawab masalah ini?
Ada banyak teori mengenai mengapa orang nekat bunuh diri. Ada bunuh diri absurditas, bunuh
diri eksistensialis, bunuh diri karena patologis, atau bahkan karena alasan romantisme dan
heroisme. Namun, itu hanya teori karena sampai sekarang pun, bunuh diri tetap masih menjadi
misteri, dan penjelasannya bisa kasus per kasus.

Misalnya?
Saya ambil contoh keluarga Hemingway. Ernest Hemingway mati karena bunuh diri. Ternyata,
kakek dan pamannya juga melakukan hal yang sama. Kalau dicermati, apa yang dilakukannya itu
tanpa sebab, tidak ada bukti depresi. Apakah ini masalah genetis? Dalam kasus ini saya rasa
adalah masalah eksistensi. Hemingway yang penulis hebat itu melakukan hal itu karena modus
eksistensi. Ia ingin mengakhiri eksistensi dirinya dengan cara bunuh diri. Namun, modus seperti
ini memang hanya dilakukan oleh sebagian kecil orang.

Di dalam masyarakat modern atau hipermodern, ada orang yang membayangkan bunuh diri
sebagai sesuatu yang romantis. Misalnya seperti film Ghost. Orang membayangkan, jika saya
mati, saya akan bisa seperti sosok dalam Ghost, bisa melihat kejadian di dalam dunianya dulu.
Pada anak kecil, bunuh diri bisa dikaitkan dengan unsur heroisme, dia memahlawankan
kematian,
Hasil sepertiDr
penelitian yang dilihatnya
Danuta dalam film-film.
Wasserman yang merupakan peneliti dari `the National Centre for
Suicide Research and Prevention` (Stockholm) itu dipublikasikan melalui The Lancet medical
journal. Menuru Dr Danuta Wasserman, faktor genetika memerankan posisi penting dalam kasus
bunuh diri ini.

Riset dilakukan dengan mengikuti semua data dari bayi yang dilahirkan antara tahun 1973 dan
1980 dengan melihat kecendrungan tindakan bunuh diri yang terjadi pada usia 10 tahun hingga
26 tahun. Secara keseluruhan tingkat tindakan bunuh diri yang terjadi di Swedia pada tahun 1999
berkisar 20 orang untuk setiap 100.00 populasi. Menurut penelitian, bayi yang dilahirkan
memiliki berat badan kurang 2 kg akan terkena resiko dua kali lebih tinggi mengalami bunuh diri
Bunuh Diri, Luar Biasa dan Masih Misteri
BELAKANGAN, kasus bunuh diri kembali marak di Jakarta dan sekitarnya. Modusnya pun
variatif, seperti meloncat dari ketinggian, minum racun tikus, menggantung leher dengan
tambang, hingga yang paling menggiriskan, membakar dirinya sendiri hingga gosong dan tewas.

Psikolog senior lulusan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Sartono Mukadis, mempunyai
jawaban atas berbagai peristiwa itu.

“BUNUH diri”, sebuah kata yang tidak asing lagi bagi pendiri dan penyiar radio swasta
mahasiswa Radio Pancasila Yon A Yani ini. “Pasien pertama saya sewaktu masih mahasiswa
juga bunuh diri. Jadi, saya tidak heran lagi,” kata Sartono, kelahiran Jakarta, 20 Desember 1945,
ini.

Bapak tiga anak yang juga Ketua Masyarakat Peduli Betawi dan mempunyai hobi jalan-jalan ini
juga menyimak berbagai kasus bunuh diri di Jakarta akhir-akhir ini, juga di Batam yang menurut
dia cukup tinggi. Namun, menurut dia, bunuh diri di kota-kota besar di Jepang masih lebih
tinggi.

Berikut petikan wawancara Sartono Mukadis dengan Kompas di rumahnya yang asri dan
sejuk di daerah Pondok Labu, Jakarta Selatan, pekan lalu.
Bagaimana menjelaskan mengapa orang bisa nekat bunuh diri? Apakah ada teori yang
bisa menjawab masalah ini?
Ada banyak teori mengenai mengapa orang nekat bunuh diri. Ada bunuh diri absurditas, bunuh
diri eksistensialis, bunuh diri karena patologis, atau bahkan karena alasan romantisme dan
heroisme. Namun, itu hanya teori karena sampai sekarang pun, bunuh diri tetap masih menjadi
misteri, dan penjelasannya bisa kasus per kasus.

Misalnya?
Saya ambil contoh keluarga Hemingway. Ernest Hemingway mati karena bunuh diri. Ternyata,
kakek dan pamannya juga melakukan hal yang sama. Kalau dicermati, apa yang dilakukannya itu
tanpa sebab, tidak ada bukti depresi. Apakah ini masalah genetis? Dalam kasus ini saya rasa
adalah masalah eksistensi. Hemingway yang penulis hebat itu melakukan hal itu karena modus
eksistensi. Ia ingin mengakhiri eksistensi dirinya dengan cara bunuh diri. Namun, modus seperti
ini memang hanya dilakukan oleh sebagian kecil orang.

Di dalam masyarakat modern atau hipermodern, ada orang yang membayangkan bunuh diri
sebagai sesuatu yang romantis. Misalnya seperti film Ghost. Orang membayangkan, jika saya
mati, saya akan bisa seperti sosok dalam Ghost, bisa melihat kejadian di dalam dunianya dulu.
Pada anak kecil, bunuh diri bisa dikaitkan dengan unsur heroisme, dia memahlawankan
kematian, sepertidengan
dibandingkan yang dilihatnya
bayi dalam
yangfilm-film.
dilahirkan normal 3.25 kg - 3.75 kg.

Sementara anak-anak yang dilahirkan dari ibu yang kurang dari usia 19 tahun juga akan
mengalami resiko terkena ancaman bunuh diri bila dibandingkan dengan ibu yang berusia 20
hingga 29 tahun. Malah panjang bayi waktu dilahirkan juga turut diteliti oleh Dr Danuta
Wasserman. Menurutnya, bayi yang dilahirkan kurang dari 47 cm akan memiliki kecendrungan
melakukan bunuh diri bila dibandingkan dengan bayi yang dilahirkan dengan panjang 50 atau 51
cm.

"Studi yang kami lakukan memang tidak memberikan jawaban yang definitif mengenai resiko
Bunuh Diri, Luar Biasa dan Masih Misteri
BELAKANGAN, kasus bunuh diri kembali marak di Jakarta dan sekitarnya. Modusnya pun
variatif, seperti meloncat dari ketinggian, minum racun tikus, menggantung leher dengan
tambang, hingga yang paling menggiriskan, membakar dirinya sendiri hingga gosong dan tewas.

Psikolog senior lulusan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Sartono Mukadis, mempunyai
jawaban atas berbagai peristiwa itu.

“BUNUH diri”, sebuah kata yang tidak asing lagi bagi pendiri dan penyiar radio swasta
mahasiswa Radio Pancasila Yon A Yani ini. “Pasien pertama saya sewaktu masih mahasiswa
juga bunuh diri. Jadi, saya tidak heran lagi,” kata Sartono, kelahiran Jakarta, 20 Desember 1945,
ini.

Bapak tiga anak yang juga Ketua Masyarakat Peduli Betawi dan mempunyai hobi jalan-jalan ini
juga menyimak berbagai kasus bunuh diri di Jakarta akhir-akhir ini, juga di Batam yang menurut
dia cukup tinggi. Namun, menurut dia, bunuh diri di kota-kota besar di Jepang masih lebih
tinggi.

Berikut petikan wawancara Sartono Mukadis dengan Kompas di rumahnya yang asri dan
sejuk di daerah Pondok Labu, Jakarta Selatan, pekan lalu.
Bagaimana menjelaskan mengapa orang bisa nekat bunuh diri? Apakah ada teori yang
bisa menjawab masalah ini?
Ada banyak teori mengenai mengapa orang nekat bunuh diri. Ada bunuh diri absurditas, bunuh
diri eksistensialis, bunuh diri karena patologis, atau bahkan karena alasan romantisme dan
heroisme. Namun, itu hanya teori karena sampai sekarang pun, bunuh diri tetap masih menjadi
misteri, dan penjelasannya bisa kasus per kasus.

Misalnya?
Saya ambil contoh keluarga Hemingway. Ernest Hemingway mati karena bunuh diri. Ternyata,
kakek dan pamannya juga melakukan hal yang sama. Kalau dicermati, apa yang dilakukannya itu
tanpa sebab, tidak ada bukti depresi. Apakah ini masalah genetis? Dalam kasus ini saya rasa
adalah masalah eksistensi. Hemingway yang penulis hebat itu melakukan hal itu karena modus
eksistensi. Ia ingin mengakhiri eksistensi dirinya dengan cara bunuh diri. Namun, modus seperti
ini memang hanya dilakukan oleh sebagian kecil orang.

Di dalam masyarakat modern atau hipermodern, ada orang yang membayangkan bunuh diri
sebagai sesuatu yang romantis. Misalnya seperti film Ghost. Orang membayangkan, jika saya
mati, saya akan bisa seperti sosok dalam Ghost, bisa melihat kejadian di dalam dunianya dulu.
Pada anak kecil, bunuh diri bisa dikaitkan dengan unsur heroisme, dia memahlawankan
kematian, seperti
terjadinya bunuh yang
diri,"dilihatnya dalam
ungkapnya. film-film.
"Namun setidaknya kami menemukan hubungan penting
antara pra kelahiran sebagai faktor penentu. Saya fikir faktor genetika dan lingkungan menjadi
faktor yang sangat penting."

Dr Danuta Wasserman menyarankan agar sang ibu selama kehamilan menjaga nutrisi dengan
baik termasuk tidak mengkonsumsi alkohol dan obat-obatan.

source: http://coratcoretnaknik.blogspot.com/2009/11/ternyata-bunuh-diri-sudah-
ditentukan.html
Bunuh Diri, Luar Biasa dan Masih Misteri
BELAKANGAN, kasus bunuh diri kembali marak di Jakarta dan sekitarnya. Modusnya pun
variatif, seperti meloncat dari ketinggian, minum racun tikus, menggantung leher dengan
tambang, hingga yang paling menggiriskan, membakar dirinya sendiri hingga gosong dan tewas.

Psikolog senior lulusan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Sartono Mukadis, mempunyai
jawaban atas berbagai peristiwa itu.

“BUNUH diri”, sebuah kata yang tidak asing lagi bagi pendiri dan penyiar radio swasta
mahasiswa Radio Pancasila Yon A Yani ini. “Pasien pertama saya sewaktu masih mahasiswa
juga bunuh diri. Jadi, saya tidak heran lagi,” kata Sartono, kelahiran Jakarta, 20 Desember 1945,
ini.

Bapak tiga anak yang juga Ketua Masyarakat Peduli Betawi dan mempunyai hobi jalan-jalan ini
juga menyimak berbagai kasus bunuh diri di Jakarta akhir-akhir ini, juga di Batam yang menurut
dia cukup tinggi. Namun, menurut dia, bunuh diri di kota-kota besar di Jepang masih lebih
tinggi.

Berikut petikan wawancara Sartono Mukadis dengan Kompas di rumahnya yang asri dan
sejuk di daerah Pondok Labu, Jakarta Selatan, pekan lalu.
Bagaimana menjelaskan mengapa orang bisa nekat bunuh diri? Apakah ada teori yang
bisa menjawab masalah ini?
Ada banyak teori mengenai mengapa orang nekat bunuh diri. Ada bunuh diri absurditas, bunuh
diri eksistensialis, bunuh diri karena patologis, atau bahkan karena alasan romantisme dan
heroisme. Namun, itu hanya teori karena sampai sekarang pun, bunuh diri tetap masih menjadi
misteri, dan penjelasannya bisa kasus per kasus.

Misalnya?
Saya ambil contoh keluarga Hemingway. Ernest Hemingway mati karena bunuh diri. Ternyata,
kakek dan pamannya juga melakukan hal yang sama. Kalau dicermati, apa yang dilakukannya itu
tanpa sebab, tidak ada bukti depresi. Apakah ini masalah genetis? Dalam kasus ini saya rasa
adalah masalah eksistensi. Hemingway yang penulis hebat itu melakukan hal itu karena modus
eksistensi. Ia ingin mengakhiri eksistensi dirinya dengan cara bunuh diri. Namun, modus seperti
ini memang hanya dilakukan oleh sebagian kecil orang.

Di dalam masyarakat modern atau hipermodern, ada orang yang membayangkan bunuh diri
sebagai sesuatu yang romantis. Misalnya seperti film Ghost. Orang membayangkan, jika saya
mati, saya akan bisa seperti sosok dalam Ghost, bisa melihat kejadian di dalam dunianya dulu.
Pada anak kecil, bunuh diri bisa dikaitkan dengan unsur heroisme, dia memahlawankan
kematian, seperti yang dilihatnya dalam film-film.
sumber http://wahw33d.blogspot.com/2010/04/resiko-bunuh-diri-bisa-dilihat-
sejak.html#ixzz1AoQpM4rc
Bunuh Diri, Luar Biasa dan Masih Misteri
BELAKANGAN, kasus bunuh diri kembali marak di Jakarta dan sekitarnya. Modusnya pun
variatif, seperti meloncat dari ketinggian, minum racun tikus, menggantung leher dengan
tambang, hingga yang paling menggiriskan, membakar dirinya sendiri hingga gosong dan tewas.

Psikolog senior lulusan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Sartono Mukadis, mempunyai
jawaban atas berbagai peristiwa itu.

“BUNUH diri”, sebuah kata yang tidak asing lagi bagi pendiri dan penyiar radio swasta
mahasiswa Radio Pancasila Yon A Yani ini. “Pasien pertama saya sewaktu masih mahasiswa
juga bunuh diri. Jadi, saya tidak heran lagi,” kata Sartono, kelahiran Jakarta, 20 Desember 1945,
ini.

Bapak tiga anak yang juga Ketua Masyarakat Peduli Betawi dan mempunyai hobi jalan-jalan ini
juga menyimak berbagai kasus bunuh diri di Jakarta akhir-akhir ini, juga di Batam yang menurut
dia cukup tinggi. Namun, menurut dia, bunuh diri di kota-kota besar di Jepang masih lebih
tinggi.

Berikut petikan wawancara Sartono Mukadis dengan Kompas di rumahnya yang asri dan
sejuk di daerah Pondok Labu, Jakarta Selatan, pekan lalu.
Bagaimana menjelaskan mengapa orang bisa nekat bunuh diri? Apakah ada teori yang
bisa menjawab masalah ini?
Ada banyak teori mengenai mengapa orang nekat bunuh diri. Ada bunuh diri absurditas, bunuh
diri eksistensialis, bunuh diri karena patologis, atau bahkan karena alasan romantisme dan
heroisme. Namun, itu hanya teori karena sampai sekarang pun, bunuh diri tetap masih menjadi
misteri, dan penjelasannya bisa kasus per kasus.

Misalnya?
Saya ambil contoh keluarga Hemingway. Ernest Hemingway mati karena bunuh diri. Ternyata,
kakek dan pamannya juga melakukan hal yang sama. Kalau dicermati, apa yang dilakukannya itu
tanpa sebab, tidak ada bukti depresi. Apakah ini masalah genetis? Dalam kasus ini saya rasa
adalah masalah eksistensi. Hemingway yang penulis hebat itu melakukan hal itu karena modus
eksistensi. Ia ingin mengakhiri eksistensi dirinya dengan cara bunuh diri. Namun, modus seperti
ini memang hanya dilakukan oleh sebagian kecil orang.

Di dalam masyarakat modern atau hipermodern, ada orang yang membayangkan bunuh diri
sebagai sesuatu yang romantis. Misalnya seperti film Ghost. Orang membayangkan, jika saya
mati, saya akan bisa seperti sosok dalam Ghost, bisa melihat kejadian di dalam dunianya dulu.
Pada anak kecil, bunuh diri bisa dikaitkan dengan unsur heroisme, dia memahlawankan
kematian, seperti yang dilihatnya dalam film-film.

You might also like