You are on page 1of 93

3.

HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. Kota Ambon

Gambaran umum lokasi penelitian

Luas Kota Ambon adalah 377 km2 (luas daratan sekitar 359,45 km2 ),
dengan demikian luasnya meliputi hampir separuh dari luas pulau Ambon.
Secara geografis, Kota Ambon terletak pada 3o – 4o Lintang Selatan dan 128o –
129o Bujur Timur yang berbatasan dengan:
 Sebelah Utara : Desa Hitu, Kecamatan Leihitu, Kabupaten Maluku Tengah
 Sebelah Selatan : Laut Banda
 Sebelah Timur : Desa Suli, Kecamatan Salahutu, Kabupaten Maluku
Tengah
 Sebelah Barat : Desa Hatu, Kecamatan Leihitu, Kabupaten Maluku Tengah

Sumber: Profil Sumberdaya Kelautan dan Perikanan, 2008


Gambar 3.1. Peta Administratif Kota Ambon

Saat ini Kota Ambon dibagi dalam lima kecamatan, yaitu: Kecamatan
Teluk Ambon, Teluk Ambon Baguala, Sirimau, Nusaniwe, dan Leitimur Selatan.
Jumlah desa atau kelurahan yang tersebar di kelima kecamatan tersebut
sebanyak 50 desa/kelurahan. Berdasarkan luas wilayahnya, maka Kecamatan

12
Teluk Ambon merupakan kecamatan terluas, yaitu 93,68 km2. Sebaliknya,
Kecamatan Teluk Ambon Baguala menjadi kecamatan dengan luas wilayah paling
keci, yaitu 40,11 km2. Dengan batas wilayah yang demikian maka perairan Kota
Ambon dipengaruhi oleh dinamika laut Banda.
Dari 50 Desa/Kelurahan, maka 34 Desa/Kelurahan (68%) berada pada
kawasan pesisir, sedangkan desa-desa lainnya terletak di daerah pegunungan
dan jauh dari pantai. Desa-desa di daerah pegunungan tersebut memiliki ”hak
petuanan” di kawasan pesisir dan laut.
Berdasarkan Laporan Statistik PPN Ambon (2009), jumlah penduduk Kota
Ambon yang bermata pencaharian tergantung pada perikanan hanya sebesar
1,4 persen dengan jumlah nelayan dan rumah tangga perikanan (RTP) masing-
masing sebanyak 3.796 jiwa atau 3.378 rumah tangga. Nelayan Kota Ambon
dapat dikatakan sebagai nelayan sub-sisten. Jumlah nelayan terbesar terdapat di
Kecamatan Nusaniwe (34,61%) yang terkonsentrasi di Desa Latuhalat (Tabel 3.1).
Latuhalat menjadi sentra kegiatan penangkapan karena kondisi perairan
yang menunjang produksi perikanan tangkap. Namun, beberapa desa pesisir
lainnya memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai lokasi untuk budidaya
perikanan, pengolahan, eko-wisata laut.
Tabel 3.1. Jumlah Nelayan dan RTP Kota Ambon Tahun 2008
Jumlah Jumlah
No. Kecamatan
Nelayan RTP
1. Teluk Ambon 677 593
2. Teluk Ambon 819 725
Baguala
3. Sirimau 372 293
4. Leitimur Selatan 614 547
5. Nusaniwe 1,314 1,22
Jumlah 3,796 3,378
Sumber : Dinas Perikanan dan Kelautan Kota Ambon, 2008

Usaha perikanan di Ambon terdiri dari usaha perikanan komersial dan


usaha perikanan rakyat. Usaha perikanan komersial ditunjukkan oleh
beroperasinya perusahaan besar yang berpangkalan di Kota Ambon
(fishingground penangkapan adalah di perairan Maluku dan Papua). Sementara
itu, usaha perikanan rakyat pada umumnya terdiri dari kapal ikan ukuran kecil

13
sampai ukuran 30 GT. Berkembangnya usaha perikanan didaerah tersebut
berpotensi mempengaruhi ketersediaan ikan. Saat ini di Ambon semakin banyak
tertangkap ikan tuna ukuran kecil (baby tuna), ini merupakan pertanda stok ikan
semakin berkurang.
Di Kota Ambon terdapat Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Ambon
dan Pusat Pendaratan Ikan (PPI) yang tesebar pada beberapa lokasi. Kapal yang
berkunjung ke PPN Ambon sangat bervariasi, baik jenis alat tangkapnya maupun
ukuran kapalnya. Selain kapal penangkap ikan, ada pula kapal pengangkut yang
berperan sebagai kapal pengumpul ikan dari beberapa kapal penangkap ikan
yang berada di tengah laut. Kapal pengangkut ikan ini juga berfungsi sebagai
penyuplai bahan bakar dan perbekalan untuk awak kapal penangkap yang
biasanya memiliki trip hingga 6 bulan.

Jumlah kapal pengangkut yang singgah di PPN Ambon, yaitu sebanyak


275 kapal atau 32 persen dari total kapal yang berkunjung. Ukuran kapal
pengangkut antara > 10—1000 GT yang didominasi oleh ukuran 51—100 GT.
Sementara itu, kapal penangkap dengan alat tangkap pukat tarik ikan, pukat tarik
udang ganda, dan huhate adalah kapal yang paling banyak berkunjung di PPN
Ambon masing-masing sebanyak 26 persen, 17 persen, dan 7 persen dari jumlah
kapal yang berkunjung ke PPN Ambon.

Jenis ikan yang dominan didaratkan selama tahun 2009 adalah ikan
pelagis kecil, seperti: ikan gulamah/tigawaja, layang, layur, dan ekor kuning,
sedangkan dari jenis non-ikan adalah cumi-cumi (Gambar 3.2). Ikan
gulamah/tigawaja adalah ikan yang paling banyak didaratkan, mencapai 61,24
persen dari total ikan yang didaratkan.

Gambar 3.2. menunjukkan ikan yang didaratkan didominasi oleh ikan-


ikan kecil yang umumnya banyak dijumpai di pasar lokal. Ironisnya, Kota Ambon
sangat kaya akan ikan-ikan pelagis besar, seperti ikan tuna, tongkol, dan cakalang
serta ikan karang seperti lalosi. Hal ini menunjukkan bahwa hasil tangkapan
berupa ikan pelagis besar tidak didaratkan di PPN, tetapi langsung dijual ke

14
perusahaan-perusahaan sebagai komoditas ekspor. Dari hasil pengamatan,
nelayan yang menangkap ikan tuna langsung membawa hasil tangkapannya ke
perusahaan yang menawarkan harga tertinggi agar keuntungan yang nelayan
peroleh besar.

Sumber: Laporan Statistik PPN Ambon, 2009


Gambar 3.2. Persentase Produksi menurut jenis ikan dominan

Selain sebagai tempat pendaratan ikan serta berlabuhnya kapal-kapal


penangkap dan pengangkut ikan , PPN Ambon kurang dilengkapi dengan sarana
dan prasarana lainnya. Dari hasil pengamatan, PPN Ambon tidak memiliki
stasiun pengisian bahan bakar berupa SPDN atau SPBB sebagai agen resmi dalam
memenuhi kebutuhan bahan bakar kapal nelayan. Permasalahan lainnya yang
dihadapi adalah perusahaan kapal mendapat kesulitan untuk melakukan docking
karena fasilitas yang tersedia hanya melayani ukuran kapal di bawah 500 GT.
Padahal, dermaga laut dan pelabuhan tersedia 19 buah untuk melayani angkutan
penumpang dan barang. (Profil Sumberdaya Kelautan dan Perikanan, 2008)
Penyaluran logistik untuk kapal penangkap ikan yang dilakukan oleh PPN
Ambon meliputi air bersih, es, dan BBM/solar. Namun, keterbatasan
infrastruktur dalam pelabuhan membuat nelayan harus mencari sumber logistik
di luar pelabuhan. Hal inilah yang mendorong sulitnya nelayan mendapatkan
kebutuhan logistiknya secara cepat dengan harga yang terjangkau. Penyaluran
logistik air bersih, misalnya, berasal dari dalam dan luar pelabuhan. Kebutuhan
nelayan akan air bersih dapat dapat disuplai dari dalam PPN Amon, sedangkan
kebutuhan BBM/solar sepenuhnya berasal dari luar pelabuhan. Sebaliknya,
kebutuhan es seluruhnya dapat dipenuhi dari dalam pelabuhan karena

15
pelabuhan memiliki pabrik es yang produksinya cukup memenuhi kebutuhan
nelayan Kota Ambon.
Tabel 3.2. Jumlah logistik kapal penangkap ikan di PPN Ambon pada tahun 2009
Kebutuhan Logistik
Bulan
Air (Ltr) Es Balok (Ton) BBM/Solar (Ltr)
Januari 368 13 1,210.80
Februari 903.3 9.6 2,031.50
Maret 696.4 16.5 1,724.50
April 830 16.2 2,016
Mei 1,242 16.2 2,016
Juni 1,005.50 13 2,252.00
Juli 857.7 17 1,927.30
Agustus 857.7 3 1,927.30
September 1,312 16.3 3,292
Oktober 985 17.2 2,526
November 1,279.50 9.5 3,453
Desember 1,604.40 6,1 4,810
Jumlah 11,941.5 147.5 29,186.4
Sumber: Laporan Statistik PPN Ambon, 2009

Produksi ikan pada tahun 2009 adalah 22.343,7 ton dengan total nilai
sebesar Rp72,757 milyar. Jenis ikan yang paling besar sumbangannya terhadap
total produksi adalah ikan tongkol, layang, cakalang, dan tuna dengan nilai
produksi terbesar berasal dari ikan cakalang, tongkol, dan layang. Hal ini
disebabkan oleh karena ikan-ikan tersebut merupakan komoditas ekspor utama
dengan harga jual yang cukup tinggi di pasar luar negeri.
Tabel 3.3. Volume dan nilai produksi perikanan per jenis ikan tahun 2009
Produksi
Jenis ikan
Volume (Ton) Nilai (Rp.000)
Cakalang 5,369.2 26,851,000
Kembung 659.6 1,981,800
Lalosi 300.5 603,000
Teri 23.7 35,550
Layang 5,845.8 14,617,000
Selar 620.9 1,741,320
Tongkol 7,710.1 15,422,200
Tuna 1,413.1 9,898,700
Lainnya 400.8 1,607,200
Jumlah 22,343.7 72,757,770
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Ambon, 2009

16
Armada penangkapan yang digunakan adalah perahu tanpa motor
(perahu semang), perahu motor tempel (outboard engine) dan kapal motor
dengan mesin dalam (inboard engine). Kapal tanpa motor lebih banyak
digunakan dibandingkan perahu motor tempel dan kapal motor, yaitu sebanyak
67 persen dan sisanya 32 persen didominasi oleh perahu dengan motor tempel.
Prosentase kapal motor dengan mesin sebagai armada penangkapan hanya
digunakan oleh satu persen nelayan Kota Ambon.

Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Ambon, 2009


Gambar 3.3. Armada penangkapan ikan di Ambon tahun 2009

Jenis alat tangkap yang digunakan nelayan Kota Ambon sangat bervariasi,
antara lain hand line, jaring angkat, jaring insang, pancing tonda, huhate, purse
seine, dan pukat pantai. Berdasarkan data dari Dinas Kelautan dan Perikanan
Kota Ambon, alat tangkap yang paling banyak digunakan adalah pancing tangan
(56%), jaring angkat (14,3%), jaring insang (9,3%), dan pancing tonda (7,8%). Alat
tangkap huhate (pole and line) dan giob atau bobo (purse seine) adalah jenis-
jenis alat tangkap yang sedikit sekali penggunaannya karena sarana penangkapan
ini tergolong mahal. Namun, dari sisi manfaat dapat melibatkan banyak nelayan
dalam operasional alat tangkap tersebut. Selain itu, alat tangkap lainnya, seperti
bubu, panah, rawai, jala, tangguk, dan rumpon. juga tergolong banyak karena
ada 10,4 persen nelayan Kota Ambon menggunakan alat tangkap tersebut.
Armada penangkapan yang mengoperasikan alat tangkap pancing tangan (hand

17
line) umumnya juga menggunakan alat tangkap lainnya, misalnya gill net, tramel
net, dan bottom gill net.

Karakteristik Usaha Responden


Karakteristik responden menurut kepemilikian kapal, jenis alat
tangkapnya, dan bahan bakar yang digunakan dapat dipelajari dari Tampilan
Tabel 3.4. Berdasarkan kepemilikan kapal 70 persen responden memiliki kapal
dengan ukuran ≥5GT - <10GT dan sisanya (30 persen) memiliki kapal berukuran <
5 GT. Ukuran kapal tersebut menyebabkan nelayan tidak mampu menangkap
ikan di lautan lepas karena ukuran kapal tidak mampu melawan arus,
gelombang, dan angin yang cukup besar. Kondisi ini memang memaksa nelayan
untuk menggunakan kapal dengan ukuran panjang dan lebar kapal yang berbeda.
Untuk itu, bantuan kapal yang diterima nelayan biasanya tidak dapat langsung
digunakan karena harus dimodifikasi terlebih dahulu, baik ukuran panjang kapal
dan kekuatan mesinnya.
Daerah penangkapan ikan umumnya berada di dalam teluk dan pada
perairan di sekitar teluk Ambon. Nelayan Ambon tidak terpengaruh oleh musim,
karena jika angin kencang tidak terjadi di seluruh wilayah perairan karena
terhalang oleh pulau dan gunung di sekeliling teluk. Dengan demikian, nelayan
cenderung mudah berpindah daerah penangkapan (fishing ground) sehingga
kegiatan penangkapan tidak terganggu dengan adanya perubahan musim angin.
Hal ini terbukti dengan samanya jumlah trip hari untuk musim angin barat dan
angin timur

18
Tabel 3.4. Karakteristik responden dari aspek teknis
Karakteristik Jumlah Prosentase
Kepemilikan Kapal Menurut GT
< 5 GT 9 30
≥5GT - <10GT 21 70
≥10GT -<30GT 0 0
≥30GT - <100GT 0 0
Jumlah 30 100
Jenis Alat Tangkap
Pancing tonda 9 30.00
Purse seine 8 26.67
Gillnet 13 43.33
Jumlah 30 100
Bahan Bakar yang digunakan
Bensin 25 83
Minyak tanah 5 17
Jumlah 30 100
Sumber: Data primer diolah, 2010

Tabel 3.5 menunjukkan pendapatan dan Pengeluaran dari kegiatan


penangkapan ikan. Pada nelayan pancing tonda, penerimaan diperoleh dari
penjualan ikan tuna pada trip terakhir rata-rata sebesar Rp1.707.111. Sementara
itu, biaya operasional yang dikeluarkan adalah sebesar Rp 593.611 yang
dialokasikan untuk membeli bensin, oli, es, ransum, dan biaya di darat berupa
perawatan kapal. Dengan demikian, keuntungan yang diterima nelayan pancing
tonda adalah sebesar Rp1.113.500/trip. Keuntungan ini selanjutnya dibagi 50%
untuk pemilik kapal, 25% untuk nahkoda dan 25% lagi untuk ABK. Pada
prakteknya, keuntungan tersebut dibagi dua untuk pemilik dan ABK mengingat
biasanya kapal pancing tonda bekerja dengan anggota keluarganya sendiri
sehingga bagian ABK adalah Rp 556.750 pada trip terakhir.
Untuk kapal purse seine, keuntungan yang diperoleh jauh lebih besar
dibandingkan dua jenis alat tangkap lainnya. Penerimaan yang diterima pada trip
terakhir rata-rata sebesar Rp3.054.085 dari penjualan ikan kawalinya Rp885.000
dari nilai ikan momar Rp2.973.000 sehingga total penerimaannya adalah
Rp3.858.000. Dengan biaya operasional sebesar Rp803.915 maka besarnya

19
keuntungan adalah Rp3.054.085. Keuntungan ini selanjutnya dibagi 40% untuk
pemilik kapal, 30% perawatan, dan perbaikan kapal, 27% untuk ABK, dan 3%
untuk nahkoda. Banyaknya ABK yang bekerja di sebuah kapal purse seine
membuat penerimaan riil yang diperoleh ABK justru kecil dibandingkan dengan
ABK di kapal pancing tonda, yaitu ± Rp41.270 untuk seorang ABK.
Tabel 3.5. Pendapatan dan Pengeluaran Kegiatan Penangkapan Ikan
Jenis Alat Tangkap
Uraian Pancing tonda Purse seine Gillnet
(< 5 GT) (≤ 5-10 GT) (≤ 5-10 GT)
Penerimaan (Rp)
Tuna 1,707,111
Selar (Kawalinya) 885,000
Layang (Momar) 2,973,000
Tongkol 1,200,000
Kembung (Lema) 288,400
Jumlah 1,707,111 3,858,000 1,488,400

Biaya operasional (Rp)


Solar 0 0 75,000
Bensin 322,222 118,125 69,688
Minyak tanah 0 128,250 15,533
Oli 66,444 116,875 55,714
Es 41,556 13,200 98,000
Ransum 38,389 105,625 15,750
biaya di darat 125,000 321,840 53,333
Total Biaya Operasional 593,611 803,915 308,018

Keuntungan (Rp) 1,113,500 3,054,085 1,180,382


Sumber: Data primer diolah, 2010

Alat tangkap gillnet rata-rata menangkap ikan tongkol dan lema sehingga
penerimaannya dari kedua jenis ikan tersebut adalah Rp1.488.400. Selain itu,
biaya operasional yang dikeluarkan juga cenderung rendah karena kapal gillnet
tidak banyak membeli oli, minyak tanah, dan ransum sehingga total biaya
operasionalnya adalah Rp308.018. Rendahnya biaya operasional ini disebabkan
oleh karena nelayan gillnet memiliki trip penangkapan setiap hari sehingga biaya
ransum dan biaya bensinnya rendah. Setelah dikurangi dengan biaya operasional
tersebut maka besarnya keuntungan sebesar Rp1.180.382. Selanjutnya, sistem

20
bagi hasil dari keuntungan tersebut adalah 60% untuk pemilik, 6% untuk
nahkoda, dan 34% untuk ABK. Seperti halnya kapal purse seine, banyaknya ABK
yang bekerja membuat bagian keuntungan yang diterima oleh seorang ABK
sedikit, yaitu ± Rp40.000.

Bantuan Usaha Perikanan


Bantuan yang diberikan oleh pemerintah dapat dikatagorikan sebagai
subsidi. Namun bantuan ini sifatnya tidak reguler karena diberikan pada keadaan
tertentu. Bantuan ini adalah bentuk intervensi pemerintah, baik pemerintah
pusat maupun pemerintah daerah untuk membantu berjalannya usaha
penangkapan ikan.
Bantuan yang diberikan dapat bersifat langsung berupa uang tunai atau
peralatan tangkap yang langsung diserahkan kepada kelompok nelayan, misalnya
subsidi BBM atau bantuan kapal dan alat tangkapnya bagi kelompok nelayan
terpilih. Ada pula subsidi yang diberikan secara tidak langsung, misalnya berupa
penyediaan fasilitas untuk memperlancar usaha penangkapan.
Intervensi yang intensif kepada nelayan lebih banyak dilaksanakan oleh
Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Maluku dan Kota Ambon. Akan tetapi,
bentuk intervensinya lebih bersifat pemberdayaan nelayan yang dilakukan
sebagai bagian dari upaya kolektif bersama seluruh masyarakat pesisir untuk
pengelolaan ekosistem, sumberdaya alam kelautan dan perikanan untuk
menjamin kegiatan nelayan itu secara berkelanjutan. Dinas Kelautan dan
Perikanan Kota Ambon dan Provinsi Maluku banyak menyediakan bantuan
peralatan penangkapan yang diberikan dalam bentuk paket barang dan uang
dengan mekanisme yang telah diatur dan disepakati untuk mendukung usaha
nelayan.
Bantuan yang bersifat pemberdayaan masyarakat ini jumlahnya sangat
kecil, namun sangat membantu dalam pengembangan usaha perikanan yang ada
disekitar teluk Ambon. Bantuan tersebut umumnya menggunakan dana yang
berasal dari angggaran pemerintah dan sifatnya sangat temporer.

21
Tabel 3.6. Bantuan Melalui Pemberdayaan Masyarakat Perikanan di Kota Ambon
Tahun 2002—2008
Jenis Bantuan Jumlah kelompok Sumber
No. Tahun Bentuk bantuan
penerima bantuan bantuan
1. 2002 Rumpon 4 APBN Uang
Gilnet 5 APBN Uang/Barang
Kios BBM 1 APBN Uang
Puse seine 2 APBN Uang/Barang
Bodi 1 APBN Uang
BBM&Alat 1 APBN Uang
2. 2003 Papalele ikan 10 APBN Uang
Rumpon 2 APBN Uang
3. 2004 Rumpon 2 APBN Uang
Papalele ikan 1 APBN Uang
4. 2005 Papalele ikan 2 APBN Uang/Barang
Gilnet 1 APBN Uang
Rumpon 1 APBN Uang
5. 2006 Rumpon 2 APBN Uang
Papalele ikan 2 APBN Uang
Gilnet 1 APBN Uang
Pengolahan 1 APBN Uang
6. 2007 Pancing tonda 3 APBN Uang
Bagan 2 APBN Uang
Kios 1 APBN Uang
Bubu 1 APBN Uang
Gilnet 1 APBN Uang
7. 2008 Pancing tonda 7 APBN Uang
Rumpon 1 APBN Uang
Papalele ikan 1 APBN Uang
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Ambon, 2009

Berdasarkan informasi masyarakat dan pengamatan di lapangan, bentuk-


bentuk pemberdayaan kepada nelayan sangat bervariasi dalam aktivitas dan
lokasi usaha. Pemberian bantuan ke depan perlu dilakukan dengan
pertimbangan untuk memaksimalkan kegiatan dan kelembagaan masyarakat
yang sedang berjalan (bukan dengan membentuk kelompok-kelompok baru),
serta yang mempunyai peranan selama ini dalam upaya menyejahterakan
masyarakat. Beberapa desa dan kelurahan yang berpotensi dikembangkan untuk
usaha perikanan tangkap, budidaya laut, wisata bahari dengan pendekatan
terpadu dan menerapkan sistem konservasi yang tersebar dalam lima kecamatan

22
dalam tabel di bawah ini. Demikian juga masyarakat dari desa tertentu yang
dapat dikembangkan sebagai desa pengolahan ikan dan non-ikan.
Tabel 3.7. Bentuk-bentuk intervensi pemerintah daerah dalam kegiatan
penangkapan di Kota Ambon

No. Kecamatan Bentuk Intervensi


1. Nusaniwe - Alat tangkap : pancing tonda, giob/bobo, jaring insang,
huhate
- Pengembangan wisata rekreasi massal, wisata khusus alam
darat dan laut , wisata selam, ilmiah serta “eco-tourism”
- Lokasi desa-desa Latuhalat, Seilale, dan Nusaniwe
- Alat dan metoda pengolahan ikan yang berkualitas
- Pemasaran melalui Tempat Pelelangan Ikan (PPI) di Erie,
Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN), dan PT perikanan
Nusantara
2. Sirimau - Alat tangkap : Jaring insang, huhate dan giob/bobo
- Alat dan metoda pengolahan ikan yang berkualitas
- Lokasi kelurahan Pandan Kasturi, desa-desa Batu Merah,
Hative kecil, Galala.
- Pemasaran melalui Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN),
dan PT perikanan Nusantara
3. Teluk Ambon - Alat tangkap seperti jaring insang, pancing tonda, alat
pancing
- Budidaya laut (ikan dan non-ikan), melalui pendekatan
pengelolaan dan konservasi, dengan isu utama adalah
pencemaran
- Alat dan metoda pengolahan ikan yang berkualitas
- Pariwisata massal berupa rekreasi pantai dan secara khusus
wisata selam di kawasan kapal tenggelam di Waiame.
- Lokasi Desa-desa Rumahtiga, Hative Besar, Laha dan Tawiri
- Pemasaran melalui Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN),
dan PT perikanan Nusantara

4. Teluk Ambon - Alat tangkap: Jaring insang, alat pancing, huhate, (beberapa
Baguala desa seperti Latta, Lateri, Halong di waktu lampau terkenal
sebagai nelayan pole and line yang tangguh)
- Budidaya laut (ikan), melalui pendekatan pengelolaan
ekosistem Daerah Aliran Sungai dan mangrove, dengan
konservasi, dengan isu utama adalah pencemaran.
- Alat dan metoda pengolahan ikan yang berkualitas
- Lokasi desa-desa Passo, Waiheru, Nania, NegeriLama,
Halong dan Latta serta kelurahan Lateri
- Pemasaran melalui Tempat Pelelangan Ikan (PPI) di Erie,
Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN), dan PT perikanan
Nusantara
5. Leitimur - Penangkapan ikan : Jaring insang, Rumpon, Bagan, alat
Selatan pancing.

23
No. Kecamatan Bentuk Intervensi
- Pengembangan pariwisata massal untuk rekreasi dan
secara khusus wisata ilmiah, selam antara Hukurila dan
Hutumuri
- Budidaya laut (rumput laut, teripang, lola, batu laga, siput
lain) dengan pendekatan pengelolaan dan konservasi serta
mengembangkan teknologi untuk pembenihan dan
pemulihan stok.
- Alat dan metoda pengolahan ikan yang berkualitas
- Lokasi Desa-desa Hutumuri, Naku, Leahari, Kilang, Hatalae,
Hukurila
- Pemasaran melalui Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN),
dan PT perikanan Nusantara
Sumber: Profil Sumberdaya Kelautan dan Perikanan Kota Ambon, 2008

Peran Subsidi Perikanan


Berdasarkan data dan informasi yang diperoleh, subsidi BBM kepada
nelayan tradisional yang menggunakan kapal berukuran < 5—10 GT dengan alat
tangkap pancing tonda dan purse seine dapat dikatakan tidak ada. Hal ini
disebabkan oleh tidak tersedianya SPDN atau SPBB sebagai penyalur BBM
bersubsidi bagi nelayan di PPN Ambon. Selain itu, faktor penyebab lainnya
karena armada penangkapan yang digunakan nelayan responden adalah kapal
dengan motor tempel yang berbahan bakar bensin, sedangkan subsidi BBM
hanya diberikan untuk armada penangkapan yang berbahan bakar solar.
Tidak tersedianya SPDN/SPBN menyebabkan nelayan yang menjadi
responden mengalami kesulitan mendapatkan BBM yang selama ini mereka beli
dari pengecer dengan harga Rp4.500—Rp6.000 per liter. Lokasi pengecer juga
cukup jauh sehingga nelayan harus membawa jerigen atau botol kaca sebagai
wadahnya. Padahal, kebutuhan bahan bakar berupa bensin dalam satu trip
cukup besar. Untuk kapal pancing tonda saja yang melakukan one day fishing
rata-rata memerlukan 64 liter bensin, sedangkan kapal purse seine rata-rata
memerlukan bensin sebanyak 24 liter dan minyak tanah 37 liter.

24
Tabel 3.8. Analisis biaya dan pendapatan menurut jenis alat tangkap
Jenis alat tangkap
Uraian
Pancing tonda Purse seine Gillnet
Rata-rata ukuran kapal < 5 GT ≥ 5-10 GT ≥ 5-10 GT
Rata-rata lama hari per trip 1 hari 1 hari 1 hari
Rata-rata volume (per trip)
- Solar - - 12.5 liter
- Bensin 64 liter 24 liter 20 liter
- Minyak tanah - 37 liter 5 liter
Rata-rata biaya operasional per - - Rp308,018
trip dengan subsidi BBM*
Rata-rata biaya operasional per Rp593,611 Rp803,915 Rp401,768
trip tanpa subsidi BBM**
Rata-rata nilai hasil tangkapan Rp1,707,111 Rp3,858,000 Rp1,488,400
Sumber: Data primer diolah, 2010
* Harga BBM di eceran ** Harga BBM tanpa subsidi = Rp7.500

Berbeda dengan kedua armada penangkapan dengan dua alat tangkap di


atas, kapal dengan alat tangkap gillnet menggunakan solar, bensin, dan minyak
tanah yang masing-masing sebanyak 12,5 liter, 20 liter, dan 5 liter. Dengan
asumsi harga solar non-subsidi adalah Rp7.500 maka solar yang digunakan
responden dengan kapal gillnet termasuk ke dalam solar bersubsidi dengan
harga Rp6.000 per liter sehingga biaya operasional per trip adalah Rp308.018.
Apabila dibandingkan dengan harga BBM tanpa subsidi maka besarnya biaya
operasional per trip adalah Rp401.768 yang artinya nelayan harus mengeluarkan
biaya lebih besar dibandingkan dengan penggunaan BBM bersubsidi meskipun
porsi biaya solar terhadap biaya operasional tanpa subsidi BBM atau dengan
subsidi BBM hampir sama, yaitu sebesar 24 persen. Bertambah besarnya biaya
operasional tersebut berdampak pada penurunan keuntungan per trip yang
diperoleh nelayan yang bisa mencapai 8 persen.
Penurunan pendapatan tersebut bagi nelayan bagi responden
menunjukkan bahwa usaha perikanan tersebut memiliki prospek keberlanjutan
yang baik walaupun BBM yang digunakan tanpa di Subsidi. Selain itu, pada
wilayah Ambon ikan yang terdapat di wilayah perairan Ambon masih dapat

25
mendukung berbagai armada penangkapan yang terdapat pada kawasan
tersebut.
Namun demikian, subsidi BBM justru disalurkan untuk armada
penangkapan dari 7—10 perusahaan besar di Ambon sejak tahun 2007 hingga
sekarang. Namun, sejak Maret 2009 hingga sekarang subsidi BBM hanya
disalurkan ke tiga perusahaan, yaitu PT Arabikatama Khatulistiwa Fishing
Industry, PT Cilacap Samudera Fishing Industry, dan PT Samudra Sakti Sepakat.
Berdasarkan data dalam Tabel 13, PT Samudra Sakti Sepakat baru menerima
subsidi BBM sejak bulan Mei 2009 hingga sekarang dengan jumlah yang lebih
sedikit dibandingkan dua perusahaan lainnya. Sementara itu, PT Arabikatama
Khatulistiwa Fishing Industry memperoleh BBM bersubsidi paling banyak, baik di
tahun 2009 (65%) maupun pada tahun 2010 (60%) dari total subsidi BBM yang
disalurkan PPN Ambon.
Penyaluran BBM bersubsidi ini dikelola oleh PPN Ambon yang berwenang
mengeluarkan surat rekomendasi kepada pihak Pertamina berdasarkan surat
permohonan dari perusahaan. Selanjutnya, surat rekomendasi ini dipelajari oleh
Pertamina sehingga pemberian BBM bersubsidi tidak selalu sebanyak yang
diminta dan direkomendasikan. Setelah Pertamina menyetujui permohonan
tersebut, pengisian solar akan dilakukan di dermaga tempat kapal berlabuh
dengan menggunakan mobil tanki dari Pertamina sehingga perusahaan harus
mengeluarkan biaya sewa mobil tanki di samping membayar harga BBM yang
dibeli.

26
Tabel 3.9. Rekapitulasi BBM bersubsidi yang dikeluarkan PPN Ambon tahun
2009—2010
Jumlah BBM bersubsidi (KL)
Bulan PT. Arabikatama Khatulistiwa PT. Cilacap Samudera PT. Samudera Sakti Jumlah
Fishing Industry Fishing Industry Sepakat

Tahun 2009
Maret 180 100 - 280
April 175 75 - 250
Mei 200 50 20 270
Juni 150 125 25 300
Juli 205 125 40 370
Agustus 255 80 20 355
September 205 75 20 300
Oktober 130 25 70 225
November 175 50 25 250
Desember 255 75 45 375
Jumlah 1,930 780 265 2,975
Tahun 2010
Januari 150 25 20 195
Februari 95 25 25 145
Maret 100 75 50 225
April 125 50 45 220
Mei 125 70 25 220
Juni 170 70 30 270
Jumlah 765 315 195 1,275
Sumber: PPN Ambon diolah, 2010

3.2. Kota Bitung

Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Kota Bitung terletak pada 1°23'23" - 1°35'39" LU dan 125°1'43" -


125°18'13" BT. Luas wilayah Kota Bitung 31.350,35 Ha, yang batas-batas
wilayahnya sebagai berikut:
 Sebelah Utara dengan Kecamatan Likupang Kabupaten Minahasa
Utara
 Sebelah Timur dengan Laut Maluku
 Sebelah Selatan dengan Laut Maluku

27
 Sebelah Barat dengan Kecamatan Kauditan Kabupaten Minahasa
Utara
Secara administratif wilayah Bitung dibagi dalam 8 kecamatan dan 69
kelurahan, dengan rincian seperti pada tampilan Tabel 3.10 .

Tabel 3.10. Kecamatan, Desa serta Luas Wilayah Kota Bitung


No. Kecamatan Kelurahan Luas Daerah (ha) %

1. Ranowulu 11 15.756,80 50,26

2. Matuari 8 3.396,00 10,83

3. Girian 7 516,55 1,65

4. Mandidir 8 2.083,00 6,64

5. Maesa 8 969,70 3,09

6. Aertembaga 10 3.309,30 10,56

7. Lembeh Selatan 7 2.553,00 8,14

8. Lembeh Utara 10 2.766,00 8,82

Jumlah 69 31.350,35 100

Sumber : Kantor Statistik Bitung (2010)

Dilihat dari aspek topografis, keadaan tanahnya sebagian besar daratan


Bitung atau 45,06% berombak berbukit dan 32,73% bergunung. Hanya 4,18%
merupakan dataran landai serta sisanya 18,03% berombak. Di bagian Timur
mulai dari pesisir pantai Aertembaga sampai dengan Tanjung Merah di bagian
Barat, merupakan daratan yang relatif cukup datar dengan kemiringan 0 – 15
derajat, sehingga secara fisik dapat dikembangkan sebagai wilayah perkotaan,
industri, perdagangan dan jasa serta pemukiman.

Jumlah penduduk Kota Bitung pada tahun 2008 diestimasikan sebesar


178.266 jiwa. Dibandingkan hasil Sensus Penduduk terakhir yakni tahun 2000
yang berjumlah 140.270 jiwa berarti setiap tahun rata-rata pertumbuhan
penduduk mencapai 3%.

28
Dilihat dari sebaran penduduk per kecamatan sebagian besar penduduk
Bitung terkonsentrasi di Kecamatan Maesa. Jika dihubungkan dengan luas
wilayah Kota Bitung yang 313,5035 km persegi, maka kepadatan penduduk pada
tahun 2008 mencapai sekitar 569 jiwa per kilometer persegi. Angka ini tergolong
padat sebagaimana daerah perkotaan lainnya.

Karakteristik Usaha Perikanan Kota Bitung

Bitung memiliki sumber daya perikanan yang cukup potensial, potensi


penangkapan di Sulawesi Utara pada perairan 12 mil seluas 314,98 km2 dan
produksi 125,9 ton per tahun. Pada perairan zona ekonomi eksklusif seluas 190
km2 dan produksi 196,9 ton per tahun.
Armada penangkapan ikan dilihat dari jumlah kapal selama 10 tahun
terakhir menunjukkan penurunan dengan rata-rata penurunan 4,81% per tahun.
Penurunan ini terlihat karena adanya penurunan jumlah perahu tanpa motor
dalam jumlah yang signifikan. Penurunan jumlah perahu tanpa motor ini
disebabkan karena sebagian nelayan telah memiliki perahu dengan motor
temple. Penurunan jumlah perahu tanpa motor sejalan dengan meningkatnya
jumlah perahu motor temple. Selain perahu motor temple, kapal motor juga
mengalami peningkatan dengan jumlah yang lebih kecil dibandingkan penurunan
jumlah perahu tanpa motor, sehingga total jumlah amada penangkapan
menunjukkan penurunan. Peningkatan jumlah perahu motor temple rata-rata
sebesar 32,81% per tahun dan peningkatan kapal motor dengan rata-rata 20,39%
per tahun.
Ditinjau dari kategori kapal, perahu tanpa motor yang digunakan untuk
menangkap ikan sebesar 40% dan kapal motor < 5 GT sebesar 5% dari total
jumlah kapal yang ada. Kapal motor dengan kategori 6-10 GT yang terdapat di
Bitung sebanyak 10%. Pengurusan administrasi seperti surat izin usaha
perikanan, surat izin penangkapan ikan untuk kapal kurang dari 10 GT dilakukan
di tingkat Kota Bitung. Kapal penangkap ikan dengan kategori 11-30 GT atau
kapal yang memperoleh izin pada tingkat propinsi berjumlah sebanyak 9% dari

29
total jumlah kapal yang terdapat di Kota Bitung. Kapal dengan kategori lebih dari
30 GT terdapat di Kota Bitung sebanyak 35%.

Tabel 3.11. Perkembangan jumlah perahu/kapal penangkap ikan di Bitung,


2000-2009
PERAHU PERAHU

TANPA MOTOR KAPAL

TAHUN MOTOR TEMPEL MOTOR JUMLAH

(1) (2) (3) (4) (5)

2000 1.477 597 155 2.229

2001 1.471 630 126 2.227

2002 1.472 727 104 2.303

2003 1.472 121 274 1.867

2004 1.470 622 275 2.367

2005 1.523 642 291 2.456

2006 1.029 520 409 1.958

2007 700 510 411 1.621

2008 690 510 413 1.613

2009 525 313 448 1.286

Sumber: dinas Kelautan dan Perikanan Kota Bitung, 2010

Alat tangkap yang dominan di Bitung adalah hand line yaitu alat tangkap
yang digunakan untuk menangkap ikan tuna. Kapal kurang dari 5 GT dengan alat
tangkap hand line mampu melakukan penangkapan di ZEEI dengan ikan hasil
tangkapan tuna berukuran lebih dari 35 kg per ekor. Selain alat tangkap hand
line, alat tangkap yang banyak dijumpai di Kota Bitung adalah alat tangkap purse
seine untuk menangkap ikan pelagis kecil dan alat tangkap pole and line untuk
menangkap ikan cakalang.

30
Tabel 3.12. Jumlah kapal dan jumlah nelayan menurut jenis alat tangkap di
Bitung, tahun 2009

KATEGORI JUMLAH JUMLAH


KAPAL ALAT TANGKAP KAPAL NELAYAN

Hand Line 525 1,050


Tanpa Motor
Jumlah 525 1,050

Tuna Hand Line/Hand Line 50 250

Purse Seine 5 100

Bagan Apung 1 1

Set Net 2 4
< 5 GT
Sero Tanam 1 -

Pole and line - -

Light Boat 8 32

Pengangkut/Penampung - -

Jumlah 67 387

Tuna Hand Line/Hand Line 63 441

Purse Seine 50 1,250


6 - 10 GT
Light Boat 16 64

Pengangkut/Penampung 3 18

Jumlah 132 1,773

Tuna Hand Line/Hand Line 33 660

Purse Seine 19 475

11 - 30 GT Pole and line 5 125

Tuna long line 9 135

Light Boat 24 120


Pengangkut/Penampung 24

31
KATEGORI JUMLAH JUMLAH
KAPAL ALAT TANGKAP KAPAL NELAYAN
240

Jumlah 114 1,755

Tuna Hand Line/Hand Line 18 360

Purse Seine 65 1,625

Pole and line 47 1,175

Tuna long line 98 1,470

Bottom long line 16 320


> 30 GT
Pukat Ikan 16 400

Gill Net 23 690

Light Boat 1 5

Pengangkut/Penampung 164 2,460

Jumlah 448 8,505

Total 1,286 13,470

Jumlah nelayan yang terlibat di dalam sebuah kapal penangkap ikan


tergantung dari jenis alat tangkap yang digunakan. Pada alat tangkap purse
seine dan pole and line, rata-rata jumlah nelayan yang terlibat sebanyak 25
orang per kapal per trip. Sedangkan untuk kapal dengan alat tangkap hand line
memerlukan ABK lebih banyak untuk ukuran kapal yang lebih besar. Kapal
dengan alat tangkap hand line yang berukuran kurang dari 10 GT hanya
memerlukan ABK sebanyak 7 orang, sedangkan untuk kapal dengan alat tangkap
yang pada ukuran lebih dari 10 GT memerlukan ABK sebanyak 20 orang. Selain
kapal penangkap ikan, kapal pengangkut yang terdapat di Kota Bitung berjumlah
sekitar 2% dari total kapal.
Dalam pemanfaatan sumber daya perikanan, Bitung ditunjang oleh
sebuah Pelabuhan Perikanan Samudera dengan luas 4,6 ha dan reklamasi 1 ha,

32
dermaga 1 sepanjang 1.764 m bobot kapal 30-600 ton dengan kedalaman -5,00
m LWS dan dermaga 2 sepanjang 1.610 m untuk bobot kapal 5-30 ton dengan
kedalaman -1,5 m LWS. Jalan utama PPS Bitung 1.648 m2.
Jumlah kapal yang berkunjung ke PPS bitung mengalami peningkatan
yang cukup signifikan dari tahun 2005, baik dilihat dari jumlah kapal dan juga
ukuran kapal. Pada tahun 2005 jumlah kapal yang paling sering berkunjung
adalah kapal tanpa motor, sedangkan pada tahun 2009 jumlah kapal yang sering
berkunjung adalah kapal motor tempel. Hal ini menunjukkan adanya
peningkatan kualitas kapal, dari kapal tanpa motor menjadi kapal motor tempel.
Kunjungan kapal diatas 50 GT juga mengalami peningkatan. Meningkatnya
jumlah kunjungan kapal diatas 50 GT menunjukkan semakin banyaknya jumlah
kapal yang beraktivitas di PPS Bitung. Kunjungan kapal di PPS bertujuan untuk
melakukan pembongkaran ikan dan juga untuk memuat perbekalan seperti BBM,
es dan air bersih.
Tabel 3.13. Jumlah kunjungan kapal di PPS Bitung, 2005-2009

KATEGORI DAN
2005 2006 2007 2008 2009
UKURAN KAPAL

Jumlah (unit) 15.202 20.702 24.952 22.215 21.432

PTM 11.300 8.720 10.130 6.502 3.637

Motor Tempel 2.465 9.581 9.877 10.101 12.267

< 10 GT 677 230 954 719 539

10 - 20 GT 417 226 777 718 499

20 - 30 GT 206 366 1.254 216 1.660


KAPAL
30 - 50 GT 19 59 266 145 67
MOTOR
50 - 100 GT 86 1,494 1,352 1,357 1.891

100 - 200 GT 29 24 127 150 567

> 200 GT 3 2 215 354 305

Sumber : Profil PPS Bitung, 2010

33
Fasilitas penyediaan perbekalan yang sangat dibutuhkan oleh kapal ikan
dalam melakukan penangkapan sebagian besar terdapat di dalam kawasan PPS
Bitung. Penyaluran solar untuk kapal-kapal ikan telah dibangun SPDN dan SPBB,
kapal ikan yang akan melakukan pengisian solar harus terlebih dahulu meminta
surat rekomendasi pengisian solar kepada petugas pelabuhan perikanan.
Beberapa pabrik es juga dibangun di areal PPS Bitung, hal ini bertujuan untuk
mempermudah proses pemuatan es ke kapal-kapal ikan yang akan melakukan
penangkapan. Penyaluran air bersih untuk kebutuhan kapal penangkapan
merupakan salah satu fasilitas yang dimiliki dalam kawasan PPS Bitung.

Tabel 3.14. Nama perusahaan yang terdapat di PPS Bitung, 2009

Luas Lahan
No Nama Perusahaan Usaha
(M²)

1 PT. Getra Mitra Usaha 927 Solar (SPBB) dan Air

2 PT. Etmiko Sarana Laut 1.000 Pengolahan dan Cold Storage

3 PT. Pathemang Raya 1.000 Prosesing ikan segar dan Cold Storage

4 PT. Kelana Djaya Abadi 1.000 Pabrik es, Prosesing Ikan Segar, Cold Storage

5 CV. Wailan Pratama 500 Penjualan Suku Cadang, Waserda

6 PT. Mikaindo Abdai Cemerlang 1.000 Pabrik Es, Prosesing Plant

7 PT. Sari Tuna Makmur 1.000 Prosesing Ikan dan Cold Storage

8 PT. Bitung Bahari Sejahtera 616 SPBN Tipe. A

9 KSU. Komegoro 600 SPDN (BBM Solar)

10 PT. Golden Bridge International 4.000 Pabrik Pengolahan Ikan

11 PT. Lautan Bahari Sejahtera 2.000 Pabrik Prosesing Fillet Ikan Tuna

12 PT. Mikaindo Abadi Cemerlang 168,92 Kantor Administrasi dan Operasional

13 Daeng Umar Genda 72.20 Penyalur minyak tanah, Oli

14 Dra. Caria Ch. Pangow 49.32 Depot Air Isi Ulang

15 Jasa Wartel “Aldin” 81 Jasa Wartel

16 HIPPBI 40 Kantor Sekterariat

17 UD. Sukses Abadi 565,50 Kantor Adm. dan Unit Pengolahan Ikan

18 27 Kios Pesisir 1.556.46 UKM

19 PT. Bitung Bahari Sejahtera 651,60 Kantor Administrasi

34
Kapal ikan yang dapat melakukan pengisian solar adalah kapal ikan
Indonesia dan tidak menggunaka ABK asing. Bagi kapal ikan berbendera
Indonesia tetapi merupakan kapal ikan eks asing dan menggunakan ABK asing
tidak diperbolehkan untuk mendapatkan solar dengan harga subsidi. Masing-
masing kapal ikan dapat melakukan pengisian solar maksimum setiap bulan
25.000 liter. Kebutuhan terhadap perbekalan setiap bulan selama tahun 2009
dapat dilihat pada Tabel 3.15.

Tabel 3.15. Kebutuhan perbekalan di Bitung, tahun 2009

Kebutuhan Perbekalan
BULAN
Air bersih (m3) Solar (KL) Es (Ton)

Januari 19.190 858.090 13.955

Pebruari 23.270 696.505 13.188

Maret 24.850 725.240 15.758

April 23.230 886.110 15.911

Mei 751.000 827.590 7.638

Juni 530.000 957.740 8.715

Juli 174.000 995.205 6.165

Agustus 253.000 823.800 4.925

September 900.000 907.465 4.020

Oktober 620.000 1.024.730 11.899

Nopember 97.000 838.660 4.245

Desember 36.000 771.520 3.955

Jumlah 3.452.000 10.312.655 110.374

Sumber : PPS Bitung 2010

Lokasi penangkapan atau fishing ground kapal-kapal penangkap ikan yang


berasal atau mendaratkan hasil tangkapannya di Bitung yaitu di Laut Sulawesi,
Teluk Tomini dan Laut Arafura. Alat tangkap yang memberikan kontribusi hasil
tangkapan paling banyak adalah alat tangkap purse seine atau pukat cincin. Alat
tangkap ini berjumlah banyak dan juga hasil tangkapan setiap kapalnya dalam
jumlah besar. Ikan hasil tangkapan alat tangkap purse seine adalah ikan pelagis

35
kecil yaitu layang dan kembung. Harga ikan pelagis kecil tersebut jauh lebih
rendah dibandingkan ikan pelagis besar. Selain purse seine, alat tangkap yang
memberikan kontribusi jumlah tangkapan besar yaitu kapal dengan alat tangkap
huhate atau pole and line. Hasil tangkapan utama alat tangkap huhate adalah
cakalang. Potensi sumber daya ikan cakalang di Laut Sulawesi dan Teluk Tomini
cukup besar, sehingga masih dapat dimanfaatkan oleh nelayan Bitung dalam
jumlah yang banyak.

Potensi lainnya masih belum dimanfaatkan oleh nelayan Bitung dengan


maksimum adalah jenis ikan tuna. Alat tangkap yang digunakan oleh nelayan
Bitung untuk melakukan penangkapan ikan tuna adalah hand line dan long line.
Nelayan dengan skala kecil juga dapat memanfaatkan ikan tuna menggunakan
alat tangkap hand line. Nelayan tersebut sudah harus memiliki keahlian khusus
sehingga dapat menangkapan ikan tuna berukuran diatas 30 kg per ekor dengan
menggunakan perahu di bawah 5 GT. Potensi ikan tuna di Laut Sulawesi masih
sangat besar, sehingga mengundang nelayan-nelayan dari Negara tetangga untuk
melakukan penangkapan di perairan Indonesia.

Kapal dengan alat tangkap hand line Kapal dengan alat tangkap purse seine

36
Kapal dengan alat tangkap purse seine Kapal dengan alat tangkap pole and line

Gambar 3.4. Aktivitas Perikanan pada PPS Bitung 2010

Laut Arafura juga merupakan salah satu fishing ground armada perikanan
Bitung. Potensi terbesar yang terdapat di Laut Arafura adalah udang, disamping
beberapa jenis ikan lainnya seperti cakalang dan ikan-ikan pelagis kecil. Kapal
penangkap ikan Bitung yang melakukan penangkapan ikan di Laut Arafura seperti
purse seine, huhate dan pancing tonda.

Tabel 3.16. Produksi ikan di Bitung berdasarkan jenis alat tangkap dan fishing
ground, tahun 2009

Jumlah
Alat Tangkap Total
T. Tomini L.Sulawesi L. Arafura
Payang 600.00 927.90 109.80 1,637.70
Pukat tarik udang tunggal - - 127.60 127.60
Dogol - 99.40 - 99.40
Pukat pantai 1,886.50 1,333.90 355.90 3,576.30
Pukat Cincin 12,890.40 17,300.80 15,998.70 46,189.90
Jaring insang hanyut 45.90 5,778.00 - 5,823.90
Jaring insang tetap 100.60 180.20 - 280.80
Bagan perahu/ rakit 99.80 199.80 - 299.60
Rawai tuna 4,674.10 4,998.70 4,789.90 14,462.70
Huhate 13,998.00 17,566.00 13,904.90 45,468.90
Pancing tonda 6,866.90 8,099.00 3,566.80 18,532.70
Pancing ulur 1,299.00 4,401.00 2,425.20 8,125.20
Pancing cumi 128.70 80.90 - 209.60

37
Jumlah
Alat Tangkap Total
T. Tomini L.Sulawesi L. Arafura
Sero 54.90 90.70 - 145.60
Bubu 55.90 12.90 - 68.80
Alat tangkap kepiting 0.70 3.80 - 4.50
Jumlah 42,701.40 61,073.00 41,278.80 145,053.20
Sumber: Dinas kelautan dan Perikanan Kota Bitung, 2010

Ikan cakalang hasil tangkapan Ikan layang hasil tangkapan

Gambar 3.5. Kegiatan Pembongkaran dan Distribusi Ikan di PPS


Bitung

Jumlah produksi ikan cakalang dan ikan tuna di Bitung selalu


menunjukkan peningkatan. Peningkatan jumlah produksi ikan cakalang sebesar
6,36% per tahun. Produksi ikan tuna mengalami peningkatan sebesar 2,48% dari
tahun 2007 ke tahun 2008, dan mengalami peningkatan yang cukup besar dari
tahun 2008 ke tahun 2009 yaitu 9,94%. Jika dirata-rata, peningkatan produksi
ikan tuna periode 2007-2009 adalah 6,21% per tahun. Jumlah produksi ikan
layang mengalami peningkatan dari tahun 2007 ke tahun 2008 yaitu 10,20%,
tetapi mengalami penurunan yang cukup signifikan dari tahun 2008 ke tahun
2009 yaitu 21,65%.

38
Tabel 3.17. Produksi Ikan Hasil Tangkapan yang didaratkan di PPS
Bitung Tahun 2007 – 2009

Produksi (ton)
Jenis ikan % peningkatan
2007 2008 2009

Cakalang 54,245.70 57,820.90 61,362.40 6.36

Tuna 52,275.80 53,572.60 58,899.90 6.21

Layang 26,003.50 28,656.60 22,452.10 (5.72)

ikan lainnya 2,747.10 2,327.30 2,338.80 (7.39)

Jumlah 135,272.10 142,377.40 145,053.20

Sumber: PPS, Bitung 2010.

Selama tahun 2009, harga ikan cakalang menunjukkan penurunan dari


bulan Januari sampai dengan bulan Desember. Harga pada bulan Januari
menunjukkan posisi yang paling tinggi pada tahun 2009 yaitu 17 ribu, sedangkan
pada bulan-bulan berikutnya menunjukkan angka yang stabil yaitu pada level 11
ribu dan pada bulan Oktober sampai dengan bulan Desember menunjukkan
angka yang semakin menurun. Rata-rata harga ikan cakalang selama tahun 2009
adalah Rp 11.188 per kg. Harga ikan tuna menunjukkan peningkatan mulai dari
harga 16 ribu pada bulan Januari sampai harga 30 ribu pada bulan Juni. Harga
ikan tuna yang didaratkan oleh nelayan sangat tergantung pada kualitas ikan.
Penentuan kualitas ikan tuna dilakukan dengan cara mencek kualitas daging ikan
tuna, pada saat ikan masuk ke perusahaan pengolahan. Ikan tuna dengan harga
30 ribu adalah ikan tuna dengan grade A, sedangkan ikan tuna dengan harga
dibawah 20 ribu adalah ikan tuna yang tidak dapat dipasarkan ke pasar ekspor.
Sebenarnya harga ikan tuna setiap bulannya tidak menunjukkan perubahan yang
signifikan.

Harga ikan layang pada tahun 2009 menunjukkan harga yang stabil atau
tidak mengalami banyak perubahan, baik peningkatan maupun penurunan.
Harga ikan layang ditentukan oleh perusahaan pengolahan ikan yang terdapat di
sekitar Bitung. Harga ikan layang lebih tinggi pada bulan April disebabkan karena

39
pada bulan tersebut produksi ikan layang sedikit berkurang dibandingkan bulan-
bulan lainnya, sehingga untuk memenuhi produksi perusahaan pengolahan, ikan
dibeli dengan harga yang lebih tinggi.

Tabel 3.18. Harga beberapa Jenis ikan di PPS Bitung (Rp/Kg), tahun 2009
Bulan Cakalang Tuna Layang Selar
Januari 17.519 16.000 9.000 13.000
Februari 11.000 16.000 9.000 13.000
Maret 11.000 16.000 9.039 11.000
April 11.000 31.000 11.000 12.000
Mei 12.000 15.000 10.000 14.999
Juni 11.000 30.000 10.000 12.000
Juli 11.000 30.000 10.000 12.000
Agustus 11.000 30.000 9.000 12.000
September 11.000 30.000 9.000 15.000
Oktober 9.870 22.000 8.000 11.000
November 9.350 29.997 8.288 10.119
Desember 8.512 28.275 8.883 11.919
Rata-rata 11.188 24.523 9.267 12.336
Sumber: PPS Bitung 2010.

Penanganan hasil perikanan berperan penting dalam memanfaatkan


produksi perikanan, yang perlakuannya dimulai sejak ikan ditangkap,
penanganan di atas kapal, penanganan saat didaratkan, penanganan di pasar-
pasar, pengecer sampai ke pabrik pengolahan. Penanganan hasil perikanan
meliputi penanganan terhadap bahan mentah (ikan), bahan tambahan, bahan
pembantu, peralatan yang digunakan, teknologi serta persyaratan lain yang
harus dipenuhi oleh pengolah dan pabrik (UPI).

Usaha pengolahan hasil perikanan di Bitung sudah sejak lama dilakukan


dan telah berkembang dengan baik sehingga menjadikan Bitung sebagai pusat
pengolahan ikan terbesar di Sulawesi Utara. Usaha tersebut dilakukan baik
dengan system pengolahan tradisional maupun modern.

Pengolahan tradisional dilakukan melalui adanya industry rumah tangga


pengolahan ikan asap/ fufu. Saat ini telah ada tiga kelompok pengolah ikan asap
yang beranggotakan 10 – 30 pengolah belum termasuk pengolah perseorangan.

40
Usaha pengolahan modern di Bitung sampai saat ini berjumlah 45
perusahaan yang terdiri dari :

- Pabrik pembekuan ikan


- Pabrik pengalengan ikan
- Pabrik ikan kayu
- Pengolahan ikan tuna, cakalang dan layang segar untuk ekspor
Perusahaan pengolahan perikanan di Bitung didominasi oleh perusahaan
pengalengan ikan dan ikan kayu. Kedua jenis olahan tersebut berorientasi pasar
ekspor. Disamping itu juga terdapat pembekuan ikan tuna dan pembuatan loin
tuna. Pengolahan ikan dengan cara pembekuan untuk ikan hasil tangkapan kapal
purse seine berorientasi pasar lokal, seperti Bitung, Surabaya, dan Jakarta. Total
kapasitas pengolahan ikan di Bitung adalah 894 ton. Sedangkan yang terpakai
hanya 35% dari kapasitas tersebut.

Besarnya kapasitas pengolahan yang tidak terpakai disebabkan karena


rendahnya jumlah ikan yang didaratkan di Bitung. Untuk memenuhi kapasitas
pengolahan tersebut, Bitung harus dapat menarik nelayan untuk mendaratkan
hasil tangkapannya di Bitung dan mengolah hasil tangkapan tersebut pada
perusahaan pengolahan ikan yang tersedia. Selain itu juga disebabkan oleh
adanya jenis-jenis ikan yang langsung dapat diekspor tanpa harus terlebih dahulu
dilakukan pengolahan.

Tabel 3.19. Nama Perusahaan, Jenis Produk, Kapasitas Perusahaan Perikanan di


Bitung, tahun 2010
Kapasitas (Ton)
Tahun
No Nama Perusahaan Jenis Produk Pemasaran
Berdiri Rata
Terpasang 2 %

1 PT. Sinar Pure Foods Int'l 1991 Kaleng 100 80 80.0 AS,UE

2 PT. Samudera Sentosa Kaleng 100 35 35.0 AS,UE

3 PT. Deho Canning Co. 1979 Kaleng, frozen, 100 30 30.0 Jepang, Lokal

Arab Saudi,
4 50 30 60.0
PT. Delta Pacifik Indotuna 2007 Kaleng, frozen UEA

41
Kapasitas (Ton)
Tahun
No Nama Perusahaan Jenis Produk Pemasaran
Berdiri Rata
Terpasang 2 %

Fresh,Frozen:U
5 30 10 33.3
PT. Bitung Mina Utama 1999 tuh AS,UE,Jepang,

PT. Nutrindo Freshfood Fresh,Frozen


6 15 5 33.3
Int'l 2004 :Loin,Saku AS, Jepang

7 PT. Sari Tuna Makmur 2006 Fresh,Frozen : 3 1 16.7 Belanda

Fresh,Frozen,
8
PT. Perikanan Nusantara Ikan Kayu

Fresh:Utuh,Fro
9 9 5 50.0
PT. Tridara Putra Mandiri 2007 zen Jepang

PT. Bintang Mandiri


10 Bersaudara 2006 Fresh/Frozen 20 0.0 Lokal/Btg

11 PT. Sari Cakalang 1989 Ikan Kayu 25 5 20.0 Jepang

Ikan Kayu,
12 20 6 30.0
PT. Sari Malalugis 1992 frozen Jepang, Lokal

14 PT. Celebes Minapratama 2000 Ikan Kayu 20 15 75.0 Jepang

PT. Manadomina
15 20 18 90.0
Citrataruna 1994 Ikan Kayu Jepang

16 PT. Etmico Sarana Laut 2000 Ikan Kayu 100 50 50.0 Jepang

17 PT. Alam Baru Rekor 2004 Frozen 20 3 15.0 Lokal

18 PT. Indo Hong Hai Frozen 10 4 40.0 Export, Lokal

PT. Anugerah Timur


19 20 4 20.0
Makmur 2002 Frozen Export, Lokal

20 PT. Melody Asri Frozen 10 2 20.0

Sngpr,Krea,
21 30 20 66.7
PT. Shing Sheng Fa Ocean 2001 Frozen Taiwn

Sngpr,Krea,
22 10 3 30.0
PT. Yuh Yow Indo 2005 Frozen Taiwn

23 PT. Citra Buana Sulut 2006 Frozen: Utuh 10 2 20.0 Eksport,Lokal

24 PT. Japindo Tencep Raya 2006 Fresh, Frozen

25 PT. Primadaya Bitung 2005 Frozen 15 3 20.0 Lokal/Jkt,Sby

PT. Lautan Bahari Frozen,


26
Sejahtera 2007 Fresh:Loin

PT. Mina Samudra


27 18 5 27.8
Kencana 2007 Frozen Lokal/Jkt,Sby

42
Kapasitas (Ton)
Tahun
No Nama Perusahaan Jenis Produk Pemasaran
Berdiri Rata
Terpasang 2 %

28 PT. Ocean Tuna Ikan Kayu

29 PT. Sinco Ocean Ikan Kayu

Frozen,
30 5 2 40.0
CV. Permata Laut Jaya 2007 Fresh:Loin

Frozen,
31
CV. Mitra Sakana Fresh:Loin

32 CV. Nelayan Frozen 3 2 50.0 Lokal/Jkt,Sby

33 CV. Lautan Berkah 2006 Frozen 5 2 40.0 Lokal/Jkt,Sby

34 CV. Singa Raja 2008 Frozen 6 2 33.3 Lokal/Jkt, Sby

35 UD. Nick's 2005 Frozen 10 2 20.0 Lokal/Jkt,Sby

36 UD. Bahari Mitra Lestari 2005 Frozen 15 2 13.3 Lokal

37 UD. Sukses Abadi 2006 Fresh 4 1 25.0 Lokal/Btg

38 UD. Jasuma Frozen 5 1 20.0 Lokal/Jkt,Sby

39 UD. Kina Sasi Biru Frozen 5 1 20.0 Lokal/Jkt,Sby

40 UD. Berkat Baru Fresh 4 1 25.0 Lokal/Btg

41 UD. Esria 2006 Frozen 12 3 25.0 Lokal/ Jkt, Sby

UD. Citra Anugrah


42 5 2 40.0
Fishtama 2007 Frozen Lokal/ Jkt, Sby

PT. International Alliance


43 Food 2007 Kaleng 60 10 16.7

JUMLAH 894 366 35.2

Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Bitung, 2010

Karakteristik Usaha Perikanan

Pengumpulan data primer dilakukan di Kecamatan Aertembaga, Bitung


Timur, Lembeh, Girian dan Madidir. Data primer dikumpulkan melalui
pengamatan langsung, wawancara dengan responden menggunakan kuesioner.
Responden yang dilakukan wawancara sebanyak 35 orang. Berdasarkan data
primer, maka 80% dari total responden merupakan angkatan kerja dengan umur

43
produktif yaitu antara 20 sampai 50 tahun, dan 20% lainnya berumur lebih dari
50 tahun.

Berdasarkan jenjang pendidikan, responden yang i berpendidikan tamat


SMA sebanyak 60% dan tamat SMP sebanyak 31% dan sisanya hanya
berpendidikan Sekolah Dasar. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tingkat
pendidikan nelayan di Kota Bitung sudah lebih tinggi dibandingkan daerah
lainnya, dimana nelayan sebagian besar hanya berpendidikan sampai Sekolah
Dasar. Status responden dalam kegiatan penangkapan ikan 85% anak buah
kapal, sisanya terdiri dari pemilik dan nahkoda. Pemilik kapal penangkap ikan di
Kota Bitung mempunyai latar belakang yang beragam, seperti Walikota, anggota
DPRD, PNS dan wiraswasta murni, sehingga sulit untuk dijadikan sebagai
responden.

Pengalaman responden dalam usaha perikanan sebanyak 46%


berpengalaman kurang dari 5 tahun, 37% telah berpengalaman lebih dari 5 tahun
dan kurang dari 15 tahun. Sedangkan responden yang sudah sangat
berpengalaman atau lebih dari 15 tahun hanya sebanyak 17% dari total jumlah
responden. Hal ini disebabkan karena sebagian besar nelayan berumur kurang
dari 50 tahun dan sebelum terjun ke usaha perikanan, responden telah
menamatkan tingkat pendidikan samapi Sekolah Menegah Atas. Dilihat dari
jumlah keluarga, 51% responden memiliki anggota keluarga 3 sampai 4 orang,
sehingga dapat dikatakan, responden memiliki anak 1-2 orang. Responden yang
belum memiliki anak sebanyak 34% dan sisanya responden yang telah memiliki
anak lebih dari 2 orang. Jumlah anggota keluarga yang bekerja pada umumnya
hanya 1 orang yaitu responden itu sendiri sebanyak 83% dari total jumlah
responden.

Pengelompokkan responden berdasarkan ukuran kapal yaitu kapal


dengan ukuran kurang dari 5 GT sebanyak 2 responden, kapal dengan ukuran 5
GT sampai dengan kurang 10 GT sebanyak 34%, kapal dengan ukuran diatas 10
GT sampai kurang dari 30 GT sebanyak 31% dan kapal dengan ukuran lebih dari

44
30 GT sebanyak 29%. Ditinjau dari jenis alat tangkap, responden dengan alat
tangkap pole and line sebanyak 10 orang, responden dengan alat tangkap purse
seine sebanyak 10 orang dan sisanya responden dengan menggunakan alat
tangkap hand line untuk menangkap ikan tuna. Sebagian besar kapal yang
digunakan responden mempunyai bahan bakar solar atau bermesin diesel, tetapi
sebagian responden juga menggunakan bahan bakar bensin dan minyak untuk
kapal dengan motor tempel.

Melihat keberagaman usaha penangkapan ikan di Bitung, maka alat


tangkap dapat dikelompokkkan dalam alat tangkap purse seine, pole and line
dan hand line. Sedangkan untuk jenis alat tangkap hand line harus dibedakan
untuk hand line dengan skala kecil dan hand line dengan skala sedang. Ikan
dominan hasil tangkapan kapal dengan alat tangkap purse seine adalah ikan
layang dan sebagian ikan kembung. Rata-rata jumlah ikan layang yang diperoleh
oleh kapal purse seine adalah 560 kg per trip dengan harga rata-rata Rp 7.700
per kg, sehingga penerimaan nelayan dari penjualan ikan layang adalah Rp
4.312.000 per trip. Selain ikan layang, setiap kapal purse seine juga memperoleh
ikan kembung sejumlah 154 kg dan harga Rp 7.400 per kg. Total penerimaan
responden dengan menggunakan alat tangkap purse seine adalah Rp 5.451.600
per trip.

Tabel 3.20. Karakteristik Penguasaan Kapal Penangkap Ikan, tahun 2010

Karakteristik Jumlah Prosentase

Kepemilikan Kapal Menurut GT

< 5 GT 2 5.71

≥5GT - <10GT 12 34.29

≥10GT -<30GT 11 31.43

≥30GT - <100GT 10 28.57

Jumlah 35 100.00

45
Karakteristik Jumlah Prosentase

Jenis Alat Tangkap

Pole and Line 10 28.57

Purse seine 10 28.57

Tuna Hand Line 15 42.86

Jumlah 35 100.00

Bahan Bakar yg digunakan

Bensin 4 11.43

Solar 25 71.43

Minyak Tanah 6 17.14

Jumlah 35 100.00

Sumber: data primer (2010)

Pembeli ikan layang pada umumnya adalah pedagang pengumpul untuk


selanjutnya dijual ke perusahaan pengolahan. Selain itu, juga langsung dibeli
oleh pedagang besar dari perusahaan pengolahan tanpa melalui pedagang
pengumpul. Ikan layang langsung dijual oleh nelayan di lokasi pendaratan,
karena sudah banyak pembeli yang datang, pembeli tersebut sebagian besar
sudah menjadi langganan pemilik kapal untuk menjual hasil tangkapannya.
Pemilik kapal atau pengurus kapal sudah terlebih dahulu mengetahui harga ikan
layang sebelum kapal datang. Ikan layang yang dibeli oleh pedagang pengumpul,
baru dibayarkan kepada nelayan setelah ikan tersebut dijual ke perusahaan
pengolahan, tetapi jika ikan dibeli oleh pedagang besar, maka pembayaran
dilakukan secara tunai.

Biaya operasional kapal dengan alat tangkap purse seine ini terdiri dari
biaya bahan bakar, oli dan es serta biaya untuk pengurusan izin berlayar dan
biaya tambat. Bahan bakar utama yang digunakan kapal dengan mesin tempel
ini adalah minyak tanah dan dicampur dengan bensin. Setiap trip dibutuhkan
minyak tanah sebanyak 150-250 liter dengan harga berkisar antara Rp 3.000-
4.000 per liter. Minyak tanah diperoleh oleh nelayan dari pengecer yang

46
terdapat di kawasan PPS Bitung. Harga minyak tanah sangat ditentukan oleh
ketersediaan pada suatu wilayah. Bensin dibutuhkan sebanyak 30 liter per trip
dengan harga Rp 4.500-5.000 per liter. Nelayan dapat membeli bensin dengan
harga Rp 4.500 per liter di SPBU terdekat dengan mencuri-curi kesempatan dari
petugas, karena tidak diperbolehkan membeli bensin dengan menggunakan
jerigen. Untuk lebih amannya, nelayan membeli bensin di pengecer dengan
harga Rp 5.000 per liter.

Tabel 3.21. Penerimaan dan Pengeluaran Per Trip menurut Alat Tangkap di
Bitung, tahun 2010

Jenis Alat Tangkap


Tuna hand line
Uraian Purse seine Pole and Line Tuna Hand Line 2
(> 5GT- (>30GT- 1 (>10GT-
<10GT) <100GT (>5GT-<10GT) <30GT)
Penerimaan (Rp) X X X X
Layang 4,312,000 X X X
Kembung 1,139,600 X X X
Cakalang X 54,580,000 X X
Tuna x x 14,096,750 17,760,000
Jumlah 5,451,600 54,580,000 14,096,750 17,760,000

Biaya operasional
X X X X
(Rp)
Solar X 22,692,000 2,365,656 4,575,000
Bensin 109,250 67,500 399,000 400,500
Minyak tanah 474,000 250,000 143,750 129,000
Oli 352,600 696,500 262,000 122,400
Es 525,000 2,945,000 1,085,000 1,222,000
Umpan X 6,140,000 X X
Ransum X 2,064,840 1,210,463 1,748,260
Izin berlayar 20,000 50,000 40,000 50,000
biaya tambat 1,000 2,000 4,000 3,000
Total biaya
1,481,850 34,907,840 5,509,869 8,250,160
operasional
Keuntungan 3,969,750 19,672,160 8,586,881 31,709,840
Sumber: data primer, 2010

47
Peran Subsidi Perikanan

Subsidi perikanan yang disalurkan di Kota Bitung dapat dibedakan


menjadi dua bentuk, yaitu subsidi bahan bakar solar dan subsidi dalam bentuk
sarana penangkapan seperti kapal dan alat tangkap serta alat bantu
penangkapan. Bentuk bantuan yang terakhir ini diberikan oleh pemerintah
melalui berbagai program yang sifatnya sangat terbatas.

Bantuan kepada nelayan di Kota Bitung yang diberikan dalam bentuk


kapal dan alat tangkap serta alat bantu penangkapan dengan sumber dana dari
Dana Alokasi Khusus (DAK), Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
dan Tugas Pembantuan (TP).

Tabel 3.22. Bentuk bantuan Perikanan di Kota Bitung, tahun 2005-2010

Kapal/perahu Alat tangkap Alat bantu tangkap


Tahun Biaya (Rp)
Jenis Jumlah Jenis Jumlah Jenis Jumlah
2005 Pump boat 3 Rumpon 1
2006 Small purse seine 3 Jaring 3
Pelang 3

2007 Small purse seine 5 Purse seine 5 1,827,214


Light boat 5
Pelang 20 Pancing 5

2008 Pajeko 2 Alat tangkap 2 Rakit 11 1,484,540,000


Light boat 2

2009 Perahu tuna 4 Bagan 6 Rumpon 10 969,943,500


Ketinting 8

2010 Pengangkut 1 Rumpon 6 5,087,662,500


Pajeko 1 Ponton 1
Pancing tuna 6
Pancing ulur 1
Ketinting 1
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Bitung, 2010

Sedangkan subsidi BBM diberikan secara reguler melalui agen penyaluran


BBM yang ditunjuk oleh PT. Pertamina. Agen penyaluran BBM di PPS Bitung
adalah SPDN Komegoro dan SPBB PT. Getra Mitra Usaha. SPBB melayani

48
pejualan BBM untuk seluruh jenis dan ukuran kapal dan SPDN yang melayani
kapal kurang dari 30 GT. Kapal ikan yang mendapat rekomendasi dari PPS Bitung
dapat memesan langsung solar di depot PERTAMINA. Setiap kapal ikan yang
akan mengisi Solar di SPBB dan Pertamina terlebih dahulu meminta rekomendasi
ke PPS Bitung dengan syarat telah menjadi anggota asosiasi. Asosiasi yang
terdapat di Bitung yaitu Asosiasi kapal perikanan nasional dan HNSI (Himpunan
Nelayan Seluruh Indonesia).

Pengurusan rekomendasi untuk pengisian BBM di SPBB PPS Bitung dapat


dilakukan setelah kapal tersebut mendapat Surat Laik Operasi dari pengawas
perikanan dan Surat Izin Berlayar dari Syahbandar Perikanan. Besarnya jumlah
solar dalam rekomendasi pengisian BBM ditentukan oleh syahbandar perikanan
dengan terlebih dahulu melihat ketersediaan BBM di atas kapal. Maksimum
pemberian rekomendasi BBM solar setiap bulannya adalah 25.000 liter atau
75.000 liter per 3 bulan berdasarkan lamanya waktu operasi penangkapan per
trip. Kapal penangkap ikan dengan lamanya trip 3 bulan atau lebih dapat
memesan solar sebanyak 75.000 liter sekaligus tetapi kapal ikan dengan trip
hanya 1 bulan tidak diberikan rekomendasi untuk pengisian Solar 75.000 liter.
Hal ini dilakukan untuk menghambat adanya penggunaan BBM subsidi oleh
pihak-pihak yang tidak berhak. Tetapi hal ini dikeluhkan oleh nelayan yang
melakukan trip lebih panjang dari 3 bulan. Banyaknya solar yang disalurkan oleh
SPBB dan depo pertamina untuk kapal perikanan di PPS Bitung pada tahun 2009
disajikan pada tabel 3.23.

Tabel 3.23. Jumlah Solar yang disalurkan di PPS Bitung, tahun 2009

Pertamina PT. Getra (SPBB)


Bulan Total
( KL ) ( KL )
Januari 816.00 847.59 1,663.59
Februari 883.93 691.27 1,575.20
Maret 420.00 723.99 1,143.99
April 241.00 883.56 1,124.56
Mei 307.00 824.59 1,131.59
Juni 324.00 956.24 1,280.24
Juli 398.00 993.71 1,391.71

49
Pertamina PT. Getra (SPBB)
Bulan Total
( KL ) ( KL )
Agustus 200.00 822.30 1,022.30
September 439.00 904.47 1,343.47
Oktober 391.00 1,019.83 1,410.83
Nopember 334.00 837.76 1,171.76
Desember 349.00 770.02 1,119.02
Jumlah 5,102.93 10,275.32 15,378.25
Rata-rata 425.24 856.28 1,281.52
Sumber : Pelabuhan Perikanan Samudera Bitung Tahun 2009

Berdasarkan Tabel 3.23, rata-rata solar yang disalurkan langsung oleh


depo Pertamina ke kapal nelayan sebanyak 425 KL ber bulan. Tidak semua
nelayan mau membeli BBM secara langsung ke depo Pertamina karena
administrasi yang lebih panjang dibandingkan membeli BBM di SPBB. Pengisian
BBM baru dapat dilakukan sehari setelah dilakukan pembayaran, karena
pembayaran harus dilakukan di bank. Hanya nelayan skala besar yang mau
melakukan pembelian secara langsung ke depo Pertamina dengan jumlah BBM
lebih dari 20 KL. Harga yang harus dibayarkan oleh nelayan adalah Rp 4.500 per
liter solar.

Rata-rata solar yang disalurkan oleh SPBB pada tahun 2009 adalah 856 KL
per bulan dengan harga Rp 4.575 per liter. Harga ini lebih mahal dibandingkan
harga yang ditetapkan oleh pertamina. Kelebihan harga tersebut digunakan
untuk biaya transportasi pengangkutan solar dari depo pertamina menuju PPS
Bitung. Pada tahun 2010, jumlah solar yang disalurkan oleh SPBB lebih tinggi lagi
yaitu 940 KL per bulan.

Selain itu, penyaluran solar di PPS Bitung dilakukan oleh SPDN yang
dikelola oleh Koperasi Serba Usaha Komegoro. SPDN hanya diperbolehkan untuk
melayani kapal kurang dari 30 GT. Pada tahun 2009, rata-rata solar yang
disalurkan oleh SPDN ini adalah 24 KL dan pada tahun 2010 mengalami
peningkatan menjadi 32 KL. Harga solar yang dibebankan kepada nelayan adalah
Rp 4.500 per liter. Kapal-kapal ikan kurang dari 30 GT lebih cenderung untuk
melakukan pengisian solar di SPBB dibandingkan di SPDN. Hal ini disebabkan

50
oleh beberapa hal antara lain tidak kontinyunya stok BBM yang dimiliki oleh
SPDN, system pelayanan yang diberikan dan diduga adanya perbedaan takaran
liter. Rata-rata solar yang disalurkan di PPS Bitung sebanyak 1.500 KL per bulan.
Berdasarkan ukuran kapal, banyaknya solar yang disalurkan di PPS Bitung dapat
dilihat pada Tabel 3.24.

Ditinjau dari ukuran kapal, penyaluran BBM paling besar adalah untuk
kapal lebih dari 30 GT. Hal ini disebabkan, oleh lebih banyaknya konsumsi BBM
oleh kapal berukuran besar dan juga banyaknya jumlah kapal lebih dari 30 GT.
Berdasarkan data dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Bitung jumlah kapal
lebih dari 30 GT di Kota Bitung sebanyak 35% dari total seluruh kapal ikan di Kota
Bitung. Penyaluran Solar oleh SPBB untuk kapal diatas 30 GT sekitar 70% dari
total solar yang disalurkan. Sedangkan untuk kapal dibawah 10 GT hanya
disalurkan sebanyak 1,4%, hal ini disebabkan karena kapal kurang dari 10 GT
sebagian besar tidak menggunakan bahan bakar solar, melainkan campuran
bensin dan minyak tanah.

Tabel 3.24. Solar yang disalurkan SPBB berdasarkan ukuran kapal di PPS Bitung,
tahun 2009

UKURAN KAPAL
Bulan < 10 GT 10 - 30 GT >30 GT JUMLAH
( KL ) ( KL ) ( KL ) ( KL )

Januari 3.85 217.70 720.50 942.05

Februari 12.47 199.70 500.82 712.99

Maret 13.21 182.23 597.55 792.99

April 14.67 238.00 666.00 918.67

Mei 11.94 292.10 593.65 897.69

Juni 15.55 321.95 684.92 1,022.42

Juli 8.68 284.95 725.50 1,019.13

Agustus 15.65 229.20 649.30 894.15


September 16.40 315.20 665.90

51
UKURAN KAPAL
Bulan < 10 GT 10 - 30 GT >30 GT JUMLAH
( KL ) ( KL ) ( KL ) ( KL )
997.50

Oktober 20.93 372.71 707.90 1,101.54

Nopember 11.19 304.45 580.20 895.84

Desember 8.40 297.20 526.50 832.10

Jumlah 152.93 3,255.39 7,618.74 11,027.06

Rata-rata 12.74 271.28 634.90 918.92


Sumber : Pelabuhan Perikanan Samudera Bitung Tahun 2010

Ditinjau dari jenis alat tangkap, kapal penangkap dengan alat tangkap
pole and line merupakan kapal yang menggunakan solar terbesar di PPS Bitung.
Sebanyak 23% penyaluran solar dari SPBB di PPS Bitung yaitu untuk kapal pole
and line. Selain kapal penangkap ikan, kapal pengangkut ikan yang berlabuh di
PPS Bitung juga mendapatkan solar subsidi yang disalurkan oleh SPBB Getra di
PPS Bitung. Sebanyak 50% jumlah solar yang disalurkan oleh SPBB tersebut
adalah untuk kapal pengangkut ikan. Sedangkan sisanya disalurkan kepada kapal
penangkap dengan jenis alat tangkap rawai tuna, purse seine dan hand line.

Bahan bakar minyak merupakan salah satu biaya terbesar yang


ditanggung oleh nelayan dalam melakukan usaha penangkapan. Bahan bakar
yang diperlukan oleh kapal motor adalah solar sedangkan bahan bakar untuk
kapal dengan mesin tempel menggunakan campuran bensin dan minyak.
Nelayan yang melakukan penangkapan dengan menggunakan mesin tempel
melakukan penangkapan tidak jauh dari lokasi pendaratan. Tersedianya stasiun
pengisian untuk bahan bakar solar tidak memberikan efek yang signifikan bagi
nelayan kelompok ini. Kapal motor dengan GT lebih besar akan memerlukan
solar lebih banyak. Pada lokasi penelitian Bitung, kapal dengan menggunakan
alat tangkap pole and line mengkonsumsi solar paling banyak yaitu 4,9 KL per
trip. Biaya untuk pembelian solar bagi kapal pole and line adalah 65% dari total

52
biaya operasional, sedangkan bagi kapal ikan dengan alat tangkap lainnya hanya
sekitar 30% dari total biaya operasional.

Tabel 3.25. Perbandingan Biaya Operasional Beberapa Jenis Alat Tangkap dengan
dan tanpa Subsidi di Bitung, tahun 2010

Jenis Alat Tangkap


Uraian Tuna Hand Line Tuna hand line
Purse seine Pole and Line
1 2
Rata-rata ukuran kapal ≥5GT -<10GT ≥30GT - <100GT ≥5GT -<10GT ≥10GT -<30GT
Rata-rata lama hari per trip:
- musim ikan 1 3 8 10
- musim biasa 1 5 10 11
- musim paceklik 1 7 13 14
Rata-rata volume BBM (per trip):
- Solar (liter) 340 4960 338 370
- Bensin (liter) 30 15 91 35
- Minyak tanah (liter) 160 200 40 40
Rata-rata biaya operasional per
trip dengan subsidi BBM (Rp) 2,279,430 34,907,840 4,497,369 5,367,910
Rata-rata biaya operasional per
trip tanpa subsidi solar (Rp) 2,789,850 49,415,840 5,366,088 6,450,160
Penerimaan Kotor (Rp) 5,451,600 54,580,000 14,096,750 17,760,000
Prosentase BBM subsidi
terhadap biaya operasional 34.99 65.01 30.09 31.53
Prosentase BBM tanpa subsidi
terhadap biaya operasional 46.88 75.28 41.41 43.02
Sumber : Data Primer, 2010

Subsidi solar yaitu dengan harga Rp 4.500 per liter memberikan pengaruh
cukup besar terhadap total biaya operasional. Tanpa adanya subsidi solar
(dengan asumsi harga solar Rp 7.500 per liter) menyebabkan peningkatan total
biaya operasional bagi seluruh kapal penangkap ikan dengan kapal motor. Pada
tingkat harga solar Rp 7.500 per liter meningkatkan prosentasi biaya solar
terhadap total biaya operasional berkisar 10-12% pada nelayan di Kota Bitung.
Sedangkan total biaya operasional mengalami peningkatan sebesar 19-41%
dibandingkan dengan harga solar bersubsidi. Peningkatan biaya operasional
tertinggi yaitu terjadi pada kapal dengan alat tangkap pole and line yaitu sebesar
41% dibandingkan dengan solar bersubsidi. Biaya operasional kapal dengan alat

53
tangkap tuna hand line mengalami peningkatan sebesar 20% dibandingkan
dengan solar bersubsidi.

Dari Tabel 3.25, terlihat bahwa kapal dengan konsumsi solar lebih
banyak akan merasakan dampak yang lebih besar terhadap perubahan harga
solar. Adanya peningkatan biaya operasional dengan solar tanpa subsidi
menyebabkan semakin rendahnya keuntungan yang diterima oleh nelayan.
Penurunan keuntungan kapal dengan alat tangkap pole and line dengan solar
tanpa subsidi adalah 73% dibandingkan dengan menggunakan solar bersubsidi.
Kapal dengan alat tangkap tuna hand line mengalami penurunan keuntungan
akibat tidak adanya subsidi solar sebesar 9% dibandingkan keuntungan dengan
solar bersubsidi.

Perlu dicatat bahwa berdasarkan Tabel 3.25, jika solar untuk kegiatan
penangkapan ikan tersebut menggunakan harga pasar bebas, maka usaha
penangkapan ikan di Bitung masih dapat beroperasi dengan baik. Hal ini
disebabkan karena potensi ikan pada perairan Sulawesi Utara masih cukup
potensial.

3.3. Kecamatan Palabuhanratu

Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Perairan Pelabuhanratu terletak pada posisi geografis 6o57’- 7o07’ LS dan


106o22’-106o23’ BT dengan panjang pantai lebih kurang 105 km. Perairan
tersebut merupakan perairan pantai selatan Jawa Barat yang memiliki hubungan
dengan Samudra Hindia. Kabupaten Sukabumi memiliki luas wilayah 4.200 km2
atau 9,18 persen dari luas Provinsi Jawa Barat (dengan Banten) atau 3,01 persen
dari luas Pulau Jawa. Secara administratif, wilayah Kecamatan Palabuhanratu
berbatasan dengan:
 Sebelah Utara, berbatasan dengan Kabupaten Sukabumi
 Sebelah Selatan, berbatasan dengan Samudera Indonesia

54
 Sebelah Barat, berbatasan dengan Provinsi Banten
 Sebelah Timur, berbatasan dengan Kabupaten Cianjur

Sumber: www.google.co.id
Gambar 3.6. Peta Kecamatan Palabuhanratu

Kondisi Teluk Palabuhanratu banyak dipengaruhi oleh kondisi oseanografi


Samudera Hindia seperti adanya pengaruh angin yang besar. Wyrtki (1961)
mengemukakan bahwa keadaan angin di Palabuhanratu sesuai dengan sifat laut
dan tercatat kecepatannya sebesar 1-7.5 cm/dtk pada bulan September sampai
Desember yang bergerak ke arah barat. Selanjutnya dikatakan bahwa perairan
Teluk Palabuhanratu mempunyai suhu permukaan laut pada musim barat
berkisar 29o-30oC dan pada musim timur 26o-27oC. Musim sangat berpengaruh
terhadap kondisi hidrodinamika perairan teluk. Pada periode Musim Timur (Mei-
Agustus) gelombang dan arus relatif lebih tenang dibandingkan pada periode
musim barat November-Februari), di antara Musim Timur dan Musim Barat
terjadi periode peralihan (Wyrtki, 1961) yang disebut Musim Peralihan Timur
(Maret-April) dan Musim peralihan Barat pada bulan September-Oktober
(Laporan Tahunan PPN Palabuhanratu, 2008).

Karakteristik Perikanan

Teluk Palabuhanratu yang terletak 60 km arah selatan dari kota Sukabumi


adalah sebuah kawasan yang terletak di pesisir selatan Jawa Barat, di Samudra

55
Hindia. Wilayah pesisirnya terbentang dengan panjang garis pantai ± 200 km.
Potensi wilayah pesisir Palabuhanratu mencakup potensi sumber daya hayati,
non-hayati, dan jasa-jasa lingkungan. Potensi sumber daya hayati meliputi
ekosistem pesisir, perikanan, dan biota laut lainnya. Selain itu, Palabuhanratu
memiliki Pelabuhan Perikanan Nusantara yang merupakan tempat pelelangan
ikan terbesar di Jawa Barat.
Jenis armada penangkapan ikan yang menggunakan base fishing port-nya
Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu adalah jenis Kapal Motor dengan
ukuran kapal < 10 GT s/d > 30 GT dengan berbagai macam alat tangkap, seperti
Gill net, Payang, Jaring Rampus, Bagan, Purse seine, Pancing ulur, Tuna Longline,
dan Pancing rawai lainnya. Realisasi operasional jumlah kapal/perahu Motor
Tempel dan Kapal Motor lainnya yang beroperasional disajikan pada Tabel 1.
Tabel tersebut menunjukkan bahwa jumlah armada yang beroperasional
didominasi oleh jenis kapal/perahu Motor Tempel sebanyak 230 unit kapal
jumlahnya mengalami penurunan jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
(Laporan Tahunan PPN Palabuhanratu, 2008).

Tabel 3.26. Jumlah Perahu Motor Tempel dan Kapal Motor Tahun 2000 – 2008
Jenis Kapal/Perahu (Unit) Jumlah Fluktuasi
No Tahun Motor Kapal Motor (Unit) (%)
Tempel < 10 GT 11 - 20 GT 21 - 30 GT > 30 GT
1 2000 275 147 11 12 11 456 -0.65
2 2001 323 141 7 7 12 490 7.46
3 2002 317 106 3 13 13 452 -7.76
4 2003 253 106 3 8 11 381 -15.71
5 2004 266 111 4 10 139 530 39.11
6 2005 428 143 9 28 68 676 27.55
7 2006 511 153 4 53 77 798 18.05
8 2007 531 137 10 71 103 852 6.76
9 2008 416 102 7 52 69 646 -24,17

Sumber Data Statistik PPNP, 2008

Jumlah kapal perikanan yang beroperasi di Pelabuhan Perikanan


Nusantara Palabuhanratu pada Tahun 2009 mengalami kenaikan jika
dibandingkan tahun sebelumnya, yaitu sebesar 17,34 persen. Bertambahnya
jumlah kapal yang beroperasi tidak berdampak terhadap jumlah frekuensi keluar

56
masuk kapal, sebaliknya terjadi penurunan pada frekuensi keluar kapal sebesar
29,26 persen dan frekuensi masuk kapal sebesar 34,05 persen.
Frekuensi kunjungan kapal motor dan motor tempel (Tabel 3.27) pada
tahun 2000-2008 selalu mengalami fluktuasi yang bergantung pola musim ikan
dan perubahan cuaca yang tidak menentu. Secara umum, jenis perahu/kapal
motor tempel yang menggunakan Pelabuhan Perikanan Nusantara
Palabuhanratu sebagai tempat labuhnya mengalami penurunan jika
dibandingkan dengan tahun sebelumnya, yaitu sebesar 5.27 persen, sedangkan
jenis kapal motor naik sebesar 22.12 persen. Total frekuensi kunjungan kapal
pada tahun 2008 sebesar 32.335 kali dengan rata-rata kapal yang masuk ke
kolam Pelabuhan sebesar 2.695 kali per bulan. Total frekuensi kunjungan kapal
Motor Tempel sebesar 27.641 kali dengan jumlah rata-rata 2.303 kali per bulan,
sedangkan frekuensi kunjungan Kapal Motor sebesar 4.694 kali dengan rata-rata
394 kali per bulan.

Tabel 3.27. Frekuensi Kunjungan Kapal Motor dan Motor Tempel Tahun 2000 – 2008
Kapal Motor Jumlah Fluktuasi
No Tahun Motor Tempel Total Kapal Motor Motor Tempel
(Kali) (Kali) (Kali) (%) (%)
1 2000 6,891 14,847 21,738 42.64 -7.90
2 2001 2,248 22,588 24,836 -67.38 52.14
3 2002 1,771 28,031 29,802 -21.22 24.10
4 2003 1,675 15,101 16,776 -5.42 -46.13
5 2004 2,857 12,738 15,595 70.57 -15.65
6 2005 5,005 11,505 16,510 75.18 -9.68
7 2006 3,638 19,884 23,522 -27.31 72.83
8 2007 5,279 34.919 40.198 45.16 75.61
9 2008 4,694 27,641 32,335 -11.08 79,057.48
Rata-rata 3,104 18,497 21,602 22.12 5.27
Sumber Data Statistik PPN Palabuhanratu, 2008

Kapal perikanan yang akan melakukan kegiatan penangkapan ikan


terlebih dahulu harus melengkapi kebutuhan logistiknya berupa es balok, air
bersih, solar di samping kebutuhan logistik lainnya serta konsumsi. Adapun
kebutuhan perahu/kapal perikanan terhadap ketiga jenis logistik tersebut
diuraikan dalam Tabel 3.28. Kebutuhan logistik kapal ada yang mengalami
penurunan ada pula yang mengalami peningkatan dibandingkan dengan
kebutuhan logistik kapal tahun sebelumnya. Kebutuhan logistik BBM yang terdiri

57
dari solar untuk kapal motor dan bensin untuk perahu motor tempel mengalami
peningkatan sebesar 18,56 persen, kebutuhan logistik es mengalami kenaikan
sebesar 1,55 persen, kebutuhan logistik air mengalami penurunan sebesar 20,51
persen, dan kebutuhan logistik minyak tanah juga mengalami penurunan sebesar
70,50 persen (Buku Stastistik Perikanan, 2009).

Tabel 3.28. Penyaluran Kebutuhan Logistik Kapal di PPN


Palabuhanratu
Tahun 2000 -2008

Kebutuhan Logistik
Air (Ltr) Es (Balok) BBM / Solar (Ltr)
No Tahun Fluktuas Fluktuas
Fluktuasi
Jumlah i Jumlah i Jumlah
(%)
(%) (%)
1 2000 2,443,000 147.27 74,632 -17.35 1,917,155 18.37
2 2001 380,000 -84.45 11,490 -84.60 1,045,000 -45.49
3 2002 1,479,900 289.45 277,704 2.316.92 4,041,110 286.71
4 2003 1,591,300 7.53 219,595 -20.92 4,821,870 19.32
10,380,78
5 2004 4,749,000 198.44 285,470 30.00 115.29
1
6 2005 6,034,700 27.07 112,450 -60.61 5,528,785 -46.74
7 2006 1.675.200 -72.24 196.863 75.07 6.213.600 12.39
8 2007 1.787.090 6.68 164.161 -16.61 4.897.912 -21.17
9 2008 2.917.216 63.24 158.868 -3.22 5.811.371 18,65
Rata-rata 1,660.,778 4.64 117,034 - 1.40 2,511,259 0.29
Sumber Data Statistik PPNP 2008
Ket : @ BALOK ES = + 50 Kg

a. Air Bersih

Penyaluran kebutuhan air bersih untuk kapal perikanan di PPN


Palabuhanratu dipenuhi oleh sebuah perusahaan swasta. Air yang disalurkan
berasal dari air PDAM yang dialirkan ke kapal perikanan melaluai jaringan pipa
dan slang plastik dengan ukuran penjualan dalam bentuk “Blong” (drum plastik)
yang berkapasitas 250 liter dan 120 liter atau dalam bentuk jerigen plastik (30
liter) untuk kapal-kapal yang ada di kolam 1 (satu). Berbeda dengan kapal-kapal
yang ada di kolam 2 (dua), yaitu pengisiannya menggunakan jaringan pipa yang

58
langsung sampai ke dalam kapal dengan ukuran penjualan dalam bentuk
kubikasi.
Kemampuan dalam mensuplai air bersih di PPN Palabuhanratu masih
cukup besar dengan tersedianya mobil tangki untuk mengangkut air bersih yang
berkapasitas 400 m³. Di samping itu, instalasi baru khusus untuk nelayan dan
pihak investor guna meningkatkan pelayanan kebutuhan air bersih kepada
masyarakat perikanan telah terpasang.

b. Es Balok
Kebutuhan logistik untuk es balok di PPN Palabuhanratu selama ini masih
disuplai oleh dua perusahaan swasta, yaitu pabrik es Sari Petejo dan Tirta Jaya.
Jumlah pemakain es balok oleh kapal/perahu perikanan di PPN Palabuhanratu
untuk operasional penangkapan ikan disajikan pada grafik berikut.

Sumber: Laporan Tahunan, 2009


Gambar 3.7. Kebutuhan Es Balok di PPN Palabuhanratu tahun 1993—2008

Jumlah pemakaian es balok sampai sampai tahun 2007 mengalami


fluktuasi bergantung jauh dekatnya wilayah penangkapan. Di samping itu,
kesadaran nelayan akan pentingnya mempertahankan mutu ikan semakin tinggi
sehingga secara umum penggunaan es di Pelabuhan Perikanan Nusantara
Palabuhanratu cenderung turun sebesar 16,61 persen. Total penggunaan es
balok oleh nelayan untuk operasional penangkapan ikan pada tahun 2007 adalah

59
sebesar 164.161 kg (@ balok = 50 Kg) atau rata-rata per bulan sebanyak 13.680
kg.

c. BBM (Solar)

Jumlah pemakaian solar kapal perikanan di PPN Palabuhanratu semenjak


dioperasionalkan mulai tahun 1993 sampai sekarang selalu mengalami fluktuasi
seiring dengan kunjungan jumlah kapal pendatang yang tambat di Pelabuhan
Perikanan Nusantara Palabuhanratu dan jauh dekatnya daerah penangkapan
ikan serta jumlah kapal perikanan dengan kecenderungan kenaikannya sebesar
5,04 persen per tahun. Sementara itu, jumlah total pemakaian solar pada tahun
2008 mengalami kenaikan sebesar 118,65 persen jika dibandingkan dengan
tahun sebelumnya.

Sumber: Laporan Tahunan, 2009


Gambar 3.8. Perkembangan Kebutuhan BBM di PPN Palabuhanratu tahun 1993--2008

Kebutuhan BBM di Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu


berfluktuasi, tergantung dari jumlah kunjungan kapal. Volume logistik BBM
tertinggi terjadi pada tahun 2004 karena aktivitas kunjungan kapal longline (KM >
30 GT) yang meningkat tajam. Volume logistik BBM terendah terjadi pada tahun
2001, yaitu hanya sebanyak 1,045,000 liter karena aktvitas kapal masih
didominasi kapal motor tempel.
Pemakaian solar kapal perikanan pada tahun 2008 sebanyak 5.811.371
liter dengan rata-rata pemakaian per bulan 484.281 liter dimana pemakaian solar

60
ini banyaknya dilakukan oleh kapal-kapal pendatang (Kapal Tuna Long Line) yang
mengisi logistik bahan bakarnya antara lain solar di PPN Palabuhanratu dan
semakin jauhnya daerah penangkapan ikan (fishing ground). Kegiatan
penangkapan ikan 50-70 persennya merupakan biaya operasional yang sebagian
besar untuk keperluan pembelian BBM solar. Penyaluran BBM solar di Pelabuhan
Perikanan Nusantara Palabuhanratu disediakan oleh SPBB dan SPBN yang
dikelola oleh pihak swasta dan melalui SPDN yang dikelola oleh pihak KUD Mina.
Hasil tangkapan nelayan di Palabuhanratu didominasi oleh ikan tuna mata
besar, tuna yellow fin, cakalang, dan tongkol lisong. Hasil tangkapan yang tidak
kalah banyaknya adalah ikan layur, layang deles, layaran, dan peperek.
Berdasarkan data produksi, rata-rata volume produksi pada tahun 2009 adalah
251.016 kg dengan nilai produksi sebesar Rp3.697.308.774. Sementara itu,
tingkat harga jual ikan tuna mata besar dan yellow fin tercatat paling tinggi, yaitu
masing-masing sebesar Rp24.183 dan Rp21.468 per kg.
Tabel 3.29. Volume Produksi, Nilai Produksi, dan Harga per Jenis Ikan Tahun 2009

No. Jenis Ikan Volume (Kg) Nilai (Rp) Harga (Rp/kg)


1 Tongkol Komo 15,193 112,601,500 7,411
2 Cakalang 320,733 2,888,796,800 9,007
3 Tongkol Lisong 301,675 1,813,317,000 6,011
4 Tongkol Abu-abu 12,050 102,578,000 8,513
5 Tembang 739,610 1,477,230,960 1,997
6 Tuna Albakor 107,687 1,704,338,000 15,827
7 Tuna Mata Besar 1,272,155 30,764,593,500 24,183
8 Tuna Yellow Fin 542,584 11,648,093,300 21,468
9 Cucut 20,285 175,998,000 8,676
10 Setuhuk Loreng 66,908 1,067,595,500 15,956
11 Pedang-pedang 87,049 1,512,241,000 17,372
12 Layur 103,230 1,183,115,050 11,461
13 Layang Deles 115,979 476,495,500 4,108
14 Layaran 30,179 398,848,000 13,216
15 Peperek 29,917 133,789,500 4,472
Rata-rata 251,015.6 3.697.308.774 11,312
Sumber: Buku Statistik PPN Palabuhanratu, 2009

Ikan-ikan yang telah didaratkan di PPN Palabuhanratu kemudian


didistribusikan ke pasar di berbagai wilayah. Sebagian besar ikan di

61
Palabuhanratu dipasarkan di pasar lokal dan regional. Pasar regional yang
menjadi tujuan utama dari pemasaran ikan Palabuhanratu adalah Jakarta
sebesar 57,45 persen dari total volume produksi pada tahun 2009. Pasar regional
lainnya yang juga mampu menyerap produksi ikan Palabuhanratu adalah Cianjur
sebesar 8,64 persen, sedangkan pasar lokal hanya mampu menyerap 8,42 persen
saja dari total volume produksi. Sementara itu, distribusi ke luar negeri atau
ekspor yang langsung dilakukan dari Palabuhanratu hanya menyerap 2,22 persen
dari total volume produksi. Pemasaran ke Jakarta sebenarnya juga dijual kembali
ke luar negeri oleh perusahaan-perusahaan besar yang menampung ikan-ikan
dari Palabuhanratu sehingga kegiatan ekspor tercatat berasal dari Jakarta.

Karakteristik Usaha Responden

Jumlah responden yang diwawancarai sebagai sumber data primer adalah


sebanyak 40 orang yang tersebar di delapan kecamatan, yaitu Kecamatan
Palabuhanratu, Cilacap, Taman, Bayah, Simpenan, Pasir Bayu, Cisolok, dan Suli.
Sesuai dengan data yang diperoleh, asal responden sebagian besar atau 65
persen adalah nelayan dari Kecamatan Palabuhanratu dan sebagian kecil lagi
tersebar di tujuh kecamatan lainnya.
Berdasarkan tingkat pendidikannya, responden sebagian besar adalah
tamatan Sekolah Dasar (SD) yaitu sebanyak 50 persen dan 37,5 persennya adalah
tamatan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Sebagian kecil responden adalah
tidak tamat SD dan tamatan Sekolah Menengah Atas (SMA) atau sekolah tinggi.
Hal ini menunjukkan bahwa responden termasuk nelayan yang berpendidikan
karena sebagian besar responden pernah dan telah mengenyam pendidikan
formal.
Pengalaman usaha nelayan tersebar merata dari rentang waktu ≤ 5
tahun, 6—15 tahun, dan > 15 tahun. Berdasarkan data yang diperoleh, nelayan
yang menjadi responden masih tergolong muda karena pengalaman usaha
mereka sebagian besar ≤ 5 tahun, yaitu sebanyak 40 persen. Kemudian, 35
persennya memiliki pengalaman usaha 6—15 tahun dan hanya 25 persen

62
berpengalaman lebih dari 15 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan
penangkapan menjadi mata pencaharian yang sangat diandalkan responden
karena sejak usia muda mereka telah memilih nelayan sebagai profesi utama.
Berdasarkan statusnya, sebagian besar responden adalah pemilik kapal
dan ABK. Sebanyak 40 persen responden mengoperasikan sendiri armada
penangkapannya dan sebanyak 32,5 persen bertindak sebagai ABK. Sementara
itu, responden yang bekerja sebagai nahkoda hanya sebanyak 11 orang atau 27,5
persen dari total responden. Kondisi ini disebabkan oleh karena armada
penangkapan yang digunakan berukuran kecil, yaitu ≥ 10GT - < 30GT dengan
wilayah penangkapan yang tidak jauh.
Sebagian besar responden termasuk ke dalam kategori keluarga besar
yang memiliki anggota keluarga sebanyak 3—4 orang dan ≥ 5 orang. Sebagian
besar atau 55 persen responden memiliki anggota keluarga sebanyak 3—4 orang
sehingga termasuk ke dalam kategori keluarga sedang yang terdiri dari orang tua
dan dua orang anak dan 35 persennya memiliki anggota keluarga berjumlah ≥ 5
orang sehingga termasuk ke dalam kategori keluarga besar. Sementara itu,
sebagian kecilnya (15%) memiliki anggota keluarga ≤ 2 orang.
Berdasarkan jumlah anggota keluarga yang bekerja, tampak bahwa
kepala keluarga menjadi tumpuan utama dalam pemenuhan kebutuhan
keluarga. Sementara itu, keterlibatan anggota keluarga yang lain tidak terlalu
signifikan dalam memikul beban ekonomi keluarga. Berdasarkan data yang
diperoleh, 77,5 persen anggota keluarga yang terlibat dalam usaha penangkapan
hanya 1 orang yang berarti hanya kepala keluarga yang bekerja. Namun
demikian, ada pula keterlibatan istri dalam usaha penangkapan sebanyak 12,5
persen dari total responden yang melibatkan 2 orang anggota keluarga yang
bekerja. Sebagian kecilnya lagi atau 10 persen responden yang melibatkan ≥ 3
orang anggota keluarga.
Karakteristik responden juga dapat dilhat dari aspek teknis usaha
penangkapannya berdasarkan kepemilikan kapal menurut GT, jenis alat tangkap,
dan bahan bakar yang digunakan. Berdasarkan kepemilikan kapal (GT), 45 persen

63
responden memiliki kapal dengan ukuran ≥ 5 - < 10 GT dan 32,5 persen
responden menggunakan alat bantu bagan tancap dalam kegiatan
penangkapannya. Sementara itu, responden yang menggunakan kapal dengan
ukuran sedang dan besar hanya sebagian kecil saja, yaitu 12,5 persen untuk
kapal ukuran ≥10 - <30 GT dan 10 persen untuk kapal ukuran ≥30 - <100 GT.
Namun demikian, responden yang menggunakan kapal < 5 GT tidak ada karena
wilayah penangkapan di lokasi penelitian bertambah jauh karena ketersediaan
ikan semakin menurun. Bahkan, kondisi ini juga menyebabkan beberapa jenis
alat tangkap tidak dapat lagi digunakan.
Jenis alat tangkap dan alat bantu lainnya yang digunakan responden
adalah pancing tonda, bagan, gillnet, dan longline. Dari keempat jenis alat
tangkap tersebut, pancing tonda paling banyak digunakan oleh responden, yaitu
sebanyak 16 orang atau sebesar 40 persen. Alat bantu tangkap lainnya yang juga
banyak digunakan adalah bagan yang ditancapkan di lokasi yang masih banyak
memiliki sumber daya ikan, yaitu sebesar 32,5 persen. Bagan hanya berperan
sebagai alat bantu penangkapan karena setelah ikan berkumpul di bagan,
nelayan akan mengambil ikan dengan menggunakan jaring yang ditarik oleh dua
buah kapal. Jenis alat tangkap lainnya adalah longline sebanyak 15 persen dan
gillnet sebesar 12,5 persen dari jumlah responden.
Armada penangkapan yang digunakan sebagian besar adalah kapal motor
dengan mesin berada di dalam kapal (inboard boat), tetapi ada pula nelayan
yang menggunakan kapal dengan motor tempel. Hal ini terlihat dari jenis bahan
bakar (BBM) yang digunakan yang sebagian besar menggunakan solar sebanyak
67,5 persen dan bensin sebanyak 30 persen. Sementara itu, minyak tanah hanya
menyumbang 2,5 persen atau hanya satu armada penangkapan yang
menggunakannya karena minyak tanah hanya digunakan untuk menghidupkan
mesin dan sebagai bahan bakar lampu petromaks.

64
Tabel 3.30. Penguasaan Aset Usaha Perikanan di PPN Pelabuhan Ratu
Karakteristik Jumlah (n) Prosentase (%)
Kepemilikan Kapal (GT)
< 5 GT 0 0
≥5GT - <10GT 18 45
≥10GT -<30GT 5 12.5
≥30GT - <100GT 4 10
≥100GT - -
Bagan 13 32.5
Jumlah 40 100
Jenis Alat Tangkap
Bagan 13 32.5
Gill net 5 12.5
Longline 6 15
Pancing Tonda 16 40
Jumlah 40 100
Bahan Bakar yang Digunakan
Bensin 12 30
Solar 27 67.5
Minyak Tanah 1 2.5
Jumlah 40 100
Sumber: Data primer diolah, 2010

Dari kegiatan penangkapan tersebut, analisa usaha kegiatan


penangkapan ikan di Palabuhanratu dapat dilihat pada Tabel 3. 31. Dari
Tabel tersebut keuntungan yang diperoleh nelayan per trip menurut alat
tangkap dan ukuran armada penangkapan dari empat jenis alat tangkap, hanya
alat bantu penangkapan bagan yang rata-rata menunjukkan kerugian sebesar Rp
915.984. Hasil tangkapan bagan adalah ikan teri dan cumi-cumi yang masing-
masing sebesar Rp272.777 dan Rp288.889 dengan besarnya biaya operasional
adalah Rp1.477.450. Sementara itu, biaya solar, umpan, dan biaya di darat tidak
menjadi komponen dari biaya operasional. Kerugian ini disebabkan oleh hasil
tangkapan yang diperoleh didominasi oleh cumi-cumi dibandingkan ikan teri,
padahal harga cumi-cumi rata-rata sangat rendah, yaitu Rp3.200 per kg.

65
Tabel 3.31. Analisa Usaha penangkapan Ikan Beberapa Alat Tangkap di
Palabuhanratu 2010.
Uraian Jenis Alat Tangkap
Gillnet Longline 2 Pancing
Longline 1
Penerimaan Bagan (≥5GT - (≥30GT - Tonda (≥5GT
(≥10GT -<30GT)
<10GT) 100GT) -<10GT)
Teri 272,577
Cumi-cumi 288,889
Tongkol 5,325,000
Cakalang 5,500,000
Tuna 16,000,000 118,500,000 16,483,875
Jumlah 561,466 10,825,000 16,000,000 118,500,000 16,483,875

Biaya operasional
Solar 0 1,269,000 6,750,000 42,000,000 1,787,813
Bensin 109,250 45,000 0 0 25,750
Minyak tanah 474,000 120,000 0 0 106,667
Oli 352,600 438,000 240,000 7,466,667 207,188
Es 525,000 124,000 0 0 688,063
Umpan 0 0 50,000 2,916,667 207,500
Ransum 16,600 461,500 2,357,500 2,533,000 741,256
Biaya di darat - 866,798 0 875,000 667,990
Total biaya
1,477,450 3,324,298 9,397,500 55,791,334 4,432,227
operasional
Keuntungan (915,984) 7,500,702 6,602,500 62,708,666 12,051,648
Sumber: Data primer diolah, 2010

Hasil tangkapan kapal dengan alat tangkap gillnet adalah ikan tongkol dan
cakalang dengan total penerimaan sebesar Rp10.825.000. Sementara itu, biaya
operasional yang dikeluarkan sebesar Rp3.324.298 dengan biaya solar
mengambil bagian yang paling besar, yaitu Rp1.269.000 atau sebesar 39 persen.
Besarnya penerimaan dan biaya operasional tersebut menghasilkan keuntungan
bersih sebesar Rp7.500.702. Sesuai dengan sistem bagi hasil yang berlaku, yaitu
50 : 20 : 30 maka bagian pemilik kapal rata-rata sebesar Rp375.000, nahkoda
Rp1.500.000, dan bagian ABK adalah sebesar Rp2.250.000.
Khusus untuk alat tangkap longline, analisis membedakan antara longline
ukuran ≥10 GT-<30 GT dan longline ukuran ≥30 GT-<100 GT karena hasil
tangkapan dan biaya operasional jauh berbeda sehingga mudah mendapatkan

66
nilai rata-ratanya. Kondisi ini ditunjukkan oleh besarnya penerimaan dan biaya
operasional longline ukuran ≥30 GT-<100 GT masing-masing sebesar
Rp118.500.000 dan Rp55.791.334 sehingga keuntungan bersih yang diperoleh
sebesar Rp62.708.666. Sementara itu, jumlah penerimaan dan biaya operasional
untuk kapal longline ukuran ≥10 GT-<30 GT sangat jauh berbeda, yaitu masing-
masing sebesar Rp16.000.000 dan Rp9.397.500 sehingga keuntungan bersihnya
sebesar Rp6.602.500. Sistem bagi hasil yang berlaku adalah 50% untuk pemilik,
10% untuk nahkoda, dan 40% untuk ABK. Dengan demikian, bagian pemilik rata-
rata adalah Rp3.300.000, nahkoda Rp660.000, dan ABK sebesar Rp2.641.000.
Untuk longline ukuran ≥30 GT-<100 GT, sistem bagi hasil yang digunakan juga
sama sehingga bagian pemilik rata-rata sebesar Rp31.000.000, nahkoda sebesar
Rp6.300.000, dan ABK sebesar Rp25.000.000.
Kegiatan penangkapan pada trip terakhir untuk kapal dengan alat tangkap
pancing tonda membukukan keuntungan bersih sebesar Rp12.051.648. Hasil
tangkapan utama yang dibawa oleh pancing tonda adalah ikan tuna dengan nilai
rata-rata Rp16.483.875, sedangkan biaya operasional yang dikeluarkan rata-rata
sebesar Rp4.432.227 pada trip terakhir. Sistem bagi hasil yang digunakan adalah
50% untuk pemilik, 15% untuk nahkoda, dan 35% untuk ABK sehingga hasil yang
diperoleh oleh masing-masing rata-rata adalah sebesar Rp6.000.000, nahkoda
sebesar Rp2.000.000, dan ABK sebesar Rp4.000.000.

Subsidi Perikanan di Palabuhanratu


Subsidi perikanan di Palabuhanratu disalurkan oleh dua pihak, yaitu
Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Palabuhanratu dan Dinas Kelautan dan
Perikanan Kabupaten Sukabumi. Bentuk subsidi yang dikelola oleh PPN berupa
subsidi BBM berupa solar melalui SPDN dan SPBB yang tersedia di pelabuhan.
SPDN khusus melayani kebutuhan solar dari kapal-kapal ukuran < 30 GT,
sedangkan SPBB melayani kapal-kapal besar ukuran ≥ 30 GT.

67
Tabel 3.32. Bentuk-bentuk subsidi perikanan tangkap laut tahun 2009

No. Jenis Subsidi Dasar Kebijakan


1. Langsung: Kebijakan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak
1.a BBM/Solar secara nasional.
1.b Bantuan kapal, Tidak mampunya kapal payang dan gillnet
mesin, dan alat beroperasi di perairan Palabuhanratu karena
tangkap (paket) fishing ground yang semakin jauh

1.c Bantuan modal untuk Kebijakan pemasangan rumpon di sekitar perairan


mengkonversi perahu Palabuhanratu

2. Tidak Langsung: Menurunnya sumber daya ikan sehingga fishing


2.a Rumpon ground semakin jauh

Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sukabumi diolah, 2010

Sementara itu, subsidi atau bantuan yang disalurkan oleh Dinas Kelautan
dan Perikanan lebih bersifat paket, seperti paket penangkapan berupa armada
penangkapan dan alat tangkapnya. Ada pula bantuan berupa alat bantu
penangkapan, seperti rumpon yang diberikan kepada kelompok nelayan yang
lulus seleksi setelah mengajukan proposal bantuan. Selain itu, Dinas Kelautan
dan Perikanan juga memberikan bantuan modal untuk mengkonversi armada
penangkapan nelayan dengan alat tangkap payang menjadi kapal rumpon.
Data statistik pelabuhan menunjukkan bahwa dalam 5 tahun terakhir
jumlah tangkapan ikan nelayan mengalami penurunan. Menurunnya hasil
tangkapan ini mendorong nelayan untuk menempuh perjalanan yang panjang
karena wilayah penangkapan (fishing ground) semakin jauh. Namun, armada
penangkapan yang dimiliki sebagian besar nelayan Palabuhanratu tidak
menunjang untuk sampai ke wilayah penangkapan yang jauh. Akibatnya, nelayan
banyak yang tidak dapat melaut untuk menangkap ikan. Untuk mengatasi
permasalahan ini, pemerintah bisa saja memberi bantuan untuk mengganti kapal
yang ada dengan kapal jenis purse seine. Jenis kapal ini memang dapat
memberikan hasil tangkapan yang banyak bagi nelayan. Namun demikian,
disadari bahwa purse seine justru membahayakan kelestarian sumber daya ikan
karena kemampuannya mengeruk semua jenis ikan dari yang ikan terkecil hingga

68
ikan ukuran besar. Purse seine juga akan merusak terumbu karang dan kekayaan
laut lainnya sehingga justru mengancam kelestarian sumber daya di masa depan.

Gambar 3.9. Bentuk rumpon dan cara kerjanya yang ada di perairan
Palabuhanratu

Pemerintah melalui Dinas Kelautan dan Perikanan memutuskan untuk


menggunakan rumpon sebagai salah satu cara untuk mengatasi permasalahan
usaha nelayan dan kelestarian sumber daya tersebut. Rumpon adalah alat bantu
yang dipasang untuk menangkap ikan. Dengan bantuan rumpon, ikan-ikan akan
berkumpul di sekitarnya sehingga mempermudah nelayan dalam menentukan
lokasi penanngkapan dan membantu nelayan mendapatkan ikan dengan mudah.
Rumpon di perairan Palabuhanratu biasanya berupa rumpon permukaan yang
menggunakan pelepah pohon kelapa sebagai sumber makanan ikan agar ikan-
ikan tetap berkumpul di sekitar rumpon. Namun demikian, saat ini sebagian
besar pelepah pohon kelapa diganti dengan tali plastik rafia. Hal ini dilakukan
karena tali rafia lebih praktis karena tidak perlu diganti dalam jangka waktu yang
cukup lama. Agar tali tidak kusut dan terpelintir, dipasanglah beberapa cincin di
sepanjang tali rafia tersebut.
Saat ini, jumlah rumpon yang berasal dari bantuan pemerintah berjumlah
40 unit dengan jarak per rumpon sejauh 8 mil. Harga rumpon per unit rata-rata
sebesar Rp60 juta, namun ada juga rumpon yang seharga Rp150 juta. Sebuah
rumpon diperuntukkan bagi 1 kelompok nelayan yang terdiri atas 5 kapal
nelayan. Teorinya keberadaan tiap-tiap rumpon dirahasiakan agar kelompok
nelayan lain tidak bisa sembarangan menangkap di semua rumpon yang ada.

69
Namun, prakteknya hal itu sangat sulit dilakukan karena faktor iba karena
sekelompok nelayan bisa membawa hasil tangkapan yang banyak, sedangkan
ada kelompok lain yang tidak mendapat hasil tangkapan sama sekali.
Bentuk bantuan lainnya yang juga diberikan Dinas Kelautan dan
Perikanan Kabupaten Sukabumi adalah bantuan modal bagi nelayan yang
memiliki armada penangkapan dengan alat tangkap payang. Modal tersebut
sedianya digunakan untuk mengkonversi kapal mereka menjadi kapal penangkap
ikan di rumpon karena menurunnya ketersediaan sumber daya ikan membuat
kapal payang tidak mampu beroperasi lagi. Untuk itu, pemerintah daerah
berusaha menyediakan daerah penangkapan baru yang lebih terjangkau melalui
rumpon-rumpon yang disebar di sepanjang perairan Palabuhanratu. Bantuan
modal ini merupakan bantuan bergulir dari satu kelompok nelayan ke kelompok
nelayan lainnya. Akan tetapi, bantuan modal tersebut macet karena kelompok
nelayan yang menerima bantuan tidak mengembalikan modal tersebut sehingga
kelompok nelayan lain tidak mendapat kesempatan yang sama.
Dalam memberikan pelayanan BBM solar bersubsidi, Pelabuhan Perikanan
selaku Unit Pelaksana Teknis (UPT) Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap hanya
menyediakan lahan, bangunan, tangki BBM solar dan fasilitas lainnya.
Sedangkan dalam kaitannya dengan pengajuan kuota BBM dan jumlah kuota
yang disediakan merupakan kewenangan dari pihak Pertamina serta
ditembuskan ke Direktorat Jenderal kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (P3K)
yang merupakan bagian dari Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat
Pesisir termasuk di dalamnya Pembangunan Solar Packed Dealer untuk Nelayan
(SPDN).
Pelayanan BBM solar bersubsidi di Pelabuhan Perikanan Nusantara
pebauhanratu dilakukan dalam tiga jenis stasiun pengisian, yaitu:
(1) Solar Packed Delaer untuk Nelayan (SPDN)
Solar Packed Delaer untuk Nelayan (SPDN) adalah stasiun pengisian bahan
bakar solar yang diperuntukkan kepada nelayan dan pembudidaya ikan.
SPDN di Pelabuhan Perikanan Nusantara Pelabuhanratu dikelola pihak KUD

70
Sinar Laut dengan kuota rata-rata sebanyak 236 kiloliter per bulan. SPDN ini
melayani kebutuhan BBM solar bersubsidi bagi kapal-kapal perikanan yang
melakukan tambat di Kolom I yang berukuran < 30 GT (Kapal rumpon, dogol
dan gillnet). Dalam operasionalnya KUD Sinar Laut memanfaatkan fasilitas
pelabuhan perikanan berupa tangki BBM dengan kapasitas 320 m3, instalasi
pompa BBM dan dispenser. Ketiga fasilitas tersebut (tangki BBM, pompa
BBM dan bangunan dispenser) milik Pelabuhan Perikanan Nusantara
Pelabuhanratu, sedangkan pihak KUD memanfaat ketiga fasilitas tersebut
dengan sistem sewa sesuai dengan peraturan yang berlaku.

(2) Stasiun Pengisian Bahan Bakar Nelayan (SPBN)


Stasiun Pengisian Bahan Bakar Nelayan (SPBN) adalah stasiun pengisian
bahan bakar solar dengan fisik bangunan yang lebih besar dari SPDN yang
diperuntukkan kepada nelayan dan pembudidaya ikan skala kecil. SPBN di
Pelabuhan Perikanan Nusantara Pelabuhanratu dikelola pihak swasta PT.
Mekar Tunas Raya Sejati dengan kuota rata-rata sebanyak 236 kiloliter per
bulan. SPBN ini melayani kebutuhan BBM solar bagi kapal-kapal perikanan
yang melakukan tambat di Kolom II dengan nukuran kapal > 30 GT (Kapal
longline). Dalam operasionalnya, PT. Mekar Tunas Raya Sejati memanfaatkan
fasilitas pelabuhan perikanan berupa tangki BBM dengan kapasitas 208 m3
dan instalasi pompa BBM, sedangkan bangunan dispenser dispenser adalah
milik pihak PT, Mekar Tunas Raya Sejati sendiri. Penggunaan fasilitas
pelabuhan tersebut dilakukan dengan system sewa.

(3) Statsiun Pengisian Bahan Bakar Bunker (SPBB)


Statsiun Pengisian Bahan Bakar Bunker (SPBB) di Pelabuhan Perikanan
Nusantara Pelabuhanratu dikelola pihak swasta PT. Paridi Asyudewi dengan
kouta rata-rata sebanyak 400 kiloliter per bulan. Dalam operasionalnya,
pihak PT. Paridi Asyudewi menggunjakan tongkang atau bunker kapal milik
PT. Paridi Asyudewi yang berlokasi di didermaga II. Pengisiannya dilakukan

71
dengan dibantu mobil tangki minyak dengan kapasitas 16.000 liter dalam tiap
minggunya. Status mobil tangki tersebut adalah milik PT. Paridi Asyudewi
yang berfungsi menyalurkan BBM solar bersubsidi melalui darat yang
kemudian disalurkan ke dalam bunker/tongkang, yang selanjutnya dilakukan
pengisian ke kapal-kapal yang ada di Kolom II.
Pelayanan BBM solar bersubsidi di pelabuhan Perikanan Nusantara
Pelabuhanratu dilakukan melalui mekanisme dalam dua tahapan melapor,
yaitu:
(1) Tahapan Melapor Kedatangan Kapal
Pada tahapan melapor kedatangan, pihak nelayan diwajibkan melapor ke
prtugas teknis, petugas jasa, TNI AL, POL AIR, Syahbandar dan Pengawas
Perikanan di Pelabuhan Perikanan, yang selanjutnya diperkenankan
mengajukan permohonan pengisian solar ke penyalur (SPBN/SPBB).
(2) Tahap Melapor Keberangkatan Kapal
Setelah nelayan melakukan tahapan melapor kedatangan kapal pada
beberapa hari sebelum kebarangkatannnya kembali, maka nelayan
diwajibkan melapor keberangkatan kapalnya. Pada tahapan ini, nelayan
melaopor ke TNI AL, POL AIR kemudian melapor ke petugas teknis untuk
mendapatkan STBLKK, ke petugas jasa untuk melakukan biaya bayar tambat,
ke Pengawas Perikanan untuk mendapatkan SLO, dan terakhir melapor ke
Syahbandar di Pelabuhan Perikanan untuk mendapatkan SIB. Setelah kapal
mendapatkan SLO dan SIB, maka dalam waktu 1 x 24 jam penyalur BBM solar
besubdisi (SPBN/SPBB) diperbolehkan menjual solarnya kepada kapal yang
akan berangkat melaut setelah sebelumnya berkoordinasi dengan pihak
syahbandar dalan hal pengisian BLB (Buku Lapor Bunker).

Realisasi penjualan BBM melalui SPDN sejak bulan Mei 2009 hingga
Agustus 2010 secara total telah mencapai volume sebanyak 2.026.417,5 liter,
atau rata-rata relaisasi penjualan per bulannya adalah sebanyak 126.651,1 liter
atau sama dengan 126,6511 kiloliter. Sementara itu, realisasi penjualan BBM

72
melalui SPBN sejak bulan November 2008 hingga Agustus 2010 secara total telah
mencapai volume sebanyak 663.179,1 liter, atau rata-rata relaisasi penjualan per
bulannya adalah sebanyak 30.144,5 liter atau sama dengan 30,1445 kiloliter..
Sedangkan dari Tabel 3 dan Gambar 3 diketahui bahwa realisasi penjualan BBM
melalui SPBB sejak bulan Januari 2010 hingga Agustus 2010 secara total telah
mencapai volume sebanyak 2.936.356,0 liter, atau rata-rata relaisasi penjualan
per bulannya adalah sebanyak 367.044,5 liter atau sama dengan 367,0445
kiloliter.
Bila realisasi penjualan tersebut dibandingkan dengan kuota yang
diberikan, terlihat bahwa untuk SPDN baru mencapai separuh (53,67%) dari
kuota yang dijatahkannya. Sementara untuk SPBN baru mencapai kurang dari
seperempat (12,77%) dari kuota yang dijatahkannya; sedangkan untuk SPBB
telah mencapai hampir keseluhan jatah yang diberikannya (91,76%).

Tabel 3.33. Realisasi Penjualan BBM Solar Bersubsidi SPDN KUD Mina “Sinar
Laut” Pelabuhanratu, Periode Mei 2009 sampai dengan Agustus 2010

Volume Penjualan (Lt)


No. Periode Total (Lt)
Meter A Meter B

1 Mei 2009 55,248.0 68,310.0 123,558.0


2 Juni 2009 59,835.0 68,154.0 127,989.0
3 Juli 2009 55,734.5 71,698.0 127,432.5
4 Agustus 2009 60,322.0 68,139.0 128,461.0
5 September 2009 56,257.0 70,721.0 126,978.0
6 Oktober 2009 56,741.0 71,265.0 128,006.0
7 November 2009 57,038.0 70,963.0 128,001.0
8 Desember 2009 66,785.0 61,221.0 128,006.0
9 Januari 2010 62,586.0 65,412.0 127,998.0
10 Februari 2010 46,491.0 63,577.0 110,068.0
11 Maret 2010 35,422.0 51,148.0 86,570.0
12 April 2010 62,756.0 77,042.0 139,798.0
13 Mei 2010 60,095.0 95,352.0 155,447.0
14 Juni 2010 46,727.0 85,484.0 132,211.0
15 Juli 2010 41,700.0 86,194.0 127,894.0
16 Agustus 2010 55,540.0 72,460.0 128,000.0

Total 879,277.5 1,147,140.0 2,026,417.5


Rata-Rata per Bulan 54,954.8 71,696.3 126,651.1
Sumber: KUD Mina “Sinar Laut” Pelabuhanratu, 2010

73
160,000.0

Volume Penjualan (Lt)


140,000.0
120,000.0
100,000.0
80,000.0
60,000.0
40,000.0
20,000.0
0.0

M
Ju

No

Ja

Ju
ep
ay

ar

ay
l-0

n-

l-1
v-

-1
-0
-

-1
10
09
09

0
0
9

0
Periode Pengisian (Bulan)

Gambar 3.10. Realisasi Penjualan BBM Solar Bersubsidi SPDN KUD Mina “Sinar
Laut” Pelabuhanratu, Periode Mei 2009 sampai dengan Agustus
2010

Tabel 3.34. Realisasi Penjualan BBM Solar Bersubsidi SPBN “PT. MEKAR TUNAS
RAYA SEJATI” Pelabuhanratu, Periode November 2008 sampai
dengan Agustus 2010

No. Periode Volume Penjualan (Lt)

1 November 2008 12,800.0


2 Desember 2008 14,200.0
3 Januari 2009 12,805.8
4 Februari 2009 22,253.8
5 Maret 2009 19,200.0
6 April 2009 0.0
7 Mei 2009 11,200.0
8 Juni 2009 23,908.6
9 Juli 2009 21,558.4
10 Agustus 2009 22,537.2
11 September 2009 22,230.3
12 Oktober 2009 22,351.5
13 November 2009 50,209.2
14 Desember 2009 47,410.0
15 Januari 2010 42,122.6
16 Februari 2010 33,453.9
17 Maret 2010 34,826.0
18 April 2010 34,765.7
19 Mei 2010 37,330.0
20 Juni 2010 54,990.9
21 Juli 2010 64,048.2
22 Agustus 2010 58,977.0
Total 663,179.1
Rata-Rata per Bulan 30,144.5
Sumber: SPBN PT. Mekar Tunas Raya Sejati, Pelabuhanratu, 2008-2010

74
Secara teknis mekanisme pelayanan baik yang dilihat melalui polanya (SPDN,
SPBN dan SPBB) maupun mekanismenya dalam penyaluran atau penjualan BBM solar
bersubsidi di Pelabuhan Perikanan Nusantara Pelabuhanratu telah cukup memadai. Hal
ini seperti terlihat dari besaran realisasi penjualan BBM solar bersubsidi yang masih di
bawah kuota. Dengan kata lain, pihak Pelabuhan Perikanan Nusantara telah mampu
menyalurkannya secara baik. Namun di sisi lain, rendahnya relaisasi tersebut (terumana
pada SPDN dan SPBN) menunjukkan bahwa sesungguhnya masih terdapat sebagian
besar nelayan yang membeli BBM solar yang dibutuhkannnya justru di luar SPDN dan
SPBB yang ditunjuk. Tentunya pernyataannya dapat dibenarkan bila digunakan asumsi
bahwa besaran kuota BBM solar bersubsidi yang di sediakan adalah dihitung
berdasarkan jumlah kebutuhan BBM untuk nelayannya.

70,000.0
Volume Penjualan (Lt)

60,000.0
50,000.0
40,000.0
30,000.0
20,000.0
10,000.0
0.0
Fe

Fe

M
No

Au

No

Au
ay

ay
b-

b-
g-

g-
v-

v-
-0

-1
09

10
08

09
09

10
9

Periode Pengisian (Bulan)

Gambar 3.11. Realisasi Penjualan BBM Solar Bersubsidi SPBN “PT. MEKAR TUNAS RAYA
SEJATI” Pelabuhanratu, Periode November 2008 sampai dengan
Agustus 2010

Tabel 3.35. Realisasi Penjualan BBM Solar Bersubsidi SPBB “PT. PARIDI ASYUDEWI”
Pelabuhanratu, Periode Januari 2010 sampai dengan Agustus 2010

No. Periode Volume Penjualan (Lt)

1 Januari 2010 410,115.0


2 Februari 2010 466,072.0
3 Maret 2010 403,813.0
4 April 2010 0.0
5 Mei 2010 267,870.0
6 Juni 2010 505,751.0
7 Juli 2010 433,102.0
8 Agustus 2010 449,633.0
Total 2,936,356.0
Rata-Rata per Bulan 367,044.5
Sumber : SPBB PT. Paridi Asyudewi, 2010

75
600,000.0

Volume Penjualan (Lt)


500,000.0
400,000.0
300,000.0
200,000.0
100,000.0
0.0

Fe

M
Ja

Ap

Ju

Ju

Au
ar

ay
b-
n-

n-

l-1
r- 1

g-
-1

-1
10

10
10

10
0
0
0

0
Periode Pengisian (Bulan)

Gambar 3.12. Realisasi Penjualan BBM Solar Bersubsidi SPBB “PT. PARIDI ASYUDEWI”
Pelabuhanratu, Periode Januari 2010 sampai dengan Agustus 2010

Peran Subsidi Perikanan


Bahan Bakar Minyak (BBM) merupakan salah satu kebutuhan yang
mendasar bagi masyarakat perikanan khususnya nelayan di Palabuhanratu dalam
melakukan operasional penangkapan ikan. Melihat kondisi di lapangan dari
berbagai jenis kapal maupun mesin yang digunakan nelayan untuk melakukan
operasional penangkapan, jenis BBM yang dibutuhkan di Pelabuhan Perikanan
Nusantara Pelabuhanratu adalah jenis solar dan premium/bensin. Di samping itu
jenis kerosin/minyak tanah digunakan oleh nelayan, namun hanya digunakan
untuk keperluan penerangan saja.
Dalam perkembangannya sampai dengan tahun 2010 pihak Pelabuhan
Perikanan Nusantara baru menyediakan BBM jenis solar saja. BBM jenis solar
tersebut digunakan untuk kapal perikanan yang berukuran > 10 GT, yakni kapal
yang menggunakan mesin diesel untuk jenis kapal dogol, gillnet, longline dan
kapal rumpon. Sedangkan jenis mesin tempel digunakan untuk kapal payang dan
kincang dengan BBM jenis premium/bensin.
Kebutuhan BBM, khususnya bagi nelayan skala usaha mikro dan kecil
merupakan komponen yang sangat penting dalam menjalankan kegiatannya. Hal
ini karena komponen biaya BBM berkisar antara 40-60% dari seluruh biaya

76
operasional penangkapan ikan. Akibatnya, bila terjadi kenaikan harga BBM jenis
solar sebesar 28% maka akan menambah beban biaya produksi penangkapan
ikan sebesar 28% x 40% = 11,2%. Artinya, dengan kenaikan harga BBM solar
tersebut maka nelayan mengalami beban tambahan yang harus dikeluarkan
sebesar 11,2%. Kondisi seperti ini sangat memberatkan nelayan, terlebih lagi
karena selama ini nelayan dalam memenuhi kebutuhan BBM solar dibeli dari
pihak ketiga (tengkulak) yang harganya lebih mahal kurang lebih 30% dari harga
ketentuan pemerintah.
Tabel 3.36. Analisa pendapatan dan biaya usaha penangkapan pada Trip
Tahun 2010
Jenis alat tangkap
Uraian Pancing
Bagan Gillnet Longline 1 Longline 2
Tonda
≥5GT - ≥10GT - ≥30GT - ≥5GT -
Rata-rata ukuran kapal <10GT <30GT 100GT <10GT
Rata-rata lama hari per
trip:
- musim ikan 1 hari 7 hari 15 hari 120 hari 6 hari
- musim biasa 1 hari 7 hari 15 hari 100 hari 6 hari
- musim paceklik 1 hari 7 hari 15 hari 77 hari 7 hari
Rata-rata volume BBM (per
trip):
- Solar 282 liter 1500 liter 9333 liter 393 liter
- Bensin 5 liter 10 liter - - 6 liter
- Minyak tanah 6 liter 8 liter - - 13 liter
Rata-rata biaya operasional
3,324,29 55,791,33 4,432,22
per trip dengan subsidi - 9,397,500
8 4 7
BBM
Rata-rata biaya operasional 1,477,4 4,170,29 13,897,50 83,791,33 5,592,85
per trip tanpa subsidi BBM 50 8 0 4 2
10,825,0 16,000,00 118,500,0 16,483,8
Nilai hasil tangkap 561,466 00 0 00 75
Sumber: Data primer diolah, 2010

Tabel 3.36, di atas menunjukkan bahwa subsidi BBM, khususnya solar,


memang sangat dibutuhkan oleh masyarakat perikanan. Berdasarkan hasil
olahan data di atas, usaha penangkapan dengan menggunakan bagan mengalami
kerugian yang cukup besar karena biaya operasional yang harus dikeluarkan
lebih besar daripada penerimaan yang diperolehnya. Biaya untuk bahan bakar

77
yang berupa bensin dan minyak tanah menyumbang hampir 40 persen dari total
biaya operasional. Kedua jenis bahan bakar tersebut tidak termasuk bahan bakar
yang disubsidi sehingga beban biaya tersebut sepenuhnya harus ditanggung
sendiri oleh nelayan kecil.
Di sisi lain, kondisi yang jauh berbeda ditunjukkan oleh kapal-kapal dengan
alat tangkap lainnya yang mampu memperoleh keuntungan cukup besar bagi
nelayan. Seperti halnya kapal gillnet, komponen biaya bahan bakar kapal rata-
rata sebesar 60 persen dari total biaya operasional yang dikeluarkan.
Perbedaannya adalah beban biaya bahan bakar tidak sepenuhnya ditanggung
nelayan, tetapi ada intervensi pemerintah dengan memberikan subsidi bahan
bakar solar yang mereka gunakan. Dengan asumsi harga solar nonsubsidi adalah
Rp7.500 maka biaya operasional per trip yang harus dikeluarkan adalah
Rp4.170.298 yang mengakibatkan berkurangnya keuntungan nelayan rata-rata
sebesar 11 persen jika dibandingkan dengan keuntungan dengan BBM
bersubsidi. Jika nelayan menggunakan BBM bersubsidi maka porsi solar terhadap
biaya operasional adalah 38 persen, sedangkan jika tanpa subsidi porsinya
semakin besar yang mencapai 51 persen per trip penangkapan.
Pemberian subsidi BBM sangat dirasakan dampaknya bagi nelayan dengan
alat tangkap longline, terutama bagi kapal longline ukuran ≥10GT - <30GT.
Berdasarkan olahan data pada Tabel 12, besarnya biaya operasional per trip
tanpa subsidi BBM adalah Rp13.897.500 atau 48 persen lebih besar
dibandingkan biaya operasional per trip dengan subsidi BBM. Dengan demikian,
bagian biaya solar terhadap biaya operasional menjadi 81 persen dibandingkan
apabila kegiatan usaha penangkapan dibantu dengan subsidi BBM yang hanya
mengambil bagian 72 persen per trip. Kenaikan biaya operasional ini berdampak
pada turunnya keuntungan yang diperoleh nelayan rata-rata sebesar 68 persen.
Begitupula halnya dengan kapal longline ukuran ≥ 30 GT – 100 GT yang harus
mengeluarkan biaya operasional per trip lebih besar 60 persen apabila
menggunakan solar tanpa subsidi sehingga porsi biaya solar terhadap biaya

78
operasional naik dari 75 persen menjadi 86 persen. Dampak selanjutnya adalah
menurunnya keuntungan yang diperoleh nelayan sebesar 45 persen.
Subsidi BBM juga sangat dirasakan dampaknya bagi nelayan dengan alat
tangkap pancing tonda. Dengan asumsi harga solar nonsubsidi adalah Rp7.500
per liter maka biaya operasional per trip dengan bahan bakar bersubsidi adalah
Rp4,432,227, sedangkan tanpa subsidi BBM sebesar Rp5,592,852 atau meningkat
26 persen. Akibatnya, besarnya keuntungan nelayan rata-rata menjadi menurun
sebanyak 10 persen. Perbandingan antara adanya subsidi BBM dan tanpa subsidi
BBM pada usaha penangkapan ditunjukkan oleh porsi yang meningkat dari biaya
solar terhadap total biaya operasional yang dikeluarkan. Porsi biaya solar
mencapai 40 persen jika nelayan mendapat solar bersubsidi, sedangkan tanpa
subsidi BBM porsi biaya solar meningkat menjadi 53 persen terhadap total biaya
operasional per trip.
Berdasarkan hasil analisis tersebut, intervensi pemerintah melalui
pemberian subsidi BBM masih sangat diperlukan oleh nelayan dalam negeri
untuk menjamin keberlanjutan usaha penangkapannya. Pihak Pelabuhan
Perikanan Nusantara Palabuhanratu sangat berperan dalam memberikan
pelayanan BBM solar dengan harga subsidi, baik secara langsung (pemberian
pelayanan oleh petugas pelabuhan perikanan dengan menggunakan fasilitas
milik Pelabuhan Perikanan) maupun tidak langsung (pemberian pelayanan pihak
pelabuhan perikanan melalui bekerja sama dengan pihak swasta).

3.4. Kabupaten Pesawaran (Lampung)

Gambaran Umum Lokasi


Kabupaten Pesawaran, Lampung merupakan pengembangan dari
Kabupaten Lampung Selatan dan dan secara resmi dibentuk berdasar UU No: 33
tahun 2007 tentang Pembentukan Kabupaten Pesawaran. Kabupaten ini berada
di bagian pesisir selatan wilayah Propinsi Lampung, dengan luas wilayah 117.377
hektar dan sebagian wilayahnya menghadap ke Teluk Lampung.

79
Saat ini wilayah kab. Pesawaran terdiri atas 7 (tujuh) wilayah kecamatan
dan 133 desa dengan ibukota di Gedong Tataan. Wilayah laut dan pesisir
Kabupaten Pesawaran meliputi sebagian dari Teluk Lampung dan 37 pulau kecil
yang tersebar di Teluk Lampung dengan potensi meliputi budidaya kerang
mutiara, budidaya rumput laut, budidaya ikan kerapu, budidaya ikan barong, dan
budidaya teripang dengan total potensi lahan seluar 3.685,5 ha, sedangkan
potensi lahan tambak 750 ha yang sebagian besar ada di Kecamatan Padang
Cermin dan Kecamatan Punduh Pidada.
Hasil (nilai) produksi perikanan di Kabupaten Pesawaran, berdasarkan data
produksi 2009 didominasi oleh perikanan budidaya yang jika dilihat secara
proporsinal terlihat pada Tabel 3.37.
Tabel 3.37. Nilai produksi perikanan di Kab. Pesawaran Tahun 2008-2009
No Jenis usaha Nilai produksi (Rp. Juta) Perkembangan
2008 2009 Rp. juta %
1. Tangkap laut 74.278,4 93.667,2 19.388,8 26
2. Tangkap perairan umum 105,0 121,6 16,6 16
3. Budidaya tambak 437.692,2 508.833,6 71.141,4 16
4. Budidaya air tawar 12.996,0 17.880,0 4.884,0 38
5. Daging tiram mutiara 100,0 110,0 10,0 10
6. Rumput laut 2.520,0 2.939,5 419,5 17
7. Budiaya Kerapu (KJA) 96.820,0 144.570,0 47.750,0 49
8. Benih ikan 603,2 1.045,8 442,6 73
JUMLAH 624.511,6 768.121,8 143.610,2 23
Sumber: Laporan Tahunan 2009 Dinas Kelautan dan Perikanan Kab. Pesawaran
Dalam hal perkembangan luas lahan budidaya dan jumlah rumah tangga
pembudidaya ikan di Kab. Pesawaran, dalam tahun 2008-2009 terjadi
perkembangan yang cukup signifikan khusus pada budidaya (KJA) Ikan Kerapu
yang didominasi oleh Kerapu Bebek dapat dilihat pada Tabel 3.39.

80
Tabel 3.38. Perkembangan luas areal budidaya laut di Kab. Pesawaran, Tahun
2008-2009

No Jenis Usaha Tahun (ha) Kenaikan


2008 2009 Ha %
1. Kolam 352,5 369,5 17 5
2. Minapadi 10 12 2 20
3. Tambak 359 391 32 9
4. KJA Air tawar 2 2,5 0,5 25
5. Rumput laut 60 75 15 25
6. KJA Kerapu 3,8 4,8 1 26
7. Tiram Mutiara 2,5 2,5 - -
JUMLAH 3.164,5 3.240,0 75,5 2,4
Sumber: Laporan Tahunan 2009 Dinas Kelautan dan Perikanan Kab. Pesawaran

Tabel 3.39 Jumlah Rumah Tangga (RTP) pembudidaya ikan di Kab. Pesawaran,
2008-2009

No Jenis Usaha Tahun (Orang) Kenaikan

2008 2009 Orang %

1. Kolam 1.166 1.282 116 10

2. Minapadi 14 18 4 28

3. Tambak 39 45 6 15

4. KJA Air tawar 14 14 0 0

5. Rumput laut 73 94 21 38

6. KJA Kerapu 370 510 140 29

7. Tiram Mutiara 210 225 15 7

JUMLAH 1.886 2.118 302 16

Sumber: Laporan Tahunan 2009 Dinas Kelautan dan Perikanan Kab. Pesawaran

Bentuk-Bentuk Subsidi Perikanan


Selama periode tahun 2009 telah dilakukan pemberian subsidi kepada
pelaku usaha sector kelautan dan perikanan di Kabupaten Pesawaran, Lampung.
Adapun jenis dan dasar kebijakan pemberian subsidi tersebut seperti tertera
pada Tabel 3.40. Dari Tabel 3.40 diketahui bahwa jenis subsidi yang pernah

81
diberikan oleh pemerintah di Kabupaten Pesawaran Lampung adalah meliputi:
Subsidi yang bersifat langsung dan subsidi yang bersifat tidak langsung.

Subsidi langsung dalam hal ini dimaksud sebagai bantuan yang diterima
oleh para pelaku usaha sektor kelautan dan perikanan dari pemerintah
(Kementerian Kelautan dan Perikanan atau Dinas Kelautan dan Perikanan
setempat) dalam bentuk barang ataupun finansial. Sedangkan subsidi tidak
langsung diberikan dalam bentuk program atau bantuan lainnya yang sifatnya
bukan barang ataupun financial.

Tabel 3.40. Jenis dan Dasar Kebijakan Subsidi Sektor Kelautan dan Perikanan di
Kabupaten Pesawaran Lampung

No. Jenis Subsidi Dasar Kebijakan


1. Langsung:

1.a PNPM Mandiri-KP Ketidakberdayaan ekonomi masyarakat dalam


mengembangkan kegiatan usaha di sektor kelautan
dan perikanan.

1.b Pembangunan Rumah


Antisipasi menghadapi dampak bencana alam pada
Nelayan Ramah
tempat tinggal masyarakat nelayan.
Bencana

1.c Bantuan selisih harga - Lemahnya modal para pembudidaya ikan air
benih dan induk ikan tawar terutama untuk membeli benih dan induk
Gurame dan ikan Nila ikan gurame dan ikan nila
- Peningkatan pengembangan usaha budidaya ikan
air tawar (gurame dan nila) sementara
kemampuan modal para pembudidaya yang
relative terbatas.
2. Tidak Langsung:

2.a Pelatihan Rendahnya tingkat keterampilan (skill) masyarakat


pesisir terkait dengan pengembangan kegiatan
usaha di sektor kelautan dan perikanan.

Sumber: Laporan Tahunan 2009 Dinas Kelautan dan Perikanan Kab. Pesawaran

82
Jenis subsidi langsung diberikan oleh pemerintah dalam tiga bentuk yaitu:
(1) PNPM Mandiri_KP; (2) Pembangunan rumah nelayan ramah bencana; dan (3)
Bantuan selisih harga benih dan induk ikan Gurame dan ikan Nila. Sedangkan
jenis subsidi tidak langsung berupa pelatihan bagi para pembudidaya ikan air
tawar. Penjelasan dari masing-masing bentuk subsidi tersebut dijelaskan pada
uraian selanjutnya.

Kebijakan yang mendasari pemberian subsidi dengan jenis langsung dan


tidak langsung tersebut, dalam hal ini lebih didasari oleh latar belakang kondisi
usaha sector kelautan dan perikanan dan kondisi pelakunya yang memang
membutuhkannya terutama untuk alasan pemberdayaan masyarakat di sektor
kelautan dan perikanan dan pengembangan atau keberlanjutan usaha sector
kelautan dan perikanan tersebut ke depan.

Bentuk-bentuk subsidi sektor kelautan dan perikanan yang pernah


diberikan pemerintah, baik subsidi secara langsung maupun tidak langsung di
Kabupaten Pesawaran pada tahun 2009, meliputi:

(1) PNPM Mandiri-Kelautan dan Perikanan


Sasaran program ini adalah masyarakat bidang kelautan dan perikanan
yang bertempat tinggal di wikayah pesisir atau diluar pesisir yang memiliki
kegiatan di bidang kelautan dan perikanan.
Tabel 3.41. Alokasi dana PNPM Mandiri-KP di Kabupaten Pesawaran tahun 2009
Lokasi Jumlah Jumlah Jenis Jumlah Nilai
Kelompok Anggota usaha paket (Rp.000)

Kec. Padang 10 92 Jaring payang 10 249.975


Cermin, Desa padang, tangkap
Sukajaya bubu, budidata
Lempasing rumput laut,
jaring kelitik,
tangkap jaring,
pancing cumi,
pancing bandrong,
dan perbaikan
jalan
Kec. Padang 8 77 KJA Kerapu, 9 259.999
Cermin, Desa nelayan pancing,

83
Lokasi Jumlah Jumlah Jenis Jumlah Nilai
Kelompok Anggota usaha paket (Rp.000)
Durian pengeringan ikan
asin, dan
rehabilitasi jalan
setapak.
2 desa 18 169 19 509.974
Sumber: Laporan Tahunan 2009 Dinas Kelautan dan Perikanan Kab. Pesabwaran

(2) Pembangunan Rumah Nelayan Ramah Bencana


Sasarannya: pemenuhan kebutuhan masyarakat nelayan terhadap rumah
tahan bencana, menggunakan dana APBD Kab. Pesawaran. Pembangunan
rumah di lakukan di dua kecamatan yaitu: Kecamatan Punduh Pidada (30 unit) di
Desa pulau Legundi, Desa Pulau Pahawang, Desa Kampung Baru, dan Desa
Sukarame. Kec. Padang Cermin (20 unit) di Desa Sukajaya Lempasing, Desa
Sidodadi, dan Desa Durian.

(3) Pelatihan
Melalui dana APBD Provinsi Lampung, dilakukan pelatihan yang pesertanya
adalagh masyarakat pesisir dan aparat terkait. Topik materi pelatihan
diantaranya: Pelatihan manajer pengendali mutu perikanan; Pelatihan pembenih
dan pembudidaya ikan air tawar; Magang pembudidaya rumput laut ke NTB;
Magang tambak resirkulasi; Pelatihan cara budidaya ikan yang baik (CBIB);
Pelatihan manajer usaha dan percontohan pembenihan tiram mutiara; Pelatihan
pembenihan ikan laut; Pelatihan budidaya laut dalam rangka pemberdayaan
usaha skala kecil; Pelatihan pembuatan alat tangkap nelayan.

(4) Subsidi selisih harga


Subsidi selisih harga dimaksudkan sebagai bantuan pemerintah (Dinas
Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pasewaran Lampung) untuk membayar
selisih harga antara harga pasar dengan harga keekonomiannya. Subsidi selisih
harga berupa bantuan selisih harga benih dan induk ikan Gurame dan ikan Nila.

84
Peran Subsidi Perikanan

Uraian mengenai peran subsidi terhadap keberlanjutan usaha dan


kelestarian lingkungan, dalam bagian ini dilakukan dengan mengambil kasus
budidaya pembesaran ikan kerapu dalam keramba jaring apung (KJA) di
Kabupaten Pesawaran, Propinsi Lampung.

Secara eksisting, usaha budidaya pembesaran ikan kerapu di lokasi kasus


tersebut hingga saat ini tidak atau belum mendapatkan subsidi (langsung
ataupun tidak langsung) dari pemerintah, dalam hal ini dari Kementerian
Kelautan Perikanan atau Dinas Kelautan dan Perikanan setempat. Oleh karena
itu, pembahasan mengenai peran subsidi terhadap keberlanjutan usaha dan
kelestarian lingkungannya tidak dilakukan dengan pendekatan perbandingan
antara sebelum dan sesudah (after and before comparative) diberi subsidi, tetapi
berdasarkan kemungkinan (potensial) dampaknya bila subsidi tersebut diberikan.
Dengan demikian, meskipun baru bersifat normatif namun kita masih dapat
memperkirakan peran subsidi terhadap keberlanjutan usaha budidaya
pmbesaran ikan kerapu dal KJA tersebut, dan kemungkinan dampaknya terhadap
kelestarian lingkungan.

Untuk itu, dalam bagian ini akan dijelaskan: (1) Analisis biaya dan
penerimaan usaha budidaya pembesaran ikan kerapu dalam KJA di Kabupaten
Pesawaran, Lampung; dan (2) Kemungkinan peran atau dampak potensial yang
dapat dilakukan atau terjadi bila subsidi diberikan terhadap keberlanjutan usaha
dan kelestarian lingkungannya.

Untuk rata-rata usaha budidaya pembesaran ikap kerapu bebek dalam


keramba jarring apung (KJA) di Kabupaten Pesawaran, Lampung dengan luasan
sebanyak 13 kolam yang masing-masing berukuran 3x3 m2 dengan kedalaman 5
m, dan dengan siklus usaha selama 13 bulan, diperlukan rata-rata biaya total
sebanyak Rp.230.634.511,- dan menghasilkan rata-rata penerimaan sebesar Rp.
314.210.000,-. Secara rinci gambara mengenai biaya dan penerimaan usaha
tersebut seperti tertera pada Tabel 3.42.

85
Tabel 3.42. Rata-rata Biaya dan Penerimaan Usaha Budidaya Pembesaran Ikan Kerapu
Bebek dalam keramba Jaring Apung di Kabupaten Pesawaran, Propinsi Lampung (KJA
sebanyak 13 Kolam dan Siklus Usaha selama 13 Bulan)

Harga Proporsi
Uraian Volume Satuan Nilai (Rp.)
(Rp.) (%)
1. Biaya Total: 230,634,511 100.00
1.1 Biaya Tetap: 71,264,511 30.90
- Investasi: 85,404,100
a. Tempat Pemeliharaan 1 unit 4,587,500 5,382,500
b. Perahu 1 unit 4,292,500 5,125,000
c. Jaring 30 unit 1,005,000 23,705,000
d. Tali 137 kg 358,400 16,921,500
e. Bambu 147 buah 10,100 1,468,000
f. Pelampung 169 unit 172,500 29,453,750
g. Pompa Air 1 unit 281,200 326,100
h. Lampu Penerangan 2 unit 2,010,000 2,085,000
i. Gudang 1 unit 442,500 487,500
j. Timbangan 1 unit 441,000 449,750

- Biaya Penyusutan: 71,264,511


a. Tempat Pemeliharaan 1,126,996 0.49
b. Perahu 1,702,655 0.74
c. Jaring 59,679,000 25.88
d. Tali 2,357,257 1.02
e. Bambu 256,344 0.11
f. Pelampung 4,324,101 1.87
g. Pompa Air 975,556 0.42
h. Lampu Penerangan 166,466 0.07
i. Gudang 77,276 0.03
j. Timbangan 320,604 0.14

1.2 Biaya Tidak Tetap: 159,370,000 69.10


a. Bensin 1421 lt 3,555 7,656,500 3.32
b. Solar 580 lt 1,575 3,061,500 1.33
c. Benih ikan 3280 ekor 15,120 48,592,500 21.07
d. Pakan Rucah 10036 kg 6,475 65,895,750 28.57
e. Pakan Pelet 2420 kg 10,905 17,634,750 7.65
f. Tenaga Kerja 4 orang 582,500 2,430,000 1.05
g. Gas Elpiji 83 tabung 16,200 1,376,050 0.60
h. Air Bersih 1308 galon 5,300 6,811,700 2.95
i. Ransum bulanan 4 paket 365,000 1,555,000 0.67
j. Retribusi Kebersihan 14 kolam 46,500 621,250 0.27
k. Pajak Kolam Keramba 28 kolam 135,000 3,735,000 1.62

2. Penerimaan: Produksi kerapu 698 kg 449,150 314,210,000


3. Rasio Penerimaan terhadap Biaya 1.50
Sumber: Data Primer diolah (2010)

86
Dari Tabel 3.42 diketahui bahwa berdasarkan strukturnya, proporsi biaya
usaha budidaya pembesaran ikan kerapu didominasi oleh dua jenis biaya
pengeluaran, yaitu: (1) Untuk benih ikan kerapu yang menyerap sebanyak Rp.
48.592.500,- atau 21,07% dari biaya totalnya; dan (2) Untuk pakan ikan yang
menyerap sebanyak Rp. 69.900.000,- atau 36,22% dari biaya totalnya. Biaya
pakan tersebut terdiri dari biaya unuk pakan ikan rucah (pakan alami) sebanyak
Rp. 65.895.750,- atau 28,57% dan untuk pakan pelet sebanyak Rp. 17.634.750,-
atau 7,65%. Sementara, rata-rata penerimaan yang dihasilkan baru bersumber
dari budidaya pembesaran ikan kerapu bebek saja (monoculture), yaitu sebanyak
698 kg dengan nilai sebanyak Rp.314.210.000,-. Secara sederhana, berdasarkan
besaran penerimaan dan biaya totalnya, maka dapat diketahui bahwa usaha
budidaya pembesaran ikan kerapu dalam keramba jaring apung (KJA) di
Kabupaten Pesawaran telah mencapai kondisi efisiensi dengan rasio penermaan
terhadap biayanya sebesar 1,50.

Melihat kondisi struktur biaya usaha budidaya pembesara ikan kerapu


dalam KJA di Kabupetan Pesawaran, Lampung (Tabel 3.42), secara potensial
subsidi dapat diberikan pada komponen biaya/pengeluaran yang memiliki
proporsi yang tergolong dominan, yaitu: benih ikan kerapu atau pakan ikan.

Terdapat banyak pertimbangan dalam pemberian subsidi (langsung) pada


kegiatan usaha budidaya pembesaran ikan karapu tersebut, seperti komponen
benih atau pun pakan) dalam pengembangan usaha tersebut, diantaranya adalah
pertimbangan: (1) Sejauhmanakah urgensi memberikan subsidi kedua komponen
tersebut dalam mendorong keberlanjutan usaha; dan (2) Apakah pemberian
subsidi tersebut secara potensial berdampak terhadap kelestarian lingkungan,
terutama dalam jangka panjang.

Bila diasumsikan bahwa pemerintah berada dalam kondisi memiliki


anggaran yang relatif terbatas, sehingga pemerintah dalam hal ini harus
menentukan prioritas apakah akan memberikan subsidi pada komponen tertentu
atau komponen tertentu lainnya. Untuk itu sebaiknya pemerintah

87
memutuskannya setelah melakukan pengkajian berdasarkan kedua
pertimbangan di atas (keberlanjutan usaha dan kelestarian lingkungan),

Dari dasar pertimbangan pertama (aspek keberlanjutan usaha) tampaknya


baik subsidi benih ikan maupun subsidi pakan keduanya sama-sama berpotensi
memiliki peran penting dalam keberlanjutan usaha budidaya pembesaran ikan
kerapu di Kabupaten Pesawaran Lampung. Hal ini terlihat dari besarnya proporsi
biaya kedua komponen tersebut (benih ikan dan pakan ikan) terhadap biaya total
dari kegiatan usaha tersebut. Komponen benih ikan kerapu memiliki proporsi
biaya sebesar 21,07%, sedangkan komponen pakan ikan khususnya pakan ikan
rucah memiliki proporsi biaya sebesar 28,57%. Namun bila dilihat dari sisi
prioritas dan fakta di lapang dimana permasalahan benih yang berkualitas
semakin mendesak untuk dicarikan solusinya, karena menurut persepsi pelaku
usaha tersebut di lapangan bahwa mutu benih ikan kerapu dewasa ini semakin
menurun. Dari awalnya untuk menghasilkan ukuran 500 gram per ekor
diperlukan periode pemeliharaan kurang dari 12 bulan, saat ini sudah bervariasi
mulai dari 13 – 16 bulan.

Sementara dari dasar pertimbangan kedua (aspek kelestarian lingkungan),


untuk kondisi saat ini ataupun ke depan memberikan subsidi pakan ikan rucah
tampaknya kurang tepat, karena peningkatan pakan tersebut berpotensi
meningkatkan cemaran (polusi) terhadap lingkungan perairan budidaya ikan
kerapu di Kabupaten Pesawaran Lampung. Meskipun dalam kenyataannya
pakan ikan rucah ini memiliki peran sangat penting besar di samping benih ikan
dalam kegiatan produksi ikan kerapu di lokasi tersebut.

Bila pemerintah memang pada akhirnya memutuskan untuk memberikan


subsidi benih ikan, banyak aspek positif yang berkaitan dengan keberlanjutan
usaha meskipun akan diikuti secara proposional dengan meningkatnya jumnlah
pakan ikan rucah yang digunakan. Diantara aspek positif tersebut adalah
dorongan kepada peningkatan penggunaan benih ikan kerapu yang bermutu baik
dibanding yang digunakan oleh pembudidayaan saat ini. Dengan adanya

88
pemerintah memberikan subsidi benih yang berkualitas baik, berarti
produktivitas usaha budidaya pembesaran dalam KJA di Kabupaten Pesawaran
dapat lebih ditingkatkan lagi. Sementara di sisi lain, pemberian subsidi berupa
pakan ikan, secara teknis lebih rumit karena dominasi pakan ikan rucah yang
notabene diperoleh dari dari hasil tangkapan nelayan dengan menggunakan alat
tangkap yang dalam waktu dekat akan dilarang pemerintah yaitu alat tangkap
jaring cantrang (jaring gardan). Dengan kata lain, bila pemberian subsidi pakan
ikan yang menjadi pilihan, pemerintah menghadapi situasi yang lebih sulit dan
kurang dapat memasukkan unsur pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, dibandingkan bila benih ikan yang menjadi pilihan tersebut.

Untuk lebih meyakinkan kita, bahwa pemberian subsidi benih ikan ke


depan akan efektif dalam meningkatkan keberlanjutan usaha yang diihat
menggunakan indicator rasio penerimaan terhadap biaya (efisiensi) usaha
budidaya pembesaran ikan kerapu dalam keramba jaring apung (KJA) di
Kabupaten Pesawaran, Lampung, dapat dilihat hasil simulasi pada kondisi tanpa
dan dengan subsidi, secara sederhana pada Tabel 3.43 dan Tabel 3.44.

Tabel 3.43. Simulasi Perubahan Rasio Penerimaan terhadap Biaya (R/C) Usaha
Budidaya Pembesaran Ikan Kerapu dalam KJA di Kabupaten Pesawaran pada
Berbagai Perubahan Tingkat Subsidi Benih Ikan (Tanpa dan Dengan Subsidi
Benih)

R/C Tanpa R/C Dengan Subsidi


Subsidi Benih (%) Perubahan R/C (%)
Subsidi Benih

5 1,50 1.52 1,10

10 1,50 1.54 2,38

15 1,50 1.56 3,69

20 1.50 1.58 5,05

25 1.50 1.60 6,45

Sumber: Data Primer diolah dari data primer (2010)


Keterangan: R/C = Rasio Penerimaan terhadap Biaya Total

89
Dari Tabel 3.43 diketahui bahwa pemberian subsidi benih ikan dapat
meningkatkan rasio penerimaan terhadap biaya total (efisiensi) usaha budidaya
tersebut. Sebagai gambaran untuk pemberian subsidi benih ikan sebsar 15%
akan meningkatkan rasio penerimaan terhadap biaya (R/C) usaha budidaya
tersebut meningkat dari semula (tanpa subsidi benih) sebesar 1,50 menadi
sebesar 1,56, atau R/C usaha meningkat sebesar 3,69% (lihat Tabel 3.43 dan
Tabel 3.44).

Tabel 3.44. Rata-rata Biaya dan Penerimaan Usaha Budidaya Pembesaran Ikan
Kerapu Bebek dalam KJA pada Kondisi Tanpa dan Dengan Subsidi Benih 15%

Dengan Subsidi Benih Ikan


Tanpa Subsidi 15%
Uraian
Proporsi Proporsi
Nilai (Rp.) Biaya (%) Nilai (Rp.) Biaya (%)
1. Biaya Total: 230,634,511 100.00 223,345,636 100
1.1 Biaya Tetap: 71,264,511 30.90 71,264,511
- Investasi: 85,404,100 85,404,100
a. Tempat Pemeliharaan 5,382,500 5,382,500
b. Perahu 5,125,000 5,125,000
c. Jaring 23,705,000 23,705,000
d. Tali 16,921,500 16,921,500
e. Bambu 1,468,000 1,468,000
f. Pelampung 29,453,750 29,453,750
g. Pompa Air 326,100 326,100
h. Lampu Penerangan 2,085,000 2,085,000
i. Gudang 487,500 487,500
j. Timbangan 449,750 449,750
- Biaya Penyusutan: 71,264,511 71,264,511
a. Tempat Pemeliharaan 1,126,996 0.49 1,126,996 0.35
b. Perahu 1,702,655 0.74 1,702,655 0.02
c. Jaring 59,679,000 25.88 59,679,000 0.01
d. Tali 2,357,257 1.02 2,357,257 0.11
e. Bambu 256,344 0.11 256,344 1.02
f. Pelampung 4,324,101 1.87 4,324,101 0.43
g. Pompa Air 975,556 0.42 975,556 0.31
h. Lampu Penerangan 166,466 0.07 166,466 0.53
i. Gudang 77,276 0.03 77,276 12.9
j. Timbangan 320,604 0.14 320,604 0
1.2 Biaya Tidak Tetap: 159,370,000 69.10 152,081,125 87.1
a. Bensin 7,656,500 3.32 7,656,500 4.14
b. Solar 3,061,500 1.33 3,061,500 3.79
c. Benih ikan 48,592,500 21.07 41,303,625 23.82

90
Dengan Subsidi Benih Ikan
Tanpa Subsidi 15%
Uraian
Proporsi Proporsi
Nilai (Rp.) Biaya (%) Nilai (Rp.) Biaya (%)
d. Pakan Rucah 65,895,750 28.57 65,895,750 28.68
e. Pakan Pelet 17,634,750 7.65 17,634,750 15.66
f Tenaga Kerja 2,430,000 1.05 2,430,000 1.02
f. Gas Elpiji 1,376,050 0.60 1,376,050 0.53
g. Air Bersih 6,811,700 2.95 6,811,700 6.64
h, Ransum bulanan 1,555,000 0.67 1,555,000 1.12
i. Retribusi Kebersihan 621,250 0.27 621,250 0.42
j. Pajak Kolam Keramba 3,735,000 1.62 3,735,000 1.26
2. Penerimaan: Produksi ikan kerapu 314,210,000 314,210,000
3. Rasio Penerimaan terhadap Biaya 1.50 1,56
Sumber: Data Primer diolah (2010)

Selanjutnya, kita akan bahas bagaimana kemungkinan peran (dampak)


subsidi benih ikan pada budidaya pembesaran ikan kerapu tersebut terhadap
kelestarian lingkungan perairan budidaya. Secara normative dapat disampaikan
bahwa apabila diberikan subsidi benih ikan pada kegiatan usaha budaya
tersebut, maka diperkirakan akan terjadi beberapa hal yang berkaitan dengan
perubahan lingkungan perairan di lokasi budidaya dan sekitarnya, terutama
dalam jangka panjang.

Beberapa hal tersebut diantaranya adalah: bila diasumsikan dengan


pemberian subsidi benih ikan tersebut, sehingga berkembang dan menyebabkan
daya dukung perairan yang menurun, maka hal ini berarti pada lingkungan
perairan budidaya tersebut terdapat potensi polusi (cemaran). Polusi (cemaran)
tersebut ditimbulkan dari limbah pakan ikan rucah maupun pakan pelet ikan
yang akan meningkat secara proporsional seiring dengan meningkatnya
penggunaan benih ikan dalam kegiatan produksi tersebut. Kemungkinan peran
(dampak) negative terhadap lingkungan perairan budidaya tersebut bisa saja
terjadi, namun dalam realitasnya justru hal tersebut dapat tidak terjadi
sepanjang dilakukan upaya-upaya pengelolaan lingkungan perairan budidaya
pembesaran ikan kerapu dalam KJA di Kabupaten Pesawaran, Lampung secara
baik dan konsisten. Sebaliknya, bila upaya-upaya pengelolaan tersebut tidak

91
dilakukan secara baik dan konsisten, justru dampak negative tersbut berpotensi
besar dapat terjadi.

Sebagai upaya antisipatif terhadap kemungkinan terjadi dampak negative


tersebut, maka pemberian subsidi benih ikan sebaiknya dapat diikuti dengan
pemberlakuan regulasi yang bertujuan untuk mengendalikan tekanan cemaran
terhadap lingkungan perairan budidaya tersebut.

3.5. Kabupaten Kolaka, Kendari

Gambaran umum lokasi penelitian

Kabupaten Kolaka berada di jazirah Tenggara pulau Sulawesi dan secara


geografis terletak pada bagian Barat Propinsi Sulawesi Tenggara. Wilayahnya
terdiri atas daratan seluas 6.918,38 Km2 dan wilayah perairan (laut) sekitar
15.000 Km2. Sebelum tahun 2001, Kab. Kolaka terbagi ke dalam 20 kecamatan,
namun dalam kurun waktu 2001 sampai 2007 terjadi tiga kali pemekaran wilayah
kecamatan sehingga saat ini Kab. Kolaka terbagi ke dalam 32 wilayah kecamatan.

Berdasarkan data statistik, dalam tiga tahun terakhir 30% - 39% PDRB
Kab. Kolaka disumbang oleh sektor pertanian (termasuk perikanan). Secara
proporsional, produksi perikanan Kab. Kolaka berasal dari perikanan laut
(perikanan tangkap dan budidaya).

Kabupaten Kolaka dijadikan lokasi penelitian mewakili perikanan


budidaya (laut) mengingat perikanan laut mendominasi produksi perikanan
dibandingkan perikanan daratan. Hasil budidaya perikanan laut Kab. Kolaka
terdiri atas Rumput laut, Teripang, Bandeng, Ikan Kerapu dan Mutiara.
Berdasarkan tabel 4.1. dapat dilihat, kontribusi nilai hasil produksi rumput laut
tahun 2008 dan 2009 di atas 50%, sedangkan budidaya tambak ikan Bandeng di
atas 40% dari total produksi perikanan budidaya di Kabupaten Kolaka.

92
Berkaitan dengan hal di atas, dalam kajian ini difokuskan kepada
komoditas unggulan, yaitu budidaya rumput laut dan budidaya tambak ikan
Bandeng karena bantuan pemerintah banyak ditujukan kepada kedua jenis usaha
ini. Survey dilakukan terhadap pembudidaya tambak dan rumput laut di Desa
Towua, Kecamatan Wunduloko, dan di Desa Muara Lapao-pao Kecamatan Wolo,
Kabupaten Kolaka.

Tabel 3.45. Perkembangan Luas areal dan Produksi Budidaya Laut


di Kab. Kolaka Tahun 2007-2009
Luas areal (ha) Produksi (Ton) Nilai Produksi (Rp.Juta)
Komoditi
2007 2008 2009 2007 2008 2009 2007 2008 2009

Tambak 4.643 4.643 4.643 6.697 7.031 7.231 109.343 119.437 122.566

Teripang 110 110 112 - 9 9 389 396 405

Kerapu 5 5 5 3 3 3 131 138 165

Rumput laut 584 1.903 1.919 13.784 15.817 15.223 50.163 151.353 137.007

Mutiara 500 500 40 - - - - - -

Jumlah 7.849 9.169 8.728 22.491 24.868 24.475 162.033 273.332 262.152
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kab. Kolaka, 2009
Kontribusi/porsi:

Tambak (%) 9,15 0,64 3,2 9,776 8,273 9,544 67,4819 43,6967 46,75379

Rumput laut (%) ,44 0,75 1,99 1,287 3,604 2,198 30,9585 55,3733 52,26243

Budidaya Bandeng

Pembudidaya ikan Bandeng di Kecamatan Wolo dan Wundulako


mengelola lahan milik sendiri, menggunakan modal sendiri dengan rata rata
luasan kepemilikan lahan 1,7 ha. Tingkat pendidikan rata rata tamat SD dan SLTP
dan masih dalam usia produktif (20 – 49 tahun) dengan rata rata usia 34 tahun.
Pembudidaya ikan Bandeng di Budidaya Bandeng di Kab. Kolaka dilakukan di
tambak tambak yang ada di pesisir pantai yang ada di lingkungan sekitar hunian
warga. Jenis budidaya adalah pembibitan dan pembesaran dengan masa

93
pemeliharaan 6 bulan.. Bibit alam yang dibeli seharga Rp50 per ekor disimpan
dalam tempat yang disebut gelondongan. Gelondongan tersebut diletakkan di
dasar tambak yang mampu menampung bibit sebanyak 15 ribu ekor yang
biasanya diisi 2 kali dalam setahun. Dalam waktu 2 bulan, bibit sudah bisa
dipindahkan ke tambak untuk tahap pembesaran. Waktu 2 bulan ini
dimanfaatkan untuk mengeringkan tambak sebelum tahap
penebaran/penanaman bibit dimulai. Proses pengeringan tambak biasanya
memerlukan waktu satu bulan dan sisa waktu satu bulan digunakan untuk
pemberian pupuk kimia (Urea dan TSP), dan racun yang berfungsi sebagai
pembasmi ikan liar. Kemudian tambak diisi air secara bertahap. Tidak ada acuan
baku yang diikuti dalam pemberian pupuk. Pemberian pupuk lebih didasarkan
kepada kemampuan masing masing pembudidaya. Tujuan pemberian pupuk dan
pengisian air secara bertahap agar tumbuh lumut dan jasad renik yang nantinya
berfungsi sebagai pakan alami ikan Bandeng. Selanjutnya, bibit ditebar yang
biasanya berjumlah 2.000—3.000 ekor per petak tambak. Selama pembesaran,
hampir tidak ada pembudidaya yang memberi pakan tambahan dalam bentuk
apapun. Kalaupun diberi pakan pelet, itupun sekedarnya saja. Setelah lama
pemeliharaan 4 bulan, mulai dilakukan panen. Sistem panen dilakukan bertahap.
Caranya, pembeli (yang disebut pembonceng) membeli langsung ke tambak dan
membeli secara eceran sebanyak 100 – 200 ekor. Pembeli (pedagang) berasal
dari Kolaka dan sekitarnya dan ikanpun dijual dalam bentuk ikan segar di pasar
pasar yang ada di Kab. Kolaka. Kondisi ini, dimana pasar yang ada terbatas pada
pasar lokal dan belum ada industri pengolahan ikan Bandeng membuat harga
jual jatuh pada saat panen bahkan kadang tidak terserap pasar.

Menurut petani tambak yang diwawancarai, jenis bantuan yang diberikan


berupa benih nener dan benur tidak secara signifikan membantu keberlanjutan
usaha para petani tambak. Alasannya, tanpa adanya bantuan tersebut, mereka
tetap dapat menebar benih pada musim-musim penanaman. Hanya saja,
bantuan benih tersebut diakui dapat menggeser alokasi modal yang telah
mereka perhitungkan. Artinya, modal yang sebelumnya telah dianggarkan untuk

94
membeli benih ikan dapat digeser untuk alokasi pupuk atau biaya input lainnya.
Bantuan untuk melakukan bedah tambak diakui sangat bermanfaat, baik untuk
keberlanjutan usaha maupun bagi kelestarian sumber daya. Faktor utamanya
adalah karena program bedah tambak ini dapat mengaktifkan kembali tambak
yang telah lama ditinggalkan karena sudah tidak layak pakai. Selain itu,
pertumbuhan ikan menjadi sangat bagus karena lingkungan tambak yang
kondusif bagi tumbuhnya pakan alami yang dibutuhkan oleh bandeng dan udang.
Saat ini, bantuan berupa pupuk dan mesin pompa menjadi harapan petani
tambak bandeng dan udang. Input berupa pupuk merupakan bahan baku utama
yang diperlukan dalam usaha tambak ini sehingga sebagian besar modal
diperuntukkan untuk membeli pupuk. Pada kenyataannya, harga pupuk saat ini
sangat mahal sehingga dirasakan sangat membebani para petani tambak.
Sementara itu, input berupa mesin juga sangat diperlukan para petani yang
selama ini belum pernah tersentuh oleh bantuan pemerintah. Untuk itu,
pengadaan kedua input tersebut diharapkan dapat menjadi perhatian
pemerintah daerah setempat.

Tabel 3.46. Perkembangan Luas areal dan Produktivitas Tambak di Kab. Kolaka
Tahun 2007-2009

Luas areal (ha) Vol. Produksi (Ton) Produktivitas (ton/ha)


No Kecamatan 2007 2008 2009 2007 2008 2009 2007 2008 2009
1 Wolo 816 816 816 1.175 1.233 1.258 1,44 1,51 1,54
2 Samataru 977 977 977 1.407 1.477 1.507 1,44 1,51 1,54
3 Latambaga 377 377 377 545 572 589 1,45 1,52 1,56
4 Kolaka 47 47 47 69 72 74 1,47 1,53 1,57
5 Wundulako 580 580 580 836 878 909 1,44 1,51 1,57
6 Baula 118 118 118 171 179 186 1,45 1,52 1,58
7 Pomalaa 296 296 296 428 450 463 1,45 1,52 1,56
8 Tanggetada 118 118 118 172 181 186 1,46 1,53 1,58
9 Watubangga 1316 1316 1316 1.894 1.989 2.049 1,44 1,51 1,56
Total 4645 4.645 4.645*) 6.697 7.031 7.221 1,45 1,52 1,56
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kab. Kolaka, 2009
Catatan: *) Belum termasuk bantuan bedah tambak 240 ha

95
Tabel : 3.47. Prosentase Peningkatan Luas areal dan Produksi Tambak
Tiap Kecamatan di Kab. Kolaka Tahun 2007-2009
No Kecamatan Luas areal Vol.
produksi
1. Wolo 0% 7%
2. Samataru 0% 7%
3. Latambaga 0% 8%
4. Kolaka 0% 7%
5. Wundulako 0% 9%
6. Baula 0% 9%
7. Pomalaa 0% 8%
8. Tanggetada 0% 8%
9. Watubangga 0% 8%
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kab. Kolaka, 2009

Budidaya Rumput Laut


Rumput laut merupakan komoditas budidaya unggulan di Kabupaten
Kolaka, Sulawesi Tenggara. Booming rumput laut dimulai pada tahun 2004 sejak
tindakan bom ikan oleh para nelayan dikecam oleh masyarakat sekitarnya. Hal ini
menunjukkan bahwa pengamanan sumber daya sudah berbasis masyarakat
sehingga telah tumbuh kesadaran yang tinggi terhadap kelestarian sumber daya
di kalangan pelaku utama perikanan sendiri. Akibatnya, banyak nelayan yang
beralih menjadi pembudidaya rumput laut. Bahkan, rumput laut juga mampu
menarik perhatian para pembalak kayu sehingga penebangan hutan berkurang
cukup signifikan yang mengakibatkan kelestarian hutan juga terjaga.

Selama periode 2004 hingga 2008, usaha budidaya Rumput laut mencapai
masa jayanya. Dalam kurun waktu tersebut, kesejahteraan pembudidaya
menunjukkan peningkatan yang berarti. Perubahan yang kasat mata adalah
dengan dibangunnya rumah yang permanen, adanya tabungan di bank, dan
dimilikinya kendaraan bermotor. Kondisi ini sangat berbeda dengan masa
sebelumnya yang menunjukkan bangunan rumah yang sederhana serta tidak
adanya kendaraan bermotor di rumah.

Masalah mulai timbul dalam budidaya Rumput laut sejak awal tahun
2008, berupa gangguan yang menyebabkan bibit Rumput laut yang berumur 3

96
minggu menjadi hancur. Akibatnya, produktivitas hasil sangat rendah. Gangguan
ini belum teridentifikasi faktor penyebabnya, apakah karena kualitas bibit,
kepadatan lahan, atau karena lingkungan budidayanya. Untuk itu, para petani
tambak sangat mengharapkan adanya penelitian atas masalah tersebut agar
gangguan tersebut dapat diatasi dengan cepat.

Masalah lain yang ada terkait dengan batas-batas lahan budidaya yang
mengakibatkan adanya konflik antar sesama petani rumput laut maupun antara
petani rumput laut dengan nelayan. Untuk itu, Dinas Kelautan dan Perikanan
Kabupaten Kolaka berusaha menyelesaikan konflik tersebut dengan mengundang
Kepala Desa dan kelompok-kelompok, baik kelompok budidaya maupun
kelompok tangkap laut. Pertemuan ini dimaksudkan untuk mengatur jalur-jalur
perhubungan bagi lalu lintas kapal nelayan yang akan ke atau dari laut. Untuk itu,
dinas membuat rambu-rambu batas rumput laut yang menyala saat malam hari.
Rambu-rambu tersebut dibuat dengan menggunakan pelampung dan pemberat
agar tidak bergeser karena arus laut. Selama ini, cara tersebut dapat diterima
oleh para pembudidaya rumput laut dan nelayan.

Pemasaran hasil produksi berupa rumput laut kering juga menjadi


masalah bagi pembudidaya. Selama ini, rumput laut kering dari Desa Barbarina,
Kecamatan Muaralapao-pao, Kabupaten Kolaka baru mampu menembus pasar
lokal dan pasar Makassar yang diambil oleh pedagang besar untuk kemudian
diekspor. Akibatnya, produksi rumput laut yang ada sering menumpuk di gudang
penyimpanan sehingga harga jual menjadi turun. Untuk itu, petani rumput laut
sangat mengharapkan bantuan pemerintah daerah untuk memperluas pasar
yang selama ini hanya diserap oleh pasar di Makassar, Sulawesi Selatan. Dengan
demikian, jumlah produksi yang besar dapat terjual dengan harga jual yang
tinggi.

Komoditas rumput laut telah tersentuh bantuan sejak tahun 2004—2010.


Bantuan pada 2004 hingga 2006 berbentuk paket berupa bibit, tali, jangkar,
pelampung, dan para-para atau tempat menjemur rumput laut. Sementara pada

97
tahun 2007 hingga sekarang, bantuan hanya berupa bibit dan tali. Bantuan yang
diberikan bersifat seragam sehingga setiap kelompok yang mendapat bantuan
akan menerima barang yang seragam. Artinya, bantuan tidak dibedakan sesuai
dengan kebutuhan setiap kelompok. Contohnya, bantuan tahun 2009 adalah
bibit dan tali maka setiap kelompok akan mendapat bibit dan tali dalam jumlah
dan kualitas yang sama. Bantuan tersebut diberikan satu kali dalam setahun.

Sementara itu, bantuan mesin untuk perahu bermotor sangat diperlukan


oleh para petani untuk memantau kondisi rumput laut setiap dua hari sekali dan
juga untuk mengangkut hasil panen. Kegiatan panen ini biasanya tidak bisa
dilakukan sekali jalan, apalagi jika lokasi lahannya berada jauh dari tepi pantai.
Hal inipun sangat bergantung pada besar kecilnya perahu sehingga kapasitas
untuk memuat rumput laut berbeda. Untuk itu, keberadaan perahu bermotor
sangat diharapkan oleh para petani rumput laut untuk mengganti perahu dayung
yang selama ini mereka gunakan. Selain itu, bantuan lain yang diharapkan adalah
bantuan berupa gudang penyimpanan dengan bangunan yang permanen. Selama
ini, gudang penyimpanan sederhana terbuat dari kayu yang dibangun di bawah
rumah salah seorang ketua kelompok. Gudang penyimpanan ini sangat
diperlukan untuk menampung hasil panen hingga pedagang pengumpul dari
Makassar datang mengambil.

Tabel 3.48. Perkembangan Luas areal dan Produktivitas Rumput Laut


di Kab. Kolaka Tahun 2007-2009

Luas areal (ha) Vol. Produksi (Ton) Produktivitas (ton/ha)


No Kecamatan 2007 2008 2009 2007 2008 2009 2007 2008 2009
1 Wolo 89 291 294 2.068 2.523 3.110 23 9 11
2 Samataru 117 396 398 2.750 3.355 4.379 24 8 11
3 Latambaga 90 307 310 2.119 2.585 3.374 24 8 11
4 Kolaka 61 201 203 1.422 1.735 2.265 23 9 11
5 Wundulako 54 191 193 1.280 1.562 2.039 24 8 11
6 Pomalaa 48 156 158 1.123 1.370 1.788 23 9 11
7 Tanggetada 61 199 201 1.497 1.826 2.690 25 9 13
8 Watubangga 61 163 164 1.525 1.861 2.429 25 11 15
Total 581 1.904 1.921 13.784 16.817 22.074 24 9 12
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kab. Kolaka, 2009

98
Tabel 3.49. Peningkatan Luas areal dan Produksi Rumput Laut
di Kab. Kolaka Tahun 2007-2009

No. Kecamatan Luas (%) Vol. Produksi (%)


07-08 08-09 07-09 07-08 08-09 07-09
1 Wolo 227,0 1,03 230,34 22,0 23,3 50
2 Samataru 238,5 0,51 240,17 22,0 30,5 59
3 Latambaga 241,1 0,98 244,44 22,0 30,5 59
4 Kolaka 229,5 1,00 232,79 22,0 30,5 59
5 Wundulako 253,7 1,05 257,41 22,0 30,5 59
6 Pomalaa 225,0 1,28 229,17 22,0 30,5 59
7 Tanggetada 226,2 1,01 229,51 22,0 47,3 80
8 Watubangga 167,2 0,61 168,85 22,0 30,5 59
Rata rata 226,0 0,93 229,08 22,0 31,7 61
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kab. Kolaka, 2009

Jenis dan Dasar Kebijakan Subsidi

Subsidi/bantuan kepada pembudidaya dapat dikelompokkan berdasarkan


manfaat yang diterima oleh masyarakat pembudidaya. Bantuan langsung
(penerima langsung mendapatkan/menerima bantuan), dan secara tidak
langsung (masyarakat tidak langsung menerima bantuan tetapi merasakan
manfaatnya). Program bantuan atau subsidi langsung diberikan kepada
pembudidaya di Kabupaten Kolaka, berupa sarana produksi seperti: untuk
budidaya rumput laut (bibit rumput laut, tali ris dan jangkar, gudang
penyimpanan dan mesin perahu); untuk budidaya ikan Bandeng (benih, dan
bantuan berupa “bedah tambak”, yaitu pemda memfasilitasi pengerjaan
pembuatan/pembenahan tambak tambak masyarakat yang terbengkalai. Pemilik
tambak hanya membayar setengah dari total biaya penataan lahan tambak. Ini
dilakukan agar pemilik tambak mengolah tambaknya secara berkelanjutan.

Bantuan yang selama ini diberikan untuk kelompok pembudidaya, bukan


secara perorangan. Prosedurnya, setiap kelompok budidaya melalui ketua
kelompoknya mengajukan permohonan bantuan dalam bentuk proposal yang di
dalamnya dicantumkan jenis bantuan yang dibutuhkan. Proposal tersebut harus
diketahui oleh kepala desa dan ditandatangani oleh semua anggota kelompok.
Selanjutnya, proposal tersebut diverifikasi lapang oleh petugas dinas untuk
melihat kebenaran dari informasi yang disampaikan dalam proposal. Selanjutnya,

99
kelompok pembudidaya yang mendapat bantuan disahkan dalam Surat
Keputusan (SK) yang dikeluarkan oleh kepala Dinas Kelautan dan Perikanan
Kabupaten Kolaka. Adapun kriteria pemberian bantuan adalah: (a) prioritaskan
pembudidaya yang miskin; (b) belum pernah mendapat bantuan; (c) siap sharing
dalam bantuan yang sifatnya fifty-fifty karena tanpa komitmen ini bantuan akan
gagal sehingga usaha budidayanya tidak mampu berkembang.

Bantuan dengan sistem fifty-fifty khusus diberikan untuk program bedah


tambak. Artinya, biaya bedah tambak akan dibantu pemerintah dengan nilai 50
persennya saja. Patokan yang digunakan adalah biaya pengerjaan tambak per
jam yang besarnya Rp500.000. Jika untuk memperbaiki tambak memerlukan
waktu 8 jam maka bantuan akan diberikan sebanyak 4 jam atau sebesar 4 jam x
Rp500.000 = Rp2.000.000. Sedangkan biaya 4 jam lagi ditanggung oleh petani
tambak. Program ini mulai dilakukan tahun 2007 hingga sekarang karena pada
periode tersebut banyak tambak yang terbengkalai (idle) akibat pendangkalan
yang pada terjadi pada tambak. Untuk itu, pemerintah berusaha mengoperasikan
tambak-tambak tersebut dengan cara membantu biaya perbaikan tambak.
Program ini terbukti sangat disambut baik oleh para petani tambak karena
tambak yang telah rusak dapat dihidupkan kembali. Hal itu sangat membantu
keberlanjutan usaha mereka. Program bantuan/subsidi tidak langsung dapat
berupa pembangunan sarana/fasilitas yang pemanfaatannya dapat dirasakan
oleh masyarakat pembudidaya.

Tabel 3.50. Jenis bantuan/subsidi dan dasar pertimbangannya

No Jenis dan bentuk subsidi/bantuan Dasar pertimbangan

A. Subsidi/Bantuan langsung

1. Budidaya rumput laut - Budidaya rumput laut merupakan


a) Pengembangan Sapras Budidaya penyumbang pendapatan sektor
Rumput laut (bibit, tali ris, jangkar) perikanan kedua terbesar setelah
budidaya tambak, namun terjadi
kecenderungan penurunan produksi
dan luas lahan karena

100
No Jenis dan bentuk subsidi/bantuan Dasar pertimbangan

b) Pengadaan sarana penunjang - Potensi konflik batas lahan budidaya


budidaya rumput laut (kayu tiang, rumput laut dan jalur pelayaran
kayu lantai, paku) sehingga perlu penataan dan
penertiban

2. Pengembangan Pembudidaya - Teripang merupakan komoditas yang


Teripang (bibit, waring, tali, kayu) memiliki prospek harga yang bagus,
namun belum banyak dibudidayakan
oleh masyarakat.
3. Rehabilitasi dan Rekonstruksi - Banyak lahan tambak terbengkalai
Tambak karena pemiliknya tidak cukup dana
untuk penggalian dan penataan lahan
tambaknya yang sudah dangkal dan
tumbuh gulma. Akibatnya mereka
kehilangan sumber pendapatan dari
budidaya ikan sehingga beralih
menjadi perambah hutan di bukit
bukit sekitar daerah hunian, maupun
hutan bakau di pesisir.
B. Subsidi/bantuan tidak langsung

1. Rehabilitasi Kantor BBI Wundulako - Masyarakat pembudidaya kesulitan


2. Pembangunan Hatchery dalam mendapatkan benih, dalam
3. Pembangunan Tower Hatchery jumlah maupun kualitas yang
Watubangga diharapkan.
4. Penyempurnaan Sapras Hatchery - Perlu pemacuan dalam penyediaan
Wolo benih bermutu dalam jumlah besar.
5. Pemantapan BBI Loea, Mowewe,
Wundulako

Bentuk-bentuk Subsidi Perikanan

Seperti yang telah dikemukakan di atas, subsidi/bantuan yang diberikan


oleh pemerintah (pusat dan daerah) secara langsung maupun tidak langsung
kepada masyarakat pembudidaya. Bantuan langsung pada umumnya ditujukan
untuk meningkatkan produksi. Sedangkan bantuan tidak langsung berupa
pembangunan prasarana/fasilitas yang pemanfaatannya dapat dirasakan oleh
masyarakat pembudidaya.

101
Tabel 3.51. Jenis dan bantuk bantuan/subsidi perikanan budidaya laut
di Kab. Kolaka tahun 2007 – 2010
No Jenis dan bentuk 2007 2008 2009 2010
subsidi/bantuan
Vol Alokasi Vol Alokasi Vol Alokasi Vol Alokasi
(000) (000) (000) (000)

A. Bantuan/Subsidi
langsung
1. Budidaya
Rumput laut
a) Pengadaan 50 415.000 2 1.250.000 6 400.000 8.372 362.500
sapras (bibit, talli paket paket paket kg
ris, jangkar
b) Sarana - - 4 75.000 - - - -
penunjang (kayu paket
tiang, lantai)
2. Budidaya 10 63.000 - - 5 94.300 7 klp 83.950
Teripang (bibit, paket unit
waring, tali)
3. Rehab dan 100 400.000 - - 240 559.200 - -
konstruksi ha ha
tambak

B. Bantuan/Subsidi
tidak langsung
1. Pembangunan 1 167.185 - - - - - -
Hatchery unit
2. Tower hatchery 1 49.900 - - - - - -
Watubangga unit
3. Penyempurnaan - - - - 1 63.900 1 75.000
sapras hatchery unit unit
Wolo
4. Pemantapan BBI 3 110.000 - - - - - -
Loea, Mowewe, paket
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kab. Kolaka, diolah.

Seperti yang dapat dilihat pada Tabel 4.7, bentuk bentuk bantuan
langsung berupa: pembelian bibit, tali ris, jangkar, kayu dan lainnya yang
fungsinya untuk budidaya Rumput laut dan pembuatan para para untuk
penjemuran rumput laut hasil panen; pembelian bibit, waring, tali dan kayu
untuk budidaya Teripang; serta subsidi biaya penggalian dan penataan lahan
tambak yang terbengkalai. Bentuk bentuk bantuan tidak langsung yang dilakukan
(yang berkaitan dengan budidaya rumput laut dan budidaya tambak)
diantaranya: Rehabilitasi kantor BBI Wundulako, Pembangunan hatchery,
Pembangunan tower hatchery di Kec. Watubangga, Penyempurnaan sarana
prasarana hatchery di Kec. Wolo, Pemantapan BBI Loea di Mowewe, Wundulako

102
Peran Subsidi Perikanan

Dalam kurun waktu 2007 sampai dengan 2009 tidak terjadi pertambahan
luas areal tambak yang diusahakan untuk budidaya. Demikian juga volume
produksi ikan hanya meningkat 8-9%, sedangkan produktivitas hasil yang rendah
yaitu 1,45 ton/ha (2007), meningkat menjadi 1,52 ton/ha (2008) dan kemudian
1,56 ton/ha (2009). Kondisi ini terjadi karena: (1) Petani tambak tidak cukup dana
untuk merehabilitasi tambaknya yang sudah puluhan tahun digunakan dan telah
terjadi pendangkalan. Akibatnya, luas lahan tambak yang difungsikan relatif
tetap bahkan cenderung akan berkurang karena pendangkalan yang terjadi terus
menerus akibat penebangan hutan di bukit dan hutan mangrove di pesisir; (2)
Petani tambak tidak cukup dana untuk memberi pakan secara intensif dan hanya
mengandalkan pakan alami sehingga harus mengurangi padat tebar yang
berpengaruh kepada produktivitas hasil. Berdasarkan kondisi di atas dapat
disimpulkan bahwa jenis bantuan berupa bedah tambak perannya cukup nyata
terhadap budidaya Bandeng. Inipun baru sebatas perannya terhadap
pertambahan luas lahan yang dilakukan dalam tahun 2009 (240 ha).

Dampak langsung yang sudah dapat dilihat adalah berkurangnya


perambah perambah hutan dan penebang hutan bakau karena sebagian dari
pemilik tambak sudah dapat mengopersionalkan kembali tambaknya. Dalam
jangka panjang program ini akan sangat membantu dalam keberlanjutan usaha
dan kelestarian sumberdaya. Namun demikian, mengingat pakan merupakan
komponen biaya terbesar dalam budidaya tambak Bandeng, maka bantuan
untuk pakan merupakan pilihan utama setelah bedah tambak. Dengan demikian,
produksi dan produktivitas dapat ditingkatkan. Agar produk yang dihasilkan
dapat diserap oleh pasar, pembinaan kelembagaan pemasaran dan kemudahan
akses pasar akan lebih menjamin dalam usaha budidaya yang berkelanjutan.

Berbeda dengan ikan bandeng, budidaya rumput laut justru terjadi


penurunan yang signifikan pada tahun 2008 baik dalam hal luas lahan, produksi
dan produktivitas budidaya Rumput laut. Seperti yang telah dikemukakan di

103
bagian terdahulu, hal ini terjadi karena adanya serangan hama/penyakit pada
bibit Rumput laut yang masih muda. Jika dikaji lebih dalam melalui
perbandingan data tahun 2007 dengan data tahun 2009 dapat dilihat bahwa
dalam hal luasan lahan terjadi peningkatan luas sebesar 229%. Namun hal ini
tidak langsung diikuti oleh peningkatan produksi yang signifikan karena ternyata
produksi hanya meningkat 61%.

Berdasarkan data tersebut maka dapat disimpulkan bahwa seperti halnya


pada budidaya Bandeng, peran bantuan/subsidi pada komoditas Rumput laut
baru sebatas penambahan areal budidaya, belum berperan terhadap
peningkatan produksi dan produktivitas yang merupakan muara dari program
pembangunan yaitu peningkatan pendapatan usaha dan keberlanjutan usaha
masyarakat yang dalam hal ini masyarakat pembudidaya Rumput laut. Ke depan,
sudah saatnya bantuan/subsidi dalam budidaya Rumput laut dirancang dalam
upaya meningkatkan pendapatan masyarakat pembudidaya. Hal ini dapat
dilakukan dengan cara: penyediaan bibit unggul, karena selama ini pembudidaya
melakukan perbanyakan sendiri dari bibit yang mereka gunakan yang tentunya
kualitas bibitnya semakin menurun. Cara lain dengan meningkatkan ketrampilan
dan pengetahuan (teknis dan non teknis) seperti teknis budidaya yang baik, dan
manajemen usaha. Agar mutu hasil produksi dapat tetap terjaga sampai siap
dijual, media penjemuran (para para) dan gudang penyimpanan hasil sangat
diperlukan.

104

You might also like