Professional Documents
Culture Documents
Luas Kota Ambon adalah 377 km2 (luas daratan sekitar 359,45 km2 ),
dengan demikian luasnya meliputi hampir separuh dari luas pulau Ambon.
Secara geografis, Kota Ambon terletak pada 3o – 4o Lintang Selatan dan 128o –
129o Bujur Timur yang berbatasan dengan:
Sebelah Utara : Desa Hitu, Kecamatan Leihitu, Kabupaten Maluku Tengah
Sebelah Selatan : Laut Banda
Sebelah Timur : Desa Suli, Kecamatan Salahutu, Kabupaten Maluku
Tengah
Sebelah Barat : Desa Hatu, Kecamatan Leihitu, Kabupaten Maluku Tengah
Saat ini Kota Ambon dibagi dalam lima kecamatan, yaitu: Kecamatan
Teluk Ambon, Teluk Ambon Baguala, Sirimau, Nusaniwe, dan Leitimur Selatan.
Jumlah desa atau kelurahan yang tersebar di kelima kecamatan tersebut
sebanyak 50 desa/kelurahan. Berdasarkan luas wilayahnya, maka Kecamatan
12
Teluk Ambon merupakan kecamatan terluas, yaitu 93,68 km2. Sebaliknya,
Kecamatan Teluk Ambon Baguala menjadi kecamatan dengan luas wilayah paling
keci, yaitu 40,11 km2. Dengan batas wilayah yang demikian maka perairan Kota
Ambon dipengaruhi oleh dinamika laut Banda.
Dari 50 Desa/Kelurahan, maka 34 Desa/Kelurahan (68%) berada pada
kawasan pesisir, sedangkan desa-desa lainnya terletak di daerah pegunungan
dan jauh dari pantai. Desa-desa di daerah pegunungan tersebut memiliki ”hak
petuanan” di kawasan pesisir dan laut.
Berdasarkan Laporan Statistik PPN Ambon (2009), jumlah penduduk Kota
Ambon yang bermata pencaharian tergantung pada perikanan hanya sebesar
1,4 persen dengan jumlah nelayan dan rumah tangga perikanan (RTP) masing-
masing sebanyak 3.796 jiwa atau 3.378 rumah tangga. Nelayan Kota Ambon
dapat dikatakan sebagai nelayan sub-sisten. Jumlah nelayan terbesar terdapat di
Kecamatan Nusaniwe (34,61%) yang terkonsentrasi di Desa Latuhalat (Tabel 3.1).
Latuhalat menjadi sentra kegiatan penangkapan karena kondisi perairan
yang menunjang produksi perikanan tangkap. Namun, beberapa desa pesisir
lainnya memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai lokasi untuk budidaya
perikanan, pengolahan, eko-wisata laut.
Tabel 3.1. Jumlah Nelayan dan RTP Kota Ambon Tahun 2008
Jumlah Jumlah
No. Kecamatan
Nelayan RTP
1. Teluk Ambon 677 593
2. Teluk Ambon 819 725
Baguala
3. Sirimau 372 293
4. Leitimur Selatan 614 547
5. Nusaniwe 1,314 1,22
Jumlah 3,796 3,378
Sumber : Dinas Perikanan dan Kelautan Kota Ambon, 2008
13
sampai ukuran 30 GT. Berkembangnya usaha perikanan didaerah tersebut
berpotensi mempengaruhi ketersediaan ikan. Saat ini di Ambon semakin banyak
tertangkap ikan tuna ukuran kecil (baby tuna), ini merupakan pertanda stok ikan
semakin berkurang.
Di Kota Ambon terdapat Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Ambon
dan Pusat Pendaratan Ikan (PPI) yang tesebar pada beberapa lokasi. Kapal yang
berkunjung ke PPN Ambon sangat bervariasi, baik jenis alat tangkapnya maupun
ukuran kapalnya. Selain kapal penangkap ikan, ada pula kapal pengangkut yang
berperan sebagai kapal pengumpul ikan dari beberapa kapal penangkap ikan
yang berada di tengah laut. Kapal pengangkut ikan ini juga berfungsi sebagai
penyuplai bahan bakar dan perbekalan untuk awak kapal penangkap yang
biasanya memiliki trip hingga 6 bulan.
Jenis ikan yang dominan didaratkan selama tahun 2009 adalah ikan
pelagis kecil, seperti: ikan gulamah/tigawaja, layang, layur, dan ekor kuning,
sedangkan dari jenis non-ikan adalah cumi-cumi (Gambar 3.2). Ikan
gulamah/tigawaja adalah ikan yang paling banyak didaratkan, mencapai 61,24
persen dari total ikan yang didaratkan.
14
perusahaan-perusahaan sebagai komoditas ekspor. Dari hasil pengamatan,
nelayan yang menangkap ikan tuna langsung membawa hasil tangkapannya ke
perusahaan yang menawarkan harga tertinggi agar keuntungan yang nelayan
peroleh besar.
15
pelabuhan memiliki pabrik es yang produksinya cukup memenuhi kebutuhan
nelayan Kota Ambon.
Tabel 3.2. Jumlah logistik kapal penangkap ikan di PPN Ambon pada tahun 2009
Kebutuhan Logistik
Bulan
Air (Ltr) Es Balok (Ton) BBM/Solar (Ltr)
Januari 368 13 1,210.80
Februari 903.3 9.6 2,031.50
Maret 696.4 16.5 1,724.50
April 830 16.2 2,016
Mei 1,242 16.2 2,016
Juni 1,005.50 13 2,252.00
Juli 857.7 17 1,927.30
Agustus 857.7 3 1,927.30
September 1,312 16.3 3,292
Oktober 985 17.2 2,526
November 1,279.50 9.5 3,453
Desember 1,604.40 6,1 4,810
Jumlah 11,941.5 147.5 29,186.4
Sumber: Laporan Statistik PPN Ambon, 2009
Produksi ikan pada tahun 2009 adalah 22.343,7 ton dengan total nilai
sebesar Rp72,757 milyar. Jenis ikan yang paling besar sumbangannya terhadap
total produksi adalah ikan tongkol, layang, cakalang, dan tuna dengan nilai
produksi terbesar berasal dari ikan cakalang, tongkol, dan layang. Hal ini
disebabkan oleh karena ikan-ikan tersebut merupakan komoditas ekspor utama
dengan harga jual yang cukup tinggi di pasar luar negeri.
Tabel 3.3. Volume dan nilai produksi perikanan per jenis ikan tahun 2009
Produksi
Jenis ikan
Volume (Ton) Nilai (Rp.000)
Cakalang 5,369.2 26,851,000
Kembung 659.6 1,981,800
Lalosi 300.5 603,000
Teri 23.7 35,550
Layang 5,845.8 14,617,000
Selar 620.9 1,741,320
Tongkol 7,710.1 15,422,200
Tuna 1,413.1 9,898,700
Lainnya 400.8 1,607,200
Jumlah 22,343.7 72,757,770
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Ambon, 2009
16
Armada penangkapan yang digunakan adalah perahu tanpa motor
(perahu semang), perahu motor tempel (outboard engine) dan kapal motor
dengan mesin dalam (inboard engine). Kapal tanpa motor lebih banyak
digunakan dibandingkan perahu motor tempel dan kapal motor, yaitu sebanyak
67 persen dan sisanya 32 persen didominasi oleh perahu dengan motor tempel.
Prosentase kapal motor dengan mesin sebagai armada penangkapan hanya
digunakan oleh satu persen nelayan Kota Ambon.
Jenis alat tangkap yang digunakan nelayan Kota Ambon sangat bervariasi,
antara lain hand line, jaring angkat, jaring insang, pancing tonda, huhate, purse
seine, dan pukat pantai. Berdasarkan data dari Dinas Kelautan dan Perikanan
Kota Ambon, alat tangkap yang paling banyak digunakan adalah pancing tangan
(56%), jaring angkat (14,3%), jaring insang (9,3%), dan pancing tonda (7,8%). Alat
tangkap huhate (pole and line) dan giob atau bobo (purse seine) adalah jenis-
jenis alat tangkap yang sedikit sekali penggunaannya karena sarana penangkapan
ini tergolong mahal. Namun, dari sisi manfaat dapat melibatkan banyak nelayan
dalam operasional alat tangkap tersebut. Selain itu, alat tangkap lainnya, seperti
bubu, panah, rawai, jala, tangguk, dan rumpon. juga tergolong banyak karena
ada 10,4 persen nelayan Kota Ambon menggunakan alat tangkap tersebut.
Armada penangkapan yang mengoperasikan alat tangkap pancing tangan (hand
17
line) umumnya juga menggunakan alat tangkap lainnya, misalnya gill net, tramel
net, dan bottom gill net.
18
Tabel 3.4. Karakteristik responden dari aspek teknis
Karakteristik Jumlah Prosentase
Kepemilikan Kapal Menurut GT
< 5 GT 9 30
≥5GT - <10GT 21 70
≥10GT -<30GT 0 0
≥30GT - <100GT 0 0
Jumlah 30 100
Jenis Alat Tangkap
Pancing tonda 9 30.00
Purse seine 8 26.67
Gillnet 13 43.33
Jumlah 30 100
Bahan Bakar yang digunakan
Bensin 25 83
Minyak tanah 5 17
Jumlah 30 100
Sumber: Data primer diolah, 2010
19
keuntungan adalah Rp3.054.085. Keuntungan ini selanjutnya dibagi 40% untuk
pemilik kapal, 30% perawatan, dan perbaikan kapal, 27% untuk ABK, dan 3%
untuk nahkoda. Banyaknya ABK yang bekerja di sebuah kapal purse seine
membuat penerimaan riil yang diperoleh ABK justru kecil dibandingkan dengan
ABK di kapal pancing tonda, yaitu ± Rp41.270 untuk seorang ABK.
Tabel 3.5. Pendapatan dan Pengeluaran Kegiatan Penangkapan Ikan
Jenis Alat Tangkap
Uraian Pancing tonda Purse seine Gillnet
(< 5 GT) (≤ 5-10 GT) (≤ 5-10 GT)
Penerimaan (Rp)
Tuna 1,707,111
Selar (Kawalinya) 885,000
Layang (Momar) 2,973,000
Tongkol 1,200,000
Kembung (Lema) 288,400
Jumlah 1,707,111 3,858,000 1,488,400
Alat tangkap gillnet rata-rata menangkap ikan tongkol dan lema sehingga
penerimaannya dari kedua jenis ikan tersebut adalah Rp1.488.400. Selain itu,
biaya operasional yang dikeluarkan juga cenderung rendah karena kapal gillnet
tidak banyak membeli oli, minyak tanah, dan ransum sehingga total biaya
operasionalnya adalah Rp308.018. Rendahnya biaya operasional ini disebabkan
oleh karena nelayan gillnet memiliki trip penangkapan setiap hari sehingga biaya
ransum dan biaya bensinnya rendah. Setelah dikurangi dengan biaya operasional
tersebut maka besarnya keuntungan sebesar Rp1.180.382. Selanjutnya, sistem
20
bagi hasil dari keuntungan tersebut adalah 60% untuk pemilik, 6% untuk
nahkoda, dan 34% untuk ABK. Seperti halnya kapal purse seine, banyaknya ABK
yang bekerja membuat bagian keuntungan yang diterima oleh seorang ABK
sedikit, yaitu ± Rp40.000.
21
Tabel 3.6. Bantuan Melalui Pemberdayaan Masyarakat Perikanan di Kota Ambon
Tahun 2002—2008
Jenis Bantuan Jumlah kelompok Sumber
No. Tahun Bentuk bantuan
penerima bantuan bantuan
1. 2002 Rumpon 4 APBN Uang
Gilnet 5 APBN Uang/Barang
Kios BBM 1 APBN Uang
Puse seine 2 APBN Uang/Barang
Bodi 1 APBN Uang
BBM&Alat 1 APBN Uang
2. 2003 Papalele ikan 10 APBN Uang
Rumpon 2 APBN Uang
3. 2004 Rumpon 2 APBN Uang
Papalele ikan 1 APBN Uang
4. 2005 Papalele ikan 2 APBN Uang/Barang
Gilnet 1 APBN Uang
Rumpon 1 APBN Uang
5. 2006 Rumpon 2 APBN Uang
Papalele ikan 2 APBN Uang
Gilnet 1 APBN Uang
Pengolahan 1 APBN Uang
6. 2007 Pancing tonda 3 APBN Uang
Bagan 2 APBN Uang
Kios 1 APBN Uang
Bubu 1 APBN Uang
Gilnet 1 APBN Uang
7. 2008 Pancing tonda 7 APBN Uang
Rumpon 1 APBN Uang
Papalele ikan 1 APBN Uang
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Ambon, 2009
22
dalam tabel di bawah ini. Demikian juga masyarakat dari desa tertentu yang
dapat dikembangkan sebagai desa pengolahan ikan dan non-ikan.
Tabel 3.7. Bentuk-bentuk intervensi pemerintah daerah dalam kegiatan
penangkapan di Kota Ambon
4. Teluk Ambon - Alat tangkap: Jaring insang, alat pancing, huhate, (beberapa
Baguala desa seperti Latta, Lateri, Halong di waktu lampau terkenal
sebagai nelayan pole and line yang tangguh)
- Budidaya laut (ikan), melalui pendekatan pengelolaan
ekosistem Daerah Aliran Sungai dan mangrove, dengan
konservasi, dengan isu utama adalah pencemaran.
- Alat dan metoda pengolahan ikan yang berkualitas
- Lokasi desa-desa Passo, Waiheru, Nania, NegeriLama,
Halong dan Latta serta kelurahan Lateri
- Pemasaran melalui Tempat Pelelangan Ikan (PPI) di Erie,
Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN), dan PT perikanan
Nusantara
5. Leitimur - Penangkapan ikan : Jaring insang, Rumpon, Bagan, alat
Selatan pancing.
23
No. Kecamatan Bentuk Intervensi
- Pengembangan pariwisata massal untuk rekreasi dan
secara khusus wisata ilmiah, selam antara Hukurila dan
Hutumuri
- Budidaya laut (rumput laut, teripang, lola, batu laga, siput
lain) dengan pendekatan pengelolaan dan konservasi serta
mengembangkan teknologi untuk pembenihan dan
pemulihan stok.
- Alat dan metoda pengolahan ikan yang berkualitas
- Lokasi Desa-desa Hutumuri, Naku, Leahari, Kilang, Hatalae,
Hukurila
- Pemasaran melalui Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN),
dan PT perikanan Nusantara
Sumber: Profil Sumberdaya Kelautan dan Perikanan Kota Ambon, 2008
24
Tabel 3.8. Analisis biaya dan pendapatan menurut jenis alat tangkap
Jenis alat tangkap
Uraian
Pancing tonda Purse seine Gillnet
Rata-rata ukuran kapal < 5 GT ≥ 5-10 GT ≥ 5-10 GT
Rata-rata lama hari per trip 1 hari 1 hari 1 hari
Rata-rata volume (per trip)
- Solar - - 12.5 liter
- Bensin 64 liter 24 liter 20 liter
- Minyak tanah - 37 liter 5 liter
Rata-rata biaya operasional per - - Rp308,018
trip dengan subsidi BBM*
Rata-rata biaya operasional per Rp593,611 Rp803,915 Rp401,768
trip tanpa subsidi BBM**
Rata-rata nilai hasil tangkapan Rp1,707,111 Rp3,858,000 Rp1,488,400
Sumber: Data primer diolah, 2010
* Harga BBM di eceran ** Harga BBM tanpa subsidi = Rp7.500
25
mendukung berbagai armada penangkapan yang terdapat pada kawasan
tersebut.
Namun demikian, subsidi BBM justru disalurkan untuk armada
penangkapan dari 7—10 perusahaan besar di Ambon sejak tahun 2007 hingga
sekarang. Namun, sejak Maret 2009 hingga sekarang subsidi BBM hanya
disalurkan ke tiga perusahaan, yaitu PT Arabikatama Khatulistiwa Fishing
Industry, PT Cilacap Samudera Fishing Industry, dan PT Samudra Sakti Sepakat.
Berdasarkan data dalam Tabel 13, PT Samudra Sakti Sepakat baru menerima
subsidi BBM sejak bulan Mei 2009 hingga sekarang dengan jumlah yang lebih
sedikit dibandingkan dua perusahaan lainnya. Sementara itu, PT Arabikatama
Khatulistiwa Fishing Industry memperoleh BBM bersubsidi paling banyak, baik di
tahun 2009 (65%) maupun pada tahun 2010 (60%) dari total subsidi BBM yang
disalurkan PPN Ambon.
Penyaluran BBM bersubsidi ini dikelola oleh PPN Ambon yang berwenang
mengeluarkan surat rekomendasi kepada pihak Pertamina berdasarkan surat
permohonan dari perusahaan. Selanjutnya, surat rekomendasi ini dipelajari oleh
Pertamina sehingga pemberian BBM bersubsidi tidak selalu sebanyak yang
diminta dan direkomendasikan. Setelah Pertamina menyetujui permohonan
tersebut, pengisian solar akan dilakukan di dermaga tempat kapal berlabuh
dengan menggunakan mobil tanki dari Pertamina sehingga perusahaan harus
mengeluarkan biaya sewa mobil tanki di samping membayar harga BBM yang
dibeli.
26
Tabel 3.9. Rekapitulasi BBM bersubsidi yang dikeluarkan PPN Ambon tahun
2009—2010
Jumlah BBM bersubsidi (KL)
Bulan PT. Arabikatama Khatulistiwa PT. Cilacap Samudera PT. Samudera Sakti Jumlah
Fishing Industry Fishing Industry Sepakat
Tahun 2009
Maret 180 100 - 280
April 175 75 - 250
Mei 200 50 20 270
Juni 150 125 25 300
Juli 205 125 40 370
Agustus 255 80 20 355
September 205 75 20 300
Oktober 130 25 70 225
November 175 50 25 250
Desember 255 75 45 375
Jumlah 1,930 780 265 2,975
Tahun 2010
Januari 150 25 20 195
Februari 95 25 25 145
Maret 100 75 50 225
April 125 50 45 220
Mei 125 70 25 220
Juni 170 70 30 270
Jumlah 765 315 195 1,275
Sumber: PPN Ambon diolah, 2010
27
Sebelah Barat dengan Kecamatan Kauditan Kabupaten Minahasa
Utara
Secara administratif wilayah Bitung dibagi dalam 8 kecamatan dan 69
kelurahan, dengan rincian seperti pada tampilan Tabel 3.10 .
28
Dilihat dari sebaran penduduk per kecamatan sebagian besar penduduk
Bitung terkonsentrasi di Kecamatan Maesa. Jika dihubungkan dengan luas
wilayah Kota Bitung yang 313,5035 km persegi, maka kepadatan penduduk pada
tahun 2008 mencapai sekitar 569 jiwa per kilometer persegi. Angka ini tergolong
padat sebagaimana daerah perkotaan lainnya.
29
total jumlah kapal yang terdapat di Kota Bitung. Kapal dengan kategori lebih dari
30 GT terdapat di Kota Bitung sebanyak 35%.
Alat tangkap yang dominan di Bitung adalah hand line yaitu alat tangkap
yang digunakan untuk menangkap ikan tuna. Kapal kurang dari 5 GT dengan alat
tangkap hand line mampu melakukan penangkapan di ZEEI dengan ikan hasil
tangkapan tuna berukuran lebih dari 35 kg per ekor. Selain alat tangkap hand
line, alat tangkap yang banyak dijumpai di Kota Bitung adalah alat tangkap purse
seine untuk menangkap ikan pelagis kecil dan alat tangkap pole and line untuk
menangkap ikan cakalang.
30
Tabel 3.12. Jumlah kapal dan jumlah nelayan menurut jenis alat tangkap di
Bitung, tahun 2009
Bagan Apung 1 1
Set Net 2 4
< 5 GT
Sero Tanam 1 -
Light Boat 8 32
Pengangkut/Penampung - -
Jumlah 67 387
Pengangkut/Penampung 3 18
31
KATEGORI JUMLAH JUMLAH
KAPAL ALAT TANGKAP KAPAL NELAYAN
240
Light Boat 1 5
32
dermaga 1 sepanjang 1.764 m bobot kapal 30-600 ton dengan kedalaman -5,00
m LWS dan dermaga 2 sepanjang 1.610 m untuk bobot kapal 5-30 ton dengan
kedalaman -1,5 m LWS. Jalan utama PPS Bitung 1.648 m2.
Jumlah kapal yang berkunjung ke PPS bitung mengalami peningkatan
yang cukup signifikan dari tahun 2005, baik dilihat dari jumlah kapal dan juga
ukuran kapal. Pada tahun 2005 jumlah kapal yang paling sering berkunjung
adalah kapal tanpa motor, sedangkan pada tahun 2009 jumlah kapal yang sering
berkunjung adalah kapal motor tempel. Hal ini menunjukkan adanya
peningkatan kualitas kapal, dari kapal tanpa motor menjadi kapal motor tempel.
Kunjungan kapal diatas 50 GT juga mengalami peningkatan. Meningkatnya
jumlah kunjungan kapal diatas 50 GT menunjukkan semakin banyaknya jumlah
kapal yang beraktivitas di PPS Bitung. Kunjungan kapal di PPS bertujuan untuk
melakukan pembongkaran ikan dan juga untuk memuat perbekalan seperti BBM,
es dan air bersih.
Tabel 3.13. Jumlah kunjungan kapal di PPS Bitung, 2005-2009
KATEGORI DAN
2005 2006 2007 2008 2009
UKURAN KAPAL
33
Fasilitas penyediaan perbekalan yang sangat dibutuhkan oleh kapal ikan
dalam melakukan penangkapan sebagian besar terdapat di dalam kawasan PPS
Bitung. Penyaluran solar untuk kapal-kapal ikan telah dibangun SPDN dan SPBB,
kapal ikan yang akan melakukan pengisian solar harus terlebih dahulu meminta
surat rekomendasi pengisian solar kepada petugas pelabuhan perikanan.
Beberapa pabrik es juga dibangun di areal PPS Bitung, hal ini bertujuan untuk
mempermudah proses pemuatan es ke kapal-kapal ikan yang akan melakukan
penangkapan. Penyaluran air bersih untuk kebutuhan kapal penangkapan
merupakan salah satu fasilitas yang dimiliki dalam kawasan PPS Bitung.
Luas Lahan
No Nama Perusahaan Usaha
(M²)
3 PT. Pathemang Raya 1.000 Prosesing ikan segar dan Cold Storage
4 PT. Kelana Djaya Abadi 1.000 Pabrik es, Prosesing Ikan Segar, Cold Storage
7 PT. Sari Tuna Makmur 1.000 Prosesing Ikan dan Cold Storage
11 PT. Lautan Bahari Sejahtera 2.000 Pabrik Prosesing Fillet Ikan Tuna
17 UD. Sukses Abadi 565,50 Kantor Adm. dan Unit Pengolahan Ikan
34
Kapal ikan yang dapat melakukan pengisian solar adalah kapal ikan
Indonesia dan tidak menggunaka ABK asing. Bagi kapal ikan berbendera
Indonesia tetapi merupakan kapal ikan eks asing dan menggunakan ABK asing
tidak diperbolehkan untuk mendapatkan solar dengan harga subsidi. Masing-
masing kapal ikan dapat melakukan pengisian solar maksimum setiap bulan
25.000 liter. Kebutuhan terhadap perbekalan setiap bulan selama tahun 2009
dapat dilihat pada Tabel 3.15.
Kebutuhan Perbekalan
BULAN
Air bersih (m3) Solar (KL) Es (Ton)
35
kecil yaitu layang dan kembung. Harga ikan pelagis kecil tersebut jauh lebih
rendah dibandingkan ikan pelagis besar. Selain purse seine, alat tangkap yang
memberikan kontribusi jumlah tangkapan besar yaitu kapal dengan alat tangkap
huhate atau pole and line. Hasil tangkapan utama alat tangkap huhate adalah
cakalang. Potensi sumber daya ikan cakalang di Laut Sulawesi dan Teluk Tomini
cukup besar, sehingga masih dapat dimanfaatkan oleh nelayan Bitung dalam
jumlah yang banyak.
Kapal dengan alat tangkap hand line Kapal dengan alat tangkap purse seine
36
Kapal dengan alat tangkap purse seine Kapal dengan alat tangkap pole and line
Laut Arafura juga merupakan salah satu fishing ground armada perikanan
Bitung. Potensi terbesar yang terdapat di Laut Arafura adalah udang, disamping
beberapa jenis ikan lainnya seperti cakalang dan ikan-ikan pelagis kecil. Kapal
penangkap ikan Bitung yang melakukan penangkapan ikan di Laut Arafura seperti
purse seine, huhate dan pancing tonda.
Tabel 3.16. Produksi ikan di Bitung berdasarkan jenis alat tangkap dan fishing
ground, tahun 2009
Jumlah
Alat Tangkap Total
T. Tomini L.Sulawesi L. Arafura
Payang 600.00 927.90 109.80 1,637.70
Pukat tarik udang tunggal - - 127.60 127.60
Dogol - 99.40 - 99.40
Pukat pantai 1,886.50 1,333.90 355.90 3,576.30
Pukat Cincin 12,890.40 17,300.80 15,998.70 46,189.90
Jaring insang hanyut 45.90 5,778.00 - 5,823.90
Jaring insang tetap 100.60 180.20 - 280.80
Bagan perahu/ rakit 99.80 199.80 - 299.60
Rawai tuna 4,674.10 4,998.70 4,789.90 14,462.70
Huhate 13,998.00 17,566.00 13,904.90 45,468.90
Pancing tonda 6,866.90 8,099.00 3,566.80 18,532.70
Pancing ulur 1,299.00 4,401.00 2,425.20 8,125.20
Pancing cumi 128.70 80.90 - 209.60
37
Jumlah
Alat Tangkap Total
T. Tomini L.Sulawesi L. Arafura
Sero 54.90 90.70 - 145.60
Bubu 55.90 12.90 - 68.80
Alat tangkap kepiting 0.70 3.80 - 4.50
Jumlah 42,701.40 61,073.00 41,278.80 145,053.20
Sumber: Dinas kelautan dan Perikanan Kota Bitung, 2010
38
Tabel 3.17. Produksi Ikan Hasil Tangkapan yang didaratkan di PPS
Bitung Tahun 2007 – 2009
Produksi (ton)
Jenis ikan % peningkatan
2007 2008 2009
Harga ikan layang pada tahun 2009 menunjukkan harga yang stabil atau
tidak mengalami banyak perubahan, baik peningkatan maupun penurunan.
Harga ikan layang ditentukan oleh perusahaan pengolahan ikan yang terdapat di
sekitar Bitung. Harga ikan layang lebih tinggi pada bulan April disebabkan karena
39
pada bulan tersebut produksi ikan layang sedikit berkurang dibandingkan bulan-
bulan lainnya, sehingga untuk memenuhi produksi perusahaan pengolahan, ikan
dibeli dengan harga yang lebih tinggi.
Tabel 3.18. Harga beberapa Jenis ikan di PPS Bitung (Rp/Kg), tahun 2009
Bulan Cakalang Tuna Layang Selar
Januari 17.519 16.000 9.000 13.000
Februari 11.000 16.000 9.000 13.000
Maret 11.000 16.000 9.039 11.000
April 11.000 31.000 11.000 12.000
Mei 12.000 15.000 10.000 14.999
Juni 11.000 30.000 10.000 12.000
Juli 11.000 30.000 10.000 12.000
Agustus 11.000 30.000 9.000 12.000
September 11.000 30.000 9.000 15.000
Oktober 9.870 22.000 8.000 11.000
November 9.350 29.997 8.288 10.119
Desember 8.512 28.275 8.883 11.919
Rata-rata 11.188 24.523 9.267 12.336
Sumber: PPS Bitung 2010.
40
Usaha pengolahan modern di Bitung sampai saat ini berjumlah 45
perusahaan yang terdiri dari :
1 PT. Sinar Pure Foods Int'l 1991 Kaleng 100 80 80.0 AS,UE
3 PT. Deho Canning Co. 1979 Kaleng, frozen, 100 30 30.0 Jepang, Lokal
Arab Saudi,
4 50 30 60.0
PT. Delta Pacifik Indotuna 2007 Kaleng, frozen UEA
41
Kapasitas (Ton)
Tahun
No Nama Perusahaan Jenis Produk Pemasaran
Berdiri Rata
Terpasang 2 %
Fresh,Frozen:U
5 30 10 33.3
PT. Bitung Mina Utama 1999 tuh AS,UE,Jepang,
Fresh,Frozen,
8
PT. Perikanan Nusantara Ikan Kayu
Fresh:Utuh,Fro
9 9 5 50.0
PT. Tridara Putra Mandiri 2007 zen Jepang
Ikan Kayu,
12 20 6 30.0
PT. Sari Malalugis 1992 frozen Jepang, Lokal
PT. Manadomina
15 20 18 90.0
Citrataruna 1994 Ikan Kayu Jepang
16 PT. Etmico Sarana Laut 2000 Ikan Kayu 100 50 50.0 Jepang
Sngpr,Krea,
21 30 20 66.7
PT. Shing Sheng Fa Ocean 2001 Frozen Taiwn
Sngpr,Krea,
22 10 3 30.0
PT. Yuh Yow Indo 2005 Frozen Taiwn
42
Kapasitas (Ton)
Tahun
No Nama Perusahaan Jenis Produk Pemasaran
Berdiri Rata
Terpasang 2 %
Frozen,
30 5 2 40.0
CV. Permata Laut Jaya 2007 Fresh:Loin
Frozen,
31
CV. Mitra Sakana Fresh:Loin
43
produktif yaitu antara 20 sampai 50 tahun, dan 20% lainnya berumur lebih dari
50 tahun.
44
30 GT sebanyak 29%. Ditinjau dari jenis alat tangkap, responden dengan alat
tangkap pole and line sebanyak 10 orang, responden dengan alat tangkap purse
seine sebanyak 10 orang dan sisanya responden dengan menggunakan alat
tangkap hand line untuk menangkap ikan tuna. Sebagian besar kapal yang
digunakan responden mempunyai bahan bakar solar atau bermesin diesel, tetapi
sebagian responden juga menggunakan bahan bakar bensin dan minyak untuk
kapal dengan motor tempel.
< 5 GT 2 5.71
Jumlah 35 100.00
45
Karakteristik Jumlah Prosentase
Jumlah 35 100.00
Bensin 4 11.43
Solar 25 71.43
Jumlah 35 100.00
Biaya operasional kapal dengan alat tangkap purse seine ini terdiri dari
biaya bahan bakar, oli dan es serta biaya untuk pengurusan izin berlayar dan
biaya tambat. Bahan bakar utama yang digunakan kapal dengan mesin tempel
ini adalah minyak tanah dan dicampur dengan bensin. Setiap trip dibutuhkan
minyak tanah sebanyak 150-250 liter dengan harga berkisar antara Rp 3.000-
4.000 per liter. Minyak tanah diperoleh oleh nelayan dari pengecer yang
46
terdapat di kawasan PPS Bitung. Harga minyak tanah sangat ditentukan oleh
ketersediaan pada suatu wilayah. Bensin dibutuhkan sebanyak 30 liter per trip
dengan harga Rp 4.500-5.000 per liter. Nelayan dapat membeli bensin dengan
harga Rp 4.500 per liter di SPBU terdekat dengan mencuri-curi kesempatan dari
petugas, karena tidak diperbolehkan membeli bensin dengan menggunakan
jerigen. Untuk lebih amannya, nelayan membeli bensin di pengecer dengan
harga Rp 5.000 per liter.
Tabel 3.21. Penerimaan dan Pengeluaran Per Trip menurut Alat Tangkap di
Bitung, tahun 2010
Biaya operasional
X X X X
(Rp)
Solar X 22,692,000 2,365,656 4,575,000
Bensin 109,250 67,500 399,000 400,500
Minyak tanah 474,000 250,000 143,750 129,000
Oli 352,600 696,500 262,000 122,400
Es 525,000 2,945,000 1,085,000 1,222,000
Umpan X 6,140,000 X X
Ransum X 2,064,840 1,210,463 1,748,260
Izin berlayar 20,000 50,000 40,000 50,000
biaya tambat 1,000 2,000 4,000 3,000
Total biaya
1,481,850 34,907,840 5,509,869 8,250,160
operasional
Keuntungan 3,969,750 19,672,160 8,586,881 31,709,840
Sumber: data primer, 2010
47
Peran Subsidi Perikanan
48
pejualan BBM untuk seluruh jenis dan ukuran kapal dan SPDN yang melayani
kapal kurang dari 30 GT. Kapal ikan yang mendapat rekomendasi dari PPS Bitung
dapat memesan langsung solar di depot PERTAMINA. Setiap kapal ikan yang
akan mengisi Solar di SPBB dan Pertamina terlebih dahulu meminta rekomendasi
ke PPS Bitung dengan syarat telah menjadi anggota asosiasi. Asosiasi yang
terdapat di Bitung yaitu Asosiasi kapal perikanan nasional dan HNSI (Himpunan
Nelayan Seluruh Indonesia).
Tabel 3.23. Jumlah Solar yang disalurkan di PPS Bitung, tahun 2009
49
Pertamina PT. Getra (SPBB)
Bulan Total
( KL ) ( KL )
Agustus 200.00 822.30 1,022.30
September 439.00 904.47 1,343.47
Oktober 391.00 1,019.83 1,410.83
Nopember 334.00 837.76 1,171.76
Desember 349.00 770.02 1,119.02
Jumlah 5,102.93 10,275.32 15,378.25
Rata-rata 425.24 856.28 1,281.52
Sumber : Pelabuhan Perikanan Samudera Bitung Tahun 2009
Rata-rata solar yang disalurkan oleh SPBB pada tahun 2009 adalah 856 KL
per bulan dengan harga Rp 4.575 per liter. Harga ini lebih mahal dibandingkan
harga yang ditetapkan oleh pertamina. Kelebihan harga tersebut digunakan
untuk biaya transportasi pengangkutan solar dari depo pertamina menuju PPS
Bitung. Pada tahun 2010, jumlah solar yang disalurkan oleh SPBB lebih tinggi lagi
yaitu 940 KL per bulan.
Selain itu, penyaluran solar di PPS Bitung dilakukan oleh SPDN yang
dikelola oleh Koperasi Serba Usaha Komegoro. SPDN hanya diperbolehkan untuk
melayani kapal kurang dari 30 GT. Pada tahun 2009, rata-rata solar yang
disalurkan oleh SPDN ini adalah 24 KL dan pada tahun 2010 mengalami
peningkatan menjadi 32 KL. Harga solar yang dibebankan kepada nelayan adalah
Rp 4.500 per liter. Kapal-kapal ikan kurang dari 30 GT lebih cenderung untuk
melakukan pengisian solar di SPBB dibandingkan di SPDN. Hal ini disebabkan
50
oleh beberapa hal antara lain tidak kontinyunya stok BBM yang dimiliki oleh
SPDN, system pelayanan yang diberikan dan diduga adanya perbedaan takaran
liter. Rata-rata solar yang disalurkan di PPS Bitung sebanyak 1.500 KL per bulan.
Berdasarkan ukuran kapal, banyaknya solar yang disalurkan di PPS Bitung dapat
dilihat pada Tabel 3.24.
Ditinjau dari ukuran kapal, penyaluran BBM paling besar adalah untuk
kapal lebih dari 30 GT. Hal ini disebabkan, oleh lebih banyaknya konsumsi BBM
oleh kapal berukuran besar dan juga banyaknya jumlah kapal lebih dari 30 GT.
Berdasarkan data dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Bitung jumlah kapal
lebih dari 30 GT di Kota Bitung sebanyak 35% dari total seluruh kapal ikan di Kota
Bitung. Penyaluran Solar oleh SPBB untuk kapal diatas 30 GT sekitar 70% dari
total solar yang disalurkan. Sedangkan untuk kapal dibawah 10 GT hanya
disalurkan sebanyak 1,4%, hal ini disebabkan karena kapal kurang dari 10 GT
sebagian besar tidak menggunakan bahan bakar solar, melainkan campuran
bensin dan minyak tanah.
Tabel 3.24. Solar yang disalurkan SPBB berdasarkan ukuran kapal di PPS Bitung,
tahun 2009
UKURAN KAPAL
Bulan < 10 GT 10 - 30 GT >30 GT JUMLAH
( KL ) ( KL ) ( KL ) ( KL )
51
UKURAN KAPAL
Bulan < 10 GT 10 - 30 GT >30 GT JUMLAH
( KL ) ( KL ) ( KL ) ( KL )
997.50
Ditinjau dari jenis alat tangkap, kapal penangkap dengan alat tangkap
pole and line merupakan kapal yang menggunakan solar terbesar di PPS Bitung.
Sebanyak 23% penyaluran solar dari SPBB di PPS Bitung yaitu untuk kapal pole
and line. Selain kapal penangkap ikan, kapal pengangkut ikan yang berlabuh di
PPS Bitung juga mendapatkan solar subsidi yang disalurkan oleh SPBB Getra di
PPS Bitung. Sebanyak 50% jumlah solar yang disalurkan oleh SPBB tersebut
adalah untuk kapal pengangkut ikan. Sedangkan sisanya disalurkan kepada kapal
penangkap dengan jenis alat tangkap rawai tuna, purse seine dan hand line.
52
biaya operasional, sedangkan bagi kapal ikan dengan alat tangkap lainnya hanya
sekitar 30% dari total biaya operasional.
Tabel 3.25. Perbandingan Biaya Operasional Beberapa Jenis Alat Tangkap dengan
dan tanpa Subsidi di Bitung, tahun 2010
Subsidi solar yaitu dengan harga Rp 4.500 per liter memberikan pengaruh
cukup besar terhadap total biaya operasional. Tanpa adanya subsidi solar
(dengan asumsi harga solar Rp 7.500 per liter) menyebabkan peningkatan total
biaya operasional bagi seluruh kapal penangkap ikan dengan kapal motor. Pada
tingkat harga solar Rp 7.500 per liter meningkatkan prosentasi biaya solar
terhadap total biaya operasional berkisar 10-12% pada nelayan di Kota Bitung.
Sedangkan total biaya operasional mengalami peningkatan sebesar 19-41%
dibandingkan dengan harga solar bersubsidi. Peningkatan biaya operasional
tertinggi yaitu terjadi pada kapal dengan alat tangkap pole and line yaitu sebesar
41% dibandingkan dengan solar bersubsidi. Biaya operasional kapal dengan alat
53
tangkap tuna hand line mengalami peningkatan sebesar 20% dibandingkan
dengan solar bersubsidi.
Dari Tabel 3.25, terlihat bahwa kapal dengan konsumsi solar lebih
banyak akan merasakan dampak yang lebih besar terhadap perubahan harga
solar. Adanya peningkatan biaya operasional dengan solar tanpa subsidi
menyebabkan semakin rendahnya keuntungan yang diterima oleh nelayan.
Penurunan keuntungan kapal dengan alat tangkap pole and line dengan solar
tanpa subsidi adalah 73% dibandingkan dengan menggunakan solar bersubsidi.
Kapal dengan alat tangkap tuna hand line mengalami penurunan keuntungan
akibat tidak adanya subsidi solar sebesar 9% dibandingkan keuntungan dengan
solar bersubsidi.
Perlu dicatat bahwa berdasarkan Tabel 3.25, jika solar untuk kegiatan
penangkapan ikan tersebut menggunakan harga pasar bebas, maka usaha
penangkapan ikan di Bitung masih dapat beroperasi dengan baik. Hal ini
disebabkan karena potensi ikan pada perairan Sulawesi Utara masih cukup
potensial.
54
Sebelah Barat, berbatasan dengan Provinsi Banten
Sebelah Timur, berbatasan dengan Kabupaten Cianjur
Sumber: www.google.co.id
Gambar 3.6. Peta Kecamatan Palabuhanratu
Karakteristik Perikanan
55
Hindia. Wilayah pesisirnya terbentang dengan panjang garis pantai ± 200 km.
Potensi wilayah pesisir Palabuhanratu mencakup potensi sumber daya hayati,
non-hayati, dan jasa-jasa lingkungan. Potensi sumber daya hayati meliputi
ekosistem pesisir, perikanan, dan biota laut lainnya. Selain itu, Palabuhanratu
memiliki Pelabuhan Perikanan Nusantara yang merupakan tempat pelelangan
ikan terbesar di Jawa Barat.
Jenis armada penangkapan ikan yang menggunakan base fishing port-nya
Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu adalah jenis Kapal Motor dengan
ukuran kapal < 10 GT s/d > 30 GT dengan berbagai macam alat tangkap, seperti
Gill net, Payang, Jaring Rampus, Bagan, Purse seine, Pancing ulur, Tuna Longline,
dan Pancing rawai lainnya. Realisasi operasional jumlah kapal/perahu Motor
Tempel dan Kapal Motor lainnya yang beroperasional disajikan pada Tabel 1.
Tabel tersebut menunjukkan bahwa jumlah armada yang beroperasional
didominasi oleh jenis kapal/perahu Motor Tempel sebanyak 230 unit kapal
jumlahnya mengalami penurunan jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
(Laporan Tahunan PPN Palabuhanratu, 2008).
Tabel 3.26. Jumlah Perahu Motor Tempel dan Kapal Motor Tahun 2000 – 2008
Jenis Kapal/Perahu (Unit) Jumlah Fluktuasi
No Tahun Motor Kapal Motor (Unit) (%)
Tempel < 10 GT 11 - 20 GT 21 - 30 GT > 30 GT
1 2000 275 147 11 12 11 456 -0.65
2 2001 323 141 7 7 12 490 7.46
3 2002 317 106 3 13 13 452 -7.76
4 2003 253 106 3 8 11 381 -15.71
5 2004 266 111 4 10 139 530 39.11
6 2005 428 143 9 28 68 676 27.55
7 2006 511 153 4 53 77 798 18.05
8 2007 531 137 10 71 103 852 6.76
9 2008 416 102 7 52 69 646 -24,17
56
masuk kapal, sebaliknya terjadi penurunan pada frekuensi keluar kapal sebesar
29,26 persen dan frekuensi masuk kapal sebesar 34,05 persen.
Frekuensi kunjungan kapal motor dan motor tempel (Tabel 3.27) pada
tahun 2000-2008 selalu mengalami fluktuasi yang bergantung pola musim ikan
dan perubahan cuaca yang tidak menentu. Secara umum, jenis perahu/kapal
motor tempel yang menggunakan Pelabuhan Perikanan Nusantara
Palabuhanratu sebagai tempat labuhnya mengalami penurunan jika
dibandingkan dengan tahun sebelumnya, yaitu sebesar 5.27 persen, sedangkan
jenis kapal motor naik sebesar 22.12 persen. Total frekuensi kunjungan kapal
pada tahun 2008 sebesar 32.335 kali dengan rata-rata kapal yang masuk ke
kolam Pelabuhan sebesar 2.695 kali per bulan. Total frekuensi kunjungan kapal
Motor Tempel sebesar 27.641 kali dengan jumlah rata-rata 2.303 kali per bulan,
sedangkan frekuensi kunjungan Kapal Motor sebesar 4.694 kali dengan rata-rata
394 kali per bulan.
Tabel 3.27. Frekuensi Kunjungan Kapal Motor dan Motor Tempel Tahun 2000 – 2008
Kapal Motor Jumlah Fluktuasi
No Tahun Motor Tempel Total Kapal Motor Motor Tempel
(Kali) (Kali) (Kali) (%) (%)
1 2000 6,891 14,847 21,738 42.64 -7.90
2 2001 2,248 22,588 24,836 -67.38 52.14
3 2002 1,771 28,031 29,802 -21.22 24.10
4 2003 1,675 15,101 16,776 -5.42 -46.13
5 2004 2,857 12,738 15,595 70.57 -15.65
6 2005 5,005 11,505 16,510 75.18 -9.68
7 2006 3,638 19,884 23,522 -27.31 72.83
8 2007 5,279 34.919 40.198 45.16 75.61
9 2008 4,694 27,641 32,335 -11.08 79,057.48
Rata-rata 3,104 18,497 21,602 22.12 5.27
Sumber Data Statistik PPN Palabuhanratu, 2008
57
dari solar untuk kapal motor dan bensin untuk perahu motor tempel mengalami
peningkatan sebesar 18,56 persen, kebutuhan logistik es mengalami kenaikan
sebesar 1,55 persen, kebutuhan logistik air mengalami penurunan sebesar 20,51
persen, dan kebutuhan logistik minyak tanah juga mengalami penurunan sebesar
70,50 persen (Buku Stastistik Perikanan, 2009).
Kebutuhan Logistik
Air (Ltr) Es (Balok) BBM / Solar (Ltr)
No Tahun Fluktuas Fluktuas
Fluktuasi
Jumlah i Jumlah i Jumlah
(%)
(%) (%)
1 2000 2,443,000 147.27 74,632 -17.35 1,917,155 18.37
2 2001 380,000 -84.45 11,490 -84.60 1,045,000 -45.49
3 2002 1,479,900 289.45 277,704 2.316.92 4,041,110 286.71
4 2003 1,591,300 7.53 219,595 -20.92 4,821,870 19.32
10,380,78
5 2004 4,749,000 198.44 285,470 30.00 115.29
1
6 2005 6,034,700 27.07 112,450 -60.61 5,528,785 -46.74
7 2006 1.675.200 -72.24 196.863 75.07 6.213.600 12.39
8 2007 1.787.090 6.68 164.161 -16.61 4.897.912 -21.17
9 2008 2.917.216 63.24 158.868 -3.22 5.811.371 18,65
Rata-rata 1,660.,778 4.64 117,034 - 1.40 2,511,259 0.29
Sumber Data Statistik PPNP 2008
Ket : @ BALOK ES = + 50 Kg
a. Air Bersih
58
langsung sampai ke dalam kapal dengan ukuran penjualan dalam bentuk
kubikasi.
Kemampuan dalam mensuplai air bersih di PPN Palabuhanratu masih
cukup besar dengan tersedianya mobil tangki untuk mengangkut air bersih yang
berkapasitas 400 m³. Di samping itu, instalasi baru khusus untuk nelayan dan
pihak investor guna meningkatkan pelayanan kebutuhan air bersih kepada
masyarakat perikanan telah terpasang.
b. Es Balok
Kebutuhan logistik untuk es balok di PPN Palabuhanratu selama ini masih
disuplai oleh dua perusahaan swasta, yaitu pabrik es Sari Petejo dan Tirta Jaya.
Jumlah pemakain es balok oleh kapal/perahu perikanan di PPN Palabuhanratu
untuk operasional penangkapan ikan disajikan pada grafik berikut.
59
sebesar 164.161 kg (@ balok = 50 Kg) atau rata-rata per bulan sebanyak 13.680
kg.
c. BBM (Solar)
60
ini banyaknya dilakukan oleh kapal-kapal pendatang (Kapal Tuna Long Line) yang
mengisi logistik bahan bakarnya antara lain solar di PPN Palabuhanratu dan
semakin jauhnya daerah penangkapan ikan (fishing ground). Kegiatan
penangkapan ikan 50-70 persennya merupakan biaya operasional yang sebagian
besar untuk keperluan pembelian BBM solar. Penyaluran BBM solar di Pelabuhan
Perikanan Nusantara Palabuhanratu disediakan oleh SPBB dan SPBN yang
dikelola oleh pihak swasta dan melalui SPDN yang dikelola oleh pihak KUD Mina.
Hasil tangkapan nelayan di Palabuhanratu didominasi oleh ikan tuna mata
besar, tuna yellow fin, cakalang, dan tongkol lisong. Hasil tangkapan yang tidak
kalah banyaknya adalah ikan layur, layang deles, layaran, dan peperek.
Berdasarkan data produksi, rata-rata volume produksi pada tahun 2009 adalah
251.016 kg dengan nilai produksi sebesar Rp3.697.308.774. Sementara itu,
tingkat harga jual ikan tuna mata besar dan yellow fin tercatat paling tinggi, yaitu
masing-masing sebesar Rp24.183 dan Rp21.468 per kg.
Tabel 3.29. Volume Produksi, Nilai Produksi, dan Harga per Jenis Ikan Tahun 2009
61
Palabuhanratu dipasarkan di pasar lokal dan regional. Pasar regional yang
menjadi tujuan utama dari pemasaran ikan Palabuhanratu adalah Jakarta
sebesar 57,45 persen dari total volume produksi pada tahun 2009. Pasar regional
lainnya yang juga mampu menyerap produksi ikan Palabuhanratu adalah Cianjur
sebesar 8,64 persen, sedangkan pasar lokal hanya mampu menyerap 8,42 persen
saja dari total volume produksi. Sementara itu, distribusi ke luar negeri atau
ekspor yang langsung dilakukan dari Palabuhanratu hanya menyerap 2,22 persen
dari total volume produksi. Pemasaran ke Jakarta sebenarnya juga dijual kembali
ke luar negeri oleh perusahaan-perusahaan besar yang menampung ikan-ikan
dari Palabuhanratu sehingga kegiatan ekspor tercatat berasal dari Jakarta.
62
berpengalaman lebih dari 15 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan
penangkapan menjadi mata pencaharian yang sangat diandalkan responden
karena sejak usia muda mereka telah memilih nelayan sebagai profesi utama.
Berdasarkan statusnya, sebagian besar responden adalah pemilik kapal
dan ABK. Sebanyak 40 persen responden mengoperasikan sendiri armada
penangkapannya dan sebanyak 32,5 persen bertindak sebagai ABK. Sementara
itu, responden yang bekerja sebagai nahkoda hanya sebanyak 11 orang atau 27,5
persen dari total responden. Kondisi ini disebabkan oleh karena armada
penangkapan yang digunakan berukuran kecil, yaitu ≥ 10GT - < 30GT dengan
wilayah penangkapan yang tidak jauh.
Sebagian besar responden termasuk ke dalam kategori keluarga besar
yang memiliki anggota keluarga sebanyak 3—4 orang dan ≥ 5 orang. Sebagian
besar atau 55 persen responden memiliki anggota keluarga sebanyak 3—4 orang
sehingga termasuk ke dalam kategori keluarga sedang yang terdiri dari orang tua
dan dua orang anak dan 35 persennya memiliki anggota keluarga berjumlah ≥ 5
orang sehingga termasuk ke dalam kategori keluarga besar. Sementara itu,
sebagian kecilnya (15%) memiliki anggota keluarga ≤ 2 orang.
Berdasarkan jumlah anggota keluarga yang bekerja, tampak bahwa
kepala keluarga menjadi tumpuan utama dalam pemenuhan kebutuhan
keluarga. Sementara itu, keterlibatan anggota keluarga yang lain tidak terlalu
signifikan dalam memikul beban ekonomi keluarga. Berdasarkan data yang
diperoleh, 77,5 persen anggota keluarga yang terlibat dalam usaha penangkapan
hanya 1 orang yang berarti hanya kepala keluarga yang bekerja. Namun
demikian, ada pula keterlibatan istri dalam usaha penangkapan sebanyak 12,5
persen dari total responden yang melibatkan 2 orang anggota keluarga yang
bekerja. Sebagian kecilnya lagi atau 10 persen responden yang melibatkan ≥ 3
orang anggota keluarga.
Karakteristik responden juga dapat dilhat dari aspek teknis usaha
penangkapannya berdasarkan kepemilikan kapal menurut GT, jenis alat tangkap,
dan bahan bakar yang digunakan. Berdasarkan kepemilikan kapal (GT), 45 persen
63
responden memiliki kapal dengan ukuran ≥ 5 - < 10 GT dan 32,5 persen
responden menggunakan alat bantu bagan tancap dalam kegiatan
penangkapannya. Sementara itu, responden yang menggunakan kapal dengan
ukuran sedang dan besar hanya sebagian kecil saja, yaitu 12,5 persen untuk
kapal ukuran ≥10 - <30 GT dan 10 persen untuk kapal ukuran ≥30 - <100 GT.
Namun demikian, responden yang menggunakan kapal < 5 GT tidak ada karena
wilayah penangkapan di lokasi penelitian bertambah jauh karena ketersediaan
ikan semakin menurun. Bahkan, kondisi ini juga menyebabkan beberapa jenis
alat tangkap tidak dapat lagi digunakan.
Jenis alat tangkap dan alat bantu lainnya yang digunakan responden
adalah pancing tonda, bagan, gillnet, dan longline. Dari keempat jenis alat
tangkap tersebut, pancing tonda paling banyak digunakan oleh responden, yaitu
sebanyak 16 orang atau sebesar 40 persen. Alat bantu tangkap lainnya yang juga
banyak digunakan adalah bagan yang ditancapkan di lokasi yang masih banyak
memiliki sumber daya ikan, yaitu sebesar 32,5 persen. Bagan hanya berperan
sebagai alat bantu penangkapan karena setelah ikan berkumpul di bagan,
nelayan akan mengambil ikan dengan menggunakan jaring yang ditarik oleh dua
buah kapal. Jenis alat tangkap lainnya adalah longline sebanyak 15 persen dan
gillnet sebesar 12,5 persen dari jumlah responden.
Armada penangkapan yang digunakan sebagian besar adalah kapal motor
dengan mesin berada di dalam kapal (inboard boat), tetapi ada pula nelayan
yang menggunakan kapal dengan motor tempel. Hal ini terlihat dari jenis bahan
bakar (BBM) yang digunakan yang sebagian besar menggunakan solar sebanyak
67,5 persen dan bensin sebanyak 30 persen. Sementara itu, minyak tanah hanya
menyumbang 2,5 persen atau hanya satu armada penangkapan yang
menggunakannya karena minyak tanah hanya digunakan untuk menghidupkan
mesin dan sebagai bahan bakar lampu petromaks.
64
Tabel 3.30. Penguasaan Aset Usaha Perikanan di PPN Pelabuhan Ratu
Karakteristik Jumlah (n) Prosentase (%)
Kepemilikan Kapal (GT)
< 5 GT 0 0
≥5GT - <10GT 18 45
≥10GT -<30GT 5 12.5
≥30GT - <100GT 4 10
≥100GT - -
Bagan 13 32.5
Jumlah 40 100
Jenis Alat Tangkap
Bagan 13 32.5
Gill net 5 12.5
Longline 6 15
Pancing Tonda 16 40
Jumlah 40 100
Bahan Bakar yang Digunakan
Bensin 12 30
Solar 27 67.5
Minyak Tanah 1 2.5
Jumlah 40 100
Sumber: Data primer diolah, 2010
65
Tabel 3.31. Analisa Usaha penangkapan Ikan Beberapa Alat Tangkap di
Palabuhanratu 2010.
Uraian Jenis Alat Tangkap
Gillnet Longline 2 Pancing
Longline 1
Penerimaan Bagan (≥5GT - (≥30GT - Tonda (≥5GT
(≥10GT -<30GT)
<10GT) 100GT) -<10GT)
Teri 272,577
Cumi-cumi 288,889
Tongkol 5,325,000
Cakalang 5,500,000
Tuna 16,000,000 118,500,000 16,483,875
Jumlah 561,466 10,825,000 16,000,000 118,500,000 16,483,875
Biaya operasional
Solar 0 1,269,000 6,750,000 42,000,000 1,787,813
Bensin 109,250 45,000 0 0 25,750
Minyak tanah 474,000 120,000 0 0 106,667
Oli 352,600 438,000 240,000 7,466,667 207,188
Es 525,000 124,000 0 0 688,063
Umpan 0 0 50,000 2,916,667 207,500
Ransum 16,600 461,500 2,357,500 2,533,000 741,256
Biaya di darat - 866,798 0 875,000 667,990
Total biaya
1,477,450 3,324,298 9,397,500 55,791,334 4,432,227
operasional
Keuntungan (915,984) 7,500,702 6,602,500 62,708,666 12,051,648
Sumber: Data primer diolah, 2010
Hasil tangkapan kapal dengan alat tangkap gillnet adalah ikan tongkol dan
cakalang dengan total penerimaan sebesar Rp10.825.000. Sementara itu, biaya
operasional yang dikeluarkan sebesar Rp3.324.298 dengan biaya solar
mengambil bagian yang paling besar, yaitu Rp1.269.000 atau sebesar 39 persen.
Besarnya penerimaan dan biaya operasional tersebut menghasilkan keuntungan
bersih sebesar Rp7.500.702. Sesuai dengan sistem bagi hasil yang berlaku, yaitu
50 : 20 : 30 maka bagian pemilik kapal rata-rata sebesar Rp375.000, nahkoda
Rp1.500.000, dan bagian ABK adalah sebesar Rp2.250.000.
Khusus untuk alat tangkap longline, analisis membedakan antara longline
ukuran ≥10 GT-<30 GT dan longline ukuran ≥30 GT-<100 GT karena hasil
tangkapan dan biaya operasional jauh berbeda sehingga mudah mendapatkan
66
nilai rata-ratanya. Kondisi ini ditunjukkan oleh besarnya penerimaan dan biaya
operasional longline ukuran ≥30 GT-<100 GT masing-masing sebesar
Rp118.500.000 dan Rp55.791.334 sehingga keuntungan bersih yang diperoleh
sebesar Rp62.708.666. Sementara itu, jumlah penerimaan dan biaya operasional
untuk kapal longline ukuran ≥10 GT-<30 GT sangat jauh berbeda, yaitu masing-
masing sebesar Rp16.000.000 dan Rp9.397.500 sehingga keuntungan bersihnya
sebesar Rp6.602.500. Sistem bagi hasil yang berlaku adalah 50% untuk pemilik,
10% untuk nahkoda, dan 40% untuk ABK. Dengan demikian, bagian pemilik rata-
rata adalah Rp3.300.000, nahkoda Rp660.000, dan ABK sebesar Rp2.641.000.
Untuk longline ukuran ≥30 GT-<100 GT, sistem bagi hasil yang digunakan juga
sama sehingga bagian pemilik rata-rata sebesar Rp31.000.000, nahkoda sebesar
Rp6.300.000, dan ABK sebesar Rp25.000.000.
Kegiatan penangkapan pada trip terakhir untuk kapal dengan alat tangkap
pancing tonda membukukan keuntungan bersih sebesar Rp12.051.648. Hasil
tangkapan utama yang dibawa oleh pancing tonda adalah ikan tuna dengan nilai
rata-rata Rp16.483.875, sedangkan biaya operasional yang dikeluarkan rata-rata
sebesar Rp4.432.227 pada trip terakhir. Sistem bagi hasil yang digunakan adalah
50% untuk pemilik, 15% untuk nahkoda, dan 35% untuk ABK sehingga hasil yang
diperoleh oleh masing-masing rata-rata adalah sebesar Rp6.000.000, nahkoda
sebesar Rp2.000.000, dan ABK sebesar Rp4.000.000.
67
Tabel 3.32. Bentuk-bentuk subsidi perikanan tangkap laut tahun 2009
Sementara itu, subsidi atau bantuan yang disalurkan oleh Dinas Kelautan
dan Perikanan lebih bersifat paket, seperti paket penangkapan berupa armada
penangkapan dan alat tangkapnya. Ada pula bantuan berupa alat bantu
penangkapan, seperti rumpon yang diberikan kepada kelompok nelayan yang
lulus seleksi setelah mengajukan proposal bantuan. Selain itu, Dinas Kelautan
dan Perikanan juga memberikan bantuan modal untuk mengkonversi armada
penangkapan nelayan dengan alat tangkap payang menjadi kapal rumpon.
Data statistik pelabuhan menunjukkan bahwa dalam 5 tahun terakhir
jumlah tangkapan ikan nelayan mengalami penurunan. Menurunnya hasil
tangkapan ini mendorong nelayan untuk menempuh perjalanan yang panjang
karena wilayah penangkapan (fishing ground) semakin jauh. Namun, armada
penangkapan yang dimiliki sebagian besar nelayan Palabuhanratu tidak
menunjang untuk sampai ke wilayah penangkapan yang jauh. Akibatnya, nelayan
banyak yang tidak dapat melaut untuk menangkap ikan. Untuk mengatasi
permasalahan ini, pemerintah bisa saja memberi bantuan untuk mengganti kapal
yang ada dengan kapal jenis purse seine. Jenis kapal ini memang dapat
memberikan hasil tangkapan yang banyak bagi nelayan. Namun demikian,
disadari bahwa purse seine justru membahayakan kelestarian sumber daya ikan
karena kemampuannya mengeruk semua jenis ikan dari yang ikan terkecil hingga
68
ikan ukuran besar. Purse seine juga akan merusak terumbu karang dan kekayaan
laut lainnya sehingga justru mengancam kelestarian sumber daya di masa depan.
Gambar 3.9. Bentuk rumpon dan cara kerjanya yang ada di perairan
Palabuhanratu
69
Namun, prakteknya hal itu sangat sulit dilakukan karena faktor iba karena
sekelompok nelayan bisa membawa hasil tangkapan yang banyak, sedangkan
ada kelompok lain yang tidak mendapat hasil tangkapan sama sekali.
Bentuk bantuan lainnya yang juga diberikan Dinas Kelautan dan
Perikanan Kabupaten Sukabumi adalah bantuan modal bagi nelayan yang
memiliki armada penangkapan dengan alat tangkap payang. Modal tersebut
sedianya digunakan untuk mengkonversi kapal mereka menjadi kapal penangkap
ikan di rumpon karena menurunnya ketersediaan sumber daya ikan membuat
kapal payang tidak mampu beroperasi lagi. Untuk itu, pemerintah daerah
berusaha menyediakan daerah penangkapan baru yang lebih terjangkau melalui
rumpon-rumpon yang disebar di sepanjang perairan Palabuhanratu. Bantuan
modal ini merupakan bantuan bergulir dari satu kelompok nelayan ke kelompok
nelayan lainnya. Akan tetapi, bantuan modal tersebut macet karena kelompok
nelayan yang menerima bantuan tidak mengembalikan modal tersebut sehingga
kelompok nelayan lain tidak mendapat kesempatan yang sama.
Dalam memberikan pelayanan BBM solar bersubsidi, Pelabuhan Perikanan
selaku Unit Pelaksana Teknis (UPT) Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap hanya
menyediakan lahan, bangunan, tangki BBM solar dan fasilitas lainnya.
Sedangkan dalam kaitannya dengan pengajuan kuota BBM dan jumlah kuota
yang disediakan merupakan kewenangan dari pihak Pertamina serta
ditembuskan ke Direktorat Jenderal kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (P3K)
yang merupakan bagian dari Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat
Pesisir termasuk di dalamnya Pembangunan Solar Packed Dealer untuk Nelayan
(SPDN).
Pelayanan BBM solar bersubsidi di Pelabuhan Perikanan Nusantara
pebauhanratu dilakukan dalam tiga jenis stasiun pengisian, yaitu:
(1) Solar Packed Delaer untuk Nelayan (SPDN)
Solar Packed Delaer untuk Nelayan (SPDN) adalah stasiun pengisian bahan
bakar solar yang diperuntukkan kepada nelayan dan pembudidaya ikan.
SPDN di Pelabuhan Perikanan Nusantara Pelabuhanratu dikelola pihak KUD
70
Sinar Laut dengan kuota rata-rata sebanyak 236 kiloliter per bulan. SPDN ini
melayani kebutuhan BBM solar bersubsidi bagi kapal-kapal perikanan yang
melakukan tambat di Kolom I yang berukuran < 30 GT (Kapal rumpon, dogol
dan gillnet). Dalam operasionalnya KUD Sinar Laut memanfaatkan fasilitas
pelabuhan perikanan berupa tangki BBM dengan kapasitas 320 m3, instalasi
pompa BBM dan dispenser. Ketiga fasilitas tersebut (tangki BBM, pompa
BBM dan bangunan dispenser) milik Pelabuhan Perikanan Nusantara
Pelabuhanratu, sedangkan pihak KUD memanfaat ketiga fasilitas tersebut
dengan sistem sewa sesuai dengan peraturan yang berlaku.
71
dengan dibantu mobil tangki minyak dengan kapasitas 16.000 liter dalam tiap
minggunya. Status mobil tangki tersebut adalah milik PT. Paridi Asyudewi
yang berfungsi menyalurkan BBM solar bersubsidi melalui darat yang
kemudian disalurkan ke dalam bunker/tongkang, yang selanjutnya dilakukan
pengisian ke kapal-kapal yang ada di Kolom II.
Pelayanan BBM solar bersubsidi di pelabuhan Perikanan Nusantara
Pelabuhanratu dilakukan melalui mekanisme dalam dua tahapan melapor,
yaitu:
(1) Tahapan Melapor Kedatangan Kapal
Pada tahapan melapor kedatangan, pihak nelayan diwajibkan melapor ke
prtugas teknis, petugas jasa, TNI AL, POL AIR, Syahbandar dan Pengawas
Perikanan di Pelabuhan Perikanan, yang selanjutnya diperkenankan
mengajukan permohonan pengisian solar ke penyalur (SPBN/SPBB).
(2) Tahap Melapor Keberangkatan Kapal
Setelah nelayan melakukan tahapan melapor kedatangan kapal pada
beberapa hari sebelum kebarangkatannnya kembali, maka nelayan
diwajibkan melapor keberangkatan kapalnya. Pada tahapan ini, nelayan
melaopor ke TNI AL, POL AIR kemudian melapor ke petugas teknis untuk
mendapatkan STBLKK, ke petugas jasa untuk melakukan biaya bayar tambat,
ke Pengawas Perikanan untuk mendapatkan SLO, dan terakhir melapor ke
Syahbandar di Pelabuhan Perikanan untuk mendapatkan SIB. Setelah kapal
mendapatkan SLO dan SIB, maka dalam waktu 1 x 24 jam penyalur BBM solar
besubdisi (SPBN/SPBB) diperbolehkan menjual solarnya kepada kapal yang
akan berangkat melaut setelah sebelumnya berkoordinasi dengan pihak
syahbandar dalan hal pengisian BLB (Buku Lapor Bunker).
Realisasi penjualan BBM melalui SPDN sejak bulan Mei 2009 hingga
Agustus 2010 secara total telah mencapai volume sebanyak 2.026.417,5 liter,
atau rata-rata relaisasi penjualan per bulannya adalah sebanyak 126.651,1 liter
atau sama dengan 126,6511 kiloliter. Sementara itu, realisasi penjualan BBM
72
melalui SPBN sejak bulan November 2008 hingga Agustus 2010 secara total telah
mencapai volume sebanyak 663.179,1 liter, atau rata-rata relaisasi penjualan per
bulannya adalah sebanyak 30.144,5 liter atau sama dengan 30,1445 kiloliter..
Sedangkan dari Tabel 3 dan Gambar 3 diketahui bahwa realisasi penjualan BBM
melalui SPBB sejak bulan Januari 2010 hingga Agustus 2010 secara total telah
mencapai volume sebanyak 2.936.356,0 liter, atau rata-rata relaisasi penjualan
per bulannya adalah sebanyak 367.044,5 liter atau sama dengan 367,0445
kiloliter.
Bila realisasi penjualan tersebut dibandingkan dengan kuota yang
diberikan, terlihat bahwa untuk SPDN baru mencapai separuh (53,67%) dari
kuota yang dijatahkannya. Sementara untuk SPBN baru mencapai kurang dari
seperempat (12,77%) dari kuota yang dijatahkannya; sedangkan untuk SPBB
telah mencapai hampir keseluhan jatah yang diberikannya (91,76%).
Tabel 3.33. Realisasi Penjualan BBM Solar Bersubsidi SPDN KUD Mina “Sinar
Laut” Pelabuhanratu, Periode Mei 2009 sampai dengan Agustus 2010
73
160,000.0
M
Ju
No
Ja
Ju
ep
ay
ar
ay
l-0
n-
l-1
v-
-1
-0
-
-1
10
09
09
0
0
9
0
Periode Pengisian (Bulan)
Gambar 3.10. Realisasi Penjualan BBM Solar Bersubsidi SPDN KUD Mina “Sinar
Laut” Pelabuhanratu, Periode Mei 2009 sampai dengan Agustus
2010
Tabel 3.34. Realisasi Penjualan BBM Solar Bersubsidi SPBN “PT. MEKAR TUNAS
RAYA SEJATI” Pelabuhanratu, Periode November 2008 sampai
dengan Agustus 2010
74
Secara teknis mekanisme pelayanan baik yang dilihat melalui polanya (SPDN,
SPBN dan SPBB) maupun mekanismenya dalam penyaluran atau penjualan BBM solar
bersubsidi di Pelabuhan Perikanan Nusantara Pelabuhanratu telah cukup memadai. Hal
ini seperti terlihat dari besaran realisasi penjualan BBM solar bersubsidi yang masih di
bawah kuota. Dengan kata lain, pihak Pelabuhan Perikanan Nusantara telah mampu
menyalurkannya secara baik. Namun di sisi lain, rendahnya relaisasi tersebut (terumana
pada SPDN dan SPBN) menunjukkan bahwa sesungguhnya masih terdapat sebagian
besar nelayan yang membeli BBM solar yang dibutuhkannnya justru di luar SPDN dan
SPBB yang ditunjuk. Tentunya pernyataannya dapat dibenarkan bila digunakan asumsi
bahwa besaran kuota BBM solar bersubsidi yang di sediakan adalah dihitung
berdasarkan jumlah kebutuhan BBM untuk nelayannya.
70,000.0
Volume Penjualan (Lt)
60,000.0
50,000.0
40,000.0
30,000.0
20,000.0
10,000.0
0.0
Fe
Fe
M
No
Au
No
Au
ay
ay
b-
b-
g-
g-
v-
v-
-0
-1
09
10
08
09
09
10
9
Gambar 3.11. Realisasi Penjualan BBM Solar Bersubsidi SPBN “PT. MEKAR TUNAS RAYA
SEJATI” Pelabuhanratu, Periode November 2008 sampai dengan
Agustus 2010
Tabel 3.35. Realisasi Penjualan BBM Solar Bersubsidi SPBB “PT. PARIDI ASYUDEWI”
Pelabuhanratu, Periode Januari 2010 sampai dengan Agustus 2010
75
600,000.0
Fe
M
Ja
Ap
Ju
Ju
Au
ar
ay
b-
n-
n-
l-1
r- 1
g-
-1
-1
10
10
10
10
0
0
0
0
Periode Pengisian (Bulan)
Gambar 3.12. Realisasi Penjualan BBM Solar Bersubsidi SPBB “PT. PARIDI ASYUDEWI”
Pelabuhanratu, Periode Januari 2010 sampai dengan Agustus 2010
76
operasional penangkapan ikan. Akibatnya, bila terjadi kenaikan harga BBM jenis
solar sebesar 28% maka akan menambah beban biaya produksi penangkapan
ikan sebesar 28% x 40% = 11,2%. Artinya, dengan kenaikan harga BBM solar
tersebut maka nelayan mengalami beban tambahan yang harus dikeluarkan
sebesar 11,2%. Kondisi seperti ini sangat memberatkan nelayan, terlebih lagi
karena selama ini nelayan dalam memenuhi kebutuhan BBM solar dibeli dari
pihak ketiga (tengkulak) yang harganya lebih mahal kurang lebih 30% dari harga
ketentuan pemerintah.
Tabel 3.36. Analisa pendapatan dan biaya usaha penangkapan pada Trip
Tahun 2010
Jenis alat tangkap
Uraian Pancing
Bagan Gillnet Longline 1 Longline 2
Tonda
≥5GT - ≥10GT - ≥30GT - ≥5GT -
Rata-rata ukuran kapal <10GT <30GT 100GT <10GT
Rata-rata lama hari per
trip:
- musim ikan 1 hari 7 hari 15 hari 120 hari 6 hari
- musim biasa 1 hari 7 hari 15 hari 100 hari 6 hari
- musim paceklik 1 hari 7 hari 15 hari 77 hari 7 hari
Rata-rata volume BBM (per
trip):
- Solar 282 liter 1500 liter 9333 liter 393 liter
- Bensin 5 liter 10 liter - - 6 liter
- Minyak tanah 6 liter 8 liter - - 13 liter
Rata-rata biaya operasional
3,324,29 55,791,33 4,432,22
per trip dengan subsidi - 9,397,500
8 4 7
BBM
Rata-rata biaya operasional 1,477,4 4,170,29 13,897,50 83,791,33 5,592,85
per trip tanpa subsidi BBM 50 8 0 4 2
10,825,0 16,000,00 118,500,0 16,483,8
Nilai hasil tangkap 561,466 00 0 00 75
Sumber: Data primer diolah, 2010
77
yang berupa bensin dan minyak tanah menyumbang hampir 40 persen dari total
biaya operasional. Kedua jenis bahan bakar tersebut tidak termasuk bahan bakar
yang disubsidi sehingga beban biaya tersebut sepenuhnya harus ditanggung
sendiri oleh nelayan kecil.
Di sisi lain, kondisi yang jauh berbeda ditunjukkan oleh kapal-kapal dengan
alat tangkap lainnya yang mampu memperoleh keuntungan cukup besar bagi
nelayan. Seperti halnya kapal gillnet, komponen biaya bahan bakar kapal rata-
rata sebesar 60 persen dari total biaya operasional yang dikeluarkan.
Perbedaannya adalah beban biaya bahan bakar tidak sepenuhnya ditanggung
nelayan, tetapi ada intervensi pemerintah dengan memberikan subsidi bahan
bakar solar yang mereka gunakan. Dengan asumsi harga solar nonsubsidi adalah
Rp7.500 maka biaya operasional per trip yang harus dikeluarkan adalah
Rp4.170.298 yang mengakibatkan berkurangnya keuntungan nelayan rata-rata
sebesar 11 persen jika dibandingkan dengan keuntungan dengan BBM
bersubsidi. Jika nelayan menggunakan BBM bersubsidi maka porsi solar terhadap
biaya operasional adalah 38 persen, sedangkan jika tanpa subsidi porsinya
semakin besar yang mencapai 51 persen per trip penangkapan.
Pemberian subsidi BBM sangat dirasakan dampaknya bagi nelayan dengan
alat tangkap longline, terutama bagi kapal longline ukuran ≥10GT - <30GT.
Berdasarkan olahan data pada Tabel 12, besarnya biaya operasional per trip
tanpa subsidi BBM adalah Rp13.897.500 atau 48 persen lebih besar
dibandingkan biaya operasional per trip dengan subsidi BBM. Dengan demikian,
bagian biaya solar terhadap biaya operasional menjadi 81 persen dibandingkan
apabila kegiatan usaha penangkapan dibantu dengan subsidi BBM yang hanya
mengambil bagian 72 persen per trip. Kenaikan biaya operasional ini berdampak
pada turunnya keuntungan yang diperoleh nelayan rata-rata sebesar 68 persen.
Begitupula halnya dengan kapal longline ukuran ≥ 30 GT – 100 GT yang harus
mengeluarkan biaya operasional per trip lebih besar 60 persen apabila
menggunakan solar tanpa subsidi sehingga porsi biaya solar terhadap biaya
78
operasional naik dari 75 persen menjadi 86 persen. Dampak selanjutnya adalah
menurunnya keuntungan yang diperoleh nelayan sebesar 45 persen.
Subsidi BBM juga sangat dirasakan dampaknya bagi nelayan dengan alat
tangkap pancing tonda. Dengan asumsi harga solar nonsubsidi adalah Rp7.500
per liter maka biaya operasional per trip dengan bahan bakar bersubsidi adalah
Rp4,432,227, sedangkan tanpa subsidi BBM sebesar Rp5,592,852 atau meningkat
26 persen. Akibatnya, besarnya keuntungan nelayan rata-rata menjadi menurun
sebanyak 10 persen. Perbandingan antara adanya subsidi BBM dan tanpa subsidi
BBM pada usaha penangkapan ditunjukkan oleh porsi yang meningkat dari biaya
solar terhadap total biaya operasional yang dikeluarkan. Porsi biaya solar
mencapai 40 persen jika nelayan mendapat solar bersubsidi, sedangkan tanpa
subsidi BBM porsi biaya solar meningkat menjadi 53 persen terhadap total biaya
operasional per trip.
Berdasarkan hasil analisis tersebut, intervensi pemerintah melalui
pemberian subsidi BBM masih sangat diperlukan oleh nelayan dalam negeri
untuk menjamin keberlanjutan usaha penangkapannya. Pihak Pelabuhan
Perikanan Nusantara Palabuhanratu sangat berperan dalam memberikan
pelayanan BBM solar dengan harga subsidi, baik secara langsung (pemberian
pelayanan oleh petugas pelabuhan perikanan dengan menggunakan fasilitas
milik Pelabuhan Perikanan) maupun tidak langsung (pemberian pelayanan pihak
pelabuhan perikanan melalui bekerja sama dengan pihak swasta).
79
Saat ini wilayah kab. Pesawaran terdiri atas 7 (tujuh) wilayah kecamatan
dan 133 desa dengan ibukota di Gedong Tataan. Wilayah laut dan pesisir
Kabupaten Pesawaran meliputi sebagian dari Teluk Lampung dan 37 pulau kecil
yang tersebar di Teluk Lampung dengan potensi meliputi budidaya kerang
mutiara, budidaya rumput laut, budidaya ikan kerapu, budidaya ikan barong, dan
budidaya teripang dengan total potensi lahan seluar 3.685,5 ha, sedangkan
potensi lahan tambak 750 ha yang sebagian besar ada di Kecamatan Padang
Cermin dan Kecamatan Punduh Pidada.
Hasil (nilai) produksi perikanan di Kabupaten Pesawaran, berdasarkan data
produksi 2009 didominasi oleh perikanan budidaya yang jika dilihat secara
proporsinal terlihat pada Tabel 3.37.
Tabel 3.37. Nilai produksi perikanan di Kab. Pesawaran Tahun 2008-2009
No Jenis usaha Nilai produksi (Rp. Juta) Perkembangan
2008 2009 Rp. juta %
1. Tangkap laut 74.278,4 93.667,2 19.388,8 26
2. Tangkap perairan umum 105,0 121,6 16,6 16
3. Budidaya tambak 437.692,2 508.833,6 71.141,4 16
4. Budidaya air tawar 12.996,0 17.880,0 4.884,0 38
5. Daging tiram mutiara 100,0 110,0 10,0 10
6. Rumput laut 2.520,0 2.939,5 419,5 17
7. Budiaya Kerapu (KJA) 96.820,0 144.570,0 47.750,0 49
8. Benih ikan 603,2 1.045,8 442,6 73
JUMLAH 624.511,6 768.121,8 143.610,2 23
Sumber: Laporan Tahunan 2009 Dinas Kelautan dan Perikanan Kab. Pesawaran
Dalam hal perkembangan luas lahan budidaya dan jumlah rumah tangga
pembudidaya ikan di Kab. Pesawaran, dalam tahun 2008-2009 terjadi
perkembangan yang cukup signifikan khusus pada budidaya (KJA) Ikan Kerapu
yang didominasi oleh Kerapu Bebek dapat dilihat pada Tabel 3.39.
80
Tabel 3.38. Perkembangan luas areal budidaya laut di Kab. Pesawaran, Tahun
2008-2009
Tabel 3.39 Jumlah Rumah Tangga (RTP) pembudidaya ikan di Kab. Pesawaran,
2008-2009
2. Minapadi 14 18 4 28
3. Tambak 39 45 6 15
5. Rumput laut 73 94 21 38
Sumber: Laporan Tahunan 2009 Dinas Kelautan dan Perikanan Kab. Pesawaran
81
diberikan oleh pemerintah di Kabupaten Pesawaran Lampung adalah meliputi:
Subsidi yang bersifat langsung dan subsidi yang bersifat tidak langsung.
Subsidi langsung dalam hal ini dimaksud sebagai bantuan yang diterima
oleh para pelaku usaha sektor kelautan dan perikanan dari pemerintah
(Kementerian Kelautan dan Perikanan atau Dinas Kelautan dan Perikanan
setempat) dalam bentuk barang ataupun finansial. Sedangkan subsidi tidak
langsung diberikan dalam bentuk program atau bantuan lainnya yang sifatnya
bukan barang ataupun financial.
Tabel 3.40. Jenis dan Dasar Kebijakan Subsidi Sektor Kelautan dan Perikanan di
Kabupaten Pesawaran Lampung
1.c Bantuan selisih harga - Lemahnya modal para pembudidaya ikan air
benih dan induk ikan tawar terutama untuk membeli benih dan induk
Gurame dan ikan Nila ikan gurame dan ikan nila
- Peningkatan pengembangan usaha budidaya ikan
air tawar (gurame dan nila) sementara
kemampuan modal para pembudidaya yang
relative terbatas.
2. Tidak Langsung:
Sumber: Laporan Tahunan 2009 Dinas Kelautan dan Perikanan Kab. Pesawaran
82
Jenis subsidi langsung diberikan oleh pemerintah dalam tiga bentuk yaitu:
(1) PNPM Mandiri_KP; (2) Pembangunan rumah nelayan ramah bencana; dan (3)
Bantuan selisih harga benih dan induk ikan Gurame dan ikan Nila. Sedangkan
jenis subsidi tidak langsung berupa pelatihan bagi para pembudidaya ikan air
tawar. Penjelasan dari masing-masing bentuk subsidi tersebut dijelaskan pada
uraian selanjutnya.
83
Lokasi Jumlah Jumlah Jenis Jumlah Nilai
Kelompok Anggota usaha paket (Rp.000)
Durian pengeringan ikan
asin, dan
rehabilitasi jalan
setapak.
2 desa 18 169 19 509.974
Sumber: Laporan Tahunan 2009 Dinas Kelautan dan Perikanan Kab. Pesabwaran
(3) Pelatihan
Melalui dana APBD Provinsi Lampung, dilakukan pelatihan yang pesertanya
adalagh masyarakat pesisir dan aparat terkait. Topik materi pelatihan
diantaranya: Pelatihan manajer pengendali mutu perikanan; Pelatihan pembenih
dan pembudidaya ikan air tawar; Magang pembudidaya rumput laut ke NTB;
Magang tambak resirkulasi; Pelatihan cara budidaya ikan yang baik (CBIB);
Pelatihan manajer usaha dan percontohan pembenihan tiram mutiara; Pelatihan
pembenihan ikan laut; Pelatihan budidaya laut dalam rangka pemberdayaan
usaha skala kecil; Pelatihan pembuatan alat tangkap nelayan.
84
Peran Subsidi Perikanan
Untuk itu, dalam bagian ini akan dijelaskan: (1) Analisis biaya dan
penerimaan usaha budidaya pembesaran ikan kerapu dalam KJA di Kabupaten
Pesawaran, Lampung; dan (2) Kemungkinan peran atau dampak potensial yang
dapat dilakukan atau terjadi bila subsidi diberikan terhadap keberlanjutan usaha
dan kelestarian lingkungannya.
85
Tabel 3.42. Rata-rata Biaya dan Penerimaan Usaha Budidaya Pembesaran Ikan Kerapu
Bebek dalam keramba Jaring Apung di Kabupaten Pesawaran, Propinsi Lampung (KJA
sebanyak 13 Kolam dan Siklus Usaha selama 13 Bulan)
Harga Proporsi
Uraian Volume Satuan Nilai (Rp.)
(Rp.) (%)
1. Biaya Total: 230,634,511 100.00
1.1 Biaya Tetap: 71,264,511 30.90
- Investasi: 85,404,100
a. Tempat Pemeliharaan 1 unit 4,587,500 5,382,500
b. Perahu 1 unit 4,292,500 5,125,000
c. Jaring 30 unit 1,005,000 23,705,000
d. Tali 137 kg 358,400 16,921,500
e. Bambu 147 buah 10,100 1,468,000
f. Pelampung 169 unit 172,500 29,453,750
g. Pompa Air 1 unit 281,200 326,100
h. Lampu Penerangan 2 unit 2,010,000 2,085,000
i. Gudang 1 unit 442,500 487,500
j. Timbangan 1 unit 441,000 449,750
86
Dari Tabel 3.42 diketahui bahwa berdasarkan strukturnya, proporsi biaya
usaha budidaya pembesaran ikan kerapu didominasi oleh dua jenis biaya
pengeluaran, yaitu: (1) Untuk benih ikan kerapu yang menyerap sebanyak Rp.
48.592.500,- atau 21,07% dari biaya totalnya; dan (2) Untuk pakan ikan yang
menyerap sebanyak Rp. 69.900.000,- atau 36,22% dari biaya totalnya. Biaya
pakan tersebut terdiri dari biaya unuk pakan ikan rucah (pakan alami) sebanyak
Rp. 65.895.750,- atau 28,57% dan untuk pakan pelet sebanyak Rp. 17.634.750,-
atau 7,65%. Sementara, rata-rata penerimaan yang dihasilkan baru bersumber
dari budidaya pembesaran ikan kerapu bebek saja (monoculture), yaitu sebanyak
698 kg dengan nilai sebanyak Rp.314.210.000,-. Secara sederhana, berdasarkan
besaran penerimaan dan biaya totalnya, maka dapat diketahui bahwa usaha
budidaya pembesaran ikan kerapu dalam keramba jaring apung (KJA) di
Kabupaten Pesawaran telah mencapai kondisi efisiensi dengan rasio penermaan
terhadap biayanya sebesar 1,50.
87
memutuskannya setelah melakukan pengkajian berdasarkan kedua
pertimbangan di atas (keberlanjutan usaha dan kelestarian lingkungan),
88
pemerintah memberikan subsidi benih yang berkualitas baik, berarti
produktivitas usaha budidaya pembesaran dalam KJA di Kabupaten Pesawaran
dapat lebih ditingkatkan lagi. Sementara di sisi lain, pemberian subsidi berupa
pakan ikan, secara teknis lebih rumit karena dominasi pakan ikan rucah yang
notabene diperoleh dari dari hasil tangkapan nelayan dengan menggunakan alat
tangkap yang dalam waktu dekat akan dilarang pemerintah yaitu alat tangkap
jaring cantrang (jaring gardan). Dengan kata lain, bila pemberian subsidi pakan
ikan yang menjadi pilihan, pemerintah menghadapi situasi yang lebih sulit dan
kurang dapat memasukkan unsur pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, dibandingkan bila benih ikan yang menjadi pilihan tersebut.
Tabel 3.43. Simulasi Perubahan Rasio Penerimaan terhadap Biaya (R/C) Usaha
Budidaya Pembesaran Ikan Kerapu dalam KJA di Kabupaten Pesawaran pada
Berbagai Perubahan Tingkat Subsidi Benih Ikan (Tanpa dan Dengan Subsidi
Benih)
89
Dari Tabel 3.43 diketahui bahwa pemberian subsidi benih ikan dapat
meningkatkan rasio penerimaan terhadap biaya total (efisiensi) usaha budidaya
tersebut. Sebagai gambaran untuk pemberian subsidi benih ikan sebsar 15%
akan meningkatkan rasio penerimaan terhadap biaya (R/C) usaha budidaya
tersebut meningkat dari semula (tanpa subsidi benih) sebesar 1,50 menadi
sebesar 1,56, atau R/C usaha meningkat sebesar 3,69% (lihat Tabel 3.43 dan
Tabel 3.44).
Tabel 3.44. Rata-rata Biaya dan Penerimaan Usaha Budidaya Pembesaran Ikan
Kerapu Bebek dalam KJA pada Kondisi Tanpa dan Dengan Subsidi Benih 15%
90
Dengan Subsidi Benih Ikan
Tanpa Subsidi 15%
Uraian
Proporsi Proporsi
Nilai (Rp.) Biaya (%) Nilai (Rp.) Biaya (%)
d. Pakan Rucah 65,895,750 28.57 65,895,750 28.68
e. Pakan Pelet 17,634,750 7.65 17,634,750 15.66
f Tenaga Kerja 2,430,000 1.05 2,430,000 1.02
f. Gas Elpiji 1,376,050 0.60 1,376,050 0.53
g. Air Bersih 6,811,700 2.95 6,811,700 6.64
h, Ransum bulanan 1,555,000 0.67 1,555,000 1.12
i. Retribusi Kebersihan 621,250 0.27 621,250 0.42
j. Pajak Kolam Keramba 3,735,000 1.62 3,735,000 1.26
2. Penerimaan: Produksi ikan kerapu 314,210,000 314,210,000
3. Rasio Penerimaan terhadap Biaya 1.50 1,56
Sumber: Data Primer diolah (2010)
91
dilakukan secara baik dan konsisten, justru dampak negative tersbut berpotensi
besar dapat terjadi.
Berdasarkan data statistik, dalam tiga tahun terakhir 30% - 39% PDRB
Kab. Kolaka disumbang oleh sektor pertanian (termasuk perikanan). Secara
proporsional, produksi perikanan Kab. Kolaka berasal dari perikanan laut
(perikanan tangkap dan budidaya).
92
Berkaitan dengan hal di atas, dalam kajian ini difokuskan kepada
komoditas unggulan, yaitu budidaya rumput laut dan budidaya tambak ikan
Bandeng karena bantuan pemerintah banyak ditujukan kepada kedua jenis usaha
ini. Survey dilakukan terhadap pembudidaya tambak dan rumput laut di Desa
Towua, Kecamatan Wunduloko, dan di Desa Muara Lapao-pao Kecamatan Wolo,
Kabupaten Kolaka.
Tambak 4.643 4.643 4.643 6.697 7.031 7.231 109.343 119.437 122.566
Rumput laut 584 1.903 1.919 13.784 15.817 15.223 50.163 151.353 137.007
Jumlah 7.849 9.169 8.728 22.491 24.868 24.475 162.033 273.332 262.152
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kab. Kolaka, 2009
Kontribusi/porsi:
Tambak (%) 9,15 0,64 3,2 9,776 8,273 9,544 67,4819 43,6967 46,75379
Rumput laut (%) ,44 0,75 1,99 1,287 3,604 2,198 30,9585 55,3733 52,26243
Budidaya Bandeng
93
pemeliharaan 6 bulan.. Bibit alam yang dibeli seharga Rp50 per ekor disimpan
dalam tempat yang disebut gelondongan. Gelondongan tersebut diletakkan di
dasar tambak yang mampu menampung bibit sebanyak 15 ribu ekor yang
biasanya diisi 2 kali dalam setahun. Dalam waktu 2 bulan, bibit sudah bisa
dipindahkan ke tambak untuk tahap pembesaran. Waktu 2 bulan ini
dimanfaatkan untuk mengeringkan tambak sebelum tahap
penebaran/penanaman bibit dimulai. Proses pengeringan tambak biasanya
memerlukan waktu satu bulan dan sisa waktu satu bulan digunakan untuk
pemberian pupuk kimia (Urea dan TSP), dan racun yang berfungsi sebagai
pembasmi ikan liar. Kemudian tambak diisi air secara bertahap. Tidak ada acuan
baku yang diikuti dalam pemberian pupuk. Pemberian pupuk lebih didasarkan
kepada kemampuan masing masing pembudidaya. Tujuan pemberian pupuk dan
pengisian air secara bertahap agar tumbuh lumut dan jasad renik yang nantinya
berfungsi sebagai pakan alami ikan Bandeng. Selanjutnya, bibit ditebar yang
biasanya berjumlah 2.000—3.000 ekor per petak tambak. Selama pembesaran,
hampir tidak ada pembudidaya yang memberi pakan tambahan dalam bentuk
apapun. Kalaupun diberi pakan pelet, itupun sekedarnya saja. Setelah lama
pemeliharaan 4 bulan, mulai dilakukan panen. Sistem panen dilakukan bertahap.
Caranya, pembeli (yang disebut pembonceng) membeli langsung ke tambak dan
membeli secara eceran sebanyak 100 – 200 ekor. Pembeli (pedagang) berasal
dari Kolaka dan sekitarnya dan ikanpun dijual dalam bentuk ikan segar di pasar
pasar yang ada di Kab. Kolaka. Kondisi ini, dimana pasar yang ada terbatas pada
pasar lokal dan belum ada industri pengolahan ikan Bandeng membuat harga
jual jatuh pada saat panen bahkan kadang tidak terserap pasar.
94
membeli benih ikan dapat digeser untuk alokasi pupuk atau biaya input lainnya.
Bantuan untuk melakukan bedah tambak diakui sangat bermanfaat, baik untuk
keberlanjutan usaha maupun bagi kelestarian sumber daya. Faktor utamanya
adalah karena program bedah tambak ini dapat mengaktifkan kembali tambak
yang telah lama ditinggalkan karena sudah tidak layak pakai. Selain itu,
pertumbuhan ikan menjadi sangat bagus karena lingkungan tambak yang
kondusif bagi tumbuhnya pakan alami yang dibutuhkan oleh bandeng dan udang.
Saat ini, bantuan berupa pupuk dan mesin pompa menjadi harapan petani
tambak bandeng dan udang. Input berupa pupuk merupakan bahan baku utama
yang diperlukan dalam usaha tambak ini sehingga sebagian besar modal
diperuntukkan untuk membeli pupuk. Pada kenyataannya, harga pupuk saat ini
sangat mahal sehingga dirasakan sangat membebani para petani tambak.
Sementara itu, input berupa mesin juga sangat diperlukan para petani yang
selama ini belum pernah tersentuh oleh bantuan pemerintah. Untuk itu,
pengadaan kedua input tersebut diharapkan dapat menjadi perhatian
pemerintah daerah setempat.
Tabel 3.46. Perkembangan Luas areal dan Produktivitas Tambak di Kab. Kolaka
Tahun 2007-2009
95
Tabel : 3.47. Prosentase Peningkatan Luas areal dan Produksi Tambak
Tiap Kecamatan di Kab. Kolaka Tahun 2007-2009
No Kecamatan Luas areal Vol.
produksi
1. Wolo 0% 7%
2. Samataru 0% 7%
3. Latambaga 0% 8%
4. Kolaka 0% 7%
5. Wundulako 0% 9%
6. Baula 0% 9%
7. Pomalaa 0% 8%
8. Tanggetada 0% 8%
9. Watubangga 0% 8%
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kab. Kolaka, 2009
Selama periode 2004 hingga 2008, usaha budidaya Rumput laut mencapai
masa jayanya. Dalam kurun waktu tersebut, kesejahteraan pembudidaya
menunjukkan peningkatan yang berarti. Perubahan yang kasat mata adalah
dengan dibangunnya rumah yang permanen, adanya tabungan di bank, dan
dimilikinya kendaraan bermotor. Kondisi ini sangat berbeda dengan masa
sebelumnya yang menunjukkan bangunan rumah yang sederhana serta tidak
adanya kendaraan bermotor di rumah.
Masalah mulai timbul dalam budidaya Rumput laut sejak awal tahun
2008, berupa gangguan yang menyebabkan bibit Rumput laut yang berumur 3
96
minggu menjadi hancur. Akibatnya, produktivitas hasil sangat rendah. Gangguan
ini belum teridentifikasi faktor penyebabnya, apakah karena kualitas bibit,
kepadatan lahan, atau karena lingkungan budidayanya. Untuk itu, para petani
tambak sangat mengharapkan adanya penelitian atas masalah tersebut agar
gangguan tersebut dapat diatasi dengan cepat.
Masalah lain yang ada terkait dengan batas-batas lahan budidaya yang
mengakibatkan adanya konflik antar sesama petani rumput laut maupun antara
petani rumput laut dengan nelayan. Untuk itu, Dinas Kelautan dan Perikanan
Kabupaten Kolaka berusaha menyelesaikan konflik tersebut dengan mengundang
Kepala Desa dan kelompok-kelompok, baik kelompok budidaya maupun
kelompok tangkap laut. Pertemuan ini dimaksudkan untuk mengatur jalur-jalur
perhubungan bagi lalu lintas kapal nelayan yang akan ke atau dari laut. Untuk itu,
dinas membuat rambu-rambu batas rumput laut yang menyala saat malam hari.
Rambu-rambu tersebut dibuat dengan menggunakan pelampung dan pemberat
agar tidak bergeser karena arus laut. Selama ini, cara tersebut dapat diterima
oleh para pembudidaya rumput laut dan nelayan.
97
tahun 2007 hingga sekarang, bantuan hanya berupa bibit dan tali. Bantuan yang
diberikan bersifat seragam sehingga setiap kelompok yang mendapat bantuan
akan menerima barang yang seragam. Artinya, bantuan tidak dibedakan sesuai
dengan kebutuhan setiap kelompok. Contohnya, bantuan tahun 2009 adalah
bibit dan tali maka setiap kelompok akan mendapat bibit dan tali dalam jumlah
dan kualitas yang sama. Bantuan tersebut diberikan satu kali dalam setahun.
98
Tabel 3.49. Peningkatan Luas areal dan Produksi Rumput Laut
di Kab. Kolaka Tahun 2007-2009
99
kelompok pembudidaya yang mendapat bantuan disahkan dalam Surat
Keputusan (SK) yang dikeluarkan oleh kepala Dinas Kelautan dan Perikanan
Kabupaten Kolaka. Adapun kriteria pemberian bantuan adalah: (a) prioritaskan
pembudidaya yang miskin; (b) belum pernah mendapat bantuan; (c) siap sharing
dalam bantuan yang sifatnya fifty-fifty karena tanpa komitmen ini bantuan akan
gagal sehingga usaha budidayanya tidak mampu berkembang.
A. Subsidi/Bantuan langsung
100
No Jenis dan bentuk subsidi/bantuan Dasar pertimbangan
101
Tabel 3.51. Jenis dan bantuk bantuan/subsidi perikanan budidaya laut
di Kab. Kolaka tahun 2007 – 2010
No Jenis dan bentuk 2007 2008 2009 2010
subsidi/bantuan
Vol Alokasi Vol Alokasi Vol Alokasi Vol Alokasi
(000) (000) (000) (000)
A. Bantuan/Subsidi
langsung
1. Budidaya
Rumput laut
a) Pengadaan 50 415.000 2 1.250.000 6 400.000 8.372 362.500
sapras (bibit, talli paket paket paket kg
ris, jangkar
b) Sarana - - 4 75.000 - - - -
penunjang (kayu paket
tiang, lantai)
2. Budidaya 10 63.000 - - 5 94.300 7 klp 83.950
Teripang (bibit, paket unit
waring, tali)
3. Rehab dan 100 400.000 - - 240 559.200 - -
konstruksi ha ha
tambak
B. Bantuan/Subsidi
tidak langsung
1. Pembangunan 1 167.185 - - - - - -
Hatchery unit
2. Tower hatchery 1 49.900 - - - - - -
Watubangga unit
3. Penyempurnaan - - - - 1 63.900 1 75.000
sapras hatchery unit unit
Wolo
4. Pemantapan BBI 3 110.000 - - - - - -
Loea, Mowewe, paket
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kab. Kolaka, diolah.
Seperti yang dapat dilihat pada Tabel 4.7, bentuk bentuk bantuan
langsung berupa: pembelian bibit, tali ris, jangkar, kayu dan lainnya yang
fungsinya untuk budidaya Rumput laut dan pembuatan para para untuk
penjemuran rumput laut hasil panen; pembelian bibit, waring, tali dan kayu
untuk budidaya Teripang; serta subsidi biaya penggalian dan penataan lahan
tambak yang terbengkalai. Bentuk bentuk bantuan tidak langsung yang dilakukan
(yang berkaitan dengan budidaya rumput laut dan budidaya tambak)
diantaranya: Rehabilitasi kantor BBI Wundulako, Pembangunan hatchery,
Pembangunan tower hatchery di Kec. Watubangga, Penyempurnaan sarana
prasarana hatchery di Kec. Wolo, Pemantapan BBI Loea di Mowewe, Wundulako
102
Peran Subsidi Perikanan
Dalam kurun waktu 2007 sampai dengan 2009 tidak terjadi pertambahan
luas areal tambak yang diusahakan untuk budidaya. Demikian juga volume
produksi ikan hanya meningkat 8-9%, sedangkan produktivitas hasil yang rendah
yaitu 1,45 ton/ha (2007), meningkat menjadi 1,52 ton/ha (2008) dan kemudian
1,56 ton/ha (2009). Kondisi ini terjadi karena: (1) Petani tambak tidak cukup dana
untuk merehabilitasi tambaknya yang sudah puluhan tahun digunakan dan telah
terjadi pendangkalan. Akibatnya, luas lahan tambak yang difungsikan relatif
tetap bahkan cenderung akan berkurang karena pendangkalan yang terjadi terus
menerus akibat penebangan hutan di bukit dan hutan mangrove di pesisir; (2)
Petani tambak tidak cukup dana untuk memberi pakan secara intensif dan hanya
mengandalkan pakan alami sehingga harus mengurangi padat tebar yang
berpengaruh kepada produktivitas hasil. Berdasarkan kondisi di atas dapat
disimpulkan bahwa jenis bantuan berupa bedah tambak perannya cukup nyata
terhadap budidaya Bandeng. Inipun baru sebatas perannya terhadap
pertambahan luas lahan yang dilakukan dalam tahun 2009 (240 ha).
103
bagian terdahulu, hal ini terjadi karena adanya serangan hama/penyakit pada
bibit Rumput laut yang masih muda. Jika dikaji lebih dalam melalui
perbandingan data tahun 2007 dengan data tahun 2009 dapat dilihat bahwa
dalam hal luasan lahan terjadi peningkatan luas sebesar 229%. Namun hal ini
tidak langsung diikuti oleh peningkatan produksi yang signifikan karena ternyata
produksi hanya meningkat 61%.
104