You are on page 1of 4

DAMPAK pemberitaan ini telah membuka mata dan hati kita semua yang peduli terhadap nasib

petani, bahkan telah mendorong Gubernur Jabar untuk menjadi “petani” yang sedang
menggendong sprayer untuk menyemprot wereng cokelat dengan insektisida tanpa memakai
sarung tangan dan masker pelindung (mungkin lupa atau mungkin jenis insektisida yang
disemprotkan tidak berbahaya?). Pada kesempatan tersebut, Gunernur didampingi pula oleh Pak
Entang Ruchiyat (Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jawa Barat), Bupati Cirebon dan
petugas lainnya. Aksi penyemprotan tersebut menurut istilah “PR” sebagai cara “gropyokan”
yang menurut hemat saya, istilah ini kurang tepat. Mungkin akan lebih cocok dengan istilah
“penyemprotan massal” sebab istilah “gropyokan” biasanya dipakai untuk mengendalikan hama
tikus secara fisik dan mekanis secara langsung dengan tangan maupun menggunakan alat yang
melibatkan banyak tenaga kerja (perburuan massal).

Penulis mendukung tindakan Gubernur Jawa Barat beserta aparat teknisnya yang responsif untuk
segera menekan laju serangan wereng cokelat agar tidak meluas. Mari kita tunggu hasilnya.
Tindakan ini pula dimaksudkan agar petani tidak trauma terhadap peningkatan serangan wereng
cokelat secara mendadak (eksplosi) yang jika dibiarkan dapat mengancam produksi padi Jawa
Barat khususnya di Cirebon.

Hal ini sesuai dengan Penjelasan atas Undang-Undang Republik Indonesia No. 12 Tahun 1992
tentang Sistem Budidaya Tanaman pada penjelasan umum alinea 16 yang berbunyi,
“Perlindungan tanaman merupakan suatu rangkaian kegiatan untuk melindungi tanaman dari
serangan organisme pengganggu tumbuh-tumbuhan. Kegiatan tersebut meliputi pencegahan
masuknya, pengendalian dan eradikasi organisme pengganggu tumbuhan. Pelaksanaan
perlindungan tanaman menjadi tanggung jawab masyarakat dan pemerintah. Dalam hal terjadi
eksplosi serangan organisme pengganggu tumbuhan, pemerintah bertanggung jawab untuk
menanggulanginya bersama masyarakat. Kegiatan-kegiatan tersebut kesemuanya bertujuan untuk
mengamankan tanaman dari serangan organisme pengganggu tumbuhan yang tujuan akhirnya
menyelamatkan produksi baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya. Oleh karena itu
masyarakat diharapkan berperan serta untuk melaporkan terjadinya serangan organisme
pengganggu tumbuhan pada tanaman di wilayahnya, terutama yang sifatnya eksplosi dan
sekaligus berusaha untuk mengendalikan organisme pengganggu tumbuhan tersebut. Mengingat
bahwa dalam hal-hal tertentu kegiatan perlindungan tanaman menggunakan pestisida maka harus
memperhatikan keselamatan manusia dan kelestarian lingkungan hidup.”

Bagaimana respons para pakar perlindungan tanaman (sebagai anggota masyarakat) terhadap
kemunculan kembali wereng cokelat di pesawahan petani pantai utara Jawa Barat? Tulisan ini
tidak bermaksud menggurui para pakar yang sudah berpengalaman dalam mengatasi meluasnya
serangan wereng cokelat, tetapi sekadar membangkitkan kepedulian untuk sama-sama
memberikan masukan mengenai strategi terbaik dalam mengendalikan wereng cokelat menurut
aturan pemerintah yang berlaku dan landasan ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan
sehingga di kemudian hari tidak timbul masalah yang lebih merugikan bagi petani maupun
lingkungan hidup sekitar pesawahan.

Mengapa wereng batang cokelat muncul kembali pada bulan Juli tahun ini? Dari informasi yang
dihimpun “PR”, wereng cokelat pada awal bulan Juli sudah mengganas di areal pertanian Jawa
Tengah mencapai ribuan hektare seperti di Demak, Pemalang, Grobogan, Klaten, Kudus, Pati
dan Jepara dengan tingkat serangan sampai ada yang puso/tidak menghasilkan dan puluhan ribu
hektare terancam. Pada pertengahan bulan Juli ribuan hektare tanaman padi milik petani di
Cirebon dilaporkan puso.

Organisme pengganggu tanaman (wereng dan sundep) telah menyerang sedikitnya 5.000 hektare
sawah yang tersebar di wilayah Cirebon meliputi kecamatan Pabedilan, Karangsembung, Waled,
Ciledug, Lemahabang, Losari, Gebang, Astanajapura dan Pangenan (Cirebon Timur). Di Cirebon
Barat serangan wereng masih sebatas spot-spot yaitu di Sumber, Kedawung, Cirebon Selatan dan
Plumbon (“PR” 19/07/05). Sehari kemudian “PR” melaporkan, serangan wereng sudah mencapai
8.000 hektare (“PR” 21/07/05). Makin meluasnya serangan wereng cokelat ini sangat
mengkhawatirkan petani, sedangkan petani tidak mampu lagi untuk melakukan pengendalian
secara madiri, maka perlu uluran tangan baik dari pemerintah (gubernur, bupati beserta aparat
teknis terkait) maupun saran dan tindakan dari para pakar perlindungan tanaman untuk segera
melakukan aksi nyata agar serangan wereng cokelat tidak meluas. Untuk maksud tersebut
diperlukan informasi awal yang lengkap dan sistematis. Salah satu sumber informasi adalah dari
harian “PR” dengan rangkuman sebagai berikut:

Menurut Baehaki (“PR” 26/07/05), penyebab munculnya kembali serangan wereng cokelat
adalah faktor pertama terjadinya anomali musim (keganjilan) yaitu adanya hujan di musim
kemarau sehingga kelembaban udara dan temperatur menjadi kondisi yang optimal untuk
perkembangan populasi wereng cokelat. Wereng cokelat memiliki biological clock (mampu
berkembang biak di musim hujan maupun kemarau.

Faktor kedua perkembangan wereng cokelat bersifat strategis dan cepat menemukan habitat baru
sebelum habitat lama “katastropi”. Faktor ketiga wereng cokelat memiliki genetik plastisitas
yang tinggi (mampu beradaptasi secara cepat pada varietas padi yang baru (membentuk biotipe
yang lebih ganas daripada sebelumnya). Wereng cokelat juga mampu dengan cepat melemahkan
kerja insektisida (resisten). Faktor keempat tingginya serangan wereng cokelat dapat dipicu oleh
perilaku manusia mulai dari para petani yang salah menggunakan pestisida sehingga
menimbulkan resurjensi (bertambahnya populasi lebih tinggi dari populasi awal sebelum
disemprot insektisida).

Faktor kelima berkurangnya peran penyuluh pertanian dan petugas pengamat hama dalam
melakukan monitoring perkembangan hama di lapangan. Faktor keenam kebijakan pemerintah
yang kurang mendukung upaya penelitian varietas baru tanaman padi yang lebih tahan wereng
cokelat. Faktor lain, pola tanam yang tidak serempak serta banyaknya petani yang menanam
varietas tidak tahan wereng cokelat (varietas kemauan sendiri seperti “Goyang dombret” , “Inul”,
“Citarum”, “Galur”, “Ketan” dan lain-lain) (“PR” 22/07/05).

Seluruh faktor pemicu timbulnya kembali ledakan serangan wereng cokelat di pertanaman padi
milik petani tersebut harus dijadikan pijakan untuk penyusunan strategi pengendalian wereng
cokelat yang efektif dan ramah lingkungan. Untuk maksud tersebut diperlukan rangkaian
pengkajian dan penelitian secara komprehensif dan terpadu dalam satu kesatuan koordinasi.

Mengapa harus belajar dari pengalaman tahun 80-90? Seperti yang diberitakan “PR” (26/07/05),
kita pada satu dasawarsa 1980-1990 telah berhasil menekan serangan wereng cokelat sehingga
disebut “periode emas” karena Indonesia dinilai FAO (organisasi pangan PBB) sukses
berswasembada beras. Mengapa waktu itu bisa berhasil? Keberhasilan tersebut tidak lepas dari
kesungguhan pemerintah dan partisipasi masyarakat (dukungan para pakar, kesadaran pengusaha
formulasi pestisida dan kepatuhan serta kesungguhan petani) setelah diterbitkannya Inpres No. 3
Tahun 1986. Sebagai tonggak pertama penerapan sistem pengendalian hama terpadu pada hama
tanaman padi, yaitu sistem pengendalian populasi hama dengan menerapkan berbagai cara
pengendalian yang serasi sehingga tidak menimbulkan kerugian ekonomi dan aman terhadap
lingkungan.

Salah satu ketentuan dari Inpres No. 3 tahun 1986 tersebut adalah melarang penggunaan 57 jenis
insektisida pada tanaman padi yang berspektrum lebar (tidak selektif) terutama dari insektisida
golongan organofosfat setelah diketahui menimbulkan kasus resurjensi (meningkatnya populasi
hama setelah aplikasi pestisida). Serta merekomendasikan jenis insektisida yang selektif dari
golongan carbamat (BPMC, MIPC) dan penghambat pembentukan kitin serangga dari golongan
Benzoil urea seperti buprofezin.

Penulis sempat membaca “PR” terbitan Senin 1 Agustus 2005, yang melaporkan bahwa tindakan
pemberantasan wereng cokelat yang diinstruksi Gubernur Jabar belum kelihatan hasilnya bahkan
serangan wereng makin meluas. Dari informasi tersebut terdapat sinyalemen penggunaan
pestisida palsu yang beredar di kalangan petani. Apa betul? Apakah ini bukan diakibatkan oleh
faktor lain seperti berkurangnya peran musuh alami wereng (predator, parasitoid dan patogen)
karena penggunaan insektisida yang seenaknya sendiri, atau mungkin insektisida yang
dianjurkan dipakai sudah tidak efektif (sudah menimbulkan gejala resistensi atau resurjensi)?
Kemungkinan lain wereng cokelat sudah membentuk biotipe baru sebagai respons terhadap
tanaman padi varietas tahan (IR 64)?

Beberapa kalimat tanya tersebut sebagai umpan balik agar masalah serangan wereng cokelat
menjadi perhatian para pakar perlindungan tanaman yang masih peduli terhadap nasib petani
padi.

Dari rangkaian kronologis peristiwa timbulnya kembali serangan wereng cokelat pada tahun ini,
penulis menyampaikan saran kepada para penentu kebijakan di bidang perlindungan tanaman
pangan yaitu: (1) Aktifkan kembali para petani yang telah mengikuti Sekolah Lapang PHT (SL
PHT) untuk memantau perkembangan populasi wereng cokelat berikut keberadaan musuh
alaminya (predator, parasitoid dan patogen hama) pada areal tanaman padi yang masuk ke dalam
tanggung jawab kelompoknya di bawah bimbingan petugas pengamat hama/PPL.

(2) Klasifikasikan areal tanaman padi yang terserang wereng cokelat ke dalam kriteria serangan
berat (puso), agak berat, sedang, ringan dan tidak terserang, yang dilengkapi dengan informasi
penerapan teknik budi daya (varietas padi, pemupukan, aplikasi pestisida jenis dan dosis,
penyiangan, pengairan) hama lain dan penyakit. Jika menemukan serangan berat lengkapi
dengan informasi varietas yang ditanam.

(3) Lakukan pelarangan peredaran jerami padi dari daerah serangan ke daerah yang belum
terserang. (4) Lakukan evaluasi terhadap pestisida yang digunakan (jenis, dosis, cara dan waktu
aplikasi, interval penyemprotan, dicampur, tidak dicampur, efektivitas). (5) Lakukan seleksi
terhadap jenis pestisida yang dipakai (masih efektif, kurang efektif, tidak efektif). (6) Gunakan
insektisida yang masih efektif menurut ambang ekonomi hama dengan memperhatikan teknik
aplikasi yang benar agar dampak negatif sewaktu aplikasi dapat diperkecil.

(7) Tindak lanjuti dengan penelitian jika pada varietas IR 64 terserang berat wereng cokelat. (8)
Sosialisasikan kepada para petani dan petugas peraturan perundang-undangan yang berlaku di
bidang perlindungan tanaman berikut ketentuan tindak pidananya.

(9) Terapkan sistem pengendalian hama terpadu untuk musim tanam yang akan datang
(Pemanfaatan pengendalian alami setempat; Pengelolaan ekosistem persawahan dengan cara
bercocok tanam seperti penggunaan varietas tahan; pergiliran tanaman/varietas; sanitasi
lingkungan; Mengatur masa tanam; aspek bercocok tanam lainnya; Penerapan pengendalian
nonkimiawi dan penggunaan pestisida secara bijaksana (selektif fisiologis dan ekologis). (10)
Berlakukan kembali sistem informasi organisasi penerapan PHT di tingkat petani (Pemantauan
agro ekosistem, pengambilan keputusan dan program tindakan.***PR-Senin, 08 Agustus
2005

Penulis, staf pengajar Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan Faperta Unpad, peneliti pada
Puslit Pengelolaan Keanekaragaman Hayati Lembaga Penelitian Unpad.

You might also like