You are on page 1of 10

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Seiring dengan perkembangan zaman sejarah kesusastraan Indonesia
dari waktu ke waktu mengalami perubahan baik dari segi penyebarannya
maupun bahasa yang digunakan dalam pembuatan karya sastra.
Periodesasi atau pembabakan dalam sejara kesusastraan Indonesia
merupakan bagian dari sejara sastra Indonesia. Dalam hal ini juga terdapat
perbedaan dan persamaan antara sejarah sastra Indonesia lama dan sastra
Indonesia modern.

1.2 Rumusan Masalah


1) Bagaimanakah perkembangan sastra Indonesia modern ?

1.3 Tujuan
Adapun tujuan dalam pembuatan makalah ini :
1) Supaya kita dapat mengenal kesusastraan Indonesia modern lebih
dalam
2) Untuk melengkapi tugas ujian tengah semester (UTS)

1
BAB II
PEMBAHASAN

SASTRA INDONESIA MODERN MENURUT BAKRI SIREGAR

2.1 Artikel Sastra Indonesia Modern


(1964) subjektivitas penulis sejarah termasuk sejarah sastra Indonesia
senantiasa tampak dalam buku yang dihasilkannya. Menyusul penahanannya
adalah dilarangnya buku sejarah yang ditulisnya itu. Berisi masa awal sastra
Indonesia, masa Balai Pustaka, hingga masa Pujangga Baru (1930-an).
Lekra dan sastrawan Manifes Kebudayaan (Manikebu). Saya sangat
sependapat dengan Bakri Siregar. Bahwa pengertian sastra Indonesia itu
mencakup naskah-naskah Melayu di Indonesia hingga akhir abad ke-19.
Dalam bahasa A Teeuw, karya sastra semacam ini dinamakan "sastra di
Indonesia".
Tampaknya Bakri Siregar enggan memasukkan Abdullah sebagai
tokoh awal sastra Indonesia modern karena setelah membaca memoarnya.
Hikayat Abdullah, Bakri Siregar menilai sikap Abdullah yang dalam batas
tertentu mempunyai segi positif dalam mengkritik kaum bangsawan melayu
dan praktik onar para raja, tapi di sisi lain Abdullah terlalu memuji dan
kagum pada penjajah Inggris dengan menamakan mereka tokoh-tokoh
kemanusiaan yang ikhlas dan bijaksana.
Menurut Bakri Siregar ada tiga sastrawan yang menjadi tokoh awal
sastra Indonesia modern. Mereka adalah Mas Marco Kartodikromo, Semaun,
dan Rustam Effendi. Karya-karya mas Marco Kardodikromo, baik dalam
bahasa jawa maupun dalam bahasa Indonesia secara tegas pertama kali
melemparkan kritik terhadap pemerintah jajahan serta kalangan feodal.

2
Dua karya Mas Marco yang menonjol adalah Student Hidjo (1919)
dan Rasa Merdeka (1924). Karena isinya berupa kritik terhadap imperialisme
Belanda dan antifeodalisme, karya-karya Mas Marco dilarang pemerintah
kolonial Belanda. Sebagai sastrawan dan juga wartawan yang revolusioner,
Mas Marco sering keluar masuk penjara dan meninggal di anah pembuangan
Digul.
Semaun menghasilkan novel Hikayat Kadirun pada 1924. Dalam
novel tersebut, Semaun membayangkan kehidupan dalam masyarakat masa
depan yang lebih baik dari keadaannya saat itu.
"Hikayat Kadirun didasarkan untuk melawan rezim penjajah Belanda.
Roman ini disita dan setelah pemberontakan tahun 1926/1927 dipandang
sebagai buah ciptaan kesastraan dibawah tanah. Oplah sastra revolusioner
sangat terbatas, tidak lebih dari 1.500-2.000 buah.
Rustam Effendi menulis lakon Bebasari pada 1926. lakon ini berisi
sindiran terhadap penjajah dan menggelorakan semangat pemuda dan rakyat.
Simbol-simbol wayang digunakan Rusam Effendi untuk mengkrit penguasa.
Rahwana, misalnya melambangkan sifat bengis kaum penjajah.
Ketiga tokoh awal mula sastra Indonesai versi Bakri Siregar itu
mendapat kendala di zaman Belanda. Karya-karya ketiga sastrawan
revolusioner itu dilarang oleh Belanda. Bahkan Kepala Balai Pustaka A
Rinkes menyebut karya mereka sebagai bacaan liar.
Dalam buku sejarah Sastra Indonesia Modern Jilid 1 itu, Bakri Siregar
juga menjelaskan adanya beberapa pengaruh dari luar terhadap
perkembangan sastra Indonesia modern.
Hal ini terlihat dari naskah-naskah berbahasa Melayu dan naskah-
naskah berbahasa Jawa kuno. Kedua, sikap revolusioner yang muncul dalam
karya-karya sastra Indonesia awal itu merupakan pengaruh dari Uni Soviet
dan Tiongkok, antara lain melalui karya Maxim Gorki, tokoh realisme
sosialis, dan Lus Hsun, pelopor sastra Tiongkok modern.

3
Ketiga, pengaruh dari Barat terutama Belanda, yakni komunitas De
Tachtigers yang menginspirasi sastrawan-sastrawan Pujangga Baru.
Sastrawan Eduard du Perron dan Hendrik Marsman sangat mempengaruhi
perkembangan kepenyairan Chairil Anwar. Multatuli alias Eduard Douwes
Dekker (1860) yang menulis buku Max Havelaar juga mempengaruhi
sastrawan revolusioner Indonesia. "Kalau bukuku diperhatikan dengan baik,
dan disambut dengan baik, maka tiap sambutan baik akan menjadi kawanku
menentang pemerintah," tulis Multatuli.
Bagaimana dengan Manikebu? Bakri siregar mengatakan "Dalam
meniadakan dan membendung semangat revolusi, mereka mengemukakan
konsepsi humanisme universal, sejalan dengan usaha neokolonialisme dalam
mempertahankan kepentingan di Indonesia, menganjurkan eksistensialisme
(filsafat iseng dan filsafat takut) serta memupuk individualisme dan
pesimisme, menjadikan sastrawan dan seniman kosmopolit dan antipatriotik,
tanpa menyatukan diri dengan perjuangan bangsanya. (Siregar 1964:13-14).
Riwayat sastra Indonesia modern seolah-olah berpangkal pada Balai
Pustaka. Balai Pustaka itu pula yang kemudian menjadi ukuran gengsi sastra
Indonesia. Bahasa yang dipelihara Balai Pustaka, juga dianggap sebagai
bahasa golongan yang paling tinggi budayanya. Ia menjadi ikon kebudayaan
elite. Mencitrakan sekumpulan orang terhormat, terpelajar, dan paling berjasa
dalam membangun sastra, bahsa dan kebudayaan Indonesia.
Balai pustaka tidak saja mendorong para pengarang Indonesia supaya
menciptakan roman dengan memberikan kepada mereka fasilitas penerbitan
yang dalam keadaan waktu itu tidak mungkin diberikan oleh penerbit swasta.
Akan tetapi biro itu juga menjamin kepada mereka sidang pembaca yang
lebih luas. Timbulnya roman Indonesia modern dan juga kepopulerannya,
dapat dimungkinkan terutama oleh wujudnya Balai Pustaka.
Sistem penerbitan di Indonesia ditandai dengan datanganya mesin
cetak yang dibawa dari Belanda oleh para misionaris gereja tahun 1624.

4
tetapi, tiadanya tenaga ahli yang dapat menjalankan mesin itu, menyebabkan
tak ada kegiatan apa pun berkenaan dengan percetakan.
Selama hampir empat dasawarna, perkembangan percetakan masih
seputar mencetak dokumen-dokumen resmi, meski pernah pula ada usaha
untuk mencetak kamu Latin, Belanda, Melayu sebagaimana yang dilakukan
mantan Pendeta Andras Lambertus Loderus (1699).
Percetakan pemerintah pun mulai mencetak berita-berita dalam bentuk
laporan berkala, ringkasan surat-surat resmi yang dianggap penting, dan
maklumat atau pengumuman pemerintah. Percetakan swasta
mengembangkannya dengan menerbitkan surat kabar (corant). Awal tahun
1980-an, beberapa suratkabar berbahasa Belanda umumnya terbit dalam usia
yang pendek. Problem utamanya tidak lain menyangkut biaya dan minimnya
jumlah pelanggan.
Ada beberapa faktor yang mendukung munculnya golongan
peranakan Tionghoa dalam kehidupan kemasyarakatan di Hindia Belanda
pada masa itu.
Pertama, terbitnya sejumlah berita berkala, suratkabar, dan mingguan
berbahasa Melayu yang memuat iklan, jelas sangat penting bagi golongan
peranakan Tionghoa yang sebagian besar bekerja sebagai pedagang.
Kedua, untuk dapat mengikuti dan membaca suratkabar atau berita
berkala dalam bahasa Melayu itu, tentu saja mereka dituntut untuk bisa
membaca (dalam bahasa Melayu). Pada mulanya, tidak sedikit diantara para
pedagang Tionghoa ini yang membayar seseorang untuk membacakan berita-
berita suratkabar itu. Dari sana, timbul kesadaran, bahwa anak-anak mereka
harus bisa berbahasa melayu agar mereka tidak perlu lagi menyewa orang
untuk membacakan berita-berita itu.
Mengenai hal tersebut, J. E Albrecht (1881) sebagaimana yang dikutip
Caludine Salmon (1985) mengungkapkan bahwa bahasa Cina, selama tidak

5
begitu dikuasai dengan baik oleh keluarga peranakan Tionghoa di Jawa, juga
tidak banyak manfaatnya dalam hubungan sosial.
Ketiga, dibukanya sekolah-sekolah untuk golongan peranakan.
Tionghoa ini juga memberi peluang mereka dapat belajar bahasa Belanda dan
bahasa Melayu mengingat kedua bahasa itu dijadikan sebagai bahasa
pengantar di sekolah. Maka, mulailah generasi baru golongan peranakan
Tionghoa ini tampil sebagai golongan yang menguasai bahasa Belanda dan
bahasa Melayu.
Tambahan lagi, adanya perubahan kebijakan kolonial yang dijalankan
pemerintah Belanda, dalam kenyataannya lebih banyak menguntungkan
golongan peranakan (Indon-Belanda, Indo Eropa dan Tionghoa)
dibandingkan golongan pribumi.
Keempat, derasnya usaha untuk mengganti huruf Arab-Melayu
dengan huruf latin dalam bahasa Melayu, memungkinkan penyebaran bahasa
Melayu lebih luas dapat diterima.
Kelima, penguasaan bahasa Melayu bagi golongan peranakan
Tionghoa ini juga secara tidak langsung menuntut ketersediaan bahan bacaan
berbahasa Melayu. Oleh karena itu, ketika bermunculan penerbitan
suratkabar, majalah dan buku-buku berbahasa melayu, golongan peranakan
Tionghoa ini seperti memperoleh saluran yang baik dalam usaha
memperhamir penguasaan bahasa Melayu mereka. Di samping itu, kehausan
mereka akan kisah-kisah dari tanah leluhurnya, ditanggapi oleh para penerbit
itu dengan menerjemahkan cerita-cerita asli Cina.
Kelima faktor inilah yang mendorong berlahirannya surat-surat kabar,
majalan dan penerbit yang dikelola golongan peranakan Tionghoa. Dari sana
pula embrio bermunculannya para pengarang Tionghoa. Catatan Claudine
Salmon menyebutkan bahwa jumlah keseluruhan karya penulis peranakan
Tionghoa antara tahun 1870-1960 yang berhasil dikumpulkan mencapai 3005
judul.

6
2.2 Periodesasi Kesusastraan di Indonesia

Sastra Lama Angkatan Balai


Pustaka


Zaman Peralihan Angkatan Masa Kebangkitan
Pujangga Baru (1920-1945)
↓ ↓
Angkatan '45
Sastra Modern

Angkatan '50-'60an

Angkatan '66-'70an

Angkatan Dasawarna
Masa Perkembangan
↓ (1945- Sekarang)
Angkatan Reformasi

Angkatan 2000-an

Cyber Sastra

7
2.3 Dasar Pemikiran Bakri Siregar
Pemikiran Bakri Siregar didasar oleh beberapa pengaruh dari luar
terhadap perkembangan sastra Indonesia modern. Pertama, pengaruh hindu
dan islam, hal ini terlihat dari naskah-naskah berbahasa melayu dan naskah-
naskah berbahasa jawa kuno.
Kedua, sikap revolusioner yang muncul dalam karya-karya sastra
Indonesia awal itu merupakan pengaruh dari unisoviet dan tiongkok antara
lain melalui karya maxim gorki, tokoh realisme sosialis.
Ketiga, pengaruh dari barat terutama dari Belanda yakni komunitas de
tachtigers yang menginspirasi sastrawan-sastrawan pujangga baru.

2.4 Permasalahan
1) Apa isi buku sejarah sastra Indonesia modenr Jilid I versi Bakri Siregar?
2) Mengapa karya Mas Marco di larang oleh pemerintah kolonial Belanda?

2.5 Pendukung Pemecahan Masalah


1) Isi buku sejarah sastra Indonesia modern Jilid I versi Bakri Siregar
adalah masa awal sastra Indonesia, masa Balai Pustaka hingga Pujangga
Baru (1930-an)
2) Karya mas Marco di larang oleh pemerintah kolonial Belanda
karena isi karyanya berupa kritik terhadap imperialisme Belanda dan
Antifeodalisme.
Oleh sebab itu masa Marco sering keluar masuk penjaga dan meninggal
ditanah pembuangan Digul, karya mas Macro yang menonjol adalah
student Hidjo (1919) dan karya Merdeka (1924).

8
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Menurut Bakri Siregar ada tiga sastrawan yang menjadi tokoh awal
sastra Indonesia modern.
Mereka adalah Mas Marco karto dikromo, Semaun dan Rustam
Efendi. Karya-karya mas Marco Karto di Kromo baik dalam bahasa jawa
maupun dalam bahasa Indonesia secara tegas pertama kali melemparkan
kritik terhadap pemerintah jajahan serta kalahan feodal.
Mas marco selain sebagai sastrawan ia juga sebagai wartawan
revolusioner. Rustam Efendi menulis lakon Bebasari pada 1926. Lakon ini
berisi sindiran terhadap penjajah dan menggelorakan semangat pemuda dan
rakyat.
Ketiga tokoh awal mula sastra Indonesia versi Bakri Siregar itu
mendapat kendala di zaman Belanda. Karya-karya ketiga sastrawan
Revolusioner itu dilarang oleh belanda. Bahkan kepala Balai Pustaka A.
Rinkes menyebut karya mereka sebagai bacana liar.

9
Daftar Pustaka

1) Siregar, Bakri. 1964. Sejarah Sastra Indonesia Modern Jilid I. Jakarta


: khasanah Sastra Indonesia
2) http://mahayana-mahadewa.com/jombang 16 Oktober 2010, 09.15
WIB

10

You might also like