Professional Documents
Culture Documents
Abstrak
Tujuan kajian ini adalah melihat peluang dan kendala usaha pembibitan jati hasil
kultur jaringan skala kecil di kawasan transmigrasi. Dari kajian ini dapat disimpulkan
bahwa (1) Sebagian besar lahan pekarangan transmiran yang belum termanfaatkan
dapat digunakan untuk usaha pembibitan jati. (2) Usaha pengembangan bibit jati hasil
kultur jaringan cukup menguntungkan. (3) Tenaga yang tersedia di lokasi cukup untuk
dialokasikan sebagai usaha pembibitan jati kultur jaringan skala kecil. (4) Sebagian
besar transmigran mempunyai persepsi bahwa usaha pengembangan bibit jati kultur
jaringan dapat menjadi sumber pendapatan tambahan. (5) Usaha pengembangan bibit
jati kultur jaringan terkendala oleh biaya investasi yang relatif besar menurut ukuran
transmigran. (6) Ketidakpastian permintaan pasar terhadap bibit jati kultur jaringan
menyebabkan transmigran belum mengusahakannya secara komersial.
Pendahuluan
Salah satu produk bioteknologi yang mempunyai prospek cukup baik untuk
diperkenalkan di kawasan transmigrasi adalah bibit jati hasil kultur jaringan. Kelebihan
bibit jati tersebut adalah pertumbuhan pohon relatif seragam, tingkat pertumbuhan
per tahun lebih cepat, bentuk batang lebih lurus, silindris, serta bebas kontaminasi
hama dan penyakit (Trubus, 2001). Perdagangan bibit jati hasil kultur jaringan ini
diharapkan dapat sebagai usaha komersil skala petani kecil (private nursery), dan
dapat menambah pendapatan transmigran dan penduduk lokal.
Tanaman jati dapat diperbanyak melalui cara generatif dan vegetatif. Cara
generatif adalah dengan perbanyakan melalui biji yang disemaikan dan dibiarkan
tumbuh tunas baru serta dipelihara sebagai bibit. Jika terlalu besar bibit diremajakan
dengan cara memangkas batang dan dibiarkan tumbuh tunas baru, tunas ini di
pelihara sebagai batang baru. Cara tersebut lebih dikenal dengan istilah Stump.
Perbanyakan ini sudah dikenal di kalangan masyarakat Kabupaten Bengkulu Utara.
Sedangkan perbanyakan melalui vegetatif dilakukan melalui kultur jaringan, yaitu
perbanyakan melalui pertumbuhan sel-sel jaringan titik tumbuh tanaman. Cara
pembibitan jati melalui kultur jaringan masih dilakukan oleh produsen bibit dan belum
dapat diadopsi oleh petani, karena teknologi ini padat modal dan berteknologi tinggi.
Peluang usaha yang dapat diadopsi dari teknologi ini adalah pembesaran bibit jati
KAJIAN KELAYAKAN PEMANFAATAN BIBIT JATI HASIL KULTUR JARINGAN DI KAWASAN TRANSMIGRASI Page 1 of 18
setelah fase aklimatisasi atau pada fase adaptasi bibit dengan lingkungan luar
laboratorium (bibit berumur ± 4 minggu).
Kajian dibatasi pada aspek teknis, ekonomi dan sosial. Disamping itu juga
dilakukan sosialisasi bibit jati kultur jaringan dan disertai bimbingan teknis kepada
transmigran dan penduduk lokal terpilih. Dari hasil sosialisasi ini diharapkan dapat
diketahui persepsi dan minat transmigran dan penduduk lokal terhadap pemanfaatan
bibit jati kultur jaringan sebagai usaha tambahan.
Analisis peluang dan kendala pemanfaatan bibit jati kultur jaringan dengan
metode diskriptif kualitatif. Untuk melihat persepsi dan minat transmigran dalam
pemanfaatan bibit jati kultur jaringan, dilakukan pembobotan variabel menuntut
metoda Likers (skala 5 tingkat).
Analisis Teknis
Agroekologi
Iklim
Bibit jati akan tumbuh dengan baik pada daerah yang memiliki curah hujan 1.200
– 2.500 mm per tahun dengan 3 – 5 bulan kering (curah hujan kurang dari 50 mm per
bulan), temperatur 19 – 36 ° C dan intensitas cahaya 75 – 100 persen (PT. Fitotek,
2002).
Lokasi sosialisasi bibit jati kultur jaringan di Balai Teknik Produksi Transmighrasi
Bengkulu dan Desa-desa di sekitarnya (desa Kuro Tidur, Padang Jaya, Tanjung
Harapan dan Marga Sakti) mempunyai intensitas curah hujan sebesar 2.000 mm
dengan temperatur 32°C pada ketinggian 250 m dari permukaan laut. Menurut ahli
dari PT Fitotek (2002), daerah tersebut masih tergolong sesuai untuk pertumbuhan
bibit jati kultur jaringan, sehingga usaha pembibitan jati kultur jaringan di lokasi
penelitian dinilai layak secara teknis.
Kemiringan Lahan
KAJIAN KELAYAKAN PEMANFAATAN BIBIT JATI HASIL KULTUR JARINGAN DI KAWASAN TRANSMIGRASI Page 2 of 18
Departemen Transmigrasi (1992) telah menentukan batas kriteria kelayakan
lahan untuk transmigrasi pola tanaman pangan antara lain kemiringan kurang dari 8
persen. Apabila lahan memiliki kemiringan lebih dari 8 persen, maka harus dilakukan
tindakan konservasi tanah. Kemiringan lahan yang dimiliki petani terutama lahan
pekarangan petani di daerah sosialisasi bibit jati kultur jaringan tidak lebih dari 8
persen. Pemanfaatan lahan petani untuk produksi tanaman palawija dan tahunan
kelihatan tidak mengalami hambatan, serta terlihat tertata dengan baik. Oleh karena
itu terdapat peluang pembibitan jati kultur jaringan pada lahan pekarangan.
Ketersediaan lahan untuk usaha pembesaran bibit jati kultur jaringan skala kecil
(200 batang bibit) per keluarga di lokasi penelitian tidak menjadi hambatan karena
usaha tersebut hanya membutuhkan luasan lahan kurang lebih 100 m2. Lahan
pekarangan yang dimiliki penduduk umumnya 2.500 m2 dan masih tersisa seluas 200-
300 m3 yang belum diusahakan, sehingga masih cukup luas untuk usaha pembibitan.
Selain kendala fisik dan kesuburan tanah, usaha pembibitan jati kultur jaringan
tidak lepas dari kendala hama dan penyakit bibit tanaman tersebut. Penyakit bibit
tanaman tahunan yang sering menyerang seperti kutu daun, busuk akar dapat
dikendalikan dengan penyemprotan obat-obatan kutu daun dan mengurangi
kelembaban media tanah dalam polibag. Hama yang kadang–kadang merusak areal
pembibitan adalah babi hutan. Hama ini dapat dikendalikan dengan pembuatan pagar
keliling. Menurut penangkar bibit tanaman tahunan seperti karet, kopi dan kelapa
sawit yang ada disekitar lokasi, intensitas serangan hama dan penyakit dapat
dikatakan relatif kecil sehingga tidak menjadi kendala yang berarti. Dengan
pengalaman ini, maka pembibitan bibit jati kultur jaringan digolongkan layak
bersyarat, yaitu serangan hama babi hutan dapat dikendalikan.
Tekonologi kultur jaringan yang padat modal dan teknologi tinggi merupakan
kendala utama dalam usaha pembibitan jati kultur jaringan. Kegiatan yang dapat
diadopsi oleh transmigran dan penduduk setempat adalah usaha pembesaran bibit jati
muda (umur 1 bulan). Usaha pembibitan jati kultur jaringan di daerah penelitian dinilai
layak bersyarat, yaitu diperlukan penyediaan bahan dan alat pembesaran di lokasi
agar mudah diperoleh transmigran.
KAJIAN KELAYAKAN PEMANFAATAN BIBIT JATI HASIL KULTUR JARINGAN DI KAWASAN TRANSMIGRASI Page 3 of 18
Tanggapan Pemda dan Swasta
KAJIAN KELAYAKAN PEMANFAATAN BIBIT JATI HASIL KULTUR JARINGAN DI KAWASAN TRANSMIGRASI Page 4 of 18
Tabel 1
selama 4 Bulan
1. Polibag 1 kg 8.000
6. Naungan - 20.000
Jumlah 126.000
B Penjualan 100 polibag 400.000
C Keuntungan bersih B–A 274.000
D B/C rasio 2,2
Apabila 100 polibag bibit jati terjual dengan harga Rp. 4.000,- maka diperoleh
penerimaan sebesar Rp. 400.000,-. Bila penerimaan tersebut dikurangi biaya produksi
Rp. 126.000,-, maka keuntungan bersih yang didapat sebesar Rp. 274.000,-, dengan
B/C rasio 2,2. Dengan rasio tersebut, maka usaha pembibitan skala kecil Pak Safri
dianggap layak untuk usaha tambahan.
Alih Teknologi
KAJIAN KELAYAKAN PEMANFAATAN BIBIT JATI HASIL KULTUR JARINGAN DI KAWASAN TRANSMIGRASI Page 5 of 18
Di Propinsi Bengkulu pengembangan usaha pembibitan jati lokal melalui biji,
stek, dan cabutan sudah dilakukan sejak 2 – 3 tahun yang lalu. Hasil kajian ini
memperlihatkan cukup banyak usaha penangkaran bibit jati lokal. Pengembangan
usaha ini juga didukung oleh banyaknya permintaan (pemesanan) bibit yang
mendorong banyak masyarakat membudidayakan komoditas ini di lahannya. Dari
fakta ini, disimpulkan bahwa alih teknologi budidaya jati telah dilakukan oleh
masyarakat dengan melakukan sosialisasi secara getok tular. Petani yang tertarik
untuk menanam jati, mereka akan belajar dari petani lain yang sudah lebih dahulu
membudidayakannya. Khususnya di lokasi penelitian di Balai TPT Kuro Tidur dan
sekitarnya, tahap awal pengembangan pembibitan jati kultur jaringan melibatkan
petani eks transmigran dan petani lokal. Mereka telah diberikan bimbingan teknis
tentang tahapan kegiatan pembibitan jati kultur jaringan skala kecil dan teknis
budidayanya.
Dari hasil penelitian, sebagian besar responden tidak tertarik melakukan usaha
pembibitan jati kultur jaringan skala kecil untuk kegiatan tambahan, karena masalah
modal, dan pangsa pasarnya belum jelas (calon pembeli bibit jati).
Analisis Ekonomi
Untuk melakukan pembibitan jati kultur jaringan skala kecil (200 batang)
diperlukan bahan dan alat-alat pendukung seperti alat-alat pertanian, rumah bibit
(naungan sederhana), pupuk organik, polibag dan media tanam. Alat dan bahan
tersebut dapat diperoleh dengan mudah di pasar terdekat, yaitu pasar PT Maju. Bibit
jati muda hasil kultur jaringan tidak tersedia di lokasi. Bibit jati ini dapat di pesan ke
produsen bibit di Jakarta minimal sebanyak 1.000 batang. Untuk memudahkan dan
efisiensi biaya pengangkutan, maka pemesanan diusahakan secara berkelompok,
sehingga mencapai jumlah bibit minimal (1000 batang). Alternatif lain adalah
memanfaatkan jasa Koperasi Unit Desa untuk memfasilitasi pemesanan bibit jati.
Menurut pihak produsen bibit, mereka sanggup memasok bibit jati, asalkan
pemesanan dilakukan secara kontinu.
KAJIAN KELAYAKAN PEMANFAATAN BIBIT JATI HASIL KULTUR JARINGAN DI KAWASAN TRANSMIGRASI Page 6 of 18
Harga atau Biaya Bibit Jati Kultur Jaringan
Harga bibit jati kultur jaringan siap tanam (berumur 3-4 bulan) dipasaran Jakarta
adalah berikasar Rp. 17.000,- sampai Rp 17.500,- per batang. Sedangkan harga bibit
(berumur 1 - 1,5 bulan) yang akan dibesarkan adalah Rp 10.000,- per batang, belum
termasuk ongkos kirim. Untuk memudahkan dan efisiensi biaya pengangkutan ke
lokasi pembesaran bibit, dapat dilakukan secara berkelompok. Kegiatan usaha
pembersaran bibit menurut responden untuk saat ini tidak dapat dilaksanakan karena
harga bibit jati kultur jaringan dirasa cukup mahal dan tidak ada satupun responden
yang menyatakan murah.
Penelitian ini belum dapat menghitung keuntungan aktual usaha pembibitan jati
kultur jaringan, karena sebagian besar responden yang menerima bibit jati ternyata
tidak memperdagangkannya, tetapi ditanam di lahannya. Usaha pembibitan jati lokal
yang telah berkembang seperti di kota Bengkulu dan sekitarnya, menurut pelaku
usahanya dapat mendatangkan keuntungan, sehingga mereka masih dapat bertahan
hingga sekarang setelah 3 tahun berjalan.
Modal usaha pembesaran bibit jati kultur jaringan lebih banyak terserap pada
pengadaan bibit (200 batang @ Rp 10.000,- atau Rp 2 Juta), biaya pemeliharaan
selama 4 bulan Rp 200.000,-, pengadaan bahan dan alat-alat sebesar Rp 200.000,-,
serta pembuatan biaya rumah bibit sebesar Rp 50.000,- Total biaya yang
diinvestasikan sebesar Rp 2,6 juta. Perkiraan keuntungan bersih (perdana) dari usaha
pembesaran bibit jati kultur jaringan skala kecil adalah Rp 880.000,- dengan harga jual
bibit Rp. 17.500 tiap batang.
Analisis Sosial
KAJIAN KELAYAKAN PEMANFAATAN BIBIT JATI HASIL KULTUR JARINGAN DI KAWASAN TRANSMIGRASI Page 7 of 18
Tenaga Kerja Tersedia
Rata-rata jumlah tenaga kerja yang dimiliki responden dari penduduk setempat
sebesar 5,2 orang, sedangkan kelompok eks transmigran rata-rata jumlah tenaga
kerja adalah 3,4 orang. Kesadaran keluarga berencana di kalangan penduduk eks
transmigran cukup tinggi jika dibandingkan dengan penduduk setempat. Hal ini
dikarenakan tujuan merantau responden eks transmigran dari daerah asal adalah
untuk meningkatkan kesejahteraan keluarganya. Walaupun jumlah tenaga kerjanya
lebih banyak di desa penduduk setempat dari pada desa eks transmigrasi, tetapi
jumlah tenaga kerja efektif hanya 2,3 orang per KK dan dicurahkan ke usahatani
sebesar 1,5 orang per KK untuk luasan garapan 1,0 ha (Tabel 2). Jumlah tenaga kerja
efektif dan tenaga kerja yang tercurah pada usahatani lebih besar di permukiman
transmigrasi dibanding desa setempat.
Tabel 2
Pada awal usaha pembesaran bibit jati kultur jaringan dibutuhkan curahan
tenaga kerja sebanyak 20 HOK yang terdiri dari pembuatan rumah bibit 6 HOK,
pengadaan bahan dan alat (2 HOK) dan pemeliharaan bibit selama 4 bulan 12 HOK.
Dari Tabel diatas, terlihat bahwa tenaga kerja keluarga di lokasi penelitian masih sisa
0,8 orang per KK. Dengan asumsi hari kerja dalam satu bulan 25 hari, maka sisa
tenaga kerja keluarga selama 4 bulan setara 80 HOK. Jumlah tenaga kerja efektif yang
tersisa ini dapat dialokasikan untuk usaha pembibitan jati kultur jaringan skala kecil.
KAJIAN KELAYAKAN PEMANFAATAN BIBIT JATI HASIL KULTUR JARINGAN DI KAWASAN TRANSMIGRASI Page 8 of 18
terungkap bahwa responden umumnya berpendapat pembibitan jati kultur jaringan
dapat meningkatkan keuntungan (nilai skor sebesar 87 atau cukup baik).
Tabel 3.
Jika ditelusuri pengetahuan responden tentang bibit jati kultur jaringan sebelum
sosialisasi dilakukan, umumnya mereka belum mengenalnya. Sebanyak 53,3 persen
responden penduduk setempat hanya mengenal jati lokal dan sisanya 46,7 persen
responden sama sekali tidak mengenal jati. Mereka hanya membudidayakan tanaman
karet dan kopi yang diusahakan secara turun temurun dari orang tuanya. Disamping
itu tingkat mobilitas mereka masih rendah sehingga kesempatan mengenal jati di
tempat lain tidak ada. Lebih dari 93 persen penduduk eks transmigran telah mengenal
tanaman jati lokal di daerah asalnya, sedang bibit jati kultur jaringan, umumnya belum
mengenal (Tabel 4).
Tabel 4.
KAJIAN KELAYAKAN PEMANFAATAN BIBIT JATI HASIL KULTUR JARINGAN DI KAWASAN TRANSMIGRASI Page 9 of 18
Tanaman jati dapat dikatakan sangat jarang dibudidayakan di Kabupaten
Bengkulu Utara baik oleh pemerintah, swasta maupun penduduk setempat. Jati yang
tumbuh secara sporadis satu atau dua pohon di lahan penduduk lokal sebagian besar
tanpa pemeliharaan. Pemerintah daerah Kabupaten Bengkulu Utara selama ini belum
merekomendasikan tanaman jati sebagai tanaman hutan rakyat, sehingga ada
kekawatiran masyarakat setempat bahwa pemasaran jati akan menghadapi birokrasi
yang panjang dan berbelit-belit. Disamping itu serangan hama ani-ani (rayap) sangat
merugikan karena kayu jati menjadi berlubang yang menyebabkan harga kayu jati
menjadi sangat rendah. Permasalahan yang disebut di atas membuat tanaman jati di
daerah Kabupaten Bengkulu Utara menjadi tidak populer di kalangan penduduk
setempat. Menurut ahli jati kultur jaringan dari PT Fitotek (2002), program sosialisasi
bibit jati hasil kultur jaringan ini diharapkan dapat memberikan nuansa baru sehingga
dapat mengkikis pendapat yang keliru selama ini, karena bibit ini sudah dikondisikan
memperkecil lubang ditengah kayu. Adapun sumber informasi pengenalan tanaman
jati bagi responden penduduk lokal sebagian besar dari melihat sendiri (53,3 persen)
dan dari keluarga dan teman masing-masing 26,7 persen dan 20 persen. Sedangkan
eks transmigran 73,3 persen melihat sendiri pada waktu di daerah asal dan 26,6
persen memperoleh informasi dari keluarga dan teman. Dari persepsi ini yang menarik
adalah tingkat mobilitas responden eks transmigran cukup tinggi, sehingga lebih
terbuka kesempatan menambah pengetahuan dan wawasan. Dengan pengetahuan
dan wawasan yang tinggi umumnya akan mudah menerima inovasi baru termasuk
program sosialisasi bibit jati kultur jaringan. Ini terlihat disaat sosialisasi dilaksanakan,
transmigran lebih dominan mengajukan pertanyaan tentang usaha budidaya dan
pembibitan jati kultur jaringan. Sumber informasi responden tentang tanaman jati
dapat dilihat dalam Tabel 5.
Tabel 5.
Dari hasil tahap sosialisasi atau pengenalan bibit jati kultur jaringan, terlihat
bahwa minat responden masih kurang untuk usaha pembesaran bibit jati. Hal ini
disebabkan karena budidaya tanaman jati masih baru dan petani masih ragu apakah
jati dapat tumbuh dengan baik dan menghasilkan kayu yang berkualitas di Provinsi
Bengkulu. Namun ada harapan mereka apabila usaha pembesaran bibit jati dapat
dilakukan, diperlukan kerjasama dengan produsen bibit atau dengan pihak mitra untuk
menyediakan bibit jati dan untuk pemasarannya. Sedangkan pengadaan bahan dan
alat-alat seperti pupuk, polibag, rumah bibit dan alat semprot dapat disediakan sendiri
oleh petani (Tabel 6).
KAJIAN KELAYAKAN PEMANFAATAN BIBIT JATI HASIL KULTUR JARINGAN DI KAWASAN TRANSMIGRASI Page 10 of 18
Tabel 6.
Eks
Penduduk Lokal
Transmigran
No Keterangan
Frekuens Frekuens
% %
i i
1 Menyediakan bibit jati 9 60,0 12 80,0
muda
2 Menyediakan Bahan dan 1 6,6 0 0,0
Peralatan (pupuk, polibag,
naungan dsb )
3 Pemasaran 5 33,3 3 20,0
ATabel 7
Sebagian besar bibit jati yang diberikan melalui program sosialisasi, baik dari
kultur jaringan maupun lokal, ditanam di lahan responden. Ketika mereka
mendapatkan stimulan berupa bibit jati, maka yang ada dibenaknya adalah ditanam
untuk tabungan di hari tua. Pemikiran ini memang benar, tetapi mereka belum melihat
terobosan lain berupa usaha pembibitan jati kultur jaringan. Apabila dikelola dengan
KAJIAN KELAYAKAN PEMANFAATAN BIBIT JATI HASIL KULTUR JARINGAN DI KAWASAN TRANSMIGRASI Page 11 of 18
baik, secara berkelompok dan berusaha mencari pasar, maka usaha ini dapat
menambah pendapatan.
Tabel 8.
Berdasarkan indikator teknis, ekonomi, dan sosial yang telah diuraikan diatas,
berikut ini disajikan hasil analisa kelayakan pembibitan jati kultur jaringan skala kecil.
Tabel 9.
- Luasan
lahan yang
KAJIAN KELAYAKAN PEMANFAATAN BIBIT JATI HASIL KULTUR JARINGAN DI KAWASAN TRANSMIGRASI Page 12 of 18
b. Tersedianya - Luasan tersisa - Layak
lahan lahan 100 300-500
m2 m2
- Dapat
diatasi
- Dapat - Layak
c. Kendala lain diatasi
- Dapat
dilakukan - Layak
d. Cara - Dapat oleh
pemanfaatan dilakukan responden
bibit jati responden
- Pemda
- Layak
e. Tanggapan - Sudah belum
bersyarat
dari Pemda dilakukan merekomen
oleh dasikan
Pemda
- Ada swasta
- Layak
- Ada yang mau
f. Institusi
institusi sebagai
sebagai
fasilitator
fasilitator
- Responden
antusias
terhadap - Layak
g. Alih teknologi teknologi
- Bisa
baru
berjalan
dengan
baik
2 Ekonomi
- Tidak
b. Biaya - Terjangkau terjangkau - Tidak layak
3 Sosial
KAJIAN KELAYAKAN PEMANFAATAN BIBIT JATI HASIL KULTUR JARINGAN DI KAWASAN TRANSMIGRASI Page 13 of 18
a. Kesesuaian - Tidak - Tidak - Layak
terhadap bertentang bertentang
budaya bertani an an
d. -0%
Kecenderungan - Bersar
- Tidak layak
membiayai persentase
penggunaan minat > 60
bibit kultur %
jaringan
KAJIAN KELAYAKAN PEMANFAATAN BIBIT JATI HASIL KULTUR JARINGAN DI KAWASAN TRANSMIGRASI Page 14 of 18
Dari Tabel diatas dapat disimpulkan bahwa pengembangan dan pemanfaatan
bibit jati kultur jaringan berpeluang untuk diaplikasi-kan di kawasan transmigrasi,
namun beberapa kendala ekonomi dan sosial seperti biaya investasi dan kecen-
derungan penggunaan bibit kultur jaringan perlu diatasi terlebih dahulu.
Indikasi Teknis
1) Lokasi pengembangan usaha bibit jati kultur jaringan berada pada daerah yang
mempunyai agroekologi (iklim dan kemiringan lahan) yang sesuai untuk budidaya
jati. Berdasarkan indikator ini, usaha bibit jati kultur jaringan dinilai layak untuk
dikembangkan.
2) Meskipun sebagian besar lahan yang dimiliki oleh penduduk sudah digunakan untuk
usahatani, namun di lahan pekarangan dengan luas 0,25 ha, masih tersisa antara
300-500 m2.
3) Peralatan dan bahan yang sederhana untuk usaha penyediaan bibit jati kultur
jaringan dapat ditemukan di lokasi penelitian. Dari indikasi ini, terlihat bahwa usaha
penyediaan bibit jati skala kecil dapat dilakukan berupa pemeliharaan lanjutan bibit
jati berumur sekitar 1-2 bulan (setelah masa aklimatisasi).
4) Pemda Provinsi Bengkulu dalam hal ini Dinas Kehutanan belum merekomendasikan
kayu jati sebagai tanaman kehutanan untuk program penghijauan dan reboisasi
maupun pengembangan hutan kemasyarakatan. Sementara itu Dinas Kehutanan
Kabupaten Bengkulu Selatan telah memprogramkan penanam-an jati sebagai
tanaman hutan rakyat. Program ini dilihat sebagai peluang ekonomi sehingga
bermunculan usaha penyedia bibit yang dilakukan oleh penduduk setempat.
Peluang ekonomi tersebut ditangkap juga oleh produsen bibit jati kultur jaringan,
terlihat dari dibukanya cabang usaha di kota Bengkulu untuk memasok bibit jati ke
lokasi sekitarnya. Tanggapan positif juga datang dari kalangan akademis
Universitas Bengkulu. Penelitian-penelitian tentang adaptasi jati sedang dilakukan
oleh Jurusan Kehutanan, Fakultas Pertanian. Pada intinya jati dapat tumbuh dengan
baik pada agroklimat daerah Bengkulu terutama pada fase vegetatif.
5) Pihak swasta yang telah mengembangkan bibit jati kultur jaringan di daerah
Bengkulu bersedia menjadi fasilitator pengembangan dan pemanfaatan jati kultur
jaringan. Dengan pengalaman yang matang di bidang usaha bibit jati ini, mereka
dapat menjembatani kepentingan penduduk dan pemerintah dalam
mengembangkan tanaman jati di daerah Bengkulu.
6) Sebagian besar transmigran telah mengenal tanaman jati lokal dan ada yang telah
menanam jati serta memanennya. Dari sisi teknis pembibitan jati kultur jaringan,
tahapan kegiatan yang sederhana dan mudah dimengerti membuat alih
teknologinya tidak akan mengalami hambatan.
Indikasi Ekonomi
1) Sebagian besar bahan dan alat-alat (sarana) usaha penyedia bibit jati tersedia di
lokasi penelitian. Permasalahan yang ditemui adalah proses kultur jaringan tidak
dilakukan di lokasi, sehingga bibit harus didatangkan dari tempat lain.
2) Usaha penyedia bibit jati kultur jaringan terkendala oleh biaya investasi yang relatif
besar menurut standar transmigran, karena harga bibit jati berumur 1-1,5 bulan
relatif mahal yaitu Rp. 10.000,- per polibag belum termasuk ongkos kirim. Total
biaya investasi usaha penyedia jati kultur jaringan untuk skala kecil (200 polibag)
adalah Rp. 2.000.000,-.
3) Potensi peningkatan pendapatan dari usaha penyedia bibit jati kultur jaringan
dihitung berdasarkan data sekunder yang dipadukan dengan informasi lapang.
Apabila harga bibit jati siap jual berumur 4 bulan di pasaran Jakarta yang berkisar
antara Rp. 17.000–17.500 per pohon digunakan sebagai acuan, maka keuntungan
yang di peroleh setelah 4 bulan pemeliharaan mencapai Rp. 780.000.
Indikasi Sosial
2) Tenaga efektif yang tersedia di lokasi penelitian rata-rata sebesar 2,5 per KK.
Curahan tenaga kerja usahatani rata-rata sebesar 1,7 per KK, sehingga ada sisa
tenaga kerja sebanyak 0,8 per KK atau setara dengan 80 HOK bila dihitung hari
kerja 25 hari tiap bulan. Sisa tenaga kerja tersebut dapat dialokasikan untuk usaha
pembibitan jati kultur jaringan skala kecil sebesar 20 HOK selama 4 bulan.
Rekomendasi
Berdasarkan kajian teknis, ekonomi dan sosial, maka usaha pembibitan jati
kultur jaringan yang disarankan untuk menambah pendapatan transmigran dan
penduduk lokal perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
a. Karena proses kultur jaringan hanya dapat dilakukan di laboratorium, maka perlu
dibentuk kemitraan usaha antara pengusaha pembibitan jati skala kecil dengan
produsen bibit. Dengan demikian kepastian pasokan bibit ke pengusaha pembibitan
skala kecil bisa lebih terjamin. Kemitraan tersebut juga dapat diarahkan untuk
memecahkan masalah ke-terbatasan modal pengusaha pembibitan jati skala kecil.
b. Agar biaya mendatangkan bibit jati kultur jaringan dapat ditekan, maka pengusaha
pembibitan jati skala kecil disarankan membentuk kelompok antara 10 – 15 orang.
c. Perlu disusun program pelatihan teknis dan manajemen usaha pembibitan serta
perluasan pasar bibit jati kultur jaringan.
d. Perlu sosialisasi keunggulan bibit jati kultur jaringan kepada masyarakat dan aparat
pemerintah sampai ke tingkat provinsi sebagai alternatif bibit jati lokal.
Daftar Pustaka
Fawzia Sulaiman (2002). Sosialisasi dan Aplikasi Teknologi ke Petani. Puslitbang Sosial
Ekonomi Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta .
Ika Mariska dkk. 1997. Penelitian Kultur Jaringan Tanaman Industri. Jurnal Litbang
Pertanian XVI (2). Jakarta .
JALDA. 1999. The Final Report; of The Verification Study on Integrated Agricultural and
Rural Development for the Conservation of Tropical Forest in Indonesia .
John E. Smith. 1993. Prinsip Bioteknologi. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta .
-------------, 2001. Pengembangan Hutan Rakyat Dengan Tanaman Jati Bagi Program
Transmigrasi.Jakarta.
Trubus, 2001. Jati Investasi Hari Tua. Majalah Trubus Edisi 378. Mei 2001/XXXII. Jakarta
.
Yansen. 2002. Evaluasi Pertumbuhan Jati pada Pola Tanaman Monokultur dan
Polikultur dengan Sawit. Program Studi Budidaya Hutan, Jurusan kehutanan,
Fakultas Pertanian, Universitas Benkulu. Bengkulu.