Professional Documents
Culture Documents
Oleh : Sahrudin
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kemajuan IPTEK saat ini merupakan salah satu hasil dari Globalisasi yang
merupakan kemajuan dan perkembangan zaman. Dalam kemajuan ini kebudayaan pun ikut
berkembang termasuk perkembangan Agama yang di dalamnya terdapat berbagai hal yang
sudah barang tentu di zaman dahulu belum ada hal yang terjadi secara pasti pada zaman ini,
Pada kesempatan ini penulis mendapat tugas untuk membuat sebuah makalah yang
berkaitan dengan Masail Fikiyah yang artinya masalah-masalah fikih yang muncul baru-baru
ini yang tentunya belum terjadi pada masa lalu, maka para ulama fikih sekarang menentukan
Dalam penulisan makalah ini yang berjudul Homoseksual, Lesbian dan Onani
(masturbasi), penulis berharap dapat memberikan wawasan dalam menentukan arah dan
Berdasarkan latar belakang di atas maka penulis dapat merumuskan maslah yang akan di
PEMBAHASAN
baik sesama pria maupun wanita [1]. Biasanya istilah homoseks dipakai untuk sex antar
pria. Homoseks (liwath) dilakukan dengan cara memasukan pernis ke dalam anus.
2. Lesbian adalah hubungan seksual antara yang sesama jenis kelaminnya, terutama
antara wanita dengan wanita [2]. Lesbian (female homoseks) dilakukan dengan cara
melakukan masturbasi satu sama lain dengan berbagai cara untuk mendapatkan puncak
Hukum Homoseks dan Lesbian adalah haram menurut ijma ulama, tetapi dalam
tidak dikategorikan zina dengan alasan: Pertama: karena tidak adanya unsur (kriteria)
hukuman yang diberlakukan para sahabat (sebagaimana di atas). Berdasarkan kedua alasan
ini, Abu Hanifah berpendapat bahwa hukuman terhadap pelaku homoseksual adalah ta’zir
Menurut Muhammad Ibn Al Hasan As Syaibani dan Abu Yusuf (murid Abu
Hanifah) : praktik homoseksual dikategorikan zina, dengan alasan adanya beberapa unsur
berpendapat bahwa hukuman terhadap pelaku homoseksual sama seperti hukuman yang
dikenakan kepada pezina, yaitu: kalau pelakunya muhshan (sudah menikah), maka
dihukum rajam (dilempari dengan batu sampai mati), kalau gair muhshan (perjaka), maka
Menurut Imam Malik praktek homoseksual dikategorikan zina dan hukuman yang
setimpal untuk pelakunya adalah dirajam, baik pelakunya muhshan (sudah menikah) atau
gair muhshan (perjaka). Ia sependapat dengan Ishaq bin Rahawaih dan As Sya’bi.
dalam Islam. Hukuman untuk pelakunya: kalau pelakunya muhshan (sudah menikah),
maka dihukum rajam. Kalau gair muhshan (perjaka), maka dihukum cambuk 100 kali dan
diasingkan selama satu tahun. Hal tersebut sama dengan pendapat Said bin Musayyib,
hukuman yang dikenakan kepada pelakunya beliau mempunyai dua riwayat (pendapat):
Pertama, dihukum sama seperti pezina, kalau pelakunya muhshan (sudah menikah) maka
dihukum rajam. kalau pelakunya gair muhshan (perjaka), maka dihukum cambuk 100 kali
dan diasingkan selama satu tahun. (pendapat inilah yang paling kuat). Kedua, dibunuh
1. Para ulama madzhab Maliki, Syafi’i dan Zaidiyah berpendapat bahwa onani adalah
haram. Argumentasi mereka akan pengharaman onani ini adalah bahwa Allah swt
telah memerintahkan untuk menjaga kemaluan dalam segala kondisi kecuali terhadap
kedua orang itu kemudian melakukan onani maka ia termasuk kedalam golongan
orang-orang yang melampaui batas-batas dari apa yang telah dihalalkan Allah bagi
mereka dan beralih kepada apa-apa yang diharamkan-Nya atas mereka. Firman Allah
swt
﴾٥﴿ ن
َ ظو
ُ حاِف
َ جِهْم
ِ ن ُهْم ِلُفُرو
َ َواّلِذي
﴾٦﴿ ن
َ غْيُر َمُلوِمي
َ ت َأْيَماُنُهْم َفِإّنُهْم
ْ جِهْم أْو َما َمَلَك
ِ عَلى َأْزَوا
َ ل
ّ ِإ
﴾٧﴿ ن
َ ك ُهُم اْلَعاُدو
َ ك َفُأْوَلِئ
َ ن اْبَتَغى َوَراء َذِل
ِ َفَم
mereka atau budak yang mereka miliki. Maka Sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada
terceIa. Barangsiapa mencari yang di balik itu. Maka mereka Itulah orang-orang yang
2. Para ulama madzhab Hanafi berpendapat bahwa onani hanya diharamkan dalam
keadaan-keadaan tertentu dan wajib pada keadaan yang lainnya. Mereka mengatakan
bahwa onani menjadi wajib apabila ia takut jatuh kepada perzinahan jika tidak
melakukannya. Hal ini juga didasarkan pada kaidah mengambil kemudharatan yang
lebih ringan. Namun mereka mengharamkan apabila hanya sebatas untuk bersenang-
tidak masalah jika orang itu sudah dikuasai oleh syahwatnya sementara ia tidak
3. Para ulama madzhab Hambali berpendapat bahwa onani itu diharamkan kecuali
apabila dilakukan karena takut dirinya jatuh kedalam perzinahan atau mengancam
kesehatannya sementara ia tidak memiliki istri atau budak serta tidak memiliki
karena seseorang yang menyentuh kemaluannya dengan tangan kirinya adalah boleh
menurut ijma seluruh ulama… sehingga onani itu bukanlah suatu perbuatan yang
علَْيُكْم
َ حّرَم
َ ل َلُكم ّما
َصّ َوَقْد َف
Dan onani tidaklah diterangkan kepada kita tentang keharamannya maka ia adalah
Artinya : “Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu.”
5. Diantara ulama yang berpendapat bahwa onani itu makruh adalah Ibnu Umar dan
Atho’. Hal itu dikarenakan bahwa onani bukanlah termasuk dari perbuatan yang
terpuji dan bukanlah prilaku yang mulia. Ada cerita bahwa manusia pada saat itu
6. Diantara yang membolehkannya adalah Ibnu Abbas, al Hasan dan sebagian ulama
kesuciannya. Begitu pula hukum onani seorang wanita sama dengan hukum onani
menyatakan bahwa onani sama dengan zina yang sesungguhnya. Namun para ulama
ً سِبي
ل َ ساَء
َ شًة َو
َح
ِ ن َفا
َ ل َتْقَرُبوا الّزَنا ِإّنُه َكا
َ َو
Artinya : “dan janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya zina itu adalah
perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al Israa : 32)
BAB III
KESIMPULAN
seksual antara orang-orang yang sama kelaminnya, baik sesama pria maupun wanita.
Lesbian adalah hubungan seksual antara yang sesama jenis kelaminnya, terutama antara
wanita dengan wanita. Onani/masturbasi adalah masturbasi dengan tangan sendiri. Islam
memandangnya sebagai perbuatan yang kurang etis dan tidak pantas dilakukan
2. Hukum Lesbian dan Homosek adalah haram sesuai dengan pendapat ijma ulama dan
Undang-undang pidana mengatakan akan kena sanksi hukuman penjara maksimal lima
tahuan.
Pendapat ulama tentang Homosek dan Lesbian Hukum Homoseks dan Lesbian
adalah haram menurut ijma ulama, tetapi dalam menentukan hukumannya berbeda-beda
Syaibani dan Abu Yusuf (murid Abu Hanifah) berpendapat: praktik homoseksual tidak
dikategorikan zina. Menurut Imam Malik praktek homoseksual dikategorikan zina dan
hukuman yang setimpal untuk pelakunya adalah dirajam, baik pelakunya muhshan (sudah
menikah) atau gair muhshan (perjaka). Ia sependapat dengan Ishaq bin Rahawaih dan As
Sya’bi. Menurut Imam Syafi’i, praktik homoseksual tidak dikategorikan zina, tetapi
dalam Islam. Hukuman untuk pelakunya: kalau pelakunya muhshan (sudah menikah),
maka dihukum rajam. Kalau gair muhshan (perjaka), maka dihukum cambuk 100 kali dan
diasingkan selama satu tahun. Hal tersebut sama dengan pendapat Said bin Musayyib,
hukuman yang dikenakan kepada pelakunya beliau mempunyai dua riwayat (pendapat):
Pertama, dihukum sama seperti pezina, kalau pelakunya muhshan (sudah menikah) maka
dihukum rajam. kalau pelakunya gair muhshan (perjaka), maka dihukum cambuk 100 kali
dan diasingkan selama satu tahun. (pendapat inilah yang paling kuat). Kedua, dibunuh
Para ulama madzhab Maliki, Syafi’i dan Zaidiyah berpendapat bahwa onani adalah haram.
Argumentasi mereka akan pengharaman onani ini adalah bahwa Allah swt telah memerintahkan
untuk menjaga kemaluan dalam segala kondisi kecuali terhadap istri dan budak perempuannya.
Para ulama madzhab Hanafi berpendapat bahwa onani hanya diharamkan dalam keadaan-
keadaan tertentu dan wajib pada keadaan yang lainnya. Mereka mengatakan bahwa onani
menjadi wajib apabila ia takut jatuh kepada perzinahan jika tidak melakukannya. Para ulama
madzhab Hambali berpendapat bahwa onani itu diharamkan kecuali apabila dilakukan karena
takut dirinya jatuh kedalam perzinahan atau mengancam kesehatannya sementara ia tidak
memiliki istri atau budak serta tidak memiliki kemampuan untuk menikah, jadi onani tidaklah
masalah. Ibnu Hazm berpendapat bahwa onani itu makruh dan tidak ada dosa didalamnya karena
seseorang yang menyentuh kemaluannya dengan tangan kirinya adalah boleh menurut ijma
seluruh ulama. sehingga onani itu bukanlah suatu perbuatan yang diharamkan
DAFTAR PUSTAKA
Juhdi Masjfuk, H., Drs., Prof., Masail Fiqiyah, Kapita selekat Hukum Islam, CV Haji Masagung.
Jakarta 1994.
http://www.eramuslim.com/ustadz-menjawab/apakah-onani-manstrubasi-termasuk-dosa-
besar.htm
http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=395
[1] Masjfuk Juhdi, Masail fikiyah, Jakarta, CV Haji Masagung, 1994, hlm. 42.
[2] Ibid hl. 42
[3] Ibid hlm. 46
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ilmu fikih merupakan salah satu ilmu yang terus berkembang dan berbeda dengan ilmu
yang lain seperti ilmu alat, akidah, akhlak, Al-Qur`an dan hadis, yang kesemuanya itu hanya
memperdalam dari setiap permasalahan. Lain halnya dengan ilmu fikih yang tiap saat terus
berkembang disesuaikan dengan kemajuan zaman.
Masalah-masalah fikiyah yang ada saat ini beragam macamnya yang semula pada saat
Rasulullah tidak ada dan tidak muncul, sehingga para ilmuwan fikih (ulama) membuat
Dalam kaitannya dengan maslah fikhihah penulis mengambil sebuah tema yang
diajukan berupa Musik dan Nyanyian, yang pada zaman Rasulullah tidak pernah ada
berkembang, tetapi pada saat ini musik dan nyanyian sehingga pada saat ini mulai
dipermasalahkan, dari pada itu penulis mencoba mengungkap beberapa pendapat mengenai
B. Rumusan Masalah
Dari pembahasan di atas dirumuskan bahwa pembahasan ini adalah boleh dan tidaknya
adanya musik dan nyanyian, menggunakan, belajar dan memanfaatkannya, disertai dengan
PEMBAHASAN
ulama. Ada ulama yang mengharamkan dan ada pula ulama yang membolehkan orang islam
Ulama yang mengharamkan Musik dan nyanyian mengemukakah alasan antara lain ialah:
bahwa Musik dan nyanyian itu adalah jenis hiburan, permainan, atau kesenangan yang bisa
membawa orang lalai dari melakukan kewajiban-kewajibannya, baik terhadap agama misalnya
salat, terhadap diri dan keluarganya, seperti lupa studinya atau malas mencari nafkah, maupun
terhadap masyarakat dan negara seperti mengabaikan tugas organisasinya atau tugas negara.
Tampaknya dalil sari yang dipakai ulama yang mengharamkan musik dan nyanyian itu
adalah yang disebut saddu al dzari`ah yang artinya menutup/mencegah hal-hal yang dapat
mengantarkan orang ke dalam hal-hal yang dilarang oleh agama. Misalnya melihat aurat wanita
bukan mahram dan bukan istrinya adalah haram, karena perbuatan itu bisa mendorong orang
kepada perbuatan yang tercela (berbuat zina) demikian pula wanita dilarang memperlihatkan
sebagian auratnya kecuali pada suaminya, anak-anaknya dan orang-orang yang tertuang dalam
surat An Nur ayat 31. Larangan ini juga dimaksudkan untuk menjaga tidak merangsang kaum
pria.
Adapun ulama yang membolehkan orang islam belajar musik dan nyanyian
1. Usul fikih yang mengatakan “ pada dasarnya sesuatu hal itu halal sehingga ada dalil yang
menjelaskan keharamannya”. Sedangkan dalam al quran dan hadis tidak ditemukan dalil yang
nya (insting/naluri), yang memang suka pada hal-hal yang enak, lezat, indah, menyenangkan,
memberikan kedamaian dan ketenangan, seperti Musik dan nyanyian itu, sebagaimana yang
ِ حْر
ث َ لْنَعاِم َواْل
َ سّوَمِة َوْا
َ ل اْلُم
ِ خْي
َ ضِة َواْل
ّ ب َواْلِف
ِ ن الّذَه
َ طَرِة ِم
َ طيِر اْلُمَقن
ِ ن َواْلَقَنا
َ ساِء َواْلَبِني
َ ن الّن
َ ت ِم
ِ شَهَوا
ّ ب ال
ّ ح
ُ س
ِ ن ِللّنا
َ ُزّي
ِ ن اْلَمَئا
ب ُس
ْح
ُ عنَدُه
ِ ل
ُ حَياِة الّدْنَيا َوا
َ ك َمَتاعُ اْل
َ َذِل
Artinya: “ Dijadikan indah pada pandangan manusia kecintaan kepada apa yang diingini, yaitu
wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas dan perak, kuda pilihan, binatang
ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah lah tempat kembali
yang baik”.
Menurut Islam, orang yang suka kepada 6 macam kesenangan hidup di dunia yang tersebut di
atas tidaklah tercela, sebab kesukaan tersebut adalah sesuai dengan fitrah manusia yang Allah
ciptakan, sedangkan Allah tidak akan menciptakan manusia atas fitrah dan naluri yang jelek.
(perhatikan firman Allah surat Ar Rum ayat 30). Misalnya pria mencintai wanita istrinya
bukanlah hal yang tercela, tetapi justru perbuatan yang baik yang sesuai dengan hikmah Allah
menciptakan manusia yang terdiri dari pria dan wanita agar mereka hidup sebagai suami istri
mengarahkannya ke arah yang positif yang diridai oleh Allah, dan tidak sampai melanggar batas-
batas yang telah ditentukan. Misalnya orang punya bakat seni musik atau seni rupa tidak dilarang
oleh islam kalau ia mengembangkan bakatnya, lalu menemukan Musik dan nyanyian sehingga
menjadi musikus atau penyanyi yang baik. Bahkan islam sangat menghargai kalau orang yang
mempunyai bakat seni lalu menggunakan bakat dan ahlinya dalam bidang seni musik atau suara
Menurut hemat penulis saddu al dzari`ah yang dijadikan dalil untuk mengharamkan musik
dan nyanyian itu kurang tepat, karena bakat musik dan bakat nyanyi sebagaimana bakat seni-
seni lainnya tidak bertentangan dengan fitrah manusia dan gharizahnya – ciptaan Allah- yang
memang suka kepada kesenian, keindahan, kelezatan dan sebagainya. Karena itu Musik dan
nyanyian pada dasarnya boleh, maka hukumnya tergantung kepada niat dan pelaksanaannya
oleh yang bersangkutan. Jika musikus dan penyanyi menggunakan bakat dan keahliannya
untuk sarana dakwah, maka pekerjaan itu dipandang sebagai sarana ibadah. Dan sebaliknya
jika mereka menggunakan bakat dan keahliannya untuk membangkitkan nafsu seks, apalagi
kalau disertai dengan atraksi dan hidangan yang dilarang oleh agama, misalnya dansa dan
Karena itu penulis cenderung kepada pendapat ibnu Qayyim bahwa tidak semua dzariah
harus ditutup tetapi tergantung kepada macam dzariah dan ekses-ekses yang timbul dari
padanya. Sebab ada dzariah yang dasarnya mubah (boleh) dan mengandung unsur posyitf
(maslahah) dan unsur negatif (mafsadah), jika unsur maslahatnya lebih besar dari
mafsadatnya maka dzariah itu terbuka, dan hukumnya bisa mubah, sunah dan wajib
Tetapi apabila dzariah itu mengandung unsur negatifnya lebih besar dari pada positifnya
maka menurut Ibnu qayyim masih dipersoalkan dalam kalangan fukaha tentang boleh
tidaknya, sedangkan menurut Salam Madkur, guru besar di fakultas hukum Kairo dilarang
melakukan dzariah.
Menurut hemat penulis, Musik dan nyanyian itu termasuk ke dalam kategori dzariah yang
dasarnya mubah (boleh), dan mengandung unsur positifnya lebih besar dari pada unsur
negatifnya. Karena itu Musik dan nyanyian itu pada dasarnya mubah (boleh) bahkan
hukumnya bisa meningkat menjadi sunah atau wajib tergantung keadaan tingkatan
masalahnya.
BAB III
KESIMPULAN
Dari uraian dan penjelasan di atas maka penulis mengambil kesimpulan bahwa Musik dan
nyanyian boleh dilakukan atau di ajarkan dan sependapat dengan penadapat yang disampaikan
oleh Ibnu Qayyum, yang mengatakan bahwa “tidak semua dzariah harus ditutup tetapi
tergantung kepada macam dzariah dan ekses-ekses yang timbul dari padanya. Sebab ada dzariah
yang dasarnya mubah (boleh) dan mengandung unsur posyitf (maslahah) dan unsur negatif
(mafsadah), jika unsur maslahatnya lebih besar dari mafsadatnya maka dzariah itu terbuka, dan
hukumnya bisa mubah, sunah dan wajib tergantung pada tingkatan maslahatnya