You are on page 1of 68

BAB 1

PENDAHULUAN

Batubara merupakan sumber energi alternatif saat ini. Indonesia kaya akan
sumberdaya batubara. PT. Kaltim Prima Coal adalah salah satu perusahaan produsen
batubara di Indonesia yang memiliki Kuasa Pertambangan seluas 90.490,9950 Ha.
Daerah operasi penambangannya terbagi dalam tiga departemen yaitu, Departemen
Bintang yang mengelola Pit Bendili dan Harapan. Departemen Hatari mengelola Pit
AB. Departemen Pit J yang ketiga mengelola Pit J. PT. Kaltim Prima Coal memiliki
tiga sub contractor yang membantu mengelola daerah operasi penambangannya,
yaitu PT. Pama Persada Nusantara, PT. Thiess Indonesia dan PT. Darma Henwa
yang mengelola penambangan di Bengalon.

1.1 Latar Belakang


PT. Kaltim Prima Coal menerapkan sistem tambang terbuka dengan metode
open pit. Salah satu kegiatan penambangan adalah pengupasan lapisan tanah penutup
dengan cara pemboran dan peledakan. Kegiatan pemboran yang dilakukan saat ini
menggunakan alat bor Drilltech D25KS, D45KS, D50KS dan D55SP dengan jenis
mata bor adalah button bit yang berdiameter 7 7/8 inch. Sedangkan bahan peledak
yang digunakan adalah ANFO, Heavy ANFO, dan Emulsion (Titan Black). Geometri
peledakan yang digunakan saat ini adalah burden 7 m, spacing 8 m, stemming 4 m,
subdrilling 1 m, dengan plan powder factor rata-rata sebesar 0,4 kg/bcm, dengan pola
pemboran selang-seling (staggered) dan pola peledakan beruntun per lubang.
Primer adalah unit bahan peledak yang mengandung inisiator dan dimana
detonator ditempatkan. Diameter primer mendekati diameter lubang ledak, artinya
lubang ledak lebih besar membutuhkan primer yang lebih besar untuk efisiensi
energi maksimum. Untuk lubang tembak dengan kedalaman lebih dari 15 meter,
biasanya menggunakan dua primer.
Macam primer yang sering digunakan di PT. Kaltim Prima Coal ada dua
macam, yaitu Anzomex Booster dan Powersplit. Powersplit biasanya digunakan pada
2

peledakan membentuk Final Wall (dinding akhir) atau biasa disebut dengan
peledakan terkontrol (prespliting) .Sedangkan Anzomex Booster sendiri saat ini
digunakan sebagai primer pada peledakan produksi.
Dijumpai pada gudang bahan peledak PT. Kaltim Prima Coal masih banyak
terdapat stock Powersplit, sedangkan masa pakainya hampir habis, maka dilakukan
uji coba penggunaan powersplit untuk peledakan produksi sebagai primer pengganti
Anzomex Booster. Hasil yang akan dilihat adalah produktivitas dari alat muat dalam
memuat broken material hasil peledakan.

1.2 Perumusan Masalah


Perlu dilihat hasil peledakan dengan menggunakan dua jenis primer yang
berbeda kaitannya terhadap produktivitas alat muat. Sehingga dapat dipertimbangkan
jenis primer terbaik yang digunakan.

1.3 Maksud Dan Tujuan


Maksud dari penelitian ini adalah untuk:
1. Mengetahui sifat dan spesifikasi Powersplit dan Anzomex Booster
sebagai primer
2. Mengetahui produktivitas dari alat muat terhadap hasil peledakan
Sedangkan tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh
penggunaan primer yang berbeda dalam geometri peledakan yang sama dalam satu
lokasi peledakan terhadap produktivitas alat muat sehingga didapat jenis primer
terbaik untuk peledakan overburden. Dalam hal ini jenis primer yang digunakan
adalah Powersplit sebagai pengganti Anzomex Booster.

1.4 Batasan Masalah


Batasan – batasan yang penulis gunakan dalam melakukan penelitian ini
antara lain:
1. Setiap uji coba dilakukan dalam satu lokasi peledakan untuk dua jenis primer
sekaligus, agar dapat diketahui perbandingan produktivitas alat muat.
2. Geometri yang diterapkan untuk uji coba peledakan sama.
3

3. Alat muat yang digunakan sama sehingga dapat diketahui perbandingan


produktivitas dari masing- masing lokasi peledakan.
4. Data produktifitas Hydraulic Shovel Liebherr 996 didapat dari sistem dispatch.
5. Terbatasnya jumlah uji coba peledakan karena keterbatasan waktu dan teknis di
lapangan.

1.5 Waktu Dan Tempat


Penulis melakukan penelitian kurang lebih selama dua bulan terhitung mulai
tanggal 29 Maret sampai dengan 29 Mei 2007. Sedangkan tempat melakukan
penelitian di PT. Kaltim Prima Coal, Sangatta, Kalimantan Timur.

1.6 Penyelesaian Masalah


Di dalam melaksanakan penelitian ini, penulis menggabungkan antara teori
dengan data di lapangan, sehingga di dapatkan pendekatan pemecahan masalah.
Adapun data yang diambil adalah :
1. Data sekunder
Data curah hujan
Data kesampaian daerah
Peta topografi
Data geologi daerah penelitian
Rencana Produksi tiap tahun
Spesifikasi alat bor dan alat muat yang digunakan
2. Data primer, yaitu data-data pengamatan di lapangan, meliputi pengambilan data
yang sifatnya secara langsung berpengaruh pada hasil peledakan
Kondisi dan karakteristik batuan
Spesifikasi Powersplit dan Anzomex Booster
Jenis dan jumlah bahan peledak yang digunakan serta densitas bahan
peledak
Produktivitas dari alat muat
Pola pemboran dan penyalaan (tie up) yang digunakan
Geometri peledakan
4

Pengolahan data, dari data primer dan sekunder yang diperoleh, maka dapat diolah
dalam suatu kajian teknis dengan metode – metode yang berkaitan

1.7 Manfaat Penelitian


Mengetahui pengaruh penggunaan primer yang berbeda dalam geometri
peledakan yang sama dalam satu lokasi peledakan terhadap produktivitas alat muat
sehingga didapat jenis primer terbaik untuk peledakan overburden.
Mencari subtitusi primer lain untuk peledakan overburden selain
menggunakan Anzomex Booster yaitu dengan menggunakan Powersplit.
5

BAB II
TINJAUAN UMUM

Pada tahun 1930 ditemukan informasi berharga tentang adanya batubara di


daerah Pinang. Sejak tahun 1970 PT. Rio Tinto Indonesia melakukan kegiatan
eksplorasi. Pada tahun 1978 diselenggarakan tender penambangan batubara oleh
pemerintahan Indonesia dan diikuti juga oleh PT. Kaltim Prima Coal (PT.KPC),
sebuah gabungan usaha antara British Petrolium (BP) dan Conzine Rio Tinto
Australia (CRA), dengan prosentase 50% : 50%, dan memperoleh daerah kontrak
penambangan di wilayah Kalimantan Timar dengan dua lokasi yaitu disebelah utara
Taman Nasional Kutai dan di sebelah utara Samarinda.
Pada tanggal 8 April 1982, PT. Kaltim Prima Coal menandatangani
persetujuan kontrak bagi hasil (PKP2B) dengan Perum Tambang Batubara (sekarang
PT. Tambang Batubara Bukit Asam / PTBA). Studi kelayakan penambangan selesai
pada tahun 1988, PT. Kaltim Prima Coal telah menyelesaikan rencana penambangan.
Pembangunan kontruksi tambang dimulai tahun 1989. Sejak awal tahun 1990 sampai
akhir tahun 1991 PT. Kaltim Prima Coal telah mengekspor 2,2 juta ton batubara ke
berbagai negara konsumen. Pada tanggal 10 Oktober 2003 PT. Kaltim Prima Coal
telah dibeli oleh PT. Bumi Resources Tbk, dan sekaligus menjadi perusahaan milik
Indonesia.

2.1. Lokasi Dan Kesampaian Daerah


Lokasi pertambangan PT. Kaltim Prima Coal secara geografis terletak pada
1160 – 1180 BT dan 10 341 LU sampai 10171 LS. Sebaran batubara Pinang terletak
pada wilayah seluas 40 km2, dengan jarak 150 km di sebelah utara ibukota
propinsi Kalimantan Timur, Samarinda, 220 km disebelah utara pusat industri
Balikpapan, 65 km di sebelah utara kota administrasi Bontang dan 320 di sebelah
selatan Tarakan. Lokasi daerah penambangan terletak di sebelah sungai Sangatta dan
berjarak 20 km dari pantai Timur Kalimantan.
6

Wilayah penambangan dibagi dalam dua blok, yaitu blok Lembak yang
terletak di sebelah utara Sangatta dan blok Samarinda yang terletak di sebelah utara
kota Samarinda. Blok Lembak terbagi menjadi dua, yaitu daerah Pinang seluas 8.687
ha dan daerah Lembak (area Bengalon) seluas 6.275 ha. Sedangkan untuk blok
Samarinda terletak di daerah Separi-Santan seluas 19.227 ha. Daerah yang aktif
sekarang adalah Pinang Barat dengan luas KP Eksploitasi (DU 1517) 9.618 ha, yang
terletak di Kecamatan Sangatta, kabupaten Kutai Timur, Propinsi Kalimantan Timur.

Gambar 2.1
Peta Lokasi Cadangan Batubara
7

2.2. Keadaan Geologi Daerah Penelitian


Keadaan geologi daerah penelitian di PT. Kaltim Prima Coal berdasarkan
stratigrafi, struktur geologi dan sejarah geologi adalah:

2.2.1 Stratigrafi
Stratigrafi daerah Pinang dari yang tua adalah formasi Pamaluan, formasi
Pulau Balang, dan Balikpapan Beds. Formasi – formasi tersebut banyak mengandung
batubara. Endapan batubara tersebut pada kala Tersier yang merupakan bagian dari
cekungan Kutai.
Formasi Pamaluan tersusun dari batu lempung, batu pasir gampingan, batu
gamping tipis, dengan lapisan penunjuk batu gamping koral. Formasi Pulau Balang
dengan ketebalan 400 meter, dominan tersusun oleh batu lempung, batu lanau
dengan lapisan tipis batu pasir gampingan, batu gamping koral dan batu pasir dengan
fragmen batubara. Pada bagian bawah ketebalan batubara 0,5 – 2 meter, umumnya
mempunyai kandungan belerang yang tinggi sehingga tidak ekonomis untuk
ditambang. Balikpapan Beds dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu bagian bawah
yang terdiri dari batu lempung, batu lanau, dan alur – alur batu pasir serta lapisan
batubara: Melawan, Prima, Bintang, B1, dan B2. Pada bagian tengah tersusun atas
batu lempung, batu lanau, batu pasir dan batubara dengan ketebalan antara 1 – 20
meter. Lapisan batubara tersebut yaitu: Sangatta, Middle, MI 1, Pinang, P1, P2, P3,
P4, P5, P6, P7, Mandilli, MA1, Kedapat, dan K1.(Gambar 2.2). Balikpapan Beds
yang mempuyai lebih dari 500 meter terletak selaras diatas formasi Pulau Balang dan
endapan yang ekonomis terletak di bagian bawah Balikpapan Beds yang berkala
Miosen.

2.2.2 Struktur Geologi


Daerah Pinang termasuk dalam formasi Balikpapan Beds dan terletak di
bagian timur laut lembah Kutai. Struktur Kubah Pinang umumnya didominasi oleh
perlipatan – perlipatan yang membentuk serangkaian antiklin yang berpusat di
Samarinda dan memiliki kecenderungan arah utara – timur.
Struktur geologi utama yang terdapat di daerah formasi Balikpapan adalah
Kubah Pinang, dimana terdapat struktur antiklin dengan arah utara, dan patahan
8

normal yang memiliki kecenderungan arah timur – barat daya. Struktur geologi yang
banyak terdapat di sekitar kubah Pinang merupakan perlapisan dan kekar.

Sumber : Departement Geologi PT. Kaltim Prima Coal (31.12.95)

Gambar 2.2
Stratigrafi Pinang dan Melawan
9

Jenis batuan utama tanah penutup (over burden) adalah siltstone, mudstone,
dan sandstone. Ketebalan “interburden” relatif tetap. Mudstone dan sebagiannya
“carbonaceous”, biasanya berbatasan langsung dengan lapisan batubara. Sandstone
tidak ditemukan dalam keadaan menerus secara lateral, melainkan berbentuk lensa
dalam berbagai ukuran.
Urut–urutan lapisan siltstone dan “interbanded” mudstone, siltstone, atau
sandstone merupakan bentuk perlapisan yang biasa dijumpai, sedangkan sandstone
serta mudstone dalam keadaan yang lebih “massive” mempunyai perkembangan
perlapisan yang buruk. “Parting” bidang perlapisan umumnya membidang (planar),
kasar, dan bersih dengan spasi antara 0,3 m sampai 1,2 m. “Cross bedding” dapat
berkembang pada sandstone yang kuat.

2.2.3 Sejarah Geologi


Pada kala Oligosen, wilayah proyek batubara Pinang merupakan Cekungan
Kutai yang mengalami penurunan dan menjadi sedimen laut dangkal, terutama
mudstone dan batu pasir halus dari Bhongan Shale hingga terbentuk formasi
Pamaluan.
Pada kala Miosen awal, pengangkatan wilayah ke arah barat telah
menghasilkan banyak suplai sedimen yang masuk ke Cekungan Kutai dan
menghasilkan formasi Delta, salah satunya adalah wilayah Sangatta. Pengumpulan
endapan delta pada saat awal mengakibatkan terbentuknya formasi Pulau Balang
terutama paparan delta yang lebih rendah dari endapan laut dangkal, dan diikuti oleh
Balikpapan Beds yang terdiri dari mudstone, batu lempung dan batu pasir. Didalam
Balikpapan Beds tersebut terdapat sejumlah Peat, yang pada akhirnya akan
membentuk lapisan batubara Pinang Barat. Penurunan yang terjadi di wilayah ini
diduga tidak serentak sehingga menimbulkan terbentuknya patahan–patahan.
Deposit yang membentuk Balikpapan Beds kemudian diikuti dengan
pembentukan Kampung Baru Beds pada kala Pilosen. Selama kala Pilosen Marine
dari Bongan Shale dan formasi Pamaluan mengalami tekanan. Terobosan perlapisan
endapan oleh deposit dari Bongan Shale dan formasi Pamaluan mengakibatkan
terbentuknya struktur antiklin dengan sinklinal melalui Cekungan Kutai, sebagian
Kubah Pinang dan sinklin lembah di wilayah Pinang.
10

Tmpb

Tmb
Tmpb a

Tmba

Se
kur
D au
LOCATION MAP U Ant
D icli
U
kLemba ne
Sy
S. Fa ncl
Le ultin
mb
Pe e
ak
BENGALON ne
ba
Rantau Fault ng
a
n
Oa Tmpb
Fault
Tpkb
Pa
lo
ng
S. Bengalon S.
Sek
ura PORT
u SITE
Sepaso Baru
M
Qa
ak
Qa
S. Bengalon as
sa
Tmpb Sy
ncl Tmba NORTH
r
ine
PINANG St
Ru
ntu
Tmba ra
Tmpb
it
Le
Tmpb mb Tmp
ak Fault
PINANG Villa
MELAWAN Sy
NORTH DOME U EAST
Ant ncl
ine D PINANG
icli WEST
ne PINANG
Tmba LEGEND
MELAWAN
Mel Limit of Lembak Block
WEST aw
an (DU 417) 90,706 Ha
Limit of KPC Exploitation
S. Tanjung Bara (DU1517) 9,618 Ha
San
gatt Sangatta Seam Subcrop
Papa
a Baru
Charlie Qa
Teluk
Lingga
KUTAI NATIONAL PARK Tpkb
Qa
Tmba

Sangatta Tmpb

Scale 1:100000 Tmp


S. Sangatta
0 2. 5 10Km
5 River
Road

REGIONAL GEOLOGY
LEMBAK EXPLORATION
BLOCK
Drawn by drafting section -P&T- geology/Lembak2.prs

Gambar 2.3
Geologi Regional PT. Kaltim Prima Coal

2.3. Iklim Dan Curah Hujan


Daerah Sangatta memiliki iklim dengan curah hujan yang relatif tinggi. Data
curah hujan rata – rata daerah Sangatta dan sekitarnya untuk tahun 1984-2007 dapat
dilihat pada table 2.1, dengan nilai maksimum 456.60 mm/tahun dan nilai minimum
0 mm/tahun,dan curah hujan rata – rata sebesar 238.6 mm/tahun.
11

Tabel 2.1
Data Curah Hujan (mm)
Tahun 1984-2007

Tahun Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des
1984 - - - - - - - - 142.5 185.5 172.3 275.4
1985 275.1 205 219.8 194.5 231.5 206.5 83.2 251.7 96.5 123.3 133 183
1986 231.5 300.3 141.5 133.3 218.5 116.5 181.5 48.8 55.8 177 57 145.5
1987 118 206.3 132.8 155 119.8 121.8 92.3 130.8 1 73.8 208 321.3
1988 222.4 277.2 341.7 119.7 158.5 116.9 221.6 302.4 191.3 225.4 176.4 255.1
1989 237.5 147.9 157.9 209.3 169.3 190.7 183.5 100.5 119.9 181.2 238.7 257.2
1990 193 125.8 218.6 174.6 120.3 78.5 163.8 198.4 224.6 131.6 176.5 349.1
1991 128.8 218.1 271.9 124.9 149.8 68.1 33.1 37.4 19.6 94.7 355.7 145.6
1992 143.9 40.1 53.3 57.8 194.6 76.2 59.2 136.2 55.6 266.1 234.1 235.7
1993 126.8 135.5 318 280.3 86.2 189.3 152.3 43.3 27.9 178 257.1 183.5
1994 214.2 87.6 114.9 155.9 213.4 179.5 112 78.1 6.6 89.4 61.3 318.4
1995 61.5 250.4 197.7 171.5 213.6 259.2 118.7 216.4 236.2 223.1 334.6 239.5
1996 314.1 193.5 120.8 255.3 318.7 156.1 147.3 96.7 211.6 140.5 198.4 230.1
1997 194.5 274.9 324.5 187.4 111.3 66.2 73.4 14.6 11.6 77.1 123.8 186.4
1998 66.1 1.2 0 44.6 191 457 212 261 222.4 150.2 375.6 283.9
1999 168.4 201.6 263.9 221.2 294.6 111.5 173.0 115.6 67.3 124.2 351.3 161.7
2000 132.0 175.7 231.4 232.1 168.3 242.6 139.9 149.6 82.0 214.2 291.7 200.9
2001 218.4 440.9 432.3 179.1 232.7 69.5 123.7 47.7 109.4 304.2 221.8 146.4
2002 89.6 83.2 341.9 128.1 176.1 163.7 88.1 64.9 70.5 91.9 93.9 157.6
2003 234.3 109.7 206.8 165.4 248.1 118.3 89.3 130.6 87.4 212.5 251.6 382.0
2004 198.9 293.4 296.6 172.7 228.0 150.4 224.9 4.7 140.1 14.8 193.3 290.5
2005 322.4 165.6 159.0 439.5 336.5 86.3 219.1 161.0 162.6 211.0 276.2 454.2
2006 210.6 285.6 137.0 307.5 251.9 236.5 42.6 91.0 107.2 30.0 101.4 223.7
2007 257.9 247.3 186.4 188.0 134.5
Rata-rata 189.6 194.2 207.5 184.6 188.7 159.9 133.2 124.3 109.5 145.9 198.2 238.6
Sumber PT. Kaltim Prima Coal

2.4. Cadangan Dan Kualitas Batubara


Nilai kalori batubara PT. Kaltim Prima Coal pada umumnya berkisar 5880
Kcal/Kg sampai 7494 Kcal/Kg, menurut klasifikasi ASTM termasuk grup “High
Volatile B dan High Volatile A Bitumineous Coal” (Tabel 2.2), berat jenisnya
berkisar antara 1,3 – 1,5 gram/cm3. Berdasarkan perhitungan cadangan yang tercatat
pada tahun 1997 jumlah cadangan batubara yang layak ditambang (mineable) yang
terdapat di daerah Pinang adalah 331.180.000 ton, dengan stripping ratio rata – rata
6,7 : 1.
12

Tabel 2.2
Kualitas Batubara PT. Kaltim Prima Coal

KARAKTERISTIK PRIMA PINANG


A. General Analysis (ADB)
- Total Moisture (%) 9,5 13,5
- Inherent Moisture (%) 6,0 10,0
- Ash (%) 4,0 7,0
- Volatile Matter (%) 39,0 37,5
- Fixed Carbon (%) 51,0 45,5
- Caloritic Value (Kcal/Kg) 6750 6000
- Gross as received (Kcal/Kg) 7000 6250
- Gross air dried (Kcal/Kg) 6500 5750
- Net as received (Kcal/Kg) 6175 5421
B. Ultimate Analysis
- Carbon 80,5 77,5
- Hydrogen 5,7 5,5
- Nitrogen 1,6 1,7
- Sulphur 0,5 0,4
- Oxygen 11,5 14,9
C. Ash Fusion Temperature oC
- Deformation 1150 1150
- Spherical 1300 1210
- Hemisphere 1350 1310
- Flow 1450 1350
D. Ash Analysis (%)
- SiO2
51,0 37,0
- Al2O3
31,0 20,0
- Fe2O3
10,0 16,8
- CaO
1,3 8,8
- MgO
1,2 5,8
- TiO2
1,0 0,6
- Na2O
1,5 2,8
- K2O
1,8 0,9
- Mn3O4
0,2 6,8
- P2O5
0,5 0,5
- S03
0,5 6,8
Sumber : Coal Technical Services PT. Kaltim Prima Coal

Kualitas batubara yang terdapat pada tambang batubara PT. Kaltim Prima
Coal berdasarkan prosen kadar abu, kadar air total, kandungan sulphur dan nilai
kalorinya, secara garis besar dibagi menjadi dua yaitu kualitas Prima dan kualitas
Pinang (tabel 2.2). Batubara Prima dan Pinang merupakan batubara dengan mutu
bersih di dunia, dengan nilai kalori tinggi, kadar abu dan sulphur rendah, serta kadar
air yang rendah. Ciri – ciri batubara Prima adalah berwarna hitam cerah, mengkilap
dengan nilai kalori yang tinggi. Batubara Pinang hampir sama dengan Prima, tetapi
mengandung kadar air yang lebih tinggi.
13

2.5 Target Produksi


PT. Kaltim Prima Coal mempunyai target produksi total 2007 untuk batubara
sekitar 33,9 juta ton/ tahun dan untuk lapisan tanah penutup lebih besar dari 274,7
juta BCm .

Tabel 2.3.
Produksi Batubara dan Over Burden PT. Kaltim Prima Coal

Produksi
Tahun batubara (ROM) Produksi OB
Juta ton BCM
1991 2,1 28.670.055
1992 7,3 47.260.529
1993 8,3 65.593.867
1994 9,5 71.733.328
1995 11,5 70.659.082
1996 12,1 87.010.265
1997 13,6 112.492.809
1998 15 123.622.195
1999 14,3 124.338.379
2000 13,5 103.434.429
2001 15,9 115.142.944
2002 18,3 145.813.032
2003 14,1 109.079.787
2004 23,9 120.571.756
2005 26,1 132.250.646
2006 32,5 304.191.880
2007(Jan-April) 9,2 69.250.639
Sumber : Coal Technical Services PT. Kaltim Prima Coal

2.6 Kegiatan Penambangan


Kegiatan penambangan pada PT. Kaltim Prima Coal disesuaikan dengan
perencanaan tambang yang dibuat dari planning. Adapun urutan kegiatan
penambangan di PT. Kaltim Prima Coal (lihat gambar 2.4) meliputi:
1. Pembersihan tempat kerja
2. Pengupasan tanah atas
3. Penggalian tanah penutup
4. Penggalian batubara
14

5. Penimbunan
6. Reklamasi
7. Pemuatan dan pengangkutan batubara

2.6.1 Pembersihan Tempat Kerja


Pembersihan tempat kerja adalah kegiatan untuk membersihkan daerah
tambang dari tumbuhan yang menutupinya. Kegiatan ini dilakukan oleh “Bulldozer”
yang dilengkapi dengan “Ripper”/“Dozer” merk Komatsu D475.

2.6.2 Pengupasan Tanah Atas


Tanah atas atau disebut juga “top soil” mempunyai ketebalan sekitar 50 cm.
Pembongkannya dilakukan oleh “Bulldozer” Komatsu D375. Pemuatannya
menggunakan “Loader” Komatsu WA600. Alat angkut yang digunakan adalah
“Dump Truck” jenis Caterpillar D350 yang berkapasitas 35 Ton.

2.6.3 Penggalian Tanah Penutup


Penggalian tanah penutup batubara dengan ketebalan kurang dari 2,0 m,
terutama yang terdiri dari tanah lempungan dan batuan lapuk dilakukan dengan
menggunakan “Ripper”. Sedangkan tanah penutup yang mempunyai ketebalan lebih
dari 2,0 m dilakukan dengan peledakan. Alat bor yang digunakan adalah Tamrock
Drilltech D55SP, dengan diameter mata bor 7 7/8 inch atau 2000 mm. Untuk lubang
tembak kering dengan kondisi normal menggunakan ANFO dan untuk kondisi Floor
menggunakan Heavy ANFO, sedangkan untuk lubang tembak basah menggunakan
Titan Black (Emulsion). Metode peledakan yang diterapkan adalah metode sumbu
ledak non – elektrik (Nonel).
Batuan hasil peledakan kemudian dimuat ke dalam “dump truck” Liebherr
T282B, CAT 789B, CAT 785, Komatshu 830E dan Hitachi EH4500. Yang
berkapasitas angkut masing masing 360 Ton, 200 Ton dan 150 Ton, dengan
menggunakan “shovel” Liebherr R996S dan Hitachi EX3500.

2.6.4 Penggalian Batubara


Batubara dengan ketebalan lebih dari 2 meter pembongkarannya
menggunakan peledakan karena untuk mempermudah dan mempercepat dalam
pemuatan. Sedangkan batubara yang ketebalannya kurang dari 2,0 m atau terdapat
15

material pengotor, digali dengan menggunakan “ripper” yang ditarik oleh


“bulldozer” Komatsu D375.
Batubara yang tergali kemudian dimuat ke dalam “dump truck” Caterpillar
785B yang berkapasitas 150 ton, dengan menggunakan “back hoe” Hitachi EX2500
dengan kapasitas “bucket” 15 m3 .

2.6.5 Penimbunan
Sistem manajemen lapisan tanah penutup bertujuan untuk mampu
mengidentifikasikan material non acid forming (NAF) dan material potential acid
forming (PAF). Tujuan akhirnya adalah untuk menghindari terjadinya pembentukan
air asam tambang (AAT).
Lapisan tanah penutup diangkut ke tempat penimbunan yang dirancang dan
disediakan agar tidak mengalami kontak langsung dengan air dan udara secara
bersamaan. Kemampuan membangkitkan asam material lapisan tanah penutup
diidentifikasi dipermuka kerja sebelum digali dan dimuat dengan menganalisis
contoh material saat pemboran geologi dan produksi.

2.6.6 Reklamasi
Reklamasi dimaksudkan untuk memperkecil kerusakan lingkungan akibat
kegiatan penambangan dengan cara mengembalikan daerah yang telah ditambang ke
fungsi semula.
Tahap kegiatan reklamasi lahan sebagai berikut:
1. penimbunan berdasarkan lokasi dan tipe material
2. penyebaran tanah pucuk
3. preparasi yang terdiri dari kegiatan ripping dan drainage
4. penanaman

2.6.7 Pemuatan dan Pengangkutan Batubara.


Setelah lapisan batubara tersebut diberai, langkah selanjutnya adalah
pemuatan dan pengangkutan batubara dengan menggunakan Backhoe Hitachi
EX2500 dengan kapasitas bucket 15 m3. Kemudian diangkut menuju crusher di Coal
Processing Plant dengan Dump Truck CAT 785B yang memiliki kapasitas 150 ton.
16

2.7 Pengolahan dan pengapalan batubara


Setelah diangkut menggunakan dump truck, batubara tersebut dibawa ke unit
pengolahan (Coal Processing Plant / CPP). Sebagian besar batubara yang diproduksi
PT KPC tidak mengalami proses pencucian, karena dianggap sudah cukup bersih.
Pencucian hanya dilakukan pada batubara yang berada di atas (roof) dan bawah
(floor) lapisan batubara tersebut. Produksi batubara dari hasil pencucian ini sebesar
4 % dari keseluruhan produksi batubara PT.KPC.
Di CPP, batubara tersebut akan diperkecil ukurannya hingga -50 mm
menggunakan crusher. Hasil dari crusher tersebut akan dibawa ke stockpile melalui
conveyor. PT KPC memiliki dua lokasi stockpile. Yang pertama terletak dekat
dengan areal penambangan. Yang kedua terletak di Tanjung Bara Coal Terminal.
Stockpile yang berada dekat dengan areal penambangan terbagi menjadi tiga yaitu
stockpile I yang menampung batubara Melawan, Prima, atau Pinang dengan
kapasitas 10.000 ton. Stockpile II yang menampung batubara Melawan dengan
kapasitas 60.000 ton. Dan yang terakhir stockpile III menampung batubara Prima
dengan kapasitas 30.000 ton. Dari ketiga stockpile tersebut akan masuk ke overland
conveyor menuju Tanjung Bara Coal Terminal. Conveyor ini memiliki panjang 13,2
km, satu tingkat (single stage), dengan kapasitas maksimum 2.700 tph.
Stockpile di dermaga Tanjung Bara memiliki total kapasitas hidup 500.000
ton yang dapat diperbesar hingga 1.000.000 ton. Kemudian dibawa kembali dengan
conveyor menuju ke kapal yang memiliki kapasitas maksimum hingga 500 ton.

2.8 Dispatch Sebagai Penunjang Kegiatan Pemuatan Dan Pengangkutan

2.8.1 Pengertian Dan Sejarah Dispatch


Sistem manajemen tambang pada tambang terbuka dengan memakai sistem
Dispatch (Dispatch Mine Manajemen Sistem) merupakan suatu sistem yang
memanfaatkan computer untuk mengoptimalkan dan mengendalikan arus lalu lintas
peralatan mekanis (terutama alat muat dan truck) secara otomatis.
17

PT KALTIM PRIMA COAL


OPERATION FLOW CHART

EXPLORATION
DRILL

EXPLORATION
SURVEY
DESIGN PIT AND GEOLOGYCAL
DISPOSAL MODELING

OVERBURDEN REVEGETATION /
TOPSOIL
DUMPING REHABILITATION
REPLACEMENT
OVERBURDEN
DRILLING &
BLASTING

COAL DRILLING &


OVERBURDEN BLASTING
REMOVAL
LAND CLEARING COAL MINING
TOPSOIL REMOVAL

CO A L S EA M

SHIP COAL
LOAD OUT PREPARATION

PORT
STOCKPILES OVERLAND
CONVEYOR

Drawn by drafting section - Geology - Mining/operational/Flowchart Mine.cdr

Drawn by drafting section - Geology - Mining/operational/Flowchart

Gambar 2.4
Kegiatan Penambangan di PT. Kaltim Prima Coal

Sistem Dispatch mengaplikasikan prinsip-prinsip optimisasi dengan memakai


waktu nyata (real time) untuk mengoptimalkan pemuatan dan pengangkutan material
oleh alat gali-muat dan alat angkut. Data alat mekanis, jalur jalan, jenis material dan
lokasi serta tempat pembuangan yang tersedia terlebih dahulu ke dalam data sistem.
Dengan sistem ini dapat diperoleh informasi seperti : jumlah alat muat dan angkut
yang beroperasi serta lalu lintasnya, tingkat kesibukan alat muat melayani alat angkut
yang beroperasi, keberadaan dari suatu alat angkut dan tonase pemuatan dan
pengangkutan serta lokasi pemuatan dan penimbunan suatu jenis material. Informasi
ini kemudian diolah dan ditampilkan sebagai laporan untuk memantau dan
mengevaluasi kinerja operasi tambang. Data waktu nyata merupakan data yang
direkam terus-menerus pada saat peralatan mekanis beroperasi selama satu giliran
kerja. Sistem ini akan sangat bermanfaat jika dipakai pada tambang-tambang dengan
skala yang besar. Pengaturan arus lalu lintas ini dilakukan secara otomatis, dan
petugas pengawas dispatch (dispatcher) dapat memonitor semua aktivitas alat
mekanis pada jangkauan yang sangat luas. Selain itu sistem dispatch ini juga
merekam semua data dan informasi aktual yang terjadi di pit, mendukung tugas
18

perencanaan dan selanjutnya akan mengarahkan sistem manajemen dispatch untuk


mengambil keputusan paling akurat.

2.8.2 Komponen Utama Dan Susunan (konfigurasi) Dispatch


Secara umum sistem dispatch terdiri dari empat komponen utama, yaitu :
A. Sistem Pusat Komputer
Sistem pusat computer ( Central Computer System atau CCS)
berfungsi untuk merekam data waktu nyata, mengolah serta
memanfaatkannya untuk mengatur lalu lintas truk di jaringan jalan tambang
B. Sistem Komputer Lapangan
Sistem computer lapangan (Field Computer Sistem atau FCS),
dtempatkan pada peralatan mekanis yang bergerak. Berfungsi mengumpulkan
waktu edar serta merekam informasi actual keadaan peralatan mekanis seperti
posisi, status, durasi peristiwa, tanggal dan lain-lain. FCS secara selektif
mengirim pesan ke layar Operator Interface Panel (OIP) yang berfungsi
mengirim pesan ke staf pengawas dispatch (dispatcher)
C. Sistem Penentuan Posisi Secara Global (Global Positioning Sistem atau GPS)
Global Positioning Sistem (GPS) merupakan salah satu sistem
pengoperasian dispatch dengan menggunakan satelit untuk menampilkan
pada layar sistem pusat computer posisi peralatan mekanis yang sedang
beroperasi di pit.
D. Sistem Komunikasi Data Radio (Data Radio Communicating System atau
DCRS)
Sistem komunikasi data radio menyediakan jalinan komunikasi yang
nyata antara sistem computer lapangan (FCS) dengan sistem pusat computer.

2.8.3 Penerapan Sistem Dispatch di Tambang Terbuka


Keberhasilan penerapan sistem dispatch dipengaruhi oleh beberapa faktor,
antara lain :
 Kelengkapan dan kondisi peralatan (FCS) di alat mekanis
 Kedisiplinan operator menekan nomor kode
 Pengawasan menyeluruh oleh dispatcher
19

Adapun jaringan informasi yang terjadi antara operator, dispatcher dan computer
ketika sistem dispatch dioperasikan, berlangsung seperti ini :
a. Operator : Data dan informasi secara manual dimasukkan dengan
menekan nomor kode tertentu pada layar OIP
b. Sistem komunikasi data radio (DCRS) : Menerjemahkan data pesan
berupa nomor kode dan mengirimkannya ke Sistem Pusat Komputer
(CCS)
c. Sistem pusat computer (CCS) : menerima data dari CCS dan
menyerahkan pada layar monitor
d. Dispatcher : Menerima atau menolak pesan/informasi operator. Pada
kondisi operasi normal pesan dispatcher dikirim ke operator melalui
DCRS dan akan dibalas secara manual dengan menekan tombol OIP.
Alarm berbunyi bila tanggapan atau balasan operator benar-benar
dibutuhkan.
e. Sistem computer : Ketika operator sudah masuk kedalam sistem dengan
memasukkan nomor badge-nya, sistem computer mengetahui status alat
mekanis setiap saat selama satu shift. Misalnya satu truk yang bermuatan
sedang berhenti, sistem mengetahui jenis material dan berasal dari mana
(lokasi pemuatan terakhir sebelum berhenti). Sistem juga mengetahui
secara akurat tujuan yang tepat untuk truk tersebut (misalnya tempat
penimbunan, crusher, dsb), juga mengetahui apabila truk berhenti tanpa
muatan.

2.8.4 Data Dasar Dispatch (Dispatch Database)


Sistem dispatch menggunakan 3 (tiga) data base yaitu : Pit database, Shift
database dan summary database. Selanjutnya database ini menjadi sumber informasi
pada utilitas Sistem Informasi Manajemen (Form Information Manajement System)
untuk membuat berbagai macam sistem pelaporan. Beberapa utilitas yang tersedia,
antara lain :
20

1. Laporan produksi
Menyediakan semua informasi yang berkaitan dengan kondisi
peralatan, operator, material, produktivitas dan lain sebagainya. Laporan
ini memberikan informasi yang antara lain berupa :
a. Informasi truk, yaitu material yang diangkut, asal material,
tempat tujuan pengangkutan, pengelompokan waktu, nomor
truk dan lain sebagainya.
b. Informasi shovel, seperti berapa material yang digali, asal
material dan tempat penimbunan material tersebut,
pengelompokan waktu, nomor alat muat dan lain sebagainya.
c. Status truk/alat muat dan peralatan penunjang yang lainnya.
2. Laporan berupa ringkasan
Menyediakan semua informasi yang berkaitan dengan sistem
informasi penting. Laporan standart terdiri dari :
a. Laporan ringkasan prioritas alat muat
b. Kapasitas penimbunan
c. Jarak tempuh truk
d. Waktu tempuh
e. Penugasan oleh sistem dispatch dan lain sebagainya
21

BAB III
DASAR TEORI

Pemboran dan Peledakan adalah salah satu kegiatan penambangan yang


bertujuan untuk memberai batuan guna mempermudah dan mempercepat proses
pemuatan.
Suatu operasi peledakan dinyatakan berhasil dengan baik pada kegiatan
penambangan apabila (Koesnaryo, 2001):
 Target produksi terpenuhi (dinyatakan dalam ton/hari atau ton/bulan).
 Penggunaan bahan peledak efisien yang dinyatakan dalam jumlah batuan yang
berhasil dibongkar per kilogram bahan peledak (disebut powder factor).
 Diperoleh fragmentasi batuan berukuran merata dengan sedikit bongkah
(kurang dari 15 % dari jumlah batuan yang terbongkar per peledakan).
 Diperoleh dinding batuan yang stabil dan rata (tidak ada overbreak, overhang,
retakan-retakan).
 Aman
 Dampak terhadap lingkungan (flyrock, getaran, kebisingan, gas beracun, debu)
minimal.
Di PT Kaltim Prima Coal, ada dua macam peledakan yaitu peledakan
produksi dan peledakan untuk membentuk final wall (dinding akhir). Peledakan
produksi merupakan peledakan yang bertujuan membongkar lapisan penutup
batubara (overburden) sehingga lapisan batubara dapat diambil. Sedangkan
peledakan final wall bertujuan untuk membentuk final wall (dinding akhir) yang
bagus, stabil dan aman.

3.1. Mekanisme Pecahnya Batuan Akibat Peledakan


Konsep yang dipakai adalah konsep pemecahan dan reaksi-reaksi mekanik
dalam batuan homogen. Sifat mekanis batuan yang homogen akan berbeda dan
batuan yang mempunyai rekahan-rekahan dan heterogen seperti yang dijumpai dalam
pekerjaan peledakan.
22

Proses pecahnya batuan akibat peledakan terjadi dalam tiga fase, yaitu fase I
(dynamic loading), fase II (quasi-static loading), fase III ( release of loading).
(Gambar 3.1).

Pada tahap pertama terjadi


Bidang Bebas
penghancuran batuan
disekitar lubang ledak dan
diteruskannya energi
ledakan kesegala arah.
Retakan disekitar lubang
ledak
Energi ledakan menghancurkan
batuan disekitar lubang ledak
Energi ledakan diteruskan ke segala arah

Bidang Bebas
Pada tahap kedua energi
ledakan yang bergerak
sampai bidang bebas
menghancurkan batuan pada
dinding jenjang tersebut

Pecahnya batuan pada


dinding jenjang
diakibatkan tegangan tarik

Pada tahap terakhir, energi


Bidang Bebas
ledakan yang dipantulkan
oleh bidang bebas pada
tahap sebelumnya,dan
ekspansi gas akan
menghancurkan batuan
dengan lebih sempurna

Lubang ledak

Batas bidang
bebas

Gambar 3.1
Proses Pecahnya Batuan Akibat Peledakan9)

3.1.1 Fase I (Dynamic Loading)


Pada saat bahan peledak meledak, tekanan tinggi yang ditimbulkan akan
menghancurkan batuan di daerah sekitar lubang tembak. Gelombang kejut yang
23

meninggalkan lubang tembak merambat dengan kecepatan 2750 – 5200 ft/det


akan mengakibatkan tegangan tangensial yang menimbulkan rekahan radial yang
menjalar dari daerah lubang tembak. Rekahan radial pertama terjadi dalam waktu
1 – 2 ms.

3.1.2. Fase II (Quasi-siatic Loading)


Tekanan akibat gelombang kejut yang meninggalkan lubang tembak pada
proses pemecahan tahap I adalah positif. Apabila gelombang kejut mencapai
bidang bebas (free face), gelombang tersebut akan dipantulkan. Bersamaan
denganitu tekanannya akan turun dengan cepat dan kemudian berubah menjadi
negatif serta menimbulkan gelombang tarik (tension wave). Gelombang tarik ini
merambat kembali di dalam batuan. Oleh karena kuat tarik batuan lebih kecil dari
pada kuat tekan, maka akan terjadi rekahan-rekahan (primary failure cracks)
karena tegangan tarik yang cukup kuat, sehingga menyebabkan terjadinya
slabbing atau spalling pada bidang bebas. Dalam proses pemecahan tahap I dan
II fungsi dari energi yang ditimbulkan oleh gelombang kejut adalah membuat
sejumlah rekahan-rekahan kecil pada batuan. Secara teoritis jumlah energi
gelombang kejut hanya berkisar antara 5 – 15 % dari energi total bahan peledak.
Jadi gelombang kejut tidak secara langsung memecahkan batuan, tetapi
mempersiapkan kondisi batuan untuk proses pemecahan tahap akhir.

3.1.3. Fase III ( Release of Loading)


Dibawah pengaruh tekanan sangat tinggi dari gas-gas hasil peledakan maka
rekahan radial utama (tahap II) akan diperbesar secara cepat oleh efek kombinasi
dari tegangan tarik yang disebabkan kompresi radial dan pembajian (pneumatic
wedging). Apabila massa di depan lubang tembak gagal mempertahankan
posisinya dan bergerak ke depan maka tegangan tekan tinggi yang berada dalam
batuan akan dilepaskan, seperti spiral kawat yang ditekan kemudian dilepaskan.
Akibat pelepasan tegangan tekan ini akan menimbulkan tegangan tarik yang
besar di dalam massa batuan. Tegangan tarik inilah yang melengkapi proses
pemecahan batuan yang sudah dimulai pada tahap II. Rekahan yang terjadi dalam
proses pemecahan tahap II merupakan bidang-bidang lemah yang membantu
fragmentasi utama pada proses peledakan .
24

3.2. Parameter Tetap Pada Peledakan


Parameter tetap adalah parameter yang dipengaruhi oleh kondisi alamiah
batuan, misalnya struktur geologi, karakteristik batuan, Faktor cuaca dan keadaan air.

3.2.1 Struktur Geologi


Meliputi perlapisan batuan ( stratigrafi batuan ) yang menyusun lapisan
overburden dan ada tidaknya kekar pada area peledakan. Dengan adanya struktur
rekahan ini maka energi gelombang tekan dari bahan peledak akan mengalami
penurunan yang disebabkan adanya gas-gas hasil reaksi peledakan yang menerobos
melalui rekahan, sehingga mengakibatkan penurunan daya tekan terhadap batuan
yang akan diledakkan. Kondisi massa batuan dapat diklasifikasikan berdasarkan
spasi kekarnya (Tabel 3.1). Sedangkan struktur perlapisan juga mempengaruhi hasil
peledakan. Jika lubang ledak dibuat searah dengan arah kemiringan perlapisan maka
batuan akan terlempar jauh, timbul backbreak lebih besar, lantai jenjang rata dan
fragmentasi batuan tidak seragam. Bila dibandingkan dengan lubang ledak yang
dibuat berlawanan dengan kemiringan struktur perlapisan, lemparan batuan tidak
terlalu jauh, kemungkinan terjadinya backbreak kecil, lanjai jenjang tidak rata dan
fragmentasi batuan seragam.

Tabel 3.1.
Klasifikasi Spasi Kekar 3)

Deskripsi Spasi Kekar (mm) Kondisi Massa Batuan


Sangat lebar > 2000 Padat
Lebar 600 – 2000 Massive
Sedang 200 – 600 Blocky/Seamy
Rapat 60 - 200 Terpecah
Sangat rapat < 60 Hancur

3.2.2 Karakteristik Batuan

1. Density Batuan
Density adalah berat batuan per volume artinya makin besar density akan
semakin berat batuan tersebut dibandingkan density yang rendah untuk volume yang
sama. Batuan dengan density tinggi cenderung memiliki powder factor yang tinggi
untuk menghasilkan fragmentasi hasil peledakan yang baik.
25

2. Kuat tekan dan Kuat tarik Batuan


Sifat kuat tekan dan kuat tarik batuan juga digunakan dalam penggolongan
terhadap mudah atau tidaknya batuan untuk dibongkar. Batuan akan hancur atau
lepas dari batuan induknya apabila bahan peledak yang digunakan memiliki kuat
tekan yang lebih besar daripada kuat tarik batuan itu sendiri.

3. Kekerasan Batuan
Semakin tinggi tingkat kekerasan batuan, maka akan semakin sukar batuan
tersebut untuk dihancurkan (Tabel 3.2)

Tabel 3.2.
Kekerasan Batuan Dan Kuat Tekan Uniaksial 7)

Hardness Kekerasan Kuat Tekan Uniaksial


(skala Mohs) (MPa)
Sangat keras >7 > 200
Keras 6–7 120 – 200
Agak keras 4,5 – 6 60 – 120
Agak lunak 3 – 4,5 30 – 60
Lunak 2–3 10 – 30
Sangat lunak 1–2 < 10

4. Elastisitas Batuan
Elastisitas batuan adalah sifat yang dimiliki batuan untuk kembali ke bentuk
atau keadaan semula setelah gaya yang diberikan kepada batuan tersebut
dihilangkan. Secara umum batuan dapat dihancurkan apabila mengalami regangan
yang melewati batas elastisitasnya.

5. Rock blastability
Rock blastability adalah daya tahan batuan terhadap
peledakan, dipengaruhi oleh keadaan batuan dan tingkat sedimentasi.
Pada batuan kompak (keras) Peledakan dapat dikontrol dengan baik,
sedangkan pada batuan yang banyak celahnya, sebagian energi peledakan akan
diteruskan ke dalam rekahan dan peledakan kurang dapat dikontrol. Menurut Jimeno
(1995), pembobotan massa batuan yang berhubungan dengan peledakan adalah
pembobotan massa batuan berdasarkan nilai indeks peledakan dan parameter-
26

parameter untuk pembobotan tersebut meliputi deskripsi massa batuan, spasi bidang
kekar, orientasi bidang kekar, pengaruh specific gravity dan kekerasan (lihat Tabel
3.3)
Indeks peledakan diperoleh dari pembobotan parameter tersebut, sehingga
diperoleh persamaan untuk nilai indeks peledakan:
Indeks peledakan (BI) = 0.5 (RMD + JPS + JPO + SGI + H)
..........................(3.1)
Dari nilai indeks peledakan dapat diketahui faktor batuan dengan persamaan:
Faktor Batuan (A) = BI x 0.12
..........................................................................(3.2)

3.2.3 Faktor Cuaca


Kondisi cuaca mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap kegiatan
peledakan, teruma untuk kondisi hujan. Selain itu air hujan yang masuk ke dalam
lubang ledak juga akan mempengaruhi kerja bahan peledak, sebab salah satu sifat
bahan peledak adalah tidak tahan terhadap air.

Tabel 3.3
Parameter Pembobotan Menutut Jimeno 5)

1. ROCK MASS DESCRIPTION (RMD) RATING


1.1 1.1 Powder/friable 10
1.2 1.2 Blocky 20
1.3 1.3 Totally masive 50
2. JOINT PLANE SPACING (JPS) RATING
2.1 Close (< 0,1m) 10
2.2 Intermediate (0,1 - 1,0 m) 20
2.3 Wide (>1,0 m) 50
3. JOINT PLANE ORIENTATION (JPO) RATING
3.1 Horizontal 10
3.2 Dip out of face 20
3.3 Strike normal to face 30
3.4 Dip into face 40
27

4. SPECIFIC GRAVITY INFLUENCE


(SGI) SGI = 25 X bobot isi - 50
RATING OF 1 TO 10 (MOHS
5. HARDNESS (H)
SCALE)

3.2.4 Keadaan Air


Kandungan air yang banyak dalam lubang ledak dapat mengakibatkan
kerusakan sebagian isian bahan peledak dapat mengurangi kecepatan reaksi bahan
peledak sehingga akan mengurangi energi peledakan, atau bahkan isian akan gagal
meledak (missfire).
Air yang terdapat di dalam lubang ledak berasal dari air tanah dan sedikit dari
air hujan.

3.3. Parameter Berubah Pada Peledakan


Parameter berubah maksudnya adalah parameter parameter teknis yang dapat
dikendalikan oleh manusia dalam merancang suatu geometri pemboran dan
peledakan untuk memperoleh hasil yang diharapkan.

3.3.1 Geometri Pemboran


Geometri pemboran meliputi diameter lubang bor, kedalaman lubang
tembak, kemiringan lubang tembak, tinggi jenjang, dan juga pola pemboran.
1. Diameter lubang tembak.
Diameter lubang tembak yang terlalu kecil, maka faktor energi yang
dihasilkan akan berkurang sehingga tidak cukup besar untuk membongkar batuan
yang akan diledakkan, sedang jika diameter lubang tembak terlalu besar maka lubang
tembak tidak cukup untuk menghasilkan fragmentasi yang baik, terutama pada
batuan yang banyak terdapat kekar dengan jarak kerapatan yang tinggi.
Diameter lubang tembak yang kecil juga memberikan patahan atau hancuran
yang lebih baik pada bagian atap jenjang. Hal ini berhubungan dengan stemming, di
mana lubang tembak yang besar maka panjang stemming juga akan semakin besar
dikarenakan untuk menghindari getaran dan batuan terbang, sedangkan jika
menggunakan lubang tembak yang kecil maka panjang stemming dapat dikurangi.
Ukuran diameter lubang ledak yang akan dipilih akan tergantung pada
28

1. Volume massa batuan yang akan dibongkar (volume produksi)


2. Tinggi jenjang dan konfigurasi isian
3. Tingkat fragmentasi yang diinginkan
4. Alat muat yang digunakan

2. Kedalaman lubang tembak


Kedalaman lubang tembak biasanya disesuaikan dengan tinggi jenjang yang
diterapkan. Dan untuk mendapatkan lantai jenjang yang rata maka hendaknya
kedalaman lubang tembak harus lebih besar dari tinggi jenjang, yang mana kelebihan
daripada kedalaman ini disebut dengan sub drilling.

3. Kemiringan lubang tembak (Arah pemboran)


Arah pemboran yang kita pelajari ada dua, yaitu arah pemboran tegak dan
arah pemboran miring. Arah penjajaran lubang bor pada jenjang harus sejajar untuk
menjamin keseragaman burden yang ingin didapatkan dan spasi dalam geometri
peledakan. Lubang tembak yang dibuat tegak, maka pada bagian lantai jenjang akan
menerima gelombang tekan yang besar, sehingga menimbulkan tonjolan pada lantai
jenjang, hal ini dikarenakan gelombang tekan sebagian akan dipantulkan pada bidang
bebas dan sebagian lagi akan diteruskan pada bagian bawah lantai jenjang.
Sedangkan dalam pemakaian lubang tembak miring akan membentuk bidang
bebas yang lebih luas, sehingga akan mempermudah proses pecahnya batuan karena
gelombang tekan yang dipantulkan lebih besar dan gelombang tekan yang diteruskan
pada lantai jenjang lebih kecil (Gambar 3.2)

4. Pola pemboran
Pola pemboran yang biasa diterapkan pada tambang terbuka biasanya
menggunakan dua macam pola pemboran yaitu :
 Pola pemboran segi empat (square pattern)
 Pola pemboran selang-seling (staggered)
Pola pemboran segi empat adalah pola pemboran dengan penempatan lubang-lubang
tembak antara baris satu dengan baris berikutnya sejajar dan membentuk segi empat
(Gambar 3.3.A). Pola pemboran segi empat yang mana panjang burden dengan
panjang spasi tidak sama besar disebut square rectangular pattern. Sedangkan pola
29

pemboran selang-seling adalah pola pemboran yang penempatan lubang ledak pada
baris yang berurutan tidak saling sejajar (Gambar 3.3.B), dan untuk pola pemboran
selang-seling yang mana panjang burden tidak sama dengan panjang spasi disebut
staggered rectangular pattern

Gambar 3.2
Pengaruh Arah Lubang Tembak 11)

S
A. Pola
pemboran
segiempat
(square)

B
S = Spasi
Free Face B = Burden

S
B. Pola
pemboran
selang-seling
(staggered)
B
B S = Spasi
B = Burden
450 Free Face
30

Gambar 3.3
Pola Pemboran 5)

Dalam penerapannya, pola pemboran sejajar adalah pola yang umum, karena
lebih mudah dalam pengerjaannya tetapi kurang bagus untuk meningkatkan mutu
fragmentasi yang diinginkan, maka penggunaan pola pemboran selang-seling lebih
efektif.

3.3.2 Geometri Peledakan


Geometri peledakan yang akan mempengaruhi tingkat fragmentasi batuan
seperti pada gambar 3.5 Sedangkan geometri peledakan terdiri dari :
1. Burden (B)
Burden adalah jarak dari lubang tembak dengan bidang bebas yang terdekat,
dan arah di mana perpindahan akan terjadi. Pada daerah ini energi ledakan adalah
yang terkuat dan yang pertama kali bereaksi pada bidang bebas. Jarak burden yang
baik adalah jarak yang memungkinkan energi secara maksimal dapat bergerak keluar
dari kolom isian menuju bidang bebas dan dipantulkan kembali dengan kekuatan
yang cukup untuk melampaui kuat tarik batuan sehingga akan terjadi penghancuran.
(Gambar 3.4).

Flyrock
kkk
Flyrock

Burden terlalu besar Burden terlalu kecil Burden yang baik/cukup


B > 40 Ǿ lubang bor B < 40 Ǿ lubang bor B = 40 Ǿ lubang bor
31

Gambar 3.4
Pengaruh Burden Terhadap Hasil Peledakan 1)

2. Spasi (S)
Spasi dapat diartikan sebagai jarak terdekat antara antara dua lubang tembak
yang berdekatan dalam satu baris. Jarak spasi yang terlalu besar akan menghasilkan
fragmentasi yang tidak baik dan dinding akhir yang ditinggalkan relatif tidak rata,
sebaliknya bila spasi terlalu kecil dari jarak burden maka akan mengakibatkan
tekanan sekitar stemming yang lebih dan mengakibatkan gas hasil ledakan
dihamburkan ke atmosfer diikuti dengan suara bising (noise).

3. Stemming (T)
Stemming adalah tempat material penutup di dalam lubang bor di atas kolom
isian bahan peledak. Fungsi stemming adalah :
1.Meningkatkan confining pressure dari akumulasi gas hasil ledakan.
2.Menyeimbangkan tekanan di daerah stemming
3.Mengurangi gas hasil proses kimia bahan peledak
4.Mengontrol kemungkinan terjadinya airblast dan flyrock.
Stemming yang pendek dapat menyebabkan pecahnya batuan pada bagian
atas, tapi mengurangi fragmentasi keseluruhan karena gas hasil ledakan menuju
atmosfir dengan mudah dan cepat, juga akan menyebabkan terjadinya flyrock,
overbreak pada bagian permukaan dan juga akan menimbulkan airblast.

4. Sub drilling (J)


Subdrilling adalah tambahan kedalaman dari lubang bor di bawah lantai
jenjang yang dibuat agar jenjang yang dihasilkan sebatas dengan lantainya dan lantai
yang dihasilkan rata. Bila jarak subdrilling terlalu besar maka akan menghasilkan
efek getaran tanah, sebaliknya bila subdrilling terlalu kecil maka akan
mengakibatkan problem tonjolan pada lantai jenjang (toe) karena batuan tidak akan
terpotong sebatas lantai jenjangnya.

5. Tinggi jenjang (L)


32

Secara spesifik tinggi jenjang maksimum ditentukan oleh peralatan lubang


bor dan alat muat yang tersedia. Ketinggian jenjang disesuaikan dengan kemampuan
alat bor dan diameter lubang. Lebih tepatnya, jenjang yang rendah dipakai diameter
lubang yang kecil, dan sebaliknya.
6. Kedalaman lubang tembak (H)
Kedalaman lubang tembak biasanya ditentukan berdasarkan kapasitas
produksi yang diinginkan dan kapasitas dari alat muat.

7. Kolom isian (PC)


Panjang kolom isian adalah kedalaman lubang ledak dikurangi dengan
panjang stemming.

Keterangan :
B = Burden

S • S = Spasi

T = Stemming
B T PC = Kolom isian
J = Sub Drilling
L PC H = Kedalaman
H lubang ledak
L = Tinggijenjang
J P P = Primer

Gambar 3.5
Geometri Peledakan Menurut R.L.Ash 8)

8. Pola peledakan
Pola peledakan merupakan urut-urutan waktu peledakan antara lubang
tembak dalam satu baris dan antara satu dengan yang lainnya. Pola peledakan
ditentukan tergantung arah mana pergerakan material yang diharapkan. (Gambar3.6)
Setiap baris lubang tembak yang akan diledakkan harus memiliki
ruang yang cukup di muka bidang bebas yang sejajar dengan lubang tembak untuk
33

terdesak, pecah, mengembang dan tidak terlontar keatas. Adapun macam-macam


pola peledakan berdasarkan urutan peledakan adalah:
a. Pola peledakan di mana lubang-lubang tembak diledakkan dengan waktu
penundaan atau beruntun dalam satu baris.
b. Pola peledakan serentak dalam satu baris dan beruntun antara baris satu
dengan baris yang lain.

Bidang bebas

1 1 1 1 1 1

2 2 2 2 2

3 3 3 3

Pola peledakan tunda antar baris dan serentak dalam satu baris

Bidang bebas

3 2 1 0 1 2 3

4 3 2 1 2 3 4

5 4 3 2 3 4 5

Pola peledakan tunda dalam satu baris

Gambar 3.6
Pola Peledakan 8)

9. Waktu tunda
Pemakaian delay detonator sebagai waktu tunda untuk peledakan secara
beruntun. Keuntungan dari peledakan dengan memakai delay detonator adalah :
- Dapat menghasilkan fragmentasi yang lebih baik
- Dapat mengurangi timbulnya getaran tanah
- Dapat menyediakan bidang bebas untuk baris berikutnya.
34

10. Pengisian bahan peledak


Fragmentasi batuan sangat tergantung pada jumlah bahan peledak yang
digunakan. Powder factor adalah suatu bilangan yang menyatakan berat bahan
peledak yang digunakan untuk menghancurkan batuan (kg/m3). Nilai powder factor
sangat dipengaruhi oleh jumlah bidang bebas, geometri peledakan, pola peledakan,
dan struktur geologi.
Bila pengisian ANFO terlalu banyak maka jarak stemming semakin kecil
sehingga akan mengakibatkan terjadinya flyrock dan airblast, sedang bila pengisian
ANFO kurang maka jarak stemming semakin besar sehingga akan menyebabkan
boulder dan backbreak di sekitar dinding jenjang.
Untuk mendapatkan powder factor, lebih dulu mengetahui jumlah bahan
peledak yang akan digunakan untuk setiap lubang tembak.
a. Loading density dapat dihitung dengan menggunakan rumus :
de = 0,508 De2 (SG) .........................................................(3.3)
dimana :
de = loading density, kg/m
De = diameter lubang tembak, inchi.
SG = berat jenis bahan peledak yang digunakan.
de = 0,34 De2 (SG), untuk de dalam ( lb/ft )

b. Jumlah bahan peledak yang digunakan dihitung menggunakan rumus :


E = de Pc N .........................................................(3.4)
Di mana :
de = loading density, kg / m.
Pc = panjang muatan/ panjang kolom isian lubang tembak, m.
N = jumlah lubang tembak.
E = jumlah bahan peledak yang digunakan, kg.
11. Powder Factor
Powder factor (Pf) adalah suatu bilangan untuk menyatakan jumlah material
yang diledakkan atau dibongkar oleh bahan peledak dalam jumlah tertentu, dapat
dinyatakan dalam ton/kg atau kg/ton. Untuk menghitung powder factor harus
35

diketahui luas daerah yang diledakkan (A), tinggi jenjang (L), panjang muatan dari
seluruh lubang ledak (Pc), loading density (de), dan densitas batuan (dr).
Rumus untuk menentukan powder factor adalah :
E
Pf = .......................................................................................(3.5)
W
dengan :
Pf = powder factor (kg/ton)
W = berat batuan yang diledakkan ,
[B x S x L x N x density batuan] (ton) .............................................(3.6)
E = berat bahan peledak yang digunakan (kg)
Untuk mencari berat batuan yang diledakkan dapat menggunakan rumus :
Dalam menentukan powder factor ada empat macam satuan yang dapat
digunakan, yaitu:
a. Berat bahan peledak per volume batuan yang diledakkan (kg/m3).
b. Berat bahan peledak per berat batuan yang diledakkan (kg/ton).
c. Volume batuan yang diledakkan per berat bahan peledak (m3/kg).
d. Berat batuan yang diledakkan per berat bahan peledak (ton/kg).
Secara umum powder factor dapat dihubungkan dengan unit produksi pada
operasi peledakan. Dengan powder factor dapat diketahui konsumsi bahan peledak
yang digunakan. Bila pengisian bahan peledak terlalu banyak akan mengakibatkan
jarak stemming menjadi kecil sehingga menyebabkan terjadinya batuan terbang
(flyrock) dan ledakan tekanan udara (airblast), sedangkan bila pengisian terlalu kecil
maka jarak stemming menjadi besar sehingga menimbulkan bongkah dan backbreak
di sekitar dinding jenjang.Nilai Powder Faktor dengan tipe batuannya dapat dilihat
pada Tabel 3.4
Tabel 3.4
Hubungan Nilai Powder Factor dengan Tipe Batuan 5)

Types Of Rock Powder Factor (kg/m3)


Massive high strength rocks 0,60 – 1,50
Medium strength rocks 0,30 – 0,60
Highly fissured rocks, weathered or soft 0,10 – 0,30
36

12. Arah Peledakan


Dalam suatu operasi peledakan, maka fragmentasi batuan yang dihasilkan
akan dipengaruhi oleh arah peledakannya. Sedangkan arah peledakan dipengaruhi
oleh struktur batuan yang ada. Struktur batuan yang banyak dijumpai di lapangan
biasanya adalah kekar.
Perambatan gelombang energi pada struktur batuan yang mengandung kekar
sebagian dipantulkan dan sebagian diteruskan. Dengan demikian energi yang
digunakan untuk memecah batuan akan berkurang sehingga fragmentasi batuan akan
menjadi tidak seragam.
Menurut R.L. Ash arah peledakan yang baik untuk menghasilkan fragmentasi
yang seragam yaitu arah peledakan menuju sudut tumpul yang merupakan
perpotongan antara arah umum, dengan demikian penggunaan energi bahan peledak
akan lebih baik karena tidak terjadi penerobosan energi. (Gambar 3.7).
Apabila arah penerobosan menuju kearah sudut runcing maka akan terjadi
penerobosan energi peledakan dari bahan peledak yang melalui rekahan-rekahan
yang ada. Hal ini akan mengakibatkan terjadinya pengurangan energi peledakan
untuk menghancurkan batuan, sebagai akibatnya akan terbentuk fragmentasi yang
berbentuk blok-blok.

Arah Peledakan

Free face

• • • •
• • • • •
• • • •
• • •=
= Arah peledakan menuju sudut tumpul
Gambar 3.7
Arah Peledakan Menuju Sudut Tumpul 8)

3.4 Sifat Bahan Peledak


37

Bahan peledak diartikan sebagai suatu rakitan yang terdiri dari bahan-bahan
berbentuk padat atau cair atau campuran dari keduanya, yang apabila terkena suatu
aksi seperti panas, benturan, gesekan, dan sebagainya dapat bereaksi dengan
kecepatan tinggi, membentuk gas dan menimbulkan efek panas serta tekanan yang
sangat tiinggi.
Karakteristik bahan peledak yang sangat mempengaruhi operasi peledakan
pada tambang terbuka adalah kekuatan, kecepatan detonasi, kepekaan, bobot isi,
tekanan detonasi, sifat gas beracun dan ketahanan bahan peledak terhadap air.
1. Kekuatan
Kekuatan (strength) suatu bahan peledak adalah ukuran yang dipergunakan
untuk mengukur energi yang terkandung pada bahan peledak dan kerja yang dapat
dilakukan oleh bahan peledak. Tes yang digunakan untuk mengukur kekuatan adalah
Ballistic Mortar Test.
Kekuatan bahan peledak dinyatakan dalam persen (%) dengan Straight
Nitroglycerin Dynamite sebagai bahan peledak standar yang mempunyai berat jenis
(spesific grafity) sebesar 1,6 dan kecepatan detonasi (VOD) sebesar 7.700 m/det.
Pada umumnya semakin besar bobot isi dan kecepatan detonasi (VOD) suatu bahan
peledak maka kekuatannya juga akan semakin besar. Berikut diuraikan tentang
kekuatan bahan peledak dan cara perhitungannya.2)
1. Kekuatan berat absolute (absolute weight strength atau AWS)
AWS adalah energi panas maksimum bahan peledak teoritis didasarkan pada
campuran kimiawinya. AWSANFO adalah 373 kj/gr dengan campuran 94%
ammonium nitrat dan 6% solar.
2. Kekuatan berat relatif (relative weight strength atau RWS)
RWS adalah kekuatan bahan peledak (dalam berat) dibandingkan dengan
ANFO.
AWShandak
RWS HANDAK = x 100 ……………………………….……(3.7)
AWSANFO
3. Kekuatan volume absolute (absolute bulk strength atau ABS)
ABS adalah energi per unit volume, dinyatakan dalam joule/cc
ABSHANDAK = AWSHANDAK x densitas
4. Kekuatan volume relative (relative bulk strength atau RBS)
38

RBS adalah kekuatan suatu bahan peledak curah dibandingkan dengan ANFO
ABS handak
RBS HANDAK = x 100 ……………………………...……..(3.8)
ABS ANFO
Untuk membandingkan kinerja dari bahan peledak yang berbeda, maka ada dua
nilai energi efektif yang sangat penting yaitu:10)
1. Relative Weight Effective Energy (RWEE)
RWEE adalah nilai energi efektif bahan peledak dibandingkan dengan
energi efektif dari berat ANFO, dimana ANFO=100
2. Relative Bulk Effective Energy (RBEE)
RBEE adalah nilai energu efektif bahan peledak dibandingkan dengan
energi efektif dari volume A NFO. Hubungan antara RWEE dan RBEE
dilihat dari rumusan:
Densitasbahanpeledak
RBEEbahanpeledak=RWEEbahanpeledakx …(3.9)
DensitasANFO

RBEE lebih digunakan karena bahan peledak yang dimasukkan ke


dalam lubang ledak diukur dalam satuan volume.

2. Kecepatan Detonasi
Kecepatan detonasi adalah kecepatan gelombang detonasi yang melalui bahan
peledak yang dinyatakan dalam meter per detik atau feet per detik. Menurut
Koesnaryo(1998) dalam bukunya kecepatan detonasi suatu bahan peledak tergantung
dari beberapa faktor, yaitu bobot isi bahan peledak, diameter bahan peledak, derajat
pengurungan, ukuran partikel dari bahan penyusunnya, bahan-bahan yang terdapat
dalam bahan peledak dan penyalaan awal ( priming ).
Ukuran butir yang semakin kecil memungkinkan terjadinya kontak permukaan
antar partikel semakin besar sehingga dapat meningkatkan kecepatan reaksi. Pada
umumnya VOD akan meningkat apabila diameter semakin besar meski tidak secara
linier. Tes yang dilakukan oleh beberapa pabrik membuktikan bahwa VOD dalam
keadaan tak terkukung lebih rendah 20%-30% daripada dalam keadaan terkukung.
Kecepatan detonasi ANFO antara 2500 – 4500 m/s.

3. Kepekaan (Sensitivity)
39

Kepekaan adalah ukuran besarnya sifat peka bahan peledak untuk mulai
bereaksi menyebarkan reaksi peledakan ke seluruh kolom isian. Kepekaan
dipengaruhi oleh ukuran butir dari kristal-kristalnya, kerapatan bahan peledak,
pengaruh air dan temperatur.
Kerapatan yang tinggi, penyerapan air dan terlapisnya kristal-kristal oleh zat
lilin, cenderung mengurangi kepekaan. Perubahan dalam ukuran kristal dapat
menambah atau mengurangi kepekaan, dan ini tergantung pada banyaknya kontak
permukaan antara kristal-kristalnya. Sedangkan peningkatan temperature dapat
memperbesar kepekaan.
Bahan peledak yang sensitif belum tentu dinilai sebagai bahan peledak yang
baik. Untuk itu harus ditinjau dari penggunaannya. Bahkan bahan peledak yang
sangat peka mempunyai kemungkinan yang besar untuk meledak secara premature,
sehingga sangat berbahaya.

4. Bobot Isi Bahan Peledak


Bobot isi bahan peledak merupakan salah satu sifat terpenting bahan peledak
yang dinyatakan dalam satuan gr/cm3. Pada umunya bahan peledak yang mempunyai
bobot isi tinggi akan menghasilkan kecepatan detonasi dan tekanan yang tinggi.
Bobot isi dapat dinyatakan dalam beberapa cara, yaitu:
Berat Jenis (SG), tanpa satuan.
Stick Count (SC), yaitu jumlah dodol ukuran standar 3,175 cm x 20,32 cm yang
terdapat dalam satu doos seberat 22,68 kg.
Loading Density (de), yaitu berat bahan peledak per ft panjang isian yang
dinyatakan dalam lb/ft. Nilai de dipengaruhi oleh diameter isian (De) yang
dinyatakan dalam ft.
de = 0,34 De2 ( SG ) , dalam lb/ft .......................................................(3.10)
de = 0,508 De2 ( SG ) , dalam kg/m .......................................................(3.11)

5. Tekanan Detonasi
Tekanan detonasi adalah penyebaran tekanan gelombang ledakan dalam kolom
isian bahan peledak yang dinyatakan dalam kilobar (kb). Tekanan detonasi bahan
peledak komersial antara 5-150 kb.
40

Tekanan akibat ledakan akan terjadi di sekitar dinding lubang ledak kemudian
tersebar ke segala arah. Intensitasnya dipengaruhi oleh:
Jenis bahan peledak (kekuatan, bobot isi, VOD)
Tingkat / derajat pengurungan.
Jumlah dan temperatur gas hasil ledakan.
Besarnya tekanan detonasi (GPa)dipengaruhi oleh densitas bahan peledak
(gr/cm3) dan kecepatan detonasi bahan peledak,VOD (km/s).10)
Tekanan Detonasi = 0,25 x Densitas bahan peledak x VOD2.....................(3.12)
(1 GPa = 10.000 bar = 10 kbar)

6. Sifat Gas Beracun


Bahan peledak yang meledak dapat menghasilkan dua kemungkinan jenis gas
yang saling berbeda sifatnya yaitu smoke dan fumes. Smoke tidak berbahaya, terjadi
apabila di dalam bahan peledak terdapat jumlah oksigen yang tepat sehingga selama
reaksi seluruh hydrogen akan membentuk uap air (H2O), karbon bereaksi membentuk
karbon dioksida (CO2) dan nitrogen menjadi N2 bebas, dengan kata lain terjadi
keseimbangan antar oksigen dengan bahan-bahan penyusun lainnya ( zero oxygen
balanced).
3 NH4NO3 + CH2 7 H20 + CO2 + 3N2
( AN ) ( FO ) ( smoke )

Sedangkan fumes bewarna kuning dan berbahaya karena sifatnya beracun,


yang terdiri dari oksida nitrogen, baik NO maupun NO2 disebut positive oxygen
balanced,
5 NH4NO3 + CH2 11 H20 + 4N2 + CO2 + 2NO
( AN ) ( FO ) ( fumes )

dan karbon monoksida (CO) disebut negative oxygen balanced.


2 NH4NO3 + CH2 5 H20 + N2 + CO
( AN ) ( FO ) ( fumes )

7. Ketahanan Terhadap Air (Resistivity)


Ketahanan terhadap air suatu bahan peledak adalah kemampuan bahan peledak
tersebut untuk menahan rembesan air dalam waktu tertentu dan masih dapat
diledakkan dengan baik. Ketahanan ini dinyatakan dalam satuan jam. Sifat ini sangat
penting terutama sebagai parameter dalam pemilihan bahan peledak, dalam
41

hubungannya dengan kondisi tempat kerja. Untuk sebagian besar jenis bahan
peledak, adanya air di dalam lubang ledak dapat mengakibatkan panambahan unsure
H dan O sehingga memerlukan panas yang lebih banyak untuk menguapkan menjadi
uap air. Disamping itu air dapat melarutkan sebagian kandungan bahan peledak
sehingga menyebabkan bahan peledak rusak.

8. Tekanan Pada Lubang Ledak (borehole pressure)


Gas hasil detonasi bahan peledak akan memberikan tekanan terhadap dinding
lubang ledak dan terus berekspansi menembus media untuk mencapai keseimbangan.
Keseimbangan tekanan gas tercapai setelah gas tersebut terbebaskan, yaitu ketika
telah mencapai udara luar. Biasanya tekanan gas pada lubang ledak sekitar 50% dari
tekanan detonasi.2)

3.5 Pengertian Primer


Primer adalah suatu istilah yang diberikan pada bahan peledak peka
detonator, yaitu bahan peledak berbentuk catridge berupa pasta atau keras, yang
sudah dipasang detonator yang diletakkan di dalam kolom lubang ledak. Proses
peledakan di dalam kolom lubang ledak yaitu setelah alat pemicu ledak menginisiasi
detonator, maka primer akan meledak sehingga memberikan energi yang cukup kuat
untuk menginisiasi bahan peledak utama disepanjang kolom lubang ledak. Berat
primer ±5% dibandingkan dengan berat isian bahan peledak dalam satu lubang
ledak10). Dua buah primer yang dibandingkan dalam penelitian ini adalah:
1. Powersplit
Powersplit adalah unit bahan peledak yang serupa dengan Booster yang terbuat
dari emulsi yang berupa batang-batang panjang yang disambung dengan 10 gr/m
detonating cord. Powersplit dibuat untuk mengatasi peledakan terkontrol seperti
pembuatan dinding akhir penambangan yang menggunakan metode trim blast
dan pre-spliting. Powersplit adalah produk bahan peledak yang diproduksi oleh
PT. Dyno Orica dengan rekomendari untuk ukuran diameter lubang ledak 3,5 cm
-10 cm. Untuk lubang ledak berdiameter lebih besar dari 10 cm maka digunakan
dua atau lebih batang Powersplit yang diikat menjadi satu.
2. Anzomex Booster
42

Anzomex Booster adalah poduk bahan peledak yang diproduksi oleh PT. Dyno
Orica sebagai bahan peledak peka detonator yang dimasukkan ke dalam lubang
ledak dan berfungsi sebagai penguat energi ledak. Terdapat dua lubang untuk
memasang detonator pada Anzomex Booster. Saran dari Orica, Anzomex Booster
hanya digunakan pada temperature lubang ledak < 70°C.
Untuk lubang ledak dengan kedalaman lebih dari 10 meter maka digunakan
dua buah primer dengan delay (waktu tunda) yang sama. Satu primer dipasang di
bawah lubang ledak, satu lagi dipasang di tengah-tengah lubang ledak. Primer kedua
fungsinya sebagai backup primer pertama apabila terjadi gagal meledak (misfires)
dan energi ledak yang dihasilkan lebih merata ke seluruh isian bahan peledak
sehingga dicapai hasil yanh diinginkan.10)
Pedoman pemilihan primer secara umum menurut C.J. Konya:
1. Tekanan detonasi sebuah primer harus diatas tekanan detonasi bahan peledak
isian. Tekanan detonasi dipengaruhi oleh besarnya kecepatan detonasi bahan
peledak tersebut. lubang ledak dengan isian ANFO diperlukan primer dengan
kecepatan detonasi diatas 4500 m/s sesuai dengan kecepatan normal ANFO.
Dan menghasilkan tekanan detonasi sekitar 60 kbar. Untuk bahan peledak
jenis emulsi (Titan Black), diperlukan primer dengan kecepatan detonasi
lebih dari 5100 m/s untuk mencapai kecepatan detonasi yang normal dan
menghasilkan tekanan detonasi sebesar 80 kbar.
2. Diameter primer harus lebih besar dari diameter kritis bahan peledak isian.
3. Bahan peledak yang menjadi primer harus sensitif terhadap inisiasi.
4. Energi ledak dari primer harus tersebar merata ke seluruh kolom isian bahan
peledak sehingga tidak diperlukan primer tambahan.
5. Pada umumnya, peledakan hanya menggunakan satu buah primer dalam satu
lubang ledak. Meskipun secara teknis tidak diperlukan primer tambahan,
primer kedua berfungsi sebagai backup jika primer pertama gagal meledak.

3.6 Tingkat Fragmentasi Batuan


Pemecahan batuan yang menghasilkan fragmentasi batuan pada peledakan
dimulai sebelum masa batuan mengalami pergerakan. Fragmentasi yang dihasilkan
akibat peledakan terjadi akibat hal – hal sebagai berikut :
43

1. Gelomabng kejut tarik yang dihasilkan dari pemantulan gelombang


kejut tekan pada bidang bebas ( free face ). Periode lamanya efek
pertama berlangsung tergantung pada waktu interval antar inisiasi
( delay ) dengan pemantulan pada bidang bebas ( free face ).
2. Tegangan tarik yang dihasilkan dalam massa batuan di sekeliling
lubang tembak oleh tekanan gas –gas peledakan. Efek kedua umumya
berlangsung lebih lama disbanding efek pertama. Lamanya efek kedua
tergantung pada pengukungan gas dalam lubang tembak. Parameter
yang berpengaruh dalam hal ini yaitu pemampat.
3. Benturan antara fragmen batuan yang terlempar dan antara fragmen
batuan di dinding. Efek yang ketiga berlangsung paling lama
disbanding kedua efek sebelumnya, akan tetapi efeknya paling kecil.
Fragmentasi batuan hasil peledakan sangat dipengarugi oleh faktor batuan
dan bahan peledak yang digunakan. Untuk memperkirakan fragmentasi batuan hasil
peledakan dapat digunakan pendekatan – pendekatan sebagai berikut 5):
1. Analisis kualitas fragmentasi secara visual (Qualitative Visual
Analysis)
2. Metode Photographic (Photographic Methods)
3. Metode Photogrammetry (Photogrammetry Methods)
4. Photographic dengan kecepatan yang tinggi (High – Speed
Photographic)
5. Kajian Produktivitas alat muat (study of Loading Equipment
productivity)
6. Volume Material yang dihasilkan dari secondary blasting (Volume of
Material that requires secondary Blasting)
7. Bridging Delay at crusher
8. Pangayakan (Partial screening)
9. Analisis gambar dengan Komputer ( Image Analysis by Computer)
Untuk memperkirakan fragmentasi batuan hasil peledakan dapat digunakan
8)
rumusan yang dikemukakan oleh Kuznetsov
X = A(V/Q)0.8 x Q0.167 x (E/115)-0.63 ......................................(3.13)
44

Keterangan:
X = Ukuran rata – rata fragmentasi batuan, meter
A = Faktor batuan
7 untuk batuan medium strength
10 untuk batuan keras yang berjoint intensif
13 untuk batuan keras dengan sedikit joint
sebaiknya antara 8 – 12 (Cunningham, 1983)
V = Volume batuan yang terbongkar, m3
Q = Berat bahan peledak tiap lubang ledak, kg
E = Relatif Weight Strength (ANFO = 100)
Untuk mengetahui distribusi ukuran fragmentasi digunakan persamaan
Cunningham yang digabungkan dengan persamaan Kuznetson 8) yaitu:
R = e-(X/Xc)n ……………………………………………..…………(3.14)
n = (2,2 – 14 B/D)(1-W/B)(1+((S/B)-1)/2)(L/H) ….…………….(3.15)
keterangan:
R = perbandingan dari material yang tertinggal pada ayakan
X = ukuran ayakan, meter
Xc = X/(0.693)1/n
n = indeks keseragaman
D = diameter isian, mm
B = burden, meter
W = standart deviasi pemboran, meter
S = spacing, meter
L = panjang isian, meter
H = tinggi jenjang, meter

3.7 Efek Energi Peledakan Pada Batuan


Energi peledakan yang diteruskan pada batuan menghasilkan efek terhadap
massa batuan di sekeliling lubang tembak. Secara umum efek energi peledakan dapat
45

dikelompokkan menjadi dua kelompok besar, yaitu efek produktif dan efek non
produktif.
1. Kelompok efek produktif dalam hal ini adalah :
1. Baris depan blok peledakan mengalami perpindahan akibat
lemparan, tetapi tidak terlalu jauh. Lemparan yang berlebihan
tidak diperlukan dan membutuhkan biaya yang tinggi untuk
membersihkan lantai kerja umumnya ketinggian dari jenjang
tambang terbuka didesain untuk operasi alat muat yang efisien.
Tumpukkan yang terlalu rendah akibat lemparan yang berlebihan
dapat mengakibatkan penurunan produktivitas alat muat.
2. Terjadi pecahnya batuan menjadi ukuran – ukuran yang optimum.
Produktivitas alat muat juga sangat dipengaruhi oleh ukuran
material yang dimuat. Semakin besar ukuran material yang dimuat
maka semakin tendah beban yang tertampung oleh alat muat
karena rongga antaranya semakin besar. Hal ini dapat menurunkan
produktifitas alat muat.
2. Kelompok efek non produktif dalam hal ini adalah :
1. Terjadi pecah yang berlebihan. Kejadian ini umumnya terjadi di
sekeliling lubang tembak. Dalam keadaan normal peledakan pecah
yang berlebihan ini tidak diharapkan karena merupakan
pemborosan energi.
2. Batu terbang adalah peristiwa lemparan batuan yang terjadi karena
kesalahan dalam peledakan.
3. Efek energi seismic yang diteruskan ke masa batuan dapat
menimbulkan getaran permukaan. Getaran yang terlalu besar
dapat berakibat rusaknya striktur bangunan disekitar lokasi
peledakan.
4. Efek energi seismic yang diteruskan ke udara dapat menimbulkan
airblast. Energi yang berupa gas-gas peledakan ini keluar
bersamaan dengan ejeksi pemampat akibat tekanan gas dalam
lubang tembak tidak mampu ditahan selama mungkin oleh
pemampat.
46

3.8. Produktivitas Alat Muat


Produktivitas alat muat didefinisikan sebagai jumlah produksi material yang
dihasilkan (material yang dimuat) dalam satu satuan jam kerja efektif. Jam kerja
efektif adalah waktu yang dapat dipergunakan alat untuk bekerja atau berproduksi,
yang merupakan hasil dari waktu yang tersedia untuk bekerja dikurangi waktu tunda
(delay time) dan waktu bertahan (idle time). Waktu tunda adalah waktu dimana alat
muat mampu beroperasi, tetapi tidak dapat berproduksi karena kondisi alat, interaksi
dengan alat lain, atau aktifitas penambangan saat itu.
Waktu tertahan adalah waktu pemakaian alat tidak produktif yaitu alat tidak
beroperasi saat mampu untuk beroperasi.
Produktivitas dari alat muat didasarkan pada dua faktor utama yaitu:
1. Banyaknya siklus penggalian dalam satu periode pemuatan untuk sebuah
truck, yang didasarkan pada empat parameter yaitu:
1.Cycle time (waktu edar)
2.Availability (A)
3.Usage (Us)
4.Scheduled hours (waktu yang direncanakan)
2. Banyaknya volume material dalam setiap bucket, yang didasarkan pada
tiga parameter, yaitu:
1.Kapasitas bucket
2.Swell factor
3.Fill factor
47

BAB IV
PENGAMATAN UJI COBA PELEDAKAN

Di PT. Kaltim Prima Coal untuk mendapatkan batubara harus terlebih dahulu
membuka / membongkar lapisan penutup yang ada di atas lapisan / seam batubara.
Pembongkaran lapisan penutup batubara (overburden) dilakukan dengan dua cara,
yaitu pertama secara mekanis dengan peralatan mekanis , yang kedua dengan cara
pemboran dan peledakan.
Pembongkaran lapisan penutup secara mekanis dengan alat gali muat (shovel
dan backhoe) ditetapkan untuk lapisan penutup dengan ketebalan kurang dari 2
meter. Sedangkan metode pemboran dan peledakan diterapkan untuk ketebalan
lapisan penutup lebih dari 2 meter.
Operasi peledakan di PT.Kaltim Prima Coal ditangani oleh PT. Dyno Orica
yang bertindak sebagai kontraktor, dimana kegiatan yang dilakukan diantaranya
adalah penyediaan bahan peledak berikut perlengkapan dan peralatannya, pengisian
bahan peledak ke dalam lubang tembak, membuat rangkaian peledakan sesuai pola
dan rancangan peledakan yang telah dibuat oleh pihak PT. Kaltim Prima Coal.
Parameter – parameter pemboran dan peledakan adalah sebagai acuan untuk
mendapatkan hasil peledakan yang optimal. Tingkat keberhasilan suatu peledakan
dapat diketahui dari hasil produktivitas alat muat dalam memuatkan material hasil
peledakan ke alat angkut.

4.1. Karakteristik Massa Batuan


Dari data uji difat fisik dan mekanik lapisan penutup batubara yang diambil
dari Departemen Geologi PT. Kaltim Prima Coal maka didapat:
4.1.1. Sifat Fisik Batuan
Sifat fisik yang diperlukan adalah bobot isi batuan yang akan diledakkan.
Adapun jenis lapisan penutup batubara secara umum adalah mudstone, siltstone dan
sandstone.( Lihat Lampiran A)
a. Mudstone, memiliki bobot isi basah antara 2,23 ton/m3 sampai 2,51 ton/m3.
Rata – rata bobot isi basah sebesar 2,4 ton/m3. dan bobot isi kering berkisar
48

antara 1,98 ton/m3 sampai 2,38 ton/m3.Rata – rata bobot isi kering sebesar
2,3 ton/m3.
b. Siltstone, memiliki bobot isi basah antara 2,37 ton/m3 sampai 2,44 ton/m3.
Rata – rata bobot isi basah sebesar 2,4 ton/m3. dan bobot isi kering berkisar
antara 2,25 ton/m3 sampai 2,31 ton/m3. Rata – rata bobot isi kering sebesar
2,3 ton/m3.
c. Sandstone, memiliki bobot isi basah antara 2,11 ton/m3 sampai 2,25 ton/m3.
Rata – rata bobot isi basah sebesar 2,2 ton/m3. Dan bobot isi kering berkisar
antara 1,91 ton/m3 sampai 2,06 ton/m3. Rata – rata bobot isi kering sebesar 2
ton/m3.

4.1.2. Sifat Mekanik Batuan


Sifat mekanik batuan yang perlu diketahui adalah kuat tekan uniaksial
(uniaksial compressive strength/UCS). Data yang diperoleh dari Departement
Geologi PT.Kaltim Prima Coal adalah : (Lampiran A)
a. Sandstone, kuat tekan uniaksial berkisar antara 6,418 MPa sampai
12,841 MPa. Nilai rata–rata kuat tekan uniaksial sebesar 9,6 MPa.
b. Siltstone, kuat tekan uniaksial berkisar antara 5,463 MPa sampai
13,536 MPa. Nilai rata–rata kuat tekan uniaksial sebesar 7,4 MPa.
c. Mudstone, kuat tekan uniaksial berkisar antara 0,233 MPa sampai 19,
109 MPa. Nilai rata–rata kuat tekan uniaksial sebesar 6,1 MPa.

4.2. Kondisi air dalam Lubang Ledak


Kandungan air yang banyak dapat mempengaruhi stabilitas kimia bahan
peledak yang sudah diisikan ke dalam lubang ledak, hal ini mengakibatkan sebagian
isian bahan peledak rusak sehingga mengurangi kecepatan reaksi bahan peledak
sehingga akan mengurangi energi peledakan, bahkan isian akan gagal meledak
(missfire). Air yang terdapat di dalam lubang ledak berasal dari air tanah dan sedikit
dari air hujan.
49

Ground
Water
Table
Water

Blasthole immediately Blasthole 2


Blasthole before dewatering
after dewatering
hours after
dewatering
Gambar 4.1.
Kondisi Lubang Ledak Basah Setelah Dipompa Air Tidak Kembali
Masuk

Ground
Water
Table Returning
Water Returning Water
Water

Blasthole before dewatering Blasthole Blasthole 2


immediately after hours after
dewatering dewatering
Gambar 4.2.
Kondisi Lubang Ledak Basah Setelah Dipompa Air Kembali Masuk

4.3. Kegiatan Pemboran

4.3.1 Tahapan Persiapan Sebelum Dilakukan Pemboran


1. Pemasangan batas
Pemasangan batas menggunakan beberapa patok dan bendera yang
menandakan di lokasi tersebut akan dilakukan pemboran. Dan tidak
sembarang orang dapat masuk tanpa seijin pengawas dan penjaga lokasi.
50

2. Pembersihan lahan
Pembersihan lahan dilakukan agar permuka kerja aman dan
memungkinkan untuk dibor sehingga menjamin keselamatan kerja alat
dan operator. Untuk membersihkan lahan digunakan bulldozer
berukuran kecil.
3. Pemasangan Patok Acuan Lubang Bor
Pemasangan patok acuan lubang bor ini dilakukan oleh Tim Survey.
Pemasangan patok acuan lubang bor ini disesuaikan dengan koordinat
lubang bor yang ada dalam plan dan tim survey juga melakukan
pengukuran elevasi/ kedalaman lubang bor agar kedalaman pemboran
overburden tidak sampai pada seam batubara dibawahnya sehingga tidak
terjadi kehilangan batubara akibat pemboran.
4. Pemasangan cup (gelas plastik)
Pemasangan cup (gelas plastik) bertujuan untuk menginformasikan
kepada operator drill mengenai titik yang harus dibor. Cup-cup tersebut
harus disesuaikan dengan pattern (burden dan spacing) yang akan
diterapkan.

4.3.2 Pemboran
Alat bor yang digunakan adalah Tamrock D25KS, D50K, D45KS, dan
D55SP dengan kedalaman lubang rata-rata 10 meter. Diameter lubang bor 7 7/8 inch.
( Spesifikasi Alat Bor Lihat Lampiran B). Kemiringan arah pemboran vertical /
tegak. Pola pemboran yang diterapkan adalah pola selang seling (staggered pattern ).
Pola ini dipakai untuk mendapatkan distribusi energi ledakan yang optimal pada saat
peledakan.

4.3.3 Pekerjaan Setelah Pemboran


Adapun pekerjaan-pekerjaan setelah pemboran antara lain:
1. Pengecekan lubang tembak
Pengecekan lubang tembak dilakukan untuk mengetahui kondisi sebenarnya dari
lubang-lubang tembak yang telah dibor. Pengecekan meliputi kedalaman actual
lubang tembak dan ada tidaknya air di dalam lubang tembak.
51

2. Pengisian bahan peledak


Pengisian bahan peledak kedalam lubang tembak disesuaikan dengan kondisi dari
lubang tembaknya. Pengisian bahan peledak dilakukan oleh PT. Orica. Ada dua
kondisi lubang tembak yaitu: (Gambar 4.3 dan 4.4)
a. Lubang tembak kering
Dikatakan sebagai lubang tembak kering apabilapada lubang tidak terdapat
air atau tinggi air yang terdapat didalam lubang tidak lebih dari 10 cm. untuk
lubang yang terdapat air yang kurang dari 10 cm, penanggulangannya dengan
mengisi lubang dengan drill cutting (backfilled). Lubang tembak kering diisi
dengan ANFO/HANFO, pada lubang tembak kering ini pengisian dilakukan
dengan cara curah, yaitu bahan peledak langsung dicurahkan dari Mobil
Manufacturing Unit (MMU) ke lubang.
b. Lubang tembak basah
Dikatakan sebagai lubang basah apabila tinggi air lebih dari 10 cm, untuk
mengurangi penggunaan eksplosive emulsion maka PT. Kaltim Prima Coal
melakukan upaya dewatering dengan cara dipompa dengan menggunakan
Legra LZ164 dan lubang ini diisi dengan Heavy ANFO, pengisian dilakukan
dengan cara curah. Apabila air yang terdapat didalam lubang tembak
termasuk jenis air tanah sehingga tidak dapat dilakukan pemompaan, maka
diisi dengan bahan peledak Emulsi (Titan Black) dan pengisiannya dilakukan
dengan cara “hosing” yaitu bahan peledak yang terdapat didalam MMU
dimasukkan ke lubang menggunakan selang (hose).

Gambar 4.3
Pengisian ANFO Pada Lubang Ledak Kering
52

Gambar 4.4
Pengisian Emulsi ( Titan Black ) Pada Lubang Ledak Basah

3. Stemming
Stemming adalah pengisian material pada bagian atas lubang tembak untuk
menahan gas yang terbentuk selama detonasi berlangsung. Di PT. Kaltim Prima
Coal menggunakan dua material stemming yaitu stemming dari crushed red
mudstone dan drill cutting. Untuk stemming crushed red mudstone dikelola oleh
PT. Rhodes. Crushed red mudstone yang diangkut menggunakan truck langsung
dicurahkan ke dalam lubang ledak. Sedangkan material stemming dari drill
cutting adalah material yang berasal dari sisa pemboran. Sehingga driil cutting
yang berada di sekitar lubang langsung dimasukkan ke dalam lubang ledak
dengan menggunakan cangkul kemudian dipadatkan menggunakan kayu/tongkat.
Sifat dari stemming red mudstone, memiliki densitas lebih besar dari material
drill cutting sehingga memiliki gaya berat kebawah lebih besar maka lebih
mengukung bahan peledak ( confinement ) dan ukuran material crushed red
mudstone lebih besar daripada drill cutting maka interlocking antarmaterial lebih
kuat.
4. Tie up ( penyambungan sumbu peledakan/nonel tubing )
Tie up adalah perangkaian sumbu peledakan atau nonel tubing. Didalamnya
termasuk mengatur delay time tiap lubang ledak dan lubang ledak mana yang
pertama kali diledakakan ( initiation ). Desain Tie Up ditentukan berdasarkan
oleh:
53

1. Jumlah Freeface yang ada


2. Arah pelemparan broken material ( sesuai arah gali excavator )

Pengisian Crushed Red Mudstone Pengisian Drill Cutting

Gambar 4.5
Pengisian Material Stemming Ke Dalam Lubang Ledak

Pemilihan arah peledakan yang dilakukan didasarkan pada free face, antara
lain sebagai berikut :
1. Hanya ada satu free face, menggunakan disaim tie up center lift.
2. Mempunyai dua free face, menggunakan disain tie up box cut atau V – Cut
3. Mempunyai tiga free face menggunakan disain tie up yang digunakan adalah
Echelon.
Waktu tunda (delay) yang biasa digunakan antara control row dengan echelon
memiliki perbandingan 1 : 3. Sedangkan surface delay detonator yang sekarang
digunakan di PT. Kaltim Prima Coal memiliki waktu tunda 17 ms, 25 ms, 42 ms, 65
ms, 100 ms, 150 ms, dan 175 ms. Gambar macam – macam Desain Tie Up dapat
dilihat di Lampiran D.

4.4 Kegiatan Peledakan

4.4.1 Peralatan Peledakan


Peralatan peledakan adalah perangkat pembantu peledakan yang dapat
dipakai berulang-ulang, yang digunakan terdiri dari :
54

a. Shoot gun, yang digunakan untuk meledakkan shoot shell


b. Meteran, yang digunakan untuk mengukur kedalaman lubang ledak.
c. Legra Pump LZ164, yang digunakan untuk memompa air yang terdapat didalam
lubang tembak.
d. Cangkul, yang digunakan untuk menempatkan drill cutting ke lubang tembak.
e. MMU (Mobil Manufacturing Unit), digunakan untuk mengangkut produk curah
sebelum dilakukan loading ke lubang tembak.
f. Stemming truck, yang digunakan untuk mengangkut crushed red mudstone dari
tempat peremukan sampai ke lokasi peledakan
g. Patok, barikade, papan peringatan dan pita (bendera), untuk membuat barikade
bahwa lokasi tersebut akan dilakukan peledakan.
h. Mobil box, yang digunakan untuk membawa aksesoris bahan peledak dari
gudang bahan peledak ke lokasi peledakan.
Peralatan peledakan dapat dilihat pada Lampiran E.
4.4.2 Perlengkapan Peledakan
Perlengkapan yang digunakan terdiri :
a. Bahan peledak utama, yang terdiri dari tiga produk, yaitu:
ANFO ( Ammonium Nitrate Fuel Oil )
Ammonium Nitrate ( AN ) dengan rumus kimia NH4NO3. bukan merupakan
bahan peledak tetapi merupakan oxidizer. Tetapi bila dicampur dengan
bahan bakar berkarbon seperti solar, maka akan menjadi sebuah bahan
peledak.Wujud fisik AN adalah porous spherical prills dengan diameter 1
mm sampai 3 mm.

Gambar 4.6.
Bentuk Fisik Ammonium Nitrate ( AN )
55

ANFO merupakan campuran dari Ammonium Nitrate dan Fuel Oil. ANFO
akan memiliki energi maksimum pada komposisi AN (94%) dan Fuel (6 %).
Heavy ANFO ( ANFO 70% dan Emulsi 30% )
Titan Black ( ANFO 50% dan Emulsi 50% )
Titan Black (Untuk lubang basah) dibagi 3, yaitu :
- T4070 dengan komposisi 30 % ANFO dan 70 % Emulsion
- T4050 dengan komposisi 50 % ANFO dan 50 % Emulsion
-T4030 dengan komposisi 70 % ANFO dan 30 % Emulsion
b. Bahan penguat peledakan adalah Anzomex Booster dan Powersplit
c. Inhole delay dengan waktu tunda 500 ms
d. Snapline (surface delay), dengan waktu tunda 17 ms, 25 ms, 42 ms, 65 ms, 100
ms, 150 ms dan 175 ms
e. Plastic liner, digunakan untuk melindungi bahan peledak dari air jika lubang
tembak terisi air
f. Shoot shell, digunakan sebagai pemicu peledakan atau alat inisiasi lead-in lines
g. Detonating cord
Gambar perlengkapan peledakan lihat lampiran F Dan spesifikasi bahan peledak lihat
Lampiran G.

4.5. Geometri Peledakan


PT. Kaltim Prima Coal Menerapkan dua macam geometri peledakan yang
berbeda untuk kondisi lubang kering dan lubang basah ( Lihat Tabel 4.1 )

Tabel 4.1.
Geometri Peledakan PT. KPC

Lubang Lubang
PARAMETER Kering Basah
BURDEN ( B ), m 7 7
SPASI ( S ), m 8 8
STEMMING ( T ), m 4 4.5
KEDALAMAN ( H ), m 11 11
KOLOM ISIAN ( PC ), m 7 6.5
SUB DRILLING ( J ), m 1 1
TINGGI JENJANG ( L ), m 10 10
56

4.6. Data Spesifikasi Primer

Tabel 4.2.
Spesifikasi Primer

PARAMETER POWERSPLIT ANZOMEX BOOSTER


BERAT (gram) 340/batang 400
LENGTH (mm) 400 118
DIAMETER (mm) 26 54
DENSITY (gr/cc) 1.23 1.5
VOD (m/sec) 4300 7200
PETN (mg/L) 160 176

4.7. Tekanan Detonasi


Dengan mengunakan rumus 3.12 maka didapatkan hasil tekanan detonasi
untuk Powersplit dan Anzomex Booster sebagai berikut:
1. POWERSPLIT
Tekanan Detonasi = 0,25 x 1,23 gr/cc x (4,3 km/s)2
= 5,69 Gpa
= 56.900 bar = 56,9 kbar
2. ANZOMEX BOOSTER
Tekanan Detonasi = 0,25 x 1,5 gr/cc x (7,2 km/s)2
= 19,44 Gpa
= 194.400 bar = 194,4 kbar

4.8. Relative Bulk Effective Energy ( RBEE)


Dengan menggunakan rumus 3.9 maka dapat dicari nilai RBEE dari
penggunaan Powersplit dan Booster.

RWEExDensi tyExplosive
RBEE =
DensityANF O
Keterangan :
RWEE = Relative Weight EffectiveEnergy
ANFO = 100, Titan Black = 110
57

Density Anzomex Booster = 1,5 gr/cc


Density Powersplit = 1,23 gr/ cc
Density ANFO = 0,85 gr/cc
Density Titan Black = 1,15 gr/cc
Jadi nilai RBEE untuk :
100 x1,5 gr / cc
RBEE(Anzomex Booster+ANFO) = = 176
0,85 gr / cc
100 x1,23 gr / cc
RBEE(Powersplit+ANFO) = =145
0,85 gr / cc
110 x1,5 gr / cc
RBEE(Anzomex Booster+Titan Black) = = 143
1,15 gr / cc
110 x1,23 gr / cc
RBEE(Powersplit+Titan Black) = =118
1,15 gr / cc

4.9. Penempatan Primer Dalam Lubang Ledak


Di PT. Kaltim Prima Coal menerapkan ada dua cara penempatan primer di
dalam lubang ledak. Pertama Bottom priming, yaitu primer diletakkan pada bagian
bawah lubang tembak dengan jarak 1 m dari dasar lubang, kemudian diisi bahan
peledak sampai pada batas stemming column. Cara yang Kedua adalah dengan
menggunaka dua primer dalam satu lubang ledak. Primer yang pertama ditempatkan
di bagian bawah lubang ledak dan primer yang kedua ditempatkan dibagian tengah
lubang ledak. Cara kedua ini diterapkan pada lubang ledak dengan kedalaman lebih
sama dengan 15 meter. Dengan mengguanakan dua primer diharapkan tercapainya
fragmentasi batuan yang lebih seragam dan kemungkinan terbentuknya ukuran
boulder semakin kecil.

4.10. Kondisi Lubang Di Lokasi Uji Coba


Setiap lokasi peledakan untuk uji coba dibagi menjadi dua bagian yaitu untuk
uji coba primer Powersplit dan sisi yang lain untuk primer Anzomex Booster. Di
bawah ini terdapat data masing-masing lokasi uji coba yang menunjukkan kondisi
lubang ledak di lokasi uji coba dengan perhitungan produksi peledakan dengan
menggunakan rumus 3.6.
58

Tabel 4.3
Kondisi Lubang Ledak Daerah Powersplit

lubang lubang
No lokasi kering basah total Luas (m^2) Vol (bcm)

1 BN14W15 215 81 296 16576 165760

2 BN06W16 35 90 125 7000 70000

3 HS13W16 64 - 64 3584 35840

4 J02W17 20 6 26 1456 14560

5 HS18W19 2 98 100 5600 56000

Tabel 4.4
Kondisi Lubang Ledak Daerah Anzomex Booster

lubang lubang
No lokasi kering basah total Luas (m^2) Vol (bcm)

1 BN14W15 50 601 651 36456 364560

2 BN06W16 2 203 205 11480 114800

3 HS13W16 115 - 115 6440 64400

4 J02W17 13 29 42 2352 23520

5 HS18W19 21 292 313 17528 175280

Tabel 4.5
Produksi Peledakan Tiap Uji Coba

LOKASI BN14W15 BN06W16 HS13W16 J02W17 HS18W19


VOLUME TOTAL ( BCM) 530.320 184.800 100.240 38.080 231.280
59

4.11. Perkiraan Distribusi Fragmentasi Hasil Peledakan Pada Lokasi Uji


Coba
Distribusi fragmentasi batuan hasil peledakan di lokasi uji coba dapat
diperkirakan dengan menggunakan pendekatan persamaan dari Kuznetsov (Roger H,
Agne, 1983)dan Cunningham. Dari hasil perhitungan didapatkan distribusi
fragmentasi batuan yang memiliki ukuran lebih kecil dari satu meter yaitu, untuk
isian ANFO (lubang kering) pemakaian Anzomex Booster memiliki distribusi
fragmentasi 93,18% sedangkan dengan menggunakan primer Powersplit hanya
sebesar 90,20% dengan asumsi material overburden dan kedalaman yang sama.
Sedangkan untuk isian Titan Black (lubang basah) distribusi fragmentasi dengan
primer Anzomex Booster 89,47% dan dengan primer Powersplit sebesar 86,01%.
Perhitungan distribusi fragmentasi dapat dilihat di Lampiran J.

4.12. Perhitungan Powder Factor Pada Lokasi Uji Coba Peledakan


Powder factor adalah perbandingan antara bahan peledak yang digunakan
(kg) dengan volume batuan yang terbongkar ( m3 ). Powder factor di bawah ini
berdasarkan masukan ( input ) dari volume batuan terbongkar, dinyatakan dalam
kg/bcm.
1. Uji coba 1 ( Bendili 14 )
Volume batuan yang terbongkar sebanyak 530.320 bcm dan jumlah
bahan peledak yang digunakan sebanyak 206.729 kg, sehingga
powder factor yang diperoleh sebanyak 0,39 kg/bcm
2. Uji coba 2 ( Bendili 06 )
Volume batuan yang terbongkar sebanyak 184.800 bcm dan jumlah
bahan peledak yang digunakan sebanyak 84.720 kg, sehingga powder
factor yang diperoleh sebanyak 0,45 kg/bcm
3. Uji coba 3 ( Harapan South 13 )
Volume batuan yang terbongkar sebanyak 100.240 bcm dan jumlah
bahan peledak yang digunakan sebanyak 45.560 kg, sehingga powder
factor yang diperoleh sebanyak 0,45 kg/bcm
60

4. Uji coba 4 ( PitJ 02)


Volume batuan yang terbongkar sebanyak 38.080 bcm dan jumlah
bahan peledak yang digunakan sebanyak 10.630 kg, sehingga powder
factor yang diperoleh sebanyak 0,28 kg/bcm
5. Uji coba 5 ( Harapan South 18 )
Volume batuan yang terbongkar sebanyak 231.280 bcm dan jumlah
bahan peledak yang digunakan sebanyak 99.150 kg, sehingga powder
factor yang diperoleh sebanyak 0,43 kg/bcm
Powder factor antara 0,3 – 0,6 kg/m3 termasuk kelas batuan medium strength
( Lihat Table 3.8 )

4.13. Produktivitas Alat Muat Hydraulic Shovel Liebherr 996


Alat muat yang digunakan untuk memuat broken material ke dalam alat
angkut adalah Hydraulic Shovel Liebherr 996. ( Spesifikasi alat lihat Lampiran C).
Metode pemuatan yang digunakan adalah metode Frontal Cut, dimana alat muat
tidak berpindah tempat dalam memuat material, cukup melakukan putaran ( swing )
90° untuk mengarahkan bucket yang terisi material tepat di atas vessel alat angkut.
Material ditumpahkan dengan membuka bagian bawah bucket. Tinggi bench
maksimal yang dapat dijangkau shovel sekitar 10 meter. Lebar muka kerja optimal
untuk single sided sekitar 30 meter, sedangkan untuk double sided sekitar 50 meter.

Tabel 4.6.
Data Produktivitas Shovel

No Lokasi Tanggal Jenis Primer Nama Dispatch Produktifitas

Powersplit BDP03+0301509POB 1908


1 BN14W15 17/4/2007
Anzomex Booster BDP03+0301514POB 2079
Powersplit BDP01+0701605POB 2190
2 BN06W16 19/04/2007
Anzomex Booster BDP03+0701606POB 2226
Powersplit HRS01-0101633POB 2186
3 HS13W16 28/04/2007
Anzomex Booster HRS01-0101613POB 1989
Powersplit JPIT01-03517XXPOB 1967
4 J02W17 01/05/2007
Anzomex Booster JPIT01-0351702POB 1983
Powersplit HRS03-0101918Pwrsplt 2012
5 HS18W19 11/05/2007
Anzomex Booster HRS03-0101918POB 2179
61

Data produktivitas shovel yang didapat dari sistem dispatch dapat


menginformasikan suatu shovel dalam hal ini Liebherr 996 yang bekerja dalam suatu
shift mampu memuat broken material seberapa banyak. Tabel 4.6 merupakan data
produktivitas shovel dalam memuat broken material hasil uji coba antara penggunaan
primer Powersplit dengan Anzomex Booster. ( Perhitungan lihat Lampiran K)
Dari Table 4.6 didapat produktivitas Liebher 996 secara rata – rata untuk
kedua jenis primer adalah :
1. Untuk Primer Powersplit
1908 2190 2186 1967 2012
= =2053 bcm/hour
5
2. Untuk Primer Anzomex Booster
2079 2226 1989 1983 2179
= =2091bcm/hour
5
62

BAB V
PEMBAHASAN

Di PT. Kaltim Prima Coal menggunakan dua buah jenis primer yaitu
Powersplit dan Anzomex Booster. Saat ini Primer Powersplit biasanya diterapkan
untuk peledakan terkontrol, misalnya peledakan prespliting untuk pembentukan
dinding akhir. Sedangkan Anzomex Booster dipakai sebagai primer untuk peledakan
produksi.
Di dalam gudang bahan peledak PT. Kaltim Prima Coal terdapat kelebihan
stock Powersplit dan masa pakainya hampir habis, maka diupayakan uji coba
peledakan overburden dengan menggunakan Powersplit untuk menggantikan
Anzomex Booster sebagai primer.
Pemakaian Powersplit sebagai pengganti Anzomex Booster dalam peledakan
overburden perlu dikaji secara teknis untuk menentukan jenis primer yang dapat
menghasilkan peledakan yang lebih baik dengan melihat produktivitas loading
Hydraulic Shovel Liebherr 996 dalam memuat broken material.

5.1. Kajian Produktivitas Alat Muat Untuk Memperkirakan Fragmentasi


Batuan Hasil Peledakan
Di dalam uji coba pemakaian Powersplit sebagai pengganti Anzomex Booster
diharapkan tidak mempengaruhi produktivitas shovel dalam memuat material hasil
peledakan. Di dalam bukunya, Jimeno menggunakan beberapa pendekatan untuk
memperkirakan fragmentasi batuan hasil peledakan, salah satunya dengan kajian
produktivitas alat muat. Hasil produktivitas alat muat/shovel yang didapat dari
dispatch menunjukkan dengan pengguaan Powersplit sebanyak tiga buah per lubang
ledak hampir menyamai produktivitas shovel dalam memuat broken material
peledakan dengan mengguanakan Anzomex Booster sebanyak satu buah per lubang
ledak. Meskipun produktivitas shovel dalam memuat broken material di lokasi
peledakan dengan primer Anzomex Booster secara rata-rata masih lebih besar yaitu
sebanyak 2091 bcm/hour. dibandingkan dengan lokasi pemuatan broken material
63

yang peledakannya menggunakan Powersplit yaitu sebanyak 2053


bcm/hour.(Gambar 5.1)

Produktivitas Shovel Grafik Primer Vs Produktivitas Shovel

2300
2200
( Bcm/Hr)

2100
powersplit
2000
booster
1900
1800
1700

17
15

16

16

19
2W
W

3W

8W
14

06

J0
S1

S1
BN

BN

H
Lokasi P eledakan

Gambar 5.1
Grafik Produktifitas Shovel Liebherr 996

5.2. Perbandingan Karakteristik Powersplit Dan Anzomex Booster Terhadap


Isian Lubang Ledak
Beratnya primer Anzomex Booster yang diterapkan untuk peledakan
memiliki berat 400 gram untuk satu buah booster dengan bobot isi 1,5 gr/cc
Sedangkan satu buah Powersplit memiliki berat kurang lebih 340 gram. Untuk
pemakaian Powersplit tiga buah per lubang ledak maka memiliki berat 1020 gram
dengan bobot isi 1,23 gr/cc (Lihat Tabel 4.2). Pemakaian Powersplit sebanyak tiga
buah dan Anzomex Booster satu buah per lubang ledak didasarkan pada rekomendasi
dari PT. Dyno Orica sebagai produsen bahan peledak tersebut. Setelah alat pemicu
ledak menginisiasi detonator, maka primer akan meledak. Meledaknya primer akan
memberikan energi cukup kuat untuk menginisiasi bahan peledak yang terisi di
sepanjang kolom lubang ledak. Energi peledakan cemderung menurun seiring
dengan semakin jauhnya titik lokasi primer maka tidak mungkin dalam satu lubang
ledak dengan kedalaman lebih dari 10 meter dipasang dua buah primer. Di PT.
Kaltim Prima Coal menempatkan dua buah primer untuk lubang ledak dengan
kedalaman lebih dari 15 meter.
Energi yang dihasilkan oleh suatu bahan peledak dipengaruhi oleh perubahan
kecepatan detonasi ( VOD ). VOD Anzomex Booster jauh lebih cepat yaitu 7200 m/s
dibandingkan VOD Powersplit hanya sekitar 4300 m/s. Sedangkan Powersplit
64

memiliki tekanan detonasi sebesar 56,9 kbar dan Anzomex Booster sebesar 194,4
kbar.
Tekanan detonasi sebuah primer harus diatas ketentuan yang diperlukan,
karena dimaksudkan untuk dapat meledakan isian atau di atas kecepatan normal.
Berdasarkan teori menurut C.J. Konya, lubang ledak dengan isian ANFO diperlukan
primer dengan kecepatan detonasi diatas 4500 m/s sesuai dengan kecepatan normal
ANFO. Dan menghasilkan tekanan detonasi sekitar 60 kbar. Untuk bahan peledak
jenis emulsi (Titan Black), diperlukan primer dengan kecepatan detonasi lebih dari
5100 m/s untuk mencapai kecepatan detonasi yang normal dan menghasilkan
tekanan detonasi sebesar 80 kbar.
Tekanan detonasi Powersplit berada dibawah ketentuan yang diperlukan
untuk meledakkan isian. Tekanan detonasi Powersplit lebih kecil daripada Anzomex
Booster karena VOD Powersplit lebih kecil dari Anzomex Booster dan Powersplit
merupakan unit bahan peledak yang dirancang untuk peledakan dinding akhir yang
memerlukan tekanan dan energi yang tidak begitu besar. Oleh karenanya penggunaan
Anzomex Booster sebagai primer pada peledakan overburden tetap dipertahankan.

5.3. Fragmentasi Sebagai Salah Satu Faktor Yang Mempengaruhi


Produktivitas Shovel
Diperolehnya fragmentasi batuan yang merata dengan ukuran bongkah , 15%
merupakan salah satu syarat peledakan yang berhasil. Dengan anggapan ukuran
batuan yang lebih besar dari satu meter merupakan batuan boulder (bongkah). Dari
hasil perhitungan perkiraan didtribusi fragmentasi dengan menggunakan persamaan
dari Kus-ram, maka perkiraan broken material yang memiliki ukuran lebih kecil dari
satu meter menunjukkan bahwa untuk isian ANFO (lubang kering) pemakaian
primer Anzomex Booster memiliki persentase sebesar 93,18%. Sedangkan untuk
pemakaian primer Powersplit memiliki persentase sebesar 90,20%. Untuk isian
lubang ledak dengan Titan Black (lubang basah) distribusi fragmentasi berukuran
lebih kecil dari satu meter dengan primer Anzomex Booster sebesar 89,47% dan
dengan menggunakan primer Powersplit sebesar 86,01%. Dalam hal ini penggunaan
primer Anzomex Booster memiliki persentase distribusi fragmentasi batuan hasil
peledakan ± 3% lebih besar daripada penggunaan primer Powersplit. Dengan lebih
65

besarnya persentase distribusi fragmentasi batuan hasil peledakan maka korelasinya


produktivitas shovel sebagai alat muat diperkirakan akan lebih besar juga. Gambar
5.2. menunjukkan fragmentasi batuan hasil peledakan di lokasi uji coba.

Anzomex Booster Powersplit

Gambar 5.2
Fragmentasi Batuan

5.4. Pengaruh Kondisi Lubang Ledak Terhadap Produktivitas Shovel


Dari data dispatch produktivitas Hydraulic Shovel Liebherr 996 (Tabel 4.6) di lokasi
uji coba Harapan South 13 (HS 13) dalam memuat broken material hasil peledakan
dengan primer Powersplit memiliki produktivitas 2053 bcm/jam dibandingkan lokasi
peledakan dengan primer Anzomex Booster hanya sebesar 2091 bcm/jam. Hanya
pada lokasi uji coba peledakan ini saja produktivitas shovel Liebherr 996 unggul
dalam memuat broken material hasil peledakan dengan jenis primer Powersplit. Hal
ini dikarenakan lokasi peledakan yang menggunakan Powersplit sebagai primernya
ditempatkan pada lubang ledak dalam kondisi mayoritas kering. Dari 64 lubang
yang terisi primer Powersplit tidak ada terdapat lubang ledak yang basah. (Lihat
Gambar 5.3). Di dalam lubang ledak basah dan dalam kondisi sleep loading
(pengisian bahan peledak yang tidak segera diledakan) akan menyebabkan air
meresap ke dalam primer Powersplit melalui lubang tempat detonator ditusukkan
sehingga penyalaannya akan kurang sempurna.
66

KOND IS I LUBANG LE D AK D AE RAH


P RIME R P OWE RS P LIT

Lubang Kering Lubang Basah

250
JUMLAH LUBANG

200
LEDAK

150

100

50

0
BN14W15 BN06 W16 HS13W16 J02W17 HS18W19
LOKAS I TRIAL P E LE DAKAN

Gambar 5.3
Grafik Kondisi Lubang Ledak Peledakan Primer Powersplit

5.5. Perbandingan Pemakaian Powersplit Dengan Anzomex Booster Di


Lapangan
1. Waktu pemasangan detonator ke dalam Powerspit membutuhkan waktu
yang relatif lama dibandingkan dengan menggunakan Anzomex Booster.
(Lihat Lampiran L ).
2. Detonator mudah lepas jika ikatan pada rangkaian Powersplit tidak terikat
secara benar dan kencang.
3. Dimensi panjang dan diameter Powersplit (Lihat tabel 4.2) yang lebih
besar daripada dimensi Anzomex Booster mengakibatkan Powersplit
mudah tersangkut ketika dimasukkan ke dalam lubang ledak.

5.6. Hubungan Karakteristik Overburden Dengan Penentuan Jenis Primer


Batuan yang menutupi lapisan batubara di wilayah penambangan PT. Kaltim
Prima Coal terdiri dari tiga macam lapisan yaitu sandstone, siltstone dan mudstone.
Nilai faktor batuan lapisan Overburden tersebut menurut perhitungan dengan
menggunakan Tabel indeks Kemampuledakan dari Jimeno memiliki nilai 7,2 (Lihat
Lampiran H). Sedangkan uji coba peledakan overburden di PT. Kaltim Prima Coal
memiliki nilai powder factor antara 0,3-0,6kg/m3 dan termasuk kelas batuan medium
strength ( Lihat Tabel 3.8) dan berdasarkan rumusan Kusnetsov dalam buku C.J.
67

Konya batuan medium strength memiliki faktor batuan dengan nilai 7. Jadi dapat
diperkirakan batuan lapisan penutup batubara di wilayah penambangan PT. Kaltim
Prima Coal memiliki faktor batuan bernilai 7.
Primer Anzomex Booster memiliki data produktivitas shovel lebih baik dari
pada pemakaian primer Powersplit, sehingga diperkirakan dengan menggunakan
primer Anzomex Booster akan diperoleh fragmentasi batuan yang lebih bagus
dengan kondisi batuan di wilayah penambangan PT. Kalimanatan Prima Coal.
Dilihat dari faktor keamanannya pemakaian Anzomex Booster lebih aman daripada
Powersplit sehingga Anzomex Booster tetap dipilih untuk digunakan sebagai primer
peledakan overburden.

BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan
1. Dengan menggunakan asumsi alat muat yang digunakan sama untuk
memuat broken material hasil peledakan dalam kondisi kerja yang
sama serta geometri peledakan yang diterapkan sama maka
produktivitas alat muat yang memuat broken material dengan
menggunakan primer Anzomex Booster secara rata-rata lebih besar
yaitu, 2091 bcm/hour dibanding daerah peledakan yang menggunakan
primer Powersplit yaitu sebesar 2053 bcm/hour.
2. Dengan menggunakan pendekatan distribusi fragmentasi menurut
persamaan KUS-RAM, maka untuk isian ANFO perkiraan distribusi
68

fragmentasi batuan berukuran lebih kecil dari satu meter dengan


primer Anzomex Booster memiliki persentase lebih besar yaitu
93,18% dibanding dengan penggunaan Powersplit dengan persentase
90,20%. Sedangkan untuk isian Titan Black (lubang basah) distribusi
fragmentasi dengan primer Anzomex Booster 89,47% dan dengan
primer Powersplit sebesar 86,01%.
3. Dengan melihat resiko penggunaan Anzomex Booster sebagai primer
lebih kecil dibandingkan dengan Powersplit maka penggunaan
Anzomex Booster tetap dipertahankan.

6.2. Saran
1. Berdasarkan data hasil uji coba peledakan maka untuk mendapatkan
nilai produktivitas shovel yang hampir sama antara pemakaian primer
Anzomex Booster dengan Powersplit maka dalam satu lubang ledak
digunakan tiga buah Powersplit sebanding dengan menggunakan satu
buah Anzomex Booster.
2. Sebaiknya Powersplit digunakan di lokasi peledakan yang dominan
lubang kering.
3. Powersplit sebaiknya hanya digunakan untuk peledakan terkontrol
saja (trim blast atau pre-spliting), tidak digunakan sebagai primer
untuk peledakan overburden.

You might also like