You are on page 1of 16

Confined Space

slamet@mse.com.my

Rekan milist,

Beberapa waktu yg lalu telah terjadi fatal accident di dalam


confined space. Tujuh (7) orang tewas di Keppel Shipyard
(Singapore) akibat explosion dalam Cargo Tank sebuah tanker. Dan
dua (2) orang tewas di Sime Sembcorp Engineering (Malaysia)
akibat keracunan gas dalam tank sebuah Topside yg sedang
dibangun. Berikut mungkin yg jadi penyebabnya.

Five reasons people die in confined space

1. They don't recognize a confined space.


A confined space has few ways in or out and they may be difficult to
get into or out of. They are not intended to be occupied by human
beings on a regular basis and they may contain a hazardous
atmosphere or other recognized safety and health hazard.

2. They trust their senses.


We think that if a space looks safe, it is safe. But most hazardous
atmospheres are invisible. You cannot
see, taste or smell most toxic and deadly atmospheres.

3. They underestimate the danger.


Before you finish reading a simple eighteen-word sentence like this
one, methane gas can knock you out.
Exposure to some organic vapors may not kill you until the next day.
Before entering a confined space, the person supervising the crew
going in should make sure of the following: the personnel entering the
space is
knowledgeable of the hazards and have proper safety equipment; the
volume is isolated, at atmospheric pressure and tagged; the
monitoring requirements have been established and the area is
properly posted.

4. They do not stay on guard.


Often, a person will forget that a hazard may develop after they have
entered a space. Sometimes, the work you are doing inside the
confined space causes the atmosphere to become deadly. If this is a
possibility, testing for the space must be an ongoing process, not just
something you do before someone enters.

5. They try to rescue other people.


It is human nature to help a person in trouble. But the sad fact is that
untrained rescuers usually die along with the victim they are trying to
save. Holding your breath is not enough protection in a confined space
that
is filled with a hazardous vapor, is oxygen deficient, or is blanketed
with smoke. Calling for help is the most
important thing you can do to save the life of a person who is
unconscious in a confined space. Only if you have appropriate rescue
equipment and personnel available should a rescue attempt be made.

Cahyo Hardo

Katanya, confined space itu :

mempunyai sesuatu yang berhubungan dengan atmosfir yang bersifat


membahayakan, tidak punya tingkat kandungan oksigen yang cukup
menyebabkan tenggelam not intended or design as normal place of
work

Hasanuddin

Ikutan nimbrung, karena saya aware dan kebetulan juga pernah


"disulitkan" dgn confined space ketika sedang menginspeksi suatu
equipment.

Confined-space hazards can be grouped into the following categories:


1. oxygen-deficient atmospheres
2. flammable atmospheres
3. toxic atmospheres
4. Mechanical/physical hazards

Permit-required confined space has the following characteristics:


1. Contains or has a potential to contain a hazardous atmosphere
2. Contains a material that has the potential for engulfing an entrant
3. Has an internal configuration such that an entrant could be trapped
4. Contains any other recognized serious safety or health hazard,
might include: fall hazards, unguarded machinery, extreme heat or
cold, steam pipes or chemical lines, hazardous noise levels, electrical
hazards, presence of asbestos, etc.
Confined space entry program should be normally as follow:
1. Identifying all confined spaces
2. Preventing un-authorized entry
3. The permit system
4. Planning the entry: data gathering, hazards identifying, ventilation,
isolating the confined space, purging/cleaning, placement of warning
signs, identifying personnel and necessary equipment
5. Conducting pre-entry training: identify the confined space and the
reason(s) for entry, work detail, inform entrants of suspected hazards,
identify isolation procedures, identify purging and/or ventilation
procedures, identify all equipment needed, determine necessary PPE,
establish communication, protect from external hazards, pre-plan
rescue procedures.
6. Preparing the confined space for entry: place warning signs, tools,
safety equipment, monitoring equipment, etc., isolate all mechanical
and/or electrical hazards, purge/ventilate the confined space, test the
atmosphere, test for flammable gases, test for toxic, assemble all
personnel involved, review rescue procedures and notify the Dept
Head that entry is commencing
7. Utilizing safety equipment
8. Atmospheric testing procedures
9. Confined space cleaning procedures
10. Rescue Procedures

Semoga bermanfaat untuk program2 zero accident.

Nanang Jamil

Saya ingin menambahkan, satu hal penting lagi, bahwa "worker" dan
"permit issuer' yang akan terlibat dalam pekerjaan confined space
harus terlatih dan bersertifikat.

Untuk itu kami lampirkan paket "Safetyco Certified Inhouse Confined


Space Entry Training - for Worker", dan "Safetyco Certified Inhouse
Confined Space Entry Training - for Permit Issuer" untuk referensi
rekan-rekan milis yth.

Hasil dari pelatihan ini akan mencetak pekerja-pekerja yang tahu dan
mampu bekerja pada confined space secara aman, dan juga dapat
melakukan rescue dengan cepat dan tepat apabila terjadi confined
space incident.
Arief Rahman T

Pak Nanang,

Kenapa ya untuk "worker" dan "permit issuer" harus certified ? Saya


berpendapat bahwa apabila Working Procedure atau Standard
Operating procedure dan juga Risk assessment-nya sudah in place dan
dalam
pelaksanaan-nya ada pengawasan yang ketat, sertifikat-sertifikat-an
seperti ini tidak perlu.

Atau memang ada reason khusus yang memang secara prinsipil


penting sehingga sertifikat (yang biasanya berupa secarik kertas)
tersebut bisa menjamin keselamatan orang yang sedang bekerja ?

Mohon informasinya.

Nanang Jamil

Pak Arif yth,

Pertanyaan Bapak "sehingga sertifikat yang biasanya berupa secarik


kertas tersebut bisa menjamin keselamatan orang yang sedang
bekerja" ?

Terus terang ini pertanyaan susah buat saya...

Kenapa perusahaan mau mengkursuskan pekerjanya dalam bidang


confined space untuk secarik kertas ?

Mungkin ada rekan lain yang bisa bantu jawab, biar diskusinya lebih
komprehensif.

Edyson Simorangkir

Pak Nanang, saya memahami "susahnya menjawab pertanyaan " pak


Arif. Saya kira penjelasan Pak Hasanuddin, Pak Slamet W, Pak Dirman
W dan Pak Soehatman cukup jelas. Saya kira apa itu confined space
sudah dipahami bagi siapapun yg berkecimpung di area MIGAS ( field )
khususnya di Kilang minyak / unit prosess, karena sistim pemipaan dan
perkabelan listrik banyak yg ditanam dalam tanah (under ground),
sehingga bila suatu waktu perlu perbaikan/perawatan pasti dilakukan
penggalian, dimana masing2 yg mempunyai area telah menyiapkan
syarat2 Keselamatan mengenai penggalian dan sistim permit-nya.
(perusahaan MIGAS di Negara sangat majupun menetapkann bahwa
:trenches 4 feet or deeper/ Torrance Refinery (mis), masuk katagori
confined space).Dan bagi suatu oil company, mengetahui dan
memahami bahwa ada tanggung jawabnya terhadap penerapan
Safety, karena diatur oleh UU seperti UU 1/70 pasal 2(2) k dan pasal
3(1)a.Dan berikutnya, apa objectivnya kursus confined space ? agar
kita mengetahui bahaya2 yg mungkin timbul saat pekerjaan
berlangsung dan apa tindakan kita saat keadaan darurat diarea kerja
kita.Dan apa buktinya kita telah mengikuti kursus? Diberi tanda yg
berupa sertifikat(sub.sistem menurut pak Dirman)Dan kalau ada Audit
dari lembaga pemerintah, pasti mengaudit pembinaan dari perusahaan
terhadap pekerjanya, buktinya pasti dgn secarik kertas. Kalau
kita(kontraktor) ingin bekerja di PSC/KPS yg pertama harus lulus dgn
nilai tertentu adalah HSE Perfomance, kalau tidak lulus masih diberi
kesempatan untuk belajar dan mengulang. Kalau lulus, kita diberi
kertas dgn nilai. Jadi tanda keikutsertaan/sertifikat dari suatu kursus
adalah bukti. Tanpa tanda keikutsertaan/sertifikat siapa yg mau
percaya, karena semua orang bisa mengaku telah mengikuti kursus,
dan paling tidak bagi pekerja yg telah mengikuti kursus akan lebih
mengetahui apa yg dikerjakannya dari pada pekerja yg belum sama
sekali kursus.

Dirman Artib

Pak Edyson,

Sebuah rangkuman yg excellent telah dibuat Pak Edyson.

Tetapi, ada yang mesti saya luruskan. Bahwa dalam sebuah audit,
sang auditor tidak hanya akan melihat secarik kertas untuk bukti
pemenuhan kesesuaian. Secarik kertas mungkin bisa menjadi awal
Informasi untuk melakukan audit. Bukti dapat juga berupa
mendemonstrasikan rangkaian aktivitas-aktivitas yang membentuk
rantai proses tertentu. Seorang auditor dapat meminta seseorang yg
telah mendapat sertifikat memperlihatkan kemampuan pengetahuan,
keterampilan, kecepatan dan lain-lainnya sesuai dengan apa yg
menjadi criteria dia dalam mendapatkan sertifikat tsb. Bukti audit juga
kenyataan fisik di sekitar lingkungan fasilitas objek yang diaudit.
Apabila dipersyaratkan dalam system untuk menggunakan "closed M-F
plug" untuk penyambungan sebuah kabel bertegangan untuk
pekerjaan sementara di lapangan, maka apabila auditor melihat bahwa
auditees menggunakan cara lain, maka auditor perlu mengobservasi
lebih dalam lagi kenapa hal ini bisa terjadi sebelum memutuskan
ketidaksesuaian dengan system "Sysem Non-conformance".
Saya setuju dengan Pak Slamet bahwa sertifikat belumlah bisa
mewakili kompetensi seseorang. Karena sertifikat bisa saja
merupakan bukti catatan kehadiran seseorang dalam training.
Kompetensi merupakan sebuah rangkaian proses yang sistematis dan
melibatkan persyaratan/standard yg ditetapkan, pelaksana
(personnel/organisasi) , pemberi jaminan (badan sertifikasi) ,
pengawas thd pemberi jaminan (akreditasi), pengawas thd pelaksana
(stake holders) , evaluasi terhadap standard kompetensi itu sendiri
oleh Interested parties.

Edyson Simorangkir

Terima kasih pak Dirman dan pak Slamet.

Dirman Artib

Mas Nanang dan Pak Jamil,

Dari pandangan saya sebagai Business "Quality" Assurance, secarik


kertas sertifikat adalah mewakili sebuah sub-system yang
direncanakan sebagai adanya sebuah jaminan (baca : quality) yg
sistematis. Sebagai salah satu metode/approach dalam melakukan
pengendalian thd. sub-system, ditetapkanlah sertifikasi. Khusus untuk
issue ini, sertifikasi berarti jaminan thd. ability/competency
personnel/pelaku yg terlibat dalam aktivitas "confined-space" tsb.
bahwa personnel telah benar-benar megerti dari A-Z thd. akitifitas dan
konsekuensi bahaya serta cara pengendaliannya bila terjadi sesuatu.

Terlepas dari benar atau tidaknya proses untuk mendapatkan


sertifikat, cara ini masih dianggap lazim. Memang ada metode lain
dengan hasil yg tidak kalah canggihnya. Bukankah kita tidak pernah
menanyakan sertifikat mutu bensin atau solar yg kita beli dari SPBU ?
Lalu, kenapa kita percaya bahwa itu benar-benar bensin atau solar ?
Jelas, karena kita masih percaya kepada pemerintahan yg sah untuk
mengontrol semua ini.

Tetapi pertanyaan berikutnya adalah : "Apakah ada cara/metode


melakukan monitoring atau pengendalian yg direncanakan thd. proses
untuk mendapatkan sertifikat tsb.? Apakah metode ini cukup terjaga
integritasnya ?
Jangan-jangan proses mendapatkan sertifikat spt. kita bikin SIM A
dengan cara membayar calo, nah ini namanya proses tsb . tidak
terjaga integritasnya.

Soehatman Ramli

saya juga ingin urun rembuk Sertifikasi pada dasarnya suatu


pernyataan mengenai kompetensi seseorang mengenai bidang
tertentu. Hal ini sangat penting, karena itu dicantumkan dalam
undang-undang ketenagakerjaan No. 13 tahun 2004. Nah, berbicaran
mengenai confined space, karena menyangkut nyawa orang lain,
tentunya semua yang terlibat tidak boleh sembarangan, dan pada
dasarnya mereka yang kompeten. Bagaimana mencapai suatu level
kompetensi, tentunya atas 3 dasar yaitu KSA (knowledge,Skill,
Attitute), salah satunya didapat melalui pelatihan. Pelatihan dapat
dilakukan baik internal maupun eksternal. Namun bagaimana kita tahu
seseorang telah memiliki kompetensi yang sesuai, tentunya melalui
sertifikasi oleh lembaga yang teralkreditasi pula. Saya ambil contoh
sederhana. Semua orang bisa belajar, beli buku mengenai semua jenis
pelajaran. Namun bagaimana kita tahu bahwa level pengetahuan dan
kompetensinya telah setara dengan SMU, S1, S2, D3 dsb???, tentunya
setalah melalui ujian untuk mendapatkan ijazah.Contoh lain,jika kita
datang ke poliklinik, kita pasti percaya bahwa suster yang menyuntik
kita telah memilki kompoetensi, karena telah disyaratkan. Hal serupa
dilakukan di lingkungan pengilangan untuk permit system, dimana
semua gas tester harus sertified melalui suatu pelatihan sehingga
tidak setiap orang dapat melakukan pemeriksaan gas tersebut

terimakasih

Suryanto, Slamet

Pak Soehatman,

Setuju sekali dengan statement Bapak bahwa kompetensi telah


tercantum dalam UU Ketenagakerjaan / 2004 dan lebih dari itu bahwa
statement seseorang Certified dikeluarkan oleh lembaga yang
terakreditasi. Tentu dalam proses sertifikasi mengacu kepada aturan
main, contoh untuk sertifikasi seri ISO, ISPS, CSP, CIH, CHMM, PE, dsb.
Cuma yang masih ngganjel adalah mendapat sertifikat kursus
kemudian diklaim sebagai Certified, yang barangkali sertifikat tersebut
adalah sertifikat kehadiran.
Saya pernah bertanya ke beberapa dedengkot Center for Chemical
Process Safety of AIChE, atau yang berkecimpung di PSM dan RMP,
Mary O’Connors CPS, apakah ada istilah Certified PHA Leader?
Jawabnya semua sama “ tidak ada”. Kecuali bahwa itu adalah sertifikat
kursus dan tidak berhubungan dengan sertifikasi untuk menunjukkan
kompetensi seseorang di bidang tersebut.
Saya yakin Pak Dirman Artib juga telah melihat hal yang sama
meskipun untuk bidang yang berbeda. Bagaimana menyikapi hal-hal
seperti ini untuk kemajuan profesionalisasi, di Migas khususnya?

mazsuez@yahoo.com.sg

Kalau boleh saya urun rembug tentang confined space.


Ditempat saya bekerja, disebuah refinery, memiliki suatu prosedur
yang berhubungan dengan keselamatan dalam melakukan suatu
pekerjaan maintenance. Setiap orang -sekali lagi- setiap orang yang
terlibat dalam pekerjaan tsb memiliki tanggung jawab masing-masing
dan telah tertulis secara jalas. Setiap pekerja baik dari company
ataupun contractor harus lulus dalam training tentang prosedur
“Permit To Work System”. Setiap orang (biasanya kontraktor) sebagai
Performing Authority jika akan melakukan pekerjaan maintenance
didalam kilang harus mengajukan permit kepada Permit Controler,
disini Permit Controler akan menanyakan jenis pekerjaan, lokasi, alat-
alat yang dipakai (equipment) dll. Jenis pekerjaan akan menentukan
jenis work permit yang dipakai (Cold , Spark Potential , Hot atau
Radiography Work Permit) dilihat dari dampak ataupun risiko yang
ditimbulkan, dimana hal itu sudah ada daftarnya dalam Leg Chart .
Misalnya apakah pekerjaan menimbulkan source of ignition, atau
melibatkan nyala api, explosive dll. akan memakai Hot Work Permit.
Spark Potential Work Permit dipakai untuk pekerjaan yang melibatkan
non-intrinsically safe equipment, camera dengan baterry, removing
cover dan exposing live electrical atau koneksi instrument ke
atmosphere, memakai hydraulic/air power tools dll.
Pekerjaan diluar itu akan menggunakan Cold Work Permit dan
tentunya spesial untuk Radiography.
Setiap permit akan disertai dengan berbagai sertifikat lain seperti
electrical, preparation /reinstatement, confined space entry,
excavation, sanction for test, limit of access dan vehicle access. Permit
Controler berwenang untuk menolak menerbitkan work permit kalau
certificate yang disaratkan tidak dipenuhi. Setelah lolos dari Permit
Controler permit harus diendors oleh Operating Authority (Supervisor)
sebagai wakil company. Performing Authority akan mendelegasikan
pelaksanaan pekerjaan kepada Worksite Supervisor sebagai pemegang
permit. Dibawah Worksite supervisor adalah permit user yaitu orang
(certified) yang melakukan pekerjaan. Sebelum permit diendors,
Permit Controler dan/atau Area Authority (yang bertanggung jawab
tentang area /space tempat pekerjaan dilakukan - biasanya operator
lapangan) akan memeriksa dan memastikan semuanya termasuk
lokasi kerja telah sesuai dengan certificate yang disertakan.
Pertanyaan Bp. Edison Simorangkir tentang siapa yang bertanggung
jawab tentang kecelakaan yang menimpa pada penggalian pipa PAM di
Dago, tentu kalau melihat penjelasan saya diatas sudah jelas adalah
Permit Controler dan Area Authority. Tapi saya gak tahu prosedur dan
aturan main di PAM (Perusahaan Air Mandi) kita......

Edyson Simorangkir

Rekan2 yth.Membaca email p’Slamet W dan p’ Hasanuddin maka


lengkaplah sudah antara five reason vs group hazard dari confined
space. Saya melihat TV hari Sabtu 7/8 lalu tentang kecelakaan pada
penggalian pipa air minum PAM di Dago Bandung, akibat longsornya
tanah galian yg mengakibatkan hilangnya nyawa manusia. Mungkin
kita setuju bahwa pnyebabnya adalah katagori “ Mechanical/physical
hazards “dan bila ditarik kebawah “ siapa yg paling bertanggung jawab
atas kejadian ini “????Kontraktor, Sub.Kon., Pws.dikantor,
Pws.Lapangan atau Pem.Da.nya yang sama2 tidak ada perhatian atas
nyawa Manusia??Kok langsung Polisi menetapkan pekerja sebagai
tersangka ??

Crootth Crootth

Pak Slamet, Pak Suhatman dan Pak Nanang sekaligus,

Kompetensi telah tercantum dalam UU itu bagus dan saya setuju,


namun bukan ini yang saya kira yang ingin ditanyakan mas Arief.
Dalam pandangan saya, yang ingin ditanyakan oleh mas Arief adalah
kompetensi lembaga trainingnya, bukan yang ditraining... orang yang
ditraining adalah "ouput" bukan "logic solver/processor" (kalau boleh
berbicara dengan idiom instrumentasi). Jikalau "logic solver/ processor"
tidak bagus,niscaya inputan sebagus apapun tidak akan menghasilkan
output yang bagus!!
Saya pribadi, hanya tidak sepakat dengan kata kata pak Nanang Jamil
sbb:

"Untuk itu kami lampirkan paket "Safetyco Certified Inhouse Confined


Space
Entry Training - for Worker", dan "Safetyco Certified Inhouse Confined
Space Entry Training - for Permit Issuer" untuk referensi rekan-rekan
milis yth.

Hasil dari pelatihan ini akan mencetak pekerja-pekerja yang tahu dan
mampu
bekerja pada confined space secara aman, dan juga dapat melakukan
rescue
dengan cepat dan tepat apabila terjadi confined space incident."

Alinea/kalimat terakhir di atas menyiratkan seakan akan "safetyco"


(perusahaan Pak Nanang bukan?) menjamin semua hal berjalan
semestinya, dan sesuai harapan, padahal kan belum tentu. Dalam
point inilah saya juga tidak setuju, karena menyiratkan adanya iklan
terselubung "safetyco", tentunya Pak nanang sebagai moderator KBK
HSE memahami betapa mailing list ini musti bebas dan "imune" dari
iklan iklan sesuai dengan tata tertib. Untuk niat baiknya memberikan
bahan training saya sangat menghormati dan salut, tapi mbok yah
alinea berikutnya yang mengandung iklan dihilangkan....

Asal tahu saja diluar negeri (USA) ada lembaga resmi namanya
Continuing Education Unit (CEU) yang bertugas memberikan jaminan
pada peserta training bahwa training providernya adalah bagus, dan
bagi para pesertanya diberikan bonus jika meneruskan kuliah
(biasanya S2) di suatu perguruan tinggi yang mengadopt CEU
(perguruan tingginya tentu saja terakan mendapat potongan SKS
sejumlah tertentu jika dia telah mengantungi sejkumlah tertentu CEU.
Sedangkan di Indonesia kita tahu hampir tidak ada lembaga training di
tanah air yang telah mengantungi sertifikasi CEU atau bekerja sama
dengan lembaga perguruan tinggi ternama untuk memberikan
potongan SKS (di ITB dikenal dengan nama EEU, Earning Education
Unit) bagi graduated student, sehingga bisa dikatakan pengertian
lembaga training tersebut kompeten atau tidak untuk kasus di
Indonesia sungguh bias.

Saya pribadi akan tertarik mengikuti suatu training yang


diselenggarakan oleh provider training lokal, jika sang Lecture nya
memang benar benar orang yang kompeten, tidakharus bule
memang,karena tak jarang bule yang diusung pun adalah bule asal
comot. Bule yang basicnya econom ngajarin process safety misalnya,
kan ngga bener.
Bagi saya syarat kompetensi seorang trainer itu adalah memiliki
setidaknya dua diantara tiga syarat berikut: Pengalaman (bisa
berdasarkan jumlah kegiatan ataupun berdasarkan lama menekuni
suatu kegiatan), Knowledge (lulusan perguruan tinggi yang recognized
(accreditized) dengan nilai yang bagus pula) atau Training (telah
ditraining untuk topik yang sama oleh lembaga terakreditasi)

saya juga kurang sepakat dengan kata kata Pak Suhatman berikut:

"bagaimana kita tahu bahwa level pengetahuan dan kompetensinya


telah
setara dengan SMU, S1, S2, D3 dsb???, tentunya setalah melalui ujian
untuk
mendapatkan ijazah.Contoh lain,jika kita datang ke poliklinik, kita pasti
percaya bahwa suster yang menyuntik kita telah memilki kompoetensi,
karena telah disyaratkan."

Saya kira dijaman sekarang tidak patut lagi kita langsung percaya
bahwa seorang yang berijazah pasti kompeten. Yang harus diselidiki
adalah lembaga yang memberikan ijazah apakah juga kompeten. Tidak
layak juga kita langsung percaya bahwa suster/dokter di semua rumah
sakit/poliklinik adalah kompeten, orang cenderung melihat
lembaganya terlebih dahulu, tentunya Pak Suhatman juga kalau
misalnya sakit (semoga jangan) memilih milih rumah sakit/dokternya
bukan?? tidak asal kan? kecuali mungkin sangat darurat keadaannya.
Kita tentunya masih ingat kasus komanya Ayu Sukma di salah satu
rumah sakit ternama bukan???

Intinya, pagi para peserta training, pinter pinterlha melihat dengan


seksama lembaga training yang mau diikutin....

Nanang Jamil

Untuk Pak Darmawan,

Saya pribadi mohon maaf jika telah terperangkap pada iklan


terselubung seperti yang anda maksud.

Namun dari sisi peningkatan safety secara kesisteman, peranan


lembaga pelatihan dan informasi tentang pelatihan memang
diperlukan.
Saya kira mas Darmawan setuju, bahwa peranan pelatihan safety
termasuk penting, disamping peneguhan peraturan safety di lapangan,
serta process design yang mengacu ke safety.

Saya sangat sependapat dan setuju, jika para praktisi melihat lembaga
trainingnya, siapa trainernya, dan saya sangat setuju sekali jika kita
tidak lihat "bule"nya.

Oleh karena itu, (ini bukan iklan mas tapi klarifikasi), Safetyco saya
bangun untuk memberikan alternatif, dimana rekan-rekan bisa
mendapat trainer berpengalaman (terutama di Pertamina dan Oil
&gas) dengan harga indonesia, instead of harga "bule".

Terima kasih, dan maaf.

Arief Rahman T

Pak Darmawan, dan bapak-bapak yang lain,

Sebetulnya pertanyaan saya lahir dari concern saya yang ketakutan


(phobia kali) kalau melihat statement bahwa "safety can be achieved
through certificate".
Kebetulan saya membaca artikel yang membahas mengenai
Functional Safety Management di dunia instrument (bidang saya).
Dalam makalah tersebut si penulis bercerita mengenai sebuah
kecelakaan fatal di Melamine Chemical Plant di Netherland.
Setelah melalu investigasi disimpulkan : "Research carried out by the
chemical company itself showed that several times safety procedures
had been violated, that the procedure were not always clear, and the
company lacked a means of verification of the implementation of the
procedure".

Saya menganggap bahwa safety itu semacam closed loop yang


menyeluruh bukannya sepotong-potong.

Kembali ke masalah yang dibahas ada beberapa point yang saya


sangat concern :
1. Safety selalu didekati dari ada atau tidaknya Sertifikat (yang dalam
konotasinya justru MENGHARUSKAN dilakukan oleh institusi luar
company tersebut). Tren di dunia saat ini, hampir keseluruhan
standard meng-adopt performance based. Paling-paling yang
dikatakan : ".... Shall be verified by independent party". Pengertian
"Independent Party" kan bisa berarti banyak dan tidak harus oleh
"perusahaan lain". Critical point-nya (menurut saya) justru di sini. Apa
yang dikemukakan teman-teman dengan segala macam bahasanya,
kalau tidak diklarifikasi lebih lanjut bisa menjebak ke arah sini. Ujung-
ujungnya bisa ditebak : Safety akan di bisniskan sebagai komoditi.
2. Kompetensi dan independensi selalu dinisbatkan kepada lembaga
training/evaluator. Kerangka pikir ini bisa sangat-sangat menjebak.
Dalam banyak hal, sebetulnya standard memberikan guidance dan
implmentasinya diharapkan dilakukan oleh plant user dengan
menggunakan Engineering Judgment oleh plant user/owner tersebut
mengingat yang tahu plant-nya kan sebetulnya adalah plant
owner/user tersebut bukan lembaga training. Dan yang harus diingat
bahwa TIDAK ADA satupun personel di plant yang ingin celaka. Saya
melihat (mudah-mudahan saya salah) bahwa Authority Having
Jurisdiction di negara kita agak aneh karena justru lebih rely on
sertifikat-sertifikat ini ketimbang meyakinkan bahwa safety has been a
culture di sebuah perusahaan.
Ujung-ujungnya lagi-lagi bisa ditebak : Safety akan di bisniskan
sebagai komoditi. Saya khawatir bahwa jawaban kenapa banyak
perusahaan mau mentraining-kan karyawannya dibidang safety karena
reasoning semacam ini. Ingin dapat sertifikat dan perusahaan-nya
langsung dianggap perusahaan yang safe. Kenapa ?? Karena ini jauh
lebih mudah dan murah ketimbang me-maintain safety system yang
sustainable all the time dan itu tampaknya disupport oleh badan yang
berwenang.
3. Melihat pada pengalaman yang ditulis dalam makalah yang saya
baca terbukti bahwa investigasi yang dilakukan oleh perusahaan
tersbut bisa menghasilkan kesimpulan yang sangat-sangat
independent dan tidak bias.

Semoga pertanyaan saya yang singkat sebelumnya bisa lebih


terpahami.

Oh iya, sebelum lupa, kebetulan beberapa waktu yang lalu kami dari
IIPS (Indonesia Institute for Process Safety) diskusi dengan salah satu
expert dibidang safety instrumented system dari India. Di India,
menurut cerita dia, saat ini sudah ada legislasi bahwa kalau ada
kecelakaan di dalam sebuat plant maka PLANT MANAGER di plant
tersebut yang paling awal akan diadili !!!
Dan dari cerita dia juga, saat ini sudah banyak Plant manager di India
yang dihukum akibat legislasi ini.

Mungkin ketimbang menitik beratkan soal sertifikat (yang lagi trend),


lebih bagus meng-encourage yang ini sehingga safety bisa didorong
lebih nyata.

Pak Arief,
Saya tidak melihat korelasi antara tulisan pembuka anda tentang
makalah yg anda baca tentang kecelakaan fata di Melamine Chemical
Plant Netherland dengan 3 point yang anda kemukan setelahnya.

Saya setuju dengan hipotesis dari riset pemakalah yag mengatakan


bahwa kebanyakan prosedur yg ditulis tidak jelas (mungkin
maksudnya tidak dimengerti pemakai) dan perusahaan tidak
memverifikasi pelaksanaan prosedur/ atau tidak mampu
memverifikasi.

Dirman Artib

Tapi saya tidak melihat hubungan langsung dengan 3 point di


bawahnya yg anda highlight, karena kalau masalahnya adalah
prosedur tidak jelas maka seharusnya prosedur dibuat lebih jelas dan
dapat dimengerti oleh para pemakainya. Salah satu caranya yaitu
dengan memberikan pelatihan yg mungkin bukan hanya di dalam
kelas, tetapi praktek dan simulasi di lapangan. Kalau company tidak
memverifikasi pelaksanaan prosedur apakah efektif atau tidak efektif,
ya jelas gak benar . Perusahaan harus punya metode bagaimana
memverifikasi keefektifan (kalau perlu keefisien-an) prosedur yg
ditetapkan dengan cara menguji atau cara lain yg relevan.

Safety dijadikan komoditi ya nggak apa-apa. Paling tidak keselamatan


itu membutuhkan biaya dan tidak gratis. Baik biaya akibat membeli
intelectual properties orang lain (supplier/contractor/consultant)
maupun membeli jasa dari kalangan internal perusahaan anda sendiri
spt. inhouse training, pengarahan, membayar safety officer, safety
manager, safety director, gas detector man, dll.

Kalo competency sepenuhnya identik dengan lembaga training ya


wajar saja, tetapi lembaga training ini khan bukan harus dari luar
perusahaan, apabila ada training provider dari internal perusahaan itu
bakal lebih bagus karena mungkin lebih mengerti permasalahan yang
ril menyangkut asset mereka. Bahkan ini yg sebenarnya diharapkan
bahwa mereka membangun system dari kebutuhan dan tuntutan
kepentingan mereka sendiri, jadi jangan consultant yg biasa
memberikan advise untuk perbankan kemudian dengan sok pintar
memberikan panduan kepada operator gas processing plant. Tetapi, ini
khan hanya masalah metode yg dipercayai efektif bagi
organisasi/pengguna.
Independensi yg provisinya harus dari lembaga luar ya nggak bisa
dihindari jika kita percaya dalam memakai applicable code. Misalnya
jika Pressure Vessel kita mau di U-Stamp gaya ASME ya mesti
diverifikasi oleh Inspector ASME toh...masak inspector sendiri bakal
bisa pasang U-Stamp ?

Arief Rahman T

Pak Dirman,

Topik yang saya bahas tetap berkisar mengenai Certificate


requirement.

Saya ingin menunjukkan, dengan Ilustrasi pada awal tulisan, bahwa


untuk keberhasilan safety pemenuhannya adalah memaintain
“complete safety life cycle” bukan hanya urusan selembar sertifikat.
Bisa jadi di perusahaan tersebut (sebagaimana kebanyakan
perusahaan di eropa yang rajanya dalam urusan sertifikat-sertifikat-an)
operator mereka sudah certified. Tapi kecelakan tetap saja terjadi
karena perusahaan tersebut lack di beberapa element safety life cycle-
nya.

Persoalan independensi yang sedang dibahas kan masalah masuk


Confined Space, bukan yang lain-lain.

Ini yang saya keberatan bahwa untuk urusan masuk confined space
saja perlu diawasi dan di certificate oleh perusahaan lain dengan dalih
independensi.

Pengertian independensi dalam konteks ini sudah campur aduk.

Saya bisa ambil contoh untuk Incident Invenstigation atas incident di


sebuah perusahaan. Bisa dilakukan oleh team independent (tanpa
melibatkan pihak yang terlibat dalam pekerjaan tersebut kecuali hanya
sebagai narasumber yang dimintai data kronologi kejadian dan data-
data lain yang berkaitan/diperlukan) dari dalam perusahaan tersebut
TANPA harus melibatkan perusahaan atau badan lain dan itu sudah
cukup independent. Kesimpulan bahwa “independent” otomatis berarti
harus dilakukan oleh perusahaan/badan lain itu lho yang menurut saya
bisa sangat menyesatkan.

Tergantung pada derajat independensi yang diperlukan apakah harus


dari luar atau hanya dari dalam perusahaan itu saja.

You might also like