You are on page 1of 8

DEFINISI

Aqa’id adalah perkara-perkara yang hati anda membenarkannya, jiwa anda menjadi tenteram
karenanya, dan ia menjadikan rasa yakin pada diri anda tanpa tercampuri oleh keraguan dan
kebimbangan.
TINGKATAN KEYAKINAN
Manusia dalam hal kekuatan dan kelemahan aqidahnya terbagi dalam beberapa tingkatan,
sesuai dengan kadar kemantapan dan kemapanan argumentasi yang ada dalam jiwa mereka
masing-masing. Kami akan menjelaskan kepada anda permasalahan ini lewat contoh berikut:
“Seseorang mendengar tentang adanya sebuah negara yang ia belum pernah melihatnya,
sebut saja Yaman sebagai contoh. Ia mendengar itu dari orang yang tidak pernah berbohong.
Sudah pasti, ia akan mempercayai dan meyakini tentang keberadaan negara tadi. Jika
kemudian ia mendengarnya dari banyak orang, maka tentu ia akan semakin percaya, meski
tidak menghalangi adanya kemungkinan ia akan ragu dengan keyakinannya tadi, khususnya
jika terjadi syubhat atas kebenarannya. Jika ia melihat gambar-gambar foto mengenai negara
tadi, maka ia akan semakin yakin tentang adanya, sehingga sikap ragu-ragu rasanya sulit
untuk bisa menembus kekuatan argumentasi ini. Jika ia mendapat kesempatan bepergian ke
sana, tampak tanda-tanda dan atribut negara tadi, maka akan bertambah lagi keyakinannya
dan hilang sama sekali keraguannya. Tatkala ia turun dan melihat negara tadi dengan mata
kepalanya sendiri, maka tidak mungkin keraguan akan datang. Keyakinan ini akan semakin
menguat dalam jiwa, sehingga mustahil ia bergeser dari keyakinannya itu kendati semua
orang sepakat menentang. Jika kemudian ia bisa berkeliling di jalan-jalan yang ada, serta
mempelajari situasi dan kondisi negara itu, tentu akan bertambah lagi pengalaman dan
pengetahuannya dan hal itu bisa memperjelas dan menambah keyakinannya tadi.”
Dari contoh di atas, maka dapat disimpulkan bahwa keyakinan dapat dibagi atas tiga
tingkatan:
1. Pertama, keyakinan  melalui talaqqi;
2. Kedua, keyakinan melalui analisa dan pikiran;
3. Ketiga, keyakinan melalui analisa dan proses perenungan yang berkesinambungan (terus-
menerus) sehingga ia dapat membuktikan keyakinannya dengan ketaatan dan ibadah
kepada Allah. Saat itulah, lentera hidayah memancar dalam kalbunya dan ia pun dapat
“melihat” dengan cahaya bashirah-nya (Muhammad: 17).
Penghargaan Islam Kepada Akal
Asas aqidah islam -sebagaimana keseluruhan hukum-hukum syara’ adalah kitab Allah
dan Sunah Rasul-Nya.
Kendati demikian, anda harus paham bahwa keseluruhan dari aqidah ini mendapat
pembenaran dari akal dan dikukuhkan oleh analisa yang benar. oleh karena itulah, Allah
memuliakan akal dengan menjadikannya sebagai salah satu syarat mukallaf (pemikul beban
syariat). Islam menjadikannya sebagai faktor adanya taklif (kewajiban menjalankan agama)
dan memerintahkannya untuk selalu meneliti, menganalisa, dan berpikir. Allah swt.
Berfirman pada QS.Yunus 101 dan Qaaf 6-11
Pada saat yang sama Allah mencela mereka yang tidak berpikir dan tidak melihat
(menganalisa). Allah berfirman pada QS. Yusuf 105
Allah juga menuntut kepada setiap penentang Islam agar mengeluarkan argumentasi,
sehingga jelas mana yang benar dan mana yang batil. ini sebagai satu penghargaan kepada
argumentasi dan kemenangan akan hujjah yang nyata.
Dari sinilah kita mengetahui bahwa Islam tidak menghalangi berpikir dan tidak
memenjarakan akal, namun membimbingnya untuk komitmen terhadap batas
kemampuannya, menunjukkan kekerdilan ilmunya, dan menyuruhnya agar terus menambah
pengetahuan. QS. Al-Isra’: 85 dan Thaha: 114
Bagian-bagian Aqidah Islamiyah
  Aqidah Islamiyah dibagi atas empat bagian.
Bagian pertama, al-Ilahiyyat. Bagian ini membahas hal-hal yang berhubungan dengan Allah
SWT dari segi sifat-sifat, asma’, dan perbuatan-perbuatan-Nya, serta hal-hal yang harus
diyakini seorang hamba tentang Tuhannya.
Bagian kedua, an-Nubuwwat. Bagian ini membahas segala sesuatu yang terkait dengan para
nabi, dari segi sifat-sifat, ke-ma’shum-an, tugas, dan urgensi kebutuhan akan risalah mereka,
serta beberapa hal yang berhubungan dengan para wali, mukjizat, karamah, dan kitab-kitab
samawi.
Bagian ketiga, ar-Ruhaniyyat. Bagian ini membahas semua hal yang terkait dengan alam
supranatural, seperti malaikat, jin, dan ruh.
Bagian keempat, as-Sam’iyyat. Bagian ini membahas yang berkaitan dengan kehidupan di
alam barzakh dan kehidupan akhirat, seperti kondisi di alam kubur, tanda-tanda hari kiamat,
hari kebangkitan, perhitungan dan pembalasan.
AL-ILAHIYYAT
 
1. Dzat Allah Tabaraka wa Ta’ala
Dzat Allah itu jauh lebih besar, agung dan mulia dari yang bisa digambarkan oleh akal
manusia, dan lebih besar dari apa yang terbesit dalam pikiran manusia. Sebab, betapa pun
tinggi dan cerdasnya akal manusia, tetap saja terbatas kekuatan dan kemampuannya. Akan
tetapi, kemampuan akal tersebut dari yang terbesar sampai yang terkecil sangat berguna
untuk mengetahui banyak hal, meski—dalam banyak hal—tidak sampai mengetahui hakikat
sesuatu, seperti mengetahui hakikat listrik dan magnet. Ia hanya dapat mengetahui
karakteristik dan kegunaannya. Jika demikian, maka bagaimana akal mampu mengetahui
hakikat dan Dzat Allah? Sungguh telah tersesat kaum-kaum yang berusaha untuk
memperbincangkan Dzat Allah oleh karena mereka membicarakan sesuatu hal yang mereka
sendiri tidak mengetahui batasan-batasannya dan tidak mampu menguak eksistensinya. Oleh
karena itu, Rasulullah saw. melarang berpikir tentang Dzat Allah.
 
“Berpikirlah tentang ciptaan Allah dan jangan memikirkan (Dzat) Allah karena kalian tidak
mungkin mampu memperhitungkan kadarnya.”
Hal ini bukan berarti pembatasan kebebasan berpikir, melainkan merupakan penjagaan
terhadap akal agar tidak terjebak kepada jurang kesesatan, kendati sebesar apa pun akal itu.
Jalan ini adalah jalan orang-orang saleh yang telah ber-ma’rifah dengan keagungan Dzat
Allah dan kemuliaan qudrat-Nya.
 
2. Al-Asmaul-Husna
Sesungguhnya, Allah SWT memperkenalkan diri kepada makhluk-Nya dengan asma’ dan
sifat-sifat yang sesuai dengan kemuliaan-Nya. Rasulullah saw. bersabda,
 
“Bagi Allah sembilan puluh sembilan nama, seratus kurang satu. Tidaklah seseorang
menghafalnya kecuali ia akan masuk surga. Dan Dia itu witr (ganjil) dan mencintai yang
ganjil.” (HR Bukhari dan Muslim, dari Abu Hurairah)
            
a. Nama-nama tambahan selain dari yang sembilan puluh sembilan
Sembilan puluh sembilan nama Allah ini belum mencakup semua nama Allah. Ada beberapa
hadits yang menyebutkan nama-nama Allah di luar dari yang sembilan puluh sembilan,
misalnya:
1)         Al-Hannaan ‘Mahakasih’;
2)         Al-Mannaan ‘Maha Pemberi anugerah’;
3)         Al-Badii’ ‘Maha Pencipta yang baru’;
4)         Al-Mughiits ‘Maha Pemberi pertolongan’;
5)         Al-Kafiil ‘Maha Melindungi’;
6)         Dzuth-Thaul ‘Memiliki Kekuasaan’;
7)         Dzul-Ma’aarij ‘Memiliki tempat-tempat yang tinggi’;
8)         Dzul-Fadhl ‘Yang Memiliki Keutamaan’;
9)         Al-Khallaaq ‘Yang memiliki balasan’.
Berkata Abu Bakar bin al-Arabi, “Sesungguhnya, jika digabungkan nama-nama Allah
dari Al-Qur`an dan Sunnah, maka semuanya berjumlah seribu nama.” Adapun Imam
asy-Syaukani berkata, “Saya condong mengenai jumlahnya kepada apa yang tertera
dalam hadits tadi dan itu sudah cukup.”

b. Hadits-hadits yang di dalamnya terdapat lafal-lafal yang menunjukkan nama-nama


Allah dalam bentuk majas (kiasan)
Contoh 1:Rasulullah saw. Bersabda “Janganlah kalian mencela masa, karena
sesungguhnya Allah itu masa.”
Contoh 2: Rasulullah saw. Bersabda “Biarkan dia merintih, karena sesungguhnya rintihan
itu adalah nama Allah yang membuat orang sakit menjadi  lega karenanya.”
  Kalimat “sesungguhnya Allah itu masa” pada contoh 1 dan kalimat “sesungguhnya
rintihan itu adalah nama Allah” adalah kiasan, bukan hakikat atau makna sebenarnya.
Kalimat itu muncul karena ada keterkaitan antara “masa” dengan Allah, atau antara
“rintihan” dengan Allah yang tidak disebut dalam kalimat itu.
Maka, maksud hadits pertama adalah sesungguhnya Allah yang menjadi causa prima dari
kejadian-kejadian masa, maka tidak boleh sesuatu dinisbatkan kepada masa, dan juga
masa tidak boleh dicela dan dicaci. Adapun maksud hadits kedua adalah sesungguhnya
rintihan adalah pengaruh dari kekuasaan Allah yang bisa melegakan orang yang sakit.
 
c. Sikap at-Tauqifi (menerima apa adanya) 
Jumhur kaum Muslimin bersepakat untuk tidak boleh menentukan nama atau sifat bagi Allah
yang tidak tercantum dalam syariat.
1)   Maka, kita tidak boleh mengatakan, “Allah itu insinyur alam yang agung ini,” atau
mengatakan, “Allah itu “general manajer”  bagi semua urusan makhluk.”
2)    Hal itu tidak boleh jika dijadikan sebagai istilah baku atau permanen sebagai bagian dari
nama-nama dan sifat-sifat Allah.
3)   Akan tetapi jika untuk melakukan pendekatan makna, menganalogikan dan
mempermudah pemahaman dalam rangka menjelaskan af’al Allah, maka hal itu tidak
menjadi masalah.
4)   Namun bagaimanapun kita tetap harus berhati-hati sebagai satu bentuk akhlak kita
kepada Allah.
 
d. ‘Alamiyah dan Washfiyyah
1)    Di antara nama-nama Allah, terdapat satu nama yang menunjukkan Dzat-Nya yang suci,
yaitu lafzhul-jalalah “Allah”.
2)   Sementara nama-nama lainnya merupakan interpretasi makna sifat-sifat Allah.
3)  Oleh karena itu, nama-nama tersebut dapat menjadi kalimat penjelas (khabar) dari 
lafzhul-jalalah.
4)   Tetapi lafzhul-jalalah bukan merupakan kalimat penjelas bagi nama-nama lainnya.
 
e. Karakteristik Al-Asmaul-Husna
1)   Sebagian orang mengatakan bahwa setiap nama Allah mempunyai karakteristik dan
rahasia-rahasia yang berhubungan dengan penyebutannya. Bahkan, ada yang mengatakan
bahwa setiap nama memiliki kahdam spritual.
2)   Yang saya—Imam Hasan al-Banna, pen.—ketahui bahwa nama-nama Allah adalah
lafazh-lafazh mulia yang memiliki keutamaan lebih atas kalam-kalam yang lain. Di
dalamnya ada berkah dan pahala bagi yang menyebutnya.
 
f. Nama Allah yang Agung
   Dalam banyak hadits terdapat nama Allah yang agung, di antaranya sebagai berikut.
Buraidah r.a. berkata, “Nabi Muhammad mendengar seorang laki-laki berdoa seraya
berkata, ‘Ya, Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu, bahwa aku bersaksi: Engkau
adalah Allah yang tiada ilah selain Engkau; Yang Maha Esa dan tempat bergantung; Yang
tidak beranak dan tidak pula diperanakkan; dan tidak ada seorang pun yang menyamai-
Nya,’ dan demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, sungguh orang itu telah memohon
kepada Allah dengan nama-Nya yang agung: yang jika (seseorang) berdoa dengannya Allah
akan mengabulkan; jika memohon dengannya, Allah akan memberi.”
Anas bin Malik r.a. berkata,“Nabi Muhammad saw. memasuki mesjid seraya mendapati
seseorang telah shalat. Orang itu berdoa dan berkata dalam doanya, ‘Ya, Allah, tiada ilah
selain Allah, Engkaulah Yang Maha memberi anugerah, Pencipta langit dan bumi, Pemilik
keagungan dan kemuliaan.’ Maka, Rasulullah bersabda, ‘Tahukah kalian dengan apa ia
berdoa kepada Allah? Ia berdoa kepada Allah dengan nama-Nya yang agung, yang jika kita
berdoa dengannya, Allah akan mengabulkan, dan jika memohon dengannya Allah akan
memberi.’” (HR Abu Dawud, Tirmidzi, Nasaa`i, dan Ibnu Majah)
 
 Dapat disimpulkan dari hadits-hadits di atas dan yang lainnya, bahwa nama-nama Allah
yang agung tidak terbatas jumlahnya. Demikian pula para ulama tidak pernah sepakat
dalam masalah ini, bahkan mereka berbeda dalam empat puluh pendapat.
 Dapat disimpulkan pula bahwa nama Allah yang agung itu adalah doa yang terdiri atas
sekian banyak nama Allah, di mana jika manusia berdoa dengannya dan diikuti dengan
terpenuhinya syarat-syarat berdoa lainnya niscaya Allah akan mengabulkannya.
 Nama Allah yang agung bukan hanya dianugerahkan kepada orang-orang tertentu, tetapi
siapa pun dari kaum Muslimin dapat menggunakannya dalam berdoa. Maka siapapun
yang berpendapat demikian berarti mereka telah menambah-nambah atau melebih-
lebihkan sesuatu dalam agama.

3. Sifat-sifat Allah SWT


 
a.       Sifat-sifat Allah dalam Pandangan Akal
Jika Anda melihat alam ini serta segala sesuatu yang ada di dalamnya, meski tanpa dalil atau
wahyu, Anda pasti akan menyatakan bahwa di balik alam ini ada Pencipta yang
menjadikannya ada. Bahwasanya, Sang Pencipta itu harus Agung melebihi segala
keagungan yang sempat terlintas dalam akal manusia yang lemah, harus lebih berkuasa di
atas makna-makna kekuasaan yang dipahami manusia, dan Dia harus Maha hidup dengan
puncak kesempurnaan makna-makna kehidupan. Dia tidak membutuhkan semua makhluk-
Nya karena Dia ada sebelum mereka ada. Sang Pencipta itu adalah Allah Rabbul-Jalil,
sebagaimana diungkapkan dalam Al-Qur`an pada surah ar-Ruum ayat 20-24 dan 48-50, serta
masih banyak lagi ayat yang senada dengan ayat-ayat tersebut.
 
b.      Globalisasi Sifat-sifat Allah dalam Al-Qur`an
Al-Qur`an telah menunjukkan adanya sifat-sifat wajib pada Allah SWT, seperti berikut ini.
1)     Wujud Allah (ar-Ra’d: 2-4, dan al-Mu’minuun: 78-80).
2)      Qidam dan Baqa’ (al-Hadiid: 3, al-Qashash: 88, ar-Rahmaan: 26-27, al-Ikhlash: 1-4,
dan asy-Syuura: 11).
3)     Qiyamuhu bi Nafsihi ‘Berdiri Sendiri’ (Faathir: 15 al-Kahfi: 51).
4)     Wahdaniyyah (an-Nahl: 51-53, al-Maa`idah: 73-74, al-Anbiyaa`: 21-25, al-Mu’minuun:
84-93, dan an-Naml: 59-64).
5)     Qudrah ‘Kemahakuasaan’ Allah (al-Hajj: 5-7, al-Kahfi: 51, Qaaf: 38, al-Furqaan: 53-
54, dan an-Nuur: 43-45).
6)     Iradah Allah (Yaasiin: 82, al-Israa`: 16, al-Kahfi: 82, an-Nisaa`: 26-28, dan al-Insaan:
30).
7)      Ilmu Allah (Saba’: 1-2, at-Taghaabun: 4, Luqman: 16, al-A’raaf: 88-89, al-Mujaadilah:
7, dan Yunus: 61).
8)     Hayat ‘Kemahahidupan’ Allah (al-Baqarah: 255, Ali ‘Imran: 1-3, dan al-Mu’min: 64-
65).
9)    Sama’ dan Bashar Allah (al-Mujaadilah: 1, al-‘Alaq: 9-14, Thaahaa: 43-46, dan al-
Mu’min: 19-20).
10)    Kalam Allah (an-Nisaa`: 164 dan al-Baqarah: 75).
 
c.       Sifat-sifat Allah Tidak Terhingga: Sifat-sifat Allah tidak terbatas pada apa yang telah
disebutkan di atas, melainkan banyak sekali.
 
d.      Antara Sifat-sifat Allah dan Sifat-sifat Makhluk
Kandungan makna lafadz pada sifat-sifat Allah berbeda secara diametral dengan makna yang
terkandung dalam lafal yang sama pada sifat-sifat makhluk. Misalnya, ketika Anda berkata,
“Allah itu ‘Alim,” dan Anda juga berkata, “Si Fulan itu alim,” sudah tentu pengertian ‘Alim
yang ditujukan kepada Allah dan yang dialamatkan kepada si Fulan jauh berbeda. Sampai
kapan pun makna tersebut tidak akan pernah sama.
 
e.      Dalil-dalil Aqli atas Eksistensi Sifat-sifat Allah
1)     Wujud, keagungan, dan keteraturan alam semesta menunjukkan wujud Sang Pencipta
dengan segala kebesaran dan kesempurnaan-Nya.
2)     Sesungguhnya, yang tidak memiliki sesuatu tidak akan bisa memberi. Maka, jika yang
mengadakan alam ini tidak memiliki sifat-sifat kesempurnaan, bagaimana mungkin ada
pengaruh dari sifat-sifat itu terhadap makhluk-Nya?
3)     Lebih khusus, bahwasanya sang Pencipta alam ini Esa, tidak berbilang (lebih dari satu).
Karena bila berbilang, maka akan menimbulkan kerusakan, perselisihan, dan perasaan
lebih tinggi daripada yang lain. Apalagi, permasalahan uluhiyah terletak pada
kebesaran dan keagungan. Juga apabila salah satu dari yang berbilang mendominasi
yang lain, maka praktis sifat-sifat yang lainnya tidak berfungsi. Sebaliknya jika mereka
bekerja sama, maka sebagian dari sifat mereka tidak berfungsi pula. Sementara tidak
berfungsinya sifat-sifat uluhiyah itu bertentangan dengan kemuliaan dan keagungan-
Nya. Oleh karena itu, Dia harus Esa, tiada Tuhan selain Dia.
 
f.        Beberapa Kelompok dalam Memahami Sifat-sifat Allah
1)     Kelompok Musyabbihah (penyerupaan) atau Mujassimah (personifikasi), yaitu
kelompok yang mengambil teks sebagaimana adanya. Mereka mempersamakan wajah
Allah dengan wajah-wajah makhluknya, tangan Allah dengan tangan-tangan mereka,
sampai mereka mengasumsikan Tuhan sebagai sosok seorang syekh atau seorang
pemuda. Untuk menolak kelompok ini, cukuplah dengan Al-Qur`an surah as-Sajdah
ayat 11.
2)       Kelompok Mu’aththilah (peniadaan) atau Jahmiyah, yaitu kelompok yang menafikan
makna-makna yang terkandung dalam lafadz-lafadz di atas dalam segala bentuknya.
Allah bagi mereka tidak berbicara, tidak mendengar, dan tidak melihat. Alasannya,
semua itu tidak mungkin terjadi kecuali dengan alat pengindera, padahal adanya
pengindera harus dinafikan dari Allah SWT. Seseorang yang memiliki akal pikiran
tidak mungkin membenarkan logika berpikir yang rancu ini.
3)      Kelompok atau mazhab ulama Salaf. Mereka berkata, “Kita beriman kepada ayat-ayat
dan hadits-hadits sebagaimana adanya dan menyerahkan penjelasan tentang maksudnya
kepada Allah SWT.” Mereka menetapkan adanya tangan, mata, bersemayam, tertawa,
takjub, dan sebagainya dengan maksud yang tidak kita ketahui dan kita serahkan
kepada Allah cakupan kandungannya. Lagi pula, Rasulullah saw. telah melarang kita
dari perbuatan itu. Sabdanya, “Berpikirlah kalian tentang ciptaan Allah dan jangan
berpikir tentang Dzat Allah oleh karena kalian tidak akan dapat menjangkaunya.”
4)    Kelompok atau mazhab ulama Khalaf. Mereka berkata, “Kami menetapkan bahwa
makna kata-kata dalam ayat-ayat dan hadits-hadits ini tidak dimaksudkan secara
zhahiriyah. Atas dasar itu boleh saja ditakwil dan tidak ada larangan.” Mereka pun
mentakwil “wajah” dengan Dzat, “tangan” dengan kekuasaan, dan semisalnya, dengan
tujuan memalingkan dari tasybih. Misalnya, berkata adh-Dhahhak dan Abu Ubaidah
tentang ayat, “Segala sesuatu itu hancur kecuali wajah-Nya,” (al-Qashsash: 88) berarti
“Segala sesuatu hancur kecuali Dia.”
          Pembahasan selanjutnya terfokus pada kelompok ulama Salaf dan Khalaf, bukan pada
kelompok Musyabbihah dan Mu’aththilah. Sebab, kelompok Musyabbihah dan
Mu’aththilah sudah jelas kesalahannya, sementara dua kelompok berikutnya telah
menjadi obyek pembahasan dan penyebab perselisihan yang sangat serius di kalangan
para ulama ilmu kalam. Sebenarnya, jarak perbedaan antara dua pandangan tidaklah
demikian lebar, jika masing-masing pihak melepaskan sikapnya yang berlebihan, yang
pada akhirnya, mereka melakukan tafwidh (penyerahan) kepada Allah SWT.
 
g.      Antara Salaf dan Khalaf
1)     Kedua kelompok ini sepakat mengenai hal menyucikan Allah dalam penyamaan dengan
makhluk-Nya.
2)     Semua sepakat bahwa maksud dari kata-kata dalam teks Al-Qur`an maupun hadits Nabi
tentang hak-hak Allah bukanlah apa yang tersurat pada lahirnya, sebagaimana jika
dinisbatkan kepada makhluk. Hal ini berpengaruh terhadap sikap sepakat mereka untuk
menafikan tasybih.
3)      Semua pihak mengetahui bahwa lafadz itu diletakkan untuk mengungkapkan sesuatu
yang terbersit dalam benak dari hal-hal yang berhubungan dengan pemilik bahasa.
Bahasa—betapapun luasnya—tidak dapat menjangkau sesuatu yang tidak bisa
dipahami hakikatnya oleh pemilik bahasa. Hakikat lafadz yang berhubungan dengan
Dzat Allah termasuk dalam pengertian ini. Bahasa memiliki kelemahan untuk
menjelaskan kandungan hakikat ini dengan lafadz-lafadznya. Penetapan dan
pembatasan makna untuk lafadz serupa ini adalah sesuatu yang membahayakan.
4)     Mereka sebenarnya bersepakat secara  prinsip atas keharusan takwil. Perbedaan di antara
keduanya hanyalah bahwa Khalaf menambahkan adanya pembatasan makna yang
dikandung sambil tetap menjaga kesucian Allah, dengan maksud menjaga aqidah orang
awam dari keterjerumusan dalam tasybih.
 
h.      Tarjih Mazhab Salaf
1)     Kami berkeyakinan bahwa pendapat Salaf itu lebih utama, dengan memotong habis
takwil dan ta’thil (penafian).
2)      Kami juga meyakini bahwa takwil-takwil kaum Khalaf tidak mengharuskan jatuhnya
vonis kekafiran dan kefasikan atas mereka, serta tidak seharusnya pula menjadikan
munculnya pertikaian berlarut-larut di antara mereka dan selainnya, baik dulu maupun
sekarang.
3)      Persoalan penting yang semestinya harus ditegakkan oleh kaum Muslimin sekarang
adalah tauhidush-shufuf (penyatuan barisan) dan jam’ul-kalimah (menghimpun kata)
sedapat yang bisa kita lakukan.
 

You might also like