You are on page 1of 30

PERMAINAN TRADISIONAL JAWA

Bermain, merupakan sebuah kegiatan yang sangat akrab dengan kehidupan


manusia. Pada saat-saat mnusia berada dalam proses pembentukan diri-dari
kanak-kanak menuju dewasatidak satupundiantara induvidu manusia yang tidaka
mengenal “Permainan”. Dalam kajian para ilmuan social dan humaniora,
mempengaruhi perkembangan jiwa anak. Masalahnya adalah, di (Globalisasi)
sekarang ini? Apakah sudah ditinggalkan kerena pengaruh menbanjirnya berbagai
jenis permainan yang baru yang lebih cocok dengan kehidupan masa kini?
Ataukah masih bertahan, tetapi hanya jenis permainan tradisional tertentu dan di
tempat tertentu pula?
Dalam era kesejagadan ini muncul pula pertanyaan, relevankan apabila
permainan tradisional anak digali kembali dalam kaitannya dengan semakin
dominannya permainan baru dalam kehidupan anak?. Sementara itu parmainan
baru yang telah meransek jauh dalam kehidupan bermain anak-anak, selain
mempunyai indikasi akan senakin menjauhkan anak-anakdari hubungan-
hubungan perkawanan yang personal ke impersonal. Juga menyebabkan
menipisnya orientasi wawasan anak komunalistik ke induvidualistik. Sementara
itu disadari pula sebagian ilmuan social dan humaniora tentang adanya peran yang
tidak kecil dari permainan tradisional anak dihadirkan, dan perkenalannya
kembali lewat penelitian-penilitian, dan kajian-kajian ilmiah.
PERMAINAN TRADISIONAL ANAK
PERSPESTIK ANTROPOLOGI BUDAYA

Salah satu gejala mencolok yang muncul dalam tiga dasawarsa terakhir di
Indonesia adalah maraknya berbagai macam bentuk mainan (toys) dan permainan
(game) yang berasal dari luar negeri. Arus ini terasa deras mengalir dalam
dasawarsa terakhir, ketika di beberapa kota besar di Indonesia muncul toko-toko
yang begitu besar, namun khusus hanya menjual mainan anak-anak, terutama
boneka-boneka berbagai tokoh dalam dalam film kartun. Melihat cirri-cirinya
jelas bahwa berbagai jenis mainan disitu merupakan produk budaya asing,
terutama budaya Amerika Serikat dan Jepang. Gelombang masuknya unsur
mainan asing ini terasa semakin sejalan dengan dibukannya tempat-tempat
permainan elektronik dibanyak pusat pertokoan dan gedung-gedung bioskop.
Gejal semacam ini membuat perusahaan-perusahaan yang terjadi di kota-kota ini
menjadi terasa begitu cepat, dan ini menimbulkan bebagai macam reaksi di
kalangan warga masyarakat.
PERMAINAN TRADISIONAL ANAK DALAM KAJIAN
ANROPOLOGI

Permainan anak berbagai gejala sosial-budaya sebenarnya sudah cukup


lama menjadi perhatian para ilmuwan sosial, seperti ahli anropologi, sosiologi,
dan psikologi. Berbagi macam prespektif juga telah mereka gunakan dan
kembangkan dalam studi mereka terhadap gejala tersebut. Namun menariknya,
belum ada kesempatan tentang definisi dari “permaian” itu sendiri (Schwartzman,
1976:291), padahal dalam kajian ilmiah setiap konsep harus jelas maknanya, agar
dapat terbangun pengetahuan yang sestematis tentang gejala yang dipelajari. Oleh
karena itu tidak mudah sebenarnya untuk membicarakan dan menganalisis
fenomena permainan anak ketika perangkat konstektual yang diperlukan juga
belum juga berkembang. Kesulitan ini semakin bertambah ketika kita harus
mengunakan perangkat konstektual dari Indonesia, yang seringkali tidak memiliki
istilah-istilah untuk hal-hal yang seharusnya ada istilahnya yang dalam bahasa lain
ada namanya.
Sebagai contoh, kata “permainan” dalam bahasa Indonesia. Kata ini dapat
digunakan untuk berbagai macam bentuk permainan, yang dalam bahasa Inggris
dibedakan, misalnya play dengan game, kata ‘game’dapat diterjemahkan menjadi
‘permainan’, tetapi makna yang muncul dalam benak kita jika itu menggunakan
kata ‘pertandingan’ tidak dapat persis sama dengan yang muncul jika kita
menggunakan ‘game’. Kata-kata ‘children’s game’ tepat diterjemakan menjadi
‘permainan anak-anak’ bukan ‘pertandingan anak-anak’. Kesulitan dalam soal
perangkat konseptual ini semakin meningkat seiring denga meningkatnya
kerumitan dalam analisis. Oleh karena itu, merambah dunia permainan anak-anak
dengan menggunakan prespektif ilmu sosial-budaya di Indonesia, bagaikan
merambah kawasan hutan belantara dengan beraneka ragam flora dan fauna yang
kita belum memiliki peta serta perangkat klasifikasinya untuk memahami dunia
flora dan fauna tersebut,sehingga disamping terasa sangat menarik dan
menyenangkan, juga terasa begitu berat tantangan yang kita hadapi.
Disini kita tidak bermaksud untuk membangun perangkat konseptual
untuk menganalisis permainan anak-anak di Indonesia ataupun mengemukakan
sebuah definisi tetang apa yang dimaksud dengan “permainan”, karena seperti
halnya konsep ”kebudayaan”, istilah tersebut juga dapat didefinisikan dengan
bebagai macam cara dari sudut pandang yang berbeda. Namun demikian, definisi
“permainan” yang banyak dianut oleh para pakar adalah yang dilontarkan oleh
Huizinga, yang terkenal lewat bukunya Homo Ludens (1955). Huizinga berupaya
untuk mengungkapkan ciri atau sifat “bermain” dalam kegiatan manusia dengan
mendefinisikan play, bermain, dolanan, sebagai: “(a) a voluntary activity existing
out-side “ordinary” life; (b) totally absorbing; (c) unproductive; (d) occurring
within a circumscribed time space; (e) ordered by rules; (f) characterized by group
relationships which surround themselves by secrecy and disguise” (1955: via
Schwartzman, 1975). Dengan definisi ini, maka berbagai kegiatan manusia
sebenarnya mengandung unsur bermain. Bahkan “bermain” itu sendiri juga ada
dalam kegiatan hewan-hewan, sehingga bagi Huizinga “bermain” sudah ada
sebelum adanya “kebudayaan”.
Meskipun definisi ini sudah banyak dikenal, namun di Indonesia kajian
tentang permainan anak tidak banyak yang menyebut-nyebut pendapat Huizinga
ini. Oleh karena itu, di sini tidak akan membahas lebih jauh masalah perangkat
konseptual untuk menpelajari fenomena bermain dalam kehidupan manusia. Saya
memilih memaparkan berbagaimacam prespektif yang telah digunakan oleh para
ahli serta berbagai kesimpulan yang telah mereka tarik dari kajian mereka tentang
“permainan”. Hal semacam ini menurut hemat saya akan lebih bermanfaat bagi
upaya untuk mengembangkan lebih lanjut kajian tentang permainan tradisional
anak di masa-masa yang akan datang di Indonesia.
Jika diperhatikan berbagai leteratur asing (terutama yang berbahasa
Inggris) akan kita temukan berbagai kesimpulan yang telah mereka rumuskan ber-
kenaan dengan dengan “permainan anak-anak”. Berbagai dari kesimpulan tersebut
mengatakan bahwa pada dasarnya bebagai kegiatan “bermain” merupakan: (a)
suatu persiapan untuk menjadi dewasa (b) suatu pertandingan, yang akan
menghasilakan yang kalah dan yang menang; (c) perwujudan dari rasa cemas dan
marah; (d) suatu hal yang tidak sangat penting dalam masyarakat ( Schwartzman,
1976).
Kesimpulan ini sedikit banyak mencerminkan perspektif-perspektif yang
digunakan dalam memahami dan menjelaskan fenomena permainan anak.
Kesimpulan pertama menunjukan perspektif fungsional. Kesimpulan kedua
perspektif permainan, dan kesimpulan ketiga perspektif psikologis.

A. Perspektif fungsional: Bermain Sebagai “Persiapan Menjadi Orang


Dewasa”.
Pendapat bahwa permainan adalah aktivitas peniruan dan persiapan untuk
menuju kehidupan orang dewasa banyak dianut oleh para ahli antropologi yang
banyak melakukan penelitian pada bebagai masyarakat dengan kebudayaan relatif
sederhana. Pendapat seperti ini menunjukan perspektif funsional mereka dalam
mempelajari permainan anak-anak. Dilihat dari sudut pandang ini kegiatan
bermain merupakan kegiatan yang bersifat funsional untuk proses enkulturasi dan
sosialisasi anak-anak. Enkulturasi disini dimaksudkan sebagai proses penanaman
nilai-nilai, atau proses menjadikan nilai-nilai yang dianut suatu masyarakat
diterima, dipahami, diyakini kebenarannya dan kemudian dijadikan pembimbing
perilaku atau bertindak oleh warga suatu masyarakat, sedang sosialisasi adalah
proses mengenalkan dan menbiasakan anak pada berbagai induvidu lain, berbagai
kedudukan sosial dan peran, berbagai kategori sosial, kelompok dan golongan,
serta nilai, norma, dan aturan yang berlaku dalam berinteraksi dengan induvidu
dan kelompok tersebut.
Pandangan funsional ini dikemukakaan oleh Bronislaw Malinowski, ahli
antropolgi pelopor teori Fungsionalisme. Dia berpendapat bahwa “permainan”
perlu diketahui nilai pendidikannya, dan lebih dari itu juga hubungannya dengan
fungsinya untuk “preparation for economic skills”, pembekalan keterampilan-
keterampilan ekonomi (malinowski, 1960:170). Berbagai permainan anak,
misalnya: “pasaran”, ”dokter-dokteran”,”sekolah-sekolah” dan sebagainya, yang
biasa disebut “role play” ( main peran ), merupakan contoh dari permainan anak-
anak yang mempunyai fungsi mempersiapkan anak-anak untuk memainkan peran
yang sebenarnya ketika mereka dewasa nanti. Permainan ini menurut Goerge H.
Mead juga merupakan sebagian dari kondisi-kondisi yang memungkinkan si anak
melakukan “objectivication of the self” ( Mead, 1934 ). Melalui kegiatan bermain
anak-anak akan dapat membayangkan dirinya berada dalam berbagai kedudukan
dan peran, dan dengan demikian dia akan dapat membangun karakternya. Dalam
bermain, seorang anak harus memperhatikan anak-anak yang lain yang berbeda
perannya, tetapi berinteraksi dengannya. Menurut Mead, ketika si anak mulai
dapat berperilaku sebagai orang lai, maka dia sedang berada dalam proses
menjadi “an organic memberof society” (1934: 159).
Kajian lain yang mengunakan perspektif enkulturasi-fungsional dilakukan
misalnya oleh Smilansky (1968) atas kegiatan bermain dikalangan anak-anak
Israel, Afrika Utara dan Timur Tengah. Jenis permainan tertentu dikalangan anak-
anak Israel, melakukan penipuan, dan merupakan sebuah cara untuk mengatasi
beberapa keterbasan si anak. Dengan permaianan ini “a richer reproduction of
adult life is made possible”, anak-anak memiliki kemungkinan melakukan
reproduksi kehidupan orang dewasa lebih kaya, lebih bervariasi (1968:7).
Terlepas dari kepopuleran pendekatan ini, serta sebagai hasilkajian penting
dan menarik hasilnya, kritik tetap dilontarkan terhadapkajian-kajian yang telah
dilakukan dengan sudut pandang fungsional ini. Salah satu kritik tersebut
mengatakan, pendapat bahwa “permainan”memiliki fungsi melakukan proses
enkulturasi untuk anak-anak sebenarnya tidak banyak diuji secara serius
( Schwartman, 1976 ). Tampaknya, kepopuleran pendapat ini lebih dikarenakan
oleh kemudahannya untuk dimengerti dari pada kebenaran empirisnya.

B. Perspektif Permainan: Bermain ( play ) Sebagai ‘Permainan’ ( game).


Kajian tentang permainan anak dengan perspektif “permainan” ini banyak
dikerjakan oleh para ahli folkor di akhir abad 19. Hasilnya lebih banyak bersifat
deksripsif. Artinya, para ahli mengambarkan jenis-jenis permainan yang ada
dengan berbagai macam peralatannya, sedang proses-proses sosial dari permainan
itu sendiri banyak terlupakan. Disini mereka umumnya beranggapan bahwa
‘game’ (permainan) adalah wujud yang paling jelas dari ‘play’. Jadi perhatian
para ahli lebih diarahkan pada kegiatan bermain yang terstuktur, seperti yang
biasa kita lihat dalam ‘permainan’. Oleh karena itu pula, dimasa itu ‘bermain’
dalam arti luasyang mencakup berbagai perilaku yang tidak terstruktur,yang diluar
‘permainan’ tidak mendapat perhatian yang memadai dari para ahli antropologi
dan ahli folkor atau permainan rakyat. Pengertian bermain dimasa itu memang
masih terbatas pada ‘permainan’ ( game ).
Dengan sudut pandang semacam ini para ahli kemudian melakukan berbagai
studi perbandingan untuk mengetahui hubungannya dengan keadaan masyarakat
dan kebudayaan di masa lampau. Dengan asumsi-asumsi yang sedikit-banyak
etnosentris, atau Eropasentris, para ahli sering kali memandang permainan ini
sebagai sisa-sisa dari kegiatan orang dewasa pada masyarakat-masyarakat primitif
di masa lampau. Selain itu, sebagai ahli juga mencoba untuk mengetahui
persebaran berbagai macam bentuk permainan, untuk kemudian merenkonstruksi
sejarah persebaran manusia dan kebudayaan di muka bumi. Di sini banyak
digunakan metode perbandindingan unsur kebudayaan untuk melihat berbagai
persamaan dan perbedaan antar unsur tersebut dan kemudian menentukan
hubungannya.
Meskipun berbagai studi semacam ini mampu memberikan gambaran yang
meluas dan lintas-budaya, namun kajian ini ternyata juga memiliki kelemahannya,
yaitu kurang memperhatikan ‘permainan’ itu sendiri, karena perhatian terlalu
banyak diberikan pada konteks. Juga, deskripsi para ahli tentang permainan pada
umumnya adalah mengenai permainan orang-orang dewasa, sehingga berbagai
jenis permainan anak-anak yang ada dalam berbagai kebudayaan kurang
memperoleh perhatian dan jarang dilaporkan.

C. Perspektif Psikologis: ‘bermain’ Sebagai Wujud Kecemasan dan


Kemarahan.
Perspektif psikologis ini memandang kegiatan bermain anak-anak sebagai
fenomena seperti tes proyektif (projective test), yang dapat memperlihatkan
kecerdasan-kecerdasan mereka serta sifat-sifat galak mereka yang diduga
bersumber pola-pola pengasuh anak dalam suatu kebudayaan. Kaajian permainan
dengan prespektif ini adalah yang dilakukan oleh Robert dal Sutton-Smith (1963)
Dua ahli ini mengembangkan hipotesis yang menjelaskan hubungan-
hubungan antara jenis permainan, dengan variable pola asuh anak dan variable
budaya lainnya. Hipotesa yang dilakukannya mengatkan bahwa “conflict
engendered by the specific child-training procedures of a culture leads to and
interest and involvement in specific types of game activities which pattern this
conflict in the roles-reversals sanctioned by the game rules”. Keterlibatan
induvidu dalam permainan ini pada akhirnya akan membuat dia mampu
mewujudkan perilaku-perilaku yang mempunyai nilai funsional dan berguna
dalam kebudayaannya (Schwartzman, 1976: 296).
Ahli alin yang melakukan penelitian dalam jalur ini adalah R.R Eifermann
yang mencoba mengetahui perbedaan antara sifat-sifat anak di desa dengan anak-
anak dikota dengan memperhatikan permainan permainan yang ada dikalangan
mereka. Hipotesanya mengatakan bahwa anak-anak di perdesaan yang memiki
banyak kesempatan untuk terlibat dalam dunia orang dewasa dibandingkan
dengan anak kotatidak akan mengalami konflik yang begitu keras, sehingga
mereka juga akan kurang begitu tertarik pada ‘competitive games’ yang dibangun
atas dasar komflik. Hipotesa ini kemudian diujikan pada anak-anak Israel (1972a;
1971b).
Terlepas dari manfaat yang dihasilkan oleh studi-studi tentang permainan
yang semacam ini, perspektif psikologis dengan berbagai upaya untuk menguji
secara ketat hipotesa-hepotesa yang dirumuskan ternyata kemudian lebih banyak
menghasilkan temuan empirisdari pada terobosan teoritis. Tidak mengherankan
jika banyak ahli yang kemudian meninggalkan pendekatan pendekatan ini dan
mencari pendekatan yanga lain yang dianggap lebih mampu memberikan
pemahaman baru yang lebih mendalam.
Perspektif psikologis yang lain tampak mislanya dalam kajian yang
memustkan perhatian pada permainan anak-anak dan hubungan dengan
pertumbuhan jiwa dan nalar anak-anak. Penelitian pada jalur ini anyak diilhani
oleh penelitian Jean Piaget mengenai perkembangan moral dan nalar anak-anak.
Piaget lain meneliti bagai mana anak-anak belajartentan aturan-aturan untuk
bermain kelereng. Dia kemudian membahas tentang tahap-tahap perkembangan
proses konseptuelisasi dalam diri anak. Dua proses penting yang terjadi dalam diri
anak berkenaan denga permainan yang mereka lakukan adalah akomodasi dan
asimilasi. Dua proses ini selalu ada dalam setiap tindakan, namun berbeda dalam
prosesnya. Artinya, dalam tindakan tertentu proses akomodasi adalah yang
mendominasi, sedang dalam tindakan yang lain proses asimilasi yang lebih
dominan. Dalam tindakan yang lain, dua-duanya bisa berjalan seiring dan
seimbang (Schwartzman 1976: 310)

D. Perspektif Adaptasi: ’Bermain’ Sebagai peningkatan Kemampuan


Beradaptasi.
Dalam kerangka pemikiran adaptasi ini penelitian para ahli tentang ‘bermain’
tidak hanya terbatas pada makhluk manusia, tetapi juga berbagai jenis binatang
lainnya. Asumsi dibalik pendekatan semacam ini adalah bahwa aktivitas makhluk
pada dasaranya mempunyai funsi tertentu, dan karena salah satu masalah penting
yang menyangkut keberlangsungan hidup suatu spesies adalah masalah adaptasi,
maka tentunya ‘bermain’ juga mempunyai fungsi dalam kerangka adaptasi
makhluk tersebut. Perspektif ini sebenarnya agak dekat dengan prespektif
funsional, akan tetapi berbeda karena dalam prespektif adaptasi ini fungsi bermain
tidak hanya bersifat sosial dan cultural, akan tetapi juga ragawi (physical).
Ada dua teori terpenting berkenaan dengan adaptasi makhluk lewat ‘bermain’
ini, yaitu teori ‘arousal’ dan teori ‘educational’. Walaupun tampak saling
berlawanan, akan tetapi pada dasarnya kedua teori saling melengkapi.teori arousal
menjelaskan fenomena bermain dalam kerangka janka pendek, sedangkan teori
‘pendidikan’ (educational) diberikan untuk memberikan pemahaman yang
bersifat jangka panjang. Dalam teori arousal dikatakan bahwa setiap organisme
pada dasrnya berusaha mempertahankan “an optimal level of arousal”, dan ini
berarti bahwasetiap makhluk pada dasarnya selalu menginginkan perubahan-
perubahan. Dengan adanya ‘arousal’ yang membawa pada perubahan dalam
pikiran dan dunia materi ini maka setiap makhluk selalu berada dalam situasi yang
selalu ‘berubah’, dan ini menghindarkan mahkluk dari rasa bosan. “Ketidak-
bosanan” ini dilihat daru sudut pandang adaptasi ternyata memang bermanfaat
sebab kebosanan “may be dangerous to the organism because, in a semi comatose
state, it is susceptible predation. Animals relive boredom by playing…” (Lancy,
1980: 480).
Teori kedua, yaitu teori pendidikan, pada dasarnya tidak jauh bebeda dengan
pendekatan funsional di atas. Menurut teori ini ‘bermain dapa “serve as an
educational medium to exercise and improve the young animal’s survival and
reproductive skills” (Lancy, 1980: 480). Mengingat hasil penelitian dengan
kerangka teori ini tidak jauh berbeda dengan nada pendekatan Fungsionalisme,
maka penjelasan tentang teori ini tidak saya paparkan lagi disini.
Penelitian mengenai funsi ‘bermain’ berkenaan dengan keberlangsungan
hidup makhluk inipada dasrnya memberikan landasan yang kokoh bagi setiap
upaya untuk mempertahankan kehadiran fenomena ‘bermain’ dalam kehidupan
manusia. Ternyata, ‘bermain’ bukanlah suatu kegiatan yang tidak ada artinya,
terutama bagi upaya membekali anak-anak dengan kemampuan tertentu agar
dapat bertahan hidup dalam lingkungannya. Dengan ‘bermain’ anak-anak, atau
generasi baru sesuai dengan spesies akan memperoleh berbagai kemampuan,
keterampilan, dan pengetahuan yang sangat penting untuk keberlangsungan hidup
spesies mereka, tanpa harus merasa jemu ketika berada dalam proses mempelajari
ketrampilan dan diajari pengetahuan baru tersebut.
KAJIAN PERMAINAN TRADISIONAL ANAK DI JAWA

Kajian tentang pemainan tradisionalanak di Indonesia umumnya belum


sangat berkembang. Tetapi terlihat perhatian yang cukup besar dari kalangan
ilmuwan terhadap fenomena budaya ini, kecuali dari kalangan tertentu. Namun
demikian perhatian yang cukup serius telah diberikan oleh pemerintah melalui
Badan Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional yang telah berada di bawah naungan
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Semenjak tahun 80-an telahdilakukan
penelitian yang ditunjukkan terutama untuk mengiventasi dan mendokumentasi
berbagai jenis permaian anak Indonesia. Dengan keterbatasan tenaga dan dana,
toh beberapa Balai Kajian Jarahnitra yang cukup kuat (misalnya Balai Kajian
yang berada di Yogyakarta) akhirnya berhasil menerbitkan berbagai hasil
penelitian tentang permainan anak ini, dab bahkan kemudian juga
menyelenggarakan sebuah lokakarya “Dolanan Anak-anak” di tahun 1993, setelah
sepuluh tahun sebelumnya menyelenggarakankegiatan pameran dan peragaan
bebagai jenis permainan anak, yang diserai dengan ceramah dan diskusi tentang
“Transformasi Nilai Budaya Melalui Permaian Anak-anak”.
Bebagai jenis penelitian dari Balai Kajian Jarahnitra ini pada umumnya masih
berada pada tingkat melukiskan atau menceritakan tentang bagaimana suatu jenis
permaian dimainkan oleh anak-anak (Depdibud, 1080/1981; Yunus, 1981/1982).
Kajian semacam ini jelas memberikan manfaat bagi setiap upaya pelestarian
tradisional anak ini, namun demikian jika diskripsi etnograsis tidak dilanjutkan
dengan analisis yang lebih dalam tentang mengapadan jenis permainan anak
tetentu tetep bertahan atau hilang, maka kajian semacam ini tidak akan dapat
memberikan masukan tentang strategi-strategi yang dapat ditempuh olehpihak-
pihak yang berkepentingan untuk tetap menghidupkan beberapa permainan anak-
anak tertentu yang dipandang penting bagi pendidikan.
Beberapa kajian yang dilakukan belakangan tampaknya berupaya mengatasi
kelemahan ini (lihat Sumarsih, 1993/1994; Sukirman, 1993, Tashadi, 1993)
dengan mengemukakan berbagai pertanyaan yang lebih analitis, yang jawabanya
dapat memberikan banyak masukan bagi upaya pelestarian dan pengembangan
permainan anak-anak tersebut. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan
menunjukan fungsi dari permainan anak-anak tradisional tersebut berkenaan
dengan pewarisan nilai-nilai budaya yang ada dalam suatu masyarakat. Permainan
tradisional anak-anak Jawa misalnya, dikatakan mengandung nilai-nilai budaya
tertentu serta mempunyai fungsi melatih permainannya melakukan hal-hal yang
akan penting nantinya bagi kehidupan mereka di tengah masyarakat, sepeti
nantinya bagi kehidupan masyarakat, seperti misalnya melatih cakap hitung
menghitung, melatih kecakapan berfikir, melatih bandel (tidak cengeng), melatih
keberanian, melatih bersikap jujur dan sportif dan sebagainya (Tashadi, 1993: 57-
59).
Studi tentang permainan anak yang lain berusaha mengetahui proses-proses
perubahan yang terjadi dalam masyarakat dan dampaknya terhadap berbagai jenis
permainan tradisional anak di Jawa. Salah satu faktor yang ditemukan menjadi
penyebab semakin surutnya permainan anak-anak di Jawa adalah masuknya
pesawat televisi di daerah perdesaan. Dengan bebagai tayangan acara yang
menarik dan tidak membutuhkan tenaga untuk menikmatinya, tontonan dari
pesawat televisi secara langsung menjadi hal yang lebih disukai oleh anak-anak
ketimbang berbagai permainan anak-anak yang tidak semuanya menarik dan
menyenangkan untuk dimainkan (Sujarno, 1997/1998).
Bebarapa jenis lain yang juga dianggap telah memberiakan sumbangan pada
semakin jarangnya permainan tradisional anak-anak Jawa dimainkan misalnya:
lahan bermain anak-anak yang semakin mengecil, kalau tidak hilang sama sekali,
terutama daerah-daerah perkotaan, dan meningkatnya kwalitas trasportasi antar
desa dengan kota, yang membuat anak-anak remaja lebih suka pergi bekerja di
kota, sehingga di desa tidak banyak lagi anak-anak mementaskan permainan
tradisional anak-anak (Sujarwo, 1996/1997).
Kajian ini merupakan sumbangan yang sangat berarti bagi upaya kita
memahami fenomenapermainan tradisional anak-anak Indonesia dengan segala
dinamikanya. Sayangnya, kajian ini umumnya lemah dalam hal kerangka
konseptual untuk analisis, serta metode penelitinya, sehingga hasil hasil analisis
yang dipaparkanya tidak selalu meyakinkan. Pembenahan kerangka teoritis serta
peningkatan mutu metode pengumpulan datanya merupakan suatu hal yang perlu
dilakukan untuk memperbaiki kualitas hasil penelitian semacam itu dimasa-masa
yang akan datang. Jika tidak dilaksanakan dikhawatirkan tidak akan ada
peningkatan mutu masukan yang dapat memberikan untuk upaya-upaya
melestarikan unsur-unsur yang masih dianggap masih relevan dan penting dalam
kehidupan sehari-hari.
PEMAINAN TRADISIONAL ANAK :
PERUBAHAN DAN PELESTARIAN

Menguatnya arus globalisasi di Indonesia membawa pola kehidupan dan


hiburan baru mau tidak mau memberikan dampak tertentu terhadap kehidupan
sosial budaya masyarakat Indonesia, termasuk di dalamnya kelestarian berbagai
ragam permainan tradisional anak-anak. Situasi semacam ini bagi sementara
kalangan membuat berbagai jenis permainan tradisional anak sebagai asset
budaya semakin terasa perlu diperhatikan kehadirannya. Pandangan semacam ini
sejalan dengan pendapat sejumlah ilmuwan sosial dan budaya di Indonesia, yang
mengatakan bahwa permainan tradisional akan membuat unsur-unsur kebudayaan
yang tidak dianggap remeh karena permainan ini memberikan pengaruh yang
tidak kecil terhadap perkembangan kejiwaan, sifat, dan kehidupan sosial anak di
kemudian hari (Budisantoso, 1993; Moedjono dan Sulistyo; 1993; Sukirman,
1983; 1993; Suharsimi, 1993). Selain itu, permainan anak-anak ini juga dianggap
sebagai salah satu unsur kebudayaan yang memberi ciri atau warna khas tertentu
pada suatu kebudayaan. Oleh karena itu permainan tradisional anak-anak juga
dianggap sebagai aset budaya, sebagai modal bagi suatu masyarakat untuk
mempertahankan keberadaanya dan identitasnya di tengah kumpulan masyarakat
yang lain.
Sementara itu, kenyataan dilapangan dewasa ini memperlihatkan adanya
tanda-tanda yang “kurang menggembirakan”, yakni semakin jarangnya permainan
tradisional anak-anak tersebut ditampilakan. Jenis-jenis permainan anak tetentu
ternyata sudah mulai jarang dimainkan dan makin lama tampaknya akan semakin
tidak dikenal, serta diperkirakan akan “punah”, sehingga muncul kekhawatiran
dikalangan masyarakat akan kemungkinan munculnya dampak negatif dari
kepunahan tersebut terhadap kehidupan masyarakat dan kebudayaannya. Lahirlah
kemudian hasrat untuk melestarikan dan mempertahankan kehadiran permainan
anak-anak ini dalam kehidupan masyarakat. Keinginan untuk melakukan
pelestarian ini tampaknya juga kuat oleh kerinduan akan masa kanak-kanak atau
masa lampau yang biasanya dianggap penuh dengan kenangan indah, serta
kekhawatiranakan kemungkinan tercabutnya suatu masyarakat tertentu dari akar-
budayanya. Reaksi semacam ini perlu disambut dengan baik, karena hal ini
memperlihatkan masih adanya perhatian terhadap kebudayaan itu sendiri.
Jika kita mempehatikan perubahan-perubahan yang terjadi pada fenomena
permainan tradisional anakdi Jawa, dan mungkin juga Indonesia pada umumnya,
kita melihat paling tidak tiga pola perubahan, yakni: (a) menurunnya popularitas
jenis-jenis permainan tradisional tertentu dan (b) munculnya jenis-jenis permainan
anak tertentu, dan (c) masuknya jenis-jenis permainan baru yang modern.
”Menurunnya popularitas” ini berupa semakin tidak dikenalnya jenis-jenis
permainan tradisional tertentu karena sudah jarang dimainkan lagi, yang mungkin
pada akhirnya akan sampai pada “kepunahan” jinis permainan tersebut.
“Munculnya jenis permainan” tertentu adalah diciptakannya jenis permainan
anak-anak yang baru dengan pola yang mirip dengan jenis-jenis permainan anak-
anak tradisional. Gejala semacam ini terlihat misalnya di Yogyakarta (lihat tulisan
saya di bagian akhir). “Masuknya jenis permainan baru yang modern” sangat jelas
terlihat terutama dikota-kota besar di mana berbagai macam permaian (geme)
dengan peralatan elektronik modern diber itempat khusus yang begitu luas,
sebagaimana bisa kita dapatkan di “Timezone”.
Melihat berbagai macam perubahan ini kita tidak perlu memberi reaksi
negatif, karena perubahan ini merupakan sebuah proses alami yang tidak dapat
dicegah. Reaksi yang lebih tepatadalah bagaimana memfaatkan unsur-unsur
permainan baru yang masuk dan memikirkan pelestarian berbagai jenis permaian
tradisional anak, agar generasi-genersi mendatang tetap dapat mengetahui
berbagai jenis permaian di masa-masa nenek moyang mereka.
Dalam buku ini Sukirman dkk. Telah mencoba melakukan pelestarian
permainan tradisional anak di Daerah Istimewa Yogyakarta dengan cara
melakukan pendoku mentasian. Hasilnya kemudian diedit oleh Sumintarsih,
seorang master dalam bidang antropologi yamng kini bekerja di Balai Kajian
Sejarah dan Nilai Tradisional, sebagai suatu bentuk upaya melestarikan salah satu
unsur kebudayaan yang dipandang penting, yakni permainan anak, tulisn
Sukirman yang telah diedit ini patut kita sambut gembira kedatangannya, karena
hasil ini tidak hanya akan bermanfaat bagi upaya pelestarian saja tetapi juga
kajian-kajian yang lebih akademik dan teoritis. Dengan tersediannya data
mengenai permainan anak ini, akan dapat dilakukan kajian-kajian secara historis,
sosiologis dan antropologis, tentang perubahan sosial-budaya yang berkait dengan
permainan anak-anak tersebut.
PENUTUP

Adalah suatu peryataan yang tidak mungkin untuk diingkari, yaitu bahwa
‘bermain’ mempunyai fungsi adaptif dalam kehidupan hewan, termasuk manusia,
sedang dikalangan manusia fungsi tersebut menjadi lebih luas lagi karena bermain
juga mempunyai fungsi sosio-kultural. Dalam konteks inilah, permainan anak-
anak merupakan sebuah fenomena sosial-budaya yang mempunyai makna
simbolis. Bermain dan permainan tidak hanya mempunyai efek ragawi, karena
‘bermain’ dan ‘permainan’ itu sendiri adalah symbol-simbol dan sekaligus juga
proses simbolik yang terus menerus dimaknai, ditafsirkan, dan karenanya juga
mempengaruhi kerangka permaknaan yang dimiliki manusia.
Dengan berbagai macam kekhasan yang ada padanya, permainan anak-anak
tidak lagi dimaknai sebagai sekedar permainan, tetapi juga sebagai salah satu
unsure darisistem budaya tertentu yang memiliki fungsi ‘membedakan’ system
tersebut dengan system budaya yang lain. Permainan anak-anak disini menjadi
salah satu –meminjam istilah dari linguistic- distinctive feature sebuah system
budaya. Dia menjadi salah satu pemberi identitas pada system budaya tersebut.
Ketika proses globalisasi yang akan membawa efek homogenisasi cultural
melanda suatu mastarakat, permainan anak-anak lantas dirasakan memiliki makna
cultural yang penting, karena dengan berbagai macam cirri khasnya permainan
anak-anak ini akan dapat member identitas pada kebudayaannya. Dengan kata lain
permainan anak-anak merupakan salah satu unsure kebudayaan yang sedikit
banyak mampu mempertahankan kemajemukan budaya, yang terancam oleh
homogenisasi cultural dari proses penyejagadan (globalisasi). Di sini oermainan
anak-anak dapat menjadi asset budaya yang berharga dalam pembentukan
identitas budaya sebuah komunitas, masyarakat ataupun sebuah bangsa.
Permainban nak-anak dengan demikian mereupakan unsure budaya yang
pentingbukan hanya dalam konteks physical survival suatu masyarakat tetapi juga
bagi cultute survivalnya.
Di tengah arus globalisasi yang makin deras. Yang tidak mungkin dibendung
kehadirannya, yang dampaknya pasti juga akan terlihat pada keberlangsungan
hidup permainan anak-anak dalam suatu masyarakat, maka permainan nank-anak
dapat digunakan sebagai ajang pengolahan dan penafsiran kembali unsure-unsur
budaya lama untuk digabungkan dengan unsure-unsur budaya baru. Permainan
anak-anak di sini dapat dimanfaatkan menjadi lahan proses akulturasi. Dia dapat
dijadikan wadah bagi setiap proses keatif menciptakan unsure-unsur budaya baru
dengan identitas budaya local. Memanfaatkan potensi permainan nak-anak yang
semacam inilah kiranya yang merupakan tantangan kita di masa-masa yang akan
datang.
PERMAINAN TRADISIONAL
DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

Ada banyak jenis permainan tradisional yang tersebar di wilayah Daerah


Istimewa Yogyakarta, baik itu permainan yang masih sering dimainkan maupun
yang sudah jarang dimainkan, bahkan banyak yang sudah tidak dikenal lagi.
Jenis-jenis permainan yang berhasil dideskripsikan ada 40 di antaranya berasal
dari Kecamatan Kraton Kota Yogyakarta; Kecamatan Depok Kabupaten Sleman;
Kecamatan Imogiri dan Kecamatan Dlingo Kabupaten Bantul; Kecamatan Galur
Kabupaten Kulon Progo; dan Kecamatan Pojong Kabupaten Gunung Kidel.
Selanjutnya jenis-jenis permainan tradisional tersebut ditampilkan sesuia dengan
kategorisasi menurut pola permainannya, yaitu:
1. Bermain dan bernyanyi, dan atau dialog
2. Bermain dan olah piker
3. Bermain dan adu ketangkasan

Untuk pengidentifikasian jenis-jenis permainan, maka setiap jenis permainan


akan diuraikan dalam urutan yang sama yaitu:
a. Nama permainan
b. Hubungannya dengan sesuatu peristiwa, kapan dan dimana dimainkan
c. Latar belakang sosia-budaya
d. Latar belakang sejarah perkembangannya
e. Peserta atau pelaku permainan yang mencakup: jumlah, jenis kelamin,
usia, dan kelmpok social, peralatan yang diperlukan dalam permainan
f. Lagu pengiring permainan
g. Jalannya permainan, meliputi: persiapan, pengaturan permainan, tahap
permainan, dan konswekwnsi kalah-menang

Guna memperjelas jalannya permainan, pada permainan tertentu disertakan


gambar (sket) dan syair lagu pengiring.
BERMAIN DAN BERNYANYI DAN ATAU DIALOG

Permainan anak dengan pola bermain bernyanyi dan atau dengan berdialog
yang dimaksudkan adalah pada waktu permainan itu dimainkan diawali atau
diselingi dengan nyanyian, dialog, atau keduanya; nyanyian atau dialog menjadi
inti dalam permainan tersebut. Permainan anak yang dilakukan dengan bernyanyi,
dengan irama tertentu sambil bertepuk tangan atau dengan gerakan-gerakan fisik
tertentu; mengucapkan kata-kata, hal-hal seperti itu adalah sesuatu yang disukai
anak-anak. Pola permainan seperi itu pada umumnya dilakukan secara kelompk,
dan permainan ini mayoritas dimainkan oleh anak perempuan. Sifat permainan
pada umunya rekreatif, interaktif, yang mengekspresikan pengenalan tentang
lingkungan, hubungan social, tebak-tebakan, dan sebagainya. Permainan dengan
bernyanyi, berdialog ini, melatih anak dalam bersosialisasi, bersifat responsive,
berkomunikasi, dan menghluskan budi. Berikut ini jenis-jenis permainan yang
termasuk dalam kategori pola bermain dengan bernyanyi, dan berdialog.
CUBLAK-CUBLAK SUWENG

Permainan ini dikenal juga dengan nama cublek-cblek suweng. Dinamakan


Cublak-cublak Suweng mungkin karena pada mulanya yang dicublek-cubek
(ditonjok-tonjokan) adanya seweng (subang) yang terbuat dari tanduk (biasa
disebut uwer). Pemainan biasa diamainkan pada sore dan malam hari (saat bulan
purnama) dengan mengambil tempat di halaman rumah atau di emper (teras)
rumah. Permainan ini kecuali bersifat rekreatif juga mendidik anak untuk menjadi
pemalu (clingus), berani, aktif, mengambil prakarsa, serta mudah bergaul. Tidak
diketahui dimana dan kapan permainan ini muncul pertama kali. Namun, yang
jelas permainan ini hidup di pelosok Jawa Tengah dan Yogyakarta.
Pemain Cublak-cublak Suweng berkisar antar 5 – 7 orang anak dengan
umur berkisar 6-14 tahun. Bagi yang masih berumur 6 – 9 tahu adalah masih
belajar, sedangkan bagi yang berumur 10 – 14 tahun adalah melatih adik-adiknya
yang maih kecil. Permainan Cublak-cublak Suweng memerlukan perlengkapan
sperti suweng (subang) tanduk yang disebut uwer. Bila benda ini sulit didapatkan,
maka diganti dengan kerikil, biji-bijian, atau apa saja yang basarnya mendekati
subang. Selain perlengkapan tersebut, Cublak-cubak suweng dinyayikan para
pemain sewaktu permaian berlangsung, Syair lagu Cublak-cublak Suweng adalah
sebagai berikut:
Cublak-cubak Suweng,
Sewenge ting gelender,
Mambvu ketudhung gudel,
Pak Empong orong-orong,
Pak Empong orong-orong,
Sir sir plak dhele kalpak ora enak,
Sir sir plak dhele kalpak ora enak
Misalnya pemain berjumlah tujuh orng anak (A, B, C, D, E, F,dan G). setelah
dilakukan undian dengan jalan sut maka G-lah yang dadi, sedangkan A, B, C, D,
dan F berstatus mentas. G kemudian duduk timpuh dan bertelungkup dilantai atau
tanah dikelilingi oleh pemain mentas. Salah seorang diantara pemain mentas
ditunjik menjadi Embok’. Kedua belah tangan para pemain mentas tadi diletakkan
di punggung G dalam posisi telapak tanga diatas, begitu para pemain mentas
mulai memyayikan lagu ubalk-cublak Suweng, maka si Embok memegang ‘uwer’
di tangan kanan dan ditempatkan secara berurutan pada semua telapak tangan para
pemain mentas. Pada saat lagu sampai kalimat ‘Pak Empong orong-orong’
semua semua telapak tangan digemgam. Kemudian, pada saat nyantian sampai
kalimat ‘Sir sir plak dhele kalpak’, semua peserta tangannya menggenggam
tetapi telunjuk menjulur keluar dan melakukan gerakan seolah-olah menyisir gula
antara telunjuk kiri dan telunjuk kanan. Perbuatan ini berarti bahwa para pemain
minta kepada G agar menebak dimana letak uwer, dan apabila tidak ketemu
seolah-olah maka mereka menertwakannya. Sedangkan, pada saat lagu sampai
pada kalimat ‘Pak Empong orong-orong’ yang kedua, dia menegakkan badannya
dalam posisi duduk bersimpuh, dan melihat pada gengaman tangan para para
peserta mentas. Dia berusaha menebak dimana letak uwer yang dijalankan oleh
Embok tadi. Apabila G menebaknya tidak tepat, maka G dadi lagi dan permainan
diulang dari awal lagi. Sedangkan apabila menebaknya tepat, maka pemain
tertebak menggenggam tadi berganti menjadi pemain dadi dan G menjadi pemain
mentas. Demikian seterusnya, dan pemain berakhir apabila mereka merasa bosan.
DHOKTRI

Kata Dhoktri diduga berasal dari kata dhatri yang merupakan singkatan dari
legendha dan utri, keduanya nama jenis makanan tradisional Jawa yang terbuat
dari tepung beras. Dugaan ini berdasar pada alasan begitu serngnya nanma-nama
makanan tersebut disebut dalam lagu-lagu yang mengiringi permainan ini. Namun
begitu, kata Dhoktri dapat berasal dari singkatan kodhok dan utri. Kodhok berarti
katak. Alasan kedua ini mendasarkan diri pada adanya kata kodhok disebut juga
lagu iringannya. Pendapat ketiga mengatakan bahwa sebebenarnya kata dhokri
berasal dari kata gotri, yaitu besi bundar yang berguna sebagai peluru.
Pemain dhoktri dapat dilakukan kapan saja diinginkan, dapatpagi, siang,
maupun sore hari. Dhoktri merupakan permainan yang dapat digunakan sebagai
sarana bermasyarakat bagi anak berumur sekitar 7 – 8 tahun, bersifat sederhana,
dan tidak mengandung banyak peraturan.
Dhoktri dapat dilakukan oleh 3- 8 orang anak, namun sesungguhnya oleh
dua orang anak dua orang anakpun dapat pula, namun kurang meriah. Sedangkan
apabila lebih dari 8 oranag anak akan terlampau banyak. Apabila calon pemain
berjumlah lebih dari 8 orang anak, maka sebaiknya dipecah menjadi dua
kelompok. Pemain Dhoktri dapat laki-laki saja, perempuan saja atau laki-laki dan
perempuan secara bersama-sama. Tetapi pada umumnya anak-anak lebih suka
apabila dilakukan oleh jenis kelamin yang sama. Permainan Dhoktri ini dilakukan
oleh anak berumur 8 – 14 tahun. Tetapi agar permainan berjalan seimbang maka
biasanya terbagi menjadi dua kelompok umur yaitu kelompok umur 8 – 10 tahun
dan kelompok 11 – 14 tahun. Permainan ini bukanlah permainan khas golongan
tetentu maupun wilayah tertentu.
Permainan ini membutuhkan perlatan yang sangat sederhana. Peralatan
yang diperlukan adalah kreweng atau wingko (pecahan tembikar) atau batu kecil
sebanyak jumlah pemain dikurangi satu dan sebuah bau yang lebih besar yang
berfungsi sebagai kodhok (katak). Tempat bermain berupa segi empat atau
bulatan bergaris tengah kurang lebig 40- 100 sentimeter. Tempat ini kemudian
terbagi sejumlah peserta. Selain itu diperlukan pula sebidang halaman untuk
bersembunyi.
Permainan Dhoktrin disertai lagu pengiring yang dinyanyikan bersama tyanpa
iringan instrument. Lagu Dhoktrin dinyanyikan saat permainan berlangsung.
Adapun syair lagu adalah sebagai berikut:
Dhoktrin leghenda nagasari, ri,
Riwul owal-awul jenang katul, tul,
Tolen alen-alen jadah manten, ten,
Titenana besuk gedhe dadi apa, pa,
Podheng mbako enak mbako sedheng. Dheng,
Dhengok eyak-eyok kaya kodhok.

Jalannya permainan
Setelah anak-anak yang ingin bermain berkumpul, mereka lalu
mempersiapkan tempat bermaun berupa bulatan atau segi empat bergaris tengah
40 – 100 cm. kemudian bulatan atau segi empat tadi dibagi-bagi dalam peta petak
sesuai dengan jumlah peserta permainan. Kemudian mereka mencari pecahan
tembikar atau batu kecil sebanyak jumlah peserta dikurangi satu, dan sebuah batu
yang lebih besar. Batu yang besar ini berfungsi sebagai kodhok (katak) dalam
permainan.
Sebelum permainan dilanjutkan maka harus diketahui peraturan permainan
yang sudah lazim yaitu:
1. Barang siapa yang ketempatan kodhok maka dianggap kalah.
2. Pemain yang kalah wajib menyusun pecahan tembikar / batu kecil
milik peserta yang menang dengan batu kodhok diatasnya, sementara
itu pemain yang menang bersembunyi.
3. Begitu selesai menghitung batu tadi amaka yang kalah tadi secepatnya
mencari pemain yang bersembunyi.
4. Bila yang bersembunyi telah ditemukan semua, maka permainan
dimulai kembali.
Pertama-tama semua pemain (missal A, B, C, D, E, dan F) duduk
mengitari bulatan/segi empat yang telah terbagi menjadi ena bidang sesuai dengan
jumlah pemain. Satu diantaranya memegang batu besar (kodhok). Para pemain
menyanyikan lagu Dhoktrin sambil menggerakan batu kecil/pecahan tembikar dan
batu kodhok ke pemain di sebelah kanannya. Apabila nyanyian berahir pada kata
kodhok maka berhenti pula sirkulasi pecahan tembikan/batu kecil beserta batu
kodhoknya. Di ruang siapa tempa berhentinya batu kodhok itu maka pemain
itulah yang dadi (kalah). Misalnya batu berhenti pada C, maka A, B, D, E dan F
segera berlari bersembunyi di halaman rumah tersebut (tidak boleh keluar dari
halaman rumah). C sebagai pemain yang kalah wajib mengumpulkan/menumpuk
batu kecil/pecahan tembikar beserta batu kodhoknya terletak paling atas. Setelah
selesai menyusun, C segera mencari pemain yang bersembunyi. Apabila semua
peserta yang bersembunyi telah ditemukan, maka berahirlah permainan ini.
Selanjutnya apabila masih diinginkan permainan dapat dimulai lagi dari
permulaan, dan batu kodhok berada pada pemain yang baru saja kalah.
Kewajiban bagi pemain yang kalah adalah menyusun batu/pecahan
tembikar dan batu kodhok serta mencari lawannya yang bersembunyi sampai
ketemu. Di samping itu dapat pula ditambah dengan kewajiban menyanyi.
Sedangkan bagi yang menang ia harus menyembunyikan diri dan berusaha agar
tidak dapat ditemukan oleh pemain yang kalah. Bila ada hukuman menyanyi maka
pihak yang menang berhak menentukan judul lagu yang harus dinyanyikan oleh
pihak yang kalah.
DHAKON

Kata Dhakon kemungkinan berasal dari kata dhaku dan mendapat akhiran
an. Dhaku berarti mengaku bahwa sesuatu itu miliknya. Jadi dalam permainan ini
dikandung tujuan bahwa si pemain berusaha mengaku bahwa sesuatu itu adalah
miliknya. Permainan Dhakon adalah betul-betul murni permainan ank-anak.
Permainan ini dilaksanakan pada aat tidak ada kesibukan. Jadi dapat pagi, siang,
sore, maupun malam hari. Di mana permainan ini akan dilangsungkan juga tidak
menjadi masalah, karena permainan ini tidak memerlukan tempat yang luas.
Dapat dilakukan di lantai, di halaman rumah, di teras rumah, di atas balai-balai
atau meja. Bahkan permainan ini dapat dilakukan mengerjakan pelajaran lain,
misalnya momong ataun masak di dapur.
Permainan berlatar kehidupan bertani. Jadi disini digambarkan bagaimana
lumbung. Sawah yang tidak digunakan dinamakan bera. Sawah yang hasilnya
sangat kurang dinamakan ngacang nandur kacang. Jadi permainan ini bersifat
mendidik bagaimana cara mengelola rumahtangga yang baik. Cara hidup berumah
tangga yang baik haruslah hemat, ulet, dan teliti.
Pada mulanya dhakon adalah permainan anak petani. Namun dalam
perkembangan selanjutnya ternyata dhakon telah baik derajat menjadi permainan
priyayi dan bangsawan, dan akhirnya sejarang dhakon telah menjadi permainan
seluruh lapisan masyaraka. Diceritakan pada masa menjalankan perang melawan
Belanda, keluarga Pangeran Diponegoro sering bermain dhakon di Kubu
Sambiroto, Kulon progo. Guna mengenang hal tesebut maka dimusium Sasana
Wiratama Tegalreja kini terdapat sebuah alat bermain dhakon. Bukti lain yang
menunjukan bahwa dhakon adalah permainan para bangsawan adalah adanya alat
bermain dhakon berukir buatan zaman Sri Sultan Hamengkubuwana VII. Sampai
dengan awal abad XX permainan Dhakon atau bermain dhakon di tanah/lantai.
Akan tetapi memasuki tahun 1940-an permainan dhakon mulai kehilangan daya
tarinya. Walaupun begitu permainan dhakon masih hidup sampai sekarang.
Pemain dhakon berjumlahdua orang. Permainan dhakon sebenarnya
adalah semestinya anak perempuan dan biasanya paling muda berumur 8 tahun
hingga dewasa. Namun kadang banyak terdapat anak laki-laki juga bermain
dhakon. Permainan ini ini melatih anak untuk ulet, hemat, dan teliti. Anak dilatih
untuk selalu megejar untung dan menabung di lumbung. Tidak boleh ngacang
apalagi bera.
Alat permainan dhakon dinamakan dhakon. Berhubung dhakon adalah
permainan dari anak petani hingga anak raja, maka dhakon pun beragam menurut
kemampuan empunya. Ada yang terbuat dari temabaga atau kayu berukir, kayu
sengonbiasa tanpa hiasan ukiran, membuat lubang dari tanah, sampai hanya
berupa gambaran bulatan dari kapur/batu merah di lantai semen. Pada perinsipnya
ada lubang untuk sawah ada lubang untuk lumbung. Lubang untuk sawah terdiri
dari dua baris, masing masing berjumlah 5, 7, 9, atau 11, dan terletak diantara dua
lumbung, lubang untuk sawah lebih kecil daripada lubang untuk lumbung,
sedangkan untuk isinya dapat digunakan benik (buah baju), kecik (biji sawo),
klungsu (biji sawo), kerikil, kecik tanjung (biji tanjung), dam lain sebagainya.
Jumlah isian ini tergantung dari jumlah jumlah lubang sawahnya.
Bila dhakon berswah tujuh maka isinya sebanyak 7 x 7 x 2 = 98 biji, bila
bersawah sembilan maka isinya = 9 x 9 x 2 = 162 biji, bila sawah berjumlah
sebelas lubang maka diperlukan isian sebanyak 11 x 11 x 2 = 234 biji.
Jalannya permainan
Karena jumlah sawah adalah 9 lubang maka jumlah isian yang disiapkan
adalah 9 biji x 9 biji x 2 pemain = 162 biji. Semua sawah diisi dengan isian
masing-masing sembilan biji. Mula-mula Tini dan Tina melakukan undian dengan
cara sut untuk menentukan siapa yang saku (jalan atau main) terlebih dahulu.
Misalnya yang menang sut adalah Tini, maka Tini saku (main) terlebih dahulu.
Tini mengambil sumua isi sawah A (9 biji), kemudian mengisinya kelubang B, C,
D, E, F, G, H, I, dan lumbung T masing masing sebiji. Kemudian melakukan hal
yang sama dengan Tini mengisinya masing-masing sebiji dari K samapai lumbung
S. Kemudian Tini dan Tina Saku lagi, mengambilnya dari sawah mana terserah
mereka. Misalnya Tini saku dari sawah G, sedangkan Tina saku dari sawah R,
semua sawah diisi kecuali lumbung musuh. Lama-lama salah satu dari mereka
(Tini dan Tina) hanya memilki satu biji, isinya jatuh di sawah yang kosong, ini
disebut andhok, berhenti. Sedangkan yang jatuh pada sawah yang berisi maka
semua biji yang ada di sawah tersebut diambil semua dan meneruskan saku.
Andhok
Terdapat dua macam andhok yaitu: gotongan dan pikulan dan bedhilan.
Bila Tini jatuh andhok pada sawah sendiri, sedang sawah musuh terletak lurus di
depannya berisi kecik, maka semua kecik tadi diambil Tini dimasukkan ke
lumbungnya ini disebut bedhilan. Pada bedhilan ini kalau andhok kebetulan pada
sawah musuh maka Tini tidak mendapatkan apa-apa. Sedangkan bila terjadi pada
sawah musuh, sedang sawah kiri dan kanannya berisi berisi kecik maka kecik
berada di sawah kiri dan kanan andhok tadi diambil semua dan dimasukkan ke
dalam lumbung Tini. Inilah yang dinamakan gotongan atau pikulan
Bila terjadi andhok pada sawah sendiri, maka yang saku berganti. Jadi bila
Tini jatuh andhok, maka Tina ganti saku. Bila Tina andhok maka Tini ganti saku,
demikian seterusnya. Setelah bergantian saku, maka barangsiapa yang keciknya
habis terlebih dahulu maka dia disebut kalah saku. Ini berarti bila mulai lagi maka
yang kalah saku tadi baru akan saku bila lawannya telah andhok. Dalam keadaan
ini yang menang disebut menang saku.

Ngacang
Bila mulai lagi dan ternyata kecik tidak dapat sembilan semua, ada yang
kurang dan ada yang lebih dari sembilan, maka yang kurang dari sembilan
ditempatkan pada sawah dekat lumbung, dan disebut kacangan. Ini berarti dia
menanam kacang, dan ini berfungsi sebagai lumbung kecil. Dalam hal begini
maka diisi oleh yang memiliki, tidak diisi oleh lawan dan tidak dapat dibedhil
ataupun dipikul. Kacangan ini tidak mungkin dua sawah, tentu hanya satu tempat.

Bera
Bila mulai lagi dan ternyata kekurangan jumlah kecik melebihi sembilan,
misalnya 12 biji, maka terdapat satu sawah yang kosong. Tujuh sawah berisi
masing-masing sembilan biji, sebuah sawah dekat lumbung berisi tiga biji, dan
terdapat sawah kosong. Maka sawah yang kosong disebut bera, danyang berisi
tiga biji disebut kacangan atau menanam kacang. Sawah beratidak diisi oleh
pemiliknya (tidak ditanami) dan juga tidak diisi oleh lawan. Apabila lawan lupa
sehingga mengisi sawah bera tadi, maka sawah bera berubah menjdi tidak bera,
berarti menjadi sawah hidup. Demikian permainan dilakukan.
BERMAIN DAN ADU KETANGKASAN

Jenis permainan ini lebih banyak mengandalkan ketahanan dan kekuatan


fisik, membutuhkan alat permainan walaupu sederhana, dan tempat bermain yang
relatif luas. Permainnanya bersifat kompetitif, yang pada umumnya lebih banyak
dimainkan oleh anak laki-laki. Pola permainan jenis ini pada umumnya berakhir
dengan posisi pemain menang – kalah; mantas – dadi, dan ada sanksi hukuman
bagi yang kalah diantaranya yaitu mengendong yang menang, yang kalah
menyanyi, atai yang kalah ‘dicablek’, yang kalah harus menyerahkan biji
permainnanya, yang kalah mengejar yang menang.

You might also like