You are on page 1of 6

c 


Globalisasi, Achmad Suparman menyatakan Globalisasi adalah suatu proses
menjadikan sesuatu (benda atau perilaku) sebagai ciri dari setiap individu di dunia
ini tanpa dibatasi oleh wilayah. Sebenarnya, globalisasi belum memiliki definisi yang
pasti karena mencakup banyak aspek dan kekompleksan sifatnya, sehingga
bergantung dari sisi mana orang melihatnya. Sebagai bukti, ada yang menyebut
globalisasi di bidang budaya atau di bidang ekonomi, atau di bidang informasi dan
sebagainya. Dampak dari adanya globalisasi ini amat banyak dan beragam. MNC
atau multinational corporation atau di dalam bahasa Indonesia dikenal sebagai
perusahaan multinasional adalah salah satunya. Dalam perkembangannya,
disamping memberikan manfaat bagi perekonomian suatu negara ternyata
perusahaan multinasional juga turut berperan sebagai penghambat karena dampak
negatif yang ditimbulkannya. Terlepas dari perdebatan mana yang lebih dominan,
manfaat atau kerugiannya, yang pasti harus dipikirkan bersama cara -cara untuk
menanggulangi dampak negative dari adanya perusahaan multinasional.

         


Salvatore, dalam bukunya Ekonomi Internasional jilid 1, menyebutkan bahwa
perusahaan multinasional ialah badan usaha yang memiliki, mengendalikan, dan
atau mengelola fasilitas-fasilitas produksi yang tersebar di sejumlah negara. Dari
definisi ini paling tidak bisa dibayangkan bahwa perusahaan multinasional adalah
perusahaan yang berskala besar, gross profit yang luar biasa, serta melibatkan
manajemen yang kompleks. Pada kenyataannya, memang secara keseluruhan
perusahaan multinasional menguasai lebih dari 20 persen output dunia dan nilai
transaksi perdagangannya mencapai lebih dari 25 persen dari keseluruhan transaksi
perusahaan manufaktur di dunia. Mungkin juga bisa dikatakan bahwa
perkembangan yang paling penting dalam hubungan ekonomi internasional dalam
dua atau tiga dasawarsa ini adalah perusahaan multinasional dimana lonjakan yang
mengagumkan atas kekuatan dan pengaruh berhasil mereka ciptakan. Terlihat dari
mendunianya produk-produk, misal, Microsoft, Honda, Toshiba, Exxon, Toyota ,
Sony dsb. Bahkan gross profitnya bisa melebihi PDB suatu negara. Sehingga,
Indonesia sebagai salah satu negara yang berdaulat yang berusaha memakmur kan
rakyatnya juga tidak bisa menutup mata terhadap adanya perusahaan multinasional
ini. Dimana seringkali disini perusahaan multinasional dihujat sebagai imperialis
model baru, penghisap kekayaan alam,dsb. Tentu hal ini tidak terlepas akibat
eksternalitas negative yang ditimbulkan akibat dizinkannya perusahaan
multinasional beroperasi di Indonesia. Hal-hal seperti ini tidak hanya negara
Indonesia saja yang mengalaminya, tetapi juga di banyak negara baik sebagai tuan
rumah maupun negara asal perusahaan. Tetapi, pelarangan perusahaan
multinasional juga bukan langkah bijak yang diambil karena disamping memiliki
sisi negative perusahaan multinasional juga memiliki banyak sisi positif, belum lagi
pengucilan internasional jika langkah ini diambil oleh pemerintah. Sehingga, hal
yang terbaik adalah memikirkan suatu cara-cara untuk menanggulangi dan
meminimalisasi dampak-dampak negative tadi.

      


Alasan utama banyaknya negara berhati -hati sebelum mengizinkan operasi suatu
perusahaan multinasional di negaranya adalah dampak -dampak negatif yang
mungkin ditimbulkannya. Salvatore paling tidak menyebutkan 6 dampak ini di
dalam bukunya,

Terhadap negara asal

1. Hilangnya sejumlah lapangan kerja domestik. Ini karena perusahaan


multinasional mengalihkan sebagian modal dan aktivitas bisnisnya ke luar
negeri.
2. Ekspor teknologi, yang oleh sebagian pengamat, secara perlahan -lahan akan
melunturkan prioritas teknologi negara asal dan pada akhirnya mengancam
perekonomian negara bersangkutan.
3. Kecenderungan praktik pengalihan harga sehingga mengurangi pemasukan
perpajakan
4. Mempengaruhi kebijakan moneter domestik.
Terhadap negara tuan rumah:

1. Keengganan cabang perusahaan multinasional untuk mengekspor suatu produk


karena negara tersebut bukan mitra dagang negara asalanya.
2. Mempengaruhi kebijakan moneter negara yang bersangkutan.
3. Budaya konsumsi yang dibawa perusahaan tersebut bisa mengubah budaya
konsumsi konsumen local dan pada akhirnya mematikan unit -unit usaha
tradisional.
Dan tentu saja dampak-dampak lainnya masih banyak mengingat masalah ini adalah
masalah yang kompleks. Mulai dari politik yang mempengaruhinya, belum lagi
bidang lainnya yang mempengaruhi dan dipengaruhi baik di bidang sosial, budaya,
pendidikan dan sebagainya.

       


Perusahaan multinasional, seperti halnya perusahaan komersial lainnya akan tetap
dan selalu bersifat profit oriented. Disini akan timbul suatu masalah dalam
kaitannya dengan penanggulangan dampak negative perusahaan multinasional.
Program-program penanggulangan dampak negative, bisa dicontohkan asuransi
kesehatan pegawai, pajak lingkungan hidup (di luar negeri), jamsostek, reservasi
lingkungan, akan dianggap sebagai suatu inefisiensi karena sifat profit orientednya
tadi, dimana perusahaan berusaha mencari keuntungan yang sebesar -besarnya
sebagai bentuk pertanggungjawabannya terhadap shareholder. Sehingga tidak akan
tercapai titik temu antara tujuan perusahaan dengan tujuan masyarakat. Disinilah
pemerintah mengambil peranannya. Namun, tidak selamanya hal ini bisa dilakukan
oleh pemerintah apalagi pemerintah yang korup. Demi peningkatan usaha
penanggulangan dampak negatif MNC, harus dicari akar masalah dari hambatan
atas penanggulangan ini. Ekonom dan peraih nobel, Joseph E stiglitz dalam bukunya
Making Globalization Works (2006) mengemukan 4 dilema yang dialami
perusahaan sehingga mereka sebenarnya tidak mau melakukan usaha
penanggulangan dampak negatif atas aktivitas yang mereka lakukan.

1. Sifatnya yang profit oriented, sebagaimana penjelasannya di atas.


2. Kompetisi. Ini mengakibatkan perusahaan harus melakukan operasi seefisien
mungkin dengan cara menghasilkan untung yang sebesar -besarnya dan menekan
biaya dalam waktu singkat agar dapat tetap survive. Dalam kondisi seperti i ni,
tentu perusahaan akan menghindari segala biaya yang tidak esensial bagi operasi
seperti, misalkan biaya pembangunan rumah sakit bagi warga sekitar.
3. Kekuatan ekonomi dan politik, mengingat kekuatan peusahaan multinasional
yang luar biasa secara ekonomi dan politik, perusahaan semacam ini bisa saja
³membeli´ negara-negara yang memang sedang membutuhkan modal dari
mereka. Contohnya Freeport di Papua dan Exxon di Aceh. Dilema akan terjadi
karena semakin perusahaan ini berperan dalam pembangunan sosial ekono mi
semakin pembangunan ditentukan oleh praktik -praktik untuk memenuhi interest
dari perusahaan tersebut. Misalnya Freeport memang membangun rumah-rumah
sakit,jalan sekolah, tetapi warga sekitar tetap mengeluh. Mereka mengeluh
karena kenyataannya fasilitas-fasilitas tersebut untuk melayani kepentingan
pegawai dan staf perusahaan saja.
4. Kolusi perusahaan-pemerintah. Perusahaan bisa melakukan lobi-lobi kepada
para birokrat, baik daerah maupun pusat untuk membuat undang -undang yang
memenuhi interest dan kebutuhan mereka. Tidak jarang biaya untuk melakukan
lobi-lobi ini melebihi biaya investasi lainnya. Perusahaan perminyakan seringkali
mengurangi biaya kompensasi dan konservasi alam dengan cara menyuap
pejabat publik. Lagipula kebijakan tersebut adalah banyak dip engaruhi pejabat
publik dan perusahaan saja, tetapi minim partisipasi masyarakat sehingga tidak
jarang mengabaikan hak-hak publik. Contoh yang bagus adalah kasus Freeport di
Indonesia, ³Dalam 20 tahun berikutnya, proses pemakaian tanah yang tidak
transparan²dan pemindahan paksa komunitas lokal ²berlanjut pada 1995,
anggota-anggota masyarakat memahami untuk pertama kalinya bahwa,
menurut sumber-sumber pemerintah, mereka telah menyerahkan tanah-tanah
ulayat di wilayah Timika (hampir 1 juta hektar) kepada peme rintah untuk
penempatan transmigrasi, termasuk kota Timika dan lokasi Freeport yang
baru, Kuala Kencana.´ (Aderito de Jesus Soares, jurnal LIBERTASAUN V/2005)
Dari akar masalah di atas paling tidak bisa dirumuskan 3 pendekatan dalam
menanggulangi masalah di atas sebagai berikut:

1. Pendekatan hukum. Dilema perusahaan akan profit oriented dapat dicegah
melalui legislasi, dimana peraturan perundang-undangan yang mengikat semua
pihak akan menempatkan perusahaan pada standar yang sama. Perusahaan yang
berbisnis dengan standar tinggi pasti akan menyambut baik hal ini. Perusahaan
yang berbisnis dengan standar tinggi, dalam menjalankan praktiknya akan
memperhatikan etika berbisnis (code of conduct). Peraturan dan legislasi akan
melindungi perusahaan tersebut terhadap kompetisi yang tidak fair dari
perusahaan yang tidak memenuhi standar yang sama. Pentingnya peraturan dan
hukum ini, seperti dikatakan oleh stiglitz, ³tanpa tekanan peraturan pemerintah
dan masyarakat, korporasi enggan melindungi dampak lingkungan secar a
memadai. Sejatinya mereka memiliki motivasi untuk merusak lingkungan
hidup jika hal tersebut dapat menyelamatkan uang mereka´
2. Pendekatan sosial dan etika. Pendekatan lainnya untuk menjamin
pertanggungjawaban publik perusahaan multinasional ialah melalui berbagai
macam tekanan sosial dan etik masyarakat. Paling tidak ada 4 kelompok yang
dapat mengadakan presure antara lain, konsumen, investor, pekerja dan LSM.
Menurut Wegner-Tsukamoto, kelompok ini dapat menciptakan apa yang disebut
³ethical capital´ yang artinya nilai yang merasuki empat kelompok tadi untuk
melakukan gerakan moral secara aktif. Contoh nyatanya adalah boikot yang
dilakukan Gandhi, tentu saja diikuti pengikutnya, atas perusahaan kapas
kolonialis Inggris di India, kemudian boikot partai soli daritas buruh di Glasgow
atas perusahaan galangan kapal. Kemudian, contoh dari LSM yang memberikan
tekanan adalah yang sering didengar tentang kampanye ³blood diamond´ di
Sierra atau ³Dirty Oil´ di Nigeria yang cukup efektif menarik perhatian dunia
sehingga perusahaan multinasional yang bersangkutan tidak bisa seenaknya
sendiri. Kasus di Indonesia yang terkenal adalah kasus Freeport di mana LSM
bentukan masyarakat/ suku lokal bernama LEMASA (Lembaga Masyaraka Adat
Komoro) mengajukan gugatannya di pengadila n New Orleans, kota dimana
kantor pusat Freeport berada.
3. Rahmad Paul, master pada Conflict Transformation di Center for Justice and
Peacebuilding Eastern Mennonite University, US menyarankan pendekatan
melalui transformasi konflik. Konflik itu seperti pedang bermata dua, di satu sisi
bisa menghambat tetapi jika dikelola dengan baik dapat menjadikannya sesuatu
yang konstruktif. Kalau dinamika konflik dikelola secara tepat akan berdampak
pada perubahan sosial yang transformative dan significant bagi kepen tingan
rakyat banyak. Negosiasi dan mediasi konflik merupakan cara pendekatan yang
berprinsip pada nonkekerasan dan dialog untuk mengakomodasi kepentingan
semua pihak yang bertikai. Para pihak yang berkonflikperlu duduk bersama dan
setara di meja perundingan negosiasi guna mencari titik temu dan menjembatani
perbedaan persepsi dan kepentingan dan secara bersama-sama membangun
consensus yang membangun dan mengakomodasi semua pihak.
Adapun Nopirin, Ph.D dalam bukunya ekonomi internasional jilid 3
mengungkapkan setidaknya ada 5 cara dalam hal pengaturan perusahaan
multinasional demi penghindaran efek buruk yang mungkin terjadi:

1. Pengaturan tentang masuknya MNC. Pengaturan meliputi penilaian tentang


kemungkinan efek suatu perusahaan multinasional di masa yang akan datang
terhadap politik dan ekonomi negara yang bersangkutan. Jika penilaian ini
menunjukkan kemungkinan yang sangat buruk atau dengan kata lain
kerugiannya lebih besar daripada keuntungannya, maka perusahaan
multinasional tersebut ditolak kehadirannya.
2. Penentuan sektor-sektor tertentu yang sudah tertutup untuk investasi asing atau
penentuan pemilikan, sehingga memberi peluang pada wiraswasta local untuk
ikut melakukan kegiatan atau mengambil keputusan.
3. Negara penerima dapat mengatur kegiatan perusaha an multinasional dengan
cara membatasi bahan yang diimpor, penentuan harga produk, pengaturan
tentang kredit, pemilikan serta pengaturan tentang efeknya terhadap lingkungan.
4. Negara penerima melakukan pengaturan tentang keuntungan yang boleh
dikirimkan kembali ke negara induk.
5. Negara penerima dapat melakukan nasionalisasi perusahaan multinasional.
Biasanya ini adalah tindakan terakhir yang dilakukan suatu negara dan harus
dipertimbangkan secara hati-hati karena hal ini dapat melenyapkan minat
investor untuk berinvestasi di masa-masa yang akan datang.
Pada kenyataannya, memang suatu negara tidak akan membiarkan perusahaan
multinasional untuk sertamerta masuk dan beroperasi di wilayahnya. Akan banyak
terdapat pembatasan-pembatasan. Negara Kanada misalnya, saat ini menerapkan
tingkat pajak yang lebih tinggi terhadap anak atau cabang perusahaan asing,
termasuk perusahaan patungan, dengan jumlah saham yang dikuasai warga Kanada
kurang dari 25%. India secara ketat membatasi sector -sektor industry yang boleh
menerima penanaman modal asing secara langsung. Beberapa negara berkembang
bahkan tidak memperbolehkan perusahaan yang sahamnya dikuasai 100% oleh
pihak asing.

ð 
Perusahaan multinasional sebagai pengaruh globalisasi di abad ini tidak akan penah
bisa dihindari sebab selain banyak dikecam juga tidak salah kiranya disebutkan
memberikan manfaat yang berguna bagi kesejahteraan bangsa. Yang menjadi fokus
pengaturan adalah bagaimana penanggulangan terhadap efek -efek negatif yang
mungkin muncul sehingga semakin memaksimalkan kesejahteraan rakyat.
Penanggulangan ini bisa dilakukan dengan berbagai macam cara. Akhirnya
penanggulangan ini akan memberikan pelajaran pada perusahaan multinasional,
sebagaimana yang dikatakan Brata T. Hardjosubroto ( 4ead of Public
Relation Nestle Indonesia ), ³Reputasi buruk memberi dampak negatif bagi suatu
perusahaan multinasional. Reputasi buruk yang diterima oleh suatu perusahaan
tidak bisa mendapatkan sangsi pelanggaran hukum, tetapi mencoreng nama baik
perusahaan tersebut´. Sehingga diharapkan dengan adanya penanggulangan ini,
dengan sendirinya akan tercapai titik temu tentang apa yang diinginkan masyarakat
dengan tujuan perusahaan


You might also like