You are on page 1of 13

c  

Adalah tari tradisional , seni budaya Minahasa ± Sulawesi Utara yang dari Zaman dulu kala
sampai saat ini terus dikembang. Tari Maengket sudah ada ditanah Minahasa sejak rakyat
Minahasa mengenal pertanian. Tari maengket dilakukan pada saat sedang panen hasil pertanian
dengan gerakan-gerakan sederhana. Sekarang tarian Maengket telah berkembang teristimewa
bentuk dan tarinya tanpa meninggalkan keasliannya.

Tari Maengket terdiri dari 3 babak yaitu : Maowey Kamberu, Marambak, Lalayaan


   adalah suatu tarian yang dibawakan pada acara
pengucapan syukur kepada Tuhan yang Maha Esa, dimana hasil pertanian terutama tanaman padi
yang berlipat ganda/banyak.
    adalah tarian dengan semangat kegotong-royongan, rakyat Minahasa Bantu
membantu membuat rumah yang baru. Selesai rumah dibangun maka diadakan pesta naik rumah
baru atau dalam bahasa daerah disebut ³rumambak´ atau menguji kekuatan rumah baru dan
semua masyarakat kampong diundang dalam pengucapan syukur.
   adalah tari yang melambangkan bagaimana pemuda-pemudi Minahasa pada zaman
dahulu akan mencari jodoh mereka. Tari ini juga disebut tari pergaulan muda-mudi zaman
dahulu kala di Minahasa.[suaramanado.com]


 
  
 

Langsung ke: navigasi, cari

SEJARAH & PERKEMBANGANNYA

Kolintang merupakan alat musik khas dari Minahasa (Sulawesi Utara) yang mempunyai bahan
dasar yaitu kayu yang jika dipukul dapat mengeluarkan bunyi yang cukup panjang dan dapat
mencapai nada-nada tinggi maupun rendah seperti kayu telur, bandaran, wenang, kakinik atau
sejenisnya (jenis kayu yang agak ringan tapi cukup padat dan serat kayunya tersusun sedemikian
rupa membentuk garis-garis sejajar).

Kata Kolintang berasal dari bunyi : Tong (nada rendah), Ting (nada tinggi) dan Tang (nada
tengah). Dahulu Dalam bahasa daerah Minahasa untuk mengajak orang bermain kolintang:
"Mari kita ber Tong Ting Tang" dengan ungkapan "Maimo Kumolintang" dan dari kebiasaan
itulah muncul nama "KOLINTANG´ untuk alat yang digunakan bermain.

Pada mulanya kolintang hanya terdiri dari beberapa potong kayu yang diletakkan berjejer diatas
kedua kaki pemainnya dengan posisi duduk di tanah, dengan kedua kaki terbujur lurus kedepan.
Dengan berjalannya waktu kedua kaki pemain diganti dengan dua batang pisang, atau kadang-
kadang diganti dengan tali seperti arumba dari Jawa Barat. Sedangkan penggunaan peti sesonator
dimulai sejak Pangeran Diponegoro berada di Minahasa (th.1830). Pada saat itu, konon peralatan
gamelan dan gambang ikut dibawa oleh rombongannya. Adapun pemakaian kolintang erat
hubungannya dengan kepercayaan tradisional rakyat Minahasa, seperti dalam upacara-upacara
ritual sehubungan dengan pemujaan arwah para leluhur. Itulah sebabnya dengan masuknya
agama kristen di Minahasa, eksistensi kolintang demikian terdesak bahkan hampir menghilang
sama sekali selama 100th.

Sesudah Perang Dunia II, barulah kolintang muncul kembali yang dipelopori oleh Nelwan
Katuuk (seorang yang menyusun nada kolintang menurut susunan nada musik universal). Pada
mulanya hanya terdiri dari satu Melody dengan susunan nada diatonis, dengan jarak nada 2
oktaf, dan sebagai pengiring dipakai alat-alat "string" seperti gitar, ukulele dan stringbas.

Tahun 1954 kolintang sudah dibuat 2 ½ oktaf (masih diatonis). Pada tahun 1960 sudah mencapai
3 ½ oktaf dengan nada 1 kruis, naturel, dan 1 mol. Dasar nada masih terbatas pada tiga kunci
(Naturel, 1 mol, dan 1 kruis) dengan jarak nada 4 ½ oktaf dari F s./d. C. Dan pengembangan
musik kolintang tetap berlangsung baik kualitas alat, perluasan jarak nada, bentuk peti resonator
(untuk memperbaiki suara), maupun penampilan. Saat ini Kolintang yang dibuat sudah mencapai
6 (enam) oktaf dengan chromatisch penuh.

PERALATAN & CARA MEMAINKAN Setiap alat memiliki nama yang lazim dikenal. Nama
atau istilah peralatan Musik kolintang selain menggunakan bahasa tersebut diatas juga memiliki
nama dengan menggunakan bahasa Minahasa, dan untuk disebut lengkap alat alat tersebut
berjumlah 9 buah. Tetapi untuk kalangan professional, cukup 6 buah alat sudah dapat
memainkan secara lengkap. Kelengkapan alat tersebut sebagai berikut:

B - Bas = Loway C - Cello = Cella T - Tenor 1 = Karua - Tenor 2 = Karua rua A - Alto 1 = Uner
- Alto 2 = Uner rua U - Ukulele = Katelu M - Melody 1 = Ina esa - Melody 2 = Ina rua - Melody
3 = Ina taweng

MELODY Fungsi pembawa lagu, dapat disamakan dengan melody gitar, biola, xylophone, atau
vibraphone. Hanya saja dikarenakan suaranya kurang panjang, maka pada nada yang dinginkan;
harus ditahan dengan cara menggetarkan pemukulnya( rall). Biasanya menggunakan dua
pemukul, maka salah satu melody pokok yang lain kombinasinya sama dengan orang menyanyi
duet atau trio (jika memakai tiga pemukul). Bila ada dua melody, maka dapat digunakan bersama
agar suaranya lebih kuat. Dengan begitu dapat mengimbangi pengiring (terutama untuk Set
Lengkap) atau bisa juga dimainkan dengan cara memukul nada yang sama tetapi dengan oktaf
yang berbeda. Atau salah satu melody memainkan pokok lagu, yang satunya lagi improvisasi.

CELLO Bersama melody dapat disamakan dengan piano, yaitu; tangan kanan pada piano diganti
dengan melody, tangan kiki pada piano diganti dengan cello. Tangan kiri pada cello memegang
pemukul no.1 berfungsi sebagai bas, sedangkan tangan kanan berfungsi pengiring (pemukul no.2
dan no.3). Maka dari itu alat ini sering disebut dengan Contra Bas. Jika dimainkan pada fungsi
cello pada orkes keroncong, akan lebih mudah bila memakai dua pemukul saja. Sebab fungsi
pemukul no.2 dan no.3 sudah ada pada tenor maupun alto.

TENOR I & ALTO I Keenam buah pemukul dapat disamakan dengan enam senar gitar.

ALTO II & BANJO Sebagai ukulele dan "cuk" pada orkes keroncong.

ALTO III (UKULELE) Pada kolintang, alat ini sebagai µcimbal¶, karena bernada tinggi. Maka
pemukul alto III akan lebih baik jika tidak berkaret asal dimainkan dengan halus agar tidak
menutupi suara melody (lihat petunjuk pemakaian bass dan melody contra).

TENOR II (GITAR) Sama dengan tenor I, untuk memperkuat pengiring bernada rendah.

BASS Alat ini berukuran paling besar dan menghasilkan suara yang paling rendah.

SUSUNAN ALAT Lengkap (9 pemain) : Melody - Depan tengah Bass - Belakang kiri Cello -
Belakang kanan Alat yang lain tergantung lebar panggung (2 atau 3 baris) dengan
memperhatikan fungsi alat (Tenor & Alto).

NADA NADA DASAR Nada nada dalam alat kolintang sebagai berikut:

C = 1 3 5 Cm = 1 2 5 D = 2 4 6 Dm = 2 4 6 E = 3 5 7 Em = 3 5 7 F = 4 6 1 Fm = 4 5 1 G = 5 7 2
Gm = 5 6 2 A = 6 1 3 Am = 6 1 3 B = 7 2 4 Bm = 7 2 4

Sedangkan chord lain, yang merupakan pengembangan dari chord tersebut diatas, seperti C7 = 1
3 5 6, artinya nada do diturunkan 1 nada maka menjadi le . Sehingga saat membunyikan 3 bilah
dan terdengar unsur bunyi nada ke 7 dalam chord C, maka chord tersebut menjadi chord C7.
Demikian pula dengan chord yang lain.

CARA MEMEGANG PEMUKUL/ STICK KOLINTANG

Memegang Pemukul Kolintang, memang tidak memiliki ketentuan yang baku, tergantung dari
kebiasaan dan kenyamanan tangan terhadap stik. Tetapi umumnya memegang stick kolintang
dilakukan dengan cara : No. 1 Selalu di tangan kiri No. 2 Di tangan kanan (antara ibu jari dengan
telunjuk) No. 3 Di tangan kanan (antara jari tengah dengan jari manis) ± agar pemukul no.2 dapat
digerakkan dengan bebas mendekat dan menjauh dari no.3, sesuai dengan accord yang
diinginkan. Dan cara memukul dan disesuaikan dengan ketukan dan irama yang diinginkan, dan
setiap alat memiliki, ciri tertentu sesuai fungsi didalam mengiringi suatu lagu. Pada alat Bass dan
alat Melody umumnya hanya menggunakan 2 stick, sehingga lebih mudah dan nyaman pada
tangan. ( Nomor nomor tersebut diatas telah tertera disetiap pangkal pemukul stick masing
masing alat kolintang)

Teknik Dasar memainkan stick pada bilah kolintang sesuai alat dan jenis irama

Dari sekian banyak irama dan juga lagu yang ada, beberapa lagu sebagai panduan untuk
memainkan alat musik kolintang disertakan dalam materi ini. Seperti: ‡ Sarinande ‡ Lapapaja ‡
Halo halo Bandung ‡ Besame Mucho Lagu lagu tersebut memiliki tingkat kesulitan yang berbeda
baik chord dan irama. Lagu lagu tersebut telah dilengkapi dengan partitur serta chord/ accord
untuk memudahkan memahami alat musik kolintang.

Demikian pula dengan teknik memukulkan stick pada bilah kolintang. Karena sesuai irama yang
beraneka ragam, maka untuk menghasilkan irama tertentu maka teknik memukulkan stik pada
tiap alat pun berbeda beda. Pada materi ini, diberikan teknik teknik dasar cara memukulkan stick
pada kolintang. Untuk dapat memahami teknik, dibutuhkan pengetahuan akan harga dan jumlah
ketukan dalam setiap bar nada. Dan berbekal pengetahuan dasar dasar bermain kolintang ini saja,
ditambah dengan bakat individu, maka grup/ kelompok musik kolintang telah dapat memainkan
berbagai jenis lagu dengan tingkat kesulitan yang variatif secara spontan

@      

Diposkan oleh Riedel karinda di 00:21

Kamis, 30 Desember 2010


Alat musik bambu minahasa purba berbentuk tiga ruas bambu dengan panjang yang berbeda
sekitar 8 cm yang di ikat menjadi satu. Alat musik ini terbuat dari Bulu Tui ( Bambu Kecil ) yang
menghasilkan 3 jenis nada yang gunanya untuk memanggil burung Manguni di malam hari yang di sebut
 . Kemudian berkembang menjadi Suling Bambu dengan jumlah not dari 3 sampai 5 not dengan satu
lobang untuk meniup, tapi letak lobang tidak beraturan sehingga suling ini hanya di pergunakan oleh
para petani yang menjaga ladang yang letaknya jauh dari kampung.

Musik Bambu mulai banyak dimainkan oleh masyarakat kristen protestan pertama yaitu sekitar
tahun 1789 yaitu masyarakat Borgo yang ditempatkan di Manado, Tanawangko, Belang, Kema, Likupang
dan Amurang.

Dengan demikian Musik Bambu terbentuk pertama kali tahun 1840-an yang berbentuk [ 
 
, kemudian terpengaruh dengan dengan musik corps militer Belanda. Pada tahun 1870
meniup suling bambu menjadi salah satu mata pelajaran sol-mi-sa-si untuk belajar lagu-lagu Gereja.
Sehingga setelah tahun 1900 sudah ada alat musik musik bambu yang berfungsi sebagai Bass dan Tuba
(P ) yang dikenal dengan nama    .

Pada tahun 1950-an selain suling kecil, suling sedang, korno, tuba, oferton (trombon), bass,
tambur, Snar (gendrang ), simbal, kapuraca kemudian ditambah lagi Klarinet dan Saxophon dari bambu
buatan sendiri. Pada akhirnya Musik Bambu berkembang menjadi salah satu tradisional bergengsi yaitu
dengan mengiringi lagu untuk menghormati Tamu Agung, Perkawinan, Upacara Adat dan Upacara
lainnya.

Pada Tahun 1970-an bahan baku dari perlatan musik bambu seperti Klarinet, Saxophon, Tuba,
Oferton, bass di ganti dari seng aluminium dengan bahan kuningan dan dikenal pada saat ini dengan
nama  
 
 , lalu kemudian pada tahun 1990 memakai bahan steinlees (
Vernekel ).

Jumlah pemain dalam satu Group ( Tumpukan ) adalah sekitar 30-60 orang pemain yang dipimpin
oleh Pemimpin Musik Bambu disebut Tukang Palu (Konduktor), yaitu yang terdiri dari :
š Tukang Palu ( Konduktor)
š Pemain depan Terdiri dari : Suling Kecil, Suling Sedang, Klarinet dan Saxophon
š Pemain tengah yaitu Pemain Korno terdiri dari Korno C (do), Korno D (re), Korno E (mi), Korno G (sol),
Korno A (la) Korno B (si) Korno C" ( do tinggi ).
š Pemain Belakang terdiri dari : Tuba, Oferton, kapuraca, Bass, Tambur, snar, dan simbal.

Musik Bambu hanya dapat memainkan lagu dalam 1 (satu) tangga nada, misalnya kunci "C" (
C=1=do) atau kunci "D" (D=1=do). tapi karena musik bambu Minahasa bertangga nada Diatonis maka
musik inipun bisa memainkan segala jenis lagu seperti Lagu Tradisional Daerah, Lagu Gerejani, Lagu
perjuangan, lll. Musik Bambu juga dapat memainkan jenis lagu misalnya: Mars, Waltz, Tango, Rumba,
Cha Cha dan lainnya.
º    
 
Kamis, 08 Juli 2010 08:54 WITA | Wisata | Dibaca 275 kali

Manado, (Antara News) - Musik bia, salah satu musik tradisional Sulawesi Utara (Sulut), yang
dimainkan sebanyak 339 pemain masuk dalam buku rekor dunia, Guinness World Record.

Permainan musik bia dilakukan ratusan pemain dari Desa Batu Kecamatan Likupang Kabupaten
Minahasa utara itu, pada Festival Watu Pinewetangan, di Desa Pinabetengan, Tompaso
Kabupaten Minahasa, Sulut, Rabu.

Selain musik bia, juga masuk dalam buku rekor dunia yakni nasi jaha -makanan khas Sulut-
terpanjang dengan panjang delapan kilometer dan kain tenun motif terpanjang dengan panjang
100 meter.

Penyerahan ketiga penghargaan rekor dunia tersebut diberikan Aleksandr Vypirailenko dari
Guinness World Record kepada Benny Mamoto, Ketua Institut Seni Budaya Sulawesi Utara
(ISBSU).

Benny Mamoto mengatakan, pencapaian tiga rekor dunia tersebut merupakan salah satu upaya
dalam memperkenalkan potensi wisata di Sulut.

"Langkah ini juga untuk mempromosikan kekayaan seni budaya Sulut di pentas dunia," kata
Mamonto juga pemrakarsa kegiatan tersebut.

Mamoto mengatakan masuknya ketiga jenis tersebut dalam rekor dunia itu, karena memiliki
kriteria dan kekhasannya masing-masing.

Musik bia yang dimainkan banyak orang, nasi jaha yakni nasi yang dikemas dalam bentuk
sepanjang delapan kilometer, serta karya tenunan kain motif pinawetengan yang
dikerjakan secara manual selama tiga bulan dengan panjang 100 meter.

"Diharapkan kedepan akan terus dilakukan inovasi dan kreasi baru dalam memperkenalkan
budaya yang dimiliki Sulut ke dunia internasional," katanya.

Selain dari Guinness World Record, ketiga jenis tersebut juga mendapatkan penghargaan
dari Museum Rekor dunia Indonesia (MURI) yang diberikan oleh Paulus Pangka kepada
Benny Mamonto sebagai pemrakrsa kegiatan itu.

Pelaksanaan kegiatan itu dipusatkan pada dua tempat, untuk pegelaran musik bia di obyek wisata
Watu Pinawetengan, sementara tenun kain dan nasi jaha di lokasi ISBSU semuanya di Desa
Pinebetangan.

Nasi jaha terpanjang di dunia yang dikemas dalam bambu tersebut dipajang sepanjang jalan
masuk menuju Desa Pinabetengan, sehingga menarik warga yang datang ke lokasi itu.

Ribuan warga datang dari berbagai kota dan kabupaten di Sulut di festival itu, untuk
menyaksikan langsung pemecahan rekor dunia tersebut.

Festival Pinawetengan tersebut juga menghadirkan berbagai atraksi seni budaya Sulut seperti
kolintang, tari cakalele, serta kesenian luar daerah yakni tari pendet dari Bali. (*)

Tari Kabasaran. Foto: pinetreegold.com

Tarian ini merupakan tarian keprajuritan tradisional Minahasa, yang diangkat dari kata; Wasal,
yang berarti ayam jantan yang dipotong jenggernya agar supaya sang ayam menjadi lebih garang
dalam bertarung.

Tarian yang dimainkan dengan cara berkelompok. Para penari memakai pakaian merah, mata
melotot, diiringi tambur atau gong kecil sembari menyandang pedang dan tombak tajam. Tarian
ini diiringi oleh suara tambur dan / atau gong kecil. Alat musik pukul seperti Gong, Tambur atau
Kolintang disebut ³Pa µ Wasalen´ dan para penarinya disebut Kawasalan, yang berarti menari
dengan meniru gerakan dua ayam jantan yang sedang bertarung.

Kata Kawasalan ini kemudian berkembang menjadi Kabasaran yang merupakan gabungan dua
kata ³Kawasal ni Sarian´ ³Kawasal´ berarti menemani dan mengikuti gerak tari, sedangkan
³Sarian´ adalah pemimpin perang yang memimpin tari keprajuritan tradisional Minahasa.
Perkembangan bahasa melayu Manado kemudian mengubah huruf ³W´ menjadi ³B´ sehingga
kata itu berubah menjadi Kabasaran, yang sebenarnya tidak memiliki keterkaitan apa-apa dengan
kata ³besar´ dalam bahasa Indonesia, namun akhirnya menjadi tarian penjemput bagi para
Pembesar-pembesar.

@  c     

Post By Novry Oct 7, 2009

c º     

Tari Perang Kabasaran

Punya 9 Jurus Pedang dan Tombak

MINAHASA menyimpan kekayaan budaya yang sangat menarik ditelusuri. Salah satunya ada tari
Kabasaran. Tari ini merupakan tarian perang yang dilakukan warga Minahasa dari semua sub etnis
(Tombulu, Tonsea, Tolour dan Tontemboan). Anggota penari Kabasarasn adalah para waraney yang juga
bertugas sebagai penjaga keamanan desa dengan mendapat tunjangan berupa beras, gula putih, dan
kain.
Menelusuri tarian yang menunjukan kekuatan ilmu perang ini sangat menarik. Apalagio para penari ini
mempunyai 9 jurus pedang dan 9 jurus tombak. Tidak itu saja senjata yang digunakan sebagian besar
adalah senjata warisan turun temurun.

Para penari seperti yang ditulis dalam theolin.multiply.com menari dengan pakaian serba merah, mata
melotot, wajah garang, diiringi tambur sambil membawa pedang dan tombak tajam. Ini membuat tarian
kabasaran amat berbeda dengan tarian lainnya di Indonesia yang umumnya mengumbar senyum
dengan gerakan yang lemah gemulai.

Dijelaskan, tarian ini merupakan tarian keprajuritan tradisional Minahasa, yang diangkat dari kata;
Wasal, yang berarti ayam jantan yang dipotong jenggernya agar supaya sang ayam menjadi lebih garang
dalam bertarung. Tarian ini diiringi oleh suara tambur dan / atau gong kecil. Alat musik pukul seperti
Gong, Tambur atau Kolintang disebut ͞Pa ͚ Wasalen͟ dan para penarinya disebut Kawasalan, yang
berarti menari dengan meniru gerakan dua ayam jantan yang sedang bertarung.

Kata kawasalan ini kemudian berkembang menjadi kabasaran yang merupakan gabungan dua kata
͞Kawasal ni Sarian͟. ͞Kawasal͟ berarti menemani dan mengikuti gerak tari, sedangkan ͞Sarian͟ adalah
pemimpin perang yang memimpin tari keprajuritan tradisional Minahasa.

Di situs www.wisatamelayu.com menyebutkan, pada jaman dahulu para penari Kabasaran, hanya
menjadi penari pada upacara-upacara adat. Namun, dalam kehidupan sehari-harinya mereka adalah
petani. Apabila Minahasa berada dalam keadaan perang, maka para penari kabasaran menjadi Waranei
(prajurit perang). Bentuk dasar dari tarian ini adalah sembilan jurus pedang (santi) atau sembilan jurus
tombak (wengkouw) dengan langkah kuda-kuda 4/4 yang terdiri dari dua langkah ke kiri, dan dua
langkah ke kanan.
Tiap penari kabasaran memiliki satu senjata tajam yang merupakan warisan dari leluhurnya yang
terdahulu, karena penari kabasaran adalah penari yang turun temurun. Tarian ini umumnya terdiri dari
tiga babak (sebenarnya ada lebih dari tiga, hanya saja, sekarang ini sudah sangat jarang dilakukan).
Babak ʹ babak tersebut terdiri dari : (1) Cakalele, yang berasal dari kata ͞saka͟ yang artinya berlaga, dan
͞lele͟ aritnya berkejaran melompat ʹ lompat. Babak ini dulunya ditarikan ketika para prajurit akan pergi
berperang atau sekembalinya dari perang. Atau, babak ini menunjukkan keganasan berperang pada
tamu agung, untuk memberikan rasa aman pada tamu agung yang datang berkunjung bahwa setan-pun
takut mengganggu tamu agung dari pengawalan penari Kabasaran. (2) Babak kedua ini disebut
Kumoyak, yang berasal dari kata ͞koyak͟ artinya, mengayunkan senjata tajam pedang atau tombak
turun naik, maju mundur untuk menenteramkan diri dari rasa amarah ketika berperang. Kata ͞koyak͟
sendiri, bisa berarti membujuk roh dari pihak musuh atau lawan yang telah dibunuh dalam peperangan.
(3) Lalaya'an.

Pada bagian ini para penari menari bebas riang gembira melepaskan diri dari rasa berang seperti menari
͞Lionda͟ dengan tangan dipinggang dan tarian riang gembira lainnya. Keseluruhan tarian ini
berdasarkan aba-aba atau komando pemimpin tari yang diseut ͞Tumu-tuzuk͟ (Tombulu) atau ͞Sarian͟
(Tonsea). Aba-aba diberikan dalam bahasa Sub ʹ etnik tombulu, Tonsea, Tondano, Totemboan, Ratahan,
Tombatu dan Bantik. Pada tarian ini, seluruh penari harus berekspresi Garang tanpa boleh tersenyum,
kecuali pada babak lalayaan, dimana para penari diperbolehkan mengumbar senyum riang.

Dalam theolin.multiply.com juga disebutkan, busana yang digunakan dalam tarian ini terbuat dari kain
tenun Minahasa asli dan kain ͞Patola͟, yaitu kain tenun merah dari Tombulu dan tidak terdapat di
wilayah lainnya di Minahasa, seperti tertulis dalam buku Alfoersche Legenden yang di tulis oleh PN.
Wilken tahun 1830, dimana kabasaran Minahsa telah memakai pakaian dasar celana dan kemeja merah,
kemudian dililit ikatan kain tenun. Dalam hal ini tiap sub-etnis Minahasa punya cara khusus untuk
mengikatkan kain tenun. Khusus Kabasaran dari Remboken dan Pareipei, mereka lebih menyukai busana
perang dan bukannya busana upacara adat, yakni degan memakai lumut-lumut pohon sebagai
penyamaran berperang.

Sangat disayangkan bahwa sejak tahun 1950-an, kain tenun asli mulai menghilang sehingga kabasaran
Minahasa akhirnya memakai kain tenun Kalimantan dan kainTimor karena bentuk, warna dan motifnya
mirip kain tenun Minahasa seperti : Kokerah, Tinonton, Pasolongan, Bentenan.
Topi Kabasaran asli terbuat dari kain ikat kepala yag diberi hiasan bulu ayam jantan, bulu burung Taong
dan burung Cendrawasih. Ada juga hiasan tangkai bunga kano-kano atau tiwoho. Hiasan ornamen
lainnya yang digunakan adalah ͞lei-lei͟ atau kalung-kalung leher, ͞wongkur͟ penutup betis kaki,
͞rerenge'en͟ atau giring-giring lonceng (bel yang terbuat dari kuningan).

Pada jaman penjajahan Belanda tempo dulu , ada peraturan daerah mengenai Kabasaran yang termuat
dalam Staadblad Nomor 104 B, tahun 1859 yang menetapkan bahwa (1) Upacara kematian para
pemimpin negeri (Hukum Basar, Hukum Kadua, Hukum Tua) dan tokoh masyarakat, mendapat
pengawalan Kabasaran. Juga pada perkawinan keluarga pemimpin negeri. (2) Pesta adat, upacara adat
penjemputan tamu agung pejabat tinggi Belanda Residen, kontrolir oleh Kabasaran. (3) Kabasaran
bertugas sebagai ͞Opas͟ (Polisi desa). (4) Seorang Kabasaran berdinas menjaga pos jaga untuk
keamanan wilayah setahun 24 hari.

Kabasaran yang telah ditetapkan sebagai polisi desa dalam Staadblad tersebut diatas, akhirnya dengan
terpaksa oleh pihak belanda harus ditiadakan pada tahun 1901 karena saat itu ada 28 orang tawanan
yang melarikan diri dari penjara Manado. Untuk menangkap kembali seluruh tawanan yang melarikan
diri tersebut, pihak Belanda memerintahkan polisi desa, dalam hal ini Kabasaran, untuk menangkap para
tawanan tersebut. Namun malang nasibnya para tawanan tersebut, karena mereka tidak ditangkap
hidup-hidup melainkan semuanya tewas dicincang oleh Kabasaran.

Para Kabasaran pada saat itu berada dalam organisasi desa dipimpin Hukum Tua. Tiap negeri atau
kampung memiliki sepuluh orang Kabasaran salah satunya adalah pemimpin dari regu tersebut yang
disebut ͞Pa'impulu'an ne Kabasaran͟. Dengan status sebagai pegawai desa, mereka mendapat
tunjangan berupa beras, gula putih, dan kain. Sungguh mengerikan para Kabasaran pada waktu itu,
karena meski hanya digaji dengan beras, gula putih, dan kain, mereka sanggup membantai 28 orang
yang seluruhnya tewas dengan luka-luka yang mengerikan.

cari Kabasaran

c      merupakan Tari Perang, tarian tradisional Minahasa ± sulawesi utara yang
menceritakan bagaimana suku Minahasa mempertahankan tanah Minahasa dari musuh yang
hendak mendudukinya. Tari Kabasaran atau Tari Perang ini memperagakan Pedang Perisai dan
Tombak. Tarian Kabasaran ini ditarikan untuk acara-acara khusus seperti Penyambutan tamu dan
atau diberbagai Acara wisata budaya .

Menari dengan pakaian serba merah, mata melotot, wajah garang,


diiringi tambur sambil membawa pedang dan tombak tajam, membuat tarian kabasaran amat
berbeda dengan tarian lainnya di Indonesia yang umumnya mengumbar senyum dengan gerakan
yang lemah gemulai.

Tarian ini merupakan tarian keprajuritan tradisional Minahasa, yang diangkat dari kata; Wasal,
yang berarti ayam jantan yang dipotong jenggernya agar supaya sang ayam menjadi lebih garang
dalam bertarung.

Tarian ini diiringi oleh suara tambur dan / atau gong kecil. Alat musik pukul seperti Gong,
Tambur atau Kolintang disebut ³Pa µ Wasalen´ dan para penarinya disebut Kawasalan, yang
berarti menari dengan meniru gerakan dua ayam jantan yang sedang bertarung.

Kata    ini kemudian berkembang menjadi     yang merupakan gabungan dua


kata ³Kawasal ni Sarian´ ³Kawasal´ berarti menemani dan mengikuti gerak tari, sedangkan
³Sarian´ adalah pemimpin perang yang memimpin tari keprajuritan tradisional Minahasa.
Perkembangan bahasa melayu Manado kemudian mengubah huruf ³W´ menjadi ³B´ sehingga
kata itu berubah menjadi Kabasaran, yang sebenarnya tidak memiliki keterkaitan apa-apa dengan
kata ³besar´ dalam bahasa Indonesia, namun akhirnya menjadi tarian penjemput bagi para
Pembesar-pembesar.

Pada jaman dahulu para penari Kabasaran, hanya menjadi penari pada upacara-upacara adat.
Namun, dalam kehidupan sehari-harinya mereka adalah petani. Apabila Minahasa berada dalam
keadaan perang, maka para penari kabasaran menjadi Waranei (prajurit perang). Bentuk dasar
dari tarian ini adalah sembilan jurus pedang (santi) atau sembilan jurus tombak (wengkouw)
dengan langkah kuda-kuda 4/4 yang terdiri dari dua langkah ke kiri, dan dua langkah ke kanan.

Tiap penari kabasaran memiliki satu senjata tajam yang merupakan warisan dari leluhurnya yang
terdahulu, karena penari kabasaran adalah penari yang turun temurun. Tarian ini umumnya
terdiri dari tiga babak (sebenarnya ada lebih dari tiga, hanya saja, sekarang ini sudah sangat
jarang dilakukan). Babak ± babak tersebut terdiri dari :

1. o   , yang berasal dari kata ͞saka͟ yang artinya berlaga, dan ͞lele͟ artinya berkejaran
melompat ʹ lompat. Babak ini dulunya ditarikan ketika para prajurit akan pergi berperang atau
sekembalinya dari perang. Atau, babak ini menunjukkan keganasan berperang pada tamu
agung, untuk memberikan rasa aman pada tamu agung yang datang berkunjung bahwa setan-
pun takut mengganggu tamu agung dari pengawalan penari Kabasaran.
2. Babak kedua ini disebut  , yang berasal dari kata ͞koyak͟ artinya, mengayunkan senjata
tajam pedang atau tombak turun naik, maju mundur untuk menenteramkan diri dari rasa
amarah ketika berperang. Kata ͞koyak͟ sendiri, bisa berarti membujuk roh dari pihak musuh
atau lawan yang telah dibunuh dalam peperangan.
3. r  
. Pada bagian ini para penari menari bebas riang gembira melepaskan diri dari rasa
berang seperti menari ͞Lionda͟ dengan tangan dipinggang dan tarian riang gembira lainnya.
Keseluruhan tarian ini berdasarkan aba-aba atau komando pemimpin tari yang disebut ͞c
͟ (Tombulu) atau ͞ 
͟ (Tonsea). Aba-aba diberikan dalam bahasa subʹetnik tombulu,
Tonsea, Tondano, Totemboan, Ratahan, Tombatu dan Bantik. Pada tarian ini, seluruh penari
harus berekspresi Garang tanpa boleh tersenyum, kecuali pada babak lalayaan, dimana para
penari diperbolehkan mengumbar senyum riang.

Busana yang digunakan dalam tarian ini terbuat dari kain tenun Minahasa asli dan kain ³Patola´,
yaitu kain tenun merah dari Tombulu dan tidak terdapat di wilayah lainnya di Minahasa, seperti
tertulis dalam buku Alfoersche Legenden yang di tulis oleh PN. Wilken tahun 1830, dimana
kabasaran Minahasa telah memakai pakaian dasar celana dan kemeja merah, kemudian dililit
ikatan kain tenun. Dalam hal ini tiap sub-etnis Minahasa punya cara khusus untuk mengikatkan
kain tenun. Khusus Kabasaran dari Remboken dan Pareipei, mereka lebih menyukai busana
perang dan bukannya busana upacara adat, yakni dengan memakai lumut-lumut pohon sebagai
penyamaran berperang.

Sangat disayangkan bahwa sejak tahun 1950-an, kain tenun asli mulai menghilang sehingga
kabasaran Minahasa akhirnya memakai kain tenun Kalimantan dan kain Timor karena bentuk,
warna dan motifnya mirip kain tenun Minahasa seperti : Kokerah, Tinonton, Pasolongan,
Bentenen. Topi Kabasaran asli terbuat dari kain ikat kepala yag diberi hiasan bulu ayam jantan,
bulu burung Taong dan burung Cendrawasih. Ada juga hiasan tangkai bunga kano-kano atau
tiwoho. Hiasan ornamen lainnya yang digunakan adalah ³lei-lei´ atau kalung-kalung leher,
³wongkur´ penutup betis kaki, ³rerenge¶en´ atau giring-giring lonceng (bel yang terbuat dari
kuningan).

Pada jaman penjajahan Belanda tempo dulu , ada peraturan daerah mengenai Kabasaran yang
termuat dalam Staatsblad Nomor 104 B, tahun 1859 yang menetapkan bahwa
1. Upacara kematian para pemimpin negeri (Hukum Basar, Hukum Kadua, Hukum Tua) dan tokoh
masyarakat, mendapat pengawalan Kabasaran. Juga pada perkawinan keluarga pemimpin
negeri.
2. Pesta adat, upacara adat penjemputan tamu agung pejabat tinggi Belanda Residen, kontrolir
oleh Kabasaran.
3. Kabasaran bertugas sebagai ͞Opas͟ (Polisi desa).
4. Seorang Kabasaran berdinas menjaga pos jaga untuk keamanan wilayah setahun 24 hari.

Kabasaran yang telah ditetapkan sebagai polisi desa dalam Staatsblad tersebut diatas, akhirnya
dengan terpaksa oleh pihak belanda harus ditiadakan pada tahun 1901 karena saat itu ada 28
orang tawanan yang melarikan diri dari penjara Manado. Untuk menangkap kembali seluruh
tawanan yang melarikan diri tersebut, pihak Belanda memerintahkan polisi desa, dalam hal ini
Kabasaran, untuk menangkap para tawanan tersebut. Namun malang nasibnya para tawanan
tersebut, karena mereka tidak ditangkap hidup-hidup melainkan semuanya tewas dicincang oleh
Kabasaran. Para Kabasaran pada saat itu berada dalam organisasi desa dipimpin Hukum Tua.
Tiap negeri atau kampung memiliki sepuluh orang Kabasaran salah satunya adalah pemimpin
dari regu tersebut yang disebut ³Pa¶impulu¶an ne Kabasaran´. Dengan status sebagai pegawai
desa, mereka mendapat tunjangan berupa beras, gula putih, dan kain.

Sungguh mengerikan para Kabasaran pada waktu itu, karena meski hanya digaji dengan beras,
gula putih, dan kain, mereka sanggup membantai 28 orang yang seluruhnya tewas dengan luka-
luka yang mengerikan.[theminahasa.net]

You might also like