You are on page 1of 9

Ki Mas Tanu (Tanuwijaya) di Balik Ayang-ayang Gung

Sebagai refleksi Kritik Nasihat dan Sindiran


Kepada Para Pemimpin

Disusun Oleh :
Ifik Saeful Firdaus
Pendahuluan
Lagu ”Ayang-ayang Gung” terdengar biasa-biasa saja. Akan tetapi, bila diingat sifat pemerintah
pada waktu itu ( kompeni) yang represif, penulis lagu tersebut bukan saja sangat berani, melainkan
juga sangat cerdik dalam menyiasati sikap represif tersebut.Dengan irama lagu dan susunan kata
yang mudah dinyanyikan serta diingat, efektivitas lagu itu menjadi wahana protes dan pendidikan
kesadaran politik rakyat. Sungguh tidak dapat diragukan.

Kini lagu atau kawih Ayangt-ayang Gung, telah menjadi Kaulinan (permainan), dan
seperti yang kita ketahui bahwa Kaulinan Urang Sunda tidak sekadar kreativitas atau
pengisi waktu luang bagi anak-anak, tetapi memiliki makna filosofi yang luar biasa.
Setiap kaulinan melambangkan kesadaran individual, kesadaran sosial, dan kesadaran
spiritual.

Mohamad Zaini Alif, S.Sn., M.Ds., mengatakan : "Setiap jenis kaulinan selalu
melambangkan kehidupan manusia yang disembunyikan baik lewat bentuk maupun kata-
katanya,".Zaini juga menerangkan, kata-kata dalam kaulinan selalu sarat makna.
Misalnya dalam "Ayang-ayang Gung". Ayang-ayang gung, gung goongna rame, menak
Ki Mastanu, nu jadi wadana, naha maneh kitu, tukang olo-olo, loba anu giruk, ruket
jeung kompeni, niat jadi pangkat, katon kagorengan, ngantos kangjeng dalem, lempa
lempi lempong, ngadu pipi jeung nu ompong, jalan ka Batawi ngemplong. Makna dari
bait tersebut, sebagai sindiran terhadap para penjilat dan orang yang suka ber-KKN yang
ingin mendapatkan kedudukan. Perbuatan tak ubahnya bagai ngadu pipi jeung nu
ompong.

Bila kita renungkan, lagu itu merupakan protes sarkastis terhadap tingkah laku seorang petualang
politik, Ki Mastanu, yang menghalalkan segala cara demi ambisinya. Terlepas apakah tokoh itu
benar-benar ada atau fiktif.

Bentuk sastra ”Ayang-ayang Gung” pun istimewa. Berbeda dengan bentuk-bentuk puisi yang
dikenal di Indonesia, seperti pantun, gurindam, syair, dan sebagainya. Kalau diperhatikan, suku
kata terakhir pada kalimat lagu itu menjadi suku kata awal di kalimat berikutnya. Sungguh tingkat
kesulitan yang sophisticated. Setahu penulis, bentuk ini tidak dikenal dalam pelajaran sastra
Indonesia, bahkan di dunia (?). Tidak berlebihan bila dikatakan bahwa pencipta ”Ayang-ayang
Gung” merupakan local genius.
Makna kawih Ayang-ayang Gung

Ayang ayang gung


Gung goongna rame
Menak ki Mastanu
Nu jadi wadana
Naha maneh kitu
Tukang olo-olo
Loba anu giruk
Ruket jeung kompeni
Niat jadi (naek) pangkat
Katon kagorengan
Ngantos Kanjeng Dalem
Lempa lempi lempong
Ngadu pipi jeung nu ompong
Jalan ka Batawi ngemplong

Ayang-ayang Agung adalah nyanyian anak-anak. Biasanya kakawihan ini menurut


Ensiklopedi Sunda (2000:  70-71) biasa dipakai dalam permainan anak-anak, serta
mempunyai pengertian bekerja sama.Selain itu, menurut buku yang disebut-sebut sebagai
pelopor ensiklopedi etnis pertama di Indonesia ini, Ayang-ayang Gung memiliki beberapa
keistimewaan. Di antaranya: dalam liriknya. Yaitu akhir suku kata dari kalimat lagu
diulang kembali sebagai awal suku kata pada larik berikutnya. Dan suku kata akhir setiap
larik menjadi suku kata pertama larik berikutnya. Dengan demikian anak-anak mudah
menghapalkannya.

Lagu tersebut merupakan lagu yang secara turun temurun dinyanyikan oleh barudak
(anak kecil) di Tatar Sunda. Sepertinya sudah menjadi kebiasaan orang Sunda yang suka
menyindir, ketika menghadapi sesuatu yang tidak disukai biasanya memberikan sindiran-
sindiran halus. Sehingga tidak sedikit karya-karya baik itu berupa lagu kakawihan, pupuh,
maupun pantun (sisindiran) yang lucu, namun juga mengandung sebuah kritik atau saran
yang tajam dan brilian yang disampaikan secara halus.

Lagu Ayang Ayang Gung tersebut menceritakan seorang tokoh menak (bangsawan)
bernama Ki Mastanu yang menjadi wadana (bupati), namun bertingkah olo-olo (belagu),
dan karena kedekatannya dengan kompeni (Belanda) banyak masyarakat yang giruk
(membencinya). Yang berniat naik pangkat, sehingga menunggui kanjeng dalem, dan
dengan segala gerak akrobatik politiknya menghalalkan segala cara, agar langkah
politiknya lancar tidak terhambat sedikit pun ke Batavia.

Akan tetapi, terlepas dari masalah keistimewaan di atas, Ayang-ayang Gung bila ditinjau
dari isinya memang berisi tentang kritik yang lumayan pedas. Kritikan itu, terutama
ditujukan kepada menak yang gumede, yang menghalalkan segala cara untuk mencapai
tujuannya.Tokohnya tentu saja Ki Mas Tanu. Tokoh ini digambarkan sebagai tukang olo-
olo. Akibat kelakuan ini orang-orang kebanyakan menjadi giruk. Sebab selain olo-olo, Ki
Mas Tanu juga ruket jeung kompeni. Langkah ini tentu saja diambilnya karena
mempunyai niat ingin menjadi pembesar.Tetapi walaupun banyak yang tahu tentang
Ayang-ayang Gung, mengenai tokoh Ki Mas Tanu agaknya jarang tahu. Padahal tokoh ini
diyakini pernah hidup di Tatar Sunda dahulu kala ketika Belanda mengusai negeri ini.

Siapakah Ki Mas Tanu (Tanuwiaya) ?


Ki Mastanu yang ada dalam lirik lagu Ayang Ayang Gung adalah Raden Tanujiwa,
seorang Sunda asal Sumedang. Tahun 1687 Tanujiwa mendirikan perkampungan di
Parung Angsana, sebelumnya beliau mendapat tugas dari Camphuiis untuk membuka
hutan Pajajaran. Kampung di Parung Angsana itu kemudian diberi nama Kampung Baru,
tempat inilah yang kemudian menjadi cikal bakal Kabupaten Bogor. Beberapa kampung
lain yang didirikan oleh Raden Tanujiwa adalah Parakan Panjang, Parung Kujang,
Panaragan, Bantar Jati, Sempur, Baranang Siang, Parung Banteng dan Cimahpar. Dimana
Kampung Baru menjadi pusat pemerintahannya.

Dokumen tanggal 7 November 1701 menyebut Tanujiwa sebagai kepala Kampung Baru
dan kampung lainnya yang berada di hulu Ciliwung. De Haan sendiri memulai daftar
bupati-bupati Kampung Baru atau Buitenzorg dari Raden Tanujiwa (1687-1705)
walaupun secara resmi penggabungan distrik-distrik dilakukan tahun 1745. Tahun 1745
sembilan buah kampung digabung menjadi satu pemerintahan dibawah Kepala Kampung
Baru bergelar Demang, gabungan kampung itu diberi nama Regentschap. Yang kemudian
menjadi Regentschap Buitenzorg tahun 1740. Tanujiwa, seorang Sunda dari Sumedang,
berhasil membentuk pasukan pekerja untuk membuka hutan Pajajaran. Ketika itu beliau
bergelar ”Luitenant der Javanen” (letnan orang-orang Jawa dan merupakan letnan senior
diantara teman-temannya). Garis batas antara daerah pemukiman orang-orang Banten dan
kompeni ketika pangeran Purbaya dari Banten membangun pemukiman di aliran Cikeas.
Daerah antara Kedung Badak sampai Muara Beres telah ditempati pasukan Mataram,
pimpinan Bahurekso dan sebagian lagi pasukan kiriman Sunan Amangkurat I.
Tahun 1661 basis pasukan Rakit Mataram ketika mengepung Batavia. Raden Tanujiwa
menghentikan pembukaan lahannya pada sisi utara Ciliwung, dan menyarankan agar
pembukaan lahan dilakukan di sebelah hulu (Ciawi dan Cisarua). Kemungkinan besar,
tindakan Tanujiwa ini didasari penghargaan yang besar terhadap Pakuan. Lambat laun
rasa cinta terhadap Pajajaran dan terhadap masyarakatnya mulai terpupuk, ia mulai
melakukan kegiatan-kegiatan yang dianggap dapat mengganggu kompeni. Apalagi
perasaan bencinya terhadap Scipio, yang notabenenya seorang sersan, yang sering
memerintah dengan semena-mena padahal jabatan Tanujiwa lebih tinggi (letnan). Hal
tersebut menimbulkan kesadaran akan kesamaan nasib sebangsa dalam diri Tanujiwa.
Tanujiwa membantu pemberontakan yang dipimpin oleh Haji Perwatasari, dan balik
mengangkat senjata melawan kompeni. Walaupun pada akhirnya kalah, dan Tanujiwa
dibuang ke Tanjung Harapan (Afsel).

Karena pemberontakan tersebut, dalam Babad Bogor (1925), yang dibuat pada masa
kolonial, tidak mencantumkan nama Tanujiwa sebagai bupati pertama. Dalam Babad
tersebut dicantumkan Mentengkara atau Mertakara kepala Kampung Baru yang ketiga
(1706-1718) sebagai bupati pertama Bogor. Ia adalah putera Tanujiwa (menurut Den
Haan).

Tentang tokoh Ki Mas Tanu terdapat 2 (dua) versi yang menceritakan tentang Ki Mas
Tanu. Pertama versi Saleh Danasasmita, dalam bukunya Sejarah Bogor (1983). Kedua
versi Mikihiro Moriyama yang mencatatnya dalam Semangat Baru: Kolonialisme,
Budaya Cetak, dan Kesastraan Sunda Abad ke-19 (2005).

Versi Saleh
Menurut Saleh dalam bukunya Sejarah Bogor (1983: 83-84), yang didasarkan pada
tulisan MA. Salmun dalam edisi awal majalah Intisari, Ki Mas Tanu dalam Ayang-ayang
Gung mengacu kepada Tanujiwa yang merintis pendirian kampung-kampung pertama di
daerah Bogor.

Tentang Tanuwijaya, Saleh mengacu pada buku C.H.F. Riesz, De Geschiedenis van
Buitenzorg (1887). Menurut Riesz, Tanuwijaya adalah orang Sumedang yang diperintah
oleh Camphuijs untuk membabad hutan Pajajaran. Hasilnya ia bisa mendirikan kampung-
kampung baru. Di antaranya ada yang di Cipinang (Jatinegara). Selain itu, juga kampung-
kampung yang menjadi cikal bakal Kabupaten Bogor. Kampung-kampung yang
dimaksud adalah Parakan Panjang, Parung Kujang, Panaragan, Bantar Jati, Sempur,
Baranangsiang, Parung Banteng dan Cimahpar.
Tetapi pembabatan hutan itu tidak berlanjut. Sebab Tanujiwa menghormati peninggalan
kerajaan Pajajaran, sehingga dihentikkan di sisi utara Sungai Ciliwung. Rasa hormat ini
bermula ketika ia berkunjung ke bekas ibu kota Pakuan bersama Sersan Scipio. Dengan
demikian, ia ingin mendekatkan diri dengan peninggalan Siliwangi.
Penghormatan kepada kerajaan Pajajaran itu berujung kepada ketidaktaatannya kepada
VOC. Apalagi ia merasa dianak-tirikan Kumpeni, sebab ia yang letnan harus tunduk
kepada Sersan Scipio yang kulit putih. Akhirnya si “Luitenant der Javanen” ini pun
menjadi sekutu dan pelindung Haji Prawatasari yang berjuang melawan VOC. Tetapi
mereka kalah dan Tanuwijaya dibuang ke Tanjung Harapan di Afrika.

Kepahlawanan Ki Mas Tanu ini menjadi polemik antara “Kuncen Bandung” Haryoto
Kunto dan sastrawan Sunda Aan Merdeka Permana beberapa tahun yang lalu. Haryoto
Kunto dalam tulisannya Gung Goongna Rame (PR 19 Februari 1998) menyatakan bahwa
Ki Mas Tanu yang berdarah muda, ambisius dan setia kepada Kumpeni Belanda itu,
dijuluki oleh warga masyarakat kala itu sebagai “Si Raja Tega.” Kekejaman dan
kelaliman Ki Mas Tanu diperlihatkannya ketika ia memimpin kerja rodi, susuk bendung
babad jalan, membangun dan melakukan pengerasan jalan antara Bogor sampai Batavia.

Sebagai balasannya, Aan Merdeka dalam tulisannya Benarkah Ki Mas Tanu


Pengkhianat? (PR, 23 Februari 1998) menganggap Ki Mas Tanu berbeda dengan
gambaran tokoh tersebut yang selama ini ada di masyarakat. Menurutnya alasan Ki Mas
Tanu bergabung dengan Kompeni bukan lantaran mencari nafkah apalagi mencari
jabatan, namun karena kerinduannya akan penelusuran sejarah nenek moyangnya.
Sebab menurut Aan, sesuai dengan wawancaranya dengan Pak Ucang Sumardi dan Tutun
Anwar, Ki Mas Tanu berasal dari keluarga bangsawan Sumedanglarang yang notabene
masih berkerabat dengan Kerajaan Pajajaran. Bahkan Sumedanglarang menjadi pengganti
kerajaan Pajajaran.

Versi Mikihiro
Lain pula pendapat Mikihiro Moriyama. Menurut doktor sastra Sunda jebolan
Rijkuniversiteit Belanda 2003 ini dalam karyanya Semangat Baru (2005: 163-
164):“Penduduk setempat (Garut-pen) masih mengetahui bahwa keluarga Moesa (RH.
Moehamad Moesa - pen) adalah yang terkaya di wilayah itu, dan mereka masih menjalin
hubungan dan kerjasama dengan Belanda. Pendek kata, kebanyakan orang berpandangan
negatif terhadap Moesa, walaupun beberapa orang menyatakan kekaguman mereka atas
sumbangannya dan Holle di bidang pertanian.”
Dan Ayang-ayang Gung, menurut versi Miki sesuai dengan data yang didapatkan, untuk
pertama kalinya diperkenalkan oleh R. Poeradiredja dan M. Soeriadiradja pada Kongres
Pertama Bahasa, Geografi, dan Etnografi Jawa (Eerste Congres voor de Taal, Land- en
Volkenkunde van Java ) di Solo pada 1919.

Dalam makalahnya “Bijdrage tot de Kennis der Soendasche taal” (Djawa 4: 401-412),
mereka berpendapat bahwa Ayang-ayang Gung dikarang oleh penulisnya untuk mengejek
ambisi Moesa yang sudah kelewat batas. Puisi tersebut dinyanyikan dalam kongres
tersebut supaya enak didengar.

Tetapi di sisi lain, dalam wawancaranya dengan Soemarna W.S. di Balubur Limbangan
pada 25-26 Oktober 1994, Miki mendengar bahwa Ayang-ayang Gung sebenarnya karya
Moehamad Moesa sendiri. Moesa khawatir anaknya akan dikalahkan oleh salah seorang
lawan politiknya, yaitu kepala distrik Suci yang bernama Tanu. Rupanya Moesa
memahami benar arti rumor untuk menjatuhkan orang, sehingga ia berupaya agar
nyanyian tersebut dikenal luas. Tetapi malah senjata makan tuan, ia yang mengarangnya
jadi bahan ejekan orang.

Kesimpulan
Kedua versi diatas lebih menekankan pada Siapakah tokoh dalam kawih tersebut,
sementara para Seniman Sunda pun memberikan penafsiran global mengenai Kawih
Ayang-ayang Gung ini, seperti Nano S seniman karawitan kontemporer, yang satu kakinya
terbenam di musik tradisional Sunda dan satu kakinya lagi terbenam di musik industri, dalam
sebuah tayangan di Stasion TVRI Jabar-Banten melakukan tafsir atas teks lagu dalam bentuk lirik
pula, yang bunyinya seperti ini,

Boa-boa numbuk di enya/ ayang-ayang gung nu baheula/ ayang-ayang gung di ayeuna/


nyaritakeun menak/ nyaritakeun pangkat/ nyaritakeun Dalem/ lamun ka Batawi
ngemplong/ Goongna rame/ paharus-harus sora jeung jangji/ saha anu jadi wadalna/
rakyat deui rakyat deui/ demi anu disebut kumpeni/ moal kitu jadi kumpenipu?//

Dari teks tersebut, baik yang ditulis secara anonim, yang sering dilagukan oleh anak-anak itu,
khususnya di kampung-kampung, seperti yang saya alami ketika masih kecil, maupun yang ditulis
oleh Nano S atas tafsirnya itu; keduanya setidaknya tengah bicara soal realitas sosial-politik saat
ini, soal rakyat yang kecewa pada sejumlah oknum wakil rakyat yang dipilihnya, yang ternyata
tidak amanah. Di samping itu, kecewa pula pada oknum pemimpin yang dipercaya untuk
mengelola negara, yang diyakininya bisa memberantas berbagai tindak korupsi, eh ternyata malah
melakukan tindak korupsi, lebih mementingkan golongannya sendiri, membiarkan rakyat kecil
tersaruk-saruk dihajar naiknya harga-harga, penggusuran, meletusnya berbagai kerusuhan yang
seakan-akan tidak pernah bisa diatasi.

Untuk itu tak aneh bila dewasa ini begitu banyak orang yang ingin jadi wakil rakyat, meski
tingkah-lakunya yang busuk itu akhirnya terbongkar lewat ijazah palsu. Apa yang bisa diharap
dari orang yang menipu dirinya sendiri semacam itu, bila mereka kelak jadi wakil rakyat? Lewat
tafsirnya itu, lebih lanjut Nano S berkata,

Horeng aya nu nyumput dina kekecapan lagu/


ngelingan lajuning laku/
udaganana geus kateguh ku hate/
hayang ucang-ucang angge/
dina korsi goyang di bale gede!//.

Mengapa demikian? Karena,

ucang-ucang angge –
mulung untung di Jakarte/
meunang proyek anu gede –
proyek gede ti panggede/
proyek leutik di Mang Lintrik/
ari gog gog cungungung//

Teks yang ditafsir Nano S itu memang lahir bukan dari kebiasaan umum. Karena itu bila kita
mendengarnya tidak menjenuhkan, malah menyegarkan. Unik, karena ia tidak umum, meski
telinga kita, mungkin sebagian dari kita, merasa tersengat. Tapi bila dipikir lebih jauh,
sesungguhnya apa yang dibicarakan oleh Nano S itu lebih bertitik-tekan kepada kritik yang
dimuarakan untuk dirinya sendiri, yang bila jadi wakil rakyat, atau bila diberi kepercayaan untuk
memimpin bangsa dan negara ini, adakah ia bisa amanah?. Pertanyaan semacam ini penting
diajukan, agar kita tidak merasa benar sendiri.

Setidaknya hal itu diisyaratkan oleh Nano S sendiri, seperti dalam dua baris akhir teks lagunya
yang berbunyi, takokak-takokak sambel goang lada/ urang brukbrak urang brukbrak urang sing
waspada//. Ini artinya Nano mengharap pula bahwa situasi yang demokratis, terbuka, dan hormat
pada hukum itu, bisa benar-benar dilaksanakan oleh segenap bangsa dan negara Indonesia, agar
apa yang kita harapkan selama ini bisa berjalan sebagaimana mestinya, yakni negara tanpa anyir
darah, tanpa tindak kekerasan, namun tegas dalam menjalankan segala perundang-undangan yang
berlaku, yang tentunya bukan untuk dilanggar. Setidaknya demikian tafsir ini hidup dalam tulisan
ini; atas teks yang ditafsir Nano dari teks yang anonim itu.
Mungkin itulah sedikit ulasan mengenai Tanujiwa, dan kaitannya dengan kakawihan
barudak Ayang Ayang Gung. Tanujiwa mengejar harapan kosong, menghalalkan segala
cara untuk mencapai tujuan (kekuasaan). Bahkan ia rela menggadaikan harga dirinya
kepada penjajah, dan diperlakukan semena-mena oleh orang Belanda yang notabenenya
berpangkat lebih rendah. Hingga pada akhirnya Tanujiwa sadar, kemudian bersama-sama
mengangkat senjata melawan penjajah.

Semoga saja cerita Tanujiwa dalam lirik Ayang Ayang Gung ini sepertinya tidak akan
hidup lama di Tatar Sunda, dimana orang-orang menghalalkan segala cara untuk
mendapatkan kekuasaan. Menak yang mendapat kedudukan prestise dalam masyarakat
malah seringkali melupakan masyarakat dan sibuk mengejar kekuasaan. Di sisi lain
menak ingin dihargai sebagaimana mestinya. Ironi memang, karena itulah yang terjadi.
Lihat saja perilaku calon wakil rakyat maupun calon pemimpin kita yang tak jarang
melakukan perbuatan rendah, suap-money politic-fitnah-nepotisme-anarki. Lempa lempi
lempong Ngadu pipi jeung nu ompong Jalan ka Batawi ngemplong !

Gununghalu, 16 Januari 2011

You might also like