You are on page 1of 39

A.

Kulit Kepala (SCALP)


Menurut ATLS terdiri dari 5 lapisan yaitu:
1. Skin atau kulit
2. Connective Tissue atau jaringan penyambung
3. Aponeurosis atau galea aponeurotika  à jaringan ikat berhubungan langsung dengan
tengkorak
4. Loose areolar tissue atau jaringan penunjang longgar à Merupakan tempat terjadinya
perdarahan subgaleal (hematom subgaleal).
5. Perikranium
Tulang Tengkorak
Terdiri Kalvarium dan basis kranii. Rongga tengkorak  dasar dibagi 3 fosa :
1. Anterior  à tempat lobus frontalis
2. Media  à tempat lobus temporalis
3. Posterior  à tempat batang otak bawah dan serebelum
Meningen
Selaput ini menutupi seluruh permukaan otak terdiri 3 lapisan :
1. Durameter
Merupakan selaput keras atas jaringan ikat fibrosa melekat dengan tabula interna atau bagian dalam
kranium namun tidak melekat pada selaput arachnoid dibawahnya, sehingga terdapat ruangan
potensial disebut  ruang subdural yang terletak antara durameter dan arachnoid. Pada cedera kepala
pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak menuju sinus sagitalis superior digaris tengah
disebut Bridging Veins, dapat mengalami robekan serta menyebabkan perdarahan subdural.
Durameter membelah membentuk 2 sinus yang mengalirkan darah vena ke otak, yaitu :  sinus
sagitalis superior mengalirkan darah vena ke sinus transverses dan sinus sigmoideus.  Perdarahan
akibat sinus cedera 1/3 anterior diligasi aman, tetapi 2/3 posterior berbahaya karena dapat
menyebabkan infark vena dan kenaikan tekanan intracranial.
Arteri2 meningea terletak pada ruang epidural, dimana yang sering mengalami cedera adalah arteri
meningea media yang terletak pada fosa temporalis dapat menimbulkan perdarahan epidural.
2. Arachnoid
3. Piameter
Lapisan ini melekat pada permukaan korteks serebri. Cairan serebro spinal bersirkulasi diantara
arachnoid dan piameter dalam ruang subarahnoid. Perdarahan ditempat ini akibat pecahnya
aneurysma intra cranial..
D. Otak
1. Serebrum
Terdiri atas hemisfer kanan dan kiri dipisahkan oleh falks serebri yaitu lipatan durameter yang
berada di inferior sinus sagitalis superior. Hemisfer kiri terdapat pusat bicara.
2. Serebelum
Berfungsi dalam kordinasi dan keseimbangan dan terletak dalam fosa posterior berhubungan
dengan medulla spinalis batang otak dan kedua hemisfer serebri.
3. Batang otak
Terdiri dari mesensefalon (midbrain) dan pons berfungsi dalam kesadaran dan kewaspadaan, serta
medulla oblongata yang memanjang sampai medulla spinalis.
E. Cairan Serebrospinalis
Normal produksi cairan serebrospinal adalah 0,2-0,35 mL per menit atau sekitar 500 mL per 24 jam
. Sebagian besar diproduksi oleh oleh pleksus koroideus yang terdapat pada ventrikel lateralis dan
ventrikel IV. Kapasitas dari ventrikel lateralis dan ventrikel III pada orang sehat sekitar 20 mL dan
total volume cairan serebrospinal pada orang dewasa sekitar 120 mL  Cairan serebrospinal setelah
diproduksi oleh pleksus koroideus akan mengalir ke ventrikel lateralis, kemudian melalui foramen
interventrikuler Monro masuk ke ventrikel III , kemudian masuk ke dalam ventrikel IV melalui
akuaduktus Sylvii, setelah itu melalui 2 foramen Luschka di sebelah lateral dan 1 foramen
Magendie di sebelah medial masuk kedalam ruangan subaraknoid, melalui granulasi araknoidea
masuk ke dalam sinus  duramater kemudian masuk ke aliran vena
Tekanan Intra kranial meningkat karena produksi cairan serebrospinal  melebihi jumlah yang
diabsorpsi. Ini terjadi apabila terdapat produksi cairan serebrospinal yang berlebihan, peningkatan
hambatan aliran atau peningkatan tekanan dari venous sinus. Mekanisme kompensasi yang terjadi 
adalah transventricular absorption, dural absorption, nerve root sleeves absorption dan unrepaired
meningocoeles. Pelebaran ventrikel pertama biasanya terjadi pada frontal dan temporal horns,
seringkali asimetris, keadaan ini menyebabkan elevasi dari corpus callosum, penegangan atau
perforasi dari septum pellucidum, penipisan dari cerebral mantle dan pelebaran ventrikel III ke arah
bawah hingga fossa pituitary (menyebabkan pituitary disfunction)

F. Tentorium
Tentorium serebeli membagi rongga tengkorak menjadi ruang :
1. Supratentorial à terdiri fosa kranii anterior dan media
2. Infratentorial à berisi fosa kranii posterior
Mesensefalon (midbrain) menghubungkan hemisfer serebri dan batang otak (pons dan medulla
oblongata) berjalan melalui celah tentorium serebeli disebut insisura tentorial.  Nervus
okulomotorius (NVII) berjalan sepanjang tentorium, bila tertekan oleh masa atau edema otak akan
menimbulkan herniasi. Serabut2 parasimpatik untuk kontraksi pupil mata berada pada permukaan n.
okulomotorius. Paralisis serabut ini disebabkan penekanan mengakibatkan dilatasi pupil. Bila
penekanan berlanjut menimbulkan deviasi bola mata kelateral dan bawah.
Dilatasi pupil ipsilateral disertai hemiplegi kontralateral dikenal sindrom klasik herniasi tentorium.
Umumnya perdarahan intrakranial terdapat pada sisi yang sama dengan sisi pupil yang berdilatasi
meskipun tidak selalu.
Filed under: Anatomi Tagged: | Anatomi, head, kepala, lapisan kepala, Otak, SCALP

anatomi kepala
Anatomi dan Fisiologi Kepala
A. Kulit Kepala
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut SCALP yaitu; skin atau kulit, connective tissue atau
jaringan penyambung, aponeurosis atau galea aponeurotika, loose conective tissue atau jaringan
penunjang longgar dan pericranium (3,5).
Tulang tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii (2,7). Tulang tengkorak terdiri dari
beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal dan oksipital (5,8). Kalvaria khususnya diregio
temporal adalah tipis, namun disini dilapisi oleh otot temporalis. Basis cranii berbentuk tidak rata
sehingga dapat melukai bagian dasar otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan deselerasi.
Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu : fosa anterior tempat lobus frontalis, fosa media
tempat temporalis dan fosa posterior ruang bagi bagian bawah batang otak dan serebelum (3).
C. Meningen
Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapisan yaitu :
1. Dura mater
Dura mater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan endosteal dan lapisan
meningeal (5). Dura mater merupakan selaput yang keras, terdiri atas jaringan ikat fibrisa yang
melekat erat pada permukaan dalam dari kranium. Karena tidak melekat pada selaput arachnoid di
bawahnya, maka terdapat suatu ruang potensial (ruang subdura) yang terletak antara dura mater dan
arachnoid, dimana sering dijumpai perdarahan subdural. Pada cedera otak, pembuluh-pembuluh
vena yang berjalan pada permukaan otak menuju sinus sagitalis superior di garis tengah atau disebut
Bridging Veins, dapat mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan subdural. Sinus sagitalis
superior mengalirkan darah vena ke sinus transversus dan sinus sigmoideus. Laserasi dari sinus-
sinus ini dapat mengakibatkan perdarahan hebat (3).
Arteri-arteri meningea terletak antara dura mater dan permukaan dalam dari kranium (ruang
epidural). Adanya fraktur dari tulang kepala dapat menyebabkan laserasi pada arteri-arteri ini dan
menyebabkan perdarahan epidural. Yang paling sering mengalami cedera adalah arteri meningea
media yang terletak pada fosa temporalis (fosa media) (3).
2. Selaput Arakhnoid
Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang (3). Selaput arakhnoid terletak
antara pia mater sebelah dalam dan dura mater sebelah luar yang meliputi otak. Selaput ini
dipisahkan dari dura mater oleh ruang potensial, disebut spatium subdural dan dari pia mater oleh
spatium subarakhnoid yang terisi oleh liquor serebrospinalis (5). Perdarahan sub arakhnoid
umumnya disebabkan akibat cedera kepala (3).
3. Pia mater
Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri (3). Pia mater adarah membrana vaskular
yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyri dan masuk kedalam sulci yang paling dalam.
Membrana ini membungkus saraf otak dan menyatu dengan epineuriumnya. Arteri-arteri yang
masuk kedalam substansi otak juga diliputi oleh pia mater (5).
D. Otak
Otak merupakan suatu struktur gelatin yang mana berat pada orang dewasa sekitar 14 kg (8). Otak
terdiri dari beberapa bagian yaitu; Proensefalon (otak depan) terdiri dari serebrum dan diensefalon,
mesensefalon (otak tengah) dan rhombensefalon (otak belakang) terdiri dari pons, medula oblongata
dan serebellum (5).
Fisura membagi otak menjadi beberapa lobus (8). Lobus frontal berkaitan dengan fungsi emosi,
fungsi motorik dan pusat ekspresi bicara. Lobus parietal berhubungan dengan fungsi sensorik dan
orientasi ruang. Lobus temporal mengatur fungsi memori tertentu. Lobus oksipital
bertanggungjawab dalam proses penglihatan. Mesensefalon dan pons bagian atas berisi sistem
aktivasi retikular yang berfungsi dalam kesadaran dan kewapadaan. Pada medula oblongata terdapat
pusat kardiorespiratorik. Serebellum bertanggungjawab dalam fungsi koordinasi dan keseimbangan
(3,9).

E. Cairan serebrospinalis
Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh plexus khoroideus dengan kecepatan produksi sebanyak
20 ml/jam. CSS mengalir dari dari ventrikel lateral melalui foramen monro menuju ventrikel III,
akuaduktus dari sylvius menuju ventrikel IV. CSS akan direabsorbsi ke dalam sirkulasi vena
melalui granulasio arakhnoid yang terdapat pada sinus sagitalis superior. Adanya darah dalam CSS
dapat menyumbat granulasio arakhnoid sehingga mengganggu penyerapan CSS dan menyebabkan
kenaikan takanan intrakranial (3). Angka rata-rata pada kelompok populasi dewasa volume CSS
sekitar 150 ml dan dihasilkan sekitar 500 ml CSS per hari (11).
F. Tentorium
Tentorium serebeli membagi rongga tengkorak menjadi ruang supratentorial (terdiri dari fosa kranii
anterior dan fosa kranii media) dan ruang infratentorial (berisi fosa kranii posterior) (3).
G. Perdarahan Otak
Otak disuplai oleh dua arteri carotis interna dan dua arteri vertebralis. Keempat arteri ini
beranastomosis pada permukaan inferior otak dan membentuk circulus Willisi. Vena-vena otak
tidak mempunyai jaringan otot didalam dindingnya yang sangat tipis dan tidak mempunyai katup.
Vena tersebut keluar dari otak dan bermuara ke dalam sinus venosus cranialis (5).
Fisiologi Kepala
Tekanan intrakranial (TIK) dipengaruhi oleh volume darah intrakranial, cairan secebrospinal dan
parenkim otak. Dalam keadaan normal TIK orang dewasa dalam posisi terlentang sama dengan
tekanan CSS yang diperoleh dari lumbal pungsi yaitu 4 – 10 mmHg (8). Kenaikan TIK dapat
menurunkan perfusi otak dan menyebabkan atau memperberat iskemia. Prognosis yang buruk
terjadi pada penderita dengan TIK lebih dari 20 mmHg, terutama bila menetap (3).
Pada saat cedera, segera terjadi massa seperti gumpalan darah dapat terus bertambah sementara TIK
masih dalam keadaan normal. Saat pengaliran CSS dan darah intravaskuler mencapai titik
dekompensasi maka TIK secara cepat akan meningkat. Sebuah konsep sederhana dapat
menerangkan tentang dinamika TIK. Konsep utamanya adalah bahwa volume intrakranial harus
selalu konstan, konsep ini dikenal dengan Doktrin Monro-Kellie (3).
Otak memperoleh suplai darah yang besar yaitu sekitar 800ml/min atau 16% dari cardiac output,
untuk menyuplai oksigen dan glukosa yang cukup (8). Aliran darah otak (ADO) normal ke dalam
otak pada orang dewasa antara 50-55 ml per 100 gram jaringan otak per menit. Pada anak, ADO
bisa lebih besar tergantung pada usainya (3,12). ADO dapat menurun 50% dalam 6-12 jam pertama
sejak cedera pada keadaan cedera otak berat dan koma. ADO akan meningkat dalam 2-3 hari
berikutnya, tetapi pada penderita yang tetap koma ADO tetap di bawah normal sampai beberapa
hari atau minggu setelah cedera. Mempertahankan tekanan perfusi otak/TPO (MAP-TIK) pada level
60-70 mmHg sangat rirekomendasikan untuk meningkatkan ADO (3).
-
Cedera Kepala
Definisi dan Epidemiologi
Cedera kepala adalah kekerasan pada kepala yang dapat menyebabkan kerusakan yang kompleks di
kulit kepala, tulang tempurung kepala, selaput otak, dan jaringan otak itu sendiri (6,13,14). Menurut
Brain Injury Assosiation of America cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan
bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan/benturan fisik dari luar,
yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan
kognitif dan fungsi fisik (15). Menurut David A Olson dalam artikelnya cedera kepala didefenisikan
sebagai beberapa perubahan pada mental dan fungsi fisik yang disebabkan oleh suatu benturan
keras pada kepala (16).
Klasifikasi
Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis dikenal 3 deskripsi klasifikasi
yaitu berdasarkan mekanisme, berat dan morfologi (3,17).
Berdasarkan mekanismenya cedera kepala dibagi atas;
1. Cedera kepala tumpul; biasanya berkaitan dengan kecelakaan lalu lintas, jatuh atau pukulan
benda tumpul (3,17). Pada cedera tumpul terjadi akselerasi dan deselerasi yang cepat menyebabkan
otak bergerak di dalam rongga cranial dan melakukan kontak pada protuberans tulang tengkorak
(2).
2. Cedera tembus; disebabkan oleh luka tembak ataupun tusukan (3,17).
Berdasarkan morfologinya cedera kepala dikelompokkan menjadi;
1. Fraktur tengkorak; Fraktur tengkorak dapat terjadi pada atap dan dasar tengkorak (3,17). Fraktur
dapat berupa garis/ linear, mutlipel dan menyebar dari satu titik (stelata) dan membentuk fragmen-
fragmen tulang (kominutif). Fraktur tengkorak dapat berupa fraktur tertutup yang secara normal
tidak memerlukan perlakuan spesifik dan fraktur tertutup yang memerlukan perlakuan untuk
memperbaiki tulang tengkorak (11).
2. Lesi intrakranial; dapat berbentuk lesi fokal (perdarahan epidural, perdarahan subdural, kontusio,
dan peradarahan intraserebral), lesi difus dan terjadi secara bersamaan (3,17).
Secara umum untuk mendeskripsikan beratnya penderita cedera kepala digunakan Glasgow Coma
Scale (GCS) (3,17). Penilaian ini dilakukan terhadap respon motorik (1-6), respon verbal (1-5) dan
buka mata (1-4), dengan interval GCS 3-15 (6,18,19). Berdasarkan beratnya cedera kepala
dikelompokkam menjadi (3,7,17,18):
1. Nilai GCS sama atau kurang dari 8 didefenisikan sebagai cedera kepala berat.
2. Cedera kepala sedang memiliki nilai GCS 9-13 dan,
3. Cedera kepala ringan dengan nilai GCS 14-15.
Patofisiologi
Lesi pada kepala dapat terjadi pada jaringan luar dan dalam rongga kepala (6). Lesi jaringan luar
terjadi pada kulit kepala dan lesi bagian dalam terjadi pada tengkorak, pembuluh darah tengkorak
maupun otak itu sendiri (20).
Terjadinya benturan pada kepala dapat terjadi pada 3 jenis keadaan yaitu (6):
1. Kepala diam dibentur oleh benda yang bergerak,
2. Kepala yang bergerak membentur benda yang diam dan,
3. Kepala yang tidak dapat bergerak karena bersandar pada benda yang lain dibentur oleh benda
yang bergerak (kepala tergencet).
Terjadinya lesi pada jaringan otak dan selaput otak pada cedera kepala diterangkan oleh beberapa
hipotesis yaitu getaran otak, deformasi tengkorak, pergeseran otak dan rotasi otak (6).
Dalam mekanisme cedera kepala dapat terjadi peristiwa contre coup dan coup. Contre coup dan
coup pada cedera kepala dapat terjadi kapan saja pada orang-orang yang mengalami percepatan
pergerakan kepala. Cedera kepala pada coup disebabkan hantaman pada otak bagian dalam pada sisi
yang terkena sedangkan contre coup terjadi pada sisi yang berlawanan dengan daerah benturan .
Kejadian coup dan contre coup dapat terjadi pada keadaan (22).;
Berdasarkan patofisiologinya cedera kepala dibagi menjadi cedera kepala primer dan cedera kepala
skunder (1,23). Cedera kepala primer merupakan cedera yang terjadi saat atau bersamaan dengan
kejadian cedera, dan merupakan suatu fenomena mekanik. Cedera ini umumnya menimbulkan lesi
permanen. Tidak banyak yang bisa dilakukan kecuali membuat fungsi stabil, sehingga sel-sel yang
sakit dapat menjalani proses penyembuhan yang optimal (1,23,24,25).
Cedera kepala skunder merupakan proses lanjutan dari cedera primer dan lebih merupakan
fenomena metabolik (1). Pada penderita cedera kepala berat, pencegahan cedera kepala skunder
dapat mempengaruhi tingkat kesembuhan/keluaran penderita (3).
Penyebab cedera kepala skunder antara lain; penyebab sistemik (hipotensi, hipoksemia,
hipo/hiperkapnea, hipertermia, dan hiponatremia) dan penyebab intracranial (tekanan intrakranial
meningkat, hematoma, edema, pergeseran otak (brain shift), vasospasme, kejang, dan infeksi)
(1,23).
Aspek patologis dari cedera kepala antara lain; hematoma epidural (perdarahan yang terjadi antara
tulang tengkorak dan dura mater), perdarahan subdural (perdarahan yang terjadi antara dura mater
dan arakhnoidea), higroma subdural (penimbunan cairan antara dura mater dan arakhnoidea),
perdarahan subarakhnoidal cederatik (perdarahan yang terjadi di dalam ruangan antara arakhnoidea
dan permukaan otak), hematoma serebri (massa darah yang mendesak jaringan di sekitarnya akibat
robekan sebuah arteri), edema otak (tertimbunnya cairan secara berlebihan didalam jaringan otak),
kongesti otak (pembengkakan otak yang tampak terutama berupa sulsi dan ventrikel yang
menyempit), cedera otak fokal (kontusio, laserasio, hemoragia dan hematoma serenri setempat), lesi
nervi kranialis dan lesi sekunder pada cedera otak
Pemeriksaan klinis
Pemeriksaan klinis pada pasien cedera kepala secara umum meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik
umum, pemeriksaan neurologis dan pemeriksaan radiologi, pemeriksaan tanda-tanda vital juga
dilakukan yaitu kesadaran, nadi, tekanan darah, frekuensi dan jenis pernafasan serta suhu badan
(6,27). Pengukuran tingkat keparahan pada pasien cedera kepala harus dilakukan yaitu dengan
Glasgow Coma Scale (GCS) yang pertama kali dikenalkan oleh Teasdale dan Jennett pada tahun
1974 yang digunakan sebagai standar internasional
Tabel 2.1 Glasgow Coma Scale (3,6,17)
Glasgow Coma Scale Nilai
Respon membuka mata (E)
Buka mata spontan
Buka mata bila dipanggil/rangsangan suara
Buka mata bila dirangsang nyeri
Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun
4
3
2
1
Respon verbal (V)
Komunikasi verbal baik, jawaban tepat
Bingung, disorientasi waktu, tempat, dan orang
Kata-kata tidak teratur
Suara tidak jelas
Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun
5
4
3
2
1
Respon motorik (M)
Mengikuti perintah
Dengan rangsangan nyeri, dapat mengetahui tempat rangsangan
Dengan rangsangan nyeri, menarik anggota badan
Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi fleksi abnormal
Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi ekstensi abnormal
Dengan rangsangan nyeri, tidak ada reaksi
6
5
4
3
2
1
Nilai GCS = ( E+V+M), nilai terbaik = 15 dan nilai terburuk = 3
Pada pemerikasaan neurologis respon pupil, pergerakan mata, pergerakan wajah, respon sensorik
dan pemeriksaan terhadap nervus cranial perlu dilakukan. Pupil pada penderita cedera kepala didak
berdilatasi pada keadaan akut, jadi jika terjadi perubahan dari pupil dapat dijadikan sebagai tanda
awal terjadinya herniasi. Kekuatan dan simetris dari letak anggota gerak ekstrimitas dapat dijadikan
dasar untuk mencari tanda gangguan otak dan medula spinalis. Respon sensorik dapat dijadikan
dasar menentukan tingkat kesadaran dengan memberikan rangsangan pada kulit penderita (6,28).
CT scan merupakan study diagnosis pilihan dalam evaluasi penderita cedera kepala (29,30). CT
scan idealnya dilakukan pada semua cedera otak dengan kehilangan kesadaran lebih dari 5 menit,
amnesia, sakit kepala hebat, GCS<15>(3). CT scan dapat memperlihatkan tanda terjadinya fraktur,
perdarahan pada otak (hemoragi), gumpalan darah (hematom), luka memar pada jaringan otak
(kontusio), dan udem pada jaringan otak (29,30,31). Selain itu juga dapat digunakan foto rongen
sinar X, MRI, angiografi dan sken tomografik terkomputerisasi (6,30). Pada pasien cedera kepala
berat, penundaan transportasi penderita karena menunggu CT scan sangat berbahaya karena
diagnosis serta terapi yang cepat sangat penting (3).
Transportasi penderita cedera kepala
Transportasi penderita cedera kepala terutama penderita dengan cedera kepala sedang dan berat
harus cepat dilakukan untuk mendapatkan tindakan medis yang cepat, tepat dan aman (2,32).
Karena keterlambatan sampai di rumah sakit, 10 % dari total penderita cedera kepala di Amerika
Serikat meninggal (3). Pada penderita cedera kepala berat sering menderita gangguan pernafasan,
syok hipovolemik, gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit, tekanan intrakranial meninggi,
kejang-kejang, gangguan kardiovaskuler, karena itu perlu penanganan yang cepat (6). Tindakan
gawat darurat yang perlu dilakukan untuk menyelamatkan penderita yaitu; menjaga kelancaran
jalan nafas (air way), oksigenasi yang adekuat, resusitasi cairan, melindungi vertebra servikalis dan
torakolumbal, identifikasi dan stabilisasi perdarahan ekstrakranial, dan menilai tingkat kesadaran
penderita (26).
Dalam penganan pasien dengan cedera kepala berat transportasi sangat penting, karena
berhubungan dengan cedera kepala sekunder. Cedera kepala sekunder yang sering terjadi dan
menyebabkan kematian adalah hipoksia dan hipotensi (3). Waktu tunggu penderita dirumah sakit
untuk penanganan penderita cedera kepala untuk cedera kepala berat <5>(33). Pada penderita
cedera kepala berat dengan perdarahan subdural sebaiknya interval waktu kejadian trauma dan
tindakan yang dilakukan kurang dari 4 jam, sedangkan pada penderita dengan interval waktu lebih
dari 12 jam prognosis buruk (17). Seelig et al telah melakukan penelitian tentang pentingnya
penanganan dan transportasi yang cepat pada penderita dengan cedera kepala berat tertutup dan
perdarahan subdural akut. Penderita dengan hematoma yang dievakuasi lebih kurang 4 jam, angka
kematiannya 30% dan 65% dengan keluaran baik. Sedangkan penderita yang dioperasi diatas 4 jam,
angka kematiannya 90% dan kurang dari 10 % dengan keluaran baik (4).
Faktor-faktor yang memperburuk prognosis pada penderita cedera kepala yaitu; terlambatnya
penanganan awal/resusitasi, pengangkutan/transport yang tidak adekuat, dikirim ke rumah sakit
yang tidak adekuat, terlambatnya delakukan tindakan bedah dan adanya cedera multipel yang lain
(1).

Pengukuran keluaran penderita cedera kepala


Berdasarkan pengukuran GCS di Amerika mayoritas (75-80%) penderita cedera kepala adalah
cedera kepala ringan, cedera kepala sedang dan berat yang masing-masingnya antara 10% dan 20%
(19). Sebagian besar penderita dengan cedera otak ringan pulih sempurna, tapi terkadang ada gejala
sisa yang sangat ringan. Perburukan yang tidak terduga pada penderita cedera kepala ringan lebih
kurang 3% yang mengakibatkan disfungsi neurologis yang berat kecuali bila perubahan kesadaran
dapat dideteksi lebih awal. Sekitar 10-20% dari penderita cedera kepala sedang mengalami
perburukan dan jatuh dalam koma. Pada penderita dengan cedera kepala berat sering diperburuk
dengan cedera skunder. Hipoksia yang disertai dengan hipotensi pada penderita cedera kepala berat
akan menyebabkan mortalitas mencapai 75% (3).
Kecacatan akibat cedera kepala tergantung dari tingkat beratnya cedera, lokasi cedera, umur dan
kesehatan penderita. Beberapa kejadian kecacatan tersering yaitu masalah kesadaran (fikiran,
ingatan dan akal sehat), proses sensorik (melihat, mendengar, meraba, mengecap dan menghidu),
berkomunikasi (ekspresi dan pemahaman) dan tingkah laku atau kesehatan mental (depresi,
gelisah/cemas, perubahan kepribadian, agresif/menyerang, dan keadaan sosial yang tidak normal)
(27).
Menentukan keluaran dan prognosis dari cedera kepala sangat sulit (32,34). Terlambatnya
penanganan awal/resusitasi, pengangkutan/transport yang tidak adekuat, dikirim ke rumah sakit
yang tidak adekuat, terlambatnya dilakukan tindakan bedah dan adanya cedera multiple yang lain
merupakan faktor-faktor yang memperburuk prognosis penderita cedera kepala (1). Untuk keluaran
penderita, pengukuran standar yang biasa digunakan adalah Glasgow Outcome Scale (GOS) yang
dikemukakan oleh Jennett dan Bond (1975) (2,26,35).
Tabel 2.2 glasgow outcome scale (35)
Skore Kategori Keterangan
1
2
3
4
5
Death (meninggal)

Vegetative state

Severe disability
Moderate disability

Good recovery
Merupakan akibat langsung dari cedera kepala. Penderita menjadi sadar kembali dan meninggal
setelah itu karena komplikasi skunder dan penyebab lain.
Penderita tidak memberikan respon dan tidak bisa berbicara untuk beberapa waktu kedepan.
Penderita mungkin dapat membuka mata dan menunjukkan siklus tidur dan bangun tetapi fungsi
dari korteks serebral tidak ada.
Membutuhkan bantuan orang lain dalam melakukan aktifitas sehari-hari disebabkan karena
kecacatan mental atau fisik, biasanya kombinasi antara keduanya. Kecacatan mental yang berat
kadang-kadang juga dapat dimasukkan dalam klasifikasi ini pada penderita dengan
kecacatan fisik sedikit atau tidak ada.
Dapat berjalan-jalan menggunakan transportasi umum dan bekerja di tempat-tempat tertentu
(dengan perlindungan) dan dapat beraktifitas bebas sejauh kegiatan tersebut tidak
mengkhawatirkan. Ketidakmampuan(kecacatan) penderita mencakup perubahan derajat dari
dispasia, hemiparise, atau ataksia maupun berkurangnya intelektual dan daya ingat dan perubahan
personalitas. Lebih mampu untuk melakukan hal-hal protektif diri.
Dapat melanjutkan kehidupan normal sekalipun terjadi keadaan defisit neurologis
Evaluasi/taksiran penilaian praktis dari keluaran penderita cedera kepala berat.
GOS dibagi menjadi 5 skala yaitu: good recovery, moderate disability, severe disability, vegetative
dan death (2,26,35). Dari skala di atas dapat dibagi menjadi keluaran baik/favorable outcome (good
recovery dan moderate disability) dan keluaran buruk/unfavorable outcome (severe disability,
vegetative dan dead) (26). Cederatic Coma Data Bank menganalisa 760 penderita cedera kepala dan
mengidentifikasi 5 faktor yang berhubungan dengan keluaran buruk yaitu; umur penderita diatas 60
tahun, GSC <5,>(29).
Data dari Rosner, Marion and rekan kerjanya melaporkan total penderita 241 orang dengan GCS
<7,>(26).
Dari data Journal of Nuerotaruma ada beberapa penelitan terbaru yang berhubungan dengan tingkat
keparahan ataupun keluaran penderita cedera kepala terutama penderita cedera kepala berat. Kadar
magnesium serum yang rendah berhubungan dengan keluaran buruk pada penderita setelah cedera
kepala berat. Respon stres berperan oenting dalam penurunan konsentrasi magnesium. Serum
hipomagnesemia menjadi independent marker untuk beratnya cedera kepala (36). Penderita cedera
kepala dengan usia 75 tahun atau lebih secara signifikan tidak dapat bertahan hidup setelah tindakan
bedah dari pada penderita muda (14-64 tahun) (37). Von Willebrand Factor (VWF) dikenal sebagai
biomaker dari cedere pada endotelial. Peningkatan dari kadar serum VWF terjadi karena aktivasi
endotelial pada cedera kepala berat. Peningkatan serum VWF pada cedera kepala cerat merupakan
tanda dari keluaran buruk dari penderita (38). High intracranial pressure (HICP) adala komplikasi
yang sering dijumpai dan berbahaya dari cedera kepala, berat dan durasi HICP berhubungan dengan
keluaran buruk penderita dan memerlukan terapi yang intensif (39).

Komplikasi
Koma. Penderita tidak sadar dan tidak memberikan respon disebut coma. Pada situasi ini, secara
khas berlangsung hanya beberapa hari atau minggu, setelah masa ini penderita akan terbangun,
sedangkan beberapa kasus lainya memasuki vegetative state atau mati penderita pada masa
vegetative statesering membuka matanya dan mengerakkannya, menjerit atau menjukan respon
reflek. Walaupun demikian penderita masih tidak sadar dan tidak menyadari lingkungan sekitarnya.
Penderita pada masa vegetative state lebih dari satu tahun jarang sembuh (6,31).
Seizure. Pederita yang mengalami cedera kepala akan mengalami sekurang-kurangnya sekali
seizure pada masa minggu pertama setelah cedera. Meskipun demikian, keadaan ini berkembang
menjadi epilepsy (6,31).
Infeksi. Faktur tengkorak atau luka terbuka dapat merobekan membran (meningen) sehingga kuman
dapat masuk. Infeksi meningen ini biasanya berbahaya karena keadaan ini memiliki potensial untuk
menyebar ke sistem saraf yang lain (6,31).
Kerusakan saraf. Cedera pada basis tengkorak dapat menyebabkan kerusakan pada nervus facialis.
Sehingga terjadi paralysis dari otot-otot facialis atau kerusakan dari saraf untuk pergerakan bola
mata yang menyebabkan terjadinya penglihatan ganda (6,31).
Hilangnya kemampuan kognitif. Berfikir, akal sehat, penyelesaian masalah, proses informasi dan
memori merupakan kemampuan kognitif. Banyak penderita dengan cedera kepala berat mengalami
masalah kesadaran (6,31).
Penyakit Alzheimer dan Parkinson. Pada kasus cedera kapala resiko perkembangan terjadinya
penyakit alzheimer tinggi dan sedikit terjadi parkinson. Resiko akan semakin tinggi tergantung
frekuensi dan keparahan cedera (6,31).

2.2.8 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan awal penderita cedara kepala pada dasarnya memikili tujuan untuk memantau
sedini mungkin dan mencegah cedera kepala sekunder serta memperbaiki keadaan umum seoptimal
mungkin sehingga dapat membantu penyembuhan sel-sel otak yang sakit (1). Untuk
penatalaksanaan penderita cedera kepala, Adveanced Cedera Life Support (2004) telah menepatkan
standar yang disesuaikan dengan tingkat keparahan cedera yaitu ringan, sedang dan berat (3).
Penatalaksanaan penderita cerdera kepala meliputi survei primer dan survei sekunder. Dalam
penatalaksanaan survei primer hal-hal yang diprioritaskan antara lain : A (airway), B (breathing), C
(circulation), D (disability), dan E (exposure/environmental control) yang kemudian dilanjutkan
dengan resusitasi. Pada penderita cedera kepala khususnya dengan cedera kepala berat survei
primer sangatlah penting untuk mencegah cedera otak skunder dan menjaga homeostasis otak (3).
Kelancaran jalan napas (airway) merupakan hal pertama yang harus diperhatikan. Jika penderita
dapat berbicara maka jalan napas kemungkinan besar dalam keadaan adekuat. Obstruksi jalan napas
sering terjadi pada penderita yang tidak sadar, yang dapat disebabkan oleh benda asing, muntahan,
jatuhnya pangkal lidah, atau akibat fraktur tulang wajah. Usaha untuk membebaskan jalan napas
harus melindungi vertebra servikalis (cervical spine control), yaitu tidak boleh melakukan ekstensi,
fleksi, atau rotasi yang berlebihan dari leher. Dalam hal ini, kita dapat melakukan chin lift atau jaw
thrust sambil merasakan hembusan napas yang keluar melalui hidung. Bila ada sumbatan maka
dapat dihilangkan dengan cara membersihkan dengan jari atau suction jika tersedia. Untuk menjaga
patensi jalan napas selanjutnya dilakukan pemasangan pipa orofaring. Bila hembusan napas tidak
adekuat, perlu bantuan napas. Bantuan napas dari mulut ke mulut akan sangat bermanfaat
(breathing). Apabila tersedia, O2 dapat diberikan dalam jumlah yang memadai. Pada penderita
dengan cedera kepala berat atau jika penguasaan jalan napas belum dapat memberikan oksigenasi
yang adekuat, bila memungkinkan sebaiknya dilakukan intubasi endotrakheal (1).
Status sirkulasi dapat dinilai secara cepat dengan memeriksa tingkat kesadaran dan denyut nadi
(circulation). Tindakan lain yang dapat dilakukan adalah mencari ada tidaknya perdarahan
eksternal, menilai warna serta temperatur kulit, dan mengukur tekanan darah. Denyut nadi perifer
yang teratur, penuh, dan lambat biasanya menunjukkan status sirkulasi yang relatif normovolemik.
Pada penderita dengan cedera kepala, tekanan darah sistolik sebaiknya dipertahankan di atas 100
mmHg untuk mempertahankan perfusi ke otak yang adekuat. Denyut nadi dapat digunakan secara
kasar untuk memperkirakan tekanan sistolik. Bila denyut arteri radialis dapat teraba maka tekanan
sistolik lebih dari 90 mmHg. Bila denyut arteri femoralis yang dapat teraba maka tekanan sistolik
lebih dari 70 mmHg. Sedangkan bila denyut nadi hanya teraba pada arteri karotis maka tekanan
sistolik hanya berkisar 50 mmHg. Bila ada perdarahan eksterna, segera hentikan dengan penekanan
pada luka (1).
Setelah survei primer, hal selanjutnya yang dilakukan yaitu resusitasi. Cairan resusitasi yang
dipakai adalah Ringer Laktat atau NaCl 0,9%, sebaiknya dengan dua jalur intra vena. Pemberian
cairan jangan ragu-ragu, karena cedera sekunder akibat hipotensi lebih berbahaya terhadap cedera
otak dibandingkan keadaan udem otak akibat pemberian cairan yang berlebihan. Posisi tidur yang
baik adalah kepala dalam posisi datar, cegah head down (kepala lebih rendah dari leher) karena
dapat menyebabkan bendungan vena di kepala dan menaikkan tekanan intracranial (1).
Pada penderita cedera kepala berat cedera otak sekunder sangat menentukan keluaran penderita.
Survei sekunder dapat dilakukan apabila keadaan penderita sudah stabil yang berupa pemeriksaan
keseluruhan fisik penderita. Pemeriksaan neurologis pada penderita cedera kepala meliputi respos
buka mata, respon motorik, respon verbal, refleks cahaya pupil, gerakan bola mata (doll’s eye
phonomenome, refleks okulosefalik), test kalori dengan suhu dingin (refleks okulo vestibuler) dan
refleks kornea (3,29).
Tidak semua pederita cedera kepala harus dirawat di rumah sakit. Indikasi perawatan di rumah sakit
antara lain; fasilitas CT scan tidak ada, hasil CT scan abnormal, semua cedera tembus, riwayat
hilangnya kesadaran, kesadaran menurun, sakit kepala sedang-berat, intoksikasi alkohol/obat-
obatan, kebocoran liquor (rhinorea-otorea), cedera penyerta yang bermakna, GCS<15>(3).
Terapi medikamentosa pada penderita cedera kepala dilakukan untuk memberikan suasana yang
optimal untuk kesembuhan. Hal-hal yang dilakukan dalam terapi ini dapat berupa pemberian cairan
intravena, hiperventilasi, pemberian manitol, steroid, furosemid, barbitirat dan antikonvulsan (3).
Indikasi pembedahan pada penderita cedera kepala bila hematom intrakranial >30 ml, midline shift
>5 mm, fraktur tengkorak terbuka, dan fraktur tengkorak depres dengan kedalaman >1 cm (3,29).
yayanakhyar.wordpress.com/2008/04/.../cedera-kepala-head-injury/

TINJAUAN PUSTAKA
Anatomi dan Fisiologi Kepala

Anatomi Kepala

A. Kulit Kepala

Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut SCALP yaitu; skin atau kulit, connective tissue atau

jaringan penyambung, aponeurosis atau galea aponeurotika, loose conective tissue atau jaringan

penunjang longgar dan pericranium (3,5).

Kulit kepala memiliki banyak pembuluh darah sehingga perdarahan akibat laserasi kulit kepala

akan menyebabkan banyak kehilangan darah, terutama pada bayi dan anak-anak (6,3).
Gambar 1. Lapisan Kranium

Tulang tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii (2,7). Tulang tengkorak terdiri dari

beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal dan oksipital (5,8). Kalvaria khususnya diregio

temporal adalah tipis, namun disini dilapisi oleh otot temporalis. Basis cranii berbentuk tidak rata

sehingga dapat melukai bagian dasar otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan deselerasi.

Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu : fosa anterior tempat lobus frontalis, fosa media

tempat temporalis dan fosa posterior ruang bagi bagian bawah batang otak dan serebelum (3).

C. Meningen

Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapisan yaitu :

1. Dura mater

Dura mater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan endosteal dan lapisan

meningeal (5). Dura mater merupakan selaput yang keras, terdiri atas jaringan ikat fibrisa

yang melekat erat pada permukaan dalam dari kranium. Karena tidak melekat pada selaput

arachnoid di bawahnya, maka terdapat suatu ruang potensial (ruang subdura) yang terletak

antara dura mater dan arachnoid, dimana sering dijumpai perdarahan subdural. Pada cedera

otak, pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak menuju sinus sagitalis

superior di garis tengah atau disebut Bridging Veins, dapat mengalami robekan dan

menyebabkan perdarahan subdural. Sinus sagitalis superior mengalirkan darah vena ke

sinus transversus dan sinus sigmoideus. Laserasi dari sinus-sinus ini dapat mengakibatkan

perdarahan hebat (3).

Arteri-arteri meningea terletak antara dura mater dan permukaan dalam dari kranium (ruang

epidural). Adanya fraktur dari tulang kepala dapat menyebabkan laserasi pada arteri-arteri

ini dan menyebabkan perdarahan epidural. Yang paling sering mengalami cedera adalah

arteri meningea media yang terletak pada fosa temporalis (fosa media) (3).

2. Selaput Arakhnoid
Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang (3). Selaput arakhnoid

terletak antara pia mater sebelah dalam dan dura mater sebelah luar yang meliputi otak.

Selaput ini dipisahkan dari dura mater oleh ruang potensial, disebut spatium subdural dan

dari pia mater oleh spatium subarakhnoid yang terisi oleh liquor serebrospinalis (5).

Perdarahan sub arakhnoid umumnya disebabkan akibat cedera kepala (3).

3. Pia mater
Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri (3). Pia mater adarah membrana

vaskular yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyri dan masuk kedalam sulci yang

paling dalam. Membrana ini membungkus saraf otak dan menyatu dengan epineuriumnya.

Arteri-arteri yang masuk kedalam substansi otak juga diliputi oleh pia mater (5).

D. Otak

Otak merupakan suatu struktur gelatin yang mana berat pada orang dewasa sekitar 14 kg (8). Otak

terdiri dari beberapa bagian yaitu; Proensefalon (otak depan) terdiri dari serebrum dan diensefalon,

mesensefalon (otak tengah) dan rhombensefalon (otak belakang) terdiri dari pons, medula

oblongata dan serebellum (5).

Fisura membagi otak menjadi beberapa lobus (8). Lobus frontal berkaitan dengan fungsi emosi,

fungsi motorik dan pusat ekspresi bicara. Lobus parietal berhubungan dengan fungsi sensorik dan

orientasi ruang. Lobus temporal mengatur fungsi memori tertentu. Lobus oksipital

bertanggungjawab dalam proses penglihatan. Mesensefalon dan pons bagian atas berisi sistem

aktivasi retikular yang berfungsi dalam kesadaran dan kewapadaan. Pada medula oblongata

terdapat pusat kardiorespiratorik. Serebellum bertanggungjawab dalam fungsi koordinasi dan

keseimbangan (3,9).

Gambar 2. Lobus-lobus Otak


E. Cairan serebrospinalis
Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh plexus khoroideus dengan kecepatan produksi

sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari dari ventrikel lateral melalui foramen monro menuju

ventrikel III, akuaduktus dari sylvius menuju ventrikel IV. CSS akan direabsorbsi ke dalam

sirkulasi vena melalui granulasio arakhnoid yang terdapat pada sinus sagitalis superior. Adanya

darah dalam CSS dapat menyumbat granulasio arakhnoid sehingga mengganggu penyerapan CSS

dan menyebabkan kenaikan takanan intrakranial (3). Angka rata-rata pada kelompok populasi

dewasa volume CSS sekitar 150 ml dan dihasilkan sekitar 500 ml CSS per hari (11).

F. Tentorium

Tentorium serebeli membagi rongga tengkorak menjadi ruang supratentorial (terdiri dari fosa

kranii anterior dan fosa kranii media) dan ruang infratentorial (berisi fosa kranii posterior) (3).

G. Perdarahan Otak

Otak disuplai oleh dua arteri carotis interna dan dua arteri vertebralis. Keempat arteri ini

beranastomosis pada permukaan inferior otak dan membentuk circulus Willisi. Vena-vena otak

tidak mempunyai jaringan otot didalam dindingnya yang sangat tipis dan tidak mempunyai katup.

Vena tersebut keluar dari otak dan bermuara ke dalam sinus venosus cranialis (5).

Fisiologi Kepala

Tekanan intrakranial (TIK) dipengaruhi oleh volume darah intrakranial, cairan secebrospinal dan

parenkim otak. Dalam keadaan normal TIK orang dewasa dalam posisi terlentang sama dengan

tekanan CSS yang diperoleh dari lumbal pungsi yaitu 4 – 10 mmHg (8). Kenaikan TIK dapat

menurunkan perfusi otak dan menyebabkan atau memperberat iskemia. Prognosis yang buruk

terjadi pada penderita dengan TIK lebih dari 20 mmHg, terutama bila menetap (3).

Pada saat cedera, segera terjadi massa seperti gumpalan darah dapat terus bertambah sementara

TIK masih dalam keadaan normal. Saat pengaliran CSS dan darah intravaskuler mencapai titik

dekompensasi maka TIK secara cepat akan meningkat. Sebuah konsep sederhana dapat
menerangkan tentang dinamika TIK. Konsep utamanya adalah bahwa volume intrakranial harus

selalu konstan, konsep ini dikenal dengan Doktrin Monro-Kellie (3).

Otak memperoleh suplai darah yang besar yaitu sekitar 800ml/min atau 16% dari cardiac output,

untuk menyuplai oksigen dan glukosa yang cukup (8). Aliran darah otak (ADO) normal ke dalam

otak pada orang dewasa antara 50-55 ml per 100 gram jaringan otak per menit. Pada anak, ADO

bisa lebih besar tergantung pada usainya (3,12). ADO dapat menurun 50% dalam 6-12 jam pertama

sejak cedera pada keadaan cedera otak berat dan koma. ADO akan meningkat dalam 2-3 hari

berikutnya, tetapi pada penderita yang tetap koma ADO tetap di bawah normal sampai beberapa

hari atau minggu setelah cedera. Mempertahankan tekanan perfusi otak/TPO (MAP-TIK) pada

level 60-70 mmHg sangat rirekomendasikan untuk meningkatkan ADO (3).

-
Cedera Kepala
Definisi dan Epidemiologi

Cedera kepala adalah kekerasan pada kepala yang dapat menyebabkan kerusakan yang kompleks di

kulit kepala, tulang tempurung kepala, selaput otak, dan jaringan otak itu sendiri (6,13,14). Menurut

Brain Injury Assosiation of America cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan

bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan/benturan fisik dari luar,

yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan

kognitif dan fungsi fisik (15). Menurut David A Olson dalam artikelnya cedera kepala didefenisikan

sebagai beberapa perubahan pada mental dan fungsi fisik yang disebabkan oleh suatu benturan

keras pada kepala (16).

Klasifikasi

Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis dikenal 3 deskripsi klasifikasi

yaitu berdasarkan mekanisme, berat dan morfologi (3,17).


Berdasarkan mekanismenya cedera kepala dibagi atas;

1. Cedera kepala tumpul; biasanya berkaitan dengan kecelakaan lalu lintas, jatuh atau pukulan

benda tumpul (3,17). Pada cedera tumpul terjadi akselerasi dan deselerasi yang cepat

menyebabkan otak bergerak di dalam rongga cranial dan melakukan kontak pada protuberans

tulang tengkorak (2).

2. Cedera tembus; disebabkan oleh luka tembak ataupun tusukan (3,17).

Berdasarkan morfologinya cedera kepala dikelompokkan menjadi;

1. Fraktur tengkorak; Fraktur tengkorak dapat terjadi pada atap dan dasar tengkorak (3,17). Fraktur

dapat berupa garis/ linear, mutlipel dan menyebar dari satu titik (stelata) dan membentuk

fragmen-fragmen tulang (kominutif). Fraktur tengkorak dapat berupa fraktur tertutup yang

secara normal tidak memerlukan perlakuan spesifik dan fraktur tertutup yang memerlukan

perlakuan untuk memperbaiki tulang tengkorak (11).

2. Lesi intrakranial; dapat berbentuk lesi fokal (perdarahan epidural, perdarahan subdural, kontusio,

dan peradarahan intraserebral), lesi difus dan terjadi secara bersamaan (3,17).

Secara umum untuk mendeskripsikan beratnya penderita cedera kepala digunakan Glasgow Coma

Scale (GCS) (3,17). Penilaian ini dilakukan terhadap respon motorik (1-6), respon verbal (1-5) dan

buka mata (1-4), dengan interval GCS 3-15 (6,18,19). Berdasarkan beratnya cedera kepala

dikelompokkam menjadi (3,7,17,18):

1. Nilai GCS sama atau kurang dari 8 didefenisikan sebagai cedera kepala berat.

2. Cedera kepala sedang memiliki nilai GCS 9-13 dan,

3. Cedera kepala ringan dengan nilai GCS 14-15.

Patofisiologi

Lesi pada kepala dapat terjadi pada jaringan luar dan dalam rongga kepala (6). Lesi jaringan
luar terjadi pada kulit kepala dan lesi bagian dalam terjadi pada tengkorak, pembuluh darah

tengkorak maupun otak itu sendiri (20).

Terjadinya benturan pada kepala dapat terjadi pada 3 jenis keadaan yaitu (6):

1. Kepala diam dibentur oleh benda yang bergerak,

2. Kepala yang bergerak membentur benda yang diam dan,

3. Kepala yang tidak dapat bergerak karena bersandar pada benda yang lain dibentur oleh benda

yang bergerak (kepala tergencet).

Terjadinya lesi pada jaringan otak dan selaput otak pada cedera kepala diterangkan oleh beberapa
hipotesis yaitu getaran otak, deformasi tengkorak, pergeseran otak dan rotasi otak (6).
Dalam mekanisme cedera kepala dapat terjadi peristiwa contre coup dan coup. Contre coup dan
coup pada cedera kepala dapat terjadi kapan saja pada orang-orang yang mengalami percepatan
pergerakan kepala. Cedera kepala pada coup disebabkan hantaman pada otak bagian dalam pada sisi
yang terkena sedangkan contre coup terjadi pada sisi yang berlawanan dengan daerah benturan (22).
Kejadian coup dan contre coup dapat terjadi pada keadaan (22).;
1. Rear end Impact

Gambar 2.5 Rear end Impact 22)

Keadaan ini terjadi ketika pengereman mendadak pada mobil. Otak

pertama kali akan menghantam bagian depan dari tulang kepala

meskipun kepala pada awalnya bergerak ke belakang. Sehingga

trauma terjadi pada otak bagian depan.

2. Backward/forward motion of head

Gambar 2.6 Forward Motion of Head


(22)

Gambar 2.7 Backward Motion of


Head (22)

Karena pergerakan ke belakang yang cepat dari kepala,


sehingga pergerakan otak terlambat dari tulang tengkorak, dan bagian depan otak menabrak tulang

tengkorak bagian depan. Pada keadaan ini, terdapat daerah yang secara mendadak terjadi penurunan

tekanan sehingga membuat ruang antara otak dan tulang tengkorak bagian belakang dan terbentuk

gelembung udara. Pada saat otak bergerak ke belakang maka ruangan yang tadinya bertekanan

rendah menjadi tekanan tinggi dan menekan gelembung udara tersebut. Terbentuknya dan

kolapsnya gelembung yang mendadak sangat berbahaya bagi pembuluh darah otak karena terjadi

penekanan, sehingga daerah yang memperoleh suplai darah dari pembuluh tersebut dapat terjadi

kematian sel-sel otak. Begitu juga bila terjadi pergerakan kepala ke depan.

Berdasarkan patofisiologinya cedera kepala dibagi menjadi cedera kepala primer dan cedera

kepala skunder (1,23). Cedera kepala primer merupakan cedera yang terjadi saat atau bersamaan

dengan kejadian cedera, dan merupakan suatu fenomena mekanik. Cedera ini umumnya

menimbulkan lesi permanen. Tidak banyak yang bisa dilakukan kecuali membuat fungsi stabil,

sehingga sel-sel yang sakit dapat menjalani proses penyembuhan yang optimal (1,23,24,25).

Cedera kepala skunder merupakan proses lanjutan dari cedera primer dan lebih merupakan

fenomena metabolik (1). Pada penderita cedera kepala berat, pencegahan cedera kepala skunder

dapat mempengaruhi tingkat kesembuhan/keluaran penderita (3).

Penyebab cedera kepala skunder antara lain; penyebab sistemik (hipotensi, hipoksemia,

hipo/hiperkapnea, hipertermia, dan hiponatremia) dan penyebab intracranial (tekanan intrakranial

meningkat, hematoma, edema, pergeseran otak (brain shift), vasospasme, kejang, dan infeksi) (1,23).

Aspek patologis dari cedera kepala antara lain; hematoma epidural (perdarahan yang terjadi

antara tulang tengkorak dan dura mater), perdarahan subdural (perdarahan yang terjadi antara dura

mater dan arakhnoidea), higroma subdural (penimbunan cairan antara dura mater dan arakhnoidea),

perdarahan subarakhnoidal cederatik (perdarahan yang terjadi di dalam ruangan antara arakhnoidea

dan permukaan otak), hematoma serebri (massa darah yang mendesak jaringan di sekitarnya akibat

robekan sebuah arteri), edema otak (tertimbunnya cairan secara berlebihan didalam jaringan otak),
kongesti otak (pembengkakan otak yang tampak terutama berupa sulsi dan ventrikel yang

menyempit), cedera otak fokal (kontusio, laserasio, hemoragia dan hematoma serenri setempat), lesi

nervi kranialis dan lesi sekunder pada cedera otak (6,23,26).

Pemeriksaan klinis

Pemeriksaan klinis pada pasien cedera kepala secara umum meliputi anamnesis,

pemeriksaan fisik umum, pemeriksaan neurologis dan pemeriksaan radiologi, pemeriksaan tanda-

tanda vital juga dilakukan yaitu kesadaran, nadi, tekanan darah, frekuensi dan jenis pernafasan serta

suhu badan (6,27). Pengukuran tingkat keparahan pada pasien cedera kepala harus dilakukan yaitu

dengan Glasgow Coma Scale (GCS) yang pertama kali dikenalkan oleh Teasdale dan Jennett pada

tahun 1974 yang digunakan sebagai standar internasional (6,26,28).

Tabel 2.1 Glasgow Coma Scale (3,6,17)

Glasgow Coma Scale Nilai

Respon membuka mata (E)


Buka mata spontan 4
Buka mata bila dipanggil/rangsangan suara 3
Buka mata bila dirangsang nyeri 2
Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun 1

Respon verbal (V)


Komunikasi verbal baik, jawaban tepat 5
Bingung, disorientasi waktu, tempat, dan orang 4
Kata-kata tidak teratur 3
Suara tidak jelas 2
Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun 1

Respon motorik (M)


Mengikuti perintah 6
Dengan rangsangan nyeri, dapat mengetahui tempat rangsangan 5
Dengan rangsangan nyeri, menarik anggota badan 4
Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi fleksi abnormal 3
Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi ekstensi abnormal 2
Dengan rangsangan nyeri, tidak ada reaksi 1

Nilai GCS = ( E+V+M), nilai terbaik = 15 dan nilai terburuk = 3

Pada pemerikasaan neurologis respon pupil, pergerakan mata, pergerakan wajah, respon sensorik

dan pemeriksaan terhadap nervus cranial perlu dilakukan. Pupil pada penderita cedera kepala didak

berdilatasi pada keadaan akut, jadi jika terjadi perubahan dari pupil dapat dijadikan sebagai tanda

awal terjadinya herniasi. Kekuatan dan simetris dari letak anggota gerak ekstrimitas dapat dijadikan

dasar untuk mencari tanda gangguan otak dan medula spinalis. Respon sensorik dapat dijadikan

dasar menentukan tingkat kesadaran dengan memberikan rangsangan pada kulit penderita (6,28).

CT scan merupakan study diagnosis pilihan dalam evaluasi penderita cedera kepala (29,30). CT scan

idealnya dilakukan pada semua cedera otak dengan kehilangan kesadaran lebih dari 5 menit,

amnesia, sakit kepala hebat, GCS<15>(3). CT scan dapat memperlihatkan tanda terjadinya fraktur,

perdarahan pada otak (hemoragi), gumpalan darah (hematom), luka memar pada jaringan otak

(kontusio), dan udem pada jaringan otak (29,30,31). Selain itu juga dapat digunakan foto rongen sinar

X, MRI, angiografi dan sken tomografik terkomputerisasi (6,30). Pada pasien cedera kepala berat,

penundaan transportasi penderita karena menunggu CT scan sangat berbahaya karena diagnosis

serta terapi yang cepat sangat penting (3).

Transportasi penderita cedera kepala

Transportasi penderita cedera kepala terutama penderita dengan cedera kepala sedang dan berat

harus cepat dilakukan untuk mendapatkan tindakan medis yang cepat, tepat dan aman (2,32).

Karena keterlambatan sampai di rumah sakit, 10 % dari total penderita cedera kepala di Amerika

Serikat meninggal (3). Pada penderita cedera kepala berat sering menderita gangguan pernafasan,

syok hipovolemik, gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit, tekanan intrakranial meninggi,

kejang-kejang, gangguan kardiovaskuler, karena itu perlu penanganan yang cepat (6). Tindakan

gawat darurat yang perlu dilakukan untuk menyelamatkan penderita yaitu; menjaga kelancaran
jalan nafas (air way), oksigenasi yang adekuat, resusitasi cairan, melindungi vertebra servikalis

dan torakolumbal, identifikasi dan stabilisasi perdarahan ekstrakranial, dan menilai tingkat

kesadaran penderita (26).

Dalam penganan pasien dengan cedera kepala berat transportasi sangat penting, karena

berhubungan dengan cedera kepala sekunder. Cedera kepala sekunder yang sering terjadi dan

menyebabkan kematian adalah hipoksia dan hipotensi (3). Waktu tunggu penderita dirumah sakit

untuk penanganan penderita cedera kepala untuk cedera kepala berat <5>( 33). Pada penderita

cedera kepala berat dengan perdarahan subdural sebaiknya interval waktu kejadian trauma dan

tindakan yang dilakukan kurang dari 4 jam, sedangkan pada penderita dengan interval waktu lebih

dari 12 jam prognosis buruk (17). Seelig et al telah melakukan penelitian tentang pentingnya

penanganan dan transportasi yang cepat pada penderita dengan cedera kepala berat tertutup dan

perdarahan subdural akut. Penderita dengan hematoma yang dievakuasi lebih kurang 4 jam, angka

kematiannya 30% dan 65% dengan keluaran baik. Sedangkan penderita yang dioperasi diatas 4 jam,

angka kematiannya 90% dan kurang dari 10 % dengan keluaran baik (4).

Faktor-faktor yang memperburuk prognosis pada penderita cedera kepala yaitu; terlambatnya

penanganan awal/resusitasi, pengangkutan/transport yang tidak adekuat, dikirim ke rumah sakit

yang tidak adekuat, terlambatnya delakukan tindakan bedah dan adanya cedera multipel yang lain

(1).

Pengukuran keluaran penderita cedera kepala

Berdasarkan pengukuran GCS di Amerika mayoritas (75-80%) penderita cedera kepala adalah cedera

kepala ringan, cedera kepala sedang dan berat yang masing-masingnya antara 10% dan 20% (19).

Sebagian besar penderita dengan cedera otak ringan pulih sempurna, tapi terkadang ada gejala sisa

yang sangat ringan. Perburukan yang tidak terduga pada penderita cedera kepala ringan lebih kurang

3% yang mengakibatkan disfungsi neurologis yang berat kecuali bila perubahan kesadaran dapat

dideteksi lebih awal. Sekitar 10-20% dari penderita cedera kepala sedang mengalami perburukan dan
jatuh dalam koma. Pada penderita dengan cedera kepala berat sering diperburuk dengan cedera

skunder. Hipoksia yang disertai dengan hipotensi pada penderita cedera kepala berat akan

menyebabkan mortalitas mencapai 75% (3).

Kecacatan akibat cedera kepala tergantung dari tingkat beratnya cedera, lokasi cedera, umur dan

kesehatan penderita. Beberapa kejadian kecacatan tersering yaitu masalah kesadaran (fikiran, ingatan

dan akal sehat), proses sensorik (melihat, mendengar, meraba, mengecap dan menghidu),

berkomunikasi (ekspresi dan pemahaman) dan tingkah laku atau kesehatan mental (depresi,

gelisah/cemas, perubahan kepribadian, agresif/menyerang, dan keadaan sosial yang tidak normal) (27).

Menentukan keluaran dan prognosis dari cedera kepala sangat sulit (32,34). Terlambatnya penanganan

awal/resusitasi, pengangkutan/transport yang tidak adekuat, dikirim ke rumah sakit yang tidak

adekuat, terlambatnya dilakukan tindakan bedah dan adanya cedera multiple yang lain merupakan

faktor-faktor yang memperburuk prognosis penderita cedera kepala (1). Untuk keluaran penderita,

pengukuran standar yang biasa digunakan adalah Glasgow Outcome Scale (GOS) yang

dikemukakan oleh Jennett dan Bond (1975) (2,26,35).

Tabel 2.2 glasgow outcome scale (35)

Skore Kategori Keterangan

1 Death (meninggal) Merupakan akibat langsung dari cedera kepala. Penderita


menjadi sadar kembali dan meninggal setelah itu karena
2 Vegetative state
komplikasi skunder dan penyebab lain.

3 Severe disability
Penderita tidak memberikan respon dan tidak bisa
berbicara untuk beberapa waktu kedepan. Penderita
4 Moderate disability
mungkin dapat membuka mata dan menunjukkan siklus
5 Good recovery tidur dan bangun tetapi fungsi dari korteks serebral tidak
ada.

Membutuhkan bantuan orang lain dalam melakukan


aktifitas sehari-hari disebabkan karena kecacatan mental
atau fisik, biasanya kombinasi antara keduanya. Kecacatan
mental yang berat kadang-kadang juga dapat dimasukkan
dalam klasifikasi ini pada penderita dengan kecacatan fisik
sedikit atau tidak ada.

Dapat berjalan-jalan menggunakan transportasi umum dan


bekerja di tempat-tempat tertentu (dengan perlindungan)
dan dapat beraktifitas bebas sejauh kegiatan tersebut tidak
mengkhawatirkan. Ketidakmampuan(kecacatan) penderita
mencakup perubahan derajat dari dispasia, hemiparise,
atau ataksia maupun berkurangnya intelektual dan daya
ingat dan perubahan personalitas. Lebih mampu untuk
melakukan hal-hal protektif diri.

Dapat melanjutkan kehidupan normal sekalipun terjadi


keadaan defisit neurologis

Evaluasi/taksiran penilaian praktis dari keluaran penderita cedera kepala berat.

GOS dibagi menjadi 5 skala yaitu: good recovery, moderate disability, severe disability, vegetative

dan death (2,26,35). Dari skala di atas dapat dibagi menjadi keluaran baik/favorable outcome (good

recovery dan moderate disability) dan keluaran buruk/unfavorable outcome (severe disability,

vegetative dan dead) (26). Cederatic Coma Data Bank menganalisa 760 penderita cedera kepala dan

mengidentifikasi 5 faktor yang berhubungan dengan keluaran buruk yaitu; umur penderita diatas

60 tahun, GSC <5,>(29).

Data dari Rosner, Marion and rekan kerjanya melaporkan total penderita 241 orang dengan GCS

<7,>(26).

Dari data Journal of Nuerotaruma ada beberapa penelitan terbaru yang berhubungan dengan

tingkat keparahan ataupun keluaran penderita cedera kepala terutama penderita cedera kepala

berat. Kadar magnesium serum yang rendah berhubungan dengan keluaran buruk pada penderita

setelah cedera kepala berat. Respon stres berperan oenting dalam penurunan konsentrasi
magnesium. Serum hipomagnesemia menjadi independent marker untuk beratnya cedera kepala

(36). Penderita cedera kepala dengan usia 75 tahun atau lebih secara signifikan tidak dapat bertahan

hidup setelah tindakan bedah dari pada penderita muda (14-64 tahun) (37). Von Willebrand Factor

(VWF) dikenal sebagai biomaker dari cedere pada endotelial. Peningkatan dari kadar serum VWF

terjadi karena aktivasi endotelial pada cedera kepala berat. Peningkatan serum VWF pada cedera

kepala cerat merupakan tanda dari keluaran buruk dari penderita (38). High intracranial pressure

(HICP) adala komplikasi yang sering dijumpai dan berbahaya dari cedera kepala, berat dan durasi

HICP berhubungan dengan keluaran buruk penderita dan memerlukan terapi yang intensif (39).

Komplikasi

Koma. Penderita tidak sadar dan tidak memberikan respon disebut coma. Pada situasi ini,

secara khas berlangsung hanya beberapa hari atau minggu, setelah masa ini penderita akan

terbangun, sedangkan beberapa kasus lainya memasuki vegetative state atau mati penderita pada

masa vegetative statesering membuka matanya dan mengerakkannya, menjerit atau menjukan

respon reflek. Walaupun demikian penderita masih tidak sadar dan tidak menyadari lingkungan

sekitarnya. Penderita pada masa vegetative state lebih dari satu tahun jarang sembuh (6,31).

Seizure. Pederita yang mengalami cedera kepala akan mengalami sekurang-kurangnya

sekali seizure pada masa minggu pertama setelah cedera. Meskipun demikian, keadaan ini

berkembang menjadi epilepsy (6,31).

Infeksi. Faktur tengkorak atau luka terbuka dapat merobekan membran (meningen)

sehingga kuman dapat masuk. Infeksi meningen ini biasanya berbahaya karena keadaan ini

memiliki potensial untuk menyebar ke sistem saraf yang lain (6,31).

Kerusakan saraf. Cedera pada basis tengkorak dapat menyebabkan kerusakan pada nervus

facialis. Sehingga terjadi paralysis dari otot-otot facialis atau kerusakan dari saraf untuk pergerakan

bola mata yang menyebabkan terjadinya penglihatan ganda (6,31).


Hilangnya kemampuan kognitif. Berfikir, akal sehat, penyelesaian masalah, proses

informasi dan memori merupakan kemampuan kognitif. Banyak penderita dengan cedera kepala

berat mengalami masalah kesadaran (6,31).

Penyakit Alzheimer dan Parkinson. Pada kasus cedera kapala resiko perkembangan terjadinya

penyakit alzheimer tinggi dan sedikit terjadi parkinson. Resiko akan semakin tinggi tergantung

frekuensi dan keparahan cedera (6,31).

2.2.8 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan awal penderita cedara kepala pada dasarnya memikili tujuan untuk memantau

sedini mungkin dan mencegah cedera kepala sekunder serta memperbaiki keadaan umum seoptimal

mungkin sehingga dapat membantu penyembuhan sel-sel otak yang sakit (1). Untuk

penatalaksanaan penderita cedera kepala, Adveanced Cedera Life Support (2004) telah menepatkan

standar yang disesuaikan dengan tingkat keparahan cedera yaitu ringan, sedang dan berat (3).

Penatalaksanaan penderita cerdera kepala meliputi survei primer dan survei sekunder.

Dalam penatalaksanaan survei primer hal-hal yang diprioritaskan antara lain : A (airway), B

(breathing), C (circulation), D (disability), dan E (exposure/environmental control) yang kemudian

dilanjutkan dengan resusitasi. Pada penderita cedera kepala khususnya dengan cedera kepala berat

survei primer sangatlah penting untuk mencegah cedera otak skunder dan menjaga homeostasis otak

(3).

Kelancaran jalan napas (airway) merupakan hal pertama yang harus diperhatikan. Jika

penderita dapat berbicara maka jalan napas kemungkinan besar dalam keadaan adekuat. Obstruksi

jalan napas sering terjadi pada penderita yang tidak sadar, yang dapat disebabkan oleh benda asing,

muntahan, jatuhnya pangkal lidah, atau akibat fraktur tulang wajah. Usaha untuk membebaskan

jalan napas harus melindungi vertebra servikalis (cervical spine control), yaitu tidak boleh

melakukan ekstensi, fleksi, atau rotasi yang berlebihan dari leher. Dalam hal ini, kita dapat

melakukan chin lift atau jaw thrust sambil merasakan hembusan napas yang keluar melalui hidung.

Bila ada sumbatan maka dapat dihilangkan dengan cara membersihkan dengan jari atau suction jika
tersedia. Untuk menjaga patensi jalan napas selanjutnya dilakukan pemasangan pipa orofaring. Bila

hembusan napas tidak adekuat, perlu bantuan napas. Bantuan napas dari mulut ke mulut akan sangat

bermanfaat (breathing). Apabila tersedia, O2 dapat diberikan dalam jumlah yang memadai. Pada

penderita dengan cedera kepala berat atau jika penguasaan jalan napas belum dapat memberikan

oksigenasi yang adekuat, bila memungkinkan sebaiknya dilakukan intubasi endotrakheal (1).

Status sirkulasi dapat dinilai secara cepat dengan memeriksa tingkat kesadaran dan denyut

nadi (circulation). Tindakan lain yang dapat dilakukan adalah mencari ada tidaknya perdarahan

eksternal, menilai warna serta temperatur kulit, dan mengukur tekanan darah. Denyut nadi perifer

yang teratur, penuh, dan lambat biasanya menunjukkan status sirkulasi yang relatif normovolemik.

Pada penderita dengan cedera kepala, tekanan darah sistolik sebaiknya dipertahankan di atas 100

mmHg untuk mempertahankan perfusi ke otak yang adekuat. Denyut nadi dapat digunakan secara

kasar untuk memperkirakan tekanan sistolik. Bila denyut arteri radialis dapat teraba maka tekanan

sistolik lebih dari 90 mmHg. Bila denyut arteri femoralis yang dapat teraba maka tekanan sistolik

lebih dari 70 mmHg. Sedangkan bila denyut nadi hanya teraba pada arteri karotis maka tekanan

sistolik hanya berkisar 50 mmHg. Bila ada perdarahan eksterna, segera hentikan dengan penekanan

pada luka (1).

Setelah survei primer, hal selanjutnya yang dilakukan yaitu resusitasi. Cairan resusitasi yang

dipakai adalah Ringer Laktat atau NaCl 0,9%, sebaiknya dengan dua jalur intra vena. Pemberian

cairan jangan ragu-ragu, karena cedera sekunder akibat hipotensi lebih berbahaya terhadap cedera

otak dibandingkan keadaan udem otak akibat pemberian cairan yang berlebihan. Posisi tidur yang

baik adalah kepala dalam posisi datar, cegah head down (kepala lebih rendah dari leher) karena

dapat menyebabkan bendungan vena di kepala dan menaikkan tekanan intracranial (1).

Pada penderita cedera kepala berat cedera otak sekunder sangat menentukan keluaran

penderita. Survei sekunder dapat dilakukan apabila keadaan penderita sudah stabil yang berupa

pemeriksaan keseluruhan fisik penderita. Pemeriksaan neurologis pada penderita cedera kepala

meliputi respos buka mata, respon motorik, respon verbal, refleks cahaya pupil, gerakan bola mata
(doll’s eye phonomenome, refleks okulosefalik), test kalori dengan suhu dingin (refleks okulo

vestibuler) dan refleks kornea (3,29).

Tidak semua pederita cedera kepala harus dirawat di rumah sakit. Indikasi perawatan di

rumah sakit antara lain; fasilitas CT scan tidak ada, hasil CT scan abnormal, semua cedera tembus,

riwayat hilangnya kesadaran, kesadaran menurun, sakit kepala sedang-berat, intoksikasi

alkohol/obat-obatan, kebocoran liquor (rhinorea-otorea), cedera penyerta yang bermakna,

GCS<15>(3).

Terapi medikamentosa pada penderita cedera kepala dilakukan untuk memberikan suasana

yang optimal untuk kesembuhan. Hal-hal yang dilakukan dalam terapi ini dapat berupa pemberian

cairan intravena, hiperventilasi, pemberian manitol, steroid, furosemid, barbitirat dan antikonvulsan

(3).

Indikasi pembedahan pada penderita cedera kepala bila hematom intrakranial >30 ml,

midline shift >5 mm, fraktur tengkorak terbuka, dan fraktur tengkorak depres dengan kedalaman >1

cm (3,29).

DAFTAR PUSTAKA

1. Al Fauzi A. Penanganan Cedera Kepala di Puskesmas. Juli 2002 [4 September 2007]. Diunduh

dari: http://www.tempo.co.id/medika/arsip/072002/pus-1.htm

2. Dunn LT, Teasdale GM. Head Injury. Dalam : Oxford Textbook of Surgery. 2nd ed. Volume 3.

Oxford Press, 2000.

3. American College of Surgeon Committe on Trauma. Cedera kepala. Dalam: Advanced Trauma

Life Support for Doctors. Ikatan Ahli Bedah Indonesia, penerjemah. Edisi 7. Komisi trauma

IKABI, 2004; 168-193.

4. Mc Khann GM, Copass MK, Winn HR. Prehospital Care of the Head-Injuried Patient. Dalam :

Textbooks of Neurotrauma. Mc Graw Hill. 103-112


5. Snell RS. Clinical Anatomy for Medical Student. 6th ed. Sugiharto L, Hartanto H, Listiawati E,

Susilawati, Suyono J, Mahatmi T, dkk, penerjemah. Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa

Kedokteran. Edisi 6. Jakarta: EGC, 2006; 740-59.

6. Markam S, Atmadja DS, Budijanto A. Cedera Kepala Tertutup. Jakarta: Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia, 1999; 4-112

7. Netter FH, Machado CA. Atlas of Human Anatomy. Version 3. Icon Learning System LLC,

2003.

8. Whittle IR, Myles L. Neurosurgery. Dalam: Prnciples and Practice of Surgery. 4th ed. Elsevier

Churchill Livingstone, 2007; 551-61.

9. Guyton AC, Hall JE. Textbook of Medical Physiology. 11th ed. Elsevier Saunders, 2006; 685-

97.

10. Putz R, Pabst R. Sobotta:Atlas der Anatomie des Menschen. 22nd ed. Suyono J, Sugiharto L,

Novrianti A, Liena, penerjemah. Sobotta:Atlas Anatomi Manusia. Edisi 22. Jilid 1. Jakarta:

EGC, 2007.

11. Smith ML, Grady MS. Neurosurgery. Dalam: Schwarrt’z Principles of Surgery. 8th ed.

McGraw-Hill, 2005; 1615-20.

12. Singh J. Head Trauma. 25 September 2006 [20 September 2007]; Topic 929: [11 screens].

Diunduh dari: http://www.emedicine.com/ped/topic929.htm

13. Bedong MA. Cedera Jaringan Otak : Pengenalan dan Kemungkinan Penetalaksanaannya. Mei

2001 [31 Agustus 2007];. Diunduh dari: http://www.tempo.ci.id/medica/arsip/052001/sek-

1.htm

14. Perez E. Head Injury.University of Maryland Medical Center, 1 Agustus 2007 [20 September

2007]; Topic 28: [11 screens]. Diunduh dari: http://www.umm.edu/ ency/ article/000028.htm

15. Brain Injury Association of America. Types of Brain Injury. 2006 [4 September 2007].

Diunduh dari: http://www.biausa.org/pages/type_of_brain_injury_ .htm

16. Olson DA. Head Injury. 2 Oktober 2006 [20 September 2007]; Topic 153: [11 screens].
Diunduh dari: http://www.emedicine.com/neuro/topic153.htm

17. Valadka BA, Narayan RK. Emergency Room Management of the Head Injuried Patient.

Dalam: Textbook of Neurotrauma. Mc. Graw-Hill.119-134.

18. Stein SC. Classification of the Head Injury. Dalam: Textbook of Neurotrauma. Mc. Graw-Hill.

31-38.

19. Batjer HH, Loftus CM, Textbook of Neurological Surgery. Principles and Practise. Volume 3.

Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2003; 2795-2814.

20. Homeier BP. Head Injuries. Durani Y, reviewer. Mei 2007 [20 September 2007]. Diunduh dari:

http://www.kidshealth.org/parent/firstaid_safe/emergencies/ head_injury.htm

21. Mt. Drablo Adult Educaation. TBI Backgraoud Information. Juli 2007 [17 Desember 2007].

Diunduh dari: http://www.mdusd.k12.ca.us/adulted/ontrack/ brain.htm

22. Gerdes SL. Some Mechanism of Traumatic Brain Injury. 2007 [17 Desember 2007]. Diunduh

dari: http://www.nebraskabraininjurylawyer.com/how.html

23. Miller JD, Piper IR, Jones PA. Pathophysiology of Head Injury. Dalam: Textbook of

Neurotrauma. Mc. Graw-Hill. 61-68.

24. Bhangu AA, Keighley MR. Head Injury. Dalam: Flesh and Bones of Surgery. Mosby Elsevier,

2007; 16-17.

25. Rappaport WA, Brannan S. Head injury. Dalam: Surgery. Mosby Elsevier, 2005; 216-18.

26. Yaumans JR. Trauma. Dalam: Neorological surgery. 4th ed. Volume 3. WB Saunders

Company, 1996; 1531-1618.

27. National Institude of Neurological Disorders and stroke. Traumatic Brain Injury:Hope Through

Research. 24 Agustus 2007 [20 September 2007]. Diunduh dari:

http://www.ninds.nih.gov/disorders/tbi/detail_tbi.htm

28. Lu JJ, Dacey RG. Neurosurgical Emergencies. Dalam: The Washington Manual of Surgery.

Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2002.

29. Shepard S. Head Trauma. 20 Agustus 2004 [20 September 2007]; Topic 2820: [9 screens].
Diunduh dari: http://www.emedicine.com/med/topic2820.htm

30. Aldrich EF, Chin LS, Dipatri AJ, Eisenberg HM. Neurosurgery:Traumatic Head Injury. Dalam:

Sabiston Textbook of Surgery:The Biological Basis of Modern Surgical Practice. 16th ed. WB

Saunders Company, 2001; 1529-33.

31. Mayo Foundation for Medical Education and Research. Traumatc Brain Injury. 20 September

2006 [20 September 2007]. Diunduh dari: http://www.mayoclinic.com/health/traumatic-brain-

injury/DS00552

32. Hatfield R, Simpson B, Sutcliffe J. Head Injury and Concussion:A Guide for Patients and cares.

The brain trauma Foundation. 19 Juli 2005 [18 September 200<!--[endif]–>–>7]. Diunduh dari:

http://www.brainandspine.org.uk/information/

publications/brain_and_spine_booklets/head_injury_and_concussion/introduction.html

33. Wijanarka A, Dwiphrahasto. Implementasi Clinical Governance: Pengembangan Indikator

Klinik Cedera Kepala di Instalasi Gawat Darurat. Desember 2005 [4 September 2007]; volume

8; [8 screens]. Diunduh dari: http://jmpk-online.net/files/05agus.pdf

34. Turkington CA. Head Injury:Gale Encyclopedia of Medicine. 14 Agustus 2006 [18 September

2007]. Diunduh dari: http://www.healthatoz.com/healthatoz/

Atoz/common/standard/transform.jsp?requestURI=/healthatoz/Atoz/ency/head_injury.jsp

35. Whyte J, Hart T, Laborde A, Rosenthal M. Rehabilitation Issues in Traumatic Brain Injury.

Dalam: Physical Medicine and Rehabilitation, Principles and Practice. 4th ed. Volume 2.

Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2005; 1640-85.

36. Stippler M, Fischer MR, Puccio AM, Wisniewski SR, Carson-walter EB, Dixon CE, et al.

Serum and cerebrospinal Fluid Magnesium in Severe Traumatic Brain Injury Outcome. Journal

of Neurotrauma. Agustus 2007 [20 September 2007]; Topic 277 [1347-54]. Diunduh dari:

http://www.liebertonline.com/doi/pdfplus /10.1089/neu.2007.0277

37. Bouras T, Stranjalis G, Korfias S, Andrianakis I, Pitaridis M, Sakas DE. Head Injury Mortality

in a Geriatric Population:Differentiating an “Edge” Age Group with Better Potential for


Benefit than Older Poor-Prognosis Patients. Journal of Neurotrauma. Agustus 2007 [20

September 2007]; Topic 370 [1355-61]. Diunduh dari:

http://www.liebertonline.com/doi/pdfplus/10.1089/ neu.2005.370

38. Oliveira COD, Reimer AG, Da Rocha AB, Grivicich I, Schneider RF, Roisenberg I, et al.

Plasma von Willebrand Factor Levels Correlate with Clinical Outcome of Severe Traumatic

Brain Injury. Journal of Neurotrauma. Agustus 2007 [20 September 2007]; Topic 159 [1331-

38]. Diunduh dari: http://www.liebertonline.com/doi/pdfplus /10.1089/neu.2006.0159

39. Stocchetti N, Colombo A, Ortolano F, Videtta W, Marchesi R, Longhi L, et al. Time Course of

Intracranial Hypertension after Traumatic Brain Injury. Journal of Neurotrauma. Agustus 2007

[20 September 2007]; Topic 300 [1339-46]. Diunduh dari:

http://www.liebertonline.com/doi/pdfplus/10.1089/ neu.2007.0300

40. Ghazali MV, Sastromihardjo S, Soedjerwo SR, Soelaryo T, Pramulyo H. Studi Cross

Sectional. Dalam: Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis. Edisi 2. Jakarta: CV. Sagung

Seto, 2002; 97-109

TRAUMA KEPALA
Written by Bahtiar Latif   
Saturday, 25 April 2009 11:48
Head injury (Trauma kepala) termasuk kejadian trauma pada kulit kepala, tengkorak atau otak.
Batasan trauma kepala digunakan terutama untuk mengetahui trauma cranicerebral, termasuk
gangguan kesadaran.
Kematian akibat trauma kepala terjadi  pada tiga waktu setelah injury yaitu :
1.Segera setelah injury.
2.Dalam waktu 2 jam setelah injury
3.rata-rata 3 minggu setelah injury.

Pada umumnya kematian terjadi setelah segera setelah injury dimana terjadi trauma langsung pada
kepala, atau perdarahan yang hebat dan syok. Kematian yang terjadi dalam beberapa jam setelah
trauma disebabkan oleh  kondisi klien yang memburuk secara progresif  akibat  perdarahan
internal. Pencatatan segera tentang status neurologis dan intervensi surgical merupakan tindakan
kritis guna pencegahan kematian pada phase ini. Kematian yang terjadi 3 minggu atau lebih setelah
injury disebabkan oleh berbagai kegagalan sistem tubuh

Faktor 2 yang diperkirakan memberikan prognosa yang jelek adalah adanya intracranial hematoma,
peningkatan usia klien, abnormal respon motorik, menghilangnya gerakan bola mata dan refleks
pupil terhadap cahaya, hipotensi yang terjadi secara awal, hipoksemia dan hiperkapnea,
peningkatan ICP.
Diperkirakan terdapat 3 juta  orang di AS mengalami trauma kepala pada setiap tahun.  Angka
kematian di AS akibat trauma kepala sebanyak 19.3/100.000 orang. Pada umumnya trauma kepala
disebabkan oleh kecelakaan laluintas atau terjatuh.

Jenis Trauma Kepala :

1. Robekan kulit kelapa kepala.


Robekan kulit kepala merupakan kondisi agak ringan dari trauma kepala. Oleh karena kulit kepala
banyak mengandung pembuluh darah dengan kurang memiliki kemampuan konstriksi, sehingga
banyak trauma kepala dengan perdarahan hebat. Komplikasi utama robekan kepala ini adalah
infeksi.

2. Fraktur tulang tengkorak.


   Fraktur tulang tengkoran tengkorak sering terjadi pada trauma kepala. Beberapa cara untuk
menggambarkan fraktur tulang    tengkorak :
  

   a.Garis patahan atau tekanan.


   b.Sederhana, remuk atau compound.
   c.Terbuka atau tertutup.

Fraktur yang terbuka atau tertutup bergantung pada keadaan robekan kulit atau  sampai menembus
kedalam lapisan otak. Jenis dan kehebatan fraktur tulang tengkorak bergantung pada kecepatan
pukulan, moentum, trauma langsung atau tidak.
Fraktur yang terbuka atau tertutup bergantung pada keadaan robekan kulit atau  sampai menembus
kedalam lapisan otak. Jenis dan kehebatan fraktur tulang tengkorak bergantung pada kecepatan
pukulan, moentum, trauma langsung atau tidak.
Pada fraktur linear dimana fraktur terjadi pada dasar tengkorak biasanya berhubungan dengan 
CSF. Rhinorrhea (keluarnya CSF dari hidung) atau otorrhea (CSF keluar dari mata).
Ada dua metoda yang digunakan untuk menentukan keluarnya CSF dari mata atau hidung, yaitu
melakukan test glukosa pada cairan yang keluar yang biasanya positif. Tetapi bila cairan
bercampur dengan darah ada kecenderungan akan positif karena darah juga mengadung gula.
Metoda kedua dilakukan yaitu  cairan ditampung dan diperhatikan gumpalan yang ada. Bila ada
CSF maka akan terlihat darah berada dibagian tengah dari cairan dan dibagian luarnya nampak
berwarna kuning mengelilingi darah (Holo/Ring Sign).
Komplikasi yang cenderung terjadi pada fraktur tengkorak adalah infeksi intracranial dan
hematoma sebagai akibat adanya kerusakan menigen dan jaringan otak. Apabila terjadi fraktur
frontal atau orbital  dimana cairan CSF disekitar periorbital (periorbital ecchymosis. Fraktur dasar
tengkorak dapat meyebabkan ecchymosis pada tonjolan mastoid pada tulang temporal (Battle’s
Sign), perdarahan konjunctiva atau edema periorbital.

Commotio serebral :
Concussion/commotio serebral  adalah keadaan dimana berhentinya sementara fungsi otak, dengan
atau tanpa kehilangan kesadaran, sehubungan dengan aliran darah keotak. Kondisi ini biasanya 
tidak terjadi kerusakan dari struktur otak dan merupakan keadaan ringan oleh karena itu disebut
Minor Head Trauma. Keadaan phatofisiologi secara nyata  tidak diketahui. Diyakini bahwa
kehilangan  kesadaran sebagai akibat  saat adanya stres/tekanan/rangsang pada  reticular activating
system pada midbrain menyebabkan disfungsi elektrofisiologi sementara. Gangguan kesadaran
terjadi  hanya beberapa detik atau beberapa jam.
Pada concussion yang berat akan terjadi kejang-kejang dan henti nafas, pucat, bradikardia, dan
hipotensi yang mengikuti keadaan penurunan tingkat kesadaran. Amnesia segera akan terjadi.
Manifestasi lain yaitu nyeri kepala, mengantuk,bingung, pusing, dan gangguan penglihatan seperti
diplopia atau kekaburan penglihatan.

Contusio serebral
Contusio didefinisikan sebagai kerusakan dari jaringan otak. Terjadi perdarahan vena, kedua whitw
matter dan gray matter mengalami kerusakan. Terjadi penurunan pH, dengan berkumpulnya  asam
laktat dan menurunnya konsumsi oksigen yang dapat menggangu fungsi sel.
Kontusio sering terjadi pada tulang tengkorak yang menonjol. Edema serebral dapat terjadi
sehingga mengakibatkan peningkatan tekanan ICP. Edema serebral puncaknya dapat terjadi pada
12 – 24 jam setelah injury.
Manifestasi contusio bergantung pada lokasi luasnya kerusakan otak. Akan terjadi penurunan
kesadaran. Apabila kondisi berangsur kembali, maka tingat kesadaranpun akan berangsur kembali
tetapi akan memberikan gejala sisa, tetapi banyak juga yang mengalami kesadaran kembali seperti
biasanya. Dapat pula terjadi hemiparese. Peningkatan ICP terjadi bila terjadi edema serebral.

Diffuse axonal injury.


Adalah injury pada otak dimana akselerasi-deselerasi injury dengan kecepatan tinggi, biasanya
berhubungan dengan kecelakaan kendaraan bermotor sehingga terjadi terputusnya axon dalam
white matter secara meluas. Kehilangan kesadaran berlangsung segera. Prognosis jelek, dan banyak
klien meninggal dunia, dan bila hidup dengan keadaan persistent vegetative.

Injury Batang Otak


Walaupun perdarahan tidak dapat dideteksi, pembuluh darah pada sekitar midbrain akan
mengalami perdarahan yang hebat pada midbrain. Klien dengan injury batang otak akan
mengalami coma yang dalam, tidak ada reaksi pupil, gangguan respon okulomotorik, dan abnormal
pola nafas.

Komplikasi :

Epidural hematoma.
Sebagai akibat  perdarahan pada lapisan  otak yang terdapat pada permukaan bagian dalam dari
tengkorak. Hematoma epidural sebagai keadaan neurologis yang bersifat emergensi dan biasanya
berhubungan dengan linear fracture yang memutuskan arteri yang lebih besar, sehingga
menimbulkan perdarahan. Venous epidural hematoma berhubungan dengan robekan pembuluh
vena dan berlangsung perlahan-lahan. Arterial hematoma terjadi pada middle meningeal artery
yang terletak di bawah tulang temporal. Perdarahan masuk kedalam  ruang epidural. Bila terjadi
perdarahan arteri maka  hematoma akan cepat terjadi. Gejalanya adalah penurunan kesadaran, nyeri
kepala, mual dan muntah. Klien diatas usia 65 tahun dengan peningkatan ICP berisiko lebih tinggi
meninggal dibanding usia lebih mudah.

Subdural Hematoma.
Terjadi  perdarahan antara dura mater dan lapisan arachnoid pada lapisan meningen yang
membungkus otak. Subdural hematoma biasanya sebagai akibat adanya injury pada otak dan pada
pembuluh darah. Vena yang mengalir pada permukaan otak  masuk kedalam sinus sagital
merupakan sumber terjadinya subdural hematoma. Oleh karena subdural hematoma berhubungan
dengan kerusakan vena, sehingga hematoma terjadi secara perlahan-lahan. Tetapi bila disebabkan
oleh kerusakan arteri maka kejadiannya secara cepat. Subdural hematoma dapat terjadi secara akut,
subakut, atau kronik.
Setelah terjadi perdarahan vena, subdural hematoma nampak membesar. Hematoma menunjukkan
tanda2 dalam waktu 48 jam setelah injury. Tanda lain yaitu  bila terjadi konpressi jaringan otak
maka akan terjadi peningkatan ICP menyebabkan penurunan tingkat kesadaran dan nyeri kepala. 
Pupil dilatasi. Subakut  biasanya terjadi  dalam waktu 2 – 14 hari setelah injury.
Kronik subdural hematoma terjadi  beberapa minggu atau bulan setelah  injury.  Somnolence,
confusio, lethargy, kehilangan memory merupakan masalah kesehatan yang berhubungan dengan
subdural hematoma.

Intracerebral Hematoma.
Terjadinya pendarahan dalamn parenkim yang terjadi rata-rata 16 % dari head injury. Biasanya
terjadi pada  lobus frontal dan temporal yang mengakibatkan ruptur pembuluh darah intraserebral
pada saat terjadi injury. Akibat robekan intaserebral hematoma atau intrasebellar hematoma akan
terjadi  subarachnoid hemorrhage.

Collaborative Care.
Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk memonitor hemodinamik dan mendeteksi edema
serebral. Pemeriksaan gas darah guna mengetahui kondisi oksigen dan CO2.
Okdigen yang adekuat sangat diperlukan untuk mempertahankan metabolisma serebral. CO2
sangat beepengaruh untuk mengakibatkan vasodilator yang dapat mengakibatkan edema serebral
dan peningkatan ICP. Jumlah sel darah, glukosa serum dan elektrolit diperlukan untuk memonitor
kemungkinan adanya infeksi atau kondisi yang berhubungan dengan lairan darah serebral dan
metabolisma.
CT Scan diperlukan untuk mendeteksi adanya contusio atau adanya diffuse axonal injury.
Pemeriksaan lain adalah MRI, EEG, dan lumbal functie untuk mengkaji kemungkinan adanya
perdarahan.
Sehubungan dengan contusio, klien perlu diobservasi 1 – 2 jam di bagian emergensi. Kehilangan
tingkat kesadaran terjadi lebih dari 2 menit, harus tinggal rawat di rumah sakit untuk dilakukan
observasi.
Klien yangmengalami DAI atau cuntusio sebaiknya tinggal rawat di rumah sakit dan dilakukan
observasi ketat. Monitor tekanan ICP, monitor terapi guna menurunkan edema otak dan
mempertahankan perfusi otak.
Pemberian kortikosteroid seperti hydrocortisone atau dexamethasone dapat diberikan untuk
menurunkan inflamasi. Pemberian osmotik diuresis seperti mannitol digunakan untuk menurunkan
edema serebral.
Klien dengan trauma kepala yang berat diperlukan untuk mempertahankan fungsi tubuh normal
dan mencegah kecacatan yang nmenetap. Dapat juga diberikan infus, enteral atau parenteral
feeding, pengaturan posisi dan ROM exercise untuk mensegah konraktur dan mempertahankan
mobilitas.

Tahukah anda dengan yang namanya Head Injury atau Trauma kepala?.  Trauma kepala atau
disebut juga dengan cidera kepala sering terjadi ketika kepala anda terbentur dengan suatu benda
yang keras sehingga bisa menyebabkan pendarahan pada kepala anda. nah, di sini aku akan
memberikan materi tentang Konsep Head Injury kepada anda. yang aku bahas tentang konsep
trauma kepala ini meliputi: Definisi head Injury (Trauma kepala), Epidemiologi head Injury
( trauma kepala), Etiologi/penyebab Head Injury (trauma kepala), Respon terhadap cidera, Tipe
Cidera head injury, manifestasi klinis head injury (trauma kepala), mekanisme cidera pada head
injury, serta Kekacauan terkait cedera kepala. sebelum aku mebahas semuanya, aku akan mulai
mebahas dari definisi cidera kepala atau trauma kepala terlebih dahulu. langsung saja anda baca di
bawah ini mengenai “Konsep Head Injury”.
Konsep Head Injury (Trauma Kepala)
Definisi Head Injury(Trauma Kepala)
Trauma kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang tengkorak atau otak
yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak langsung pada kepala. (Suriadi & Rita
Yuliani, 2001)
Head injury (cedera kepala) : trauma yang mengenai otak yang disertai atau tanpa disertai
perdarahan interstitinal dalam substansi otak disebabkan oleh kekuatan eksternal yang
menimbulkan perubahan tingkat kesadaran dan perubahan kemampuan kognitif, fungsi fisik, fungsi
tingkah laku, dan emosional.
Trauma pada kepala dapat menyebabkan fraktur pada tengkorak dan trauma jaringan lunak / otak
atau kulit seperti kontusio / memar otak, edema otak, perdarahan atau laserasi, dengan derajat yang
bervariasi tergantung pada luas daerah trauma.
Epidemiologi Head Injury(Trauma Kepala)
Cedera kepala merupakan salah satu penyebab utama kecacatan dan kematian pada kelompok usia
1-40 tahun. 1,5 juta penduduk setahunnya mengalami cedera tersebut. Puncaknya pada usia 15-24
tahun. Laki-laki mengalami cedera 2-3 kali lebih sering disbanding perempuan.
Penyebab Head Injury(Cidera Kepala)
Cedera kepala dapat disebabkan oleh benturan karena kecelakaan lalu lintas, terjatuh, kecelakaan
industry, kecelakaan olahraga, dll.
Respon terhadap cedera
Respon terhadap cedera meliputi:
 Kerusakan jaringan
Kontusio akibat benturan dapat mencederai sel-sel saraf dan serabut-serabut saraf yang dapat
menyebabkan perdarahan kecil yang akan merusak jaringan yang berdekatan.
 Edema serebral
Edema terjadi akibat beberapa daerah dari otak tidak adekuat perfusi jaringannya, sehingga timbul
hiperkapnia yang mengakibatkan asidosis local dan vasodilatasi pembuluh darah.tidak adekuatnya
suplai oksigen dan glukosa lebih lanjut dapat mengakibatkan peningkatan edema dari serebral,
sehingga akan menyebabkan peningkatan tekanan intracranial dan akhirnya bisa mengakibatkan
herniasi otak dan kematian.
 Perdarahan dan hematoma
Kerusakan pada jaringan dapat menyebabkan perdarahan dan hematoma. Keduanya dapat
meningkatkan tekanan intracranial.
 Respon lain
Respon lain yang dapat terjadi adalah iskemik, infark, nekrosis jaringan otak, serta kerusakan
terhadap saraf cranial dan struktur lainnya.
Tipe Cedera Pada Head Injury (Trauma Kepala)

 Fraktur Tengkorak
Pukulan pada tengkorak menyebabkan fraktur jika toleransi elastic dari tulang terlampaui. Fraktur
kepala dapat melukai jaringan pembuluh darah dan saraf-saraf dari otak, merobek durameter yang
mengakibatkan perembesan cairan serebrospinal, dimana dapat membuka suatu jalan untuk
terjadinya infeksi intrakranial. Adapun macam-macam dari fraktur tengkorak adalah :
1. Fraktur Linear :
Retak biasa pada hubungan tulang dan tidak merubah hubungan dari kedua fragmen.
2. Comminuted Fraktur :
Patah tulang tengkorak dengan multipel fragmen dengan fraktur yang multi linear.
3. Depressed Fraktur :
Fragmen tulang melekuk kedalam.
4. Coumpound Fraktur :
Fraktur tengkorak yang meliputi laserasi dari kulit kepala, membran mukosa,  sinus paranasal, mata,
dan telinga atau membran timpani.
5. Fraktur dasar Tengkorak :
Fraktur yang terjadi pada dasar tengkorak, khususnya pada fossa anterior dan tengah. Fraktur dapat
dalam bentuk salah satu linear, comminuted atau depressed. Sering menyebabkan rhinorrhea atau
otorrhea.
 Cidera Serebral
Cidera serebral meliputi:
1. Komosio Serebri (geger otak) :
Gangguan fungsi neurologik ringan tanpa adanya kerusakan struktur otak, terjadi hilangnya
kesadaran kurang dari 10 menit atau tanpa disertai amnesia, muntal, muntah, nyeri kepala. Biasanya
dapat kembali dalam bentuk normal.
2. Kontusio Serebri (memar) :
Benturan menyebabkan perubahan dari struktur dari permukaan otak yang mengakibatkan
pendarahan dan kematian jaringan dengan atau tanpa edema. Hilangnya kesadaran lebih dari 10
menit.
3. Laserasio serebri :
Gangguan fungsi neurologik disertai kerusakan otak yang berat dengan fraktur tengkorak terbuka.
Massa otak terkelupas keluar dari rongga kranial.
4. Hematoma Epidural :
Perdarahan yang menuju ke ruang antar tengkorak dan durameter akibat laserasi dari arteri
meningea media. Hematoma ini disebabkan oleh karena ruptur sebuah arteri meningen,biasanya
berkaitan dengan fraktur tengkorak.
5. Hematoma Subdural :
Kumpulan darah antara permukaan dalam durameter dan araknoidmeter. Hematoma ini disebabkan
oleh kerusakan vena penghubung (Bridging veins) yang berjalan dari permukaan otak sinus dura.
6. Hematoma Intracerebral :
Perdarahan yang menuju ke jaringan serebral. Biasanya terjadi akibat cedera langsung dan sering
didapat pada lobus frontal atau temporal.
7. Hematoma Subarachnoid :
Hematoma yang terjadi akibat trauma.
 Cedera saraf kranialis
Saraf cranial yang rentan terhadap cedera dengan fraktur tengkoran adalah saraf olfaktorius,
optikus, okulomotorius, troklearis, cabang pertama dan kedua dari saraf trigeminalis, fasialis, dan
auditorius. Contohnya:
1. Hilangnya daya pengecap (hilangnya persepsi beraroma) timbul akibat pergeseran otak dan
robeknya filament saraf olfaktorius
2. Cedera saraf okulomotorius menyebabkan bola mata terdorong keluar denagn hilangnya
gerakan adduksi dan gerakan ventrikal dan dilatasi pupil terfiksasi.
3. Cedera saraf kranialis kedelapan denagn fraktur os petrosa menyebabkan hilangnya
pendengaran, vertigo, dan nistagmus segera setelah cedera.
 Berdasarkan berat ringannya
Berdasarkan berat ringannya cidera kepala terbagi 3 yaitu:
1. Cedera kepala ringan :
Jika GCS (Skala Koma Glasgow) antara 15-13, dapat terjadi kehilangan kesadaran kurang dari 30
menit, tidak terdapat fraktur tengkorak, kontusio atau hematoma.
a) Tidak kehilangan kesadaran
b) Satu kali atau tidak ada muntah
c) Stabil dan sadar
d) Dapat mengalami luka lecet atau laserasi di kulit kepala
e) Pemeriksaan lainnya normal
2. Cedera kepala sedang :
Jika nilai GCS antara 9-12, hilang kesadaran antara 30 menit sampai 24 jam, dapat disertai fraktur
tengkorak, disorientasi ringan.
a) Kehilangan kesadaran singkat saat kejadian
b) Saat ini sadar atau berespon terhadap suara. Mungkin mengantuk
c) Dua atau lebih episode muntah
d) Sakit kepala persisten
e) Kejang singkat (<2menit) satu kali segera setelah trauma
f) Mungkin mengalami luka lecet, hematoma, atau laserasi di kulit kepala
g) Pemeriksaan lainnya normal
3. Cedera kepala berat :
Jika GCS antara 3-8, hilang kesadaran lebih dari 24 jam, biasanya disertai kontusio, laserasi atau
adanya hematoma dan edema serebral.
a) Kehilangan kesadaran dalam waktu lama
b) Status kesadaran menurun – responsif hanya terhadap nyeri atau tidak responsif
c) Terdapat kebocoran LCS dari hidung atau telinga
d)Tanda-tanda neurologis lokal (pupil yang tidak sana, kelemahan sesisi)
e) Tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial:
e.1. Herniasi unkus: dilatasi pupil ipsilateral akibat kompresi nervus okulomotor
e.2. Herniasi sentral: kompresi batang otak menyebabkan bradikardi dan hipertensi
f)  Trauma kepala yang berpenetrasi
g)  Kejang (selain Kejang singkat (<2menit) satu kali segera setelah trauma)
Manifestasi Klinis Head Injury( Trauma Kepala)
Manifestasi klinis head Injury meliputi:
 Fraktur tengkorak : Keluarnya cairan serebrospinalis atau cairan lain dari hidung
(rhinorrhoe) dan telinga (otorrhoe), kerusakan saraf kranial, dan perdarahan dibelakang
membran timfani.
 Komosio serebri : Muntah tanpa nausea, nyeri pada lokasi cidera, mudah marah, lesu, mual,
hilang ingatan sementara, sakit kepala, pusing, ketidakmampuan untuk berkonsentrasi.
 Kontusio serebri : Perubahan tingkat kesadaran, lemah, sulit bebicara, hilang ingatan, sakit
kepala, demam di atas 370C, berkeringat banyak, aktifitas kejang, rhinorrhoe, dan
kelumpuhan saraf kranial.
 Hematoma epidural : Hilang kesadaran, gangguan penglihatan, sakit kepala, lemah/paralisis
pada salah satu sisi, tekanan darah meningkat, denyut nadi menurun, pernafasan menurun
dengan pola yang tidak teratur.
 Hematoma subdural akut/subakut : Sakit kepala, gangguan penglihatan, peningkatan TIK
(Tekanan Intrakranial), otot wajah melemah, hilang kesadaran. Hematoma subdural kronik :
Gangguan mental, sakit kepala hilaang timbul, gangguan penglihatan, perubahan pola tidur.
Mekanisme Cedera Pada Head Injury
Mekanisme Cedera Pada Head Injury meliputi:
 Akselerasi
Jika benda bergerak membentur kepala yang diam, misalnya pada orang yang diam kemudian
dipukul atau telempar batu.
 Deselerasi
Jika kepala bergerak membentur benda yang diam, misalnya pada saat kepala terbentur.
 Deformitas
Perubahan atau kerusakan pada bagian tubuh yang terjadi akibat trauma, misalnya adanya fraktur
kepala, kompresi, ketegangan atau pemotongan pada jaringan otak.
Pada saat terjadinya deselerasi ada kemungkinan terjadi rotasi kepala sehingga dapat menambah
kerusakan. Mekanisme kerusakan kepala dapat mengakibatkan kerusakan pada daerah dekat
benturan (Coup) dan kerusakan pada daerah yang berlawanan dengan benturan (Contra coup).
Kekacauan terkait cedera kepala Pada Head Injury
Kekacauan terkait cedera kepala Pada Head Injury Meliputi:
1. Faktor kardiovaskuler
 Trauma kepala menyebabkan perubahan fungsi jantung mencakup aktivitas atipikal
miokardial, perubahan tekanan vaskuler dan edema paru.
 Tidak adanya stimulus endogen saraf simpatis mempengaruhi penurunan kontraktilitas
ventrikel. Hal ini menyebabkan penurunan curah jantung dan meningkatkan tekanan atrium
kiri. Akibatnya tubuh berkompensasi dengan meningkatkan tekanan sistolik. Pengaruh dari
adanya peningkatan tekanan atrium kiri adalah terjadinya edema paru.
2. Faktor Respiratori
 Adanya edema paru pada trauma kepala dan vasokonstriksi paru atau hipertensi paru
menyebabkan hiperpnoe dan bronkokonstriksi
 Konsentrasi oksigen dan karbon dioksida mempengaruhi aliran darah. Bila PO2 rendah,
aliran darah bertambah karena terjadi vasodilatasi. Penurunan PCO2, akan terjadi alkalosis
yang menyebabkan vasokonstriksi (arteri kecil) dan penurunan CBF (cerebral blood fluid).
 Edema otak ini menyebabkan kematian otak (iskemik) dan tingginya tekanan intra kranial
(TIK) yang dapat menyebabkan herniasi dan penekanan batang otak atau medulla oblongata.
3. Faktor metabolisme
 Pada trauma kepala terjadi perubahan metabolisme seperti trauma tubuh lainnya yaitu
kecenderungan retensi natrium dan air dan hilangnya sejumlah nitrogen
 Retensi natrium juga disebabkan karena adanya stimulus terhadap hipotalamus, yang
menyebabkan pelepasan ACTH dan sekresi aldosteron.
 Ginjal mengambil peran dalam proses hemodinamik ginjal untuk mengatasi retensi natrium.
Kemudian natrium keluar bersama urine, hal ini mempengaruhi hubungan natrium pada
serum dan adanya retensi natrium. Pada pasca hypotermia hilangnya nitrogen yang
berlebihan sama dengan respon metabolik terhadap cedera, karena adanya cedera tubuh
maka diperlukan energi untuk menangani perubahan seluruh sistem, tetapi makanan yang
masuk kurang sehingga terjadi penghancuran protein otot sebagai sumber nitrogen utama,
demikian pula respon hypothalamus terhadap cedera, maka akan terjadi sekresi kortisol,
hormon pertumbuhan dan produksi katekolamin dan prolaktin sehingga terjadi asidosis
metabolik karena adanya metabolisme anaerob glukosa
4. Faktor gastrointestinal
 Trauma kepala juga mempengaruhi sistem gastrointestinal. Setelah trauma kepala (3 hari)
terdapat respon tubuh dengan merangsang aktivitas hipotalamus dan stimulus vagal. Hal ini
akan merangsang lambung menjadi hiperasiditas.
 Hypothalamus merangsang anterior hypofise untuk mengeluarkan steroid adrenal. Hal ini
merupakan kompensasi tubuh dalam mengeluarkan kortikosteroid dalam menangani oedema
cerebral. Hyperacidium terjadi karena adanya peningkatan pengeluaran katekolamin dalam
menangani stres yang mempengaruhi produksi asam lambung.
5. Faktor psikologis
 Selain dampak masalah yang mempengaruhi fisik pasien, trauma kepala pada pasien adalah
suatu pengalaman yang menakutkan. Gejala sisa yang timbul pascatrauma akan
mempengaruhi psikis pasien. Demikian pula pada trauma berat yang menyebabkan
penurunan kesadaran dan penurunan fungsi neurologis akan mempengaruhi psikososial
pasien dan keluarga.

You might also like