You are on page 1of 14

TINJAUAN SOSIOLOGIS & POLITIS

TERHADAP PERKELAHIAN
Oleh: Sigit Suryawan
REMAJA/PELAJAR
sosiologis dan politis dalam upaya mengatasi perkelahian pelajar di ibukota dan
bab IV adalah penutup yang berisi kesimpulan dan intisari makalah ini.

BAB I PENDAHULUAN

Ada sebuah gurauan sinis di masyarakat pendidikan untuk menggambarkan


bagaimana ’populernya’ perkelahian pelajar sekolah di Jakarta. Bagi anak-anak
sekolah di Jakarta muatan lokal salah satu pelajarannya adalah Tawuran.
Padahal seperti kita ketahui muaan lokal bagi anak-anak daerah umumnya
adalah yang menjadi keunikan daerah tersebut, misalnya bahasa
daerah/kesenian daerah. Dan untuk kasus tersebut kota metropolitan seperti
Jakarta sepertinya tidak ada unsur khusus yang bisa diberikan kepada anak didik
di sekolah sebagai modal lokal, sehingga tawuran mungkin adalah pilihannya.

Mereka lebih suka berlari ke jalan dan bergerilya di jalan diaripada masuk kelas
atau berolahraga di lapangan, maka tidak heranlah bila selanjutnya terbentuk
apa yang disebut ‘budaya tawuran’, yang terus diwariskan secara turun temurun
di sekolah-sekolah.
Banyak hal yang menyebabkan hal itu terjadi, pada makalah ini akan coba
diuraikan dalam sudut pandang sosiologis dan politis; secara sosiologis penulis
akan mencoba menempatkan tawuran sebagai deviant (penyimpangan) dalam
segmen akan ditarik relevansi teori Durkheim tentang ‘deviant’ dalam kasus
tawuran pelajar di ibukota, sedangkan secara politis dan tindakan hukumnya
penulis akan melihat relevansi teori Durkheim untuk dikaitkan dengan unsur
politis yang mencoba mengangkat tawuran dalam proses penangannya sebagai
tindak pidana perkelahian pelajar dan mengkaitkan tawuran pelajar dalam
proses politis.
Pada bab III akan dilanjutkan dengan keterkaitan antara unsur
kenyamanan masyarakat dapat dilihat dalam contoh diatas.

Sebuah contoh yang konkret dapat dikemukakan disini : Salah seorang anggota
satpam terkena lemparan batu pada saat terjadi tawuran pada tanggal 01
desember 1999 di jalan raya Bogor. Pak Sarya (42 tahun) petugas keamanan
BAB II PERMASALAHAN
sekolah PB Sudirman yang telah bekerja selama empat tahun di sekolah
tersebut. Akibat kejadian ini mata kanan bapak dua anak ini mengalami cacat
dan tidak bisa sembuh sedia kala, hal ini merupakan kejadian kedua kalinya
setelah tangan kanannya
2.1 PERMASALAHAN terluka oleh senjata
PERKELAHIAN PELAJARtajam
DI akibat
IBUKOTAmelerai tawuran di
tempat yang sama
Perkelahian pelajarbeberapa bulan
bukanlah yang lalubaru
fenomena (Lentera
di Sudirman). Contoh
beberapa kota ini
besar di
sudah cukup
Indonesia, membuktikan
khususnya bahwa
Jakarta, tawuran
karena tersebuttersebut
peristiwa harus segera
sudahdiatasi dan
berlangsung
dicari
cukup solusinya
lama dan secepat mungkin
secara untuk
sporadis menghindari
terjadi adanya
di beberapa korban seolah
wilayah yang tidak
tiada
perlu.
hentinya (contohnya kawasan jalan Cempaka Putih dan Jalan Raya Bogor).
Perkelahian pelajar walaupun secara fisik dilakukan oleh anak-anak (remaja),
namun secara kualitas sudah bisa disebut sebagai tindakan kriminal, seperti
2.2 PERMASALAHAN PERKELAHIAN PELAJAR DI IBUKOTA DALAM
layaknya
TINJAUAN dilakukan oleh orang-orang dewasa. Efek kerusakan yang ditimbulkan
SOSIOLOGIS
tidak jarang menimbulkan kerugian yang cukup besar, baik kerugian yang
Sosiologi adalah
bersifat fisik ilmu yang
berupa mempelajari
bangunan, maupunmesyarakat
jatuhnyatermasuk dinamika dan
korban luka-luka maupun
gejala-gejala yangmenimpa
korban jiwa yang terjadi didalamnya yang
pihak-pihak dapat
yang ditangkap dan dianalisis.
berkelahi.
Tindakan perkelahian remaha/pelajar yang terus mengalami ekspansi menjadi
Kenakalan remaja yang
tindakan kejahatan termanifestasikan
adalah dalam tindakan
sebuah gejala sosiologis tawuran
yang dapat dari waktu
dipelajari dan ke
waktu makin kas jangkauannya, yaitu dari hanya sekedar perkelahian antar
ditelusuri sebabnya.
sekolah terus berkembang menjadi pemerasan , bahkan mereka sudah berani
melakukan pembajakan angkutan umum dan penodongan terhadap masyarakat.
Ada suatu pendapat yang mengatakan bahwa kejahatan adalah gejala sosiologis
Apabila dilihat dari tindakan yang mereka lakukan tersebut di sini kita dapat
menggolongkan
yang senantiasa bahwa
dihadapiperbuatan mereka
oleh setiap telah mencapai
masyarakat. tingkat yang
Usaha manusia untuk
meresahkan masyarakat yang dalam teori sosiologis oleh Durkheim dianggap
menghapuskan kejahatan
sebagai penyimpangan adalah tidak
(deviance). mungkin,
Deviance karena
terjadi kejahatan
apabila tingkathanya dapat
penyimpangan
dikurangi yangdan
intensitas diasosiasikan terhadap
kualitasnya. Karena keinginan ataudapat
itu kejahatan kondisi masyarakat
disebabkan
rata-rata telah melanggar batas-batas tertentu yang dapat ditolerir sebagai
oleh masalah
masalah sosial,keamanan
gangguan seperti kecemburuan soasialmasyarakat.
dan kenyamanan atau sebab Dampak
lain. Kondisi ini
terlanggarnya
dapat merupakan keamanan
pemicu dan
bagi seseorang atau kelompok orang yang melakukan
tindakan kejahatan seperti perampokan, penodongan, penculikan, penipuan, dan
lain-lain.
Hal ini pulalah yang terjadi sekarang di kalangan remaja dan para pelajar yang
cenderung makin meningkat intensitas dan kualitasnya, dari
kenakalan menjadi tindak kejahatan. Dimana tindakan kejahatan dalam
pendapat E. Durkheim merupakan ‘penyimpangan’ (deviance). Penyimpangan
berhubungan erat dengan organisasi sosial masuyarakat dimana penyimpangan
tersebut terjadi. Untuk kasus perkelahian pelajar/remaja, organisasi sosial yang
berkaitan erat adalah lembaga pendidikan , lembaga masyarakat setempat dan
lingkungan keluarga. Tiga komponen ini erat hubungannya dalam pembentukan
deviance tadi.

Sebagai contoh perkelahian remaja di Indonesia cenderung menggunakan


atribut sekolahnya, jarang sekali intensitas perkelahian remaja (yang sebaya) di
luar atribut itu. Sedangkan pada remaja Amerika perkelahian remaja banyak
terjadi pada kelompok gank-gank di luar lembaga pendidikan. Hal ini
mengisayrakatkan ada yang tidak beres dalam pendidikan tersebut. Kurikulum
yang sering berubah, arogansi guru dan murid menciptakan suatu ‘batasan’
formil yang mengakibatkan murid terisolasi dalam sebuah penjara akademis
yang tidak mendewasakannya. Pendidikan hanyalah sekumpulan rumus, teori,
beban pekerjaan rumah, ujian tidak lebih dari itu. Para pelajar terikat dalam
kewajiban yang tidak dapat di tawar dan akhirnya menciptakan kondisi senasib
dan sepenanggungan (dalam artian tersendiri) diantara pelajar tersebut dan
mulailah terciptanya ikatan kelompok yang cukup kuat, sehingga mendorong
sikap altruistik di kalangan pelajar. Sikap altruistik menunjukkan ikatan yang
terlalu kuat dengan kehidupan kolektif. Bayangkan rata-rata 12 tahun dalam
lingkungan pendidikan yang cukup membosankan dengan teman yang sama di
sekolah, akan mampu membentuk ikatan altruistik ini dengan mudah, sehingga
kita sering mendengar istilah solidaritas dalam kelompok pelajar/remaja dalam
urusan baik maupun buruk. Dikelompok ini tawuran bisa terjadi oleh faktor
spontanitas kolektif untuk membela ikatan mereka ataupun paksaan
dikarenakan seorang pelajar dianggap sebagai pengecut oleh rekan-rekannya
dalam lingkungan tersebut.

Kedua, pola kolektivitas (paguyuban) dalam masyarakat yang smekin mengkerut


akibat proses mondernisasi dan globalisasi. Nilai paguyuban
bergeser kepada nilai patembayan. Pada pola paguyuban terdapat nilai represif
yang dapat menata dan menertibkan masyarakat yang diakitkan dengan
masyarakat homogen yang didasarkan pada solidaritas mekanis1. Oleh karena itu tak ada
pengkhususan, maka setiap warga hampir memiliki pandangan hidup yang sama dan bahkan nilai-nilai yang hampir bersamaan. Di
dalam masyarakat seperti, maka hampir tidak mungkin terjadi ‘deviance’. Sutau penyimpangan akan menimbulkan kemarahan
kolektif yang akan menghukum pelanggar secara spontan. Semakin modern maka masyarakat mulai berkembang diferensiasi dalam
pembagian kerja. Semakin berkembang pula semangat indiviualisme dan mengerutkan nilai kolektivitas, sehingga memperlemah
kontrol sosial dalam masyarakat tersebut sehingga penyimpangan mulai marak dan tinggi intensitasnya.

Ketiga, dari diferensiasi kerja tadi menimbulkan jenjang karir yang


memungkinkan manusia (individu) mengembangkan karirnya untuk mencari
kekayaan yang sebesar-besarnya, akibatnya suamu istri sibuk bekerja dan anak-
anak terlantar dalam proses perkembangannya karena tidak terjadi transformasi
dan komunikasi dalam lingkungan internal keluarganya sehingga remaja
cenderung mengambil keputusan berdasarkan dimana kepuasan sosial dapat
tercapai (sekolah, teman baik, teman gank, dll).

2.3 PERMASALAHAN PERKELAHIAN REMAJA DI IBUKOTA DALAM


TINJAUAN POLITIS

Pada tinjauan politis masalah perkelahian pelajar di ibukota ini akan cukup pelik
diuraikakan, salah satunya adalah keterbatasan data yang mengulas relevansi
tawuran (perkelahian) remaja/pelajar dalam tinjauan politis. Dalam kesempatan
ini hal yang akan diuraikan adalah bagaimana secara politis tawuran dapat
diminimalisir.
Kita melihat tawuran/perkelahian pelajar lebih marak terjadi di ibukota,
khususnya Jakarta . Secara pesimis penulis berasumsi apakah tawuran yang

1 Solidaritas mekanis:
terjadi di Jakarta merupakan rekayasa politik untuk menumpulkan kekuatan
pelajar/remaja sebagai eksponen perubah (agent of reform) terhadap status quo
yang hal ini pernah marak pada tahun 1965-1966 yang pada waktu itu pelajar
SMP pun sudah memahami politik melalui lembaga pendidikan dan lingkungan
masyarakat sehingga mereka ikut aktif untuk melakukan demonstrasi dan
kegiatan politik praktis. Hal tersebut adalah asumsi, tapi jika melihat keseriusan
pemerintah dalam melihat kasus ini baik dalam proses peredaman dan proses
penanggulangan (prefentif-kuratifnya) tidak terlihat cukup memiliki dampak dan
terkesan setengah hati dalam mensikapi kondisi pelajar kita, kiranya bukan
sesuatu hal yang berlebihan. Kalaupun asumsi ini akan saya tindak lanjuti
menjadi teori dan tesis maka akan diperlukan kerja besar dalam
membuktikannya. Oleh karena itu asumsi di atas tidak akan dibahas secara
mendalam tapi cukup penting untuk direnungkan dan difikirkan.

Secara politis kondisi perkelahian pelajar merupakan trackle down effect dari
kebijakan pemerintah terhadap lembaga pendidikan, organisasi masyarakat dan
keluarga. Lembaga pendidikan senantiasa berganti kurikulumketika terjadi
pergantian ---Menteri Pendidikan, sehingga mempersulit pembentukan karakter
dasar dari para pelajar (remaja) kita, dana pendidikan yang minim yaitu ratio
anggaran pendidikan terhadap APBN tidak pernah melebihi 10%, cukup kecil jika
dibandingkan dengan negara miskin seperti Ghana dengan ratio anggaran
pendidikannya sebesar 25% dan Malaysia yang tidak pernah kurang dari 20%
(Sayidiman, Suryohadirojo, Kondisi Politik yang Memungkinkan Perbaikan
Pendidikan Nasional, makalah, hal.2), dan anehnya ketika Indonesia untuk
pertama kalinya mempunyai presiden yang ‘legitimate’ dalam pemilu yang
demokratis, ratio anggaran pendidikan itu menjadi turun ke angka 6%. Kecilnya
anggaran pendidikan mengakibatkan proses pengembangan dan penerapan
teknologi pendidikan menjadi sangat lambat, sarana dan prasarana sekolah ala
kadarnya sehingga sekolah tidak dapat menjadi tempat pembentuan potensial
terhadap remaja/pelajar Indonesia.
Sistem sosial masyarakat menjadi kaku akibat masyarakat dibenturkan kepada
keran politik lewat partai politik yang ada dan sngat memprihatinkan kondisi
lembaga pendidikan yang ada di sekitarnya, harusnya sistem sosial tersebut
saling mengadakan interaksi positip yang mampu mengasuh lembaga
pendidikan agar dapat menghasilkan pelajar/remaja yang bertanggung jawab
dalam memahami problematika sosial masyarakatnya. Sehingga pelajar/remaja
tersebut merasa mendapat peran dan tanggung jawab dengan cara menempuh
pendidikan mereka. Link and match adalah konsep yang cocok dan konsep link
and macth yang saya ajukan tersebut adalah bagaimana menghubungkan
antara lembaga pendidikan dengan realitas yang ada di masyarakatnya
sehingga pelajar/remaja menjadi terbuka dan siap menghadapi realitas sosialnya
kelak, seperti perkataan Mao Tse Tung dalam pembicaraannya di konferensi
Hang Chow (1965) ;

“It takes a total of system seventeen or twenty years for one to reach the
universuty from primary school, and in this period one never has the chance to
look at the five kinds of cerelas, how the workers do their works, how peasants
tell their field, and how traders do business. In the mean time, one’s healt is also
roined. Such an educational system is very harmful indeed”(The Educational
Dilema; Policy issues of developing countries in the 1980’s, editor John
Simmons, The World Bank, Perganon International Library, Oxford NewYork,
1980, preface).

Secara politis sistem pendidikan Indonesia belum memperkenalkan peserta didik


kepada aspek rasional dan empirisnya secara integral, maka hasil pembangunan
sistem pendidikan ini hanyalah manusia-manusia yang jauh dari kondisi sosial
yang harus dihadapi dan inilah yang menyebabkan terjadinya disparitas sosial2,
yang kian lama kian serius, yang jika tidak disikapi dengan cepat maka
perkelahian remaja/pelajar sebagai output dari disparitas-sosial tersebut akan
semakin meluas dan mencekam. Link and Match merupakan solusi awal yang
pernah ditawarkan oleh Menteri Pendidikan Wardiman Djoyonegoro, namun
sayang hal tersebut tidak ditindaklanjuti oleh menteri pendidikan selanjutnya.
Pembahasan link and
match secara lebih lanjut akan dibahas pada bab III yaitu upaya mengatasi
perkelahian pelajar/remaja.

Keluarga merupakan miniatur negara terkecil tetapi perhatian pemerintah


terhadap sektor ini sangat minim, tidak berjalan dengan secara efektif. Lembaga
BP4 (Badan Penasehat, Pembina dan Perencanaan Perkawinan), NKKBS (Norma
Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera) hasilnya absurd dan tak dapat diukur secara
pasti sehingga sistem keluarga di Indonesia tidak dapat secara efektif
menghasilkan generasi muda yang tangguh. Untuk lebih jauhnya diharapkan
pemerintah lebih dapat memainkan peran tersebut dengan kalur kemitraan
dengan instansi yang terkait.

Kemudian aspek yang lain dari dalam tinjauan politis adalah pembuatan hukum
yang dibuat oleh pemerintah terhadap penanggulangan tawuran. Pada masalah
ini mengingat efek perkelahian pelajar yang ditimbulkan cukup besar baik secara
kualitas dan kuantitas, maupun secara yuridis bisa dipertanggungjawabkan,
maka tepatlah bila tindakan mereka digolongkan sebagai tindak pidana. Moch.
Lukman Fatullah Rais SH dalam buku ‘Tindak Pidana Perkelahian Pelajar’
mencoba melihat bagaimana tawuran pelajar/remaja dapat dimasukkan ke
dalam delik pidana. Dalam teori sosiologis yang pernah dipaparkan tentang
‘deviance’ sosial dalam proses perkembangan diferensiasi dalam masyarakat,
hukum represif untuk sebagian diganti dengan hukum pidana dan perdata.
Durkheim menamakan sebagai hukum Restituitif (hal.75) yang ditandai dengan
adanya kelompokkelompok penegak hukum yang khusus, terpisahnya hukum
dengan nilainilai dan fungsinya yang primer di dalam membentuk kembali
integrasi masyarakat yang kompleks, artinya secara politis penetapan tawuran
pelajar dalam tindakan/delik pidana dapat memebrikan ketegasan untuk
mengantisipasi dan menanggulangi hukum tadi sehingga instrumen politik harus
dibarengi dengan proses sosialisasi yang mantap dan tertencana antara
pemerintah, sekolah/lembaga pendidikan dan instansi kepolisian
yang terkait. Namun itu semua, terlepas dari perdebatan hukum dan undang-
undang, adalah tetap lebih bijak bila semua pihak berfikir bahwa apapun yang
terjadi seperti halnya perkelahian itu tetap merugikan anakanak/remaja itu
sendiri dan selamatkan remaja dari semua kemelut yang melanda negeri ni, baik
itu kemelut politik, ekonomi, sosial ataupun budaya.
perkelahian remaja/pelajar, di bab ini akan melihat upaya apa saja yang secara
teoritis dan pragmatis dapat mengatasi perkelahian remaja/pelajar secara
holistik (menyeluruh).

Sektor Pemerintah -Pembakuan dan pengkajian kurikulum sesuai dengan


kapasitas budaya penduduk Indonesia, utamakan kontuinitas dan reliabilitas
hukum. -Peningkatan anggaran pendidikan yang memadai guna memperbanyak
dan menyempurnakan sarana belajar dan mengajar di sekolah sehingga sekolah
dapat menjadi tempat yang menyenangkan dan nyaman bagi pelajar.
-Pembuatan undang-undang pidana perkelahian pelajar oleh pemerintah dan
program sosialisasinya dengan pendekatan yang familiar bekerjasama dengan
sektor pendidikan, masyarakat (ormas orsospol), dan instansi kepolisian.

 Sektor Pendidikan -Penerapan sistem pendidikan link and match yang


dapat memebrikan remaja/pelajar memperoleh pandangan utuh terhadap
lingkungan di sekitarnya dan mampu mengaplikasikan pengetahuan yang
didapat dalam kegiatan apapun di masyarakat. Skema link and match
membutuhkan kerjasama yang apik antara sektor pendidikan dan lingkungan
sektor sekolah sehingga tercipta saling cocok dan terkait. -Keseimbangan
pendidikan jasmani dan intelektual; pendidikan jasmani dan intelektual bagi para
siswa di sekolah perlu diseimbangkan. Selama ini masyarakat maupun praktisi
BAB III PEMECAHAN MASALAH
pendidikan, cenderung terlalu mendewakan intelektual, sebaliknya pendidikan
jasmani yang justru sangat berguna bagi perkembangan siswa justru diabaikan,
padahal
UPAYA MENGATASI PERKELAHIAN REMAJA/PELAJAR
Dalam uraian di bab II secara panjang lebar telah dipaparkan kini mana saja
yang lemah dan cukup berpengaruh terhadap timbulnya
sesungguhnya pendidikan jasmani atau fisik itu pendting bagi
anak-anak untuk memperkaya wawasan mereka mengenai masa
depan. Pendidikan jasmani bukan hanya olahraga, tetapi juga
menyangkut estetika seperti musik dan kesustraan. Sayangnya
kesadaran akan pentingnya pendidikan jasmani ini belum
muncul.
-Mengefektifkan instansi BP di sekolah dengan standarisasi tertentu
yang proses sosialisasinya lebih digencarkan terutama melalui
instansi OSIS.
-Perkuat peran POMG di sekolah.
-Buat program khusus seperti forum silahturahmi pelajar pada
wilayah yang berdekatan secara kontinyu, mainkan peran OSIS dan
BP.

 Sektor Keluarga
-Memberikan pendidikan ‘rohaniah’ kepada anak baik secara
agamis maupun kasih sayang secara periodik. -Membantu kesulitan
anak dalam memecahkan masalahnya. -Komunikatif antara anak
dan orang tua. -Memberikan peraturan keluarga yang longgar
namun diikat
dengan tanggung jawab.

Upaya diatas tentu saja tidak akan berhasil dalam waktu singkat dan mudah,
sebab dalam mengatasi masalah perkelahian pelajar diperlukan kerja keras dari
semua pihak, baik perfentif maupun kuratif dan melibatkan semua pihak yang
berhubungan dengan remaja itu sendiri, keluarga, masyarakat, pemerintah,
serta lembaga-lembaga yang perhatian terhadap munculnya gejala dekadensi
moral anak bangsa.

You might also like