historis Pertemuan Kelima Islam Indonesia Pra Kemerdekaan Selama abad ke-19 Indonesia mengalmi pengaruh Barat yang membawa akibat ganda sekaligus yaitu alinasipolitik dan kemerosotan ekonomi yang semakin buruk. Politik kerja paksa (1830-1870) yang diterapkan kolonial Belanda dengan mekhanisme kontrol yang otoriter dengan mengontrol elit priyayi sebagai pengontrol, membawa pada situasi yang entan disintegrasi yang hampir merata di seluruh Indonesia. Perang Diponegoro (1825-1830), Perang Aceh (1873-1912), Perang Paderi (1821- 1838) dan pemberontakan petani (1888), merupakan sebagian dari fenomena diatas. Ketidakpuasan para petani dan rakyat
Indonesia berubah menjadi sikap anti
pemerintahan kolonial yang “kafir” setelah mendapatkan legitimasi dari para ulama. Umumnya para ulama paa waktu itu tidak
mungkin menerima kehadiran kolonial yang
secara langsung maupun tidak langsung membawa misi penyebarn agama kristen. Seiring dengan gerakan perlawanan yang menyertai keresahan sosial di banyak tempat itu bermunculan pula gerakan kebangkitan kembali agama yang mengambil bentuk sekolah-sekolah, pesantren dan perkumpulan tarekat baik di jawa maupun di luar jawa. Kegelisahan para petani memperoleh penyaluran
aktualisasi dir bersama dengan menjamurnya
pesantren dan lembaga-lembaga sosial keagamaan dibawah pimpinan para ulama. Hal ini menyebabkan kerugian finansial yang
sangat besar bagi pemerintahan Belanda, yang
kemudian mengubah kebijaksanaan politik dengan politik etis. Pembaharuan sosial politik yang di lakukan oleh Belanda antara lain bembantu pendidikan rakyat dengan membuka sekolah- sekolah untuk pribumi dan fasilitas perekonomian pada pribumi. Sayangnya kebijaksanaan etis ini tidak
disertai dengan pemahaman mengenai
lembaga tradisional yang sudah mapan dalam keidupan sosial ekonomi pribumi, Belanda tetap memaksakan kehendaknya untuk memodernisasikan lembaga tersebut. Akibatnya lembaga-lembaga tersebut mengalami erosi yang menimbulkan kegelisahan sosial yang berkepanjangan Pengaruh Islam Global Dalam konteks Global, Islam Peralihan abad-ke- 20 juga di tandai dengan munculnya gerakan pembaharuan di Mesir, Turki, Saudi Arabia dan India. Gerakannya meskipun berlatar belakang berbeda namun asumsi mereka memiliki titik persamaan. Kesadaran sosial politik yang diilhami pengenalan mereka terhadap kebudayaan Barat yang telah maju, menjadikan mereka lebih kritis dalam melihat relitas umat Islam di negeri mereka sendiri. Di Mesir, Jamal a-Din al-afghani, menggagas gerakan Pan-Islamisme untuk mempersatukan seluruh dunia Islam. Di Turki kemudian muncul gagasan
nasionalisme yang meruntuhkan khalifah
Utsmani (Ottoman Empire) Di Saudi Arabia muncul gerakan Wahabisme
yang pernah berjaya abad-18, yang bergulat
dengan persoalan internal umat Islam sendiri yaitu reformasi faham tauhid dan konservatisme dalam bidang hukum yang menurut mereka telah dirusak oleh khurafat, dan kemusyrikan melanda umat Islam. Kedua hal tersebut sangat mempengaruhi para pemimpin Islam di Indonesia. Di Indonesia sendiri tumbuh Organisasi sosial
kebangsaan maupun sosial keagamaan yang
bertujuan untuk memajukan ummat seperti; Budi Utomo, syarikat Islam dan Muhammadiyah. Tahun 1914 , Abdul Wahab Chasbullah,
Muhammad Dahlan Asnawi dan Abbas
mendirikan Nahdatul Wathan yang menyelenggaraakan pendidikan formal (madrasah) dan kursus-kursus kepemimpinan, organisasi dan administrasi. Muhammadiyah Muhammadiyah didirikan di Yogyakarta pada tanggal 18 Nopember 1912 oleh KH. Ahmad Dahlan. Muhammadiyah menurut Weinata Sairin, MTh. yang mengutip James L. Peacock, merupakan gerakan reformasi Islam yang terkuat yang ada di kalangan Islam di Asia Tenggara, bahkan mungkin di seluruh dunia. Gerakan ini adalah gerakan yang dilakukan untuk menyesuaikan paham-paham keagamaan Islam dengan perkembangan baru yang diakibatkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi modern Weinata Sairin, MTh., Gerakan Pembaruan Muhammadiyah, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995), halm. 18. Syafi'i Maarif menyebut lima faktor yang mendorong kelahiran Muhammadiyah, yaitu 1. Keterbelakangan serta kebodohan umat Islam Indonesia di hampir semua aspek kehidupan, 2. Kemiskinan yang sangat parah yang diderita umat Islam justru dalam suatu negeri yang kaya seperti Indonesia, 3. Keadaan pendidikan Islam yang sudah sangat kuno, sebagaimana yang bisa dilihat melalui pesantren, 4. Adanya pengaruh penetrasi dari bangsa- bangsa Eropa, dan 5. Adanya kegiatan misi Katolik dan Protestan Untuk mencapai pembaruan keagamaan tersebut, Muhammadiyah melakukan hal-hal sebagai berikut: 1) mempergiat dan memperdalam penyelidikan ilmu agama Islam untuk mendapatkan kemurnian dan kebenarannya, 2) memperteguh iman, menggembirakan dan memperkuat ibadah serta mempertinggi akhlak, 3) memajukan dan memperbarui pendidikan dan kebudayaan serta memperluas ilmu pengetahuan, tekhnologi dan penelitian menurut tuntunan Islam, 4) mempergiat dan menggembirakan tabligh, 5) menggembirakan dan membimbing masyarakat untuk membangun dan memelihara tempat ibadah dan wakaf, 6) meningkatkan harkat dan martabat kaum wanita menurut tuntunan Islam, 7) membina dan menggerakkan angkatan muda sehingga menjadi manusia Muslim yang berjasa bagi agama, nusa dan bangsa, 8) membimbing masyarakat ke arah perbaikan kehidupan dan penghidupan ekonomi sesuai dengan ajaran Islam dalam rangka pembangunan manusia seutuhnya, 9) menggerakkan dan menghidup-suburkan amal tolong menolong dalam kebajikan dan taqwa dalam bidang kesehatan, sosial, pengembangan masyarakat dan keluarga sejahtera, 10) menanam kesadaran agar tuntunan dan peraturan Islam diamalkan dalam masyarakat, 11) menumbuhkan dan meningkatkan kekeluargaan Muhammadiyah dan ukhuwah Islamiyah, 12) pemantapan kesatuan dan persatuan bangsa dan peran serta dalam pembangunan nasional, 13) usaha-usaha lain yang sesuai dengan maksud dan tujuan persyarikatan. Nahdhatul Ulama NU didirikan di Surabaya pada tahun 1926 oleh sejumlah tokoh ulama tradisional. Berawal dari undangan yang disampaikan Komite Hijaz, maka berkumpullah para ulama pada tanggal 31 Januari 1926 di kampung Kertopaten, Surabaya, yaitu rumah KH. Abdul Wahab Hasbullah. Kelahiran NU seringkali dijelaskan sebagai reaksi defensif terhadap berbagai aktifitas kelompok reformis, Muhammadiyah, dan kelompok modernis moderat yang aktif dalam gerakan politik, Sarekat Islam (SI) Menurut argumen ini, pengaruh Muhammadiyah dan Sarekat Islam yang semakin meluas telah memarginalisasikan kiai yang sebelumnya merupakan satu- satunya pemimpin dan juru bicara komunitas Muslim, dan ajaran kaum pembaru sangat melemahkan legitimasi mereka. Tesis ini memang mengandung kebenaran tetapi menurut Bruinessen ia telah gagal menjelaskan kenapa NU didirikan pada 1926 dan tidak lima atau sepuluh tahun lebih awal ketika Sarekat Islam sedang giat-giatnya dan ketika banyak keluhan terhadap pembaru yang agresif menyebarkan ajarannya di Jawa. Adapun paham keagamaan NU mengikuti paham ahl al-sunnah wa al-jama’ah yaitu paham yang berpegang teguh kepada tradisi pemikiran dan menggunakan jalan pendekatan sebagai berikut: 1) Dalam bidang hukum Islam, menganut ajaran-ajaran dari salah satu imam madzhab empat yang dalam praktek para kiai adalah penganut kuat madzhab Syafi’i. 2) Dalam soal-soal tauhid, menganut ajaran-ajaran imam Abu Hasan al- Asy’ari dan imam Abu Mansur al-Maturidi, dan 3) Dalam bidang tasawuf, menganut dasar-dasar ajaran imam Abu Qasim al- Junaid dan imam al-Ghazali Jadi madzhab ahl al-sunnah wa al-jama’ah yang dianut NU merupakan pendekatan yang multidimensional dari sebuah gugusan konfigurasi aspek-aspek kalam, fikih, dan tasawuf. Ketiganya merupakan kesatuan yang utuh, masing-masing tidak dipilah dan trikotomi yang satu berbeda atau berlawanan dengan yang lain. Meskipun demikian tidak seluruh perilaku NU mampu mengapresiasikan kesatuan ini.