Professional Documents
Culture Documents
!
m "#
#
$ !
w
w
w
w
w
w
w
w
w
w
m
m
$ m
m
m
w
w
PENDAHULUAN
Setelah panitia penulisan mushaf al-Qur¶an yang ditunjuk dan diawasi langsung oleh
Khalifah µUtsman bin µAffan r.a. selesai menunaikan tugasnya, beliau kemudian melakukan
beberapa langkah penting sebelum kemudian mendistribusikan mushaf-mushaf itu ke beberapa
wilayah Islam. Langkah-langkah penting itu adalah:
1. Membacakan naskah final tersebut di hadapan para sahabat. Ini dimaksudkan sebagai
langkah verifikasi, terutama dengan suhuf yang dipegang oleh Hafshah binti µUmar
r.a.
2. Membakar seluruh manuskrip al-Qur¶an lain. Sebab dengan selesainya mushaf resmi
tersebut, keberadaan pecahan-pecahan tulisan al-Qur¶an dianggap tidak diperlukan
lagi. Dan itu sama sekali tidak mengundang keberatan para sahabat. Ali bin Abi
Thalib r.a. menggambarkan peristiwa itu dengan mengatakan,
³Demi Allah, dia (µUtsman) tidak melakukan apa yang ia lakukan terhadap mushaf-
mushaf itu kecuali (ia melakukannya) di hadapan kami semua.´
Setelah melakukan dua langkah tersebut, µUtsman bin µAffan r.a kemudian mulai
melakukan pengiriman mushaf al-Qur¶an ke beberapa wilayah Islam. Para ulama Islam sendiri
berbeda pendapat tentang jumlah eksemplar mushaf yang ditulis dan disebarkan pada waktu itu.
Al-Zarkasyi misalnya menggambarkan ragam pendapat itu dengan mengatakan,
³Abu µAmr al-Dany menyatakan dalam kitab al-Muqni¶: mayoritas ulama berpandangan
bahwa ketika µUtsman menuliskan mushaf-mushaf itu ia membuatnya dalam 4
(eksemplar), lalu mengirimkan satu eksemplar ke setiap wilayah: Kufah, Bashrah dan
Syam, lalu menyisakan satu eksemplar di sisinya. Ada pula yang mengatakan bahwa
beliau menuliskan sebanyak 7 eksemplar. (Selain yang telah disebutkan ±pen) ia
menambahkan untuk Mekkah, Yaman, dan Bahrain. (Al-Dany) mengatakan: µPendapat
pertamalah yang paling tepat, dan itu dipegangi para imam.¶´
Sementara al-Suyuthi menyebutkan pendapat lain ±disamping pendapat di atas- yang
menurutnya masyhur, bahwa jumlah mushaf itu ada 5 eksemplar.
Semua naskah itu ditulis di atas kertas, kecuali naskah yang dikhususkan µUtsman bin
µAffan r.a untuk dirinya ±yang kemudian dikenal juga dengan al-Mushaf al-Imam-. Sebagian
ulama mengatakan ditulis di atas lembaran kulit rusa.[6] Mushaf-mushaf tersebut oleh para ahli
al-Rasm kemudian diberi nama sesuai dengan kawasannya. Naskah yang diperuntukkan untuk
Madinah dan Mekkah kemudian dikenal dengan sebutan Mushaf Hijazy, yang diperuntukkan
untuk Kufah dan Bashrah disebut sebagai Mushaf µIraqy, dan yang dikirim ke Syam dikenal
dengan sebutan Mushaf Syamy.
Dalam proses pendistribusian ini, ada langkah penting lainnya yang juga tidak lupa
dilakukan oleh µUtsman bin µAffan r.a. Yaitu menyertakan seorang qari¶ dari kalangan sahabat
Nabi saw bersama dengan mushaf-mushaf tersebut. Tujuannya tentu saja untuk menuntun kaum
muslimin agar dapat membaca mushaf-mushaf tersebut sebagaimana diturunkan oleh Allah
kepada Rasul-Nya. Ini tentu saja sangat beralasan, sebab naskah-naskah mushaf µUtsmani
tersebut hanya mengandung huruf-huruf konsonan, tanpa dibubuhi baris maupun titik. Tanpa
adanya para qari¶ penuntun itu, kesalahan baca sangat mungkin terjadi. Ini sekaligus
menegaskan bahwa pewarisan pembacaan al-Qur¶an ±yang juga berarti pewarisan al-Qur¶an itu
sendiri- sepenuhnya didasarkan pada proses talaqqi, bukan pada realitas rasm yang tertuang pada
lembaran-lembaran mushaf belaka.
Tentu saja, pasca pendistribusian naskah-naskah mushaf µUtsmani tersebut, kaum
muslimin telah memiliki sebuah mushaf rujukan ±karena itulah ia disebut sebagai al-mushaf al-
imam-. Sejak saat itu, mulailah upaya-upaya penulisan ulang naskah Al-Qur¶an berdasarkan
mushaf µUtsmani untuk memenuhi kebutuhan kaum muslimin akan mushaf al-Qur¶an. Dalam
kurun yang cukup panjang, yaitu pasca kodifikasi Khalifah µUtsman r.a. hingga sekarang
terdapat banyak perkembangan baru dalam perbanyakan naskah tersebut. Meskipun upaya itu
sama sekali tidak berarti merubah hakikat al-Qur¶an sebagai Kalamullah. Perkembangan-
perkembangan itulah yang akan dikaji secara singkat dalam makalah ini. Dan semoga
bermanfaat!
PERKEMBANGAN BARU PENULISAN MUSHAF PASCA UTSMAN
Abu al-Aswad sendiri pada mulanya menyatakan keberatan untuk melakukan tugas itu.
Namun Ziyad membuat semacam µperangkap¶ kecil untuk mendorongnya memenuhi permintaan
Ziyad. Ia menyuruh seseorang untuk menunggu di jalan yang biasa dilalui Abu al-Aswad, lalu
berpesan: ³Jika Abu al-Aswad lewat di jalan ini, bacalah salah satu ayat al-Qur¶an tapi
lakukanlah lahn terhadapnya!´ Ketika Abu al-Aswad lewat, orang inipun membaca firman Allah
yang berbunyi:
*WÜkYÒX£pTSÙ<Ö@« WÝYQÚ còv÷X£WTŠ JðW/@« QWÜKV«
I&SãRÖéSªW¤Wè
³Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang musyrik.´ (al-
Taubah: 3)
Tapi ia mengganti bacaan ³wa rasuluhu´ menjadi ³wa rasulihi´. Bacaan itu didengarkan
oleh Abu al-Aswad, dan itu membuatnya terpukul. ³Maha mulia Allah! Tidak mungkin Ia
berlepas diri dari Rasul-Nya!´ ujarnya. Inilah yang kemudian membuatnya memenuhi
permintaan yang diajukan oleh Ziyad. Ia pun menunjuk seorang pria dari suku µAbd al-Qais
untuk membantu usahanya itu. Tanda pertama yang diberikan oleh Abu al-Aswad adalah harakat
(nuqath al-i¶rab). Metode pemberian harakat itu adalah Abu al-Aswad membaca al-Qur¶an
dengan hafalannya, lalu stafnya sembari memegang mushaf memberikan harakat pada huruf
terakhir setiap kata dengan warna yang berbeda dengan warna tinta kata-kata dalam mushaf
tersebut. Harakat fathah ditandai dengan satu titik di atas huruf, kasrah ditandai dengan satu titik
dibawahnya, dhammah ditandai dengan titik didepannya, dan tanwin ditandai dengan dua titik.
Demikianlah, dan Abu al-Aswad pun membaca al-Qur¶an dan stafnya memberikan tanda itu.
Dan setiap kali usai dari satu halaman, Abu al-Aswad pun memeriksanya kembali sebelum
melanjutkan ke halaman berikutnya.
Murid-murid Abu al-Aswad kemudian mengembangkan beberapa variasi baru dalam
penulisan bentuk harakat tersebut. Ada yang menulis tanda itu dengan bentuk kubus
(murabba¶ah), ada yang menulisnya dengan bentuk lingkaran utuh, dan ada pula yang
menulisnya dalam bentuk lingkaran yang dikosongkan bagian tengahnya.[13] Dalam
perkembangan selanjutnya, mereka kemudian menambahkan tanda sukun (yang menyerupai
bentuk kantong air) dan tasydid (yang menyerupai bentuk busur) yang diletakkan di bagian atas
huruf. Dan seperti yang disimpulkan oleh al-A¶zhamy, nampaknya setiap wilayah kemudian
mempraktekkan sistem titik yang berbeda. Sistem titik yang digunakan penduduk Mekah ±
misalnya- berbeda dengan yang digunakan orang Irak. Begitu pula sistem penduduk Madinah
berbeda dengan yang digunakan oleh penduduk Bashrah. Dalam hal ini, Bashrah lebih
berkembang, hingga kemudian penduduk Madinah mengadopsi sistem mereka. Namun lagi-lagi
perlu ditegaskan, bahwa perbedaan ini sama sekali tidak mempengaruhi apalagi mengubah
bacaan Kalamullah. Ia masih tetap seperti yang diturunkan Allah kepada Rasulullah saw.
Satu hal lagi yang perlu disebutkan di sini, bahwa beberapa peneliti ±seperti Guidi, Israil
Wilfinson, dan DR. µIzzat Hassan- menyimpulkan bahwa tanda harakat ini sebenarnya dipinjam
oleh Bahasa Arab dari Bahasa Syriak. Tetapi ±mengutip al-A¶zhamy- Yusuf Dawud Iqlaimis,
Biskop Damaskus, menyatakan:
Ini jelas yakin tanpa diragukan bahwa pada zaman Yakub dari Raha, yang meninggal di
awal abad kedelapan masehi, di sana tidak ada metode tanda diakritikal dalam bahasa
Syriak, tidak dalam huruf hidup bahasa Yunani maupun sistem tanda titiknya.
Yakub (Yacob?) Raha sendiri ±menurut B.Davidson- menemukan tanda bacaan pertama
(untuk Bahasa Syriak) pada abad ketujuh, sedangkan Theophilus menemukan huruf hidup
Bahasa Yunani pada abad ke delapan. Bila dihitung, akhir abad ketujuh masehi itu sama dengan
tahun 81 H, dan akhir abad kedelapan itu sama dengan tahun 184 H. Sementara Abu al-Aswad
al-Du¶aly ±penemu tanda diakritikal Bahasa Arab- meninggal dunia pada tahun 69 H (688 M).
Ditambah lagi, -seperti yang dicontohkan oleh B.Davidson- sistem diakritikal Syriak begitu
mirip tanda yang digunakan oleh al-Du¶aly.
Fakta lain adalah bahwa tata bahasa Syriak dapat dikatakan menemukan identitasnya
melalui upaya Hunain bin Ishaq. Hunain sendiri dilahirkan pada tahun 194 H (810 M), sementara
Sibawaih, tokoh besar tata Bahasa Arab penulis al-Kitab (sebuah referensi puncak dalam
Nahwu) meninggal pada tahun 180 H (796 M). Maka tidak mungkin Hunain dapat disebut
memberikan pengaruh pada tata Bahasa Arab. Apalagi sejarah mencatat bahwa Hunain pernah
belajar Bahasa Arab di Bashrah. Tepatnya pada Khalil bin Ahmad al-Farahidy (w. 170 H),
seorang tokoh ensiklopedi Bahasa Arab terkemuka. Jadi pertanyaannya: siapa yang meminjam
pada siapa?
Terkait dengan hal ini, ada suatu fakta sejarah yang unik. Yaitu bahwa tanda titik (nuqath
al-i¶jam) ternyata telah dikenal dalam tradisi Bahasa Arab kuno pra Islam atau setidaknya pada
masa awal Islam sebelum mushaf µUtsmani ditulis. Ada beberapa penemuan kuno yang
menunjukkan hal tersebut, antara lain:
1. Batu nisan Raqusy (di Mada¶in Shaleh), sebuah inskripsi Arab sebelum Islam yang
tertua. Diduga ditulis pada tahun 267 M. Batu nisan ini mencatat adanya tanda titik di
atas huruf dal, ra¶ dan syin.
Menyikapi batu nisan Raqusy ini, para peneliti Barat dapat dikatakan berbeda
pandangan. Cantineau dan Gruendler menganggapnya sebagai teks Nabatean (al-Nabth),
tapi mengakuinya sebagai teks yang sangat bernilai untuk para peneliti Arab. O¶Conner
menyebutnya sebagai gabungan acak antara Nabatean dan Arab. Sedangkan Healy dan
Smith(1989) dengan yakin menyebutnya sebagai dokumentasi Arab tertua. Tetapi
pertanyaannya adalah siapakah Nabatean itu sesungguhnya?
Kita mengetahui bahwa Ismail a.s. ±putra tertua Nabi Ibrahim a.s.- tumbuh dan besar di
kota Mekkah. Tepatnya di tengah komunitas suku Jurhum. Suku ini sendiri berbahasa
Arab. Ismail sendiri dikaruniai 12 putra, diantaranya adalah Nabat (Nebajoth). Mereka
semua dilahirkan dan dididik di sekitar Jazirah Arab yang logisnya menggunakan Bahasa
Arab sebagai bahasa mereka. Ketika Nabat kemudian berhijrah ke utara Jazirah Arab
(wilayah Syam), semestinya ia membawa serta alphabet dan Bahasa Arab bersamanya.
Keturunannya-lah yang kemudian mendirikan Dinasti Nabatean sekitar 600 SM hingga
50 M. Gruendler sendiri mengakui bahwa para penulis teks Nabatean berbahasa Arab.
Jadi sebenarnya Nabatean adalah bagian dari bangsa dan tradisi Arab itu sendiri.
Sehingga apabila fakta bahwa mereka berasal dari keturunan bangsa Arab (Ismail) dan
mereka pun berbahasa Arab, maka membedakan antara Bahasa Arab dan Nabatean
adalah sebuah kesalahan yang dipaksakan. Dalam hal ini, al-A¶zhamy mengomentarinya
dengan mengatakan,
³Jika orang Nabatean berbicara dalam Bahasa Arab, lantas siapakah yang memberinya
nama Bahasa Nabatean? Apakah ada bukti bahwa mereka menyebut bahasa mereka
sebagai Bahasa Nabatean? Atau mungkin ini diambil dari kecenderungan yang sama
dalam memberi label kepada umat Islam sebagai µMuhammadan¶ (pengikut
Muhammad), Islam sebagai µMuhammadanism¶ (ajaran Muhammad), dan al-Qur¶an
sebagai µTurkish Bible¶ (Bible orang Turki)?´
kata ini jika ditulis dalam rasm imla¶i adalah: ϛ , ê
Penulisan al-Qur¶an berdasarkan rasm µUtsmany memiliki banyak hikmah ±sebagaimana
disebutkan oleh para ulama qira¶at-. Tapi salah satu yang terpenting adalah dengan metode ini
ragam qira¶at yang berbeda dapat terwakili dalam mushaf µUtsmany. Sebagaimana yang akan
dijelaskan nanti.
Tidak dapat dipungkiri, bahwa ada upaya untuk mengganti sistem rasm µUtsmany dengan
sistem imla¶ yang umum berlaku. Dengan alasan bahwa itu akan lebih memudahkan pembacaan.
Meskipun ini kemudian terbantahkan dengan dasar bahwa metode inilah yang digunakan oleh
para sahabat menuliskan al-Qur¶an di hadapan Rasulullah saw. Karena itu ia kemudian bersifat
tauqifiyah. Adapun jika alasannya adalah untuk memudahkan pembacaan, maka itu terbantahkan
dengan kenyataan bahwa sejauh ini ±sejak 1400 tahun lamanya-, hampir tidak ada masalah
berarti di tengah kaum muslimin dalam membaca al-Qur¶an, kecuali yang memang tidak punya
keinginan untuk mempelajari bacaannya. Lagi pula ±kata al-A¶zhamy-, ³Apakah mereka
percaya bahwa setelah beberapa abad nanti, orang-orang lain tidak akan melontarkan kecaman
bahwa karya mereka (penulisan al-Qur¶an tanpa µrasm µUtsmany¶ ±pen) juga adalah usaha
yang dilakukan oleh orang-orang jahil buta huruf?´
Perbedaan
dalam Membaca al-Qur¶an
³Apakah ragam qira¶at muncul akibat karakteristik rasm µutsmany atau ia telah ada jauh
sebelum itu?´ Ini adalah sebuah pertanyaan lain yang juga mengusik kalangan peneliti al-Qur¶an,
terutama sebagian kalangan orientalis. Salah satunya adalah Goldziher dalam bukunya Madzahib
al-Tafsir al-Islamy. Salah satu teori yang ia kemukakan adalah bahwa perbedaan qira¶at itu
muncul karena karakteristik rasm µUtsmany yang memang µbermasalah¶ ±tanpa titik dan harakat-
, sehingga membuka peluang untuk hal itu. Teori ini kemudian dijawab oleh beberapa ahli al-
Qur¶an muslim, salah satunya adalah Syekh Abd al-Fattah Abd al-Ghany al-Qadhy[40] yang
menyusun buku kecil berjudul Al-Qira¶at fi Nazhar al-Mustasyriqin wa al-Mulhidin. Berikut ini
adalah ikhtisar jawaban Syekh Abd al-Fattah terhadap teori Goldziher:
Goldziher ±menurut al-Qadhy- nampaknya bermasalah dengan faktor-faktor yang
menyebabkan terjadinya variasi qira¶at dalam al-Qur¶an. Goldziher ±misalnya- menganggap
adanya variasi qira¶at itu sebagai bukti yang menunjukkan bahwa al-Qur¶an adalah satu-satunya
teks wahyu yang dipenuhi dengan ketidakjelasan (idhthirab) dan ketidakkonsistenan (µadam ats-
tsabat).
Kesimpulan ini tentu saja dibantah oleh al-Qadhy. Ia menyatakan bahwa ketidakjelasan
dan ketidakkonsistenan itu bermakna bahwa teks-teks al-Qur¶an dengan segala varian qira¶atnya
saling bertentangan, tidak dapat dipahami maknanya dengan jelas, dan tidak dapat dibuktikan
mana yang valid (tsabit) dan yang tidak. Padahal perbedaan qira¶at dalam al-Qur¶an, bila diteliti
dari yang mutawatir, masyhur dan shahihnya, tidak akan lepas dari 2 kategori berikut:
a. Qira¶at itu berbeda lafazh, namun bermakna sama. Seperti:
» (6) WØ~YÍW Tó©SÙ<Ö@« ð·.W£Jg±Ö@« WTßYŸ`å@« ¼
[6:ΔΤΗΎϔϟ]
³Tunjukkanlah kepada kami yang lurus.´
Dalam qira¶at yang lain, kata yang digarisbawahi dibaca dengan huruf sin, namun
dengan makna yang tidak berbeda.
b. Qira¶at itu berbeda baik dari segi lafazh dan makna, namun kedua makna itu tidak
saling bertentangan. Sebagai contoh adalah:
WåS¥YÞSTß ðÈ`T~W{ Yz VÀ¹YÅ<Ö@ øVÖXM ó£TñÀ¹ß@ Wè ¼VK
[259:ΓήϘΒϟ] » & _TÙ` VÖ WåéS©<ÑWTß QWØR
³Dan lihatlah tulang belulang itu, bagaimana Õ
lalu
menutupinya dengan daging.´
Dalam qira¶at yang lain, huruf zay pada kata yang digarisbawahi diganti dengan syin
(
) dengan harakat yang sama, yang berarti ³Kami membangkitkannya (setelah
mati)´. Bila diperhatikan, meskipun kedua qira¶at ini berbeda, namun sama sekali
tidak ada pertentangan. Sebab bila Allah berkehendak untuk membangkitkan
makhluq, maka Ia akan menyatukan tulang-belulangnya, lalu menghidupkannya
kembali.
Dengan demikian, perbedaan qira¶at yang terdapat dalam al-Qur¶an dapat dikategorikan
dalam apa yang disebut oleh para ulama dengan ikhtilaf tanawwu¶ (perbedaan yang bersifat
variatif) dan bukan ikhtilaf tadharub. Atau dengan kata lain perbedaan yang terjadi dapat
dijelaskan dan diarahkan kepada pengertian yang tepat.
Hal lain yang diangkat oleh Goldziher dan dikritisi oleh al-Qadhy adalah kesimpulannya
yang menyebutkan salah satu penyebab utama terjadinya perbedaan qira¶at al-Qur¶an kembali
pada karakter asal huruf Arab yang digunakan dalam penulisan Mushaf µUtsmany. Karakter asal
itu adalah ketiadaan titik dan tanda baca (harakat) yang dapat membedakan satu huruf dengan
huruf yang lain, baik dari segi pembacaan maupun kedudukannya dalam kalimat (iµrab). Hal ini
yang kemudian ±menurut Goldziher- menyebabkan lahirnya berbagai kemungkinan variasi
dalam qira¶at. Sehingga variasi qira¶at itu tidak lebih dari sekedar ijtihad dan pilihan para
qurra¶, dan tidak didasarkan pada periwayatan dari Rasulullah saw. Dan untuk membuktikan
kesimpulannya itu, ia mencontohkannya dengan beberapa ayat al-Qur¶an.
Al-Qadhy kemudian memberikan catatan kritisnya terhadap masalah ini. Menurutnya,
kesimpulan ini sama sekali tidak benar berdasarkan hal-hal berikut:
?
, Sejarah Islam telah mencatat dan membuktikan, bahwa al-Qur¶an ±dengan
semua riwayat dan varian qira¶atnya- telah ³terpelihara´ di tangan para sahabat Nabi jauh
sebelum al-Qur¶an itu kemudian dibukukan di masa kekhalifaan Umar r.a. Itu artinya sebelum
al-Qur¶an tertuang dan tertulis dengan rasm µutsmany, perbedaan qira¶at itu sudah ada. Rasm
µutsmany kemudian hanya berupaya menampung semua perbedaan qira¶at yang telah ada
sebelumnya. Tidak hanya itu, riwayat dan varian qira¶at itu sendiri telah tersebar dan
³digunakan´ di berbagai wilayah Islam sejak masa Rasulullah saw.
Õ , Ketika Mushaf µUtsmany selesai ditulis, Khalifah µUtsman bin µAffan r.a tidak
cukup hanya mengirim beberapa eksemplar mushaf tersebut ke berbagai wilayah Islam. Namun
bersama dengan itu, beliau mengirim pula para ahli al-Qur¶an untuk mengajarkan cara
membacanya sebagaimana yang mereka terima dari Rasulullah saw. Tujuan utamanya untuk
mencegah kemungkinan ada orang yang membacanya tidak sebagaimana yang diajarkan
Rasulullah, hanya karena menganggap bacaannya itu sesuai atau mungkin dibaca berdasarkan
rasm µutsmany. Ini menunjukkan bahwa varian qira¶at sepenuhnya didasarkan pada riwayat dan
talaqqi.
Õ Jika karakter asal huruf Arab itulah yang menjadi satu-satunya sebab munculnya
varian qira¶at, maka tentu qira¶at apapun yang shahih dan memungkinkan untuk dibaca
berdasarkan rasm µutsmany adalah qira¶at yang legal secara syar¶i. Namun kenyataannya tidak
demikian. Lagi-lagi riwayat adalah tulang punggung utama dalam menentukan keabsahan sebuah
qira¶at. Sebagai contoh misalnya, Firman Allah Ta¶ala:
[4:ΔΤΗΎϔϟ] » (4) XÛTÿJgŸÖ@« YzóéWTÿ gÐYÕHTWÚ ¼
[26:ϥήϤϋ ϝ] » gÐ<ÕSÙ<Ö@ ðÐYÕHTWÚ JðySäPVÕÖ@ XÔSTÎ ¼
[2:αΎϨϟ] » (2) X§ PVÞÖ@ YÐYÕWÚ ¼
Kata Ϛ dalam ketiga ayat ini memiliki bentuk tulisan yang sama, yaitu huruf mim
tanpa alif sesudahnya. Akan tetapi para qurra¶ ternyata ¦anya berbeda saat membaca ayat
pertama (al-Fatihah: 4). Ada yang membaca dengan pendek (tanpa alif setelah mim), dan ada
pula yang membaca panjang (dengan alif setelah mim). Sementara untuk ayat kedua (Ali Imran:
26), mereka sepakat untuk membacanya panjang (dengan alif setelah mim). Dan untuk ayat
ketiga (al-Nas: 2), mereka sepakat untuk membacanya pendek (tanpa alif setelah mim).
Mengapa ³kasus ayat pertama´ tidak terulang pada kedua ayat ini? Bukankah baik bacaan
panjang maupun pendek pada mim di kedua ayat terakhir ini sangat memungkinkan bila ditinjau
dari sudut rasm µutsmany? Ini menunjukkan bahwa baik kesepakatan mereka untuk berbeda pada
ayat pertama dan sepakat pada kedua ayat selanjutnya sepenuhnya berdasarkan riwayat dari
Rasulullah saw.
Õ
Dalam deretan para qurra¶ yang sepuluh (al-Qurra¶ al-µAsyarah), terdapat para
ulama ahli bahasa Arab yang telah mencapai puncak keahlian di dalamnya. Tidak hanya itu,
mereka bahkan memiliki madzhab tersendiri dalam ilmu Nahwu dan menjadi tujuan utama para
pengkaji ilmu tersebut. Namun ternyata, dalam hal qira¶at al-Qur¶an, mereka tidak berani
melampaui dan berkreasi melebihi apa yang telah diriwayatkan kepada mereka.
Di antara mereka adalah Imam Abu µAmr bin al-µAla¶ al-Bashry (w. 154H). al-Ashma¶iy
(w. 828M) mengatakan, ³Abu µAmr mengatakan padaku, µSeandainya aku tidak harus membaca
(al-Qur¶an) sebagaimana ia dibaca, maka niscaya aku akan membaca seperti ini pada huruf yang
ini dan yang ini«¶´. Sebuah ungkapan yang menunjukkan bahwa Abu µAmr ³rela´ menyelisihi
madzhabnya sendiri dalam ilmu Nahwu demi mengikuti atsar dan riwayat.
Demikian beberapa jawaban al-Qadhy terhadap kesimpulan Goldziher terkait dengan
sebab kemunculan varian qira¶at Al-Qur¶an. Seperti telah disinggung sebelumnya, bahwa ketika
mengangkat hal ini, Goldziher juga menyertakan contoh ayat-ayat yang dianggapnya sebagai
bukti kebenaran kesimpulannya itu. Diantaranya surat al-A¶raf, ayat 48:
_ W X¤ gÇ W£`ÆKKV ô@ ñ HTW p²KV vuüW WTßWè ¼
: TWÚ N éSTÖ WTÎ `ØSäHùWÙ~Y©Y ØSäWTßéSTÊX£`ÅWÿ
`ØS ÞRÒ WÚWè `yRÑSÅ`ÙW `ØRÑÞWÆ uøWÞpTçÆKV
[48:ϑήϋϷ] » (48) WÜèS¤Yi<ÑWT `©WT
Menurut Goldziher, sebagian ahli qira¶at membaca dengan mengganti huruf ba¶ pada kata yang
digarisbawahi dengan huruf tsa¶, sehingga menjadi ϥϭϜΘδΗ . Namun pernyataan ini dibantah
oleh al-Qadhy. Ia mengatakan,
Tidak ada satupun yang membaca dengan menggunakan huruf tsa¶ sebagai ganti huruf
ba¶; baik itu dari kalangan al-Qurra¶ al-µAsyarah, juga tidak ada seorang pun dari
empat qurra¶ tambahan lainnya. Sehingga (qira¶at yang disebutkan Goldziher ini ±pen)
tidak termasuk dalam kategori qira¶ah yang mutawatir, masyhurah, shahihah atau syadz.
Ia tidak lebih dari sebuah qira¶at yang tertolak. Tidak ada seorang pun ulama qira¶at
yang memperdulikan dan bersandar padanya«
Cukuplah sebagai bukti kemunkarannya bahwa ia tidak disandarkan kepada qari¶ (baca:
ahli qira¶at) tertentu. Tidak pula pada perawi tertentu. Ini adalah bukti paling jelas yang
menunjukkan bahwa yang menjadi pijakan dalam qira¶at adalah naqli dan sanad, bukan
rasm dan khat.
Dari 5 contoh yang diangkat oleh Goldziher ±terkait dengan kesimpulannya ini-, menurut
al-Qadhy dua di antaranya memang benar sebagai varian qira¶at yang tsabit (seperti yang
terdapat dalam surah al-Nisa¶: 94), namun ±sekali lagi- munculnya varian itu tidak bertitik tolak
pada rasm Al-Qur¶an, tetapi semata-mata karena berasal dari jalur periwayatan yang shahih.
Kesimpulan Goldziher lainya yang dibantah oleh al-Qadhy adalah yang menyatakan
bahwa pemahaman seorang penafsir klasik terhadap sebuah ayat juga turut berperan dalam
lahirnya sebuah varian qira¶at. Sebagai contoh ±menurut Goldziher- adalah apa yang dilakukan
oleh Qatadah al-Bashry (w. 117H) ketika membaca ayat 54 dalam surah al-Baqarah:
YzóéTWÍHTWTÿ -YãYYYÚóéTWTÍYÖ uøWªéSÚ WÓWTÎ <¢MX«Wè ¼
ØS|W©SÉßKV óØS `ÙVÕðÀº óØRÑPVßMX«
vN éTST éS TWTÊ WÔ` YÅ<Ö@ SØRÒY¢ W PYT @ Y
óØRÑW©SÉßKV vN éTRÕS T<Î@ WTÊ óØRÑMXúg¤ W uøVÖXM
[54:ΓήϘΒϟ] »
Qatadah memandang bahwa hukuman ³bunuh diri´ dalam ayat ini terlalu ekstrim dan
tidak sesuai dengan kadar kesalahan yang dilakukan oleh Bani Israil. Maka ia pun ±menurut
Goldziher- memindahkan 2 titik yang terdapat pada huruf ta¶ dari atas ke bawah, sehingga
berubah menjadi huruf ya¶. Lahirlah varian qira¶at baru yang berbunyi ϢϜδϔ , yang
berarti ³maka bertaubatlah sungguh-sungguh dengan menyesali kesalahan yang telah
dilakukan.´
Al-Qadhy membantah hal ini dengan ±sekali lagi- menegaskan bahwa dasar pemunculan
varian qira¶at sama sekali tidak berangkat dari ³terbukanya´ rasm µutsmany untuk kemungkinan
bacaan tertentu. Di samping itu ±menurut al-Qadhy-, qira¶at Qatadah ini tidak pernah dinukil
oleh para qurra¶ yang diakui, tidak memiliki sanad yang dapat diandalkan, dan Qatadah al-
Bashry sendiri tidak diletakkan dalam barisan para qurra¶ serta tidak ada satupun qira¶at yang
dinisbatkan kepadanya, kecuali apa yang disebutkan Goldziher ini.
Penjelasan ini semakin dikuatkan oleh Al-Qadhy dengan menyatakan,
Dari Qatadah sendiri telah dinukilkan bahwa ia menafsirkan ayat ini dengan tafsir yang
justru menyelisihi qira¶atnya itu. Syeikh al-Mufassirin Imam Ibn Jarir al-Thabary
menyebutkan dalam tafsirnya, bahwa Qatadah menafsirkan ayat ini dengan mengatakan:
µMereka berdiri dalam dua barisan shaf, lalu saling membunuh satu sama lain, hingga
dikatakan pada mereka untuk berhenti. Maka (pembunuhan) itu menjadi kesyahidan bagi
yang terbunuh, dan taubat bagi yang masih hidup.¶
Ibnu Katsir menyebutkan dalam Tafsirnya: µQatadah mengatakan: µ(Allah)
memerintahkan kaum itu (Bani Israil) dengan perintah yang sangat berat. Maka mereka
pun berdiri saling membunuh senjata tajam, hingga Allah menuntaskan hukumannya
pada mereka. Lalu berjatuhanlah senjata itu dari tangan mereka, Allah pun
menghentikan pembunuhan itu dari mereka. Maka (pembunuhan) itu menjadi taubat bagi
yang hidup, dan kesyahidan bagi yang mati.
Ini menunjukkan bahwa Qatadah sendiri memahami bahwa ³perintah bunuh diri´ dalam
ayat ini adalah ³saling membunuh´ yang sesungguhnya, dan bukan µsekedar¶ sebuah penyesalan.
al-Qadhy bahkan hampir memastikan bahwa qira¶at ini adalah sesuatu yang µdisusupkan¶ kepada
Qatadah.
Kesimpulan dari ini semua adalah bahwa perbedaan qira¶at sepenuhnya bertumpu pada
riwayat (baca: wahyu), dan bukan merupakan hasil penyesuain terhadap karakter rasm µustmany.
Rasm µutsmany justru disusun dengan karakternya yang khas untuk mengakomodir ragam qira¶at
tersebut.
Lalu ia kemudian menggambarkan perpindahan mushaf itu dari satu tempat ke tempat
lain, hingga akhirnya tidak terdengar kabarnya sejak tahun 745 H ±ketika mushaf itu
dikembalikan oleh Portugal kepada Sultan al-Mariny di Fas. Meskipun ada yang bersikeras
dengan keberadaan mushaf ini, namun DR. Ghanim Qaduri menguatkan pandangan bahwa sudah
sangat sulit saat ini untuk menemukan naskah utuh dari mushaf yang ditulis pada abad pertama
atau kedua hijriyah. Dan itu semua membutuhkan bukti materil yang kuat dan penelitian dari
berbagai sudut.
Tetapi terlepas dari itu semua, ada atau tidaknya naskah manuskrip al-mushaf al-imam ini
sama sekali tidak mempengaruhi orisinalitas al-Qur¶an, karena landasan utama penukilan al-
Qur¶an adalah riwayat dan talaqqi dari generasi ke generasi; sebuah metode yang dari zaman ke
zaman telah membuktikan bahwa ia tidak akan membiarkan satupun kesalahan yang
menyimpang dari mushaf µUtsmany.
PENULISAN AL-QUR¶AN PASCA PENEMUAN MESIN CETAK
PADA TAHUN 1436 M (840 Hü
Tidak dapat dipungkiri bahwa penemuan mesin cetak oleh Johannes Guttenberg pada
tahun 1436 M (840 H) menjadi awal baru yang cemerlang bagi penyebaran ilmu, budaya dan
peradaban. Meskipun pada mulanya, Guttenberg sangat merahasiakan penemuannya ini, namun
dengan cepatnya penemuan ini menyebar ke berbagai wilayah Eropa lainnya di luar Jerman,
negara asal Guttenberg. Tidak lama setelah itu, pada tahun 1465, mesin yang sama muncul di
Roma, pada tahun 1470 di Paris, pada tahun 1471 di Barcelona, dan pada tahun 1474 di
Inggris.[58] Dan pada tahun 1486 M, ditemukanlah mesin cetak pertama dengan menggunakan
huruf Arab.
Adapun di wilayah Timur (Islam dan Arab), maka sejarah mencatat bahwa Turki
merupakan negara yang pertama kali menerima teknologi ini. Diduga teknologi ini masuk
bersama dengan masuknya imigran Yahudi ke wilayah Khilafah µUtsmaniyah. Dalam imigrasi
itu mereka membawa serta mesin cetak untuk beberapa bahasa: Ibrani, Yunani, Latin dan
Spanyol. Ini terjadi sekitar tahun 1551 M.
Sedangkan di wilayah Arab lainnya, pemunculan mesin cetak dapat disimpulkan sebagai
berikut:
1. di Lebanon, mesin cetak mulai dikenal pada tahun 1610.
2. di Suria, mesin cetak mulai dikenal pada tahun 1706.
3. di Palestina dan Yordania pada tahun 1830. Di Irak juga mesin ini mulai dikenal pada
tahun yang sama.
4. di Mesir, pemunculan mesin cetak sangat terkait dengan invasi Napoleon Bonaparte
terhadap Mesir pada tahun 1798.
5. sedangkan di kawasan Jazirah Arabia, negara pertama yang mengenal mesin cetak
adalah Yaman, yaitu pada tahun 1879. Sedangkan di wilayah Hijaz (Saudi Arabia),
teknologi ini mulai dikenal pada tahun 1909.
PENUTUP
Dari uraian di atas, kita dapat melihat bahwa mushaf µUtsmany telah melalui perjalanan
yang sangat panjang melintasi kurun waktu 14 abad lamanya. Berbagai inovasi kemudian
dikembangkan dalam penulisan ulang dan penggandaan naskahnya. Tetapi selama itu pula, al-
Qur¶an yang termuat didalamnya tetap terjaga keasliannya; huruf demi huruf, kata per kata,
kalimat per kalimat. Hal ini terbukti oleh perjalanan sejarah, dimana tak satu pun upaya untuk
menyimpangkan isinya melainkan dengan segera tersingkap di tangan para ulama, khususnya
yang menggeluti bidang al-Qur¶an dan semua bidang ilmunya.
Ini tentu saja tidak lepas dari metode pewarisan yang sangat unik dalam menyampaikan
al-Qur¶an dari kurun demi kurun. Inovasi apapun yang dikembangkan dalam penulisannya, sama
sekali tidak mengubah eksistensinya sebagai Kalamullah. Seperti yang dijelaskan para ulama
akidah: dengan lisan siapapun ia dibacakan, dengan tulisan siapapun ia dituliskan, di media
apapun ia ditorehkan, al-Qur¶an tetaplah Kalamullah.
Wallahu a¶lam bi al-shawab.
DAFTAR PUSTAKA
1.w Al-Khat al-Qur¶any wa al-Khat al-Imla¶iy.
www.islamweb.net/ver2/archive/printarticle.php?id=14680.