You are on page 1of 25

m 

 



      
  


      

        
         !
m     "#
        
        #
$       !
       
w
w
w
w
w
w
w
w
w
w
m   m 
$ m m 
   m  
 

w
w
PENDAHULUAN

Setelah panitia penulisan mushaf al-Qur¶an yang ditunjuk dan diawasi langsung oleh
Khalifah µUtsman bin µAffan r.a. selesai menunaikan tugasnya, beliau kemudian melakukan
beberapa langkah penting sebelum kemudian mendistribusikan mushaf-mushaf itu ke beberapa
wilayah Islam. Langkah-langkah penting itu adalah:
1. Membacakan naskah final tersebut di hadapan para sahabat. Ini dimaksudkan sebagai
langkah verifikasi, terutama dengan suhuf yang dipegang oleh Hafshah binti µUmar
r.a.
2. Membakar seluruh manuskrip al-Qur¶an lain. Sebab dengan selesainya mushaf resmi
tersebut, keberadaan pecahan-pecahan tulisan al-Qur¶an dianggap tidak diperlukan
lagi. Dan itu sama sekali tidak mengundang keberatan para sahabat. Ali bin Abi
Thalib r.a. menggambarkan peristiwa itu dengan mengatakan,
³Demi Allah, dia (µUtsman) tidak melakukan apa yang ia lakukan terhadap mushaf-
mushaf itu kecuali (ia melakukannya) di hadapan kami semua.´

Setelah melakukan dua langkah tersebut, µUtsman bin µAffan r.a kemudian mulai
melakukan pengiriman mushaf al-Qur¶an ke beberapa wilayah Islam. Para ulama Islam sendiri
berbeda pendapat tentang jumlah eksemplar mushaf yang ditulis dan disebarkan pada waktu itu.
Al-Zarkasyi misalnya menggambarkan ragam pendapat itu dengan mengatakan,
³Abu µAmr al-Dany menyatakan dalam kitab al-Muqni¶: mayoritas ulama berpandangan
bahwa ketika µUtsman menuliskan mushaf-mushaf itu ia membuatnya dalam 4
(eksemplar), lalu mengirimkan satu eksemplar ke setiap wilayah: Kufah, Bashrah dan
Syam, lalu menyisakan satu eksemplar di sisinya. Ada pula yang mengatakan bahwa
beliau menuliskan sebanyak 7 eksemplar. (Selain yang telah disebutkan ±pen) ia
menambahkan untuk Mekkah, Yaman, dan Bahrain. (Al-Dany) mengatakan: µPendapat
pertamalah yang paling tepat, dan itu dipegangi para imam.¶´
Sementara al-Suyuthi menyebutkan pendapat lain ±disamping pendapat di atas- yang
menurutnya masyhur, bahwa jumlah mushaf itu ada 5 eksemplar.
Semua naskah itu ditulis di atas kertas, kecuali naskah yang dikhususkan µUtsman bin
µAffan r.a untuk dirinya ±yang kemudian dikenal juga dengan al-Mushaf al-Imam-. Sebagian
ulama mengatakan ditulis di atas lembaran kulit rusa.[6] Mushaf-mushaf tersebut oleh para ahli
al-Rasm kemudian diberi nama sesuai dengan kawasannya. Naskah yang diperuntukkan untuk
Madinah dan Mekkah kemudian dikenal dengan sebutan Mushaf Hijazy, yang diperuntukkan
untuk Kufah dan Bashrah disebut sebagai Mushaf µIraqy, dan yang dikirim ke Syam dikenal
dengan sebutan Mushaf Syamy.
Dalam proses pendistribusian ini, ada langkah penting lainnya yang juga tidak lupa
dilakukan oleh µUtsman bin µAffan r.a. Yaitu menyertakan seorang qari¶ dari kalangan sahabat
Nabi saw bersama dengan mushaf-mushaf tersebut. Tujuannya tentu saja untuk menuntun kaum
muslimin agar dapat membaca mushaf-mushaf tersebut sebagaimana diturunkan oleh Allah
kepada Rasul-Nya. Ini tentu saja sangat beralasan, sebab naskah-naskah mushaf µUtsmani
tersebut hanya mengandung huruf-huruf konsonan, tanpa dibubuhi baris maupun titik. Tanpa
adanya para qari¶ penuntun itu, kesalahan baca sangat mungkin terjadi. Ini sekaligus
menegaskan bahwa pewarisan pembacaan al-Qur¶an ±yang juga berarti pewarisan al-Qur¶an itu
sendiri- sepenuhnya didasarkan pada proses talaqqi, bukan pada realitas rasm yang tertuang pada
lembaran-lembaran mushaf belaka.
Tentu saja, pasca pendistribusian naskah-naskah mushaf µUtsmani tersebut, kaum
muslimin telah memiliki sebuah mushaf rujukan ±karena itulah ia disebut sebagai al-mushaf al-
imam-. Sejak saat itu, mulailah upaya-upaya penulisan ulang naskah Al-Qur¶an berdasarkan
mushaf µUtsmani untuk memenuhi kebutuhan kaum muslimin akan mushaf al-Qur¶an. Dalam
kurun yang cukup panjang, yaitu pasca kodifikasi Khalifah µUtsman r.a. hingga sekarang
terdapat banyak perkembangan baru dalam perbanyakan naskah tersebut. Meskipun upaya itu
sama sekali tidak berarti merubah hakikat al-Qur¶an sebagai Kalamullah. Perkembangan-
perkembangan itulah yang akan dikaji secara singkat dalam makalah ini. Dan semoga
bermanfaat!
PERKEMBANGAN BARU PENULISAN MUSHAF PASCA UTSMAN

Pemberian Harakat (V 


 ü
Sebagaimana telah diketahui, bahwa naskah mushaf µUtsmani generasi pertama adalah
naskah yang ditulis tanpa alat bantu baca yang berupa titik pada huruf (nuqath al-i¶jam) dan
harakat (nuqath al-i¶rab) ±yang lazim kita temukan hari ini dalam berbagai edisi mushaf al-
Qur¶an-. Langkah ini sengaja ditempuh oleh Khalifah µUtsman r.a. dengan tujuan agar rasm
(tulisan) tersebut dapat mengakomodir ragam qira¶at yang diterima lalu diajarkan oleh
Rasulullah saw. Dan ketika naskah-naskah itu dikirim ke berbagai wilayah, semuanya pun
menerima langkah tersebut, lalu kaum muslimin pun melakukan langkah duplikasi terhadap
mushaf-mushaf tersebut; terutama untuk keperluan pribadi mereka masing-masing. Dan
duplikasi itu tetap dilakukan tanpa adanya penambahan titik ataupun harakat terhadap kata-kata
dalam mushaf tersebut.[9] Hal ini berlangsung selama kurang lebih 40 tahun lamanya.
Dalam masa itu, terjadilah berbagai perluasan dan pembukaan wilayah-wilayah baru.
Konsekwensi dari perluasan wilayah ini adalah banyaknya orang-orang non Arab yang kemudian
masuk ke dalam Islam, disamping tentu saja meningkatnya interaksi muslimin Arab dengan
orang-orang non Arab ±muslim ataupun non muslim-. Akibatnya, al-µujmah (kekeliruan dalam
menentukan jenis huruf) dan al-lahn (kesalahan dalam membaca harakat huruf) menjadi sebuah
fenomena yang tak terhindarkan. Tidak hanya di kalangan kaum muslimin non-Arab, namun
juga di kalangan muslimin Arab sendiri.
Hal ini kemudian menjadi sumber kekhawatiran tersendiri di kalangan penguasa muslim.
Terutama karena mengingat mushaf al-Qur¶an yang umum tersebar saat itu tidak didukung
dengan alat bantu baca berupa titik dan harakat.
Dalam beberapa referensi disebutkan bahwa yang pertama kali mendapatkan ide
pemberian tanda bacaan terhadap mushaf al-Qur¶an adalah Ziyad bin Abihi, salah seorang
gubernur yang diangkat oleh Mu¶awiyah bin Abi Sufyan r.a. untuk wilayah Bashrah (45-53 H).
Kisah munculnya ide itu diawali ketika Mu¶awiyah menulis surat kepadanya agar mengutus
putranya, µUbaidullah, untuk menghadap Mu¶awiyah. Saat µUbaidullah datang menghadapnya,
Mu¶awiyah terkejut melihat bahwa anak muda itu telah melakukan banyak al-lahn dalam
pembicaraannya. Mu¶awiyah pun mengirimkan surat teguran kepada Ziyad atas kejadian itu.
Tanpa buang waktu, Ziyad pun menulis surat kepada Abu al-Aswad al-Du¶aly:
³Sesungguhnya orang-orang non-Arab itu telah semakin banyak dan telah merusak
bahasa orang-orang Arab. Maka cobalah Anda menuliskan sesuatu yang dapat
memperbaiki bahasa orang-orang itu dan membuat mereka membaca al-Qur¶an dengan
benar.´

Abu al-Aswad sendiri pada mulanya menyatakan keberatan untuk melakukan tugas itu.
Namun Ziyad membuat semacam µperangkap¶ kecil untuk mendorongnya memenuhi permintaan
Ziyad. Ia menyuruh seseorang untuk menunggu di jalan yang biasa dilalui Abu al-Aswad, lalu
berpesan: ³Jika Abu al-Aswad lewat di jalan ini, bacalah salah satu ayat al-Qur¶an tapi
lakukanlah lahn terhadapnya!´ Ketika Abu al-Aswad lewat, orang inipun membaca firman Allah
yang berbunyi:
*WÜkYÒX£pTSÙ<Ö@« WÝYQÚ còv÷X£WTŠ JðW/@« QWÜKV«
I&SãRÖéSªW¤Wè
³Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang musyrik.´ (al-
Taubah: 3)
Tapi ia mengganti bacaan ³wa rasuluhu´ menjadi ³wa rasulihi´. Bacaan itu didengarkan
oleh Abu al-Aswad, dan itu membuatnya terpukul. ³Maha mulia Allah! Tidak mungkin Ia
berlepas diri dari Rasul-Nya!´ ujarnya. Inilah yang kemudian membuatnya memenuhi
permintaan yang diajukan oleh Ziyad. Ia pun menunjuk seorang pria dari suku µAbd al-Qais
untuk membantu usahanya itu. Tanda pertama yang diberikan oleh Abu al-Aswad adalah harakat
(nuqath al-i¶rab). Metode pemberian harakat itu adalah Abu al-Aswad membaca al-Qur¶an
dengan hafalannya, lalu stafnya sembari memegang mushaf memberikan harakat pada huruf
terakhir setiap kata dengan warna yang berbeda dengan warna tinta kata-kata dalam mushaf
tersebut. Harakat fathah ditandai dengan satu titik di atas huruf, kasrah ditandai dengan satu titik
dibawahnya, dhammah ditandai dengan titik didepannya, dan tanwin ditandai dengan dua titik.
Demikianlah, dan Abu al-Aswad pun membaca al-Qur¶an dan stafnya memberikan tanda itu.
Dan setiap kali usai dari satu halaman, Abu al-Aswad pun memeriksanya kembali sebelum
melanjutkan ke halaman berikutnya.
Murid-murid Abu al-Aswad kemudian mengembangkan beberapa variasi baru dalam
penulisan bentuk harakat tersebut. Ada yang menulis tanda itu dengan bentuk kubus
(murabba¶ah), ada yang menulisnya dengan bentuk lingkaran utuh, dan ada pula yang
menulisnya dalam bentuk lingkaran yang dikosongkan bagian tengahnya.[13] Dalam
perkembangan selanjutnya, mereka kemudian menambahkan tanda sukun (yang menyerupai
bentuk kantong air) dan tasydid (yang menyerupai bentuk busur) yang diletakkan di bagian atas
huruf. Dan seperti yang disimpulkan oleh al-A¶zhamy, nampaknya setiap wilayah kemudian
mempraktekkan sistem titik yang berbeda. Sistem titik yang digunakan penduduk Mekah ±
misalnya- berbeda dengan yang digunakan orang Irak. Begitu pula sistem penduduk Madinah
berbeda dengan yang digunakan oleh penduduk Bashrah. Dalam hal ini, Bashrah lebih
berkembang, hingga kemudian penduduk Madinah mengadopsi sistem mereka. Namun lagi-lagi
perlu ditegaskan, bahwa perbedaan ini sama sekali tidak mempengaruhi apalagi mengubah
bacaan Kalamullah. Ia masih tetap seperti yang diturunkan Allah kepada Rasulullah saw.
Satu hal lagi yang perlu disebutkan di sini, bahwa beberapa peneliti ±seperti Guidi, Israil
Wilfinson, dan DR. µIzzat Hassan- menyimpulkan bahwa tanda harakat ini sebenarnya dipinjam
oleh Bahasa Arab dari Bahasa Syriak. Tetapi ±mengutip al-A¶zhamy- Yusuf Dawud Iqlaimis,
Biskop Damaskus, menyatakan:
Ini jelas yakin tanpa diragukan bahwa pada zaman Yakub dari Raha, yang meninggal di
awal abad kedelapan masehi, di sana tidak ada metode tanda diakritikal dalam bahasa
Syriak, tidak dalam huruf hidup bahasa Yunani maupun sistem tanda titiknya.

Yakub (Yacob?) Raha sendiri ±menurut B.Davidson- menemukan tanda bacaan pertama
(untuk Bahasa Syriak) pada abad ketujuh, sedangkan Theophilus menemukan huruf hidup
Bahasa Yunani pada abad ke delapan. Bila dihitung, akhir abad ketujuh masehi itu sama dengan
tahun 81 H, dan akhir abad kedelapan itu sama dengan tahun 184 H. Sementara Abu al-Aswad
al-Du¶aly ±penemu tanda diakritikal Bahasa Arab- meninggal dunia pada tahun 69 H (688 M).
Ditambah lagi, -seperti yang dicontohkan oleh B.Davidson- sistem diakritikal Syriak begitu
mirip tanda yang digunakan oleh al-Du¶aly.
Fakta lain adalah bahwa tata bahasa Syriak dapat dikatakan menemukan identitasnya
melalui upaya Hunain bin Ishaq. Hunain sendiri dilahirkan pada tahun 194 H (810 M), sementara
Sibawaih, tokoh besar tata Bahasa Arab penulis al-Kitab (sebuah referensi puncak dalam
Nahwu) meninggal pada tahun 180 H (796 M). Maka tidak mungkin Hunain dapat disebut
memberikan pengaruh pada tata Bahasa Arab. Apalagi sejarah mencatat bahwa Hunain pernah
belajar Bahasa Arab di Bashrah. Tepatnya pada Khalil bin Ahmad al-Farahidy (w. 170 H),
seorang tokoh ensiklopedi Bahasa Arab terkemuka. Jadi pertanyaannya: siapa yang meminjam
pada siapa?

Pemberian Titik pada Huruf åV   


Pemberian tanda titik pada huruf ini memang dilakukan belakangan dibanding pemberian
harakat. Pemberian tanda ini bertujuan untuk membedakan antara huruf-huruf yang memiliki
bentuk penulisan yang sama, namun pengucapannya berbeda. Seperti pada huruf Ώ (ba),f åta ,
}å tsa . Pada penulisan mushaf µUtsmani pertama, huruf-huruf ini ditulis tanpa menggunakan
titik pembeda. Salah satu hikmahnya adalah ±seperti telah disebutkan- untuk mengakomodir
ragam qira¶at yang ada. Tapi seiring dengan meningkatnya kuantitas interaksi muslimin Arab
dengan bangsa non-Arab, kesalahan pembacaan jenis huruf-huruf tersebut (al-µujmah) pun
merebak. Ini kemudian mendorong penggunaan tanda ini.
Ada beberapa pendapat yang berbeda mengenai siapakah yang pertama kali menggagas
penggunaan tanda titik ini untuk mushaf al-Qur¶an. Namun pendapat yang paling kuat
nampaknya mengarah pada Nashr bin µAshim dan Yahya bin Ya¶mar. Ini diawali ketika Khalifah
Abdul Malik bin Marwan memerintahkan kepada al-Hajjaj bin Yusuf al-Tsaqafy, gubernur Irak
waktu itu (75-95 H , untuk memberikan solusi terhadap µwabah¶ al-µujmah di tengah masyarakat.
Al-Hajjaj pun memilih Nahsr bin µAshim dan Yahya bin Ya¶mar untuk misi ini, sebab keduanya
adalah yang paling ahli dalam bahasa dan qira¶at.
Setelah melewati berbagai pertimbangan, keduanya lalu memutuskan untuk
menghidupkan kembali tradisi nuqath al-i¶jam (pemberian titik untuk membedakan pelafalan
huruf yang memiliki bentuk yang sama . Muncullah metode al-ihmal dan al-i¶jam. Al-ihmal
adalah membiarkan huruf tanpa titik, dan al-i¶jam adalah memberikan titik pada huruf.
Penerapannya adalah sebagai berikut:
a. untuk membedakan antara ” dal dan « dzal,  ra¶ dan Ù zay, ð shad dan  dhad,
 tha¶ dan 5 zha¶, serta L µain dan ύ ghain, maka huruf-huruf pertama dari setiap
pasangan itu diabaikan tanpa titik (al-ihmal), sedangkan huruf-huruf yang kedua
diberikan satu titik di atasnya (al-i¶jam).
b. untuk pasangan z sin dan‘ syin, huruf pertama diabaikan tanpa titik satupun,
sedangkan huruf kedua (syin) diberikan tiga titik. Ini disebabkan karena huruf ini
memiliki tiga µgigi¶, dan pemberian satu titik saja diatasnya akan menyebabkan ia
sama dengan huruf nun. Pertimbangan yang sama juga menyebabkan pemberian titik
berbeda pada huruf-huruf Ώ ba¶,f ta,} tsa, ϥ nun, dan ¿ ya¶.
c. untuk rangkaian huruf Ö jim, í ha¶, dan  kha¶, huruf pertama dan ketiga diberi
titik, sedangkan yang kedua diabaikan.
d. sedangkan pasangan  fa¶ dan ϕ qaf, seharusnya jika mengikuti aturan sebelumnya,
maka yang pertama diabaikan dan yang kedua diberikan satu titik diatasnya. Hanya
saja kaum muslimin di wilayah Timur Islam lebih cenderung memberi satu titik atas
untuk fa¶ dan dua titik atas untuk qaf. Berbeda dengan kaum muslimin yang berada di
wilayah Barat Islam (Maghrib), mereka memberikan satu titik bawah untuk fa¶, dan
satu titik atas untuk qaf.
Nuqath al-I¶jam atau tanda titik ini pada mulanya berbentuk lingkaran, lalu berkembang
menjadi bentuk kubus, lalu lingkaran yang berlobang bagian tengahnya. Tanda titik ini ditulis
dengan warna yang sama dengan huruf, agar tidak sama dan dapat dibedakan dengan tanda
harakat (nuqath al-i¶rab) yang umumnya berwarna merah. Dan tradisi ini terus berlangsung
hingga akhir kekuasaan Khilafah Umawiyah dan berdirinya Khilafah µAbbasiyah pada tahun 132
H. Pada masa ini, banyak terjadi kreasi dalam penggunaan warna untuk tanda-tanda baca dalam
mushaf. Di Madinah, mereka menggunakan tinta hitam untuk huruf dan nuqath al-i¶jam, dan
tinta merah untuk harakat. di Andalusia, mereka menggunakan empat warna: hitam untuk huruf,
merah untuk harakat, kuning untuk hamzah, dan hijau untuk hamzah al-washl. Bahkan ada
sebagian mushaf pribadi yang menggunakan warna berbeda untuk membedakan jenis i¶rab
sebuah kata. Tetapi semuanya hampir sepakat untuk menggunakan tinta hitam untuk huruf dan
nuqath al-i¶jam, meski berbeda untuk yang lainnya.
Akhirnya, naskah-naskah mushaf pun berwarna-warni. Tapi di sini muncul lagi sebuah
masalah. Seperti telah dijelaskan, baik nuqath al-i¶rab maupun nuqath al-i¶jam, keduanya ditulis
dalam bentuk yang sama, yaitu melingkar. Hal ini rupanya menjadi sumber kebingungan baru
dalam membedakan antara satu huruf dengan huruf lainnya. Di sinilah sejarah mencatat peran
Khalil bin Ahmad al-Farahidy (w.170 H). Ia kemudian menetapkan bentuk fathah dengan huruf
alif kecil yang terlentang diletakkan di atas huruf, kasrah dengan bentuk huruf ya¶ kecil
dibawahnya dan dhammah dengan bentuk huruf waw kecil diatasnya. Sedangkan tanwin
dibentuk dengan mendoublekan penulisan masing-masing tanda tersebut. Disamping beberapa
tanda lain.
Al-Daly mengatakan:
³Dengan demikian, Khalil (al-Farahidy) telah meletakkan 8 tanda: fathah, dhammah,
kasrah, sukun, tasydid, mad, shilah, dan hamzah. Dengan metode ini, sangat
memungkinkan untuk menulis huruf, i¶jam (tanda titik huruf), dan syakl (harakat) dengan
warna yang sama.´

Terkait dengan hal ini, ada suatu fakta sejarah yang unik. Yaitu bahwa tanda titik (nuqath
al-i¶jam) ternyata telah dikenal dalam tradisi Bahasa Arab kuno pra Islam atau setidaknya pada
masa awal Islam sebelum mushaf µUtsmani ditulis. Ada beberapa penemuan kuno yang
menunjukkan hal tersebut, antara lain:
1. Batu nisan Raqusy (di Mada¶in Shaleh), sebuah inskripsi Arab sebelum Islam yang
tertua. Diduga ditulis pada tahun 267 M. Batu nisan ini mencatat adanya tanda titik di
atas huruf dal, ra¶ dan syin.
Menyikapi batu nisan Raqusy ini, para peneliti Barat dapat dikatakan berbeda
pandangan. Cantineau dan Gruendler menganggapnya sebagai teks Nabatean (al-Nabth),
tapi mengakuinya sebagai teks yang sangat bernilai untuk para peneliti Arab. O¶Conner
menyebutnya sebagai gabungan acak antara Nabatean dan Arab. Sedangkan Healy dan
Smith(1989) dengan yakin menyebutnya sebagai dokumentasi Arab tertua. Tetapi
pertanyaannya adalah siapakah Nabatean itu sesungguhnya?
Kita mengetahui bahwa Ismail a.s. ±putra tertua Nabi Ibrahim a.s.- tumbuh dan besar di
kota Mekkah. Tepatnya di tengah komunitas suku Jurhum. Suku ini sendiri berbahasa
Arab. Ismail sendiri dikaruniai 12 putra, diantaranya adalah Nabat (Nebajoth). Mereka
semua dilahirkan dan dididik di sekitar Jazirah Arab yang logisnya menggunakan Bahasa
Arab sebagai bahasa mereka. Ketika Nabat kemudian berhijrah ke utara Jazirah Arab
(wilayah Syam), semestinya ia membawa serta alphabet dan Bahasa Arab bersamanya.
Keturunannya-lah yang kemudian mendirikan Dinasti Nabatean sekitar 600 SM hingga
50 M. Gruendler sendiri mengakui bahwa para penulis teks Nabatean berbahasa Arab.
Jadi sebenarnya Nabatean adalah bagian dari bangsa dan tradisi Arab itu sendiri.
Sehingga apabila fakta bahwa mereka berasal dari keturunan bangsa Arab (Ismail) dan
mereka pun berbahasa Arab, maka membedakan antara Bahasa Arab dan Nabatean
adalah sebuah kesalahan yang dipaksakan. Dalam hal ini, al-A¶zhamy mengomentarinya
dengan mengatakan,
³Jika orang Nabatean berbicara dalam Bahasa Arab, lantas siapakah yang memberinya
nama Bahasa Nabatean? Apakah ada bukti bahwa mereka menyebut bahasa mereka
sebagai Bahasa Nabatean? Atau mungkin ini diambil dari kecenderungan yang sama
dalam memberi label kepada umat Islam sebagai µMuhammadan¶ (pengikut
Muhammad), Islam sebagai µMuhammadanism¶ (ajaran Muhammad), dan al-Qur¶an
sebagai µTurkish Bible¶ (Bible orang Turki)?´

2. Dokumentasi dalam dua bahasa di atas kertas papyrus, tahun 22 H (sekarang


disimpan di Perpustakaan Nasional Austria). Dokumentasi ini menunjukkan
penggunaan titik untuk huruf nun, kha, dzal, syin, dan zay.
Ditambah dengan beberapa temuan lainnya, setidaknya hingga tahun 58 H. Terdapat 10
karakter huruf yang diberi tanda titik, yaitu: nun, kha, dzal, syin, zay, ya, ba, tsa, fa, dan ta.
Sehingga tepatlah jika disimpulkan bahwa apa yang dilakukan oleh Nashr bin µAshim dan Yahya
bin Ya¶mar adalah sebuah upaya menghidupkan kembali tradisi itu dengan beberapa inovasi baru
yang disesuaikan dengan kebutuhan. Wallahu a¶lam.

Antara p  dan p   


Sebagaimana yang diketahui, bahwa cara penulisan (rasm) yang terdapat dalam mushaf
µUtsmany berbeda dan tidak sama dengan cara penulisan yang umum digunakan dalam aturan-
aturan imla¶ Bahasa Arab. Karena itu para ulama membagi metode penulisan huruf Arab menjadi
2 jenis: rasm µUtsmany dan rasm imla¶i. Jenis yang pertama khusus digunakan untuk penulisan
ayat al-Qur¶an sesuai dengan mushaf µUtsmany. Sedangkan yang kedua adalah aturan baku yang
umum digunakan untuk penulisan kata-kata Arab sebagaimana ia diucapkan.
Untuk keperluan ini, para ulama al-Qur¶an kemudian menyusun sebuah ilmu yang
dikenal dengan nama ilmu Rasm al-Qur¶an. Diantara karya yang mengulas ilmu ini adalah al-
Muqni¶ karya Abu µAmr al-Dany dan al-Tanzil karya Abu Dawud Sulaiman bin Najah. Berikut
ini beberapa sisi penting perbedaan rasm µUtsmany dengan rasm imla¶i:
1. Penghapusan alif, waw, atau ya¶. Seperti yang terdapat pada ayat:
fûkYÙVÕHTWÅ<Ö@« (Al-Fatihah:1), ÜISè‚WçÅ<Ö@«Wè (Asy-
Syu¶ara¶:94), dan W WÝGTTQY~YÅ PVÞÖ@«@ (Al-Baqarah: 61). Ketiga kata
ini jika ditulis berdasarkan rasm imla¶i adalah: ê
 ,ϥϭϭ ,ê 
2. Penambahan alif, waw, dan ya¶. Seperti yang terdapat pada ayat: òv÷N Y Wè
(Az-Zumar:69), yRÑÿX¤OèKR Wª (al-A¶raf:145), dan x O~T`TÿVK Y (al-
Dzariyat: 47). Ketiga kata ini jika ditulis berdasarkan rasm imla¶i adalah: ,Z ϭ
Ϊϳ ,ϢϜϳÂ
3. Pemisahan dan penyambungan. Artinya ada kata seharusnya secara imla¶ disambung,
namun dipisahkan dalam rasm µUtsmany. Begitu pula sebaliknya, ada yang
seharusnya dipisah namun disambungkan dalam rasm µUtsmany. Seperti yang
terdapat dalam ayat: QWÙWÆ (al-Baqarah: 74) dan  Ϟϛ.(al-Nisa¶:91). Kedua

kata ini jika ditulis dalam rasm imla¶i adalah: ϛ , ê
Penulisan al-Qur¶an berdasarkan rasm µUtsmany memiliki banyak hikmah ±sebagaimana
disebutkan oleh para ulama qira¶at-. Tapi salah satu yang terpenting adalah dengan metode ini
ragam qira¶at yang berbeda dapat terwakili dalam mushaf µUtsmany. Sebagaimana yang akan
dijelaskan nanti.
Tidak dapat dipungkiri, bahwa ada upaya untuk mengganti sistem rasm µUtsmany dengan
sistem imla¶ yang umum berlaku. Dengan alasan bahwa itu akan lebih memudahkan pembacaan.
Meskipun ini kemudian terbantahkan dengan dasar bahwa metode inilah yang digunakan oleh
para sahabat menuliskan al-Qur¶an di hadapan Rasulullah saw. Karena itu ia kemudian bersifat
tauqifiyah. Adapun jika alasannya adalah untuk memudahkan pembacaan, maka itu terbantahkan
dengan kenyataan bahwa sejauh ini ±sejak 1400 tahun lamanya-, hampir tidak ada masalah
berarti di tengah kaum muslimin dalam membaca al-Qur¶an, kecuali yang memang tidak punya
keinginan untuk mempelajari bacaannya. Lagi pula ±kata al-A¶zhamy-, ³Apakah mereka
percaya bahwa setelah beberapa abad nanti, orang-orang lain tidak akan melontarkan kecaman
bahwa karya mereka (penulisan al-Qur¶an tanpa µrasm µUtsmany¶ ±pen) juga adalah usaha
yang dilakukan oleh orang-orang jahil buta huruf?´

Perbedaan „
 dalam Membaca al-Qur¶an
³Apakah ragam qira¶at muncul akibat karakteristik rasm µutsmany atau ia telah ada jauh
sebelum itu?´ Ini adalah sebuah pertanyaan lain yang juga mengusik kalangan peneliti al-Qur¶an,
terutama sebagian kalangan orientalis. Salah satunya adalah Goldziher dalam bukunya Madzahib
al-Tafsir al-Islamy. Salah satu teori yang ia kemukakan adalah bahwa perbedaan qira¶at itu
muncul karena karakteristik rasm µUtsmany yang memang µbermasalah¶ ±tanpa titik dan harakat-
, sehingga membuka peluang untuk hal itu. Teori ini kemudian dijawab oleh beberapa ahli al-
Qur¶an muslim, salah satunya adalah Syekh Abd al-Fattah Abd al-Ghany al-Qadhy[40] yang
menyusun buku kecil berjudul Al-Qira¶at fi Nazhar al-Mustasyriqin wa al-Mulhidin. Berikut ini
adalah ikhtisar jawaban Syekh Abd al-Fattah terhadap teori Goldziher:
Goldziher ±menurut al-Qadhy- nampaknya bermasalah dengan faktor-faktor yang
menyebabkan terjadinya variasi qira¶at dalam al-Qur¶an. Goldziher ±misalnya- menganggap
adanya variasi qira¶at itu sebagai bukti yang menunjukkan bahwa al-Qur¶an adalah satu-satunya
teks wahyu yang dipenuhi dengan ketidakjelasan (idhthirab) dan ketidakkonsistenan (µadam ats-
tsabat).
Kesimpulan ini tentu saja dibantah oleh al-Qadhy. Ia menyatakan bahwa ketidakjelasan
dan ketidakkonsistenan itu bermakna bahwa teks-teks al-Qur¶an dengan segala varian qira¶atnya
saling bertentangan, tidak dapat dipahami maknanya dengan jelas, dan tidak dapat dibuktikan
mana yang valid (tsabit) dan yang tidak. Padahal perbedaan qira¶at dalam al-Qur¶an, bila diteliti
dari yang mutawatir, masyhur dan shahihnya, tidak akan lepas dari 2 kategori berikut:
a. Qira¶at itu berbeda lafazh, namun bermakna sama. Seperti:
» (6) WØ~YÍW Tó©SÙ<Ö@« ð·.W£Jg±Ö@« ‚WTßYŸ`å@« ¼
[6:ΔΤΗΎϔϟ΍]
³Tunjukkanlah kepada kami yang lurus.´
Dalam qira¶at yang lain, kata yang digarisbawahi dibaca dengan huruf sin, namun
dengan makna yang tidak berbeda.
b. Qira¶at itu berbeda baik dari segi lafazh dan makna, namun kedua makna itu tidak
saling bertentangan. Sebagai contoh adalah:
WåS¥YÞSTß ðÈ`T~W{ Yz VÀ¹YÅ<Ö@ øVÖXM ó£TñÀ¹ß@ Wè ¼VK
[259:ΓήϘΒϟ΍] » & _TÙ` VÖ WåéS©<ÑWTß QWØR
³Dan lihatlah tulang belulang itu, bagaimana Õ    lalu
menutupinya dengan daging.´
Dalam qira¶at yang lain, huruf zay pada kata yang digarisbawahi diganti dengan syin

(
) dengan harakat yang sama, yang berarti ³Kami membangkitkannya (setelah
mati)´. Bila diperhatikan, meskipun kedua qira¶at ini berbeda, namun sama sekali
tidak ada pertentangan. Sebab bila Allah berkehendak untuk membangkitkan
makhluq, maka Ia akan menyatukan tulang-belulangnya, lalu menghidupkannya
kembali.
Dengan demikian, perbedaan qira¶at yang terdapat dalam al-Qur¶an dapat dikategorikan
dalam apa yang disebut oleh para ulama dengan ikhtilaf tanawwu¶ (perbedaan yang bersifat
variatif) dan bukan ikhtilaf tadharub. Atau dengan kata lain perbedaan yang terjadi dapat
dijelaskan dan diarahkan kepada pengertian yang tepat.
Hal lain yang diangkat oleh Goldziher dan dikritisi oleh al-Qadhy adalah kesimpulannya
yang menyebutkan salah satu penyebab utama terjadinya perbedaan qira¶at al-Qur¶an kembali
pada karakter asal huruf Arab yang digunakan dalam penulisan Mushaf µUtsmany. Karakter asal
itu adalah ketiadaan titik dan tanda baca (harakat) yang dapat membedakan satu huruf dengan
huruf yang lain, baik dari segi pembacaan maupun kedudukannya dalam kalimat (iµrab). Hal ini
yang kemudian ±menurut Goldziher- menyebabkan lahirnya berbagai kemungkinan variasi
dalam qira¶at. Sehingga variasi qira¶at itu tidak lebih dari sekedar ijtihad dan pilihan para
qurra¶, dan tidak didasarkan pada periwayatan dari Rasulullah saw. Dan untuk membuktikan
kesimpulannya itu, ia mencontohkannya dengan beberapa ayat al-Qur¶an.
Al-Qadhy kemudian memberikan catatan kritisnya terhadap masalah ini. Menurutnya,
kesimpulan ini sama sekali tidak benar berdasarkan hal-hal berikut:
?
 , Sejarah Islam telah mencatat dan membuktikan, bahwa al-Qur¶an ±dengan
semua riwayat dan varian qira¶atnya- telah ³terpelihara´ di tangan para sahabat Nabi jauh
sebelum al-Qur¶an itu kemudian dibukukan di masa kekhalifaan Umar r.a. Itu artinya sebelum
al-Qur¶an tertuang dan tertulis dengan rasm µutsmany, perbedaan qira¶at itu sudah ada. Rasm
µutsmany kemudian hanya berupaya menampung semua perbedaan qira¶at yang telah ada
sebelumnya. Tidak hanya itu, riwayat dan varian qira¶at itu sendiri telah tersebar dan
³digunakan´ di berbagai wilayah Islam sejak masa Rasulullah saw.
Õ , Ketika Mushaf µUtsmany selesai ditulis, Khalifah µUtsman bin µAffan r.a tidak
cukup hanya mengirim beberapa eksemplar mushaf tersebut ke berbagai wilayah Islam. Namun
bersama dengan itu, beliau mengirim pula para ahli al-Qur¶an untuk mengajarkan cara
membacanya sebagaimana yang mereka terima dari Rasulullah saw. Tujuan utamanya untuk
mencegah kemungkinan ada orang yang membacanya tidak sebagaimana yang diajarkan
Rasulullah, hanya karena menganggap bacaannya itu sesuai atau mungkin dibaca berdasarkan
rasm µutsmany. Ini menunjukkan bahwa varian qira¶at sepenuhnya didasarkan pada riwayat dan
talaqqi.
Õ Jika karakter asal huruf Arab itulah yang menjadi satu-satunya sebab munculnya
varian qira¶at, maka tentu qira¶at apapun yang shahih dan memungkinkan untuk dibaca
berdasarkan rasm µutsmany adalah qira¶at yang legal secara syar¶i. Namun kenyataannya tidak
demikian. Lagi-lagi riwayat adalah tulang punggung utama dalam menentukan keabsahan sebuah
qira¶at. Sebagai contoh misalnya, Firman Allah Ta¶ala:
[4:ΔΤΗΎϔϟ΍] » (4) XÛTÿJgŸÖ@« YzóéWTÿ gÐYÕHTWÚ ¼
[26:ϥ΍ήϤϋ ϝ΁] » gÐ<ÕSÙ<Ö@ ðÐYÕHTWÚ JðySäPVÕÖ@ XÔSTÎ ¼
[2:αΎϨϟ΍] » (2) X§ PVÞÖ@ YÐYÕWÚ ¼
Kata Ϛ dalam ketiga ayat ini memiliki bentuk tulisan yang sama, yaitu huruf mim
tanpa alif sesudahnya. Akan tetapi para qurra¶ ternyata ¦anya berbeda saat membaca ayat
pertama (al-Fatihah: 4). Ada yang membaca dengan pendek (tanpa alif setelah mim), dan ada
pula yang membaca panjang (dengan alif setelah mim). Sementara untuk ayat kedua (Ali Imran:
26), mereka sepakat untuk membacanya panjang (dengan alif setelah mim). Dan untuk ayat
ketiga (al-Nas: 2), mereka sepakat untuk membacanya pendek (tanpa alif setelah mim).
Mengapa ³kasus ayat pertama´ tidak terulang pada kedua ayat ini? Bukankah baik bacaan
panjang maupun pendek pada mim di kedua ayat terakhir ini sangat memungkinkan bila ditinjau
dari sudut rasm µutsmany? Ini menunjukkan bahwa baik kesepakatan mereka untuk berbeda pada
ayat pertama dan sepakat pada kedua ayat selanjutnya sepenuhnya berdasarkan riwayat dari
Rasulullah saw.
Õ Dalam deretan para qurra¶ yang sepuluh (al-Qurra¶ al-µAsyarah), terdapat para
ulama ahli bahasa Arab yang telah mencapai puncak keahlian di dalamnya. Tidak hanya itu,
mereka bahkan memiliki madzhab tersendiri dalam ilmu Nahwu dan menjadi tujuan utama para
pengkaji ilmu tersebut. Namun ternyata, dalam hal qira¶at al-Qur¶an, mereka tidak berani
melampaui dan berkreasi melebihi apa yang telah diriwayatkan kepada mereka.
Di antara mereka adalah Imam Abu µAmr bin al-µAla¶ al-Bashry (w. 154H). al-Ashma¶iy
(w. 828M) mengatakan, ³Abu µAmr mengatakan padaku, µSeandainya aku tidak harus membaca
(al-Qur¶an) sebagaimana ia dibaca, maka niscaya aku akan membaca seperti ini pada huruf yang
ini dan yang ini«¶´. Sebuah ungkapan yang menunjukkan bahwa Abu µAmr ³rela´ menyelisihi
madzhabnya sendiri dalam ilmu Nahwu demi mengikuti atsar dan riwayat.
Demikian beberapa jawaban al-Qadhy terhadap kesimpulan Goldziher terkait dengan
sebab kemunculan varian qira¶at Al-Qur¶an. Seperti telah disinggung sebelumnya, bahwa ketika
mengangkat hal ini, Goldziher juga menyertakan contoh ayat-ayat yang dianggapnya sebagai
bukti kebenaran kesimpulannya itu. Diantaranya surat al-A¶raf, ayat 48:
_ W X¤ gÇ W£`ÆKKV ô@ ñ HTW p²KV vuüW WTßWè ¼
: TWÚ N éSTÖ WTÎ `ØSäHùWÙ~Y©Y ØSäWTßéSTÊX£`ÅWÿ
`ØS ÞRÒ WÚWè `yRÑSÅ`ÙW `ØRÑÞWÆ uøWÞpTçÆKV
[48:ϑ΍ήϋϷ΍] » (48) WÜèS¤Yi<ÑWT `©WT
Menurut Goldziher, sebagian ahli qira¶at membaca dengan mengganti huruf ba¶ pada kata yang

digarisbawahi dengan huruf tsa¶, sehingga menjadi ϥϭϜΘδΗ . Namun pernyataan ini dibantah
oleh al-Qadhy. Ia mengatakan,
Tidak ada satupun yang membaca dengan menggunakan huruf tsa¶ sebagai ganti huruf
ba¶; baik itu dari kalangan al-Qurra¶ al-µAsyarah, juga tidak ada seorang pun dari
empat qurra¶ tambahan lainnya. Sehingga (qira¶at yang disebutkan Goldziher ini ±pen)
tidak termasuk dalam kategori qira¶ah yang mutawatir, masyhurah, shahihah atau syadz.
Ia tidak lebih dari sebuah qira¶at yang tertolak. Tidak ada seorang pun ulama qira¶at
yang memperdulikan dan bersandar padanya«
Cukuplah sebagai bukti kemunkarannya bahwa ia tidak disandarkan kepada qari¶ (baca:
ahli qira¶at) tertentu. Tidak pula pada perawi tertentu. Ini adalah bukti paling jelas yang
menunjukkan bahwa yang menjadi pijakan dalam qira¶at adalah naqli dan sanad, bukan
rasm dan khat.

Dari 5 contoh yang diangkat oleh Goldziher ±terkait dengan kesimpulannya ini-, menurut
al-Qadhy dua di antaranya memang benar sebagai varian qira¶at yang tsabit (seperti yang
terdapat dalam surah al-Nisa¶: 94), namun ±sekali lagi- munculnya varian itu tidak bertitik tolak
pada rasm Al-Qur¶an, tetapi semata-mata karena berasal dari jalur periwayatan yang shahih.
Kesimpulan Goldziher lainya yang dibantah oleh al-Qadhy adalah yang menyatakan
bahwa pemahaman seorang penafsir klasik terhadap sebuah ayat juga turut berperan dalam
lahirnya sebuah varian qira¶at. Sebagai contoh ±menurut Goldziher- adalah apa yang dilakukan
oleh Qatadah al-Bashry (w. 117H) ketika membaca ayat 54 dalam surah al-Baqarah:
YzóéTWÍHTWTÿ -YãYYYÚóéTWTÍYÖ uøWªéSÚ WӂWTÎ <¢MX«Wè ¼
ØS|W©SÉßKV óØS `ÙVÕðÀº óØRÑPVßMX«
vN éTST éS TWTÊ WÔ` YÅ<Ö@ SØRÒY¢ W PYT @ Y
óØRÑW©SÉßKV vN éTRÕS T<Î@ WTÊ óØRÑMXúg¤ W uøVÖXM
[54:ΓήϘΒϟ΍] »
Qatadah memandang bahwa hukuman ³bunuh diri´ dalam ayat ini terlalu ekstrim dan
tidak sesuai dengan kadar kesalahan yang dilakukan oleh Bani Israil. Maka ia pun ±menurut
Goldziher- memindahkan 2 titik yang terdapat pada huruf ta¶ dari atas ke bawah, sehingga
berubah menjadi huruf ya¶. Lahirlah varian qira¶at baru yang berbunyi ϢϜδϔ    , yang
berarti ³maka bertaubatlah sungguh-sungguh dengan menyesali kesalahan yang telah
dilakukan.´
Al-Qadhy membantah hal ini dengan ±sekali lagi- menegaskan bahwa dasar pemunculan
varian qira¶at sama sekali tidak berangkat dari ³terbukanya´ rasm µutsmany untuk kemungkinan
bacaan tertentu. Di samping itu ±menurut al-Qadhy-, qira¶at Qatadah ini tidak pernah dinukil
oleh para qurra¶ yang diakui, tidak memiliki sanad yang dapat diandalkan, dan Qatadah al-
Bashry sendiri tidak diletakkan dalam barisan para qurra¶ serta tidak ada satupun qira¶at yang
dinisbatkan kepadanya, kecuali apa yang disebutkan Goldziher ini.
Penjelasan ini semakin dikuatkan oleh Al-Qadhy dengan menyatakan,
Dari Qatadah sendiri telah dinukilkan bahwa ia menafsirkan ayat ini dengan tafsir yang
justru menyelisihi qira¶atnya itu. Syeikh al-Mufassirin Imam Ibn Jarir al-Thabary
menyebutkan dalam tafsirnya, bahwa Qatadah menafsirkan ayat ini dengan mengatakan:
µMereka berdiri dalam dua barisan shaf, lalu saling membunuh satu sama lain, hingga
dikatakan pada mereka untuk berhenti. Maka (pembunuhan) itu menjadi kesyahidan bagi
yang terbunuh, dan taubat bagi yang masih hidup.¶
Ibnu Katsir menyebutkan dalam Tafsirnya: µQatadah mengatakan: µ(Allah)
memerintahkan kaum itu (Bani Israil) dengan perintah yang sangat berat. Maka mereka
pun berdiri saling membunuh senjata tajam, hingga Allah menuntaskan hukumannya
pada mereka. Lalu berjatuhanlah senjata itu dari tangan mereka, Allah pun
menghentikan pembunuhan itu dari mereka. Maka (pembunuhan) itu menjadi taubat bagi
yang hidup, dan kesyahidan bagi yang mati.

Ini menunjukkan bahwa Qatadah sendiri memahami bahwa ³perintah bunuh diri´ dalam
ayat ini adalah ³saling membunuh´ yang sesungguhnya, dan bukan µsekedar¶ sebuah penyesalan.
al-Qadhy bahkan hampir memastikan bahwa qira¶at ini adalah sesuatu yang µdisusupkan¶ kepada
Qatadah.
Kesimpulan dari ini semua adalah bahwa perbedaan qira¶at sepenuhnya bertumpu pada
riwayat (baca: wahyu), dan bukan merupakan hasil penyesuain terhadap karakter rasm µustmany.
Rasm µutsmany justru disusun dengan karakternya yang khas untuk mengakomodir ragam qira¶at
tersebut.

Apaka¦ Al-Hajjaj bin Yusuf (w. 95 Hü Melakukan Peruba¦an Ter¦adap Al-


Qur¶an?
Ini adalah tuduhan klasik yang ditujukan kepada al-Hajjaj bin Yusuf. Ia dituduh telah
melakukan perubahan dan membuang beberapa huruf mushaf µUtsmany, bahwa ia menulis 6
mushaf yang kemudian dikirim ke berbagai wilayah, lalu mengumpulkan semua mushaf tua
kemudian melenyapkannya, dan bahwa semua itu ia lakukan demi mencari muka dengan cara
meneguhkan Khilafah Umawiyah. Salah satu yang menjadi pegangan tuduhan ini adalah riwayat
µAuf bin Abi Jamilah yang menyebutkan bahwa al-Hajjaj telah mengubah 11 huruf dalam
mushaf µUtsmany, diantaranya : $`ãTPVÞW©W WTÿ ØVÖ (al-Baqarah: 259) dan &‚_TT±
‚Wä`ÞTYÚWè àWÆó£Y® (al-Ma¶idah:48).
Tuduhan ini sebenarnya sangat tidak berdasar. Dan para ulama telah memberikan
jawabannya sebagai berikut:
1. Riwayat-riwayat yang dijadikan landasan tuduhan ini sangat lemah. Atsar yang
diriwayatkan oleh µAuf bin Abi Jamilah ini misalnya dha¶if jiddan (lemah sekali).
Salah satu perawinya adalah µAbbad bin Shuhaib. Ia seorang yang matruk, haditsnya
lemah dan salah seorang da¶i qadariyah. Ditambah lagi µAuf bin Abi Jamilah ±
meskipun ia seorang yang tsiqah-, namun ia tertuduh qadariyah dan tasyayyu¶. Dan
seperti yang kita lihat, riwayat ini terkesan menyudutkan Khilafah Umawiyah, dan
justru menguatkan tuduhan kaum Syi¶ah bahwa al-Qur¶an telah mengalami
penyimpangan.
2. Al-Hajjaj hanyalah seorang gubernur di sebuah kota Islam. Sangat tidak logis jika ia
mampu melakukan sebuah ³revolusi´ sedahsyat ini tanpa mendapatkan penentangan,
baik dari atasannya maupun para ulama Islam.
3. Seandainya pun al-Hajjaj mampu melakukan itu dengan kekuasaannya, tapi sangat
mustahil ia dapat menundukkan hati ribuan penghafal al-Qur¶an dan mengapus
hafalan yang telah terukir di hati mereka.
4. Dalam perubahan yang dituduhkan pada al-Hajjaj itu, tidak ada satupun yang
menunjukkan dukungan terhadap Bani Umayyah dan pembatalan terhadap Khilafah
Abbasiyah.
Satu hal yang juga patut dicatat, bahwa al-Hajjaj dengan segala kezhalimannya tercatat
dalam sejarah sebagai salah seorang pemimpin yang sangat keras perhatiannya terhadap mushaf
µUtsmany. Ia bahkan menyuruh µAshim al-Jahdary, Najiyah bin Rumh, dan µAli bin Ashma¶
untuk meneliti mushaf yang tersebar di tengah masyarakat. Jika mereka menemukan mushaf
yang menyelisihi mushaf µUtsmany, maka mereka mengambilnya dan menggantinya dengan 60
dirham untuk pemiliknya.

Masi¦ Adaka¦ Manuskrip    ?


Yang dimaksud oleh pertanyaan ini adalah apakah dari sekian naskah mushaf µUtsmany
yang disiapkan oleh Khalifah µUtsman dan timnya masih ada yang tersisa hingga saat ini?
Persoalan ini telah lama menjadi pertanyaan dan karena itu pula ada banyak dugaan yang
berkitar di sekelilingnya. Salah seorang peneliti yang menjelaskan masalah ini dengan panjang
lebar adalah DR. Sahar al-Sayyid dalam makalahnya yang berjudul ³Adhwa¶ µala Mushaf
µUtsman Radhiyallahu µAnhu wa Rihlatuhu Syarqan wa Gharban´.
Dalam makalah tersebut, beliau menjelaskan bahwa persoalan ini bermula dari
keberadaan mushaf yang dahulu dipegang oleh Khalifah µUtsman hingga beliau menemui
syahidnya, dimana pada beberapa lembaran mushaf itu ditemukan noda darah beliau r.a. saat
terbunuh. Mushaf ini kemudian tetap berada di Madinah selama beberapa waktu setelah
terbunuhnya µUtsman. Lalu kemudian menghilang entah ke mana, hingga kemudian beberapa
mesjid di wilayah Islam mengaku menyimpan mushaf tersebut.
Dr. Sahar al-Sayyid menyebutkan 5 tempat yang mengaku menyimpan mushaf tersebut ±
dan ia juga sekaligus membantah kebenaran klaim tersebut secara panjang lebar:
1. bahwa mushaf tersimpan di Mesir.
2. bahwa mushaf ini tersimpan di Bashrah
3. bahwa mushaf ini ada di Tashkend
4. bahwa mushaf ini ada di Himsh (Suriah)
5. bahwa mushaf ini tersimpan di Museum Topkapi, Istanbul.
Setelah membantah klaim keberadaan mushaf ini, ia kemudian menyatakan,
³Saya kira untuk menyingkap kekaburan yang menyelimuti mushaf µUtsman al-Imam
adalah mushaf yang mulanya tersimpan di Jami¶ Cordova itu bukanlah mushaf utuh yang
dahulu dibaca µUtsman pada hari kematiannya. Ia hanya mengandungi 4 lembar saja
(dari naskah aslinya ±pen). Adapun lembaran-lembaran lainnya, maka ia adalah hasil
transkrip yang sama dengan sistem mushaf µUtsmany...´

Lalu ia kemudian menggambarkan perpindahan mushaf itu dari satu tempat ke tempat
lain, hingga akhirnya tidak terdengar kabarnya sejak tahun 745 H ±ketika mushaf itu
dikembalikan oleh Portugal kepada Sultan al-Mariny di Fas. Meskipun ada yang bersikeras
dengan keberadaan mushaf ini, namun DR. Ghanim Qaduri menguatkan pandangan bahwa sudah
sangat sulit saat ini untuk menemukan naskah utuh dari mushaf yang ditulis pada abad pertama
atau kedua hijriyah. Dan itu semua membutuhkan bukti materil yang kuat dan penelitian dari
berbagai sudut.
Tetapi terlepas dari itu semua, ada atau tidaknya naskah manuskrip al-mushaf al-imam ini
sama sekali tidak mempengaruhi orisinalitas al-Qur¶an, karena landasan utama penukilan al-
Qur¶an adalah riwayat dan talaqqi dari generasi ke generasi; sebuah metode yang dari zaman ke
zaman telah membuktikan bahwa ia tidak akan membiarkan satupun kesalahan yang
menyimpang dari mushaf µUtsmany.

PENULISAN AL-QUR¶AN PASCA PENEMUAN MESIN CETAK
PADA TAHUN 1436 M (840 Hü

Tidak dapat dipungkiri bahwa penemuan mesin cetak oleh Johannes Guttenberg pada
tahun 1436 M (840 H) menjadi awal baru yang cemerlang bagi penyebaran ilmu, budaya dan
peradaban. Meskipun pada mulanya, Guttenberg sangat merahasiakan penemuannya ini, namun
dengan cepatnya penemuan ini menyebar ke berbagai wilayah Eropa lainnya di luar Jerman,
negara asal Guttenberg. Tidak lama setelah itu, pada tahun 1465, mesin yang sama muncul di
Roma, pada tahun 1470 di Paris, pada tahun 1471 di Barcelona, dan pada tahun 1474 di
Inggris.[58] Dan pada tahun 1486 M, ditemukanlah mesin cetak pertama dengan menggunakan
huruf Arab.
Adapun di wilayah Timur (Islam dan Arab), maka sejarah mencatat bahwa Turki
merupakan negara yang pertama kali menerima teknologi ini. Diduga teknologi ini masuk
bersama dengan masuknya imigran Yahudi ke wilayah Khilafah µUtsmaniyah. Dalam imigrasi
itu mereka membawa serta mesin cetak untuk beberapa bahasa: Ibrani, Yunani, Latin dan
Spanyol. Ini terjadi sekitar tahun 1551 M.
Sedangkan di wilayah Arab lainnya, pemunculan mesin cetak dapat disimpulkan sebagai
berikut:
1. di Lebanon, mesin cetak mulai dikenal pada tahun 1610.
2. di Suria, mesin cetak mulai dikenal pada tahun 1706.
3. di Palestina dan Yordania pada tahun 1830. Di Irak juga mesin ini mulai dikenal pada
tahun yang sama.
4. di Mesir, pemunculan mesin cetak sangat terkait dengan invasi Napoleon Bonaparte
terhadap Mesir pada tahun 1798.
5. sedangkan di kawasan Jazirah Arabia, negara pertama yang mengenal mesin cetak
adalah Yaman, yaitu pada tahun 1879. Sedangkan di wilayah Hijaz (Saudi Arabia),
teknologi ini mulai dikenal pada tahun 1909.

Percetakan Al-Qur¶an Pertama


Menurut DR. Yahya Mahmud Junaid, percetakan al-Qur¶an pertama setidaknya
dilakukan di tiga tempat di Eropa:
1. Venesia atau Roma pada kisaran tahun 1499 sampai 1538 M, terdapat perbedaan
pandangan tentang hal ini. Termasuk juga siapa yang memimpin proyek ini. Tetapi
yang pasti salah satu dari versi cetak ini ditemukan oleh Angela Novo di
perpustakaan seorang pendeta di Bunduqiyah. Namun juga kemudian disepakati
bahwa cetakan ini lalu dimusnahkan atas perintah Paus saat itu, dengan berbagai
dugaan seputar motivasi pemusnahan itu.
2. Hamburg pada tahun 1694. Proyek percetakan ini dilakukan oleh seorang orientalis
Jerman yang beraliran Protestan, Ebrahami Hincklmani. Ia menegaskan bahwa
tujuannya menjalankan proyek ini bukan untuk menyebarkan ajaran Islam di
kalangan orang Protestan, tapi untuk mempelajari Bahasa Arab dan Islam. Cetakan
ini terdiri dari 560 halaman, dicetak dengan tinta hitam, namun sangat disayangkan
memiliki banyak sekali kesalahan. Terdapat penggantian posisi huruf, hilangnya
huruf tertentu dari satu kata, dan kesalahan lain terkait dengan penamaan surat. DR.
Yahya menyebutkan bahwa cetakan ini masih tersimpan hingga kini di beberapa
perpustakaan dunia, seperti Dar al-Kutub al-Mishriyyah dan Perpustakaan Universitas
King Su¶ud di Riyadh.
3. Batavia pada tahun 1698. Versi cetakan ini terdiri teks al-Qur¶an itu sendiri, serta
terjemah dan catatan komentar terhadapnya. Versi ini sendiri disiapkan oleh seorang
pendeta Italia bernama Ludvico Marracei Lucersi. Cetakan ini memiliki kelebihan
dari segi penggunaan jenis huruf yang lebih bagus dari 2 versi cetakan sebelumnya.
Pada tahun 1787, di Rusia ±tepatnya di St. Pittsburg-, juga muncul cetakan mushaf al-
Qur¶an yang dipimpin oleh Maulaya µUtsman. Lalu di tahun 1848, muncul pula cetakan lain di
Qazan yang dipimpin oleh Muhammad Syakir Murtadha. Cetakan ini terdiri dari 466 halaman.
Versi ini juga komitmen menggunakan rasm µutsmany dan penggunaan tanda waqf, meski tidak
mencantumkan nomor-nomor ayat. Versi ini juga disertai dengan lembar koreksi yang memuat
kesalahan cetak dan koreksinya.
Pada tahun 1834, muncul sebuah cetakan khusus mushaf al-Qur¶an di kota Luzig, yang
diupayakan oleh Flugel. Di sini patut dicatat bahwa meskipun kalangan Eropa memiliki
perhatian khusus dalam upaya percetakan mushaf al-Qur¶an, namun hasil upaya ini belum
mendapatkan perhatian kaum muslimin. Salah satu sebabnya adalah karena cetakan-cetakan
tersebut menyelisihi kaidah rasm µutsmany yang shahih.
Beberapa cetakan mushaf di wilayah Islam yang juga pernah muncul ternyata sama saja.
Seperti yang muncul di Teheran pada tahun 1828 dan 1833 M, juga di India dan Turki sejak
tahun 1887; semuanya memiliki kesalahan yang sama dengan mushaf-mushaf versi Eropa, yaitu
tidak mematuhi tata rasm µustmany dan lebih banyak menggunakan rasm imla¶iy.
Kondisi terus berlanjut hingga tahun 1890 M, ketika sebuah percetakan bernama al-
Mathba¶ah al-Bahiyyah berdiri di Kairo. Percetakan ini kemudian mencetak sebuah mushaf yang
ditulis oleh seorang ulama qiraat bernama Syekh Ridhwan bin Muhammad, yang lebih dikenal
sebagai al-Mikhallalaty. Dalam mushaf ini, beliau komitmen dengan rasm µutsmany dan
memberikan tanda waqf . Disamping itu, ia juga menuliskan pengantar yang memuat penjelasan
tentang sejarah penulisan al-Qur¶an dan rasm berdasarkan kitab al-Muqni¶ karya Imam al-Dany
dan kitab al-Tanzil karya Abu Dawud.
Mushaf versi ini kemudian dikenal dengan nama mushaf al-Mikhallalaty. Dan ia menjadi
pilihan utama diantara semua jenis mushaf yang ada. Hanya saja kualitas kertas dan cetakannya
agak buruk; suatu hal yang kemudian mendorong para ulama al-Azhar untuk membentuk panitia
penulisan baru yang terdiri atas: Syekh Muhammad µAli Khalaf al-Husainy, Syekh Hifny Nashif,
Syekh Mushthafa µInany dan Syekh Ahmad al-Iskandary. Cetakan pertama mushaf ini muncul
pada tahun 1923 M, dan mendapatkan sambutan di dunia Islam.
Ketika cetakan pertama ini habis, di Mesir kembali dibentuk sebuah lajnah yang dipimpin
langsung oleh Syeikhul Azhar dan beranggotakan: Syekh Abdul Fattah al-Qadhy, Syekh
Muhammad µAli al-Najjar, Syekh Ali Muhammad al-Dhabba¶ dan Syekh µAbdul Halim Basyuni.
Tim ini kemudian memeriksa ulang mushaf dengan merujuk kepada kitab-kitab qiraat, rasm,
tafsir dan ulumul Qur¶an. Setelah itu disiapkanlah cetakan kedua mushaf al-Qur¶an dalam bentuk
yang lebih teliti. Seiring dengan itu, usaha percetakan al-Qur¶an pun berjalan di berbagai belahan
dunia Islam.

Percetakan Mus¦af di Saudi Arabia


Percetakan mushaf di Saudi Arabia bermula pada tahun 1949, ketika sebuah edisi mushaf
yang dikenal dengan nama Mushaf Makkah al-Mukkaramah dicetak oleh Syarikah Mushaf
Makkah al-Mukarramah. Dengan modal awal 200.000 real, perusahaan ini mendatangkan
sebuah mesin cetak dari Amerika untuk mencetak mushaf dengan berbagai ukuran. Selain itu,
mereka juga telah bersepakat dengan seorang ahli khat ternama, Ustadz Muhammad Thahir al-
Kurdy untuk menulis mushaf yang sesuai dengan kaidah rasm µutsmany.
Setelah al-Kurdy menyelesaikan tugasnya, draft mushaf itu kemudian diperiksa ulang
oleh sebuah team ulama, seperti al-Sayyid Ahmad Hamid al-Tijy ±seorang guru qiraat di
Madrasah al-Falah, Mekkah-, Syekh µAbd al-Zhahir Abu al-Samh ±imam dan khathib Masjidil
Haram-, dan beberapa ulama lainnya. Setelah diperiksa oleh tim ini, draft tersebut kemudian
dikirim kepada Masyikhah al-Azhar yang kemudian mengesahkan draft mushaf tersebut.
Setelah melewati proses penulisan dan koreksi selama 5 tahun, pada tahun 1947
dimulailah proses percetakan mushaf ukuran besar, yang kemudian diselesaikan pada akhir tahun
1949. Lalu setelah itu, dicetaklah mushaf dengan ragam ukuran lainnya.
Surat kabar Umm al-Qura edisi 19 Mei 1950 menyebutkan beberapa karakteristik mushaf
ini, antara lain:
1. awal setiap halaman dimulai dengan ayat baru, dan akhir setiap halaman ditutup
dengan akhir ayat pula.
2. permulaan juz dimulai dari awal halaman, dan akhir setiap juz juga diakhiri pada
akhir halaman.
3. setiap juz terdiri dari 20 halaman, kecuali juz amma.
4. hizb, nisf hizb dan rubu¶ hizb ditandai dengan tanda lengkungan bulan sabit.
Mushaf Makkah al-Mukarramah ini kemudian mendapatkan sambutan yang hangat, di
Saudi bahkan di luar Saudi. Bahkan Raja Saudi waktu itu, Abd al-µAziz Al-Su¶ud memberikan
dukungan moril dan materil kepada para pelaksana proyek ini.
Tiga puluh tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1979, muncul pula mushaf edisi baru
yang dicetak di kota Jeddah. Hingga akhirnya pada tahun 1984 (bertepatan dengan bulan
Muharram 1405 H), pemerintah Kerajaan Arab Saudi resmi membuka sebuah percetakan al-
Qur¶an terbesar di dunia, tepatnya di kota Madinah al-Munawwarah. Kompleks percetakan ini
berdiri di atas tanah seluas 250.000 meter persegi, dan tidak hanya mencakup kantor dan
percetakan, tapi juga perumahan, pusat perbelanjaan, restoran, rumah sakit, lapangan olah raga
dan sarana lainnya.
Berikut ini sekilas program kerja Kompleks Percetakan ini:
1. Mencetak mushaf al-Qur¶an sesuai qira¶at riwayat Hafsh dari µAshim ±qira¶at yang
dibaca oleh mayoritas kaum muslimin di dunia-. Ditulis sesuai dengan rasm
µutsmany, dan jumlah ayatnya 6236 ±sesuai versi kufy-.
2. Mencetak mushaf al-Qur¶an sesuai qira¶at riwayat Warsy dari Nafi¶ al-Madany.
Qira¶at ini dibaca di sebagian besar negara-negara Maghrib (Maroko, Aljazair,
Tunisia, dan Mauritania), ditambah Senegal, Chad, dan Nigeria. Ditulis dengan khat
maghribi yang sesuai dengan rasm µutsmany, jumlah ayatnya 6214 ayat.
3. Mencetak terjemahan al-Qur¶an dalam berbagai bahasa dunia.
4. Merekam bacaan al-Qur¶an dengan suara para qurra¶ yang masyhur.
5. Saat ini sedang menyiapkan pencetakan mushaf berdasarkan qira¶at riwayat Qalun
dari Nafi¶ al-Madany.
Proses percetakan di Majma¶ ini berjalan sangat ketat. Setiap pengawas dan pemeriksa
dilengkapi stempel khusus yang dibubuhkan pada bagian akhir mushaf. Ini untuk memudahkan
pengusutan kesalahan yang terjadi dalam proses pengerjaan. Bahkan pekerja yang berhasil
menemukan satu kesalahan akan mendapatkan imbalan bonus dari pihak penanggung jawab
percetakan ini.

PENUTUP
Dari uraian di atas, kita dapat melihat bahwa mushaf µUtsmany telah melalui perjalanan
yang sangat panjang melintasi kurun waktu 14 abad lamanya. Berbagai inovasi kemudian
dikembangkan dalam penulisan ulang dan penggandaan naskahnya. Tetapi selama itu pula, al-
Qur¶an yang termuat didalamnya tetap terjaga keasliannya; huruf demi huruf, kata per kata,
kalimat per kalimat. Hal ini terbukti oleh perjalanan sejarah, dimana tak satu pun upaya untuk
menyimpangkan isinya melainkan dengan segera tersingkap di tangan para ulama, khususnya
yang menggeluti bidang al-Qur¶an dan semua bidang ilmunya.
Ini tentu saja tidak lepas dari metode pewarisan yang sangat unik dalam menyampaikan
al-Qur¶an dari kurun demi kurun. Inovasi apapun yang dikembangkan dalam penulisannya, sama
sekali tidak mengubah eksistensinya sebagai Kalamullah. Seperti yang dijelaskan para ulama
akidah: dengan lisan siapapun ia dibacakan, dengan tulisan siapapun ia dituliskan, di media
apapun ia ditorehkan, al-Qur¶an tetaplah Kalamullah.
Wallahu a¶lam bi al-shawab.

DAFTAR PUSTAKA
1.w Al-Khat al-Qur¶any wa al-Khat al-Imla¶iy.
www.islamweb.net/ver2/archive/printarticle.php?id=14680.

2.w Majma¶ al-Malik Fahd li Thiba¶ah al-Mushaf al-Syarif.


www.qurancomplex.com/Display.asp?section=4&l=arb&f+write00013&trans=

3.w Nuqath al-Mushaf al-Syarif.


www.qurancomplex.com/Display.asp?section=4&l=arb&f+write0005&trans=

4.w Al-Qur¶an antara Fakta dan Fiksi: Taufik Adnan Amal.


www.islamlib.com/id/index.php?page=article&mode=print&id=108

5.w Tathawwur al-Kitabah al-µArabiyyah.


www.qurancomplex.com/Display.asp?section=4&l=arb&f+write0003&trans

6.w Al-Thaba¶at al-Mubakkirah li al-Mushaf al-Syarif.


www.qurancomplex.com/Display.asp?section=4&l=arb&f+write0010&trans

7.w Thiba¶ah al-Mushaf al-Syarif fi al-Mamlakah al-µArabiyyah al-Su¶udiyyah.


www.qurancomplex.com/Display.asp?section=4&l=arb&f+write0011&trans

8.w Uslub al-µAmal fi Kitabah Mashahif al-Majma¶ wa Thab¶iha.


www.qurancomplex.com/Display.asp?section=4&l=arb&f+write0014&trans
w

You might also like