Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
Golongan Fluorokuinolon adalah antibiotik yang sangat aktif, memiliki spektrum luas
dan banyak digunakan baik pada manusia maupun hewan.2 Fluorokuinolon memiliki kelebihan
karena dapat melawan berbagai jenis patogen multiresisten disebabkan cara kerjanya yang
melalui target – target yang berbeda dari golongan antimikroba lain. Mekanisme resistensi
fluorokuinolon juga tidak seperti kebanyakan mekanisme resistensi dari antibiotik lain, yaitu
Saat ini, fluorokuinolon semakin banyak digunakan untuk terapi empiris disebabkan
resistensi terhadap antimikroba empiris yang biasa dipakai.1,2 Siprofloksasin, yang pertama kali
diperkenalkan pada tahun 1987 merupakan golongan fluorokuinolon yang paling banyak
digunakan. Siprofloksasin memiliki spektrum lebih luas terhadap bakteri gram negatif daripada
kuinolon generasi pertama, namun aktivitasnya terhadap gram positif lebih lemah, terutama
Faktor harga yang murah dan kenyamanan pemakaian, dimana golongan siprofloksasin
cukup diminum sekali atau dua kali sehari mengakibatkan pemakaian siprofloksasin amat
meningkat, bahkan mengakibatkan pemakaian yang tidak rasional. Harga Netto Apotik (HNA)
siprofloksasin generik adalah Rp 864,00 per butir (SK Menkes No. 12/Menkes/SK/I/2005),
sedangkan di pasaran obat ini biasa dijual hanya Rp 11.000,00 per box isi 50 tablet, yang berarti
per butirnya dihargai Rp 550,00.5 Hal ini mengindikasikan persaingan harga yang tidak sehat
akibat tidak adanya regulasi harga jual yang seyogianya merupakan tugas dan tanggung jawab
diskon besar-besaran ini adalah laporan dari satu puskesmas yang menggunakan seluruh
anggaran belanjanya dalam satu tahun untuk pembelian siprofloksasin dengan diskon 90%. Hal
ini akan semakin mendorong pemakaian siprofloksasin yang tidak pada tempatnya, sehingga
Fenomena lain, yaitu kian gencarnya peresepan siprofloksasin untuk mengobati infeksi
saluran nafas atas yang didapat dari komunitas walaupun siprofloksasin memiliki aktivitas sangat
pneumokok sistemik yang mengancam nyawa, dimana infeksi tersebut berasal dari saluran nafas
atas dan sebelumnya fluorokuinolon telah diresepkan sebagai terapi antibiotik empiris.7
Sebagai akibat pemakaian yang tidak rasional, resistensi terhadap siprofloksasin makin
meningkat. Di Amerika, Centers for Disease Control and Prevention (CDC) melaporkan kasus
strain Neisseria gonorrhoeae yang resisten terhadap fluorokuinolon, padahal diketahui bahwa
terapi gonore tanpa komplikasi.8 Di Amerika, terjadi ledakan salmonella yang resisten terhadap
fluorokuinolon.9 Namun, data dari Laboratorium Klinik Mikrobiologi FKUI tahun 2004
menunjukkan seluruh Salmonella typhi yang diisolasi masih sensitif terhadap siprofloksasin.10
BAB II
PEMBAHASAN
A, Etiologi
Kuinolon yang pertama, yaitu asam nalidiksat memiliki keterbatasan oleh karena aktivitas
intrinsik yang rendah dan cepatnya terjadi resistensi. Penambahan fluor pada molekul kuinolon
yang memiliki spektrum lebih luas terhadap bakteri gram negatif, namun aktivitas terhadap gram
B, Farmakokinetik
Absorpsi siprofloksasin oral diserap dengan baik melalui saluran cerna. Bioavailabilitas
absolut adalah sekitar 70%, tanpa kehilangan yang bermakna dari metabolisme fase pertama.
Berikut ini adalah konsentrasi serum maksimal dan area di bawah kurva (area under the curve,
AUC) dari siprofloksasin yang diberikan pada dosis 250 ~ 1000 mg.
Konsentrasi serum maksimal dicapai 1 sampai 2 jam setelah dosis oral. Konsentrasi rata-
rata 12 jam setelah dosis 250, 500 dan 750 mg adalah 0,1; 0,2 dan 0,4 mg/mL.14
Distribusi ikatan siprofloksasin terhadap protein serum adalah 20-40% sehingga tidak
cukup untuk menyebabkan interaksi ikatan protein yang bermakna dengan obat lain. Setelah
ditemukan dalam bentuk aktif di saliva, sekret nasal dan bronkus, mukosa sinus, sputum cairan
gelembung kulit, limfe, cairan peritoneal, empedu dan jaringan prostat.14,15 Siprofloksasin juga
dideteksi di paru-paru, kulit, jaringan lemak, otot, kartilago dan tulang. Obat ini berdifusi ke
cairan serebro spinal, namun konsentrasi di CSS adalah kurang dari 10% konsentrasi serum
puncak. Siprofloksasin juga ditemukan pada konsentrasi rendah di aqueous humor dan vitreus
humor.13 Empat metabolit siprofloksasin yang memiliki aktivitas antimikrobial yang lebih rendah
dari siprofloksasin bentuk asli telah diidentifikasi di urin manusia sebesar 15% dari dosis oral.14
Ekskresi Waktu paruh eliminasi serum pada subjek dengan fungsi ginjal normal adalah
sekitar 4 jam. Sebesar 40-50% dari dosis yang diminum akan diekskresikan melalui urin dalam
bentuk awal sebagai obat yang belum diubah. Ekskresi siprofloksasin melalui urin akan lengkap
setelah 24 jam . Dalam urin semua fluorokuinolon mencapai kadar yang melampaui konsentrasi
hambat minimal (KHM) untuk kebanyakan kuman patogen selama minimal 12 jam.14 Klirens
ginjal dari siprofloksasin, yaitu sekitar 300 mL/menit, melebihi laju filtrasi glomerulus yang
sebesar 120 mL/menit. Oleh karena itu, sekresi tubular aktif memainkan peran penting dalam
eliminasi obat ini. Pemberian siprofloksasin bersama probenesid berakibat pada penurunan 50%
C, Interaksi Obat
Siprofloksasin sediaan tablet bila diberikan bersama makanan, akan mengalami terjadi
keterlambatan absorpsi, sehingga konsentrasi puncak baru akan dicapai 2 jam setelah pemberian.
Pada siprofloksasin sediaan suspensi, tidak terjadi keterlambatan absorpsi bila diberikan bersama
makanan sehingga konsentrasi puncak dicapai dalam 1 jam. Bila diberikan bersama dengan
antasid yang mengandung magnesium hidroksida atau aluminium hidroksida dapat mengurangi
Siprofloksasin bersifat bakterisid, terutama aktif terhadap bakteri gram negatif dan
Berikut ini merupakan keadaan dimana penggunaan siprofloksasin memiliki tempat, baik
Kebanyakan infeksi saluran kemih (ISK) tanpa komplikasi terjadi pada wanita dengan
kehidupan seksual aktif. Escerichia coli merupakan penyebab terbanyak, diikuti oleh
Staphylococcus saprophyticus. Terapi standar yang digunakan selama ini adalah trimetoprim-
sulfametoksazol, namun E. coli mengalami peningkatan resistensi terhadap obat ini, sehingga
siprofloksasin mulai menjadi pilihan utama untuk infeksi saluran kemih tanpa komplikasi.15
dua kali sehari, ofloksasin (Floxin) 200 mg dua kali sehari dan trimetoprim-sulfametoksazol
(Bactrim, Septra) 160/800 mg dua kali sehari dan menemukan bahwa ketiganya memiliki
Studi lain dari Iravani (1999) membandingkan siprofloksasin 100 mg/dua kali sehari
selama 3 hari dengan trimetoprim-sulfametoksazol 160/800 mg/dua kali sehari selama 7 hari,
dan nitrofurantoin (Furantadin) 100 mg dua kali sehari. Follow-up setelah 4-6 minggu
Fang (1991) melakukan uji klinis acak untuk membandingkan siprofloksasin dengan
aminoglikosid parenteral untuk terapi infeksi saluran kemih dengan komplikasi. Kriteria inklusi
meliputi (1) gejala infeksi saluran kemih, yaitu disuria, frekuensi dan urgensi, nyeri suprapubik;
(2) konfirmasi mikrobiologik adanya infeksi dengan piuria (≥ 8 leukosit/mm3) dan bakteriuria
( minimal 105 CFU/mL, yang dideteksi pada spesimen urin porsi tengah) dan (3) adanya bakteri
sensitif in vitro terhadap antibiotik yang akan diuji. Siprofloksasin 500 mg diberikan setiap 12
jam selama 7-10 hari. Gentamisin merupakan aminoglikosid terpilih, diberikan sebanyak 1-1,7
mg/kg intramuskular atau intravena setiap 8 jam selama 7 hari, dosis ini disesuaikan dengan
disfungsi ginjal. Alternatif dari gentamisin adalah tobramisin dan amikasin. Tobramisin dipilih
bila patogen penyebab diduga P. aeruginosa, sedangkan amikasin dipilih bila organisme diduga
Parameter yang diukur ada dua, yaitu penyembuhan klinis; didefinisikan sebagai resolusi
gejala pasien dan demam serta penyembuhan bakteriologik didefinisikan sebagai urin kultur
steril. Penilaian klinis maupun bakteriologis dilakukan dalam jangka pendek (5-9 hari pasca
terapi) dan jangka panjang (28-30) hari pasca terapi. Pada hari ke-5-9 pasca terapi, didapatkan
bahwa respon bakterial siprofloksasin secara signifikan lebih baik daripada aminoglikosid (p=
0,0005). Namun, pada hari 28-30, angka respon menjadi sama. Hasil dari penelitian ini
menyatakan bahwa siprofloksasin lebih efektif pada infeksi saluran kemih dengan komplikasi
dibandingkan dengan obat standar yaitu aminoglikosid parenteral untuk pasien dengan bakteri
Demam Tifoid
kali sehari selama 7 hari) dengan siprofloksasin (500 mg, diberikan oral dua kali sehari selama 7
hari) untuk terapi demam tifoid dengan kultur darah positif. Hasilnya, kegagalan klinis
ditemukan pada 6 pasien (27%) kelompok seftriakson, sedangkan pada kelompok siprofloksasin
tidak ditemukan (p=0,01). Terapi untuk keenam pasien tersebut diganti dengan siprofloksasin
dan pasien menjadi afebris serta gejala menghilang dalam 48 jam. Kesimpulan dari studi ini
adalah bahwa siprofloksasin merupakan pilihan terapi yang bermanfaat pada daerah dimana
Girgis (1999) melakukan uji klinis acak pada 123 pasien dewasa dengan demam dan
gejala-gejala demam tifoid tanpa komplikasi dengan tujuan membandingkan efikasi klinis dan
bakteriologis dari azitromisin dan siprofloksasin untuk demam tifoid. Resistensi multi obat
dari 64 pasien dengan kultur positif. Dari ke-64 pasien ini, 36 menerima azitromisin oral 1 g 1x
sehari pada hari pertama, dilanjutkan 500 mg oral 1 x sehari selama 6 hari berikutnya. Sebanyak
28 pasien menerima siprofloksasin 500 mg oral 2x sehari selama 7 hari. Hasilnya menyatakan
bahwa azitromisin dan siprofloksasin sama efektif, baik secara klinis maupun bakteriologis,
untuk terapi demam tifoid yang disebabkan oleh organisme yang sensitif ataupun S. typhi
Thorpe (1996) melakukan uji klinis acak tersamar untuk membandingkan efikasi
sefuroksim asetil dengan siprofloksasin untuk terapi gonore tanpa komplikasi yang disebabkan
PPNG). Sebanyak 832 pasien dilibatkan dalam studi ini, 417 pasien diberikan sefuroksim asetil
oral dosis tunggal 100 mg; sedangkan 415 pasien lain diberikan siprofloksasin 500 mg oral dosis
tunggal. Hasil dari studi ini menyatakan bahwa terapi sefuroksim asetil oral dosis tunggal
memberikan efektivitas yang sama dengan siprofloksasin oral dosis tunggal dalam eradikasi
PPNG dari laki-laki maupun wanita dengan gonore tanpa komplikasi (uretral dan
endoservikal).25
De los Reyes (2001) melakukan uji klinis acak terhadap 105 pekerja seks komersial di
Manila dan Cebu untuk menilai sensitivitas gonokok terhadap siprofloksasin dan
membandingkan efikasi siprofloksasin versus sefiksim oral untuk terapi gonore yang disebabkan
strain resisten atau strain dengan penurunan sensitivitas terhadap siprofloksasin. Studi yang
dilaksanakan pada kurun waktu 1996-1997 ini merupakan kelanjutan dari studi serupa yang
dilakukan pada Oktober 1994, dimana ditemukan penurunan sensitivitas atau resistensi
siprofloksasin pada 42 (46%) dari 92 isolat gonokok. Pasien diacak untuk menerima
siprofloksasin 500 mg oral dosis tunggal atau sefiksim 400 mg oral dosis tunggal. Hasilnya,
didapatkan angka resistensi yang lebih besar dari penelitian sebelumnya; 72 (63%) dari 115
isolat memilki KHM siprofloksasin ≥1.0 ug/mL, termasuk di dalamnya 49% dengan MIC ≥4.0
ug/mL. Dari kultur yang dilakukan 28 hari pasca terapi, diperoleh isolat N. gonorrhoeae pada 24
(32,3%) dari 72 subyek di kelompok siprofloksasin dan 1 (3,8%) dari 26 subyek yang menerima
sefiksim (p<.01) Studi ini menyatakan bahwa sefiksim (sefalosporin generasi ketiga) merupakan
terapi oral dosis tunggal yang efektif untuk terapi gonore di Filipina.26
Pemilihan antimikroba haruslah ditujukan pada patogen yang paling mungkin Berikut ini
merupakan patogen yang sering dijumpai pada bronkitis kronik ekaserbasi bakterial akut :
Pemilihan antibiotika untuk bronkitis kronik eksaserbasi akut dengan FEV1 < 35%
ditujukan pada kuman yang sering ditemukan yaitu Pseudomonas aeruginosa dan
Bronkiektasis Terinfeksi
sputum terhadap 50 penderita bronkiektasis eksaserbasi akut ditemukan 80,9 % bakteri gram
Januari – Juni 2005 didapatkan bahwa sensitivitas Pseudomonas sp dari sampel sputum terhadap
Pasien dikatakan memiliki faktor risiko untuk Pseudomonas aeruginosa apabila didapati
minimal dua dari faktor-faktor berikut : 1) riwayat dirawat di rumah sakit dalam jangka waktu
dekat; 2) sering (lebih dari 4 kali dalam setahun) atau baru mendapat antibiotik (dalam 3 bulan
terakhir); 3) penyakit berat (FEV1 < 30%) dan 4) Riwayat isolasi P. aeruginosa sewaktu
Penggunaan siprofloksasin yang tidak tepat, baik dalam hal indikasi, dosis, durasi
pemberian telah mengakibatkan resistensi berbagai bakteri terhadap siprofloksasin. Berikut ini
merupakan keadaan-keadaan dimana siprofloksasin tidak dianjurkan sama sekali ataupun tidak
mengatasi infeksi respiratorik yang diperoleh dari komunitas. Selain dari aktivitas yang sangat
baik terhadap patogen respiratorik tipikal seperti Haemophilus influenzae dan Moraxella
catarrhalis, siprofloksasin juga menunjukkan penetrasi yang tinggi ke dalam jaringan paru dan
cairan tubuh, memiliki efikasi klinis dan keamanan yang baik serta dosis dua kali sehari yang
siprofloksasin untuk bakteri gram positif amat terbatas. Siprofloksasin menunjukkan potensi
yang lemah melawan Streptococcus pneumoniae, yang merupakan patogen penting pada infeksi
respiratorik komunitas Oleh karena itu, penggunaan siprofloksasin untuk mengobati infeksi
saluran nafas atas akut merupakan suatu penggunaan yang salah dan berdampak memicu
resistensi siprofloksasin.38 Pada banyak kasus telah dilaporkan terjadi kegagalan siprofloksasin
yang diberikan sebagai terapi infeksi pneumokok, terutama di saluran nafas, dan selanjutnya
terjadi komplikasi mengancam nyawa. Komplikasi yang timbul selama terapi siprofloksasin
mencakup bakteremia pneumokok, meningitis dan artritis. Pada beberapa kasus juga dilaporkan
bahwa penggunaan siprofloksasin untuk mengobati infeksi gram negatif diikuti oleh superinfeksi
dengan S. pneumoniae.7
Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK)
Pada OMSK telah terjadi banyak perubahan-perubahan yang menetap sehingga resolusi
spontan sangat sulit terjadi. Telah terjadi gangguan vaskularisasi di telinga tengah sehingga
antibiotik secara sistemik sukar mencapai sasaran dengan optimal. Yusra (2004) melakukan
penelitian gambaran jenis kuman dan kepekaan antibiotik terhadap otitis media supuratif kronik
tipe benigna dan maligna. Didapatkan bahwa kuman aerob yang terbanyak ditemukan adalah
Pseudomonas aeruginosa, diikuti dengan Stafilokokus aureus pada OMSK benigna dan Proteus
Mengingat bahwa patogen pada OMSK adalah terutama gram negatif, yaitu Pseudomonas
aeruginosa yang tidak sensitif terhadap antibiotik “klasik” seperti penisillin G, amoksisilin,
eritromisin, tetrasiklin dan kloramfenikol, maka pemilihan antibiotik sebaiknya melihat keadaan
kasus per kasus. Bila diduga ada kuman anaerob dapat dipilih metronidazol, klindamisin, atau
tahun dapat dipilih siprofloksasin atau ofloksasin. Obat tetes dapat dipakai sebagai obat tunggal
lini pertama, pilihan utama adalah ofloksasin, baik pada orang dewasa atau anak.40
Rinosinusitis
Siprofloksasin tidak diindikasikan sebagai terapi lini pertama. Untuk sinusitis kronik,
siprofloksasin dapat digunakan sebagai antibiotik alternatif bila tidak ada perbaikan dengan
antibotik lini pertama.41 (Level of evidence IV) Penelitian yang dilakukan oleh Nash dan Wald
mendapatkan bahwa S.pneumonia merupakan kuman terbanyak pada sinusitis pada semua usia,
dengan persentase 30-40% isolat, diikuti oleh H. influenza dan M. catarrhalis masing-masing 20
% kasus.42 Siprofloksasin memiliki aktivitas yang sangat baik melawan H. influenzae dan M.
catarrhalis, namun rasio AUC-MIC untuk S. pneumoniae hanya 10-20, dimana target rasio
dengan terapi untuk gram positif (misalnya, klindamisin) dapat juga digunakan untuk
rinosinusitis.43
Infeksi Tenggorok
bakterial, kuman penyebab sebagian besar gram positif. Antibiotik tidak perlu diberikan pada
anak dengan tonsilofaringitis bila kuman Streptokokus grup A tidak didapatkan atau tidak sesuai
dengan kriteria klinik untuk infeksi bakterial. Penisilin tetap merupakan obat pilihan untuk
mengobati tonsilofaringitis bakterialis, khususnya bila disebabkan oleh Streptokokus grup A.44
Pedoman dari Bagian THT FKUI-RSCM menyatakan bahwa lini pertama adalah penisilin,
dan muntah sehingga para dokter sering memberikan siprofloksasin bersama dengan antasid
menurunkan bioavailabilitas siprofloksasin secara bermakna. Frost (1992) melakukan studi untuk
membandingkan efek antasida aluminium klorida dan kalsium karbonat terhadap bioavailabilitas
desain cross-over acak tiga cara. Tiga terapi yang diberikan meliputi Cipro sendiri, empat tablet
kalsium karbonat 850 mg diberikan 5 menit sebelum Cipro, dan tablet aluminium hidroksida 600
mg diberikan 5 menit sebelum Cipro. Bioavailabilitas Cipro bila diberikan bersama kalsium
karbonat adalah sebesar 60% dari nilai kontrol. Bila diberikan bersama aluminium hidroksida,
bioavailabilitas relatif sekitar 15%. Studi ini menyatakan bahwa antasid yang mengandung baik
Sukralfat merupakan garam aluminium sakarosa oktasulfat, yang memiliki efek protektif
fluorokuinolon melalui ikatan kelasi, sehingga level maksimum serum dicapai dalam waktu yang
lebih lambat dan konsentrasi serum yang dicapai pun menjadi lebih rendah secara bermakna.
Garrelts (1990) melakukan uji klinis untuk mengevaluasi efek sukralfat terhadap bioavailabilitas
mengakibatkan area di bawah kurva konsentrasi-waktu pada 0-12 jam menurun dari 8,8 menjadi
1,1 ug.h/ml (p<0,005). Konsentrasi serum maksimum siprofloksasin juga menurun dari 2.0
menjadi 0.2 ug/ml (p<0,005). Hasil dari studi ini menyimpulkan bahwa pemberian sukralfat
menurunkan konsentrasi serum secara bermakna. Oleh karena itu, siprofloksasin dan sukralfat
G. Bentuk Sediaan
Antibiotika ini tersedia dalam bentuk tablet dengan kandungan Spirofloksasin 250 mg,
500 mg, 750 mg bahkan ada yang 1.000 mg. Juga tersedia dalam bentuk infus dengan kandungan
Spirofloksasin 200 mg/100 ml.
H. Efek Samping
Efek samping siprofloksasin biasanya ringan dan jarang timbul antara lain:
- Peningkatan sementara nilai enzim hati,terutama pada pasien yang pernah mengalami
kerusakan hati.
I. Kontra Indikasi
- tidak dianjurkan pada wanita hamil atau menyusui,anak-anak pada masa pertumbuhan,karena
pemberian dalam waktu yang lama dapat menghambat pertumbuhan tulang rawan.
- Pada penderita epilepsi dan penderita yang pernah mendapat gangguan SSP hanya digunakan
BAB III
Simpulan
Siprofloksasin tidak dianjurkan sebagai terapi lini pertama pada keadaan berikut :
Infeksi Saluran Napas Atas
Infeksi jaringan lunak dan tulang
Anak
Penggunaan siprofloksasin yang dianjurkan adalah untuk keadaan berikut :
1. Infeksi saluran cerna yang disebakan oleh Shigella dysentriae dan Salmonella typhi resisten
multi obat.
2. Infeksi saluran kemih dengan atau tanpa komplikasi.
3. Penyakit menular seksual, yaitu gonore, terutama yang disebabkan oleh PPNG (Penicillinase
Producing-Neisseria gonorrhoeae).
4. Terapi empiris pada infeksi saluran napas bawah yang diduga disebabkan oleh Pseudomonas
aeruginosa
Interaksi siprofloksasin dengan obat lain yang menimbulkan dampak negatif
1. Siprofloksasin jangan diberikan bersama dengan antasid karena akan menurunkan konsentrasi
serum siprofloksasin secara bermakna.
2. Siproflosasin jangan diberikan bersama dengan sukralfat karena akan menurunkan konsentrasi
serum siprofloksasin secara bermakna.
3. Pemberian siprofloksasin bersama dengan teofilin harus diwaspadai karena akan
mengakibatkan konsentrasi teofilin dalam darah lebih tinggi.
BAB IV
Daftar Pustaka