Professional Documents
Culture Documents
Ekonomi Syariah dan Sistem Ekonomi Syariah merupakan perwujudan dari paradigma Islam.
Pengembangan ekonomi Syariah dan Sistem Ekonomi Syariah bukan untuk menyaingi sistem
ekonomi kapitalis atau sistem ekonomi sosialis, tetapi lebih ditujukan untuk mencari suatu sistem
ekonomi yang mempunyai kelebihan-kelebihan untuk menutupi kekurangan-kekurangan dari sistem
ekonomi yang telah ada. Islam diturunkan ke muka bumi ini dimaksudkan untuk mengatur hidup
manusia guna mewujudkan ketentraman hidup dan kebahagiaan umat di dunia dan di akhirat sebagai
nilai ekonomi tertinggi. Umat di sini tidak semata-mata umat Muslim tetapi, seluruh umat yang ada di
muka bumi. Ketentraman hidup tidak hanya sekedar dapat memenuhi kebutuhan hidup secara
melimpah ruah di dunia, tetapi juga dapat memenuhi ketentraman jiwa sebagai bekal di akhirat nanti.
Jadi harus ada keseimbangan dalam pemenuhan kebutuhan hidup di dunia dengan kebutuhan untuk
akhirat
Khilafah, mempresentasikan bahwa manusia adalah khalifah atau wakil Allah di muka bumi ini
dengan dianugerahi seperangkat potensi spiritual dan mental serta kelengkapan sumberdaya materi
yang dapat digunakan untuk hidup dalam rangka menyebarkan misi hidupnya.
‘Adalah, merupakan bagian yang integral dengan tujuan syariah (maqasid al-Syariah). Konsekuensi
dari prinsip Khilafah dan ‘Adalah menuntut bahwa semua sumberdaya yang merupakan amanah dari
Allah harus digunakan untuk merefleksikan tujuan syariah antara lain yaitu; pemenuhan kebutuhan
(need fullfillment), menghargai sumber pendapatan (recpectable source of earning), distribusi
pendapatan dan kesejah-teraan yang merata (equitable distribution of income and wealth) serta
stabilitas dan pertumbuhan (growth and stability).
Kalau ekonomi Islam sebagai kritik ekonomi ortodok sama artinya ekonomi Islam diletakkan
sebagai salah satu varian dari ekonomi heterodok.[1] Bila ekonomi Islam sebagai ekonomi heterodok,
sama artinya kemunculan ekonomi Islam karena adanya ekonomi ortodok. Namun kalau ekonomi
Islam menolak masuk sebagai varian dari ekonomi heterodok, ekonomi Islam masuk sebagai ilmu
ortodok ataupun berposisi sejajar sebagai ilmu ekonomi ortodok.
Literatur Barat lebih condong meletakkan ekonomi Islam sebagai ekonomi heterodok dikarenakan
dianggap memenuhi syarat sebagai varian baru dalam ilmu ekonomi yang keberadaan sebagai kritik
ekonomi ortodok. Oleh karenanya ekonomi Islam cenderung diidentik sebagai ekonomi heterodok
Disamping itu, ekonomi Islam oleh sementara pihak dianggap mewakili pemikiran yang berbasiskan
pada agama. Hal ini memenuhi syarat sebagai ekonomi heterodok yang tumbuhnya karena kritik
terhadap problem moral dalam ekonomi ortodok. Bagi ortodok moralitas adalah unscientific concept
yang tidak terindentifikasi dalam metode keilmuwan yang dimilikinya. [2]
Kemajuan ekonomi ortodok membuahkan sentimen bagi pendukung ekonomi Islam. Sentimen yang
tumbuh dari sikap emosional ini yang menyeret pada usaha untuk mencari cara menundukkan
ekonomi ortodok dengan mengunakan standar/metode ekonomi ortodok sebagai standar kemajuan
ekonomi Islam. Akibatnya ekonomi Islam mengunakan ukuran kemajuan menurut ukuran ekonomi
ortodok sebagai upaya untuk mengalahkan ekonomi ortodok. Dampaknya ekonomi Islam terseret
pada logika pembandingan yang lebih mempengaruhi ekonomi Islam untuk bersikap pragmatis. Sikap
pragmatis dilakukan ekonomi Islam untuk bersaing dengan ekonomi konvensional adalah dengan
mengunakan model ekonomi yang digunakan oleh ekonomi ortodok.[3]
Namun, membangun ekonomi Islam dengan cara membangun sistem ekonomi yang telah dimiliki
ekonomi ortodok merupakan dampak tersanderanya logika ekonomi Islam untuk mengikuti pola
perkembangan ekonomi ortodok di berbagai aspek. Padahah ekonomi Islam dan ekonomi ortodok
tidak bisa diperbandingkan karena kedua memiliki perbedaaan dasar. Oleh karena itu ekonomi Islam
tidak bisa mengikuti pola perkembangan ekonomi ortodok. Adapun perbedaan yang mendasar antara
ekonomi Islam dan ekonomi ortodok adalah sebagai berikut:
Demikian pula tumbuhnya pemikiran ekonomi pada masa Rasulullah SAW, khulafaurahidin, masa
kekhalifaha sebagai upaya menjawab persoalan-persoan ekonomi yang ada di jamannya.
Kecenderungan ada pengaruh latar-belakang kehidupan dalam teori-teori ekonomi pada ekonom
Muslim nampak dari karya-karya yang di kemukakan. Pengaruh tersebut berupa pengaruh pemikiran,
pengaruh geografi, dan pengaruh jabatan/pekerjaan menjadi bagian penting dalam merumuskan
pemikiran-pemikiran ekonomi yang mereka pahami.[10]
Berbagai pemikiran ekonomi dan penemuan teknologi oleh umat Islam terutama pada abad
pertengahan bukan dikarenakan ekonomi ortodok, yang menimbulkan sikap untuk menyaingi dan
mengungguli ekonomi ortodok yang memang belum ada pada masa itu. Kemajuan Islam dengan
ditemukan pemikiran dan teknologi pada abad pertengahan dikarenakan kebutuhan masyarakat akan
perlunya teknologi. Hal ini dapat disimpulkan bahwa tumbuhnya ekonomi Islam bukan karena adanya
ekonomi ortodok tetapi karena kebutuhan umat manusia.
Walaupun belum tentu istilah ekonomi dalam ekonomi Islam dan ekonomi ortodok berbeda namun
harus dimaklumi bahwa ada berbedaan definis, makna, dan ukuran pasti ada. Seperti makna dalam
istilah kemajuan, kesejahteraan, pertumbuhan, pengangguran, kemiskinan, bahkan tidak menutup
kemungkinan istilah-istilah yang berkaitan masih dipengaruhi mengunakan definisi, makna dan
ukuran ekonomi ortodok. Bila istilah ekonomi yang di gunakan ekonomi Islam sama dengan ekonomi
ortodok makna ekonomi Islam bukan hanya secara filosofi ekonomi Islam sulit dibedakan dengan
ekonomi ortodok tetapi juga secara teknis.
Akhir kata, ekonomi Islam dan ekonomi ortodok tidak bisa dibandingkan karena berbedaan sumber
hukum, sejarah, kemajuan dan istilah. Usaha membandingkan sama maknanya mempersamakan
keduanya objek yang jelas dalam posisi yang berbeda. Tidak mungkin membandingkan dengan
objektif sesuatu yang sudah jelas berbeda. Artinya objektifitas tidak akan kita dapatkan dalam
membandingkan ekonomi Islam dengan ekonomi ortodok karena kita membandingkan dua objek
yang jelas tidak sama.
Wallahu a’lam
Catatan Kaki
[2] Dalam Gabriel (2003), Introduction to Heterodox Economic Theory, June 4, 2003, based on
lecture’s notes at the author’s website, http://www.mtholyok e.edu/courses/ sgabriel/ heterodox_
defined.htm
[3] Lihat dan bandingkan dengan Ziauddin Sardar (1985) Islamic Future, The Shape of Ideas to
Come, Mansell, London :Mansell, p: 79
[4] Filsafat moral Smith sendiri sangat dipengaruhi oleh filsafat Stoa atau Stoisisme, suatu aliran
filsafat yang berkembang di Yunani Kuno yang bernama Zeno, pasca Aristoteles dan Plato. Zeno
berpendapat bahwa keteraturan dunia ini bukanlah suatu kebetulan semata. Keteraturan segala
sesuatu, dan mengarahkan segala sesuatu itu disebut juga sebagai nasib, atau takdir. Lihat Sonny
Keraf (1996). Pasar bebas Keadilan dan Peran Pemerintah, Telaah atas Etika Politik Ekonomi Adam
Smith, Yogyakarta : Kanisius, h. 23-25
[5] Rasulullah SAW menyebarkan ajaran Islam di Mekah selama 9 tahun dari tahun 613 sampai 622,
dimana pada tahun 622 Rasulullah SAW hijrah ke Madinah sekaligus tahun tersebut ditetapkan
sebagai tahun awal hijrah. Rasulullah SAW menetap di Madinah sampai wafatnya pada tahun 632
masehi atau tahun 10 Hijrah. Lihat Ira M. Lapidus (2000), Sejarah Sosial Ummat Islam, Jakarta :
Rajagrafindo Persada, h. 34-49
[6] Joseph Alois Schumpeter (1883-1950) menyebut abad pertengahan sebagai abad kegelapan atau
dark age namun penyataan ini terbantah sejalan dengan adanya sejumlah pemikir Islam antara abad 9
sampai abad 17. Lihat S. M. Ghazanfar (2003), MedievaI Islamic Economic Thought, Filling the
“Great Gap” in European Economics, New York :RoutiedgeCurzon, h. 6-12
[7] Mehdi Nakosteen (1996), Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat, Jakarta :Risalah Gusti, h.
271
[8] Pengaruh dan kritik pemikiran ekonomi Merkantilis sampai new Keynesian pada tahun 1975 dapat
dilihat di Stanley L Brue (2000), The Evolution of Economic Thought, Orlando:The Dryden Press,
h.3-9
[9] Pada abad pertengahan kemajuan Islam meliputi bidang kosmologi, matematika, astronomi,
antropologi, kedokteran, kimia, ilmu optik dan bidang budaya. Lihat Howard R Turner (2004), Sains
Islam yang Mengagumkan, Sebuah Catatan terhadap Abad Pertengahan. Bandung : Nuansa, h. 37-45.
[10] Keempat imam mazhab memiliki latar belakang berbeda; Hanafi (767) tinggal di Kuffah, Maliki
(796) di Madinah, Syafii (820) tinggalnya berpindah-pindah dari Mekah, Madinah, Yaman, Iraq,
Persia dan Mesir, Hambali (855) di Baghdad. Keempat imam mazhab memiliki karakter berbeda
dalam mengemukakan fatwa, banyak diduga latar belakang kehidupan yang berbeda mempengaruhi
pemikiran keempat Imam ini dalam mengemukkan pendapat. Demikian juga pengaruh pemikirannya
terhadap murid-muridnya, seperti pemikiran ekonomi Abu Yusuf (798) dalam al Kharaj banyak
dipengaruhi oleh gurunya Imam Hanafi.
[11] Muh. Naquib Al Attas. (1993) Islam and Secularism. Kuala Lumpur :ISTAC, h. 44-45
[12] Muh. Aslam Haneef, (2005), A Critical Survey of Islamization of Knowledge, Kualalumpur;
IIUM, p. 0 3
Ini sebuah pengantar karena tulisan ini resume bagian 4 dari 6 bagian “Ekonomi Islam; Ortodok atau
Heterodok?”
3.EMPAT PENYEBAB KERISISEKONOMI INDONESIA TAHUN 1997-1998
Berbagai kajian yang menelaah krisis keuangan Asia telah banyak dilakukan, dari berbagai
sudut pandang pula. Secara umum terlihat suatu pola dan karakteristik yang berlaku sama di seluruh
negara yang dilanda krisis. Namun, dalam hal kedalamannya dan jangka waktunya, Indonesia dapat
dikatakan sangat unik. Sulit mencari pembandingnya, barangkali negara yang paling layak untuk
dibandingkan waktu itu adalah Rusia, dan sekarang mungkin Argentina. Oleh karena itu, dalam uraian
berikut kita akan mengkaji secara singkat mengapa krisis di Indonesia begitu parah, dan mengapa
pemulihannya begitu lambat.
Sebagai introspeksi, harus kita akui bahwa krisis di Indonesia benar-benar tidak terduga datangnya,
sama sekali tidak terprediksi sebelumnya. Seperti dikatakan oleh Furman dan Stiglitz (1998), bahwa
di antara 34 negara bermasalah yang diambil sebagai percontoh (sample) penelitiannya, Indonesia
adalah negara yang paling tidak diperkirakan akan terkena krisis bila dibandingkan dengan negara-
negara lainnya dalam percontoh, tersebut. Ketika Thailand mulai menunjukkan gejala krisis, orang
umumnya percaya bahwa Indonesia tidak akan bernasib sama. Fundamental ekonomi Indonesia
dipercaya cukup kuat untuk menahan kejut eksternal (external shock) akibat kejatuhan ekonomi
Thailand.
1. Yang pertama, stok hutang luar negeri swasta yang sangat besar dan umumnya berjangka pendek,
telah menciptakan kondisi bagi “ketidakstabilan”. Hal ini diperburuk oleh rasa percaya diri yang
berlebihan, bahkan cenderung mengabaikan, dari para menteri di bidang ekonomi maupun masyarakat
perbankan sendiri menghadapi besarnya serta persyaratan hutang swasta tersebut.
Pemerintah selama ini selalu ekstra hati-hati dalam mengelola hutang pemerintah (atau hutang
publik lainnya), dan senantiasa menjaganya dalam batas-batas yang dapat tertangani (manageable).
Akan tetapi untuk hutang yang dibuat oleh sektor swasta Indonesia, pemerintah sama sekali tidak
memiliki mekanisme pengawasan. Setelah krisis berlangsung, barulah disadari bahwa hutang swasta
tersebut benar -benar menjadi masalah yang serius. Antara tahun 1992 sampai dengan bulan Juli
1997, 85% dari penambahan hutang luar negeri Indonesia berasal dari pinjaman swasta (World Bank,
1998). Hal ini mirip dengan yang terjadi di negara-negara lain di Asia yang dilanda krisis. Dalam
banyak hal, boleh dikatakan bahwa negara telah menjadi korban dari keberhasilannya
sendiri. Mengapa demikian? Karena kreditur asing tentu bersemangat meminjamkan modalnya
kepada perusahaan-perusahaan (swasta) di negara yang memiliki inflasi rendah, memiliki surplus
anggaran, mempunyai tenaga kerja terdidik dalam jumlah besar, memiliki sarana dan prasarana yang
memadai, dan menjalankan sistem perdagangan terbuka.
Daya tarik dari “dynamic economies’” ini telah menyebabkan net capital inflows atau arus modal
masuk (yang meliputi hutang jangka panjang, penanaman modal asing, dan equity purchases) ke
wilayah Asia Pasifik meningkat dari US$25 milyar pada tahun 1990 menjadi lebih dari US$110
milyar pada tahun 1996 (Greenspan 1997). Sayangnya, banyaknya modal yang masuk tersebut tidak
cukup dimanfaatkan untuk sektor-sektor yang produktif, seperti pertanian atau industri, tetapi justru
masuk ke pembiayaan konsumsi, pasar modal, dan khusus bagi Indonesia dan Thailand, ke sektor
perumahan (real estate). Di sektor-sektor ini memang terjadi ledakan (boom) karena sebagian
dipengaruhi oleh arus modal masuk tadi, tetapi sebaliknya kinerja ekspor yang selama ini menjadi
andalan ekonomi
nasional justru mengalami perlambatan, akibat apresiasi nilai tukar yang terjadi, antara lain, karena
derasnya arus modal yang masuk itu.
Selain itu, hutang swasta tersebut banyak yang tidak dilandasi oleh kelayakan ekonomi, tetapi lebih
mengandalkan koneksi politik, dan seakan didukung oleh persepsi bahwa negara akan ikut
menanggung biaya apabila kelak terjadi kegagalan. Lembaga keuangan membuat pinjaman atas dasar
perhitungan aset yang telah “digelembungkan” yang pada gilirannya mendorong lagi terjadinya
apresiasi lebih lanjut (Kelly and Olds 1999). Ini adalah akibat dari sistem yang sering disebut sebagai
“crony capitalism”. Moral hazard dan penggelembungan aset tersebut, seperti dijelaskan oleh
Krugman (1998), adalah suatu strategi “kalau untung aku yang ambil, kalau rugi bukan aku yang
tanggung (heads I win tails somebody else loses)”. Di tengah pusaran (virtous circle) yang semakin
hari makin membesar ini, lembaga keuangan meminjam US dollar, tetapi menyalurkan pinjamannya
dalam kurs lokal (Radelet and Sachs 1998). Yang ikut memperburuk keadaan adalah batas waktu
pinjaman (maturity) hutang swasta tersebut rata-rata makin pendek. Pada saat krisis terjadi, rata-rata
batas waktu pinjaman sektor swasta adalah 18 bulan, dan menjelang Desember 1997 jumlah hutang
yang harus dilunasi dalam tempo kurang dari satu tahun adalah sebesar US$20,7 milyar (World Bank
1998).
2. Yang kedua, dan terkait erat dengan masalah di atas, adalah banyaknya kelemahan dalam sistem
perbankan di Indonesia. Dengan kelemahan sistemik perbankan tersebut, masalah hutang swasta
eksternal langsung beralih menjadi masalah perbankan dalam negeri.
Ketika liberalisasi sistem perbankan diberlakukan pada pertengahan tahun 1980-an, mekanisme
pengendalian dan
pengawasan dari pemerintah tidak efektif dan tidak mampu mengikuti cepatnya pertumbuhan sektor
perbankan. Yang lebih parah, hampir tidak ada penegakan hukum terhadap bank-bank yang
melanggar ketentuan, khususnya dalam kasus peminjaman ke kelompok bisnisnya sendiri, konsentrasi
pinjaman pada pihak tertentu, dan pelanggaran kriteria layak kredit. Pada waktu yang bersamaan
banyak sekali bank yang sesunguhnya tidak bermodal cukup (undercapitalized) atau kekurangan
modal, tetapi tetap dibiarkan beroperasi. Semua ini berarti, ketika nilai rupiah mulai terdepresiasi,
sistem perbankan tidak mampu menempatkan dirinya sebagai “peredam kerusakan”, tetapi justru
menjadi korban langsung akibat neracanya yang tidak sehat.
3. Yang ketiga, sejalan dengan makin tidak jelasnya arah perubahan politik, maka isu tentang
pemerintahan otomatis berkembang menjadi persoalan ekonomi pula.
Hill (1999) menulis bahwa banyaknya pihak yang memiliki vested interest dengan intrik-intrik
politiknya yang menyebar ke mana-mana telah menghambat atau menghalangi gerak pemerintah,
untuk mengambil tindakan tegas di tengah krisis.Jauh sebelum krisis terjadi, investor asing dan pelaku
bisnis yang bergerak di Indonesia selalu mengeluhkan kurangnya transparansi, dan lemahnya
perlindungan maupun kepastian hukum. Persoalan ini sering dikaitkan dengan tingginya “biaya
siluman” yang harus dikeluarkan bila orang melakukan kegiatan bisnis di sini. Anehnya, selama
Indonesia menikmati economic boom persepsi negatif tersebut tidak terlalu menghambat ekonomi
Indonesia. Akan tetapi begitu krisis menghantam, maka segala kelemahan itu muncul menjadi
penghalang bagi pemerintah untuk mampu mengendalikan krisis. Masalah ini pulalah yang
mengurangi kemampuan kelembagaan pemerintah untuk bertindak cepat, adil, dan efektif. Akhirnya
semua itu berkembang menjadi “krisis kepercayaan” yang ternyata menjadi penyebab paling utama
dari segala masalah ekonomi yang dihadapi pada waktu itu. Akibat krisis kepercayaan itu, modal yang
dibawa lari ke luar tidak kunjung kembali, apalagi modal baru.
4. Yang keempat, perkembangan situasi politik telah makin menghangat akibat krisis ekonomi, dan
pada gilirannya memberbesar dampak krisis ekonomi itu sendiri.
Faktor ini merupakan hal yang paling sulit diatasi. Kegagalan dalam mengembalikan stabilitas sosial-
politik
telah mempersulit kinerja ekonomi dalam mencapai momentum pemulihan secara mantap dan
berkesinambungan.
Meskipun persoalan perbankan dan hutang swasta menjadi penyebab dari krisis ekonomi, namun,
kedua faktor yang disebut terakhir di atas adalah penyebab lambatnya pemulihan krisis di Indonesia.
Pemulihan ekonomi musykil, bahkan tidak mungkin dicapai, tanpa pulihnya kepercayaan pasar, dan
kepercayaan pasar tidak mungkin pulih tanpa stabilitas politik dan adanya permerintahan yang
terpercaya (credible).
4.ZAKAT PRODUKTIF SEBAGAI PENGGERAK EKONOMI 3
Indonesia sebagai negara yang mayoritas penduduknya muslim mempunyai peluang yang sangat
besar dalam pengentasan kemiskinan. Sesuai data dari Pusat Bahasa dan Budaya UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta (sekarang: CSRC/Center for the Studi of Religion and Culture) dalam sebuah
penelitiannya tentang potensi zakat di Indonesia menemukan bahwa potensi zakat di Indonesia
mencapai Rp. 19 triliun lebih, begitu juga penelitian yang dilakukan oleh PIRAC. Bahkan menurut
Direktur Thoha Putra Center Semarang, H. Hasan Toha Putra MBA diperkirakan potensi zakat
masyarakat Indonesia setiap tahunnya mencapai Rp. 100 trilyun lebih.
Akan tetapi potensi yang demikian besar ini belum dimaksimalkan dan didistribusikankan dalam
bentuk yang produktif[2].
Pendistribusian zakat selama ini pada umumnya terfokus pada para mustahiq yang cenderung bersifat
konsumtif, hanya sekedar memenuhi kebutuhan pokok pada saat tertentu. Dengan begitu, untuk
selanjutnya mereka menjadi miskin kembali. Setiap tahun fakir-miskin bukan semakin berkurang,
bahkan semakin bertambah dalam antrian panjang para penerima zakat. Kalau kondisi ini dibiarkan,
maka umat Islam tidak bisa menyelesaikan problema ekonomi umatnya.
Oleh sebab itu, diperlukan strategi pendayagunaan zakat secara efektif yaitu sistem pendistribusian
zakat yang berorientasi pada produktivitas. Cara yang ditempuh adalah dengan memberikan bagian
zakat kepada mustahiq yang cukup sebagai modal untuk memulai atau membuka bidang usaha
produktif yang memberikan income yang memadai, hingga pada gilirannya ia tidak lagi menjadi
mustahiq zakat tetapi meningkat menjadi muzakki[3].
Sistem pendayagunaan zakat untuk usaha produktif dilakukan dengan prosedur sebagai berikut:
Berkenaan dengan pengawasan zakat, unsur pengawas dapat meminta bantuan akuntan publik
(Undang-undang Nomor 38 pasal 18). Masyarakat dapat berperan serta dalam pengawasan terhadap
Badan Amil Zakat atau Lembaga Amil Zakat (Undang-undang Nomor 38 pasal 20). Untuk
menghindari kecurangan dan penyimpangan. Dalam pelaksanaannya juga haruslah bersifat objektif,
transparan, dan akuntabilitas[4].
Penerapan zakat dengan orientasi seperti ini pernah mencapai titik gemilang pada masa Umar bin
Abdul Aziz. Hanya dalam masa 2 tahun beliau berhasil mengentaskan kemiskinan sehingga tidak ada
lagi yang mau menerima zakat. Semua rakyatnya merasa sudah menjadi muzakki (pembayar zakat)
bukan lagi mustahik (penerima zakat).
Sebagaimana dituturkan Abu Ubaid bahwa Gubernur Irak Hamid bin Abdurrahman sewaktu
mengirim surat kepada Amirul Mukminin tentang melimpahnya dana zakat di baitul maal karena
sudah tidak ada lagi yang mau menerimanya.
Umar bin Abdul Aziz memerintahkan untuk memberikan gaji dan hak rutin orang di daerah itu.
Dijawab oleh Hamid “Kami sudah memberikannya tetapi dana zakat begitu banyak di baitul maal.
Lalu Umar bin Abdul Aziz menginstruksikan untuk memberikan dana zakat tersebut kepada mereka
yang berhutang dan tidak boros. Hamid berkata, “Kami sudah bayarkan hutang−hutang mereka, tetapi
dana zakat begitu banyak di Baitul Maal”
Kemudian Umar bin Abdul Aziz memerintahkan agar ia mencari orang lajang tidak memiliki cukup
uang dan ingin segera menikah, agar dinikahkan dan dibayarkan maharnya. Dijawab lagi “Kami
sudah nikahkan mereka dan bayarkan maharnya tetapi dana zakat begitu banyak di baitul maal”.
Akhirnya Umar bin Abdul Aziz memerintahkan agar Hamid bin Abdurrahman mencari seorang yang
biasa membayar upeti atau pajak hasil bumi. Jika ada kekurangan modal dalam usahanya, berilah
pinjaman kepada mereka agar ia mampu kembali mengolah lahannya dengan baik. Kita tidak
menuntut kecuali setelah dua tahun atau lebih[5]”. Cara inilah yang disebut penyaluran zakat
produktif.
Referensi:
1. www.vivanews.com
2. http://lowonganterbaru.uni.cc
4. http://anakbanyumas.wordpress.com
5. Faidhul-Qadir, karya Imam Munawi
9. http://www.elzawa-uinmaliki.org
10. http://mihrabia.blogspot.com
11. Zakat Sebagai Tiang Utama Ekonomi Syari’ah, Oleh: Prof. DR. KH. Didin Hafidhuddin, MSc
13. http://rudipower.blogspot.com