You are on page 1of 27

BAB I

PENDAHULUAN

Kolangitis akut merupakan keadaan inflamasi dan infeksi akut dari saluran
empedu. Kolangitis akut mempunyai spektrum klinis yang bervariasi mulai dari
ringan dan dapat sembuh sendiri sampai kondisi berat yang dapat mengancam
nyawa.1
Pertama kali kolangitis akut ini dikemukakan pada tahun 1877 oleh
Charcot. Saat itu Charcot menggunakan istilah hepatic fever dalam laporan yang
diterbitkannya. Adanya demam intermiten disertai dengan menggigil, nyeri
abdomen kuadran kanan atas, dan ikterik, ketiga gejala ini kemudian dikenal
sebagai triad Charcot. Charcot mempostulatkan bahwa penyakit ini berhubungan
dengan proses patologi berupa obstruksi bilier dan infeksi bakteri.2
Kolangitis obstruktif akut selanjutnya didefinisikan oleh Reynolds dan
Dargan pada tahun 1959 sebagai suatu sindrom yang terdiri dari penurunan
kesadaran, syok, demam, ikterik, nyeri abdomen kuadran kanan atas yang
disebabkan oleh obstruksi empedu. Kelima gejala ini kemudian disebut pentad
Reynolds.3
Secara epidemiologis, penyakit ini menunjukkan insidensi yang berbeda-
beda di seluruh dunia. Di Amerika Serikat, kolangitis akut relatif jarang, dan
kejadiannya sering berhubungan dengan dilakukannya prosedur ERCP (1-3%),
dimana sering terjadi akibat injeksi zat kontras secara retrograd. Sedangkan di
negara-negara Asia Tenggara, Cina, dan Taiwan penyakit ini diwaspadai karena
insidensi batu empedu cukup tinggi.4 Di Turki dilaporkan antara tahun 1987-1995
koledokolitiasis (56 %) merupakan penyebab dari kolangitis akut sedangkan dari
tahun 1996-2004 penyakit yang mendasari kolangitis akut adalah tumor
periampular (80%).5
Di Indonesia sendiri dilaporkan kasus-kasus kolangitis akut yang ditemui
di kota Bandung dalam periode tahun 1983 sampai dengan 1998. Dari 1574 kasus
operasi pada saluran empedu yang dilakukan di RS besar di Bandung seperti
RSUP Dr. Hasan Sadikin, RS St. Borromeus, RS Advent, RS Immanuel, dan RS
Kebonjati ditemukan 308 kasus (19.56%) kolangitis akut. Dari semua kasus

1
kolangitis akut tersebut 171 (55.51%) kasus disebabkan oleh adanya batu di
saluran empedu.6
Tidak terdapat perbedaan jenis kelamin di dalam insidensi penyakit ini.
Mayoritas pasien berusia antara dekade keempat dan lima, serta pada usia yang
lebih tua akan lebih banyak disertai penyakit penyerta lainnya dan tingkat
mortalitasnya pun lebih tinggi.4
Sebelum tahun 1970-an angka kematian pasien dengan kolangitis akut
dilaporkan lebih dari 50%, tapi dengan kemajuan perawatan intensif, penemuan
antibiotik baru dan majunya teknik drainase empedu, secara dramatis mengurangi
angka kematian menjadi kurang dari 7% di tahun 1980-an. Walaupun demikian
tingkat kematian dilaporkan dalam kasus kolangitis akut yang berat masih
berkisar antara 11-27 % pada tahun 1990-an. Bahkan sampai sekarangpun bentuk
kolangitis akut yang berat tetap merupakan penyakit yang fatal dan mengancam
jiwa.2,4
Untuk itulah referat ini dibuat agar kita dapat menegakkan diagnosis
kolangitis akut berdasarkan temuan klinis, data laboratorium dan pemeriksaan
penunjang sehingga kita dapat menatalaksana pasien dengan tepat dan dapat
menurunkan angka morbiditas dan mortalitas penyakit ini.

2
BAB II
KOLANGITIS AKUT

2.1. Etiologi
Kolangitis dapat disebabkan oleh berbagai keadaan patologis yang
semuanya akan berakhir dengan stasis aliran empedu dan akhirnya terjadi infeksi
oleh bakteri akibat adanya multiplikasi yang meningkat pada saluran empedu.
Berbagai jenis etiologi terhambatnya aliran cairan empedu dapat dilihat pada tabel
berikut ini :
Tabel1. Etiologi terhambatnya aliran cairan empedu7

No Penyebab kolangitis

1. Choledocholithiasis

2. Striktur sistem bilier

3. Neoplasma pada sistem bilier

4. Komplikasi iatrogenik akibat manipulasi "CBD" (Common Bile Duct)

5. Parasit : cacing Ascaris, Clonorchis sinensis

6. Pankreatitis kronis

7. Pseudokista atau tumor pankreas

8. Stenosis ampulla

9. Kista Choledochus kongenital atau penyakit Caroli

10. Sindroma Mirizzi atau Varian Sindroma Mirizzi

11. Diverticulum Duodenum

Batu saluran empedu adalah penyebab terbanyak (30-70%), yang


kemudian disusul oleh striktur sistem bilier dan tumor pada sistem bilier (10-30%)
seperti yang dapat kita lihat pada tabel 2 dibawah. Di negara-negara Asia

3
Tenggara dan Cina, cacing tidak jarang ditemukan sebagai penyebab, walaupun
jenis cacing yang ditemukan berbeda-beda.7
Tabel 2. Penyebab kolangitis akut dari berbagai penelitian.2

2.2. Patogenesis
Saluran empedu bersifat steril, dan empedu pada saluran empedu tetap
steril karena terdapat aliran empedu yang kontinu dan keberadaan substansi
antibakteri seperti immunoglobulin A dalam empedu serta berfungsi dengan
baiknya sfingter Oddi untuk mencegah bakteri masuk ke saluran empedu.2,8
Faktor utama dalam patogenesis dari kolangitis akut adalah obstruksi
saluran empedu, peningkatan tekanan intraluminal, dan infeksi saluran empedu.
Saluran empedu yang terkolonisasi oleh bakteri namun tidak mengalami stasis
pada umumnya tidak akan menimbulkan kolangitis. Saat ini dipercaya bahwa
obstruksi saluran empedu menurunkan pertahanan antibakteri. Walaupun
mekanisme masih belum jelas, dipercaya bahwa bakteri memperoleh akses
menuju saluran empedu secara retrograd melalui duodenum atau melalui aliran
darah dari vena porta.
Tekanan bilier normal berkisar antara 7 sampai 14 cmH 2O. Pada keadaan
baktibilia dan tekanan bilier yang normal, darah vena hepatika dan nodus
limfatikus perihepatik bersifat steril, namun apabila terdapat obstruksi parsial atau
total, tekanan intrabilier akan meningkat sampai 18-29 cmH2O, dan organisme
akan muncul secara cepat di darah dan limfa. Peningkatan tekanan bilier akan
mendorong infeksi menuju kanalikuli bilier, vena hepatika, dan saluran limfatik
perihepatik, yang akan menimbulkan bakteriemia (25%-40%). Infeksi dapat
bersifat supuratif pada saluran empedu.6.7

4
Demam dan menggigil yang timbul pada kolangitis merupakan hasil dari
bakteremia sistemik yang ditimbulkan oleh refluks kolangiovenososus dan
kolangiolimfatik.6,7
Apabila bakteriemia berlanjut maka akan timbul berbagai komplikasi yaitu
syok septik, gagal organ multipel yang biasanya didahului oleh gagal ginjal yang
disebabkan oleh sindroma hepatorenal, abses hati piogenik (sering multipel) dan
bahkan peritonitis. Jika sudah terdapat komplikasi, maka prognosisnya menjadi
lebih buruk. 7
Organisme paling umum yang dapat diisolasi dalam empedu adalah
Escherischia coli. Organisme yang ditemukan pada kultur darah sama dengan
yang ditemukan dalam empedu. Sebagai tambahan, infeksi polimikrobial sering
ditemukan pada kultur empedu (30-87%) namun lebih jarang terdapat pada kultur
darah (6-16%).6.7
Tabel 3. Bakteri yang diisolasi dari empedu, batu empedu dan darah7

5
2.3. Diagnosis
2.3.1 Anamnesis dan Pemeriksaan fisik
Dari anamnesis didapatkan adanya demam yang bersifat intermiten, nyeri
perut kanan atas dan timbulnya kuning diseluruh tubuh. Hal ini pertama kali
dideskripsikan pada tahun 1877 oleh Charcot. Charcot menjelaskan kolangitis
sebagai “triad” yang ditemukan berupa: nyeri kuadran kanan atas, demam, dan
ikterik. Pentad Reynolds menambahkan perubahan status mental dan sepsis pada
triad tersebut.9
Banyak pasien yang datang dengan kolangitis akut tidak memiliki gejala-
gejala klasik tersebut. Sebagian besar pasien mengeluhkan nyeri pada abdomen
kuadran lateral atas.
Gejala-gejala lain yang dapat terjadi meliputi: Jaundice, demam,
menggigil dan kekakuan (rigors), nyeri abdomen, pruritus, tinja yang acholis atau
hypocholis, dan malaise.
Pada tabel 4 dibawah ini kita dapat melihat persentase dari gejala klinis
pasien yang datang dengan kolangitis akut. Terlihat bahwa trias Charcot dimiliki
oleh sekitar 50-70% pasien, sedangkan pentad Reynold hanya dimiliki sekitar 7-
50% pasien.9
Tabel4. Manifestasi klinik dari kolangitis akut9

6
Riwayat medis pasien mungkin dapat membantu. Adanya riwayat dari
keadaan-keadaan berikut dapat meningkatkan resiko kolangitis:6,7,9
 Batu kandung empedu atau batu saluran empedu
 Pasca cholecystectomy
 Manipulasi endoskopik atau ERCP, kolangiogram
 Riwayat kolangitis sebelumnya
 Riwayat HIV atau AIDS: kolangitis yang berhubungan dengan AIDS
memiliki ciri edema bilier ekstrahepatik, ulserasi, dan obstruksi bilier.
Etiologinya masih belum jelas namun dapat berhubungan dengan
cytomegalovirus atau infeksi Cryptosporidium
Terdapat berbagai spektrum kolangitis, mulai dari gejala yang ringan
sampai sepsis. Apabila terdapat syok septik, diagnosis kolangitis mungkin dapat
tidak terduga. Pikirkan kolangitis pada setiap pasien yang nampak septik,
terutama pada pasien-pasien tua, mengalami ikterik, atau yang mengalami nyeri
abdomen. Riwayat nyeri abdomen atau gejala kolik bilier dapat merupakan
petunjuk bagi penegakkan diagnosis.7,9

2.3.2 Pemeriksaan laboratorium


Pada pemeriksaan darah rutin dapat ditemukan terjadinya leukositosis
dengan pergeseran ke kiri. Pada pasien dengan kolangitis, 79% memiliki sel darah
putih melebihi 10.000/mL, dangan angka rata-rata 13.600. Namun pada pasien
kolangitis akut dengan sepsis dapat terjadi juga leukopenia.4,9
Tes fungsi hati kemungkinan besar konsisten dengan keadaan kolestasis,
hiperbilirubinemia terdapat pada 88-100% pasien dan peningkatan kadar alkali
fosfatase terjadi pada 78% pasien. SGOT dan SGPT biasanya meningkat dalam
24-48 jam setelah onset kolangitis akut.
Pemeriksaan elektrolit dengan fungsi ginjal dapat dilakukan. Pemeriksaan
kadar kalsium darah diperlukan untuk memeriksa kemungkinan pankreatitis, yang
dapat menimbulkan hipokalsemia. PT dan aPTT biasanya tidak meningkat kecuali
bila terdapat sepsis yang menimbulkan Disseminated Intravascular Coagulation
(DIC) atau apabila terdapat sirosis hepatis pada pasien tersebut. Kadar C-reactive
protein (CRP) dan Laju Endap Darah (LED) pada umumnya meningkat. 10

7
Keterlibatan duktus koledokus bagian bawah dapat menimbulkan
pankreatitis dan peningkatan kadar lipase. Sepertiga dari pasien mengalami sedikit
peningkatan pada kadar lipase. Peningkatan enzim pankreas umumnya
menunjukkan bahwa batu saluran empedu yang menimbulkan kolangitis, dengan
ataupun tanpa gallstone pancreatitis (pankreatitis yang disebabkan oleh batu
empedu). 10
Kultur darah (2 set): antara 20% dan 30% kultur darah memberikan hasil
yang positif, banyak diantaranya menunjukkan infeksi polimikrobial. Kultur
cairan empedu dilakukan apabila pasien dilakukan drainase bilier dengan
interventional radiology atau endoskopi.
Tabel 5. Hasil data laboratorium pada kolangitis akut9,10

2.3.3 Pemeriksaan penunjang


Studi pencitraan penting untuk mengkonfirmasi keberadaan dan penyebab
obstruksi bilier dan untuk menyingkirkan kondisi yang lain. Ultrasonografi dan
CT scan merupakan pemeriksaan yang paling sering dilakukan.
Ultrasonografi sangat baik untuk melihat batu empedu dan kolesistitis.
Pemeriksaan ini sangat sensitif dan spesifik untuk memeriksa kandung empedu
dan menilai dilatasi saluran empedu, namun pemeriksaan ini sering melewatkan
batu yang terdapat pada duktus biliaris distal.

8
Ultrasonografi transabdominal merupakan pemeriksaan awal pilihan.
Ultrasonografi dapat membedakan obstruksi intrahepatik dari obstruksi
ekstrahepatik dan memperlihatkan dilatasi duktus bilier. Pada sebuah penelitian,
hanya 13% koledokolitiasis dapat diamati pada USG, namun dilatasi CBD
terdapat pada 64% kasus.11 Keuntungan USG adalah dapat dilakukan secara cepat
di UGD, kemampuan untuk melihat struktur lain (aorta, pankreas, hati),
kemampuan untuk mengidentifikasi komplikasi misalnya perforasi, empyema dan
abses.11, 12
Kerugian dari USG adalah hasil pemeriksaan yang bergantung pada
kemampuan operator dan pasien, dimana pada pasien obesitas dan banyaknya
udara di dalam usus akan mempengaruhi hasil, tidak mampu untuk melihat duktus
sistikus, dan penurunan sensitivitas bagi batu saluran empedu distal. Hasil USG
yang normal tidak dapat menyingkirkan diagnosis kolangitis.12
Pemeriksaan CT scan bersifat tambahan dan dapat menggantikan USG.
CT scan helical atau spiral dapat meningkatkan pencitraan saluran bilier. Pada CT
scan cholangiography yang mempergunakan zat kontras, dimana zat tersebut akan
diuptake oleh hepatosit dan disekresi menuju saluran bilier. Hal ini meningkatkan
kemampuan untuk memvisualisasikan batu radiolusen dan meningkatkan tingkat
deteksi dari patologi bilier lain. Batu intrahepatik dan ekstrahepatik serta
inflamasi saluran empedu dapat terlihat pada CT scan. Batu empedu dengan
ukuran yang kecil tidak dapat terlihat dengan baik pada CT Scan biasa,13
Keuntungan dari CT Scan adalah kemampuannya untuk melihat proses
patologis lain yang merupakan penyebab ataupun komplikasi dari kolangitis akut.
Diagnosis banding juga kadang dapat terlihat misalnya divertikulitis kolon kanan,
nekrosis papilla, pyelonephritis, iskemia mesenterium, dan appendix yang ruptur.
13

Kerugian dari CT scan meliputi kemampuan pencitraan batu empedu yang


buruk, reaksi alergi terhadap kontras, paparan terhadap radiasi, dan kurangnya
kemampuan untuk memvisualisasikan saluran bilier dengan kadar bilirubin serum
yang meningkat.
Endoscopic retrograde cholangio pancreatography (ERCP) merupakan
pemeriksaan yang bersifat diagnostik dan terapeutik, dan merupakan kriteria

9
standar bagi pencitraan sistem bilier. ERCP hanya dilakukan bagi pasien yang
memerlukan intervensi terapeutik. Pasien dengan kecurigaan klinis yang tinggi
bagi kolangitis sebaiknya segera dilakukan ERCP. ERCP memiliki tingkat
keberhasilan yang besar (98%) dan dianggap lebih aman daripada intervensi
bedah dan perkutaneus.14
Penggunaan ERCP sebagai alat diagnostik memiliki tingkat komplikasi
sebesar 1,38% dan tingkat mortalitas sebesar 0,21%. Komplikasi utama dari
ERCP terapeutik sebesar 5,4% dan tingkat mortalitasnya sebesar 0,49%.
Komplikasinya meliputi pankreatitis, perdarahan, dan perforasi.15
Magnetic resonance cholangio pancreatography (MRCP) merupakan
studi noninvasif yang semakin sering dipergunakan untuk diagnosis batu bilier
dan patologi bilier lain. MRCP akurat untuk mendeteksi choledocholithiasis,
neoplasma, striktur, dan dilatasi sistem bilier. MRCP memiliki sensitivitas > 90%
untuk mendeteksi adanya batu pada saluran empedu. Keterbatasan MRCP
meliputi ketidakmampuan untuk melakukan tes diagnostik invasif seperti
pengambilan sampel empedu, uji sitologis, pengambilan batu, ataupun stenting.
Pemeriksaan MRCP memiliki keterbatasan dalam melihat batu dengan ukuran
kecil (< 6 mm)16,17
Kontraindikasi absolutnya sama dengan MRI tradisional, termasuk
keberadaan alat pacu jantung (pacemaker), klip aneurisma serebral, implan okuler
atau cochlear, dan benda asing pada okuler. Kontraindikasi relatif meliputi
terdapatnya prosthesa katup jantung, neurostimulator, prosthese logam dan implan
pada penis. Resiko MRCP pada kehamilan masih belum diketahui.16,17
Pada umumnya, foto polos abdomen tidak banyak membantu pada
diagnosis kolangitis akut. Ileus dapat diamati pada kasus tersebut. Antara 10-30%
batu empedu memiliki cincin kalsium, sebagai akibatnya bersifat radioopak. Foto
abdomen dapat menunjukkan udara dalam saluran bilier setelah manipulasi
endoscopik apabila pasien mengalami cholecystitis emphysematosa, kolangitis,
ataupun fistula cholecystic-enteric. Udara dalam dinding kandung empedu
mengindikasikan cholecystitis emphysematosa.18
Skintigrafi bilier (hepatic 2,6-dimethyliminodiacetic acid [HIDA] dan
diisopropyl iminodiacetic acid [DISIDA]). Scan HIDA dan DISIDA merupakan

10
uji fungsional dari kandung empedu. Obstruksi CBD menimbulkan nonvisualisasi
dari usus halus. Scan HIDA pada obstruksi total dari saluran bilier tidak
memperlihatkan saluran bilier. 19,20
Kerugiannya adalah apabila terdapat kadar bilirubin yang tinggi (>4,4)
dapat menurunkan sensitifitas pemeriksaan ini. Keadaan baru makan atau tidak
makan selama 24 jam juga dapat mempengaruhi pemeriksaan ini, selain itu
pencitraan anatomis bagi struktur-struktur lain selain saluran bilier tidak
memungkinkan. Pemeriksaan ini memerlukan waktu beberapa jam, sehingga tidak
direkomendasikan pada pasien kritis atau pada pasien yang tidak stabil.19,20
2.3.4 Kriteria diagnosis
Kriteria diagnosis kolangitis akut berdasarkan Tokyo Consensus Meeting
pada tahun 2006. Konsep dari kriteria ini adalah adanya triad Charcot sebagai
kriteria diagnosis kolangitis akut. Jika pada pasien tidak ditemukan semua
komponen dari triad Charcot maka diagnosis pasti bisa ditegakkan jika ditemukan
tanda-tanda inflamasi akut dan obstruksi saluran empedu yang didapatkan dari
pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang. Untuk lebih ringkasnya
dapat kita lihat pada tabel 6 dibawah ini.
Tabel 6. Kriteria diagnosis untuk kolangitis akut21

Setelah tiga tahun dipublikasikan, pada tahun 2010 dilakukan sebuah


penelitian di Jepang untuk menilai akurasi dari Tokyo guidelines ini. Dari 74
pasien yang pada awalnya didiagnosis dengan kolangitis akut ternyata hasil
penelitian ini menunjukkan sensitivitas dari Tokyo guidelines ini adalah 72.1%

11
dan spesifisitasnya adalah 38.5%. Akurasi dari Tokyo guidelines secara statistik
berbeda bermakna  (p < 0.001) dibandingkan dengan hanya berdasarkan triad
Charcot saja. Sehingga hasil akhir dari penelitian ini adalah dianjurkan untuk
pemakaian secara luas Tokyo guidelines untuk mendiagnosis kolangitis akut. 22

2.3.4 Penilaian keparahan kolangitis akut23


Pasien dengan kolangitis akut bisa tampil dalam bentuk klinis apapun
mulai dari ringan, sembuh sendiri sampai kondisi parah yang dapat mengancam
jiwa. Pada umumnya pasien respon dengan terapi inisial berupa terapi suportif dan
pemberian antibiotik intravena. Tetapi beberapa kasus tidak respon dengan terapi
inisial, yang terlihat dari tidak adanya perbaikan klinis maupun laboratoris.
Bahkan pasien dapat jatuh pada keadaan sepsis, dan timbulnya gagal organ yang
membutuhkan manajemen yang intensif dan drainase empedu emergensi. 21, 23
Untuk menilai kriteria keparahan kolangitis akut diperlukan 2 penilaian
yaitu penilaian terhadap respon terapi inisial dan penilaian terhadap adanya
disfungsi organ. Pasien yang respon dengan dengan terapi inisial diklasifikasikan
sebagai kolangitis akut ringan (grade I). Pasien yang didiagnosa kolangitis akut
yang tidak mempunyai komplikasi disfungsi organ namun tidak respon dengan
terapi inisial diklasifikasikan menjadi kolangitis akut moderat (grade II).
Sedangkan jika sudah terjadi disfungsi organ maka diklasifikasikan menjadi
kolangitis akut berat (grade III). Untuk lebih jelasnya bisa kita lihat pada tabel
dibawah ini.
Tabel 7. Defenisi penilaian keparahan kolangitis akut.23

12
BAB III
PENATALAKSANAAN KOLANGITIS AKUT

Kolangitis akut jika tidak ditangani dengan tepat akan berakibat fatal.
Diagnosis dini kondisi yang mendasarinya sangat penting terutama pada pasien
usia lanjut. Antibiotik spektrum luas dan dekompresi saluran empedu adalah
prinsip dari penatalaksanaan kolangitis akut ini. Berdasarkan algoritma
penanganan kolangitis akut pada gambar dibawah tindakan yang pertama kita
lakukan adalah manajemen konservatif pada pasien yang meliputi :
 Pasien dipuasakan
 Dekompressi dengan NGT ("Naso Gastric Tube")
 Pemasangan infus dan dilakukan rehidrasi
 Dilakukan koreksi kelainan elektrolit21

13
Gambar 1. Algoritma manajemen pasien dengan kolangitis akut.10
Kira-kira 80% dari pasien akan membaik dengan manajemen konservatif dan
terapi antibiotik. Pada 20 % kasus terapi medikamentosa tidak berhasil
memperbaiki keadaan umum penderita, sehingga tindakan dekompresi emergensi
diperlukan. 10,21
3.1 Pemilihan antibiotik pada kolangitis akut.
Sampai saat ini masih terjadi perdebatan mengenai apakah antibiotik yang
paling efektif untuk kolangitis akut karena antibiotik ini harus memiliki
konsentrasi yang tinggi di empedu. Selain itu pada kolangitis akut terjadi
peninggian tekanan intrabiliar karena adanya obstruksi empedu, sehingga
diragukan apakah ada antibiotik yang efektif yang diekskresikan ke empedu. 24
Pemilihan antibiotik secara empiris didasarkan pada :
1. Patogen yang paling sering diduga menyebabkan kolangitis akut.
2. Aktivitas antibiotik pada saluran empedu.
3. Pola resistensi kuman berdasarkan hasil kultur. 25
Terapi antibiotik empiris harus mencakup terhadap bakteri gram-negatif
enterik aerobik (misalnya, E coli, Klebsiella spesies, Enterobacter spesies), bakteri
gram-positif (misalnya, Enterococcus dan spesies Streptococcus), dan anaerob
(misalnya, Bacteroides fragilis, Clostridium perfringens).
Oleh karena itu, terapi tradisional dengan ampisilin dan aminoglikosida
yang sekarang menjadi rejimen kurang ideal karena lemahnya kerja ampisilin
terhadap kedua bakteri gram negatif aerobik dan anaerobik, dan terdapatnya efek
nefrotoksisitas dari aminoglikosida.26
Banyak kombinasi yang lebih baru telah terbukti efektif baik sebagai agen
tunggal atau terapi kombinasi. Ureidopenislin seperti mezlocillin dan piperacillin
meliputi bakteri gram negatif dan secara efektif disekresikan ke empedu tidak
hanya pada subjek yang sehat tetapi juga pada keadaan kolangitis dan juga
kadarnya didalam empedu lebih tinggi dibandingkan golongan aminopenicillin.26

14
Sefalosporin dapat dikombinasikan dengan metronidazole, dan ampisilin.
rejimen tunggal dapat diberikan termasuk piperasilin dan tazobactam, mezlocillin,
imipenem, meropenem, tikarsilin dan klavulanat, atau ampisilin dan sulbaktam,
yang juga dapat dikombinasikan dengan metronidazol.
Pada pasien dengan komorbiditas sedikit dan kedaan klinis ringan, dapat
digunakan rejimen tunggal seperti cefoxitin (sefalosporin generasi kedua).
Namun, cakupan anaerobik cefoxitin adalah kurang. Generasi baru
fluoroquinolones (misalnya, moksifloksasin) juga memiliki aktivitas anaerobik
luas gram positif dan gram negatif cakupan dan lebih baik, tetapi mereka kurang
efektif terhadap spesies Pseudomonas.27Pada pasien dengan komorbiditas yang
multipel dan tampilan klinis berat, spektrum antimikroba luas dengan cakupan
pseudomonal dan enterococcal direkomendasikan. Setelah kultur darah
didapatkan hasilnya, regimen antibiotik dapat dipersempit berdasarkan hasil
kultur tersebut. Pada tabel dibawah kita bisa melihat pilihan antibiotika yang
dapat kita berikan pada pasien dengan kolangitis akut. 24,26
Tabel 8. Pemilihan antibiotik pada kolangitis akut.26

Derajat keparahan Golongan Antibiotik Contoh Antibiotik


kolangitis akut

Grade 1 Generasi 1 sefalosporin Cefazoline

Generasi 2 sefalosporin Cefmetazole, cefotiam,


oxacephem, flomoxef

Ampicillin/Sulbactam
Penisilin/β laktamase inhibitor

Grade 2 dan 3 Penisilin/β laktamase inhibitor Piperacillin/Tazobactam

Lini Pertama Generasi 3 dan 4 sefalosporin Cefoperazone, ceftriaxone,


ceftazidin, cefepime,
cefozopran

Aztreonam

Monobaktam

15
3 golongan di atas ditambah
metronidazol

Ciprofloksasin, levofloxacin,
Fluoroquinolon moxifloxacin,
Lini kedua
Meropenem, imipenem,
doripenem
Carbapenem

golongan di atas ditambah


metronidazol

Pada penelitian yang dilakukan oleh Negm A pada tahun 2010 tentang
pola resistensi kuman empedu yang didapatkan dari endoscopic retrograde
cholangiography (ERCP) dan percutaneous transhepatic cholangiography (PTC)
menunjukkan bahwa 69% kuman resisten terhadap cefuroxim, 51% pasien
resisten terhadap ampicillin/ sulbactam dan 47% resisten ampicillin/asam
clavulanat seperti yang dapat kita lihat pada gambar 2. 28

16
Gambar 2. Pola resistensi kuman yang berasal dari empedu.28
Dari penelitian ini juga didapatkan bakteri dengan tingkat resistensi yang
tinggi yang tetap berkembang dibawah pemberian antibiotik emperis yaitu
Pseudomonas aeruginosa, Enterococcus faecium dan Enterobacter cloacae.28
Antibiotik dapat diberikan selama 7-10 hari. Jika drainase saluran empedu
secara endoskopis adekuat. Antibiotik dapat dilanjutkan cukup 3 hari saja. Sebuah
penelitian prospektif oleh van Lent pada 89 pasien yang dilakukan ERCP karena
kolangitis akut terbukti bahwa tidak terdapat perbedaaan yang bermakna antara
kelompok yang diberikan antibiotik selama ≤3 hari, 4-5 hari dan > 5 hari.29

3.2 Drainase saluran empedu


Setelah terapi medikamentosa dan suportif lainnya berhasil memperbaiki
keadaan umum, maka tindakan bedah untuk dekompresi dapat dilakukan secara
elektif dan pada umumnya dilakukan dengan 3 teknik :
1. Drainase secara endoskopik
2. Drainase perkutan sistem bilier
3. Pembedahan terbuka8,18,19,21

3.2.1 Drainase secara endoskopik30


Drainase saluran empedu transpapilar untuk kolangitis akut berdasarkan
kanul selektif yang yang dimasukkan dalam saluran empedu dengan teknik ERCP.
Bagaimanapun prosedur drainase dibedakan berdasarkan adanya tambahan
aplikasi alat yaitu endoscopic sphincterotomy (EST) dan endoscopic nasobiliary
drainage (ENBD) atau pemasangan stent.
ERCP merupakan prosedur pemasukan kateter ke papilla menggunakan
scope duodenum untuk melihat saluran empedu. Untuk membuat rute drainase
berhasil jika ingin dilakukan pemasangan stent dengan ENBD maka penempatan
kateter sangat berperan. Jika kanulasi ke dalam saluran empedu mengalami
kesulitan maka dilakukan pemotongan sfingter dengan teknik EST. Namun jika

17
kanulasi gagal maka diperlukan teknik lain seperti percutaneous transhepatic
biliary drainage (PTBD)
1. Endoscopic sphincterotomy (EST)30
EST dapat dilakukan dengan dua teknik yaitu teknik standar dan teknik
yang lain yaitu teknik precutting. EST dengan teknik standar menggunakan
teknik inisisi bedah papilla duodenum dengan listrik frekuensi tinggi (kauter).
Untuk tujuan drainase, insisi papilla duodenum lebih kecil dibandingkan jika
bertujuan untuk mengeluarkan batu di duktus koledokus. Pankreatitis akut
merupakan kejadian yang paling sering terjadi karena tindakan EST dengan
teknik standar. Sedangkan teknik precutting dilakukan jika kanulasi ke saluran
empedu tidak berhasil dilakukan. Teknik ini menggunakan sphincterotome
yang akan memotong sedikit ujung papilla. Komplikasi yang paling sering
terjadi dengan teknik precutting ini adalah perdarahan dan pankreatitis akut.
Kedua teknik diatas dapat kita lihat pada gambar 3.
Teknik EST ini mempunyai keuntungan yaitu :
1. Bukan hanya drainase empedu saja dapat dilakukan tetapi pengeluaran
batu di duktus koledokus dapat dilakukan juga dalam sekali tindakan.
2. Dengan teknik precutting bisa memastikan rute drainase empedu jika
pemasangan kanulasi mengalami kesulitan.

Gambar3. Teknik EST.


2. Endoscopic nasobiliary drainage (ENBD)30.31
ENBD merupakan prosedur drainase eksternal dengan menggunakan
kateter berukuran 5-7 Fr dengan teknik guidewire setelah proses kanulasi pada

18
saluran empedu. ENBD digunakan untuk drainase komplit dari saluran
empedu. ENBD mempunyai keuntungan yaitu :
a. Tidak diperlukan EST jika dibutuhkan
b. Penyumbatan pada kateter dapat dicuci.
c. Kultur empedu dapat dilakukan.
Sedangkan kerugiannya adalah ketidaknyamanan pasien karena adanya
kanul pada hidung, kanul mengalami dislokasi karena tertarik oleh pasien dan
sering kanul terpuntir. Pada gambar dibawah kita bisa melihat teknik
pemasangan ENBD.

Gambar 4. Teknik pemasangan ENBD30


Lee dkk membuktikan bahwa prosedur ENBD efektif untuk pasien dengan
kolangitis akut dengan angka mortalitas yang rendah yaitu 2.5% dibandingkan
dengan 12% pada pasien dengan pemasangan Plastic stent placement.31

3. Plastic stent placement30


Plastic stent placement merupakan prosedur drainase internal
menggunakan stent plastik berukuran 7-10 Fr pada saluran empedu
menggunakan guidewire setelah dilakukan kanulasi pada saluran empedu.
Terdapat dua tipe jenis stent yaitu stent yang kaku dan stent dengan tipe pigtail
untuk mencegah dislokasi stent. Dibandingkan dengan ENBD

19
ketidaknyamanan pasien bisa dikurangi namun sangat riskan terjadi dislokasi
dan penyumbatan stent.

Gambar 5. Teknik pemasangan Plastic stent placement

3.2.2. Technique of percutaneous transhepatic cholangial drainage (PTCD)


PTCD pada prinsipnya dilakukan jika drainase secara endoskopis tidak
bisa dikerjakan. Karena PTCD mempunyai komplikasi yang serius yaitu
pendarahan intraperitoneal dan peritonitis bilier serta lamanya perawatan dirumah
sakit. Jika terdapat gangguan pembekuan darah merupakan kontraindikasi relatif
namun jika tidak terdapat metode lain untuk drainase empedu maka teknik ini
dapat digunakan. 30
Prosedur ini menggunakan ultrasonografi untuk memandu tempat tusukan.
Kemudian dilakukan penusukan dengan jarum 18-22 G melalui hati menuju
saluran empedu. Kemudian dipasang kateter berukuran 7-10 Fr dengan kontrol
fluoroskopi dengan menggunakan teknik Seldinger. Menurut Quality
Improvement Guidelines yang dikeluarkan oleh ahli radiologis Amerika angka
keberhasilan teknik ini adalah 95% jika terdapat dilatasi saluran empedu dan 70%
jika tidak terdapat dilatasi saluran empedu. 32

20
Gambar 6. Teknik PTCD30

3.2.3. Drainase dengan pembedahan.


Pasien dengan kolangitis akut sebaiknya ditatalaksana dengan prosedur
drainase endoskopis dan PTCD dan sangat sedikit dilakukan drainase dengan
pembedahan. Drainase dengan pembedahan diindikaasikan pada pasien yang tidak
bisa dilakukan prosedur drainase endokopis maupun PTCD, terdapatnya kelainan
anatomi dan struktural saluran empedu. Prosedur yang sering dilakukan adalah
pemasangan T-tube tanpa koledokolitotomi karena sebaiknya tindakan operasi
dipersingkat pada pasien dengan penyakit berat seperti kolangitis akut ini.30
Berdasarkan Tokyo guideline kolesistektomi secara laparoskopi elektif
direkomendasikan pada pasien yang telah dilakukan drainase baik secara
endoskopis maupun perkutan. Keuntungan dilakukan kolesistektomi secara
laparoskopi elektif dini adalah dapat mencegah terjadinya komplikasi kolangitis
berulang. Namun jika kolesistektomi secara laparoskopi elektif terlalu cepat
dilakukan akan menyulitkan proses operasi karena proses inflamasi masih
berjalan sehingga akan meningkatkan morbiditas.21

21
Li pada tahun 2010 meneliti 112 pasien yang telah dilakukan drainase
salauran empedu dan selanjutnya dilakukan kolesistektomi secara laparoskopi
elektif. Li menemukan bahwa waktu kolesistektomi secara laparoskopi elektif
sebelum 6 minggu mempunyai komplikasi intraoperatif dan postoperatif jauh
lebih rendah dibandingkan setelah 6 minggu dilakukan drainase saluran empedu,
seperti kita lihat pada tabel 9 berikut.33
Tabel 9. Perbandingan Komplikasi operasi dini dan operasi yang ditunda.33

BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
1. Kolangitis akut merupakan keadaan inflamasi dan infeksi akut dari saluran
empedu yang dapat diakibatkan oleh berbagai keadaan patologis yang
menyebabkan stasis aliran empedu.
2. Penyebab terserang kolangitis akut adalah batu kandung empedu atau batu
saluran empedu.
3. Diagnosis kolangitis akut berdasarkan kriteria Tokyo guidelines yaitu
adanya triad Charcot atau ditemukan tanda-tanda inflamasi akut dan

22
obstruksi saluran empedu yang didapatkan dari pemeriksaan laboratorium
dan pemeriksaan penunjang.
4. Penilaian keparahan kolangitis akut didasarkan pada respon terhadap
terapi inisial dan adanya disfungsi organ.
5. Penatalaksanaan kolangitis akut meliputi manajemen konservatif dan
pemberian antibiotika serta drainase saluran empedu. Drainase saluran
empedu terpilih yaitu drainase endoskopi diikuti percutaneous
transhepatic cholangial drainage (PTCD) dan drainase dengan
pembedahan

4.2 Saran
1. Pada pasien yang didiagnosis dengan kolangitis akut diperlukan
kewaspadaan yang tinggi bagi dokter yang merawatnya karena kondisi
klinis pasien dapat berubah menjadi berat sehingga memerlukan tindakan
drainase saluran empedu emergensi.
2. Dilengkapinya sarana dan prasarana untuk dapat dilakukannya drainase
empedu secara endoskopis di RS. M. Djamil.

DAFTAR PUSTAKA

1. Lesmana LA. Penyakit Batu Empedu, dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
jilid 1 edisi V, Interna Publishing, p. 725-726, 2009

2. Kimura Y, Takada T, Yoshifumi K et al. Definition, Pathophysiology, and


Epidemiology of Acute Cholangitis and Cholecystitis : Tokyo Guidelines. J
Hepatobiliary Pancreat Surg 2007; 14: 15-26

3. Reynolds BM, Dargan EL. Acute Obstructive Cholangitis. A distinct


syndrome. Ann Surg 1959; 150: 299–303

23
4. van Erpecum KJ. Gallstone disease. Complications of bile-duct stones: Acute
Cholangitis and Pancreatitis. Best Pract Res Clin Gastroenterol. 2006; 20(6) :
1139-52

5. Ozden I, Tekan Y, Bilge O, et al. Endoscopic and radiologic interventions as


the leading causes of severe cholangitis in a tertiary refeeral center. The
American Journal of Surgery 2005;189:702-6

6. Karnadihardja W, Lukman K. Penanganan Bedah Kholangitis dalam Update


on Cholangitis. PP IKABDI, 1999

7. Kuntz E, Kuntz H-D. Cholangitis in Hepatology Textbook and Atlas 3 rd


edition, Springer, p. 671-5, 2008

8. Chang S, Leung J. Acute Cholangitis in Disease of Gallbladder and Bile Ducts


: Diagnosis and Treatment 2nd edition, Blackwell publishing, p 265-72, 2006
9. Wada K, Takada T, Yoshifumi K et al. Diagnostic criteria and severity
assessment of acute cholangitis : Tokyo Guidelines. J Hepatobiliary Pancreat
Surg 2007; 14: 52-58
10. Attasaranya S, Fogel EL, Lehman GA. Choledocholithiasis, ascending
cholangitis and gallstone pancreatitis. Med Clin North Am. Jul 2008 ; 92 (4 ) :
925-60
11. Kendall JL, Shimp RJ. Performance and interpretation of focused right upper
quadrant ultrasound by emergency physicians. J Emerg Med 2001;21:7–13.

12. Yeh YH, Yang CC, Huang MH, et al. Urgent ultrasonography in the detection
of choledocolithiasis with or without acute cholangitis. Gastrointest Endosc
2000;62:457

13. Lee NK, Kim S, Lee JE, et al. Discrimination of suppurative cholangitis from
nonsuppurative cholangitis with computed tomography (CT). European
Journal of Radiology 2009;69:528-35
14. Kondo S, Isayama H, Akahane M et al. Detection of common bile duct stones:
comparison between endoscopic ultrasonography, magnetic resonance

24
cholangiography, and helical-computedtomographic cholangiography. Eur J
Radiol 2005;54:271–275.
15. Loperfido S, Angelini G, Benedetti G et al. Major early complications from
diagnostic and therapeutic ERCP: a prospective multicenter study.
Gastrointest Endosc 1998; 48: 1e10.
16. Topal B, Van de MM, Fieuws S et al. The value of magnetic resonance
cholangiopancreatography in predicting common bile-duct stones in patients
with gallstone disease. Br J Surg 2003; 90: 42e47.

17. Romagnuolo J, Bardou M, Rahme E, Joseph L, Reinhold C, Barkun


AN. Magnetic resonance cholangiopancreatography: a meta-analysis of test
performance in suspected biliary disease. Ann Intern Med. Oct
7 2003;139(7):547-57. 

18. Yusoff IF, Barkun JS, Barkun AN. Diagnosis and management of


cholecystitis and cholangitis. Gastroenterol Clin North
Am. Dec 2003;32(4):1145-68. 

19. Lee JG. Diagnosis and management of acute cholangitis. Nat Rev


Gastroenterol Hepatol. Sep 2009;6(9):533-41. 

20. Qureshi WA. Approach to the patient who has suspected acute bacterial
cholangitis. Gastroenterol Clin North Am. Jun 2006;35(2):409-23. 

21. Miura F, Takada T, Yoshifumi K et al. Flowchart for the diagnosis and
treatment of acute cholangitis and cholecystitis : Tokyo Guidelines. J
Hepatobiliary Pancreat Surg 2007; 14: 27-34

22. Yokoe M, Takada T, Mayumi T, et al. Accuracy of the Tokyo Guidelines for
the diagnosis of acute cholangitis and cholecystitis taking into consideration
the clinical practice pattern in Japan. Journal of Hepato Biliary-Pancreatic
Sciences 2010;17;52-9

25
23. Wada K, Takada T, Kawarada Y, et al. Diagnostic criteria and severity
assesment of acute cholangitis : Tokyo Guidelines. J Hepatobiliary Pancreat
Surg 2007; 14: 27-52-58

24. Keaveny AP. Infections of the bile ducts. In Afdahl NH (ed.). Gallbladder and
Biliary Tract Diseases. 1st edn. Basel: Marcel Dekker, Inc.; p 773-821. 2000

25. Westphal JF, Brogard JM. Biliary tract infections: a guide to drug treatment.
Drugs 1999; 57 :81–91.

26. Wada K, Takada T, Kawarada Y, et al. Antimicrobial therapy for acute


cholangitis : Tokyo Guidelines. J Hepatobiliary Pancreat Surg 2007; 14: 27-
59-67

27. Schwab D, Grauer M, Hahn EG et al. Biliary secretion of moxifloxacin in


obstructive cholangitis and the non-obstructed biliary tract. Aliment
Pharmacol Ther 2005;22: 417–422.

28. Negm AA, Schott A, Vonberg RP, et al. Routine Bile Collection for
Microbiological Analysis during Cholangiography and Its Impact on the
Management of Cholangitis. Gastrointestinal Endoscopy 2010;72:284-291

29. van Lent AU, Bartelsman JF, Tytgat GN et al. Duration of antibiotic therapy
for cholangitis after successful endoscopic drainage of the biliary tract.
Gastrointest Endosc 2002;55: 518–522.

30. Tsuyuguchi T, Takada T, Kawarada Y, et al. Techniques of biliary drainage


for acute cholangitis : Tokyo Guidelines. J Hepatobiliary Pancreat Surg 2007;
14: 335-45

31. Lee DWH, Chan ACW, Lam Yuk-hoy, et al. Biliary Decompression by
Nasobiliary Catheter or biliary stent in acute suppurative cholangitis: a
prospective randomized trial. Gastrointestinal Endoscopy 2002;3:361-5

26
32. Takada T, Yasuda H, Hanyu F. Technique and management of percutaneous
transhepatic cholangial drainage for treating an obstructive jaundice.
Hepatogastroenterology 1995;42:317–22

33. Li VKM, Yum JLK, Yeung YP. Optimal Timing of Elective Laparascopic
Cholecystectomy after Acute Cholangitis and Subsequent Clerance of
Choledocholithiasis. The American Journal of Surgery 2010;200:483-8

27

You might also like