You are on page 1of 10

Sekolah Dasar (SD) Tumbuh:

Bagaimana Anggota Komunitas Memaknainya sebagai Sekolah Inklusi?

F. Widya Kiswara
10703261014

A. Latar Belakang

Pertanyaan mendasar tentang pendidikan yang berkualitas dan kesetaraan pendidikan


sebagaimana yang dilontarkan Ornstein & Levine (1985: 185) merupakan pertanyaan filosifis
yang harus dijawab terutama berkaitan dengan pendidikan pendidikan multikultural. Apakah
pendidikan yang berkualitas bisa disatukan dengan kesetaraan pendidikan? Secara teoritis,
pendidikan multikultural (Bennett, 2003; Banks ,2005; Meyer at al, 2005) menjawab
pertanyaan-pertanyaan itu meskipun kita harus melihat lebih jeli tentang konsep dan
pemaknaan pendidikan multikultural. Maka dirasa perlu diadakan penelitian-penelitian
bagaimana masyarakat memaknai pendidikan multikultural, apakah pendekatan pendidikan
semacam ini menjawab tuntutan pendidikan berbasis mutu dan kesetaraan apa tidak.
Di Indonesia, pertanyaan mendasar tentang kualitas dan kesetaraan pendidikan juga
muncul. Tentang pendidikan mulkultural, ada yang berpendapat bahwa bangsa Indonesia
yang memiliki kekayaan budaya tidak memerlukan pendidikan multikultural, terutama karena
sejak dulu bangsa dengan latar belakang bermacam kultur ini bisa hidup secara
berdampingan. Pendidikan yang diartikan pendidikan berkeadilan yaitu agar semua ras,
gender, kelas sosial, kelompok beda bahasa dan kultur mempunyai kesempatan untuk
mendapatkan kesetaraan pedidikan (Banks, 2005; Meyer at al, 2005) cocok untuk bangsa
Amerika. Namun, dengan bertumbuhnya sekolah-sekolah inklusi di Indonesia pendapat
tersebut tidak seluruhnya benar. Bennett (2003:18) mengatakan bahwa masyarakat yang
mempunyai multi etnik, masyarakat yang ingin mengusahakan kualitas dan kesamaan
pendidikan memerlukan pendidikan multikultural. Meskipun bangsa Indonesia berkeadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, nampaknya mempunyai potensi permasalahan kultural
karena memang terdiri dari banyak etnis sehingga beberapa orang melihat perlunya diadakan
pendidikan inklusi yang berorientasi pada pendidikan multikultural.
SD Tumbuh yang terletak di Jln. A.M. Sangaji merupakan salah satu sekolah inklusi
di Yogyakarta. Sekolah ini berdiri sejak tahun 2005 dan sudah berjalan 5,5 tahun. SD
Tumbuh sekarang sudah memiliki kelas preparation sampai kelas 6. Meskipun tiap kelas
muridnya dibatasi maksimal 22 orang, jumlah muridnya semakin banyak sehingga sekarang

1 | Pendidikan Multikultural
pendidikannya dilaksanakan di dua tempat yaitu di jalan A.M. Sangaji dan satunya di
Museum Nasional. Fakta ini menunjukkan bahwa antusiasme masyarakat untuk
menyekolahkan anaknya di SD inklusi cukup besar. Lebih jauh kita bisa berasumsi bahwa
antusiasme orang tua untuk menyekolahkan anaknya di sekolah inklusi menunjukkan bahwa
sekolah inklusi atau sekolah multikultur memang diperlukan di Yogyakarta.
Selama 5,5 tahun, sekolah SD Tumbuh sudah membangun kultur yang
memungkinkan terlaksanakannya pendidikan inklusi. Sejak awal sekolah ini mengadakan
wawancara dengan orang tua untuk mengetahui apakah orang tua mempunyai kepercayaan
dan keprihatinan yang sama tentang pendidikan. Kalau orang tua tidak sepaham dengan
konstruksi pendidikan yang dibangun di sekolah ini, pihak sekolah akan menolak calon
siswa. Yang kedua, komposisi murid dalam hal agama, sosial ekonomi, dan ras sangat
diperhatikan dan dijaga. Kelas dua, misalnya, terdiri dari anak-anak yang memiliki 4 macam
agama berbeda yaitu Islam, Kristen, Katolik dan Hindu. Anak yang berkebutuhan khusus
diperbolehkan untuk bergabung. Di setiap kelas minimal ada satu anak yang berkebutuhan
khusus. Oleh karena itu, di setiap kelas ada guru khusus yang membantu mendampingi anak
yang berkebutuhan khusus. Selain itu, metode pengajarannya pun berbasis inquiry.
Penguasan pengetahuan kognitif bukan satu-satunya tujuan pengajaran di sekolah ini.
Dalam perjalanan waktu yang relatif masih pendek itu, para anggota komunitas,
terutama orang tua, guru dan Kepala Sekolahnya telah membangun sekolah sebagai
komunitas pembelajar (Boyyet & Boyyet, 1998: 91). Semua elemen secara idividual maupun
sebagai kelompok sudah berproses untuk belajar berbagi pengalaman dan pengetahuan untuk
menciptakan pemahaman bersama tentang sekolah inklusi. Secara reguler, orang tua diajak
untuk duduk bersama merefleksikan pelaksanaan proses pembelajaran. Pihak sekolah juga
mengadakan seminar-seminar bagi orang tua murid untuk memberikan konstruksi yang lebih
utuh dalam memaknai sekolah inklusi. Sebagai dampaknya, kontruksi tentang sekolah inklusi
ini pun terus berkembang dan semakin tergambar.
Makalah ini akan melihat secara detail pengalaman yang dihidupi (lived experience)
oleh anggota komunitas dalam membangun sekolah inklusi. Penelitian sederhana dilakukan
dengan metode penelitian fenomenologis. Data dikumpulkan melalui catatan-catatan
pengamatan dari peneliti yang merupakan salah satu orang tua murid kelas 2 dan indept
interview. Interview dilaksanakan dengan Kepala Sekolah dan 2 orang tua murid yaitu pak
Bino dan Pak Nug, kedua-duanya nama samaran. Pak Nug dan Pak Bino sangat konsern
dengan pendidikan dan keduanya memiliki 2 anak yang bersekolah di SD Tumbuh. Salah
satu anak pak Bino merupakan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) karena dalam layer

2 | Pendidikan Multikultural
tertentu ia autis. Tujuannya adalah memahami makna SD inklusi bagi anggota
komunitasinya, dan memahami permasalahan multikultural dalam pendidikan di Inonesia.

B. Sekolah Inklusi
Sekolah inklusi memang belum terpahami secara baik, baik dari segi substansinya
maupun dalam praktiknya. Banyak orang masih memahaminya secara dangkal dengan
mengatakan bahwa sekolah inklusi adalah sekolah yang menerima anak berkebutuhan
khusus. Meyer at al (2005: 362) mengatakan bahwa sekolah inklusi merupakan sekolah yang
mendasarkan pada asas pendidikan multikultural. Tujuannya untuk mengajarkan pada siswa
agar mereka bisa mengapresiasi dan menghargai kontribusi orang lain, bisa menyadari bahwa
mereka merupakan bagian dari masyarakat luas, bisa menghargai perbedaan cara pandang,
dan bisa menerima tugas perutusan dalam masyarakat dan lingkungan sosialnya. Banks
(2005: 13) menekankan pada perubahan pendekatan belajar mengajar. Bagi Banks tujuan
pendidikan inklusi adalah untuk merubah pendekatan belajar mengajar agar murid dengan
perbedaan gender, kultur, sosial, etnis, dan bahasa bisa mendapatkan kesetaraan pendidikan
dalam institusi yang ada. Menurut Bennett dan Banks sekolah inklusi ini dirancang untuk
menjadi sekolah yang heterogen, dan harapannya bisa menjawab semua kebutuhan individu
dalam hal pendidikan dalam konteks konteks sosial yang sama. Tidak ada persyaratan khusus
untuk bisa menjadi siswanya, dalam sejarah awalnya sekolah inklusi memang ditujukan agar
anak berkebutuhan khusus bisa masuk sekolah biasa.
Sebagai sekolah yang mendasarkan pada nilai-nilai multikultural, sekolah inklusi
harus mendasarkan diri pada nilai-nilai demokratis yang memperkokoh pluralisme kultural
dalam suatu masyarakat dengan kultur yang beraneka ragam dalam dunia yang saling
berkaitan (Bennet, 2003:14). Maka Bennett juga menekankan tiga aspek yang harus
diperhatikan, yaitu aspek konteks, aspek proses dan aspek isi. Sekolah inklusi sebagai
sekolah multultur hanya bisa dijalankan dalam masyarakat yang mempunyai kultur yang
berbeda-beda. Prosesnya harus menghargai perbedaan dan setiap siswa bisa berkembang
maksimal tanpa harus dibandingkan (excellent in their own ways). Sekolah harus
memfasilitasi lingkungan pembelajaran bersifat multikultur yang bisa menjawab kebutuhan
siswa dalam hal akademik, sosial dan bahasa. Isinya diharapkan mendorong setiap siswa
untuk bisa memiliki kompetensi multikultural.
Kompetensi multikultural merupakan gambaran kecakapan dalam menginternalisasi
nilai-nilai dasar multikuluralisme. Kompetensi ini mencakup 1) kemampuan untuk bisa
menerima dan mengapresiasi andanya perbedaan kultur, 2) kemampuan untuk menghormati

3 | Pendidikan Multikultural
manusia dan hak asisinya yang bersifat universal, 3) kemampuan untuk bertanggung jawab
atas komunitas dunia, dan 4) kemampuan untuk menghormati dunia itu sendiri.
Dalam menjalankan pendidikan inklusi, ada beberapa pihak yang diharapkan
berperan yaitu kepala sekolah, guru, orang tua dan keseluruhan komunitas. Salisbury dan
McGregor (2005:2) menekankan pentingnya kepala sekolah. Tanpa usaha mereka, sekolah
tidak akan bisa mewujudkan sekolah sebagai tempat yang memungkinkan pendidikan
multikultural. Guru juga mempunyai peran penting. Hernadez mengatakan bahwa guru
merupakan kunci untuk pendidikan yg excellent dan berkesetaraan (1989:5). Mereka harus
memahami dinamika belajar dan mengajar karena disitulah muncul framework multikultural.
Guru yang setiap hari bersentuhan langsung dengan siswa harus mempunyai kompetensi
multikultural dalam pengajaran. Untuk mendukung kepala sekolah dan guru, orang tua juga
berperan penting dalam dalam mewujudkan sekolah inklusi. Hernandez (2001:76)
mengatakan bahwa peran orang tua sangat penting. Mereka diharakan menjalin komunikasi
dengan pihak sekolah agar keberlanjutan penanaman nilai multikultural tidak hanya berhenti
dan sekolah tetapi juga terjadi di lingkungan rumah. Selain itu, orang tua juga diharapkan
menciptakan dan membangun komunitas sekolah sebagai sebuah learning community
(Boyyett& Boyett, 1998:91) dengan bersama-sama belajar dan mendukung pelaksanaan
pendidikan yang terjadi di sekolah.
Pendidikan multikultrural dan inklusi menekankan pada perubahan paradigma
pendidikan. Hernandez (2001:10) mengatakan bahwa sekolah sebagai sistem pendidikan
harus menyediakan pengajaran, program dan sekolah yang efektif bagi para muridnya. Untuk
itu perlu adanya kesadaran yang menyeluruh dari penerimaan, pengajaran dan evaluasi harus
disiapkan pendekatan yang multikultural. Pendidikan multikultural dan sekolah inklusi bukan
hanya merupakan metode pengajaran tetapi perubahan sistem pendidikan yang berbasis
multikultural. Siswa harus diposisikan sebagai subyek pendidikan, bukan obyek. Yang
mempunyai potensi untuk maju harus diberi kesempatan untuk maju. Test-nya pun harus
bukan yang high-stake test, karena ada kecenderungan banyak orang termarginalisasi.

C. Praktik Pendidikan di SD Tumbuh


Dalam pelaksanaannya, SD tumbuh mempunyai banyak perbedaan dibandingkan
dengan sekolah umum baik negri maupun swasta. Secara mendasar ada empat hal yang bisa
kita lihat yaitu lingkungan, komposisi siswa, metode pembelajaran, dan hubungan antar
anggota komunitas. Apa yang menjadi kepercayaan dasar dalam pendidikan dasar dituangkan

4 | Pendidikan Multikultural
dalam edaran pertama kali orang tua kelas satu bertemu. Kepercayaan dasar itu menyangkut
pendidikan anak dan bagaimana pendidikan anak seharusnya terjadi.
Lingkungan utamanya menyangkut lingkungan kelas yang merupakan tempat utama
dalam proses pembelajaran. Ruang kelas tidak didesign menyerupai sekolah lain, tetapi setiap
kelas merupakan ruang sebuah rumah sebagai kesatuan besarnya. Situasi ini menyebabkan
anak-anak merasa di rumah. Agar proses belajar mengajar menyenangkan setiap kelas diberi
AC. Penataannyapun tidak konvensional. Kursi dan meja tidak berpusat menghadap ke
kepan. Kursi dan meja bisa diatur menurut kebutuhan. Lingkungan yang ke dua adalah
lingkungan kantin. Tempat ini menarik karena merupakan tempat anak-anak menikmati
makan siang atau snack sekaligus tempat orang tua untuk bertemu secara informal dan lintas
angkatan. Banyak gagasan muncul dari percakapan informal di kantin dalam rangka
menyelesaikan masalah dan membangun komunitas SD Tumbuh. Sebagai contoh tahun lalu
muncul masalah bullying dari sharing orang tua di kantin, lalu diadakan dialog dengan
komunitas dan dicari pemecahan masalah dengan cara informal.
Komposisi siswa SD Tumbuh di setiap kelasnya berbeda dengan komposisi siswa di
sekolah lain. Satu kelas terdiri dari 22 siswa. Ibu Elga mengatakan bahwa pada enam tahun
pertama diadakan tindakan afirmatif guna mempertahankan kemajemukan siswa di kelas,
terutama dari sisi ras, etnis, agama dan ekonomi. Karena yang beragama Hindu dan Budha
jarang, mereka diberi prioritas. Pihak sekolah mengatakan bahwa kesulitan yang terbesar
adalah mempertahankan keragaman keadaan sosial ekonomi. Ada calon orang tua yang tidak
mau membayar lebih guna mensubsidi siswa yang kurang mampu. Ada beberapa orang tua
yang kurang mampu merasa minder karena banyak siswa diantar dan dijembut naik mobil.
Tahun yang lalu, Ibu Elga meminta tolong komite untuk mencarikan siswa yang memerlukan
beasiswa. Pak Nug, orang tua siwa, mengatakan bahwa sekolah sudah mencoba menanamkan
bagaimana menghargai perbedaan tepi masih belum begitu tajam. Sekat-sekat perbedaan
masih dirasakannya.
Hal yang ketiga adalah metode pengajaran yang dipakai. Menurut ibu Elga,
pendekatan yang dipakai adalah active learning. Metode ini mensyaratkan kesempatan yang
cukup bagi siswa untuk kengkonstruksi pengetahuan yang baru. Guru hanya sebagai
fasilitator dan penyedia kegiatan. Anak-anak kadang harus membuat observasi dan penelitian
langsung di sekitar sekolah. Mereka juga diminta menanam kacang tanah ketika mereka
harus belajar tentang tumbuhan. Prinsipnya, anak akan diberi kesempatan untuk memecahkan
persoalan mereka sendiri, baik yang berhubungan dengan mata pelajaran maupun yang
berhubungan dengan kehidupan sehari-hari mereka. Ketika anak berselisih dan salah satunya

5 | Pendidikan Multikultural
menangis guru hanya memanggil yang bersangkutan untuk menyelesaikan masalahnya. Dan
metode itu berhasil. Tidak seorangpun merasa dianaktirikan, karena mereka diperlakukan
sama.
Ibu Yaning, salah seorang guru menerangkan metode yang digunakan di kelas.
Karena situasi dan latar belakang siswa yang berbeda (individual differences), guru sangat
memperhatikan perbedaan itu. Siswa tidak dijadikan obyek dengan memberikan materi sama
dengan cara sama, terserah siswa menerimanya. Gaya belajar dan kemampuan siswa sangat
diperhatikan. Guru bisa memberi tugas yang berbeda sesuai dengan kemampuan siswa. Pak
Bino mengatakan bahwa ke dua anaknya yang mempunyai kemampuan berbeda dituntut
sesuatu yang berbeda. Anaknya yang kedua diberi tuntuan lebih karena potensi kognitifnya
memang bisa dimaksimalkan. Pak Bino sangat setuju dengan sistem sejauh tidak terjadi
overload bagi anak yang tuntuannya ditambah. Demikian juga dengan test yang diberikan ke
siswa biasanya dibagi menjadi 3 macam golongan agar anak bisa mengerjakan tugasnya
secara maksimal tanpa harus dibandingkan dengan yang lainnya. Anak yang berkebutuhan
khusus akan dibantu agar merekapun bisa berkembang secara maksimal. “Kalau inputnya
beragam, ngga bisa dong keluar dari satu pintu dan satu tolok ukur,” kata ibu Elga.
Raport juga menjadi hal yang berbeda dengan raport di sekolah lain. Raport di SD
Tumbuh lebih mengedepankan deskripsi naratif terhadap pengalaman belajar dan kemajuan
anak. Dengan demikian laporan perkembangan siswa sangat bersifat individual. Selain itu di
SD Tumbuh tidak dikenal sistem ‘ranking’ yang cenderung membandingkan. Pak Bino, salah
seorang orang tua murid, mengatakan bahwa sistem pelaporan perkembangan siswa yang
seperti itu sangat membantu orang tua. Orang tua dengan mudah mendapatkan pemahaman
atas perkembangan anak dan bisa mengkonsultasikan dengan guru kelas untuk membuat
kolaborasi dengan guru dalam mengembangkan anaknya.
Komunikasi antar anggota komunitas SD Tumbuh berjalan dengan cukup bagus. Ibu
Elga mengatakan bahwa sekolah ini memang mengembangkan kultur komunikasi yang enak,
setara dan tidak banyak birokrasi. Dalam praktiknya, sekolah membentuk paguyuban orang
tua murid per kelas dan satu sekolah. Kegiatannya berupa pertemuan rutin untuk
membicarakan kebijaksanaan dan memecahkan permasalahan komunitas. Isu komunitas
diangkat dan dibicarakan bersama. Pernah orang tua mengelola pengumpulan bantuan
bencana Gunung Berapi dan pengumpulan buku dan baju pantas pakai seragam untuk
perpustakaan dan untuk digunakan bersama. Seminar-seminar juga dilaksanakan minimal
satu tahun sekali, baik seminar tentang sekolah inklusi, seminar pendampingan anak maupun
seminar kesehatan. Tahun lalu, diadakan seminar sederhana mempersiapkan anak

6 | Pendidikan Multikultural
menghadapi UN, karena beberapa orang tua siswa kelas 5 gundah dengan bentuk test akhir
yang akan dilewati anaknya. Sebagian masih berpikir layaknya orang tua murid di sekolah
negri, di mana pencapaian kognitif menjadi yang utama. Kegelisahan-kegelisahan ini muncul
juga dalam dialog informal di kantin. Setelah seminar ini, sedikit-sedikit pemahaman orang
tua berkembang. Sekarang tidak kecemaasan akan UN tidak terdengar di kantin.
Orang tua juga merasakan kultur keterbukaan dalam berkomunikasi. Selain mereka
bisa memanfaatkan buku komunikasi siswa, mereka bisa secara bebas mengemukakan
pemikiran dan perasaan mereka dalam mendampingi anaknya. Orang tua juga mempunyai
media komunikasi melalui Facebook dengan akun Paguyuban Orangtua SD Tumbuh. Media
ini digunakan sebagai media tukar menukar informasi, sarana pembelajaran orang tua dan
sarana membentuk learning community. Meskipun demikian, Pak Bino masih merasa bahwa
orang tua belum bisa memanfaatkan secara maksimal situasi keterbukaan ini. Beberapa
orang tua belum aktif terlibat, mereka lebih cenderung sebagai observer dan pendengar.
Beberapa hal yang masih dirasakan menjadi kendala adalah persepsi orang yang
masih mengatakan sekolah inklusi adalah sekolah untuk anak berkebutuhan khusus. Selain
itu, beberapa orang tua, termasuk orang tua siswa SD Tumbuh yang berpendapat bahwa
disiplin yang diperlukan anak adalah disiplin yang kaku. Padahal yang ditekankan di SD
Tumbuh adalah kedisiplinan berdasarkan rasa tanggung jawab. Peneguhan sikapnya bisa
dengan dialog bukan dengan hukuman. Inilah beberapa kendala kecil, namun dengan
tersebarnya informasi yang benar tentang SD ini, semakin banyak orang yang memahami
makna sekolah inklusi ini. Sekedar informasi, tahun kemarin ada migrasi yang cukup besar
dari SD inklusi lain ke SD Tumbuh.

D. Pemaknaan Sekolah Inklusi oleh Komunitas SD Tumbuh


Secara umum sekolah ini memang dibangun menggunakan dasar sekolah inklusi yang
dikembangkan Mayer at all (2005:150) atau berbasis sekolah multikulturalisme yang
dikembangkan Banks (2005:4) ataupun Bennets (2003:) misalnya dengan
mempertimbangkan pengintegrasian materi pengajaran, proses konstruksi ilmu, pengurangan
syak wasangka, pendidikan berkeadilan dan pemberdayaan kultur sekolah. Namun demikian,
komunitas ini cukup unik dalam memaknai pendidikan multikulutural.
Untuk bisa bergabung dengan institusi pendidikan SD Tumbuh seorang anak harus
mengikuti 2 hari observasi. Observasi lebih ditujukan untuk mengukur kemampuan anak
untuk beradaptasi dan kemampuan anak untuk bersosialisasi. Observasi bukan ditujukan
untuk mencari anak dengan kemampuan akademik yang sejajar. Ford (2005) mengatakan

7 | Pendidikan Multikultural
bahwa dalam rekruitmen murid perlu dilihat bahwa etnis dan suku minoritas jangan sampai
tidak terwakilkan. SD Tumbuh menerapkan pola penerimaan yang mendukung multikultur.
Minoritas Hindu dan Budha diberi prioritas, dan perbedaan ras serta sosial ekonomi juga
dipikirkan. Bahkan pernah kepala sekolah meminta orang tua untuk mencarikan siswa yang
diberi beasiswa.
Orang tua calon siswa juga akan diundang untuk mengadakan wawancara dengan
tujuan untuk mencari titik temu antara konsep pendidikan yang dimiliki sekolah dan orang
tua. Ketika orang tua dan sekolah mempunyai kepercayaan dasar yang sama diharapkan
kerjasama orang tua dan sekolah akan menjadi maksimal. Hernandez (1989: 75) melihat
pentingnya peran orang tua dan guru dalam pendidikan multikultural. Untuk itulah, SD
Tumbuh memandang penting adanya pemahaman yang sama tentang metode pendidikan
seperti ini akan terjadi komunitas yang padu dalam mendukung penyelenggaraan pendidikan
multikultural.
Komunitas SD Tumbuh merasakan adanya perbedaan-perbedaan kultur dan
memandang layak diadakan sekolah inklusi. Perbedaan yang mereka rasakan adalah
perbedaan etnis, agama, tingkat sosial ekonomi dan kondisi fisik anak. Mereka menyadari
bahwa perbedaan-perbedaan itulah yang harus diaddress di sekolah ini. Hal ini sesuai dengan
teori Bennett (2003: 14) dan Meyer (2005) yang mengatakan bahwa pendidikan multikultur
bisa dijalankan dalam komuitas yang mempunyai beberapa kultur. Dalam perjalanannya,
pihak sekolah kadang-kadang kesulitan untuk mencari murid dengan latar belakang sosial
ekonomi. Salah satu orang tua murid bahkan mengatakan bahwa yang mendaftar di SD ini
kebanyakan siswa dari lingkungan berada. Ada kemungkinan banyaknya mobil pribadi yang
mengatar jemput siswa menyebabkan keluarga dengan keadaan sosial ekonomi menengah ke
bawah tidak berani mendaftar. Dengan sistem penerimaan siswa yang diadakan di SD
Tumbuh menjawab kritik pendidikan Morrin (2005:3) yang mengatakan bahwa pendidikan
harus dapat menggambarkan prinsip kesatuan dan keragaman.
Metode yang dirasa pas oleh komunitas SD Tumbuh adalah metode active learning di
mana anak harus secara aktif mengkonstruksi pengetahuan baru untuk mereka sendiri.
Mereka melakukan praktik penanaman tumbuhan, mengadakan wawancara dan survey.
Siswa dituntut untuk bisa memecahkan permasalahan yang mereka hadapi, utamanya ketika
mempuyai masalah dengan temannya. Pendekatan ini mungkin agak sedikit berbeda dari
yang disarankan oleh Faulkner (2001) ketika berbicara tentang pendidikan inklusi. Ia
menyarankan pendekatan yang didasarkan pada masalah yang ditemukan. SD Tumbuh tidak
sepenuhnya menekankan adanya pendekatan pendidikan yang berdasar pada masalah yang

8 | Pendidikan Multikultural
muncul, namun demikian setiap anak harus secara aktif mengkonstruksi pengetahuan
termasuk diantarannya dengan menyelesaikan masalah yang muncul diantara mereka,
misalnya dalam khasus ada anak yang menangis.
SD Tumbuh menghormati individual differences dalam pendidikannya. Dalam proses
belajar mengajar perbedaan interes, kemampuan dan gaya belajar sangat dihargai. Dalam
rangka menjunjung tinggi prinsip itu, guru bisa memberikan tugas-tugas yang berbeda untuk
setiap muridnya menurut kemampuannya. Perlakuan yang sama juga terjadi di saat test. Guru
bisa mengambil peran untuk mengintervensi cara siswa mengerjakan test. Bisa jadi guru akan
membacakan soal untuk anak yang berkebutuhan khusus. Praktek semacam ini akan
menjadikan siswa bisa saling memahami kontribusi sesama (Meyer, 2005).
Anggota komunitas SD Tumbuh memaknai sekolah inklusi sebagai sekolah yang
menghormati perbedaan sosial ekonomi, ras, agama dan fisik. Untuk menghormati perbedaan
SD Tumbuh menerapkan metode pendidikan active learning, dimana guru diminta agar siswa
mempunyai banyak kesempatan untuk melakukan dan mengalami sesuatu. Oleh sebab itu tata
kelola kelasnya berbeda dengan sekolah lain, misalnya tempat duduk yang bisa diubah-ubah.
Selain itu beban belajar dan test disesuaikan dengan kemampuan anak. Tujuannya adalah
anak mendapatkan pendidikan yang baik dan agar mereka nyaman hidup dalam perbedaan.

D. Penutup
Sebagai salah satu perintis sekolah inklusi, SD Tumbuh memaknai sekolah inklusi
dalam konteks mereka. Dalam konteks Yogyakarta, warga komunitas melihat beberapa
perbedaan yaitu perbedaan sosial ekonomi, etnik, agama dan keadan fisik. Perbedaan itu
disikapi dengan penghormatan terhadap perbedaan individu baik dalam pembeayaan
pendidikan, pembelajaran maupun dalam pelaksanaan test dan assessment. Ternyata animo
masyarakat terhadap sistem pendidikan inklusi yang meningkat dengan bertambahnya jumlah
siswa. Meskipun demikian, belum semua orang berani untuk mendaftarkan anaknya di SD
Tumbuh karena kesannya pendidikan itu hanya untuk kaum menengah ke atas walaupun
sebenarnya ada porsi untuk mereka yg perlu diberi beasiswa. Kalau pendidikan yang seperti
itu terus berkembang maka keadilan dan kualitas pendidikan akan bisa dicapai.

References
Banks, James A.. 2005. Multicultural Education: Characteristic and Goals in Multicultural
Education Issues and perspective (Banks & Banks).Hoboken: John Wiley & Son Inc.

9 | Pendidikan Multikultural
Bennett, Christine L..2003. Comprehensive Multicultural Education: Theory and Practice.
Boston: Pearson Education
Boyett, Joseph H & Jimmie T Boyett. 1989. The Guru Guide: The Best Ideas of the Top
Management Thinkers. NY: John Wiley & Sons, Inc.
Grant, Carl A. & Christine E. Sleeter. 2005. Race, Class, Gender, and Disability in the
Classroom in Multicultural Education: Characteristic and Goals in Multicultural
Education Issues and perspective (Banks & Banks).Hoboken: John Wiley & Son Inc.
Hernandez, Hilda. 1989. Multi Cultural Education: A Teacher’s Guide to Lingking Context,
Process, and Content.Upper Saddle River: Merill Prantice Hall
Meyer, Luanna H.; Jill beavan brown; Beth Hary; Mara Sapoon .2005. School Inclusion and
Multicultural Issues in special education. in Multicultural Education: Characteristic and
Goals in Multicultural Education Issues and perspective (Banks & Banks).Hoboken:
John Wiley & Son Inc.
Morrin, Edgar. 1999. Seven Complex Lessons in Education for the Future. Paris: UNESCO
Publishing
Ornstein, Allan C. & Levine, Daniel U. 1985. An Introduction to the Foundation of
Education. Boston: Houghton Miffin Company
Salisbury, Christine & Gail McGregor. 2005. Principals of Inclusive Schools. Tempe:
National Institute for Urban Develpment

10 | Pendidikan Multikultural

You might also like