You are on page 1of 24

MODUL I

BANYAK KENCING
SKENARIO

Seorang pria umur 50 tahun, datang ke dokter dengan keluhan sering kencing
yang dialami sejak 2 bulan terakhir. Penderita sering terbangun 4-5 kali semalam
untuk buang air kecil. Penderita juga mengeluh selalu haus dan tenggorakan terasa
kering. Sekitar 3 bulan yang lalu penderita mengalami kecelakaan lalu lintas dan
sempat tidak sadar selama 5 hari.

KATA KUNCI

• Pria, umur 50 tahun

• Sering kencing/poliuria 2 bulan terakhir

• Nokturia

• Selalu haus/polydipsi

• Tenggorokan kering

• Kecelakaan lalu lintas

• Tidak sadarkan diri selama 5 hari.

PERTANYAAN

 Bagaimana etiologi dari poliuri?

 Bagaimana mekanisme poliuri dan mekanisme haus pada skenario?

 Bagaimana hubungan riwayat trauma dengan penyakit sekarang?

 Bagaimana hubungan jenis kelamin dan umur?

 Bagaimana pemeriksaan penunjang pada skenario?

 Bagaimana penatalaksanaan pada skenario?

 Bagaimana prognosis dan komplikasinya?

PEMBAHASAN

 Poliuria
Poliuria adalah keadaan di mana volume air kemih dalam 24 jam
meningkat melebihi batas normal disebabkan gangguan fungsi ginjal
dalam mengkonsentrasi air kemih. Definisi lain adalah volume air kemih
lebih dari 3 liter/hari, biasanya menunjukkan gejala klinik bila jumlah air
kemih antara 4-6 liter/hari. Poliuria biasanya disertai dengan gejala lain
akibat kegagalan ginjal dalam memekatkan air kemih antara lain rasa haus,
dehidrasi, dll.

Menurut Brenner poliuria dibagi 2 macam :

1. Poliuria non fisiologis : pada orang dewasa dengan konsumsi diet


Eropa, poliuria didapatkan bila air kemih lebih dari 3 liter/hari.
2. Poliuria berbasis fisiologi : volume air kemih dibandingkan dengan
volume air kemih yang diharapkan karena rangsangan yang sama,
dikatakan poliuri bila volume air kemih lebih besar dari volume yang
diharapkan.
Patofisiologi

Poliuria merupakan hasil dari satu dari empat mekanisme ini :

(a) peningkatan cairan yang masuk,

(b) peningkatan GFR (glomerular filtration rate),

(c) peningkatan bahan seperti sodium chlorida dan glukosa yang keluar,
dan

(d) ketidakmampuan ginjal untuk mereabsorpsi air di tubulus distal.

Etiologi

1. cuaca dingin
2. intake cairan berlebih
3. gangguan sekresai ADH oleh berbagai sebab (trauma kepala,
tumor hipofisis)
4. psikogenik
5. gangguan sistem urinarius
Penyebab poliuria yang sering adalah diabetes mellitus, diabetes insipidus
sentral (diabetes insipidus neurogenik, diabetes insipidus kranial atau
hipotalamik), diabetes insipidus nefrogenik (diabetes insipidus renal,
diabetes insipidus resisten ADH), polidipsi primer atau diabetes insipidus
dipsogenik. Diantara berabagai penyebab di atas yang, penyebab yang
paling utama adalah diabetes mellitus dan diabetes insipidus.
Selain itu dalam beberapa keadaan fisiologik dapat meningkatkan
pengeluaran urin misalnya : stress, latihan, dan cuaca panas dengan minum
yang berlebihan.

 Polydipsi

Etiologi umum: kekurangan cairan tubuh secara bermakna

Patomekanisme :

Terjadinya polidipsi berhubungan erat dengan adanya poliuri yang


ditemukan pada kasus. Poliuri (pengeluaran cairan tubuh secara berlebih)
mengakibatkan terjadinya perangsangan pusat haus di hipotalamus yang
kemudian menuntun kita mengkonsumsi air sebanyak-banyaknya untuk
menghindari deplesi air yang berlebih dan membahayakan hidup
seseorang. Pembahasan ini lebih lanjut akan dibahas selanjutnya.

Haus dan mekanismenya

Jika terjadi peningkatan osmolalitas plasma → terjadi perangsangan pusat


haus.

Karena ambang rangsang haus lebih tinggi dari ambang rangsang AVP,
kondisi ini disebut mekanisme perlindungan dari deplesi yang berlebihan.

Haus sebagai reaksi fisiologis

SISTEM UMPAN BALIK OSMORESEPTOR-ADH

Bila osmolaritas (konsentari natrium plasma) meningkat diatas normal


akibat kekurangan air , maka sistem umpan balik ini akan bekerja sebagai
berikut :

1. peningkatan osmolaritas cairan ekstrasel (yang secara praktis


berarti peningkatan konsentrasi natrium plasma) menyebabkan sel saraf
khusus yang disebut sel osmoreseptor, yang terletak di hipotalamus
anterior dekat nukleus supraoptik, mengkerut.
2. pengerutan sel osmoreseptor menyebabkan sel tersebut terangsang,
yang akan mengirimkan sinyal saraf ke sel saraf tambahan di nukleus
supraoptik, yang kemudian meneruskan sinyal ini menelusuri
infundibulum hipofisis ke hipofisis posterior.
3. potensial aksi yang disalurkan ke hipofisis posterior akan
merangsang pelepasan ADH, yang disimpan dalam granula sekretorik
(atau vesikel) di ujung saraf.
4. ADH memasuki aliran darah dan ditranspor ke ginjal, tempat ADH
meningkatkan permeabilitas air di bagian akhir tubulus distal dan
tubulus koligentes.

Kekurangan air

Penurunan H2O yang


dieksresi
Peningkatan
Osmolaritas ekstrasel
Peningkatan Reabsorbsi
H2O

Peningkatan Sekresi ADH

Peningkatan Permeabilitas
tubulus distal, duktus
Peningkatan ADH plasma koligentes terhadap air

5. peningkatan permeabilitas air di segmen nefron distal


menyebabkan peningkatan reabsorsi air dan ekskresi sejumlah urin
yang pekat.

PERANAN RASA HAUS DALAM MENGATUR OSMOLARITAS


CAIRAN EKSTRASEL DAN KONSENTRASI NATRIUM

Ginjal meminimalkan kehilangan cairan selama terjadi kekurangan air,


melalui sistem umpan balik osmoreseptor ADH. Akan tetapi, asupan
cairan yang adekuat diperlukan untuk mengimbangi kehilangan cairan
yang terjadi melalui keringat dan nafas serta melalui pencernaan. Asupan
cairan diatur oleh mekanisme rasa haus, yang bersama dengan mekanisme
osmoreseptor ADH, mempertahankan kontrol osmolaritas cairan ekstrasel
dan konsentrasi natrium secara tepat. Banyak faktor yang sama yang
merangsang sekresi ADH juga akan meningkatkan rasa haus, yang akan
didefinisikan sebagai keinginan sadar terhadap air.

Pusat rasa haus di sistem saraf pusat

Terdapat suatu daerah kecil yang terletak anterolateral dari nucleus


peroptik, yang bila distimulasi secara listrik, menyebabkan kegiatan
minum dengan segera dan berlanjut selama rangsangan berlangsung.
Semua daerah ini bersama-sama disebut pusat rasa haus. Neuron-neuron
dipusat rasa haus memberi respons terhadap penyuntikan larutan garam
hipertonik dengan cara merangsang perilaku minum. Sel-sel ini hampir
berfungsi sebagai osmoreseptor untuk mengaktivasi mekanisme rasa haus,
dengan cara yang sama saat osmoreseptor merangsang pelepasan ADH.

Peningkatan osmolaritas cairan serebrospinal di ventrikel ketiga memberi


pengaruh yang pada dasarnya sama, yaitu menimbulkan keinginan untuk
minum. Organum vasculosum lamina terminalis yang terletak tepat
dibawah permukaan ventrikel pada ujung inferior daerah AV3V, agaknya
ikut diperantarai respons tersebut.

Stimulus terhadap rasa haus

Salah satu yang terpenting adalah peningkatan osmolaritas cairan


ekstrasel, yang menyebabkan dehidrasi intrasel di pusat rasa haus, yang
akan merangsang sensasi rasa haus. Kegunaan respons ini sangat jelas;
membantu mengencerkan cairan ekstrasel dan mengembalikan osmolaritas
ke dalam normal. Penurunan volume cairan ekstrasel dari tekanan arteri
juga merangsang rasa haus melalui suatu jalur yang tidak bergantung pada
jalur yang distimulasi oleh peningkatan osmolaritas plasma. Jadi,
kehilangan volume darah melalui pendarahan akan merangsang rasa haus
walaupun mungkin tidak terjadi perubahan osmolaritas plasma. Hal ini
mungkin terjadi akibat input netral dari baroreseptor kardiopulmonal dan
baroreseptor .

Stimulus rasa haus yang ketiga yang penting adalah angiotensin II.
Penelitian terhadap binatang telah menunjukkan bahwa angiotensin II
bekerja pada organ subfornikal dan pada organus vaskulosum lamina
terminalis. Karena angiotensin II juga distimulasi oleh faktor-faktor yang
berhubungan dengan hipovolemia dan tekanan darah rendah, pengaruhnya
pada rasa haus membantu memulihkan volume darah dan tekanan darah
kembali normal, bersama dengan kerja lain dari angiotensin II pada ginjal
untuk menurunkan eksresi cairan.

Kekeringan pada mulut dan membran mukosa esofagus dapat


mendatangkan sensasi rasa haus. Akibatnya seseorang yang kehausan
dapat segera melepaskan rasa hausnya setelah ia minum air walaupun air
tersebut belum diabsorbsi dari saluran pencernaan dan belum memberi
efek terhadap osmolaritas cairan ekstrasel.
Stimulus gastrointerstinal dan faring mempengaruhi timbulnya rasa haus.
Contohnya pada binatang yang memiliki pintu oesophagus ke arah
eksterior, sehingga air tidak pernah diabsrobsi ke dalam darah, kelegaan
yang terjadi setelah minum hanya bersifat sebagian, walaupun kelegaan itu
bersifat sementara. Akan tetapi penurunan sensasi haus melalui
mekanisme gastrointestinal atau faringeal hanya bertahan singkat,
keinginan untuk minum hanya dapat dipuaskan sepenuhnya bila
osmolaritas plasma dan/atau volume darah kembali normal.

 Hubungan kecelakaan dengan kondisi pasien sekarang

Adanya riwayat kecelakaan serta tidak sadarnya pasien selama 5 hari yang
ditampilkan dalam kasus menjelaskan pada kita bahwa saat kecelakaan
pasien mengalami trauma pada kepala dan mengakibatkan terjadinya
penurunan kesadaran karena terganggunya pusat kesadaran di hipotalamus.
Kondisi ini kemudian berdampak pada perjalanan penyakit pasien
selanjutnya yang kemungkinan berkaitan dengan diagnosis yang akan
ditegakkan.

 Differential diagnosis

DIABETES DM TYPE 1 DM TYPE 2


INSIPIDUS

Etiologi SENTRAL : Kerusakan sel Sekresi insulin yang


disebabkan oleh beta pankreas normal atau bahkan
kegagalan pelepasan atau penyakit- meningkat, tetapi
hormone antidiuretik penyakit yang terjadi penurunan
ADH yang merupakan mengganggu kepekaan sel sasaran
kegagalan sintesis atau produksi insulin . terhadap insulin.
penyimpanan. Hal ini
bisa disebabkan oleh
kerusakan nucleus
supraoptik,
paraventrikular, dan
filiformis hipotalamus
yang mensintesis ADH.

Poliuri + + +

Polidipsi + + +
Nokturia + + +

Riwayat + - -
Trauma

Dari hasil di atas kami menyimpulkan bahwa diagnosis sementara pada


skenario, pasien kemungkinan menderita Diabetes Insipidus Sentral.
Namun, kami juga akan membahas tentang Diabetes Mellitus.

 PENJELASAN PENYAKIT

DIABETES INSIPIDUS

Diabetes insipidus adalah pengeluaran cairan dari tubuh dalam jumlah


yang banyak yang disebabkan oleh dua hal:

1. Gagalnya pengeluaran vasopressin/ADH

2. Gagalnya ginjal terhadap rangsangan AVP

Diabetes insipidus adalah suatu penyakit yang jarang ditemukan, penyakit


ini diakibatkan oleh berbagai penyebab yang dapat menganggu mekanisme
neurohypophyseal – renal reflex sehingga mengakibatkan kegagalan tubuh
dalam mengkoversi air.

GEJALA KLINIS

Keluhan dan gejala utama diabetes insipidus adalah poliuria dan


polidipsia. Jumlah cairan yang diminum maupun produksi urin per 24 jam
sangat banyak, dapat mencapai 5–10 liter sehari. Berat jenis urin biasanya
sangat rendah, berkisar antara 1001–1005 atau 50–200 mOsmol/kg berat
badan. Selain poliuria dan polidipsia, biasanya tidak terdapat gejala–gejala
lain kecuali jika ada penyakit lain yang menyebabkan timbulnya gangguan
pada mekanisme neurohypophyseal-renal reflex.

PATOGENESIS

Secara patogenesis diabetes insipidus di bagi atas dua, yaitu diabetes


insipidus sentralis dan diabetes insipidus nefrogenik.

Diabetes Insipidus Sentralis (DIS)

DIS disebabkan oleh berapa hal diantaranya adalah:


1. pengangkutan ADH/AVP yang tidak bekerja dengan baik akibat
rusaknya akson pada traktus supraoptikohipofisealis

2. sintesis ADH terganggu

3. kerusakan pada nucleus supraoptik paraventricular

4. Gagalnya pengeluaran Vasopresin

PATOFISIOLOGI

Vasopresin arginin merupakan suatu hormon antidiuretik yang dibuat di


nucleus supraoptik, paraventrikular, dan filiformis hipotalamus, bersama
dengan pengikatnya yaitu neurofisin II. Vasopresin kemudian diangkut
dari badan-badan sel neuron tempat pembuatannya, melalui akson menuju
ke ujung-ujung saraf yang berada di kelenjar hipofisis posterior, yang
merupakan tempat penyimpanannya. Secara fisiologis, vasopressin dan
neurofisin yang tidak aktif akan disekresikan bila ada rangsang tertentu.
Sekresi vasopresin diatur oleh rangsang yang meningkat pada reseptor
volume dan osmotic. Suatu peningkatan osmolalitas cairan ekstraseluler
atau penurunan volume intravaskuler akan merangsang sekresi vasopresin.
Vasopressin kemudian meningkatkan permeabilitas epitel duktus
pengumpul ginjal terhadap air melalui suatu mekanisme yang melibatkan
pengaktifan adenolisin dan peningkatan AMP siklik. Akibatnya,
konsentrasi kemih meningkat dan osmolalitas serum menurun. Osmolalitas
serum biasanya dipertahankan konstan dengan batas yang sempit antara
290 dan 296 mOsm/kg H2O.

Gangguan dari fisiologi vasopressin ini dapat menyebabkan pengumpulan


air pada duktus pengumpul ginjal karena berkurang permeabilitasnya,
yang akan menyebabkan poliuria atau banyak kencing.

Selain itu, peningkatan osmolalitas plasma kan merangsang pusat haus,


dan sebaliknya penurunan osmolalitas plasma akan menekan pusat haus.
Ambang rangsang osmotic pusat haus lebih tinggi dibandingkan ambang
rangsang sekresi vasopresin. Sehingga apabila osmolalitas plasma
meningkat, maka tubuh terlebih dahulu akan mengatasinya dengan
mensekresi vasopresin yang apabila masih meningkat akan merangsang
pusat haus, yang akan berimplikasi orang tersebut minum banyak
(polidipsia).

Secara patogenesis, diabetes insipidus dibagi menjadi 2 yaitu diabetes


insipidus sentral, dimana gangguannya pada vasopresin itu sendiri dan
diabetes insipidus nefrogenik, dimana gangguannya adalah karena tidak
responsifnya tubulus ginjal terhadap vasopresin.

Diabetes insipidus sentral dapat disebabkan oleh kegagalan pelepasan


hormone antidiuretik ADH yang merupakan kegagalan sintesis atau
penyimpanan. Hal ini bisa disebabkan oleh kerusakan nucleus supraoptik,
paraventrikular, dan filiformis hipotalamus yang mensistesis ADH. Selain
itu, DIS juga timbul karena gangguan pengangkutan ADH akibat
kerusakan pada akson traktus supraoptikohipofisealis dan aksin hipofisis
posterior di mana ADH disimpan untuk sewaktu-waktu dilepaskan ke
dalam sirkulasi jika dibutuhkan.

DIS dapat juga terjadi karena tidak adanya sintesis ADH, atau sintesis
ADH yang kuantitatif tidak mencukupi kebutuhan, atau kuantitatif cukup
tetapi tidak berfungsi normal. Terakhir, ditemukan bahwa DIS dapat juga
terjadi karena terbentuknya antibodi terhadap ADH.

• Etiologi

Ada beberapa keadaan yang mengakibatkan diabetes insipidus sentral,


termasuk di dalamnya adalah tumor-tumor pada hipotalamus, tumor-tumor
besar hipofisis dan menghancurkan nucleus-nukleus hipotalamik, trauma
kepala, cedera operasi pada hipotalamus, oklusi pembuluh darah pada
intraserebral, dan penyakit-penyakit granuomatosa.

• Gejala klinik

Keluhan dan gejala utama diabetes insipidus adalah poliuria dan


polidipsia. Jumlah produksi urin maupun cairan yang diminum per 24 jam
sangat banyak. Selain poliuria dan polidipsia, biasanya tidak terdapat
gejala-gejala lain, kecuali bahaya baru yang timbul akibat dehidrasi yang
dan peningkatan konsentrasi zat-zat terlarut yang timbul akibat gangguan
rangsang haus.

Diabetes Nefrogenik (DIN)

DIN adalah diabetes insipidus yang tidak responsive terhadap ADH


eksogen

Etiologi

Diabetes Insipidus Nefrogenik dapat disebabkan oleh beberapa hal yaitu


1. Penyakit ginjal kronik

• Penyakit ginjal polikistik

• Medullary cystic disease

• Pielonefretis

• Obstruksi ureteral

• Gagal ginjal lanjut

2. Gangguan elektrolit

• Hipokalemia

• Hiperkalsemia

DIAGNOSIS

Ada sebuah cara untuk mendiagnosa penyebab suatu poliuria adalah akibat
Diabetes Insipidus, bukan karena penyakit lain. Caranya adalah dengan
menjawab tiga pertanyaan yang dapat kita ketahui dengan anamnesa dan
pemeriksaan.

Pertama, apakah yang menyebabkan poliuria tersebut adalah pemasukan


bahan tersebut (dalam hal ini air) yang berlebihan ke ginjal atau
pengeluaran yang berlebihan. Bila pada anamnesa ditemukan bahwa
pasien memang minum banyak, maka wajar apabila poliuria itu terjadi.

Kedua, apakah penyebab poliuria ini adalah factor renal atau bukan.
Poliuria bisa terjadi pada penyakit gagal ginjal akut pada periode diuresis
ketika penyembuhan. Namun, apabila poliuria ini terjadi karena penyakit
gagal ginjal akut, maka akan ada riwayat oligouria (sedikit kencing).

Ketiga, Apakah bahan utama yang membentuk urin pada poliuria tersebut
adalah air tanpa atau dengan zat-zat yang terlarut. Pada umumnya, poliuria
akibat Diabetes Insipidus mengeluarkan air murni, namun tidak menutup
kemungkinan ditemukan adanya zat-zat terlarut. Apabila ditemukan zat-zat
terlarut berupa kadar glukosa yang tinggi (abnormal) maka dapat dicurigai
bahwa poliuria tersebut akibat DM yang merupakan salah satu Differential
Diagnosis dari Diabetes Insipidus.

Anamnesis
 Menanyakan keseringan dan banyaknya kencing pasien perhari?
 Apakah disertai rasa haus serta bagaimana timbulnya?
 Apakah pasien sering bangun dan tidurnya terganggu karena buang
air kecil?
 Apakah ada riwayat keluarga DM?
 Bagaimana dengan riwayat trauma kepala 3 bulan yang lalu?
 Apa penyebab ketidaksadarannya selama 5 hari?
 Sebelum mengalami kecelakaan, apakah memang sudah
mengalami rabun pada mata?

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Jika kita mencurigai penyebab poliuria ini adalah Diabetes Insipidua, maka
harus melakukan pemeriksaan untuk menunjang diagnosis dan untuk
membedakan apakah jenis Diabetes Insipidus yang dialami, karena
penatalaksanaan dari dua jenis diabetes insipidus ini berbeda. Ada
beberapa pemeriksaan pada Diabetes Insipidus, antara lain:

1. Hickey Hare atau Carter-Robbins

Cairan NaCl hipertonis diberikan intravena dan akan menunjukkan


bagaimana respon osmoreseptor dan daya pembuatan ADH. Caranya
(Williams)
a. Infuse dengan dextrose dan air sampai terjadi dieresis 5 ml/menit
(biasanya 8-10 ml/menit).
b. Infuse diganti dengan NaCl 2,5 % dengan jumlah 0,25
ml/menit/kgbb. Dipertahankan selama 45 menit.
c. Urin ditampung selama 15 menit.
Penilaian : kalau normal dieresis akan menurun secara mencolok.

Perhatian : pemeriksaan ini cukup berbahaya.

2. Fluid deprivation

Sebelum pengujian dimulai, pasien diminta untuk mengosongkan kandung


kencingnya kemudian ditimbang berat badannya, diperiksa volum dan
jenis atau osmolalitas urin oertama. Pada saat ini pasien diambil sampel
plasma untuk diukur osmolallitasnya.
Pasien diminta buang air kecil sesering mungkin paling sedikit setiap jam.
Pasien ditimbang setiap jam bila dieresis lebih dari 300ml/jam atau setiap
3 ja bila dieresis kurang dari 300ml/jam. Setiap sampel urin sebaiknya
diperiksa osmolalitasnya dalam keadaan segar atau kalau hal ini tidak
mungkin dilakukan semua sampel harus disimpan dalam botol yang
tertutup rapat serta disipan dalam lemari es. Pengujian dihentikan setelah
16 jam atau berat badan menurun 3-4% tergantung mana yang terjadi lebih
dahulu.

Apapun pemeriksaannya, prinsipnya adalah untuk mengetahui volume,


berat jenis, atau konsentrasi urin. Sedangkan untuk mengetahui jenisnya,
dapat dengan memberikan vasopresin sintetis, pada Diabetes Insipidus
Sentral akan terjadi penurunan jumlah urin, dan pada Diabetes Insipidus
Nefrogenik tidak terjadi apa-apa.

PENATALAKSANAAN

Pengobatan pada Diabetes Insipidus harus sesuai dengan gejala yang


ditimbulkannya. Pada pasien DIS parsial mekanisme haus yang tanpa
gejala nokturia dan poliuria yang mengganggu tidur dan aktivitas sehari-
hari tidak diperlukan terapi khusus.

Pada DIS yang komplit, biasanya diperlukan terapi hormone pengganti


(hormonal replacement) DDAVP (1-desamino-8-d-arginine vasopressin)
yang merupakan pilihan utama. Selain itu, bisa juga digunakan terapi
adjuvant yang mengatur keseimbangan air, seperti:

• Klorpropamid

Meningkatkan efek ADH yangmasih ada terhadap tubulus ginjal dan


mungkin pula dapat meningkatkan penglepasan ADH dari hipofisis.
Dengan demikian obat ini tidak dapat dipakai pada diabetes inipidus
sentral komplit atau diabetes insipidus nefrogenik. Efek samping yang
harus dipehatikan adalah timbulnya hipoglikemia. Dapat dikombinasi
dengan tiazid untuk mencapai efek ,aksimal. Tidak ada sulfonylurea
yang lebih efektif dan kurang toksik dibandingkan dengan
klorpropamid pengobatan diabetes insipidus.

Komplikasi

Konsumsi cairan yang tidak memadai dapat menyebabkan komplikasi


berikut :
a. Dehidrasi
• Mulut kering
• Kulit kering
• Membran mukosa kering
• Tampilan cekung mata
• Cekung fontanalles (soft spot) pada bayi
• Demam
• Denyut jantung cepat
• Berat badan
• Kelemaha otot
• Tekanan darah rendah (hipotensi)
• hipernatremia
b. Ketidakseimbangan elektrolit
• Kelelahan
• Kelesuan
• Sakit kepala
• Sifat lekas marah
• Nyeri otot

Prognosis
Diabetes insipidus nefrogenik primer merupakan penyakit seumur hidup
dengan prognosis baik jika dehidrasi hipernatremik dapat dihindari.
Konseling genetic harus diberikan pada keluarganya. Prognosis bentuk
penyakit sekunder tergantung pada sifat gangguan primer. Sindrom ini
dapat sembuh sesudah koreksi lesi obstruktif.

DIABETES MELLITUS

Diabetes melitus merupakan suatu sindrome dengan terganggunya


metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein yang disebabkan oleh
berkurangnya sekresi insulin atau penurunan sensivitas jaringan terhadap
insulin. Terdapat 2 tipe diabetes mellitus :

1. Diabetes tipe I, yang juga disebut diabetes melitus tergantung-


insulin (IDDM), disebabkan kurangnya sekresi insulin.
2. Diabetes tipe II, yang juga disebut diabetes melitus tidak
tergantung insulin (NIDDM), disebabkan oleh penurunan sensivitas
jaringan target terhadap efek metabolik insulin. Penurunan sensitivitas
terhadap insulin ini seringkali disebut sebagai resistensi insulin.
Pada kedua jenis diabetes melius, metabolisme semua bahan makanan
utama terganggu. Pengaruh mendasar resistensi atas tidak adanya
insulin terhadap metabolisme glukosa adalah mencegah efisienasi
penggunaan dan pengambilan glukosa oleh sebagian besar sel-sel
tubuh, kecuali oleh otak. Hasilnya, konsentrasi glukosa darah
meningkat, penggunaan glukosa oleh sel menjadi sangat berkurang dan
penggunaan lemak dan protein meningkat.

Sebelum lebih jauh mengulas tentang kelainan sekresi insulin dan


penyakitnya, berikut uraian ringkas fisiologi insulin normal :

Gen insulin diekspresikan pada sel beta islet pankreas, tempat insulin
disintesis dan disimpan dalam granula sebelum dikeluarkan. Pengeluaran
dari sel beta berlangsung dalam suatu proses bifasik yang melibatkan dua
simpanan insulin. Peningkatan kadar glukosa darah mendorong pelepasan
segera insulin, yang diperkirakan berasal dari simpanan pada granula sel
beta. Jika rangsangan sekretorik tersebut berlanjut, timbul respon tipe
lambat dan berkepanjangan yang melibatkan sintesis aktif insulin.
Rangsangan terpenting yang memicu pengeluaran glukosa adalah insulin,
yang juga memacu sintesis insulin. Perubahan dalam metabolisme intrasel
yang dipicu oleh glukosa ini, disertai input kolinergik normal dari sistem
saraf otonom, meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta. Zat lain,
termasuk hormon usus dan asam amino tertentu (leusin dan arginin), serta
sulfonilurea merangsang pengeluaran insulin, tetapi tidak sintesisnya.

Insulin adalah hormon anabolik utama. Insulin diperlukan untuk (1)


pengangkutan glukosa dan asam amino melewati membran, (2)
pembentukan glikogen dalam hati dan otot rangka, (3) perubahan glukosa
menjadi trigliserida, (4) sintesis asam nukleat, dan (5) sintesis protein.
Fungsi metabolik utamanya adalah mneingkatkan laju pemasukan glukosa
kedalam sel tertentu di tubuh. Sel tersebut adalah sel otot serat lintang,
termasuk sel miokardium; fibroblast; dan sel lemak, yang secara kolektif
mewakili sekitar dua pertiga dari seluruh berat tubuh. Insulin berinteraksi
dengan sel-sel sasarannya mula-mula dengan berikatan dengan reseptor
insulin; jumlah dan fungsi reseptor ini penting untuk mengendalikan kerja
insulin. Reseptor insulin adalah suatu tirosin kinase yang memicu sejumlah
response intrasel yang mempengaruhi jalur metabolisme. Salah satu
respon dini yang penting terhadap insulin adalah translokasi glucose
transport unit (GLUTs, yang memiliki banyak tipe spesifik jaringan) dari
aparatus golgi ke membran plasma, yang mempermudah penyerapan
glukosa oleh sel. Oleh karena itu, hasil akhir utama kerja insulin adalah
dibersihkannya glukosa dari sirkulasi.

Patomekanisme dan komplikasi yang bisa terjadi pada pasien DM

Konsikuensi-konsikuensi akut diabetes mellitus dapat dikelompokkan


berdasarkan efek kekurangan insuin pada metabolisme karbohidrat, lemak,
dan protein. Karena aktivitas insulin yang rendah memicu pola metabolik
pasca-absorpsi, perubahan yang terjadi pada diabetes mellitus adalah
penguatan darikeadaan tersebut, kecuali hiperglikemia. Pada keadaan
puasa biasa, kadar glukosa darah sedikit di bawah normal. Hiperglikemia,
tanda utama diabetes mellitus, terjadi akibat penurunan penyerapan
glukosa oleh sel-sel, disertai oleh peningkatan pengeluaran glukosa oleh
hati (1). Pengeluaran glukosa oleh hati meningkat karena proses-proses
yang menghasilkan glukosa, yaitu glikogenolisis dan glukoneogenesis,
berlangsung tanpa hambatan karena insulin tidak ada. karena sebagian
besar sel tubuh tidak dapat menggunakan glukosa tanpa bantuan insulin,
timbul keadaan ironis, yakni terjadi kelebihan glukosa ekstrasel sementara
terjadi defisiensi glukosa intrasel—“kelaparan di lumbung padi”.
Walaupun otak yang tidak bergantung pada insulin mendapat nutrisi yang
adekuat pada diabetes mellitus, akibat-akibat lebih lanjut dari penyakit ini
akhirnya akn menyebabkan disfungsi otak.

Kadar glukosa darah meninggi ke tingkat pada saat jumlah glukosa yang
difiltrasi melebihi kapasitas sel-sel tubulus melakukan reabsorpsi, glukosa
akan timbul di urin (glukosuria) (2). Glukosa di urin menimbulkan efek
osmotik yang menarik H2O bersamanya, menimbulkan diuresis osmotic
yang ditandai oleh poliuria (sering berkemih) (3). Cairan yang berlebihan
keluar dari tubuh menyebabkan dehidrasi (4), yang pada gilirannya dapat
menyebabkan kegagalan sirkulasi perifer karena volume darah turun
meencolok (5). Kegagalan sirkulasi, apabila tidak diperbaiki, dapat
menyebabkan kematian karena aliran darah ke otak turun (6) atau
menimbulkan gagal ginjal sekunder akibat tekanan filtrasi yang tidak
adekuat (7). Selain itu, sel-sel kehilangan air karena tubuh mengalami
dehidrasi akibat perpindahan osmotik air dari dalam sel ke cairan ekstrasel
yang hipertonik (8). Sel-sel otak sangat peka terhadap penciutan, sehingga
timbul gangguan fungsi system saraf (9). Gejala khas lain pada diabetes
mellitus adalah polidipsia (rasa haus berlebihan), yang sebenarnya
merupakan mekanisme kompensasi untuk mengatasi dehidrasi.
Karena terjadi defisiensi glukosa intrasel, nafsu makan (appetite)
meningkat, sehingga timbul polifagia (pemasukan makanan berlebihan)
(11). Akan tetapi, walaupun terjadi peningkatan pemasukan makanan,
berat tubuh menurun secara progresif akibat efek defisiensi insulin pada
metabolism lemak dan protein. Sintesis trigliserida menurun saat lipolisis
meningkat, sehingga terjadi mobilisasi besar-besaran asama lemak dari
simpanan trigliserida (12). Peningkatan asam lemak dalam darah sebagian
besar digunakan oleh sel sebagai sumber energi alternative. Peningkatan
penggunaan lemak oleh hati menyebabkan pengeluaran berlebihan badan
keton ke dalam darah dan menimbulkan ketosis (13). Karena badan-badan
keton mencakup beberapa asam seperti asam aetoasetat yang berasala dari
penguraian tidak sempurna lemak oleh hati, ketosis ini menyebabkan
asidosis metabolic progresif (14). Asidosis menekan fungsi otak dan,
apabila cukup parah, dapat menimbulkan koma diabetes dan kematian
(15).

Tindakan kompensasi untuk asidosis metabolik adalah peningkatan


ventilasi untuk meningkatkan pengeluaran CO2 pembentuk asam (16).
Ekshalasi salah satu badan katen, yaitu aseton, yang menyebabkan napas
berbau “buah”. Orang dengan diabetes Tipe I jauh lebih rentan mengalami
ketosis dariapda pengidap diabetes Tipe II.

Efek tidak adanya insulin pada metabolism protein menyebabkan


pergeseran netto kea rah katabolisme protein. Penguraian protein-protein
otot menyebabkan otot rangaka lisut dan melemah (17) dan, pada diabetes
anak, penurunan pertumbuhan keseluruhan. Penurunan asupan asam amino
disertai peningkatan penguraian protein menyebabkan peningkatan asama
amino dalam darah (18). Peningkatan kadar asam amino dalam sirkulasi
darah dapat digunakan untuk glukoneogenesis, yang semakin
memperparah hiperglikemia (19).

DIAGNOSIS

Anamnesis Tambahan:/

 Apakah ada riwayat keluarga?


 Apakah ada riwayat DM sebelum trauma?
 Jika ada, apakah pasien merasa matanya mulai rabun saat
mengendarai motor?
 Apakah poliuri dialami sebelum atau sesudah pasien mengalami
trauma kepala?
 Bagaimana penanganan pasien setelah mengalami kecelakaan
terutama saat pasien mengalami ketidaksadaran selam 5 hari? Apa
sebabnya?
 Apakah pernah mengkonsumsi obat sebelumnya?
 Daerah yang mengalami trauma?

Kriteria diagnosis diabetes melitus dan gangguan toleransi Glukosa pada


penderita diabetes melitus adalah:

Diagnosis diabetes melitus apabila:

1. Terdapat gejala khas diabetes mellitus ditambah


2. Salah satu dari : GDP > 126 mg/dl, GD2PP > 200 mg/dl atau
glukosa darah random > 200 mg/dl.

Diagnosis Diabetes melitus apabila :

1. Tidak terdapat gejala diabetes melitus


2. Terdapat dua hasil : GDP > 126 mg/dl, 2 jam PP > 200 mg/dl atau
glukosa darah random 200 mg/dl.
3. Gangguan toleransi glukosa (GTG) apabila: GDP < 126 mg/dl dan
2 jam PP antara 140 – 200 mg/dl

Untuk kasus meragukan dengan hasil

GDP < 126 mg/dl dan 2 jam PP > 126 mg/dl maka diulangi pemeriksaan
laboratorium sekali lagi dengan persiapan minimal 3 hari dengan diet
karbohidrat lebih dari 150 gr per hari dengan kegiatan fisik seperti biasa
kemungkinan hasil adalah :

1. Diabetes militus, apabila hasilnya sama atau tetap, yaitu GDP <
126 mg/dl dan 2 jam PP > 200 mg/dl atau apabila hasilnya memenuhi
kriteria A atau B
2. TTGO, apabila hasilnya cocok dengan kriteria C.

KOMPLIKASI

A. Komplikasi Akut

1. Koma hipoglikemia
2. Ketoasodosis Diabetika (KAD)
3. Hiperosmolar nonketotik (HONK)

B. Komplikasi Kronik

1. Makroangiopati

Makroangipati disebut juga dengan arterioselerosis diabetik yaitu


penebalan dan hilangnya elastisitas dinding arteri yang melibatkan
pembuluh darah besar, pembuluh darah jantung, pembuluh darah tepi,
serta pembuluh darah otak. Pasien diabetes melitus dengan kelainan
makrovaskuler dapat memberikan gambaran kelainan pada tungkai bawah,
baik berupa ulkus maupun gangren diabetik. Pasien dengan gangguan
serebrovaskuler dapat memberikan gambaran sisa berupa kelumpuhan.
Infark jantung juga dapat terjadi akibat kelainan makrovaskuler. Berbeda
dengan biasanya, pasien pada diabetes melitus rasa nyeri dada sering tidak
dijumpai (silent infarction) akibat adanya neuropati.

2. Mikroangiopati

Makroangiopati terjadi pada kapiler dan arteriol biasanya mengenai


pembuluh darah kecil. Proses adhesi dan egregasi trombosit yang
kemudian terbentuk mikrotrombus merupakan basis biokimiawi utama.
Disfungsi endotel dan trombosis merupakan biang keladinya.

a. Ratinopati diabetik

Pasien dengan retinopati diabetik akan dapat mengalami gejala penglihatan


kabur sampai kebutaan. Keluhan penglihatan kabur tidak selalu
disebabkan oleh retinopati. Katarak pada pasien Diabetes Melitus
terjadinya lebih dini dibanding pada populasinormal.

b. Nefropati diabetika

Pasien dengan nefropati diabetik dapat menunjukan gambaran gagal ginjal


menahan seperti lemas, mual, pucat sampai keluhan sesak nafas akibat
penimbunan cairan. Adanya gagal ginjal dibuktikan dengan kenaikan
kadar kreatinin/ureum serum. Adanya proteinuria pada persistensi tanpa
adanya kelainan ginjal yang lain merupakan salah satu tanda awal
nefropati diabetik.

3. Neuropati diabetika
Keluhan yang tersering adalah berupa kesemutan dan rasa lemah. Pada
pasien dengan neuropati autonom diabetika mungkin dapat dijumpai gejala
berupa mual, gembung, muntah dan diare terutama pada malam hari.
Manifestasi neuropati otonom diabetik lain adalah adanya hipotesis
orthostatik serta adanya keluhan gangguan pengeluaran keringat.
Terkadang pula dapat terjadi inkontinensia fatal maupun urin.

Rentan infeksi, seperti tuberkolosis paru, gingivitis, dan infeksi saluran


kemih.

PENATALAKSANAAN

Berdasarkan hasil survei : National Healt Interview Survey th 1997 – 1999


bahwasanya di Amerika 17 % penderita Diabetes Melitus hanya perlu
menjaga makan dan minum, 49 % penderita diabetes melitus memakan
obat hipoglikemi oral, 22 % penderita diabetes melitus memakai insulin
saja dan 11 % penderita diabetes melitus memakai insulin dan obat
hipoglikemi oral.

Untuk lebih lanjutnya kita akan membahas satu persatu penatalaksanaan


penyakit diabetes melitus ini :

1. Berolah raga dan menjaga makanan dan minuman.

Untuk penderita diabetes melitus dianjurkan untuk berolah raga secara


teratur, 3 – 4 kali seminggu selama lebih kurang setengah jam yang
sifatnya sesuai CRIPE (Continous, Rismical, Interval, Progesive, dan
Endurance Training). Olah raga dilakukan terus-menerus tanpa berhenti,
otot-otot berkontraksi dan relaksasi secara teratur selang-seling antar gerak
cepet dan gerak lambat, berangsur-angsur dari sedikit menjadi olah raga
yang lebih berat secara bertahap dan bertahan dalam waktu tertentu. Olah
raga yang dapat dijadikan pilihan adalah jalan kaki, jogging, renang,
bersepeda dan melayang. Sedapat mungkin mencapai zona sasaran atau
zona olah raga yaitu 75 – 85 % denyut nadi maksimal. Hal yang perlu
dilakukan dalam olah raga adalah jangan memulai olah raga sebelum
makan, memakai sepatu pas, harus didampingi orang yang tahu mengatasi
serangan hipoglikemia, harus selalu membawa permen, membawa tanda
pengenal sebagai pasien diabetes melitus dalam pengobatan dan
pemeriksaan kaki secara cermat setelah berolah raga.
Pada konsensus Perkumpulan Endokrinilogi Indonesia (PERKENI) telah
ditetapkan bahwa standar yang dianjurkan adalah santapan dengan
karbohidrat (60 – 70 %) Protein (10 – 15 %) dan lemak (20 – 25 %).
Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, dan umur,
stress akut dan kegiatan olah raga untuk mencapai berat badan ideal.
Jumlah kandungan kolesterol < 300 mg/hari. Jumlah kandungan serat lebih
kurang dari 25 gr/hari, diutamakan jenis serat larut. Komposisi garam
dibatasi apabila terdapat hipertensi. Pemanis dapat digunakan secukupnya.

2. Obat Hipoglikemi Oral (OHO)

 Golongan Sensitizing

1. Biguanid

Saat ini golingan biguanid yang banyak di pakai adalah metformin.


Metformin terdapat dalam konsentrasi yang tinggi di dalam usus dan
hati, tidak di metabolisme tetapi secara cepat di keluarkan melalui
ginjal. Karena cepatnya proses tersebut maka metformin biasanya di
berikan 2-3 kali sehari kecuali dalam bentuk extende release.

Mekanisme kerja. Metformin menurunkan glukosa darah melalui


pengaruhnya terhadap kerja insulin pada tingkat seluler, distal reseptor
insulin dan menurunkan produksi glukosa hati. Metformin
meningkatkan pemakaian glukosa oleh sel usus sehingga menurunkan
glukosa darah dan juga di duga menghambat absorbsi glukosa di usus
sesudah asupan makanan. Setelah di berikan secara oral, metformin
akan mencapai kadar tertinggi dalam darah setelah 2 jam dan di
ekskresi lewat urin dalam keadaan utuh dengan waktu paruh 2-5 jam.

Metformin dapat menurunkan glukosa darah tapi tidak akan


menyebabkan hipoglikemia sehingga tidak dianggap sebagai obat
hipoglikemik, tetapi obat anti hiperglikemik. Pada pemakaian
kombinasi dengan sulfonilurea, hipoglikemia dapat terjadi akibat
pengaruh sulfonilureanya. Pada pemakaian tunggal metformin dapat
menurunkan glukosa darah sampai 20% dan konsentrasi insulin plasma
pada keadaan basal juga turun. Metformin tidak menyebabkan kenaikan
berat badan seperti pada pemakaian sulfonilurea.

Efek samping gastrointestinal tidak jarang didapatkan pada pemakaian


awal metformin dan ini dapat dikurangi dengan memberikan obat
dimulai dengan dosis rendah dan diberikan bersamaan dengan
makanan.

2. Glitazone

Golongan Fhiazolidinediones atau glitazone adalah obat yang juga


mempunyai efek farmakologis untuk untuk meningkatkan sensitivitas
insulin. Obat ini dapat diberikan secara oral dan secara kimiawi maupun
fungsional tidak berhubungan dengan obat oral lainnya.

Glitazone (Tiazolindion) merupakan agonist peroxisome proliferator-


activated receptor gamma (PPAR) yang sangat selektif dan poten.
Reseptor PPAR gamma terdapat di jaringan target kerja insulin seperti
jaringan adiposa, otot skelet dan hati, sedang reseptor pada organ
tersebut merupakan regulator homeostasis lipid, deferensiasi adiposit,
dan kerja insulin.

Glitazone dapat merangsang ekspresi beberapa proteinyang dapat


memperbaiki sensitivitas insulin dan memperbaiki glikemia, seperi
GLUT-1, GLUT-4, p85alphaPI-3K dan uncoupling protein-2 (UCP).
Selaindari pada itu juga dapat mempengaruhi ekspresi dan pelepasan
mediator resisten insulin, seperti TNF alfa, leptin,dll.

Glitazone diabsorbsi dengan cepat dan konsentrasi tertinggi terjadi


setelah 1-2 jam dan makanan tidak mempengaruhi farmakokinetik obat
ini. Waktu paruh berkisar antara 3-4 jam bagi rosiglitazone dan 3-7 jam
bagi pioglitazone.

Penggunaan dalam klinik. Rosiglitazone dan pioglitazone saat ini dapat


digunakan sebagai kombinasi dengan metformin dan sekretagok
insulin. Secara klinik rosiglitazone dengan dosis 4 dan 8 mg/hari (dosis
tunggal atau dosis terbagi 2 kali sehari) memperbaiki konsentrasi
glukosa puasa sampai 55mg/dL dan AIC sampai 1,5% dibandingkan
dengan plasebo. Sedang pioglitazon juga mempunyai kemampuan
menurunkan glukosa darah bila digunakan sebagai monoterapi atau
sebagai terapi kombinasi dengan dosis sampai 45mg/dL dosis tunggal.

 Golongan Sekretagok Insulin

Sekretagok insulin mempunyai efek hipoglikemik dengan cara stimulasi


sekresi insulin oleh sel beta pankreas.
Sulfonilurea

Obat ini telah digunakan untuk pengobatan Dmtipe 2 sejak tahun 1950-
an. Obat ini digunakan sebagai terapi farmakologis pada awal
pengobatan diabetes dimulai, terutama bila konsentrasi glukosa tinggi
dan sudah terjadi gangguan pada sekresi insulin. Sulfonilurea sering
digunakan sebagai terapi kombinasi karena kemampuannya untuk
meningkatkan atau mempertahankan sekresi insulin.

Mekanisme kerja. Efek hipoglikemia sulfonil urea adalah dengan


merangsang channel K yang tergantung pada ATP dari sel beta
pancreas. Bila sulfoniurea terikat pada reseptor (SUR) channel tersebut
maka akan terjadi penutupan. Keadaan ini akan menyebabkan
terjadinya penurunan permeabilitas K pada membrane sel beta, terjadi
depolarisasi membrane dan membuka channel Ca tergantung voltase,
dan menyebabkan meningkatan Ca intrasel. Ion Ca akan terikat pada
Calmodulin, dan menyebabkan eksositosis granul yang mengandung
insulin.

Golongan obat ini bekerja dengan merangsang sel beta pancreas untuk
melepaskan insulin yang tersimpan. Karena itu tentu saja hanya dapat
bermanfaat pada pasien yang masih mempunyai kemampuan untuk
sekresi insulin. Golongan obat ini tidak dapat dipakai pada diabetes
mellitus tipe 1.

Kombinasi sulfonilurea dengan insulin. Pemakaian kombinasi kedua


obat ini didasarkan bahwa meratanya kadar glikosa darah sepanjang
hari terutama ditentukan olah kadar kadar glukosa darah puasanya.
Imumnya kenaikan kadar gukosa darah sesudah makan kurang lebih
sama, tidak tergantung dari kadar glukosa darah pada keadaan puasa.
Dengan memberikan dosis insulin kerja sedang atau insulin glargin
pada malam hari, produksi glukos hati malam hati dapat dikurangi
sehingga kadar glukosa darah puasa dapat turun. Selanjutnya kadar
glukosa darah siang hari dapat diatur dengan pemberian sulfonylurea
seperti biasanya.

Kombinasi sulfonylurea dan insulin ini ternyata lebih baik dari pada
insulin sendiri dan dosis insulin ynang diperlukan pun ternyata lebih
rendah. Dan cara kombinasi ini lebih dapat diterima pasien dari pada
penggunaan insulin multiple.
3. Suntikan insulin

Ada beberapa indikasi untul pemberian preparat insulin pada penderita


diabetes melitus.

1. Diabetes Melitus tipe I


2. Ketoasidosis diabetik/koma hiperosmolar non ketotil
3. Diabetes dengan berat badan berkurang
4. Diabetes yang mengalami stress (infeksi, operasi, dll)
5. Diabetes Melitus dengan kehamilan
6. Kegagalan pemakaian obat hipoglikemik oral

4. Pembedahan

Pembedahan pada penderita Diabetes Melitus sampai sekarang ini masih


dalam penelitian para ahli. Tetapi pada binatang percobaan yaitu
pencangkokan sel kelenjar pada binatang percobaan telah berhasil
dilakukan dan hal ini akan memungkinkan untuk dilakukan pada manusia
agar tubuhnya kembali menghasilkan insulin secukupnya atau sesuai
dengan yang dibutuhkan oleh tubuh kita.

PROGNOSIS

Sekitar 60 % pasien diabetes melitus tipe I yang mendapatkan insulin


dapat bertahan hidup seperti orang nermal. Sisanya dapat mengalami
kebutaan, gagal ginjal kronik dan kemungkinan meninggal lebih cepat.

Sedangkan untuk pasien DM tipe II, jika pasien cepat didiagnosa dan
diobati maka akan memperlambat terjadinya komplikasi pada pasien
sehingga morbiditas dan mortalitasnya menurun. Namun, jika telat
didiagnosa dan diobati, maka tingkat mortalitas dan morbiditasnya akan
meningkat karena komplikasi mudah terjadi.
DAFTAR PUSTAKA

Guyton and Hall, 2008, Buku Ajar Fisiologi Kedoktean Edisi 11 Revisi, Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Price, A.Sylvia dan Lorraine M. Wilson, 2006, Patofisiologi Edisi 6 volume 2,


Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Seluruh Indonesia, 2006, Buku


Ajar Penyakit Dalam Jilid 3 Edisi 4, Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Sherwood, Lauralee, 2001, Fisiologi Manusia: Dari Sel ke Sistem Edisi 2, Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.

You might also like