You are on page 1of 16

Bab 7 Penataan Ruang dan Pembangunan Wilayah

Penataan Ruang dan Pengembangan Wilayah

77..11

PPEENNAATTAAAANN RRUUAANNGG DDAANN PPEENNGGEEM


MBBAANNGGAANN
W
WIILLAAYYAAHH
Oleh Sjarifuddin Akil

SEJARAH PERKEMBANGAN

(1) Pengembangan wilayah dan penataan ruang

Pendekatan yang diterapkan dalam pengembangan wilayah di


Indonesia sangat beragam karena dipengaruhi oleh perkembangan
teori dan model pengembangan wilayah serta tatanan sosial-
ekonomi, sistem pemerintahan dan administrasi pembangunan. Pada
dekade 1960-an, pengembangan wilayah diwarnai pendekatan
sektoral yang bersifat parsial dengan titik berat pada wilayah
perkotaan. Hal ini berdampak kurang menguntungkan dalam
perspektif kewilayahan karena mengakibatkan kesenjangan antara
kota-desa. Bentuk kemajuan dan kesejahteraan lebih banyak
dinikmati di wilayah perkotaan. Sebaliknya, ketertinggalan dan
kemiskinan terjadi di wilayah perdesaan.

Pendekatan yang mengutamakan pertumbuhan tanpa


memberi perhatian pada pemerataan menyebabkan dampak negatif
terhadap lingkungan, bahkan menghambat pertumbuhan itu sendiri.
Dalam konteks ini, mulai dirasakan perlunya pendekatan yang
meninjau kota, desa, kawasan produksi serta prasarana
pendukungnya sebagai satu kesatuan wilayah. Pada dasarnya,
tinjauan kewilayahan bertumpu pada dua aspek, yakni pengelolaan
lingkungan dan pengembangan ekonomi wilayah.

Pada dekade tahun 1970-an, pendekatan wilayah mulai


banyak diterapkan di berbagai sektor, meski sesungguhnya konsep
yang dikembangkan masih sebatas memenuhi kepentingan sektor
masing-masing. Pada dasarnya, perencanaan sektoral juga bertujuan
untuk meningkatkan optimasi pemanfaatan sumber daya dan ruang
wilayah, namun belum mencakup visi dan misi pembangunan di

Sejarah Penataan Ruang Indonesia VII.1-1


- Sjarifuddin Akil -
Bab 7 Penataan Ruang dan Pembangunan Wilayah
Penataan Ruang dan Pengembangan Wilayah

daerah propinsi, kabupaten atau kota. Akibatnya banyak terjadi


konflik pemanfaatan ruang antar sektor, inefisiensi alokasi dana
pembangunan akibat duplikasi, serta belum memenuhi kebutuhan
masyarakat.

Sejalan dengan perkembangan teori dan model


pengembangan wilayah pada tahun 1970-an, berkembang berbagai
kajian yang merumuskan hubungan sebab-akibat faktor-faktor
pembentuk ruang wilayah, seperti fisik-lingkungan, geografi dan
sosial-ekonomi. Berdasarkan kajian tersebut, mulai diterapkan
berbagai pendekatan pengembangan wilayah yang ditempuh melalui
pembangunan prasarana wilayah, pengembangan satuan wilayah
ekonomi, koordinasi antar daerah administratif serta sinkronisasi
program pembangunan.

Selanjutnya, pada dekade 1980-an, pergeseran pendekatan


sektoral ke pendekatan keterpaduan wilayah makin menjadi
kebutuhan pembangunan, meski terbatas pada lingkup keterpaduan
pembangunan prasarana dan sarana perkotaan. Pengenalan dan
pelaksanaan Program Pembangunan Prasarana dan Sarana Kota
Terpadu (P3KT) merupakan inisiatif penting. Pendekatan ini
kemudian didukung oleh penyempurnaan mekanisme pembangunan
melalui desentralisasi perencanaan kepada daerah.

Pada dekade ini pula berkembang pemikiran dari sisi


kebutuhan (demand driven approach) yang kemudian berimplikasi
pada lahirnya konsep penataan ruang dinamis yang dapat diartikan
sebagai penataan ruang yang lebih partisipatif dan responsif
terhadap dinamika pembangunan masyarakat yang berubah cepat.

Pada dekade 1990-an, lahirnya UU No. 24/1992 tentang


Penataan Ruang merupakan loncatan besar dalam pengembangan
wilayah dan penataan ruang di Indonesia. Sejak itu, eksistensi
penataan ruang makin kuat sebagai dasar pengembangan wilayah
dan kota yang disusun berdasarkan pola terpadu. Pendekatan
wilayah dalam perencanaan tata ruang mengalami pendalaman
substansi dan perluasan cakupan, serta bersifat penegasan terhadap
visi masa depan. Dalam penyusunan dan penetapan Rencana Tata
Ruang Wilayah (RTRW) misalnya, ditempuh langkah penentuan arah
pengembangan yang akan dicapai ditinjau dari aspek sosial-ekonomi
bahkan hankam, pengenalan potensi dan permasalahan, perumusan
skenario dan strategi pengembangan wilayah, perumusan rencana
tata ruang hingga perumusan pemanfaatan ruang dalam rangka

Sejarah Penataan Ruang Indonesia VII.1-2


- Sjarifuddin Akil -
Bab 7 Penataan Ruang dan Pembangunan Wilayah
Penataan Ruang dan Pengembangan Wilayah

perwujudan rencana. Pada dasarnya, RTRW disusun dengan


perspektif menuju kondisi yang dicita-citakan masa mendatang,
bertitik tolak dari keberadaan data, informasi, ilmu pengetahuan dan
teknologi yang tersedia, serta memperhatikan keragaman wawasan
kegiatan sektoral.

Dalam perkembangan selanjutnya, dimasukkannya


pendekatan wilayah sebagai konsepsi dasar dalam perencanaan tata
ruang wilayah telah memperdalam sekaligus memperluas pengertian
pendekatan wilayah tersebut. Dalam kaitan ini, pendekatan wilayah
merupakan cara pandang untuk memahami ciri, kondisi dan
hubungan kausalitas unsur pembentuk ruang wilayah, seperti sosial-
ekonomi, budaya, sumber daya alam, sumber daya buatan, geografi
dan demografi serta untuk merumuskan visi, misi, tujuan dan sasaran
pengembangan wilayah. Pendekatan wilayah didasarkan pada
perspektif bahwa keseluruhan unsur manusia (dan makhluk hidup
lainnya) dan kegiatannya beserta lingkungan berada dalam suatu
sistem wilayah yang saling terkait satu sama lain.

Selanjutnya, penataan ruang merupakan instrumen yang


digunakan untuk mewujudkan tujuan pembangunan yang bersifat
kewilayahan. Dalam konteks ini, rencana tata ruang merupakan
bentuk intervensi yang dilakukan agar interaksi manusia/makhluk
hidup dengan lingkungannya berjalan serasi, selaras, seimbang
untuk tercapainya kesejahteraan manusia/makhluk hidup, kelestarian
lingkungan dan keberlanjutan pembangunan (development
sustainability).

Dewasa ini, pada awal milenium ke-3, dalam menyikapi


pembangunan yang makin kompleks, rencana tata ruang diperkaya
dengan rencana tindak (action plan) yang secara substansial
diharapkan dapat memecahkan berbagai masalah yang bersifat
strategis, yakni pemanfaatan sumberdaya serta meningkatkan
keunggulan kompetitif (daya saing) dan memanfaatkan keunggulan
komparatif yang dimilikinya. Lebih jauh, dalam rangka
menyempurnakan instrumen penataan ruang untuk mewujudkan
tujuan pengembangan wilayah, dikembangkan pendekatan holistik
dimana pembangunan (fisik) bukan merupakan tujuan akhir, tetapi
merupakan sarana mewujudkan tujuan yang disepakati bersama.

Sejarah Penataan Ruang Indonesia VII.1-3


- Sjarifuddin Akil -
Bab 7 Penataan Ruang dan Pembangunan Wilayah
Penataan Ruang dan Pengembangan Wilayah

(2) Kelembagaan

Tonggak sejarah perkembangan kelembagaan bidang


penataan ruang dan pengembangan wilayah diawali dengan
berdirinya Balai Pusat Planologi (Centraal Planologisch Bureau) yang
berkedudukan di Jakarta berdasarkan SK Menteri Perhubungan,
Tenaga dan Pekerjaan Umum nomor P.2/76/11 yang berlaku sejak 1
April 1950. Selain tugas dan fungsi perencanaan, lembaga ini
memiliki kewenangan untuk melaksanakan tugas dan fungsi
pembangunan fisik (konstruksi). Namun sejak 1960, setelah
mengalami tujuh kali perubahan nama instansi (balai dan jawatan),
tugas dan fungsi lembaga lebih difokuskan pada aspek perencanaan
(planning).

Tonggak sejarah berikutnya terjadi pada era menjelang Orde


Baru, menyangkut peningkatan status lembaga dari Balai atau
Jawatan menjadi setingkat Direktorat. Melalui SK Menteri Cipta Karya
dan Konstruksi nomor 007 tahun 1965, Direktorat Perencanaan Kota
dan Daerah dibentuk dan Radinal Moochtar sebagai direkturnya.
Direktorat ini bertahan hingga awal Orde Baru (1975). Saat itu, selain
penataan kota, mulai dirintis penataan daerah –seperti studi potensi
pengembangan wilayah/propinsi/daerah, yang belum ditangani
sebelumnya.

Pada kurun waktu antara tahun 1975-1992, tanggung jawab


pengembangan wilayah dan penataan ruang diemban Direktorat Tata
Kota dan Tata Daerah (DTKTD) di bawah dua departemen berbeda,
yakni Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik (1975-1978)
dan Departemen Pekerjaan Umum (1978-1986). Sejak tahun 1979,
Menteri Pekerjaan Umum Poernomosidhi mencetuskan konsep
pengembangan wilayah yang komprehensif dan integratif melalui pro-
gram transmigrasi dengan proyek raksasa berskala nasional. Sejak
bulan Mei 1983, program ini dilanjutkan Departemen Transmigrasi
sebagai lembaga induk.

Transformasi kelembagaan pengembangan wilayah dan


penataan ruang terus berlangsung, sejalan peningkatan intensitas
dan dinamika pembangunan di Indonesia yang mengarah pada
kebutuhan atas keterpaduan pembangunan lintas sektor dan lintas
wilayah. Oleh karenanya, setelah berganti nama menjadi Direktorat
Bina Tata Perkotaan dan Perdesaan (BTPP) antara tahun 1992
hingga berakhirnya Orde Baru (1998), pada era reformasi status
lembaga meningkat menjadi Direktorat Jenderal. Lembaga pertama

Sejarah Penataan Ruang Indonesia VII.1-4


- Sjarifuddin Akil -
Bab 7 Penataan Ruang dan Pembangunan Wilayah
Penataan Ruang dan Pengembangan Wilayah

tersebut adalah Direktorat Jenderal Penataan Ruang dan


Pengembangan Wilayah yang berada di bawah Departemen
Permukiman dan Pengembangan Wilayah hingga akhir 2000.
Transformasi kelembagaan terakhir terjadi awal tahun 2001 melalui
pembentukan Direktorat Jenderal Penataan Ruang yang berada di
bawah Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah.

Dengan format terkini, Direktorat Jenderal Penataan Ruang


telah menetapkan visinya untuk mencapai pemanfaatan ruang yang
bermutu guna mewujudkan keterpaduan penggunaan sumberdaya
dalam kerangka pembangunan nasional berkelanjutan yang didukung
peran pemerintah daerah dan masyarakat menuju kehidupan bangsa
yang cerdas, berbudi luhur dan sejahtera. Dengan visi ini, misi yang
ditangani bersifat perencanaan makro melalui RTRWN dan
perangkat operasionalnya, serta penataan ruang kawasan yang
bersifat strategis nasional (misal KAPET dan kawasan perbatasan).
Misi lainnya, meningkatkan kapasitas penyelenggaraan penataan
ruang di daerah yang ditempuh melalui penyiapan norma, standar,
prosedur dan manual, serta melalui pembinaan teknis dan penyiapan
peraturan perundangan.

Selain itu, untuk menjawab kebutuhan fungsi koordinasi tata


ruang yang bersifat lintas sektor pada tingkat nasional, dibentuk
Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional (BKTRN) berdasarkan
Keppres No. 75/1993. BKTRN mengalami transformasi melalui
Keppres No. 62/2000 tentang BKTRN. Dalam format terakhir, BKTRN
diketuai Menko Perekonomian, ada pun Menteri Kimpraswil sebagai
Ketua Tim Teknis yang mengkoordinasikan kelompok kerja dengan
tugas khusus, di antaranya penyiapan peraturan perundangan terkait
dengan penataan ruang, penyelesaian konflik pemanfaatan ruang
lintas wilayah dan lintas sektor, serta penyebarluasan informasi
penataan ruang dalam rangka mendukung sistem penataan ruang.

LANDASAN TEORI DAN PENERAPAN

(1) Beberapa Landasan Teori

Walter Isard sebagai pelopor ilmu wilayah merintis lahirnya


pendekatan wilayah yang mengkaji hubungan sebab-akibat faktor
pembentuk ruang wilayah, yakni faktor fisik, sosial dan ekonomi, dan
budaya. Kemudian, Isard mengembangkan model analisis wilayah

Sejarah Penataan Ruang Indonesia VII.1-5


- Sjarifuddin Akil -
Bab 7 Penataan Ruang dan Pembangunan Wilayah
Penataan Ruang dan Pengembangan Wilayah

yang merupakan penggabungan model fisik, geografi, sosial dan


ekonomi yang lebih dulu ada.

Landasan teori pengembangan wilayah berikutnya adalah


yang dikemukakan oleh Albert Hirschmann (1958) dengan istilah
polarization effect dan trickling down effect. Dia menegaskan,
perkembangan suatu wilayah tidak terjadi bersamaan (unbalanced
development), mengingat wilayah tertentu cenderung lebih cepat
perkembangannya dibanding wilayah sekitarnya. Pandangan
optimistis Hirschmann menegaskan trickle down effect pada
gilirannya akan terjadi dari wilayah yang berkembang cepat ke
wilayah yang hirarkinya lebih rendah.

Berikutnya, teori yang dikemukakan oleh Gunnar Myrdal


(1957), yang menjelaskan hubungan antara wilayah maju dengan
wilayah belakangnya dengan menggunakan istilah backwash effect
dan spread effect. Berbeda dengan Hirschmann, pandangan Myrdal
cenderung bernada pesimisme. Untuk Indonesia, pesimisme Myrdal
menjadi kenyataan, efek pengurasan sumber daya manusia dan
kapital wilayah belakang (backwash effect) bekerja lebih kuat
dibanding spread effect. Hal ini kurang memberi efek positif bagi
perkembangan wilayah belakang, bahkan cenderung bersifat
akumulatif-eksploitatif. Efek trickle-down tidak terjadi karena
akumulasi kapital pada suatu wilayah – yang dicirikan dengan
berkembangnya footloose industry, tidak memiliki keterkaitan bahan
baku dalam prosesnya dengan produksi di wilayah belakangnya,
sehingga kurang berfungsi sebagai penggerak perkembangan
wilayah.

Landasan teori lainnya yang cukup penting dikemukakan oleh


John Friedmann (1966), yang lebih menekankan pada pembentukan
hirarki guna mempermudah pengembangan sistem pembangunan.
Teori Friedmann kemudian populer dengan istilah center-periphery
theory atau teori pusat pertumbuhan, dimana penetapan pusat-pusat
perumbuhan sebagai prioritas dalam pembangunan diasumsikan
akan memberi efek positif bagi pengembangan wilayah belakangnya.
Berdasarkan teori Friedmann, pada awal tahun 1990-an Mike
Douglass memperkenalkan model keterkaitan desa-kota (rural-urban
linkages) sebagai salah satu model pengembangan wilayah. Untuk
kasus Indonesia, teori Friedmann banyak diikuti sebagai pendekatan
pengembangan wilayah mengingat luasnya dan banyaknya desa dan
kota yang harus ditangani sementara alokasi dana pembangunan

Sejarah Penataan Ruang Indonesia VII.1-6


- Sjarifuddin Akil -
Bab 7 Penataan Ruang dan Pembangunan Wilayah
Penataan Ruang dan Pengembangan Wilayah

yang tersedia relatif terbatas. Dalam konteks ini, logika


pengembangan pusat-pusat pertumbuhan cukup masuk akal.

Berdasarkan teori dan model pengembangan yang telah


dikembangkan, ada beberapa gagasan atau pendekatan dalam
pengembangan wilayah yang bersumber dari pakar dalam negeri.
Sutami misalnya, yang mengembangkan gagasan berdasarkan
pengalaman bekerja di lingkungan Departemen Pekerjaan Umum,
khususnya saat menjabat Menteri Pekerjaan Umum awal tahun
1970-an. Gagasan yang dikemukakan: adalah pembangunan
infrastruktur yang intensif dapat mempercepat pengembangan
wilayah.

Gagasan berikutnya dikembangkan oleh Purnomosidhi.


Pendekatan yang digunakan adalah membagi wilayah nasional ke
dalam beberapa Satuan Wilayah Ekonomi yang terdiri atas pusat-
pusat pertumbuhan serta didukung kota-kota yang berhirarki pada
satuan wilayah tersebut maupun secara keseluruhan pada ruang
nasional. Pendekatan ini sangat mewarnai terwujudnya konsep
hirarki kota-kota dan hirarki jalan yang lebih dikenal sebagai orde
kota.

Kontribusi lain diperkenalkan oleh Ruslan Diwiryo pada akhir


tahun 1980-an. Gagasannya adalah mengenai pola dan struktur
ruang yang merepresentasikan keterkaitan kawasan lindung-
budidaya, serta sistem kota-kota dengan jaringan infrastrukturnya.
Gagasan pola dan struktur ruang kemudian menjadi inspirasi dalam
perumusan UU Penataan Ruang yang masih valid hingga saat ini,
karena merupakan muatan baku pada setiap dokumen Rencana Tata
Ruang Wilayah.

Akhirnya, setelah memperhatikan perkembangan berbagai


teori dan model di atas, pada dasarnya tidak terdapat rumusan
spesifik dalam pengembangan wilayah di Indonesia. Rumusan yang
diterapkan lebih berupa penggabungan beberapa teori dan model,
dikembangkan menjadi pendekatan sesuai kondisi dan kebutuhan
pembangunan wilayah di Indonesia.

(2) Penerapan Teori dan Model

Dalam menerapkan teori pengembangan wilayah untuk


mewujudkan tujuan pembangunan yang bersifat kewilayahan, secara

Sejarah Penataan Ruang Indonesia VII.1-7


- Sjarifuddin Akil -
Bab 7 Penataan Ruang dan Pembangunan Wilayah
Penataan Ruang dan Pengembangan Wilayah

umum digunakan dua jenis pendekatan, yakni pendekatan sektoral


yang lebih bersifat parsial dan pendekatan spasial yang lebih bersifat
komprehensif-holistik, yang dikenal sebagai pendekatan penataan
ruang.

Pada kurun waktu antara tahun 1970 sampai terbit UU No.


24/1992 tentang Penataan Ruang, inisiatif penerapan teori dan model
pengembangan wilayah dilakukan oleh Direktorat Tata Kota dan Tata
Daerah, bekerja sama dengan badan/universitas internasional
melalui pelaksanaan studi dan proyek pengembangan regional (loan
dan technical assistance). Proyek pengembangan wilayah Sumatera
dan Sumatera bagian utara dilaksanakan bekerja sama dengan
Pemerintah Amerika Serikat dan Jerman; proyek pengembangan
wilayah Sulawesi dan Indonesia bagian timur (NTT, NTB dan Maluku)
dengan Pemerintah Kanada (CIDA); proyek pengembangan regional
Jawa dan Sumatera dengan Pemerintah Jepang (JICA); proyek
pengembangan wilayah Bali dengan Pemerintah Kerajaan Belgia;
dan proyek pengembangan regional Maluku dengan Pemerintah
Kerajaan Belanda.

Proyek ditujukan untuk memberi bantuan teknik pengenalan


informasi dan peta wilayah, masalah dan potensi wilayah, penyiapan
usulan rencana dan strategi pengembangan wilayah sebagai
landasan perwujudan sasaran pengembangan wilayah. Beberapa di
antaranya bahkan dilengkapi dengan penyiapan indikasi program
sektoral terpadu yang disusun bersama pemerintah daerah.
Pengalaman ini merupakan pelajaran berharga dalam merumuskan
pendekatan pengembangan wilayah yang komprehensif serta
memberi masukan bagi penyiapan landasan kebijakan
pengembangan wilayah, pola umum pembangunan daerah serta
penyiapan program terpadu, sekaligus alih pengetahuan dalam
meningkatkan kemampuan aparat daerah.

Dalam penerapan teori dan model pengembangan wilayah,


pengalaman yang berkaitan dengan pemanfaatan ruang dan
pengendalian pemanfataan ruang relatif terbatas. Namun, pe-
ngalaman ini banyak diperoleh dalam penanganan kasus
Puncak/Bopunjur sebagai operasionalisasi Keppres 48/1983 tentang
“Penanganan Khusus Penataan Ruang dan Penertiban serta
Pengendalian Pembangunan pada Kawasan Puncak” dan Keppres
79/1985 mengenai “Penetapan RUTR Kawasan Puncak/Bopunjur”.
Kegiatan ini menetapkan tujuan pemanfaatan ruang wilayah yang
optimal, serasi, seimbang dan lestari memerlukan tindak penataan

Sejarah Penataan Ruang Indonesia VII.1-8


- Sjarifuddin Akil -
Bab 7 Penataan Ruang dan Pembangunan Wilayah
Penataan Ruang dan Pengembangan Wilayah

ruang serta pengendalian pembangunan yang dilaksanakan oleh


berbagai instansi pusat dan daerah bersama masyarakat,
berdasarkan kesepakatan atas rencana tata ruang serta program
sektor dan daerah.

Penataan ruang termasuk pengendalian dan penertiban


dimaksudkan untuk mencegah kerusakan lingkungan hidup lebih
parah akibat perkembangan pesat di kawasan hulu, sekaligus
memberi perlindungan di kawasan hilir Jakarta dan sekitarnya.
Sasarannya, antara lain, meningkatkan fungsi lindung terhadap
tanah, air, fauna dan flora serta tetap mengembangkan fungsi
budidaya seperti pariwisata dan pertanian.

Pengalaman itu, juga memberi lessons learned dalam


penerapan pengembangan wilayah menggunakan penataan ruang
sebagai instrumen pemanfataan dan pengendalian pembangunan
melalui mekanime perizinan lokasi dan bangunan melalui
kesepakatan dan keterlibatan masyarakat dan berbagai instansi
pemerintah. Lebih jauh, pengalaman ini memberi inspirasi, pola pikir
dan materi dalam penyiapan Undang-undang Penataan Ruang.

Bahkan, juga memberi pengayaan materi dalam penanganan


kawasan Jabodetabek-Punjur pada tahun 2002 yang memberi
perhatian pada penataan ruang lintas wilayah administrasi (perenca-
naan tata ruang, pemanfaatan ruang serta pengendalian
pemanfaatan ruang) serta membuka peluang kerja sama lintas
propinsi dalam pengembangan wilayah, termasuk pengendalian
banjir dari kawasan hulu dan hilir (Jakarta dan sekitarnya).

Pengalaman penerapan pengembangan wilayah terus


berkembang karena tidak terbatas pada wilayah yurisdiksi batas
negara. Pada beberapa kegiatan, mulai dirumuskan pengembangan
wilayah dan penataan ruang kawasan perbatasan. Dengan
paradigma kawasan perbatasan negara sebagai “beranda depan”
atau pintu gerbang dunia internasional, informasi pengembangan
wilayah kawasan perbatasan seperti di Propinsi Riau, Kalbar, Kaltim,
Sulut, Maluku, Papua dan NTT yang bercirikan maritim dan darat
sudah harus menjadi pertimbangan serius. Dengan demikian, dapat
diwujudkan sinergi antara Indonesia dengan negara tetangga dan
menjadi pendorong dalam pengembangan kerja sama sub regional
(KESR).

Sejarah Penataan Ruang Indonesia VII.1-9


- Sjarifuddin Akil -
Bab 7 Penataan Ruang dan Pembangunan Wilayah
Penataan Ruang dan Pengembangan Wilayah

Setelah UU No. 24/1992 tentang Penataan Ruang


diberlakukan, penetapan RTRWN (PP No. 47/1997) memberikan
pengaruh kuat bagi perjalanan pengembangan wilayah Indonesia.
Dalam RTRWN ditetapkan 108 kawasan andalan di seluruh
Indonesia yang menjadi dasar penetapan Kawasan Pengembangan
Ekonomi Terpadu (KAPET) sebagai prioritas kawasan yang dipilih
berdasarkan kesiapan infrastruktur dan potensi ekonomi sektor
unggulan sebagai prime mover, sehingga membuka peluang
investasi untuk percepatan pengembangan kawasan tersebut dan
wilayah belakangnya. Hingga saat ini telah ditetapkan 13 KAPET (12
KAPET di KTI dan 1 KAPET di KBI) yang dimanfaatkan sebagai
pendekatan untuk mengatasi kesenjangan antara wilayah KBI dan
KTI.

Sejarah perjalanan pengembangan wilayah dan penataan


ruang di Indonesia pun dewasa ini diwarnai oleh penegasan kembali
pentingnya aspek kelautan, pesisir dan pulau-pulau kecil. Untuk itu,
di dalam RTRWN telah ditetapkan 37 Kawasan Andalan Laut
sebagai kawasan yang memiliki sektor unggulan potensial berbasis
sumberdaya kelautan dan pesisir (khususnya perikanan, pariwisata
dan pertambangan), serta didukung keberadaaan kota-kota pantai
dengan kelengkapan infrastrukturnya. Keberadaan kawasan andalan
laut diharapkan dapat bersinergi dengan kawasan andalan yang
berada di daratan.

Berdasarkan atas uraian sebelumnya, dapat dikatakan bahwa


penataan ruang selain merupakan proses mewujudkan tujuan
pembangunan, sekaligus juga instrumen yang memiliki landasan
hukum untuk mewujudkan sasaran pengembangan wilayah.
Berdasarkan UU No. 24/1992, khususnya pasal 3, tujuan penataan
ruang adalah terselenggaranya pengaturan pemanfaatan ruang
kawasan budidaya dan kawasan lindung. Di samping itu, termuat
sasaran penataan ruang, yakni (1) mewujudkan kehidupan bangsa
yang cerdas, berbudi luhur dan sejahtera, (2) mewujudkan
keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan buatan
dengan memperhatikan sumber daya manusia, (3) meningkatkan
pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya buatan secara
berdayaguna, berhasil guna dan tepat guna untuk meningkatkan
kualitas sumber daya manusia, (4) mewujudkan perlindungan fungsi
ruang dan mencegah serta menanggulangi dampak negatif terhadap
lingkungan, serta (5) mewujudkan keseimbangan kepentingan antara
kesejahteraan dan keamanan.

Sejarah Penataan Ruang Indonesia VII.1-10


- Sjarifuddin Akil -
Bab 7 Penataan Ruang dan Pembangunan Wilayah
Penataan Ruang dan Pengembangan Wilayah

Pada tahap perencanaan tata ruang, berbagai teori dan model


yang relevan dirumuskan menjadi tujuan, strategi pengembangan
dan RTRW wilayah nasional, propinsi, kabupaten dan kota. Masing-
masing RTRW kemudian ditetapkan menjadi produk hukum
(Peraturan Pemerintah dan Peraturan Daerah) sehingga memiliki
kekuatan dan implikasi hukum.

Pada tahap pemanfaatan ruang, RTRW yang telah ditetapkan


sebagai landasan hukum dijabarkan menjadi program pembangunan
dan pembiayaannya. Ada pun pelaksanan program dilakukan sektor-
sektor secara sistematis dan bertahap dengan mengacu pada
RTRW. Pada akhir masa perencanaan, pola dan struktur peman-
faatan ruang dalam RTRW diharapkan dapat terwujud.

Pada tahap pengendalian pemanfaatan ruang, instrumen


yang digunakan agar proses pemanfaatan ruang dapat konsisten
dengan tujuan pengembangan wilayah adalah perizinan dan
pengenaan sanksi-sanksi sebagai implikasi dari penertiban
pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan RTRW.

Selain itu dapat disimpulkan pula bahwa pengembangan


wilayah merupakan rangkaian upaya untuk mewujudkan keterpaduan
dalam penggunaan berbagai sumber daya, merekatkan dan
menyeimbangkan pembangunan nasional dan kesatuan wilayah
nasional, meningkatkan keserasian antarkawasan, keterpaduan
antarsektor melalui proses penataan ruang dalam pencapaian tujuan
pembangunan nasional.

TANTANGAN M ASA DEPAN

Dapat dipastikan, pengembangan wilayah dan penataan


ruang di Indonesia pada millenium ketiga akan menghadapi
tantangan yang serius, seiring dengan kompleksitas permasalahan
yang makin meningkat. Sebagian tantangan tersebut, terkait dengan
permasalahan pembangunan masa kini yang belum sepenuhnya
terjawab, sedangkan sebagian lainnya terkait dengan antisipasi
terhadap permasalahan pembangunan masa mendatang.

Setidaknya, terdapat empat tantangan yang berkaitan dengan


upaya menjawab permasalahan pembangunan masa kini, yaitu (1)
mengatasi kesenjangan pembangunan antarwilayah; (2) mendorong
percepatan otonomi daerah dalam kerangka Negara Kesatuan

Sejarah Penataan Ruang Indonesia VII.1-11


- Sjarifuddin Akil -
Bab 7 Penataan Ruang dan Pembangunan Wilayah
Penataan Ruang dan Pengembangan Wilayah

Republik Indonesia; (3) mengembangkan sistem jaringan prasarana


wilayah terpadu, dan (4) mempertahankan kelangsungan
perkembangan kegiatan perekonomian, termasuk menciptakan iklim
pembangunan yang lebih kondusif untuk investasi.

Upaya untuk mengatasi tantangan pertama, yakni


kesenjangan antara wilayah KBI dan KTI, Jawa dan luar Jawa
maupun antara kawasan perkotaan dan perdesaan adalah dengan
lebih mendorong program sektoral secara terpadu pada kawasan
andalan dan tertinggal di KTI yang menjadi keputusan politik yang
tertuang dalam TAP MPR, GBHN, dan PROPENAS. Tantangan
kedua dalam pengembangan wilayah adalah mengembangkan
sistem jaringan prasarana wilayah, seperti jalan lintas propinsi,
pelabuhan laut dan udara, serta jalan rel kereta api yang saling
terkait secara fungsional, sehingga dapat memberi dukungan efektif
dan efisien terhadap peningkatan daya saing wilayah.

Tantangan berikutnya, dalam mendorong percepatan otonomi


daerah adalah dengan memberi kewenangan dan meningkatkan
kemampuan daerah untuk berinisiatif dalam merumuskan dan
melaksanakan program pembangunan strategis di wilayah masing-
masing dalam koridor NKRI. Dalam era otonomi daerah, tantangan
untuk lebih mendesentralisasikan peran pembangunan yang lebih
besar pada masyarakat (community driven planning) dan mengako-
modasikan berbagai aspirasi dan kepentingan masyarakat dalam
pengembangan wilayah dan penataan ruang, semakin nyata.

Tantangan terakhir, untuk mempertahankan kelangsungan


perkembangan kegiatan ekonomi wilayah termasuk penciptaan iklim
pembangunan yang kondusif untuk investasi dicapai melalui
penataan sistem perizinan, peningkatan kepastian usaha (perbaikan
sistem hukum dan kelembagaan), peningkatan jaminan keamanan,
perluasan akses pasar dan insentif pajak.

Sementara itu, terdapat empat tantangan yang berkaitan


dengan upaya mengantisipasi permasalahan pembangunan masa
depan, yakni (1) mendorong pemanfaatan sumberdaya kelautan dan
pesisir yang belum termanfaatkan optimal, (2) mendorong penerapan
pengembangan wilayah berbasis kelautan, (3) mendorong
pengembangan kawasan perbatasan darat dan laut, dan (4)
mengatasi dampak global warming, seperti peningkatan muka air
laut.

Sejarah Penataan Ruang Indonesia VII.1-12


- Sjarifuddin Akil -
Bab 7 Penataan Ruang dan Pembangunan Wilayah
Penataan Ruang dan Pengembangan Wilayah

Setelah berlalunya momentum pembangunan era keemasan


komoditas perkebunan (kopra, cengkeh, kakao dan lain-lain),
komoditas migas pada 1970-an, serta komoditas hasil hutan pada
1980-an, pemanfaatan sumber daya kelautan dan pesisir, seperti
sumber daya hayati (ikan), mineral dan jasa kelautan (khususnya
pariwisata) merupakan tantangan besar bagi pengembangan wilayah
masa depan di Indonesia. Oleh karenanya, pemanfaatan produk dan
jasa kelautan perlu direncanakan matang dan hati-hati agar
momentum pembangunan ketiga yang berbasis sumberdaya
kelautan dan pesisir dapat memberikan hasil optimal bagi pemulihan
ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Tantangan lain, mendorong penerapan pengembangan


wilayah berbasis teknologi untuk meningkatkan keunggulan
kompetitif (daya saing) wilayah. Pengembangan wilayah yang hanya
berbasis keunggulan komparatif dengan mengandalkan sumber daya
alam dan manusia sebagai faktor produksi dominan kurang memberi
hasil optimal. Peran teknologi dalam peningkatan daya saing produk
unggulan wilayah menjadi sangat relevan, apalagi dikaitkan dengan
tantangan globalisasi dan perdagangan bebas dengan iklim
kompetisi ketat. Dengan spesialisasi produk unggulan wilayah
diharapkan dapat terbentuk jaringan kota-kota sebagai pusat
pertumbuhan yang kuat (spatial network).

Selain itu, tantangan lain yang penting untuk mendukung


proses penataan ruang ke depan, adalah pemanfaatan model terbaru
seperti sistem dinamik. Pengembangan sistem dinamik dimaksudkan
agar proses pengambilan keputusan dalam penataan ruang dapat
dilakukan akurat, transparan, akomodatif, dan akuntabel dengan
memanfaatkan teknologi komputer.

Tantangan ketiga dalam pengembangan wilayah terkait


dengan pengembangan kawasan perbatasan antarnegara, baik di
darat (misal di Kalimantan, NTT dan Papua) maupun di laut
(Kepulauan Maluku, Papua, Sulawesi Utara, Sumatera Utara, Riau),
dengan memadukan kepentingan pertahanan (security) dan
kesejahteraan masyarakat (prosperity) secara serasi dan selaras.
Selain itu, perhatian pada kawasan perbatasan antarpropinsi maupun
antarkabupaten/ kota perlu pula mendapat perhatian guna
meminimalkan potensi konflik pemanfaatan ruang.

Tantangan terakhir terkait dengan fenomena pemanasan


global (global warming) yang diperkirakan berdampak signifikan bagi

Sejarah Penataan Ruang Indonesia VII.1-13


- Sjarifuddin Akil -
Bab 7 Penataan Ruang dan Pembangunan Wilayah
Penataan Ruang dan Pengembangan Wilayah

perkembangan wilayah pesisir di Indonesia. Salah satu dampak


penting dari global warming adalah peningkatan muka air laut
setinggi 31-110 cm pada 2100. Dalam suatu kesempatan, Menteri
Kimpraswil menegaskan, tidak kurang dari 4.000 pulau kecil di
Indonesia terancam tenggelam, sementara ratusan kota pesisir di
sepanjang pantai timur Sumatera, pantura Jawa, sebagian pesisir
selatan, Kalimantan, pesisir barat daya Sulawesi hingga pesisir
Papua berikut seluruh penghuni dan aset sosial-ekonominya
terancam keberadaannya. Oleh karenanya, perlu penerapan konsep
pengembangan wilayah yang tepat guna menjangkau horison waktu
lebih panjang (50 tahun), untuk mengantisipasi berbagai
kemungkinan dampak global warming tersebut.

PENUTUP

Pada dasarnya, konsep pengembangan wilayah di Indonesia


dapat ditinjau dari dua aspek, yakni aspek teoritis-keilmuan dan
aspek objektif-penerapan. Ditinjau dari aspek teoritis-keilmuan,
konsep pengembangan wilayah mengalami perkembangan dari
waktu ke waktu seiring perubahan sistem sosial-ekonomi serta
perubahan tuntutan pembangunan pada masanya. Namun demikian,
tidak terdapat rumusan mengenai teori dan model yang spesifik
digunakan dalam pengembangan wilayah di Indonesia, kecuali
rumusan pendekatan yang digunakan setelah mengalami adaptasi
atau penyesuaian terhadap kondisi dan kebutuhan pembangunan.

Ditinjau dari aspek penerapannya, pada dasarnya


pengembangan wilayah merupakan upaya mengatasi kesenjangan
perkembangan antarwilayah agar dicapai kesejahteraan masyarakat
lebih merata antara KBI dengan KTI, antara Jawa dan luar Jawa
maupun antara kawasan perkotaan dan perdesaan, serta ditujukan
untuk lebih memanfaatkan sumber daya alam (darat maupun laut)
secara lebih optimal, terpadu, berdaya guna dan berhasil guna agar
kelestarian lingkungan tetap terjaga sesuai prinsip pembangunan
berkelanjutan.

Penataan ruang memiliki peran strategis dalam perwujudan


konsep pengembangan wilayah. Penataan ruang merupakan
instrumen yang digunakan untuk memahami fenomena sosial-
ekonomi, lingkungan, fisik-wilayah dan sumber daya buatan, secara
komprehensif, sekaligus instrumen untuk mengkaji keterkaitan
antarfenomena tersebut serta merumuskan tujuan dan strategi

Sejarah Penataan Ruang Indonesia VII.1-14


- Sjarifuddin Akil -
Bab 7 Penataan Ruang dan Pembangunan Wilayah
Penataan Ruang dan Pengembangan Wilayah

pengembangan wilayah terpadu sebagai acuan pengembangan


kebijakan sektoral.

Sejarah Penataan Ruang Indonesia VII.1-15


- Sjarifuddin Akil -
Bab 7 Penataan Ruang dan Pembangunan Wilayah
Penataan Ruang dan Pengembangan Wilayah

DAFTAR PUSTAKA

1. ADB, Climate Change in Asia : Indonesia Country Report on


Socio-Economic Impacts of Climate Change and a National
Response Strategy, Regional Study on Global Environmental
Issues, 1994.
2. Alkadri, dkk., Manajemen Teknologi untuk Pengembangan
Wilayah : Konsep Dasar dan Implikasi Kebijakan, Badan
Pengkajian dan Penerapan Teknologi, University of Indonesia
Press, Jakarta, 1999.
3. Akil, Sjarifuddin. Pengembangan Sumber Daya Alam yang
dapat Membantu Mengatasi Kesenjangan antara Kawasan
Timur dan Kawasan Barat Indonesia, TASKAP KRA XXX
LEMHANNAS, Jakarta, 1997
4. Ditjen Cipta Karya, Memori 38 Tahun DITADA : Dari Centraal
Planologisch Bureau sampai Direktorat Tata Kota dan Tata
Daerah (1948-1986), Departemen Pekerjaan Umum, 1986
5. Irawan dan Suparmoko, Ekonomi Pembangunan, Penerbit
Liberty, Yogyakarta, 1988.
6. Mubyarto, Pengembangan Wilayah, Pembangunan
Perdesaan, dan Otonomi Daerah, Sumbangan tulisan untuk
buku Pengembangan Wilayah Perdesaan dan Kawasan
Tertentu : Sebuah Kajian Eksploratif, BPPT, 2000.
7. The State Minister of Environment – ROI, Vulnerability and
Adaptation Assessments of Climate Change in Indonesia,
Indonesia Country Study on Climate Change, US – EPA :
Country Study Program, The State Minister of Environment –
ROI, 1998.
8. Yustika, Ahmad Erani., Industrialisasi Pinggiran, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta, 2000.
9. Kebijakan, Strategi dan Program Direktorat Jenderal
Penataan Ruang Tahun 2000 – 2004, Ditjen Penataan Ruang
– Depkimpraswil, 2001
10. Peraturan Pemerintah No.47 Tahun 1997 tentang Rencana
Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN)
11. Undang-Undang Republik Indonesia No.24 Tahun 1992
tentang Penataan Ruang.

Sejarah Penataan Ruang Indonesia VII.1-16


- Sjarifuddin Akil -

You might also like