You are on page 1of 4

c cY  

 c
cc c
  c

OLEH: U. LUKMAN

Kita menyadari bahwa pendidikan adalah hal penting dalam kehidupan. Pendidikan
merupakan kebutuhan yang tidak dapat dipisahkan dalam rangka mencetak sumber daya
manusia Indonesia yang handal, berakhlak mulia, dan bermartabat.
Pembelajaran merupakan jantung dari proses pendidikan dalam suatu institusi
Pendidikan. Kualitas pembelajaran bersifat kompleks dan dinamis, dapat dipandang dari
berbagai persepsi dan sudut pandang. Lembaga pendidikan dituntut untuk terus berusaha
meningkatkan kualitas pembelajaran dan proses penyelenggaraan pendidikan. Sehingga perlu
diterapkan strategi pencapaian kualitas pembelajaran yang dapat dilakukan melalui lembaga
pendidikan dan juga melalui individu seorang guru.
Ada hal yang harus kita waspadai dalam poses pembelajaran yaitu   dan
 
  . Hasil survey Yayasan Semai Jiwa Amini (Sejiwa), menyebutkan bahwa
ada beberapa sekolah yang melakukan kekerasan. Kekerasan yang sering terjadi di sekolah itu
adalah  
     penggunaan senjata, dan pembentukan geng-geng.
Namun dari semuanya itu yang paling terbanyak adalah  
   dan  .
 
   adalah hukuman yang dilakukan oleh guru di sekolah terhadap
siswa yang melanggar aturan dengan menggunakan kekerasan. Hal ini dilakukan dengan
alasan karena ingin mendisiplinkan siswa. Bentuk pemberian sanksi berupa memukul tangan
dengan penggaris, menjambak rambut karena terlalu panjang, menyuruh karena
terlambat, menampar kepala karena siswa terlihat menantang ketika dinasehati, dan lain
sebagainya. Hukuman-hukuman seperti ini sangat tidak baik bagi kondisi psikologis siswa.
Apalagi kalau dilakukan di depan teman-temannya. Anak akan merasa malu, minder bahkan
depresi. Selain itu, efek  
   ini akan berakibat pada hubungan murid dan
guru kurang harmonis. Padahal salah satu bentuk pembelajaran di kelas yang diharapkan
adalah pembelajaran yang menyenangkan. Salah satu cirinya, murid harus merasa dekat
dengan guru.
  adalah penggunaan kekuasaan atau kekuatan untuk menyakiti seseorang atau
sekelompok, sehingga korban merasa tertekan, trauma, dan tidak berdaya. Pada dunia
pendidikan khususnya di sekolah dikenal dengan istilah    . Menurut Riauskina,
Djuwita, dan Soesetio (2005)     adalah suatu perilaku agresif yang dilakukan
berulang-ulang oleh seorang/ sekelompok siswa yang memiliki kekuasaan, terhadap siswa/
siswi lain yang lebih lemah, dengan tujuan menyakiti orang tersebut.
  dapat dikelompokan ke dalam 5 kategori, yaitu: (1) Kontak fisik langsung
(memukul, mendorong, menggigit, menjambak, menendang, mengunci seseorang dalam
ruangan, mencubit, mencakar, juga termasuk memeras dan merusak barang-barang yang
dimiliki orang lain), (2) Kontak verbal langsung (mengancam, mempermalukan,
merendahkan, mengganggu, memberi panggilan nama (

), sarkasme,
merendahkan (  ), mencela/mengejek, mengintimidasi, memaki, menyebarkan gosip).
(3) Perilaku non-verbal langsung (melihat dengan sinis, menjulurkan lidah, menampilkan
ekspresi muka yang merendahkan, mengejek, atau mengancam; biasanya diertai oleh  
fisik atau verbal). (4) Perilaku non-verbal tidak langsung (mendiamkan seseorang,
memanipulasi persahabatan sehingga menjadi retak, sengaja mengucilkan atau mengabaikan,
mengirimkan surat kaleng). (5) Pelecehan seksual (kadang dikategorikan perilaku agresi fisik
atau verbal).
Dari hasil penelitian Sejiwa,   adalah persoalan yang sangat penting di sekolah-
sekolah. Sebab di sekolah,   muncul dalam berbagai bentuk. Kegiatan inisiasi seperti
MOS dan ritual yang biasa diadakan para senior di sekolah, merupakan bentuk   yang
tidak disadari. Kegiatan yang seharusnya bertujuan sebagai orientasi atau memperkenalkan
sekolah dan program yang ada di sekolah, malah dijadikan ajang untuk mempemalukan para
siswa baru dengan kegiatan yang merendahkan dan mengintimidasi. Seperti menggunakan
pakaian yang penuh dengan hiasan makanan ringan dan permen, seperti orang gila. Selain itu,
anak juga disuruh dandan yang tidak sedap dipandang. Jika menolak maka disebut melanggar
aturan dan dikenakan sanksi.
Hasil penelitian Sejiwa menyebutkan bahwa   ternyata tidak hanya memberi
dampak negatif pada korban, melainkan juga pada para pelaku.   ternyata
berhubungan dengan meningkatnya tingkat depresi, agresi, penurunan nilai akademik, dan
tindakan bunuh diri.   juga menurunkan skor tes kecerdasan dan kemampuan analisis
para siswa. Para pelaku   berpotensi tumbuh sebagai pelaku kriminal, jika
dibandingkan dengan anak-anak yang tidak melakukan  . Karena itu, tindakan ini akan
merusak generasi penerus di Indonesia.
Padahal kita tahu bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian
diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan negara. Sedangkan fungsi pendidikan nasional yang tercantum dalam
Undang-undang Sisdiknas tahun 2003 yaitu mengembangkan kemampuan dan membentuk
watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Oleh
karena itu, perlu adanya sinergitas yang mendukung antara guru sebagai tenaga pendidik dan
masyarakat sebagai objek pendidikan. Jika guru masih menerapkan kekerasan dalam
memebrikan sanksi dan penerapan   dengan dasar senioritas dalam proses pendidikan
maka tujuan pendidikan yang kita harapkan tidak akan tercapai.
Mengapa korban  
   dan   mau menerima, bahkan seperti
tidak berdaya dan secara terpaksa harus menyetujui perspektif pelaku yang pernah
merugikannya? Salah satu alasannya yaitu korban tidak mau menceritakan pengalaman
mereka kepada pihak sekolah dan orangtua. Korban biasanya merahasiakan   yang
mereka terima karena takut pelaku akan semakin mengintimidasi mereka. Akibatnya, korban
bisa semakin menyerap ¶falsafah¶   yang didapat dari seniornya. Dalam skema kognitif
korban mempunyai persepsi bahwa pelaku melakukan   karena tradisi, balas dendam
karena dia dulu diperlakukan sama, ingin menunjukkan kekuasaan, marah karena korban tidak
berperilaku sesuai dengan yang diharapkan, mendapatkan kepuasan, dan iri hati.
Ada beberapa dampak dari terjadinya tindakan bullying pada anak kita di sekolah
diantaranya adalah: menurunnya prestasi akademik, kehadiran di sekolah, hilangnya minat
belajar dan malas mengerjakan pekerjaan sekolah atau PR, sulit berkonsentrasi, berkurangnya
minat pada kegiatan-kegiatan sekolah, dan bahkan siswa akan    dari sekolahnya.
Selanjutnya apakah yang harus dilakukan oleh orang tua untuk menghadapi hal itu? 1)
Amati dengan seksama gejala-gejala perubahan anak dan segeralah lakukan pendekatan
padanya. 2) Tenanglah dalam bertindak, sambil meyakinkan anak bahwa ia telah mendapat
perlindungan dari perilaku   3) Konsultasi dan laporkan kepada guru/ pihak sekolah
untuk segera dilakukan penyelidikan. 4) Meminta counsellor ( guru BK) sekolah melakukan
penyelidikan tentang apa yang telah terjadi. 5) Meminta pihak sekolah untuk memberikan info
tentang apa yang sebenarnya telah terjadi. 6) Mengajarkan anak cara-cara menghadapi
bullying.
Sebagai penutup,  
   dan   dalam dunia pendidikan adalah hal
yang harus dijauhi. Mendidik anak dengan kekerasan tidak akan membentuk anak menjadi
disiplin tetapi akan membentuk anak menjadi liar dan berjiwa kriminal. Guru melakukan
 
   maka secara tidak disadari guru mendidik generasi pe  pada
muridnya. Jika ini terjadi maka tujuan pendidikan nasional tidak akan tercapai yang ada hanya
terbentuknya generasi-generasi kriminal dan tidak bermartabat.

U. Lukman
Penulis adalah guru SMAN 1 Jasinga

You might also like