You are on page 1of 33

Mencari Model

Demokrasi ala
Indonesia

Oleh :
Muchyar Yara, SH.,MH.
Staf Pengajar Hukum Tata Negara
Fakultas Hukum – Universitas Indonesia

Makalah Pembicara Panel pada Simposium


“Membangun Negara dan Mengembangkan Demokrasi dan
Masyarakat Madani”
Yang diselenggarakan oleh Komisi Kebudayaan dan Komisi Ilmu-Ilmu Sosial
Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI),
Bertempat di Lembaga Biologi Molekuler EIJKMAN,
Simposium AIPI :
“Membangun Negara dan Mengembangkan Demokrasi dan Masyarakat
Madani”

Jalan Diponogoro 69, Jakarta Pusat 10430

Selasa, 8 Agustus 2006

MENCARI MODEL DEMOKRASI ALA INDONESIA 1

Oleh : Muchyar Yara


Staf Pengajar HTN-FHUI

Pendahuluan.

Berawal dari kemenangan Negara-negara Sekutu (Eropah Barat dan Amerika


Serikat) terhadap Negara-negara Axis (Jerman, Italia & Jepang) pada Perang
Dunia II (1945), dan disusul kemudian dengan keruntuhan Uni Soviet yang
berlandasan paham Komunisme di akhir Abad XX , maka paham Demokrasi yang
dianut oleh Negara-negara Eropah Barat dan Amerika Utara menjadi paham yang
mendominasi tata kehidupan umat manusia di dunia dewasa ini.
Suatu bangsa atau masyarakat di Abad XXI ini baru mendapat pengakuan
sebagai warga dunia yang beradab (civilized) bilamana menerima dan
menerapkan demokrasi sebagai landasan pengaturan tatanan kehidupan
kenegaraannya. Sementara bangsa atau masyarakat yang menolak demokrasi
dinilai sebagai bangsa/masyarakat yang belum beradab (uncivilized).

Sejak Indonesia merdeka dan berdaulat sebagai sebuah negara pada tanggal 17
Agustus 1945, para Pendiri Negara Indonesia (the Founding Fathers) melalui UUD
1945 (yang disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945) telah menetapkan bahwa
Negara Kesatuan Republik Indonesia (selanjutnya disebut “NKRI”) menganut
paham atau ajaran demokrasi, dimana kedaulatan (kekuasaan tertinggi) berada
ditangan Rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan

1
Disajikan sebagai Makalah Pembicara Panel pada Simposium “Membangun Negara dan
Mengembangkan Demokrasi dan Masyarakat Madani”, yang diselenggarakan oleh Komisi
Kebudayaan dan Komisi Ilmu-Ilmu Sosial Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), di
Lembaga Biologi Molekuler EIJKMAN, Jl. Diponogoro 69, Jakarta Pusat 10430, pada Hari Selasa,
8 Agustus 2006.

2
Simposium AIPI :
“Membangun Negara dan Mengembangkan Demokrasi dan Masyarakat
Madani”

Rakyat (MPR). Dengan demikian berarti juga NKRI tergolong sebagai negara
yang menganut paham Demokrasi Perwakilan (Representative Democracy).

Penetapan paham demokrasi sebagai tataan pengaturan hubungan antara rakyat


disatu pihak dengan negara dilain pihak oleh Para Pendiri Negara Indonesia yang
duduk di BPUPKI tersebut, kiranya tidak bisa dilepaskan dari kenyataan bahwa
sebahagian terbesarnya pernah mengecap pendidikan Barat, baik mengikutinya
secara langsung di negara-negara Eropah Barat (khususnya Belanda), maupun
mengikutinya melalui pendidikan lanjutan atas dan pendidikan tinggi yang
diselenggarakan oleh pemerintahan kolonial Belanda di Indonesia sejak beberapa
dasawarsa sebelumnya, sehingga telah cukup akrab dengan ajaran demokrasi
yang berkembang di negara-negara Eropah Barat dan Amerika Serikat.
Tambahan lagi suasana pada saat itu (Agustus 1945) negara-negara penganut
ajaran demokrasi telah keluar sebagai pemenang Perang Dunia-II.
Didalam praktek kehidupan kenegaraan sejak masa awal kemerdekaan hingga
saat ini, ternyata paham demokrasi perwakilan yang dijalankan di Indonesia terdiri
dari beberapa model demokrasi perwakilan yang saling berbeda satu dengan
lainnya.

Sejalan dengan diberlakukannya UUD Sementara 1950 (UUDS 1950) Indonesia


mempraktekkan model Demokrasi Parlemeter Murni (atau dinamakan juga
Demokrasi Liberal), yang diwarnai dengan cerita sedih yang panjang tentang
instabilitas pemerintahan (eksekutif = Kabinet) dan nyaris berujung pada konflik
ideologi di Konstituante pada bulan Juni-Juli 1959.

Guna mengatasi konflik yang berpotensi mencerai-beraikan NKRI tersebut di atas,


maka pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Ir.Soekarno mengeluarkan Dekrit
Presiden yang memberlakukan kembali UUD 1945, dan sejak itu pula diterapkan
model Demokrasi Terpimpin yang diklaim sesuai dengan ideologi Negara
Pancasila dan paham Integralistik yang mengajarkan tentang kesatuan antara
rakyat dan negara.

3
Simposium AIPI :
“Membangun Negara dan Mengembangkan Demokrasi dan Masyarakat
Madani”

Namun belum berlangsung lama, yaitu hanya sekitar 6 s/d 8 tahun dilaksanakan-
nya Demokrasi Terpimpin, kehidupan kenegaraan kembali terancam akibat
konflik politik dan ideologi yang berujung pada peristiwa G.30.S/PKI pada tanggal
30 September 1965, dan turunnya Ir. Soekarno dari jabatan Presiden RI pada
tanggal 11 Maret 1968.
Presiden Soeharto yang menggantikan Ir. Soekarno sebagai Presiden ke-2 RI dan
menerapkan model Demokrasi yang berbeda lagi, yaitu dinamakan Demokrasi
Pancasila (Orba), untuk menegaskan klaim bahwasanya model demokrasi inilah
yang sesungguhnya sesuai dengan ideologi negara Pancasila.
Demokrasi Pancasila (Orba) berhasil bertahan relatif cukup lama dibandingkan
dengan model-model demokrasi lainnya yang pernah diterapkan sebelumnya,
yaitu sekitar 30 tahun, tetapi akhirnyapun ditutup dengan cerita sedih dengan
lengsernya Jenderal Soeharto dari jabatan Presiden pada tanggal 23 Mei 1998,
dan meninggalkan kehidupan kenegaraan yang tidak stabil dan krisis disegala
aspeknya.

Sejak runtuhnya Orde Baru yang bersamaan waktunya dengan lengsernya


Presiden Soeharto, maka NKRI memasuki suasana kehidupan kenegaraan yang
baru, sebagai hasil dari kebijakan reformasi yang dijalankan terhadap hampir
semua aspek kehidupan masyarakat dan negara yang berlaku sebelumnya.
Kebijakan reformasi ini berpuncak dengan di amandemennya UUD 1945 (bagian
Batangtubuhnya) karena dianggap sebagai sumber utama kegagalan tataan
kehidupan kenegaraan di era Orde Baru.

Amandemen UUD 1945, terutama yang berkaitan dengan kelembagaan negara,


khususnya laginya perubahan terhadap aspek pembagian kekuasaan dan aspek
sifat hubungan antar lembaga-lembaga negaranya, dengan sendirinya
mengakibatkan terjadinya perubahan terhadap model demokrasi yang dilaksana-
kan dibandingkan dengan model Demokrasi Pancasila di era Orde Baru.

Model Demokrasi pasca Reformasi (atau untuk keperluan tulisan ini dinamakan
saja sebagai “Demokrasi Reformasi”, karena memang belum ada kesepakatan
mengenai namanya) yang telah dilaksanakan sejak beberapa tahun terakhir ini,

4
Simposium AIPI :
“Membangun Negara dan Mengembangkan Demokrasi dan Masyarakat
Madani”

nampaknya belum menunjukkan tanda-tanda kemampuannya untuk mengarah-


kan tatanan kehidupan kenegaraan yang stabil (ajeq), sekalipun lembaga-
lembaga negara yang utama, yaitu lembaga eksekutif (Presiden/Wakil Presiden)
dan lembaga-lembaga legislatif (DPR dan DPD) telah terbentuk melalui pemilihan
umum langsung yang memenuhi persyaratan sebagai mekanisme demokrasi.
Keadaan inilah yang nampaknya melatarbelakangi kegalauan diantara warga
masyarakat yang dari hari ke hari semakin membesar jumlahnya, sehingga
kemudian kegalauan tersebut diangkat oleh Simposium ini dan dirumuskan
kedalam pertanyaan, “Model demokrasi yang manakah dirasakan paling
sesuai dan mendapat dukungan dari mayoritas warganegara Indonesia, dan
apa yang menjadi dasar dukungan tersebut?”.

Tulisan singkat ini bertujuan mencoba memberikan jawaban atas pertanyaan di


atas, khususnya dari sudut kajian Ilmu Hukum Tata Negara.

Sekilas tentang Ajaran Demokrasi.

Sebelum paham atau ajaran demokrasi muncul, kehidupan bangsa, masyarakat


dan negara di Eropah dilandasi oleh paham agama, atau dinamakan juga dengan
“Teokrasi”, yang artinya pemerintahan/negara berdasarkan Hukum/Kedaulatan
Tuhan.
Penyelewengan paham Teokrasi yang dilakukan oleh pihak Raja dan otoritas
Agama, mengakibatkan kehidupan negara-negara di Eropah mengalami
kemunduran yang sangat drastis, bahkan hampir-hampir memporak-poranda
seluruh sendi-sendi kehidupan masyarakat dan negara disana.
Ditengah situasi kegelapan yang melanda Eropah inilah JJ.Rousseau
berpendapat bahwa landasan kehidupan bangsa/masyarakat tidak dapat lagi
disandarkan pada kedaulatan Tuhan yang dijalankan oleh Raja dan Otoritas
Agama, karena sesungguhnya kedaulatan tertinggi di dalam suatu
negara/masyarakat berada ditangan rakyatnya dan bukan bersumber dari Tuhan.
Bahkan negara/masyarakat berdiri karena semata-mata berdasarkan Kontrak
yang dibuat oleh rakyatnya (Teori Kontrak Sosial).

5
Simposium AIPI :
“Membangun Negara dan Mengembangkan Demokrasi dan Masyarakat
Madani”

Singkatnya ajaran/teori Kedaulatan Rakyat atau “demokrasi” ini mengatakan


bahwa kehendak tertinggi pada suatu negara berada ditangan rakyat, dan
karenanya rakyat yang menentukan segala sesuatu berkenaan dengan negara
serta kelembagaannya. Atau dapat juga dikatakan sebagai ajaran tentang
Pemerintahan Negara berada ditangan Rakyat.
Ajaran Demokrasi adalah sepenuhnya merupakan hasil olah pikir JJ. Rousseau
yang bersifat hipotetis, yang sampai saat itu belum pernah ada pembuktian
empiriknya. Bahkan pada “Polis” atau City State” di Yunani yang digunakan oleh
Rousseau sebagai contoh didalam membangun Ajaran Demokrasi yang bersifat
mutlak dan langsung, tidak dapat ditemui adanya unsur-unsur demokrasi.
Oleh karenanya Logemann mengatakan bahwa Ajaran Demokrasi JJ.Rousseau
sebagai “Mitos Abad XIX”, karena tidak memiliki pijakan pada kenyataan
kehidupan umat manusia.
Adalah bertentangan dengan kenyataan dimana rakyat secara langsung dan
mutlak (keseluruhan) memegang kendali pemerintahan negara. Karena justru
kenyataannya menunjukan bahwa segelintir (sedikit) oranglah yang memegang
kendali pemerintahan negara dan memerintah kumpulan orang yang banyak, yaitu
rakyat.

Benturan yang tidak terdamaikan antara Ajaran Demokrasi JJ.Rousseau (yang


bersifat mutlak dan langsung) dengan kenyataan empirik kehidupan manusia
(yang sedikit memerintah yang banyak), ditambah lagi sebagai akibat
perkembangan lembaga negara menjadi “National State” yang mencakup wilayah
luas serta perkembangan rakyatnya yang menjadi semakin banyak jumlahnya dan
tingkat kehidupannya yang komplek, maka Ajaran Demokrasi yang awalnya
dicetuskan oleh JJ.Rousseau ini masih memerlukan penyempurnaan-
penyempurnaan.

Langkah penyempurnaan terhadap Ajaran Demokrasi JJ.Rousseau yang


terpenting dan merupakan awal menuju kearah demokrasi modern yaitu
Demokrasi Perwakilan yang dikenal sampai kini, adalah dengan dibentuknya
Dewan Perwakilan Rakyat di Inggris pada pertengahan Abad XIII (1265).

6
Simposium AIPI :
“Membangun Negara dan Mengembangkan Demokrasi dan Masyarakat
Madani”

Pada Demokrasi Perwakilan, rakyat secara keseluruhan tidak ikut serta


menentukan jalannya pemerintahan negara, tetapi rakyat mewakilkan kepada
wakil-wakilnya yang duduk di Badan Perwakilan Rakyat untuk menentukan
jalannya pemerintahan negara.

Untuk menentukan siapakah individu-individu rakyat yang akan mewakili


keseluruhan jumlah rakyat di Badan Perwakilan Rakyat ini digunakan mekanisme
Pemilihan (Umum) yang bercirikan :
1. Adanya 2 (dua) atau lebih calon yang harus dipilih ;
2. Siapa yang mendapatkan suara terbanyak dari calon-calon yang ada, maka
dialah yang akan duduk di Badan Perwakilan Rakyat guna mewakili mayoritas
rakyat pemilih.

Kemudian hari tata-cara dan model Pemilihan wakil-wakil rakyat berkembang


menjadi model-model pemilihan yang bervariasi, tetapi tetap berintikan kedua ciri
di atas.
Dengan demikian, Demokrasi Perwakilan menjadi tidak bisa dilepaskan dari
penyelenggaraan pemilihan (umum) dan prinsip mayoritas vs minoritas.

Dibawah ini akan diuraikan secara singkat rincian unsur demokrasi


perwakilan :
- Sumbernya : Gagasan seorang manusia (Filosuf) yang bernama JJ.
Rousseau (Abad XIX)
- Sejarahnya : Sebagai pengganti Ajaran Kedaulatan Tuhan (Teokrasi) yang
diselewengkan di Eropah pada Abad XIX.
- Tujuannya : Mencapai kebaikan kehidupan bersama di dalam wadah suatu
negara, khususnya dalam tata hubungan antara manusia
sebagai warganegara dengan negaranya.
- Mekanismenya : Keputusan tertinggi yang pasti benar & baik adalah yang
ditentukan oleh mayoritas manusia/warganegara yang dipilih
melalui pemilihan umum, sedangkan keputusan yang dibuat
oleh minoritas manusia/warganegara pasti salah & tidak baik.

7
Simposium AIPI :
“Membangun Negara dan Mengembangkan Demokrasi dan Masyarakat
Madani”

- Sarananya ; Partai Politik, berdasarkan Sistem Dua Partai atau Sistem


Banyak Partai.
- Pembedanya : Model Demokrasi yang dilaksanakan sangat tergantung pada 2
(dua) aspek, yaitu : (1). sistem pembagian kekuasaan diantara
lembaga-lembaga negara, dan (2). sifat hubungan antara
lembaga legislatif dan lembaga eksekutif.
- Mottonya : Vox populi vox dei = Suara rakyat (mayoritas) adalah suara
Tuhan, dan Suara yang minoritas adalah suara setan.

Demikianlah Ajaran/Teori Demokrasi berkembang dari waktu ke waktu dan


berkembang sesuai pula dengan kebutuhan suatu negara tertentu, sejalan dengan
ucapkan Mac Iver , “..apa yang kita sebut demokrasi adalah hanya sebuah
permulaan dan bukan sesuatu yang bersifat final….”.
Sehingga Ajaran/Teori Demokrasi yang awalnya dicetuskan oleh JJ.Rousseau
telah berkembang menjadi Ajaran/Teori Demokrasi Perwakilan yang kemudian
berkembang lagi menjadi berbagai model demokrasi perwakilan yang saling
bervariasi antara satu dengan lainnya, tergantung pada kondisi masing-masing
negara yang bersangkutan.

Timbulnya variasi model demokrasi perwakilan ini menurut kacamata Ilmu Hukum
Tata Negara bersumber dari perbedaan nilai-nilai dasar bersama yang dianut oleh
rakyat pada masing-masing negara, dan secara khusus pada gilirannya tercermin
melalui perbedaan pada sistem pembagian kekuasaan dan sifat hubungan antar
lembaga-lembaga negara (terutama antara Lembaga Legislatif dan Lembaga
Eksekutif), yang ditetapkan oleh masing-masing negara yang bersangkutan.
Namun semua variasi model demokrasi perwakilan harus tetap berpegang
pada 4 (empat) prinsip, yaitu : 2
1. Prinsip Kedaulatan Rakyat, dimana Konstitusi negara yang bersangkut harus
menetapkan bahwa kekuasaan tertinggi (kedaulatan) berada ditangan rakyat ;

2
untuk selanjutnya didalam tulisan ini apabila disebut “demokrasi”, maka
maksudnya adalah “demokrasi perwakilan”.

8
Simposium AIPI :
“Membangun Negara dan Mengembangkan Demokrasi dan Masyarakat
Madani”

2. Prinsip Perwakilan, dimana Konstitusi negara yang bersangkut harus


menetapkan bahwa kedaulatan yang dimiliki oleh rakyat itu dilaksanakan oleh
sebuah atau beberapa lembaga perwakilan rakyat ;
3. Prinsip Pemilihan Umum, dimana untuk menetapkan siapakah diantara
warganegara yang akan duduk di lembaga-lembaga perwakilan rakyat yang
menjalankan kedaulatan rakyat itu, harus diselenggarakan melalui pemilihan
umum .

4. Prinsip Suara Mayoritas, dimana mekanisme pengambilan keputusan


dilaksanakan berdasarkan keberpihakan kepada suara mayoritas.

Tanpa adanya ke-4 ciri pokok diatas secara lengkap, maka suatu tatanan
kenegaraan tidak dapat dikatakan sebagai Model Demokrasi.

Diantara ke-4 prinsip Model Demokrasi tersebut diatas, maka Prinsip Suara
Mayoritas yang paling banyak mengundang kritik, karena :
1. Manusia tidaklah sama semuanya dalam berbagai aspek, terutama dalam hal
aspek kualitas intelektualitasnya, sehingga keputusan yang diambil dengan
suara mayoritas (kuantitatif) sama sekali tidak menjamin keputusan itu adalah
baik atau benar.

2. Prinsip Suara Mayoritas bertentangan dengan ajaran agama, khususnya


Agama Islam, dimana pada Kitab Suci Al Qur’an terdapat cukup banyak ayat-
ayat yang bernada negatif atau bahkan mengecam prinsip suara terbanyak ini,
seperti sebagian contoh ayat-ayat Al Qur’an dibawah ini :

Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di


muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari
jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan
belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah).
(QS. Al Anam [6]: 116)

Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-


tanda (kekuasaan Allah), tetapi kebanyakan mereka tidak
beriman.
(QS. Asy-Syu’ara [26]: 103)

9
Simposium AIPI :
“Membangun Negara dan Mengembangkan Demokrasi dan Masyarakat
Madani”

Dan Kami tidak mendapati kebanyakan mereka memenuhi janji.


Sesungguhnya Kami mendapati kebanyakan mereka orang-
orang yang fasik.
(QS. Al A’raaf [7]: 102)

Kemudian apabila datang kepada mereka kemakmuran, mereka


berkata: "Ini adalah karena (usaha) kami". Dan jika mereka ditimpa
kesusahan, mereka lemparkan sebab kesialan itu kepada Musa
dan orang-orang yang besertanya. Ketahuilah, sesungguhnya
kesialan mereka itu adalah ketetapan dari Allah, akan tetapi
kebanyakan mereka tidak mengetahui.
(QS. Al A’raaf [7]: 131)

Model Demokrasi dan Ideologi

Sebagaimana telah dikemukakan diatas, bahwa pilihan atas model demokrasi


sangat tergantung pada kondisi setiap negara.
Demokrasi berperan sebagai sarana pengaturan tatanan kehidupan kenegaraan
guna mencapai tujuan atau cita-cita yang hendak dicapai oleh negara yang
bersangkutan. Sedangkan tujuan/cita-cita serta nilai-nilai dasar bersama untuk
mencapai tujuan/cita-cita tersebut dirumuskan didalam ideologi negara yang
bersangkutan. Dari sini terlihat jelas kedekatan hubungan antara model demokrasi
yang dijalan dengan ideologi yang dianut oleh suatu negara.
Sehingga pertanyaan pokok yang diajukan di dalam Simposium ini sebenarnya
secara umum sudah dapat terjawab, yaitu model demokrasi yang paling tepat
untuk diterapkan pada suatu negara adalah yang sejalan dengan ideologi
negara yang bersangkutan.

Jawaban diatas jelas sangat tidak memuaskan, karena pada satu sisi bersifat
sangat umum dan terkesan menyederhanakan masalah, dan pada sisi lainnya
jawaban tersebut justru melahirkan berbagai pertanyaan baru yang intinya
berkisar pada “bagaimana mengetahui bahwa model demokrasi yang
diterapkan adalah sejalan dengan ideologi yang dianut oleh negara
tersebut?”.

Oleh karena itu untuk mengetahui model demokrasi yang tepat untuk diterapkan
pada suatu negara, tidak bisa tidak harus terlebih dahulu dipahami ideologi yang
dianut oleh negara yang bersangkutan. Perlu diketahui bagaimana ideologi

1
Simposium AIPI :
“Membangun Negara dan Mengembangkan Demokrasi dan Masyarakat
Madani”

termaksud merumuskan tentang tujuan/cita-cita yang hendak dicapainya, dan


bagaimana nilai-nilai dasar tentang tatanan kehidupan kenegaraan yang
terkandung didalam ideologi tersebut menetapkan pedoman umum dan khusus
berkenaan dengan cara-cara untuk mencapai tujuan/cita-cita negara termaksud.

Untuk kasus Indonesia, maka upaya mencari model demokrasi yang tepat
tentunya harus diawali dengan upaya yang sungguh-sungguh untuk
memahami Pancasila yang merupakan ideologi negara.

Peran Pancasila sebagai Ideologi Negara terhadap Tatanan Hukum Positif

Pancasila yang berkedudukan sebagai dasar falsafah (ideologi) berfungsi menjadi


sumber tertinggi dari segala aspek tatanan kehidupan didalam wadah NKRI. Atau
dengan kata lainnya, Pancasila berfungsi sebagai Nilai-nilai Dasar Bersama
dimana segenap tingkah laku rakyat dan negara harus mengacu kepada nilai-nilai
dasar tersebut.
Dalam fungsinya sebagai Nilai-nilai Dasar Bersama inilah Pancasila menetapkan
tujuan hidup bersama dalam NKRI yang hendak dicapai serta menentukan apa
yang baik dan apa yang buruk bagi tatanan kehidupan bangsa dan negara dalam
rangka mencapai tujuan bersama tersebut.

Dalam aspek tatanan hukum pada umumnya dan Hukum Tata Negara Indonesia
pada khususnya, maka Pancasila merupakan Sumber Hukum Materiel Tertinggi,
yang mengharuskan keseluruhan isi norma hukum positif mengacu kepadanya.
Bilamana suatu norma hukum positif ternyata bertentangan dengan Pancasila,
maka norma hukum tersebut tidak memiliki daya keberlakuannya sehingga harus
dinyatakan sebagai tidak berlaku.
Demikianlah pemahaman yang dapat ditarik dari Penjelasan UUD 1945
Bagian Umum Angka III menyatakan sebagai berikut :

‘Pokok-pokok pikiran tersebut meliputi suasana kebatinan dari


Undang-Undang Dasar Negara Indonesia. Pokok-pokok pikiran
ini mewujudkN cita-cita hukum (Rechtsidee) yang menguasai
hukum dasar negara, baik yang tertulis (Undang-Undang
Dasar) maupun hukum yang tidak tertulis.’

1
Simposium AIPI :
“Membangun Negara dan Mengembangkan Demokrasi dan Masyarakat
Madani”

Adapun yang dimaksudkan dengan pokok-pokok pikiran tersebut adalah


persatuan, keadilan sosial, kedaulatan rakyat dan Ketuhanan YME menurut
dasar yang adil dan beradab, yang tidak lain adalah sila-sila dari Pancasila.

Didalam lingkup pengertian diatas, maka pandangan yang baku selama ini berlaku
diwilayah Hukum Tata Negara Indonesia adalah bahwa Nilai-nilai Dasar
Bersama yang terkandung pada Pancasila sebagai “Asas-asas Hukum
Materiil” telah diwujudkan kedalam norma-norma hukum positif tertinggi
(Norma Konstitusi = Batangtubuh UUD 1945), dan pada gilirannya isi seluruh
norma-norma hukum positif yang lebih rendah mengacu kepada norma-norma
hukum positif tertinggi ini yang didalamnya terkandung asas-asas hukum materiil,
yaitu Nilai-Nilai Dasar Bersama Pancasila.

Dengan demikian maka dapat dikatakan bahwa peranan Pancasila adalah


menentukan isi seluruh norma hukum yang berlaku di Indonesia, dimana setiap
norma hukum yang tidak sesuai dengan Pancasila tidak bisa masuk kedalam
sistem hukum nasional Indonesia.

Pandangan baku dikalangan Hukum Tata Negara tersebut diatas, dengan


meminjam istilah Prof. Logemann, sesungguhnya hanyalah “mitos” belaka,
karena tidak didukung dengan bukti yang nyata.

Pemahaman umum tentang nilai-nilai Pancasila pada Pembukaan UUD 1945


telah diwujudkan kedalam pasal-pasal didalam Batangtubuh UUD 1945, jelas tidak
didukung oleh bukti sejarah berkenaan dengan penyusunan dan menetapan UUD
1945.
Batangtubuh UUD 1945 disusun oleh Panitia Kecil Perumus UUD (diketuai oleh
Prof.Dr. Soepomo) yang merupakan bagian dari Panitia Perancang UUD (diketuai
oleh Ir. Soekarno) yang dibentuk oleh BPUPKI.

Sedangkan Pembukaan UUD 1945 disusun oleh Panitia Sembilan, yang awalnya
memang bertugas untuk menyusun naskah untuk pembukaan (preambule) bagi

1
Simposium AIPI :
“Membangun Negara dan Mengembangkan Demokrasi dan Masyarakat
Madani”

UUD 1945, tetapi kemudian tujuannya berubah menjadi menyusun naskah


Pernyataan Kemerdekaan. Baru kemudian pada Sidang PPKI tanggal 18 Agustus
1945, hasil kerja Panitia Sembilan yang berupa Naskah Pernyataan Kemerdekaan
tersebut, dengan beberapa perubahan redaksional, ditetapkan menjadi
Pembukaan bagi UUD 1945.

Jelas sekali dari sejarah penyusunannya, Pembukaan UUD 1945 dan


Batangtubuh tidak berkorelasi satu dengan lainnya.
Inilah sebabnya Pembukaan UUD 1945 dikatakan berpihak kepada musyawarah ,
sedangkan Batangtubuh berpihak kepada voting (pemungutan suara) sebagai
mekanisme pengambilan keputusan, padahal keduanya mengandung makna yang
bertolak belakang.

Disamping itu keberadaan peraturan hukum peninggalan masa penjajahan


didalam Sistem Hukum Nasional Indonesia sampai hari ini yang jumlah masih
tergolong besar dapat dijadikan sebagai tambahan bukti bahwa Pancasila belum
berperan sebagai sumber hukum tertinggi dan sebagai asas-asas hukum
materiilnya. Meskipun tentunya tidak semua peraturan hukum ex. Penjajahan
tersebut yang dapat dikatakan bertentangan dengan Pancasila secara formil,
namun dapat dipastikan bahwa secara materiil isi dari norma-norma yang
terkandung bukan bersumber dari Pancasila.
Kemudian jika diadakan penelitian terhadap peraturan hukum yang lahir setelah
masa Kemerdekaan, sangat patut untuk diduga juga banyak yang secara materiil
tidak sesuai dengan Nilai-nilai Dasar Bersama Pancasila. Misalnya saja peraturan
hukum yang berkenaan dengan tatanan kehidupan perekonomian, yang
cenderung mengandung muatan nilai-nilai liberalisme/kapitalisme katimbang nilai-
nilai Pancasila.
Dari kedua contoh diatas, maka sejujurnya haruslah dikatakan bahwa
Pancasila sebagai Ideologi Negara yang didalamnya mengandung Nilai-nilai
Dasar Bersama belum berfungsi sebagai sumber dari segala sumber bagi
seluruh tatanan kehidupan kenegaraan Indonesia, dan secara khusus belum
berperan sebagai Asas-asas Hukum Materiil bagi tatanan kehidupan hukum
Positif (Sistem Hukum Positif) di Indonesia.

1
Simposium AIPI :
“Membangun Negara dan Mengembangkan Demokrasi dan Masyarakat
Madani”

Sebagai akibat belum berperannya Pancasila sebagaimana dikemukakan diatas,


maka dengan sendirinya kandungan norma-norma hukum positif akan berisikan
nilai-nilai yang non-Pancasila, dan pada gilirannya akan membentuk tingkah laku
warga masyarakat dan negara yang juga non-Pancasila, yang akhirnya berujung
pada tereduksinya atau bahkan tergantikannya Pancasila sebagai Nilai-Nilai
Dasar Bersama bagi bangsa dan negara Indonesia dengan nilai-nilai dasar yang
non-Pancasila pula.
Melalui bagan interaksi sosial yang sederhana dibawah ini dapat
digambarkan sebagai berikut :
(Bagan-1)
NILAI-NILAI NILAI-NILAI
PANCASILA NON-PANCASILA

NILAI-NILAI
NON-PANCASILA

TINGKAH LAKU NORMA2 HUKUM


NON-PANCASILA NON-PANCASILA

Pertanyaan yang perlu diajukan dalam kaitan ini adalah, “mengapa Pancasila
belum atau bahkan mungkin tidak berperan sebagai ideologi Negara dan
sumber hukum materiil bagi sistem hukum nasional?”
Sebelum mencoba menjawab pertanyaan diatas, ada baiknya diberikan
ilustrasi sederhana sebagai berikut :
1. Suatu masyarakat yang menyadari arti penting kesehatan didalam kehidupan
memiliki nilai bahwa “kebersihan adalah pangkal kesehatan”.
Artinya semua warga masyarakat tersebut menyadari bahwa kebersihan
adalah merupakan faktor yang penting didalam rangka menjaga/memelihara
kesehatan tubuh, dan mereka diharapkan untuk ikut serta menciptakan atau
menjaga kebersihan itu.

1
Simposium AIPI :
“Membangun Negara dan Mengembangkan Demokrasi dan Masyarakat
Madani”

2. Untuk mewujudkan nilai “kebersihan adalah pangkal kesehatan” tersebut


diperlukan adanya norma hukum (pedoman tingkah laku) agar supaya warga
masyarakat bertingkah laku sejalan dengan maksud nilai tersebut.
Barangsiapa yang bertingkah laku tidak sejalan dengan nilai kebersihan
tersebut, maka warga masyarakat yang bersangkutan akan dikenakan sanksi.
Tetapi apakah yang dimaksudkan dengan “kebersihan”, “bagaimana cara
menciptakan kebersihan”, “faktor-faktor apa yang menyebabkan kekotoran”,
dan sebagainya, tidak bisa dirumuskan oleh Ilmu Hukum, karena berada diluar
bidang kajiannya.
3. Oleh karenanya terlebih dahulu diperlukan adanya uraian/penjelasan yang
konkret dan multidispliner berkenaan dengan “kebersihan”, atau diperlukan
adanya pemahaman (teori) tentang kebersihan yang menguraikan segala hal
yang terkait. Dari Teori Kebersihan ini misalnya akan diketahui bahwa sampah
adalah gangguan terhadap kebersihan.

4. Bertitik tolak dari kajian multidisipliner tentang Teori Kebersihan yang


dilaksanakan oleh berbagai disiplin ilmu pengetahuan terkait diatas, maka Ilmu
Hukum mulai melakukan tugasnya yang pertama, yaitu melakukan pilihan atas
berbagai elemen yang terkait pada masalah kebersihan untuk dijadikan
sebagai “asas hukum materiil”, seperti misalnya, “sampah merusak
kebersihan”. Tugas yang kedua adalah membuat usulan rumusan norma
hukum yang konkret sebagai berikut : “Barangsiapa membuang sampah
sembarangan dan tidak pada tempatnya, akan dijatuhi hukuman ………dst.”
Tugas pertama dan kedua diatas merupakan bagian pekerjaan dari kajian Ilmu
Teori Hukum yang masih belum maju perkembangannya di Indonesia.

5. Rumusan norma hukum konkret diatas kemudian diserahkan ke ranah politik


(Badan Pembentuk Hukum) untuk diberikan bentuk yuridis (atau “dipositifkan”)
agar memperoleh daya keberlakuannya sebagai norma hukum positif.

Ilustrasi diatas sekedar ingin mengatakan bahwa sebuah nilai yang bersifat umum
dan abstrak, perlu dirumuskan terlebih dahulu menjadi nilai yang bersifat khusus

1
Simposium AIPI :
“Membangun Negara dan Mengembangkan Demokrasi dan Masyarakat
Madani”

dan konkret melalui proses pembentukan pemahaman/teori sosial, sebelum


diberikan bentuk yuridis agar berlaku sebagai norma hukum positif.
Demikian pula kiranya yang perlu dilakukan untuk menjadikan Pancasila berperan
sebagai ideologi negara dan sumber hukum materiil tertinggi.
Nilai-nilai Dasar Bersama yang terkandung di dalam sila-sila Pancasila :
1. Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawara-
tan/perwakilan.
5. Keadilan sosial bagi segenap rakyat Indonesia
baik secara indivual (per-sila) maupun secara satu kesatuan masih merupakan
nilai yang bersifat umum, abstrak serta mengandung multi penafsiran.

Sebuah norma hukum positif baru dapat dikatakan sesuai dengan Pancasila
(sebagai sumber hukum materiil tertinggi dan asas-asas hukum materiil) bilamana
isi norma positifnya mengandung kelima sila Pancasila secara utuh dan terpadu,
sekalipun secara khusus norma hukum tersebut hanya berkaitan dengan salah
satu silanya saja.
Halmana jelas tidak mungkin dapat dilakukan oleh Ilmu Hukum secara sendirian,
dan ditambah lagi yang berkaitan dengan istilah-istilah yang terkandung pada sila-
sila Pancasila tersebut, seperti : Ketuhanan, adil, beradab, Persatuan, Kerakyatan,
hikmah kebijaksanaan, dan Keadilan sosial, yang kesemuanya adalah bukan
merupakan tugas kajian Ilmu Hukum untuk merumuskan serta memaknainya
dalam artian yang konkret.

Misalnya saja ada pertanyaan tentang “Apakah keadilan menurut Pancasila?”,


niscaya akan banyak sekali bermunculan jawaban yang satu sama lainnya saling
berbeda. Padahal tanpa dilandasi pemahaman/teori/konsepsi tentang keadilan
yang jelas, konkret dan dianut oleh suatu masyarakat, maka tidaklah mungkin
masyarakat yang bersangkutan akan mampu membentuk sistem hukumnya
dengan adil. Karena didalam setiap norma hukum positif, mutlak harus
mengandung unsur pemahaman/konsep tentang keadilan yang berlaku pada
setiap masyarakatnya. Norma hukum yang tidak mengandung konsep keadilan,
akan kehilangan daya keberlakuannya.

1
Simposium AIPI :
“Membangun Negara dan Mengembangkan Demokrasi dan Masyarakat
Madani”

Sehingga jika selama ini kita semua merasa prihatin terhadap kondisi tatanan
hukum yang ada, maka salah satu sumber penyebabnya yang terpenting adalah
ketiadaan pemahaman/teori/konsep tentang Keadilan menurut Pancasila ini.
Memang pernah ada satu-dua upaya yang bersifat individual guna menyusun
pemahaman atau teori-teori sosial yang berkenaan dengan Pancasila, seperti
misalnya inisiatif Prof.Dr. Mubyarto (Alm.) untuk menyusun teori tentang Ekonomi
Pancasila, namun upaya-upaya tersebut tidak berkelanjutan, karena pekerjaan
seperti ini tidak mungkin dikerjakan secara invidual, melainkan harus melibatkan
berbagai pendekatan yang multi disipliner.
Inilah sebenarnya yang menjadi inti persoalan bangsa dan negara Indonesia,

yaitu selama +/- 60 tahun sejak ditetapkannya Pancasila sebagai

Dasar/Ideologi Negara, bangsa ini tidak pernah mengerjakan pekerjaan

rumahnya yang terpenting, yaitu pembentukan Pemahaman/Teori Sosial

berkaitan dengan nilai-nilai dasar yang terkandung didalam Pancasila,

sehingga nilai-nilai tersebut menjadi konkret dan dapat dioperasionalkan pada

tataran praktis dengan merumuskan menjadi asas-asas hukum materiil, dan

kemudian diberikan bentuk yuridis, sehingga menjadi norma hukum positif yang

mengarahkan tingkah laku segenap rakyatnya dan negara.

Keseluruhan proses pembentukan Sistem Hukum Pancasila diatas, dari nilai-nilai

dasar bersama Pancasila sebagai Sumber Hukum Tertinggi, kemudian menjadi

asas-asas hukum materiil sampai akhirnya menjadi norma hukum positif

dinamakan juga sebagai “Proses Pembentukan Hukum Pancasila yang

Dinamis”, sebagaimana digambarkan melalui bagan dibawah ini :

1
Simposium AIPI :
“Membangun Negara dan Mengembangkan Demokrasi dan Masyarakat
Madani”

( mohon dilihat di Halaman berikut ini )

(Bagan-2)
Proses Pembentukan Hukum Pancasila yang Dinamis

PROSES KEHIDUPAN
MASYARAKAT
(INTERAKSI SOSIAL)

NILAI2 DASAR BERSAMA


(PANCASILA)

KAJIAN MULTI PROSES


DISIPLINER PEMBENTUKAN
ILMU2 BANTUAN PEMAHAMAN/TEOR
ILMU HUKUM I SOSIAL

PENETAPAN
ASAS-ASAS HUKUM MATERIIL

KAJIAN ILMU
TEORI HUKUM

USULAN RUMUSAN NORMA


KONKRET

KAJIAN ILMU PENETAPAN RUMUSAN


HUKUM DOGMATIS NORMA KONKRET

ALAT HUKUM YANG PEMBERIAN BENTUK YURIDIS


KOMPETEN DIBIDANG (DIPOSITIFKAN)
HUKUM MATERIIL
MASING-MASING 1
Simposium AIPI :
“Membangun Negara dan Mengembangkan Demokrasi dan Masyarakat
Madani”

NORMA HUKUM
POSITIF DAN KONKRET

BERLAKU SECARA
YURIDIS SESUAI DAERAH PEDOMAN
KEBERLAKUAN SECARA TINGKAH LAKU YANG
MATERIIL & FORMIL KONKRET

Pancasila dan Model Demokrasi Indonesia.

Sejak Indonesia merdeka ditahun 1945 telah menerapkan sekurang-kurangnya 4


(empat) model demokrasi yang saling berbeda, baik dalam hal namanya maupun
dalam hal unsur-unsur pokoknya, yaitu : (1). Demokrasi Liberal {1950 – 1959}, (2).
Demokrasi Terpimpin {1959 – 1966}, (3). Demokrasi Pancasila {1966 – 1998}, dan
(4). Demokrasi Reformasi {1998 – Sekarang).

Uniknya kesemua model demokrasi tersebut mengklaim sebagai model yang


paling sesuai dengan Pancasila sebagai ideologi negara dan didukung oleh
mayoritas elemen warganegara. Baru ketika rezim penguasa yang menerapkan
model demokrasi bersangkutan runtuh, maka semua elemen warganegara
tersebut berbalik dan bersama-sama berteriak bahwa model demokrasi yang
dijalankan oleh rezim penguasa terdahulu adalah bertentangan dengan Pancasila.
Pengalaman ketika terjadi pergantian dari model Demokrasi Liberal ke model
Demokrasi Terpimpin, kemudian dari model Demokrasi Terpimpin ke model
Demokrasi Pancasila, dan akhirnya pada pergantian dari model Demokrasi
Pancasila ke model Demokrasi Reformasi saat ini, dapat dijadikan bukti mengenai
kenyataan termaksud.

Dari pengalaman sejarah pelaksanaan beberapa model demokrasi di atas, dapat


kiranya dinyatakan bahwa selama ini Pancasila sebagai ideologi negara (sumber
dari segala sumber) yang seharusnya menjadi sumber bagi penentuan model
demokrasi yang akan dijalankan, malahan justru berfungsi seperti “Kunci Inggris”

1
Simposium AIPI :
“Membangun Negara dan Mengembangkan Demokrasi dan Masyarakat
Madani”

yang dapat dicocokan/disesuaikan dengan semua ukuran sekrup. Sehingga yang


selama ini terjadi adalah justru model demokrasi (yang diterapkan) yang
menentukan pemahaman Pancasila terhadap demokrasi, bukannya sebaliknya
yaitu pemahaman Pancasila terhadap demokrasi yang menentukan model
demokrasi yang manakah yang harus diterapkan. Atau dapat juga dikatakan
bahwa selama ini perumusan dan penentuan atas model demokrasi yang akan
diterapkan dilakukan dari luar kerangka Pancasila, kemudian Pancasila
“dipaksakan” untuk memahami demokrasi berdasarkan model demokrasi yang
diterapkan tersebut.

Hal diatas memang sangat dimungkinkan untuk terjadi, mengingat sampai


saat ini Pancasila sebagai Ideologi Negara dan sumber dari segala sumber
dalam kehidupan kenegaraan belum memiliki kerangka pemahaman yang
baku dan ajeg tentang demokrasi, atau singkatnya belum memiliki “Teori
Demokrasi Pancasila”. Dan tanpa kerangka pemahaman (Teori) Demokrasi
Pancasila, bagaimana mungkin disusun/dirumuskan model demokrasi yang sesuai
dengan Pancasila.
Untuk mendukung pernyataan ini cukup banyak dapat diberikan buktinya,
diantaranya :
1. Berkenaan dengan Kedaulatan Rakyat.
a. Model Demokrasi Liberal.
Kedaulatan Rakyat sepenuhnya dilaksanakan oleh DPR (Parlemen). Dan
DPR membentuk serta memberhentikan Pemerintah/Eksekutif (Kabinet).

b. Model Demokrasi Terpimpin.


Meskipun secara normatif konstitusional ditetapkan bahwa Kedaulatan ada
ditangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh Majelis Permusya-
waratan Rakyat (MPR), namun secara praktis justru kedaulatan
sepenuhnya berada ditangan Presiden.
Dan Presiden membentuk MPR(S) dan DPR-GR berdasarkan Keputusan
Presiden

c. Model Demokrasi Pancasila (Orba).

2
Simposium AIPI :
“Membangun Negara dan Mengembangkan Demokrasi dan Masyarakat
Madani”

Kedaulatan Rakyat sepenuhnya dijalankan oleh Majelis Permusyawaratan


Rakyat (MPR), baru kemudian MPR membagi-bagikan kedaulatan tersebut
kedalam bentuk kekuasaan-kekuasaan kepada lembaga-lembaga negara
lainnya (Presiden, DPR, MA, Bepeka dsb.)

d. Model Demokrasi Reformasi.


Kedaulatan Rakyat sepenuhnya tetap berada ditangan rakyat, dan rakyat
secara langsung membagi-bagikan kedaulatan tersebut kedalam bentuk
kekuasaan-kekuasaan kepada lembaga-lembaga negara lainnya (Presiden,
MPR, DPR, DPD, MA, MK, dsb.)
2. Berkenaan dengan Pembagian Kekuasaan.
a. Model Demokrasi Liberal.
Kekuasaan DPR (Legislatif) sangat kuat dibandingkan dengan kekuasaan
Pemerintah/Kabinet (Eksekutif), bahkan DPR dapat memberhentikan
Pemerintah/Kabinet. Sementara Presiden hanya berkedudukan sebagai
Kepala Negara saja (Simbol Negara saja).

b. Model Demokrasi Terpimpin.


Kekuasaan Pemerintah/Presiden (Eksekutif) sangat kuat (dominan)
dibandingkan dengan kekuasaan DPR (Legislatif), bahkan Presiden dapat
membubarkan DPR serta mengangkat anggota-anggota DPR (GR).
Jabatan Presiden ditetapkan untuk masa seumur hidup, sehingga tidak bisa
diberhentikan oleh MPRS.

c. Model Demokrasi Pancasila (Orba).


Meskipun secara normatif konstitusional, ditetapkan :
1). Kekuasaan Presiden sebagai Kepala Pemerintahan (Eksekutif) maupun
Kepala Negara lebih kuat dibandingkan kekuasaan DPR (Legislatif) ;
2). Kecuali dalam hal Anggaran Belanja Negara, maka kekuasaan Presiden
dibidang legislasi (pembentukan undang-undang) lebih kuat dibanding-
kan kekuasaan DPR (Legislatif) ;

2
Simposium AIPI :
“Membangun Negara dan Mengembangkan Demokrasi dan Masyarakat
Madani”

Namun secara praktis Kekuasaan Pemerintah/Presiden (Eksekutif) sangat


kuat (dominan) dibandingkan dengan kekuasaan DPR (Legislatif), sebagai
akibat adanya :
1). Campur tangan Pemerintah didalam kehidupan kepartaian ;

2). Dominasi Pemerintah didalam penyelenggaraan pemilihan umum


anggota Legislatif (termasuk menyeleksi calon-calon Legislatif dari
partai peserta pemilu).

3). Kewenangan Presiden didalam pengangkatan anggota MPR dari unsur


Utusan Golongan yang jumlahnya cukup besar.
d. Model Demokrasi Reformasi.
1). Kekuasaan Presiden sebagai Kepala Pemerintahan (Eksekutif) maupun
Kepala Negara jauh berkurang karena harus dibagi kepada DPR
(Legislatif) ;

2). Kekuasaan Presiden dibidang legislasi (pembentukan undang-undang


termasuk UU-APBN) lebih lemah dibandingkan kekuasaan DPR
(Legislatif). Bahkan sebuah Rancangan Undang-Undang yang telah
disetujui oleh DPR dapat berlaku meskipun tidak disetujui dan tidak
diundangkan oleh Presiden/Pemerintah.

3). Kekuasaan Presiden sebagai Kepala Pemerintahan (Eksekutif) menjadi


semakin berkurang dengan dilaksanakannya Otonomi Daerah.

3. Berkenaan dengan Mekanisme Pengambilan Keputusan


a. Model Demokrasi Liberal.
Semua keputusan di lembaga perwakilan rakyat (DPR) diambil
berdasarkan voting dengan suara terbanyak.

b. Model Demokrasi Terpimpin.


Semua pengambilan keputusan di lembaga perwakilan rakyat (MPRS dan
DPR-GR) harus berdasarkan musyawarah mufakat (suara bulat).

2
Simposium AIPI :
“Membangun Negara dan Mengembangkan Demokrasi dan Masyarakat
Madani”

(Ada Ketetapan MPRS yang khusus menetapkan hal ini).

b. Model Demokrasi Pancasila (Orba).


Semua keputusan di lembaga perwakilan rakyat (MPR dan DPR) pertama-
tama diambil berdasarkan musyawarah untuk mufakat, dan jika
musyawarah tidak berhasil mencapai mufakat, maka keputusan diambil
berdasarkan voting dengan suara terbanyak.
Namun didalam prakteknya pihak Pemerintah senantiasa mengupayakan
agar keputusan di DPR dan MPR diambil secara musyawarah (suara bulat)
untuk membuat kesan bahwa keputusan tersebut didukung oleh segenap
rakyat.
c. Model Demokrasi Reformasi.
Semua keputusan di lembaga perwakilan rakyat (MPR dan DPR) didalam
prakteknya langsung diambil berdasarkan voting dengan suara terbanyak.

Contoh-contoh diatas sekedar untuk menunjukkan bahwa sejalan dengan


perubahan model demokrasi yang dijalankan, maka dari waktu kewaktu terjadi
pula perubahan pemahaman terhadap unsur yang essensial berkaitan dengan
demokrasi itu sendiri, dan perubahan-perubahan itu terjadi dengan alasan “sesuai
Pancasila”.

Pedoman Pembentukan Pemahaman/Teori Demokrasi Pancasila.


Berangkat dari asumsi bahwa rakyat Indonesia menganut nilai-nilai dasar
bersama yang terkandung didalam Pancasila sebagai ideologi negara dan sumber
dari segala sumber bagi segenap tatanan kehidupan yang berwadahkan NKRI,
maka penentuan model demokrasi manakah yang paling sesuai untuk diterapkan
tentunya harus dikembalikan rujukannya kepada Pancasila.

Sehingga dapat dikatakan bahwa model demokrasi yang paling sesuai untuk
Indonesia adalah model demokrasi yang sesuai dengan nilai-nilai dasar bersama
yang terkandung di dalam Pancasila, atau “Model Demokrasi Pancasila” (bukan
Demokrasi Pancasila ala Orde Baru).

2
Simposium AIPI :
“Membangun Negara dan Mengembangkan Demokrasi dan Masyarakat
Madani”

Namun untuk menetapkan Model Demokrasi Pancasila tersebut, terlebih dahulu


perlu diketahui pemahaman Pancasila terhadap demokrasi. Sehingga langkah
yang paling awal yang harus dilakukan adalah melakukan pengkajian menyeluruh
dan multi disipliner terhadap kandung nilai-nilai yang terumuskan pada sila-sila
Pancasila, melalui usulan tahapan-tahapan sebagai berikut :

Tahap-1
Karena substansi demokrasi berkaitan dengan Sila-4 Pancasila, yang berbunyi :
“Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan”, maka tentunya sila ini secara individual
pertama-tama yang harus digali kandungan maknanya.
Seperti misalnya, apa yang dimaksudkan dengan “Kerakyatan”, “dipimpin”,
“hikmah kebijaksaanan”, bagaimana proses keterwakilan rakyat dilaksanakan dan
sebagainya.
Kemudian merangkaikan pengertian-pengertian setiap terminologi yang
terkandung pada Sila ke-4 ini menjadi satu pemahaman awal yang utuh dan
selaras tentang Demokrasi Pancasila.

Tahap-2
Melakukan kajian terhadap kandungan nilai-nilai yang relevan dengan masalah
demokrasi pada sila-sila lainnya.

Tahap-3
Melakukan integrasi, penyelarasan, dan penyesuaian antara makna Sila-4 dengan
kandungan nilai-nilai yang revelan pada sila-sila yang lainnya.
Misalnya disini adalah bagaimana menyelaraskan pandangan ajaran agama (Sila
ke-1) yang menentang prinsip suara mayoritas dengan ajaran demokrasi yang
justru menempatkan prinsip suara mayoritas sebagai unsur pokoknya.

Tahap-4
Perumusan Pemahaman/Teori Demokrasi Pancasila yang akan berperan sebagai
Sumber Materiil Tatanan kehidupan kenegaraan yang berdasarkan Pancasila

2
Simposium AIPI :
“Membangun Negara dan Mengembangkan Demokrasi dan Masyarakat
Madani”

(ideologi negara), yang pada gilirannya akan menghasilkan norma-norma hukum


(norma konstitusi) yang membentuk model demokrasi Pancasila.
Kegiatan pembentukan pemahaman/teori tentang Demokrasi Pancasila diatas
dapat dikembangkan lebih lanjut mencakup tatanan kehidupan lainnya, sehingga
pada akhirnya dapat terbentuk sebuah Pemahaman Menyeluruh (Grand Theory)
Pancasila, yang darinya dapat disusun Teori Hukum Pancasila, Teori Ekonomi
Pancasila, Teori Kesejahteraan Pancasila dan lain sebagainya.

Apabila keseluruhan tatanan kehidupan masyarakat telah dilengkapi dengan Teori


Pancasila yang terkait, maka barulah dapat dikatakan bahwa Pancasila itu telah
benar-benar berfungsi sebagai Ideologi Negara dan sumber dari segala sumber
bagi tatanan kehidupan kenegaraan didalam wadah NKRI.
Tanpa kelengkapan ini semua, maka Pancasila hanya akan berfungsi sebagai
Ideologi Negara dalam arti kata formal dan semantik belaka, dan tidak akan
pernah mampu mengarahkan tingkah laku rakyat dan negara guna mencapai cita-
cita kehidupan bersama yang ditetapkannya sendiri. Dan manakala sebuah
ideologi tidak mampu (atau gagal) mencapai cita-cita yang ditetapkannya, maka
ideologi yang bersangkutan cepat atau lambat akan kehilangan dukungan dan
daya keberlakuannya dikalangan rakyat yang menganutnya.

Membangun Model Demokrasi Alternatif

Seluruh uraian di atas disusun berdasarkan asumsi dasar bahwa Pancasila


sebagai Ideologi Negara yang mengandung Nilai-Nilai Dasar Bersama itu masih
berada pada posisi diterima, diakui, dianut dan didukung oleh segenap rakyat dan
negara Indonesia serta masih berperan sebagai sumber dari segala sumber bagi
tatanan kehidupan kenegaraan didalam wadah NKRI. Berangkat dari asumsi ini,
maka setiap upaya untuk membangun bangsa dan negara melalui penerapan
model demokrasi yang tepat, tentunya hanya mungkin dilakukan bilamana model
demokrasi termaksud sesuai dengan Pancasila agar didukung oleh rakyat.

Namun dari uraian diataspun terungkap bahwa selama kurun waktu +/- 60 tahun
sejak Indonesia merdeka, Pancasila ternyata belum sepenuhnya berperan
sebagai ideologi negara dan sumber dari segala sumber bagi segenap tatanan

2
Simposium AIPI :
“Membangun Negara dan Mengembangkan Demokrasi dan Masyarakat
Madani”

kehidupan kenegaraan di Indonesia, sebagai akibat kekosongan pada tataran


Pemahaman/Teori tentang Pancasila, yang pada gilirannya menyebabkan nilai-
nilai dasar bersama yang terkandung pada Pancasila tidak dapat dirumuskan
sebagai asas-asas hukum materiil dan berikutnya tidak dapat diserap oleh norma-
norma sosial (norma hukum) yang positif dan konkret sebagai pedoman tingkah
laku bagi warga masyarakat (rakyat) didalam interaksi sosialnya.

Berangkat dari kenyataan diatas kiranya sudah cukup alasan untuk mengajukan
sebuah pertanyaan terakhir, yaitu: “Apakah nilai-nilai dasar bersama pada
Pancasila masih diterima, diakui, dianut dan didukung oleh segenap (atau
mayoritas) rakyat dan negara Indonesia?”.
Apabila jawaban untuk pertanyaan diatas adalah positif, maka usulan tentang
upaya pembentukan Model Demokrasi Pancasila masih relevan untuk dijadikan
bahan pertimbangan lebih lanjut.

Tetapi jika jawaban untuk pertanyaan diatas adalah negatif, maka usulan tentang
upaya pembentukan Model Demokrasi Pancasila menjadi tidak relevan lagi, dan
bahkan justru menjadi kesia-siaan belaka. Karena tidak ada manfaatnya sama
sekali, meskipun berhasil merumuskan dan membentuk Model Demokrasi
Pancasila, bilamana pada sisi lain rakyatnya sudah tidak lagi menganut dan
mendukung nilai-nilai dasar bersama yang terkandung pada Pancasila.

Berkenaan dengan hal yang terakhir diatas, maka perlu terlebih dahulu dilakukan
upaya pengenalan kembali melalui penelitian sosial terhadap nilai-nilai dasar
bersama yang dihidup secara nyata dikalangan segenap rakyat Indonesia yang
ber-Bhinneka itu.

Beberapa alternatif yang akan diperoleh melalui penelitian sosial terhadap


nilai-nilai dasar bersama itu adalah :
1. Nilai-nilai dasar bersama Pancasila masih dianut dan hidup dikalangan
segenap (mayoritas) rakyat Indonesia sebagaimana aselinya ;

2
Simposium AIPI :
“Membangun Negara dan Mengembangkan Demokrasi dan Masyarakat
Madani”

2. Nilai-nilai dasar bersama Pancasila yang dianut dan hidup dikalangan


segenap (mayoritas) rakyat Indonesia saat ini telah mengalami perubahan dari
aselinya, sejalan dengan perkembangan dan tuntutan jaman ;
3. Nilai-nilai dasar bersama yang dianut dan hidup dikalangan segenap
(mayoritas) rakyat Indonesia dewasa ini sudah berbeda sama sekali dengan
Nilai-nilai dasar bersama Pancasila ;
4. Rakyat Indonesia dewasa ini tidak memiliki Nilai-nilai dasar bersama.

Alternatif yang ke-4 diatas adalah paling mengkhawatirkan, karena tidak ada
satupun upaya pembangunan dalam bidang apapun juga yang dapat dilakukan
terhadap suatu bangsa dan negara yang tidak memiliki nilai-nilai dasar bersama.
Mengingat bangsa dan negara tersebut sedang berada ditengah proses
pembubaran diri.
Berkenaan dengan Alternatif ke-1 dan ke-2 diatas, kiranya masih bisa ditampung
kedalam usulan pembentukan Model Demokrasi Pancasila, sedangkan untuk
Alternatif ke-3 perlu dilakukan upaya pembentukan Model Demokrasi lainnya yang
sesuai dengan nilai-nilai dasar bersama yang secara aktual hidup, dianut dan
didukung oleh segenap rakyat Indonesia.
Hanya saja tentunya jika yang terjadi adalah Alternatif ke-3 diatas, maka
pekerjaan rumah yang harus dilakukan menjadi bertambah banyak, yaitu
meliputi tahapan-tahapan pekerjaan sebagai berikut :
1. Melakukan penelitian sosial secara besar-besar untuk menemukan nilai-nilai
dasar yang memiliki kesamaan berkenaan dengan tatanan kehidupan
kenegaraan didalam wadah NKRI, yang hidup dan dianut oleh segenap unsur
rakyat Indonesia ;

2. Dari hasil penelitian sosial diatas, kemudian dilakukan upaya perumusan nilai-
nilai dasar bersama ;

3. Perumusan nilai-nilai dasar bersama tersebut kemudian dikembangkan lagi


kedalam bentuk kerangka pemahaman sosial (Teori) agar memperoleh bentuk
sebagai Ideologi Negara dan menjadi sumber dari segala sumber yang konkret
bagi segenap tatanan kehidupan kenegaraan.

2
Simposium AIPI :
“Membangun Negara dan Mengembangkan Demokrasi dan Masyarakat
Madani”

Baru pada tahapan inilah nilai-nilai dasar bersama yang ditemukan dari
penelitian sosial diatas dapat berfungsi sebagai Sumber Materiil bagi norma-
norma sosial yang akan dibentuk untuk mengarahkan tingkah laku rakyat dan
negara agar sejalan dengan nilai-nilai dasar bersama tadi.
Dalam ranah Ilmu Teori Hukum, Sumber Materiil ini dinamakan juga sebagai
“asas-asas hukum materiil” yang pada gilirannya akan menjadi muatan/materi/-
isi norma hukum positif. Pada tahapan ini pula dilakukan kegiatan perumusan
dan penentuan model demokrasi yang akan dilaksanakan.

4. Tahapan akhirnya adalah kegiatan perumusan norma-norma sosial positif


(termasuk norma-norma hukum positif) dan sekaligus pemberian bentuk publik
(bagi norma-norma sosial non-yuridis) atau pemberian bentuk yuridis (bagi
norma-norma sosial yuridis).
Kesimpulan.
Dari uraian diatas, maka upaya mencari model demokrasi yang sesuai dan
mendapatkan dukungan dari (mayoritas) rakyat Indonesia dapat diuraikan melalui
bagan dibawah ini :
(Bagan-3)

PENELITIAN SOSIAL
Untuk mengenali
Nilai2 Dasar Bersama yang
secara aktual hidup & dianut
oleh segenap (mayoritas)
rakyat Indonesia
Tentang Nilai Demokrasi

Kemungkinan/Alternatif Dalam kondisi ini


HASIL PENELITIAN SOSIAL belum bisa dilaku-
kan penetapan
Model Demokrasi,
karena Bangsa &
NKRI berada pada
Situasi Transisi me-
nuju ke-3 Alternatif :
Nilai2 Pancasila Nilai2 Pancasil yang Rakyat Indonesia Rakyat Indonesia
masih dianut sesuai dianut telah berubah telah menganut Nilai2 tidak memiliki Rakyat
1. Mayoritas Nilai2
dengan aselinya sesuai perkembangan Dasar Baru yang Dasar
sepakatBersama lagike
kembali
jaman berbeda dengan (Vakum
Nilai2 Ideologi)
Dasar Panca-
Pancasila sila.(Bangsa & NKRI
survive).

2. Mayoritas Rakyat
sepakat untuk men-
dukung Nilai2 Dasar
Tahapan Perumusan Bersama yang Baru
Seluruh Nilai2 Dasar /Non-Pancasila. (Ter
Bersama jadi proses pemben
(termasuk nilai2 tukan Bangsa & Ne-
tentang Demokrasi) gara Baru).

3. Rakyat Indonesia
tidak berhasil ber-
sepakat menetap-
kan Nilai2 Dasar Ber 2
sama. (Terjadi pro-
ses pembubaran
Bangsa & NKRI).
Simposium AIPI :
“Membangun Negara dan Mengembangkan Demokrasi dan Masyarakat
Madani”

Tahap Pembentukan Tahap Pembentukan


Pemahaman/Teori Pemahaman/Teori
Demokrasi Pancasila Demokrasi Indonesia
(Lihat Hal. 22-23) (Lihat Hal. 22-23)

Tahap Penetapan Tahap Penetapan


Model Demokrasi Model Demokrasi
Pancasila Indonesia

ASAS2 HUKUM
MATERIIL

PROSES
PEMBENTUKAN
NORMA HUKUM
POSITIF
(Lihat Bagan-2 pada
Hal. 17)
P e n u t u p.

Pekerjaan rumah diatas jelas merupakan pekerjaan yang sangat besar dan
nampaknya mustahil dapat dikerjakan didalam waktu dekat ini.
Apalagi jika diingat pekerjaan rumah ini praktis tidak pernah disentuh selama 60
tahun sejak Indonesia merdeka, dan sementara itu pula tatanan kehidupan
kenegaraan telah menjadi semakin kompleks.

Namun mungkin yang dapat dilakukan adalah memulai kegiatan pembentukan


kerangka pemahaman (teori) sosial Pancasila yang berkenaan dengan sektor-
sektor tertentu dari tatanan kehidupan kenegaraan, seperti misalnya pembentukan
kerangka pemahaman (teori) tentang Demokrasi menurut Pancasila,
sebagaimana maksud yang dikandung melalui penyelenggaraan simposium ini.

Tanpa memulai upaya ini didalam waktu yang secepatnya, dikhawatirkan akan
mengakibatkan semakin tereduksinya nilai-nilai dasar bersama Pancasila, dan
pada akhirnya rakyat dan negara Indonesia akan kehilangan nilai-nilai dasar
bersama Pancasila itu, sebelum akhirnya menemukan nilai-nilai dasar bersama
yang lain dan baru, yang belum tentu pula menjamin kelangsungan tatanan
kehidupan kenegaraan didalam wadah NKRI.

2
Simposium AIPI :
“Membangun Negara dan Mengembangkan Demokrasi dan Masyarakat
Madani”

Kekhawatiran diatas kiranya tidaklah terlalu berlebihan apabila dirujuk pada fakta-
fakta sosial yang ada dewasa ini, dimana sangat patut diduga bahwasanya nilai-
nilai dasar bersama Pancasila sudah tidak lagi berperan sebagai pedoman tingkah
laku rakyat, penyelenggara negara dan negara sendiri didalam menjalani interaksi
didalam tatanan kehidupan kenegaraan.

Puluhan daerah tingkat II Kabupaten/Kota di dalam wilayah NKRI dewasa ini


dengan berbagai variasi muatan aturannya, telah memberlakukan Peraturan-
peraturan Daerah (Perda) yang kandungan norma hukum positifnya bersumber
bukan dari asas-asas hukum materiil Pancasila (karena memang belum ada).
Apakah kenyataan ini belum cukup untuk menyimpulkan bahwa nilai-nilai dasar
bersama Pancasila dewasa ini minimal tengah berada didalam proses tereduksi?

Untuk menjawab pertanyaan pokok simposium ini, maka model demokrasi


yang sesuai bagi Indonesia serta didukung oleh mayoritas rakyatnya, adalah
model demokrasi yang sejalan/sesuai dengan nilai-nilai dasar bersama yang
hidup dan dianut oleh segenap (mayoritas) rakyatnya, apakah itu nilai-nilai
dasar bersama yang bersumber pada Pancasila ataupun dari sumber yang
lainnya.

Dan untuk menyelaraskan model demokrasi dan nilai-nilai dasar bersama,


diperlukan adanya pembentukan pemahaman/teori/konsep sosial tentang
demokrasi yang mengacu kepada nilai-nilai dasar bersama termaksud.

Akhirnya melalui kesempatan ini disarankan kepada Akademi Ilmu Pengetahuan


Indonesia (AIPI) untuk mempelopori serta berperan-aktif mendorong dunia ilmu
pengetahuan Indonesia, terutama bidang kajian Ilmu-Ilmu Sosial dan Ilmu Hukum
agar mulai mencurahkan perhatiannya didalam rangka penyusunan pemahaman/-
teori/konsep sosial yang berkaitan dengan nilai-nilai dasar bersama yang hidup
dikalangan segenap (mayoritas) rakyat Indonesia, yang mudah-mudahan masih
bersumberkan pada Pancasila.

3
Simposium AIPI :
“Membangun Negara dan Mengembangkan Demokrasi dan Masyarakat
Madani”

Jakarta, 8 Agustus 2006.

(Bagan-1)
Perubahan Nilai2 Dasar Bersama
Pancasila  Non-Pancasila
Melalui Proses Interaksi Sosial

NILAI-NILAI
DASAR BERSAMA NILAI-NILAI
PANCASILA DASAR BERSAMA
NON-PANCASILA

NILAI-NILAI
DASAR BERSAMA
NON-PANCASILA

4 5

INTERAKSI NORMA2 HUKUM


SOSIAL POSITIF
NON-PANCASILA

3
Simposium AIPI :
“Membangun Negara dan Mengembangkan Demokrasi dan Masyarakat
Madani”

3 2

TINGKAH LAKU
NON-PANCASILA

(Bagan-3)
Alternatif Upaya Mencari Model Demokrasi ala Indonesia

PENELITIAN SOSIAL
Untuk mengenali
Nilai2 Dasar Bersama yang
secara aktual hidup & dianut
oleh segenap (mayoritas)
rakyat Indonesia
Tentang Nilai Demokrasi

Kemungkinan/Alternatif
HASIL PENELITIAN SOSIAL
Dalam kondisi ini
belum bisa dilaku-
kan penetapan
Model Demokrasi,
karena Bangsa &
NKRI berada pada
Situasi Transisi me-
Nilai2 Pancasila Nilai2 Pancasil yang Rakyat Indonesia Rakyat
nuju ke-3Indonesia
Alternatif :
masih dianut sesuai dianut telah berubah telah menganut Nilai2 tidak memiliki Nilai2
dengan aselinya sesuai perkembangan Dasar Baru yang Dasar Bersama
1. Mayoritas lagi
Rakyat
jaman berbeda dengan (Vakum kembali
sepakat Ideologi) ke
Pancasila Nilai2 Dasar Panca-
sila.(Bangsa & NKRI
survive).

2. Mayoritas Rakyat
sepakat untuk men-
Tahapan Perumusan dukung Nilai2 Dasar
Seluruh Nilai2 Dasar Bersama yang Baru
Bersama /Non-Pancasila. (Ter
(termasuk nilai2 jadi proses pemben
tentang Demokrasi) tukan Bangsa & Ne-
gara Baru).

3. Rakyat Indonesia
tidak berhasil ber-
sepakat menetap-
kan Nilai2 Dasar Ber 3
sama. (Terjadi pro-
ses pembubaran
Bangsa & NKRI).
Simposium AIPI :
“Membangun Negara dan Mengembangkan Demokrasi dan Masyarakat
Madani”

Tahap Pembentukan Tahap Pembentukan


Pemahaman/Teori Pemahaman/Teori
Demokrasi Pancasila Demokrasi Indonesia
(Lihat Hal. 22-23) (Lihat Hal. 22-23)

Tahap Penetapan Tahap Penetapan


Model Demokrasi Model Demokrasi
Pancasila Indonesia

ASAS2 HUKUM
MATERIIL

PROSES
PEMBENTUKAN
NORMA HUKUM
POSITIF
(Lihat Bagan-2 pada
Hal. 17)

You might also like