You are on page 1of 17

RASIONALITAS INDONESIA MEMILIH RUSSIA SEBAGAI

MITRA KERJASAMA STRATEGIS DALAM RANGKA

MENINGKATKAN KEMAMPUAN MILITER INDONESIA

(INDONESIA’s RATIONALITY CHOOSING RUSSIA AS THEIR STRATEGIC


PARTNER IN ORDER TO INCREASE INDONESIA MILITARY ABILITY)

PROPOSAL SKRIPSI

Oleh:

Reza Fakhruddin

NIM: 070910101004

ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS JEMBER
2011
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

“Hal itu bukan berarti kita memusuhi Amerika Serikat, tetapi kalau Amerika Serikat
sendiri yang terus menerus menyudutkan kita tanpa memberikan ruang gerak apa – apa,
maka terpaksa kita harus berbuat sesuatu untuk mempertahankan kedaulatan negara
kita sendiri, termasuk merubah secara radikal sistem pertahanan kita”1
Itulah ucapan dari Menteri Pertahanan Republik Indonesia, Prof Dr Mahfud MD yang
mendapatkan pembenaran berupa sebuah kebijakan pada tahun 2003, ketika Indonesia
dibawah Presiden Megawati memutuskan untuk menandatangani kontrak senilai $192.6
million untuk membeli 2 sukhoi SU-27 SK dan 2 sukhoi SU – 30 MK (untuk angkatan udara)
serta 2 helikopter serbu MI-35 (untuk angkatan darat) ketika mengadakan kunjungan ke
Rusia.
Ini adalah pembelian pertama alat utama sistem senjata (alutsista) dalam jumlah besar
sejak Indonesia terkena embargo pada tahun 1999, oleh Amerika Serikat dan pada tahun
2003, oleh Inggris, Prancis dan Jerman, dikarenakan Indonesia tidak mematuhi klausul
perjanjian dalam pengadaan peralatan tempur dengan kedua belah pihak itu. Dimana klausul
perjanjian itu menyatakan bahwa peralatan tempur tersebut tidak akan digunakan untuk
operasi anti gerilya, untuk tindakan penyerangan, atau untuk melanggar HAM serta tidak
akan digunakan untuk konflik dalam negeri.
Embargo yang sangat pahit dan berdampak secara nyata dan luas pada kemampuan
militer Indonesia. Dimana embargo ini berawal dari potensi konflik internal dan berujung
pada penggunaan kekuatan bersenjata untuk menghapuskan konflik tersebut. Adapun konflik
tersebut terbagi menjadi 3 tahapan dimana ketiganya merupakan konflik yang meluas dari
konflik internal Indonesia menjadi konflik yang mendapatkan sorotan dari dunia
internasional.
Konflik yang pertama ini biasa kita sebut sebagai Santa Cruz Massacre yang terjadi pada
tahun 1991. Kejadian yang terjadi pada tanggal 12 November 19912, dimana Santa Cruz
sendiri adalah nama perkuburan yang terletak di Dili, Timtim. Saat itu, ratusan siswa sekolah
menengah, terlihat dari seragam putih abu-abunya, tengah berkumpul di Santa Cruz, untuk

1 Menteri Pertahanan (Menhan) Prof Dr Mahfud MD pada tahun 2000 dalam : Koran Kompas, 23 Oktober
2000
2 Amy Goodman dan David Goodman.Perang Demi Uang : Membongkar Ketamakan dan Keganasan Elit
Politik Amerika. Jakarta : Penerbit Profetik,2005, hal xvii.
berbelasungkawa dengan kematian aktivis pro-kemerdekaan Sebastiao Gomes. Tiba – tiba
ratusan tentara Indonesia memasuki jalanan ini, dua hingga lima belas orang dalam satu baris.
Massapun sontak terdiam kala itu. Dan secara tiba – tiba pula militer Indonesia melepaskan
tembakan langsung ke arah mereka. Ratusan korban ambruk bersimbah darah. Sekitar 271
orang tewas pada hari itu
Peristiwa yang kemudian dikenal dengan nama pembantaian Santa Cruz ini, sontak
mengagetkan dunia dan membuat Kongres Amerika Serikat marah. Hal ini ditambah dengan
laporan yang mengatakan bahwa peralatan perang yang dipakai kala itu adalah senapan
produksi Amerika Serikat yaitu senapan serbu M-163. Departemen Pertahanan Amerika
Serikat melalui keputusan Kongres Amerika, langsung menghentikan program pendidikan
dan latihan militer internasional untuk para perwira Indonesia di bawah International
Military Education and Training (IMET), sebuah program yang dimulai pada akhir 1950-an.4
Itulah embargo Amerika Serikat pertama bagi Indonesia, setelah sebelumnya kasus Timor –
Timur ini menjadi sorotan Kongres Amerika Serikat akibat penafsiran dunia internasional
yang menyatakan Indonesia telah menginvansi Timor Timur pada tahun 1975 yang
menewaskan 200.000 warga Timor.
Namun hal ini tidak menjadi akhir dari kebrutalan militer Indonesia di Timor – timur. .
Pada tahun 1999, pada saat Timor Timur mengadakan jajak pendapat untuk menentukan
pilihannya. Dunia kembali dikagetkan dengan serangan milisi pro – Integrasi kepada milisi
pro kemerdekaan pimpinan Xanana Gusmao. Selain itu, tiga anggota staf UNHCR di
Atambua dilaporkan juga menjadi korban dalam serangan itu. Serangan yang kemudian
disinyalir mendapatkan bantuan dan dukungan persenjataan dari ABRI yang mengemban
tugas mengamankan jajak pendapat kala itu.
Serangan itu membawa dampak yang berlainan bagi milisi pro kemerdekaan dan
Indonesia terutama ABRI. Bagi milisi pro kemerdekaan pimpinan Xanana Gusmao,
perjuangan diplomasi Ramos Horta yang didukung oleh East Timor and Indonesia Action
Network (ETAN) akhirnya mampu menembus Kongres AS dan membuat dunia internasional
mengecam pemerintahan Indonesia yang dikatakan tidak bisa mengendalikan situasi dan
kondisi kala itu. Namun beban yang harus ditanggung tidak hanya itu, segera setelah itu,
Kongres AS mengeluarkan Leahy Amandment, yang berisi embargo total. Inti amandemen itu
adalah mensyaratkan bahwa bantuan militer AS kepada Indonesia dapat diberikan oleh

3 Ibid
4 http://www.metrotvnews.com/index.php/metromain/analisdetail/2010/08/03/54/Indonesia-dan-Embargo-
Amerika diakses pada tanggal 4 April 2011 jam 19.00
pemerintah AS bila pemerintah RI dapat mengadili para pelaku pelanggaran HAM di Timor
Timur. Presiden Clinton tidak berdaya menghadapi desakan masyarakatnya sendiri dan
komunitas dunia. Embargo diumumkan, seluruh bentuk U.S. Security Assistance kepada
Indonesia dihentikan. Amerika memberlakukan embargo militer penuh terhadap TNI, baik
pelatihan perwira (Training Ban) dan penjualan senjata serta bantuan keuangan tahunan yang
diwujudkan dalam latihan gabungan (Weapon dan Security Assistance Ban)5.
Yang sangat mengherankan adalah bahwa embargo militer kembali menimpa militer
Indonesia pada tahun 2003. Pada periode ini, embargo militer datang dari negara Eropa Barat
yang disponsori Inggris. Embargo ini dijatuhkan karena Inggris dan negara – negara Eropa
Barat menilai Indonesia telah menyalahi kontrak perjanjian ketika membeli peralatan tempur
tersebut dimana perjanjian itu menyatakan bahwa peralatan tersebut tidak akan digunakan
untuk operasi anti gerilya, untuk tindakan penyerangan, atau untuk melanggar HAM serta
tidak akan digunakan dalam konflik dalam negeri. Temuan dilapangan mengatakan berbeda
dengan hasil perjanjian itu. Indonesia mengerahkan pesawat-pesawat anti gerilya OV-10
Bronco untuk perang gerilya, pesawat pengangkut Hercules C-130 mengangkut pasukan
parasut di berbagai tempat di Aceh, jet tempur F-16, helicopter Twin Pack S-58 dan
persenjataan ringan yang semuanya adalah buatan Amerika Serikat dan sudah terkena
embargo. Adapun jenis persenjataan yang digunakan Indonesia yang berasal dari negara
Eropa Barat adalah . jet tempur jenis Hawk 100 / 200 dan tank tempur Scorpion buatan
Inggris, kapal-kapal perang dari bekas Jerman Timur yang dibeli dari Jerman dan tank AMX-
VCI buatan Perancis6.
Ketiga kejadian diatas, benar – benar memukul telak kekuatan militer Indonesia. Militer
Indonesia yang mengalami modernisasi besar – besaran dimulai pada tahun 1975 dengan
pembelian 120 kapal perang bekas Jerman Timur dari Jerman dan diakhiri dengan pembelian
2 skuadron pesawat F-16 Fighting Falcon, mulai berada di ambang kekhawatiran. Karena
mayoritas peralatan tempur militer Indonesia berasal dari Amerika Serikat dan sekutunya.
Dimana Orde Baru melakukan perubahan orientasi alat utama sistem senjata (alutsista) yang
semula banyak berasal dari Uni Soviet menjadi berasal dari Amerika Serikat dan sekutunya.

Satu persatu alutsista kita bertumbangan karena kesulitan mendapatkan suku cadang dan
perawatan yang disebabkan oleh embargo yang dilakukan Amerika Serikat dan negara –
negara Eropa Barat. Dari dua belas pesawat F-16 yang dimiliki Indonesia, hanya sepuluh

5 http://www.metrotvnews.com/index.php/metromain/analisdetail/2010/08/03/54/Indonesia-dan-Embargo-
Amerika diakses pada tanggal 4 April 2011 jam 19.00
6 ibid
yang bisa terbang. Itu pun setelah, para teknisi terpaksa melakukan kanibalisasi suku cadang
alias menggunakan perangkat yang masih baik dari pesawat yang tak layak terbang sebagai
suku cadang untuk F-16 yang dipergunakan. Misalnya, bagian avionic di sistem radar dan
turbin pendingin mesin, yang merupakan bagian terentan F-16 untuk dipakai secara
bergantian. Selain itu juga, menyebabkan hanya sepuluh dari dua puluh enam pesawat angkut
Hercules C-130 Indonesia yang layak terbang7. Hal serupa juga terjadi pada kapal perang
bekas yang dibeli dari Jerman, hingga kini dari 120 kapal perang yang dibeli, hanya tersisa 64
kapal perang dan hanya 37 kapal perang saja yang dinyatakan dalam kondisi sehat sedangkan
yang lain tetap berada di Dermaga Ujung karena ketiadaan suku cadang dan kurangnya
perawatan. 8
Para Presiden Republik Indonesia berusaha untuk terus melobi pemerintahan dan
Kongres Amerika Serikat agar mau menarik kembali embargo yang sudah diberlakukan.
Mulai dari Presiden B. J Habibie, Abdurrahman Wachid hingga Megawati Soekarnoputri.
Namun semuanya gagal untuk merubah pikiran pemerintahan dan Kongres Amerika Serikat.
Yang pada akhirnya membuat Indonesia mau tidak mau merubah orientasi sistem
persenjataannya. Dimana hal ini ditegaskan Menteri Pertahanan (Menhan) Prof Dr Mahfud
MD pada tahun 2000 yang lebih memilih merubah orientasi militer Indonesia daripada harus
menunggu dan bergantung pada bantuan Amerika Serikat.
Kebijakan Megawati pada tahun 2003 ini ditiru oleh Presiden Susilo Bambany
Yudhoyono pada tahun 2007 yang mengumumkan pembelian 3 Sukhoi Su – 27 SKM dan 3
Su-30MK2 pada pagelaran MAKS 2007 dengan kontrak senilai $ 300 million melalui
Rosoboronexport State Corporation (BUMN militer asal Rusia). Kemudian kunjungan dan
penandatangan kontrak itu dibalas Vladimir Putin ketika berkunjung ke Indonesia dengan
memberikan kredit ekspor sebesar 1 milliar USD untuk proyek multiyears pengadaan
peralatan tempur dari Rusia pada pemerintah Indonesia. Menariknya kredit ekspor ini
memiliki bunga sangat lunak dan dapat dipergunakan sewaktu – waktu dan yang terpenting
tidak memiliki syarat politik apapun.9
Kebijakan Indonesia ini memulai babakan baru militer Indonesia, dimana Indonesia
berkeinginan kuat melepaskan diri dari hegemoni Amerika Serikat dan negara Eropa Barat.
Serta untuk membuat persenjataan militer Indonesia jauh lebih bervariasi dan tidak

7 www.wikipedia.com/.TentaraNasionalIndonesia-AngkatanUdara diakses pada tanggal 4 April 2011 jam 19.00


8 www.temponews.com/index.php/tempomain/1990/10/01/pembelian eks JermanTimur diakses pada tanggal 4
April 2011 jam 19.00
9 www.republika.com/ 06/10/2009/ Indonesian Navy eyes Russian, Chinese missiles diakses pada tanggal 4
April 2011 jam 19.00
menggantungkan diri pada satu atau dua negara saja, sehingga ketika AS dan sekutunya
menjatuhkan embargo lagi, tidak akan berdampak secara luas seperti pada rentang waktu
1999 – 2005.
Selain itu, hal ini sebagai upaya Indonesia untuk melakukan peremajaan kemampuan
militernya sehingga dapat mengejar dan mengimbangi kekuatan militer negara – negara lain
di sekitarnya. Dimana adagium yang paling terkenal yaitu : Tidak ada kawan dan lawan yang
sejati, yang ada hanyalah kepentingan. Disini bisa kita lihat bahwa walaupun negara
tetanggapun pada akhirnya bisa menjadi musuh dan berubah menjadi ancaman bagi Indonesia
ketika kepentingannya tidak lagi sejalan.
Hal ini tentu saja semakin menimbulkan perasaan tidak aman yang dimiliki oleh
Indonesia terkait dengan banyaknya ancaman yang terlihat semakin nyata. Apalagi jika
Indonesia membandingkan dengan kemampuan militer yang dimiliki negara ini. Sangat tidak
mungkin bisa mengimbangi kemampuan militer negara _negara tersebut apabila kita melihat
dari segi kuantitas, kualitas serta adopsi teknologi yang dipakai dalam kekuatan militer
Indonesia. Dimana militer Indonesia terlihat sangat rentan dan lemah dikarenakan baru
berusaha bangkit dari embargo yang melanda pada tahun 1999 dan 2003. Apalagi jika
ditambah dengan pendekatan realisme yang menyatakan bahwa hubungan internasional
bersifat anarki dan konfliktual. Serta peristiwa sejarah itu pada akhirnya pasti berulang
polanya, hanya waktu dan aktornya saja yang berbeda, sudah seharusnya dan sepantasnya,
hal ini menjadi focus utama pembenahan yang harus dilakukan pemerintahan Indonesia.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk mengkaji permasalahan
ini secara lebih mendalam dan komprehensif dalam suatu penulisan ilmiah, dengan judul :
“Rasionalitas Indonesia memilih Rusia sebagai mitra kerjasama strategis dalam
rangka meningkatkan kemampuan militer Indonesia”

1.2 Ruang Lingkup Pembahasan

Dalam melakukan analisa pada studi hubungan Internasional, pembatasan ruang lingkup
menjadi amat penting. Hal ini bertujuan untuk membatasi masalah agar pembahasan tidak
berkembang luas ataupun keluar dari pokok permasalahan. Ruang lingkup pembahasan
terbagi dua yakni batasan materi dan batasan waktu.

1.2.1 Batasan Materi


Batasan materi mencakup ruang lingkup wilayah dan gejala-gejala yang muncul dari
permasalahan. Dalam karya tulis ini penulis membahas tentang asal usul kerja sama
Indonesia dan Rusia dalam bidang militer untuk meningkatkan kekuatan militer Indonesia.

1.2.2 Batasan Waktu


Penulis mengkaji asal usul hubungan Indonesia dan rusia dalam bidang militer dan
upaya peningkatan kekuatan militer Indonesia yang diawali pada tahun 1960 sampai dengan
tahun 2010. Alasan penulis memilih batasan waktu tahun 1960 sampai dengan tahun 2010,
adalah karena penelitian terhadap asal usul hubungan militer Indonesia dan Rusia yang
diawali oleh perjanjian pembelian senjata antara Indonesia dan Uni Soviet pada tahun 1960.
Pada waktu itu, Nikita Khrushchev selaku PM Uni Soviet (negara induk Rusia terdahulu)
mengadakan lawatan ke Indonesia sebagai balasan dari kunjungan Soekarno ke Moskow
pada tahun 1956 dan memberikan bantuan militer kepada Indonesia sebesar 100 juta USD.
Pada waktu itu, bantuan militer dari Uni Soviet itu sangat berguna bagi militer Indonesia
untuk meningkatkan persenjataannya guna menjalankan politik konfrontasi Irian Barat
dengan Belanda. Setelah era hubungan yang dingin antara pemerintah Indonesia pada masa
Orde Baru dan Federasi Rusia. Indonesia dibawah pemerintahan Presiden Megawati memulai
merintis kerjasama militer dengan Rusia pada tahun 2003, dengan menandatangani kontrak
senilai senilai $192.6 million untuk membeli 2 sukhoi SU-27 SK dan 2 sukhoi SU – 30 MK
(untuk angkatan udara) serta 2 helikopter serbu MI-35P ketika mengadakan kunjungan ke
Rusia. Kerjasama yang kemudian dipertegas oleh Vladimir Putin ketika berkunjung ke
Indonesia dengan memberikan kredit ekspor sebesar 1milliar USD untuk proyek multiyears
pengadaan peralatan tempur dari Rusia untuk pemerintah Indonesia. Kunjungan itu untuk
membalas dan menjawab kunjungan dan maksud Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang
telah menandatangani kontrak senilai $ 300 million dengan Rosoboronexport State
Corporation (BUMN militer asal Rusia) untuk membeli. 3 Sukhoi Su – 27 SKM dan 3 Su-
30MK2, dan mengharapkan kerjasama lebih diantara kedua negara khususnya dalam bidang
militer.
Walaupun penulis sudah menetapkan ruang lingkup pembahasan, namun tidak menutup
kemungkinan bagi penulis untuk memasukkan berbagai variabel serta fenomena yang terjadi
di luar lingkup pembahasan yang sudah ditetapkan. Hal ini dimaksudkan untuk menjelaskan
permasalahan secara terperinci dan komprehensif, sehingga dengan demikian fenomena di
luar pembahasan merupakan sebuah latar belakang dan penjelas bagi analisa yang dilakukan.
1.3 Rumusan Masalah

Sebuah karya ilmiah dituntut untuk dapat memaparkan hal yang menjadi pokok
permasalahan. Permasalahan merupakan hal yang mendasar yang harus dibuat dalam setiap
penelitian ilmiah. Perumusan masalah akan dapat membantu dalam memberikan pencarian
fokus pembahasan.
Menurut Suharsini Arikunto :
“Agar penelitian dapat dilaksanakan sebaik-baiknya, maka penelian harus
merumuskan masalahnya sehingga jelas dari mana harus memulai, kemana harus
pergi dan dengan apa”.10

Sedangkan menurut Winarno Surakhmad, permasalahan dapat didefinisikan sebagai berikut


:
“Masalah adalah setiap kesulitan yang menggerakkan manusia untuk memecahkannya.
Masalah harus dapat dianalisa sebagai suatu tantangan yang mesti dilalui atau dengan
jalan mengatasinya apabila ingin berjalan terus.11

Dan pengertian tersebut dapat dilihat hubungan masalah dengan ilmu. Suatu penelitian
ilmiah berangkat dari permasalahan yang muncul dalam benak kita dalam bentuk serangkaian
pertanyaan yang memerlukan jawaban.

Rumusan permasalahan yang akan dikaji dalam tulisan ilmiah ini adalah :
“Mengapa Indonesia memilih Rusia sebagai mitra kerjasama untuk
meningkatkan kemampuan militer Indonesia?”

1.4 Kerangka Konseptual

Menurut Mochtar Mas’oed konsep adalah abstraksi yang mewakili suatu objek, sifat
suatu objek atau fenomena tertentu.12 Sehingga dapat menyerdehanakan apa yang menjadi
permasalahan. Adapun konsep yang penulis gunakan adalah keamanan (Security), dan
perimbangan kekuatan (balance of power).
Adapun konsep keamanan (Security) bisa saja disamakan dengan konsep jantung,
seperti dalam pemahaman Thomas Hobbes, 4 abad yang lalu. Definisi standar tentang negara
yang aman adalah ketiadaan akan ancaman. Jika pengertian ini ini dibongkar dalam beberapa
bagian, akan terdapat 3 bagian yang utama yaitu eksistensi dari aktor (ada atau tidaknya
ancaman bagi aktor), dengan adanya ancaman tersebut, ada tidaknya keinginan dari aktor
untuk lepas dari ancaman, serta yang terakhir seberapa kemungkinan dan kemampuan sang
aktor untuk lepas dari ancaman13.
Dengan konsepsi keamanan diatas, kita akan menggunakannya untuk memahami
10 Suharmini Arikunto, Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktek, PT. Bina Aksara, Jakarta, 1989 hal. 7
11 Winarno Surakhmad. Pengantar Penelitian Ilmiah Dasar, Metode dan Teknik. Transisi Bandung.
12Mochtar Mas’oed, Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi, Jakarta: LP3ES, 1990, hal 93-94
13 Kent Booth, Theory Of World Security. 105th Ed. London : Cambridge University Press, 1990,100
Indonesia sebagai aktor dan juga potensi ancaman yang akan dihadapinya. Dimana kedua
konsep ini akan berpengaruh pada kebijakan yang dibuat oleh suatu negara terhadap negara
lain, terutama apabila negara tersebut masuk ke dalam katergori mengancam negara tersebut.
Karena peran persepsi adalah adalah sebagai pedoman akan lahirnya suatu tindakan dan
faktor-faktor utama yang menentukan bagaimana tiap individu melihat realita14. Sedangkan
ancaman dalam hal ini, bisa diakibatkan oleh persepsi (gagasan atau ide) maupun hal nyata
berupa suatu tindakan yang dilakukan oleh negara lain terhadap negaranya yang mana bisa
berakibat buruk pada keamanan nasional. Karena menurut Desiderato, persepsi adalah
pengalaman tentang objek, peristiwa, atau relasi-relasi yang diperoleh dengan menyimpulkan
informasi dan menafsirkan pesan. Dengan kata lain, persepsi ialah memberikan makna pada
stimuli inderawi (sensory stimuli) baik berupa suatu gagasan ataupun tindakan.15

Dalam hal ini, konsep keamanan berubah secara drastis sejak berakhirnya Perang
Dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet. Berakhirnya Perang Dingin memungkinkan
terjadinya perkembangan produksi, selain atas kemampuan sendiri juga karena faktor lisensi
produsen Barat yang tidak lagi terbatas. Dari lingkungan internasional, perubahan mendasar
dalam konfigurasi keamanan regional di atas, pada saat pasca Perang Dingin dipersepsi oleh
Singapura, Indonesia, Malaysia, dan Australia sebagai:
1. Adanya pergeseran struktur pertahanan yang mengharuskan mereka untuk turut serta
menjaga dan menjamin kepentingannya masing-masing dengan jalan meningkatkan kualitas
dan kuantitas pembangunan persenjataan;
2. Berakhirnya perang dingin dipersepsi sebagai perubahan ancaman keamanan dari ancaman
konflik global ke ancaman keamanan lokal dengan mengemukannya konflik intra dan ekstra
regional;
3. Keharusan negara-negara di Asia Tenggara untuk mempersenjatai diri dengan
meningkatnya proyeksi militer kekuatan-kekuatan regional yang dipandang sebagai dilema
keamanan; dan
4. Peningkatan kualitas dan kuantitas pembangunan persenjataan negara-negara Asia
Tenggara dimungkinkan dan dimudahkan oleh adanya kemudahan dalam pasar senjata.
Sedangkan dari lingkungan domestik pasca perang dingin memberikan pengaruh
terhadap dinamika persenjataan negara-negara Asia Tenggara dalam hal:
1. Peningkatan kualitas dan kuantitas pembangunan persenjataan negara-negara Asia

14 Daniel S. Papp, Contemporary International Relations: Frameworks for Understanding 2nd Ed. New York,
MacMillan Publishing Company, 1988, 153.
15 Jalaluddun Rakhmat, Psikologi Komunikasi Ed.13, Bandung, Remaja Rosda Karya, 1999, 51
Tenggara dimungkinkan dan dimudahkan oleh adanya kapabilitas ekonomi; dan
2. Peningkatan kualitas dan kuantitas pembangunan persenjataan negara-negara Asia
Tenggara disebakan adanya perkembangan industri persenjataan lokal sebagai wujud dari
pentingnya transfer teknologi oleh negara-negara berkembang.
Dan faktor utama dan terakhir ini juga patut menjadi fokus utama Indonesia dalam
memaknai konsep keamanannya yaitu : menurun secara signifikannya kemampuan militer
Indonesia akibat embargo militer yang bertubi – tubi menimpa dari rentang waktu 1999 –
2003, yang menurunkan kemampuan militer Indonesia secara kualitas dan kuantitasnya.
Faktor yang terakhir inilah yang berdampak luas terhadap cara pandang Indonesia
terhadap kemampuan militer negara – negara lain di sekitar Indonesia. Dalam hal ini yaitu
Singapura, Malaysia, dan Australia. Karena posisi dan kemampuan militer dari keempat
negara tersebut tidaklah lagi berimbang, dikarenakan kemampuan Indonesia terus merosot,
namun di sisi lain terjadi perubahan dan penambahan secara besar – besaran di negara –
negara tersebut. Hal ini kemudian dianggap menjadi ancaman yang potensial bagi Indonesia,
karena Indonesia menganggap situasi dan posisi yang tidak lagi berimbang antara Indonesia
dan negara – negara tersebut. Sehingga apabila terjadi konflik dibelakang hari, menjadikan
Indonesia tidak bisa lagi mengimbangi teknologi dan kekuatan militer dari negara – negara
tersebut.
Hal ini ditambah pula dengan adanya perjanjian lima negara (Five Power Defense
Agreement) yang beranggotakan Australia, Malaysia, Singapura, Selandia Baru dan Inggris.
Dimana perjanjian ini memberikan bentuknya dalam aliansi pertahanan bagi anggotanya.
Dari situs resmi British High Commission, Kuala Lumpur, diketahui bahwa FPDA berdiri
pada 1971 sebagai lembaga konsultasi dan antisipasi serangan terhadap Singapura serta
Malaysia. Saat peringatan 30 tahun FPDA pada November 2001, kelima negara anggotanya
sepakat membentuk suatu kerja sama jangka panjang. Salah satunya, perjanjian saling
dukung bila ada negara anggotanya yang diserang negara lain.
Dengan adanya pejanjian pertahanan ini, menjadikan Indonesia sebagai satu – satunya
negara yang tidak menjadi anggota dalam perjanjian tersebut. Atau dengan kata lain,
Indonesia saat ini bukanlah musuh, namun bukan juga teman. Dan dengan sifat dasar
hubungan internasional yang bersifat konfliktual dan anarkhis, ketika terjadi konflik antara
Indonesia dan salah satu negara tersebut di kemudian hari, akan menjadikan posisi Indonesia
sebagai musuh bersama bagi ketiga negara tersebut. Hal ini akan semakin menggandakan
posisi dan persepsi ancaman dari negara – negara tersebut bagi Indonesia. Sehingga pada
akhirnya terdapat kesimpulan, tidak perduli itu adalah negara tetangga atau bukan, ketika
kepentingannya tidak lagi sejalan, maka sudah tidak bisa lagi dikategorikan sebagai teman.
Ada dua generalisasi atau hubungan antar-proposisi berbentuk pernyataan
kecenderungan (tendency statement) yang digunakan dalam penelitian ini, terkait dengan
persepsi ancaman. Pertama, dalam laporan penelitian Duckitt dan Fisher dalam jurnal
Political Psychology tahun 2003, bahwa jika dunia dipersepsi sebagai tempat yang berbahaya
dan mengancam maka hasrat untuk pengamanan dan pengembangan sikap dan perilaku
otoriter akan meningkat pula.16 Kedua, dari Dean Pruitt, ditekankan bahwa semakin kuat
pengaruh kecenderungan (predispositions) untuk merasakan sebuah ancaman (to perceive a
threat) maka semakin ancaman tersebut dapat dirasakan (threat perceived).17 Dari dua
generalisasi di atas, dapat dirumuskan dua penyebab utamanya, yaitu semakin Indonesia
merasakan ancaman dari lingkungan sekitarnya, sebagai bentuk persepsi bahwa dunia
menjadi tempat yang semakin berbahaya dan mengancam dirinya, maka semakin kuat
hasratnya untuk meningkatkan pengamanan. Kemudian, adanya peningkatan pengaruh yang
dilakukan oleh policy influencers terhadap Indonesia agar dapat semakin merasakan ancaman
dari lingkungan di sekitarnya secara persepsional.
Sehingga dengan situasi dan kondisi yang demikian, membuat pemerintah Indonesia
merasa terancam dan dengan cepat harus mengambil terobosan. Salah satu terobosan yang
dilakukan, jika ingin merasa aman maka harus membangun sistem pertahanan dan keamanan
yang kuat. Karena pada akhirnya kekuatan akan menjelaskan pengaruh dan pengaruh selalu
mempertimbangkan kekuatan. Hal ini sesuai dengan pandangan realisme yang mengatakan
bahwa jika ingin berbicara banyak dan mendapatkan pengaruh dalam dunia internasional
adalah mendasarkan pada seberapa besar kekuatan yang dimiliki oleh negara tersebut. Dan
salah satu indicator yang dapat dilihat untuk mengukur kekuatan adalah kekuatan militer
(military forces) dan juga ketahanan ekonomi (economic sustainability).
Konsep kedua yaitu perimbangan kekuatan (balance of power) digunakan penulis untuk
membantu menjelaskan latar belakang Indonesia melakukan penambahan kemampuan
militernya dan kenapa Indonesia memilih Rusia sebagai mitra kerjasama kali ini. Dimana ini
merupakan suatu solusi untuk mengatasi ancaman yang sudah dijelaskan penulis diatas, serta
sebagai solusi untuk mengembalikan situasi dan kondisi menjadi berimbang diantara keempat
negara tadi. Karena pada rentang waktu 1999-2003, Indonesia masih terkena embargo dari
negara – negara Barat, maka Indonesia mau tidak mau harus mencari negara alternatif yang
mau menjual senjata kepadanya. Dan juga kualitas serta kemampuannya dapat mengimbangi
16 Robin Goodwin, Michelle Wilson dan Stanley Gaines Jr, “Terror threat perception and its consequences in
contemporary Britain”, British Journal of Psychology, Issue. 96, November 2005, 390.
17 Daniel S. Papp, op cit., 155
persenjataan dari negara – negara yang dipersepsikan sebagai ancaman. Karena sebagian
besar peralatan dan teknologi militer negara – negara tersebut dipasok dari Barat, maka sekali
lagi Indonesia berpaling ke Timur, seperti ketika Indonesia dibawah Soekarno. Dimana Rusia
dipilih sebagai mitra kerjasama, karena Rusia adalah negara yang mewarisi hampir 70 %
kemampuan militer Uni Soviet termasuk instalasi – instalasi produksi militernya. Hal ini
dibuktikan dengan posisi Rusia sebagai negara produsen senjata terbesar kedua di dunia
setelah Amerika Serikat. Sehingga apabila ingin digunakan sebagai perbandingan dan
jawaban atas persenjataan dari barat, kemampuan dan kualitasnya tidak perlu dipertanyakan
kembali. .

1.5 Hipotesis
Hipotesis adalah dugaan sementara atau jawaban sementara analisa permasalahan yang
diuji kebenarannya. Hipotesis diperlukan alternatif terdekat dari berbagai macam dugaan
yang dianggap benar (mendekati benar). Menurut Sutrisno Hadi :

“Hipotesis dipandang sebagai konklusi yang sifatnya sangat sementara atau dugaan
yang mungkin salah, dia akan ditolak jika salah atau palsu dan diterima jika fakta
memberikannya. Penolakan atau penerimaan hipotesis dengan begitu akan sangat
tergantung pada hasil-hasil penyelidikan terhadap fakta-fakta yang dikumpulkan”.18

Berdasarkan permasalahan yang penulis ajukan “Apakah alasan Indonesia memilih


Rusia sebagai mitra kerjasama untuk meningkatkan kemampuan militer Indonesia?”,
maka anggapan sementara penulis adalah terdapat alasan yang mendasari Indonesia
melakukan itu. Ada dua hal yang menjadi hipotesi penulis yaitu :

1. Indonesia meningkatkan kekuatan militernya karena merasakan ancaman dari


lingkungan sekitarnya yang didorong penambahan dan peningkatan secara massif
kemampuan militer negara – negara sekitarnya sehingga mau tidak mau harus
mengambil kebijakan tersebut. Karena kemampuan militer Indonesia saat ini
dianggap belum mampu mengimbangi kekuatan militer negara – negara tersebut,
maka membuat Indonesia belum merasa aman karena belum mampu menghilangkan
perasaan tidak aman dari persepsi ancaman yang timbul.

2. Alasan yang mendorong Indonesia untuk bekerjasama dengan Rusia adalah sebagai
jawaban Indonesia atas embargo yang diberlakukan negara Barat sejak tahun 1999.

18 Sutrisno Hadi, Methode Research Jilid 1. Yogyakarta: Gajahmada University Press,1986, hal.18
Dimana Rusia bersedia menawarkan alat utama sistem senjata (alutsista) yang
sangat dibutuhkan Indonesia untuk memodernisasi peralatan perangnya. Selain itu,
Rusia dipilih karena sebagian besar senjata negara – negara tersebut, disuplai dan
menggunakan teknologi militer Barat, dan persenjataan dari Rusia dianggap
memiliki kemampuan dan kualitas yang setara, yang dibutuhkan Indonesia untuk
mengimbangi kekuatan militer negara lain di sekitarnya.

1.6 Metode Penelitian

Dalam penelitian karya ilmiah metode merupakan salah satu syarat untuk melakukan
penenelitian. Penerapan metode bermanfaat untuk mendapatkan kerangka berpikir dan data-
data yang dibutuhkan dengan tujuan agar karya tulis menjadi ilmiah, sistem dan kronologis.

Agar suatu penelitian dapat terarah dan mendapatkan hasil yang optimal dan sesuai
dengan apa yakni, diharapkan, maka diperlukan metode yang tepat.

Menurut Liang Gie metodologi adalah sebagai berikut :

“Cara atau langkah yang berulang kali sehingga menjadi pola untuk menggali
pengetahuan tentang suatu gejala pada ujung awalnya. Ini merupakan cara atau
langkah untuk mengumpulkan data-data, sedangkan pada ujung akhirnya untuk
meluruskan kebenaran pernyataan yang disebut mengenai gejala tersebut”.19

Berdasarkan definisi di atas, metode dapat disimpulkan sebagai suatu kerangka


konseptual yang diterapkan pada penelitian yang dinilai dari proses pengumpulan data
sampai dengan penganalisaan data sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai yaitu keberadaan
dengan tingkat variabel atau gejala yang ada. Untuk memperoleh kebenaran suatu penelitian
maka sangat diperlukan adanya data yang berisikan tentang fakta-fakta yang ada di lapangan.
Metode yang digunakan dalam penulisan tentang karya tulis ilmiah ini ada ketegori yaitu
metode pengumpulan data dan motede analisa data.

1.6.1 Metode Pengumpulan Data


Penulis melakukan penelitian dengan menggunakan data-data sekunder yang berarti
data-data pengamatan terhadap objek yang diteliti tidak diperoleh secara langsung, tetapi
didapatkan melalui buku-buku terbitan, artikel atau buletin dan pemberitaan oleh media
massa serta informasi-informasi yang ada di internet. Dengan demikian metode pengumpulan
19 Liang Gie, Ilmu Politik: Suatu Pembahasan tentang Pengertian, Kedudukan dan Metodologi, Gajah Mada
university Press, Yogyakarta: 1984, hal 81
data yang dilakukan adalah metode penelitian perpustakaan atau library research.

Tempat-tempat yang menjadi sumber data dalam penelitian ini adalah :


1. Perpustakaan Pusat Universitas Jember
2. Perpustakaan FISIP Universitas Jember
3. Surat kabar, buku terbitan dan media internet
1.6.2 Metode Analisis Data
Penelitian harus mengunakan proses berpikir yang baik untuk mendapatkan hasil yang
baik juga. Berpikir adalah suatu proses mencari korelasi di antara berbagai ilmu pengetahuan
untuk mengorganisasikan dan mereorganisasikan sehingga dapat menginstruksikan yang
terdapat dalam tataran tertentu dan nantinya dapat dikembangkan kembali.

Penulis menggunakan cara berpikir deduktif untuk menganalis data yang bertujuan
untuk menyederhanakan sehingga mudah ditarfsirkan.20 Metode deduktif adalah metode yang
digunakan unluk menganalisa sesuatu yang spesifik, yang dihasilkan dan unit eksplanasi yang
lebih tinggi. Unit eksplanasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah hubungan Indonesia
dan Rusia, unit eksplanasi tersebut digunakan untuk menganalisa peningkatan kekuatan
militer Indonesia. Metode penelitian secara deduksi merupakan penelitian yang dilakukan
berupa penerapan teori, berangkat dari teori yang sudah ada, yang selanjutnya menjadi
pegangan untuk membuat hipotesis dan akhirnya akan diuji kebenarannya melalui observasi
fakta empiris21.

Penulis juga menggunakan metode deskriptif dalam menganalisa data. Deskriptif adalah
upaya untuk menjawab pertanyaan siapa, apa, di mana, kapan, atau berapa; jadi merupakan
upaya melaporkan apa yang terjadi.22 Berangkat dari konsep keamanan (security) yang
penulis gunakan, penulis mencoba membuat hipotesis tentang latar belakang apa saja yang
membuat Indonesia membangun dan meningkatkan kekuatan militernya dengan Rusia, yang
pada akhirnya menguji hipotesis tersebut dengan fakta-fakta yang ada di lapangan.

Penulis menganalisa data dengan menggunakan level analisa Nation State sebagai
kerangka analisa permasalahan dikarenakan pada level analisa Nation State ini
mengasumsikan bahwa semua pembuat keputusan di mana pun berada pada dasarnya
berperilaku sama apabila menghadapi situasi yang sama. Penulis menganalisa alasan apa
yang mendorong Indonesia bekerja sama dengan Rusia untuk meningkatkan kekuatan
20 Muh. Natsir, Metode Penelitian, hal 88
21 Mochtar Mas’oed, Ilmu Hubungan Internasional, Disiplin dan Metodologi, LP3ES, Jakarta, 1990, hal 117
22 Ibid., hal 68
militernya.23

1.7 Pendekatan
Dalam sebuah karya ilmiah diperlukan sebuah pendekatan. Pendekatan yang digunakan
berguna untuk membantu melihat permasalahan yang telah dirumuskan dan membantu
memberikan fokus pada pembahasan yang akan dilakukan. Pendekatan yang digunakan pada
sebuah karya ilmiah harus sesuai dengan konsep yang dipakai dalam menjelaskan
permasalahan. Oleh karena itu, penulis menggunakan pendekatan Realis.

Ide dan asumsi dasar Realis adalah :


1. Pandangan pesimis atas sifat manusia,
2. Keyakinan bahwa hubungan internasional pada dasarnya konfliktual dan
bahwa konflik internasional pada akhirnya diselesaikan melalui perang;
3. Menjunjung tinggi nilai-nilai keamanan nasional dan kelangsungan hidup
Negara,
4. Skeptisme dasar bahwa terdapat kemajuan dalam politik internasional
seperti yang terjadi dalam kehidupan politik domestik.24
Dalam pemikiran Realis :
Manusia dicirikan sebagai makhluk yang selalu cemas akan keselamatan dirinya
dalam hubungan persaingan dengan yang lain. Mereka ingin berada dalam kursi
pengendali. Mereka terus diambil keuntungannya. Mereka terus menerus berjuang
untuk mendapatkan yang terkuat dalam hubungannya dengan yang lain termasuk
hubungan internasional dengan negara-negara lain.25
Pandangan pesimis atas sifat manusia ini sangat jelas dalam teori HI yang menyatakan
bahwa pada dasarnya politik internasional itu sama saja dengan politik pada umumnya.
Karena apapun tujuan akhir dari politik internasional, mengejar kekuasaan dan kepentingan
adalah sesuatu yang selalu didahulukan. Terlebih sifat dasar manusia sebagai elemen utama
pembentuk negara mencirikan dirinya dengan kecenderungan lebih mementingkan dirinya
dan lebih suka mengejar kepentingan dan kekuasaan, dimana manusia memiliki
kecenderungan untuk agresif dalam usahanya mengejar kepentingan dan kekuasaan tersebut.
Sehingga hal ini berdampak pada perilaku negara dalam mengejar kepentingannya dalam

23 Ibid., hal 4
24 Robert Jackson & Georg Sorensen, PengantarStudi Hubungan Internasional, Pustaka Pelajar. Yogyakarta,
2005, hal 88
25 Ibid.,
dunia internasional (Morgenthau 1965:195).26

Dari beberapa pandangan Realis di atas menggambarkan bahwa Indonesia memiliki


ketakutan dan pesimis terhadap keamanan nasional dan kelangsungan hidup negaranya
apabila Indonesia tidak memiliki kemampuan bertahan yang mumpuni dalam menghadapi
dunia internasional yang bersifat anarchy dan konfliktual. Sehingga diharapkan dengan
memiliki sistem persenjataan yang mumpuni akan meningkatkan daya tawar Indonesia dalam
panggung internasional. Serta dapat mewujudkan keamanan nasional dan menghilangkan
persepsi ancaman yang muncul dari benturan kepentingan dengan negara – negara lain
terutama negara – negara di sekitar Indonesia.

1.1 Sistematika Penulisan


Bab I Pendahuluan
Bab ini menguraikan tentang latar belakang masalah, ruang lingkup

26 Ibid.,
pembahasan, rumusan masalah, kerangka dasar pemikiran, hipotesa,
metodologi penelitian, pendekatan dan sistematika penulisan.
Bab II Selayang Pandang antar negara
Dalam bab ini, akan dibahas secara mendalam profil negara Indonesia,
Rusia, Singapura, Malaysia, dan Australia, beserta kekuatan terkini
militer masing – masing negara.
Bab III Kerjasama Indonesia –Rusia dalam peningkatan kemampuan
militer indonesia
dalam bab ini akan dibahas tentang kerjasam Indonesia dan Rusia dalam
membangun kekuatan militer Indonesia. Dimana akan didahului sub bab
yang akan membahas selintas kerjasama antara kedua negara dimulai
dengan kerjasama yang pernah dilakukan dahulu ketika Rusia masih
menjadi bagian dari Uni Soviet. Kemudian melangkah pada kerjasama
militer kedua negara, dibuktikan dengan volume perdagangan belanja
militer Indonesia kepada Rusia, serta orientasi konsep kerjasama militer
Indonesia dan orientasi ancaman dan keamanan oleh Indonesia
Bab IV Faktor-Faktor yang Melatarbelakangi Indonesia memilih Rusia
sebagai mitra kerjasama strategis
Dalam bab ini akan dibahas tentang factor – factor apa saja yang
melatarbelakangi Indonesia memilih Rusia sebagai mitra kerjasama
strategis untuk peningkatan kekuatan militernya
Bab V Penutup
Bab ini merupakan bab penutup yang terdiri dari kesimpulan dan hasil
analisis dari pembahasan penulisan pada bab-bab sebelumnya.

Daftar Pustaka

Lampiran

You might also like