Professional Documents
Culture Documents
ARSITEKTUR BATAK
TOBA
Disusun Oleh:
ALIFA MAHARANI
08/269275/TK/34381
Daftar Isi.................................................................................................................... 1
Profil Batak Toba....................................................................................................... 2
Suku Batak.......................................................................................................... 2
Suku Batak Toba................................................................................................. 3
Budaya Batak Toba............................................................................................. 4
Fenomena Arsitektur Batak Toba............................................................................. 5
Pola Perkampungan Batak Toba......................................................................... 5
Rumah Adat Batak Toba..................................................................................... 6
Hubungan Antara Arsitektur dan Budaya Batak Toba............................................. 14
Kesimpulan................................................................................................................ 17
Daftar Pustaka........................................................................................................... 18
SUKU BATAK
Suku bangsa Batak mendiami daerah dataran tinggi Karo, Dairi, Toba, Humbang,
Barus, Angkola dan Mandailing. Wilayah ini dikenal dengan nama Tapian Nauli (Tapanuli).
Karena kondisi geografis daerahnya yang bergunung-gunung menyebabkan suku Batak
terbagi atas 6 anak suku, yaitu Batak Karo, Batak Simalungun, Batak Pakpak, Batak Toba,
Batak Angkola, dan Batak Mandailing. Setiap suku memiliki seni arsitektur yang menarik.
Suku Batak Angkola mendiami daerah Tapanuli Selatan, dekat perbatasan Riau. Di
sebelah timur danau Toba dibatasi perbukitan dan gunung-gunung di mana berdiam suku
Batak Simalungun. Suku Batak Karo berada di ujung utara danau dipisahkan deretan
perbukitan. Di sebelab barat danau bermukim suku Batak Pakpak. Suku Batak Mandailing
menempati wilayah selatan berbatasan dengan propinsi Sumatera Barat. Sedangkan Suku
Batak Toba bertempat tinggal di sekitar Pulau Samosir dan pinggiran Danau Toba dari
Prapat sampai Balige.
Setiap anak suku memiliki langgam seni bangunan (arsitektur) yang unik dan
indah. Sayangnya tidak banyak lagi yang tersisa dari bangunan tradisional di tanah
Tapanuli, terutama seni arsitektur dari Batak Pakpak dan Batak Angkola. Perwujudan
arsitektur tradisional Batak Simalungun masih dapat disaksikan di desa Pematang Purba,
yaitu bekas kerajaan Simalungun. Sedangkan wujud arsitektur Batak Mandailing tersisa di
desa-desa Hutagodang, Penyabungan, Pakantan, dan Busortolang. Hutagodang dan
Orang-orang Batak Toba suka bergaul. Semangat adat memanggil setiap individu
untuk melibatkan diri dalam setiap upacara. Terutama hikmah yang terkandung dalam
suatu falsafah yang memaksa setiap orang harus memadukan diri dengan orang sebagai
anifestasi semangat korelasi dan hubungan timbal balik di antara pihak-pihak.
Gambar menunjukkan pola perkampungan adat Batak Toba yang menyerupai benteng
dengan dua gerbang. Bisa dikatakan pola desa Batak Toba tertata dengan baik. Di dalam
desa Batak Toba terbagi menjadi:
A. Deretan rumah kep. Huta + anak lelaki dengan keluarga
B. Sopo (lumbung)
1. Gerbang masuk
2. Halaman Kampung (partukhoan)
3. Simin (peti mati batu: tulang belulang leluhur)
4. Pohon beringin lambang alam semesta)
Arsitektur Batak Toba, yaitu ruma dan sopo (lumbung) yang saling berhadapan. Ruma dan
sopo dipisahkan oleh pelataran luas yang berfungsi sebagai ruang bersama warga huta.
Ada beberapa sebutan untuk rumah Batak, sesuai dengan kondisi rumahnya. Rumah adat
dengan banyak hiasan (gorga), disebut Ruma Gorga Sarimunggu atau Jabu Batara Guru.
Sedangkan rumah adat yang tidak berukir, disebut Jabu Ereng atau Jabu Batara Siang.
Rumah berukuran besar, disebut Ruma Bolon. dan rumah yang berukuran kecil, disebut
Tinggi bangunan mulai dari batu fondasi sampai ke puncak atapnya (ulu paung)
sekitar 13,00 m. Rumah panggung dengan konstruksi kayu ini berdiri di atas tiang-tiang
yang diletakkan di atas batu ojahan (fondasi). Tiang-tiang rumah terdiri atas tiang panjang
(basiha rea) dan tiang pendek (basi pandak). Bentuknya bulat berdiameter 50 - 70 cm,
sehingga terkesan sangat kokoh.
Tiang-tiang muka dan belakang dihubungkan oleh 4 baris papan tebal, disebut
tustus parbarat atau pangaruhut ni banua (pengikat benua). Tiang-tiang kanan dan kiri
diikat oleh 4 baris papan tebal, disebut tustus ganjang atau pangaruhut ni portibi
(pengikat dunia tengah). Bagian atas tiang-tiangnya dihubungkan oleh balok ransang
yang diikat dengan solang-solang. Atap yang tinggi besar merupakan unsur paling
dominan dari keseluruhan bangunan. Konstruksi atapnya dari kayu dan bambu dengan
penutup atap dari ijuk. Bubungan meninggi ke depan. Tapi sekarang ada yang
menggunakan seng untuk atapnya.
Dalam ukuran yang lebih kecil, bentuk arsitektur sopo sama persis dengan ruma
bolon, hal ini sebagai bukti penghargaan yang diberikan pada lumbung sebagai sumber
pangan dan kehidupan.
Semua rumah adat tersebut di atas bahannya dari kayu baik untuk tiang, lantai
serta kerangka rumah berikut pintu dan jendela, sedangkan atap rumah terbuat dari
seng. Di anjungan Sumatera Utara, rumah-rumah adat yang ditampilkan mengalami
sedikit perbedaan dengan rumah adat yang asli di daerahnya. Hal ini disesuaikan dengan
kegunaan dari kepraktisan belaka, misalnya tiang-tiang rumah yang seharusnya dari kayu,
banyak diganti dengan tiang beton. kemudian fungsi ruangan di samping untuk keperluan
ruang kantor yang penting adalah untuk ruang pameran benda-benda kebudayaan serta
peragaan adat istiadat dari delapan puak suku di Sumatera Utara. Benda-benda tersebut
meliputi alat-alat musik tradisional, alat-alat dapur, alat-alat perang, alat-alat pertanian,
alat-alat yang berhubungan dengan mistik, beberapa contoh dapur yang semuanya
bersifat tradisional. Sedangkan peragaan adat istiadat dan sejarah dilukiskan dalam
bentuk diorama, beberapa pakaian pengantin dan pakaian adat dan sebagainya.
Setiap hiasan dan ukiran mengandung makna yang melambangkan kepercayaan
bersifat magis religius. Pemasangan ragam hias juga harus mengikuti aturan adat yang
berlaku. Bentuk dan corak ragam hiasnya banyak
mengambil bentuk dari alam semesta, flora, dan
fauna. Hiasan dari alam, di antaranya at matani ari
(matahari) dan desa ni ualu (8 mata angin). Hiasan
berasal dari flora, antara lain simeol-eol, sitompi,
sitangan, iran-iran, hariara sudung ni langit. Sedang
hiasan berasal dari fauna, yaitu hoda-hoda (kuda),
boraspati (cecak besar), sijonggi, dan gajah dompak.
Ada juga hiasan geometris, seperti silintong (garis-
garis) dan ipon-ipon.
Hiasan yang digunakan pada arsitektur tradisional Batak Toba merupakan seni ukir
dan lukis. Hal ini menunjukkan bahwa keindahan merupakan salah satu hal yang sangat
erat kaitannya dalam kehidupan manusia. Selain keindahan, hiasan yang ada pada rumah
tradisional Batak Toba juga memiliki nilai yang sangat penting dalam menentukan jati diri
penghuni ruma. Oleh karena itu, selain bentuk ruma, hiasan juga merupakan suatu
kebanggan dan penghargaan yang diberikan untuk menunjukkan penghuni ruma.
Pola penataan desa atau lumban/ huta Suku Batak Toba terdiri dari beberapa
ruma dan sopo. Perletakan ruma dan sopo tersebut saling berhadapan dan mengacu
pada poros utara selatan. Sopo merupakan lumbung, sebagi tempat penyimpanan
makanan. Dalam hal ini, menunjukkan bahwa masyarakat Batak selalu menghargai
kehidupan, karena padi merupakan sumber kehidupan bagi mereka.
Pola penataan lumban yang terlindungi dengan pagar yang kokoh, dengan dua
gerbang yang mengarah utara-selatan, menunjukkan bahwa masyarakat Batak, memiliki
persaingan dalam kehidupan kesehariannya. Jika kita mengamati peta perkampungan.
Setiap hiasan dan ukiran mengandung makna yang melambangkan kepercayaan
bersifat magis religius. Pemasangan ragam hias juga harus mengikuti aturan adat yang
berlaku. Bentuk dan corak ragam hiasnya banyak mengambil bentuk dari alam semesta,
flora, dan fauna.
Konservasi arsitektur bukan hanya melestarikan seni budaya peninggalan nenek
moyang, akan tetapi bagaimana kita dapat menjaga dan melestarikan nilai-nilai yang
terkandung di dalamnya. Sudah banyak nilai-nilai luhur yang telah kita tinggalkan dengan
alasan modernisasi, yang pada akhirnya hanya akan membawa kita pada suatu krisis dan
kehancuran.