You are on page 1of 23

PERBANDINGAN MULTIKULTURALISME DI EROPA DAN AMERIKA

Saat ini sangat menarik memperbincangkan dan memahami multikulturalisme, Apalagi


realitasnya hampir semua negara yang ada di dunia terdiri dari beragam suku dan budaya bangsa
yang hidup dan mendiami wilayah tertentu. Walau pun kita sadari istilah ini belum lah sepopuler
kembarannya, yakni istilah demokrasi itu sendiri.

Namun kalau kita perbandingkan antara demokrasi dan multikulturalisme, merupakan


sesuatu yang memiliki kesamaan substansi, namun berbeda wilayah pengoperasiannya. Kita
sebut saja multikulturalisme merupakan bagian pilar dari kerangka desain demokrasi.

Faktanya yang berkembang, demokrasi membuka jalan bagi kesetaraan semua manusia
dalam semua lini kehidupan sosial, sedangkan multikulturalisme mempertegas keaneragaman
atau perbedaan tersebut, yang hal ini menjadi syarat utama sebuah wajah masyarakat modern dan
negara modern.

Perlu kita sadari bahwa kesepahaman mulikulturalisme bagi kita atau pun bagi semua
orang sangat lah penting demi terciptanya sebuah masyarakat baru dan negara baru yang damai,
tentram, anti kekerasan, jauh dari peperangan, jauh dari prasangka dendam dan demi
keberlanjutan kehidupan manusia dan lingkungannya di masa akan datang.

Menurut Tilaar (2002:495-7), pendidikan multi-kultural berawal dari berkembangnya


gagasan dan kesadaran tentang “inter-kulturalisme” seusai Perang Dunia II. Kemunculan
gagasan dan kesadaran “inter-kulturalisme” ini selain terkait dengan perkembangan politik
internasional menyangkut HAM, kemerdekaan dari kolonialisme, dan diskriminasi rasial dan
lain-lain, juga karena meningkatnya pluralitas di negara-negara Barat sendiri (seperti Kanada,
Inggris, Amerika Serikat dan lain-lain) sebagai akibat dari peningkatan migrasi dari negara-
negara yang baru merdeka ke Amerika dan Eropa.
Multikulturalisme di Eropa

Eropa merupakan salah satu benua yang menjadi favorit tujuan para kaum imigran dari
berbagai penjuru dunia. Dengan tingakat kemajuan ekonomi yang pesat dengan minimnya
sumber daya manusia yang terdapat di Eropa, menjadikan Eropa sebagai tempat yang ideal bagi
para kaum imigran untuk menetap. Selain itu, sistem negara kesejahteraan (welfare state) yang
diterapkan hampir di seluruh Uni Eropa (UE), di mana para pengangguran dan fakir miskin
benar-benar bisa hidup atas tanggungan jaminan sosial dari negara, disebut sebagai daya tarik
utama banjirnya imigran ke Eropa. Multikulturalisme di Eropa hampir terjadi di seluruh Negara
yang terdapat di benua ini. Namun, tidak semua Negara memiliki kisah multikulturalisme yang
menarik untuk dipelajari. Untuk itu, penulis hanya akan mengambil contoh kisah
multikulturalisme dari tiga Negara saja, yaitu Jerman, Belanda, dan Inggris sebagai sampel
multikulturalisme yang terjadi di benua Eropa.

• Jerman

Ketika seorang pemimpin dunia mengatakan secara terang-terangan bahwa


multikulturalisme telah gagal di negerinya, pasti ada sesuatu yang luar biasa sedang terjadi
disana. Apalagi, pemimpin yang menyatakan hal tersebut adalah pemimpin Jerman, negeri yang
menyimpan trauma dan segunung rasa bersalah akibat politik ”pemurnian ras” Nazi Jerman yang
memicu Perang Dunia II.

Sabtu pekan lalu Kanselir Jerman Angela Merkel membuat pernyataan yang
mengejutkan. Merkel menegaskan, usaha membangun multikulturalisme di negara tersebut telah
gagal total. Dalam pertemuan dengan para kader muda partai Uni Demokrat Kristen (CDU) di
Potsdam itu, Merkel juga mengatakan, para pendatang, yang sebagian besar berasal dari Turki
atau negara-negara Arab dan beragama Islam, harus memulai proses integrasi dengan masyarakat
asli Jerman, menguasai bahasa Jerman, dan menjunjung tinggi budaya masyarakat setempat.

Horst Seehofer, Perdana Menteri Negara Bagian Bavaria dan ketua partai rekan koalisi
Merkel di pemerintahan Jerman saat ini, menegaskan bahwa kedua partai, CDU dan Uni Sosial
Kristen (CSU), ”berkomitmen mewujudkan kultur Jerman yang dominan dan menentang
(bentuk) multikultural”. David Frum, mantan asisten khusus Presiden George W Bush pada
2001-2002, menulis di CNN.com bahwa masalah yang dihadapi Jerman terkait imigran adalah
masalah yang dihadapi hampir semua negara maju di Eropa.

Hal tersebut kemudian menarik penulis untuk menganalisis hal apakah yang membuat
pemimpin Jerman tersebut justru mengeluarkan pernyataan yang paling lugas dan agresif tentang
gagalnya multikulturalisme ”abal-abal” di Eropa itu, dibandingkan dengan pemimpin Eropa
lainnya.

Menurut George Friedman, pendiri dan CEO Stratfor Global Intelligence, sanggahan
terhadap multikulturalisme dengan sendirinya berarti pengakuan terhadap pentingnya identitas
nasional Jerman. Padahal Jerman sedang dalam proses kembali ke dalam sejarah dunia. Selama
65 tahun masa ”tiarap”-nya, Jerman cenderung meleburkan diri dalam kelompok-kelompok
multinasional, seperti UE dan NATO, demi menghindari topik yang sederhana, tetapi sangat
dalam, yakni nasionalisme. Pernyataan Merkel oleh Friedman dibaca sebagai tanda bahwa masa-
masa ”diam” Jerman telah usai.

Friedman memandang, kebangkitan kembali kesadaran nasional Jerman tersebut lebih


dipicu oleh masalah yang lebih konkret, seperti masalah-masalah sosial yang disebabkan imigran
tadi, dan mulai munculnya keraguan Jerman terhadap masa depan organisasi multinasional yang
ia ikuti. Contohnya NATO, sebagai persekutuan militer yang sebagian besar anggotanya adalah
negara-negara yang tidak memiliki kekuatan militer berarti, mulai dirasakan sebagai beban
karena Jerman termasuk negara yang harus ikut bertanggung jawab terhadap keamanan negara-
negara tersebut.

Krisis ekonomi yang melanda Uni Eropa (UE), terutama kasus hampir bangkrutnya
Yunani beberapa bulan lalu, yang harus ditanggung negara-negara anggota UE lainnnya,
membuat Jerman juga meragukan masa depan konsep Eropa bersatu ini. Jerman, sebagai salah
satu kekuatan ekonomi utama di Eropa, tidak mau menjadi penjamin utama finansial UE jika
terjadi masalah lagi pada masa depan ekonomi UE.

Jerman pun mulai memikirkan masa depannya sendiri dengan mulai berpikir di luar
konteks UE. Salah satu skenario yang diajukan Friedman adalah jalinan kerja sama Jerman
dengan Rusia. Rusia bisa menjadi jawaban atas kebutuhan 400.000 tenaga terampil yang sangat
dibutuhkan Jerman untuk menggerakkan ekonominya. Jerman saat ini sudah bergantung pada
Rusia dalam hal pasokan energi. Jika Jerman kemudian juga bergantung pada Rusia dalam hal
tenaga kerja dan Rusia bergantung pada Jerman dalam hal investasi, peta Eropa bisa berubah
lagi.

Oleh sebab itu, pernyataan Merkel memiliki dua sisi yang sama-sama memiliki makna
penting. Di satu sisi dia mengingatkan ancaman serius multikulturalisme ”abal-abal” dan
menekankan pentingnya proses integrasi imigran ke dalam masyarakat Jerman. Di sisi lain,
melalui peringatan itu, Merkel juga memulai sebuah proses yang bisa berdampak besar, tak
hanya bagi Jerman sendiri ataupun Eropa, tetapi juga pada keseimbangan kekuatan global.
Sejarah yang akan membuktikan.

Dari sudut pandang ini, multikulturalisme di Eropa dapat dikatakan sekadar basa-basi
atau sekadar sebuah tindakan untuk menghadapi realitas membanjirnya imigran ke negara
mereka. Maka, dengan konsep seperti itu, multikulturalisme ala Eropa justru menciptakan
alienasi permanen bagi para imigran. Dengan dibebaskan mempertahankan identitas asli, para
imigran di Jerman tak merasa perlu peduli terhadap nasib Jerman

Melimpahnya imigran, yang rata-rata berpendidikan rendah dan tidak berketerampilan,


memicu berbagai masalah sosial, seperti pengangguran, kecemburuan sosial, dan kriminalitas.
Namun, di sisi lain, Jerman dan negara-negara utama EU lainnya membutuhkan para imigran ini
untuk menggerakkan ekonomi mereka. Dalam kasus Jerman, negara itu memang tak pernah
benar-benar memikirkan integrasi para imigran. Sejak Jerman mengundang para imigran untuk
mengisi kekurangan tenaga kerja pada tahun 1950-an, orang Jerman tak pernah berpikir mereka
akan tetap tinggal di negara itu.

Dalam pidatonya, Kanselir Merkel sempat menyinggung itu. ”Kita dulu sempat bercanda
bahwa mereka tak akan selamanya tinggal di sini. Ternyata kita salah,” ujar Merkel waktu itu.
Saat para imigran itu ternyata tetap tinggal hingga turun-temurun, solusi yang ditawarkan
Pemerintah Jerman pada pertengahan tahun 1980-an adalah konsep multikulti atau
multikulturalisme. Para imigran boleh mempertahankan cara hidup sesuai kultur asli mereka
(termasuk bahasa dan pola hidup beragama), tetapi harus menyatakan kesetiaan kepada negara
Jerman. Dua budaya yang berbeda diharapkan bisa hidup berdampingan secara damai dengan
sendirinya.

Meski sekilas terlihat seperti konsep liberal, manusiawi, dan menghargai kebhinekaan,
kebijakan ini sebenarnya, kata Friedman, adalah sebuah transaksi untuk ”membeli” kesetiaan
para imigran, tidak kepada negara asal mereka lagi, tetapi kepada Jerman, negara baru mereka.
”Orang Jerman sebenarnya tidak ingin dan tidak tahu bagaimana caranya berasimilasi dengan
orang yang berbeda budaya, bahasa, agama, dan moral,” tutur Friedman dalam artikel yang
ditulis pada 19 Oktober.

• Belanda

Telah berabad-abad lalu orang Belanda kedatangan para imigran dari seluruh pelosok
dunia. Sejak abad ke-17, mereka menerima pelarian Hugenot, pengungsi Yahudi, migran Cina,
dan lain-lain. Walaupun terjadi tingkat migrasi yang cukup besar, memang tidak banyak terjadi
benih-benih rasisme dan anti-Islam, meski Belanda atau Eropa pernah traumatik di bawah
kekuasaan Ottoman yang muslim, dan di negeri-negeri jajahannya, yang memang pernah terjadi
tingkat rasisme yang dominan.

Awalnya, jumlah para imigran tidak begitu banyak. Namun sejalan dengan waktu, jumlah
tamu terus bertambah. Sebagian karena beranak-pinak, kemudian sebagian lain karena dibawa
kerabat atau pelarian dari wilayah konflik di Afrika dan Eropa Timur. Puncak gelombang
imigrasi besar-besaran terjadi di Belanda pada tahun 1970-an dan 1980-an. Rupa-rupa pula
motivasi dari mereka di dalam memilih Belanda sebagai tujuan migrasi mereka. Ada yang datang
terkait dengan kebutuhan tenaga kerja untuk pembangunan dam dan kota seperti dari Maroko
dan Turki. Sebagian lainnya ada pula yang datang secara sukarela untuk hidup. Ada juga karena
kebijakan politik paska kolonial, seperti orang-orang Jawa Suriname yang tak mau kembali ke
Jawa. Selain itu, ada juga yang datang sebagai pencari suaka dari negeri berkonflik seperti Iran
dan Irak.

Atas fakta ini, Belanda mulanya sangat bangga. Mereka menepuk dada sebagai
masyarakat yang plural dan terbuka. Namun, seperti yang dikatakan Lies Marcoes, ketika
ekonomi di Eropa tumbuh, para pendatang itu justru menjadi kayu api bagi mesin mesin industri
yang menjalankan roda ekonomi Belanda. Namun tatkala terjadi krisis ekonomi global, mereka
pula yang segera menjadi sasaran frustrasi penduduk terutama warga kulit putih yang merasa
punya hak atas tanah airnya.

Kini, di “Negeri Kincir Angin” itu terdapat hampir 1 juta warga muslim yang umumnya
identik dengan imigran. Namun saat ini pula kebanggaan akan sebuah negeri yang plural dan
terbuka itu sirna, berubah menjadi ketegangan mengerikan. Jurang lokal-migran cenderung
berubah menjadi semakin tajam. Permusuhan dan kebencian menjadikan mereka terpola dalam
kotak-kotak kehidupan yang berdampingan tapi tak bersama-sama. Pada titik inilah,
multikulturalime mendapat pertanyaan serius. Apakah ketegangan itu lebih karena sikap
superioritas warga Belanda yang menganggap pendatang selalu lebih rendah, ataukah karena
perilaku pendatang yang terlalu eksklusif dan bertindak semau sendiri? Sehingga, orang seperti
Wilders begitu benci dengan imigran yang mayoritas muslim.

Ini adalah pertanyaan multikulturalisme yang penting untuk dijawab. Dalam konteks ini,
Aboeprijadi Santoso menengarai ada problem soal pola integrasi, pembauran, potensi konflik,
dan dialog yang terkandung pada kedua belah pihak. Berimigrasi bagi warga asal Arab dan
Afrika Utara, bukan sekedar beralih tempat mukim, melainkan memindahkan dan menghidupkan
peradaban, termasuk amanat dan nilai-nilai religiusnya di kancah yang baru. Di saat yang sama,
Belanda tak mempunyai konsep “kampung halaman” sekuat bangsa lain.

Hal itu semakin diperkuat Sybrand van Haersma Buma, anggota partai penguasa, Partai
Kristen Demokrat. Menurutnya, para imigran hanya membawa nilai-nilai Islam sekaligus budaya
mereka sendiri. Sayangnya, mereka kurang akrab bergaul dengan warga lokal. Banyak yang tak
bisa berbahasa Belanda dan hidup di wilayah pinggiran yang miskin. ”Mereka menciptakan
ghetto bersama,” ujar Buma. Situasi demikian terlihat jelas sejak tahun 1970 ketika kaum migran
dari pedalaman Mediterania, Arab, dan Afrika Utara menjadi gastarbeiders (pekerja tamu) di
Eropa. Hal itu tentu berbeda dengan di Amerika. Di sana para pendatang muslim datang dari
perkotaan dari negeri asal, dan banyak yang menjadi mapan dalam kehidupannya di sana.

Dengan datangnya kaum imigran yang kebanyakan dari desa-desa miskin dengan budaya
yang sangat berbeda menyebabkan situasi di Belanda berubah sekali. Perumahan menjadi
kumuh, orang kulit putih yang mampu lebih memilih meninggalkan perumahan yang diisi oleh
banyak kaum imigran, dan bekas tempat mereka diambil imigran baru. Orang-orang Belanda
miskin yang tak mampu pindah merasa diasingkan di wilayahnya sendiri. Kejahatan kecil dan
besar terus meningkat; banyak anak dari negara non Belanda dengan bahasa yang tidak dikenali
kerap berbuat onar yang menakutkan orang-orang tua.

Awalnya, mereka bisa berbaur, meski dalam hubungan yang masih remang-remang.
Sekolah tak dipilah-pilah, namun berkembang secara “alami”. Dalam multikulturalisme Belanda,
hal alami itu menjadi dubius, bahkan palsu. Ketika orang tua melihat anak mereka tak maju
seperti anak didik di sekolah-sekolah yang dipadati anak-anak lokal. Maka berkembanglah
segregasi tak resmi namun nyata, dengan “sekolah putih” yang berisi anak-anak orang lokal, dan
“sekolah hitam” yang isinya anak-anak migran.

Atas persoalan-persoalan seperti itu, Pim Fortuyn mengecam hal tersebut sebagai pola
pembauran yang salah kaprah. Pola pembauran di Belanda dinilai salah, multikulturalisme
dianggap gagal, dan kesantunan politik harus didefinisikan kembali. Sebagai jalan menuju ke
sana, pada tahun 2002, Pim Fortuyn membentuk partai Lijst Pim Fortuyn (LPF). Agenda
utamanya adalah memperketat aturan imigrasi, terutama bagi yang tidak bisa menerima dan tidak
mau beradaptasi dengan budaya Belanda. Meski menolak disebut rasis, Fortuyn menegaskan
pembatasan bagi imigran muslim, bahkan kalau perlu dilarang masuk Belanda.

Namun belum sempat lama memperjuangkan agenda politiknya, Fortuyn dibunuh aktivis
hak-hak hewan (animal rights), Volkert van Der Graaf. Menurut pengakuan Der Graaf, dia
membunuh Fortuyn agar berhenti mengeksploitasi muslim, dan membidik kelompok lemah di
dalam mencapai tujuan politik. Setelah kematian Fortuyn, partai ini bubar pada awal 2008. Tapi,
seperti yang ditulis Santoso, “Revolusi Fortuyn” membuahkan satu semboyan kunci: “Tak ada
toleransi terhadap intoleransi”.

Dengan begitu, Pim Fortuyn telah membuka jalan bagi orang-orang seperti Van Gogh,
Hirsi, dan Wilders. Ketiganya datang dari dunia berbeda, tapi menemukan musuh yang sama
yaitu Islam. Theo Van Gogh, seniman Amsterdam dan sutradara film anti-Islam Submission.
Ayaan Hirsi Ali, cendekiawan yang dibesarkan di bawah represi patriarkhat di Afrika dan Arab
Saudi yang berputar haluan setiba di Jerman, yang juga turut merancang Submission. Geert
Wilders adalah politikus dari Linburg, Belanda Selatan, yang menyempal dari partai besar
People’s Party for Freedom and Democracy (VVD) dan kemudian membentuk partai PVV.
Kini, dengan partai guremnya itu, Wilders memimpin kubu Islamophobia.

Kematian Van Gogh di tangan seorang muslim, Muhammad Bouyeri, semakin


mengentalkan kebencian Wilders terhadap imigran muslim. Karenanya, Wilders sangat muak
dan tidak pernah bersepakat dengan relativisme budaya. “Saya cuma muak dengan pendukung
relativisme budaya yang berpendapat bahwa semua orang boleh masuk Belanda, sehingga
Belanda menjadi tempat bercampur berbagai budaya. Saya ngeri kalau mendengar perdana
menteri mengatakan hal-hal seperti itu.” Demikian yang dikatakan Wilders soal relativisme
budaya dalam sebuah wawancara dengan redaksi Arab, Radio Nederland, pada tanggal 17
September 2007.

Imigran muslim bagi Wilders adalah pangkal persoalan yang harus segera ditindak tegas.
Dalam wawancara yang sama, ketika ditanya seandainya Wilders jadi pemimpin di Belanda,
dengan terang-terangan dia menjawab, “Saya akan menghentikan arus imigran dari negara-
negara Islam, karena menurut saya, budaya kita semakin punah. Saya ingin, budaya Belanda
tetap dominan di atas budaya-budaya lain yang sebenarnya boleh saja masuk Belanda. Banyak
sekali orang Belanda merasa asing di negeri sendiri. Mereka ini tidak boleh dianggap remeh.
Kalau tiap tahun puluhan ribu orang asing datang ke sini, proses integrasi bisa terhambat. Ini kan
sama dengan mengeluarkan air dari perahu bocor” tegasnya. Selain itu, “Saya juga tidak akan
mengizinkan pembangunan masjid baru, karena jumlahnya sudah cukup. Saya akan menutup
sekolah-sekolah Islam” tegasnya.

Persoalan multikultural yang melibatkan banyak ranah kehidupan seperti di Belanda ini
memang bukan problem yang mudah diselesaikan. Muski bukan persoalan baru dan langka,
namun menjadi tidak sederhana karena kedua kubu merepresentasikan dua peradaban besar
dengan segala kesadarannya yaitu warga lokal (Belanda) merepresentasi Eropa, sedangkan Islam
–setidaknya yang di Eropa—dipersonifikasi oleh kelompok-kelompok migran yang berada di
tengah pancaroba. Ketegangan itu menciptakan posisi yang berhadap-hadapan secara diametral.
Kedua kubu saling menegaskan purbasangka yang mereka ciptakan sendiri. Wilders dan wacana
Barat memandang peradaban Islam identik dengan kekerasan, teroris, rendahan, kumuh, dan
bodoh. Sedangkan sebagian kaum migran menistakan Barat “kafir”, sombong, dan eksploitatif.
Akulturasi budaya menjadi kontraproduktif karena keduanya sama-sama memproduksi
stigma yang dipijakkan pada purbasangka masing-masing. Karena ketakutan akan Islam akan
jadi ancaman masa depan Eropa, maka atas nama warga lokal mereka perlu menata wilayah
politik dan menyelamatkan budaya agar tidak punah. Sebaliknya, karena merasa didiskreditkan
dan dianggap rendah, maka migran Islam perlu membela diri dengan segala cara, dan akhirnya
jatuh pada kubang eksklusivitas. Keduanya berjarak dan sulit dipertemukan.

Akhirnya, penyelesaian terhadap persoalan multikulturalisme ini pun menjadi buram.


Wilders yang geram dan kuatir, menggelontorkan wacana penghentian arus migran Islam.
Padahal itu jelas-jelas kontradiksi dengan nilai-nilai anti-rasisme, pluralisme, dan toleransi yang
dijaga dan dikembangkan pasca Perang Dunia II. Sementara Muhammad Bouyeri menjatuhkan
vonis sepihak kepada Van Gogh karena dianggap melecehkan Islam dengan cara menggorok
lehernya. Jika kedua pihak tetap kukuh dalam purbasangkanya sendiri-sendiri dan tidak mau
membuka diri untuk berdialog, maka jurang lokal-migran akan kian menganggah lebar. Dan,
multikulturalisme yang tengah meradang di Negeri Kincir Angin itu akan berubah menjadi
rasisme

• Inggris

Masyarakat Inggris sebenarnya terbagi-bagi secara struktur berdasarkan kelas dan sosial.
Ada hubungan tradisional kuat antara kelas masyarakat dan aktivitas politik. Sebagai contoh,
kelas pekerja (baik terlatih maupun tidak) berkorelasi erat dengan Partai Buruh, dan kelas
menengah (non-pekerja dan manager) adalah pendukung kuat Partai Konservatif di Inggris.

Di lain sisi, masyarakat Inggris adalah masyarakat yang secara moral adalah berjiwa
bebas (liberal). Untuk isu-isu moral, masyarakat Inggris terlihat lebih liberal dibandingkan
misalnya, Amerika Serikat (AS). Akibatnya, kebijakan publik dan ekspektasi pemerintah Inggris
dalam soal moral juga mencerminkan jiwa liberal. Homoseksualitas dan aborsi misalnya, telah
dilegalkan di Inggris sejak tahun 1967 sedangkan di AS kedua soal ini adalah ilegal. Dalam soal
keagamaan, 2/3 rakyat Inggris percaya kepada Tuhan, tetapi (kecuali di Irlandia Utara) hanya
13% saja yang menghadiri gereja pada hari Minggu.
Dari sisi sosial, masyarakat Inggris cenderung mengarah kepada masyarakat yang
dominan bersikap individual. Sikap individual ini adalah hasil dari paham liberalisme yang
berkembang dengan pesat di Inggris sejak tahun 1776. Dengan kebebasan individu sepenuhnya
maka setiap orang akan didorong untuk saling berkompetisi satu sama lain. Akan tetapi paham
ini ada sisi buruknya juga, yakni setiap individu lebih mementingkan kepentingannya terlebih
dulu dibandingkan masyarakat. Hal ini karena menurut paham liberal, untuk mencapai
kesejahteraan masyarakat (yang merupakan tujuan bersama), baru akan tercapai bila kepentingan
individu didahulukan daripada masyarakat. Jadi, setelah setiap individu sejahtera baru akan
tercipta kesejahteraan masyarakat.

Dalam hal budaya, misalnya di bidang politik, kebanyakan ilmuwan politik setuju
menyatakan bahwa orang Inggris adalah pragmatis, yakin kepada sistem politiknya, secara
politis moderat, tetapi pemerintahnya tidak cukup transparan . Pragmatisnya orang Inggris
dicerminkan dari sejarahnya bahwa Inggris tidak pernah jauh dari teori dan selalu mencari
contoh berupa kenyataan praktis dari kebijakan sebelumnya dalam hal menyelesaikan suatu
persoalan. Disamping itu, orang Inggris selalu merasa lebih yakin pada apa yang telah dilakukan
dan diujicobakan sebelumnya. Tingkat keyakinan dan kepercayaan rakyat Inggris terhadap
sistem politiknya adalah tinggi. Karena mereka dapat memengaruhi pemerintah melalui wakil
mereka di parlemen, maka mereka yakin bahwa sistem politik yang dipilih adalah terbaik.
Akibatnya, tingkat kepercayaan mereka tinggi terhadap sistem politik yang berlaku. Dikatakan
secara politis bahwa rakyat Inggris adalah moderat karena selain masalah homoseksualitas dan
aborsi menjadi legal sejak tahun 1967, mereka juga tidak berkeberatan dengan jaminan adanya
kebebasan pers sepenuhnya untuk menyajikan berita kepada masyarakat luas tanpa sensor dari
pihak manapun. Karena belum adanya undang-undang tentang kebebasan informasi yang
menjamin bahwa setiap rakyat Inggris mempunyai akses kedalam pemerintah untuk memperoleh
informasi, kebanyakan ilmuwan politik menyatakan pemerintah Inggris sebagai pemerintahan
yang tidak transparan.

Persentuhan Islam dengan Inggris sebenarnya sudah terjadi sejak dahulu. Jejak
persentuhan di antara keduanya dapat dilihat, misalnya, dari bukti disimpannya koin emas abad
kedelapan yang diterbitkan oleh Raja Offa dari Mercia dengan tulisan Arab tercetak di kedua
sisinya di British Museum, London. Sejarah mencatat bahwa Eropa, termasuk Inggris
didalamnya, pada Zaman Pertengahan (476-1000) berada dalam keadaan tertinggal, miskin, dan
tidak beradab dibandingkan peradaban Islam yang sudah maju dan beradab pada masa itu (700-
1400). Akibat terjalinnya kontak antara Islam dan Eropa pada Zaman Pertengahan, tradisi
keilmuan dan filsafat yang sudah maju dari dunia Islam kemudian dipelajari oleh orang-orang
Eropa. Orang-orang Eropa mempelajari banyak hal, antara lain di bidang aljabar (matematika),
sosial, pengobatan, dan lain-lain. Kegiatan belajar dari dunia Islam ini pada akhirnya memicu
lahirnya Zaman Pencerahan (enlightenment) pada abad ke-18 di Eropa. Akibat selanjutnya
Eropa, khususnya Inggris perlahan-lahan keluar dari masa kebodohan, kemiskinan, dan
nirperadaban (Zaman Kegelapan).

Jejak lainnya dari peradaban Islam di Inggris dapat ditemukan dari dibangunnya masjid
pertama di Borough of Woking, wilayah Inggris Tenggara, pada tahun 1889 . Kemudian pada
tahun 1940 disusul dengan pembangunan masjid pertama di kota London (masjid ini sekarang
dikenal sebagai Regents Park Mosque). Pemerintah Inggris pada masa itu memberikan bantuan
senilai 100.000 poundsterling bagi pembangunan mesjid sebagai penghargaan atas keberanian
prajurit Muslim yang berjuang dan meninggal demi Inggris pada Perang Dunia I. Pada masa
sekarang lebih kurang terdapat 1200 mesjid di seluruh Inggris, dan Islam adalah agama kedua
terbesar yang dianut oleh rakyat Inggris . Di lain pihak, patut dicatat juga bahwa Eropa pada
dasarnya tidak memberikan dukungan khusus kepada kelompok agama manapun untuk
mendirikan rumah ibadah. Di tempat umum, misalnya di bandara, disediakan tempat ibadah bagi
semua pemeluk agama untuk berdoa.

Selama dua abad terakhir, banyak muslim bertempat tinggal di Inggris. Jumlahnya terus
meningkat, dan saat ini diperkirakan angkanya sudah mencapai 2 juta jiwa. Jumlah yang besar
ini diikuti pula oleh semakin banyaknya muslim Inggris yang bekerja di angkatan bersenjata,
kepolisian dan parlemen. Sebagai contoh, hingga tahun 2007, ada 1 anggota Parlemen Eropa
(MEP), 4 anggota parlemen (MP), 5 anggota Majelis Tinggi, dan lebih dari 200 anggota dewan
yang muslim. Para muslim ini dipilih karena kemampuan, keahlian, dan komitmen mereka untuk
menciptakan masyarakat yang lebih baik lagi di Inggris. Dengan demikian, saat ini kaum muslim
merupakan bagian penting dari kehidupan politik, bisnis, dan sosial di Inggris.

Disamping ada kaum muslim yang tergolong menengah ke atas, di Inggris juga ada kaum
muslim yang miskin. Mereka masih perlu dibantu oleh pemerintah Inggris. Bantuan yang
diberikan oleh pemerintah Inggris adalah seperti memperluas usaha penciptaan lapangan kerja di
daerah-daerah miskin. Upaya ini penting bukan hanya bagi kaum muslim, tetapi juga kaum
lainnya untuk meningkatkan kesempatan dan mengatasi ketidaksetaraan di setiap golongan
masyarakat Inggris. Sebagai tambahan, sebenarnya sejak dahulu hingga sekarang, pemerintah
Inggris telah menerapkan kebijakan yang sama dan adil bagi warganya. Bukti ini diantaranya
adalah kaum muslim Inggris mendapatkan hak dan kewajiban yang sama dengan warga Inggris
lainnya, seperti dalam hal kesempatan pendidikan, perawatan kesehatan, demokrasi, kebebasan
berekspresi sesuai dengan agama yang dianutnya, kesetaraan jender, toleransi, dan lain-lain.

Sebelum peristiwa WTC 2001 yang disusul dengan pemboman yang menewaskan 50
jiwa dan melukai 700 jiwa lainnya oleh kaum ekstremis di London pada Juli 2005 lalu, hubungan
antara muslim dengan nonmuslim terjalin cukup baik. Akan tetapi pasca kedua kejadian tersebut,
saat ini masih ada kesan hubungan antar warga muslim dan nonmuslim Inggris tidak seluwes dan
secair seperti sebelumnya. Hal ini dapat dimengerti karena peristiwa pemboman di London lalu,
belum lama terjadinya. Di sisi lain, patut diapresiasi secara positif bahwa pemboman di London
pada Juli 2005, tidak kemudian mengarah pada aksi balas dendam yang meluas. Kondisi ini
membuktikan bahwa masyarakat Inggris memiliki solidaritas dan saling menghormati yang
cukup baik.

Salah satu alasan dapat dikemukakan sehubungan dengan cukup solidnya kehidupan
antarwarga di Inggris, misalnya, tidak dapat dipungkiri bahwa Inggris adalah tempat
percampuran budaya dan pengaruh etnis yang luas dan beragam. Keberagaman itu sedikit-
banyak telah menyumbang kemajuan Inggris selama ini. Oleh karena itu, masyarakat Inggris
menyadari bahwa sangat tragis dan merugikan kehidupan masyarakat Inggris sendiri jika
akhirnya masyarakat mengikuti keinginan para ekstremis, yakni menciptakan kebencian antar
agama, etnis, dan golongan.

Sejumlah upaya telah dilakukan oleh pemerintah Inggris untuk terciptanya kehidupan
harmonis antarwarga. Usaha itu misalnya dilakukan dengan adanya program pemerintah untuk
membantu warga yang bukan berasal dari Inggris agar dapat menyatu dengan masyarakat
Inggris, dan di saat yang sama juga mendorong mereka untuk menjaga identitas budaya mereka
bila dikendaki. Selain itu, pemerintah juga memberikan perluasan akses pendidikan yang baik
kepada kaum muslim. Fakta di bidang pendidikan formal, misalnya, ada lonjakan jumlah muslim
yang cukup besar dari segi pendaftaran masuk ke universitas di Inggris dalam beberapa tahun
terakhir ini. Kondisi ini dapat dijadikan indikator positif bagi prospek masa depan yang lebih
baik lagi. Di sisi lain, dalam arti pendidikan yang lebih luas adalah sejak kecil semua masyarakat
Inggris sudah biasa di didik untuk bergaul, belajar, dan berinteraksi dengan beragam orang
dengan latar belakang etnis, warna kulit, agama, dan budaya yang berbeda. Dengan demikian,
diharapkan setelah anak-anak itu dewasa maka tidak muncul streotipe buruk terhadap kaum
imigran (termasuk muslim didalamnya). Bagi orang dewasa maka menjadi penting juga
diadakannya kampanye berkelanjutan di Inggris yang menyatakan bahwa masyarakat Inggris
adalah masyarakat yang terbuka, multikultural, dan toleran kepada siapa pun. Sebagai tambahan,
kaum imigran (termasuk muslim didalamnya) adalah aset berguna bagi masyarakat Inggris
sehingga mereka bersama-sama akan membangun Inggris dalam semangat unity in diversity
sebagaimana semboyan Uni Eropa.

Secara historis, Islam dan Inggris telah menjalin hubungan baik sejak dahulu. Peradaban
klasik Islam telah menunjukkan bahwa pada masa lalu, orang-orang Eropa termasuk Inggris
didalamnya, dengan ras, agama, dan budaya yang berbeda-beda dapat tinggal bersama dan saling
belajar dari satu-sama lain untuk menciptakan harmoni dunia. Di masa sekarang, masyarakat
Inggris yang heterogen (multikultural) karena perbedaan budaya, agama, dan ras juga harus
belajar hidup bersama untuk menciptakan harmoni yang lebih baik sebagaimana dicontohkan
oleh masyarakat terdahulu.

Pasca ledakan bom di London pada Juli 2005 lalu, masyarakat Inggris sadar bahwa
kehidupan damai dan toleran antar warga di Inggris perlu ditingkatkan. Dari peristiwa tersebut
tidak dapat disimpulkan bahwa Islam identik dengan kekerasan dan darah. Hal ini dikarenakan
seseorang yang menganut Islam kemudian dia melakukan tindakan teroris seperti pengeboman di
kota London Juli 2005 lalu, maka dia harus dihukum sebagai penjahat kemanusiaan (teroris).
Tindakan teroris yang dilakukannya tersebut tidak berkaitan dengan ajaran Islam yang cinta
damai, toleran, dan rahmat bagi semesta alam.

Upaya-upaya pemerintah Inggris untuk mencegah tindakan teroris serupa di masa


mendatang, misalnya, dengan cara memperluas usaha penciptaan lapangan kerja di daerah-
daerah miskin, termasuk di daerah komunitas muslim. Hal ini penting karena tindakan terorisme
lebih utama disebabkan alasan adanya ketimpangan dan ketidakadilan di masyarakat. Selain itu,
pemerintah Inggris juga memperluas akses pendidikan bagi kaum imigran (termasuk muslim
didalamnya). Karena dengan pendidikan yang baik, maka unsur radikalisme yang dapat terwujud
dalam kegiatan teror seperti peristiwa Juli 2005 lalu di kota London dapat dicegah terjadi
kembali.

Multikulturalisme di Amerika

Kemerdekaan Amerika Serikat pada tahun 1776 telah mengumandangkan janji kebebasan
terhadap setiap warga negaranya dan seperti yang telah dikatakan dalam deklarasi kemerdekaan
Amerika, bahwa semua orang telah diciptakan sederajat. Namun arti sebuah kebebasan dan
persamaan derajat dalam masyarakat Amerika masih belum nampak dalam kehidupan sehari-
hari. Sementara kemerdekaan telah didapatkan oleh orang kulit putih yang lebih dominan di
masyarakat Amerika, di lain pihak para budak maupun para warga minoritas belum memiliki
kemerdekaan dalam diri mereka karena masih ada belenggu dan pembatasan terhadap budaya
masyarakat Amerika yang didominasi oleh orang kulit putih.

Masyarakat Amerika didominasi oleh orang Eropa kulit putih yang sebagian besar
berasal dari Inggris, Jerman, dan Perancis. Orang-orang asal Inggris merupakan salah satu
masyarakat yang sangat aktif memperjuangkan kemerdekaan Amerika dari negeri induk. Mereka
kemudian mengembangkan sebuah dominasi dalam semboyan yang disebut WASP (White Anglo
Saxon Protestan), yaitu sebuah nilai-nilai kebudayaan yang mengacu pada kebudayaan Inggris
yang protestan. Orang-orang yang tidak memiliki salah satu kriteria dari WASP tersebut tidak
dianggap sebagai orang Amerika yang sederajat dengan mayoritas (orang kulit putih). Dalam
praktiknya, WASP sangat mempengaruhi kehidupan berpolitik masyarakat Amerika. Sejumlah
pemimpin politik di negara Amerika adalah orang WASP, sedikit dari mereka (orang yang tidak
termasuk dalam WASP) yang dapat mencapai puncak kepemimpinan bahkan beberapa di
antaranya hanya sanggup memerintah selama sementara waktu.

Dalam hal ini kita melihat bahwa adanya kesenjangan antara masyarakat yang mayoritas
dengan masyarakat minoritas. Kesenjangan ini tercipta karena adanya batas-batas sosial dan
budaya antara masyarakat mayoritas (orang-orang yang tergolong WASP) dengan golongan
minoritas (orang-orang yang tidak memiliki ciri-ciri WASP). Perbedaan warna kulit, ras, atau
bahasa telah menyebabkan berbagai diskriminasi terjadi terhadap golongan minoritas. Kehidupan
mereka menjadi lebih sengsara akibat tidak mampu mengadopsi kebudayaan WASP dengan
sempurna. Masalah ini muncul ketika masuknya imigran-imigran yang berasal dari Asia,
Amerika Latin, Afrika, maupun orang kulit putih yang bukan pemeluk agama Kristen Protestan.
Sebagian besar dari mereka tidak dapat berbahasa Inggris dengan baik dan benar. Oleh sebab itu
banyak dari para imigran yang tergolong sebagai golongan minoritas sulit untuk beradaptasi
dengan lingkungan serta tidak mendapatkan hak yang layak bagi diri mereka. Penjelasan di atas
telah memperlihatkan sebuah corak kebudayaan yang disebut monokulturalisme yakni hanya ada
sebuah kebudayaan yang ada di Amerika untuk orang Amerika (orang WASP) dalam masyarakat
yang dominan.

Mempertimbangkan semua perkembangan ini, pada dasawarsa 1940-an dan 1950-an di


Amerika Serikat berkembang konsep pendidikan “inter-kultural” dan “inter-kelompok” (inter-
cultural and inter-group education). Pada hakikatnya pendidikan interkultural merupakan cross-
cultural education untuk mengembangkan nilai-nilai universal yang dapat diterima berbagai
kelompok masyarakat berbeda (cf. La Belle 1994:21-27). Pada tahap pertama, pendidikan
interkultural ditujukan untuk mengubah tingkah laku individu untuk tidak meremehkan apalagi
melecehkan budaya orang atau kelompok lain, khususnya dari kalangan minoritas. Selain itu,
juga ditujukan untuk tumbuhnya toleransi dalam diri individu terhadap berbagai perbedaan
rasial, etnis, agama, dan lain-lain. Tetapi, harus diakui, pada prakteknya pendidikan interkultural
lebih terpusat pada individu daripada masyarakat. Lagi pula, konflik dalam skala luas, terjadi
bukan pada tingkat individu, melainkan pada tingkat masyarakat sehingga dapat benar-benar
mengganggu hubungan bersama di antara warga masyarakat negara-bangsa. Sebab itu pula,
pendidikan interkultural dipandang kurang berhasil dalam mengatasi konflik antar golongan dan
masyarakat; dan kenyataan inilah pada gilirannya mendorong munculnya gagasan tentang
pendidikan multi-kultural.

Pada periode tahun 1960-an perjuangan atas kesetaraan antara masyarakat dominan
dengan minoritas serta penghapusan diskriminasi terhadap orang kuliat hitam dilaksanakan
dalam kebijakan oleh Presiden Kennedy. Kebudayaan WASP mulai terkikis secara perlahan dan
munculnya multikulturalisme sebagai ide yang berisikan upaya untuk memahami hakekat dan
kompleksitas kebudayaan Amerika dengan cara menghayati keanekaragaman kebudayaan dan
saling keterkaitannya satu dengan yang lainnya menjadi unsur-unsur terwujudnya budaya
Amerika. Dalam multikulturalisme tidak ada penggolongan sosial berdasarkan ras tetapi yang
ada hanya sebuah masyarakat Amerika yang berkebudayaan majemuk. Multikulturalisme apabila
dilihat dari perspektif demokrasi merupakan salah satu ide yang berjuang untuk menegakkan
demokrasi serta meliputi upaya dalam hal pengakuan atas hak-hak budaya komuniti. Oleh karena
itu, dalam multikulturalisme terdapat pertentangan yang bersifat tidak menghancurkan satu sama
lain. Pemberlakuan hukum-hukum sebagai aturan main dalam negara demokrasi seperti Amerika
adalah hal yang tepat.

Sejalan dengan uraian di atas, Pupu Saeful Rahmat menguraikan lebih lanjut dalam
makalahnya mengatakan bahwa asal-usul pendidikan multikultural yang merujuk pada gerakan
sosial Orang Amerika keturunan Afrika dan kelompok kulit berwarna lain yang mengalami
praktik diskriminasi di lembaga-lembaga publik pada masa perjuangan hak asasi pada tahun
1960-an. Di antara lembaga yang secara khusus disorot karena bermusuhan dengan ide
persamaan ras pada saat itu adalah lembaga pendidikan. Pada akhir 1960-an dan awal 1970-an,
suara-suara yang menuntut lembaga-lembaga pendidikan agar konsisten dalam menerima dan
menghargai perbedaan semakin kencang, yang dikumandangkan oleh para aktivis, para tokoh
dan orang tua. Mereka menuntut adanya persamaan kesempatan di bidang pekerjaan dan
pendidikan. Momentum inilah yang dianggap sebagai awal mula dari konseptualisasi pendidikan
multikultural.

Tahun 1980-an agaknya yang dianggap sebagai kemunculan lembaga sekolah yang
berlandaskan pendidikan multikultural yang didirikan oleh para peneliti dan aktivis pendidikan
progresif. James Bank adalah salah seorang pioner dari pendidikan multikultural. Dia yang
membumikan konsep pendidikan multikultural menjadi ide persamaan pendidikan. Pada
pertengahan dan akhir 1980-an, muncul kelompok sarjana, di antaranya Carl Grant, Christine
Sleeter, Geneva Gay dan Sonia Nieto yang memberikan wawasan lebih luas soal pendidikan
multikultural, memperdalam kerangka kerja yang membumikan ide persamaan pendidikan dan
menghubungkannya dengan transformasi dan perubahan sosial.

Didorong oleh tuntutan warga Amerika keturunan Afrika, Latin/Hispanic, warga pribumi
dan kelompok marjinal lain terhadap persamaan kesempatan pendidikan serta didorong oleh
usaha komunitas pendidikan profesional untuk memberikan solusi terhadap masalah
pertentangan ras dan rendahnya prestasi kaum minoritas di sekolah menjadikan pendidikan
multikultural sebagai slogan yang sangat populer pada tahun 1990-an. Selama dua dekade
konsep pendidikan multikultural menjadi slogan yang sangat populer di sekolah-sekolah AS.
Secara umum, konsep ini diterima sebagai strategi penting dalam mengembangkan toleransi dan
sensitivitas terhadap sejarah dan budaya dari kelompok etnis yang beraneka macam di negara ini.

Ide pendidikan multikulturalisme akhirnya menjadi komitmen global sebagaimana


direkomendasi UNESCO pada bulan Oktober 1994 di Jenewa. Rekomendasi itu di antaranya
memuat empat pesan.

1. Pendidikan hendaknya mengembangkan kemampuan untuk mengakui dan menerima


nilai-nilai yang ada dalam kebhinnekaan pribadi, jenis kelamin, masyarakat dan budaya
serta mengembangkan kemampuan untuk berkomunikasi, berbagi dan bekerja sama
dengan yang lain.

2. Pendidikan hendaknya meneguhkan jati diri dan mendorong konvergensi gagasan dan
penyelesaian-penyelesaian yang memperkokoh perdamaian, persaudaraan dan solidaritas
antara pribadi dan masyarakat.

3. Pendidikan hendaknya meningkatkan kemampuan menyelesaikan konflik secara damai


dan tanpa kekerasan.

4. Karena itu, pendidikan hendaknya juga meningkatkan pengembangan kedamaian dalam


diri diri pikiran peserta didik sehingga dengan demikian mereka mampu membangun
secara lebih kokoh kualitas toleransi, kesabaran, kemauan untuk berbagi dan memelihara.

Dalam penelusurannya tentang sejarah pendidikan multikultural, Muhaemin


mengungkapkan bahwa konsep pendidikan multikultural di negara-negara yang menganut
konsep demokratis seperti Amerika Serikat dan Kanada, bukan hal baru lagi. Mereka telah
melaksanakannya khususnya dalam dalam upaya melenyapkan diskriminasi rasial antara orang
kulit pulit dan kulit hitam, yang bertujuan memajukan dan memelihara integritas nasional.
Pendidikan multikultural mengakui adanya keragaman etnik dan budaya masyarakat
suatu bangsa, sebagaimana dikatakan R. Stavenhagen: Religious, linguistic, and national
minoritas, as well as indigenous and tribal peoples were often subordinated, sometimes
forcefully and against their will, to the interest of the state and the dominant society. While many
people... had to discard their own cultures, languages, religions and traditions, and adapt to the
alien norms and customs that were consolidated and reproduced through national institutions,
including the educational and legal system.

Di Amerika, sebagai contohnya muncul serangkaian konsep tentang pluralitas yang


berbeda-beda, mulai dari melting pot sampai multikulturalisme. Sejak Columbus menemukan
benua Amerika, berbagai macam bangsa telah menempati benua itu. Penduduk yang sudah
berada di sana sebelum bangsa-bangsa Eropa membentuk koloni-koloni mereka di Amerika
Utara, terdiri dari berbagai macam suku yang berbeda-beda bahasa dan budayanya. Tetapi di
mata bangsa Anglo-Sakson yang menyebarkan koloni di abad ke-17, tanah di Negara baru itu
ada kawasan tak bertuan dan bangsa-bangsa yang ditemui di benua baru itu tak lebih dari
makhluk primitif yang merupakan bagian dari alam yang mesti ditaklukkan. Dari perspektif
kaum Puritan yang menjadi acuan utama sebagian besar pendatang dari Inggris tersebut,
berbagai suku bangsa yang dilabel secara generik dengan nama "Indian" adalah bangsa kafir
pemuja dewa yang membahayakan kehidupan komunitas berbasis agama tersebut. Di sini terlihat
bagaimana pandangan berperspektif tunggal yang datang dari budaya tertentu membutakan mata
terhadap kenyataan keragaman yang ada.

Amerika Serikat ketika ingin membentuk masyarakat baru-pasca kemerdekaannya (4 Juli


1776) baru disadari bahwa masyarakatnya terdiri dari berbagai ras dan asal negara yang berbeda.
Oleh karena itu, dalam hal ini Amerika mencoba mencari terobosan baru yaitu dengan
menempuh strategi menjadikan sekolah sebagai pusat sosialisasi dan pembudayaan nilai-nilai
baru yang dicita-citakan. Melalui pendekatan inilah, dari Sekolah Dasar sampai Perguruan
Tinggi, Amerika Serikat berhasil membentuk bangsanya yang dalam perkembangannya
melampaui masyarakt induknya yaitu Eropa. Kaitannya dengan nilai-nilai kebudayaan yang
perlu diwariskan dan dikembangkan melalui sistem pendidikan pada suatu masyarakat, maka
Amerika Serikat memakai sistem demokrasi dalam pendidikan yang dipelopori oleh John
Dewey. Intinya adalah toleransi tidak hanya diperuntukkan untuk kepentingan bersama akan
tetapi juga menghargai kepercayaan dan berinteraksi dengan anggota masyarakat.

Perbandingan Multikulturalisme di Eropa dan Amerika

Dari pemaparan di atas tentang perkembangan multikulturalisme yang terjadi di beberapa


Negara Eropa dan Amerika, tentu menimbukkan pertanyaan, “Mengapa perkembangan dan
praktik multikulturalisme di Amerika lebih berjalan dengan baik ketimbang di Eropa?”. Pastintya
terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi hal tersebut, walaupun pada dasarnya konsep
yang ditawarkan mengenai multikulturalisme pada dasarnya sama dan bertujuan baik, yaitu
untuk menyetarakan derajat dan hak manusia di berbagai tempat. Namun, pelaksanaannya dan
hasilnya tentu berbeda dan dipengaruhi oleh faktor-faktor yang berbeda pula.

Seperti yang kita ketahui, bahwa multikulturalisme di berbagai daerah Eropa banyak
yang mengalami kegagalan. Hal itu disebabkan oleh perbedaan visi dan misi dari golongan kaum
pendatang dan golongan penduduk asli suatu Negara. Melimpahnya imigran, yang rata-rata
berpendidikan rendah dan tidak berketerampilan, memicu berbagai masalah sosial, seperti
pengangguran, kecemburuan sosial, dan kriminalitas. Pada awalnya para petinggi bangsa-bangsa
di Eropa hanya berpikir bagaimana cara untuk mengisi sektor-sektor ekonomi yang
membutuhkan banyak membutuhkan tenaga kerja manusia yang banyak, namun mereka tidak
memikirkan bagaimana dampak kehidupan multikulti yang tinggal suatu wilayah secara
bersamaan. Pemerintah Negara-negara di Eropa tidak menyadari bahwa dibutuhkan sebuah
konsep yang mapan menganai multikulturalisme, dan dibutuhkan juga pendidikan
multikulturalisme kepada seluruh lapisanmasyarakat agar mereka mengerti tentang bagaimana
sebetulnya multikulturalisme itu sendiri.

Seperti yang dikatakan Lies Marcoes, ketika ekonomi di Eropa tumbuh, para pendatang
itu justru menjadi kayu api bagi mesin mesin industri yang menjalankan roda ekonomi Belanda.
Namun tatkala terjadi krisis ekonomi global, mereka pula yang segera menjadi sasaran frustrasi
penduduk terutama warga kulit putih yang merasa punya hak atas tanah airnya. Berimigrasi bagi
para imigran asal Arab dan Afrika Utara, bukan sekedar beralih tempat mukim, melainkan
memindahkan dan menghidupkan peradaban, termasuk amanat dan nilai-nilai religiusnya di
kancah yang baru. Sedangkan beberapa Negara di Eropa tidak memiliki konsep
multikulturalsime yang baik.

Banyak dari para imigran di daerah Eropa yang malah hanya melestarikan budayanya
sendiri tanpa peduli terhadap budaya asli tempat dimana mereka tinggal sekarang. Para imigran
pun cenderung tidak berbaur dan bergaul dengan masyarakat secara luas dan malah membentuk
kelompok-kelompok yang tinggal di daerah miskin. Pada dasarnya, para petinggi eropa sperti
Jerman dan Belanda hanya ingin bahwa para imigran berbaur dan ikut melestarikan budaya di
tempat mereka tinggal. Mereka menginginkan balas jasa dan “ada harga yang harus dibayar”.

Sebetulnya tidak seluruh Negara di Eropa mengalami kegagalan di dalam


multikulturalisme. Di Inggris misalnya, Negara ini berhasil secara perlahan menanamkan konsep
multikulturalisme dalam kehidupan para warga negaranya. Sejumlah upaya telah dilakukan oleh
pemerintah Inggris untuk terciptanya kehidupan harmonis antarwarga. Usaha itu misalnya
dilakukan dengan adanya program pemerintah untuk membantu warga yang bukan berasal dari
Inggris agar dapat menyatu dengan masyarakat Inggris, dan di saat yang sama juga mendorong
mereka untuk menjaga identitas budaya mereka bila dikendaki. Selain itu, pemerintah juga
memberikan perluasan akses pendidikan yang baik kepada kaum muslim. Fakta di bidang
pendidikan formal, misalnya, ada lonjakan jumlah muslim yang cukup besar dari segi
pendaftaran masuk ke universitas di Inggris dalam beberapa tahun terakhir ini. Kondisi ini dapat
dijadikan indikator positif bagi prospek masa depan yang lebih baik lagi. Di sisi lain, dalam arti
pendidikan yang lebih luas adalah sejak kecil semua masyarakat Inggris sudah biasa di didik
untuk bergaul, belajar, dan berinteraksi dengan beragam orang dengan latar belakang etnis,
warna kulit, agama, dan budaya yang berbeda. Dengan demikian, diharapkan setelah anak-anak
itu dewasa maka tidak muncul streotipe buruk terhadap kaum imigran (termasuk muslim
didalamnya). Bagi orang dewasa maka menjadi penting juga diadakannya kampanye
berkelanjutan di Inggris yang menyatakan bahwa masyarakat Inggris adalah masyarakat yang
terbuka, multikultural, dan toleran kepada siapa pun. Sebagai tambahan, kaum imigran (termasuk
muslim didalamnya) adalah aset berguna bagi masyarakat Inggris sehingga mereka bersama-
sama akan membangun Inggris dalam semangat unity in diversity sebagaimana semboyan Uni
Eropa.
Jika mayoritas di daerah Eropa mengalami kegagalan dalam multikulturalisme, maka
berbeda dengan di Amerika. Amerika tergolong sukses di dalam menjalankan multikulturalisme
di dalam sistem kemasyarakatan mereka. Walaupun pada awalnya masyarakat Amerika
didominasi oleh orang Eropa kulit putih yang sebagian besar berasal dari Inggris, Jerman, dan
Perancis. Orang-orang asal Inggris merupakan salah satu masyarakat yang sangat aktif
memperjuangkan kemerdekaan Amerika dari negeri induk. Mereka kemudian mengembangkan
sebuah dominasi dalam semboyan yang disebut WASP (White Anglo Saxon Protestan), yaitu
sebuah nilai-nilai kebudayaan yang mengacu pada kebudayaan Inggris yang protestan. Orang-
orang yang tidak memiliki salah satu kriteria dari WASP tersebut tidak dianggap sebagai orang
Amerika yang sederajat dengan mayoritas (orang kulit putih). Dalam praktiknya, WASP sangat
mempengaruhi kehidupan berpolitik masyarakat Amerika. Sejumlah pemimpin politik di negara
Amerika adalah orang WASP, sedikit dari mereka (orang yang tidak termasuk dalam WASP)
yang dapat mencapai puncak kepemimpinan bahkan beberapa di antaranya hanya sanggup
memerintah selama sementara waktu.

Namun seiring berjalannya waktu, pada periode tahun 1960-an perjuangan atas
kesetaraan antara masyarakat dominan dengan minoritas serta penghapusan diskriminasi
terhadap orang kuliat hitam dilaksanakan dalam kebijakan oleh Presiden Amerika saat itu yaitu
Presiden John F. Kennedy. Kebudayaan WASP mulai terkikis secara perlahan dan munculnya
multikulturalisme sebagai ide yang berisikan upaya untuk memahami hakekat dan kompleksitas
kebudayaan Amerika dengan cara menghayati keanekaragaman kebudayaan dan saling
keterkaitannya satu dengan yang lainnya menjadi unsur-unsur terwujudnya budaya Amerika.
Dalam multikulturalisme tidak ada penggolongan sosial berdasarkan ras tetapi yang ada hanya
sebuah masyarakat Amerika yang berkebudayaan majemuk. Multikulturalisme apabila dilihat
dari perspektif demokrasi merupakan salah satu ide yang berjuang untuk menegakkan demokrasi
serta meliputi upaya dalam hal pengakuan atas hak-hak budaya komuniti. Oleh karena itu, dalam
multikulturalisme terdapat pertentangan yang bersifat tidak menghancurkan satu sama lain.
Pemberlakuan hukum-hukum sebagai aturan main dalam negara demokrasi seperti Amerika
adalah hal yang tepat.
Kemudian didorong oleh tuntutan warga Amerika keturunan Afrika, Latin/Hispanic,
warga pribumi dan kelompok marjinal lain terhadap persamaan kesempatan pendidikan serta
didorong oleh usaha komunitas pendidikan profesional untuk memberikan solusi terhadap
masalah pertentangan ras dan rendahnya prestasi kaum minoritas di sekolah menjadikan
pendidikan multikultural sebagai slogan yang sangat populer pada tahun 1990-an. Selama dua
dekade konsep pendidikan multikultural menjadi slogan yang sangat populer di sekolah-sekolah
AS. Secara umum, konsep ini diterima sebagai strategi penting dalam mengembangkan toleransi
dan sensitivitas terhadap sejarah dan budaya dari kelompok etnis yang beraneka macam di
negara ini.

Hal Paling nyata dari keberhasilan multikulturalisme yang telah berjalan di Amerika saat
ini adalah dalam bidang demokrasi. Dimana Presiden Amerika terpilih saat ini yaitu Barrack
Obama memenagkan Pemilu Presiden di Negara tersebut dengan mengalahkan orang kulit putih.
Barrack Obama merupakan Presiden dari golongan kulit hitam pertama di Amerika. Hal tersebut
menunjukan bahwa perbedaan ras di Amerika telah mulai sirna seiring dengan hadirnya konsep
multikulturalisme yang baik.
SUMBER-SUMBER ILMIAH:

1. http://kertapati89.wordpress.com/2010/01/28/review-artikel-kemajemukan-
amerika-dari-monokulturalisme-ke-multikulturalisme-parsudi-suparlan/

2. http://www.desantara.org/page/information/essay-articles/2123/Fitna-dan-
Problem-Multikulturalisme

3. http://kompetiblog.studidibelanda.com/peserta/pendidikan-di-belanda-yang-
multikulturalis-dan-berkualitas.html

4. http://www.kulinet.com/baca/islam-dan-multikulturalisme-di-inggris/216/

5. http://politikinternational.wordpress.com/2010/10/24/kebangkitan-
nasionalisme-jerman-karena-gagalnya-multikulturalisme/

6. http://psik-indonesia.org/home.php?page=fullnews&id=185

7. http://my.opera.com/Putra%20Pratama/blog/show.dml/2743875

8. http://ciosgontor.com/index.php?
option=com_content&view=article&id=11:memahami-
multikultralisme&catid=6:worldview

9. http://rozanfauzan.blogspot.com/2009/05/tugas-multikulturalisme-di-prancis-
film.html

You might also like