You are on page 1of 26

BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Defenisi Analgesik

Analgesik dalam anestesi merupakan suatu proses modifikasi dari reflex

fisiologis yang normal terhadap rangsangan – rangsangan pembedahan.5

2.2. Fisiologi Nyeri

Rasa nyeri merupakan mekanisme pertahanan tubuh yang timbul bila ada

kerusakan jaringan sehingga individu akan bereaksi untuk memindahkan penyebab

stimulus nyeri. Rasa nyeri terbagi menjadi dua macam yakni nyeri cepat dan nyeri

lambat. Nyeri epat timbul dalam waktu sekitar 0,1 detik sedangkan nyeri lambat

timbul lebih dari 1 detik setelah terjadinya kerusakan jaringan. Jaras penjalaran kedua

macam nyeri tersebut berbeda.6

2.2.1. Reseptor Nyeri.

Reseptor rasa nyeri yang terdapat di kulit maupun di jaringan lain

dalam tubuh merupakan ujung saraf bebeas yang tersebar luas pada kulit,

periosteum, dinding ateri, dan falk serebri. Jaringan tubuh lainnya memiliki

sedikit reseptor nyeri, namun bila terjadi kerusakan jaringan yang luas akan

terjadi efek akumulasi sehingga timbul reaksi nyeri tipe lambat.6

3
Reseptor rasa nyeri tidak pernah melakukan adaptasi, sehingga

rangsangan nyeri yang diterima meskipun stimulus tersebut terjadi berulang –

ulang akan tetap dihantarkan.6

Iskemik dan kerusakan jaringan merupakan dasar dari timbulnya

rangsangan terhadap reseptor nyeri. Kerusakan jaringan memicu pelepasan

bradikinin dan enzim proteolitik yang secara langsung merangsang reseptor

rasa nyeri sehingga mengakibatkan membrane reseptor tersebut lebih

permeable terhadap ion-ion. Peneliti lain menemukan bahwa pada kondisi

kerusakan jaringan terjadi peningkatan konsentrasi ion kalsium secara lokal

yang akan berkorelasi dengan peningkatan permeabilitas membran reseptor

nyeri.6

Kerusakan sel juga dihubungkan dengan kerja suatu peradangan

terhadap membran sel yang menyebabkan lekosit melepaskan enzim lisosom

dan asam arakidonat yang akan mensintesis sejumlah eikosanoid seperti

prostaglandin, tromboksan, dan leukotrin.3

Sintesis prostaglandin dari asam arakidonat dimulai dari oksigenasi

dan siklisasi cincin pentana dengan bantuan enzim siklooksigenase

membentuk PGG2 yang dilanjutkan dengan reaksi peroksidasi yang dikatalisa

oleh enzim yang sama membentuk PGH2. Prostaglandin dan tromboksan

mempunyai efek utama pada otot polos dan trombosit sebagai mediator

inflamasi. Target penting lainnya adalah ujung – ujung saraf sensoris yang

terangsang untuk mengeluarkan neurotransmitter nyeri. 3

4
Pada kondisi yang lebih ringan, hambatan terhadap aliran darah yang

menuju jaringan akan menimbulkan iskemik yang memicu terjadinya

metabolisme anaerob. Asam laktat sebagai hasil metabolisme anaerob akan

terakumulasi dalam jaringan yang iskemik tersebut. Selain dapat

menimbulkan kerusakan jaringan secara perlahan, asam laktat juga dapat

secara langsung merangsang reseptor nyeri.6

2.2.2. Penjalaran Nyeri.

Dalam menjalarkan sinyal rasa nyeri ke system saraf pusat, reseptor

nyeri menggunakan dua jaras yang terpisah yakni jaras penjalaran nyeri cepat

atau nyeri tajam dan jaras penjalaran nyeri lambat atau nyeri tumpul. Sinyal

nyeri tajam dirangsang oleh stimulasi mekanik dan suhu yang akan dijalarkan

melalui serabut saraf perifer tipe A ke medula spinalis dengan kecepata 6 – 30

meter/detik. Nyeri lambat dirangsang oleh stimulasi kimiawi, mekanik,

maupun suhu dijalarkan ke medulla spinalis oleh saraf perifer tipe C dengan

kecepatan penjalaran 0,5 – 2 meter/detik.6

Sewaktu memasuki medulla spinalis dari radiks dorsalis, serabut rasa

nyeri berakhir pada neuron – neuron di kornu dorsalis. Pada tempat tersebut

terdapat system yang mengolah sinyal rasa nyeri sesuai jalurnya ke otak. Rasa

nyeri tajam akan melalui traktus neospinotalamikus sedangklan rasa nyeri

tumpul akan melalui traktus paleospinotalamikus.6

Glutamat merupakan substansi neurotransmitter yang disekresikan di

medula spinalis pada ujung – ujung serabut saraf tipe A yang menghantarkan

5
rangsangan nyeri tajam. Substansi P bertindak sebagai neurotransmitter pada

ujung – ujung saraf tipe C yang menghantarkan rangsangan nyeri tumpul.6

Traktus neospinotalamikus berawal dari lamina marginalis medulla

spinalis dan berakhir di daerah formasio retikularis dan nukleus posterior

serebrum, dari situ sinyal akan dijalarkan ke daerah lain terutama ke korteks

somato sensorik. Traktus paleospinotalamikus berakhir secara meluas satau

difus pada batang otak dan substansia grisea di sekitar aquaduktus Sylvia. Hal

tersebut dapat menjelaskan alas an nyesi cepat yang bersifat tajam atau

terlokalisir sedangkan nyeri lambat bersifat tumpul terlokalisasi pada bagian

tubuh yang luas karena akhiran sarafnya bersifat difus.6

2.2.3. Sistem Analgesia.

Derajat reaksi seseorang terhadap rasa nyeri sangat bervariasi

bergantung pada kemampuan otak untuk menekan besarnya sinyal nyeri yang

masuk ke dalam system saraf dengan mengaktifkan system pengatur rasa

nyeri atau disebut system analgesia.6

Sistem analgesia terdiri dari tiga komponen utama dan komponen

tambahan. Komponen utama terdiri dari :

1. Area periaquaduktus grisea dan periventikular mesensefalon.

2. Nukleus rafe magnus dan nukleus retikularis paragigantoselularis.

Nukleus rafe magnus merupakan nukleus tipis pada garis tengan di

bawah pons dan di atas medulla oblongata. Nukleus retikularis

paragigantoselularis terletak sebelah lateral dari medulla.

6
3. Kompleks penghambat rasa nyeri pada radiks dorsalis medulla

spinalis yang menghambat sinyal rasa nyeri sebelum dipancarkan

ke otak.

Ada beberapa bahan transmitter yang terlibat dalam system analgesia,

khususnya enkefalin dan serotonin. Mayoritas serabut saraf di daerah

periaquaduktus grisea, periventikular, dan nucleus rafe magnus mensekresi

enkefalin. Ujung – ujung saraf pada radiks dorsalin mensekresi serotonin

dimana serotonin merangsang medulla spinalis untuk mensekresi enkefalin.6

Enkefalin dapat menimbulkan hambatan penghantaran impuls pada

serabut saraf tipe A dan tipe C. Hambatan tersebut ditimbulkan akibat inhibisi

saluran kalsium dalam membrane ujung saraf. Hambatan tersebut berlangsung

selama beberapa menit hingga beberapa jam.6

β endorphin dan dinorfin merupakan enkefalin yang paling berperan di

otak dan medula spinalis. Sampai saat ini, system opium di otak belum

diketahui dengan jelas, nemun pengaktifan pengaktifan system analgesia oleh

bahan – bahan yang bersifat seperti morfin telah terbukti dapat menekan

seluruh atau hamper seluruh sinyal – sinyal penghantaran nyari yang masuk

ke otak melalui saraf perifer.6

Penelitian menunjukkan bahwa morfin bekerja pada sebagian besar

sistem analgesia termasuk radiks dorsalis pada edula spinalis. Teori adanya

reseptor morfin yang menangkap neurotransmitter sejenis morfin dapat

menjelaskan keberadaan senyawa – senyawa enkefalin atau opium secara

alami dalam otak.6

7
2.3. Analgesik Narkotik

Narkotik berasal dari istilah narkosis yang berarti suatu keadaan stupor atau

penurunan kesadaran.3 Narkotika adalah suatu obat atau zat alami, sintetis maupun

sintetis yang dapat menyebabkan turunnya kesadaran, menghilangkan atau

mengurangi hilang rasa atau nyeri dan perubahan kesadaran yang menimbulkan

ketergantungna akan zat tersebut secara terus menerus.7

Menurut WHO, Narkotika merupakan suatu zat yang apabila dimasukkan ke

dalam tubuh akan memengaruhi fungsi fisik dan atau psikologi kecuali makanan, air,

dan oksigen.8

Menurut undang – undang nomor 22 tahun 1997, narkotika adalah zat atau

obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semi

sintetis. Zat tersebut menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran,

menghilangkan rasa, mengurangi hingga menghilangkan rasa nyeri, dan dapat

menimbulkan ketergantungan (adiktif).8

2.3.1. Klasifikasi Narkotik.

Berdasarkan efek ketergantungannya, undang – undang membagi

narkotik menjadi 3 golongan yakni :

1. Narkotika Golongan I

Narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan ilmu

pengetahuan dan penelitian semata, tidak ditujukan untuk terapi karena

mempunyai potensi sangat tinggi menimbulkan ketergantungan.8,9

8
Contoh : heroin atau putauw, kokain, dan ganja.8,9

2. Narkotika Golongan II

Narkotika yang dapat digunakan untuk pengobatan namun harus

dipertimbangkan efek negatifnya sebagai pilihan terakhir karena

mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan.8,9

Contoh : morfin dan petidin.8,9

3. Narkotika Golongan III

Narkotika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan

dalam terapi karena mempunyai potensi ringan mengakibatkan

ketergantungan.8,9

Contoh : kodein.8,9

Berdasarkan asalnya, narkotika dapat digolongkan menjadi narkotika

alami dan narkotika sintetis atau semi sintesis.7

1. Narkotika Alami

Zat dan obat yang langsung bisa dipakai sebagai narkotik tanpa

perlu adanya proses fermentasi, isolasi, dan proses lainnya terlebih dahulu

karena bisa langsung dipakai dengan sedikit proses sederhana. Bahan

alami tersebut umumnya tidak boleh digunakan untuk terapi pengobatan

secara langsung karena terlalu beresiko. Contoh narkotika alami yaitu

ganja dan daun koka.7

2. Narkotika Sintetis atau Semi Sintesis

9
Narkotika jenis ini memerlukan proses yang bersifat sintesis untuk

keperluan medis dan penelitian sebagai penghilang rasa sakit atau

analgesik. Contohnya yaitu seperti amfetamin, metadon,

dekstropropakasifen, deksamfetamin, dan sebagainya.7

Selain efek analgesik, narkotika sintetis dapat menimbulkan

dampak sebagai berikut :

a. Depresan .

Membuat pemakai tertidur atau tidak sadarkan diri.

b. Stimulan.

Membuat pemakai bersemangat dalam berkativitas kerja dan

merasa badan lebih segar.

c. Halusinogen.

Dapat membuat pemakai menjadi berhalusinasi yang mengubah

perasaan dan pikiran.

2.3.2. Tanaman Opium.

Opium telah digunakan selama berabad – abad sebagai penghilang

nyeri atau analgesik.7 Opium diperoleh dari tanaman opium dengan jalan

melakukan sayatan pada kulit biji setelah bunganya dibuang.3 Lateks putih

yang merembes keluar setelah dibiarkan akan berubah menjadi coklat dan

mengeras, getah coklat tersebut yang dinamakan opium.3 Penanaman tanaman

opium dilarang secara internasional kecuali diregulasi oleh peraturan

perundangan masing - masing negara.8

10
Opium berisi 20 macam zat alkaloid termasuk morfin, kodein, dan

papaverin. Papaverin bukan termasuk zat analgesik, namun merupakan suatu

vasodilatator. Alkaloid utama dalam opium adalah morfin dengan kadar

sekitar 10%. Kodein terdapat dalam kadar kurang dari 0,5%. Untuk keperluan

komersik, kodein dapat disintesis dari morfin.3

Tabel 2.1. Analgesik Opioid yang Digunkan dalam Terapi.3

Nama Dosis Efikasi DOA Adiksi


Rata-Rata (jam)
(mg)
Morfin 10 Tinggi 4-5 Tinggi
Hidromorfon 1,5 Tinggi 4-5 Tinggi
Oksimorfon 1,5 Tinggi 3-4 Tinggi
Metadon 10 Tinggi 4-6 Tinggi
Meperidin 60-100 Tinggi 2-4 Tinggi
Fentanil 0,1 Tinggi 1-1,5 Tinggi
Sufentanil 0,02 Tinggi 1-1,5 Tinggi
Alfentanil Titrasi Tinggi ¼-¾ Tinggi
Levorfanol 2-3 Tinggi 4-5 Tinggi
Kodein 30-60 Rendah 3-4 Menengah
Oksikodon 4,5 Sedang 3-4 Menengah
Dihidrokodein 16 Sedang 3-4 Menengah
Propoksifen 60-120 Rendah 4-5 Rendah
Pentazosin 30-50 Sedang 3-4 Rendah
Nalbufin 10 Tinggi 3-6 Rendah
Boprenorfin 0.3 Tinggi 4-8 Rendah
Butorfanol 2 Tinggi 3-4 Rendah

2.3.3. Farmakokinetik.

2.3.3.1. Absorbsi.

Kebanyakan analgesik opioid diabsorbsi dengan baik pada

pemberian subkutan dan intramuskular yang sama baiknya dengan

11
absorbsi dari permukaan mukosa hidung, mulut, dan saluran cerna.

Absorbsi melalui saluran cerna mengurangi jumlah obat yang bekerja

karena adanya metabolisme lintas pertama oleh glukoronidase di

hepar.3

Pemberian oral memerlukan dosis yang lebih besar dibanding

dengan pemberian parenteral untuk memperoleh efek terapi yang

sama. Kerugian lain dari pemberian secara peroral adalah penentuan

dosis yang tepat lebih sulit karena jumlah enzim yang dapat

memberikan respon pada reaksi metabolisme lintas pertama bervariasi

pada tiap individu.3

Kodein dan oksikodon memiliki rasio potensi oral : parenteral

yang tinggi karena konjugasinya dicegah oleh gugusan metil pada

struktur hidroksil aromatik.3

2.3.3.2. Distribusi.

Ambilan opioid oleh berbagai organ dan jaringan melibatkan

faktor fisiologi dan kimia. Meskipun semua opioid terikat pada protein

plasma dengan berbagai tingkat afinitas, senyawa – senyawa ini cepat

meninggalkan darah dan terlokalisasi dengan konsentrasi tinggi di

jaringan – jaringan yang perfusinya tinggi seperti paru, hepar, ren, dan

lien.3

Akumulasi dalam jaringan lemak juga penting oleh karena

opioid bersifat lipofilik, terutama pada dosis yang tinggi. Kadar opioid

12
dalam otak relatif lebih rendah dibandingkan organ yang lain dengan

adanya sawar darah otak. Namun demikian heroin dan kodein lebih

mudah melalui sawar darah otak karena tersusun atas gugusan

hidroksil aromatik yang tersubstitusi pada atom C3.3

Sawar darah otak pada neonatus masih belum sempurna,

sehingga penggunaan analgesik opioid pada kasus obstetri

menimbulkan depresi pernafasan pada bayi baru lahir.3

2.3.3.3. Metabolisme.

Sebagian besar opioid dikonversi menjadi metabolit– metabolit

polar sehingga mudah diekskresi oleh ginjal. Senyawa yang memiliki

gugus hidroksil bebas seperti morfin dan levorvanol dengan mudah

dikonjugasi oleh asam glukoronat. Senyawa – senyawa berbentuk ester

seperti meperidin dan heroin lebih cepat dihidrolisis oleh esterase yang

terdapat dalam jaringan secara luas.3

Heroin akan dihidrolisis oleh esterase menjadi

monoasetilmorfin dan akhirnya diubah menjadi morfin. Morfin

dikonjugasikan oleh asam glukoronat menjadi morfin-6-glukoronid

yang bersifat polar namun masih bersifat aktif. Akumulasi metabolit

tersebut dijumpai pada penderita gagal ginjal sehingga

memperpanjang durasi kerjanya dan menambah efek analgesiknya.

Dalam konsentrasi tinggi, akumulasi metabolit tersebut dapat

menimbulkan kejang terutama pada anak.3

13
Metabolit polar opioid diekskresi sebagian besar melalui ginjal

dan sebagian kecil melalui empedu yang ikut terlibat dalam siklus

enterohepatik. Sebagian kecil opioid diekskresi melalui ginjal dalam

bentuk yang tidak berubah.3

2.3.4. Farmakodinamik.

2.3.4.1. Mekanisme Kerja.

Morfin dan opioid lainnya berikatan secara selektif pada

banyak tempat di seluruh tubuh. Lokus otak tang terlibat transmisi rasa

nyeri merupakan tempat kerja utama tetapi bukan satu – satunya. Pada

umumnya tempat yang memperlihatkan afinitas tinggi untuk ligan

opioid seperti morfin, juga mengandung peptida endogen dalam

konsentrasi tinggi yang bersifat sama seperti morfin. Zat endogen

tersebut diberi nama endorfin dimana β endorfin yang paling mirip

dengan morfin.3

Peptida lain yang memiliki aktivitas opioid secara langsung

adalah metionin enkefalin dan leusin enkefalin yang juga secara alami

disintesis di otak sewaktu stress seperti yang dihasilkan oleh nyeri.3

Telah dapat diidentifikasi beberapa tipe reseptor opioid pada

sistem saraf dan jaringan lainnya. Ligan – ligan endogen maupun

eksogen berikatan pada lokus tersebut dengan afinitas yang berbeda.

Tempat – tempat ikatan opioid dengan densitas tinggi terdapat pada

14
kornu posterior medula spinalis, talamus, girus postsentralis, dan

sepanjang perjalanan transmisi nyeri dari meula spinalis ke otak.3

Terdapat 4 reseptor, yakni reseptor µ (mu), δ (delta), κ

(kappa), dan σ (sigma). Masing – masing reseptor memiliki fungsi

spesifik dan kombinasi rangsangan pada reseptor tertentu akan

menghasilkan efek spesifik pula. Penelitian terakhir menunjukkan

bahwa masing – masing reseptor memiliki sub tipe reseptor sendiri.

Meskipun berbeda tipe, keempat reseptor tersebut bekerja melalui

sistem cAMP dan perubahan dalam aliran ion kalsium dan ion

kalium.3

Opioid memperlihatkan efek hiperpolarisasi dan inhibisi saraf

dengan meningkatkan aliran ion kalium dan menghambat influks ion

kalsium pada ujung saraf sehingga mengurangi release dari

neurotransmitter yakni asetilkolin, norepinefrin, dopamin, serotonin,

dan zat P. Reseptor opioid berkaitan dengan protein G yang

mempengaruhi pintu ion, depolarisasi kalsium intraseluler, dan

fosforilasi protein.3

2.3.4.2. Efek Selain Analgesik.

Sedasi

Efek sedasi lebih sering dijumpai pada lansia.

Kombinasi morfin dengan obat – obat sedatif hipnotik akan

memperkuat efek sedatif hiptonik tersebut.

15
Toleransi dan Ketergantungan

Pemberian opioid dalam dosis terapi secara berulang

terus menerus akan menurunkan efektivitasnya, sehingga untuk

menghasilkan respon terapi diperlukan dosis yang lebih besar

yang dikenal sebagai toleransi.3

Mekanisme toleransi tidak berkaitan dengan

farmakokinetiknya, nemun merupakan respon adaptasi yang

berkaitan denagn perubahan sistem second masseger terhadap

aliran ion kalsium, inhibisi adenililsiklase, dan sintesis protein

G. Toleransi pada paparan kronik terjadi akibat penurunan

efektivitas yang berbeda pada paparan akut. Efek tersebut

disebabkan karena perubahan kemampuan reseptor – reseptor

opioid dalam berikatan dengan protein C dan regulasi sistem

cAMP.3

Toleransi akan terjadi dalam 2 – 3 minggu pada

pemberian dosis terapi. Toleransi juga lebih cepat timbul bila

diberikan dosis besar dengan selang waktu yang singkat.

Toleransi tidak hanya terjadi pada efek analgesik semata, tetapi

juga pada efek yang lain. Pada orang normal, 60 mg morfin

dapat menimbulkan henti nafas, sedangkan pada penderita

yang mengalami toleransi, 2 gram morfin masih belum

menimbulkan efek depresi nafas yang jelas.3

16
Toleransi silang merupakan karakteristik opioid yang

sangat penting, yaitu penderita toleransi morfin juga terjadi

toleransi terhadap agonis opioid lainnya.3

Sindroma putus obat mencerminkan suatu rebound

phenomena dengan adanya gejala akut. Mekanisme

ketergantungan terjadi karena penurunan isi ion kalsium akibat

penghentian mendadak opioid.3

Gejala yang muncul berupa rinorea, lakrimasi,

menggigil, piloereksi, hiperventilasi, hipertermia, midriasis,

nyeri otot, muntah, diare, ansietas, dan sikap permusuhan.

Munculnya tanda – tanda abstinensia tersebut bervariasi

tergantung zat penyebabnya dan individu masing - masing.

Morfin dan heroin menimbulkan abstinensia dalam waktu 6 –

10 jam setelah pemberian dosis terakhir yang akan mencapai

puncaknya setelah 36 – 48 jam, selanjutnya gejala berangsur –

angsur berkurang hingga menghilang pada hari ke lima. Pada

beberapa kasus yang jarang, gejala menetap sampai beberapa

bulan.3

Depresi Pernafasan

Semua analgesik opioid dapat menimbulkan depresi

pernafasan dengan menghambat mekanisme pernafasan pada

batang otak melalui penurunan respon terhadap peningkatan

17
kadar CO2. Pada orang normal, peningkatan CO2 sebagai hasil

respirasi seluler akan merangsang pernafasan pada batang

otak.3

Penurunan fungsi pernafasan derajat kecil atau sedang

masih dapat ditoleransi dengan baik pada pasien normal. Pada

pasien dengan peningkatan tekanan intra kranial, asma

bronkiale, PPOK, dan kor pulmonale penurunan fungsi

pernafasan tidak dapat ditoleransi meskipun hanya dalam

derajat ringan.3

Antitusif

Penekanan refleks batuk merupakan salah satu efek

opioid. Kodein terutama digunakan untuk menekan refleks

batuk. Penekanan refleks batuk dapat menyebabkan akumulasi

sekret yang dapat menyumbat saluran nafas sehingga

menimbulkan atelektasis.3

Efek pada Saluran Cerna

Analgesik opioid dapat mengaktivasi kemoreseptor

zona triger di batang otak sehingga menimbulkan mual dan

muntah. Selain itu juga menyebabkan kontriksi muskulus

sfingter oddi bilier sehingga menimbulkan kolik bilier.3

Efek pada Kardiovaskular

18
Opioid menyebabkan terjadinya dilatasi arterial dan

vena melalui mekanisme pengeluaran histamin dan depresi

sentral mekanisme stabilisasi vasomotor sehingga

menimbulkan efek hipotensi. Pada penderita dengan

hipovolumik, mekanisme tersebut menimbulkan kepekaan

terhadap penurunan tekanan darah. Opioid akan mempengaruhi

sirkulasi serebral bila terjadi depresi nafas sehingga terjaji

peningkatan PCO2 yang mengganggu autoregulasi

vaskularisasi serebral.3

2.3.5. Penggunaan dalam Anestesi.

Opioid sering digunakan sebagai obat premedikasi sebelum dilakukan

anestesi untuk suatu pembedahan karena memiliki sifat sedasi dan analgesik.

Opioid juga digunakan intraoperatif sebagai pembantu obat anestesi lain.

Morfin dosis tinggi digunakan pada pembedahan kardiovaskular. Oleh karena

efek langsungnya pada medula spinalis, opioid juga digunakan sebagai

analgesik regional dengan pemberian ke dalam ruang epidural atau

subarachnoid medula spinalis.3

Agonis Kuat Opioid.

Morfin, hidromorfon, dan oksimorfon merupakan agonis kuat

golongan fenantren yang bermanfaat dalam pengobatan nyeri hebat.

19
Heroin juga merupakan agonis kuat yang bekerja secara cepat, namun

penggunaannya hanya untuk ilmu pengetahuan semata.3

Beberapa penelitian memperlihatkan bahwa analgesik yang

berlangsung lama dengan efek samping minimal dapat diperoleh

dengan pemberian 3 – 5 mg morfin secara epidural. Pemberian morfin

dan dehidromorfon secara rektal supositoria dapat digunakan sebagai

alternatif bila tidak dapat dilakukan pemberian secara parenteral

maupun oral.3

Metadon merupakan golongan fenilheptilamin yang memiliki

profil farmakodinamik yang mirip dengan morfin, tetapi masa

kerjanya sedikit lebih panjang. Potensi analgesik sebanding dengan

morfin. Metadon dapat diberikan seecara peroral dan efek

ketergantungan serta toleransinya berkembang lebih lambat dari

morfin sehingga digunakan sebagai detoksifikasi terhadap

ketergantungan heroin dengan dosis pemeliharaan 2 – 3 kali 5 – 10 mg

per hari selama 3 hari. Dalam keadaan yang berat dapat digunakan

dosis 50 – 100 mg per hari yang sengaja dilakukan untuk

menimbulkan toleransi silang dan reaksi ketergantungan yang lebih

ringan dibanding pada heroin maupun morfin.3

Meperidin dan fentanil merupakan golongan fenilperidin yang

digunakan secara luas diantara opioid sintetik yang lainnya. Meperidin

memiliki efek antimuskarinik yang nyata sehingga dikontraindikasikan

pada penderita takikardi. Sufentanil 5 – 7 kali lebih kuat dibanding

20
fentanil, sedangkan alfentanil bekerja lebih cepat dengan durasi lebih

pendek dan efek yang lebih lemah dibandingkan fentanil.3

Levorfanol merupakan opioid sintetik yang kerjanya mirip

morfin tetapi manfaatnya tidak lebih menguntungkan dibanding

morfin.3

Agonis Ringan dan Sedang Opioid.

Kodein, oksikodon, dihidrokodein, dan hidrokodon merupakan

golongan fenantren yang memiliki efikasi lebih lemah dibanding

morfin. Kodein lebih umum digunakan sebagai antitusif.3

Propoksifen merupakan golongan fenilheptilamin yang

memiliki aktifitas analgesik yang lemah dibanding metadon. Agonis

ringan golongan fenilpiperidin umumnya digunakan sebagai antidiare

oleh karena efek analgesiknya lemah seperti loperamid dan

difenoksilat.3

Campuran Agonis dan Antagonis Opioid.

Nalbufin merupakan agonis kuat reseptor kappa dan antagonis

terhadap reseptor mu. Pada dosis yang lebih tinggi efek depresi

pernafasan terlihat lebih jelas.3

Buprenorfin merupakan agonis reseptor mu dengan durasi

kerja yang lama. Butorfanol menghasilkan efek analgesik yang

21
ekivalen dengan nalbufin dan buprenorfin tetapi memiliki efek sedasi

yang lebih besar.3

Pentazosin dan dezosin merupakan golongan benzomorfan

dengan efikasi yang ekivalen dengan morfin, namun efek samping dari

kedua obat tersebut tidak bisa diramalkan.3

Antagonis Opioid.

Antagonis opioid murni adalah nalokson dan naltrekson yang

merupakan turunan morfin dengan afinitas tinggi terhadap reseptor mu

dan afinitas relatif lemah terhadap reseptor yang lain.3

Efikasi nalokson kecil sekali bila diberikan secara oral karena

akan berkonjugasi dengan glukoronid. Nalokson dengan dosis 0,1 –

0,4 mg memiliki masa kerja yang singkat sekitar 1 – 2 jam bila

diberikan secara suntikan. Naltrekson dapat diberikan per oral dengan

dosis tunggal 100 mg yang memiliki waktu paruh 10 jam.3

Bila diberikan tanpa adanya suatu agonis, antagonis opioid

bersifat inert. Bila diberikan pada penderita yang mendapatkan terapi

agonis opioid, antagonis akan lengkap dan secara dramatis

menghilangkan efek opioid dalam tempo 1 – 3 menit. Pada penderita

abstinensia yang terlihat normal sewaktu menggunakan opioid,

antagonis opioid akan mencetuskan gejala – gejala abstinensia. Tidak

ada toleransi maupun ketergantungan terhadap penggunaan antagonis

opioid. 3

22
2.4. Analgesik Non Narkotik

Pengurangan peradangan dengan obat – obat antiinflamasi mengakibatkan

perbaikan rasa sakit selama periode yang bermakna. Analgesik non opioid juga

memiliki efek antiinflamasi yang tepat untuk penderita peradangan akut maupun

kronik.10

Obat – obatan NSAID memiliki efek analgesik, antiinflamasi, dan antipiretik

yang bervariasi pada tiap – tiap preparatnya. NSAID bekerja melalui hambatan

terhadap biosintesis prostaglandin dengan cara menghambat enzim siklooksigenase

yang terdiri dari COX I dan COX II. Di dalam tubuh COX I merupakan bentuk yang

lebih dominan. COX II bertanggung jawab terhadap produksi prostaglandin oleh sel

yang terlibat dalam peradangan.10

Prostaglandin, selain berperan sebagai mediator inflamasi juga berfungsi

sebagai penghambat sekresi asam lambung sehingga hambatan terhadap sintesis

prostaglandin secara luas pada tubuh akan menimbulkan resiko ulkus peptikum.

Prostaglandin juga mengaktifkan adenililsiklase yang memicu terjadinya kontraksi

pada otot polos.10

NSAID mengurangi inflamasi dengan menurunkan pelepasan mediator

inflamasi dari granulosit, basofil, dan sel mast. NSAID juga menurunkan kepekaan

pembuluh darah terhadap histamin dan bradikinin sehingga bersifat melawan

23
vasodilatasi. Konjugasi terjadi di hepar untuk mengubah zat aktif menjadi lebih larut

dalam air guna diekskresikan melalui urin.10

Tabel 2.2. Efek Mediator Antiinflamasi10

Mediator Vasodilatasi Permeabilitas Kemotaksis Nyeri


Vaskular
Histamin ++ ↑↑↑ - -
Serotonin +/- ↑ - -
Bradikinin +++ ↑ - +++
Prostaglandin +++ ↑ +++ +
Leukotrien - ↑↑↑ +++ -

Analgesik non narkotik dapat digunakan sebagai premedikasi dan

penatalaksanaan nyeri setelah tindakan operasi. Pemberian premedikasi dengan

sedatif tanpa analgesik menimbulkan gelisah setelah anestesi dimana hingga akhir

operasi penderita masih belum sadar tetapi nyeri sudah mulai terasa. Komplikasi

tersebut sering dijumpai pada anak dan lansia. Terapi dengan analgesik dan

narkotik.11

Ibuprofen

Ibuprofen merupakan turunan sederhana asam fenil propionat yang

memiliki sifat analgesik namun efek antiinflamasinya rendah. Waktu paruh

sekitar 2 jam. Dosis lazim untuk efek analgesik adalah 3 x 200 mg.10

Ketoprofen

Ketoprofen merupakan turunan asam fenil propionat yang memiliki

kemampuan menghambat enzim siklooksigenase dan lipoksigenase. Inhibisi

24
terhadap aktivitas siklooksigenase untuk mencegah konversi asam arakidonat

menjadi prostaglandin akan menyebabkan lebih banyak substrat yang

dimetabolisme oleh lipooksigenase sehingga meningkatkan pembentukan

leukotrin. Inhibisi terhadap siklooksigenase dan lipooksigenase akan lebih

meningkatkan efek antiinflamasi maupun analgesiknya.10

Waktu paruk ketoprofen 1,8 jam dengan dosis 3 x 100 mg. Sediaan

ketoprofen dapat berupa tablet oral, injeksi, atau supositoria.10

Oksaprozin

Merupakan turunan asam fenil propionat yang baru dengan waktu

paruh yang panjang yakni 58 jam.10

Ketorolak

Ketorolak memiliki waktu paruh 4 – 10 jam dengan efek analgesik

yang bermakna dan telah digunakan untuk menggantikan morfin dalam

beberapa situasi yang menimbulkan nyeri pasca operasi ringan dan sedang.

Obat ini paling sering diberikan parenteral dengan dosis 3 x 10 mg.10

25
Ringkasan

1. Nyeri merupakan mekanisme pertahanan tubuh terhadap kerusakan jaringan.

2. Penjalaran nyeri meliputi reseptor, saraf tepi, medula spinalis, hingga sistem saraf

pusat yang dipengaruhi oleh sistem analgesia yang secara alami terdapat pada

tubuh.

3. Analgesik narkotik berikatan dengan reseptor opioid yang berkaitan dengan

protein G sehingga mempengaruhi pintu ion, depolarisasi kalsium intraseluler,

dan fosforilasi protein hingga menghambat impuls perjalanan nyeri.

4. Selain bersifat analgesik, narkotik juga memiliki efek sedasi, toleransi,

ketergantungan, depresi nafas, antitusif, inhibisi kontraksi sfingter oddi, dan

vasodilatasi.

5. NSAID bekerja menghambat enzim siklooksigenase untuk menekan reaksi radang

dan kerusakan jaringan sehingga menimbulkan efek analgesik.

Daftar Pustaka

26
1. Asat, Mohammad. Tanda – Tanda Anestesia dalam Anestesiologi Editor
Muhiman, Murhadi dkk. Jakarta : Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1989 : 45 – 48.
2. Trevor, Antony J; Miller, Ronald D. Obat Anestesi Umum dalam
Farmakologi Dasar dan Klinik Editor Katzung, Bertram G. Terjemahan
Indonesia oleh Agoes, Azwar dkk. Jakarta : EGC, 1995 : 400 – 413.
3. Way, Walter L et all. Analgesik Opioid dan Antagonis dalam Farmakologi

Dasar dan Klinik Editor Katzung, Bertram G. Terjemahan Indonesia oleh

Agoes, Azwar dkk. Jakarta : EGC, 1995 : 479 – 497.

4. Kustedi, Tom. Bahaya Napza bagi Pelajar. Bandung : Yayasan Al Ghifari,

1999.

5. Megawe, Herlien H. Macam – Macam Anestesi dalam Diktat Kuliah Ilmu

Anestesi I. Surabaya : Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, 1986.

6. Guyto, Arthur C ; Hall, John E. Teextbook of Medical Physiology.

Philadelphia : WB Saunders Company, 1996.

7. http://organisasi.org/arti-definisi-pengertian-narkotika-dan-golongan-jenis-

bahan-narkotik-pengetahuan-narkotika-dan-psikotropika-dasar diakses pada

tanggal 18 Mei 2010 pukul 18.00 WIB.

8. www.asianbrain.com diakses pada tanggal 18 Mei 2010 pukul 18.00 WIB.

9. Herwini, Tuti. Hand Out Kuliah Psikiatri : Narkotika dan Psikotropika.

Surabaya : Fakultas Kedokteran Universitas Hang Tuah, 2006.

27
10. Payan, Donald G ; Katzung, Bertram G. Obat Antiinflamasi Non Steroid

dalam Farmakologi Dasar dan Klinik Editor Katzung, Bertram G. Terjemahan

Indonesia oleh Agoes, Azwar dkk. Jakarta : EGC, 1995 : 558 – 579.

11. Thaib, M Roesli. Komplikasi Anestesia dalam Anestesiologi Editor Muhiman,


Murhadi dkk. Jakarta : Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, 1989 : 146 – 156.

28

You might also like