You are on page 1of 7

KASHMIR adalah sebuah wilayah di utara sub-benua India.

Wilayah ini Kashmir pernah


disebut sebagai “surga dunia” (paradise on earth) karena keindahan alam dan kesuburan
tanahnya.

Istilah Kashmir secara sejarah digambarkan sebagai sebuah lembah di selatan dari ujung
paling barat barisan pegunungan Himalaya. Secara politik, istilah Kashmir dijelaskan sebagai
wilayah yang lebih besar yang termasuk wilayah Jammu, Kashmir, dan Ladakh.

“Vale of Kashmir” utama relatif rendah dan sangat subur, dikelilingi oleh gunung yang luar
biasa dan dialiri oleh banyak aliran dari lembah-lembah. Dia dikenal sebagai suatu tempat
paling indah spektakuler di dunia.

Srinagar, ibu kota kuno, terletak di dekat Danau Dal, dan terkenal karena kanal dan rumah
perahunya. Srinagar (ketinggian 1.600 m atau 5.200 kaki) berlaku sebagai ibu kota musim
panas bagi banyak penakluk asing yang mendapatkan panas di utara India. Tepat di luar kota
terdapat taman Shalimar yang indah dibuat oleh Jehangir, kaisar Mughal, pada 1619.

Wilayah ini terbagi oleh tiga negara: Pakistan mengontrol barat laut, India mengontrol tengah
dan bagian selatan Jammu dan Kashmir, dan Republik Rakyat China menguasai timur laut
(Aksai Chin). Meskipun wilayah ini dalam prakteknya diatur oleh ketiga negara tersebut,
India tidak pernah mengakui secara resmi wilayah yang diakui oleh Pakistan dan China.

Pakistan memandang seluruh wilayah Kashmir sebagai wilayah yang dipertentangkan, dan
tidak menganggap klaim India atas wilayah ini. Sebuah pilihan yang disukai banyak orang
Kashmir adalah kemerdekaan, namun baik Pakistan dan India menentang hal ini.

Kashmir merupakan salah satu wilayah rebutan terkenal di dunia, dan kebanyakan peta
buatan Barat menggambarkan wilayah ini dengan garis bertitik untuk menandai batasan yang
tidak pasti.

Jammu dan Kashmir adalah sebuah negara bagian di India bagian utara. Jammu dan Kashmir
berbatasan dengan Himachal Pradesh di selatan, Republik Rakyat Tiongkok di utara dan
timur, dan Pakistan di barat. Sebagian besar penduduknya beragama Islam. Negara bagian ini
terdiri dari tiga wilayah: Jammu, Ladakh, dan Kashmir.

Potret Muslim Menderita


Muslim Kashmir Kashmir adalah potret Muslim minoritas yang tertindas. Mereka terus
menderita dalam penindasan India sekaligus korban ketidakpedulian kaum muslim dunia.

Sejak tahun 1947, saat India merdeka dari penjajagan Inggris lalu terbagi dua negara menjadi
dua negara baru –India dan Pakistan, “surga” itu tiada lagi. Yang ada justru sebuah lembah
penuh darah dan noda-noda pertikaian yang tak kunjung henti. Ratusan jiwa Muslim Kashmir
melayang.
Darah dan air mata menetes nyaris setiap hari. Sejak
tahun 1947, India dan Pakistan sama-sama mengklaim sebagai yang paling berhak atas
daerah ini. Pakistan memiliki kedekatan ideologis dengan penduduk Kashmir yang mayoritas
Muslim. Namun India tetap bersikukuh bahwa daerah subur tersebut adalah miliknya.

Muslimin Kashmir sendiri condong bergabung dengan Pakistan karena sama-sama Muslim,
atau bahkan menjadi negara sendiri. Berbagai kelompok pejuang kemerdekaan muncul di
Kashmir untuk mengusir tentara pendudukan India. Hingga kini pertempuran sporadis –plus
aksi-aksi penculikan, penyanderaan, pembunuhan, penangkapan, dan pengeboman– masih
terjadi antara pejuang Kashmir dan pasukan India.
Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) berusaha mencarikan solusi.

Berkali-kali Dewan Keamanan PBB mengeluaran resolusi — No. 47 (Tahun 1948), No. 51
(1948), No. 80 (1950), No. 91 (1951)– yang pada intinya mendukung rakyat Kashmir untuk
menentukan nasibnya sendiri dengan menggelar plebisit/referendum. Namun, India tidak
peduli, bahkan menolak setiap campur tangan asing, dengan dalih Kashmir dalam masalah
internal India.

Pakistan menyatakan dukungan moral bagi perjuangan Muslim Kashmir. Namun India
menuduh Pakistan lebih dari sekadar memberi dukungan moral, namun juga dana,
persenjataan, dan pelatihan militer bagi pejuang-pejuang Kashmir. Setidaknya, tercatat tiga
kali pertempuran besar antara India dan Pakistan melanda Kashmir –tahun 1947, 1965, dan
1971.

Pendudukan India
Sejarah penguasaan Kashmir oleh India adalah sejarah penjajahan. Ketika India dan Pakistan
merdeka dari Inggris tahun 1947, Kashmir tidak termasuk wilayah India ataupun Pakistan.
Kashmir menjadi wilayah tersendiri karena memang sejarahnya juga demikian –sebuah
wilayah merdeka.

Tahun 1846, Kashmir dijual penguasanya, Sikh Ranjit Singh, kepada Maharaja Ghulab Singh
dari Jammu seharga 7.5 juta Rupee (sekitar US$ 166) di bawah Perjanjian Amritsar.

Pada masa pembagian wilayah antara India dan Pakistan tahun 1947, Kashmir merupakan
salah satu dari 560 Princely States –daerah di bawah wewenang langsung penjajah Inggris.
Hukum yang berlaku saat itu memberikan kebebasan kepada penduduk Kashmir untuk
bergabung dengan India atau Pakistan, atau tetap berdiri sendiri.

Tanggal 19 Juli 1947 penduduk Muslim menyatakan keputusan resmi: tidak bergabung
dengan negara mana pun alias tetap berdiri sendiri. Namun, penguasa Kashmir saat itu,
Maharajah Hari Singh, merasa berkeberatan, dan menggabungkan Kashmir ke dalam India
berdasarkan “Perjanjian Asesi” tanggal 26 Oktober 1947.

Perjanjian Asesi itulah yang hingga kini menjadi sumber utama perselisihan antara India dan
Pakistan yang mempersoalkan keabsahan perjanjian itu, apalagi India tidak pernah
mengadakan referendum seperti yang direncanakan oleh Gubernur Jenderal India, Lord
Mountbatten, tanggal 27 Oktober 1947. Bahkan, ketika PBB berkali-kali mengeluarkan
resolusi tentang hak menentukan nasib sendiri bagi Kashmir, India pun bergeming.

Berbagai aksi perlawanan muncul dan kian menguat dari tahun ke tahun. India terus
menambah jumlah pasukan pendudukannya hingga mencapai lebih dari 500 ribu tentara.
Tahun 1987 muncul Front Muslim Bersatu. Pada akhir tahun itu juga muncul berbagai
kelompok pejuang kemerdekaan Kashmir dan kelompok pro-Pakistan, antara lain Hizbul-
Mujahideen (pro-Pakistan), Front Pembebasan Jammu-Kashmir (JKLF, Jammu-Kashmir
Liberation Front), dan Kongres Hurriyat (Kemerdekaan) yang menempuh jalan damai untuk
mengakhiri keberadaan India di Kashmir.

Segala cara dilakukan India untuk meredam hasrat kemerdekaan dan perlawanan Muslim
Kashmir. Selain bahasa kekerasan melalui operasi militer, pemberlakuan jam malam,
penculikan, eksekusi, bahkan pemerkosaan, India juga menerapkan strategi khusus. India
melakukan studi komparasi ke Spanyol dengan mengirimkan seorang pakar untuk mengkaji
strategi kaum Kristen dalam memusnahkan Islam dan kaum Muslimin di sana. Juga
dilakukan pengkajian strategi bekas Uni Soviet dalam memusnahkan Islam di Asia Tengah.

Penindasan yang dilakukan India kian menguatkan semangat Muslim Kashmir untuk
merdeka. Sosiolog Pakistan, Akbar S. Ahmed (1993), melukiskan kondisi mengenaskan
Kashmir sebagai berikut:
“Kashmir benar-benar diabaikan India. Tidak mempunyai unit industri besar. Kultur dan
bahasa Kashmir dibiarkan merana. Hampir tidak pernah ada pemilu yang bebas dan adil.
Janji-jani plebisit telah dilupakan. Peluru dan tongkat komando terlalu sering digunakan
pasukan India. Cerita-cerita tentang penganiayaan dan pemerkosaan terlalu biasa terdengar.
Seorang pria bokongnya dilubangi dengan bor listrik selama diinterogasi polisi paramiliter.
Seorang pria lagi dilemparkan ke bak mandi yang airnya dialiri aliran listrik. Dan ada lagi
yang kemaluannya dipotong dengan pisau”. Wallahu a’lam. (ASM. Romli).*

http://ddhongkong.org/2010/09/kashmir-surga-dunia-yang-membara/

log ini masih sangat baru, pengelola masih dalam tahap pembelajaran. Jika ada masukan dan saran
harap disampaikan. Terimakasih

Monday, September 14, 2009


Sejarah Konflik India-Pakistan

A. Latar Belakang Masalah

Masalah Kashmir yang disengketakan India-Pakistan makin rumit. Peristiwa penyerangan


Gedung Parlemen India oleh sekelompok orang tak dikenal 13 Desember 2001 dan
menewaskan 20 orang, memperparah kondisi. Konflik Kashmir memiliki akar panjang dalam
percaturan global. Sejarah mencatat, satu tantangan paling awal yang dihadapi PBB setelah
pembentukannya (tahun 1945) adalah perseteruan wilayah Jammu-Kashmir antara India-
Pakistan. Kendati PBB telah menelurkan resolusi dalam persoalan yang sama (tahun 1948),
namun sampai setengah abad berikutnya masalah Kashmir tetap belum beres. Bahkan,
peristiwa Kashmir Mei 1999 yang menewaskan 200 tentara India, 500 lainnya terluka, dan
puluhan tewas akibat kontak senjata kedua negara terakhir, nyaris menjerumuskan kedua
negara ke dalam perang terbuka yang lebih dahsyat karena persenjataan nuklir yang dimiliki
kedua negara. India-Pakistan telah tiga kali terlibat perang terbuka (tahun 1947, 1965, dan
1971), dua di antaranya disebabkan problema Kashmir.
Akibat konflik bersifat historis ini hubungan Islamabad-New Delhi sejak tahun 1947
mengalami pasang surut. Berdasarkan pendapat Mario E Carranza, sejak berakhirnya perang
ketiga tahun 1971, hubungan kedua negara yang lahir dari rahim yang sama ini dapat
digolongkan ke dalam empat suasana: suasana detente 1972-1979; suasana saling mendekati
melalui sejumlah pertemuan bilateral tahun 1980-an; kondisi terbaik dari berlanjutnya
diplomasi kerja sama India-Pakistan di luar persoalan Kashmir, ditandai eksisnya Kerja Sama
Regional Asia Selatan tahun 1985; serta penandatanganan hot line agreement untuk tak saling
menyerang instalasi nuklir India-Pakistan. Pada akhirnya Kashmir menjadi simbol bagi
identitas nasional India sekaligus Pakistan sehingga menjadi kendala dalam urusan politik
dalam negeri, serta membuat sulit terwujudnya kompromi apa pun bagi kedua negara. Di satu
sisi Pakistan mempertanyakan legalitas pencaplokan Kashmir oleh India setelah peristiwa
pemisahan tahun 1947. Islamabad menuduh New Delhi mengingkari resolusi PBB tentang
plebisit untuk menentukan kehendak rakyat Kashmir. India beranggapan, pencaplokan
Kashmir tahun 1947 merupakan suatu hal yang legal dan final sehingga tak perlu dibicarakan
lagi, terutama setelah Dewan Rakyat Kashmir November 1956 mendeklarasikan Negara
Kashmir menjadi bagian integral dari negara federal India.
Saat ini, sepertiga wilayah Kashmir dikuasai Pakistan yang secara efektif telah terasimilasi,
bahkan secara tak tercatat hakikatnya telah menjadi provinsi kelima bagi Pakistan. Dalam
persoalan ini, Pakistan secara langsung menangani administrasi Azad Kashmir sejak awal
tahun 1950-an. Pejabat level kabinet, menteri urusan Kashmir bertanggung jawab terhadap
wilayah ini. Sedangkan India menerapkan Kashmir sebagai negara bagian yang berstatus
khusus. Isu agama juga memainkan peran penting, terutama oleh Pakistan. Paradigma di
balik lahirnya Pakistan adalah keinginan Muslim India mendirikan negara Islam, terpisah dari
mayoritas Hindu. Logikanya jelas, Kashmir yang penduduknya mayoritas Muslim seharusnya
menjadi bagian Pakistan. Memang, pada tahun 1971 Pakistan gagal mempertahankan
Pakistan Timur (kini Banglades) dalam kerangka agama, tetapi Islamabad tetap
menggunakan co-religiounist Kashmir agar ikut Pakistan.
Bagi India, Kashmir berimplikasi pada dua sisi kehidupan politik; politik domestik dan
hubungan bilateral (bahkan internasional). Ditinjau dari dimensi internal pemberontakan
Kashmir telah melahirkan politik kekerasan, terutama yang dilakukan pihak pemerintah.
Bahkan, kemelut Kashmir telah pula melahirkan rasa curiga dan saling benci dalam elemen
masyarakat. Kashmir yang Muslim, Kashmir yang memberontak ingin lepas dari India,
Kashmir yang menyebabkan tercorengnya wajah politik internasional India akibat isu
pelanggaran hak asasi manusia (HAM), telah melahirkan rasa benci di nurani rakyat India
terutama kaum nasionalis Hindu. Perasaan gemas pada separatisme Kashmir yang Muslim
akhirnya merembet menjadi antipati pada Muslim India secara keseluruhan. Peruntuhan
Masjid Ayodha tahun 1992 adalah refleksi dari rasa itu.
Problema Kashmir lebih jauh berpengaruh dalam hal-hal lebih mendasar, yakni pada empat
pilar struktur politik India: sekulerisme, demokrasi, federalisme, dan nasionalisme. Akibat
Kashmir, sekulerisme India diserang kaum nasionalis Hindu. Menurut mereka, separatisme
yang muncul di mana-mana termasuk Kashmir hakikatnya lebih sebagai akibat diterapkannya
sekulerisme gaya Nehru, yakni artificial secularism. Sekulerisme yang dibangun India
seharusnya organic secularism yang didasarkan toleransi alami kaum Hindu. Kedua,
kebijakan militeristik dalam menangani Kashmir bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi.
Ketiga, berbagai krisis berkelanjutan apalagi gerakan separatis seperti Kashmir-akan
mengancam sistem federalisme. Karena itu, kaum nasionalis Hindu mendesak pemerintah
agar mencabut artikel 370 konstitusi India yang memberi penerapan status khusus bagi
Kashmir. Artikel itu berisi aturan, non-Kashmir dilarang memiliki barang tak bergerak di
Kashmir. Keempat, krisis Kashmir juga menjadi ujian bagi nasionalisme India. Sejak
merdeka, India promosi pemikiran homo-indicus, yakni India modern adalah yang homogen,
dapat saling tukar, rasional, sekuler, serta punya loyalitas pada pusat atau negara.
India dan Pakistan merupakan negara yang memiliki struktur kenegaraan yang lemah, tetapi
memiliki aparatur yang amat kuat dalam melancarkan kekerasan (weak state structure -
strong coercive aparatures). Suzanne and Lloyd Rudolf menyebutnya sebagai classic weak -
strong state. Sebagai weak-strong state keduanya menghadapi problem minoritas dalam dua
atau bahkan tiga tingkat. Beberapa kelompok minoritas secara nasional, sekaligus mayoritas
dalam suatu wilayah tertentu. Inilah yang terjadi di Kashmir. Berpijak pada masalah itu,
dapat dimengerti bila kaum politisi di anak benua India akhirnya senang menjadikan isu
Kashmir sebagai komoditas politik, baik internal ataupun eksternal. Tetapi, dalam kerangka
politik internasional India, masalah Kashmir lebih sebagai "laknat" dibanding berkah.
Kemungkinan isolasi dari dunia Islam dan Arab akibat kemelut Kashmir misalnya, adalah
bahaya bagi India. Sebab, India amat butuh energi. Bahkan, sepertiga foreign exchange India
dihabiskan untuk impor minyak, kebanyakan dari dunia Arab.

B. Penyebab Konflik India-Pakistan

Berdasarkan asumsi dasar dari teori realisme, maka saya akan mencoba menganalisa
penyebab terjadinya konflik India-Pakistan. Realisme mempunyai pandangan pesimis atas
sifat dasar manusia, dimana manusia selalu cemas akan keselamatan dirinya akan hubungan
persaingannya dengan yang lain. Selain itu realisme juga sangat menjunjung tinggi nilai-nilai
keamanan nasional dan kelangsungan hidup suatu negara. Persoalan adu kekuatan antara
India-Pakistan juga menjadi faktor lain yang menyebabkan meruncingnya konflik. Kedua
negara baik India maupun Pakistan sering melakukan adu kekuatan militer melalui uji coba
senjata nuklir. Hal ini sesuai dengan teori Balance of Power (BoP)dimana ketika ada suatu
negara yang dianggap mengancam, maka negara yang merasa terancam tersebut akan balik
mengancam. Situasi ini kemudian telah berubah menjadi Balance of Terror. Selain itu
mengapa konflik India-Pakistan terjadi karena kedua negara berusaha untuk mencapai
kepentingan nasional (National Interest) masing-masing Negara. Dalam hal ini adalah terkait
dengan pemilikan wilayah Khasmmir. Dalam kasus ini Pakistan menganggap bahwa India
telah mencaplok wilayah Khasmir dan hal ini menjadi salah satu alasan mengapa kemudian
konflik terjadi.
Beberapa penyebab konflik yang lain adalah karena tentara India diberikan impunitas untuk
tidak dikenakan hukuman atas tindakan kekerasan yang mereka lakukan (special powers)
melalui sebuah Akta Angkatan Bersenjata Jammu dan Kashmir. Pemerintah India juga
menolak peran Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) sebagai pihak ketiga untuk menyelesaikan
sengketa dengan alasan bahwa Kashmir adalah urusan bilateral India dan Pakistan.
Yang jadi persoalan, mayoritas penduduk Kashmir adalah muslim. Di teritori yang dikuasai
India, misalnya, dari 8 juta penduduknya, hampir 6 juta muslim. Sedang penduduk di Azad
kashmir, 99 Persen muslim. Karena faktor agama inilah, konflik yang semula hanya
persoalan 'wilayah' jadi melebar. Konflik ini lebih kompleks lagi, karena di dalam konflik
antar agama itu pun, masih ada konflik aliran.

India sendiri mengklaim bahwa konflik Kashmir bukan karena agama. Buktinya, sewaktu
India dan Pakistan belum merdeka, negeri Kashmir aman-aman saja. Meski sebagian besar
penduduknya muslim dan pemerintahannya Hindu, tapi di Kashmir tak ada konflik. Sama
seperti India ketika di bawah Sultan Akbar -- meski mayoritas Hindu dan diperintah oleh
muslim, India aman dan sejahtera.
Islam di Kashmir, menurut pihak India, yang berkembang adalah sufisme yaitu ajaran yang
lebih mementingkan spiritual. Ajaran sufisme Islam ini tidak berbenturan secara konfrontatif
dengan spiritualisme Hindu. Mereka bisa bekerjasama.Sebagai contoh, Sultan Akbar dan tiga
generasi sesudahnya berhasil membangun kerajaan besar Islam di India dengan konsep
sufisme itu tadi. Kerajaan Kashmir yang mayoritas Islam dan Jammu yang mayoritas Hindu
keduanya di bawah kerajaan Hindu sebelum terbawa arus 'permusuhan' Pakistan dan India,
juga hidup aman, sejahtera, dan rakyatnya saling menghormati.

Pakistan balik menuduh India sengaja memutar-balikkan fakta untuk menguasai Kashmir.
Bagi Pakistan, penduduk Kashmir yang sebagian besar Islam, selayaknya masuk dalam
Pakistan. Kemudian yang menjadi pertanyaan adalah kenapa timbul konflik? Semua ini
terjadi karena kepentingan politik dan kekuasaan.

C. Cara Penyelesaian Konflik

Berdasarkan asumsi dari teori realisme situasi damai dikatakan dapat terjadi ketika terjadi
Balance of Power yaitu dimana terdapat dua kekuatan yang secara relatif sama kuat, yang
kemudian akan saling mengancam, namun tidak saling menyerang. Situasi ini, berdasarkan
teori realisme disebut sebagai situasi yang damai. Dalam kasus konflik India-Pakistan, hal ini
juga terjadi dimana baik India maupun Pakistan sama-sama saling mengancam melalui
penempatan rudal-rudal baik India maupun Pakistan di daerah perbatasan. Selain itu realisme
mempunyai asumsi bahwa salah satu alternatif cara penyelesaian konflik adalah dengan
perang. Hal ini kemudian terkenal dengan istilah “Civis Pasum Para Bellum” yang berarti
jika ingin berdamai maka bersiaplah untuk berperang. Maka berdasarkan asumsi teori
realisme, cara penyelesaian konflik yang terbaik antara India dan Pakistan adalah dengan
perang.
Hakikatnya persetujuan Soviet Union (SU) dengan Amerika Syarikat (AS) pada tahun 1972
yang berhasil membentuk Strategic Arms Limitation Talks (SALT I) dalam mewujudkan
kawalan dalam pembinaan senjata nuklir, sistem pelancar senjata nuklir dan sebagainya oleh
kedua-dua negara dapat dijadikan sebagai model yang dapat diaplikasikan sebagai jalan
penyelesaian terhadap masalah India dan Pakistan. Walaupun dalam era Perang Dingin
menyaksikan AS dan Soviet Union terlibat dalam persaingan kuasa dan senjata yang sangat
berisiko mampu mencetuskan peperangan, namun ia berhasil dielakkan atau dihindari melalui
persetujuan pembentukan SALT I.
Keberhasilan SALT I telah mampu memupuk keyakinan dan kepercayaan antara kedua-dua
kuasa besar dunia yang secara langsung memperluaskan kerjasama mengadakan pengawasan
terhadap penghasilan senjata ofensif dan pengurangan dari segi kekuatan persenjataan antara
negara dalam SALT II pada tahun 1979. Model SALT ini sebenarnya boleh diaplikasikan
dalam masalah hubungan ada India dan Pakistan. Persetujuan kedua-dua negara ini untuk
mengadakan pengawasan terhadap persenjataan pasti akan meningkatkan keyakinan dan
kepercayaan antara negara yang secara langsung meredakan dilema keselamatan serta
mengurangkan risiko tercetusnya peperangan.
Perlu kita pahami dalam fenomena persaingan senjata, seperti penghasilan, pemilikan dan
pembangunan persenjataan oleh sesebuah negara akan mengundang kepada terwujudnya
kesan sampingan ke atas negara lain dengan timbulnya ancaman yang jelas ataupun sebagai
dilema keselamatan. Dengan tiadanya usaha dan tatacara pengawasan dalam penghasilan dan
pemilikan persenjataan oleh India dan Pakistan, hal ini justru akan membuat peluang untuk
munculnya konflik menjadi sangat besar.
Proses ini sebenarnya dapat kita lihat dalam skenario pemilikan nuklir oleh India yang
dibangunkan semenjak 1960-an telah mencetuskan fenomena persaingan senjata dengan
seterunya di mana Pakistan turut membangunkan nuklear pada 1970-an untuk memastikan
sistem pertahanan dan ketenteraannya tidak ketinggalan dan seimbang. Persaingan pesat ini
telah membawa kepada peningkatan risiko konflik yang lebih besar yaitu peperangan nuklir
yang meletus pada tahun 1998.
Walaupun berbagai usaha dan desakan masyarakat dunia berhasil menghalang peperangan
meletus antara kedua-dua negara ini pada tahun 1998, namun hal ini tidak berarti risiko
peperangan antara India-Pakistan telah reda. Sebaliknya uji coba senjata nuklir yang sering
dijalankan oleh kedua-dua negara mampu membuka ruang kepada meletusnya ketegangan
seperti mana yang telah dilalui pada tahun 1998.
Pembentukan SALT di antara India dan Pakistan akan merintis kepada pembinaan keyakinan
antara negara. Peningkatan keyakinan yang kukuh akan membawa kepada hubungan yang
baik dan mendorong kaedah diplomasi dijadikan sebagai langkah dalam menyelesaikan
masalah-masalah yang membelenggu hubungan kedua-dua negara.

http://inspirationjuntak.blogspot.com/2009/09/sejarah-konflik-india-pakistan.html

You might also like