You are on page 1of 4

Angin berhembus lembut. Sepoi-sepoi. Manis.

Josephine menggigit
bibirnya yang kemerahan. Kakinya yang jenjang melangkah selangkah
demi selangkah. Bergerak dari satu pohon ke pohon yang lain. Sore yang
kelabu, matahari sebentar lagi akan terbenam. Josephine tersenyum tipis
lalu memungut buah apel terakhir. Ia mengemasi keranjangnya kemudian
menyeret rok panjangnya keluar dari kebun apel itu. Pekerjaan hari ini
tuntas sudah. Tuan Albert pasti telah menunggunya dengan cemas karena
tidak seperti hari hari lain, hari ini Josephine pulang sedikit lebih lambat.
Jumlah apel yang harus dipungutnya hari ini lebih banyak daripada yang
biasanya. Dan untukl gadis seteliti Josephine, tak boleh ada satu apelpun
yang terlewatkan.
“Jo sayang, darimana saja kau?” Tuan Albert menyambutnya dengan
cemas.
“Maafkan aku Tuan Albert. Aku tak ingin melewatkan satupun.” Jo
mengulum senyumnya dan langsung menyerahkan keranjang penuh buah
apel ke tangan Tuan Albert. Tuan Albert menerimanya dengan sigap.
“Kau sehat-sehat saja kan?”
“Seperti yang kau lihat Tuan. Aku sehat,”Jo kembali tersenyum. Tuan
Albert meletakkan keranjang apel itu, merogoh sakunya dan menyerahkan
kepingan kepingan perak kepada Josephine. Jo menerimanya dan
mengucapkan terima kasih. Tepat disaat Jo membalikkan badannya
hendak pulang kerumah, istri Tuan Albert, Sarah keluar dari dalam rumah
sembari membawa mangkuk berisi sup kacang merah dengan asap masih
mengepul. Perut Jo bersuara pelan.
“Bawa ini pulang, Nak. Aku tahu kau sangat lelah dan lapar,” Jo tak
kuasa menolak. Ia memang sedang lapar sekali.
“Terima kasih, Bu. Kau orang yang sangat baik,” Jo kemudian berbalik
dan berjalan menyusuri jalan setapak menuju rumahnya. Tuan Albert
hanya memeluk Sarah istrinya yang menatap kepergian Jo dengan
pandangan miris.
“Kasihan anak itu,” bisik Sarah.
Bekerja sebagai pemungut buah apel, itulah yang dilakukan oleh Jo
sejak desanya memasuki musim gugur. Berpindah dari keluarga satu ke
keluarga lainnya, Jo telah terbiasa mandiri dan bekerja keras di kebun-
kebun warga desanya dari pagi hingga petang. Jo adalah anak yatim piatu.
Sejak berusia 12 tahun ia telah ditinggalkan kedua orangtuanya. Saat ini ia
telah menginjak usia 18 tahun, dan selama ini hidupnya hanya bergantung
dari belas kasihan warga desa yang baik hati seperti Tuan Albert dan
istrinya.
Jo adalah anak yang sangat ceria. Warga-warga desa sangat
menyayanginya. Tak jarang jika ada warga desa yang berbelanja ke kota,
Jo mendapat oleh-oleh berupa gaun atau baju yang cantik meskipun
harganya tidak terlalu mahal. Didesa itu, Jo tinggal agak sedikit terpencil
dari warga yang lain. Rumahnya mungil dan sederhana, tapi terlihat rapi
dan nyaman sekali.
Jo membuka pagar rumahnya yang pendek tapi ditumbuhi jalinan-
jalinan bunga Androdile yang berwarna merah bata. Ia merasa lelah sekali
hari ini. Jo bergegas masuk kedalam rumah dan meletakkan mantel
kusamnya di sofa ruang tamu. Ingin rasanya ia langsung merebahkan
badannya di sofa tua itu, tapi keinginannya untuk membersihkan diri jauh
lebih kuat daripada keinginan untuk berbaring melepas penat.
Jemari Jo dengan lincah membuka kancing atas gaun lusuhnya.
Tubuhnya yang indah memang selalu terbungkus rapat. Selain karena
tidak ingin memancing orang lain untuk berbuat yang tidak-tidak, Jo
merasa nyaman jika ia membungkus tubuhnya dengan gaun berlengan
panjang itu. Setelah gaun itu dilepaskannya, Jo berjalan menuju cermin.
Dipandanginya tubuhnya yang berkeringat, terlihat lelah tapi tetap
memancarkan kecantikan yang luar biasa. Jo tersenyum dan bayangan di
cermin menampilkan kedua buah lesing pipi yang tercetak dalam. Jo
berputar beberapa kali didepan cermin lalu kemudian beranjak menuju
kamar mandi sederhana dibelakang rumah.
Hari sudah gelap. Jo dengan lincah membasahi wajahnya yang putih
bersih. Jemarinya meraih sabun, mengusapkan dengan lembut dan penuh
perhatian ke setiap inci tubuhnya yang langsing berisi. Tidak lupa ia
bernyanyi-nyanyi kecil mengungkapkan keceriaan hatinya. Suaranya yang
terdengar dalam dan memesona membuat sepasang mata yang mengintip
melalui sela kamar mandi sederhana itu menahan napas. Siapa dia? Dia
adalah Sean, pemuda cukup tampan yang tinggal paling dekat dengan
rumah Jo. Dada Sean bergemuruh. Ia telah memimpikan Jo selama ini tapi
tak pernah punya keberanian untuk mengungkapkannya langsung. Ia
hanya berani menjadi sahabat Jo dan tentu saja tak ada yang tahu, kalau
setiap senja, Sean bersembunyi di semak-semak, berusaha menyalurkan
hasratnya dengan mengintipi Jo.
Dada Sean bergemuruh sekali lagi dan jantungnya berdegup kencang.
Cahaya lampu minyak remang-remang itu tak bisa menyembunyikan
kemolekan tubuh Jo dan Sean merasa sesak. Sesak sekali. Sangat sesak
hingga hingga akhirnya ia merebahkan badan di semak-semak dan mulai
menggeliat menyalurkan kesesakannya.

***
Jo telah berganti baju. Ia menyisir rambut pirang kemerahannya yang
panjang bergelombang dan lagi-lagi tersenyum kepada bayangan dirinya
dibalik cermin. Cantik sekali. Setiap orang yang melihatnya, meski cuma
sekilas pasti berani menyimpulkan kalau Jo adalah gadis yang sangat
cantik. Matanya lebar, hidungnya kecil dengan bibir yang cukup penuh dan
selalu tersenyum menggoda. Kedua bongkah pipinya berwarna putih
kemerahan, apalagi saat ditimpa cahaya matahari, sangat memesona.
“Tok-tok-tok,” terdengar ketukan di pintu depan. Jo segera beranjak
membuka pintu dan pintu terdengar berderit pelan. Wajah Sean muncul
tiba-tiba sembari tersenyum manis.
“Hai Jo,” sapanya. Jo mengembangkan tangannya dan meraih leher
Sean. Baginya, Sean seperti pohon rindang ditengah ganasnya gurun
pasir. Baginya, Sean adalah sepotong semangka ditengah dahsyatnya
musim panas. Jo sangat menyukai Sean, dan didalam malam malam
kedewasaannya beberapa kali Sean muncul dalam mimpinya,
mengingatkannya bahwa ia telah tumbuh dewasa tanpa pernah terjamah
lelaki, dan membuatnya merasa bersalah, saat dalam mimpi itu ia
mambayangkan hanya ada dia dan Sean.. Bersama.. Merajut cinta..
“Jo…..” Sean mendesah lembut dan jemarinya merayap masuk ke sela-
sela rambut panjang Jo. Selama ini hubungan mereka hanyalah sebatas
persahabatan tapi siapa menyangka kalau mereka ternyata menyimpan
perasaan yang sama meski tidak ada yang berani mengungkapkan.
“Bagaimana harimu, Manis? Apa kau merindukanku?” Sean berharap
jawaban yang diterimanya adalah sesuatu yang menyenangkan untuk
didengar. Jo hanya merengut manja dan tersenyum pada Sean.
“Aku lelah sekali.. Buah apel itu sangat banyak. Aku sampai bosan
melihatnya. Tepat sekali kau datang, Sean. Sarah membekaliku dengan
sup kacang merah sore ini. Kau sudah makan? Mau makan bersamaku?”Jo
memberondong Sean dengan banyak kalimat. Sean hanya tertawa renyah.
“Ijinkan aku masuk dulu, Jo,”
Jo tersenyum gugup dan melepaskan tangannya dari leher Sean. Sean
menggerakkan bahunya yang bidang dan merangkul pinggang Jo,
bersama-sama masuk kedalam rumah. Jo dan Sean telah terbiasa
berperilaku sedekat ini satu sama lain. Jo adalah gadis yang kelewat lugu
dan hanya menikmati kedekatan itu sedangkan Sean memanfaatkannya
untuk merasakan sentuhan-sentuhan kulit Jo pada kulitnya.
Setelah Jo mengunci pintu rumahnya, Sean mendekapnya dari
belakang. Malam ini Sean cukup aneh, menurut Jo. Ia sepertinya
menyimpan sesuatu dan Jo tidak tahu apa itu jika menerkanya dari
embusan napas Sean yang menggelora di telinganya.
“Sean, kau kenapa?” Jo mencoba mencari tahu.
“Jo..” Sean menyebutkan nama Jo diiringi desahan yang membuat bulu
kuduk Jo meremang.
“Apakah kau lelah, Sayang?”
“Tidak.,” Jo menggeleng bingung. Sean menarik tubuh Jo dan
mendudukkan Jo di sofa tuanya. Jo kebingungan, tapi menurut saja
sembari merasa sangat penasaran.
“Jo, apakah pernah dalam hidupmu kau merasa sangat menginginkan
seseorang sampai-sampai perasaan itu membuatmu ingin mati saja?”
Sean bertanya dengan lembut. Matanya yang coklat gelap memandang
tajam kedalam mata Jo yang hijau. Tangan Sean mencengkeram bahu Jo.
Tubuhnya menyentuh paha Jo, membuat Jo merasa sedikit risih.
“Aku… menginginkan ibuku,” Jo menjawab dengan ragu. Sean
tersenyum dan meraih lampu minyak yang diletakkan Jo disamping sofa.
Sean memandang lampu itu dan meniupnya langsung ssehingga ruangan
kecil itu menjadi gelap seketika. Jo tersentak.
“S..ss..Sean..?”
“Jo, tutup matamu..” pinta Sean. Jo ragu tapi menurut. Dengan
perlahan ia menutup matanya.

You might also like