You are on page 1of 7

Pendidikan Media dan Pilar ke-5 Demokrasi

Shefti Latiefah*

Media dan Pendidikan: Sebuah Sinergitas


Tidak banyak yang mengerti bedanya media pendidikan dan pendidikan media. Padahal,
jelas, keduanya merupakan kesatuan yang berbeda. Jika kita menyebut media pendidikan,
artinya, kita lebih menekankan instrumen media tersebut untuk belajar, untuk menggali
informasi dan semacamnya. Namun, pendidikan media lebih menekankan pada bagimana
cara mengkonsumsi media secara benar dan kritis, karena, pesan-pesan yang disampaikan
oleh media tidaklah netral dan sarat kepentingan. Oleh karena itu, pendidikan media
bersifat mencerdaskan dan membuat kita berfikir kritis dalam mencerna pesan media.
Pendidikan media kera disebut literasi media. Secara populer, dimaknai sebagai
pengetahuan dan kemampuan yang perlu dimiliki seseorang agar ia dapat menggunakan
media dengan benar. Burn dan Durran (2007) menjelaskan istilah literasi media dalam
tiga aspek, yakni: kultural, kritikal dan kreatif. Kultural berarti, literasi media dikaitkan
dengan kejadian dan kondisi yang terjadi dalam masyarakat tersebut. Hal ini karena
penggunaan media tidak lepas dari pengaruh latar belakang dan perspektif penggunanya.
Literasi media itu kritikal, dan tidak sama diterapkan pada satu orang ke orang lain. Akan
muncul kritik-kritik yang beragam antarpengguna media dalam menyikapi fenomena
yang terjadi. Hal ini terkait dengan perpektif dan pola pikir yang tidak sama. Kemudian,
yang terakhir, literasi media itu kreatif. Jadi, dalam menciptakan literasi media,
perubahan-perubahan yang dinamis harus berlaku, karena media dan konten yang ada
juga semakin berkembang.

Literasi media tidak hanya tentang mengerti sebuah teks media, dalam hal ini, teks media
bukanlah huruf saja namun juga audo-visual, baik yang bersifat searah maupun interaktif.
Literasi media juga mengulas bagaimana membuat ulang (remaking) teks tersebut,
sehingga, muncul adopsi dan adaptasi atas teks-teks media yang beredar, entah kemudian
dari acara televisi kemudian dibuat lagi versi kartunnya, atau mungkin diadaptasi menjadi
drama sekolah dan lain-lain. Dengan kata lain, literasi media harus dimiliki oleh setiap

1
pengguna media, dan ini tidak hanya berkaitan dengan mengerti teks media dalam tataran
kognitif. Literasi media lebih kearah kemampuan (skill) yang memungkinkan pengguna
media menyikapi teks media secara kritis dan bijak, sehingga tidak serta-merta
memercayai begitu saja dan tidak melakukan pencernaan atas teks media tersebut.
Menurut Varis (dalam Iriantara, 2009:8), kemampuan literasi media semakin harus
dimiliki karena perkembangan media (teknologi) yang eksponensial. Persoalan tentang
media dan teknologi akan menjadi pelik di masa depan, terutama dalam era globalisasi
sehingga setiap orang harus berkemampuan untuk mencerna dan mereproduksi pesan
media. Halloran dan Jones (ibid.:13) menjelaskan bahwa, Inggris sudah memulai
pendidikan literasi media pada 1930 agar anak-anak dan remaja dapat secara kritis
melihat dan membedakan apa yang baik dan buruk. Namun, literasi media menjadi
populer sekitar tahun 2000an dan mulai dilakukan di negara dunia ketiga seperti
Indonesia. Dalam Undang-Undang No.32/2003 tentang Penyiaran, literasi media
dimaknai sebagai kegiatan pembelajaran untuk meningkatkan sikap kritis masyarakat.
Definisi ini lebih menekankan pada proses untuk mencapai kondisi literasi media
(ibid.:18).

Pendidikan Media dan Dampaknya terhadap Demokrasi

Dapat kita bayangkan, bagaimana sebuah masyarakat akan tertipu dengan muslihat-
muslihat yang diproyeksikan media, jika tidak dapat mengeloal pesan secara kritis. Ini
menjadi penting karena, tidak semua informasi diakses oleh masyarakat, dan media
menjadi corongya. Ketika media, secara hegemonik menyebarkan informasi yang tidak
berimbang, maka, masyarakat juga yang dirugikan. Bisa kita lihat sendiri bagaimana
fenomena hari ini. Media pun memiliki politik- ekonomi sendiri dan setting-setting
tertentu sesuai dengan kepentingan media tersebut.

Jika kita menilik sistem pemerintahan kita, Trias Politica, Indonesia menjadi negara
dengan tiga pilar penyangga. Pilar-pilar itu adalah Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif. Ini
sejalan dengan pemikiran Montesquieu (1689-1755) pembagian kekuasaan negara oleh
tiga kekuatan. Dewasa ini, tidak hanya tiga kekuatan yang menyelenggarakan negara,
namun ada pilar keempat, yakni Pers (media).

2
Edmund Burke (1787), dalam debat parlemen kala itu, menyebutkan bahwa memang
terdapat tiga pilar penyangga negara, namun, ada pilar keempat yang malah lebih
penting, yakni pers. Pers menjadi pengamat (watchdog) dan pengontrol pemerintahan
yang berperan aktif dan cenderung dipercaya oleh masyarakat bawah karena aspek
proksimitasnya, ketimbang eksekutif, legislatif dan yudikatif. Pers menjadi pengawas
dan pengontrol para pemegang kekuasaan seperti pemerintah, para pemilik modal, dan
institusi-institusi lain yang sekiranya berpotensi mempengaruhi masyarakat. Fungsi pers
tersebut seharusnya juga dapat meningkatkan kewaspadaan institusi-institusi tersebut
dalam melakukan aktivitasnya. Pers, kemudian menjadi jendela dunia yang menyebarkan
informasi dan melakukan pemberitaan atas kejadian sehari-hari menyangkut hal-hal yang
bersifat elitis seperti isu ekonomi, sosial-budaya, dan politik juga isu lokal seperti
pembunuhan, daerah rawan dan lainnya. Oleh karena itu, pers menempati posisi penting
karena menjadi rujukan dan, idealnya, dapat menjalankan fungsinya dengan benar.

Politisasi Media dan Beban “Demokratisasi Pers”


Elit politik di Indonesia menyadari betapa pentingnya pengaruh media dalam kehidupan
berpolitik dan berkenegaraan. Hal ini juga dikemukakan oleh Jonathan Woodier:
Crucially, Indonesia’s political elites have long appreciated the
importance of the media and, as its centrality has increased, so the
political elites have perceived a growing new media impact on their
security and the integrity of the state. This has directly affected
political behaviour, forcing them to look for ways to bring the media
back into line and restore the gatekeeping role lost to technological
development at the end of the Suharto era.
(Woodier, 2008:171)
Refleksi dari demokratisasi pers sekarang ini terlihat dari minimnya kontrol pemerintahan
terhadapnya. Namun, ketika kembali menilik kebelakang, kita akan menyadari betapa
terbungkamnya suara pers ketika masih dalam masa kepemimpinan Soeharto.
Pengontrolan yang ketat terhadap pers semata-mata untuk melanggengkan kekuasaan dan
menciptakan atmosfir yang menguntungkan bagi rezim, sehingga, kesalahan-kesalahan

3
yang terjadi di pemerintahan tidak lantas diketahui masyarakat karena pemberitaan
media.

Hal inilah mengapa Tempo terkena breidel pada 1994 atas tuduhan mengganggu stabilitas
nasional karena liputan investigasinya tentang Kapal Bekas Jerman. Dalam pidatonya,
Presiden Soeharto yang saat itu berada di teluk Ratai, Lampung, mengecam pers yang
meliput soal pembelian Kapal Jerman. Presiden Soeharto menyatakan bahwa pers yang
meliput tentang pembelian kapal itu hanya asal bicara dan mengadu domba elit politik
(Habibie dan Mar’ie) sehingga dinilai mengganggu stabiltas politik dan nasional. Ia
berjanji akan menindak tegas pers tersebut. Sehari kemudian, berlangsunglah rapat
koordinasi bidang Politik dan Keamanan (Polkam) di kantor Menko Polkam, Jakarta,
membahas tentang penindakan terhadap pers yang dimaksud. Saat itu, Harmoko
menyarankan untuk melakukan pembreidelan saja, namun, kepastian sanksi terhadap pers
itu dijanjikan diumumkan pada Rakor Polkam tanggal 30 Juni 1994 (Asy’ari, 2009).

Kasus pembreidelan, jika kemudian disangkutpautkan dengan konsep kebebasan pers,


maka hal ini jelas melanggar. Pembreidelan akhirnya menjadi eksekusi politis, dimana,
rezim tidak menginginkan kekuasaannya terganggu akbita pemberitaan pers yang
menguak borok mereka. Konsep kebebasan pers yang diusung oleh Dumitrescu dan
Mughan (dalam Leicht, 2010) adalah tentang diversifikasi kepemilikan yang
merepresentasikan pandangan ideologis, sehingga publik dapat menilai sendiri tentang isi
berita dan informasi yang disebarluaskan. Diseminasi informasi itulah yang membuat
pers sangat dibutuhkan oleh publik.

Fungsi utama pers, sebagai pilar keempat demokrasi, bukanlah sekedar slogan, tapi juga
beban. Karena, sekali pers tidak dapat menjalankan fungsinya dengan baik, maka,
praktek demokrasi di negara tersebut tidak berlangsung sehat. Ketika menilik kembali
pers Indonesia, maka, konsep ini sangat jauh berbeda, terutama dengan adanya
pembreidelan media yang kritis terhadap rezim yang berkuasa. Sehingga, konsep
kebebasan pers di Indonesia dapat ditilik dari gagasan Ignas Kleden (dalam Asy’ari,
2009) yang menyebutkan konsep kebebasan pers sebagai kebebasan historis-fungsional.

4
Kebebasan historis fungsional ini sangat dipengaruhi oleh tempat dan waktu. Pers akan
mendapatkan kebebasannya hanya pada tempat dan waktu tertentu saja, kondisional.

Pembreidelan, setelah orde baru, tentu melanggar UU No.40 Tahun 1999 tentang PERS
yang menyebutkan bahwa terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran,
pembredelan atau pelarangan penyiaran. Dan ini tentu diatur dalam kode etik jurnalistik
yang disepakati oleh insan pers dan diatur dalam konstiusi negara dan PBB atas
kemerdekaan berekspresi. Tentu saja, tindak pembreidelan dalam bentuk apapun oleh
pemerintah berarti melanggar hukum yang berlaku. Ini yang terjadi ketika Sekretaris
Kabinet, Dipo Alam, melontarkan penyataan tentang pembreidelan media yang dianggap
menjelek-jelekkan pemerintah, pada Februari 2011 lalu. Ini merupakan cermin dari
arogansi pemerintah dalam menghadapi kritik media. Meski, kita tahu bahwa, media pun
tidak juga murni memberitakan apa adanya, namun, dipengaruhi oleh beberapa faktor,
terkait kepemilikan media yang, pemiliknya itu juga berprofesi sebagai politisi. Jadi,
tidak menutup kemungkinan, media itu sebagai corong kepentingan politis pemiliknya
sesuai dengan apa yang dikemukakan Chomsky (1988).

Media dan Kepemilikan: Benarkah Sudah Berimbang?


Pers yang kemudian lebih dikenal sebagai media harus kita perhatikan sebagai institusi
bisnis, sekaligus informasi. Dua sistem yang saling bersinergi. Dualitas inilah, yang
kemudian menjadi faktor yang berpengaruh terhadap pemberitaan. Sebagai institusi,
media tak luput dari lima filtrasi seperti yang dikatakan oleh Chomsky (1988). Lima
filtrasi tersebut antara lain adalah: kepemilikan, periklanan, narasumber media, flak, dan
antikomunisme. Faktor kepemilikan, mau tidak mau, menjadi salah satu faktor penting
dalam pemberitaan. Misalnya, kita bisa mencontohkan dengan fenomena kepemilikan
media di Indonesia. Di Indonesia. Kepemilikan media, hanya dimonopoli oleh beberapa
pihak saja. Misalnya, MNC Group (RCTI, Global TV, MNC TV) dimiliki oleh Harry
Tanoe, Trans Corp (Trans TV, Trans 7) dimiliki oleh Chairul Tanjung. TV One oleh
Bakrie dan Metro TV oleh Surya Palloh. Jaktv dan 23 TV lokal berada dibawah
perusahaan Jawa Pos yang dipimpin oleh Dahlan Iskan. Beberapa stasiun TV lainnya
juga dimiliki pengusaha-pengusaha perorangan. Kecuali DAAi sebagai TV swadaya, TV

5
lokal oleh korporat lokal/komunitas. Dan televisi publik yang dibiayai langsung oleh
negara. Isu kepemilikan ini akhirnya sampai pada politik media.

Monopoli kepemilikan ini bertentangan dengan UU No. 32 Tahun 2002 tentang


PENYIARAN. Yang menyebutkan bahwa pemusatan kepemilikan dan penguasaan
Lembaga Penyiaran Swasta oleh satu orang atau satu badan hukum, baik di satu wilayah
siaran maupun di beberapa wilayah siaran, dibatasi. Namun, tidak jelas, dibatasi berapa,
dan bagaimana membatasinya. Sehingga, klausul ini diterjemahkan bebas oleh pihak
pemilik stasiun TV Swasta.

Ketidaktegasan pemerintah dalam menindak kepemilikan ini menyebabkan isi program


siaran, baik berita maupun acara lain menjadi homogen. Sehingga, tidak menutup
kemungkinan, monopoli informasi dan permainan framing media memberikan informasi
yang hampir sama, sehingga, publik pun merasa, isu-isu tersebut yang memang penting
dan harus fokus diberitakan. Ini menjadi boomerang bagi pemerintah, seperti yang
dikatakan Dipo Alam, mengenai penjelek-jelekan, karena, bukan tidak mungkin, ada
agenda politik dalam pemberitaan tersebut. Seperti yang kita tahu, tiga media yang
menjadi sasaran breidel Dipo Alam, adalah Metro TV, TV One dan Media Indonesia.
Yang, notabene, dua media yang disebutkan, Metro TV dan Media Indonesia, dimiliki
oleh Surya Palloh, dan TV One dimiliki oleh Aburizal Bakrie. Keduanya adalah politisi
kawakan, sehingga, jelas, muara berita itu kemana.

Literasi Media, Jawaban dari Ambiguitas


Kepemilikan, menjadi isu penting dalam keberimbangan berita di media. Ini menjadi
perhatian dalam pengembalian fungsi utama Pers sebagai pilar keempat. Lalu, apakah
kemudian media dapat diagung-agungkan sebagai pengamat pemerintah? Sebagai corong
demokrasi? Ketika, pemilik media yang mendominasi. Media, kini tidak bisa dipandang
apolitis terhadap rezim. Karena, setelah ditelusuri sampai ke akar institusi, media itu
dimiliki oleh sekian politisi yang juga mengincar kekuasaan.

Literasi media menjadi jawaban dalam ambiguitas informasi yang terjadi. Publik, kini
menjadi satu-satunya korban dalam perang media dan tiga pilar negara lainnya. Keempat

6
pilar ini, ketika sampai pada framing media, menjadi wajib ditelaah secara sehat. Literasi
media lebih kearah kemampuan (skill) yang memungkinkan pengguna media menyikapi
teks media secara kritis dan bijak, sehingga tidak serta-merta memercayai begitu saja dan
tidak melakukan pencernaan atas teks media tersebut. Menurut Varis (dalam Iriantara,
2009), kemampuan literasi media semakin harus dimiliki karena perkembangan media
(teknologi) yang eksponensial. Dalam Undang-Undang No.32 tahun 2002 tentang
PENYIARAN, literasi media dimaknai sebagai kegiatan pembelajaran untuk
meningkatkan sikap kritis masyarakat. Definisi ini lebih menekankan pada proses untuk
mencapai kondisi literasi media.

Literasi inilah yang dapat membantu pemrosesan informasi secara kritis sehingga tak
mudah dimanipulasi oleh pemberitaan media. Ketika negara tak bisa menjamin sehatnya
informasi yang diterima publik dengan tidak menindak kepemilikan media, dan ketika
media tidak mampu secara adil memainkan perannya sebagai pilar keempat demokrasi
karena kepentingan bisnisnya, maka, publik harus melindungi diri sendiri dengan literasi
media yang dimilikinya.

*Penulis adalah Sekjen Serikat Mahasiswa Universitas Paramadina

You might also like