Professional Documents
Culture Documents
Shefti Latiefah*
Literasi media tidak hanya tentang mengerti sebuah teks media, dalam hal ini, teks media
bukanlah huruf saja namun juga audo-visual, baik yang bersifat searah maupun interaktif.
Literasi media juga mengulas bagaimana membuat ulang (remaking) teks tersebut,
sehingga, muncul adopsi dan adaptasi atas teks-teks media yang beredar, entah kemudian
dari acara televisi kemudian dibuat lagi versi kartunnya, atau mungkin diadaptasi menjadi
drama sekolah dan lain-lain. Dengan kata lain, literasi media harus dimiliki oleh setiap
1
pengguna media, dan ini tidak hanya berkaitan dengan mengerti teks media dalam tataran
kognitif. Literasi media lebih kearah kemampuan (skill) yang memungkinkan pengguna
media menyikapi teks media secara kritis dan bijak, sehingga tidak serta-merta
memercayai begitu saja dan tidak melakukan pencernaan atas teks media tersebut.
Menurut Varis (dalam Iriantara, 2009:8), kemampuan literasi media semakin harus
dimiliki karena perkembangan media (teknologi) yang eksponensial. Persoalan tentang
media dan teknologi akan menjadi pelik di masa depan, terutama dalam era globalisasi
sehingga setiap orang harus berkemampuan untuk mencerna dan mereproduksi pesan
media. Halloran dan Jones (ibid.:13) menjelaskan bahwa, Inggris sudah memulai
pendidikan literasi media pada 1930 agar anak-anak dan remaja dapat secara kritis
melihat dan membedakan apa yang baik dan buruk. Namun, literasi media menjadi
populer sekitar tahun 2000an dan mulai dilakukan di negara dunia ketiga seperti
Indonesia. Dalam Undang-Undang No.32/2003 tentang Penyiaran, literasi media
dimaknai sebagai kegiatan pembelajaran untuk meningkatkan sikap kritis masyarakat.
Definisi ini lebih menekankan pada proses untuk mencapai kondisi literasi media
(ibid.:18).
Dapat kita bayangkan, bagaimana sebuah masyarakat akan tertipu dengan muslihat-
muslihat yang diproyeksikan media, jika tidak dapat mengeloal pesan secara kritis. Ini
menjadi penting karena, tidak semua informasi diakses oleh masyarakat, dan media
menjadi corongya. Ketika media, secara hegemonik menyebarkan informasi yang tidak
berimbang, maka, masyarakat juga yang dirugikan. Bisa kita lihat sendiri bagaimana
fenomena hari ini. Media pun memiliki politik- ekonomi sendiri dan setting-setting
tertentu sesuai dengan kepentingan media tersebut.
Jika kita menilik sistem pemerintahan kita, Trias Politica, Indonesia menjadi negara
dengan tiga pilar penyangga. Pilar-pilar itu adalah Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif. Ini
sejalan dengan pemikiran Montesquieu (1689-1755) pembagian kekuasaan negara oleh
tiga kekuatan. Dewasa ini, tidak hanya tiga kekuatan yang menyelenggarakan negara,
namun ada pilar keempat, yakni Pers (media).
2
Edmund Burke (1787), dalam debat parlemen kala itu, menyebutkan bahwa memang
terdapat tiga pilar penyangga negara, namun, ada pilar keempat yang malah lebih
penting, yakni pers. Pers menjadi pengamat (watchdog) dan pengontrol pemerintahan
yang berperan aktif dan cenderung dipercaya oleh masyarakat bawah karena aspek
proksimitasnya, ketimbang eksekutif, legislatif dan yudikatif. Pers menjadi pengawas
dan pengontrol para pemegang kekuasaan seperti pemerintah, para pemilik modal, dan
institusi-institusi lain yang sekiranya berpotensi mempengaruhi masyarakat. Fungsi pers
tersebut seharusnya juga dapat meningkatkan kewaspadaan institusi-institusi tersebut
dalam melakukan aktivitasnya. Pers, kemudian menjadi jendela dunia yang menyebarkan
informasi dan melakukan pemberitaan atas kejadian sehari-hari menyangkut hal-hal yang
bersifat elitis seperti isu ekonomi, sosial-budaya, dan politik juga isu lokal seperti
pembunuhan, daerah rawan dan lainnya. Oleh karena itu, pers menempati posisi penting
karena menjadi rujukan dan, idealnya, dapat menjalankan fungsinya dengan benar.
3
yang terjadi di pemerintahan tidak lantas diketahui masyarakat karena pemberitaan
media.
Hal inilah mengapa Tempo terkena breidel pada 1994 atas tuduhan mengganggu stabilitas
nasional karena liputan investigasinya tentang Kapal Bekas Jerman. Dalam pidatonya,
Presiden Soeharto yang saat itu berada di teluk Ratai, Lampung, mengecam pers yang
meliput soal pembelian Kapal Jerman. Presiden Soeharto menyatakan bahwa pers yang
meliput tentang pembelian kapal itu hanya asal bicara dan mengadu domba elit politik
(Habibie dan Mar’ie) sehingga dinilai mengganggu stabiltas politik dan nasional. Ia
berjanji akan menindak tegas pers tersebut. Sehari kemudian, berlangsunglah rapat
koordinasi bidang Politik dan Keamanan (Polkam) di kantor Menko Polkam, Jakarta,
membahas tentang penindakan terhadap pers yang dimaksud. Saat itu, Harmoko
menyarankan untuk melakukan pembreidelan saja, namun, kepastian sanksi terhadap pers
itu dijanjikan diumumkan pada Rakor Polkam tanggal 30 Juni 1994 (Asy’ari, 2009).
Fungsi utama pers, sebagai pilar keempat demokrasi, bukanlah sekedar slogan, tapi juga
beban. Karena, sekali pers tidak dapat menjalankan fungsinya dengan baik, maka,
praktek demokrasi di negara tersebut tidak berlangsung sehat. Ketika menilik kembali
pers Indonesia, maka, konsep ini sangat jauh berbeda, terutama dengan adanya
pembreidelan media yang kritis terhadap rezim yang berkuasa. Sehingga, konsep
kebebasan pers di Indonesia dapat ditilik dari gagasan Ignas Kleden (dalam Asy’ari,
2009) yang menyebutkan konsep kebebasan pers sebagai kebebasan historis-fungsional.
4
Kebebasan historis fungsional ini sangat dipengaruhi oleh tempat dan waktu. Pers akan
mendapatkan kebebasannya hanya pada tempat dan waktu tertentu saja, kondisional.
Pembreidelan, setelah orde baru, tentu melanggar UU No.40 Tahun 1999 tentang PERS
yang menyebutkan bahwa terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran,
pembredelan atau pelarangan penyiaran. Dan ini tentu diatur dalam kode etik jurnalistik
yang disepakati oleh insan pers dan diatur dalam konstiusi negara dan PBB atas
kemerdekaan berekspresi. Tentu saja, tindak pembreidelan dalam bentuk apapun oleh
pemerintah berarti melanggar hukum yang berlaku. Ini yang terjadi ketika Sekretaris
Kabinet, Dipo Alam, melontarkan penyataan tentang pembreidelan media yang dianggap
menjelek-jelekkan pemerintah, pada Februari 2011 lalu. Ini merupakan cermin dari
arogansi pemerintah dalam menghadapi kritik media. Meski, kita tahu bahwa, media pun
tidak juga murni memberitakan apa adanya, namun, dipengaruhi oleh beberapa faktor,
terkait kepemilikan media yang, pemiliknya itu juga berprofesi sebagai politisi. Jadi,
tidak menutup kemungkinan, media itu sebagai corong kepentingan politis pemiliknya
sesuai dengan apa yang dikemukakan Chomsky (1988).
5
lokal oleh korporat lokal/komunitas. Dan televisi publik yang dibiayai langsung oleh
negara. Isu kepemilikan ini akhirnya sampai pada politik media.
Literasi media menjadi jawaban dalam ambiguitas informasi yang terjadi. Publik, kini
menjadi satu-satunya korban dalam perang media dan tiga pilar negara lainnya. Keempat
6
pilar ini, ketika sampai pada framing media, menjadi wajib ditelaah secara sehat. Literasi
media lebih kearah kemampuan (skill) yang memungkinkan pengguna media menyikapi
teks media secara kritis dan bijak, sehingga tidak serta-merta memercayai begitu saja dan
tidak melakukan pencernaan atas teks media tersebut. Menurut Varis (dalam Iriantara,
2009), kemampuan literasi media semakin harus dimiliki karena perkembangan media
(teknologi) yang eksponensial. Dalam Undang-Undang No.32 tahun 2002 tentang
PENYIARAN, literasi media dimaknai sebagai kegiatan pembelajaran untuk
meningkatkan sikap kritis masyarakat. Definisi ini lebih menekankan pada proses untuk
mencapai kondisi literasi media.
Literasi inilah yang dapat membantu pemrosesan informasi secara kritis sehingga tak
mudah dimanipulasi oleh pemberitaan media. Ketika negara tak bisa menjamin sehatnya
informasi yang diterima publik dengan tidak menindak kepemilikan media, dan ketika
media tidak mampu secara adil memainkan perannya sebagai pilar keempat demokrasi
karena kepentingan bisnisnya, maka, publik harus melindungi diri sendiri dengan literasi
media yang dimilikinya.