You are on page 1of 11

Nama Kelompok :

1. A. Riza L2J008004
2. Anggi Aji P L2J008006
3. Ardhi R L2J008010
4. Arifani Rakhma P L2J008012
5. Barudi hasbi L2J008014
6. B. Nusye P L2J008015
7. Bintang Dyah L2J008016
8. Dewi Masita L2J008022
9. Maria Giacinta L2J008041
10. Maulina H L2J008042
11. Niken anggraeni L2J008046
12. Oneesa L2J008052
13. Priska S L2J008054
14. Rachmanita L2J008057
15. Ramada HM L2J008059
16. Tegar Chalis B L2J008071
17. Wenny Dwi RP L2J008073
18. Dewi Anggraeni L2J008086
19. Imbar A L2J008089
20. Widoretno L2J008098
21. Brian Angga L2J
31 Maret 2011 | 19:33 wib
Berita Aktual » Daerah
Penyusun Amdal Pasir Besi Tuding Ada Pelanggaran HAM
Kulonprogo, CyberNews. Tim penyusun Amdal penambangan pasir
besi menuding sebagian masyarakat Paguyuban Petani Lahan Pantai
(PPLP) telah melanggar hak asasi manusia (HAM). Pasalnya, sebagian
masyarakat PPLP telah menghambat tahapan awal studi sosial untuk
penyusunan Amdal, seperti yang terjadi di Balaidesa Garongan dan
Bugel.
Dalam tahapan awal studi sosial, tim konsultan PT Jogja Magasa Iron
(PT JMI) itu melakukan perkenalan di delapan desa yang akan terkena
dampak langsung penambangan. Sosialisasi atau perkenalan dilakukan
selama empat hari sejak Senin (28/3) hingga Kamis (31/3) meliputi Desa
Karangwuni, Garongan, Pleret, Bugel, Nomporejo, Kranggan,
Karangsewu, dan Banaran.

Dalam tahap awal itu, selain memperkenalkan diri tim sekaligus berupaya
mendapatkan nama-nama warga yang akan menjadi sampel responden
survey lapangan. Mekanismenya dengan mengundi sehingga lebih ojektif
dan bisa mengakomodir warga yang pro maupun kontra. Selain itu dalam
tahap awal itu tim sekaligus meminta perangkat desa dan anggota Badan
Perwakilan Desa (BPD) untuk mengisi kuesioner.

Proses itu berjalan relatif lancar di enam desa,tetapi gagal di Desa


Garongan dan Bugel karena mendapat penolakan dari warga PPLP.
Warga menduduki Balaidesa Garongan dan Bugel sebelum tim datang di
hari kedua sisoalisasi. Bahkan tim kemudian tidak jadi datang ke
Balaidesa Bugel.
“Di dua desa itu gagal karena ada pelanggaran HAM. Kalau sebagian
warga menghambat proses ini, mereka melanggar HAM, karena sebagai
tim yang independen kami punya hak untuk menjalankan proses ini
(Amdal),” kata Koordinator tim sosial penyusun Amdal, Laksita Nurainna,
di sela hari terakhir sosialisasi di Balaidesa Karangsewu, Galur, Kamis
(31/3).

Meski menganggap telah terjadi pelanggaran HAM, kata Laksita,


pihaknya tidak akan melakukan pelaporan ke Komnas HAM. Sebab
seharusnya tanpa pelaporan pun Komnas HAM akan menindaklanjutinya.
“Untuk Desa Bugel dan Garongan bagaimana kedepannya, banyak
kemungkinan. Yang pasi kami akan kulanuwun juga, mekanismenya
aparat yang memutuskan,” ujarnya.

Ketegangan
Dalam sosialisasi survei lapangan penyusunan Amdal hari terakhir di
Balaidesa Karangsewu, warga pro dan kontra penambangan pasir besi
saling menyampaikan pendapat. Meski tim berhasil memperoleh nama-
nama warga yang akan menjadi responden, namun sempat juga terjadi
ketegangan ketika belasan warga PPLP meminta waktu di tengah acara
untuk menyampaikan sikap.

“Silahkan menyampaikan pendapat, kami beri waktu setelah ini. Karena


sebagai pemerintah desa kami juga harus menjalankan tugas untuk
memfasilitasi acara ini,” kata Lurah Karangsewu, Sudarsana menjawab 

permintaan itu.

Setelah diberi kesempatan, Ketua PPLP unit Karangsewu, Rupingi


menyampaikan beberapa poin pernyataan sikap mewakili warga. Di
antaranya menyatakan tidak akan terlibat dan melibatkan diri dalam
segala bentuk kegiatan penelitian karena warga menolak rencana
penambangan pasir besi.

Selain itu melalui Rupingi, warga PPLP juga menghimbau kepada lurah,
aparatur desa, BPD dan masyarakat untuk tidak terlibat juga, apalagi
memberi dukungan terhadap rencana penambangan pasir besi.
“Mendesak kepada tim Amdal untuk menghentikan kegiatan penelitian ini
karena kami yang paling berhak atas tanah dan lingkungan pesisir,”
katanya.

Menanggapi tudingan adanya pelanggaran HAM terhadap tim penyusun


Amdal, secara terpisah Korlap PPLP, Widodo menepis anggapan itu.
Menurutnya, justru pihak yang terkait dengan rencana penambangan
pasir besi yang telah melanggar HAM warga pesisir. “Kok mereka bilang
(kami) melanggar HAM. Yang dilanggar siapa? Karena tanah ini milik
masyarakat, ini hak hidup kami,” tandasnya.

( Panuju Triangga / CN26 / JBSM )


Menyoal Amdal Jalan Tol Semarang
Penulis: Winarto Herusansono | Editor: I Made Asdhiana
Sabtu, 2 April 2011 | 08:41 WIB

Dibaca: 480

Komentar: 1

PROYEK jalan tol Semarang-Solo, seksi I ruas Semarang-Ungaran


dalam pembangunan ulang. Pembangunan ulang itu terutama di Stasiun
5+200 sampai STA 5+700 sepanjang 800 meter di ruas Gedawang
Susukan di Kecamatan Banyumanik, Kota Semarang, Jawa Tengah.

Konsultan Teknik PT Jasa Marga (Persero), Alan Rahlan, Senin


(28/3/2011) ketika menyaksikan langsung kondisi medan jalan tol di
Gedawang mengakui, jalan tol di ruas ini berada di daerah rawan longsor.
Tapi bukan berarti tidak dapat ditangani secara rekayasa teknik.
Penurunan level badan jalan termasuk upaya mengurangi beban tanah di
lokasi tol tersebut.

Atas pembangunan kembali tol ruas Gedawang Susukan, Direktur Utama


PT Trans Marga Jateng (TMJ), Agus Suharjanto menilai proses
perbaikan memakan waktu lama. Dia juga tidak berani menjamin ruas tol
tersebut, tidak ambles lagi.

Pada 26 Februari, jalan tol Seksi I Semarang Ungaran sepanjang 14,5


kilometer sesungguhnya sudah selesai pembangunan konstruksinya.
Jalan itu malahan digunakan jalur peserta sepeda santai, sebagai wujud
seremoni tidak resmi penanda tol segera berfungsi.

Tapi awal Maret 2011, jalan tol di ruas Gedawang itu retak memanjang di
lima titik. Keretakan badan jalan tol itu akibat penurunan level tanah di
bagian timur, menyusul longsornya tebing curam yang mengarah ke Kali
Pengkol.

PT TMJ kemudian membongkar badan jalan, kemudian mengeruk badan


jalan tol sedalam tujuh meter. Jalan tol di ruas Gedawang memang
dibangun di atas timbunan tanah variasi setinggi 20- 30 meter. Tanah
timbunan, di sis i timur terdapat jurang dalam lebih 30 meter. Dengan
adanya pengurangan tanah tujuh meter, tinggi jalan tol menjadi kini
antara 13-23 meter.

Kenapa proyek jalan tol itu, sebagian rutenya melewati daerah rawan
longsor atau tanah patahan? Apakah Amdal jalan tol ada yang salah,
kemungkinan inilah yang sebenarnya menjadi pangkal masalahnya.

Ketua Komidi D Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jawa


Tengah, Rukma Setiabudi berpendapat, daerah rawan longsor mestinya
tidak digunakan sebagai rute jalan tol. Jika tol itu berfungsi, mestinya
harus menjamin keselamatan, kenyamanan dan keamanan pengguna
jalan tol. "Kalau ternyata proyek tol itu berlangsung, kemudian timbul
masalah jalannya retak, apakah mungkin kesalahan di Amdalnya?" tanya
Rukma.

Bukan Kompetensinya

Amdal jalan tol Semarang Solo, yang diprakarsai Dinas Bina Marga Jawa
Tengah dan disusun oleh konsultan PT Virama Karya Jakarta, sudah
mendapatkan Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup dari Gubernur
Jawa Tengah nomor 665.1/15/2005 pada tanggal 5 Oktober 2005.

Nugroho Widi Asmadi, peneliti di Lembaga Penelitian Universitas Wahid


Hasyim Semarang mengungkapkan, proyek jalan tol itu tidak akan
melewati daerah longsor apabila kajian atas penyusunan Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) digarap dengan benar.

"Kebenaran penyusunan Amdal sudah digugat masyarakat sejak 2006,


menyusul adanya perubahan rute rencana jalan tol Semarang Solo
mestinya tidak melewati Klentengsari dan Pedalangan di Banyumanik,"
ujar Nugroho.
Ia mengatakan, pengesahan penyusunan Amdal jalan tol Semarang Solo
itu bertentangan dengan 

a mengatakan, pengesahan penyusunan Amdal jalan tol Semarang Solo


itu bertentangan dengan perda Kota Semarang Nomor 12 Tahun 2004
Tentang Rencana Detail Tata Ruang Kota Semarang dan Perda Nomor 5
tahun 2004 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Semarang.

Sesuai perda ini, rute jalan tol semula Tembalang Lapangan Undip
Tembalang Jatimulyo Kramas - Gedawang. Diduga ada kepentingan
tertentu, rute tol itu kemudian berubah menjadi Kramas Klentengsari
Tirtoagung Gedawang yang kini dibangun jalan tol.

Nugroho yang pernah menangani proyek Amdal di beberapa negara


Afrika, Asia dan Amerika Latin mencatat pula, pelanggaran penting yang
juga dilakukan tim penyusun Amdal adalah mengabaikan surat
Kementerian Lingkungan Hidup RI.

Surat Pemerintah Pusat melalui Kementerian Lingkungan Hidup RI


nomor B-6049/Dep.V-4/LH/07/2007 tanggal 31 Juli 2007 pokok isinya
tidak mengesahkan Right of Way (ROW) dan Detail Engineering Design
(DED) pembangunan jalan tol Semarang Solo sebelum pelanggaran rute
diatasi.

Surat ini ditujukan Kepala Badan Pengelola Jalan Tol (BPJT)


Kementerian PU, Gubernur Jateng, Wali Kota Semarang, Kepala Dinas
Bina Marga Jateng dan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan
Daerah Kota Semarang. Kenyataannya, nasib suratnya ini pun diabaikan
pula.
Sisi lain, Amdal juga tidak mengindahkan Peraturan Pemerintah (PP)
nomor 27 Tahun 1999 tentang 

Amdal yang sudah jelas mengatur keterlibatan masyarakat proses acuan


penyusunan Amdal. "Keterlibatan masyarakat disini artinya luas, tidak
hanya masyarakat umum yang terkena atau dilewati proyek jalan tol, tapi
juga masyarakat ahli berbagai bidang ilmu untuk mencermati soal
Amdal," ujar Nugroho.

Mengabaikan Saran Penilai Amdal

Peneliti transportasi di Fakultas Teknik Unika Soegijapranata Semarang


yang juga anggota Tim Penilai Amdal Jalan Tol, Djoko Setijowarno
menduga, pihak perusahaan penyusun Amdal itu juga dapat paket
pekerjaan penyusunan desain rekayasa detil (Detail Engineering).
Padahal, penyusunan Amdal bukan kompetensinya, diperkiraan
pekerjaan itu diserahkan pihak ketiga.

Proses Amdal yang janggal itu, lanjut Djoko, membuat banyak kalangan


akademi di Semarang menilai Amdal jalan tol itu asli tapi palsu (aspal).
"Artinya, ada beberapa ahli tercantum namanya tapi tak terlibat langsung
penyusunan Amdal," katanya.

Pengamat Geologi Fakultas Teknik Universitas Diponegoro Semarang,


Dwiyanto J. Saputro mengatakan, jalan tol itu mestinya menghindari
daerah patahan. Ini salah satu saran penting yang ternyata diabaikan tim
penyusun Amdal.

Jika saat ini jalan tol di Gedawang terbukti lewat daerah patahan, itu
akibat tiadanya ahli geologi, geomekanika dan hidrologi (ahli air) yang
terlibat di proses penyusunan Amdal jalan tol dari awal.
Diperoleh informasi, sebelum Amdal jalan tol itu disahkan Gubernur
Jateng (kala itu Mardiyanto) pada Oktober 2005, telah melalui sidang-
sidang kajian dan analisa Tim Penilai Amdal.

Tim-tim itu bersidang sepanjang 2004/2005, terdiri tim teknis dan anggota
komisi dengan pihak tim penyusun dan konsultan Amdal jalan tol di
Kantor Badan Lingkungan Hidup Provinsi Jateng. Pakar-pakar lokal di
Semarang, baru terlibat setelah proses penyusunan Amdal mendekati
akhir.

Dengan mengabaikan sejumlah saran Tim Penilai Amdal jalan tol, tanda-
tanda amblesnya tanah di ruas tol Gedawang sudah muncul sejak 2009
ketika pembangunan proyek jalan tol sudah mencapai jarak enam
kilometer dari pintu tol Banyumanik di Kramas, Kota Semarang.

Penurunan level tanah di Gedawang makin kerap terjadi, mengingat


daerah timbunan tanah setinggi 30 meter ini diapit dua sungai besar
yakni Sungai Kaligarang disisi barat dan Kali Pengkol di sebelah timur.

Anggota Tim Teknis Komisi Penilai Amdal Provinsi Jateng, Dwi P.


Sasongko menyatakan, amblesan dan retakan tanah karena pergerakan
tanah pada ruas Gedawang Penggaron di Stasiun 5+500 dan STA
5+700. Kerentanan tanah disini kerap terjadi akibat pula perubahan tata
guna lahan.

Daerah patahan paling ideal, sebagai daerah resapan air. Gedawang


hingga hutan wisata Penggaron selama ini, sebelum dibangun jalan tol,
merupakan daerah resapan dan kawasan hutan lindung, tempat sumber
air bagi Kota Semarang.
"Potensi terjadinya amblesan dan retakan tanah di rute tol baru itu, sama
sekali tidak diprediksi dan dievaluasi dampaknya. Dokumen Amdal yang
sudah dibuat, juga tidak terekam di rekomendasi pengelolalaannya pada
dokumen Rencana Pemantauan Lingkungan," kata Dwi Sasongko,
peneliti di Pusat Penelitian Lingkungan Hidup, Undip Semarang.

You might also like