You are on page 1of 73

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Tanah bagi pemenuhan kebutuhan untuk pembangunan di Indonesia semakin

meningkat, baik sebagai tempat bermukim maupun sebagai tempat untuk kegiatan

usaha. Sehubungan dengan hal tersebut akan meningkat pula kebutuhan akan

dukungan berupa jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan. Pemberian

jaminan kepastian di bidang pertanahan, memerlukan tersedianya perangkat hukum

yang tertulis, lengkap dan jelas, yang dilaksanakan secara konsisten sesuai dengan

jiwa dan isi ketentuan-ketentuannya.

Tanah merupakan kebutuhan hidup manusia yang sangat mendasar. Manusia

hidup serta melakukan aktivitas di atas tanah sehingga setiap saat manusia selalu

berhubungan dengan tanah dapat dikatakan hampir semua kegiatan hidup manusia

baik secara langsung maupun tidak langsung selalu memerlukan tanah. Begitu

pentingnya tanah bagi kehidupan manusia, maka setiap orang akan selalu berusaha

memiliki dan menguasainya. Dengan adanya hal tersebut maka dapat menimbulkan

suatu sengketa tanah di dalam masvarakat.

Tanah mempunyai peranan yang besar dalam dinamika pembangunan, maka

didalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 ayat 3 disebutkan bahwa Bumi dan air

dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan

1
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat .Ketentuan mengenai tanah

juga dapat kita lihat dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun

1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau yang biasa kita sebut

dengan UUPA. Timbulnya sengketa hukum yang bermula dari pengaduan sesuatu

pihak (orang/badan) yang berisi keberatan-keberatan dan tuntutan hak atas tanah,

baik terhadap status tanah, prioritas, maupun kepemilikannya dengan harapan dapat

memperoleh penyelesaian secara administrasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Salah satu tujuan dari pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria adalah

meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian dan perlindungan hukum

mengenai hak atas tanah bagi rakyat Indonesia seluruhnya. Oleh karena itu, untuk

dapat mewujudkan hal tersebut diselenggarakan pendaftaran tanah.

Pendaftaran tanah dalam Undang-Undang Pokok Agraria diatur dalam Pasal 19

ayat (1) dan (2) :

(1) untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran


tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang
diatur dalam Peraturan Pemerintah.
(2) Pendaftaran tanah dalam ayat 1 pasal ini meliputi :
a. Pengukuran, perpetaan dan pembukuan tanah;
b. Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut;
c. Pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat bukti
yang kuat.

Hasil dari proses pendaftaran tanah, kepada pemegang hak atas tanah yang

didaftar diberikan surat tanda bukti hak yang disebut sertipikat. Sertipikat menurut

PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah adalah berupa satu lembar

dokumen yang memuat data yuridis dan data fisik yang diperlukan dari suatu bidang

tanah yang didaftar.

2
Terselenggaranya pendaftaran tanah memungkinkan bagi para pemegang hak

atas tanah dapat dengan mudah membuktikan hak atas tanah yang dikuasainya. Bagi

para pihak yang berkepentingan, seperti calon pembeli dan calon kreditur dapat

dengan mudah untuk memperoleh keterangan yang diperlukan mengenai tanah yang

menjadi objek perbuatan hukum yang akan dilakukan. Bagi pemerintah dapat

membantu dalam melaksanakan kebijakan di bidang pertanahannya. Pada awalnya

pelaksanaan pendaftaran tanah diadakan menurut ketentuanketentuan yang diatur

dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 10 Tahun 1961 Tentang Pendaftaran

Tanah. Namun dalam perjalanan waktu keberadaan PP ini dianggap belum maksimal

karena ada beberapa kendala diantaranya keterbatasan dana dan tenaga sehingga

penguasaan tanah-tanah sebagian besar tidak didukung oleh alat pembuktian yang

memadai.

Selain itu Peraturan Pemerintah ini belum cukup memberikan kemungkinan

untuk terlaksananya pendaftaran tanah dengan waktu yang singkat dan hasil yang

memuaskan. Karena tidak ada batas waktu dalam mendaftarkan tanah yang diperoleh

setelah peralihan hak, selain itu yang mendaftar tidak harus Pejabat Pembuat Akta

tanah tetapi bisa juga pemilik baru dari hak atas tanah sehingga seringkali tanahnya

tidak didaftarkan Untuk memperbaiki kelemahan-kelemahan ini dikeluarkanlah

peraturan mengenai pendaftaran tanah yang baru untuk lebih menyempurnakan

peraturan pendaftaran tanah sebelumnya, yaitu PP Nomor 24 Tahun 1997 Tentang

Pendaftaran Tanah.

3
Tujuan pendaftaran tanah sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 19 UUPA

untuk memberikan bagi si pemilik dan atau yang menguasai tanah tersebut, meliputi

kepastian obyek tanah, hak dan subyek dan ketertiban administrasi pertanahan. Jadi

dengan telah didaftarkannya hak atas tanah terhadap suatu bidang tanah, maka akan

memberikan rasa kepastian dalam penguasaannya. Kepastian atas pendaftaran tanah

tersebut dibuktikan dengan sertipikat tanah, tang berlaku sebagai alat pembuktian

yang kuat.

Pndaftaran tanah terbagi dalam dua tahap yaitu tahap pendaftaran pertama kali

(pendaftaran secara sistematik dan sporadik) dan pemeliharaan data. Pendaftaran

pertama kali meliputi kegiatan antara lain pengukuran, pemetaan, dan pembukuan

tanah, pendaftaran dan peralihan hak atas tanah, serta pemberian surat tanda bukti

yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.

Salah satu hal yang paling penting dalam proses pendaftaran tanah adalah

proses pengukuran tanah, dan sebelum tanah diukur maka harus sudah terpasang

tanda batas tanah di setiap sudut tanah. Adapun yang perlu dilakukan oleh pemegang

atau pemilik tanah adalah melaksanakan kewajibannya memasang atau memelihara

tanda batas sebagaimana telah ditegaskan dalam Pasal 17 Peraturan Pemerintah

Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Kewajiban memasang atau

memelihara tanda batas yang telah ada dimaksudkan untuk menghindari terjadinya

perselisihan mengenai batas tanah.

Meskipun kepemilikan tanah telah diatur sedemikian rupa, namun masih saja

terdapat permasalahan-permasalahan yang terjadi dilapangan seperti adanya

4
tumpang tindih atau overlapping batas bidang tanah akibat tidak jelasnya batas suatu

bidang tanah yang disebabkan pemilik tanah tidak memelihara tanda batas tanah.

Juga seringnya pemilik tanah selaku pemegang sertipikat tanah tidak mengetahui

sampai dimana batas tanah yang dimilikinya akibat tidak ada tanda batas tanah atau

hilangnya tanda batas tanah. Demikian juga dalam hal kepemilikan sebidang tanah,

misalnya saja terhadap sebidang tanah yang sudah dikuasai oleh subjek hukum

selama bertahun tahun dan telah dilengkapi dengan sertipikat. Terhadap tanah itu

masih ada pihak luar yang menuntut hak atas tanah tersebut. Permasalahan ini sering

terjadi di berbagai daerah di Indonesia.

Sejalan dengan kebijakan Pemerintah untuk mengatur pertanahan di Indonesia

untuk kemakmuran rakyat terutama dalam pembangunan nasional, yaitu dengan

memberikan penjelasan arti pentingnya sertipikat tanah yang berfungsi sebagai alat

bukti hak yang kuat serta dapat dijadikan jaminan di bank.

Sertipikat hak atas tanah diberikan apabila terpenuhi syarat-syarat yang

ditentukan, dan salah satunya adalah kewajiban pemilik tanah untuk memasang

tanda batas atas bidang tanah tersebut dan memelihara tanda batas, dan pemasangan

tanda batas ini dilakukan sebelum dilaksanakan pengukuran dan kewajiban

memasang dan memelihara tanda batas terhadap pemilik tanah dimaksudkkan untuk

menghindari terjadinya perselisihan mengenai batas tanah.

Terkait dengan banyak mencuatnya permasalahan sengketa tanah ini, Kepala

Badan Pertanahan Nasional (BPN) Joyo Winoto mengatakan, bahwa terdapat

sedikitnya terdapat 2.810 kasus sengketa tanah skala nasional. Kasus sengketa tanah

5
yang berjumlah 2.810 kasus itu tersebar di seluruh indonesia dalam skala besar.

Yang bersekala kecil, jumlahnya lebih besar lagi.

Bertitik tolak dari hal tersebut diatas penulis tertarik untuk meneliti dan

membahas implikasi dan penerapan pelaksanaan pemasangan tanda batas tanah

sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran

Tanah.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian tersebut diatas, dapat dirumuskan permasalahan yang

sekaligus juga sebagai pembatasan permasalahan yang akan diteliti adalah sebagai

berikut :

1. Bagaimanakah kewajiban pemasangan tanda batas bagi pemilik atas tanah

berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 ?

2. Apakah akibat hukum yang timbul apabila tidak dilaksanakan pemasangan

tanda batas bagi pemilik atas tanah ?

1.3. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan penelitian dari penulisan ini adalah :

1. Untuk menganalisis penerapan dari kewajiban pemasangan tanda batas tanah

di wilayah Kabupaten Gresik.

6
2. Untuk menganalisis akibat hukum yang timbul dari tidak dilaksanakannya

kewajiban pemasangan tanda batas tanah.

1.4. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan suatu sumbangan pemikiran

bagi perkembangan ilmu hukum agraria, khususnya hukum pertanahan mengenai

pentingnya kewajiban pemasangan tanda batas tanah untuk mewujudkan

kepastian hukum sertipikat hak atas tanah.

2. Manfaat Praktis.

Dalam penelitian ini diharapkan memberikan suatu bahan masukan bagi

Pemerintah Indonesia, Badan Pertanahan Nasional dan lebih khusus lagi bagi

pemerintah Kabupaten Gresik, Kantor Pertanahan Kabupaten Gresik terutama

aparat dan pejabat pertanahan di daerah mengenai arti penting dari kewajiban

pemilik tanah untuk memasang tanda batas tanah dalam rangka mewujudkan

kepastian hukum sertipikat hak atas tanah dan juga untuk mengurangi

permasalahan pertanahan khususnya mengenai batas bidang tanah.

Selain itu tulisan ini juga diharapkan mendorong masyarakat untuk

melaksanakan kewajibannya selaku pemilik tanah untuk memasang tanda batas

7
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2. 1. Tinjauan Tentang Pendaftaran Tanah

Tanah telah berkembang menjadi sumberdaya yang semakin strategis karena

jumlahnya yang terbatas dan semakin beragamnya kepentingan yang berkaitan

dengan tanah. Hal ini menyebabkan peranan tanah sangat besar bagi pemenuhan

hajat hidup manusia.

Dinamika masalah pertanahan mempunyai muatan kerumitan yang


tinggi, hal ini disebabkan oleh realitas yang menunjukkan bahwa kebutuhan
manusia akan tanah senantiasa meningkat seiring dengan laju pembangunan
di segala bidang. Di lain pihak secara kuantitatif jumlah tanah tidak
bertambah luasnya.
Berdasarkan kenyataan tersebut di atas, maka di bidang pertanahan
dituntut untuk mengelola tanah yang tersedia secara optimal, sehingga
secara profesional masingmasing kepentingan dapat diakomodir dan
dikoordinasikan dengan baik. Hal tersebut penting karena fungsi
pemerintah, adalah mengatur, memerintah, menyediakan fasilitas serta
memberi pelayanan kepada masyarakat. Sementara itu, Said Zainal Abidin
sebagaimana dikutip Inu Kencana Syafie, menegaskan pentingnya kebijakan
publik untuk memecahkan masalah dan untuk mewujudkan tujuan yang
diinginkan masyarakat.1

Lebih lanjut kebijakan publik menurut Inu Kencana yang dikutip dari William

N. Dunn, menjelaskan bahwa, "kebijakan publik adalah suatu rangkaian pilihan

1
Said Zainal Abidin, Kebijakan Publik, Yayasan Pancur Siwah, Jakarta, 2002, hal. 35.

8
yang saling berhubungan yang dibuat oleh lembaga atau pejabat pemerintah pada

bidang-bidang yang menyangkut tugas pemerintahan ".2

Kebijakan publik dalam implementasinya tidak selamanya berjalan lancar namun

adakalanya terjadi kesenjangan antara yang dirumuskan dengan apa yang yang

dapat dilaksanakan. Oleh karena itu, Said Zainal Abidin menyimpulkan, "kebijakan

yang baik adalah kebijakan yang mempunyai tujuan yang rasional dan diinginkan,

asumsi yang realistis dan informasi yang relevan dan lengkap". 3

Kompleksitas suatu kebijakan mengharuskan proses perumusan, pelaksanaan dan

evaluasi kebijakan yang melibatkan banyak pihak dalam masyarakat.

Dalam lima tahun terakhir pemerintah telah mengeluarkan berbagai kebijakan

di bidang pertanahan. Kebijaksanaan tersebut pada umumnya adalah rincian lebih

lanjut dari ketentuan UUPA yang diperlukan untuk melaksanakan prinsip-prinsip

dasar hukum pertanahan nasional guna memenuhi kebutuhan masyarakat dan

pembangunan. Salah satu kebijakan pemerintah di bidang pertanahan yaitu

dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran

Tanah.

Dalam rangka mempercepat pelaksanaan pendaftaran tanah berdasarkan PP

24/1997, pemerintah dalam hal ini Badan Pertanahan Nasional membuat

perencanaan untuk menyelesaikan pembuatan sertipikat tanah di seluruh wilayah

Republik Indonesia melalui Proyek Administrasi Pertanahan dengan pendekatan

2
Inu Kencana Syafiie, dkk, Ilmu Administrasi Publik, PT Rineka Cipta, Jakarta, 1999, hal. 107.

3
Said Zainal Abidin, Op. Cit, hal. 208.

9
sistematis, yang dikenal dengan Proyek Ajudikasi. Proyek ini akan dinikmati oleh

seluruh lapisan masyarakat, termasuk lapisan masyarakat golongan ekonomi lemah.

Ajudikasi sebagai kebijakan publik adalah kegiatan dalam rangka proses

pendaftaran tanah. Hal ini sesuai dengan pandangan Harold D. Lasswell dalam M.

Irfan Islamy menyatakan, kebijakan sebagai : "a projected program of goals,

values, and practices" (suatu program pencapaian tujuan, nilai-nilai dan

praktekpraktek yang terarah).4 Sementara itu menurut pendapat Amara Raksasatata

dalam M. Irfan Islamy, kebijakan diartikan sebagai "suatu taktik dan strategi yang

diarahkan untuk mencapai tujuan".

Pakar lain Said Zainal Abidin, menyatakan kebijakan secara umum dapat

diklasifikasikan menjadi tiga tingkatan, yaitu kebijakan umum, kebijakan

pelaksanaan dan kebijakan teknis.5

Kebijaksanaan pertanahan (Land Policy) dan pengelolaan pertanahan (Land

management) yang dikemas dalam kebijakan pertanahan nasional diatur dalam

Undang-Undang Pokok Agraria yang secara umum dapat dikategorikan sebagai

berikut :

a. kebijakan pengaturan penguasaan dan hak-hak atas tanah

b. kebijakan perencanaan penggunaan tanah

c. kebijakan pendaftaran tanah

Pengelolaan pertanahan pada dasarnya merupakan suatu proses pembuatan

dan pelaksanaan keputusan tentang bagaimana tanah dan sumberdayanya

4
M. Irfan Islamy, Prinsip-prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara, PT Bumi Aksara, Jakarta, 1991, hal. 15.
5
Said Zainal Abidin, Op. Cit, hal. 28.

10
didistribusikan, digunakan, dan dilindungi dalam masyarakat. Dalam kaitannya

dengan pengelolaan pertanahan, administrasi pertanahan merupakan salah satu

kunci yang penting dalam mengambil keputusan. Pengertian Administrasi

Pertanahan ada beberapa macam, salah satu pengertian tersebut adalah yang disitir

oleh BAPPENAS dan BPN dalam laporan akhir Proyek Administrasi Pertanahan,

yaitu "Land Administration is the management of the land tenure system".

Kemudian menurut Land Administration Guidline yang dikeluarkan oleh PBB,

adalah: " Land Administration is the processes of recording and disseminating

information about the ownership, value and use of land and its associated

resources ".

Terlepas dari beragamnya pengertian tentang administrasi pertanahan, yang

perlu dicapai dalam pelaksanaan administrasi adalah terwujudnya tertib

administrasi pertanahan, yaitu :

1. Setiap bidang tanah telah tersedia catatan mengenai data fisik dan yuridis,

penguasaan, penggunaan, nilai tanah, jenis tanah dan jenis hak yang dikelola

dalam sistem informasi pertanahan yang lengkap.

2. Terdapat mekanisme prosedur/tata cara pelayanan di bidang pertanahan yang

sederhana, cepat dan murah, namun menjamin kepastian hukum yang

dilaksanakan secara tertib dan konsekuen.

3. Penyimpanan warkah yang berkaitan dengan pemberian hak dan pensertipikatan

tanah telah dilakukan secara tertib, beraturan dan terjamin keamanannya.

11
2. 1. 1. Pengertian Pendaftaran Tanah

Istilah Pendaftaran tanah berasal dari kata “Cadastre” dalam bahasa Belanda

merupakan istilah teknis untuk suatu yang menunjukkan pada luas, nilai dan

kepemilikan (atau lain-lain alas hak) terhadap suatu bidang tanah.

Sedangkan kata “Cadastre” berasal dari bahasa latin “Capitastrum” yang berarti

suatu register atau capita atau unit yang diperbuat untuk pajak tanah romawi

(Capotatio Terrens).6

Dalam buku Hukum Agraria Indonesia, Boedi Harsono mengatakan bahwa:

Pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah


secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan,
pengolahan, pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan yuridis
dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang bidang tanah dan satuan-satuan
rumah susun, termasuk pemberian sertipikat sebagai surat tanda bukti haknya bagi
bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun
serta hak-hak tertentu yang membebaninya.7

Kata-kata "rangkaian kegiatan" menunjuk adanya berbagai kegiatan dalam

penyelenggaraan pendaftaran tanah. Kata-kata "terus menerus" menunjuk kepada

pelaksanaan kegiatan, bahwa sekali dimulai tidak akan ada akhirnya. Kata "teratur"

menunjukkan, bahwa semua kegiatan harus berlandaskan kepada peraturan

perundang-undangan yang sesuai.

Pengertian pendaftaran tanah tersebut juga ditegaskan dalam Peraturan

Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 pada Pasal 1 angka 1 bahwa :

Pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah


secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan,
pengolahan, pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data
6
A.P. Parlindungan, Pendaftaran Tanah di Indonesia, Cetakan I, (Bandung: Mandar Maju, 1999), hal 18

7
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Edisi Revisi, Djambatan, Jakarta, 2005,hal. 474.

12
yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan
rumah susun, termasuk pemberian sertipikat sebagai surat tanda bukti haknya bagi
bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun
serta hak-hak tertentu yang membebaninya.

Pengertian di atas menunjukkan bahwa ada berbagai macam kegiatan dalam

penyelenggaraan pendaftaran tanah yang berurutan, saling berkaitan satu sama lain

dan merupakan suatu kesatuan untuk memperoleh apa yang disebut sertipikat.

Kegiatan pendaftaran tanah tidak hanya diadakan sekali tetapi untuk seterusnya

apabila terjadi perubahan terhadap tanah maupun pemegang haknya sehingga sesuai

dengan kenyataan terakhir yang ada berlandaskan peraturan hukum yang ada.

Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun

1997 bahwa defenisi pendaftaran tanah adalah suatu rangkaian kegiatan yang

dilakukan oleh Pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur,

meliputi 6 (enam) hal, yaitu pengumpulan, pengolahan, pembukuan dan penyajian

serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis dalam bentuk peta dan daftar

mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian

surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak

milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.

Defenisi tersebut di atas merupakan penyempurnaan dari ruang lingkup

kegiatan pendaftaran tanah berdasarkan Pasal 19 ayat (2) Peraturan Pemerintah

Nomor 10 tahun 1961 yang hanya meliputi : pengukuran, perpetaan dan pembukuan

tanah, pendaftaran dan peralihan hak atas tanah serta pemberian tanda bukti hak

sebagai alat pembuktian yang kuat.

13
Pendaftaran Tanah diselenggarakan untuk menjamin kepastian hukum,

pendaftaran tanah ini diselenggarakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan

pemerintah. 8

Dalam memenuhi kebutuhan ini pemerintah melakukan data penguasaan tanah

terutama yang melibatkan para pemilik tanah. Pendaftaran tanah semula

dilaksanakan untuk tujuan fiscal (fiscal kadaster) dan dalam hal menjamin

kepastian hukum seperti diuraikan di atas maka pendaftaran tanah menjadi Recht

Kadaster.9

2. 1. 2. Dasar Hukum Pendaftaran Tanah

Pendaftaran tanah dalam Undang-Undang Pokok Agraria diatur dalam Pasal

19 ayat (1) dan (2), bahwa :

(1) untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran


tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-
ketentuan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah.
(2) Pendaftaran tanah dalam ayat 1 pasal ini meliputi :
a. Pengukuran, perpetaan dan pembukuan tanah;
b. Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut;
c. Pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat bukti
yang kuat.

Dalam Pasal 19 ayat (1) dan (2) pemerintah ditugaskan untuk melakukan

pendaftaran tanah. Selain itu pendaftaran tanah juga mewajibkan pemegang hak

atas tanah untuk melakukan pendaftaran haknya. Hal ini diatur dalam beberapa

pasal dalam UUPA, yaitu Pasal 23 mengenai pendaftaran Hak Milik, Pasal 32

8
Badan Pertanahan Nasional, Himpunan Karya Tulis Pendaftaran Tanah, Jakarta, Maret 1989, hal. 3.
9
Ibid, hal. 5.

14
mengenai Pendaftaran Hak Guna Usaha dan Pasal 38 mengenai Pendaftaran Hak

Guna Bangunan.

Sehubungan dengan itu UUPA memerintahkan diselenggarakannya

pendaftaran tanah dalam rangka menjamin kepastian hukum sebagaimana yang

dimaksud di atas. Pendaftaran tanah kemudian diatur lebih lanjut dengan Peraturan

Pemerintah Nomor 10 tahun 1961, tetapi karena peraturan ini dianggap belum dapat

memberikan hasil yang maksimal maka dilakukan penyempurnaan terhadap

peraturan ini yaitu dengan berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997

Tentang Pendaftaran Tanah. Sebagai peraturan pelaksanaan Peraturan Pemerintah

Nomor 24 Tahun 1997 tersebut berlaku pula Peraturan Menteri Negara

Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang

Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Taun 1997 Tentang Pendaftaran

Tanah. Serta Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1988 Tentang Penunjukan

Pendaftaran Tanah dilaksanakan oleh Badan Pertanahan Nasional.

2. 1. 3. Tujuan Pendaftaran Tanah

Pada dasarnya tujuan Pendaftaran tanah adalah untuk memberikan suatu

kepastian hukum di bidang pertanahan, seperti yang ada dalam Pasal 19 UUPA.

Rincian lebih lanjut tujuan pendaftaran tanah diatur dalam PP Nomor 24 tahun 1997

pada Pasal 3, bahwa :

Pendaftaran tanah bertujuan :


a. untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang
hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar

15
agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang
bersangkutan.
b. Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan
termasuk pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan
dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan
rumah susun yang sudah terdaftar.
c. Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.

Untuk memberikan kepastian hukum bagi pemegang hak yang bersangkutan

dan agar dapat dengan mudah membuktikan haknya maka diberikanlah suatu

sertipakat hak atas tanah. Untuk menyediakan informasi sebagaimana dalam Pasal 3

huruf b Kantor Pertanahan bersifat terbuka, sehingga pihak-pihak yang

berkepentingan dapat dengan mudah mencari data fisik dan data yuridis tentang

suatu bidang tanah yang sudah terdaftar. Sedangkan untuk tertib administrasi

pertanahan maka pendaftaran tanah tidak hanya dilakukan sekali tapi secara terus-

menerus mengikuti perbuatan hukum dan peristiwa hukum yang mengakibatkan

data fisik maupun data yuridis pada suatu bidang tanah mengalami suatu perubahan.

Menurut J.B. SOESANTO, dalam diktatnya Hukum Agraria I menyatakan

bahwa tujuan pendaftaran tanah adalah10 :

a. Memberikan kepastian hukum, yaitu kepastian mengenai bidang teknis (kepastian

mengenai letak, luas dan batas-batas tanah yang bersangkutan). Hal ini

diperlukan untuk menghindarkan sengketa dikemudian hari, baik dengan pihak

yang menyerahkan maupun pihak-pihak yang mempunyai tanah.

b. Memberikan kepastian hak, yaitu ditinjau dari segi yuridis mengenai status

hukum, siapa yang berhak atasnya (siapa yang mempunyai) dan ada tidaknya

10
J.B. Soesanto. Hukum Agraria I. (Semarang. Penerbit. Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945
Semarang). Hal 90

16
hak-hak dan kepentingan pihak lain (pihak ketiga). Kepastian mengenai status

hukum dari tanah yang bersangkutan diperlukan, karena dikenal tanah-tanah

dengan bermacam-macam status hukum, yang masing-masing memberikan

wewenang dan meletakan kewajiban-kewajiban yang berlainan kepada pihak

yang mempunyai hal mana akan terpengaruh pada harga tanah.

c. Memberikan kepastian subyek, yaitu kepastian mengenai siapa yang mempunyai

diperlukan untuk mengetahui dengan siapa kita harus berhubungan untuk dapat

melakukan perbuatan-perbuatan hukum secara sah mengenai ada atau tidak

adanya hak-hak dan kepentingan pihak ketiga, diperlukan untuk mengetahui

perlu atau tidaknya diadakan tindakan-tindakan tertentu untuk menjamin

penguasaan dan penggunaan tanah yang bersangkutan secara efektif dan aman.

2. 1. 4. Asas-asas Pendaftaran Tanah

Menurut Pasal 2 PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah,

pendaftaran tanah dilaksanakan berdasarkan asas sederhana, aman, terjangkau,

mutakhir dan terbuka.11

1. Asas Sederhana adalah agar ketentuan-ketentuan pokoknya maupun prosedurnya

dengan mudah dipahami oleh pihak-pihak yang berkepentingan, terutama pada

pemegang hak atas tanah.

11
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukkan Undang-Undang Pokok Agraria, isi
dan pelaksanaannya, (Jakarta: Djambatan, 2005), hal. 471.

17
2. Asas Aman dimaksudkan untuk menunjukan bahwa, pendaftaran tanah harus

diselengarakan secara teliti dan cermat sehingga hasilnya dapat memberikan

jaminan kepastian hukum sesuai tujuan pendaftaran tanah itu sendiri.

3. Asas Terjangkau artinya dapat dijangkau oleh golongan ekonomi lemah dengan

memperlihatkan kebutuhan dan kemampuanny, artinya pendaftaran tanah harus

dapat terjangkau oleh pihak-pihak yang memerlukan.

4. Asas Mutakhir artinya data-data yang ada didalam atau diperoleh dari

penyelengaraan pendaftaran tanah harus dijaga eksistensinya, sehingga data

terpelihara sesuai dengan kenyataan yang terjadi dilapangan.

5. Asas Terbuka artinya melalui penyelenggaraan pendaftaran tanah, bagi

masyarakat maupun pemerintah yang ingin memperoleh keterangan data fisik

dan data yuridis, akan dapat memperoleh data yang benar setiap saat di Kantor

Pertanahan.

2. 1. 5. Sistem Pendaftaran Tanah

Ada dua macam sistem pendaftaran tanah menurut Boedi Harsono, yaitu

sistem pendaftaran akta (registration of deeds) dan sistem pendaftaran hak

(registration of titles). Sistem pendaftaran tanah mempermasalahkan : apa yang

didaftar, bentuk penyimpanan dan penyajian data yuridisnya serta bentuk tanda

bukti haknya.12

12
Ibid., hal. 76.

18
Baik dalam sistem pendaftaran akta maupun dalam sistem pendaftaran hak,

akta merupakan sumber data yuridis. Dalam sistem Pendaftaran akta, akta-akta

inilah yang didaftar. Dalam sistem pendaftaran akta, pejabatnya bersikap pasif. Ia

tidak melakukan pengujian kebenaran data yang disebut dalam akta yang didaftar.

Di kantor Pejabat Pendaftaran Tanah (PPT), salinan akta disimpan dan terbuka

untuk umum, sedangkan pemilik hak diberikan tanda bukti berupa asli atau minuta

akta tersebut.

Dalam sistem pendaftaran akta tiap kali terjadi perubahan wajib dibuatkan

akta sebagai buktinya. Sehingga dalam sistem ini, data yuridis yang diperlukan

harus dicari dalam akta-akta yang bersangkutan. Cacat hukum dalam suatu akta bisa

mengakibatkan tidak sahnya perbuatan hukum yang dibuktikan dengan akta yang

dibuat kemudian. Untuk memperoleh data yuridis harus dilakukan apa yang disebut

“title search”, yang bisa memakan waktu dan biaya karena memerlukan bantuan

ahli. Maka kemudian diciptakanlah sistem yang lebih sederhana dan

memungkinkan orang memeperoleh keterangan dengan cara yang mudah, tanpa

harus mengadakan tittle search pada akta-akta yang ada yaitu sistem pendaftaran

hak

Dalam sistem pendaftaran hak setiap penciptaan hak baru dan

perbuatanperbuatan hukum yang menimbulkan perubahan kemudian, juga harus

dibuktikan dengan suatu akta. Tetapi dalam penyelenggaraan pendaftarannya bukan

aktanya yang didaftar, melainkan haknya yang diciptakan dan perubahan-

perubahannya kemudianlah yang didaftar. Akta hanya merupakan sumber datanya.

19
Untuk pendaftaran hak dan perubahan-perubahannya yang terjadi, kemudian

disediakan suatu daftar isian, yang biasa disebut “register” atau di Indonesia disebut

buku tanah, sehingga jika terjadi perubahan, tidak dibuatkan buku tanah baru,

melainkan dicatatkan pada ruang mutasi yang disediakan pada buku tanah yang

bersangkutan. Sebelum dilakukan pendaftaran haknya dalam buku tanah dan

pencatatan perubahannya kemudian, oleh Pejabat Pendaftaran Tanah dilakukan

pengujian kebenaran data yang dimuat dalam akta yang bersangkutan, sehingga

pejabatnya dapat dikatakan bersikap aktif. Dalam sistem ini buku-buku tanah

disimpan di Kantor Pendaftaran Tanah dan terbuka untuk umum. Sebagai tanda

bukti hak, diterbitkan sertipikat yang merupakan salinan register, yang di Indonesia

sertipikat hak atas tanah terdiri atas salinan buku tanah dan surat ukur yang dijilid

menjadi satu dalam sampul dokumen.

2. 1. 6. Sistem Publikasi Pendaftaran Tanah

Sistem publikasi pendaftaran tanah tergantung pada asas hukum yang dianut

oleh suatu negara dalam mengalihkan hak atas tanahnya. Ada beberapa sistem

publikasi pendaftaran tanah yang dianut oleh negara-negara yang

menyelenggarakan pendaftaran tanah, yakni sistem Torrens, sistem negatif dan

sistem positif. 13

a. Sistem Torrens.

Sistem Torrens berasal dari Australia Selatan, diciptakan oleh Sor Robert

Torrens. Sistem ini lebih dikenal dengan nama The Real Property Act atau

13
Bachtiar Effendi, Kumpulan Tulisan Tentang Hukum Tanah, (Bandung: Alumni, 1993), hal.47.

20
Torrens Act yang mulai berlaku di Australia Selatan sejak tanggal 1 Juli 1858

dan sistem ini sekarang dipakai di banyak Negara, antara lain Aljazair, Tunisia,

Kongo, Spayol, Norwegia, Malaya, Kepulauan Fiji, Canada dan Yamaica

Trinidad. Dalam detailnya sistem Torrens disempurnakan dengan tambahan-

tambahan dan perubahan-perubahan yang disesuaikan dengan hukum

materialnya masing-masing.14

Dalam pelaksanaan sistem Torrens, setiap pendaftaran hak atas tanah

sebelum dicatat dalam buku tanah, maka terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan

dan penyelidikan yang sangat teliti terhadap data yang disampaikan oleh

pemohon.

Kelebihan sistem Torrens dibandingkan dengan sistem negatif adalah

ketidakpastian diganti dengan kepastian, biaya lebih murah dan waktu yang

digunakan lebih singkat, ketidakjelasan dan berbelitnya uraian menjadi singkat

dan jelas, persetujuan-persetujuan disederhanakan sedemikian rupa, sehingga

setiap orang akan dapat mengurus sendiri setiap kepentingannya, penipuan

sangat dihalangi, banyak hak-hak milik atas tanah yang berkurang nilainya

karena ketidakpastian hukum hak atas tanah telah dikembalikan kepada nilai

yang sebenarnya.

Dalam sistem ini sertipikat tanah merupakan alat yang paling lengkap

tentang hak dari pemilik yang tersebut di dalamnya serta tidak dapat diganggu

gugat, demikian menurut Torrens. Ganti rugi terhadap pemilik sejati adalah
14
Bachtiar Effendi, Pendaftaran Tanah di Indonesia dan Peraturan Pelaksanaannya, (Bandung: Alumni,
1993), hal.30

21
melalui dana asuransi (verzekeringsponds) yang sebelumnya dikenakan pada

pemohon hak dalam pendaftaran tanah. Untuk merubah buku tanah adalah tidak

dimungkinkan, terkecuali jika memperoleh sertipikat tanah dimaksud melalui

cara pemalsuan dengan tulisan atau diperoleh dengan penipuan.

b. Sistem Positif.

Dalam sistem positif, suatu sertipikat tanah yang diberikan berlaku sebagai

tanda bukti hak atas tanah yang mutlak serta merupakan satu-satunya tanda bukti

hak atas tanah. Ciri pokok sistem ini adalah bahwa pendaftaran

tanah/pendaftaran hak atas tanah menjamin dengan sempurna bahwa nama yang

terdaftar dalam buku tanah adalah tidak dapat dibantah, kendatipun ia ternyata

bukan pemilik yang berhak atas tanah tersebut. Sistem positif ini memberikan

kepercayaan yang mutlak kepada buku tanah. Pejabat dalam sistem ini bersifat

sangat aktif, mereka menyelidiki apakah hak atas tanah yang dipindahkan itu

dapat untuk didaftar ataukah tidak, menyelidiki identitas para pihak,

wewenangnya dan apakah formalitas-formalitas yang diisyaratkan untuk itu telah

dipenuhi atau tidak. Menurut sistem ini hubungan antara hak dari orang yang

namanya terdaftar dalam buku tanah dengan pemberi hak sebelumnya terputus

sejak hak tersebut didaftar.

Kebaikan dari sistem Positif ini adalah :15

1. adanya kepastian dari buku tanah;

2. peranan aktif dari pejabatnya;

15
ibid., hal.32.

22
3. mekanisme kerja dalam penerbitan sertipikat tanah mudah dimengerti oleh

orang awam.

Asas peralihan hak atas tanah dalam sistem ini adalah asas itikad baik, yaitu

berarti orang yang memperoleh hak dengan itikad baik akan tetap menjadi

pemegang yang sah menurut hukum. Jadi asas ini bertujuan untuk melindungi

orang yang beritikad baik. Untuk melindungi orang yang beritikad baik inilah

perlu daftar umum yang mempunyai kekuatan pembuktian. Dalam sistem ini

pihak ketiga yang beritikad baik yang bertindak berdasarkan bukti tersebut

menurut sistem positif ini mendapatkan jaminan mutlak dengan adanya uang

pengganti terhadap tanah yang sebenarnya ia haki. Walaupun ternyata bahwa

segala keterangan yang tercantum dalam sertipikat tanah tersebut adalah tidak

benar.16

Dengan demikian, sistem Positif ini memberikan suatu jaminan yang mutlak

terhadap buku tanah, kendatipun ternyata bahwa pemegang sertipikat bukanlah

pemilik yang sebenarnya. Adapun kelemahan sistem ini adalah17 :

1. Peranan aktif pejabatnya akan memakan waktu yang lama;

2. Pemilik yang sebenarnya berhak atas tanah akan kehilangan haknya oleh

karena kepastian dari buku tanah itu sendiri;

3. Wewenang Pengadilan diletakkan dalam wewenang administratif.

c. Sistem Negatif.
16
ibid, hal 33

17
log. cit.

23
Menurut sistem Negatif bahwa segala apa yang tercantum dalam sertipikat

tanah dianggap benar sampai dapat dibuktikan suatu keadaan yang sebaliknya.

Asas peralihan hak atas tanah menurut sistem ini adalah asas “nemo plus

yuris”.18 Asas Nemo plus yuris artinya orang tidak dapat mengalihkan hak

melebihi hak yang ada padanya. Jadi pengalihan hak oleh orang yang tidak

berhak adalah batal. Asas ini bertujuan untuk melindungi pemegang hak yang

sebenarnya. Ia selalu dapat menuntut kembali haknya yang terdaftar atas nama

orang lain.

Ciri pokok sistem negatif ini ialah bahwa pendaftaran tanah/pendaftaran hak

atas tanah tidaklah menjamin bahwa nama-nama yang terdaftar dalam buku

tanah tidak dapat untuk dibantah jika nama yang terdaftar bukanlah pemilik yang

sebenarnya. Hak dari nama yang terdaftar ditentukan oleh hak dari pemberi hak

sebelumnya, perolehan hak tersebut merupakan mata rantai dari perbuatan

hukum dalam pendaftaran hak atas tanah. Ciri pokok lainnya dalam sistem ini

adalah Pejabatnya berperan pasif artinya pejabat yang

bersangkutan tidak berkewajiban untuk menyelidiki kebenaran dari surat-surat

yang diserahkan kepadanya.

Kebaikan dari sistem ini adalah adanya perlindungan terhadap pemegang hak

sejati.19

Sedang kelemahannya adalah : 20


18
log. cit.

19
ibid, hal 34

20
ibid, hal 35

24
1. Peranan pasif pejabatnya yang menyebabkan tumpang tindihnya sertipikat

tanah.

2. Mekanisme kerja dalam proses penerbitan sertipikat tanah sedemikian rupa

sehingga kurang dimengerti oleh orang awam.

Menurut Boedi Harsono, pertanyaan yang timbul berkaitan dengan system

publikasi pendaftaran tanah adalah sejauh mana orang boleh mempercayai

kebenaran data yang disajikan? Sejauh mana hukum melindungi kepentingan

orang yang melakukan perbuatan hukum mengenai tanah yang haknya sudah

didaftar, berdasarkan data yang disajikan di Kantor Pendaftaran Tanah atau yang

tercantum di dalam surat tanda bukti hak yang diterbitkan atau didaftar oleh

Pejabat Pendaftaran Tanah, jika kemudian ternyata data tersebut tidak benar ? 21

Pada garis besarnya, menurut Boedi Harsono ada dua sistem publikasi

Pendaftaran tanah yaitu sistem publikasi positif dan sistem publikasi negatif.

Dalam sistem publikasi positif, data disimpan dalam register atau buku tanah dan

sertipikat sebagai surat tanda bukti hak. Dalam sistem ini, orang boleh

mempercayai penuh data yang disajikan dalam register karena pendaftaran atau

pencatatan nama seseorang dalam register sebagai pemegang haklah yang

membuat orang menjadi pemegang hak atas tanah yang bersangkutan, bukan

perbuatan hukum pemindahan hak yang dilakukan. Dalam sistem publikasi

positif, orang yang dengan itikad baik dan pembayaran serta kemudian

mendaftarkan dirinya sebagai pemegang hak dalam register memperoleh hak

21
Boedi harsono, op.cit. , hal 80

25
yang tidak dapat diganggu gugat dari orang yang namanya tidak terdaftar sebagai

pemegang hak dalam register, hal ini biasa disebut “indefeasible tittle” Dengan

selesainya dilakukan pendaftaran atas nama penerima hak, pemegang hak yang

sebenarnya menjadi kehilangan haknya. Ia tidak dapat menuntut pembatalan

perbuatan hukum yang memindahkan hak yang bersangkutan kepada pembeli.

Dalam keadaan tertentu ia hanya bisa menuntut ganti kerugian kepada

Negara. Untuk menghadapi tuntutan ganti kerugian tersebut disediakan suatu

dana khusus. Sehingga hukum benar-benar melakukan perlindungan terhadap

orang yang melakukan perbuatan hukum mengenai tanah yang haknya sudah

didaftar.

Dalam sistem publikasi negatif, yang menentukan berpindahnya hak

kepada pembeli adalah sahnya perbuatan hukum yang dilakukan, bukan

pendaftaran yang dilakukan. Asas peralihan menurut sistem ini adalah asas

“nemo plus yuris”, yaitu orang tidak dapat menyerahkan atau memindahkan hak

melebihi apa yang ia punyai sendiri. Asas ini bertujuan untuk melindungi

pemegang hak atas tanah yang sebenarnya dari tindakan orang lain yang

mengalihkan haknya tanpa diketahui oleh pemegang hak yang sebenarnya. Maka

data yang disajikan dalam pendaftaran dengan sistem ini tidak boleh begitu saja

dipercayai kebenarannya. Negara tidak menjamin data yang disajikan. Biarpun

sudah melakukan pendaftaran, pembeli selalu masih menghadapi kemungkinan

gugatan dari orang yang dapat membuktikan bahwa ialah pemegang hak yang

sebenarnya.

26
Sistem Publikasi yang digunakan dalam pendaftaran tanah menurut UUPA

dan PP Nomor 24 Tahun 1997 adalah sistem negatif yang mengandung unsur

positif.22

Pendaftaran tanah menurut UUPA dan PP Nomor 24 Tahun 1997 akan

menghasilkan surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai pembuktian yang

kuat, seperti dinyatakan dalam Pasal 19 ayat (2), Pasal 23 ayat (2), Pasal 32 ayat

(2), dan Pasal 38 ayat (2) UUPA. Sehingga sistem Pendaftaran Tanah menurut

UUPA dan PP Nomor 24 Tahun 1997 bukanlah sistem negatif yang murni.

Sistem publikasi yang murni tidak akan menggunakan pendaftaran hak, juga

tidak akan ada pernyataan seperti dalam pasal-pasal UUPA tersebut, bahwa

sertipikat merupakan alat bukti yang kuat.

Hal tersebut juga terlihat pada ketentuan-ketentuan yang mengatur

prosedur pengumpulan sampai penyajian data fisik dan data yuridis yang

diperlukan serta pemeliharaannya dan penerbitan sertipikat haknya, biarpun

sistem publikasinya negatif, tetapi kegiatan-kegiatan yang bersangkutan

dilaksanakan secara seksama, agar data yang disajikan sejauh mungkin dapat

dipertanggung jawabkan kebenarannya.

2. 2. Tinjauan Tentang Penyelenggaraan Pengukuran Tanah

Kegiatan pengukuran dan pemetaan bidang-bidang tanah di lingkungan

Badan Pertanahan Nasional dilakukan oleh Pegawai Badan Pertanahan Nasional

22
ibid, hal. 477

27
yang khusus diberi kewenangan sebagai petugas ukur dalam hal pengukuran atas

suatu hak atas tanah, hal tersebut dimaksudkan untuk mempertahankan kualitas

pengukuran dan pemetaan sesuai dengan prosedur, mekanisme dan spesifikasi

teknis yang sudah dibakukan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997

jo Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3

Tahun 1997.

Adapun metode pengukuran bidang tanah yang digunakan adalah :

1. Metode Terrestris.

Jika Peta Dasar Pendaftaran yang tersedia di lokasi pekerjaan

pengukuran dan pemetaan kadastral berupa peta garis digital maka

metode pengukuran bidang tanah dilakukan dengan Pengukuran

Terrestris.

Metode yang digunakan dalam pengukuran terrestris ini adalah :

1. Metode Trilaterasi

2. Metode Polar :

a. Azimuth dan jarak

b. Sudut dan Jarak

c. Gabungan metode

Apabila sudah tersedia titik dasar teknik nasional sekitar bidang tanah

yang diukur, maka pengukuran bidang tanah tersebut harus diikatkan

terhadap titik dasar teknik nasional. Apabila di sekitar bidang tanah

28
tidak tersedia titik dasar teknik maka pengukuran bidang tanah dapat

diikatkan pada detail-detail yang mudah diidentifikasi secara pasti di

lapangan dan di peta garis seperti: pojok tembok, tiang listrik,

perempatan pematang , pagar dan lain sebagainya.

2 Metode Fotogrametris

Jika Peta Dasar Pendaftaran yang tersedia di lokasi pekerjaan

pengukuran dan pemetaan kadastral berupa peta foto digital ( foto

udara / citra satelit resolusi tinggi ) maka metode pengukuran bidang

tanah dapat dilakukan dengan Metode Fotogrametrik ( Identifikasi ).

Pengukuran bidang tanah dengan Metoda Fotogrametrik ( Identifikasi )

adalah identifikasi bidang-bidang tanah dengan menggunakan Peta

Dasar Pendaftaran berupa peta foto yang merupakan hasil pemetaan

fotogrametrik. Metoda ini biasanya dilaksanakan untuk daerah terbuka

( mudah untuk diidentifikasi ).

3 Metode Lainnya ( metode pengamatan satelit, GPS dll ).

Pengukuran bidang tanah dengan metode pengamatan satelit atau GPS

adalah pengukuran dengan menggunakan penentuan posisi titik koordinat

yang diikatkan pada posisi satelit minimal enam satelit.

2. 2. 1. Proses Pengukuran Tanah

29
Untuk keperluan pendaftaran hak, Pengukuran bidang tanah dilaksanakan

setelah selesai melakukan penetapan batas dan pemasangan tanda-tanda batas pada

bidang yang dimohon.

Penetapan batas bidang tanah didasarkan pada kesepakatan pihak yang

bersangkutan (contradictoire delemitatie), dimana kegiatan tersebut meliputi,

a. Menentukan batas-batas yang bersebelahan dengan pemilik atas tanah yang

bersebelahan

b. penentuan tanda batas (berupa patok)

c. pengukuran dan pemetaan bidang tanah

Pengukuran bidang tanah dilaksanakan untuk menentukan posisi / letak

geografis, batas, luas, dan bentuk geometris bidang tanah untuk keperluan

pendaftaran hak atas tanah, dalam hal ini untuk penyelenggaraan pendaftaran tanah

sistematik. Pengukuran untuk keperluan pendaftaran hak atas tanah dilaksanakan

untuk pembuatan peta pendaftaran, peta bidang tanah, lampiran sertipikat (berupa

surat ukur), dan terutama untuk mendapatkan data ukuran bidang tanah sebagai

unsur pengembalian batas apabila karena suatu hal batas-batas bidang tanah

tersebut hilang.

Beberapa tahapan yang perlu dilakukan untuk pengukuran bidang tanah dalam

penyelenggaraan pendaftaran tanah sistematik adalah sebagai berikut:

30
1. Persiapan pengukuran ;

2. Penunjukan batas bidang tanah

a. Menghadirkan pemohon/pemilik bidang tanah dan pihak-pihak yang berbatasan di

lokasi bidang tanah yang akan diukur. Kewajiban ini dilaksanakan oleh Satuan

Tugas Yuridis.

b. Jika salah satu pihak tidak dapat hadir atau berhalangan, maka sebagai

penggantinya dapat menghadirkan Kuasanya. Kuasa dari pihak yang berhalangan

dapat diterima dan sah secara hukum apabila dinyatakan dengan Surat Kuasa

tertulis. Surat kuasa yang dimaksud dilampirkan bersama dengan gambar

ukurnya.

c. Berikan kesempatan kepada pihak-pihak yang hadir untuk menunjukkan batas-

batas bidang tanahnya untuk memenuhi azas contradictoire delemitatie.

d. Jika batas bidang tanah yang ditunjukkan oleh salah satu pihak saja, maka batas

bidang tanah tersebut merupakan batas sementara sesuai ketentuan sebagaimana

dimaksud pada  ayat 1 pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997.

3. Penetapan batas bidang tanah

a. Tetapkanlah batas bidang tanah yang dimohon berdasarkan hasil penunjukan

batas oleh pihak yang berkepentingan.

b. Untuk pengukuran bidang tanah baru (belum terdaftar), penetapan batas bidang

tanah menjadi mutlak harus dilakukan.

31
c. Penetapan batas dilaksanakan oleh Satgas Ukur atas nama Ketua Panitia

Ajudikasi apabila pengukuran bidang–bidang tanah dilaksanakan oleh pegawai

BPN dalam pendaftaran tanah sistematik, atau

d. Penetapan batas dilaksanakan oleh Satgas Yuridis atas nama Panitia Ajudikasi

apabila pengukuran bidang-bidang tanah dilaksanakan oleh pihak ketiga (swasta)

dalam pendaftaran tanah sistematik.

e. Jika dalam penetapan batas bidang tanah tidak diperoleh kesepakatan antara

pemohon/pemilik bidang tanah yang bersangkutan dengan salah satu pihak yang

berbatasan, maka batas bidang tanah yang bersangkutan dinyatakan sebagai batas

sementara.

f. Hasil Penetapan batas dituangkan dalam risalah Penelitian Data Yuridis dan

Penetapan Batas (Daftar Isian 201), dan dilengkapi tanda tangan

pemohon/pemilik bidang tanah dan para pihak yang berbatasan pada kolom yang

tersedia.

g. Pada setiap bidang yang telah ditetapkan batas-batasnya diberi Nomor Identifikasi

Bidang tanah (NIB)

4. Penempatan/Pemasangan tanda batas.

a. Penempatan tanda-tanda batas termasuk pemeliharaannya, wajib dilakukan oleh

pemohon/pemilik bidang tanah yang bersangkutan.

b. Tanda-tanda batas dipasang pada setiap sudut batas tanah dan, apabila dianggap

perlu dipasang pada titik-titik tertentu sepanjang garis batas bidang tanah

tersebut atas permintaan petugas ukur.

32
5. Pelaksanaan pengukuran bidang tanah.

Pelaksanakan pengukuran bidang tanah mengikuti ketentuan yang terdapat pada

Standard Operasional Prosedur (SOP) pengukuran dan pemetaan, serta sesuai

dengan PP No.24/1997, PMNA/KBPN No.3/1997 beserta petunjuk teknis

pelaksanaannya.

a. Satgas Yuridis cukup mengisi sketsa bidang yang ada pada Daftar Isian 201

yang akan berfungsi sebagai alat kontrol untuk Satgas pengukuran

b. Satgas Yuridis harus bekerja bersama-sama dengan Satgas pengukuran untuk

menghasilkan peta bidang maupun peta pendaftaran, terutama dalam

koordinasi pemberian dan pencantuman Nomor Identifikasi Bidang (NIB),

karena dengan hasil pengukuran dan pemetaan yang baik akan menghasilkan

kualitas pendaftaran tanah yang baik dalam rangka memberikan jaminan

kepastian hukum.

2. 2. 2. Kepastian Hukum Dalam Pengukuran Tanah

Guna menjamin kepastian dibidang penguasaan dan pemilikan tanah faktor

kepastian letak dan batas setiap bidang tanah tidak dapat diabaikan. Oleh karena itu

pengukuran dan pemetaan untuk keperluan penyelenggaraan pendaftaran tanah

merupakan bagian yang penting yang perlu mendapat perhatian yang serius dan

seksama, baik dalam pengumpulan data penguasaan tanah tetapi juga dalam

penyajian data penguasaan/pemilikan tanah dan penyimpanan data tersebut.

33
Perkembangan teknologi pengukuran dan pemetaan, seperti cara penentuan titik

dasar teknis dengan bantuan satelit yang lebih dikenal dengan system Global

Positioning System ( GPS ) dan komputerisasi ditujukan untuk memberikan data

akurat yang berupa data digital dalam rangka percepatan pelayanan kepada

masyarakat.

Kegiatan pendaftaran tanah dimulai dengan pembuatan peta dasar pendaftaran

yang memuat titik-titik dasar teknis dan unsure-unsur geografis seperti sungai,

jalan, jembatan, bangunan dan batas fisik bidang-bidang tanah. Untuk keperluan

pembuatan peta dasar pendaftaran dilakukan tugu batas titik dasar teknik,

pengukuran, pemetaan dan pemeliharaan titik dasar teknik . Yang dimaksud dengan

titik dasar teknik adalah titik yang mempunyai koordinat yang diperoleh dari suatu

pengukuran dan perhitungan dalam suatu system tertentu yang berfungsi sebagai

titik control atau titik ikat untuk keperluan pengukuran dan rekonstruksi batas.

Pengukuran untuk pembuatan peta tersebut daiatas diikatkan dengan titik

dasar teknik nasional sebagai kerangka dasarnya. Jika disuatu daerah tidak ada atau

belum ada titik dasar teknik nasional, maka pelaksanaan pengukuran menggunakan

titik lokal yang bersifatt sementara, yang kemudian harus diikatkan dengan titik

dasar teknik nasional. Hasil kegiatan pengukuran tersebut diatas disebut peta dasar

pendaftaran yang selanjutnya menjadi dasar untuk pembuatan peta pendaftaran.

Untuk memperoleh data fisik yang diperlukan bagi pendaftaran tanah, bidang-

bidang tanah yang akan dipetakan diukur terlebih dahulu setelah ditetapkan letak,

34
batas-batas dan menurut keperluannya ditempatkan tanda-tanda batas disetiap sudut

bidang tanah yang bersangkutan. Penetapan batas-batas bidang tanah tersebut

diusahakan berdasarkan kesepakatan para pihak yang berkepentingan dan

penempatan tanda batas termasuk pemeldang tanah tiharaannya wajib dilakukan

oleh pemegang hak atas tanah yang bersangkutan. Persetujuan penetapan batas

diatas dituangkan dalam Berita Acara yang ditandatangani pemilik tanah dan

tetangga yang berbatasan. Jika dalam penetapan batas batas tidak diperoleh

kesepakatan antara pemegang hak atas tanah dengan pemegang hak atas tanah yang

berbatasan, maka pengukuran bidang tanah tersebut untuk sementara dilakukan

berdasarkan batas-batas yang menurut kenyataanya merupakan batas-batas bidang

tanah yang bersangkutan, seperti tembok, atau tanda lain yang menunjukkan batas

penguasaan tanah oleh orang yang bersangkutan. Apabila ada tanda-tanda semacam

ini, maka persetujuan dari pemegang hak atas tanah yang berbatasan tidak mutlak

diperlukan. Dalam Gambar Ukur hasil pengukuran sementara tersebut dibubuhkan

catatan atau tanda yang menunjukkan bahwa batas-batas sementara hasil

pengukuran sementara dan belum diperolehnya kesepakatan batas atau

ketidakhadiran pemegang hak atas tanah yang berbatasan pada saat pengukuran

tersebut dilaksanakan, dibuat Berita Acara. Bidang-bidang tanah yang sudah

ditetapkan batas-batasnya diukur dan selanjutnya dipetakan dalam peta dasar

intpendaftaran. Yang dimaksud peta pendaftaran adalah peta-peta yang

menggambarkan bidang atau bidang-bidang tanah untuk keperluan pembukuan

35
tanah. Sedang untuk keperluan pendaftran hak bagi bidang-bidang tanah yang sudah

diukur serta dipetakan dalam peta pendaftaran dibuatkan surat ukur.

Surat Ukur menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Pasal 1

menyebutkan bahwa Surat Ukur adalah dokumen yang memuat data fisik suatu

bidang tanah dalam bentuk peta dan uraian. Surat Ukur ini yang nantinya menjadi

salinan lampiran sertipikat.

Dari uraian tersebut diatas dapat dikatakan bahwa untuk menjamin kepastian

hukum hak atas tanah terhadap hasil pengukuran tanah yang dilakukan secara

kadasteral harus meenuhi asas-asas sebagai berikut :

1. Asas Kontradiktur Delimitasi (contradictoire delemitatie)

a. pengukuran batas bidang tanah hanya dapat terlaksana apabila bata-batas

bidang tanah tersebut telah ditetapkan oleh pejabat pemerintah

berdasarkan hasil kesepakatan para pihak dalam penunjukan batas yang

dilakukan oleh pihak pemilik bidang tanah yang bersangkutan bersama

pemilik tanah yang berbatasan. Penetapan yang berdasarkan asas

penunjukan bersama tersebut dituangkan ke dalam suatu Berita Acara.

b. Hasil pengukuran batas bidang tanah digambarkan pada Gambar Ukur,

dengan menuliskan angka-angka ukur, sketsa pengukuran serta kronologi

contradictoire delemitatie jalannya pengukuran termasuk

penandatanganan petugas ukur, pemilik bidang tanah yang bersangkutan

dan tetangga yang berbatasan.

36
c. Bersama-sama dengan Berita Acara, Gambar Ukur tersebut merupakan

bagian yang tidak terpisahkan dan menjadi dokumen bernilai yuridis atau

memiliki kekuatan bukti dalam persidangan di lembaga peradilan

berkaitan bidang-bidang tanah.

2. Asas Publisitas

Dimaksudkan agar pihak-pihak yang berkepentingan mengetahui hasil

pengukuran yang telah dilaksanakan dan untuk memberikan kesempatan

kepada mereka yang dengan itikad baik mengajukan keberatan atas hasil

pengukuran tersebut.

3. Asas Spesialitas

a. Bidang tanah yang telah diukur dan dipetakan secara kadasteral

yang memiliki letak, luas, dan bentuk yang unik diatas permukaan

bumi.

b. Bidang-bidang tersebut diikatkan ke titik-titik dasar teknis yang

merupakan bagian Kerangka Dasar Kadaster Nasional sehingga

apabila sewaktu-waktu tanda-tanda batas bidang tanah dilapangan

dikemudian hari tidak dapat ditemukan bidang tanah yang telah

dipetakan tersebut dapat direkonstruksi kembali dilapangan secara

tepat.

2. 3. Tinjauan Tentang Tanda Batas Hak Atas Tanah

37
Dalam masyarakat adat dikenal adanya tanah ulayat. Didalam masyarakat adat

itu sendiri sebenarnya telah dikenal adanya peratuan tentang pemasangan tanda

batas yang dilakukan disekeliling tanahnya, akan tetapi usaha yang dimaksud dalam

pasal ini tidak dapat dilaksanakan secara sempurna.23

Dalam usaha untuk mencapai kepastian hukum dari hak-hak atas tanah kepada

pemegang hak milik atas tanah perlu diberikan pengetahuan tentang pengertian

akan arti pentingya pemasangan tanda batas, dengan maksud untuk mencegah

adanya sengketa tanah dan untuk mewujudkan pelaksanaan Undang-Undang Pokok

Agraria (UUPA) dengan segala peraturan pelaksanaannya ditengah-tengah

masyarakat untuk mewujudkan program catur tertib pertanahan dalam tata

kehidupan yang sadar akan hukum, akan hak dan kewajiban-kewajiban sebagai

Warga Negara yang baik dalam tata kehidupan berbangsa dan bernegara yang

aman, tertib, damai, sejahtera di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia

berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Tahun 1945.

Catur tertib pertanahan yang merupakan pelaksanaan dari TAP MPR RI

Nomor IV/MPR/1978 yang dikukuhkan Keputusan Presiden RI Nomor 7 Tahun

1979 tetang Catur Tertib Pertanahan yaitu :

1. Tertib hukum pertanahan, yaitu tercapainya suatu kondisi yang sadar akan
hukum dikalangan masyarakat yang mengetahui hak-hak dan kewajiban
dalam hal penggunaan tanah, tertibnya persepsi yang sama tentang hukum
pertanahan baik dikalangan aparatur pertanahan, penegak hukum maupun
masyarakat luas.

23
Soerojo Wigjodipoero, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, HajiMas Agung, 1994 hal. 199.

38
2. Tertib administrasi pertanahan, yaitu terselenggaranya system administrasi
pertanahan yang lengkap dan rapi, semua bidang tanah diatur terdaftar,
warkah-warkahnya mudah ditemukan apabila diperlukan, aman dan
mudah dipantau, sehingga kemungkinan tumpang tindih kepemilikan
dapat dihindari.
3. Tertib penggunaan tanah yaitu terselenggaranya proses penggunaan tanah
berencana, sehingga setiap bidang tanah dapat memberikan manfaat yang
optimal dan lestari serta diusahakan/digarap secara seimbang dengan tetap
menghormati hak-hak masyarakat secara proporsional.
4. Tertib pemeliharaan tanah dan lingkungan hidup, yaitu terselenggaranya
system pemanfaatan tanah yang mmperhatikan dan melaksanakan upaya
pencegahan kerusakan tanah, peningkatan kesuburan tanah serta menjaga
kelestarian sumber daya alam dan lingkungan.

Dengan memperhatikan urian diatas maka untuk memberikan kepastian obyek

( tanah ) sebagaimana sasaran yang ingin dicapai di bidang pertanahan dalam upaya

pelaksanaan Catur Tertib Pertanahan terutama tertib pertama dan kedua, Pemerintah

dengan segala kemampua berusaha membuat berbagai peraturn perundangan untuk

mengatasi berbagai permasalahan tersebut.

Adapun peraturan tersebut telah diwujudkan dalam UUPA dengan sgal

peraturn pelaksanaannya, adapun pemasalahan yang sering muncul dan terjadi

dibidang pertanahan diawali dengan hal yang sangat sederhana yaitu mengenai data

fisik tanahnya bagi kepemilikan tanah oleh pemilik tanah. Sebagaimana yang

diamanatkan dalam Pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997.

Sehingga terjadi sengketa batas tanah padahal demikian dapat diatasi dengan

pemasangan tanda batas atas sebidang tanah oleh masing-masing pemilik tanah

yang berbatasan, sehingga dengan demikian dapat dengan jelas memastikan obyek

(tanah) yang dikuasainya atau dimilikinya.

2. 3. 1 Bentuk Tanda Batas serta Tata Cara Pemasangannya

39
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor
3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24
Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah Pasal 20 sampai dengan Pasal 23 tentang
Penetapan dan Pemasangan Tanda Batas Bidang Tanah telah ditetapkan sebagai
berikut :

Pasal 20

(1) Dalam hal terjadi sengketa mengenai batas bidang-bidang tanah yang
berbatasan, Panitia Ajudikasi dalam pendaftaran tanah secara sistematik atau
Kepala Kantor Pertanahan/petugas pengukuran yang ditunjuk dalam
pendaftaran tanah secara sporadik berusaha menyelesaikannya secara damai
melalui musyawarah antara pemegang hak dan pemegang hak atas tanah yang
berbatasan, yang, apabila berhasil, penetapan batas yang dihasilkannya
dituangkan dalam Risalah Penyelesaian Sengketa Batas (daftar isian 200).

(2) Apabila sampai saat akan dilakukannya penetapan batas dan pengukuran bidang
tanah usaha penyelesaian secara damai melalui musyawarah tidak berhasil,
maka ditetapkan batas sementara berdasarkan batas-batas yang menurut
kenyataannya merupakan batas-batas bidang tanah yang bersangkutan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor
24 Tahun 1997, dan kepada pihak yang merasa berkeberatan, diberitahukan
secara tertulis untuk mengajukan gugatan ke Pengadilan.
(3) Hal dilakukannya penetapan dan pengukuran batas sementara sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dicantumkan di dalam daftar isian 201 dan dicatat di
gambar ukur.
(4) Apabila sengketa yang bersangkutan diajukan ke pengadilan dan oleh
pengadilan dikeluarkan putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap
mengenai tanah dimaksud yang dilengkapi Berita Acara Eksekusi atau apabila
dicapai perdamaian antara para pihak sebelum jangka waktu pengumuman
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun
1997 berakhir, maka catatan mengenai batas sementara pada daftar isian 201
dan gambar ukur dihapus dengan cara mencoret dengan tinta hitam.
(5) Mengenai bidang-bidang tanah yang menurut bukti-bukti penguasaan dapat
didaftar melalui pengakuan hak sesuai ketentuan dalam Pasal 24 ayat (2)
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 atau dapat diberikan dengan
sesuatu hak kepada perorangan atau badan hukum, penetapan batasnya
dilakukan dengan mengecualikan bantaran sungai dan tanah yang direncanakan
untuk jalan sesuai Rencana Detail Tata Ruang Wilayah yang bersangkutan.
(6) Dalam pendaftaran tanah secara sistematik tanah negara yang akan diberikan
hak kepada perorangan atau badan hukum dan sudah diukur sebelum wilayah

40
desa/kelurahan ditetapkan sebagai lokasi pendaftaran tanah secara sistematik
akan tetapi belum dibuat surat ukurnya, ditetapkan kembali batasnya oleh
Panitia Ajudikasi.

Pasal 21

(1) Tanda-tanda batas dipasang pada setiap sudut batas tanah dan, apabila dianggap
perlu oleh petugas yang melaksanakan pengukuran juga pada titik-titik tertentu
sepanjang garis batas bidang tanah tersebut.
(2) Untuk sudut-sudut batas yang sudah jelas letaknya karena ditandai oleh benda-
benda yang terpasang secara tetap seperti pagar beton, pagar tembok atau
tugu/patok penguat pagar kawat, tidak harus dipasang tanda batas.

Pasal 22

(1) Untuk bidang tanah yang luasnya kurang dari 10 ha, dipergunakan tanda-tanda
batas sebagai berikut:
a. pipa besi atau batang besi, panjang sekurang-kurangnya 100 cm dan bergaris
tengah sekurang-kurangnya 5 cm, dimasukkan ke dalam tanah sepanjang 80
cm, sedang selebihnya 20 cm diberi tutup dan dicat merah, atau
b. pipa paralon yang diisi dengan beton (pasir campur kerikil dan semen)
panjang sekurang-kurangnya 100 cm dan bergaris tengah sekurang-
kurangnya 5 cm, dimasukkan ke dalam tanah sepanjang 80 cm, sedang
selebihnya 20 cm dicat merah, atau
c. kayu besi, bengkirai, jati dan kayu lainnya yang kuat dengan panjang
sekurangkurangnya 100 cm lebar kayu sekurang-kurangnya 7,5 cm,
dimasukkan ke dalam tanah sepanjang 80 cm, sedang selebihnya 20 cm di
permukaan tanah di cat merah, dengan ketentuan bahwa untuk di daerah
rawa panjangnya kayu tersebut sekurang-kurangnya 1,5 m dan lebar
sekurang-kurangnya 10 cm, yang 1 m dimasukkan ke dalam tanah, sedang
yang muncul di permukaan tanah dicat merah.
Pada kira-kira 0,2 m dari ujung bawah terlebih dulu dipasang dua potong
kayu sejenis dengan ukuran sekurang-kurangnya 0,05 x 0,05 x 0,70 m yang
merupakan salib; atau
d. tugu dari batu bata atau batako yang dilapis dengan semen yang besarnya
sekurang-kurangnya 0,20 m x 0,20 m dan tinggi sekurang-kurangnya 0,40
m, yang setengahnya dimasukkan ke dalam tanah, atau
e. tugu dari beton, batu kali atau granit dipahat sekurang- kurangnya sebesar
0,10 m persegi dan panjang 0,50 m, yang 0,40 m dimasukkan ke dalam
tanah, dengan ketentuan bahwa apabila tanda batas itu terbuat dari beton di
tengah-tengahnya dipasang paku atau besi.
(2) Untuk bidang tanah yang luasnya 10 ha atau lebih dipergunakan tanda-tanda
batas sebagai berikut :

41
a. pipa besi panjang sekurang-kurangnya 1,5 m bergaris tengah sekurang-
kurangnya 10 cm, dimasukkan ke dalam tanah sepanjang 1 m, sedang
kelebihnya diberi tutup besi dan dicat merah, atau
b. besi balok dengan panjang sekurang-kurangnya 1,5 m dan lebar
kekurangkurangnya 10 cm, dimasukkan ke dalam tanah sepanjang 1 m, pada
bagian yang muncul di atas tanah dicat merah, atau
c. kayu besi, bengkirai, jati dan kayu lainnya yang kuat dengan panjang
kekurangkurangnya 1,5 m lebar kayu sekurang-kurangnya 10 cm,
dimasukkan ke dalam tanah sepanjang 1 m, pada kira-kira 20 cm dari ujung
bawah dipasang 2 potong kayu sejenis yang merupakan salib , dengan
ukuran sekurang- kurangnya 0,05 x 0,05 x 0,7m;Pada bagian atas yang
muncul di atas tanah dicat merah; atau d. tugu dari batu bata atau batako
yang dilapis dengan semen atau beton yang besarnya sekurang-kurangnya
0,30 m x 0,30 m dari tinggi sekurang-kurangnya 0,60 m, dan berdiri di atas
batu dasar yang dimasukkan ke dalam tanah sekurangkurangnya berukuran
0,70 x 0,70 x 0,40m, atau
e. pipa paralon yang diisi dengan beton dengan panjang sekurang-kurangnya
1,5 m dan diameter sekurang-kurangnya 10 cm, yang dimasukkan ke dalam
tanah sepanjang 1 m, dan yang muncul di atas tanah dicat merah.
(3) Penyimpangan dari bentuk dan ukuran tanda-tanda batas tanah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) untuk menyesuaikan dengan keadaan setempat
ditentukan dengan keputusan Kepala Kantor Pertanahan.

Pasal 23

(1) Setiap bidang tanah yang sudah ditetapkan batas-batasnya baik dalam
pendaftaran tanah secara sistematik maupun sporadik diberi Nomor Identifikasi
Bidang Tanah (NIB) yang dicantumkan dalam Risalah Penelitian Data Yuridis
dan Penetapan Batas (daftar isian 201 ).
(2) NIB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari 13 digit, yaitu 8 digit
pertama merupakan kode propinsi, kabupaten, kecamatan dan kelurahan/desa
tempat bidang tanah terletak, dan 5 digit terakhir merupakan nomor bidang
tanah.
(3) Nomor bidang tanah dalam pendaftaran tanah secara sistematik merupakan
nomor urut per desa/kelurahan.
(4) Nomor bidang tanah dalam pendaftaran tanah secara sporadik merupakan
nomor yang diberikan secara berurutan sesuai dengan urutan penyelesaian
penetapan batas.
(5) Dalam hal bidang tanah terletak di lebih dari 1 (satu) desa, maka masing-
masing bagian dari bidang tanah yang terletak di desa yang berbeda tersebut
diberi NIB tersendiri.
(6) NIB merupakan nomor referensi yang digunakan dalam setiap tahap kegiatan
pendaftaran tanah.
(7) Bidang tanah yang telah mempunyai NIB dibukukan dalam daftar tanah.

42
Sesuai dengan yang diterangkan pada pasal-pasal diatas sejauh mengenai

tanda batas yakni bentuk serta cara pemasangan tanda batas maka hal tersebut

sangatlah penting untuk diketahui oleh para pemilik hak atas tanah tentang

pengetahuan mengenai bahan, bentuk dan ukuran serta tata cara pemasangan tanda

batas tanah yang pada akhirnya akan berpengaruh pada kekuatan hukum terhadap

tanah yang dikuasainya, karena penyimpangan terhadap aturan yang telah

ditetapkan pada pasal-pasal tersebut akan berakibat hukum.

Penyimpangan dari penggunaan bahan, bentuk dan ukuran serta tata cara

pemasangannya hanya bias dilakukan apabila ada Keputusan Kepala Kantor

Pertanahan dimaksud, dengan demikian penggunaan bahan, bentuk dan ukuran

yang tidak sesuai dengan ketentuan tersebut diatas akan membawa akibat lemahnya

pembuktian apabila dikemudian hari terjadi sengketa terhadap batas-batas hak atas

tanah.

Pada kenyataan di lapangan dapat dilihat bahwa masyarakat dalam hal

penggunaan bahan, bentuk dan ukuran tanda batas tanah banyak diabaikan dan

bahkan pemasangan tanda batas/patok batas pun masih banyak yang tidak

melakukannya. Oleh karena itu perlu untuk dilakukan sosialisasi yang menyeluruh

mengenai bahan, bentuk dan ukuran serta tata cara pemasangan tanda batas ini oleh

Badan Pertanahan Nasional sehingga masyarakat dapat menyadari betapa

pentingnya pemasangan tanda batas/patok batas bagi setiap bidang tanah oleh

pemegang hak/pemilik tanah.

43
Selain dari pada itu bagi para pemegang hak atas tanah yang mengajukan

permohonan pengukuran tanah untuk mendapatkan sertipikat hak atas tanah ke

Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya setempat, salah satu persyaratannya

adalah harus telah dipasangnya tanda batas tanah yang kemudian dituangkan dalam

Berita Acara Pemasangan Tanda Batas Tanah yang telah diketahui dan mendapat

persetujuan dari para tetangga yang berbatasan dan di ketahui oleh Kepala

Desa/Kelurahan setempat. Apabila persyaratan pemsangan tanda batas tersebut

belum dipenuhi oleh pemohon/pemilik tanah maka pengukuran atas bidang tanah

tersebut maka tidak dapat dilaksanakan sampai tanda batas tersebut telah terpasang

pada setiap sudut batas tanah.

Diikutsertakannya para pemilik tanah yang berbatasan dalam hal persetujuan

pemasangan tanda batas, adalah untuk menjaga agar tidak terjadi sengketa batas

atas tanah dikemudian hari. Dan bagi pemilik bidang tanah itu sendiri akan dapat

memperoleh suatu kepastian mengenai letak, luas dan batas tanah yang sebenarnya

setelah diadakannya pengukuran secara kadasteral oleh petugas ukur Kantor

Pertanahan setempat.

Selain dari persyaratan tersebut diatas apabila nantinya hasil pengukuran oleh

petugas ukur didapat hasil luas kurang dari yang dimohon, maka permohonan

tersebut wajib dilengkapi dengan surat pernyataan beda luas yang isinya bahwa

pemohon menerima hasil pengukuran tersebut. Dan sebaliknya apabila ternyata

hasil pengukuran didapat luas yang melebihi luas permohonan, maka pemohonan

melengkapi surat pernyataan kelebihan luas yang menyatakan bahwa terhadap

44
kelebihan luas hasil pengukuran tersebut telah mendapat persetujuan dari para

teangga yang berbatasan serta tidak keberatan atas permohonan tersebut untuk

diproses lebih lanjut dan tentunya diketahui oleh Kepala Desa/Kelurahan setempat.

Dengan demikian hal tersebut bertujuan agar tidak ada permasalahan dikemudian

hari mengenai batas tanah, mengingat pemasangan tanda batas tersebut telah

memenuhi ketentuan formalnya.

Sehubungan dengan hal tersebut diatas maka dengan adanya ketentuan

Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3

Tahun 1997 pemohon berkewajiban melaksanakan pemasangan tanda batas atas

bidang tanah miliknya serta pemeliharaan atas tanda batas tersebut. Hal mana

disamping menunjang pelaksanaan peraturan perundangan yang mengatur, juga

untuk memudahkan pemegang hak atas tanah memperoleh tanda bukti hak beupa

sertipikat tanah.

2. 3. 2 Kewajiban Pemilik Tanah Memasang Tanda Batas sebagai Perlindungan

Atas Haknya

Karena kewajiban pemilik tanah untuk memasang tanda batas nantinya akan

berimplikasi pada kepastian hukum dan perlindungan hak atas tanahnya, maka

disini peranan dari aturan-aturan hukum yang telah diberlakukan dalam masyarakat

menjadi sangatlah penting.

Menurut Soerjono Soekanto, bahwa ada lima faktor yang mempengauhi

berlakunya suatu hukum yaitu :

1. Faktor Hukumnya sendiri ( undang-undang );

45
2. Faktor Penegak Hukumnya;

3. Faktor Sarana/Fasilitas pendukung pelaksanaan hukum;

4. Masyarakat dimana hukum itu berlaku/ditetapkan;

5. Faktor Kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa didasarkan

pada karsa pergaulan hidup.24

Dengan mengacu pada pendapat tersebut diatas terutama pada faktor 4 dan 5,

dimana pada kenyataannya pemegang hak milik atas tanah adalah pemegang hak

milik yang bersifat heterogen. Dimana terdiri dari berbagai suku dan kebudayaan

yang berbeda-beda, yang tentunya dengan watak dan perilaku yang berbeda pula,

yang hal ini akan mempengaruhi penyerapan penerapan hukum yang berlaku.

Selanjutnya untuk berhasilnya penerapan suatu aturan hukum diperlukan

adanya kesadaran hukum serta kepatuhan terhadap hukum itu sendiri. Jadi

kesadaran hukum sebenarnya merupakan kesadaran atau nilai-nilai yang terdapat

didalam diri manusia tentang hukum yang ada maupun tentang hukum yang

diharapkan akan ada.

Oleh karena itu diperlukan adanya pemahaman tentang indkator-indikator

mari masalah tersebut diatas. Adapun indicator-indikator dari masalah hukum

tersebut adalah :

a. Pengetahuan tentang peraturan-peraturan hukum (Law awareness)

b. Peraturan-peraturan tentang isi-isi peraturan hukum (Law acquaintance)

c. Sikap terhadap peraturan-peraturan hukum (Legal attitude)

24
Soerjono Soekanto, Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Rajawali, Jakarta, Hal 19.

46
d. Pola perilaku hukum (Legal behavior) 25

Hal yang disebut diatas ini belumlah cukup, melainkan juga masih diperlukan

adanya kepatuhan terhadap hukum itu sendiri.

Menurut Bierstedt dasar-dasar kepatuhan terhadap hukum adalah :

a. Indoctrination

b. Habituation

c. Utility

d. Group identification 26

Yang masing masing dapat diuraikan sebagai berikut :

a. Indoctrination

Sebab pertama mengapa warga masyarakat mematuhi kaedah-kaedah

adalah karena dia diberi indoktrinasi untuk berbuat demikian. Sejak kecil

manusia telah didik agar mematuhi kaedah-kaedah yang berlaku dalam

masyrakat, sebagaimana halnya dengan unsure-unsur kebudayaan lainnya, maka

kaedah-kaedah telah ada sewaktu seseorang dilahirkan, dan semula manusia

menerima secara tidak sadar. Melalui proses sosialisasi manusia dididik untuk

mengenal mengetahui serta mematuhi kaedah-kaedah tersebut.

b. Habituation

Oleh karena sejak kecil mengalami proses sosialisasi, maka lama

kelamaan menjadi suatu kebiasaan untuk mematuhi kaedah-kaedah yang

berlaku. Memang pada mulanya adalah sukar sekali untuk mematuhi kaedah-

25
Soerjono Soekanto dan Soleman B Taneko, Hukum Adat Indonesia, Rajawali, Jakarta, 1986, hal 348.
26
Ibid, hal 351.

47
kaedah tadi yang seolah-olah mengekang kebebasan, akan tetapi apabila hal ini

setiap hari ditemui maka lama kelamaan menjadi suatu kebiasaan untuk

mematuhinya terutama apabila manusia sudah mengulangi perbuatannya dengan

bentk dan cara yang sama.

c. Utility

Pada dasarnya manusia mempunyai suatu kecenderungan untuk hidup

pantas dan teratur, akan tetapi apa yang pantas dan teratur untuk seseorang

belum tentu pantas dan teratur bagi orang lain. Oleh karena itu diperlukan suatu

patokan tentang kepantasan dan keteraturan tersebut. Patokan-patokan ini

merupakan pedoman atau tekanan tentang tingkah laku dan ini dinamakan

kaedah.

Dengan demikian maka salah satu faktor yang menyebabkan orang taat

pada kaedah-kaedah adalah karena kegunaan dari kaedah-kaedah tersebut.

Manusia menadari kalau ia hendak hidup pantas dan teratur maka diperlukan

kaedah-kaedah.

d. Group Identification

Salah satu sebab mengapa seseorang patuh pada kaedah-kaedah adalah

karena kepatuha tersebut merupakan salah satu sarana untuk mengadakan

identifikasi dengan kelompok. Seseorang mematuhi kaedah-kaedah yang

berlaku dalam kelompoknya bukan karena ia menganggap kelompoknya lebih

dominan dari kelompok lainnya.

48
Berbicara masalah kesadaran hukum serta hubungannya dengan kepatuhan

hukum merupakan dua variable yang berkorelasi positif. Kenyataan yang sulit

untuk merumuskan suatu persepsi tentang kesadaran hukum menjadi kendala utama

pemahaman dan pelaksanaan hukum ditengah masyarakat. Pengertian kesadaran

hukum didalam kamus tercantum tidak kurang dari lima arti (menurut A Marriam-

Webster Dictionary), yaitu :

1. Awareness esp. of something within oneself, also, the state or fact of being
conscious of an external object, state of fact.
2. The state of being characterized by sensation, emotion,volition, and thought,
mind.
3. The totality of conscious statcs of an individual.
4. The normal state of conscious life.
5. The upper level of mental life as constrasted with unconscious process.

Jadi kesadaran sebenarnya menunjuk pada independensi mental dan

intermensi mental masing-masing berorientasi pada “aku”nya manusia dan pada

“kami”nya. 27

Sedangkan kepastian hukum menyangkut proses internalisasi (internalization)

dari hukum tersebut. Tentang artinya Pospisil menyatakan ( L.Pospisil )

“A law is internalizaed when the majority of the group considers it to be binding, as


when it stands for the only proper behavior in a given situation. Ifsuch a law is
broken, the culprit has a bad conscience or at last feels that he has done wrong that
hr has behaved improperly, he would not condone such behavior in other member
of the society. Conformity to such law is not usually effected by external pressure it
is produced by an internal mechanism which we may call conscience in some
culture and fear of shame in other”

Proses internalisasi dimulai pada saat seseorang dihadapkan pada pola

perilaku baru sebagaimana yang diharapkan oleh, pada situasi tertentu, awal dari

proses inilah yang biasanya disebut sebagai proses belajar, dimana terjadi
27
Soejono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, Rajawali, Jakarta, 1986. Hal 342-343

49
perubahan pada diri seseorang. Yang esensial pada proses ini adalah adanya

penguatan terhadap respon-respon yang diinginkanmelalui imbalan atau hilangnya

respon-respon terdahulu karena tidak adanya penguatan atau mungkin oleh adanya

sanksi yang negative terhadap perilaku demikian. Jadi hanya respon-respon yang

dipelajari yang memperoleh imbangan secara berulang-ulang. Sedangkan respon-

respon yang kehilangan kekuatan penunjangnya lama kelamaan hilang.28

Kesadaran hukum sebenarnya merupakan nilai-nilai yang pada khususnya

menyangkut bidang politik, ekonomi, social hukum dan lain sebagainya. Hukum

pada hakekatnya merupakan konkretisasi dari suatu system nilai-nilai, khususnya

hukum suatu masyarakat. Oleh karena itu maka dapatlah dikatakan bahwa

kesadaran hukum sebenarnya merupakan inti daripada system budaya suatu

masyarakat, sehingga ada yang berpendapat bahwa system budaya merupakan suatu

system normative kesadaran hukum itulah yang menimbulkan berbagai system nor-

ma-norma, oleh karena itu kesadaran hukum adalah hasrat yang kuat untuk

senantiasa hidup secara teratur.

Tanggal 24 Septeber 1960 merupakan tanggal yang sangat penting dalam

kehidupanhukum di Indonesia. Pada tanggal tersebut telah diundangkan dan mulai

berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-

Pokok Agraria, lebih terkenal dengan Undang-Undang Pokok Agraria atau

disingkat dengan UUPA.

Undang-undang yang meletakkan dasar-dasar pokok dari pada hukum Agraria

Nasional yang baru ini memeuat ketentuan-ketentuan baru yang penting sekali. Isi
28
Ibid hal 353-354

50
dari pada UUPA tersebut patut diketahui oleh setiap orang yang berada di negeri

ini. Bukan saja para sarjana hukum, setiap pelaksana hukum, setiap pejabat

pemerintahan, bahkan rakyat jelata dalam kehidupan sehari-hari akan berhadapan

dengan peraturan baru tentang hukum agrarian ini. Mengingat bahwa Negara

Republik Indonesia merupakan suatu Negara agraris, dimana suasana kehidupan

rakyat terbanyak(tak kurang dari 70% menurut perkiraan) termasuk

perekonomiannya terutama masih bercorak agraris, maka apa yang dikatakan disini

tidak berlebih-lebihan. 29

Sebagai anggota masyarakat dan warga Negara yang baik sudah seharusnya

berkewajban memenuhi segala peraturan perundangan yang berlaku, agar peraturan

perundangan itu dapat terlaksana. Dengan demikian hak dari pemegang hak milik

atas tanah itu dapat terjamin kepastian hukumnya.

Penempatan tanda batas oleh setiap pemilik hak atas tanah tidak hanya

berlaku baik bagi pemegang hak yang belum terdaftar, tetapi juga berlaku bagi hak-

hak yang telah didaftarkan namun belum ada gambar situasinya/gambar ukurnya

yang sudah tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya seperti tanda batas tidak

dipasang sehingga batas-batas tanah menjadi tidak jelas. Oleh karena itu Peraturan

Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 telah menetapkan agr setiaap pemegang hak atas

tanah wajib menempatkan atau memasang tanda-tanda batas dan memeliharanya.

Hal ini dimaksudkan agar apabila terjadi sengketa hak maka petugas ukur

dilapangan dapat dengan mudah memperoleh data fisik yang diperlukan untuk

29
Gouw Giok Siong dan Soekahar-Badwi, Tafsiran Undang-Undang Pokok Agraria.PT Kinta, Jakarta,
1963, hal 5.

51
pendaftaran hak tersebut atau dalam rangka pengembalianbatas tanah, dengan

demikian maka posisi letak tanah atau bidang tanah dimaksud dapat diketahui.

Dalam menetapkan batas bidang tanah dilakukan berdasarkan atas

kesepakatan para pemegang hak yang berbaasan oleh karena itu pada saat

pengukuran dilapangan para pihak yang berbatasan harus turut hadir sehingga

semua dapat mengetahui batas-batas tanahnya.

Mengingat pentingnya penempatan tanda batas maka apabila ada pihak yang

tidak dapat hadir pada saat pengukuran maka dia harus menguasakan kepada

seseorang yang mengerti batasnya dengan kuasa tertulis, sebab pada akhirnya para

pihak yang berbatasan tersebut akan menandatangani Berita Acara Penetapan Batas.

Di dalam Pasal 17 ayat (3) Pemeraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997

menetapkan bahwa penempatan tanda-tanda batas termasuk pemeliharaannya wajib

dilakukan oleh pemegang hak yang bersangkutan.30

Dengan merujuk pada pasal ini maka jelaslah bahwa setiap orang yang

mempunyai hak atas tanah diwajibkan menempatkan dan memelihara tanda-tanda

batas atas tanahnya, hal ini dapat dimaklumi karena tanda batas berfungsi antara

lain untuk mencegah terjadinya perselisihan dikemudian hari, menentukan luas hak

atas tanah, penunjuk letak posisi tanah, menunjuk bentuk sutasi tanah.

Pelaksanaan penempatan tanda batas dipasang pada setiap sudut batas bidang

tanah dan apabila dianggap perlu oleh petugas yang melakukan pengukuran tanah

dapat juga memasang tanda batas pada titik-titik tertentu sepanjang garis batas

bidang tanah tersebut, terutama kalau garis batas/bentuk tanahnya berkelok-kelok,


30
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, Tentang Pendaftaran Tanah, Jayatama, 1997, hal 4

52
untuk sudut batas yang dirasa sudah jelas letaknya karena berdiri benda-benda yang

terpasang secara tetap seperti pagar beton, pagar tembok atau tugu/patok penguat,

pagar kawat dan sebagainya tidak perlu dipasang tanda batas, karena benda-benda

tersebut yang oleh peraturan perundangan dianggap sebagai tanda batas yang sah.

2. 3. 3 Akibat Hukum Yang Timbul Atas Tidak Dipenuhinya Kewajiban Memasang

Tanda Batas

Pembangunan yang digalakkan oleh pemerintah maupun yang dlaksanakan

oleh masyarakat membawa konsekuensi meningkatnya kebutuhan akan tanah, yang

akhirnya kebutuhan akan tanah semakin sempit dan terbatas. Oleh karena semakin

terbatasnya tanah, maka harga tanah pun semakin meningkat dengan kata lain tanah

mempunyai nilai ekonomis dan strategis. Hal demikian itu dapatlah dipahami bukan

hanya terjadi dikota-kota besar saja tetapi juga sampai ke desa-desa, oleh karena itu

ada sementara orang yang berpendapat bahwa memiliki tanah sama dengan

investasi untuk masa yang akan datang.

Dengan demikian tanah mempunyai nilai ekonomis dan strategis bagi

kehidupan masyarakat akan tetapi dalam kenyataannya belum semua masyarakat

menyadari betapa pentingnya merawat dan memelihara tanah-tanah yang

dimilikinya, hal ini terbukti adanya peningkatan permasalahan tentang batas tanah

dilapangan. Dan kelalaian dalam memasang tanda batas akan mengakibatkan

terjadinya sengketa batas antara pemegang hak atas tanah dengan pemegang hk ats

tanah lain yang berbatasan sebagi akibat tidak adanya batas yang jelas dan benar.

53
Hal ini akan memakan waktu dan biaya bagi pemegang hak apabila akan

mengembalikan batas hak dikemudian hari sebagai akibat tidak adanya batas yang

jelas dan benar. Dan untuk menata kembali tanda-tanda batas guna menyelesaikan

masalah-masalah tersebut diatas tidaklah dapat dilakukan sendiri oleh pemegang

hak, tetapi harus melalui proses mengajukan permohonan pengembalian batas ke

Kantor Pertanahan setempat dan untuk proses pengembalian batas tanah tersebut

melalui tahapan pekerjaan yang memakan waktu dan tentunya biaya, sebagaimana

yang telah diatur dalam Pasal 18 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun

1997.

Penetapan batas-batas bidang tanah yang sudah dipunyai dengan suatu hak

yang belum terdaftar atau sudah terdaftar tetapi belum ada surat ukur/gambar

situasinya atau surat ukur/gambar situasi yang ada tidak sesuai lagi dengan keadaan

yang sebenarnya dilakukan oleh Panitia Ajudikasi dalam pendaftaran tanah secara

sistematik atau oleh Kepala Kantor Pertanahan dalam pendaftaran tanah secara

sporadic, berdasarkan penunjukan batas oleh pemegang hak atas tanah yang

bersangkutan dan sedapat mungkin disetujui oleh para pemegang hak atas tanah

berbatasan.31

Tetapi apabila pemegang hak atas tanah yang berbatasan tidak menyetujui

tanda batas dimaksud karena ternyata luas tanahnya tidak sesuai lagi dengan bukti

hak yang ada padanya, maka pengukuran untuk mengembalikan tanda batas

tersebut menjadi semakin rumint, karena para pihak harus menyelesaikan melalui

gugatan ke Pengadilan Negeri dan ini akan memakan waktu yang lama dan juga
31
Ibid, hal 11

54
biaya. Memerlukan waktu yang lama karena harus menunggu keputusan dari

Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum, selain itu keputusan

Pengadilan tersebut akan membawa konsekuensi di bidang administrasi pertanahan,

sebab baik sertipikat, surat ukur maupun buku tanah yang ada di Kantor Pertanahan

harus disesuaikan dengan keputusan dari pengadilan.

Selain akibat hukum tersebut diatas masih ada lagi akibat hukum yang dirasa

fatal, yaitu apabila pihak yang mengabaikan pemasangan tanda batas hak atas tanah

setelah 5 tahun sejak dikeluarkannya sertipikat kepada para pemegang hak yang

berbatasan baru timbl sengketa tentang batas-batas tanah, maka kedudukan hak

yang tidak mempunyai tanda batas akan menjadi lemah dalam hal pembuktian

maupun dalam gugatan, hal ini dapat dilihat di dalam Pasal 32 ayat (2) Peraturan

Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 yang menetapkan bahwa :

Dalam hak atas suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertipikat secara sah atas

nama orang atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut denupun tgan itikad

baik dan secara nyata menguasainya, maka pihak lain yang merasa mempunyi hak

atas tanah itu tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan hak tersebut apabila dalam

waktu 5 tahun sejak diterbitkannya sertipikat hak itu tidak mengajukan keberatan

secara tertulis kepada pemegang sertipikat dan Kepala Kantor Pertanahan yang

bersangkutan ataupun tidak mengajukan gugatan ke pengadilan mengenai

penguasan tanah atau penerbitan sertipikat.32

32
Ibid, hal 20.

55
Dari ketentuan tersebut maka seseorang yang tidak memasang tanda batas dan

tidak memeliharanya akan membawa akibat hukum lemahnya kedudukan

pemegang hak dihadapan hukum atau dalam hal pembuktian di Pengadilan.

BAB III

METODE PENELITIAN

Penelitian merupakan salah satu cara yang tepat untuk memecahkan masalah.

Selain itu penelitian juga dapat digunakan untuk menemukan, mengembangkan dan

menguji kebenaran. Dilaksanakan untuk mengumpulkan data guna memperoleh

pemecahan masalah atau mendapatkan jawaban atas pokok-pokok permasalahan

yang dirumuskan dalam bab I Pendahuluan, sehingga diperlukan rencana yang

sistematis, metodelogi merupakan suatu logika yang menjadi dasar suatu penelitian

ilmiah. Oleh karenanya pada saat melakukan penelitian seseorang harus

memperhatikan ilmu pengetahuan yang menjadi induknya.33

Dalam suatu penulisan ilmiah atau tesis agar mempunyai nilai ilmiah, maka

perlu diperhatikan syarat syarat metode ilmiah. Oleh karena penelitian merupakan

suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang

bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistimatis, metodologis dan

33
Ronny Hanintijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurumetri, (Jakarta: Ghalia Indonesia,
1998), halaman 9

56
konsisten melalui proses penelitian tersebut perlu diadakan analisis dan konstruksi

terhadap data yang telah dikumpulkan dan diolah.34

Penelitian merupakan suatu proses yang terdiri dari suatu rangkaian langkah-

langkah secara terencana dan sistematik untuk memperoleh pemecahan suatu

permasalahan atau mendapatkan suatu jawaban atas suatu pertanyaan tertentu.

Langkah-langkah yang satu dengan yang lain harus sesuai dan saling mendukung

agar penelitian yang dilakukan itu mempunya nilai ilmiah dan menghasilkan

kesimpulan yang tidak diragukan lagi.

Soerjono Soekanto, mendefinisikan penelitian sebagai suatu kegiatan ilmiah

yang berkaitan dengan analisis dan konstruksi yang dilakukan secara metodologi

sistematis dan konsisten. Metodologi berarti sesuai dengan metode atau cara-cara

tertentu. Sistematis adalah berdasarkan suatu sistem, sedangkan konsisten berarti

tidak adanya hal-hal yang bertentangan dalam suatu kerangka tertentu.

Penelitian merupakan suatu usaha untuk menemukan, mengembangkan dan

menguji suatu pengetahuan. Sebelum seseorang melakukan penelitian ia dituntut

untuk dapat menguasai dan menerapkan metodologi dengan baik.

Metodologi berasal dari kata “metodos” dan “logos” yang berarti “jalan ke”.

Seorang peneliti tanpa menggunakan metodologi tidak mungkin mampu untuk

menemukan, merumuskan, menganalisis suatu masalah tertentu untuk

menggunakan suatu kebenaran. Karena metode pada prinsipnya memberikan

34
Soeryono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif-Suatu Tinjauan Singkat. (Jakarta: Rajawali
Press.1985) Hal.1

57
pedoman tentang cara para ilmuwan mempelajari, menganalisis serta memahami

permasalahan yang dihadapinya.

Penelitian merupakan suatu usaha yang dilakukan manusia secara sadar yang

diarahkan untuk mengetahui/mempelajari fakta-fakta.35

Koentjaraningrat menyatakan bahwa metodologi adalah cara atau jalan yang

berhubungan dengan upaya ilmiah maka metode menyangkut cara kerja untuk

memaham objek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan.36

Berdasarkan uraian di atas maka segala upaya yang digunakan untuk

mencapai tujuan penelitian harus dilandasi dengan suatu yang dapat memberikan

arah yang cermat dan syarat-syarat yang ketat sehingga metode penelitian mutlak

diperlukan dalam pelaksanaan suatu pemelitian.

Adapun metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut :

3.1. Metode Pendekatan

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode yuridis normatif,

yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan hanya meneliti bahan pustaka atau

data sekunder, yang mungkin mencakup bahan hukum primer, sekunder, dan tertier.

Tujuan dari penelitian hukum normatif mencakup penelitian asas-asas hukum,

35
M Soeparmoko, Metode Penelitian Praktis, (Jogyakarta: BPFE, 1991), hal 1
36
Koentjaraningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta:Gramedia, 1984), hal 17

58
penelitian terhadap sistematika hukum, penelitian terhadap taraf sinkronisasi

hukum, penelitian sejarah hukum dan penelitian perbandingan hukum.37

3. 2. Pengumpulan Bahan Hukum

Sumber Bahan Hukum, yaitu data yang diperoleh dari bahan kepustakaan

dengan membaca dan mengkaji bahan-bahan kepustakaan. Sumber Bahan Hukum

yang akan diperoleh dalam penelitian ini bersumber dari peraturan perundangan,

buku-buku literatur, dokumen-dokumen yang berkaitan dengan pokok masalah

yang akan diteliti, meliputi :

a. Bahan hukum primer :

- Undang-Undang Dasar 1945.

- Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Undang-Undang Pokok Agraria.

- Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dan

Penjelasannya.

- Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah dan

Penjelasannya.

- Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional/Kepala Nomor 3

Tahun 1997 Tentang Peraturan Pelaksanaan Pendaftaran Tanah.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan

hukum primer yang diperoleh dari studi kepustakaan, yang meliputi: buku-buku,

makalah, surat kabar, artikel, buletin, informasi pada situs internet, makalah,

37
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI, 1986), halaman 43

59
karya ilmiah para sarjana, dan lain-lain yang berhubungan dengan kepastian

hukum sertipikat hak atas tanah.

3. 3. Analisis Bahan Hukum

Pengolahan Bahan Hukum adalah suatu metode dimana bahan hukum yang

diperoleh dari hasil penelitian dikelompokkan dan dipilih, kemudian dihubungkan

dengan masalah yang akan diteliti menurut kualitas dan kebenarannya, sehingga

akan dapat menjawab permasalahan yang ada.

Pengolahan bahan disini dimaksudkan sebagai suatu penjelasan dan

menginterprestasikan secara logis, sistematis. Logis sistematis menunjukkan cara

berfikir deduktif dan mengikuti tata tertib dalam penulisan laporan ilmiah.

Setelah analisis Bahan Hukum selesai, maka hasilnya akan disajikan secara

deskriptif, dengan menuturkan dan menggambarkan apa adanya sesuai dengan

permasalahan yang diteliti. Dari hasil tersebut akan ditarik suatu kesimpulan yang

merupakan jawaban atas permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini.

60
BAB IV

PEMBAHASAN

4.1 Pembahasan

4.1.1 Pelaksanaan Kewajiban Pemasangan Tanda Batas Atas Tanah

Dalam Pasal 17 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997

menetapkan bahwa penempatan tanda-tanda batas termasuk pemeliharaannya wajib

dilakukan oleh pemegang hak yang bersangkutan.

Dengan merujuk pada pasal diatas maka jelaslah bahwa setiap orang yang

mempunyai hak atas tanah diwajibkan menempatkan dan memelihara tanda-tanda

batas haknya yang telah ditetapkan, hal ini dapat dimaklumi karena tanda batas

berfungsi antara lain untuk mencegah terjadinya perselisihan mengenai batas

61
dikemudian hari, menentukan luas hak atas tanah, penunjuk letak posisi

tanah,menunjuk bentuk situasi tanah.

Penempatan tanda-tanda batas dipasang pada setiap sudut batas tanah dan

apabila dianggap perlu oleh petugas yang melakukan pengukuran tanda batas, dapat

juga memasang tanda batas pada titik-titik tertentu sepanjang garis batas bidang

tanah tersebut, terutama kalau garis batas/bentuk tanahnya berkelok-kelok, untuk

sudut-sudut batas yang dirasa sudah sudah jelas letaknya karena telah berdiri benda-

benda yang terpasang secara tetap seperti pagar beton, pagar tembok atau tugu/patok

penguat pagar kawat dan sebagainya, hal demikian tidak harus dipasang tanda batas

karena semuanya itu sudah merupakan tanda patok yang sah.

Pada kenyataan dilapangan terungkap bahwa pemasangan tanda batas belum

dilaksanakan secara baik dan maksimal. Hal mana dapat diketahui bahwa

pemasangan tanda batas baru dilaksanakan untuk tanah yang sudah bersertipikat,

meskipun kadang tanah yang sudah bersertipikat tanda batasnya hilang karena

longsor atau dicuri. Dalam kenyataannya masyarakat tidak mau lagi memasang tanda

batas. Sedangkan untuk tanah yang belum terdaftar atau belum bersertipikat

pemasangan tanda batasnya belum banyak dilaksanakan walupun sebagian kecil dari

masyarakat tersebut telah melaksanakan kewajiban pemasangan tanda batas hak atas

tanah.

Kewajiban pemasangan tanda batas atas tanah dimana, ketentuan tersebut

telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran

Tanah, kemudian dijabarkan lagi denga Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala

62
Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Ketentuan Pelaksanaan

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 dimana dalam Pasal 20, 21 dan Pasal

23 terdapat ketentuan yang mewajibkan pemasangan tanda batas.

Dalam kehidupan sehari-hari baik dalam penggunaan bahan, bentuk maupun

ukurannya sering diabaikan, bahkan banyak yang belum melaksanakannya. Oleh

karena itu kiranya dalam masyarakat diadakan semacam gerakan sadar pemasangan

tanda batas oleh Badan Pertanahan Nasional beserta masyarakat diseluruh wilayah

Indonesia.

Dengan adanya tindakan tersebut diharapkan dapat memberikan kepastian

hukum kepada masyarakat serta mencegah terjadinya sengketa batas tanah. Jika kita

telusuri lebih lanjut bahwa kewajiban pemasangan tanda batas yang telah diatur

dalam PMNA 3/1997 ini bukanlah merupakan hal yang baru bagi masyarakat,

karena di dalam masyarakat adat dikenal adanya tanah ulayat.

Menurut Soerojo Wignjodipoero mengatakan bahwa didalam masyarakat adat

itu sendiri sebetulnya telah dikenal adanya pemasangan tanda batas yang dilakukan

disekeliling tanahnya, akan tetapi usaha yang dimaksud dalam pasal ini tidak dapat

dilaksanakan secara sempurna.38

Hal ini berarti bahwa pengaturan terhadap batas-batas tanah sebelumnya telah

diatur dalam hukum adat karena mengingat hukum adat itu sifatnya tidak tertulis,

sehingga akan sulit dalam hal dilakukan pembuktian. Oleh karena itu saya sangat

sependapat bahwa upaya pemerintah yang telah mengatur secara tegas mengenai

pemasangan tanda batas tersebut, namun pengaturan seperti ini harus disertai dengan
38
Soerojo Wignjodipoero, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Hajimas Agung, Hal 199

63
sanksi. Apabila tidak disertai sanksi suatu peraturan akan sulit untuk dilaksanakan

disamping itu juga harus diperhatikan nilai-nilai social budaya, pengetahuan hukum

masyarakat, hal tersebut dapat diatasi dengan cara pendekatan serta pnyuluhan

hukum.

4.1.2 Faktor Penghambat Dalam Pemasangan Tanda Batas

Dari hasil pengamaan dilapangan diperoleh bahan bahwa faktor yang menjadi

penghambat didalam pemasangan tanda batas atas tanah adalah disebabkan karena

dua faktor yaitu faktor ekonomi dan faktor hukum.

Adapun faktor ekonomi tersebut dapat berupa mahalnya biaya yang harus

dikeluarkan oleh masyarakat, hal mana tidak hanya biaya formal yang telah

ditentukan melainkan faktor lainnya yang bersifat teknis. Sedangkan faktor

hukumnya adalah persyaratan yang banyak serta prosedur yang rumit.

Namun apabila kita telusuri lebih jauh sebagaimana yang dikatakan oleh

Soerjono Soekanto. Dikatakan ada lima faktor yang mempengaruhi berlakunya suatu

hukum yaitu :

1. Faktor hukumnya itu sendiri (Undang-undang)

2. Faktor penegak hukumnya

3. Faktor sarana atau fasilitas pendukung pelaksanaan hukum

4. Faktor dimana hukum itu berlaku

5. Faktor kebudayaan

4.1.3 Akibat Hukum Yang Timbul Dengan Tidak Dilaksanakannya Kewajiban

Pemasangan Tanda Batas Atas Tanah

64
Seperti yang telah dikemukakan diatas bahwa kebutuhan akan tanah terus

meningkat sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk yang sangat besar dan

masalah yang dihadapi umumnya bersumber dari pertumbuhan jumlah penduduk

tersebut. Luas tanah terbatas dan tidak akan mengalami pertambahan, yang

merupakan salah satu penyebab selalu meningkatnya nilai ekonomis dan cultural

tanah. Kalaupun terjadi penambahanluas tanah akibat proses alamiah namun

pertumbuhan tersebut juga akan diiringi dengan jumlah penduduk yang cepat, jadi

pertambahan jumlah penduduk tidak sebanding dengan bertambahnya jumlah tanah.

Secara ekonomis, maka luas tanah terbatas sementara jumlah manusia selalu

bertambah, maka nilai ekonomis tanah akan meningkat. Secara cultural penguasaan

tanah akan memperlihatkan eksistensi manusia baik kelompok maupun individual, di

dalam masyarakat sehingga akan selalu ada upaya manusia dan masyarakat untuk

mempertahankan dan memperluas tanah yang dikuasainya. Terbatasnya luas tanah

akan menimbulkan upaya untuk saling menguasai.39

Releigh Barlowe mengibaratkan tanah sebagai sepotong intan (batu permata)

yang mempunyai banyak isi ada kalanya tanah dipandang sebagai ruang, alam,

faktor produksi, barang-barang konsumsi, milik dan modal. Disamping itu juga

memandang tanah sebagai benda yang berkaitan dengan Tuhan (Sang Pencipta).

39
Hermayulis, Penerapan Hukum Pertanahan dan Pengaruhnya terhadap Hubungan Kekerabatan Pada
Sistem Matrilinial di Minangkabau, yang dikutip oleh Sri Sudaryatmi, Tesis, Universitas
Diponegoro,Tahun 200, Hal 163.

65
Berkaitan dengan masyarakat yang menimbulkan pandangan bahwa tanah sebagai

kosmos, dan pandangan bahwa tanah adalah sebagai tabungan.40

Hukum adat dan pranata adat yang mengatur tentang penguasaan tanah akan

bermacam-macam atau berlainan pada tiap-tiap daerah atau suku bangsa

keanekaragaman yang hidup ditengah masyarakat (HukumRakyat) ini di dasari oleh

postulat-postulat hukum berupa nilai-nilai yang ada dalam masyarakat dan

melatarbelakangi seluruh kebudayaan masyarakat. Nilai-nilai tersebut oleh T.O.

Ihromi disebut juga dengan premis-premis, keberadaannya tidak pernah

dipermasalahkan bahkan dijadikan dasar dalam melakukan penilaian bertingkah laku

pada suatu masyarakat.41

Nilai-nilai yang teraktualisasi dalam bentuk norma akan menentukan subjek

hak kepemilikan. Walaupun tanah mempunyai nilai ekonomis dan strategis bagi

kehidupan masyarakat dan bahkan umat manusia di dunia, tetapi dalam

kenyataannya belum semua masyarakat menyadari betapa pentingnya merawat dan

memelihara tanah-tanah yang dimilikinya, hal ini bias dibuktikan dengan fakta yang

diperoleh di lapangan baru sebagian kecil masyarakat melaksanakan kewajiban

pemasangan tanda batas. Dan Fungsinya adalah untuk mempertegas batas atas tanah

di lapangan serta sebagai petunjuk posisi letak tanah.

Adapun akibat hukum yang akan ditimbulkan dengan tidak melaksanakan

kewajiban pemasangan tanda batas tanah tersebut adalah :

40
Ibid Hal 163
41
T.O. Ihromi, Antropologi dan Hukum, Yayasan Obor Indonesia, 1984.

66
a. Akan mengakibatkan terjadinya sengketa batas antara pemegang hak yang

satu dengan pemegang hak yang lain yang berbatasan sebagai akibat tidak

adanya batas yang jelas dan benar,

b. Akan mengakibatkan terjadinya sengketa batas antara ahli waris pemegang

hak dengan pemegang hak lainya,

c. Akan memerlukan waktu yang lama bagi pemegan hak apabila akan

mengembalikan batas hak atas tanahnya dikemudian hari sebagai tidak adanya

batas yang jelas dan benar,

d. Akan mengakibatkan pemegang hak apabila akan melakukan jual beli sebagai

akibat tidak adanya batas yang jelas dan benar.

Adapun dari ketentuan tersebut maka seseorang yang tidak melaksanakan

kewajiban pemasangan tanda batas dan tidak memeliharanya akan membawa akibat

hukum lemahnya kedudukan pemegang hak dihadapan hukum atau dalam hal

pembuktian di Pengadilan Negeri.

67
BAB V

PENUTUP

Berdasarkan pada uraian dari bab-bab dari penulisan ini, maka dapat ditarik

kesimpulan yang merupakan cakupan dari pembahasan sebelumnya :

5.1. Kesimpulan

1. Bahwa peraturan mengenai kewajiban pemegang hak atas tanah untuk memasang

tanda batas telah diatur dalam Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22 dan Pasal 23 Peraturan

Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 namun dalam pelaksanaannya di masyarakat

belum dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya, hal mana disebabkan karena

masyarakat setempat masih dipengaruhi oleh hukum adat setempat, sehingga

hukum adat yang berlaku pada masyarakat setempat lebih menjiwai dalam

pribadinya dari pada hukum nasional atau hukum positif, hal mana dapat kita lihat

dalam masyarakat adat yang memasang tanda batas atau mengamankan tanahnya

yang dimiliki dengan menanam tanaman keras disekeliling tanahnya yang menjadi

68
batas tanah antar pemilik hak atas tanah, padahal kita ketahui bahwa ketentuan

tentang Pemasangan Tanda Batas tersebut telah diatur dalam Peraturan Pemerintah

Nomor 24 Tahun 1997 yang kemudian dijabarkan lagi dalam Peraturan Menteri

Negara Agraria Nomor 3 Tahun 1997.

2. Kepada para pemegang hak milik atas tanah yang tidak melaksanakan kewajibannya

memasang tanda batas akam menimbulkan permasalahan dan konflik terutama

menyangkut data fisik dan data yuridis mengenai tanah serta tidak mendapatkan

perlindungan yang cukup dalam mengamankan tanahnya.

5.2. Saran-saran

1. Bahwa perlu ditingkatkan kesadaran hukum yang tinggi dari pemegang hak milik

atas tanah agar dapat melaksanakan kewajibannya dalam menentukan data fisik

maupun data yuridisnya agar bidang tanahnya sebagaimana yang telah ditentukan

dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah agar

dapat dilaksanakan secara baik mengenai kewajiban pemasangan tanda batas tanah

serta pemeliharaannya sebab hal tersebut dapat menghindari sengketa mengenai

batas tanah.

2. Dalam menunjang peningkatan kesadaran masyarakat mengenai kewajiban

memasang tanda batas maka perlu bagi pemegang hak atas tanah diberikan

penyuluhan-penyuluhan serta penjelasan yang berhubungan dengan hal tersebut

oleh instansi yang terkait dalam hal ini Badan Pertanahan Nasional, agar tingkat

69
kesadaran pemegang hak atas tanah tentang suatu peraturan yang dikeluarkan dapat

dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan yang dimaksud.

3. Dalam hal masih adanya pemegang hak atas tanah yang tidak melaksanakan

ketentuan peraturan tentang pemasangan tanda batas sebagaimana yang diatur

dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah,

maka tidak hanya berakibat penangguhan pengukuran atas bidang tanah sebagai

tindak lanjut dari permohonan pengukuran atas bidang tanah, bahkan perlu

diberikan suatu sanksi-sanksi tertulis, dengan demikian dapat dijerat dengan

ketentuan yang mengatur mengenai hal tersebut, dan ini sebagai langkah awal

supaya untuk mencegah sengketa tanah.

4. Disarankan pula pada masyarakat dalam hal ini pemegang hak atas tanah hendaknya

memasang tanda batas yang jelas serta memelihara tanda batas tanahnya sesuai

dengan peraturan perundangan yang berlaku.

70
Daftar Pustaka

Abdurrahman, Kedudukan Hukum Adat Dalam Perundang-undangan Agraria Indonesia.


Akademika Presindo, Jakarta.

Badan Pertanahan Nasional, 1989, Himpunan Karya Tulis Pendaftaran Tanah, Jakarta,
Maret

Bachtiar Effendi, 1993, Kumpulan Tulisan Tentang Hukum Tanah, Alumni, Bandung.

_____________, 1993 Pendaftaran Tanah di Indonesia dan Peraturan Pelaksanaannya,


Alumni Bandung.
Gouw Giok Siong dan Soekahar-Badwi, 1963, Tafsiran Undang-Undang Pokok
Agraria.PT Kinta, Jakarta.
Hartono, Sunaryati, 1991, Pengaruh Hukum Adat Terhadap Pembangunan Di Negara
Kita, Padjajaran, Bandung, Jilid III.
Harsono, Boedi. 2000. Hukum Agraria Indonesia, Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum
Tanah, Jakarta : Djambatan.
______________. 2005, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukkan Undang-
Undang Pokok Agraria, isi dan pelaksanaannya, Jakarta: Djambatan,

71
Hermayulis, 2000, Penerapan Hukum Pertanahan dan Pengaruhnya terhadap Hubungan
Kekerabatan Pada Sistem Matrilinial di Minangkabau, yang dikutip oleh Sri
Sudaryatmi, Tesis, Universitas Diponegoro.
Kencana Syafiie, Inu , dkk, 1999, Ilmu Administrasi Publik, PT Rineka Cipta, Jakarta,

Koentjaraningrat, 1984. Metode-metode Penelitian Masyarakat, Jakarta:Gramedia.

M Soeparmoko, 1991, Metode Penelitian Praktis, BPFE, Jogyakarta.

M. Irfan Islamy, 1991, Prinsip-prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara, PT Bumi


Aksara, Jakarta,

Lexy J.Moleong, 1995. Metode Penelitian Kualitatif, Remaja Rosda Karya, Bandung.
Parlindungan, A.P. 1999. Pendaftaran Tanah di Indonesia, Cetakan Pertama. Bandung:
Mandar Maju.
______________, 1986, Aneka Hukum Agraria, Alumni, Bandung.
______________, 1989, Bunga Rampai Hukum Agraria serta Landreform, Mandar
Maju, Bandung.
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, Tentang Pendaftaran Tanah, Jayatama,
1997, hal 4
Prasetyawati, Endang. 2010. Metode Penelitian Hukum, Bahan Ajar Program Studi
Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas 17 Agustus 1945 :
Surabaya.
Ronny Hanityo Soemitro, 1988. Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta:
Ghalia Indonesia.
____________________,1985. Metode Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Soephiadhy, Soetanto, 2008, Meredesain Konstitusi, Burung Merak Press, Jakarta
Soeryono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif-Suatu Tinjauan Singkat.
1985. Jakarta: Rajawali Press.
Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, UI Jakarta.
_______________, 1986, Hukum Adat Indonesia, Rajawali, Jakarta,.

72
_______________, 1984, Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum,
Rajawali, Jakarta.
Soeparmoko. M, 1991. Metode Penelitian Praktis, Jogyakarta: BPFE.
T.O. Ihromi, 1984, Antropologi dan Hukum, Yayasan Obor Indonesia,.
Wignjodipoero Soerojo,1994, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Hajimas Agung,
Jakarta.
___________________,1983, Kedudukan serta Perkembangan Hukum Adat Setelah
Kemerdekaan, Gunung Agung, Jakarta.
Wignjosoebroto Soetandyo, 2008, Hukum Dalam Masyarakat Perkembangan dan
Masalah, Bayumedia Publishing, Malang.
Zainal Abidin, Said, 2002, Kebijakan Publik, Yayasan Pancur Siwah, Jakarta,

Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang dasar 1945.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Peraturan Dasar Pokok-Pokok


Agraria.

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah.

Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun


1997 Tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Taun 1997 Tentang
Pendaftaran Tanah.

Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1988 Tentang Penunjukan Pendaftaran Tanah


dilaksanakan oleh Badan Pertanahan Nasional.

73

You might also like