You are on page 1of 7

Teori Kritis, Komunikasi dan Kebudayaan:

Ideologi - Hegemoni dan Media Massa: Perspektif Antonio Gramsci

Antonio Gramsci, lahir 1891 di Saridinia Italia, anak keempat dari tujuh bersaudara, dari
keluarga pegawai negeri yang miskin [ CITATION Mag03 \l 1033 ] . Pertumbuhan Gramsci kecil tidak
seperti anak kebanyakan, dia menyandang cacat berupa punggung yang bongkok akibat gizi yang
kurang baik[ CITATION Mag03 \l 1033 ] . Gramsci adalah juga seorang pemimpin Partai Komunis Italia
(PCI) dan juga pemimpin buruh dalam memperjuangkan kebebasan di Saridinia Italia [ CITATION
Mag03 \l 1033 ]. Dalam beberapa literature Gramsci juga sering menulis untuk media-media local
maupun nasional, namun yang paling menarik adalah ketika dia berada dipenjara menulis sebuah
catatan dipenjara dengan pemikira-pemikiran yang cukup terkenal diantaranya adalah mengenai
Hegemoni. Dan dalam essay ini sebagaian besar akan membahas mengenai konsep hegemoni dari
Gramsci yang juga bagaiamana jika dikaitkan dengan konsep ideologi dan media massa sebagai
insrumentnya.

Secara sederhana, konsep hegemoni adalah ketika kelas-kelas subordinat dipimpin oleh ‘blok
historis’ faksi kelas yang berkuasa menjalankan otoritas sosial melalu kombinasi antara kekuatan dan
juga konsensus[ CITATION Chr04 \l 1033 ]. Konsep hegemoni sendiri ditemukan awalnya ketika
Gramsci mencari sebuah pola dalam kelas sosial baru yang saat itu Gramsci lebih banyak melihat
fenomena pada sejarah gereja Roma (the Roman Church). Dia terlihat kagum melihat kekuatan
ideologi Kristen gereja roma yang berhasil menekan gap yang berlebihan berkembang antara agama
yang terpelajar (religion of the learned) dan rakyat sederhana (simple folk)[ CITATION Kol78 \l 1033 ].
Gramsci, mengatakan bahwa hubungan tersebut memang terjadi secara “mekanikal”, namun dia
menyadari bahwa gereja Roma telah sangat berhasil dalam perjuangan memperebutkan dan
menguasai hati nurani para pengikutnya [ CITATION Kol78 \l 1033 ]. Dalam pemikirannya, jika saja
kelas pekerja bisa membentuk suatu budaya baru dan sistem kekuatan yang baru seperti yang
dilakukan gereja Roma, kelas pekerja akan membentuk pola baru terhadap pekerja intelektual dan
interrelasi baru antara politik dan produksi ekonomi disatu sisi dan, disisi lain aktivitas dari kaum
proletar diambil alih oleh kaum intelektual yang terbentuk[ CITATION Kol78 \l 1033 ].

Melalui sebuah penjelasan diatas, dikatakan bahwa kaum proletar membutuhkan yang
dinamakan dengan intelektual organik. Kaum intelektual sendiri dalam pendapat Gramsci adalah
sebuah kelompok dominan dari para deputi yang mencari fungsi terpendam dari hegemoni sosial dan
pemerintahan politik[ CITATION And02 \l 1033 ]. Dalam hal ini, Gramsci membagi dua jenis
intelektual yaitu intelektual organic yang dimana suatu kelompok sosial menciptakan sendiri sebuah

Benni Yusriza Hasbiyalloh Page 1


pemahaman atas kesadaran fungsi terpendam dari hegemoni sosial dan pemerintahan politik., serta
intelektual tradisional yaitu kategori intelektual yang sudah ada sebelumnya yang merepresentasikan
sejarah yang sudah ada dan tinggal dilanjutkan saja[ CITATION And02 \l 1033 ].

Melalui pemikiran mengenai intelektual tersebut, Gramsci berargumen bahwa pendekatan


budaya adalah sangat penting untuk membuat sebuah kerangka teori revolusi sosial, dimana banyak
dari pemikir ortodoks hanya terfokus pada hegemoni sosial yang terangkum dalam pemikiran basis
dan bangunan atas dari marxsisme[ CITATION Mag03 \l 1033 ]. Grossberg, dalam nalarnya
mengemukakan budaya sebagai, kuasa sistem tertentu untuk merepresentasikan representasi-
representasinya sendiri sebagai refleksi langsung atas yang real, untuk menghasilkan maknanya
sendiri sebagai pengalaman[ CITATION Han92 \l 1033 ]. Raymond Williams juga mengatkaan mengenai
budaya, bahwa budaya adalah hal yang biasa, yang dia maksudkan bahwa membentuk suatu
masyarakat adalah menemukan makna dan tujuan bersama. Kemudian dapat dikatakan, pendekatan
budaya yang diungkap Gramsci juga menginginkan penjelasan terhadap hegemoni untuk melihat
dinamika real yang terjadi dalam masyarakat untuk nantinya bisa menjelaskan penempatan posisi
dalam kelas dominan dan kelas subordinat terhadap kelompok aliansi lainnya.

Jadi dalam perspektif Gramsci, hegemoni dengan cara paling baik dipikirkan sebagai arena
pertarungan yang berkesinambungan, dimana kaum borjuis dan kelas pekerja membangun aliansi-
aliansi ekonomi, politik dan budaya dengan kelompok sosial lainnya [ CITATION Nic02 \l 1033 ] . Pada
akhirnya, diarena pertarungan tersebut tujuan masing-masing adalah untung mengubah
keseimbangan dari kepentingan publik dan persepsi publik kearah satu sisi kelompok yang dalam hal
ini perspektif Gramsci mengenai ideologi sangat menarik untuk dikaji[ CITATION Nic02 \l 1033 ].

Ideologi sendiri, direpresentasikan sebagai “the social cement” yang mengikat bersama
berbagai aliansi kelas yang berbeda[ CITATION Nic02 \l 1033 ]. Dalam perspektif Gramsci, perilaku
praktis disediakan oleh ideologi berserta tuntutan moral yang sepadan dengan agama yang secara
sekuler dipahami sebagai kesatuan keyakinan antara konsepsi dunia dan tindakan terkait [ CITATION
Chr04 \l 1033 ]. Dalam hal tersebut, Gramsci berasumsi bahwa ideologi dapat menjadi sangat efektif
jika sudah menyentuh ‘common sense’ dari subjek penerima pesan ideologi tersebut [ CITATION
Nic02 \l 1033 ]. Jadi dalam hal ini, nalar awan dari subjek yang tidak bersifat rigid dijadikan sebagai
arena pertarungan dari blok hegemoni dan kontra hegemoni untuk mencapai tujuannya masing-
masing.

Benni Yusriza Hasbiyalloh Page 2


Kemudian untuk mencapai pertarungan pada arena awan tersebut, dibutuhkanlah sebuah
instrument untuk menyampaikan pesan ideologis tersebut kepada masyarakat. Sebelumnya, dalam
pesrpektif Raymond Williams dalam konsep hegemoni, adalah sebuah kombinasi dari tiga proses
cultural yaitu tradisi, institusi, dan formasi[ CITATION Nic02 \l 1033 ]. Tradisi secara konstan ditemukan
dan ditemukan kembali (invented and reinvented) oleh negara bangsa, yang disajikan secara tetap,
final, dan netral yang kemudian materi produksi dan reproduksi dari tradisi yang ditemukan sangat
bergantung dengan institusi-institusi seperti media massa. [ CITATION Nic02 \l 1033 ] Kemudian
Formasi dikatakan sebagai kesadaran dari suatu pergerakan dan kecenderungan yang dalam skala
besar bekerja bersama arti dan nilai yang dominan.[ CITATION Nic02 \l 1033 ]

Jadi, melalui penjelasan Williams diatas, instrument yang digunakan untuk menyampaikan
pesan yang terbentuk diantara tradisi dan formasi adalah institusi berupa media massa. Media
memainkan peranan penting dalam instrument hegemoni seperti yang dikatakan oleh Ralph
Miliband,

media memberi andil untuk memupuk iklim konformitas tidak dengan


penindasan total atas perbedaan pendapat, melainkan dengan menyajikan
pandangan yang berada diluar konsesnsus sebagai bidah aneh, atau bahkan
lebih efektif, dengan memperlakukan mereka sebagai keeksentrikan yang
menyimpang, dimana orang-orang yang serius dan berlaku pantas mungkin
menolaknya sebagai tanpa konsekuensi, ini sangat fungsional. [ CITATION
Han92 \l 1033 ]

Berdasarkan pernyataan diatas, kelompok yang berkepentingan dalam konsep hegemoni dapat
menggunakan media untuk menciptakan ataupun memperkuat citra tertentu dalam suatu isu untuk
tujuan pemposisian kepentingan tertentu seperti politik dan ekonomi. Namun, tetap saja dalam
penguatan posisi untuk berada pada garis mapan, mengetahui posisi dalam pertarungan ideologi
sangat penting untuk bisa memanfaatkan media massa secara komprehensif.

Kemudian masalah yang muncul dalam pertarungan blok hegemoni dan kontra hegemoni
dengan instrument media, ketika ideologi itu sendiri tidak sampai kepada nalar masyarakat awam.
Dalam konteks negara modern, Kelas dominan (aparat negara) dengan sangat baik dapat
membungkus sub-sistem ideologi terhadap kelas sub-ordinat melalui institusi dan agensi yang
berkaitan secara langsung ataupun tidak langsung untuk memainkan perannya. Karena pada
pengamatan terhadap negara modern yang dilakukan oleh Max Webber, bahwa negara modern tidak

Benni Yusriza Hasbiyalloh Page 3


terbatas pada regulasi aktifitas sosial ekonomi dan kebijakan politik, melainkan juga bagaimana
mempertahankan tatanan beserta wilayah yang sudah ada dan bagaimana memperthankan batas-
batas wilayah vis a vis negara bangsa yang lain[ CITATION Joh04 \l 1033 ].

Oleh karena itu, untuk mempertahankan dominasi tersebut, penguasaan terhadap media dan
kontrol infromasi sangat penting dilakukan oleh kelompok dominan di negara modern untuk
mendapatkan kekuasaan yang relatif stabil. Seperti yang dikatakan Gramsci bahwa kelas dominan
mendapatkan hegemoninya melalui proses strukturisasi bidang ideologi, kelas dominan berhasil
menerapkan kepemimpinan politik atas ‘persetujuan aktif’ kelas subordinat dan mampu menyatukan
faksi-faksi kelas dominan kedalam blok kekuasaan yang relatif stabil[ CITATION Joh04 \l 1033 ].

Namun, melalui teori Gramsci diatas, untuk konteks kelas dominan di negara modern penulis
berargumen bahwa persetujuan aktif sudah tidak relevan lagi karena pertama ideologi yang
disampaikan bukan lagi berbentuk common goods melainkan sebuah pola yang diciptakan atas dasar
pragmatisme dan kedua, pola pikir subordinat sudah terstruktur seperti kelas dominan yang
cenderung berpola pikir insentif. Inilah yang akhirnya bergeserlah persetujuan tersebut menjadi
persetujuan pasif karena sudah tidak ada lagi proses dialektis sebelumnya dan cenderung mengikuti
bahkan menikmati hegemoni tersebut.

Jadi, dapat dikatakan dalam era modern ini, either you have information or you have no
information. Dalam arena politik, penguasaan media dalam usaha menghegemoni masyarakat adalah
penting, karena seorang penguasa bisa menentukan apa yang bisa menjadi konsumsi publik. Jadi
presiden yang powerfull dimata penulis, bukanlah presiden dalam artian pemimpin negara saja, tapi
presiden yang bisa menguasai media. Seperti halnya, di Indonesia, tidak perlu menjadi presiden
Indonesia untuk mengusai Indonesia. Cukuplah menjadi presiden Media, anda sudah menguasai
80% penduduk Indonesia.

Untuk penjelasan-penjelasan diatas masih banyak menggunakan perspektif politik. Kemudian


bagaimana, media digunakan sebagai alat hegemony kebudayaan yang kita tahu dalam perspektif
Raymond Williams institusi seperi media diapit oleh tradisi dan formasi? Dalam penetrasi pesan,
terdapat apa yang disebut sebagai imperialisme budaya, yaitu bentuk baru kolonialisasi melalui
budaya, dengan mengubah sistem nilai yang kemudian memformulasikan sistem nilai tersebut
menajadi sebuah nilai yang dominan. Jadi dalam konteks ini, nilai yang sudah tertatanam didiri
manusia, dijajah kembali untuk dibentuk sebuah tatanan nilai baru oleh pemilik kepentingan
terhadap nilai-nilai itu.

Benni Yusriza Hasbiyalloh Page 4


Sebagai contoh kekinian, kita pasti sadar banyak sekali Mall-Mall yang sudah dibangun
dengan jargon yang hampir sama yaitu “life stlye”. Yang menarik, mall-mall tersebut dibangun
dengan jarak yang berdekatan. Tentu saja secara tidak langsung bila kita akan merasakan, otak kita
sedang di cuci ulang oleh agen-agen tersebut untuk menggunakan produk-produk yang akhirnya
membuat kita menjadi konsumtif. Padahal, kita mengetahui bahwa sebuah produk tidak akan
berguna jika tidak ada yang mengkonsumsi. Pola tersebut mungkin awalnya kita sadari, namun lama
kelamaan ketika kita sudah mulai menikmati, dan kita akan menerima saja jajahan tersebut.
Disitulah, terjadi hegemoni budaya yang dikemas dalam pola life style yang berpola pada
kebudayaan tertentu.

Contoh lain yang mungkin menjadi kegelisahan banyak orang, adalah ketika melihat pola
televisi yang ada di Indonesia sekarang. Tidak ada lagi ke ontentikan dari tayangan – tayangan yang
ada di media televise Indonesia. Seperti munculnya acara-acara, Indonesia Idol, AFI (akademi
fantasi), Idola Cilik, American Got Talent, Take Me Out, dan banyak lagi. Pernah kita tau acara-
acara itu diambil dari program tv mana? Dinegara apa? Yang menjadi pertanyaan, apakah ini
menjadi pola masyarakat Indonesia atau dibentuk untuk menjadi pola masyarakat Indonesia? Atas
nama entertainment, pasar dimanjakan dengan formasi “nina bobo” yang akhirnya terlena dengan
acara tersebut, yang hanya menggunakan permainan bahasa (sebelumnya bahasa Inggris Amerika
menjadi bahasa Indonessia) dan akhirnya mengadopsinya menjadi gaya hidup keseharian. Namun,
jauh diluar sana, kita tidak menyadari ada beberapa kelompok dengan senangnnya mengatkan “oke
teman-teman, kita semua sukses.”

Dari sisi media berita, kita juga familiar dengan kata VOA (voice of America), sudah sangat
jelas institusi tersebut mengarah ke mana. Pola media kita jadi semakin jelas, ada apa dibalik siapa,
ada kepentingan apa dibalik kepentingan siapa. Pemberitaan VOA jika kita lihat lebih banyak
memberitakan kehidupan orang-orang Amerika dan juga politik Amerika. Ini sangat berbahaya, jika
kita tidak punya mekanisme penyaring dan menerima begitu saja. Lebih lagi yang lucu sekarang
sudah VOA Indonesia, apa kira-kira tujuannya, mungkin pembaca bisa menafsirkan sendiri.

Kesimpulannya, konsep hegemoni adalah bagaiamana suatu kelompok dominan dapat


memainkan pengaruhnya yang tanpa sadar kelompok subordinat mengikuti struktur yang ditawarkan
oleh kelompok dominan. Dalam perspektif Gramsci, hegemoni tidak saja melibatkan hegemoni
sosial saja, melainkan juga melibatkan hegemoni budaya melalui pengalaman yang diciptakan atas
dasar membentuk suatu masyarakat untuk menemukan makna dan tujuan bersama.

Benni Yusriza Hasbiyalloh Page 5


Pertarungan Ideologi juga menjadi sangat penting dalam perspektif Antonio Gramsci karena
inti dari Hegemoni adalah bagaimana suatu kelompok dapat mengubah persepsi melalui pertarungan
ideologi yang melibatkan nalar awan dari masyarakat. Kemudian, sebagai instrument untuk
menyampaikan pesan ideologis, agen-agen media diciptakan dan didominasi sebagai alat untuk
mencitrakan, merekayasa kesepakatan, dan pengontrol informasi dari kepentingan-kepentingan blok
hegemoni ataupun blok kontra hegemoni.

Hegemoni juga terdiri dari hegemoni sosial dan hegemoni budaya, dimana secara politik dan
budaya, hegemoni bisa selalu masuk dan membuat kita terlena dibuat oleh kepentingan.Wacan yang
dilempar oleh Gramsci adalah bagaiman sebenarnya kelas sub ordinat bisa melakukan revolusi
sosial. Namun, melihat perkembangan kekinian, revolusi tidak akan pernah cukup, karena sebaiknya
revolusi harus diikuti dengan evolusi. Sadar secara cultural bahwa kita sedang di hegemoni adalah
sebuah langkah awal yang tepat. Selanjutnya, untuk mengambil alih arena pertarungan nalar awam,
pendidikan adalah kuncinya. Seperti yang dikatakan Med Yones, “ In the internet age, information is
cheap. Education is expensive."

Bibliography
Barker, C. (2004). Cultural Studies Teori dan Praktik. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Hardt, H. (1992). Critical Communication Studies: Sebuah Pengantar Komprehensif Sejarah Perjumpaan
Tradisi Kritis Eropa dan Tradisi Pragmatis Amerika. Yogyakarta: Jalasutra.

Kolakowski, L. (1978). Main Currents Of Marxism Its Origin, Growth, And Dissolution. London: Oxford
University Press.

Magnis-Suseno, F. (2003). Dalam Bayangan Lenin. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Milner, A., & Browitt, J. (2002). Third Editon Contemporary Cultural Theory An Introduction. London:
Routledge.

Stevenson, N. (2002). Understanding Media Cultures. London: Sage Publication.

Benni Yusriza Hasbiyalloh Page 6


Thompson, J. B. (2004). Kritik Ideologi Global Teori Sosial Kritis Tentang Relasi Ideologi dan Komunikasi
Massa. Yogyakarta: IRCiSoD.

Benni Yusriza Hasbiyalloh Page 7

You might also like