You are on page 1of 19

Makassar, 1 Juni 2011

Tugas Final
M K : Etika Komunikasi Kantor

Oleh :

NASRIAH
086 234 018

PROGRAM STUDI ADMINISTRASI PERKANTORAN


FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
2011

BAB I
PENDAHULUAN
Beberapa tahun terakhir begitu banyak berita hangat mengenai etika
dan moral dalam berbisnis. Pertama, obat anti nyamuk HIT yang
mengandung bahan pertisida berbahaya yang di larang penggunaannya
sejak tahun 2004, dimana perusahaan pembuat sudah meminta maaf dan
berjanji akan menarik produknya. Akan tetapi kenyataan dilapangan
produk tersebut masih beredar di pasaran sehingga permohonan maaf
dari perusahaan anti nyamuk HIT terkesan tidak serius. Kedua, kasus
melubernya lumpur dan gas panas di Kabupaten Sidoarjo yang
disebabkan eksploitasi gas PT. Lapindo Brantas yang menyebabkan
banyak penduduk kehilangan tempat tinggal, pekerjaan dan masa depan.
Sementara perusahaan terkesan lebih mengutamakan penyelematan
asset- asetnya daripada mengatasi soal lingkungan dan sosial yang
ditimbulkannya. Dan masih banyak lagi kasus- kasus lainnya seperti
pemakaian formalin pada pembuatan tahu dan pengawetan ikan laut,
pembuatan terasi dengan bahan yang sudah berbelatung dan susu
formula yang berbekteri.

Dari beberapa kasus yang dipaparkan di atas, kita dapat melihat


bahwa perusahaan atau pelaku bisnis bersedia melakukan apa saja demi
mendapatkan keuntungan (laba). Sehingga ada yang menyatakan bahwa
dalam bisnis, satu- satunya etika yang diperlukan hanya sikap baik dan
sopan kepada pemegang saham dan konsumen. Hal ini terjadi karena
fokus utama perusahaan adalah untuk menghasilkan keuntungan
maksimal bagi shareholders sehingga perusahaan berpikiran pendek
dengan segala cara berupaya melakukan hal- hal yang bisa meningkatkan
keuntungan. Kompetisi semakin ketat dan konsumen yang kian rewel
sering menjadi factor pemicu perusahaan mengabaikan etika dalam
berbisnis.

Namun beberapa akademisi dan praktisi bisnis melihat adanya


hubungan sinergis antara etika dan laba. Menurut mereka, justru di era
kompetisi yang ketat ini, reputasi baik merupakan sebuah competitive
advantage yang sulit ditiru. Salah satu kasus yang sering dijaddikan acuan
adalah bagaimana Johnson & Johnson (J&J) menangani kasus keracunan
Tylenol tahun 1982. Pada kasus itu, tujuh orang dinyatakan mati secara
misterius setelah mengonsumsi Tylenol di Chicago. Setelah diselidiki,
ternyata Tylenol itu mengandung racun sianida. Meski penyelidikan masih
dilakukan guna mengetahui pihak yang bertanggung jawab, J&J segera
menarik 31 juta botol Tylenol di pasaran dan mengumumkan agar
konsumen berhenti mengonsumsi produk itu hingga pengumuman lebih
lanjut. J&J bekerja sama dengan polisi, FBI, dan FDA (BPOMnya Amerika
Serikat) menyelidiki kasus itu. Hasilnya membuktikan, keracunan itu
disebabkan oleh pihak lain yang memasukkan sianida ke botol-botol
Tylenol. Biaya yang dikeluarkan J&J dalam kasus itu lebih dari 100 juta
dollar AS. Namun, karena kesigapan dan tanggung jawab yang mereka
tunjukkan, perusahaan itu berhasil membangun reputasi bagus yang
masih dipercaya hingga kini. Begitu kasus itu diselesaikan, Tylenol
dilempar kembali ke pasaran dengan penutup lebih aman dan produk itu
segera kembali menjadi pemimpin pasar (market leader) di Amerika
Serikat. Secara jangka panjang, filosofi J&J yang meletakkan keselamatan
konsumen di atas kepentingan perusahaan berbuah keuntungan lebih
besar kepada perusahaan.
Doug Lennick dan Fred Kiel, 2005 (dalam Itpin, 2006) penulis buku
Moral Intelligence, berargumen bahwa perusahaan- perusahaan yang
memiliki pemimpin yang menerapkan standar etika dan moral yang tinggi
terbukti lebih sukses dalam jangka panjang. Hal yang sama juga
dikemukakan miliuner Jon M Huntsman, 2005 (dalam Itpin, 2006) dalam
buku Winners Never Cheat mengatakan bahwa kunci utama kesuksesan
adalah reputasi sebagai pengusaha yang memegang teguh integritas dan
kepercayaan pihak lain.
Dari pembahasan di atas, beretika dalam bisnis tidak akan memberi
keuntungan segera. Karena itu, para pengusaha dan praktisi bisnis harus
belajar untuk berpikir jangka panjang. Peran masyarakat, terutama melalui
pemerintah, badan- badan pengawasan, LSM, media dan konsumen yang
kritis sangat dibutuhkan untuk membantu meningkatkan etika bisnis
berbagai perusahaan di Indonesia.

BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN ETIKA BISNIS


Menurut Kamus Inggris Indonesia Oleh Echols and Shadily (1992:
219), Moral yaitu moral, akhlak, susila (su=baik, sila=dasar,
susila=dasar-dasar kebaikan); Moralitas yaitu kesusilaan; Sedangkan
Etik (Ethics) yaitu etika, tata susila. Sedangkan secara etika (ethical)
diartikan pantas, layak, beradab, susila. Jadi kata moral dan etika
penggunaannya sering dipertukarkan dan disinonimkan, yang
sebenarnya memiliki makna dan arti berbeda. Moral dilandasi oleh
etika, sehingga orang yang memiliki moral pasti dilandasi oleh etika.
Demikian pula perusahaan yang memiliki etika bisnis pasti
manajernya dan segenap karyawan memiliki moral yang baik.

Uno (2004) membedakan pengertian etika dengan etiket. Etiket


(sopan santun) berasal dari bahasa Prancis etiquette yang berarti tata
cara pergaulan yang baik antara sesama menusia. Sementara itu
etika, berasal dari bahasa Latin, berarti falsafah moral dan merupakan
cara hidup yang benar dilihat dari sudut budaya, susila, dan agama.

Pengertian etika menurut Sonny Keraf terbagi dua, yaitu:


a. Etika sebagai Moralitas, Etika (Yunani = ethos) yaitu kebiasaan
hidup atau adat istiadat, berkaitan dengan nilai-nilai. Moralitas
(latin = mos) yaitu adat atau kebiasaan. Jadi etika adalah suatu
sitem nilai tentang bagaimana manusia harus hidup yang terwujud
dalam pola perilaku dan terulang dalam kurun waktu lama sebagai
kebiasaan.
b. Etika sebagai ilmu, yaitu ilmu yang membahas dan mengkaji nilai
dan norma yang diberikan oleh moralitas dan etika dalam
pengertian diatas.

Etika adalah suatu cabang dari filosofi yang berkaitan dengan


”kebaikan (rightness)” atau moralitas (kesusilaan) dari kelakuan
manusia. Kata etik juga berhubungan dengan objek kelakuan manusia
di wilayah-wilayah tertentu, seperti etika kedokteran, etika bisnis, etika
profesional (advokat, akuntan) dan lain-lain. Disni ditekankan pada
etika sebagai objek perilaku manusia dalam bidang bisnis. Dalam
pengertian ini etika diartikan sebagai aturan-aturan yang tidak dapat
dilanggar dari perilaku yang diterima masyarakat sebagai ”baik (good)
atau buruk (bad)”. Catatan tanda kutip pada kata-kata baik dan buruk,
yang berarti menekankan bahwa penentuan baik dan buruk adalah
suatu masalah selalu berubah. Akhirnya, keputusan bahwa manajer
membuat tentang pertanyaan yang bekaitan dengan etika adalah
keputusan secara individual, yang menimbulkan konskuensi.
Keputusan ini merefleksikan banyak faktor, termasuk moral dan nilai-
nilai individu dan masyarakat.
Secara sederhana etika bisnis dapat diartikan sebagai suatu
aturan main yang tidak mengikat karena bukan hukum. Tetapi harus
diingat dalam praktek bisnis sehari-hari etika bisnis dapat menjadi
batasan bagi aktivitas bisnis yang dijalankan. Etika bisnis sangat
penting mengingat dunia usaha tidak lepas dari elemen-elemen
lainnya. Keberadaan usaha pada hakikatnya adalah untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat. Bisnis tidak hanya mempunyai hubungan
dengan orang-orang maupun badan hukum sebagai pemasok,
pembeli, penyalur, pemakai dan lain-lain (Dalimunthe, 2004).
Bagaimana posisi teori Etika Bisnis dalam kancah dunia bisnis di
Indonsesia? Etika bisnis sendiri sesungguhnya merupakan aplikasi
dari etika pribadi para pelaku bisnis itu sendiri dalam dunia usaha.
Sonny Keraf dalam bukunya ”Etika Bisnis” menyatakan bahwa dalam
tingkat tertentu etika lalu menjadi sebuah ilmu yang sangat luas dan
kompleks dan berkaitan dengan seluruh bidang dan aspek kehidupan
manusia.
Etika bisnis menjadi semakin penting ketika sistem perekonomian
sendiri memberikan tempat bagi adanya perdagangan bebas,
persaingan harga dan monopoli perdagangan. Dalam bahasa Kant,
etika berusaha menggugah kesadaran manusia untuk bertindak
secara otonom dan bukan secara heteronom.
Dalam bukunya yang berjudul ” Etika Bisnis : Tuntutan dan
Relevansinya”, DR. A. Sonny Keraf membagi etika dalam tiga norma
umum yaitu : Norma sopan santun, norma hukum dan ketiga adalah
norma moral. Rendahnya etika para pelaku bisnis terjadi karena
rendahnya pemahaman dari norma – norma umum yang sangat
mendasar tersebut. Etika adalah suatu yang terbentuk dari proses
yang cukup panjang, bahkan sepanjang dari usia seseorang itu
sendiri. Etika adalah pelajaran yang di peroleh seseorang mulai dari
lahir, sampai tingkat dewasa.
Sonny Keraf juga membagi etika berbisnis dalam beberapa prinsip
antara lain:
a. Prinsip Otonomi, adalah sikap dan kemampuan menusia untuk
mengambil keputusan dan bertindak berdasarkan kesadarannya
sendiri tentang apa yang dianggapnya paling baik untuk
dilakukan.
b. Prinsip Kejujuran, dalam mengikat perjanjian dan kontrak tertentu,
semua pihak (pelaku bisnis dalam hal ini) secara apriori saling
percaya satu sama lain, bahwa masing-masing pihak secara tulus
dan jujur dalam membuat perjanjian dan kontrak dan lebih dari itu
serius serta tulus dan jujur melaksanakan janjinya.
c. Prinsip Keadilan, yang menuntut agar setiap orang diperlakukan
dengan sama sesuai dengan peraturan yang adil dan sesuai
dengan kriteria rasional obyektif yang dapat dipertanggung
jawabkan.
d. Prinsip saling menguntungkan, menuntut agar bisnis dijalankan
sedemikian rupa sehingga meguntungkan semua pihak.
e. Integritas Moral, dihayati sebagai tuntutan internal dalam diri
pelaku bisnis atau perusahaan agar ia perlu menjalankan
perusahaan bisnis dengan tetap menjalankan nama baiknya atau
nama perusahaannya.
B. ARTI PENTINGNYA ETIKA DALAM BISNIS

Perubahan perdagangan dunia menuntut segera dibenahinya


etika bisnis agar tatanan ekonomi dunia semakin membaik. Langkah
apa yang harus ditempuh?. Didalam bisnis tidak jarang berlaku
konsep tujuan menghalalkan segala cara. Bahkan tindakan yang
berbau kriminal pun ditempuh demi pencapaian suatu tujuan. Kalau
sudah demikian, pengusaha yang menjadi pengerak motor
perekonomian akan berubah menjadi binatang ekonomi. Terjadinya
perbuatan tercela dalam dunia bisnis tampaknya tidak menampakan
kecenderungan tetapi sebaliknya, makin hari semakin meningkat.
Tindakan mark up, ingkar janji, tidak mengindahkan kepentingan
masyarakat, tidak memperhatikan sumber daya alam maupun
tindakan kolusi dan suap merupakan segelintir contoh pengabaian
para pengusaha terhadap etika bisnis.
Sebagai bagian dari masyarakat, tentu bisnis tunduk pada norma-
norma yang ada pada masyarakat. Tata hubungan bisnis dan
masyarakat yang tidak bias dipisahkan itu membawa serta etika-etika
tertentu dalam kegiatan bisnisnya, baik etika itu antara sesama pelaku
bisnis maupun etika bisnis terhadap masyarakat dalam hubungan
langsung maupun tidak langsung.
Dengan memetakan pola hubungan dalam bisnis seperti itu dapat
dilihat bahwa prinsip-prinsip etika bisnis terwujud dalam satu pola
hubungan yang bersifat interaktif. Hubungan ini tidak hanya dalam
satu negara, tetapi meliputi berbagai negara yang terintegrasi dalam
hubungan perdagangan dunia yang nuansanya kini telah berubah.
Perubahan nuansa perkembangan dunia itu menuntut segera
dibenahinya etika bisnis. Pasalnya, kondisi hukum yang melingkupi
dunia usaha terlalu jauh tertinggal dari pertumbuhan serta
perkembangan dibidang ekonomi.
Jalinan hubungan usaha dengan pihak-pihak lain yang terkait
begitu kompleks. Akibatnya, ketika dunia usaha melaju pesat, ada
pihak-pihak yang tertinggal dan dirugikan, karena peranti hukum dan
aturan main dunia usaha belum mendapatkan perhatian yang
seimbang. Salah satu contoh yang selanjutnya menjadi masalah bagi
pemerintah dan dunia usaha adalah masih adanya pelanggaran
terhadap upah buruh. Hal lni menyebabkan beberapa produk nasional
terkena batasan di pasar internasional. Contoh lain adalah produk-
produk hasil hutan yang mendapat protes keras karena pengusaha
Indonesia dinilai tidak memperhatikan kelangsungan sumber alam
yang sangat berharga.
Perilaku etik penting diperlukan untuk mencapai sukses jangka
panjang dalam sebuah bisnis. Pentingnya etika bisnis tersebut berlaku
untuk kedua perspektif, baik lingkup makro maupun mikro, yang akan
dijelaskan sebagai berikut:

1. Perspektif Makro. Pertumbuhan suatu negara tergantung pada


market system yang berperan lebih efektif dan efisien daripada
command system dalam mengalokasikan barang dan jasa.
Beberapa kondisi yang diperlukan market system untuk dapat
efektif, yaitu:
a) Hak memiliki dan mengelola properti swasta;
b) Kebebasan memilih dalam perdagangan barang dan jasa; dan
c) Ketersediaan informasi yang akurat berkaitan dengan barang
dan jasa Jika salah satu subsistem dalam market system
melakukan perilaku yang tidak etis, maka hal ini akan
mempengaruhi keseimbangan sistem dan menghambat
pertumbuhan sistem secara makro.
Pengaruh dari perilaku tidak etik pada perspektif bisnis makro :
a. Penyogokan atau suap. Hal ini akan mengakibatkan
berkurangnya kebebasan memilih dengan cara
mempengaruhi pengambil keputusan.
b. Coercive act. Mengurangi kompetisi yang efektif antara pelaku
bisnis dengan ancaman atau memaksa untuk tidak
berhubungan dengan pihak lain dalam bisnis.
c. Deceptive information
d. Pecurian dan penggelapa
e. Unfair discrimination.
2. Perspektif Bisnis Mikro. Dalam Iingkup ini perilaku etik identik
dengan kepercayaan atau trust. Dalam Iingkup mikro terdapat
rantai relasi di mana supplier, perusahaan, konsumen, karyawan
saling berhubungan kegiatan bisnis yang akan berpengaruh pada
Iingkup makro. Tiap mata rantai penting dampaknya untuk selalu
menjaga etika, sehingga kepercayaan yang mendasari hubungan
bisnis dapat terjaga dengan baik.

Standar moral merupakan tolok ukur etika bisnis. Dimensi etik


merupakan dasar kajian dalam pengambilan keputusan. Etika bisnis
cenderung berfokus pada etika terapan daripada etika normatif. Dua
prinsip yang dapat digunakan sebagai acuan dimensi etik dalam
pengambilan keputusan, yaitu:
1) Prinsip konsekuensi (Principle of Consequentialist) adalah konsep
etika yang berfokus pada konsekuens pengambilan keputusan.
Artinya keputusan dinilai etik atau tidak berdasarkan konsekuensi
(dampak) keputusan tersebut;
2) Prinsip tidak konsekuensi (Principle of Nonconsequentialist)
adalah terdiri dari rangkaian peraturan yang digunakan sebagai
petunjuk/panduan pengambilan keputusan etik dan berdasarkan
alasan bukan akibat, antara lain:
a) Prinsip Hak, yaitu menjamin hak asasi manusia yang
berhubungan dengan kewajiban untuk tidak saling melanggar
hak orang lain;
b) Prinsip Keadilan, yaitu keadilan yang biasanya terkait dengan
isu hak, kejujuran, dan kesamaan.
Adapun prinsip keadilan dapat dibagi menjadi tiga jenis yaitu:
1) Keadilan distributive, yaitu keadilan yang sifatnya
menyeimbangkan alokasi benefit dan beban antar anggota
kelompok sesuai dengan kontribusi tenaga dan pikirannya
terhadap benefit. Benefit terdiri dari pendapatan, pekerjaan,
kesejahteraan, pendidikan dan waktu luang. Beban terdiri dari
tugas kerja, pajak dan kewajiban social;
2) Keadilan retributive, yaitu keadilan yang terkait dengan retribution
(ganti rugi) dan hukuman atas kesalahan tindakan. Seseorang
bertanggungjawab atas konsekuensi negatif atas tindakan yang
dilakukan kecuali tindakan tersebut dilakukan atas paksaan pihak
lain; dan
3) Keadilan kompensatoris, yaitu keadilan yang terkait dengan
kompensasi bagi pihak yang dirugikan. Kompensasi yang diterima
dapat berupa perlakuan medis, pelayanan dan barang penebus
kerugian. Masalah terjadi apabila kompensasi tidak dapat
menebus kerugian, misalnya kehilangan nyawa manusia.

Apabila moral merupakan suatu pendorong orang untuk


melakukan kebaikan, maka etika bertindak sebagai rambu-rambu
(sign) yang merupakan kesepakatan secara rela dari semua anggota
suatu kelompok. Dunia bisnis yang bermoral akan mampu
mengembangkan etika (patokan/rambu-rambu) yang menjamin
kegiatan bisnis yang seimbang, selaras, dan serasi. Etika sebagai
rambu-rambu dalam suatu kelompok masyarakat akan dapat
membimbing dan mengingatkan anggotanya kepada suatu tindakan
yang terpuji (good conduct) yang harus selalu dipatuhi dan
dilaksanakan. Etika di dalam bisnis sudah tentu harus disepakati oleh
orang-orang yang berada dalam kelompok bisnis serta kelompok yang
terkait lainnya. Tentu dalam hal ini, untuk mewujudkan etika dalam
berbisnis perlu pembicaraan yang transparan antara semua pihak,
baik pengusaha, pemerintah, masyarakat maupun bangsa lain agar
jangan hanya satu pihak saja yang menjalankan etika sementara
pihak lain berpijak kepada apa yang mereka inginkan. Artinya kalau
ada pihak terkait yang tidak mengetahui dan menyetujui adanya moral
dan etika, jelas apa yang disepakati oleh kalangan bisnis tadi tidak
akan pernah bisa diwujudkan. Jadi, jelas untuk menghasilkan suatu
etika didalam berbisnis yang menjamin adanya kepedulian antara satu
pihak dan pihak lain tidak perlu pembicaraan yang bersifat global yang
mengarah kepada suatu aturan yang tidak merugikan siapapun dalam
perekonomian.

Dalam menciptakan etika bisnis, Dalimunthe (2004) menganjurkan


untuk memperhatikan beberapa hal sebagai berikut:
1. Pengendalian Diri
pelaku-pelaku bisnis mampu mengendalikan diri mereka
masingmasing untuk tidak memperoleh apapun dari siapapun dan
dalam bentuk apapun. Disamping itu, pelaku bisnis sendiri tidak
mendapatkan keuntungan dengan jalan main curang atau
memakan pihak lain dengan menggunakan keuntungan tersebut.
Walau keuntungan yang diperoleh merupakan hak bagi pelaku
bisnis, tetapi penggunaannya juga harus memperhatikan kondisi
masyarakat sekitarnya. Inilah etika bisnis yang "etik".
2. Pengembangan Tanggung Jawab Sosial (Social Responsibility)
Pelaku bisnis disini dituntut untuk peduli dengan keadaan
masyarakat, bukan hanya dalam bentuk "uang" dengan jalan
memberikan sumbangan, melainkan lebih kompleks lagi. Artinya
sebagai contoh kesempatan yang dimiliki oleh pelaku bisnis untuk
menjual pada tingkat harga yang tinggi sewaktu terjadinya excess
demand harus menjadi perhatian dan kepedulian bagi pelaku bisnis
dengan tidak memanfaatkan kesempatan ini untuk meraup
keuntungan yang berlipat ganda. Jadi, dalam keadaan excess
demand pelaku bisnis harus mampu mengembangkan dan
memanifestasikan sikap tanggung jawab terhadap masyarakat
sekitarnya. Tanggung jawab sosial bisa dalam bentuk kepedulian
terhadap masyarakat di sekitarnya, terutama dalam hal pendidikan,
kesehatan, pemberian latihan keterampilan, dll.
3. Mempertahankan Jati Diri
Mempertahankan jati diri dan tidak mudah untuk terombang-ambing
oleh pesatnya perkembangan informasi dan teknologi adalah salah
satu usaha menciptakan etika bisnis. Namun demikian bukan
berarti etika bisnis anti perkembangan informasi dan teknologi,
tetapi informasi dan teknologi itu harus dimanfaatkan untuk
meningkatkan kepedulian bagi golongan yang lemah dan tidak
kehilangan budaya yang dimiliki akibat adanya tranformasi
informasi dan teknologi.
4. Menciptakan Persaingan yang Sehat
Persaingan dalam dunia bisnis perlu untuk meningkatkan efisiensi
dan kualitas, tetapi persaingan tersebut tidak mematikan yang
lemah, dan sebaliknya harus terdapat jalinan yang erat antara
pelaku bisnis besar dan golongan menengah kebawah, sehingga
dengan perkembangannya perusahaan besar mampu memberikan
spread effect terhadap perkembangan sekitarnya. Untuk itu dalam
menciptakan persaingan perlu ada kekuatan-kekuatan yang
seimbang dalam dunia bisnis tersebut.
5. Menerapkan Konsep “Pembangunan Berkelanjutan"
Dunia bisnis seharusnya tidak memikirkan keuntungan hanya pada
saat sekarang, tetapi perlu memikirkan bagaimana dengan
keadaan dimasa datang. Berdasarkan ini jelas pelaku bisnis
dituntut tidak meng-"ekspoitasi" lingkungan dan keadaan saat
sekarang semaksimal mungkin tanpa mempertimbangkan
lingkungan dan keadaan dimasa datang walaupun saat sekarang
merupakan kesempatan untuk memperoleh keuntungan besar.
6. Menghindari Sifat 5K (Katabelece, Kongkalikong, Koneksi, Kolusi
dan Komisi)
Jika pelaku bisnis sudah mampu menghindari sikap seperti ini, kita
yakin tidak akan terjadi lagi apa yang dinamakan dengan korupsi,
manipulasi dan segala bentuk permainan curang dalam dunia
bisnis ataupun berbagai kasus yang mencemarkan nama bangsa
dan negara.
7. Mampu Menyatakan yang Benar itu Benar
Artinya, kalau pelaku bisnis itu memang tidak wajar untuk
menerima kredit (sebagai contoh) karena persyaratan tidak bisa
dipenuhi, jangan menggunakan "katabelece" dari "koneksi" serta
melakukan "kongkalikong" dengan data yang salah. Juga jangan
memaksa diri untuk mengadakan “kolusi" serta memberikan
"komisi" kepada pihak yang terkait.
8. Menumbuhkan Sikap Saling Percaya antar Golongan Pengusah
Untuk menciptakan kondisi bisnis yang "kondusif" harus ada sikap
saling percaya (trust) antara golongan pengusaha kuat dengan
golongan pengusaha lemah, sehingga pengusaha lemah mampu
berkembang bersama dengan pengusaha lainnya yang sudah
besar dan mapan. Yang selama ini kepercayaan itu hanya ada
antara pihak golongan kuat, saat sekarang sudah waktunya
memberikan kesempatan kepada pihak menengah untuk
berkembang dan berkiprah dalam dunia bisnis.
9. Konsekuen dan Konsisten dengan Aturan main Bersama
Semua konsep etika bisnis yang telah ditentukan tidak akan dapat
terlaksana apabila setiap orang tidak mau konsekuen dan konsisten
dengan etika tersebut. Mengapa? Seandainya semua ketika bisnis
telah disepakati, sementara ada "oknum", baik pengusaha sendiri
maupun pihak yang lain mencoba untuk melakukan "kecurangan"
demi kepentingan pribadi, jelas semua konsep etika bisnis itu akan
"gugur" satu semi satu.
10. Memelihara Kesepakatan
Memelihara kesepakatan atau menumbuhkembangkan Kesadaran
dan rasa Memiliki terhadap apa yang telah disepakati adalah salah
satu usaha menciptakan etika bisnis. Jika etika ini telah dimiliki oleh
semua pihak, jelas semua memberikan suatu ketentraman dan
kenyamanan dalam berbisnis.
11. Menuangkan ke dalam Hukum Positif
Perlunya sebagian etika bisnis dituangkan dalam suatu hukum
positif yang menjadi Peraturan Perundang-Undangan dimaksudkan
untuk menjamin kepastian hukum dari etika bisnis tersebut, seperti
"proteksi" terhadap pengusaha lemah. Kebutuhan tenaga dunia
bisnis yang bermoral dan beretika saat sekarang ini sudah
dirasakan dan sangat diharapkan semua pihak apalagi dengan
semakin pesatnya perkembangan globalisasi dimuka bumi ini.
Dengan adanya moral dan etika dalam dunia bisnis serta
kesadaran semua pihak untuk melaksanakannya, kita yakin juran
itu akan dapat diatasi.

Ahli pemberdayaan kepribadian Uno (2004) menjelaskan bahwa


mempraktikkan bisnis dengan etiket berarti mempraktikkan tata cara
bisnis yang sopan dan santun sehingga kehidupan bisnis
menyenangkan karena saling menghormati. Etiket berbisnis
diterapkan pada sikap kehidupan berkantor, sikap menghadapi rekan-
rekan bisnis, dan sikap di mana kita tergabung dalam organisasi. Itu
berupa senyum -- sebagai apresiasi yang tulus dan terima kasih, tidak
menyalahgunakan kedudukan, kekayaan, tidak lekas tersinggung,
kontrol diri, toleran, dan tidak memotong pembicaraan orang lain.
Dengan kata lain, etiket bisnis itu memelihara suasana yang
menyenangkan, menimbulkan rasa saling menghargai, meningkatkan
efisiensi kerja, dan meningkatkan citra pribadi dan perusahaan.
Sedangkan berbisnis dengan etika bisnis adalah menerapkan aturan-
aturan umum mengenai etika pada perilaku bisnis. Etika bisnis
menyangkut moral, kontak sosial, hak-hak dan kewajiban, prinsip-
prinsip dan aturan-aturan. Jika aturan secara umum mengenai etika
mengatakan bahwa berlaku tidak jujur adalah tidak bermoral dan
beretika, maka setiap insan bisnis yang tidak berlaku jujur dengan
pegawainya, pelanggan, kreditur, pemegang usaha maupun pesaing
dan masyarakat, maka ia dikatakan tidak etis dan tidak bermoral.
Intinya adalah bagaimana kita mengontrol diri kita sendiri untuk dapat
menjalani bisnis dengan baik dengan cara peka dan toleransi.

C. MASALAH ETIKA DALAM BISNIS


Masalah etika dalam bisnis dapat diklasifikasikan ke dalam lima
kategori yaitu:
1. Suap (Bribery), adalah tindakan berupa menawarkan, memberi,
menerima, atau meminta sesuatu yang berharga dengan tujuan
mempengaruhi tindakan seorang pejabat dalam melaksanakan
kewajiban publik. Suap dimaksudkan untuk memanipulasi
seseorang dengan membeli pengaruh. 'Pembelian' itu dapat
dilakukan baik dengan membayarkan sejumlah uang atau barang,
maupu 'pembayaran kembali' setelah transaksi terlaksana. Suap
kadangkala tidak mudah dikenali. Pemberian cash atau
penggunaan callgirls dapat dengan mudah dimasukkan sebagai
cara suap, tetapi pemberian hadiah (gift) tidak selalu dapat disebut
sebagai suap, tergantung dari maksud dan respons yang
diharapkan oleh pemberi hadiah.
2. Paksaan (Coercion), adalah tekanan, batasan, dorongan dengan
paksa atau dengan menggunakan jabatan atau ancaman.
Coercion dapat berupa ancaman untuk mempersulit kenaikan
jabatan, pemecatan, atau penolakan industry terhadap seorang
individu.
3. Penipuan (Deception), adalah tindakan memperdaya,
menyesatkan yang disengaja dengan mengucapkan atau
melakukan kebohongan.
4. Pencurian (Theft), adalah merupakan tindakan mengambil
sesuatu yang bukan hak kita atau mengambil property milik orang
lain tanpa persetujuan pemiliknya. Properti tersebut dapat berupa
property fisik atau konseptual.
5. Diskriminasi tidak jelas (Unfair discrimination), adalah perlakuan
tidak adil atau penolakan terhadap orang-orang tertentu yang
disebabkan oleh ras, jenis kelamin, kewarganegaraan, atau
agama. Suatu kegagalan untuk memperlakukan semua orang
dengan setara tanpa adanya perbedaan yang beralasan antara
mereka yang 'disukai' dan tidak.

BAB III
PENUTUP

a) Etika adalah suatu cabang dari filosofi yang berkaitan dengan


”kebaikan (rightness)” atau moralitas (kesusilaan) dari perilaku
manusia. Dalam pengertian ini etika diartikan sebagai aturan-aturan
yang tidak dapat dilanggar dari perilaku yang diterima masyarakat
sebagai ”baik (good” atau buruk (bad)”. Sedangkan Penentuan baik
dan buruk adalah suatu masalah selalu berubah.
b) Etika bisnis adalah standar-standar nilai yang menjadi pedoman atau
acuan manajer dan segenap karyawan dalam pengambilan keputusan
dan mengoperasikan bisnis yang etik.
c) Paradigma etika dan bisnis adalah dunia yang berbeda sudah saatnya
dirubah menjadi paradigma etika terkait dengan bisnis atau
mensinergikan antara etika dengan laba. Justru di era kompetisi yang
ketat ini, reputasi perusahaan yang baik yang dilandasi oleh etika
bisnis merupakan sebuah competitive advantage yang sulit ditiru.
Oleh karena itu, perilaku etik penting diperlukan untuk mencapai
sukses jangka panjang dalam sebuah bisnis.
d) Dalam bisnis, ada lima masalah etika yaitu: suap, paksaan, penipuan,
pencurian, dan diskriminasi tidak jelas.

DAFTAR PUSTAKA

Dalimunthe, Rita F. 2004. Etika Bisnis. Dalam Website Google: Etika


Bisnis dan Pengembangan Iptek.
Echols, John M and Shadily, Hasan. 1992. Kamus Inggris Indonesia.
Penerbit PT Gramedia, Jakarta.
It Pin. 2006. Etika dan Bisnis. Dalam Kompas, Jumat 30 Juni 2006.
Keraf, Sonny. Etika Bisnis: Tuntutan dan Relevansinya. Penerbit Kanisius.
Jakarta.
Komenaung, Anderson Guntur. Etika Dalam Bisnis.
http://ejournal.unud.ac.id/. 22 Mei 2011.
Surapto. 16 Desember 2008. Praktek KKN di Indonesia, dilihat dari Sudut
Pandang Etika Bisnis. http://organisasi.org/. 22 Mei 2011.
Uno, Mien R. 2004. Jangan Bernapas dalam Lumpur. Dalam Website
Google: Etika Bisnis dan Pengembangan Iptek.

You might also like