You are on page 1of 17

SISTEM HUKUM DAN PERADILAN INTERNASIONAL

SISTEM HUKUM DAN PERADILAN INTERNASIONAL A. Pengertian Hukum Internasional Pada dasarnya yang dimaksud hukum internasional dalam pembahasan ini adalah hukum internasional publik, karena dalam penerapannya, hukum internasional terbagi menjadi dua, yaitu: hukum internasional publik dan hukum perdata internasional. Hukum internasional publik adalah keseluruhan kaidah dan asas hukum yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara, yang bukan bersifat perdata. perdata internasional adalah keseluruhan kaidah dan asas hukum yang mengatur hubungan perdata yang melintasi batas negara, dengan perkataan lain, hukum yang mengatur hubungan hukum perdata antara para pelaku hukum yang masing-masing tunduk pada hukum perdata yang berbeda. (Kusumaatmadja, 1999; 1) Awalnya, beberapa sarjana mengemukakan pendapatnya mengenai definisi dari hukum internasional, antara lain yang dikemukakan oleh Grotius dalam bukunya De Jure Belli ac Pacis (Perihal Perang dan Damai). Menurutnya hukum dan hubungan internasional didasarkan pada kemauan bebas dan persetujuan beberapa atau semua negara. Ini ditujukan demi kepentingan bersama dari mereka yang menyatakan diri di dalamnya . menurut Akehurst : hukum internasional adalah sistem hukum yang di bentuk dari hubungan antara negara-negara Definisi hukum internasional yang diberikan oleh pakar-pakar hukum terkenal di masa lalu, termasuk Grotius atau Akehurst, terbatas pada negara sebagai satu-satunya pelaku hukum dan tidak memasukkan subjek-subjek hukum lainnya. Salah satu definisi yang lebih lengkap yang dikemukakan oleh para sarjana mengenai hukum internasional adalah definisi yang dibuat oleh Charles Cheny Hyde : hukum internasional dapat didefinisikan sebagai sekumpulan hukum yang sebagian besar terdiri atas prinsip-prinsip dan peraturan-peraturan yang harus ditaati oleh negara-negara, dan oleh karena itu juga harus ditaati dalam hubungan-hubungan antara mereka satu dengan lainnya, serta yang juga mencakup : a. organisasi internasional, hubungan antara organisasi internasional satu dengan lainnya, hubungan peraturan-peraturan hukum yang berkenaan dengan fungsi-fungsi lembaga atau antara organisasi internasional dengan negara atau negara-negara ; dan hubungan antara organisasi internasional dengan individu atau individu-individu ; b. peraturan-peraturan hukum tertentu yang berkenaan dengan individu-individu dan subyek-subyek hukum bukan negara (non-state entities) sepanjang hak-hak dan kewajiban-kewajiban individu dan subyek hukum bukan negara tersebut bersangkut paut dengan masalah masyarakat internasional (Phartiana, 2003; 4) Sejalan dengan definisi yang dikeluarkan Hyde, Mochtar Kusumaatmadja mengartikan hukum internasional sebagai keseluruhan kaidah-kaidah dan asas-asas hukum yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas-batas negara, antara negara dengan negara dan negara dengan subjek hukum lain bukan negara atau subyek hukum bukan negara satu sama lain. (Kusumaatmadja, 1999; 2) Berdasarkan pada definisi-definisi di atas, secara sepintas sudah diperoleh gambaran umum tentang ruang lingkup dan substansi dari hukum internasional, yang di dalamnya terkandung unsur subyek

atau pelaku, hubungan-hubungan hukum antar subyek atau pelaku, serta hal-hal atau obyek yang tercakup dalam pengaturannya, serta prinsip-prinsip dan kaidah atau peraturan-peraturan hukumnya. Sedangkan mengenai subyek hukumnya, tampak bahwa negara tidak lagi menjadi satu-satunya subyek hukum internasional, sebagaimana pernah jadi pandangan yang berlaku umum di kalangan para sarjana sebelumnya. Beberapa sarjana lain menyatakan pendapatnya tentang hukum internasional adalah sebagai berikut : a. J.G. Starke Hukum internasional, adalah sekumpulan hukum (body of law) yang sebagian besar terdiri dari asas-asas dan karena itu biasanya ditaati dalam hubungan antar negara. b. Wirjono Prodjodikoro Hukum internasional, adalah hukum yang mengatur perhubungan hukum antara berbagai bangsa di berbagai negara. c. Mochtar Kusumaatmadja Hukum internasional, adalah keseluruhan kaidah-kaidah dan asas- asas yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas-batas negara antara : negara dan negara negara dan subjek hukum lain bukan negara atau subjek hukum bukan negara satu sama lain

B.

Asas

asas

hukum

Internasional

Menurut Resolusi majelis Umum PBB No. 2625 tahun 1970, ada tujuh asas, yaitu : 1. Setiap Negara tidak melakukan ancaman agresi terhadap keutuhan wilayah dan kemerdekaan Negara lain. Dalam asas ini ditekankan bahwa setiap Negara tidak memberikan ancaman dengan kekuatan militer dan tidak melakukan sesuatu yang bertentangan dengan piagam PBB. 2. setiap Negara harus menyelesaikan masalah internasional dengan cara damai, Dalam asas ini setiap Negara harus mencari solusi damai, menghendalikan diri dari tindakan yang dapat membahayakan perdamaian internasional. 3. Tidak melakukan intervensi terhadap urusan dalam negeri Negara lain, Dalam asas ini menekankan setip Negara memiliki hak untuk memilih sendiri keputusan politiknya, ekonomi, social dan system budaya tanpa intervensi pihak lain. 4. Negara wajib menjalin kerjasama dengan Negara lain berdasar pada piagam PBB, kerjasama itu dimaksudkan untuk menciptakan perdamaian dan keamanan internasional di bidang Hak asasi manusia, politik, ekonomi, social budaya, tekhnik, perdagangan. 5. Asas persaman hak dan penentuan nasib sendiri, kemerdekaan dan perwujudan kedaulatan suatu Negara ditentukan oleh rakyat. 6. Asas persamaan kedaulatan dari Negara, Setiap Negara memiliki persamaan kedaulatan secara umum sebagai berikut : a. Memilki persamaan Yudisial (perlakuan Hukum). b. Memilikimhak penuh terhadap kedaulatan c. Setiap Negara menghormati kepribadian Negara lain. d. Teritorial dan kemerdekanan politi suatu Negara adalah tidak dapat diganggu gugat. e. Setap Negara bebas untuk membangun system politik, soaial, ekonomi dan sejarah bansanya. f. Seiap Negara wajib untuk hidup damai dengan Negara lain. 7. Setiap Negara harus dapat dipercaya dalam memenuhi kewajibannya, pemenuhan kewajiban itu

harus sesuai dengan ketentuan hukum internasional. Asas-Asas Hukum Internasional Dalam menjalin hubungan antar bangsa, setiap negara harus memperhatikan asas-asas hukum internasional, yaitu: a. Asas Teritorial Asas ini didasarkan pada kekuasaan negara atas daerahnya. Menurut asas ini, negara melaksanakan hukum bagi semua orang dan semua barang yang ada di wilayahnya. Jadi terhadap semua barang atau orang yang berada di luar wilayah tersebut, berlaku hukum asing (internasional) sepenuhnya. b. Asas Kebangsaan Asas ini didasarkan pada kekuasaan negara untuk warga negaranya. Menurut asas ini, setiap negara di manapun dia berada, tetap mendapatkan perlakuan hukum dari negaranya. Asas ini mempunyai kekuatan exteritorial. Artinya hukum di negara tersebut tetap berlaku juga bagi warga negaranya, walaupun berada di negara asing. c. Asas Kepentingan Umum Asas ini didasarkan pada wewenang negara untuk melindungi dan mengatur kepentingan dalam kehidupan masyarakat. Dalam hal ini, negara dapat menyesuaikan diri dengan semua keadaan dan peristiwa yang bersangkut paut dengan kepentingan umum. Jadi, hukum tidak terikat pada batasbatas wilayah suatu negara. Apabila ketiga asas ini tidak diperhatikan, akan timbul kekacauan hukum dalam hubungan antar bangsa. Oleh sebab itu, antara satu negara dan negara lain perlu ada hubungan yang teratur dan tertib dalam bentuk hukum internasional.

C. Sumber Hukum Internasional


Sumber-sumber hukum internasional, adalah sumber-sumber yang digunakan oleh Mahkamah Internasional dalam memutuskan masalah-masalah hubungan internasional. Sumber hukum internasional, menurut Mochtar Kusumaatmadja dalam buku Hukum Internasional Humaniter, dapat dibedakan antara sumber hukum dalam arti material dan sumber hukum dalam arti formal. Dalam arti material bahwa, hukum internasional tidak dapat dipaksakan seperti hukum nasional, karena masyarakat internasional bukanlah suatu negara dunia yang memiliki badan kekuasaan atau pemerintahan tertentu seperti halnya sebuah negara. Masyarakat internasional adalah masyarakat negara-negara atau bangsa-bangsa yang anggotanya didasarkan atas kesukarelaan dan kesadaran, sedangkan kedaulatan sebagai kekuasaan tertinggi tetap berada di negara masing-masing. Meskipun demikian, dalam kenyataannya kaidah-kaidah hukum internasional juga ditaati oleh sebagian besar negara-negara anggota masyarakat bangsa-bangsa yang berarti juga mengikat. Mengenai hal ini, ada dua aliran yang memiliki pendapat yang berbeda. Kedua aliran itu adalah sebagai berikut : a. Aliran Naturalis Aliran ini bersandar pada hak asasi atau hak-hak alamiah. Aliran ini berpendapat bahwa kekuatan mengikat dari hukum internasional didasarkan pada hukum alam yang berasal dari Tuhan. Menurut teori ini dasar mengikatnya hukum internasional, karena hukum internasional adalah hukum alam, sehingga kedudukannya dianggap lebih tinggi daripada hukum nasional. Pencetus teori ini adalahGrotius (Hugo de Groot) yang kemudian diikuti dan disempurnakan oleh Emmerich Vattel, ahli hukum dan diplomat Swiss. b. Aliran Positivisme

Aliran ini mendasarkan berlakunya hukum internasional pada persetujuan bersama dari negara-negara ditambah denganasas pacta sunt servanda yang dianut oleh madzhab Wina dengan pellopornya Hans Kelsen. Menurut Hans Kelsen pacta sunt servandamerupakan kaidah dasar pasal 26 Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian (Viena Convention of The Law of Treaties) tahun 1969. Sumber hukum internasional formal terdapat dalam pasal 38 Piagam Mahkamah Internasional Permanen 1920, sebagai berikut : 1. Perjanjian Internasional (traktat), adalah perjanjian yang diadakan antaranggota masyarakat bangsa-bangsa dan mengakibatkan hukum baru. 2. Kebiasaan Internasional yang diterima sebagai hukum, jadi tidak semua kebiasaan internasional menjadi sumber hukum. Syaratnya adalah kebiasann itu harus bersifat umum dan diterima sebagi hukum. 3. Asas-asas hukum umum yang diakui oleh bangsa beradab, adalah asas hukum yang mendasari system hukum modern. Sistem hukum modern, adalah system hukum positif yang didasarkan pada lembagaa hukum barat yang berdasarkan sebagaian besar pada asas hukum Romawi. 4. Keputusan-keputusan hakim dan ajaran para ahli hukum Internasional,adalah sumber hukum tambahan (subsider), artinya dapat dipakai untuk membuktikan adanya kaidah hukum internasional mengenai suatu persoalan yang didasarkan pada sumber hukum primer atau utama yaitu Perjanjian internasional, kebiasaan internasional, dan asas hukum umum. Yang disebut denga keputusan hakim, adalah keputusan pengadilan dalam arti luas yang meliputi segala macam peradilan internasional dan nasional, termasuk mahkamah arbitrase. Ajaran para ahli hukum internasional itu tidak bersifat mengikat, artinya tidak dapat menimbulkan suatu kaidah hukum.

B. Subyek Hukum Internasional


Adalah pihak-pihak yang membawa hak dan kewajiban hukum dalam pergaulan internasional. Menurut Starke, subyek internasional termasuk Negara, tahta suci, Palang merah Internasional, Organisasi internasional, Orang perseorangan (individu), Pemberontak dan pihak-pihak yang bersengketa. Negara, negara sudah diakui sebagi subyek hukum internasional sejak adanya hukum international, bahkan hukum international itu disebut sebagai hukum antarnegara. Tahta Suci (Vatikan) Roma Italia, Paus bukan saja kepoala gereja tetapi memiliki kekuasaan duniawi, Tahta Suci menjadi subyek hukum Internasional dalam arti penuh karena itu satusnya setara dengan Negara dan memiliki perwakilan diplomatic diberbagai Negara termasuk di Indonesia. Palang Merah Internasional, berkedudukan di jenewa dan menjadi subyek hukum internasional dalam arti terbatas, karena misi kemanusiaan yang diembannya. Organisasi Internasional, PBB, ILO memiliki hak dan kewajiban yang ditetapkan dalam konvensi-konvensi internasional, sehingga menjadi subyek hukum internasional. Orang persorangan (Individu), dapat menjadi subyek internasional dalam arti terbatas, sebab telah diatur dalam perdamaian Persailes 1919 yang memungkinkan orang perseorangan dapat mengajukan perkara ke hadapat Mahkamah Arbitrase Internasional. Pemberontak dan pihak yang bersengketa, dalam keadaan tertentu pemberontak dapat memperoleh kedudukan dan hak sebagai pihak yang bersengketa dan mendapat pengakuan sedbagai gerakan pembebasan dalam memuntut hak kemerdekaannya. Contoh PLO (Palestine Liberalism Organization) atau Gerakan Pembebasan Palestina.

Subjek Hukum Internasional dapat diartikan sebagai:


1. Pemegang segala hak dan kewajiban dalam hukum internasional. 2. Pemegang hak istimewa procedural untuk mengadakan tuntutan di depan Mahkamah Internasional. 3. Pemilik kepentingan yang diatur oleh Hukum Internasional. Menurut Prof. Mochtar Kusumaatmadja, subjek hukum internasional dapat diartikan sebagai pemegang segala hak dan kewajiban menurut hukum internasional. Dengan kata lain dapat disebut sebagai subjek hukum internasional secara penuh. Mengenai siapa yang menjadi subjek hukum internasional, dapat dilihat melalui dua pendekatan: 1. Pendekatan dari Segi Teoritis a. Hanya negaralah yang menjadi subjek hukum internasional. Pendapat ini didasarkan pada pemikiran, bahwa peraturan-peraturan hukum internasional adalah peraturan-peraturan yang harus ditaati oleh negara-negara, dan traktat-traktat meletakkan kewajiban yang hanya mengikat negara-negara yang menandatanganinya b. Individulah yang menjadi subjek hukum internasional. Bahwa yang dinamakan hak-hak dan kewajiban-kewajiban negara sebenarnya adalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban manusia-manusia yang merupakan anggota masyarakat yang mengorganisir dirinya dalam negara itu. Negara tidak lain merupakan konstruksi yuridis yang tidak akan mungkin ada jika tanpa manusia sebagai anggota masyarakat suatu negara. 2. Pendekatan dari Segi Praktis Pendekatan ini berpangkal tolak dari kenyataan yang ada, baik kenyataan mengenai keadaan masyarakat internasional masa sekarang maupun hukum yang mengaturnya. Kenyataan yang ada tersebut timbul karena sejarah, desakan kebutuhan perkembangan masyarakat hukum internasional, maupun memang diadakan oleh hukum itu sendiri.. Subjek hukum internasional tersebut adalah: Negara Pengertian Negara Dalam Konvensi Montevideo, disebutkan unsure-unsur apa saja yang harus ada pada sesuatu yang dapat disebut sebagai negara untuk dapat dijadikan sebagi subjek hukum internasional. Unsure-unsur tersebut adalah:

a. Penduduk yang tetap (a permanent population) b. Wilayah yang pasti (a defined territory) c. Pemerintah (goverment) d. Kemempuan untuk mengadakan hubungan dengan negara-negara lain (capacity to enter into relations with the other state) Negara juga bisa disebut sebagi organisasi kekuasaan yang berdaulat, menguasai wilayah tertentu, dan yang kehidupannya didasarkan pada system hukum tertentu. Terbentuknya Negara Terbentuknya negara terjadi melalui beberapa jalan: a. Proklamasi. Merupakan pernyataan sepihak dari suatu bangsa bahwa dirinya melepaskan diri dari kekuasaan negara lain dan mengambil penentuan nasibnya di tangannya sendiri. b. Perjanjian Internasional. Dengan perjanjian itu disepakati terbentuknya suatu organisasi kekuasaan yang berdaulat dari suatu bangsa tertentu. c. Plebesit. Plebesit adalah pemungutan suara rakyat dari dua negara yang bersengketa untuk memilih dan bergabung pada salah satu negara agar dapat berdiri sebagai suatu negara yang merdeka. Pengakuan Negara a. Pengertian Pengakuan Yang dimaksud dengan pengakuan itu ialah perbuatan bebas suatu negara yang membenarkan terbentuknya suatu organisasi kekuasaan yang menerima organisasi kekuasaan itu sebagai anggota masyarakat internasional. Pengakuan merupakan perbuatan politik karena pengakuan merupakan perbuatan pilihan yang didasarkan pada perimbangan kepentingan negara yang mengakui. Pengakuan bukan merupakan perbuatan hukum karena bukan keharusan sebagai akibat telah dipenuhinya persyaratan yang telah ditetapkan oleh hukum. Sebagai perbuatan hukum, pengakuan menimbulkan hak, kewajiban, dan privilege yang diatur hukum internasional dan hukum nasional negara yang mengakui. Pengakuan bisa diberikan kepada negara, pemerintah negara taupun kesatuan bukan negara seperti belligerent. b. Fungsi pengakuan Teori Konstitutif. Teori ini menyatakan bahwa pengakuan itu menciptakan negara, dengan kata lain pengakuan itulah yang memberi status negara pada organisasi

kekuasaan yang diakui. Teori Deklaratur. Teori ini menyatakan bahwa pengakuan tidak menciptakan negara, pengakuan merupakan pembuktian resmi mengenai sesuatu yang telah ada. Negara baru berlaku surut sejak saat kenyataan terjadinya kemerdekaam negara tersebut. c. Macam-macam Pengakuan De Jure. Pengakuan yang diberikan berdasarkan pertimbangan bahwa menurut negara yang mengakui organisasi kekuasaan yang diakui dianggap telah memenuhi persyaratan hukum untuk ikut serta melakukan hubungan interbasional. De Facto. Pengakuan yang diberikan berdasarkan pertimbangan bahwa menurut negara yang mengakui organisasi kekuasaan yang diakui, untuk sementara dan dengan reservasi di kemudian hari, menurut kenyataannya dianggap telah memenuhi persyaratah hukum untuk ikut serta melakukan hubungan internasional. d. Cara Pemberian Pengakuan Secara Terang-terangan. Pengakuan ini diberikan secara resmi dalam bentuk nota diplomatic, pesan pribadi dari Kepala Negara atau Menteri Luar Negeri, pernyataan Parlemen, atau perjanjian internasional. Pengakuan Secara Diam-diam. Terjasi karena ada hubungan antara negara yang mengakui denagn organisasi kekuasaan yang diakui yang menunjukkan kemauan negara yang mengakuiuntuk mengadakan hubungan resmi dengan organisasi kekuasaan yangdiakui. Pengkuan siam-siam ini dibenarkan oleh hukum internasional karena pengakuan dianggap masalah kemauan, yang dapat dinyatakan secara terang-terangan maupun diam-diam. e. Penarikan Kembali Pengakuan Terdapat ketentuan umum dalam hal pengakuan bahwa pengakuan de jure sekali diberikan tidak dapat ditarik kembali. Penarikan pengakuan dapat dilakukan denagn penghentian diadakannya hubungan antar negara yang dilakukan dengan pemutusan hubungan diplomatis. Berbeda dengan pengakuan de jure, pengakuan de facto dihentikan sesuai dengan keadaan organisasi kekuasaan yang diberi pengakuan de jure kepa organisasi kekuasaan de facto. Macam-Macam Negara 1. Negara Menurut Bentuknya a. Negara Kesatuan. Negara yang kekuasaan pemerintah pusatnya berkedudukan lebih tinggi daripada kekuasaan pemeritah daerahnya. Hal ini terjadi karena

pemerintah pusat memegang kedaulatan negara. b. Negara federasi. Negara yang kekuasaan pemerintah pusatnya dama dengan kekuasaan pemerintah daerah. Hal itu terjadi karena adanya pembagian bidang kekeuasaan antara pemerintah pusat dan daerah, dimana pemerintah pusat dan daerah memegang kedaulatan negara. c. Konfederasi Negara. Merupakan gabungan dari negara-negara yang kekuasaan pemerintah pusatnya berkedudukan lebih rendah daripada pemerintah negara yang bergabung padanya. Hal itu terjadi karena negara0begara yang tergabung merupakan negara yang berdaulat. 2. Negara Menurut Luas Wilayahnya Disamping negara-negara yang dianggap norma, ada negara mikro atau negara mini/liliput. Hal itu disebabkan karena wilayahnya, penduduknya, dan nkemampuan ekonominya kecil. Menurut hukum internasional, negara mikro berhak ada, dimana keberadaannya didasarkan hak menentukan nasib sendiri dari tiap bangsa.namun berbeda dengan negara normal, negara mikro tidak dapat menikmati hak-hak internasional tertentu, misalnya menjadi anggota PBB. Karena dianggap terlalu berat bagi negara mikro dan dapat melemahkan kedudukan PBB. 3. Negara Menurut Wilayah Lautnya Negara Pantai. Negara yang wilayah daratannya, atau sebagaian garatannya berbatasan dengan laut. Contohnya Belanda, Mesir, dan India. Negara tidak Berpantai. Negara yang wilayah negaranya habis dikelilingi daratan negara lain. Contohnya Swiss, Austria, dan Nepal. Negara Pantai yang tidak Beruntung. Negara pantai yang wilayah lautnya terjepit oleh laut negara lain. Contohnya Soingapura. Negara Kepulauan. Negara yang seluruhnya terdiri dari satu kepulauan atau lebih dan dapat mencakup pulau lain. Yang dimaksud ialah sekelompok pulau, termasuk bagian pulau-pulau, perairan yang menghubungkannya dengan benda alami lain yang membentuk suatu kesatuan. 4. Negara Menurut Kedudukannya dalam Pertikaian Bersenjata Negara yang Dinetralkan. Negara yang kemerdekaan dan integritas politik serta teritorialnya dijamin secara permanent oleh perjanjian kolektif negara-negara besar

denagn negara yang dinetralkan itu yang merupakan subjek hukum internasional. Negara yang dinetralkan hak untuk melakukan pertikaian senjata dibatasi serta adanya larangan untuk mengikuti perjanjian persekutuan atau perjanjian internasional. Negara Netral. Negara yang secara sukarela menetapkan kebijakan untuk tidak ikut serta dalam suatu pertikaian bersenjata yang terjadi. Kedudukan negara netral tidak mempengaruhi kedudukan negara terseut sebagai subjek hukum internasional. Organisasi Internasional Klasifikasi organisasi internasional menurut Theodore A Couloumbis dan James H. Wolfe : a. Organisasi internasional yang memiliki keanggotaan secara global dengan maksud dan tujuan yang bersifat umum, contohnya adalah Perserikatan Bangsa Bangsa ; b. Organisasi internasional yang memiliki keanggotaan global dengan maksud dan tujuan yang bersifat spesifik, contohnya adalah World Bank, UNESCO, International Monetary Fund, International Labor Organization, dan lain-lain; c. Organisasi internasional dengan keanggotaan regional dengan maksud dan tujuan global, antara lain: Association of South East Asian Nation (ASEAN), Europe Union. Palang Merah Internasional Sebenarnya Palang Merah Internasional, hanyalah merupakan salah satu jenis organisasi internasional. Namun karena faktor sejarah, keberadaan Palang Merah Internasional di dalam hubungan dan hukum internasional menjadi sangat unik dan di samping itu juga menjadi sangat strategis. Pada awal mulanya, Palang Merah Internasional merupakan organisasi dalam ruang lingkup nasional, yaitu Swiss, didirikan oleh lima orang berkewarganegaraan Swiss, yang dipimpin oleh Henry Dunant dan bergerak di bidang kemanusiaan. Kegiatan kemanusiaan yang dilakukan oleh Palang Merah Internasional mendapatkan simpati dan meluas di banyak negara, yang kemudian membentuk Palang Merah Nasional di masing-masing wilayahnya. Palang Merah Nasional dari negar-negara itu kemudian dihimpun menjadi Palang Merah Internasional (International Committee of the Red Cross/ICRC) dan berkedudukan di Jenewa, Swiss. (Phartiana, 2003; 123) Tahta Suci Vatikan Tahta Suci Vatikan di akui sebagai subyek hukum internasional berdasarkan Traktat Lateran tanggal 11 Februari 1929, antara pemerintah Italia dan Tahta Suci Vatikan

mengenai penyerahan sebidang tanah di Roma. Perjanjian Lateran tersebut pada sisi lain dapat dipandang sebagai pengakuan Italia atas eksistensi Tahta Suci sebagai pribadi hukum internasional yang berdiri sendiri, walaupun tugas dan kewenangannya, tidak seluas tugas dan kewenangan negara, sebab hanya terbatas pada bidang kerohanian dan kemanusiaan, sehingga hanya memiliki kekuatan moral saja, namun wibawa Paus sebagai pemimpin tertinggi Tahta Suci dan umat Katholik sedunia, sudah diakui secara luas di seluruh dunia. Oleh karena itu, banyak negara membuka hubungan diplomatik dengan Tahta Suci, dengan cara menempatkan kedutaan besarnya di Vatikan dan demikian juga sebaliknya Tahta Suci juga menempatkan kedutaan besarnya di berbagai negara. (Phartiana, 2003, 125) Kaum Pemberontak / Beligerensi (belligerent) Kaum belligerensi pada awalnya muncul sebagai akibat dari masalah dalam negeri suatu negara berdaulat. Oleh karena itu, penyelesaian sepenuhnya merupakan urusan negara yang bersangkutan. Namun apabila pemberontakan tersebut bersenjata dan terus berkembang, seperti perang saudara dengan akibat-akibat di luar kemanusiaan, bahkan meluas ke negara-negara lain, maka salah satu sikap yang dapat diambil oleh adalah mengakui eksistensi atau menerima kaum pemberontak sebagai pribadi yang berdiri sendiri, walaupun sikap ini akan dipandang sebagai tindakan tidak bersahabat oleh pemerintah negara tempat pemberontakan terjadi. Dengan pengakuan tersebut, berarti bahwa dari sudut pandang negara yang mengakuinya, kaum pemberontak menempati status sebagai pribadi atau subyek hukum internasional Individu Pertumbuhan dan perkembangan kaidah-kaidah hukum internasional yang memberikan hak dan membebani kewajiban serta tanggungjawab secara langsung kepada individu semakin bertambah pesat, terutama setelah Perang Dunia II. Lahirnya Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) pada tanggal 10 Desember 1948 diikuti dengan lahirnya beberapa konvensi-konvensi hak asasi manusia di berbagai kawasan, dan hal ini semakin mengukuhkan eksistensi individu sebagai subyek hukum internasional yang mandiri. Perusahaan Multinasional Perusahaan multinasional memang merupakan fenomena baru dalam hukum dan hubungan internasional. Eksistensinya dewasa ini, memang merupakan suatu fakta yang tidak bisa disangkal lagi. Di beberapa tempat, negara-negara dan organisasi internasional mengadakan hubungan dengan perusahaan-perusahaan multinasional yang kemudian

melahirkan hak-hak dan kewajiban internasional, yang tentu saja berpengaruh terhadap eksistensi, struktur substansi dan ruang lingkup hukum internasional itu sendiri.

Kewenangan Mahkamah Internasional


Adalah akses ke Mahkamah Internasional yang hanya terbuka untuk negara Individu, dan organisasi-organisasi Internasional tidak dapat menjadi pihak dari suatu sengketa didepan Mahkamah Internasional. Pada prinsipnya, Mahkamah Internasional hanya terbuka bagi negara-negarea anggota dari statuta. Keputusan Mahkamah adalah keputusan organ hukum tertinggi didunia. Penolakan suatu negara terhadap keputusan lembaga tersebut, akan dapat merusak citra negara tersebut dalam pergaulan antar bangsa. Oleh karena itu, dengan mengadakan pengcualian terhadap ketentuan tersebut, juga diberikan kemungkinan kepada negara-negara lain yang bukan pihak pada statuta untuk dapat mengajukan suatu perkara ke Mahkamah Internasional (pasal 35 ayat 2 statuta: dimungkinkan mengenakan persyaratan persyaratan terhadap negara itu, yaitu bahwa negara negara tersebut harus mematuhi keputusan keputusan Mahkamah dan menerima syarat syarat dalam pasal 94 Piagam PBB). Dalam hal ini, dewan keamanan dapat menentukan syarat-syaratnya.

Anggota Mahkamah Internasional:


Semua anggota PBB ipso facto yang berarti oleh faktanya sendiri, adalah peserta statuta, akan tetapi negara yang bukan anggota PBB dapat juga menjadi peserta, berdasarkan syarat syarat yang ditetapkan dalam setiap perkara oleh Majelis Umum PBB atas rekomendasi dari dewan Keamanan (pasal 93 Piagam PBB). Syarat syarat itu adalah penerimaan negara yang bukan anggota atas Statuta, penerimaan kewajiban kewajiban (pasal 94 Piagam PBB) dan melaksanakan suatu pemberian sumbangan anggaran Mahkamah seperti yang dimuat dalam resolusi majelis Umum tanggal 11 Desember 1946.

Kewenangannya :
Yuridiksi Mahkamah terbagi dua macam[35], yaitu : a. Untuk memutuskan perkara-perkara perdebatan (contentious case) b. Untuk memberi opini-opini nasihat (advisory juridiction) c. Memerikasa perselisihan/sengketa antara negara-negara anggota PBB yang

diserahkan kepada Mahkamah Internasional. Menurut mahkamah, ada beberapa pembatasan penting atas pelaksanaan fungsi fungsi yudisialnya dalam kaitan yuridiksi pedebatan dan terhadap hak hak dari negara untuk mengajukan klaim dalam lingkup yuridiksi ini, yaitu: a. Mahkamah tidak boleh memberikan putusan abstrak, untuk memberikan suatu dasar bagi keputusan politis, apabila keyakinannya tidak berhubungan dengan hubungan hubungan hukum yang aktual. Sebaliknya Mahkamah boleh benar benar bertindak sebagai suatu Mahkamah yang didebat. Aspek yang erat kaitannya yaitu bahwa para pihak tidak dapat diperlakukan sebagai pihak yang dirugikan satu sama lain dalam suatu sengketa apabila hanya ada ketidaksesuaian kongkret atas masalah masalah yang secara substansif mempengaruhi hak hak dan kepentingan kepentingan hukum mereka. b. Yang banyak menimbulkan kontroversi, Mahkamah memutuskan dengan suara mayoritas dalam South West Africa Case, Second Phase bahwa negara negara yang mengajukan klaim, yaitu Ethiopia dan Liberia, telah gagal untuk menetapkan hak hukum mereka atau kepentingan yang berkaitan dengan mereka di dalam pokok sengketa dari klaim klaimnya sehingga menyebabkan klaim itu harus ditolak. Persoalan ini telah dianggap sebagai salah satu dari persoalan permulaan, meski demikian ada kaitannya dengan materi perkara.

Peranan Mahkamah Internasional


Peran Mahkamah Internasional sangat menentukan kepada kedua negara yang sedang bersengketa. Dalam hal ini, Mahkamah Internasional mempunyai kewenangan, dimana Mahkamah Internasional berwenang untuk memeriksa, menyelesaikan sengketa hingga memberikan keputusan atas dasar sengketa tersebut. Hal ini dinyatakan dalam pasal 94 ayat (1) Piagam PBB, yaitu : Setiap anggota PBB berusaha mematuhi keputusan Mahkamah Internasional dalam perkara apapun dimana anggota tersebut menjadi suatu pihak. Sedangkan pada ayat (2) dinyatakan sebagai berikut Apabila sesuatu pihak dalam suatu perkara tidak memenuhi kewajiban kewajiban yang dibebankan kepadanya oleh suatu keputusan Mahkamah, pihak yang lain dapat meminta perhatian Dewan Keamanan, yang jika perlu, dapat memberikan rekomendasi atau menentukan tindakan tindakan yang akan diambil untuk terlaksananya keputusan itu.

penyebab sengketa internasional


Sengketa Internasional disebut dengan perselisihan yang terjadi antara Negara dan Negara, Negara dengan individu atau Negara dengan badan-badan / lembaga yang menjadi subjek internasional. Sengketa tersebut terjadi karena berbagai sebab, antara lain : 1. Salah satu pihak tidak memenuhi kewajiban dalam perjanjian Internasional. 2. Perbedaan penafsiran mengenai isi perjanjian Internasional. 3. Perebutan sumber-sumber ekonomi 4. Perebutan pengaruh ekonomi 5. Adanya intervensi terhadap kedaulatan Negara lain 6. Perluasan pengaruh politik& ideologi terhadap negara lain 7. Adanya perbedaan kepentingan 8. Penghina terhadap harga diri bangsa 9. Ketidaksepahaman mengenai garis perbatas-an antar negara yang banyak yang belum tersele-saikan melalui mekanisme perundingan (bilateral dan ). 10. Peningkatan persenjataan dan eskalasi kekuatan militer baik oleh negara-negara yang ada di kawa-san ini, maupun dari luar kawasan. 11. Eskalasi aksi terorisme lintas negara, dan gerakan separatis bersenjata yang dapat mengundang kesalahpahaman antar negara bertetangga. Sengketa Perbatasan Hingga saat ini banyak negara menghadap persoalan perbatasan dengan tetangganya yang belum terselesaikan lewat perundingan. Bahkan kebiasaan menunda penyelesaian masalah justru menambah rumit persoalan. Beberapa persoalan perbatasan dan "dispute territorial" yang cukup mengusik harmonisasi antar negara maupun ke-amanan kawasan, antara lain; a. Sengketa Indonesia dan Malaysia mengenai garis perbatasan di perairan laut Sulawesi menyusul perubahan status kepemilikan Pulau Sipadan dan Ligitan, dan garis perbatasan di pulau Kalimantan (salah satunya mengenai blok Ambalat); b. Perbedaan pendapat dan kepentingan antara Indonesia, Australia dan Timor Leste di perairan Celah Timor; c. Konflik historis antara Malaysia dan Filipina mengenai klaim Filipina atas wilayah Kesultanan Sabah Malaysia Timur; d. Konflik antara Malaysia dan Singapura tentang pemilikan Pulau Batu Putih (Pedra Branca) di Selat Johor; e. Ketegangan sosial politik laten Malaysia dan Thailand di wilayah perbatasan; PENYELESAIAN SENGKETA SECARA DIPLOMATIK YANG DAMAI Prinsip-Prinsip Penyelesaian Sengketa Secara Damai adalah: 1. Prinsip itikad baik (good faith); 2. Prinsip larangan penggunaan kekerasan dalam penyelesaian sengketa; 3. Prinsip kebebasan memilih cara-cara penyelesaian sengketa; 4. Prinsip kebebasan memilih hukum yang akan diterapkan terhadap pokok sengketa;

5. Prinsip kesepakatan para pihak yang bersengketa (konsensus); 6. Prinsip penggunaan terlebih dahulu hukum nasional negara untuk menyelesaikan suatu sengketa prinsip exhaustion of local remedies); 7. Prinsip-prinsip hukum internasional tentang kedaulatan, kemerdekaan, dan integritas wilayah negara-negara. Disamping ketujuh prinsip di atas, Office of the Legal Affairs PBB memuat prinsip-prinsip lain yang bersifat tambahan, yaitu: 1. Prinsip larangan intervensi baik terhadap masalah dalam atau luar negeri para pihak; 2. Prinsip persamaan hak dan penentuan nasib sendiri; 3. Prinsip persamaan kedaulatan negara-negara; 4. Prinsip kemerdekaan dan hukum internasional. Penyelesaian Sengketa secara Diplomatik Seperti yang telah dijelaskan di atas, yang termasuk ke dalam penyelesaian sengketa secara diplomatik adalah negosiasi; enquiry atau penyelidikan; mediasi; konsiliasi; dan good offices atau jasa-jasa baik. Kelima metode tersebut memiliki ciri khas, kelebihan, dan kekurangan masing-masing. a) Negosiasi Negosiasi adalah perundingan yang dilakukan secara langsung antara para pihak dengan tujuan untuk menyelesaikan sengketa melalui dialog tanpa melibatkan pihak ketiga. Negosiasi merupakan cara penyelesaian sengketa yang paling dasar dan paling tuas digunakan oleh umat manusia. Pasal 33 ayat (1) Piagam PBB menempatkan negosiasi sebagai cara pertama dalam menyelesaikan sengketa. Perundingan merupakan pertukaran pandangan dan usul-usul antara dua pihak untuk menyelesaikan suatu persengketaan, jadi tidak melibatkan pihak ketiga. Segi positif/kelebihan dari negosiasi adalah: 1. Para pihak sendiri yang menyelesaikan kasus dengan pihak lainnya; 2. Para pihak memiliki kebebasan untuk menentukan bagaimana cara penyelesaian melalui negosiasi dilakukan menurut kesepakatan bersama; 3. Para pihak mengawasi atau memantau secara langsung prosedur penyelesaian; 4. Negosiasi menghindari perhatian publik dan tekanan politik dalam negeri. Segi negatif/kelemahan dari negosiasi adalah: 1. Negosiasi tidak pernah akan tercapai apabila salah satu pihak berpendirian keras; 2. Negosiasi menutup kemungkinan keikutsertaan pihak ketiga, artinya kalau salah satu pihak berkedudukan lemah tidak ada pihak yang membantu. Penyelesaian sengketa ini dilakukan secara langsung oleh para pihak yang bersengketa melalui dialog tanpa ada keikutsertaan dari pihak ketiga. Dalam pelaksanaannya, negosiasi memiliki dua bentuk utama, yaitu bilateral dan multilateral. Negosiasi dapat dilangsungkan melalui saluran diplomatik pada konferensi internasional atau dalam suatu lembaga atau organisasi internasional. Negosiasi merupakan cara penyelesaian sengketa secara damai yang cukup lama dipakai. Sampai pada permulaan abad ke-20, negosiasi menjadi satu-satunya cara yang dipakai dalam penyelesaian sengketa. Sampai saat ini cara penyelesaian melalui negosiasi biasanya adalah cara yang pertama kali ditempuh oleh para pihak yang bersengketa. Penyelesaian sengketa ini dilakukan secara langsung oleh para pihak yang bersengketa melalui dialog tanpa ada keikutsertaan dari pihak ketiga. Dalam pelaksanaannya, negosiasi memiliki dua bentuk utama, yaitu bilateral dan multilateral. Negosiasi dapat dilangsungkan melalui saluran diplomatik pada konferensi internasional atau dalam suatu lembaga atau organisasi internasional. Dalam praktek negosiasi, ada dua bentuk prosedur yang dibedakan. Yang pertama adalah negosiasi ketika sengketa belum muncul, lebih dikenal dengan konsultasi. Dan yang kedua adalah negosiasi ketika sengketa telah lahir.

Keuntungan yang diperoleh ketika negara yang bersengketa menggunakan mekanisme negosiasi, antara lain : (1) Para pihak memiliki kebebasan untuk menentukan penyelesaian sesuai dengan kesepakatan diantara mereka (2) Para pihak mengawasi dan memantau secara langsung prosedur penyelesaiannya (3) Dapat menghindari perhatian publik dan tekanan politik dalam negeri. (4) Para pihak mencari penyelesaian yang bersifat win-win solution, sehingga dapat diterima dan memuaskan kedua belah pihak b) Enquiry atau Penyelidikan J.G.Merrills menyatakan bahwa salah satu penyebab munculnya sengketa antar negara adalah karena adanya ketidaksepakatan para pihak mengenai fakta. Untuk menyelesaikan sengketa ini, akan bergantung pada penguraian fakta-fakta para pihak yang tidak disepakati. Untuk menyelesaikan sengketa tersebut, para pihak kemudian membentuk sebuah badan yang bertugas untuk menyelidiki fakta-fakta yang terjadi di lapangan. Faktafakta yang ditemukan ini kemudian dilaporakan kepada para pihak, sehingga para pihak dapat menyelesaikan sengketa diantara mereka. Dalam beberapa kasus, badan yang bertugas untuk menyelidiki fakta-fakta dalam sengketa internasional dibuat oleh PBB. Namun dalam konteks ini, enquiry yang dimaksud adalah sebuah badan yang dibentuk oleh negara yang bersengketa. Enquiry telah dikenal sebagai salah satu cara untuk menyelesaikan sengketa internasional semenjak lahirnya The Hague Convention pada tahun 1899, yang kemudian diteruskan pada tahun 1907. c) Mediasi Melibatkan pihak ketiga (third party) yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa. Pihak ketiga dapat berupa individu atau kelompok (individual or group), negara atau kelompok negara atau organisasi internasional. Dalam mediasi, negara ketiga bukan hanya sekedar mengusahakan agar para pihak yang bersengketa saling bertemu, tetapi juga mengusahakan dasar-dasar perundingan dan ikut aktif dalam perundingan, contoh: mediasi yang dilakukan oleh Komisi Tiga Negara (Australia, Amerika, Belgia) yang dibentuk oleh PBB pada bulan Agustus 1947 untuk mencari penyelesaian sengketa antara Indonesia dan Belanda dan juga mediasi yang dilakukan oleh Presiden Jimmy Carter untuk mencari penyelesaian sengketa antara Israel dan Mesir hingga menghasilkan Perjanjian Camp David 1979. Dengan demikian, dalam mediasi pihak ketiga terlibat secara aktif (more active and actually takes part in the negotiation). Mediasi biasanya dilakukan oleh pihak ketiga ketika pihak yang bersengketa tidak menemukan jalan keluar dalam penyelesaian suatu masalah.Maka pihak ketiga merupakan salah satu jalan keluar dari jalan buntu perundingan yang telah terjadi dan memberikan solusi yang dapat diterima oleh kedua belah pihak. Seorang mediator harus netral (tidak memihak salah satu pihak yang bersengketa) dan independen. Dalam menjalankan tugasnya, mediator tidak terikat pada suatu hukum acara tertentu dan tidak dibatasi pada hukum yang ada. Mediator dapat menggunakan asas ex aequo et bono untuk menyelesaikan sengketa yang ada. Ketika negara-negara yang menjadi para pihak dalam suatu sengketa internasional tidak dapat menemukan pemecahan masalahnya melalui negosiasi, intervensi yang dilakukan oleh pihak ketiga adalah sebuah cara yang mungkin untuk keluar dari jalan buntu perundingan yang telah terjadi dan memberikan solusi yang dapat diterima oleh kedua belah pihak. Pihak ketiga yang melaksanakan mediasi ini tentu saja harus bersifat netral dan independen. Sehingga dapat memberikan saran yang tidak memihak salah satu negara pihak sengketa. Intervensi yang dilakukan oleh pihak ketiga ini dapat dilakukan dalam beberapa bentuk. Misalnya, pihak ketiga memberikan saran kepada kedua belah pihak untuk melakukan negosiasi ulang, atau bisa saja pihak ketiga hanya menyediakan jalur komunikasi

tambahan. Pelaksanaan mediasi dalam penyelesaian sengketa internasional diatur dalam beberapa perjanjian internasional, antara lain The Hague Convention 1907; UN Charter; The European Convention for the Peaceful Settlement of Disputes. d) Konsiliasi Sama seperti mediasi, penyelesaian sengketa melalui cara konsiliasi menggunakan intervensi pihak ketiga. Pihak ketiga yang melakukan intervensi ini biasanya adalah negara, namun bisa juga sebuah komisi yang dibentuk oleh para pihak. Komisi konsiliasi yang dibentuk oleh para pihak dapat saja terlembaga atau bersifat ad hoc, yang kemudian memberikan persyaratan penyelesaian yang diterima oleh para pihak. Namun keputusan yang diberikan oleh komisi konsiliasi ini tidak mengikat para pihak. Proses penyelesaian sengketa melalui konsiliasi mempunyai kemiripan dengan mediasi. Pembedaan yang dapat diketahui dari kedua cara ini adalah konsiliasi memiliki hukum acara yang lebih formal jika dibandingkan dengan mediasi. Karena dalam konsiliasi ada beberapa tahap yang biasanya harus dilalui, yaitu penyerahan sengketa kepada komisi konsiliasi, kemudian komisi akan mendengarkan keterangan lisan para pihak, dan berdasarkan fakta-fakta yang diberikan oleh para pihak secara lisan tersebut komisi konsiliasi akan menyerahkan laporan kepada para pihak disertai dengan kesimpulan dan usulan penyelesaian sengketa. Konsiliasi merupakan suatu cara penyelesaian sengketa oleh suatu organ yang dibentuk sebelumnya atau dibentuk kemudian atas kesepakatan para pihak yang bersengketa. Organ yang dibentuk tersebut mengajukan usul-usul penyelesaian kepada para pihak yang bersengketa (to the ascertain the facts and suggesting possible solution). Rekomendasi yang diberikan oleh organ tersebut tidak bersifat mengikat (the recommendation of the commission is not binding). Contoh dari konsiliasi adalah pada sengketa antara Thailand dan Perancis, kedua belah pihak sepakat untuk membentuk Komisi Konsiliasi. Dalam kasus ini Thailand selalu menuntut sebagian dari wilayah Laos dan Kamboja yang terletak di bagian Timur tapal batasnya. Karena waktu itu Laos dan Kamboja adalah protektorat Perancis maka sengketa ini menyangkut antara Thailand dan Perancis. e) Good Offices atau Jasa-jasa Baik Jasa-jasa baik adalah cara penyelesaian sengketa melalui bantuan pihak ketiga. Pihak ketiga berupaya agar para pihak yang bersengketa menyelesaikan sengketanya dengan negosiasi. Menurut pendapat Bindschedler, yang dikutip oleh Huala Adolf, jasa baik dapat didefinisikan sebagai berikut: the involvement of one or more States or an international organization in a dispute between states with the aim of settling it or contributing to its settlement. Pada pelaksanaan di lapangan, jasa baik dapat dibedakan dalam dua bentuk, yaitu jasa baik teknis (technical good offices), dan jasa baik politis (political good offices). Jasa baik teknis adalah jasa baik oleh negara atau organisasi internasional dengan cara mengundang para pihak yang bersengketa ikut serta dalam konferensi atau menyelenggarakan konferensi. Tujuan dari jasa baik teknis ini adalah mengembalikan atau memelihara hubungan atau kontak langsung di antara para pihak yang bersengketa setelah hubungan diplomatik mereka terputus. Sedangkan jasa baik politis adalah jasa baik yang dilakukan oleh negara atau organisasi internasional yang berupaya menciptakan suatu perdamaian atau menghentikan suatu peperangan yang diikuti dengan diadakannya negosiasi atau suatu kompetensi IV. Penyelesaian Sengketa Secara Hukum Penyelesaian sengketa melalui jalur hukum atau judicial settlement juga dapat menjadi pilihan bagi subyek hukum internasional yang bersengketa satu sama lain. Bagi sebagian

pihak, bersengketa melalui jalur hukum seringkali menimbulkan kesulitan, baik dalam urusan birokrasi maupun besarnya biaya yang dikeluarkan. Namun yang menjadi keuntungan penyelesaian sengketa jalur hukum adalah kekuatan hukum yang mengikat antara masing-masing pihak yang bersengketa. a) Arbitrase Hukum internasional telah mengenal arbitrase sebagai alternatif penyelesaian sengketa, dan cara ini telah diterima oleh umum sebagai cara penyelesaian sengketa yang efektif dan adil. Para pihak yang ingin bersengketa dengan menggunakan metode arbitrase dapat menggunakan badan arbitrase yang telah terlembaga, atau badan arbitrase ad hoc. Meskipun dianggap sebagai penyelesaian sengketa internaisonal melalu jalur hukum, keputusan yang dihasilkan oleh badan arbitrase tidak dapat sepenuhnya dijamin akan mengikat masing-masing pihak, meskipun sifat putusan arbitrase pada prinsipnya adalah final dan mengikat. Pada saat ini, terdapat sebuah badan arbitrase internasional yang terlembaga, yaitu Permanent Court of Arbitration (PCA). Dalam menjalankan tugasnya sebagai jalur penyelesaian sengketa, PCA menggunakan UNCITRAL Arbitration Rules 1976. b) Pengadilan Internasional Selain arbitrase, lembaga lain yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan sengketa internasional melalui jalur hukum adalah pengadilan internasional. Pada saat ini ada beberapa pengadilan internasional dan pengadilan internasional regional yang hadir untuk menyelesaikan berbagai macam sengketa internasional. Misalnya International Court of Justice (ICJ), International Criminal Court, International Tribunal on the Law of the Sea, European Court for Human Rights, dan lainnya. Kehadiran pengadilan internasional sesungguhnya telah dikenal sejak eksisnya Liga Bangsa-Bangsa, yaitu melalui Permanent Court of International Justice (PCIJ). Namun seiring dengan bubarnya LBB pasca Perang Dunia II, maka tugas dari PCIJ diteruskan oleh ICJ sejalan dengan peralihan dari LBB kepada PBB. Penyelesaian sengketa internasional melalui jalur hukum berarti adanya pengurangan kedaulatan terhadap pihak-pihak yang bersengketa. Karena tidak ada lagi keleluasaan yang dimiliki oleh para pihak, misalnya seperti memilih hakim, memilih hukum dan hukum acara yang digunakan. Tetapi dengan bersengketa di pengadilan internasional, maka para pihak akan mendapatkan putusan yang mengikat masing-masing pihak yang bersengketa.

You might also like