You are on page 1of 8

Pembentukan Karakter Anak Oleh: Hariyono Pendahuluan Allah SWT berfirman:

Artinya: Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar. (QS: At-Taghabuun/64:15).


Artinya: Dan orang-orang yang berkata: "Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa. (QS:Al-Furqaan/25:74)


Artinya: Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (QS: At-Tahrim/66:6) . Dalam pandangan Islam, anak adalah amanah dari Allah Swt. kepada orang tua. Oleh karenanya harus dijaga, dipelihara dan dididik dengan sebaikbaiknya. Orang tua harus mampu mengantarkan anak-anaknya kepada keyakinan yang benar akan eksistensi dan kekuasaan Allah Swt. sebagai Tuhannya dan hanya satu-satunya tempat memohon segala permintaan. Pendidikan Islam sebagaimana dikatakan oleh Prof. Fadhil Al-Djamaly, pendidikan mempunyai dua aspek, yaitu: (1) Pendidikan yang berarti menumbuhkan dan membina dan (2) Pendidikan yang berarti menjaga dan

memperbaiki.1 Melalui pendidikan Islam, diharapkan akan lahir pribadi manusia yang berkarakter agama serta memperoleh status kepribadian dan karakter yang luhur, sehingga mereka dapat menemukan jati dirinya yang hakiki lewat dimensi psikis dan batinnya yang paling dalam sesuai dengan arahan agama. Potensi beragama menurut Prof. Abuddin Nata, bahwa dalam diri manusia terdapat 5 struktur fitrah, yaitu: (1) fitrah beragama; (2) fitrah dalam hal kecenderungan yang mengacu pada keimanan kepada Allah; (3) fitrah berupa naluri dan kewahyuan; (4) fitrah dalam kemampuan dasar untuk beragama secara umum; dan (5) fitrah yang memiliki komponen yang meliputi bakat dan kecerdasan.2 Fitrah tersebut merupakan modal dasar untuk mengembangkan kehidupannya di segala bidang. Sarana utama yang dibutuhkan untuk pengembangan potensi-potensi manusia tidak lain adalah pendidikan. Pembentukan dan pengarahan fitrah (anak) manusia menjadi tugas utama orang tua. Oleh karenanya sikap mental-spiritual dari orang tua tersebut menjadi sesuatu yang harus diperhatikan, karena pengaruh mental-spiritual pada diri orang tua tersebut juga akan berpengaruh pada pembentukan sikap dan karakter anak selanjutnya, baik pengaruh positif maupun negatif. A. Pengertian Karakter Pengertian karakter, menurut Prof. Suyanto Ph.D, yaitu cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerjasama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang bisa membuat keputusan dan siap mempertanggungjawabkan tiap akibat dari keputusan yang ia buat.3 Akhmad Sudrajat berpendapat, secara bahasa, karakter berarti: bawaan, hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat, temperamen, watak. Dengan demikian, berkarakter adalah berkepribadian, berperilaku, bersifat, bertabiat, dan berwatak.4 Dilihat dari sudut pengertian, ternyata karakter dan akhlak boleh jadi tidak memiliki perbedaan yang signifikan. Keduanya didefinisikan sebagai suatu tindakan yang terjadi tanpa ada lagi pemikiran lagi karena sudah tertanam dalam pikiran, dan dengan kata lain, keduanya dapat disebut dengan kebiasaan. Karakter mengacu kepada serangkaian sikap (attitudes), perilaku (behaviors), motivasi (motivations), dan keterampilan (skills).5 B. Problematika Moral
Prof.Dr.Fadhil Al-Djamaly, Menerabas Krisis Pendidikan Dunia Islam, terj. Prof.H.M. Arifin, M.Ed., (Jakarta: PT. Golden Terayon Press, 1988), h. 47 2 Prof.Dr.H.Abuddin Nata, MA, Ilmu Pendidikan Islam dengan Pendekatan Multidisipliner, op.cit., hal. 78 3 Prof.Suyanto, Ph.D., Urgensi Pendidikan Karakter, dalam: http://mandikdasmen.kemdiknas.go.id/web/pages/urgensi.html 4 Akhmad Sudrajat, Konsep Pendidikan Karakter, dalam: http://akhmadsudrajat.wordpress. com/2010/09/15/konsep-pendidikan-karakter/ 5 Akhmad Sudrajat, Ibid.
1

Secara umum persoalan berat yang dihadapi bangsa saat ini sebagai akibat era globalisasi adalah terjadinya interaksi dan ekspansi kebudayaan yang di tandai dengan semakin berkembangnya pengaruh budaya pengagungan kepada yang bersifat material secara berlebihan (materialistik), pemisahan kehidupan duniawi dari supremasi agama (sekularistik), dan pemujaan kesenangan indera mengejar kenikmatan badani (hedonistik). Gejala ini merupakan penyimpangan jauh dari budaya luhur bangsa yang dengan serta merta berbarengan dengan munculnya berbagai bentuk problem sosial lainnya yang mengerikan seperti kriminalitas, sadisme, atau krisis moral secara meluas. Fenomena dunia pendidikan juga akhir-akhir ini seringkali mendapat sorotan yang tajam. Problem seperti tawuran antar pelajar (juga terjadi di kalangan mahasiswa), pergaulan bebas, pornografi nyaris tak terbendung, sebahagian masyarakat berminat tinggi terhadap kehidupan tidak rasional, asyik mencari kekuatan gaib, mencari jawaban dari paranormal, menyelami blackmagic dan mempercayai mistik. Pembinaan karakter sesungguhnya memiliki urgensi yang sangat tinggi dalam membagun moral anak bangsa. Oleh karena itu sudah seharusnya pembinaan karakter termasuk dalam materi yang harus diajarkan dan dikuasai serta direalisasikan oleh peserta didik dalam kehidupan sehari-hari. Permasalahannya, pendidikan karakter di sekolah selama ini baru menyentuh pada tingkatan pengenalan norma atau nilai-nilai, dan belum pada tingkatan internalisasi dan tindakan nyata dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan saat ini hanya mengedepankan penguasaan aspek keilmuan dan kecerdasan anak. Thomas Lickona6 mengatakan ada sepuluh tanda-tanda zaman yang harus diwaspadai adalah: (1) meningkatnya kekerasan di kalangan remaja; (2) penggunaan bahasa dan kata-kata yang memburuk; (3) pengaruh psikologis terhadap tindak kekerasan; (4) meningkatnya perilaku merusak diri, seperti penggunaan narkoba, alkohol dan seks bebas; (5) semakin kaburnya pedoman moral baik dan buruk; (6) menurunnya etos kerja; (7) semakin rendahnya rasa hormat kepada orang tua dan guru; (8) rendahnya rasa tanggung jawab individu dan warga negara; (9) membudayanya ketidakjujuran; dan (10) adanya rasa saling curiga dan kebencian di antara sesama. Jika dicermati, ternyata kesepuluh tanda zaman tersebut sudah ada di Indonesia. Sistem pendidikan yang ada sekarang ini terlalu berorientasi pada pengembangan kognitif dan kurang memperhatikan pengembangan afektif, empati, dan rasa. Pengembangan karakter lebih berkaitan dengan optimalisasi fungsi otak kanan (afektif, empati dan rasa). Mata pelajaran yang berkaitan dengan pendidikan akhlak dan karakter pun (seperti budi pekerti dan agama) ternyata pada prakteknya lebih menekankan pada aspek otak kiri (hafalan, atau hanya sekedar tahu). Padahal, pembentukan karakter harus dilakukan secara sistematis dan berkesinambungan yang melibatkan aspek knowledge, feeling, loving, dan acting. C. Pembentukan Karakter Anak dalam Islam
6

Salamah Azhar, Ibid.

Menurut UU Nomor 23 Tahun 2003 tentang Sisdiknas Pasal 1 disebutkan bahwa di antara tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik untuk memiliki kecerdasan, kepribadian dan akhlak mulia. Amanah Undang-Undang Sisdiknas tersebut bermaksud agar pendidikan tidak hanya membentuk insan Indonesia yang cerdas, namun juga berkepribadian atau berkarakter, sehingga nantinya akan lahir generasi bangsa yang tumbuh berkembang dengan karakter yang bernafas nilai-nilai luhur bangsa serta agama. Pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti plus, yaitu yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action). Dengan pendidikan karakter yang diterapkan secara sistematis dan berkelanjutan, seorang anak akan menjadi cerdas emosinya. Kecerdasan emosi ini adalah bekal penting dalam mempersiapkan anak menyongsong masa depan, karena seseorang akan lebih mudah dan berhasil menghadapi segala macam tantangan kehidupan, termasuk tantangan untuk berhasil secara akademis. Pribadi muslim yang dikehendaki oleh Al-Quran dan Hadits adalah pribadi yang sholeh, yaitu sikap konstruktif menuju tatanan Ilahiyah, dimana sikap, ucapan dan tindakan seorang muslim diwarnai oleh nilai-nilai yang datang dari Allah SWT.7 Menjadi pribadi yang sholeh merupakan suatu hal yang sangat diperhatikan dalam Islam, mengingat ajaran Islam itu bersifat normatif yang harus diwujudkan di dalam kehidupan nyata, yaitu aplikasi antara keyakinan seorang muslim harus tercermin dalam tingkah laku, perbuatan, dan sikap pribadi-pribadi muslim. Terdapat sembilan pilar karakter yang berasal dari nilai-nilai luhur universal, yaitu: (1) Cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya (love Allah, trust, reverence, loyalty); (2) Tanggung Jawab, Kedisiplinan dan Kemandirian (responsibility, excellence, self reliance, discipline, orderliness); (3) Kejujuran/Amanah dan Arif (trustworthines, honesty, and tactful); (4) Hormat dan Santun (respect, courtesy, obedience); (5) Dermawan, Suka Menolong dan Gotong-royong/Kerjasama (love, compassion, caring, empathy, generousity, moderation, cooperation); (6) Percaya Diri, Kreatif dan Pekerja Keras (confidence, assertiveness, creativity, resourcefulness, courage, determination, enthusiasm); (7) Kepemimpinan dan Keadilan (justice, fairness, mercy, leadership); (8) Baik dan Rendah Hati (kindness, friendliness, humility, modesty); (9) Toleransi, Kedamaian dan Kesatuan (tolerance, flexibility, peacefulness, unity).8 Menurut Hasbullah, sebagaimana dikutip Salamah Azhar, bahwa keluarga sebagai lembaga pendidikan memiliki beberapa fungsi, yaitu: (1) fungsi dalam perkembangan kepribadian anak dan mendidik anak di rumah; dan (2) fungsi keluarga/orang tua dalam mendukung pendidikan di sekolah.9

M. Farchan Mujahidin, Membangun Pribadi Muslim, dalam Ahmad Taufiq dan M. Rohmadi, (Ed.), Pendidikan Agama Islam, Pendidikan Karakter Berbasis Agama, (Surakarta: Yuma Pustaka dan UPT MKU UNS, 2010), h. 142 pembahasan tentang Sembilan Pilar Karakter, merupakan pendapat dari Prof. Thomas Lickona juga, lihat: Alvian, Pendidikan Holistik: Sembilan Pilar Karakter, dalam http://sumirin. wordpress.com/2010/04/24/pendidikan-holistik-sembilan-pilar-karakter/ 9 Salamah Azhar, Ibid.
8

Fungsi keluarga dalam pembentukan kepribadian dan mendidik anak di rumah: sebagai pengalaman pertama masa kanak-kanak; menjamin kehidupan emosional anak, menanamkan dasar pendidikan moral anak, memberikan dasar pendidikan sosial, meletakan dasar-dasar pendidikan agama, bertanggung jawab dalam memotivasi dan mendorong keberhasilan anak, memberikan kesempatan belajar dengan mengenalkan berbagai ilmu pengetahuan dan keterampilan yang berguna bagi kehidupan kelak sehingga ia mampu menjadi manusia dewasa yang mandiri, menjaga kesehatan anak sehingga ia dapat dengan nyaman menjalankan proses belajar yang utuh, memberikan kebahagiaan dunia dan akhirat dengan memberikan pendidikan agama sesuai ketentuan Allah Swt, sebagai tujuan akhir manusia. Fungsi keluarga/orang tua dalam mendukung pendidikan anak di sekolah: orang tua bekerjasama dengan sekolah, sikap anak terhadap sekolah sangat di pengaruhi oleh sikap orang tua terhadap sekolah, sehingga sangat dibutuhkan kepercayaan orang tua terhadap sekolah yang menggantikan tugasnya selama di ruang sekolah, orang tua harus memperhatikan sekolah anaknya, yaitu dengan memperhatikan pengalaman-pengalamannya, menghargai segala usahanya; orang tua menunjukkan kerjasama dalam menyerahkan cara belajar di rumah, membuat pekerjaan rumah dan memotivasi dan membimbimbing anak dalam belajar, orang tua bekerjasama dengan guru untuk mengatasi kesulitan belajar anak, orang tua bersama anak mempersiapkan jenjang pendidikan yang akan dimasuki dan mendampingi selama menjalani proses belajar di lembaga pendidikan. Prinsip-prinsip yang dapat diterapkan dalam pembentukan pribadi secara individu dan komunal, adalah: 1. Prinsip keyakinan yang bersih (salimul aqidah); 2. Ibadah yang benar (shalihul ibadah); 3. Moral akhlak yang kokoh (matinul khuluq); 4. Jasmani yang kuat (qowiyyul jismi); 5. Berwawasan budaya (mutsaqoful fikri); 6. Mampu memerangi hawa nafsu (mujahadatul linafsihi); 7. Pandai mengatur waktu (harisun ala waqtihi).10 Dunia anak adalah dunia perasaan, maka ketika seorang anak menyaksikan kedua orang tuanya, para guru, dan kerabat dekatnya sedang menyebut nama Allah dalam shalat yang mereka lakukan, maka tidak diragukan lagi anak tersebut akan meniru tingkah laku mereka. Karena, kebiasaan anak memang meniru orang tua yang dicintainya dan memandang benar perilaku mereka. Metode penerapan pendidikan Islami yang harus dilakukan oleh para orang tua dan para guru, menurut Syaikh Fuhaim Musthafa, yaitu: 1. Mendorong anak untuk membaca dan menghafal Al-Qur'an; 2. Mendorong anak untuk menghafal hadits-hadits Nabi; 3. Mendorong anak untuk menghayati ciptaan-ciptaan Allah yang tampak di sekelilingnya; 4. Mendorong anak sejak berumur tujuh tahun untuk melaksanakan shalat pada waktunya. Seorang ayah benar-benar menjadi panutan pada saat menemaninya menuju masjid untuk melaksanakan shalat;
10

M. Farchan Mujahidin, loc. cit., h. 143-149

5. Melatih anak untuk bersabar dan ridha terhadap penyakit atau permasalahan

6.

7. 8.

9. 10.

11. 12. 13.

14.

15.

16.

17.

yang sedang menimpanya. Memberitahukan anak tentang pahala yang dijanjikan Allah bagi orang-orang yang sabar; Mengajarkan anak tentang pentingnya mencintai Allah dan Rasul-Nya serta keutamaan-keutamaan lainnya, seperti: taubat, sabar, syukur, memiliki harapan, betawakkal kepada Allah dan ikhlas; Mengajarkan anak tentang pentingnya menyucikan hati dari berbagai penyakit hasud, iri, dengki, rasa benci dan antipati; Melatih anak untuk senang bersedekah kepada fakir miskin dan harta pribadi yang dimilikinya, agar belajar menjadi penderma sejak kecil, menolong orang-orang yang membutuhkan bantuan dan orang-orang miskin; Membacakan kisah-kisah para Nabi dan kisah-kisah dalam Al-Qur'an kepada anak; Konsisten dalam menampakkan perilaku positif di hadapan anak-anak. Sehingga, baik orang tua maupun guru dapat menjadi panutan yang baik bagi mereka; Menciptakan suasana yang penuh dengan kasih sayang dan saling hormatmenghormati antara orang dewasa dengan anak-anak; Menciptakan kondisi yang sesuai dengan katakter anak-anak, dalam rangka mengembangkan kecakapan-kecapakan berfikir anak; Memperbolehkan anak-anak untuk berdiskusi dan berdialog dalam suasana yang demoktatis, saling percaya, baik di sekolah maupun di tengah-tengah keluarga; Memperhatikan anak-anak dengan menyiapkan program-program yang berisikan tentang berbagai informasi dan pengetahuan nilai-nilai Islam. Tentunya yang sesuai dengan kemampuan akal dan umur mereka; Meningkatkan keimanan anak-anak kepada Allah, Yang Maha Pencipta alam semesta, dengan cara membiasakan mereka untuk menghafal dan memahami surat-surat pendek dalam Al-Qur'an dan menemani mereka mengunjungi masjid-masjid untuk melihat praktek shalat berjamaah; Anak-anak harus tetap menyerap nilai-nilai keislarnan, dengan cara memperdengarkan kisah-kisah para Nabi (sirah Rasulullah), Khulafa Ar-Rasyidin kepada mereka atau kisah-kisah lainnya yang mencakup berbagai nasehat, pelajaran dan kisah-kisah heroik dalam Islam; Membantu anak-anak dalam menerapkan nilai-nilai dan tradisi-tradisi masyarakat Islam, melatih mereka untuk bisa membedakan antara perilaku yang benar dan perilaku yang salah dalam kehidupan mereka sehari-hari. Juga, melatih mereka untuk menghormati etika-etika umum di tengah-tengah keluarga, sekolah, dan masyarakat.11

Penutup 1. Dalam pandangan Islam, anak adalah amanah dari Allah Swt. kepada orang tua. Maka anak harus dijaga, dipelihara dan dididik dengan sebaik-baiknya.
Asy-Syaikh Fuhaim Musthofa, Manhaj Pendidikan Anak Muslim, terj. Abdillah Obid dan Yessy HM Basyiruddin, (Jakarta: Mustaqim, 2004), h. 24-26
11

Orang tua harus mampu mengantarkan anak-anaknya kepada keyakinan yang benar tentang Tuhannya. 2. Fitrah (potensi dasar manusia yang dibawa sejak kelahirannya) merupakan kemampuan dasar atau potensi yang dapat menjadi modal dasar untuk mengembangkan kehidupannya di segala bidang. Sarana utama yang dibutuhkan untuk pengembangan potensi-potensi manusia tidak lain adalah pendidikan. 3. Dilihat dari sudut pengertian, karakter dan akhlak nampaknya tidak memiliki perbedaan yang signifikan. Keduanya didefinisikan sebagai suatu tindakan yang terjadi tanpa ada lagi pemikiran lagi karena sudah tertanam dalam pikiran, dan dengan kata lain, keduanya dapat disebut dengan kebiasaan. Karakter mengacu kepada serangkaian sikap (attitudes), perilaku (behaviors), motivasi (motivations), dan keterampilan (skills). Karakter bisa mengandung pengertian sebagai aplikasi terhadap nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah laku, sehingga orang yang bertingkah laku tidak baik dikatakan sebagai seorang berkarakter jelek. Sebaliknya, orang yang perilakunya sesuai dengan kaidah moral disebut dengan berkarakter mulia. 4. Pendidikan karakter sesungguhnya pendidikan budi pekerti plus, yaitu yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action). 5. Al-Quan dan Hadits merupakan dua pedoman utama dalam pembentukan pribadi muslim yang dijiwai oleh nilai-nilai kebajikan, etik, moral, dan akhlak. Pribadi muslim yang dikehendaki oleh Al-Quran dan Hadits adalah pribadi yang sholeh, yaitu sikap konstruktif menuju tatanan Ilahiyah, dimana sikap, ucapan dan tindakan seorang muslim diwarnai oleh nilai-nilai yang datang dari Allah Swt. Menjadi pribadi yang sholeh merupakan suatu hal yang sangat diperhatikan dalam Islam, mengingat ajaran Islam itu bersifat normatif yang harus diwujudkan di dalam kehidupan nyata, yaitu aplikasi antara keyakinan seorang muslim harus tercermin dalam tingkah laku, perbuatan, dan sikap pribadi-pribadi muslim. 6. Lingkungan keluarga merupakan lingkungan yang paling utama, karena sebagian besar kehidupan anak di dalam keluarga, sehingga pendidikan yang paling banyak diterima anak adalah dalam keluarga. Pembentukan kepribadian anak dimulai dari dalam keluarga, maka dalam konteks ini dasar-dasar iman dan taqwa menjadi azas paling pokok yang akan membentuk landasan pribadi secara internal disamping penguatan jasmani secara eksternal. 7. Masa kanak-kanak adalah merupakan kesempatan yang sangat tepat untuk membentuk pengendalian agama, sehingga sang anak dapat mengetahui, mana perkara-perkara yang diharamkan dalam agama dan yang diperbolehkan. Lebih dari itu, masa kanak-kanak juga sangat menentukan proses pembentukan akhlak individu dan sosial. Hal tersebut disebabkan pengaruh lingkungan sekitar tethadap anak, dimana dirinya dapat merespon berbagai pengaruh lingkungan dengan cepat. 8. Keteladan menjadi penting untuk diperhatikan, ketika seorang anak menyaksikan kedua orang tuanya, para guru, dan kerabat dekatnya sedang

menyebut nama Allah dalam shalat yang mereka lakukan, maka tidak diragukan lagi anak tersebut akan meniru tingkah laku mereka.

You might also like