Professional Documents
Culture Documents
1 2 3
Mohammed Arkoun, Metode Kritik Akal Islam , dalam Jurnal Ulumul Qur an, nomor 6 vol. V 1994, hlm. 157.
terminologi menunjuk suatu yang tidak dapat diperjelas dengan verifikasi empirikal. Kesakralan itu sendiri terjadi karena pemikiran generasi terdahulu diwarisi begitu saja ke generasi berikutnya tanpa mempertanyakan lebih lanjut, bagaimana sebenarnya situasi historis yang ikut menentukan corak sistematika keilmuan islam saat itu. Agar relevansinya dengan tantangan sejarah serta problematika zaman baru yang mengitari generasi yang datang belakangan. Menurutnya permasalahan tafsir telah dimonopoli oleh para ulama mujtahid pendiri aliran besar teologis-yurisdis dalam bidang yang sangat terbatas, padahal mereka adalah pemenuh tuntutan ideologis dari kelas pengusasa.4 Dinamika wacana islam yang ada pada masa Rasullulah dan sahabatnya mengalami keredupan ketika masa abasyiah yang melakukan standarisasi doktrin islam. Ia menuntut agar adanya penafsiran ulang secara terus-menerus sejalan dengan dinamika sosial, menurutnya sebuah tradisi akan kering dan mati jika tidak dihidupkan secara terus-menerus. Pemakaian pemikiran barat dalam mengkaji islam menurut Arkoun tidak akan mengancam pemikiran dan masyarakat islam, melainkan sebagai sarana untuk memahami lebih baik kenapa pemikiran islam telah sampai pada kekauan dan ketertutupan.5
Hermeneutika
Sebenarnya fokus kritik Arkoun ini dilakukan dengan cara mengkaji teks suci secara langsung dan mengacu pada hermeneutika. Hermeneutika sendiri berarti metode pengkajian
teks suci atau teks-teks yang mengandung makna tersembunyi. Kata hermeneutika merupakan sebuah derivasi kata hermes, seorang dewa dalam mitologi Yunani yang menjadi penghubung antara zeus yang mempunyai bahasa langit agar dapat dimengertiu oleh manusia.6 Hermeneutika berkembang pesat pada abad 19 dan menjadi sebuah disiplin ilmu yang memusatkan bidang kajiannya pada persoalan understanding of understanding terhadap teks yang kurun waktu, tempat, serta situasi sosial
Tesis hal 73 Meuleman, pengantar , dalam Mohammed Arkoun, Nalar Islam dan Nalar Modern: Berbagai Tantangan dan Jalan Baru hal 94-95. 6 Tesis hal 47
5
Arkoun memberikan jalan untuk menafsirkan teks suci tersebut, yaitu Pertama, melakukan klarifikasi historis terhadap kesejarahan umat Islam dan membaca Alquran kembali secara benar dan baru. Kedua, menyusun kembali seluruh syariah sebagai sistem semiologis yang merelevankan wacana al-Quran dengan sejarah manusia, di samping sebagai tatanan sosial yang ideal. Ketiga, meniadakan dikotomi tradisional (antara iman dan nalar, wahyu dan sejarah, jiwa dan materi, ortodoksi dan heterodoksi dan sebagainya) untuk menyelaraskan teori dan praktik. Keempat, memperjuangkan suasana berfikir bebas dalam mencari kebenaran agar tidak ada gagasan yang terkungkung di dalam ketertutupan baru atau di dalam taqlid. Sebenarnya dari awal tujuan Arkoun dalam kritik islam adalah untuk menunjukan bahwa Al-Quran bukanlah sesuatu yang harus diterima begitu saja sebagai makna tektualitas apa adanya. Sebenarnya Arkoun menerima kesakralan Al-Quran tetapi ia menekanakan agar kesakralan tersebut tidak sampai mengharuskan pemaknaan akan Al-Quran menjadi tetutup dalam sebuah narasi besar yang sarat akan relasi kuasa, ideologis, dll sehingga pemahaman yang menyeluruh hanya dapat dicapai apabila dilakukan penelusuran Historis-antropologis, linguistik-semiotika, dan tentunya teologis religius kritis. Arkoun berpendapat bahwa khazanah tafsir islam dengan segala mazhab serta alirannya, sesungguhnya Al-quran hanya merupakan alat untuk membangun teks-teks lain yang dapat memenuhi kebutuhan dan selera suatu masa tertentu setelah masa turunnya Al-quran itu sendiri.8 Dan tafsir-tafsir tersebut adalah hasil karya yang terikat pada konteks kultural dan produk budaya yang melatar belakanginya, hal inilah yang memperumit relasi antara teks pertama dengan tafsirtafsirnya yang ia analogikan seperti lapisan-lapisan geologis bumi, dimana yang satu diatas
7 8
1. Wahyu sebagai firman Allah yang tak terbatas dan tidak diketahui oleh manusia, yaitu wahyu al-Lauh Mahfudz dan Umm al-Kitab. 2. Wahyu yang nampak dalam proses sejarah. Berkenaan dengan Al-Quran, hal ini menunjuk pada realitas Firman Allah sebagaimana diturunkan dalam bahasa Arab kepada Nabi Muhammad selama kurang lebih dua puluh tahun. 3. Wahyu sebagaimana tertulis dalam Mushaf dengan huruf dan berbagai macam tanda yang ada di dalamnya. Ini menunjuk pada al-Mushaf al-Usmani yang dipakai orang-orang Islam hingga hari ini.11
Epistimologi kiri hal 198-200 Epistomologi kiri hal 205 11 Adnin Armas, al-Quran dan Orientalis, www.insits.com
10
nalartersebutkerap
bermusuhan
padakematian/kehancuran. Hal yang paling mendasar, bahwa dalam kemajemukan nalar tersebut, sesungguhnya memiliki titik konvergensi dan persenyawaan yang oleh Arkoun, disederhanakan sebagai termanalar Islam. Singkatnya, ia sengaja membredel nalar di atas menuju ruang kematian dengan cara mendekonstruksinya menjadinalar Tunggal (BinyahalMuwahadah), yakni:nalarIslam. Kematian di sini tentunya diartikulasikan dengan pembacaan kini,dengan pemaknaan ala Derrida, yakni suatu pengalihan posisi tawar dari alam klasik menuju alam kontemporer. Ia menyimpulkan bahwa nalar keagamaan memaksakan kehadirannya ketika ia menyatakan lagi dengan bersemangat pengabdiannya kepada kebenaran eksklusif dan universal. 12 Penyebab muncul suatu yang disebut sebagai ketunggalan nalar islam ada setidaknya tiga unsur pokok yaitu:
12
Ibid hal 28
13 14
yang terpikirkan: kategori ini terdiri dari hal-hal yang senantiasa dapat dan yang diinginkan untuk dilihat dan dipikirkan dalam kesehariaan. Dalam artian bahwa ada kemengarahan terhadap hal-hal ini. Kurang lebih hal yang terpikirkan ini merupakan konsekuensi dari nalar Islam yang dibicarakan sebelumnya.
yang tak dipikirkan: kategorisasi dari hal-hal yang sebenarnya dapat kita persepsikan, entah dalam artian secara empirik ataupun secara konseptual namun akibat keberadaan kerangka pikir yang telah terbentuk sedemikian rupa sehingga pada akhirnya kesadaran individu menolak untuk memikirkannya.
yang tak terpikirkan: kategorisasi akan hal-hal yang tak terpikirkan oleh kesadaran individu, berbeda dengan yang tak dipikirkan, yang tak terpikirkan merupakan sesuatu yang tak dapat di persepsikan.16
Singkatnya Arkoun menyatakan bahwa dengan adanya keberadaan hal yang tidak terpikirkan menjadi bukti bahwa kesakralan telah menempati posisi dalam ranah yang keliru, hal iut diperparah dengan adanya hal-hal yang terlongkap dalam suatu runutan nalar, maka akan mengakibatkan penyimpangan seperti yang terjadi dalam peradaban Islam. Ia menyatakan bahwa dengan adanya hal yang tidak terpikirkan sama artinya dengan mereduksi kemungkinan lain dan pada akhirnya merupakan kerugian dalam peradaban Islam. Untuk mengatasinya Arkoun mengemukakan dua sasaran yang tidak dapat dipisahkan yaitu: 1. memperkaya sejarah pemikiran dengan membuktikan taruhan-taruhan kognitif, intelektual, dan ideologis dari ketegangan-ketegangan antara berbagai pemikiran. 2. mendinamiskan pemikiran islam masa kini dengan menaruh perhatian pada persoalan-persoalan yang telah dikekangnya, tabu-tabu yang telah
16
Deskontruksi Arkoun
Di atas sudah dijelaskan sedikit tentang deskontruksi Arkoun ini. Deskontruksi Arkoun ini sangat berbeda dengan deskontruksi yang dikemukakan oleh Derrida. Derrida menyatakan bahwa ketika kita membaca buku, kita jangan mencoba menjadi apa yang penulis ketika itu, namun kita adalah diri sendiri sewaktu membaca sesuatu itu, namun deskontruksi Arkoun berbeda, Arkoun berusaha mereposisi kesakralan itu sendiri. Upaya dekonstruksi dalam upaya mereposisi kesakralan dalam kekakuan nalar Islam menurut Arkoun bukan untuk menghilangkan kesakralan yang melekat dalam Tuhan secara mutlak melainkan lebih kepada turunan wahyu dan tekstualitas yang ada dalam tradisi nalar Islam yang seakan-akan memiliki muatan mutlak. Ia juga menentang kaum muslim tradisionalis yang telah mengislamkan ilmu-ilmu sosial dan disiplin ilmu dari universitas modern dan sekular, menurutnya hal tersebut harus dilakukan sebaliknya. Secara historis, kebisasaan penalaran islam yang diturunkan harus didekonstruksi dan teks-teks suci harus terbuka terhadap penelitian linguistik dan historis modern.18
Berbagai pembacaan quran hal 18 Tesis hal 170 19 Berbagai pembacaan quran hal 47
Mengembangkan suatu penyelidikan ilmiah yang didalamnya Wahyu, Kebenaran, dan Sejarah dalam kaitan-kaitan dialektis mereka dianggap sebagai term-term yang membangun keberadaan manusia.
Menggabungkan
lagi
kesadaran
masa
kini
dan
bahasa-bahasa
pengungkapannya . 22
Penutup Hampir seluruh pemikiran Arkoun tentang kajian ulang pemikiran Islam, ternyata merupakan pemikiran epistemologis yang tidak praktis dan belum tuntas.
20 21
Ibid hal 48 Berbagai pembacaan quran hal 51 22 Berbagai pembacaan Quran hal 66
10
11
Daftar Pustaka
y
Arkoun,
Mohammed.
1997.Berbagai
Pembacaan
Al-Quran,penerjemah
Santoso, dkk.2009. Epistemologi kiri.Yogyakarta:Ar-ruzz media. Rohmah, Siti. Dekonstruksi: Suatu Telaah Mengenai Pemikiran Mohammed Arkoun. Tesis: Universitas Indonesia
12