You are on page 1of 14

OBSERVATORIUM DALAM ISLAM Oleh Mohamad Ali Mudini BAB I. PENDAHULUAN 1.1.

Latar Belakang Pada dasarnya, dalam perkembangan zaman yang sejalan dengan peningkatan kebutuhan manusia, bertambah pula keilmuan dan pengetahuan sebagai sarana utama untuk mencapai kebutuhan tersebut. Ilmu falak mungkin saja masih terdengar langka di telinga masyarakat sekarang ini. Apalagi generasi muda yang sudah condong kepada ilmu umum dan mulai meninggalkan ilmu keislaman. Antara ilmu falak dan astronomi terdapat kesamaan pada objek yang diteliti yaitu benda-benda langit. Namun secara aplikasi memiliki ruang lingkup yang berbeda. Berbeda dengan astronomi yang hanya berfokus pada penelitian dan aplikasi keilmuan yang bersifat umum, dengan dasar agama ilmu falak mempunyai keunikan tersendiri yaitu kajian keilmuannya yang bermanfaat dalam kehidupan beragama sebut saja dalam hal ibadah. Observatorium sebagai tempat penelitian paran ilmuwan dalam melakukan Observasi pengamatan merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan dalam perkembangan dan kemajuan Ilmu Astronomi. Khazanah keislaman yang fenomenal dengan para ilmuwan Islam yang terkenal dan handal namun ada kesan kolot dan tertinggal. Begitulah ilmu falak dalam perspektif masyarakat beberapa tahun belakangan ini. 1.2. Topik Pembahasan Permasalahan yang akan di bahas dalam makalah ini adalah : 1. 2. Sejarah Astronomi Sebelum Islam serta tokoh tokohnya Astronomi dalam peradaban islam
1

3. 4. 1.3. 1. 2. 3. 4.

Observatorium dalam Islam Para Pembangun Observatorium dalam islam Tujuan Penulisan Mengetahui Sejarah Astronomi Sebelum Islam Beserta Tokoh-tokohnya Mengetahui Perkembangan Atronomi Dalam Peradaban Islam Mengetahui Observatorium Dalam Islam Mengetahui Tokoh Tokoh yang membangun Observatorium dalam dunia

islam

BAB II. SEJARAH ASTRONOMI SEBELUM ISLAM 2.1 Tokoh Tokoh Astronomi Sebelum Islam Pada dasarnya, orang-orang arab jahiliyah sebelum kedatangan Islam telah memiliki pengetahuan pengetahuan dasar tentang ilmu astronomi. Namun belum pantas untuk dikatakan sebagai ilmu pengetahuan karena belum berbentuk rumusan-rumusan ilmiah dan bahkan banyak yang ditambah berbagai tahayul yang bersifat fantastis. Seperti paradigma masyrakat arab waktu itu bahwa terjadinya gerhana, jatuhnya meteor, dan adanya bintang berekor yang tampak dianggap sebagai hal tidak wajar yang terjadi karena ada dewa yang marah atau adanya raksasa yang menelan bulan dan sebagainya. Jejak astronomi tertua ditemukan pada tahun 3500-3000 SM dalam peradaban bangsa Sumeria dan Babilonia yang tinggal di Mesopotamia. Bangsa Sumeria menerapkan bentuk-bentuk dasar astronomi dan pembagian lingkaran menjadi 360. Sudah mengetahui gambaran konstelasi bintang sejak 3500 SM. Menggambar pola-pola rasi bintang pada segel, vas, dan papan permainan. Nama rasi Aquarius yang dikenal saat ini berasal dari bangsa Sumeria. sekitar tahun 500 SM astronomi sudah dikenal oleh masyarakat India kuno, dengan melahirkan sistem matematika yang menempatkan bumi berputar pada porosnya. dia membuat perkiraan mengenai lingkaran dan diameter bumi. Brahmagupta (598-668) adalah seorang astronom India dengan teks astronominya yang berjudul Brahmasphutasiddhanta pada tahun 628 M. Dia adalah astronom pendahulu yang menggunakan aljabar untuk memecahkan masalah-masalah astronomi. Masyarakat Cina kuno sudah mengenal astronomi pada tahun 4000 SM. Awalnya, astronomi di Cina digunakan untuk mengatur waktu. Orang Cina
3

menggunakan kalender lunisolar. Perputaran matahari dan bulan yang berbeda, menjadikan para ahli astronomi Cina sering menyiapkan kalender baru dan membuat observasi. Bangsa Yunani kuno sangat tertarik dengan astronomi. Diawali oleh Thales pada abad ke-6 SM. Menurut dia, bumi itu berbentuk datar. Phytagoras sempat membantah pendapat itu dengan menyatakan bumi itu bulat. Dua abad berselang, Aristoteles melahirkan terobosan penting yang menegaskan

menyatakan bahwa bumi itu bulat bundar. Pada abad ke-3 SM Aristachus melontarkan pendapat bahwa Bumi bukanlah pusat alam semesta. Namun teori itu tidak mendapat tempat masa itu. Era astronomi klasik ditutup Hipparchus pada abad ke-1 SM yang melontarkan teori geosentris. Bumi itu diam dan dikelilingi oleh matahari, bulan, dan planetplanet yang lain. Ptolomeus menyempurnakan sistem geosentris pada abad ke-2 M. Sebagai bangsa pengembala, orang-orang membutuhkan rumput yang segar untuk memberi makan gembalaan mereka. Dan untuk mengetahui di mana letak tanah yang telah dituruni hujan, mereka mencatat perputaran musim. Hal ini menjadikan orang-orang arab menyimpan perhatian yang besar terhadap ilmu astronomi. Sebagaimana yang dikatakan oleh Ahmad Ali al-Mala di dalam bukunya Atsarul Ulamail Muslimin Fil Hadlarah Al Auribuah: Orang-orang senang menyaksikan keindahan bintang gemintang. Dia

menyaksikan geraknya kemudian meneliti pertambahan dan kurangnya bulan hari demi hari. Selanjutnya bulan demi bulan dia menyaksikan miringnya matahari. Maka mereka pun membuat petunjuk-petunjuk dari matahari, bulan, dan bintang, untuk menghitung hari dan bulan, musim dan tahun, tanda-tanda waktu mengembara berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Namun di antara kekolotan dan keunikan paradigma masyarakat saat itu, ada juga di antara mereka yang memahami alam semesta dan jagad raya dengan akal rasionya. Antara lain :
4

a)

Aristoteles (384-322 SM) Pencetus paham geosentris, yaitu bumi sebagai pusat peredaran benda-

benda langit dengan lintasan masing-masing benda langit yang berbentuk lingkaran. Sedangkan bumi selalu dalam keadaaan tenang, tidak bergerak dan tidak berputar. Pada zaman ini peristiwa gerhana tidak lagi dianggap mengandung hal mistik, namun hanyalah sebuah fenomena alam yang wajar dan sering terjadi. b) Claudius Ptolemeus (140 M) Searah dengan pola fikir Aristoteles tentang kosmos, Ptolemeus juga beranggapan bahwa bumi adalah pusat peredaran benda-benda langit. Dengan konsep orbit benda-benda planet berupa lingkaran di dalam bola langit. Dan bintang-bintang sejati yang berada pada dinding bola langit. Faham Geosentris berlaku sampai abad VI masehi dengan buku besar tentang ilmu bintang-bintang yang berjudul Syntasis karangan Ptolemeus.

BAB. III. ASTRONOMI DALAM PERADABAN ISLAM 3.1 Sejarah Astronomi Dalam Peradaban Islam Ilmu falak (astronomi Islam) pertama kali ditemukan oleh Nabi Idris, sebagaimana disebutkan dalam mukadimah kitab-kitab falak. Namun embrio ilmu astronomi mulai nampak sekitar abad ke-28 sebelum masehi. Digunakan untuk menentukan waktu penyembahan berhala seperti di Mesir, Babilonia, dan Mesopotamia. Ilmu astronomi Islam dapat dikatakan muncul dengan gemilang pada masa pemerintahan Khalifah Abbasiah karena adanya hubungan orang-orang Arab dengan berbagai macam kebudayaan dunia dan mereka jugs menyalin dari kitabkitab klasik karangan orang-orang India dan orang-orang Yunani. Para ilmuan muslim mulai melakukan penelitian astronomis berdasarkan AlQuran surah Yasin ayat 38-40 dan surah Yunus ayat 5. 1. Yasin ayat 38-40 Artinya : 38. Dan matahari berjalan ditempat peredarannya. Demikianlah ketetapan yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui. 39. Dan Telah kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga (Setelah dia sampai ke manzilah yang terakhir) kembalilah dia sebagai bentuk tandan yang tua. 40. Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan malampun tidak dapat mendahului siang. dan masing-masing beredar pada garis edarnya. 2. Yunus ayat 5 Artinya :

5. Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu,
6

supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tandatanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang Mengetahui. BAB IV. OBSERVATORIUM DALAM ISLAM 4.1 Sejarah Observatorium dalam islam Setelah ekspansi Islam tahap awal berhasil dilakukan, kaum Muslim mulai tertarik untuk mengobservasi langit. Pengamatan terhadap berbagai fenomena yang terjadi luar angkasa gencar dilakukan umat Islam karena desakan kebutuhan akan jadwal yang tepat, penetapan kalender serta penentuan jadwal shalat. Aktivitas ini pun mendapat dukungan dan sokongan dari para khalifah. Untuk menguak rahasia langit, peradaban Islam pun membangun observatorium astronomi. Observatorium merupakan sebuah lokasi untuk mengamati langit dan peristiwa yang terjadi di luar angkasa, tempat ini dilengkapi perlengkapan yang diletakkan secara permanen. Peradaban Islam dianggap telah berjasa besar dalam meletakkan dasar-dasar observatorium modern.''Seringkali pendirian observatorium didorong minat kerajaan terhadap astrologi,'' ungkap Howard R Turner dalam bukunya bertajuk ''Science in Medieval Islam, An Illustrated Introduction. Berdasarkan catatan sejarah, observatorium astronomi Islam pertama kali dibangun pada era kejayaan Dinasti Abbasiyah. Observatorium tertua yang di dunia Islam adalah Shammasiyah. Tempat pengamatan fenomena langit itu dibangun Khalifah Al-Mamun di kota Baghdad sekitar tahun 828 M. Pembangunan observatorium itu sangat terkait dengan pusat gerakan intelektual Kekhalifahan Abbasiyah - Bait Al-Hikmah - yang juga didirikan Al-Mamun. Al-Mamun mengundang para astronom untuk melakukan pengamatan terhadap Matahari, Bulan dan planet-planet. Hasil pengamatan para astronom di era kejayaan Dinasti Abbasiyah itu diabadikan dalam sebuah buku bertajuk ''Mumtahan''. Pada abad itu, pengamatan dan pengkajian terhadap fenomena langit juga dilakukan Bani Musa bersaudara di Kota Baghdad. Salah satu pencapaian penting yang dilakukan Bani Musa di Observatorium Shammasiyah adalah studi tentang Ursa Major -- Ursa Major alias "Beruang Besar" yang
7

dikenal pula sebagai "rasi biduk", "bintang biduk", atau "bintang tujuh". Ursa Major merupakan rasi bintang yang tampak sepanjang tahun di belahan utara langit. Kalangan pelaut menjadikan rasi itu sebagai petunjuk untuk memperkirakan titik utara langit, dengan menarik garis lurus dari dua bintang (alfa dan beta) terterang ke arah horison. Di Observatorium Baghdad itu pula, Bani Musa berhasil mengukur ketinggian maksimum dan minimum Matahari. Mereka juga sudah mampu mengamati fenomena gerhana Bulan. Setelah kekuasaan Abbasiyah meredup, upaya pengamatan fenomena langit dilanjutkan para astronom di bawah kekuasaan Dinasti Buwaih. Tahun 950 M, dinasti ini membangun observatorium dan melengkapinya dengan peralatan tercanggih di zamannya. Observatorium Dinasti Buwaih telah melahirkan astronom Muslim terkemuka seperti Ibnu Al-Alam dan Abd Al-Rahman Al-Sufi - astronom termasyhur. Al-Sufi berhasil merevisi katalog bintang Ptolemeus di observatorium yang didukung Pangeran Adud Al-Dawla - penguasa Buwaih. Pada tahun 994 M, Abu-Mahmud Al-Khujandi juga berhasil membangun sebuah observatorium di Ray, Iran yang terkenal dengan sektan dindingnya yang besar. Sharaf al-Daula juga tercatat sebagai penguasa Buwaih yang mendirikan observatorium di Kota Baghdad. Sejarawan Ibnu Yunus dan Al-Zarqali dalam catatannya mengungkapkan, observatorium juga dibangun peradaban Islam di Toledo serta Cordoba. Observatorium yang dibangun di bawah kekuasaan Dinasti Umayyah Spanyol itu diyakini keduanya telah menggunakan peralatan astronomi yang tercanggih di zamannya. Memasuki abad ke-11 M, penguasa Dinasti Seljuk, Sultan Malik Shah I (berkuasa 1072-1092) juga membangun sebuah observatorium yang lebih maju. Sayangnya, observatorium itu tak bertahan lama, hanya digunakan selama 20 tahun. Dua abad kemudian, astronom Islam kembali berhasil membangun fasilitas pengamatan yang sangat mengesankan, yakni Observatorium Maragha. Observatorium itu dibangun oleh astronom Muslim termasyhur Nasiruddin Al-Tusi pada abad ke-13 M. Pusat penelitian fenomena langit itu dilengkapi perpustakaan dengan koleksi buku mencapai 400 ribu judul. Observatorium Maragha juga telah melahirkan
8

sejumlah astronom terkemuka seperti, QuIb al-Din al-Shirazy, Mu'ayyid al-Din al-Urdy, Muiyi al-Din al-Maghriby, dan banyak lagi. Al-Tusi dan timnya yang profesional berhasil menyusun hasil penelitiannya dalam sebuah buku berjudul The Zij-i Ilkhani. Terinspirasi pencapaian Al-Tusi, penguasa Muslim yang cinta astronomi bernama Ulugh Beg pada tahun 1420 M juga mendirikan Observatorium di Samarkand. Ahli astronomi Barat, Kevin Krisciunas dalam tulisannya berjudul The Legacy of Ulugh Beg mengungkapkan, observatorium termegah yang dibangun sarjana Muslim adalah Ulugh Beg. Observatorium itu dibangun seorang penguasa keturunan Mongol yang bertahta di Samarkand bernama Muhammad Taragai Ulugh Beg (1393-1449). Dia adalah seorang pejabat yang menaruh perhatian terhadap astronomi. Saat Kekhalifahan Turki Usmani berkuasa, dunia Islam kembali berhasil membangun sebuah observatorium astronomi baru di Istanbul. Observatorium itu dibangun Taqi al-Din bin Ma'ruf pada tahun 1577. Pusat pengamatan fenomena langit itu hampir sama besarnya dengan observatorium di Maragha dan Samarkand. Pembangunan observatorium yang didukung Sultan Murad III itu tak bertahan lama. Observatorium astronomi Islam juga dibangun pada era kekuasaan Dinasti Mughal di India. Humayun, penguasa dinasti itu membangun observatorium pribadi di New Delhi. Sedangkan, Jahangir dan Shah Jahan juga bermaksud membangun observatorium, namun rencana itu tak terwujud. Observatorium terakhir dibangun peradaban Islam India tahun 1724. Penguasa Mughal membangun observatorium di Delhi, Jaipur, Ujjain dan kota-kota lainnya di India. Di era modern, dunia Islam juga masih membangun observatorium yang canggih. Pusat pengamatan langit dan fenomena luar angkasa itu terdapat di Yordania, Palestina, Lebanon, Uni Emirat Arab, Tunisi dan negara-negara Arab lainnya. Negara Muslim yang juga memiliki fasilitas observatorium yang lengkap adalah Iran. Observatorium itu berada di Universitas Shiraz dan Universitas Tabriz. Tahun 2005 lalu, Negeri Para Mullah itu sempat mencanangkan pembangunan observatorium berkelas dunia dengan dilengkapi teleskop 2,0 meter.Dunia astronomi modern berutang budi
9

kepada para penguasa dan astronom Islam yang telah mengembangkan observatorium. Berkat pengamatan yang mereka lakukan, rahasia langit pun telah terkuak. Inilah sumbangan nyata peradaban Islam bagi pengembangan astronomi. BAB V. PARA PEMBANGUN OBSERVATORIUM DALAM ISLAM 5.1 Tokoh-Tokoh Pembangun Observatorium Dalam Islam a. Khalifah Al-Mamun Dia adalah Khalifah Abbasiyah ketujuh yang telah sukses mengantarkan dunia Islam pada puncak kejayaan. Al-Mamun dikenal sebagai figur pemimpin yang dianugerahi intelektualitas yang cemerlang. Ia menguasai beragam ilmu pengetahuan. Kemampuan dan kesuksesannya mengelola pemerintahan dicatat dengan tinta emas dalam sejarah peradaban Islam. Berkat inovasi gagasannya yang brilian, Baghdad - ibu kota Abbasiyah menjadi pusat kebudayaan dunia. Sang khalifah sangat menyokong perkembangan aktivitas keilmuan dan seni. Perpustakaan Bait Al-Hikmah yang didirikan sang ayah, Khalifah Harun Ar-Rasyid disulapnya menjadi sebuah universitas virtual yang mampu menghasilkan sederet ilmuwan Muslim yang melegenda. Khalifah yang sangat cinta dengan ilmu pengetahuan itu mengundang para ilmuwan dari beragam agama untuk datang ke Bait Al-Hikmah. Ia juga mendirikan observatorium pertama di dunia Islam. Al-Ma'mun menempatkan para intelektual dalam posisi yang mulia dan sangat terhormat. Para filosof, ahli bahasa, dokter, ahli fisika, amtematikus, astronom, ahli hukum serta sarjana yang menguasai ilmu lainnya digaji dengan bayaran yang sangat tinggi. b. Nasiruddin Al-Tusi Sarjana Muslim yang satu ini dikenal sebagai ilmuwan serbabisa. Para sejarawan menyandingkan kemasyhurannya setara dengan teolog dan filsuf besar sejarah gereja, Thomas Aquinas. Astronom Muslim itu memiliki nama lengkap Abu Ja'far Muhammad ibn Muhammad ibn Al-Hasan Nasiruddin Al-Tusi. Ia terlahir pada 18 Februari 1201 M di kota Tus yang terletak di dekat Meshed, sebelah timur laut Iran.
10

Sebagai seorang ilmuwan yang amat kondang di zamannya, Nasiruddin memiliki banyak nama antara lain, Muhaqqiq Al-Tusi, Khuwaja Tusi, dan Khuwaja Nasir. Nasiruddin lahir di awal abad ke-13 M, ketika dunia Islam tengah mengalami masa-masa sulit. Pada era itu, kekuatan militer Mongol yang begitu kuat menginvansi wilayah kekuasaan Islam yang amat luas. Kota-kota Islam dihancurkan dan penduduknya dibantai habis tentara Mongol dengan sangat kejam. Dalam bidang astronomi dia telah berjasa membangun observatorium yang hebat di Maragha. Pusat penelitian fenomena langit itu dilengkapi perpustakaan dengan koleksi buku mencapai 400 ribu judul. Al-Tusi dan timnya yang profesional berhasil menyusun hasil penelitiannya dalam sebuah buku berjudul The Zij-i Ilkhani. c. Taqi Al-Din Ia tak hanya dikenal sebagai seorang saintis legendaris. Ilmuwan Muslim kebanggaan Kerajaan Ottoman itu juga termasyhur sebagai seorang astronom, astrolog, insinyur, inventor, fisikawan, matematikus, dokter, hakim Islam, ahli botani, filosof, ahli agama dan guru madrasah. Dunia ilmu pengetahuan modern juga mengakuinya sebagai ilmuwan yang sangat produktif.

Tak kurang dari 90 judul buku dengan beragam bidang kajian telah ditulisnya. Sayangnya, hanya tinggal 24 karya monumentalnya yang masih tetap eksis. Sederet penemuannya juga sungguh sangat menakjubkan. Pencapaiannya dalam berbagai temuan mampu mendahului para ilmuwan Barat. Pada era kekuasaan Sultan Selim II, sang ilmuwan diminta untuk mengembangkan pengetahuannya dalam bidang astronomi oleh seorang hakim di Mesir Kazasker Abd al-Karim Efendi dan ayahnya Qutb Al-Din. Bahkan, Qutb Al-Din menghibahkan kumpulan karya-karyanya beserta beragam peralatan astronomi. Sejak itulah, ia mulai konsisten mengembangkan astronomi dan matematika. Sejak itulah, ia resmi menjadi astronom resmi Sultan Selim II pada tahun 1571. Ia diangkat sebagai kepala astronom kesultanan (Munajjimbashi) setelah wafatnya Mustafa bin Ali Al-Muwaqqit - kepala astronom terdahulu. Taqi Al-Din juga dikenal supel dalam
11

pergaulan. Ia mampu menjalin hubungan yang erat dengan para ulama dan pejabat negara. Pemerintahan Usmani Turki mengalami perubahan kepemimpinan, ketika Sultan Selim II tutup usia. Tahta kesultanan akhirnya diduduki Sultan Murad III. Kepada sultan yang baru Taqi Al-Din mengajukan permohonan untuk membangun observatorium yang baru. Ia menjanjikan prediksi astrologi yang akurat dengan berdirinya observatorium baru tersebut. Permohonan itu akhirnya dikabulkan Sultan Murad III. Proyek pembangunan Observatorium Istanbul dimulai pada tahun 1575. Dua tahun kemudian, observatorium itu mulai beroperasi. Taqi Al-din menjabat sebagai direktur Observatorium Istanbul. Dengan kucuran dana dari kerajaan Ottoman, observatorium itu bersaing dengan observatorium yang ada di Eropa, khususnya Observatorium Astronomi Raja Denmark.

12

KESIMPULAN Ilmu astronomi Islam yang lebih dikenal dengan ilmu falak adalah salah satu keilmuan yang sangat penting bagi ummat Islam sendiri karena di dalamnya terdapat ketentuan yang bisa menuntun kita kepada pengetahuan. Seperti halnya sebuah koin yang sisinya berbeda satu sama lain, namun merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Begitu juga keterkaitan antara ilmu astronomi dengan keislaman. Dari awal mula ditemukannya ilmu astronomi itu sendiri, perkembangan yang terjadi tidak lain adalah untuk mencari kebenaran yang urgensinya sangat berpengaruh terhadap proses kemajuan dan keakuratan data yang diperoleh. Sejalan dengan perkembangan zaman, ilmu astronomi Islam juga mulai dikembangkan searah dengan keilmuan yang lain. Dibuktikan dengan munculnya ahli-ahli astronomi Islam yang sangat banyak dan sempat berada pada puncak kejayaan di masa pemerintahan Khalifah al-Makmun. Kualitas Ilmu Astronomi akan semakin bagus dengan ditunjang dengan pembangunan observatorium,yang sangat membantu dalam proses penelitian dan pengamatan benda benda yang berada di angkasa raya. Intinya, ilmu astonomi Islam atau ilmu falak merupakan kajian alam yang akan terus berkembang. Tidak hanya dalam penentuan hal-hal yang berkaitan dengan ibadah, namun dalam ruang lingkup yang lebih luas dan dinamis. DAFTAR PUSTAKA 1. Sejarah Peradaban Islam, Dr. Badri Yatim, M.A. Mei 2010, Rajawali Pers Jakarta

13

2. http://geomiau.multiply.com/journal/item/13/Observatorium_di_Abad_Perten gahan 3. http://lisha.blog.man18-jkt.sch.id/2010/03/02/astronomi-dan-perkembanganislam/

14

You might also like