You are on page 1of 558

Hak cipta dan copyright adalah milik Alm. Bastian Tito Wiro Sableng terdaftar pada Dept.

Kehakiman RI, Dirjen Hak Cipta, Paten, dan Merek di bawah nomor 004245 Support the Author, Buy the Original Books.

Kontributor Ebook Jilid 02: kucinglistrik, kalibening, kelapalima, kiageng80, Pendekar212, Dewi Tirai Kasih Cover Jilid: SiRAY Cover Per Episode Disediakan Oleh: kelapalima Re-edit & Layout: kiageng80 Terima kasih kepada semua kontributor (maaf saya tidak sebut namanya satu per satu, takut ada yang terlewat), forum WS di kaskus.us, para WS Mania di mana saja, dan Anda yang membaca ebook ini. Ebook ini untuk Anda.

BASTIAN TITO
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212

WIRO SABLENG

PENDEKAR TERKUTUK PEMETIK BUNGA


Ebook Oleh: kucinglistrik

WIRO SABLENG PENDEKAR TERKUTUK PEMETIK BUNGA

AMPAI menjelang tengah malam, pesta perkawinan puteri Ki Lurah Rantas Madan dengan putera Ki Lurah Jambar Wulung masih kelihatan meriah. Tamu-tamu duduk di kursi masingmasing sambil menikmati hidangan dan minuman yang diantar para pelayan sambil menikmati permainan gamelan dan suara pesinden Nyi Upit Warda yang lembut mengalun membawakan tembang Kembang Kacang. Kedua mempelai yang berbahagia yaitu Ning Leswani dan Rana Wulung kelihatan duduk di antara para tamu di barisan kursi paling depan, tepat di muka panggung. Ki Lurah Rantas Madan duduk di samping Rana Wulung bersama istrinya sedang Ki Lurah Jambar Wulung di sebelah Ning Leswani juga bersama istrinya. Karena masing-masing mempelai yang kawin adalah anak-anak lurah dari dua desa yang berdekatan maka dengan sendirinya suasana perkawinan meriah dan besar-besaran. Malam itu adalah malam pesta perkawinan yang pertama dan besok lusa akan dilanjutkan dengan pesta perkawinan yang kedua dan ketiga. Pada menjelang dinihari di mana udara dinginnya mencucuk tulang-tulang sampai ke sungsum, tamu-tamu sudah banyak yang pulang. Beberapa orang yang masih di sana sudah mengantuk bahkan banyak yang tertidur seenaknya di kursi. Para pemain gamelan di bawah pimpinan Ageng Comal tak ketinggalan ketularan kantuk sehingga Ageng Comal menghentikan permainan sampai di situ. Ki Lurah Rantas Madan dan Ki Lurah Jambar Wulung bersama istri masing-masing berdiri dari kursi mereka dan disertai beberapa orang lainnya kemudian melangkah mengiringi kedua penganten masuk ke dalam rumah besar yang tentunya terus ke dalam kamar! Namun, belum lagi rombongan ini mencapai tangga langkan rumah, dari atas atap mendadak berkelebat satu sosok tubuh manusia, melompat ke atas panggung! Kedua kakinya menjejak

taron (salah satu alat bunyi-bunyian dalam permainan gamelan) sedang kedua tangan berkacak pinggang. Jarak atap rumah dan lantai panggung demikian tingginya tapi manusia tadi melompat ke atas taron tanpa menimbulkan suara sedikitpun. Bahkan taron itu sama sekali tidak bergerak ataupun bergeser! Orang ini masih muda belia, berbadan agak kurus dan tinggi. Rambutnya gondrong sampai ke bahu. Pada parasnya yang gagah itu terbayang sifat buas, apalagi jika diperhatikan sepasang bola matanya hal itu akan lebih kentara lagi. Pemuda ini mengenakan jubah hitam yang sangat panjang sehingga menjela-jela di atas taron dan lantai panggung. Jubah hitam ini disulam dengan bunga besarbesar berwarna kuning. Pada belakang kain penutup kepalanya tertancap sebuah bunga kertas yang juga berwarna kuning. Melihat alat bunyi-bunyian diinjak seenaknya demikian rupa oleh seorang pemuda tak dikenal, tentu saja Ageng Comal menjadi marah sekali. Pemimpin kesenian gamelan ini maju melangkah sambil membentak. Pemuda kurang ajar! Turun dari taron itu sebelum kupatahkan batang lehermu! Seringai menggurat di wajah si pemuda. Dari mulutnya meledak suara tertawa yang menggetarkan dan menggidikkan serta membuat liang telinga seperti ditusuk-tusuk! Suara tertawa itu, yang didahului oleh suara bentakan Ageng Comal tadi dengan serta merta membuat semua orang berpaling. Tamu-tamu yang tidur di kursi, terhenyak terbangun oleh kedahsyatan tertawa si jubah hitam dan semua mata ditujukan kepadanya. Beberapa orang yang mengenali ciri-ciri pemuda di atas taron itu berseru kaget. Pendekar Pemetik Bunga! Maka suasana itupun mendadak sontak menjadi gempar penuh ketegangan. Yang memiliki senjata segera menggerakkan tangan bersiap sedia menjaga segala kemungkinan. Ki Rantas Madan berbisik pada menantunya, Rana, bawa istrimu ke dalam, cepat! Sedang Ki Lurah Jambar Wulung berbisik pula pada istrinya, Wiri, cepat masuk ke dalam. Bawa besanmu serta... Rana Wulung yang memang pernah mendengar dan mengetahui siapa adanya manusia bergelar Pendekar Pemetik Bunga itu segera memegang lengan istrinya lalu membimbing Ning Leswani. Istri Ki Lurah Jambar Wulung serta besannya mengikuti di belakang mereka.

Namun baru saja mereka bergerak satu langkah, pemuda jubah hitam di atas taron membentak garang. Siapa berani meninggalkan tempat ini berarti mampus! Semua yang melangkah jadi berhenti. Ki Lurah Jambar Wulung hendak melangkah ke arah panggung. Besannya, Rantas Madan, memegang lengannya dan berbisik, Jangan tempuh jalan kekerasan, Ki Lurah Jambar. Manusia ini tinggi ilmunya dan berbahaya. Biar aku yang bicara... Habis berkata demikian Ki Lurah Rantas Madan maju ke depan panggung. Dia menegur dengan nada seramah mungkin. Pendekar Pemetik Bunga, kedatanganmu sungguh tak kami duga. Kalau kau ke sini hendak memberikan restu ucapan selamat kepada puteri dan menantuku, sebelumnya aku haturkan terima kasih. Ah... Pendekar Pemetik Bunga rangkapkan tangan di muka dada kemudian tertawa bergelak-gelak. Matanya yang menyipit hampir terpejam karena tertawa itu. Dan dalam tertawa itu sesungguhnya kedua matanya memandang tajam kepada Ning Leswani yang cantik jelita. Disekanya ujung bibirnya dengan telapak tangan. Orang tua, kau sedikit lebih ramah dari besanmu. kata Pendekar Pemetik Bunga pula. Tapi ketahuilah, aku datang ke sini bukan buat kasih ucapan selamat tapi sebaliknya. Pendekar Pemetik Bunga untuk kesekian kalinya tertawa lagi gelak-gelak. Aku datang untuk menjemput puterimu, Ki Lurah. katanya. Dia sudah ditakdirkan menjadi milikku! Berubahlah air muka orang banyak terutama Rantas Madan, Jambar Wulung, Rana Wulung dan Ning Leswani. Suasana sehening di pekuburan. Tegang mencekam. Ki Lurah Jambar Wulung tak dapat lagi menahan hati dan luapan amarahnya. Setan alas! Lekas angkat kaki dari sini kalau tidak ingin kupecahkan batok kepala sintingmu itu! Pendekar Pemetik Bunga mendengus. Mulutmu keliwat besar, Ki Lurah. Kau andalkan ilmu apakah?! bentak Pendekar Pemetik Bunga. Sebagai jawaban, Jambar Wulung melompat ke atas panggung. Laki-laki ini tidak memiliki ilmu kesaktian dan tak pernah menuntut ilmu kebatinan. Namun dalam ilmu silat luar dia sudah menjajakinya sampai tingkat teratas. Karenanya tidak mengherankan gerakannya melompat ke atas panggung tadi gesit dan enteng. Namun Pendekar Pemetik Bunga menyaksikan gerakan itu dengan sikap sinis dan air

muka mengejek. Matanya yang tajam dan pengalamannya yang dalam sekilas saja sudah melihat dan mengetahui bahwa Ki Lurah Jambar Wulung hanya memiliki ilmu silat luar, tak mempunyai isi apa-apa! Di lain pihak, begitu kedua kakinya menginjak lantai panggung, begitu Jambar Wulung berkelebat mengirimkan serangan. Meski ilmu silatnya ilmu silat yang tak memiliki tenaga dalam, namun serangan yang dilancarkannya menimbulkan angin deras. Huh, segala silat picisan hendak diandalkan! ejek Pendekar Pemetik Bunga. Makan sikutku ini, Ki Lurah! Manusia ini kelihatan menggeserkan kaki kirinya sedikit dan tahu-tahu terdengar suara, ngek! Suara itu keluar dari mulut Jambar Wulung. Tubuh Ki Lurah ini terpelanting menabrak gong besar di sudut panggung sebelah kanan, terus jatuh ke bawah panggung bersama alat bunyi-bunyian itu dengan menimbulkan suara hirukpikuk. Begitu terhampar di tanah Jambar Wulung tak bangun lagi alias pingsan. Dua tulang iganya telah hancur remuk dimakan sikut Pendekar Pemetik Bunga! Melihat ayahnya dibuat demikian rupa, naiklah darah Rana Wulung. Tapi sebelum dia bergerak, mertuanya, Ki Lurah Rantas Madan, cepat memegang bahunya. Orang tua ini segera mendahului hendak melompat ke panggung tapi di atas panggung dilihatnya Ageng Comal sudah berhadap-hadapan dengan Pendekar Pemetik Bunga! Pemuda keparat! Biang racun pengacau! Jaga kepalamu! Ageng Comal dengan mempergunakan pukulan gong menyerbu ke muka. Pemuda yang diserang rundukkan kepala. Begitu pukulan gong berdesing di atasnya, cepat sekali tangan kirinya meluncur ke muka. Ageng Comal yang juga pernah mendalami ilmu silat melihat serangannya lewat serta menyaksikan serangan balasan lawan dengan sigap memiringkan tubuh ke kiri. Serentak dengan itu lutut kanannya dilipat menyongsong pukulan lawan! Secara ilmu luar, memang walau bagaimanapun kepalan tak akan menang melawan lutut. Dan adalah sangat berbahaya bagi seorang yang menyerang dengan tinju bila dia meneruskan niatnya menyerang lutut yang keras dengan tinjunya! Namun Pendekar Pemetik Bunga sama sekali tidak menarik pulang serangannya! Ageng Comal! Lekas tarik tanganmu! teriak seorang di bawah

panggung berteriak memberi peringatan. Tapi, braak! Kasip sudah! Pemimpin kesenian gamelan itu menjerit. Tubuhnya terguling pingsan di lantai panggung. Tulang tempurung lututnya hancur, kakinya sendiri teruntai-untai hampir putus! Semua mata melotot. Semua muka pucat dan semua mulut melongo! Bagaimanakah tidak! Pemuda jubah hitam di atas panggung itu merobohkan lawannya tanpa bergeser satu langkah pun! Di lain kejap seorang lain telah melompat pula ke atas panggung. Orang itu adalah Rantas Madan yang sudah sejak tadi tak dapat lagi menahan hati panasnya. Pendekar Pemetik Bunga lontarkan pandangan mengejek pada orang tua itu. Kau juga mau cari penyakit, hah?! hardiknya. Selagi masih ada waktu berlututlah minta ampun! Hukumanmu pasti kuperingan! kata Rantas Madan. Pendekar Pemetik Bunga tertawa mengekeh. Jangan ngaco, orang tua! Kalau mau konyol, marilah! Tentu saja ditantang demikian rupa membuat Ki Lurah Rantas Madan semakin berkobar kemarahannya. Tanpa menunggu lebih lama laki-laki ini yang pernah menuntut ilmu kesaktian di Gunung Simping menerkam ke muka. Dalam jarak satu meter saja serangannya sudah menimbulkan angin bersiuran yang tajam dan menerpa ke arah Pendekar Pemetik Bunga. Yang diserang maklum bahwa lawannya yang seorang ini berbeda dengan dua orang yang terdahulu. Tanpa menghentikan tertawanya tadi, Pendekar Pemetik Bunga lantas mengangkat dan melambaikan tangan kirinya ke muka. Setiup angin keras yang menggetarkan panggung bersuit memapas tubuh Ki Lurah Rantas Madan. Serangannya dengan serta-merta buyar dan tubuhnya sendiri kemudian terangkat ke udara setinggi lima tombak, hampir menyundul atap panggung! Dengan cekatan Ki Lurah Rantas Madan jungkir balik di udara kemudian dengan gerakan kilat menukik dan menghantamkan tangan kanannya ke arah lawan! Inilah jurus Walet Menukik Lembah! Pemuda bertampang gagah tapi buas garang itu terkejut sekali sewaktu merasakan angin panas menyerang kepalanya! Cepat-cepat dia rundukkan tubuh sebatas pinggang dan balas mengirimkan

pukulan jarak jauh dengan tangan kanan. Ki Lurah Rantas Madan terdengar menjerit. Tubuhnya mental ke atas, melabrak dan membobolkan atap panggung, lenyap dari pemandangan untuk kemudian terdengar gedebuk tubuhnya sembilan tombak di tanah di belakang panggung! Waktu jatuh kepalanya lebih dahulu, tulang lehernya patah! Nyawanya lepas. Ning Leswani dan beberapa perempuan yang ada di sana menjerit! Bersama ibunya, temanten perempuan itu hendak lari memburu ayahnya namun Rana Wulung dan seorang lainnya, menahan mereka. Rana Wulung seorang pemuda terpelajar yang tak kenal satu jurus ilmu silat pun! Namun menyaksikan kematian ayah serta mertuanya itu gelaplah pemandangannya! Keris perhiasan penganten yang tersisip di pinggang segera dicabut. Ketika melompat ke atas panggung kaki kanannya hampir terserandung! Ho-ho! Temanten juga mau ikut-ikutan minta digebuk?! teriak Pendekar Pemetik Bunga. Kubunuh kau keparat! bentak Rana Wulung menggeledek. Keris di tangan kanannya ditusukkan sekeras-keras dan secepat-cepatnya ke dada Pendekar Pemetik Bunga. Budak tolol! maki Pendekar Pemetik Bunga. Sekali pemuda jubah hitam itu gerakkan tangannya maka keris yang dipegang Rana Wulung sudah kena dirampas, dijepit di antara jari tengah dan jari telunjuk tangan kanannya! Suara tertawa Pendekar Pemetik Bunga kemudian terdengar mengumandang di seantero panggung. Kemarahan dan sakit hati Rana Wulung tiada terperikan. Dengan kedua tinju terpentang dia menyerbu ke muka. Edan betul! bentak Pendekar Pemetik Bunga. Masih tak melihat tingginya gunung dalamnya lautan! Dan manusia ini segera menyongsong serangan Rana Wulung dengan tendangan maut yang mengarah lambung! Kalau saja Rana Wulung seorang yang mengetahui sedikit ilmu silat, dalam posisinya seperti saat itu sebenarnya dia masih sanggup dan punya kesempatan untuk mengelak atau berkelit atau sekaligus melompat cepat ke samping. Tapi sayang, pemuda ini tidak tahu apaapa tentang persilatan dan kaki maut Pendekar Pemetik Bunga sementara itu semakin dekat menyambarnya ke perut si pemuda. Setengah kejapan lagi pasti robeklah perut Rana Wulung. Ning

Leswani menjerit. Ibu Rana Wulung juga menjerit untuk kemudian jatuh pingsan sebelum sanggup menyaksikan apa yang bakal dialami anaknya! Beberapa orang mengeluarkan seruan tertahan. Agaknya tak satupun yang bisa berbuat apa-apa! Agaknya sudah nasib Rana Wulung bakal menemui kematiannya pada hari pernikahannya itu! Tapi...

***

WIRO SABLENG PENDEKAR TERKUTUK PEMETIK BUNGA

I SAAT ajal sudah di depan mata, di saat maut hendak merenggut maka tiada terduga, di saat itu pula dari bawah panggung sebelah barat melesat sebuah benda yang mengeluarkan cahaya berkilau. Benda ini melesat ke arah kaki kanan Pendekar Pemetik Bunga yang mencari maut di perut Rana Wulung! Tentu saja Pendekar Pemetik Bunga menjadi terkejut dan terpaksa menarik pulang serangannya. Benda yang berkilau itu lewat dan menghantam taron sehingga alat bunyi-bunyian ini terbalik dan hancur berantakan! Benda apakah yang sehebat itu dan siapa gerangan yang melemparkannya? Siapa yang telah menolong Rana Wulung dari kematian?! Pembokong licik! Cepat unjukkan diri! teriak Pendekar Pemetik Bunga marah sekali. Sepasang matanya yang buas menyapu ke arah barat panggung. Di bagian barat panggung berdiri beberapa orang. Mata Pendekar Pemetik Bunga yang tajam tidak berhasil kali ini menduga siapa gerangan manusia yang telah melemparkan senjata rahasia tadi. Dengan marah Pendekar Pemetik Bunga mengangkat tangan kanannya ke udara dan berteriak, Kalau tidak ada yang mengunjuk diri, semua yang ada di panggung barat pasti kubikin mampus! Seorang laki-laki tua yang berdiri di belakang sebuah kursi di bagian barat panggung berbatuk-batuk beberapa kali. Laki-laki ini berpakaian bagus dan bertopi tinggi yang dihiasi manik-manik. Jelas ini menunjukkan bahwa dia adalah seorang bangsawan atau hartawan. Dia mengangkat kursi yang di depannya ke samping dan melangkah ke muka panggung, berhenti sejarak dua tombak dari panggung. Cepat beri tahu siapa kau! bentak Pendekar Pemetik Bunga. Tangan kanannya masih belum diturunkan dan kini telapaknya yang terbuka diarahkan pada orang tua berpakaian bagus.

Aku hanya seorang tamu yang mengunjungi pesta perkawinan ini, orang muda... Hem... cuma seorang tamu saja berani campur tangan! Ilmu melemparkan senjata rahasia pengecut tadikah yang kau andalkan?! Orang tua itu berbatuk-batuk lagi. Meski cuma tamu buruk begini, katanya, aku juga adalah sahabat baik dari tuan rumah dan besannya. Sungguh tidak enak sekali melihat nasib sahabat-sahabat yang naas tanpa bersedia turun tangan! Ooo, begitu? Bagus! ujar Pendekar Pemetik Bunga pula. Sanggupkah kau menerima pukulan tangan kananku?! Orang tua berpakaian bagus itu tertawa dingin. Orang muda, nyalimu memang besar sekali. Sayang kejahatanmu dan kebuasanmu jauh lebih besar lagi sehingga aku yang tua ini terpaksa tak bisa berpangku tangan... Orang gendeng yang tak tahu Gunung Semeru di depan hidung! Terima Pukulan Tapak Jagat ini! Si orang tua cepat menyingkir ke samping waktu Pendekar Pemetik Bunga menghantamkan telapak tangan kanannya ke depan. Semua orang terkejutnya bukan olah-olah sewaktu melihat bagaimana tanah bekas tempat si orang tua berpakaian bagus tadi menjadi berlubang besar dilanda ilmu Pukulan Tapak Jagat si pemuda jubah hitam. Pasir berterbangan, kursi-kursi jungkir balik berpatahan sedang bumi bergetar! Kalau saja si orang tua tidak cepat menyingkir tak dapat dibayangkan apa yang bakal terjadi dengan dirinya! Namun di saat itu semua orang dan Pendekar Pemetik Bunga sendiri sama memaklumi bahwa si orang tua bukanlah orang tua sembarangan! Tidak sembarang orang yang sanggup mengelak dari Pukulan Tapak Jagat itu! Orang tua, apakah kau masih tetap berlaku pengecut tak mau kasih tahu nama?! Ah, namaku atau siapa aku kau tak perlu tahu. Aku tanya, apakah kau sudi angkat kaki dari sini atau tidak?! Sombong betul! tukas Pendekar Pemetik Bunga. Jangan kira aku jerih terhadapmu. Silahkan naik ke atas panggung! Si orang tua menghela nafas panjang dan menggosok-gosok kedua tangannya. Rupanya memang aku harus turun tangan tidak tanggung-tanggung. katanya pelahan tapi cukup terdengar oleh semua orang.

Betul! Memang dalam dunia persilatan tidak boleh tanggungtanggung! menimpali Pendekar Pemetik Bunga. Kalau kau berani cari perkara, kau tak boleh tanggung-tanggung untuk pasrahkan jiwa! Dan sekejap kemudian kedua orang itupun sudah berhadaphadapan di atas panggung, disaksikan puluhan pasang mata, disaksikan oleh Rana Wulung yang saat itu menyingkir ke sudut panggung. Rana tiada kenal siapa si orang tua. Namun dia maklum kalau orang tua ini berilmu tinggi dan Rana Wulung berharap mogamoga si orang tua benar-benar bisa menjadi tuan penolongnya. Apakah kau masih punya simpanan senjata rahasia tadi, orang tua? tanya Pendekar Pemetik Bunga. Si orang tua tertawa dan balas mengejek. Kalau kau punya senjata keluarkanlah, biar kuhadapi dengan tangan kosong! Sombong betul! bentak Pendekar Pemetik Bunga. Tanpa beranjak dari tempatnya dia lepaskan dua pukulan tangan kosong yang dahsyat. Panggung itu tergetar keras. Si orang tua bersuit nyaring dan melompat tiga tombak. Dari atas cepat berkelebat mencari posisi baru dan balas mengirimkan dua jotosan yang tak kalah hebatnya. Dalam sekejapan saja kedua orang itu sudah terlibat dalam pertempuran seru. Lima jurus berlalu cepat! Pendekar Pemetik Bunga penasaran sekali melihat ketangguhan lawan. Didahului dengan bentakan nyaring dia mempercepat permainan silatnya. Tubuhnya hanya merupakan bayang-bayang kini dan dua jurus di muka dia sudah berhasil mendesak lawannya. Terima jurus kematianmu, orang tua! seru Pendekar Pemetik Bunga. Dan kejapan itu pula pukulannya yang menyilang aneh membabat ke pinggang si orang tua. Yang diserang cepat menyingkir sewaktu melihat serangan ganas itu dan menusukkan dua jarinya ke muka, ke arah mata Pendekar Pemetik Bunga! Inilah jurus Mencungkil Mata yang ganas. Pendekar Pemetik Bunga tentu saja tak mau kedua biji matanya dimakan dua jari lawan. Di lain pihak dia juga tak mau tarik pulang pukulannya yang ganas. Karenanya dengan cepat pemuda itu miringkan tubuh ke kiri. Sekaligus gerakannya itu mempercepat perbawa serangan lengannya ke arah pinggang lawan. Si orang tua sadar kalau tusukan jari tangannya tak bakal mencelakai lawan sebaliknya dirinya terancam bahaya besar, lekaslekas menjejak panggung dan melompat ke atas. Begitu lolos dari

gebukan lengan maut, si orang tua laksana alap-alap menukik ke bawah dan lepaskan satu tendangan dua pukulan. Jurus Menembus Kabut Mengintip Rembulan yang dilancarkan si orang tua dikenal baik oleh Pendekar Pemetik Bunga. Sambil tertawa mengejek dan menyebut jurus itu, si pemuda berkelit lincah lantas kirimkan pukulan tangan kiri kanan yang mengarah empat jalan darah berbahaya dari si orang tua! Meski masih dalam terkejut karena lawan mengetahui jurus yang dimainkannya namun si orang tua tiada ayal untuk lekas-lekas menghindar dari serangan lawan! Orang tua, melihat jurus Menembus Kabut Mengintip Rembulanmu tadi, ada hubungan apakah kau dengan Rah Kuntarbelong? Lekas jawab! Apa kau muridnya, hah?! Si orang tua menindih rasa terkejutnya. Tak sangka kalau lawan bisa menduga nama gurunya! Dan Pendekar Pemetik Bunga sesaat kemudian tertawa bergelak. Tidak menyahut berarti betul! katanya. Bagus sekali kalau begitu. Aku memang punya urusan yang belum diselesaikan dengan Rah Kuntarbelong! Sebagai permulaan kurasa ada gunanya lebih dahulu bikin penyelesaian dengan muridnya! Jangan banyak mulut, pendekar terkutuk! bentak si orang tua. Tahu pukulan apa yang bakal kulepaskan ini?! Pendekar Pemetik Bunga kerenyitkan kening dan memandang tajam ke muka. Si orang tua dilihatnya berdiri dengan kaki merenggang. Lengan kiri lurus ke bawah, tinju mengepal sedang tangan kanan diangkat tinggi-tinggi di atas kepala. Lengan kanan itu kelihatan berwarna biru. Ah cuma Pukulan Kelabang Biru... ejek Pendekar Pemetik Bunga tapi diam-diam dia kerahkan tiga perempat bagian tenaga dalamnya ke tangan kanan karena dia sudah pernah tahu kehebatan Pukulan Kelabang Biru yang mengandung racun jahat itu yakni sewaktu berhadapan di selatan tempo hari melawan Rah Kuntarbelong. Lekaslah keluarkan supaya kau sendiri melihat bahwa ilmu pukulanmu itu tak lebih dari kentut belaka! Geraham si orang tua bergemeletakan diejek demikian rupa. Seluruh tenaga dalamnya sudah terpusat di lengan, dan lengan sampai ke ujung-ujung jari sudah berwarna sangat biru. Tiba-tiba terdengarlah teriakan yang seperti mau merobek gendang-gendang telinga. Si orang tua kelihatan menghantamkan

lengan kanannya ke depan. Selarik sinar biru dengan ganas menggebu ke arah Pendekar Pemetik Bunga. Di saat itu pula Pendekar Pemetik Bunga sudah menggerakkan tangan kanan melepaskan Pukulan Tapak Jagat yang diandalkan dengan tiga perempat tenaga dalamnya! Begitu dua angin pukulan bertemu terdengarlah suara berdentum laksana gunung meletus! Tiang-tiang panggung patah, lantai dan keseluruhan panggung ambruk! Alat bunyi-bunyian yang ada di atas panggung berhamburan, Rana Wulung mental ke luar panggung dan roboh tak sadarkan diri sewaktu panggungnya menghantam batang sebuah pohon! Kedua orang yang bertempur, sewaktu panggung roboh cepat mencelat meninggalkan panggung. Dan ketika mereka berdiri kembali berhadap-hadapan kelihatanlah bagaimana pucatnya paras si orang tua. Satu pertanda bahwa saat itu dia menderita luka di dalam yang parah sekali. Sebaliknya Pendekar Pemetik Bunga berdiri sambil melontarkan senyum mengejek pada lawannya. Jika kau masih gila untuk menempuh jalan kekerasan, jangan harap nyawamu akan tertolong! Si orang tua tahu, jika dia mengerahkan tenaga dalamnya untuk meneruskan pertempuran, pastilah akan mencelakai dirinya sendiri yang saat itu sudah terluka parah di bagian dalam. Tapi untuk menyerah atau meninggalkan tempat itu adalah bertentangan sekali dengan hati dan jiwa satrianya! Dicobanya mempertenang diri dan mengatur jalan nafas serta aliran darah. Tapi dia tak berhasil. Nafas dan aliran darahnya sudah tak karuan lagi! Budak, keluarkan kau punya senjata! bentak si orang tua. Ah, kalau kau mau keluarkan senjata silahkan, tak usah memancing segala! sahut si pemuda dengan tertawa bergelak. Mendengar ini si orang tua tak sungkan-sungkan lagi untuk menanggalkan sabuk hitam yang ditaburi mutiara dari pinggangnya. Lusinan tokoh-tokoh jahat sudah mampus dimakan sabuk mutiara ini, budak terkutuk! Kini kau adalah korban selanjutnya! Tak usah bicara panjang lebar! Lekas majulah! bentak si pemuda dan dalam hati dia berpikir-pikir sampai di mana, kehebatan sabuk mutiara itu. Si orang tua menggeru. Dia maju dua langkah. Sabuk itu dipegangnya di tangan kiri. Nyatalah dia seorang kidal. Dia menggeru lagi untuk kedua kalinya. Dan pada kali yang ketiga sambil melompat

ke muka si orang tua sapukan sabuk mutiaranya. Kedahsyatan sabuk mutiara itu sangat mengejutkan Pendekar Pemetik Bunga! Tubuhnya laksana dilanda bertubi-tubi oleh ombak sebesar gunung. Dengan kerahkan tenaga dalam dan andalkan ilmu mengentengi tubuhnya yang tinggi dia berhasil mengelak sebat. Namun tak urung akhirnya dia kena didesak. Setan alas! maki pemuda itu. Untung saja lawannya sudah terluka di dalam yang teramat parah sehingga gerakan-gerakannya agak lamban. Melihat bahwa lawannya agak jerih dan terdesak, si orang tua mempercepat gerakannya. Tiba-tiba Pendekar Pemetik Bunga membungkuk dan kemudian berdiri lagi dengan memegang tepi jubah hitamnya. Sekali dia mengebutkan tepi jubah hitam itu, hawa yang sangat pengap menyambar dahsyat memapaki angin pukulan yang keluar dari sabuk mutiara si orang tua! Si orang tua merasa kepengapan menyambar hidungnya. Nafasnya yang memang sudah tidak normal kini menjadi tambah tak teratur. Ternyata sabuk mutiara yang sangat diandalkannya tiada sanggup menghadapi kehebatan jubah hitam lawan! Semakin lama tubuhnya semakin lemah, dadanya sesak dan pemandangannya mengabur! Pemuda keparat, lihat ini! seru si orang tua. Tangan kanannya lenyap ke dalam saku baju dan ketika ke luar lagi maka selusin senjata rahasia yang menyilaukan menyambar ke arah si pemuda. Pendekar Pemetik Bunga tarik jubahnya ke atas tinggi-tinggi lalu mengebutkannya ke bawah dengan cepat. Angin pengap yang dahsyat menyambar. Lima senjata rahasia lawan berpelantingan. Tujuh lainnya disapu dan membalik menyerang pemiliknya sendiri! Malangnya si orang tua tak menyangka dan tak sempat mengelak. Tubuhnya tak ampun lagi ditembusi ketujuh senjata rahasia miliknya sendiri! Orang tua itu mengeluarkan pekikan yang menyayat hati! Tubuhnya tergelimpang di tanah. Dia mati dengan mata membeliak! Mati dengan sabuk mutiara masih di tangannya. Pendekar Pemetik Bunga tertawa mengekeh. Betapa menjijikkan dan mengerikan. Dia melangkah ke hadapan mayat si orang tua dan membungkuk. Sabuk mutiara direnggutkannya dari tangan kiri mayat lalu dipakainya di pinggang. Dibalikkannya badannya. Matanya memandang sekilas pada Ning Leswani yang berdiri dengan tubuh gemetar dan muka pucat pasi. Kemudian dia memandang berkeliling. Dan serunya, Siapa lagi yang

inginkan mampus silahkan maju dengan cepat. Tak satu orang pun yang bergerak dari tempatnya. Sambil tertawa panjang Pendekar Pemetik Bunga melangkah mendekat Ning Leswani. Si gadis cepat menyurut mundur. Gadis manis, kau tak perlu takut padaku! Kau harus tahu, kunyuk yang bernama Rana Wulung itu tidak pantas jadi suamimu. Lebih pantas jika kau ikut aku... Manusia biadab! Pergi...! teriak Ning Leswani. Pendekar Pemetik Bunga menyeringai. Dia maju melangkah. Ibu Ning Leswani yang coba menghalanginya sambil berteriak-teriak dengan sekali tepis saja tersungkur ke tanah. Pergi! teriak Ning Leswani lagi. Ya, kita pergi sama-sama, manisku! sahut Pendekar Pemetik Bunga dengan mata yang memancarkan nafsu menggelora. Diulurkannya tangannya untuk meraih pinggang gadis itu. Justru pada saat itulah terdengar bentakan yang sangat nyaring. Pendekar terkutuk! Tarik tanganmu...!

***

WIRO SABLENG PENDEKAR TERKUTUK PEMETIK BUNGA

ENDEKAR Terkutuk Pemetik Bunga hentikan gerakan tangannya yang hendak menjamah tubuh Ning Leswani. Kepalanya diputar. Sepasang matanya membentur sosok tubuh seorang laki-laki tua berbadan bungkuk, berambut dan berjanggut putih. Orang tua yang berselempang kain putih ini berdiri dengan sebatang tongkat bambu kuning di tangan kanan. Siapa kau? bentak Pendekar Pemetik Bunga. Yang ditanya menyeringai dan ketuk-ketukkan tongkat bambu kuningnya ke tanah. Ketukan ini membuat semua orang merasa bagaimana tanah yang mereka pijak menjadi bergetar. Bambu kuning di tangan si orang tua pastilah satu senjata yang sangat hebat. Dan orang-orang yang masih ada di situ, yang membenci terhadap Pendekar Pemetik Bunga merasa punya harapan kembali atas kemunculan si orang tua berselempangan kain putih ini. Lekas jawab! bentak Pendekar Pemetik Bunga. Kalau tidak, kau akan mati percuma! Si janggut putih ketuk-ketukkan lagi tongkat bambu kuningnya ke arah tanah. Matanya yang kecil memandang tajam pada si pemuda jubah hitam. Ratusan hari turun gunung, puluhan minggu mengarungi lembah dan bukit, berbulan-bulan menyeberangi sungai memasuki hutan belantara akhirnya kau kutemui juga. Heh... he... he... he... he...! Kau masih belum mau beri tahu siapa namamu, orang tua? Jangan menyesal! Namaku tidak penting, manusia bejat. Yang penting ialah apa kau masih ingat kebiadaban yang kau lakukan di Desa Srintil beberapa bulan yang silam...? Pendekar Terkutuk Pemetik Bunga kerutkan kening. Sepasang alis matanya menaik. Sembilan laki-laki tak berdosa kau bunuh. Dua di antaranya adalah muridku. Empat orang perempuan di desa itu kau bawa

kabur, kau perkosa lalu kau bunuh! Kau lupa itu semua...?! Hem... Pendekar Pemetik Bunga manggut-manggut beberapa kali. Tidak, aku tidak lupa, katanya dengan terus terang. Bagus sekali kalau kau tidak lupa! ujar si orang tua. Dan bambu di tangan kanannya diketuk-ketukkannya lagi. Tanah kembali bergetar. Orang-orang desa telah datang kepadaku mengadukan kebiadabanmu itu... Berapa uang suap yang diberikan orang-orang desa padamu untuk mencariku orang tua?! ejek Pendekar Pemetik Bunga. Wajah si orang tua kelihatan menjadi merah. Dia tertawa dingin. Sekalipun mereka tidak datang ke puncak Gunung Bromo, memang sudah sejak lama aku berniat turun tangan membekuk batang lehermu...! Pendekar Pemetik Bunga tertawa gelak-gelak, Oh jadi kau adalah Datuk Bambu Kuning dari Gunung Bromo?! Si orang tua kini balas tertawa panjang-panjang sambil tangan kirinya mengusap-usap janggut putihnya yang panjang menjela sampai ke dada. Kalau sudah tahu siapa aku, mengapa tidak lekaslekas bertobat dan bunuh diri? Atau masih perlu aku memecahkan kepalamu dengan bambu kuning ini?! Kentut! maki Pendekar Pemetik Bunga dengan muka membesi penuh marah. Kalau aku kentut, kau tahinya! kata Datuk Bambu Kuning pula dan tertawa lagi panjang-panjang seperti tadi. Naiklah darah Pendekar Pemetik Bunga. Manusia tolol yang tidak tahu Gunung Semeru berdiri di muka hidung, terima kematianmu dalam tiga jurus! teriak Pendekar Pemetik Bunga sambil menyerbu dengan sabuk mutiara milik korbannya tadi. Datuk Bambu Kuning terkejut melihat sabuk itu. Eh, itu adalah senjata Kidal Boga, murid Rah Kuntarbelong. Dari mana kau dapat, manusia bejat?! Tanya pada setan di neraka nanti! sahut Pendekar Pemetik Bunga seraya sabetkan sabuk mutiara ke arah lawan. Angin laksana gunung gelombang menerpa Datuk Bambu Kuning. Datuk Bambu Kuning cepat menghindar. Rupanya kau bukan saja manusia bejat tukang bunuh dan tukang perkosa tapi juga pencuri kesiangan, huh! Datuk Bambu Kuning kiblatkan tongkat bambu kuningnya. Serangkum angin yang bukan main dahsyatnya menyambar dan menahan serangan angin sabuk. Debu dan pasir

beterbangan akibat angin kedua senjata sakti itu! Pendekar Terkutuk Pemetik Bunga tak kurang kejutnya ketika merasakan serangan sabuknya menjadi tak berarti sewaktu tongkat bambu kuning di tangan lawan menyambuti gempurannya itu! Dengan serta-merta pemuda ini percepat gerakannya. Dalam sekejap Datuk Bambu Kuning terbungkus oleh serangan sabuk mutiara. Namun sekali si orang tua memekik keras dan sekali dia putar tongkat bambunya dalam jurus yang aneh maka keluarlah dia dari kurungan serangan senjata lawan! Kini gempuran tongkat bambu itulah yang membungkus tubuh Pendekar Pemetik Bunga! Si pemuda tiada habisnya menggerutu dan memaki dalam hati sewaktu mendapatkan dirinya terdesak hebat oleh gempuran lawan. Apalagi sewaktu jurus kedua berakhir dan sewaktu Datuk Bambu Kuning tertawa mengejek dan berkata. Jurus ketiga ini adalah jurus kematianmu, manusia bejat! Bukan jurus kematianku! Dan permainan tongkat bambu kuningnya semakin dipercepat dan semakin dahsyat. Sinar kuning bergulung-gulung menyelimuti tubuh si pemuda! Setan alas keparat! maki Pendekar Pemetik Bunga. Dengan gerakan yang sulit sekali dia membungkuk. Sabuk mutiara diputar sebat melindungi tubuh sedang tangan kiri diulurkan untuk menjangkau tepi jubah hitamnya. Dengan dua senjata di tangan yaitu tepi jubah di tangan kiri dan sabuk mutiara di tangan kanan, Pendekar Pemetik Bunga berdiri kembali menghadapi lawannya. Sabuk mutiara mengeluarkan gelombang angin yang laksana gunung besarnya sedang tepi jubah hitam menghamburkan angin pengap yang sanggup menyesakkan jalan pernafasan yang menyendat tenggorokan serta liang hidung! Dalam jurus ketiga itu kelihatanlah bagaimana gempuran Datuk Bambu Kuning menjadi lamban. Orang tua itu berteriak keras dan kerahkan seluruh tenaga dalamnya. Namun sia-sia saja. Dirasa kannya dadanya menjadi sesak, lobang-lobang hidungnya laksana tersumbat. Sukar baginya untuk bernafas! Menanggapi hal ini si orang tua segera atur jalan darah dan tutup pernafasannya. Tubuh nya lenyap sewaktu dia mempercepat gerakannya! Namun kedahsyatan angin pengap yang menderu dari tepi jubah memang tidak kepalang tanggung. Sebentar saja serangan-serangan bambu kuning lawan sudah dibendungnya. Gerakan Datuk Bambu Kuning kembali menjadi lamban sewaktu orang tua itu tidak bisa

mempertahankan lagi menutup jalan nafasnya terus-terusan sedang sementara itu pertempuran sudah berjalan lima jurus! Pendekar Pemetik Bunga kembali keluarkan suara tertawa sewaktu dia tahu bahwa dirinya telah berada di atas angin. Ha...ha...! Kau disuruh turun gunung oleh penduduk desa hanya untuk mencari kematian saja, Datuk Bambu Kuning! Pendekar terkutuk jangan terlalu besar harapan! kertak Datuk Bambu Kuning. Diam-diam tiga perempat dari tenaga dalamnya dikerahkan ke dada. Tiba-tiba, bluuss...! Selarik asap kuning menyembur dari mulut si orang tua! Pendekar Pemetik Bunga terkejut bukan main dan cepat tutup jalan nafasnya. Keterkejutan dan saat menutup jalan nafas tadi membuat gerakannya mengendur. Sewaktu dia menghindar ke samping sambil babatkan sabuk mutiaranya memapasi semburan asap kuning, bambu di tangan kanan lawan datang menderu! Si pemuda kebutkan tepi jubahnya. Celaka! Asap kuning itu tak sanggup dibikin buyar oleh angin pengap tepi jubah hitamnya! Pendekar Pemetik Bunga menjerit setinggi langit. Tubuhnya lenyap dan sesaat kemudian dia berhasil keluar dari serangan lawan yang bukan kepalang dahsyatnya tadi. Sewaktu berdiri mengatur jalan darah dan nafasnya kembali, diam-diam pemuda ini keluarkan keringat dingin juga! Kau kira kau bisa lari dari sini, manusia bejat?! hardik Datuk Bambu Kuning. Mulutnya membuka dan asap kuning menyembur lagi ke muka lawan. Pendekar Pemetik Bunga kembali tutup jalan nafasnya dan melompat ke samping. Serangan kebutan tepi jubah dan sambaran sabuk mutiara dilakukannya berbarengan sekaligus ke arah lawan. Si orang tua melompat tiga tombak ke atas dan sewaktu turun kembali menyemburkan asap kuning dari mulutnya! Pendekar Pemetik Bunga menjadi kewalahan kini. Kewalahan dan merutuk! Di samping itu tak habis heran kesaktian apakah yang dikandung oleh asap kuning yang keluar dari mulut lawannya sehingga angin pengap jubah hitam dan angin sabuk mutiara tiada sanggup membuyarkannya! Tiba-tiba pemuda itu menggereng macam harimau. Tubuhnya melesat ke muka. Angin pengap menyerang ke tenggorokan Datuk Bambu Kuning sedang sabuk mutiara menerpa dari atas ke bawah! Si orang tua ganda tertawa menghadapi serangan ini Bambu kuningnya diputar-putar, tiba-tiba dikiblatkan demikian rupa, sreet!

Sabuk mutiara di tangan kanan Pendekar Pemetik Bunga kena disambar dan terlepas mental dari tangan pemuda itu! Si pemuda sendiri dengan jungkir balik susah payah baru berhasil keluar dari sambaran tongkat bambu serta semburan asap kuning yang dilepaskan lawan! Matanya membeliak, mulutnya komat-kamit. Mukanya mengelam sewaktu si orang tua melangkah perlahan mendekatinya dengan tertawa sedingin salju! Nyawa anjingmu hanya tinggal beberapa detik saja, pemuda terkutuk! kata Datuk Bambu Kuning. Sejak hari ini dunia persilatan akan bersih dari noda kekotoran manusia macam kau! Aku masih belum menyerah, keparat! bentak Pendekar Pemetik Bunga. Mulutnya masih komat-kamit. Matanya dengan waspada memperhatikan setiap gerak yang dibuat Datuk Bambu Kuning. Aku memang tak suruh kau menyerah. sahut Datuk Bambu Kuning dengan tertawa sedingin tadi. Aku cuma perlu nyawa anjingmu! Soal nyawa soal mudah. tukas Pendekar Terkutuk itu. Diamdiam dia salurkan seluruh tenaga dalamnya ke ujung jari telunjuknya. Sesaat kemudian ujung jari itu menjadi hitam legam dan mengelu arkan sinar menggidikkan. Orang tua edan, kau lihat jari ini?! Datuk Bambu Kuning memandang dengan kerenyit kulit kening pada jari telunjuk tangan kanan Pendekar Pemetik Bunga. Darahnya tersirap, mukanya berubah. Pendekar Pemetik Bunga tertawa mengekeh. Kenapa mukamu menjadi pucat, kunyuk tua?! Datuk Bambu Kuning tidak menyahut. Mukanya bertambah pucat dan matanya melotot memandang tajam-tajam pada jari telunjuk si pemuda. Ketika jari telunjuk itu dan ibu jari si pemuda membuat lingkaran, Datuk Bambu Kuning berseru kaget, Ilmu Jari Penghancur Sukma! Dengan serta-merta Datuk Bambu Kuning bagi dua aliran tenaga dalamnya. Sebagian ke ujung tongkat bambu dan sebagian lagi ke dada! Makan jariku ini, Datuk keparat! seru Pendekar Pemetik Bunga. Di kejap itu juga dia menjentikkan jari telunjuknya. Satu gelombang angin hitam menderu laksana topan prahara, menyerang ke arah Datuk Bambu Kuning. Di saat yang sama Datuk Bambu Kuning sapukan tongkat di tangan kanan dan semburkan asap kuning! Datuk Bambu Kuning berteriak kaget ketika melihat angin

pukulan bambu kuning dan sambaran asap kuningnya buyar berantakan dilanda angin hitam lawan. Dan angin hitam yang menggidikkan ini terus melesat ke arahnya. Datuk Bambu Kuning cepat menyingkir tapi kasip! Orang tua itu mencelat beberapa tombak jauhnya ketika angin hitam menyambar tubuhnya. Dan terdengarlah jeritnya melengking langit! Datuk Bambu Kuning terguling-guling di tanah. Sekujur tubuhnya hitam hangus! Nyawanya tidak ketolongan lagi, putus kejap itu juga! Pendekar Pemetik Bunga mengatur jalan nafas dan aliran darahnya kembali. Sewaktu dia menggerakkan kakinya baru disadarinya bahwa kedua kakinya itu telah tenggelam ke dalam tanah sedalam lima senti! Bila pemuda ini melangkah mendekati Ning Leswani, kembali terdengar makian gadis itu. Makian yang kemudian disusul dengan jeritan. Tak ada satu orang pun yang berani menghalangi dan berbuat suatu apa ketika Ning Leswani dipanggul oleh Pendekar Pemetik Bunga dan dilarikan! *** Sampai pagi, sampai ketika matahari muncul di ufuk timur desa masih diselimuti oleh kehebohan atas apa yang telah terjadi! Ki Lurah Rantas Madan dan Rana Wulung bersama kira-kira selusin penduduk, dengan membawa berbagai senjata dan menunggangi kuda coba mencari jejak Pendekar Pemetik Bunga. Namun ke mana manusia durjana itu hendak dicari?! Menjelang tengah hari, mereka sudah berbisik-bisik sesama mereka bahwa tak mungkin mereka akan menemui Ning Leswani. Kalaupun bertemu, tentu gadis itu sudah rusak kehormatannya! Dan seandainya pula mereka berhasil menyergap Pendekar Pemetik Bunga, belum tentu mereka sebanyak itu bisa membekuk batang lehernya! Rantas Madan tahu suasana yang dirasakan anggota-anggota rombongannya. Dia berunding dengan Rana Wulung dan akhirnya diambil keputusan untuk pulang saja. Terik matahari membakar kulit di siang itu. Rana Wulung dengan muka pucat menunggangi kudanya di samping Rantas Madan. Hati pemuda ini hancur sudah! Dendam kesumatnya terhadap Pendekar Pemetik Bunga tak akan pupus selama hidupnya! Ketika rombongan melalui lereng sebuah bukit dalam perjalanan

pulang itu, ada sesuatu yang menarik perhatian Rana Wulung. Dia berpaling pada Rantas Madan. Bapak, kau lihat burung-burung gagak yang beterbangan di puncak bukit itu. Ki Lurah Rantas Madan terkejut lalu memandang ke puncak bukit di atasnya. Beberapa burung gagak hitam dilihatnya terbang berputar-putar naik turun di atas puncak sana. Berdebar hati laki-laki ini. Lalu dihentikannya rombongan. Kita ke sana! mengambil keputusan Rantas Madan. Masing-masing kemudian memacu kuda mereka ke puncak bukit. Rana Wulung di depan sekali. Di puncak bukit pemuda ini menghentikan kudanya dan meneliti ke mana turunnya burungburung gagak tadi. Diikuti oleh anggota-anggota rombongan yang lain, Rana Wulung bergerak ke arah serumpunan semak belukar lebat. Waktu dia mencapai semak itu, empat ekor burung gagak terbang ke udara. Rana Wulung melompat dari kudanya dan lari ke balik semak belukar lebat. Tuhanku! seru pemuda itu. Lututnya goyah. Matanya membeliak. Tiba-tiba laksana orang kalap dia melompat ke muka sambil berseru nyaring, Nining! Nining! Ning Leswani terhampar di atas rerumputan. Tak selembar benang pun yang menutupi auratnya. Tubuh yang telanjang ini sudah tiada nafas lagi dan sebagian sudah berlubang-lubang dipatuk gagak-gagak hitam pemakan bangkai! Tubuh yang malang itulah yang dipeluk Rana Wulung. Namun cuma sebentar saja. Sewaktu Rantas Madan dan rombongan lainnya sampai ke situ, Rana Wulung sudah jatuh pingsan! Rantas Madan sendiri hampir-hampir tak kuat pula menyaksikan pemandangan itu! Hampir tak sanggup melihat anak kandung yang dikasihinya menemui kematian dalam cara yang mengenaskan begitu rupa. Mulutnya komat-kamit. Tenggorokannya turun naik. Anakku... desis laki-laki itu. Dia berlutut. Beberapa orang menarik Rana Wulung dari atas tubuh Ning Leswani. Rantas Madan cepat membuka bajunya dan menutupi aurat anaknya dengan baju itu. Air matanya berlinang. Dendam kesumat seperti mau memecahkan dadanya saat itu!

***

WIRO SABLENG PENDEKAR TERKUTUK PEMETIK BUNGA

UNCULNYA Pendekar Pemetik Bunga menyebar maut, darah dan noda benar-benar menggemparkan dunia persilatan. Kekejaman dan kebejatan terkutuk yang dilakukannya selama malang melintang beberapa bulan belakangan ini benarbenar merupakan satu tantangan bagi dunia persilatan, terutama mereka dari golongan putih. Hal ini tak dapat dibiarkan lama dan berlarut-larut. Beberapa tokoh silat utama dari golongan putih kabarnya telah turun tangan membuat perhitungan dengan Pendekar Pemetik Bunga. Tapi apa yang terjadi kemudian benar-benar membuat dunia persilatan tambah geger! Bagaimanakah tidak! Semua tokoh-tokoh silat yang berani bikin perhitungan itu disikat mentah-mentah oleh Pendekar Pemetik Bunga. Ilmu Jari Penghancur Sukma yang dimiliki pemuda terkutuk itu menjadi biang momok mengerikan bagi dunia persilatan, apalagi bagi orang-orang yang tidak mengerti silat sama sekali! Tiap kota dan desa, tiap kampung dan pelosok diselimuti rasa ketakutan dan cemas. Takut dan cemas kalau Pendekar Pemetik Bunga akan muncul mendadak di daerah mereka, menyebar maut dan menebar noda di kalangan penduduk yang tak berdosa! Kejahatan, kebejatan dan seribu satu macam perbuatan terkutuk yang dilakukan oleh Pendekar Pemetik Bunga itu telah sampai pula ke puncak Gunung Merbabu. Saat itu tengah hari tepat. Matahari berada di titik tertingginya. Keterikan sinar matahari tiada terasa di atas puncak gunung yang ditutupi halimun sejuk itu. Asap belerang dari kawah gunung bergulung-gulung ke atas, bercampur jadi satu dengan halimun dan menutupi pemandangan. Di satu bagian dari puncak Gunung Merbabu, di dalam sebuah ruangan batu, diterangi oleh sebuah pelita kecil kelihatan duduk seorang laki-laki tubuhnya kurus sekali, hampir tinggal kulit pembalut tulang. Tubuh yang kurus ini ditutupi dengan sehelai selempang kain

putih. Melihat kepada air mukanya yang penuh dengan keriputan itu nyatalah bahwa manusia ini umurnya sudah lanjut sekali. Tapi anehnya, rambut dan janggutnya yang panjang sampai ke pinggang itu masih berwarna hitam legam dan berkilat-kilat ditimpa sinar pelita. Orang tua ini adalah Begawan Citrakarsa. Saat itu dia tengah bersemedi mengheningkan cipta rasa dan menutup semua inderanya. Ketika matahari menggelincir ke titik tenggelamnya, ketika sinar kuning emas berpalun dengan sinar kemerahan menyaputi langit di ufuk barat barulah begawan itu menyelesaikan semedinya. Dibukanya kedua matanya, dibukanya segenap inderanya. Kemudian perlahan-lahan begawan ini berdiri dari duduknya dan melangkah ke pintu. Dari pintu batu tempat dia berdiri itu dapat dilihatnya keseluruhan puncak Gunung Merbabu. Sebagian dari puncak Gunung Merbabu itu telah diselimuti lagi oleh kabut belerang dan halimun. Di kaki gunung menghampar sawah ladang. Jauh di sebelah selatan mengalir sebatang anak sungai. Begawan Citrakarsa menghela nafas dalam. Betapa indahnya bumi buatan Tuhan. Tapi betapa sayangnya, bumi yang indah dan suci itu telah dikotori oleh segala macam kemaksiatan, segala macam kemesuman, kejahatan, kebejatan! Begawan Citrakarsa masuk kembali ke dalam ruangan batu. Dari dinding ruangan batu diambilnya sebilah keris lalu disisipkannya ke balik selempangan kain putih di pinggangnya. Dengan sedikit lambaian tangan Begawan Citrakarsa memadamkan pelita dalam ruangan batu itu. Dia melangkah ke pintu kembali. Di luar pintu terdapat sebuah batu besar. Dengan mempergunakan tangan kirinya begawan ini menggeser batu itu hingga menutupi pintu ruangan batu. Batu besar itu beratnya ratusan kati, tapi Sang Begawan hanya menggesernya dengan mempergunakan tangan kiri! Sampai di mana kehebatan tenaga dalam begawan bertubuh kurus yang hanya tinggal kulit pembalut tulang itu sungguh tak dapat dijajaki! Bila angin dari timur bertiup sejuk. Bila bola penerang jagat hanya seperenam bagiannya saja lagi yang kelihatan di ufuk barat sana dan bila puncak Gunung Merbabu hampir keseluruhannya terselimut halimun maka begawan itupun menggerakkan kakinya. Sepasang kaki yang kurus kering itu dengan lincah dan dengan kecepatan yang luar biasa berlari di tepi kawah dengan seenaknya. Sekali-sekali

melompati jurang batu yang lebarnya sampai tiga empat tombak. Bersamaan dengan lenyapnya sang surya ke tempat peraduannya maka bayangan Begawan Citrakarsa pun tak kelihatan lagi di puncak Gunung Merbabu itu. *** Tikungan jalan itu terletak di tempat yang ketinggian. Sinar matahari panasnya seperti mau memanggang kulit. Burung-burung kecil yang berlindung di balik daun-daun pepohonan berkicau tiada hentinya seakan-akan turut gelisah oleh panasnya hari sehari itu. Pemuda berambut gondrong di atas cabang pohon duduk dengan sepasang mata yang terus menatap ke liku-liku jalan di kaki bukit. Sudah satu jam hampir dia berada di cabang pohon itu dan apa yang ditunggunya masih juga belum muncul. Kekesalan hatinya dicobanya melenyapkan dengan bersiul-siul. Ada satu keluarbiasaan. Cabang pohon yang diduduki pemuda itu kecil sekali. Jangankan manusia, seekor kucing pun bila duduk di situ pastilah cabang itu akan menjulai ke bawah. Tapi anehnya, diberati oleh tubuh pemuda berambut gondrong itu, jangankan menjulai, bergerak sedikitpun cabang pohon itu tidak! Kalau si pemuda bukannya seorang sakti mandraguna yang memiliki ilmu meringankan tubuh yang hebat, pastilah hal itu tak bisa kejadian. Sepeminuman teh berlalu. Si pemuda memandang lagi ke kaki bukit, ke arah liku-liku jalan. Sialan, apa kunyuk-kunyuk itu tidak jadi melewati jalan ini?! Sialan be... Tiba-tiba pemuda itu hentikan makiannya. Bola matanya membesar dan di bibirnya menggurat seringai tajam. Jauh di bawah bukit, di antara pohon-pohon di liku-liku jalan dilihatnya sebuah kereta yang ditarik oleh dua ekor kuda putih, dikawal oleh selusin penunggang kuda. Debu menggebu ke udara. Pemuda itu kini tertawa-tawa sendirian. Hatinya gembira. Yang ditunggunya telah kelihatan di bawah sana, dan pasti akan melewati tikungan jalan di mana dia menunggu saat itu. Kira-kira dua kali peminuman teh maka terdengarlah derap kakikaki kuda dan gemeretaknya suara roda kereta mendekati tikungan jalan. Karena tikungan itu mendaki, maka pengemudi kereta dan penunggang-penunggang kuda agak memperlambat lari kuda

masing-masing. Pada saat itulah pemuda rambut gondrong yang duduk di cabang pohon mengeluarkan suara memerintah yang menggeledek! Berhenti! Beberapa ekor kuda yang di muka sekali meringkik terkejut. Pengemudi dan pengawal kereta kagetnya bukan main. Semua anggota rombongan menghentikan kuda masing-masing. Dan melihat gelagat yang tidak baik, setiap anggota rombongan bersikap waspada. Semua laki-laki yang ada di sini, termasuk pengemudi kereta kuharap segera angkat kaki tinggalkan tempat ini. Berlalu dengan cepat! Begitu si pemuda memerintah. Dan dia masih juga duduk di cabang pohon seenaknya. Penunggang kuda yang paling muka yang bertindak sebagai pimpinan rombongan mendongak ke atas dan bertanya dengan membentak, Orang asing! Kau siapa?! Buset! Kau punya nyali membentak aku, hah? Apa kau punya jiwa rangkap! Si penunggang kuda mendengus. Caramu memerintah nyatalah bahwa kau mempunyai niat jahat! Betul sekali sobat! Karenanya lekaslah tinggalkan tempat ini kalau kalian semua tidak mau cilaka! Penunggang kuda yang bertindak sebagai pemimpin rombongan melihat sikap dan tempat di mana pemuda rambut gondrong itu duduk sesungguhnya sudah sejak tadi mengetahui bahwa manusia asing itu seorang yang berilmu sangat tinggi. Namun dengan mengandalkan jumlah yang banyak, mengandalkan kawan-kawannya yang rata-rata memiliki ilmu silat, nyalinya tidaklah menjadi kendor menghadapi si pemuda rambut gondrong! Kalau kau seorang perampok, cari saja orang lain untuk dirampok! Salah-salah riwayatmu bisa tamat sampai di sini, sobat. Pemuda di atas cabang pohon tertawa gelak-gelak. Suara tertawanya menggetarkan tikungan jalan itu, juga menggetarkan hati dua belas penunggang kuda! Bahkan suara tertawa itu telah membuat satu tangan halus menyibakkan tirai kereta dan memunculkan sebuah kepala perempuan muda belia berwajah cantik berkulit halus mulus. Manusia-manusia tolol! Orang sudah kasih ampun dan kasih selamat kalian punya jiwa tapi, malah berlagak jago! bentak orang di

atas cabang pohon! Silahkan cabut senjata kalian agar kalian semua tidak mampus percuma! Habis berkata begitu si pemuda laksana seekor alap-alap melompat turun. Tubuhnya berkelebat cepat dan terdengarlah jeritan yang menggidikkan! Tiga penunggang kuda terpelanting dari punggung kuda masing-masing. Kepala ketiganya hancur remuk dimakan tendangan kaki kanan pemuda tadi! Yang sembilan orang lainnya, tambah satu dengan pengemudi kereta dengan serentak segera mencabut golok masing-masing. Tanpa menunggu lebih lama yang sembilan orang segera menyerbu sedang pengemudi kereta dengan golok melintang di muka dada tetap berada di atas kereta. Sebentar saja hujan golok menyelubungi si pemuda. Pemuda itu berdiri di tengah-tengah siuran golok dengan bertolak pinggang dan sambil tertawa-tawa. Sekali-sekali dia membuat sedikit gerakan. Meskipun sedikit gerakan itu sekaligus berhasil mengelakkan sembilan serangan golok yang menderu-deru. Tiba-tiba pemuda itu membentak nyaring. Tubuhnya merunduk di antara bacokan dan tebasan golok. Pekik lolong terdengar susul menyusul. Empat pengeroyoknya berpelantingan dan bergeletakan tanpa nyawa di tengah jalan. Yang lima orang lainnya kejut serta kaget mereka bukan olah-olah. Tegal Ireng! teriak pemimpin rombongan. Larikan kereta dari sini cepat! Aku dan yang lain-lainnya menahan bangsat ini! Kusir kereta tak ayal lagi segera sentakkan tali kekang. Dua ekor kuda melonjak dan melompat ke muka. Sementara itu lima golok menyerbu pemuda rambut gondrong dengan ganasnya. Tapi yang diserbu ganda tertawa. Dia membuat lompatan setinggi tiga tombak. Dua orang pengeroyoknya jungkir balik dimakan tendangan. Bersamaan dengan itu tangan kanannya dihantamkan ke arah dua ekor kuda penarik kereta yang segera hendak lari meninggalkan tempat itu. Gelombang angin yang sangat dahsyat menghantam hancur delapan kaki binatang itu sehingga kuda dan kereta angsrok ke jalanan. Ringkik kuda terdengar tiada hentinya, sedang dari dalam kereta melengking jeritan perempuan! Pemimpin rombongan, dengan sangat penasaran cabut lagi sebatang golok dari pinggangnya. Dengan sepasang golok, bersama dua orang kawannya dia menyerbu kembali! Kunyuk-kunyuk tolol! Nyali kalian memang patut kupuji! Tapi

kalian adalah manusia-manusia tidak berguna! Karenanya pergilah ke neraka! Pemuda rambut gondrong kebutkan tepi jubah hitamnya. Serangkum angin pengap menyerang ke arah tenggorokan ketiga lawannya. Manusia-manusia itu mengeluarkan suara seperti tercekik sewaktu tubuh mereka mental dilanda angin dahsyat. Dari mulut masing-masing menyembur darah segar. Nyawa ketiganya lepas bersamaan dengan rubuhnya tubuh mereka ke tanah! Pemuda berambut gondrong yang mengenakan jubah hitam berbunga-bunga kuning tertawa gelak-gelak. Tiba-tiba dirasakannya sambaran angin di belakangnya. Dibalikkannya tubuhnya dengan cepat. Sebatang golok laksana anak panah melesat ke arah batok kepalanya!

***

WIRO SABLENG PENDEKAR TERKUTUK PEMETIK BUNGA

URANG ajar betul! teriak pemuda berjubah hitam. Dia gerakkan tangan kanannya. Lihai sekali golok maut itu berhasil ditangkapnya lalu dilemparkannya ke arah kereta. Laki-laki yang menjadi kusir kereta, yang tadi melemparkan golok itu kepada si pemuda dengan serta merta melompat dari kereta yang sudah angsrok itu dan bergulingan di tanah. Golok menancap di bangku kayu pada bagian depan kereta! Kusir kereta yang menyadari bahwa dirinya kini tinggal sendirian, melihat serangannya tidak mengenai sasaran jadi lumer nyalinya. Tanpa banyak cerita kusir ini segera ambil langkah seribu seraya berteriak. Den Ayu Galuh Warsih lekas lari selamatkan dirimu! Kunyuk tengik! teriak pemuda berjubah hitam sambil keluarkan dengusan. Kalau mau lari, larilah sendiri ke neraka! Sekali pemuda ini lambaikan tangan kanannya, kusir kereta itu mental menghantam pohon dilanda angin dahsyat yang keluar dari telapak tangan si pemuda! Di saat itu pintu kereta sebelah kanan terbuka lebar-lebar dan seorang gadis bertubuh ramping, berkulit hitam manis yang memiliki wajah mempesona ke luar dengan paras pucat. Lututnya gemetar. Bulu kuduknya merinding melihat sosok-sosok mayat pengawalnya yang bertebaran di mana-mana, mati dalam keadaan mengerikan! Gadis itu menyurut beberapa langkah sewaktu pemuda berjubah hitam melangkah mendekatinya. Ah, dewiku, kenapa takut padaku? ujar si pemuda dengan mengulum senyum. Namamu Galuh Warsih, bukan? Dan kau anaknya Sentot Sastra dari Kaliurang, betul? Galuh Warsih menyurut lagi beberapa langkah. Pada tampang yang gagah dari si pemuda, pada sunggingan senyumnya nyata kelihatan sifat kebuasan, sifat kejalangan! Gadis ini terpekik sewaktu sekali lompat saja si pemuda sudah berada di hadapannya. Saudara, kau siapa? Mengapa membunuh pengawal-

pengawalku?! Meski takutnya bukan main namun Galuh Warsih masih bernyali mengajukan pertanyaan itu. Yang ditanya tertawa. Ah.., itu satu pertanyaan yang pantas dijawab. katanya. Tangan kirinya ditopangkannya ke sanding belakang kereta. Namaku tak seberapa perlu dewiku sayang. Aku cukup dikenal dengan gelar Pendekar Pemetik Bunga. Paras Galuh Warsih laksana kain kafan, putih seperti tiada berdarah. Sebaliknya pemuda yang mengaku bergelar Pendekar Pemetik Bunga tertawa gelak-gelak. Dan kalau dewiku bertanyakan mengapa aku membunuh pengawal-pengawalmu itu adalah karena mereka sedeng semua! Disuruh angkat kaki dari sini agar selamat malah minta mati! Ayahku Bupati Kaliurang pasti akan menyuruh pancung kepalamu atas semua kejahatan ini! Pendekar Pemetik Bunga tertawa mengekeh. Sudahlah, katanya, di tempat bangkai-bangkai berserakan ini kita tak usah banyak bicara. Kau ikut aku, Galuh Warsih. Kita pergi ke bukit sebelah sana... Tidak! Di bukit sana ada sebuah pondok! Tidak, aku tidak mau! Aku tidak sudi ikut sama kau manusia biadab! teriak Galuh Warsih. Di situ, di pondok itu nanti kau akan merasakan sorga dunia yang tiada taranya dewiku manis... Dengan tertawa gelak-gelak Pendekar Pemetik Bunga maju mendekati Galuh Warsih. Si gadis cepat menyambar kayu patahan papan kereta dan dengan kedua tangannya menghantamkan kayu itu ke kepala Pendekar Pemetik Bunga. Pemuda berhati bejat itu ganda tertawa. Dia merunduk dan begitu maju, sekaligus dia sudah merangkul pinggang Galuh Warsih. Galuh Warsih menjerit melolong-lolong. Kedua tangannya tiada henti mendambuni punggung dan menjambaki rambut gondrong Pendekar Pemetik Bunga. Tapi pemuda itu tiada perduli. Malah dengan tertawa dan bersiul-siul gembira laksana angin cepatnya tubuh Galuh Warsih dilarikan ke puncak sebuah bukit di sebelah timur! Hampir sepeminum teh kemudian maka pondok kayu itu sudah kelihatan dari jauh. Nafsu yang menghempas-hempas pembuluh darah dan menegangkan sekujur tubuh Pendekar Pemetik Bunga

membuat manusia terkutuk itu tancap gas tambah percepat larinya agar lekas-lekas sampai ke pondok itu dan agar lekas pula melampiaskan nafsu bejat terkutuknya! Tapi betapa terkejutnya Pendekar Pemetik Bunga sewaktu makin dekat ke pondok itu sepasang telinganya menangkap suara nyanyian. Yang lebih mengejutkan ialah karena suara nyanyian itu keluarnya dari dalam pondok kayu di hadapannya itu! Dua tahun dilepas pergi, Dua tahun turun gunung, Dua tahun berbuat keji, Dua tahun tak tahu untung. Lima tahun belajar percuma Lima tahun dididik tiada guna Kehancuran di mana-mana Pembunuhan di mana-mana Semua karena buta hati dan buta mata Semua karena buta rasa Percuma bagusnya gunung Percuma tingginya gunung Kalau meletus bencana di mana-mana Anak manusia lupa daratan Anak manusia membuat kebejatan Apakah selusin nyawa di badan? Apakah ilmu setinggi awan? Pendekar Pemetik Bunga hentikan larinya. Galuh Warsih yang masih mendambun-dambun punggungnya, yang masih berteriakteriak meskipun suaranya parau segera ditotoknya. Dipasangnya telinganya sedang kedua matanya memandang tajam-tajam ke arah pintu pondok yang terbuka. Tak satu sosok manusia pun yang dapat dilihatnya dari tempat dia berdiri. Namun suara nyanyian tadi kembali terdengar. Terdengar dan keluar dari pondok itu! Dua tahun dilepas pergi,

Dua tahun turun gunung... Ada suatu rasa aneh menyelinapi hati Pendekar Pemetik Bunga. Rasa aneh ini bukan saja hanya sekedar menyelinap, tapi juga membuat hatinya menciut-ciut dan dadanya berdebar. Dia melangkah kembali, pelahan kini. Mata memandang tajam, ke pintu pondok yang terbuka, sikap penuh waspada. Lima tombak dari hadapan pondok, untuk kedua kalinya Pendekar Pemetik Bunga hentikan langkah. Bayangan seseorang dapat dilihatnya melangkah ke pintu. Dalam kejapan mata kemudiannya maka terbenturlah pandangannya pada tubuh seorang laki-laki tua bertubuh kurus kering berselempang kain putih. Janggut dan rambutnya yang hitam menjelang panjang sampai ke pinggang. Guru! seru Pendekar Pemetik Bunga. Tubuh Galuh Warsih segera diturunkannya dari pundak, didudukkannya di bawah sebatang pohon lalu dia sendiri berlari dan berlutut di hadapan orang tua yang berdiri di ambang pintu pondok. Si orang tua, yang bukan lain dari Begawan Citrakarsa adanya menyapu paras muridnya dengan pandangan mata sedingin salju setajam pisau! Betulkah kau ini si Wirapati? Masih berlutut, Pendekar Pemetik Bunga angkat kepalanya. Betul guru. Masakan guru lupa sama murid sendiri! Mataku masih belum kabur, telingaku masih belum tuli. Otakku masih belum tumpul! Wirapati yang pernah kugembleng lima tahun di puncak Gunung Merbabu sudah tidak ada di atas bumi ini... Pemetik Bunga atau Wirapati merasa bergidik juga melihat cara memandang gurunya. Guru...! Begawan Citrakarsa tidak perdulikan seruan kaget muridnya. Guru! seru si murid sekali lagi. Begawan Citrakarsa tetap tak ambil perduli seorang pemuda terkutuk yang di delapan penjuru angin dikenal sebagai Pendekar Pemetik Bunga! Berubahlah paras Pendekar Pemetik Bunga alias Wirapati. Dia membatin, rupanya apa yang telah dilakukannya sejak turun gunung dua tahun yang silam sudah diketahui oleh gurunya. Dia berpikir-pikir mencari akal, apakah yang bakal dikatakannya pada begawan itu. Selama ini aku dikenal sebagai tokoh silat golongan putih yang

mengutamakan ilmu untuk kebaikan dan welas asih. Dunia persilatan menyegani dan menghormatiku! Tapi kini dari delapan penjuru angin umpat dan kutuk serapah dilontarkan kepadaku! Keningku dicoreng cemoreng oleh rasa malu yang tiada terkira! Semua itu adalah akibat perbuatan bejatmu, Wirapati! Perbuatan terkutukmu! Guru! kata Pendekar Pemetik Bunga dengan cepat. Akal busuk sudah didapatnya saat itu. Rupanya guru telah tertiup oleh segala fitnah yang dilontarkan manusia-manusia biang racun! Lima tahun murid dididik dan digembleng oleh guru masakan sesudahnya turun gunung murid mau membuat kekotoran yang mencemarkan nama guru itu?! Semua fitnah belaka, Guru! Percayalah! Justru murid malang-melintang di dunia persilatan untuk membasmi kaum penjahat dan golongan hitam...! Begawan Citrakarsa tertawa tawar. Kaukah yang difitnah atau engkau yang memfitnah, Wirapati? Gadis yang kau sandarkan di pohon itu cukup menjadi bukti! Kalau kau mau menipu aku, tunggulah sampai mataku buta! Pendekar Pemetik Bunga tidak kehabisan akal. Dia segera buka mulut pula, Guru salah duga. Gadis itu adalah anak Bupati Sentot Sastra dari Kaliurang yang barusan murid tolong dan lepaskan dari tangan penculik-penculik dan perampok-perampok! Lagi-lagi Begawan Citrakarsa tertawa tawar. Lidah tidak bertulang memang bisa diputar-balik! katanya. Tapi mataku tidak bisa diputar balik, Wirapati! Aku saksikan sendiri apa yang terjadi di tikungan jalan tadi! Masihkah kau mau berdusta di dalam kebejatanmu?! Kini Wirapati alias Pendekar Pemetik Bunga tak bisa berkata apaapa lagi. Mulutnya terkatup rapat-rapat. Tak perlu kau berlutut di hadapanku, Wirapati! Sejak arang cemar kau corengkan ke mukaku, sejak itu pula aku tak mengakuimu lagi sebagai murid! Rahang Pendekar Pemetik Bunga menonjol bergemeletak. Kejahatanmu laksana laut tidak bertepi! Dosamu sudah tak sanggup ditakar lagi! Sekarang berdirilah! Dan katakan cepat, cara mati bagaimana yang kau inginkan?! Kaget Pendekar Pemetik Bunga bukan alang kepalang! Dipandangnya paras Begawan Citrakarsa. Mimik dan sorotan mata si orang tua jelas menyatakan bahwa apa yang diucapkannya itu bukan

main-main! Guru... Aku bukan gurumu! bentak Begawan Citrakarsa. Perlahan-lahan Pendekar Pemetik Bunga berdiri. Guru, kau betul-betul hendak membunuhku? tanya pemuda itu, atau cuma main-main saja...? Bicara soal kematian bukan bicara main-main, budak terkutuk! hardik Begawan Citrakarsa. Bersiaplah untuk mampus! Begawan itu angkat tangan kanannya. Kemudian laksana kilat dipukulkan ke muka! Wuss! Asap putih mengepul dahsyat melanda ke arah Pendekar Pemetik Bunga. Melihat gurunya mengeluarkan ilmu dahsyat yang tak pernah dikenalnya atau diajarkan kepadanya sebelumnya, yakinlah Pendekar Pemetik Bunga bahwa si orang tua betul-betul bertekad hendak menghabisi nyawanya! Tak ayal, sebelum tubuhnya diserempet asap putih yang mengandung hawa sangat panas itu, si pemuda segera melompat ke samping sampai dua tombak! Bagus! Kau masih bisa mengelak! Tapi nyawamu tetap harus minggat ke neraka, murid laknat! gertak Begawan Citrakarsa. Tubuhnya berkelebat. Kini kedua tangannya yang kurus memukul bersama-sama. Sinar putih berbuntal-buntal menyambar Pendekar Pemetik Bunga!

***

WIRO SABLENG PENDEKAR TERKUTUK PEMETIK BUNGA

ERANGAN ganas ini membuat Pendekar Pemetik Bunga melompat sampai tiga tombak ke atas dan berseru nyaring, Orang tua, aku masih menaruh hormat pada kau! Hentikan seranganmu! Hormat nenek moyangmu! maki Begawan Citrakarsa beringas. Kedua tangannya kembali melesatkan buntalan sinar putih. Pendekar Pemetik Bunga cepat-cepat menukik menyelamatkan diri. Wirapati atau Pendekar Pemetik Bunga jadi beringas pula kini. Begawan! serunya lantang, jika kau tak hentikan serangan, terpaksa aku mengadu jiwa dengan kau! Harap jangan menyesal! Begawan Citrakarsa tidak perdulikan ucapan bekas muridnya. Tubuhnya berkelebat cepat. Angin bersiuran, debu beterbangan dan atap rumbia pondok di atas bukit itu terbang bertaburan akibat keras dahsyatnya angin serangan Sang Begawan! Pendekar Pemetik Bunga penasarannya bukan main. Kutuk serapah tiada henti-hentinya dikeluarkan dalam hati. Kalau saja dia tidak memiliki tenaga dalam dan ilmu mengentengi tubuh yang tinggi sempurna, pastilah dalam dua jurus saja dirinya sudah konyol mati kena digebuk salah satu lengan Sang Begawan atau tersambar asap putih yang panas beracun itu! Dalam tempo yang singkat, murid dan guru itu sudah bertempur delapan jurus. Keduanya kelihatan sama-sama gesit dan sama-sama lihai. Namun memasuki jurus kedua belas, walau bagaimanapun Pendekar Pemetik Bunga tiada sanggup lagi bertahan. Sekali tubuhnya kena dilanda jotosan Begawan Citrakarsa, tubuhnya mencelat mental membobolkan dinding kajang dan melingkar di lantai tanah dalam pondok! Begawan Citrakarsa tidak menunggu sampai di situ saja. Mulut nya berkomat-kamit. Tangan kanannya diangkat tinggi-tinggi. Tangan itu berwarna merah kini. Dan sewaktu tangan itu dipukulkan ke mu

ka, lidah api yang dahsyat menyambar laksana topan prahara! Dalam sekejapan mata saja pondok itu tenggelam dalam kobaran api! Tamatlah riwayatmu, murid terkutuk! Begitu Begawan Citrakar sa membatin. Tapi si orang tua menjadi kaget bukan main sewaktu matanya melihat sosok tubuh bekas muridnya itu berdiri tak jauh dari pondok yang tengah terbakar. Muka Pendekar Pemetik Bunga kelihatan agak pucat tanda jotosan Begawan Citrakarsa tadi telah menyebabkan luka yang cukup parah di bagian dalam tubuhnya! Begawan Citrakarsa sendiri diam-diam merasa heran melihat pemuda itu masih sanggup berdiri meski dengan muka pucat pasi. Jotosan yang dilancarkan tadi mempergunakan hampir setengah bagian tenaga dalamnya, namun pemuda itu tidak menemui ajalnya! Apakah selama turun gunung malang melintang berbuat kejahatan bekas muridnya itu juga telah memperdalam ilmu silat dan ilmu kesaktiannya?! Begawan Citrakarsa tidak mau menunggu lebih lama. Tidak mau memberi kesempatan. Makin lekas dia berhasil membunuh muridnya itu, berarti makin cepat dia mencuci tangan dan membersihkan diri dari rasa malu yang melekat selama ini! Karenanya Sang Begawan segera melompat ke muka kembali, menyerbu laksana seekor singa jalang yang kelaparan! Dari jarak beberapa meter sebelum tubuhnya sampai ke hadapan si pemuda, Begawan Citrakarsa sudah lancarkan dua pukulan dan dua tendangan jarak jauh yang hebat! Pendekar Pemetik Bunga saat itu tengah alirkan tenaga dalam ke bagian dada yang terluka dan atur jalan darah serta nafas. Melihat datangnya serangan ini dia terpaksa menghindar cepat sambil melepaskan Pukulan Tapak Jagat. Begawan Citrakarsa tertawa mengejek. Ilmu Pukulan Tapak Jagat itu dialah yang menciptakan dan mewariskan kepada Wirapati, masakan kini mempan dipakai untuk melawan penciptanya sendiri. Namun tawa mengejek si orang tua berubah dengan keterkejutan! Begawan Citrakarsa sampai mengeluarkan seruan tertahan. Angin pukulan yang ditimbulkan oleh Pukulan Tapak Jagat itu dahsyatnya bukan main, lebih dahsyat daripada jika dia sendiri yang melepaskannya! Padahal Wirapati saat itu diketahuinya sedang terluka akibat jotosannya tadi! Jelaslah si pemuda benar-benar telah menuntut ilmu kesaktian pada seorang tokoh utama dunia persilatan selama dia malang melintang dua tahun belakangan ini! Si orang tua kini tidak mau memberi ampun lagi dan tak mau

memperpanjang waktu! Lengking yang menggidikkan keluar dari tenggorokannya. Bumi laksana dilanda lindu. Telinga Pendekar Pemetik Bunga laksana ditusuk dan kepalanya berdenyut pusing! Lengkingan yang keluar dari mulut Begawan Citrakarsa tiada kunjung henti sedang tubuh orang tua ini boleh dikatakan sama sekali tidak kelihatan lagi ujudnya, hanya bayangannya saja yang laksana angin bergulung-gulung menyelimuti tubuh Pendekar Pemetik Bunga. Dan di antara angin serangan yang bergulung-gulung itu serangan kaki tangan datang laksana hujan membadai! Inilah ilmu ciptaan Begawan Citrakarsa yang dinamakan Seribu Angin Seribu Badai. Hebatnya memang bukan alang kepalang! Tapi Sang Begawan jadi komat-kamit beringas sewaktu dua jurus berlalu dan tak satu jotosan atau hantaman lengan ataupun tenda ngan kakinya yang berhasil mengenai tubuh lawan. Malah tiba-tiba dirasakannya dia laksana menyerang gunung batu yang menjungkir balikkan kembali setiap serangannya sedang sambaran angin aneh terasa memengapkan liang hidung serta tenggorokannya! Orang tua ini terpaksa tutup jalan nafas dan melompat keluar dari kalangan pertempuran. Dilihatnya bekas muridnya itu berlutut di tanah sedang tangannya kiri kanan tiada hentinya mengebut-ngebutkan tepi jubah hitamnya. Dari tepi jubah hitam itulah ke luar angin pengap yang ganas, membuat Sang Begawan tidak berani kembali menyerang atau mendekat! Tiba-tiba Begawan ini ingat pada ilmu Asap Putih Pencari Raga yang dimilikinya serta diyakininya selama tujuh tahun! Cepat-cepat dia melentingkan kedua telapak tangan ke muka. Didahului oleh teriakan menggeledek maka dua larik asap putih yang menyilaukan melesat ke muka. Setengah jalan dua larikan asap itu berpencar menjadi dua lusin dan kedua lusinnya menyerang ke arah dua puluh empat jalan darah kematian di tubuh Pendekar Pemetik Bunga! Pendekar Pemetik Bunga kebutkan tepi jubahnya sekencangkencangnya dan cepat bergulingan di tanah. Untung sekali dia telah berguling menjauh begitu rupa karena angin pengap yang dilepaskannya tadi kali ini tiada sanggup menahan serangan Asap Putih Pencari Raga yang dilepaskan Begawan Citrakarsa. Dan ketika pemuda itu berdiri lalu menoleh cepat ke tanah bekas tempat dia berada waktu diserang tadi, mau tak mau keringat dingin memercik di kuduknya! Betapakah tidak! Di tanah mata kepalanya sendiri

menyaksikan 24 buah lobang sedalam setengah jengkal akibat serangan bekas gurunya tadi! Sang Begawan mengeluarkan tertawa mengekeh. Kematianmu sudah hampir dekat, murid terkutuk! katanya. Setan neraka mungkin sudah tak sabar menunggumu. Cacing-cacing kuburan tentu ingin lekas-lekas menggerogoti dagingmu...! Orang tua gendeng! Jangan bermulut besar bicara ngaco! Sekali aku bilang mengadu nyawa padamu, jangan harap kau bisa membunuhku tanpa kau punya nyawa anjing juga turut minggat ke neraka jahanam! Habis berkata begitu Pendekar Pemetik Bunga cabut bunga kuning yang terbuat dari kertas dari balik ikatan rambut di kepalanya! Ooo... bunga kertas buruk itukah yang kau andalkan untuk membunuhku?! ejek Begawan Citrakarsa dengan memencongkan hidung. Kau boleh mengejek, kunyuk keriput! serapah Wirapati alias Pendekar Pemetik Bunga. Sebentar lagi roh busukmu akan terbang dibawa bunga maut ini! Cuma bunga kertas mainan bocah-bocah, siapa takutkan?! ejek Begawan Citrakarsa dan dengan serta merta dia kiblatkan kedua tangannya kembali, memancarkan serangan Asap Putih Pencari Raga. Kali ini Pendekar Pemetik Bunga tidak menghindar. Dia berdiri menunggu. Pada saat asap putih hendak memancar seperti tadi, dengan cepat pemuda itu menekan tangkai bunga kertas yang dipegangnya. Serta merta bertaburanlah gulungan sinar kuning. Bila asap putih dan sinar kuning itu bertemu di udara maka terdengarlah suara berdentum yang amat dahsyat. Jagat laksana goncang. Asap putih dan sinar kuning berpalun-palun, gelung-menggelung laksana beberapa ekor ular raksasa yang tengah berkelahi gigit-menggigit! Asap putih lambat laun lenyap dirambas dan ditelan sinar kuning untuk kemudian terus menyerang Begawan Citrakarsa. Kejut orang tua sakti ini bukan alang kepalang. Dia melompat ke samping tapi agak terlambat karena sebagian lengan kirinya kena tersambar sinar kuning itu! Dengan serta-merta lengan Sang Begawan menjadi kuning pekat! Pendekar Pemetik Bunga tertawa terbahak-bahak. Sinar kuning itu mengandung racun dahsyat! Dalam tempo satu jam nyawamu pasti konyol!

Begawan Citrakarsa mengambil sebutir pil dan menelannya dengan cepat. Ha... ha, jangankan pil tahi kambing itu! Obat dari kayangan pun tak bakal sanggup memunah racun di lenganmu itu, begawan goblok! Naik darah si orang tua meluap sampai ke kepala. Mukanya kelam membesi. Racun kuning di tangan kirinya dirasakannya mulai merambas mendekati pangkal bahu. Tak ayal lagi Begawan Citrakarsa pergunakan tangan kanannya memutar dan membetot lengan kirinya itu! Kraak! Sungguh menggidikkan sewaktu persendian bahu itu lepas dan daging berserabutan, urat-urat berbusaian menyemburkan darah! Pendekar Pemetik Bunga sendiri meremang bulu kuduknya melihat perbuatan Sang Begawan! Jangan kira meski aku cuma dengan satu tangan kini kau bisa lepas dari kematian, Wirapati keparat! kata Begawan Citrakarsa. Otakmu memang sudah miring, Begawan! kata Wirapati pula. Tak satu kekuatan pun yang sanggup menandingi bunga kertas kuning ini! Begawan Citrakarsa tidak menjawab apa-apa melainkan tangan kanannya menyelinap ke balik selempang kain putih di pinggangnya. Sebilah keris bereluk dua belas yang memancarkan sinar sangat merah kini tergenggam di tangan Begawan itu. Inilah Keris Panca soka yang mempunyai keampuhan luar biasa! Jangankan daging manusia, batu karang pun jika ditusuk pasti akan hancur lebur! Sebagai bekas murid Begawan Citrakarsa dengan sendirinya Wirapati tahu betul kehebatan senjata ini. Dia meragu apakah kini bunga kertas kuningnya akan sanggup menghadapi Keris Pancasoka itu. Karenanya untuk menjaga segala kemungkinan, Pendekar Pemetik Bunga segera membuka ikatan sabuk mutiara milik Kidal Boga yang tempo hari dibunuhnya. Kau lihat keris ini Wirapati?! Ah... tak usah banyak omong! Majulah biar kau juga dapat kehebatan sabuk mutiara ini! tukas Wirapati! Menggelegaklah kemarahan Sang Begawan. Dia melompat ke muka. Keris Pancasoka berkiblat kian kemari. Sinar merah laksana lidah api menyerang ganas. Setiap serangan merupakan rangkaian yang sekaligus menjurus ke arah dua belas bagian tubuh lawan!

Inilah kehebatan senjata itu! Wirapati tidak pula tinggal diam. Sabuk mutiara diputar laksana kitiran. Gelombang angin menderu-deru sedang bunga kertas di tangan kanan tiada hentinya mengeluarkan sinar kuning yang mengandung racun jahat! Namun dua senjata di tangan Wirapati hampir tiada daya menghadapi keris bereluk dua belas di tangan kanan Begawan Citrakarsa, ditambah lagi dengan amukan si orang tua yang dahsyatnya bukan olah-olah. Kalau saja satu tangannya tidak cedera buntung pastilah amukannya itu tak akan tertahantahan oleh Wirapati. Dengan keris di tangan kanan orang tua itu, pertempuran sudah berkecamuk selama enam puluh jurus! Daya tahan dan kegesitan Begawan Citrakarsa meski dirinya sudah terlalu parah memang patut dikagumi! Dalam pada itu dia sudah berhasil pula mendesak dan memepet lawannya sampai ke dekat reruntuhan pondok yang terbakar! Dengan kertakkan geraham kemudian membentak keras, Wira zpati percepat gerakannya dan keluarkan jurus-jurus dahsyat yang mengandung tipu-tipu ganas licik mematikan! Tapi Begawan Citrakarsa yang sudah makan asam garam pertempuran yang sudah puluhan tahun punya pengalaman dalam dunia persilatan mana bisa kena ditipu! Setan alas! maki Pendekar Pemetik Bunga. Kunyuk tua haram jadah. makinya lagi dalam hati. Dengan mempergunakan jurus Menyapu Awan Menerjang Mega, pemuda ini akhirnya melompat keluar dari kalangan pertempuran! Pemuda terkutuk! teriak Begawan Citrakarsa, Kau mau lari ke mana?! Aku tidak lari, iblis tua! bentak Pendekar Pemetik Bunga. Dia cepat-cepat tusukkan kembali bunga kertasnya ke sela rambut di kepala, sabuk mutiara tetap dipegang di tangan kiri menjaga segala kemungkinan. Saat itu jarak antara mereka terpisah sejauh lima meter. Begawan keparat! Mari kita buat perjanjian! Tiba-tiba Pendekar Pemetik Bunga ajukan usul. Heh, sudah mau hampir mampus bikin segala macam usul! Apakah itu bukan cuma ulur waktu mencari kesempatan lari...?! ejek Citrakarsa. Sompret tua, aku berjanji! Jika kau sanggup terima pukulanku,

aku akan bunuh diri di hadapanmu! Begawan Citrakarsa tertawa mengekeh-ngekeh. Bunuh diri terlalu enak buatmu, pendekar terkutuk! Si pemuda penasaran bukan main. Tapi dia berkata lagi, Kalau begitu kau terpaksa mampus percuma, orang tua! Dunia persilatan akan gempar bila mengetahui, seorang tokoh silat bernama Citrakarsa dibunuh oleh muridnya sendiri...! Habis berkata begitu Pendekar Pemetik Bunga tertawa panjang dan menggidikkan. Tangan kanannya diacungkan ke muka, mulut berkomat-kamit sedang ibu jari dan telunjuk mendadak dengan cepat berobah menjadi hitam! Teganglah paras Begawan Citrakarsa. Selama di puncak Gunung Merbabu dia telah mendengar bahwa bekas muridnya yang murtad itu telah memiliki sejenis ilmu yang sangat sakti dan berbahaya! Apakah ini agaknya ilmu kesaktian yang hendak dilancarkannya, hendak dipakai menyerang?! Jari telunjuk dan ibu jari Pendekar Pemetik Bunga atau Wirapati semakin hitam legam dan mengeluarkan sinar mengerikan. Paras Sang Begawan semakin tegang, sebaliknya Pendekar Pemetik Bunga tertawa terus tiada hentinya! Ilmu Jari Penghancur Sukma ini sudah menelan puluhan tokohtokoh silat! kata si pemuda yang tiba-tiba hentikan tertawanya. Tokoh-tokoh silat tolol geblek yang sengaja mencari mampus! Hah! kejut Begawan Citrakarsa. Murid murtad, dari mana kau dapat ilmu bejat itu?! Wirapati alias Pendekar Pemetik Bunga tertawa lagi panjangpanjang. Jari telunjuk dan ibu jarinya mulai bergerak membentuk lingkaran siap untuk dijentikkan ke muka. Begawan Citrakarsa cepatcepat alirkan seluruh tenaga dalamnya ke keris yang di tangan kanan sehingga senjata itu menyinarkan cahaya merah yang sepuluh kali menyilaukan dari semula! Pendekar Pemetik Bunga memperlahan tertawanya. Selusin Keris Pancasoka di tanganmu, tiada nanti kau sanggup menahan serangan jariku ini, begawan keriput! Laknat terkutuk! Jiwamu atau nyawaku! teriak Begawan Citrakarsa. Laksana anak panah tubuhnya melesat ke muka. Keris Pancasoka mengiblatkan sinar merah yang dahsyat! Pohon-pohon dan daun-daun di kiri kanan hangus berkepulan. Lidah api yang laksana naga raksasa menyambar dalam kecepatan luar biasa ke

arah Pendekar Pemetik Bunga! Yang diserang mendengus mengejek. Tubuhnya tidak sedikitpun bergerak! Kakinya tak satupun yang bergeser membuat langkah mengelak! Sebaliknya hanya jari telunjuk dan ibu jari tangan kanannya saja yang tiba-tiba menjentik ke muka. Maka pada detik itu juga didahului oleh angin keras laksana topan prahara, menderulah gelombang sinar hitam, menyapu dan menerjang lidah api Keris Pancasoka! Begawan Citrakarsa yang melihat gelombang apinya membalik menyerang dirinya sendiri berteriak kaget dan melompat ke samping sejauh dua tombak. Tapi dari samping sinar hitam melanda dengan dahsyatnya! Orang tua ini terguling-guling di tanah. Tubuhnya hangus hitam dan mengepulkan bau daging yang terpanggang! Bahkan Keris Pancasoka yang saat itu masih tergenggam di tangan kanannya juga hangus menjadi hitam! Pendekar Pemetik Bunga meringkik macam kuda menjadi jalang melihat dedemit! Kemudian dia tertawa gelak-gelak menyaksikan mayat gurunya yang menggeletak tanpa nyawa beberapa tombak di hadapannya itu! Benar-benar si Wirapati ini murid murtad yang tiada tara kekejamannya! Tiba-tiba dia memutar tubuh dan tertawa lagi gelak-gelak sewaktu melihat tubuh Galuh Warsih yang masih duduk bersandar di batang pohon, tiada bergerak karena tadi telah ditotoknya. Dia melangkah mendekati gadis itu. Dewiku, katanya seraya berlutut di hadapan Galuh Warsih, kau sudah lihat bagaimana kehebatanku bukan? Pemuda keparat, pergi! Jangan dekati aku! teriak Galuh Warsih. Meski dia ditotok dan tubuhnya tak bisa bergerak sedikitpun namun pendengarannya tetap terbuka dan mulutnya masih bisa bicara. Pendekar Pemetik Bunga menyeringai. Hidungnya kembang kempis. Nafasnya panas memburu, diburu oleh nafsu yang menggejolak! Diulurkannya tangannya membelai pipi gadis itu dan Galuh Warsih memaki lagi, menjerit-jerit! Kulitmu halus sekali, Galuh. Pemuda setan! Pergi, jangan sentuh tubuhku! teriak Galuh Warsih. Ah... apakah tampangku betul-betul seperti setan? tanya si pemuda dengan cengar-cengir. Dan dielusnya lagi pipi gadis itu. Galuh Warsih yang karena tidak bisa menggerakkan tangan atau

kakinya, penuh kegemasan diludahinya muka pemuda itu. Pendekar Pemetik Bunga malah tertawa. Diambilnya ujung angkin Galuh Warsih, dengan angkin itu disekanya ludah yang membasahi mukanya. Ludahmu seharum bunga semanis madu, kenapa musti disembur ke mukaku? Bukankah lebih baik disemburkan ke dalam mulutku? Ha... ha... ha...! Kulit pipimu demikian halusnya, Galuh. kata si pemuda dan dicuilnya dagu si gadis. Tentu kulit tubuhmu lebih mulus lagi... Habis berkata begitu Pendekar Pemetik Bunga segera elus bahu Galuh Warsih. Berdiri bulu kuduk si gadis, sebaliknya semakin menggejolak darah muda Pendekar Pemetik Bunga. Tangan yang mengelus bahu itu kini turun ke dada. Air mata berlelehan di pipi Galuh Warsih. Dia tahu, tak satupun yang bisa dilakukannya menghadapi perlakuan bejat itu. Dia sadar apa yang bakal terjadi dengan dirinya. Tak sanggup lagi dia menjerit, tak kuasa lagi dia berteriak karena suaranya sudah habis ditelan keparauan! Gadis manis, kenapa musti menangis? Pemuda terkutuk..., suara Galuh Warsih antara terdengar dan tiada, aku rela dibunuh daripada diperlakukan begini rupa... Heh...?! Pendekar Pemetik Bunga hela nafas dan kerutkan kening tanda heran. Kau tahu manis, perempuan-perempuan yang mati gadis kalau dia bisa bicara di liang kubur, pastilah dia minta dihidupkan kembali! Hidup kembali untuk merasakan kenikmatan hidup antara laki-laki dan perempuan! Kau yang hidup kepingin mati...? Lucu... Mari dewiku, kini ke balik semak-semak sana! Di situ ada rumput, biar kita bisa tidur bergulung lebih nikmat...! Pergi! Jangan sentuh aku! suara Galuh Warsih mengandung keputusasaan. Oh, kau tak mau ke balik semak-semak itu, Galuh? Tak apa... tak apa... di sini pun aku tak keberatan! Pendekar Pemetik Bunga ulurkan tangan kanannya kembali dan, breet! Kain penutup dada Galuh Warsih robek besar. Dadanya tersingkap lebar. Sepuluh jari tangan Pendekar Pemetik Bunga dengan terkutuknya laksana gila menggerayang menjamahi dada itu, meremas seakan-akan hendak menghancurluluhkannya!

***

WIRO SABLENG PENDEKAR TERKUTUK PEMETIK BUNGA

EJAK kemarin senja sampai siang hari itu Kadipaten Kaliurang tampak sibuk sekali. Senja kemarin lima orang pembantu Bupati Sentot Sastra telah dikirim ke Kaliprogo Wetan untuk menyelidiki kenapa Galuh Warsih sampai sesenja itu tidak kunjung muncul di Kaliurang. Pada tengah malam kelima pembantu bupati yang menunggangi kuda itu berhenti di satu tikungan di lamping bukit. Di bawah penerangan bintang-bintang dan bulan sabit mereka menyaksikan tebaran mayat pengawal-pengawal bupati yang adalah juga kawan-kawan mereka. Semuanya mati dalam cara yang mengenaskan dan menggidikkan. Sebagian besar hancur kepalanya atau bobol dada serta perutnya. Kereta yang menjadi tumpangan anak gadis Bupati Sentot Sastra angsrok di tengah jalan sedang dua ekor kuda penarik kereta hancur keempat kaki masing-masing! Ketika seorang di antara yang lima itu meloncat turun dan memeriksa kereta, ternyata kereta itu kosong. Aku tidak melihat Tegal Ireng! kata salah seorang dari mereka. Aku juga! Di mana kusir kereta itu? Mungkin dia satu-satunya yang selamat... Tapi ketika menyelidik ke tikungan yang menurun di sebelah sana mereka kemudian menemui mayat kusir kereta itu menggeletak menelungkup di tanah tanpa nyawa! Aku tak dapat menduga apa yang sesungguhnya terjadi di sini! Kalau rombongan Den Ayu Galuh Warsih dihadang perampok, mengapa kawan-kawan kita mati dalam keadaan demikian rupa? Dan kaki-kaki kuda yang hancur itu?! Aku sendiri tak dapat membayangkan apa yang terjadi dengan Den Ayu Galuh Warsih. menyahuti pembantu Bupati Kaliurang yang lain. Dia diculik, itu pasti sudah! Diculik dan dirusak kehormatannya?! menambahkan yang lain. Kalau begitu kita harus cari jejak-jejak si penculik!

Di malam buta begini bukan pekerjaan mudah mencari jejakjejak manusia! Lagi pula siapapun manusia-manusianya yang melakukan perbuatan biadab ini pastilah dia berilmu tinggi! Orang berilmu tinggi tidak terlalu bodoh untuk mau tinggalkan jejak! Lantas kita bikin apa kalau sudah begini?! Kembali saja ke Kaliurang dan beri keterangan pada Bupati Sentot? Kalau kau mau disemprot, kembalilah sendiri! Sepi beberapa lamanya. Kesepian yang membuat bulu kuduk kelima orang itu menggerinding, ditambah lagi dengan tiupan angin bukit di malam buta yang dingin itu. Sebaiknya kita teruskan saja perjalanan ke Kaliprogo Wetan. mengusulkan seseorang. Tapi tak ada seorangpun yang menerima dan menyetujui usul itu. Kelimanya kemudian mencari tempat yang baik, agak jauh dari tikungan jalan, menyalakan api unggun, berkemah di situ menunggu sampai pagi. Esok paginya, dengan sedapat-dapatnya kelima orang itu memperbaiki kereta yang rusak. Mayat kawan-kawan mereka yang berjumlah dua belas ditumpuk sebisa-bisanya di dalam dan di atas atap kereta. Dua di antara lima pembantu bupati itu duduk di depan kereta, satu memegang kendali. Kuda keduanya dipakai sebagai kuda-kuda penarik kereta karena kuda-kuda milik kawan-kawan mereka yang menemui ajal itu tak seekor pun yang hidup dan ada sekitar situ! Kedatangan kelima orang itu dengan membawa kereta yang ditumpuki dua belas mayat yang mengerikan tentu saja menggemparkan seisi Kadipaten, bahkan menggemparkan seluruh Kaliurang! Wajah Bupati Sentot Sastra membeku mengelam. Kedua tangannya mengepal. Dia melangkah mundar-mandir. Kepanikan yang amat sangat membuat dia tak sanggup membuka mulut! Sebaliknya di dalam kamar istrinya terdengar menangis meraungraung. Mana anakku! Mana anakku! pekik ratap perempuan itu. Galuh! Galuh Warsih, di mana kau anak? Oh Galuh! Tuhan! Di mana anakku, Tuhan. Tenggorokan Bupati Sentot Sastra turun naik. Dadanya menggelora. Kematian kedua belas pengawal kadipaten itu

membuat kepalanya serasa mau pecah oleh luapan darah! Di samping itu yang membuat dia tak bisa diam dan seperti mau gila ialah karena tidak mengetahui di mana anak gadisnya saat itu atau apa yang telah terjadi dengan Galuh Warsih! Melihat kepada kenyataan yang terjadi, pasti nasib Galuh Warsih tidak lebih baik dari kedua belas anak buahnya itu! Kepada siapakah kemarahan yang meluap itu hendak dilampiaskannya?! Laki-laki ini melangkah terus mundar-mandir! Setahunya sekitar perjalanan antara Kaliurang dan Kaliprogo Wtan tak ada gerombolan rampok jahat! Lantas siapakah yang telah melakukan kebiadaban terkutuk itu?! Siapa yang menculik anak gadisnya? Anak tunggal satu-satunya yang menjadi kesayangan tambatan hati?! Dan sementara itu telinganya tiada henti mendengar ratap tangis istrinya yang bukan saja menyayat hati tapi juga membuat darah di dalam tubuhnya semakin bergejolak mendidih! Di langkan kadipaten itu, pada sisi-sisi tangga sebelah atas terdapat masing-masing sebuah arca Batara Wisnu yang duduk di atas seekor burung rajawali yang tengah mengembangkan sayapnya. Mungkin karena luapan amarah yang tak terkendalikan dan tak tentu kepada siapa dilampiaskan, ditambah pula mendengar ratap tangis istrinya di dalam, maka sewaktu melewati arca itu untuk kesekian kalinya, tiba-tiba Bupati Sentot Sastra menghantamkan tinju kanannya! Braak! Arca Batara Wisnu hancur berkeping-keping! Itulah ilmu Pukulan Genta Kematian. Kalau arca batu yang keras itu sekali pukul saja sanggup dibikin hancur berkeping-keping, maka jika dipukulkan kepada manusia tentulah tak dapat dibayangkan bagaimana akibatnya! Sementara itu, para pembantu Sentot Sastra yang berdiri di langkan kadipaten itu masing-masing sama merasa takut dan cemas. Khawatir mereka kalau-kalau dalam amarah gelap mata seperti itu, diri mereka pula yang bakal ketiban pulung dihantam Sang Bupati! Tiba-tiba laksana halilintar di siang hari layaknya berteriaklah Sentot Sastra. Semua pembantu-pembantunya yang berjumlah lima belas orang diperintahkannya untuk bersiap-siap. Kita akan ulangi lagi penyelidikan! teriaknya. Kau Darjakumara, bersama enam orang lainnya menyelidik ke jurusan

Kaliprogo Wetan dan sekitarnya. Aku dan yang lain-lain ke timur! Kalian harus berhasil mencari jejak manusia yang telah melakukan kebiadaban ini! Harus berhasil membekuk batang lehernya! Siapa yang kembali sebelum dapatkan itu manusia durjana akan kubunuh! Sekarang siapkan kudaku! Seorang pembantu Sentot Sastra segera berlalu untuk menyiapkan kuda Sang Bupati sedang yang lain-lainnya segera pula meninggalkan langkan kadipaten guna mengambil kuda masingmasing dan mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan dalam perjalanan mencari manusia biang penimbul malapetaka itu. Mereka masing-masing menyadari bahwa pencarian itu tidak akan berhasil dalam tempo yang singkat, tapi memakan waktu berhari-hari. Selang beberapa ketika lima belas penunggang kuda ditambah dengan Sentot Sastra sendiri sudah berkumpul di halaman kadipaten. Mereka siap menunggu perintah dan langkah-langkah terakhir yang harus mereka lakukan. Bupati Sentot Sastra menyapu paras kelima belas orang anak buahnya itu lalu berkata, Sekali lagi kalian ingat baik-baik. Kalian musti temukan bangsat itu dan seret dia hidup-hidup ke sini! Jika tak berhasil menemuinya, lebih baik tidak usah kembali! Kalian menger... Bupati Sentot Sastra tidak teruskan ucapannya. Sepasang matanya kini tidak lagi menyaputi paras pembantu-pembantunya satu demi satu melainkan dialihkan ke lereng bukit di sebelah selatan. Sentot Sastra seorang yang berilmu cukup tinggi sehingga meskipun jarak bukit dengan tempatnya berada saat itu terpisah hampir dua ratus tombak namun sepasang telinganya lapat-lapat mendengar suara siulan aneh yang menggelombang tiada nada dalam lagu tak menentu! Lima belas pasang mata pembantu-pembantu Sentot Sastra sama dialihkan pula ke lereng bukit di sebelah selatan itu. Dan di kejauhan kelihatanlah sesosok tubuh laki-laki berlari sangat cepatnya laksana angin! Yang anehnya ialah pada pundak kiri lakilaki ini terpanggul sebuah peti yang melihat kepada besarnya pasti puluhan kati beratnya! Sewaktu semua orang itu pertama kali melihat manusia yang berlari cepat tersebut, jarak mereka demikian jauhnya namun dalam beberapa kejapan mata kemudian tahu-tahu si manusia pemanggul peti sudah berada di halaman kadipaten di hadapan Bupati Sentot

Sastra dan pembantu-pembantunya! Ternyata manusia pemanggul peti kayu itu seorang pemuda berambut gondrong, bertampang keren dan punya pandangan mata yang tajam menyorot. Peti yang di pundaknya beratnya puluhan kati tapi dia berdiri seakan-akan peti itu sama sekali tidak ada di pundaknya! Pemuda tak dikenal ini kemudian hentikan siulannya. Begitu siulan berhenti maka dari celah-celah papan peti yang tidak begitu rapat menyebarkan bau busuk yang seperti mau meranggas bulu hidung, membuat nafas sesak dan mau muntah. Lima belas pembantu Sentot Sastra yang tak tahan segera menutup hidung sedang Sentot Sastra sendiri dengan ilmunya yang sudah tinggi tutup jalan pernafasannya. Si pemuda rambut gondrong yang tak dikenal menggaruk-garuk kepalanya beberapa kali. Sikapnya ini membuat Bupati Sentot Sastra kehilangan kesabarannya dan hendak mendamprat. Namun sebelum mulutnya terbuka si pemuda asing sudah buka suara bertanya. Apakah aku berhadapan dengan Bupati Kaliurang yang bernama Sentot Sastra? Jawab dulu kau siapa?! sentak Sentot Sastra. Siapa aku tidak penting. katanya. Aku datang membawa peti ini untukmu. Peti apa?! Apa isi peti itu! Si pemuda menghela nafas dalam dan rawan. Peti ini membawa berita buruk bagimu, Bupati. Jangan bicara berbelit-belit! Turunkan peti itu, aku mau lihat isinya! Si pemuda garuk lagi kepalanya yang berambut gondrong lalu dengan sikap acuh tak acuh turunkan peti kayu yang berat dari pundaknya. Bersamaan dengan itu Sentot Sastra melompat dari punggung kuda. Dia maju mendekati peti. Sebelum melangkah lebih dekat dia tiba-tiba ajukan satu pertanyaan, Apakah seseorang menyuruhmu mengirimkan peti ini padaku?! Si pemuda tertawa aneh dan angkat bahunya. Sentot Sastra penasaran dan gusar sekali melihat sikap pemuda tak dikenal ini. Dia berpaling pada anak buahnya dan memerintah, Buka peti itu! Yang diperintah turun dari kudanya. Dengan masih menutup hidung karena tak tahan dilanda bau busuk yang amat sangat itu dia

melangkah mendekati peti kayu lalu dengan tangan kiri yang gemetaran dibukanya kayu penutup peti! Begitu peti terbuka bau busuk yang lebih dahsyat menyambar hidung. Ketika memandang ke dalam peti kayu itu semua orang mengeluarkan seruan tertahan dan mata masing-masing melotot besar laksana mau berlompatan dari rongganya! Di dalam peti itu terbujur sesosok tubuh manusia bertelanjang bulat. Kulitnya sudah membiru dan memar. Di beberapa bagian kelihatan bekas penganaiayaan. Dan manusia yang sudah menjadi mayat busuk ini tiada lain adalah Galuh Warsih, anak kandung Bupati Sentot Sastra sendiri! Maka menggunturlah bentakan Sentot Sastra! Kurung dan cincang sampai lumat manusia ini! Begitu perintah terdengar begitu lima belas golok panjang yang berkilauan ditimpa sinar matahari dicabut dari sarungnya. Sentot Sastra sendiri sudah lebih dahulu melompat ke muka dengan senjatanya yaitu sepasang pedang ungu! Melihat dirinya diserang mendadak begitu rupa, pemuda rambut gondrong segera berseru. Tunggu! Tahan dulu! Aku belum kasih keterangan! Iblis bermuka manusia biadab terkutuk! Kasihlah keterangan pada hantu kuburmu nanti! teriak Sentot Sastra! Dan sesudah itu tujuh belas senjata pun berkiblatlah menyerang ke satu sasaran yaitu tubuh pemuda berambut gondrong!

***

WIRO SABLENG PENDEKAR TERKUTUK PEMETIK BUNGA

EMUDA berambut gondrong membentak gusar. Manusia tolol! Geblek sedeng! Orang datang baik-baik. Malah disambut dengan ujung senjata! Gila betul! Makian ini tentu saja membuat Sentot Sastra dan kelima belas anak buahnya menjadi semakin ganas dan kalap. Bagi mereka tidak bisa tidak pemuda asing itulah yang telah membunuh dan merusak kehormatan Galuh Warsih! Tujuh belas senjata berlomba-lomba, menderu dahsyat menggempur si pemuda. Pemuda itu dalam setengah jurus saja sudah terkurung rapat! Manusia-manusia tolol! Apakah kalian tidak mau hentikan serangan dan beri kesempatan aku kasih keterangan?! Anjing kurap, mampuslah! damprat Sentot Sastra dan sepasang pedangnya membacok dari dua jurus yang berlawanan sedang lima belas golok anak buahnya saling berlomba mencari sasaran di tubuh si pemuda! Manusia-manusia tak tahu diri! Jika kalian tidak mau hentikan kegilaan ini, jangan menyesal! Si pemuda membentak laksana geledek, keluarkan satu siulan aneh yang menusuk dan menyakitkan liang telinga. Dalam kejap itu pula tubuhnyapun lenyap dari pemandangan. Sepasang pedang Sentot Sastra dan lima belas golok anak buahnya membabat angin kosong, saling bentrokan satu sama lain dan menimbulkan suara nyaring, bunga-bunga api bergemerlapan! Mendengar suara ributnya bentakan-bentakan, mendengar suara berkecamuknya senjata di halaman rumah, Karsih Wardah, istri Bupati Sentot Sastra terkesiap, dia hentikan tangisnya dan dengan senggak-sengguk lari ke langkan. Betapa terkejutnya sewaktu menyaksikan suaminya dan lima belas orang pembantu kadipaten tengah mengeroyok seorang pemuda berambut gondrong tak dikenal yang hanya bertangan kosong dan terpaksa berkelebat kian kemari

guna mengelakkan serangan-serangan yang sangat ganas itu! Belum habis herannya Karsih Wardah melihat pertempuran yang berkecamuk itu, maka dua matanya yang telah sembab karena menangis membentur pada sebuah peti besar yang terletak di tanah. Sementara itu lobang hidungnya dirambas oleh bau busuk yang tak dapat dipastikan dari mana asalnya! Sentot Sastra dan anak-anak buahnya mana mau ambil perduli peringatan si rambut gondrong malah dia memerintahkan agar menggempur pemuda rambut gondrong itu lebih hebat lagi! Dasar bodoh, dasar geblek buta mata! maki si pemuda. Sambil berguling di tanah disambarnya papan besar penutup peti. Ayo manusia-manusia keblinger, majulah! Dan ketika Sentot Sastra bersama pembantu-pembantunya masih juga kalap menyerang maka si pemuda lemparkan penutup peti itu ke arah mereka. Sentot Sastra cepat melompat ke samping tapi tiga orang pembantunya yang tak sempat mengelak terjerongkang di tanah sewaktu dada mereka dilabrak penutup peti. Dengan bertolak pinggang dan sambil tertawa-tawa si pemuda rambut gondrong berkata mengejek. Masih buta mata gelap pikiran, silahkan maju lagi! Rahang Sentot Sastra bergemeletakan. Mulutnya mengeluarkan suara menggeram. Bupati Kaliurang ini berteriak keras, Bentuk barisan roda maut! Maka kedua belas orang anak buahnya segera bergerak cepat membentuk lingkaran. Sekali bupati itu berteriak memberi isyarat maka kedua belas orang itupun bergeraklah berlari lari cepat dalam lingkaran yang makin lama makin menciut sedang senjata masingmasing membabat dari dua belas jurus, diseling dengan tikaman atau tusukan dan diperhebat oleh kiblatan sepasang pedang Bupati Sentot Sastra. Pakaian putih dan rambut gondrong si pemuda berkibar-kibar oleh sambaran senjata. Debu dan pasir beterbangan ke udara sedang barisan roda maut semakin menciut juga! Orang tolol memang susah dikasih pelajaran kalau tidak digebuk! Berbacotlah sepuasmu manusia laknat! Sebentar lagi tubuhmu akan berkeping cerai berai! teriak Sentot Sastra. Baru saja ia habis berkata begitu si pemuda bersuit nyaring. Tubuhnya berkelebat dua kali. Suara seperti orang tercekik terdengar susul menyusul! Dan sewaktu Sentot Sastra merasa bahwa cuma

dirinya saja kini yang sendirian mencak-mencak mengirimkan serangan maka laki-laki ini segera melompat keluar dari kalangan pertempuran! Kemudian bila dilayangkannya pandangannya berkeliling maka tiada terkirakan kagetnya! Kedua belas pembantunya berdiri laksana patung tak bergerak-gerak karena masing-masing mereka sudah kena ditotok oleh pemuda yang sangat lihai itu! Nyatalah bagi Sentot Sastra bahwa pemuda itu tinggi sekali ilmunya dan bukan tandingannya. Kalau saja dia ingin mencelakai diri dan orang-orangnya pastilah tidak sukar bagi pemuda itu untuk melaksanakannya! Namun gelap mata karena menyangka keras bahwa pemuda itulah yang menjadi pembunuh anak kandungnya serta menamatkan pembantu-pembantunya di tikungan jalan antara Kaliurang dan Kaliprogo Wetan, ditambah lagi saat itu istrinya Karsih Wardah dilihatnya lari menghambur dan menubruk peti di mana mayat Galuh Warsih terbujur dan berteriak-teriak macam orang hilang ingatan, maka meski dua belas anak buahnya ditotok tak bergerak, meski tiga lainnya menggeletak pingsan, namun Sentot Sastra tetap membara dadanya, tetap berkobar nyalinya untuk dapat membunuh menamatkan riwayat si pemuda! Karenanya di saat pemuda itu berdiri tolak pinggang dan tertawa-tawa, Sentot Sastra segera menyerbu kembali dengan sepasang pedang ungunya. Permainan sepasang pedang Bupati Kaliurang itu memang patut dipuji. Apalagi kini dia mengeluarkan jurus-jurus simpanan yang sangat diandalkannya. Dua gulung sinar ungu yang laksana sepasang naga membungkus sekujur tubuh pemuda rambut gondrong dari atas ke bawah! Namun agaknya, walau bagaimanapun kehebatan ilmu pedang Sang Bupati, walau bagaimanapun lihai dan sukar diduga tipu-tipu ilmu silatnya tetap saja dia tak dapat menghajar si pemuda! Jangankan menebas atau membacok tubuh lawannya, menggores atau merobek bajunya saja pun Sentot Sastra tidak sanggup! Bupati Sentot Sastra! seru si pemuda. Apakah kau masih gelap mata mau meneruskan pertempuran ini?! Iblis neraka, tutup mulut! Sebelum kutebas kau punya batang leher, sebelum kucungkil kau punya jantung dan hati, pertempuran ini sampai kiamat pun tak akan kuhentikan! Hebat sekali nyalimu! memuji si pemuda sejujurnya namun mimiknya melontarkan senyum sinis! Tapi aku dan kau tiada

permusuhan, mengapa musti bertempur begini rupa?! Tidak ada permusuhan bapak moyang setanmu! bentak Sentot Sastra penuh beringas! Anakku kau rusak kehormatannya, kau bunuh! Tobat... tobat! Si pemuda pukul-pukul keningnya dengan telapak tangan kiri. Justru aku datang ke sini untuk mengantar mayat anakmu yang kutemui di bukit! Eh, malah-malah aku yang dituduh jadi pembunuh! Dituduh tukang perkosa! Tobat! Tak usah membual atau jual mulut! Siapa membual, siapa jual mulut?! Sesudah melakukan perbuatan terkutuk, kau pura-pura berbuat baik dan cuci tangan, huh?! Buset! Si pemuda garuk-garuk kepala dan mengomel. Kalau tahu bakal ketiban pulung begini, tidak nanti aku mau susah-susah bawa mayat kau punya anak ke mari, Bupati! Sudah! tak perlu banyak rewel! Pokoknya kau harus serahkan batang lehermu! teriak Sentot Sastra dan serentak dengan itu kembali dia menyerbu si pemuda. Yang diserang geleng-gelengkan kepala. Sewaktu pedang ungu itu dengan segala kehebatannya memapas dari kiri kanan siap membabat putus tubuh si pemuda menjadi tiga kutungan, maka si pemuda geser kakinya satu langkah. Serentak dengan itu kedua tangannya bergerak cepat hampir tak kelihatan, memukul badan kedua pedang. Sentot Sastra berseru keras, ia merasa terkejut sewaktu menyaksikan bagaimana sepasang pedangnya lepas dan mental dari tangannya! Sebaliknya si pemuda tertawa gelak-gelak. Kalau masih punya niat main amuk-amukan, silahkan ambil kembali pedangmu, Bupati! Mengelam muka Sentot Sastra mendengar ejekan yang sekaligus merupakan tantangan itu. Karena malu dia tidak ambil kedua senjata itu melainkan kerahkan tenaga dalamnya ke tangan kiri kanan terus ke ujung-ujung jari! Heemm... pukulan apakah yang kau hendak lancarkan? mencemooh si pemuda! Sentot Sastra merutuk dalam hatinya. Meski kesaktianmu setinggi langit, jangan harap kau sanggup menerima Pukulan Genta Kematianku ini! kata Bupati Kaliurang itu pula. Dengan menyebutkan nama ilmu pukulan yang diyakininya

selama tujuh tahun itu dia berharap si pemuda akan kaget dan menciut nyalinya. Tapi apa lacur! Malah si pemuda tertawa bekakakan ketika mendengar nama ilmu pukulannya itu! Setahuku genta adalah semacam klenengan yang dikalungkan di leher sapi atau kerbau! Itukah nama ilmu pukulanmu? Tentunya kau berguru pada seekor sapi? Ha... ha... ha...! Kekalapan Sentot Sastra bukan alang kepalang. Bentakannya mengguntur. Kedua lengannya bergetar dan terpentang. Sekejapan mata kemudian tubuhnya lenyap dalam lompatan kilat setinggi tiga tombak. Sewaktu melewati si pemuda dia kirimkan dua tendangan sekaligus! Si pemuda merunduk dan pada waktu itulah gerakan lihai yang mengandalkan ilmu mengentengi tubuh yang sempurna, Sentot Sastra balikkan tubuh dan hantamkan kedua kepalannya ke kepala lawan! Si pemuda yang merasakan angin pukulan sangat keras menerpa belakang kepalanya bersuit nyaring, rundukkan kepala dan secepat kilat putar tubuh! Muka Bupati Sentot Sastra dari Kaliurang itu mendadak sontak menjadi pucat pasi sewaktu lima jari tangan kanan pemuda lawannya laksana japitan baja, sekaligus mencekal kedua lengannya sehingga tak sedikitpun dia bisa berkutik! Dan bukan itu saja, dari jari-jari tangan itu dirasakannya aliran aneh yang sejuk dingin menjalar ke lengannya, terus ke bahu dan sekujur tubuhnya! Luapan amarah yang membakar dan menggelorai darahnya kini mengendur. Pikiran jernih kini muncul di benaknya. Tubuhnya lemah lunglai, keringat dingin memercik di keningnya. Akhirnya Sentot Sastra jatuh duduk menjelepok di tanah sewaktu pemuda itu lepaskan cekalan pada kedua lengannya! Orang muda, siapakah kau sebetulnya? tanya Sentot Sastra. Nada suaranya kini tidak keras dan tidak bernada marah lagi seperti tadi-tadi. Si pemuda tertawa. Aku datang ke sini bukan untuk mengobral nama atau kasih keterangan siapa aku, tapi untuk menolong mengantarkan mayat anakmu. Sentot Sastra memutar kepalanya ke arah peti. Istrinya dilihatnya terkulai pingsan di tepi peti itu, sedang dua belas pembantupembantunya sampai itu saat masih berdiri mematung dalam keadaan tertotok!

Sang Bupati kembali palingkan kepala pada si pemuda. Lama dia menatap paras pemuda itu. Dan pada paras yang masih muda belia itu kini dapat dilihatnya sifat kesatria gagah perkasa dan kejujuran. Orang muda, kau betul-betul tidak melakukan perbuatan terkutuk terhadap anakku? Si pemuda gelengkan kepala. Lantas siapa yang melakukannya? Si pemuda angkat bahu. Aku pun tengah mencarinya! Dunia persilatan kini dihebohkan oleh munculnya seorang pendekar terkutuk berjubah hitam dengan bunga-bunga kuning. Nama aslinya aku tidak tahu tapi dia digelari sebagai Pendekar Pemetik Bunga! Pendekar Pemetik Bunga! mengulang Sentot Sastra. Yaaa... aku pernah dengar tentang manusia durjana itu! Tapi dulu dia cuma malang melintang di barat, kini tahu-tahu muncul di sekitar sini...! Kunyuk lapar perempuan begitu, di mana ada perempuan cantik pasti di situ dia muncul unjuk tampang bikin kejahatan! menyahuti si pemuda. Perlahan-lahan Sentot Sastra berdiri kembali. Kedua tangannya mengepal. Aku akan cari bangsat itu sampai dapat dan habiskan nyawanya! Pemuda rambut gondrong naikkan kedua alis matanya. Jangankan kau, gurunya sendiri yang jauh lebih sakti sanggup dibunuhnya! Lantas apakah aku akan berpangku tangan melihat anakku dibunuh dan dirusak begini rupa?! tanya Sentot Sastra hampir berteriak. Aku hargai keberanianmu, Bupati. memuji si pemuda. Tapi keberanian yang hanya mengendalikan nafsu besar kekuatan nihil, adalah keberanian buta. Kau akan mati sia-sia di tangannya! Kematian bukan apa-apa bagiku! Semua manusia nantinya akan mati juga... Terserah padamu, Bupati. Aku cuma kasih nasihat! Mungkin nasihatku tidak ada harganya. Sentot Sastra termangu-mangu beberapa lamanya. Tiba-tiba dia berseru sewaktu dilihatnya pemuda di hadapannya putar tubuh hendak berlalu. Orang muda, tunggu! kau mau ke mana? Aku masih ada urusan lain. Sampai jumpa, Bupati. Kau masih belum terangkan namamu.

Pemuda itu tertawa lagi. Begitu murah tertawa baginya. Aku sudah bilang namaku tidak penting. Penting atau tidak penting itu bukan urusan. Tapi padaku kau tetap harus kasih tahu! Dan pembantu-pembantuku ini kau harus lepaskan totokannya kembali! Pijit saja tengkuknya satu-satu, pasti totokannya lepas. memberi tahu si pemuda. Sudahlah, kalau kau penasaran lihat saja bagian kepala dari peti kayu itu. Di situ tertulis namaku! kata si pemuda pula. Cepat-cepat Sentot Sastra melangkah ke bagian kepala peti di dalam mana mayat anaknya terbujur. Yang ditemui bupati itu di sana bukan tulisan atau huruf yang membentuk nama, melainkan pada kayu di kepala peti itu tertera tiga buah angka yaitu 212. Dua satu dua! seru Sentot Sastra kaget. Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212. Dipalingkannya kepalanya. Kejutnya bertambah-tambah. Pemuda tadi sudah tak ada lagi di tempat itu! Sentot Sastra geleng-gelengkan kepalanya tiada henti. Tidak sangka dia akan berhadapan dengan pendekar bersifat kocak yang kadangkala seperti orang sinting, tapi bertampang keren dan berhati jujur, penolong manusia-manusia yang tertindas, penghancur kejahatan, momok tokoh-tokoh silat golongan hitam! Pantas, pantas... kiranya dia. Pantas, mana aku sanggup menghadapinya! kata Sentot Sastra pula dan dia melangkah mendapatkan istrinya yang pingsan di tepi peti.

***

WIRO SABLENG PENDEKAR TERKUTUK PEMETIK BUNGA

UA PULUH tahun yang silam. Tak berapa jauh dari kaki Welangmanuk terdapat sebuah pedataran tinggi yang subur. Kebun sayur-mayur terbentang menghijau di mana-mana. Bila seseorang berdiri di atas pedataran tinggi ini dan memandang ke bawah maka tampaklah pemandangan yang sangat indah dari Lembah Manukwilis. Di atas pedataran tinggi itu terletaklah sebuah bangunan dari tembok yang selain besar juga sangat bagus bentuknya. Keseluruhan bangunan ini dicat putih dan dipagari dengan tembok setinggi lima tombak. Untuk masuk ke halaman dalam bangunan cuma ada sebuah pintu. Pintu ini juga terbuat dari batu yang hanya bisa dibuka secara rahasia. Kalau bukan orang yang berilmu sangat tinggi jangan harap bisa masuk ke dalam halaman bangunan karena di atas tombak yang tingginya lima tombak itu masih ditancapi lagi dengan besi-besi runcing berduri-duri panjang setinggi tiga tombak! Bangunan atau gedung apakah sesungguhnya yang terdapat di belakang tembok itu dan siapakah pemiliknya? Konon kabarnya gedung itu adalah sebuah biara. Biara itu kini diketuai oleh seorang biarawati bernama Wilarani. Biarawati ini sudah lanjut usianya, hampir mencapai enam puluh tahun. Dulunya semasa muda dia merupakan seorang gadis cantik yang tersiar harum ke mana-mana kecantikannya itu. Kebahagiaan hidup muda remajanya hancur luluh sewaktu kekasih yang dicintainya lari meninggalkannya dan kawin dengan seorang anak bangsawan kaya raya sedangkan Wilarani sendiri adalah anak petani miskin. Keputusasaan karena patah hati itu membawa akibat yang mendalam bagi Wilarani. Orang tuanya berusaha mencarikan jodoh lain untuknya, namun kegetiran percintaan yang telah dialami oleh Wilarani, yang membawa dirinya masuk ke dalam lembah makan hati dan kesengsaraan batin tak dapat lagi ditawar-tawar dengan obat apapun, sekalipun dengan pemuda-pemuda gagah lainnya, sekalipun

puluhan pemuda-pemuda sekitar tempat kediamannya dan dari jauhjauh datang melamar serta tergila-gila kepadanya! Bagi Wilarani dunia ini sudah bukan apa-apa lagi. Di matanya cinta murni itu, cinta suci sejati hanya ada dalam mulut, tidak dalam kenyataan! Dalam keputusasaan karena patah hati, dalam kehancuran batin dan kegelapan pemandangan, apalagi sewaktu kedua orang tuanya meninggal dunia, maka Wilarani yang saat itu sudah berumur hampir tiga puluh dan pemuda-pemuda yang dulu menggilainya tapi tak kesampaian memetik bunga harum sekuntum itu telah mulai menyiarkan ejekan-ejekan bahwa dia kini sudah menjadi perawan tua, akhirnya Wilarani mengambil keputusan untuk meninggalkan rumah dan kampung halaman tempat kelahirannya. Dia pergi tanpa tujuan. Hampir satu tahun dia malang melintang tiada karuan. Keadaannya sudah demikian menyedihkan, pakaian compang camping dan tubuh kurus sakit-sakitan. Hanya satu bukti kehidupan masa mudanya yang sampai saat itu masih dimilikinya, yaitu parasnya yang cantik. Paras itu masih belum pupus kejelitaannya meski pada tepi-tepi matanya telah timbul garis-garis ketuaan dan pada pipi yang agak cekung mulai membayang kerenyut-kerenyut. Dan kecantikan yang masih belum pupus inilah yang membuatnya suatu ketika dihadang oleh segerombolan rampokrampok buas di tengah rimba belantara. Dia diseret ke sarang rampok. Pimpinan rampok memerintahkan pembantu-pembantunya yaitu beberapa orang perempuan untuk memandikan dan membersihkan tubuh Wilarani, memberinya pakaian yang bagus dan harum-haruman. Wilarani tahu apa arti itu semua, namun daya apa yang akan dibuatnya untuk mempertahankan diri serta kehormatannya?! Dia dimasukkan ke dalam sebuah kamar yang sangat bagus dan tak lama kemudian pemimpin rampok bertampang buruk buas bercambang bawuk menjijikkan masuk ke dalam kamar itu! Si kepala rampok bersinar-sinar sepasang bola matanya. Dibasahinya bibirnya dengan ujung lidah dan berkata disertai seringai buruk dan hidung kembang kempis. Ternyata kau seorang perempuan jelita! Ahh... kecantikanmu tidak kalah dengan gundikgundikku yang paling cantik di sini! Kepala rampok itu melangkah mendekati Wilarani yang berdiri dengan lutut gemetar serta muka pucat pasi di sudut kamar.

He... he... kenapa menyudut ketakutan? Aku bukan macan yang mau menelanmu bulat-bulat! Tapi laki-laki kuat yang akan merangkulmu penuh nikmat! Ha... ha... ha...! Kemudian peluk dan ciuman pun datang bertubi-tubi atas diri Wilarani. Perempuan itu menjerit-jerit tiada hentinya dan mendorong si kepala rampok hingga terjerongkang ke tepi tempat tidur! Kepala rampok itu duduk di tepi tempat tidur dan tertawa cengar-cengir. Wilarani lari ke pintu tapi pintu itu dikunci! Perempuan, kata si kepala rampok, parasmu cantik, tubuhmu halus mulus. Aku tak mau gunakan kekerasan padamu. Karenanya turut saja apa mauku! Ayo buka pakaianmu biar aku bisa lekas-lekas lihat keindahan tubuhmu! Laki-laki durjana! Lepaskan aku! Keluarkan aku dari sini! Si kepala rampok tertawa gelak-gelak. Dia bangkit dari tempat tidur. Kalau tak mau buka baju sendiri berarti terpaksa aku yang telanjangi kau! katanya. Diterkamnya Wilarani. Jari-jari tangannya yang besar-besar bergerak kian kemari merobeki seluruh pakaian yang melekat di tubuh Wilarani! Perempuan itu menjerit! Menjerit dan menjerit! Mendadak di luar terdengar pula suara jeritan. Terdengar lagi susul-menyusul tiada henti dan dibarengi dengan suara beradunya senjata! Belum habis kejut si kepala rampok tahu-tahu pintu kamar di dalam mana dia berada bersama Wilarani untuk melampiaskan nafsu terkutuknya ditendang bobol dari luar dan sesaat kemudian sesosok tubuh menerobos masuk ke dalam! Yang masuk ternyata seorang nenek-nenek tua berkepala botak berjubah putih. Di tangannya sebelah kanan tergenggam seikat sapu lidi! Iblis tua dari manakah yang berani membuat kekacauan di sini?! bentak si kepala rampok dengan beringas! Si nenek tertawa melengking-lengking. Iblis tua dari neraka, kunyuk berewok! balasnya membentak. Aku diutus oleh setansetan neraka untuk minta kau punya jiwa! Dan habis berkata begini si nenek sapukan sapu lidi di tangan kanannya! Kepala rampok terkejut sekali! Dia tak menyangka kalau sapu lidi itu adalah satu senjata ampuh yang dapat melepaskan angin pukulan laksana badai hebatnya! Sambil membentak garang laki-laki itu segera cabut goloknya yang mempunyai panjang satu setengah meter dan lebar hampir

satu jengkal! Si nenek ganda tertawa melihat senjata lawannya. Dan sewaktu kepala rampok itu menerjang dengan satu tebasan lihai mematikan, si nenek kepala botak melengking-lengking lagi, berkelebat cepat dan tebasan golok kepala rampok hanya melanda angin kosong! Kejut si kepala rampok bukan olah-olah. Jurus yang dilancarkannya tadi adalah jurus Ekor Naga Menabas Gunung! Selama ini tak satu pun manusia yang selamat dari serangannya yang dahsyat itu. Tapi si nenek kepala botak mengelakkannya dengan mudah dan sambil tertawa melengking-lengking! Belum lagi habis kejut kepala rampok ini tahu-tahu ujung sapu lidi si nenek menusuk laksana kilat ke mukanya. Kepala rampok berseru kaget dan mundur cepat ke belakang. Tapi punggungnya tertahan tembok kamar! Dan sementara itu ujung sapu lawan memburu terus ke mukanya! Terdengar jeritan laki-laki itu! Seluruh mukanya hancur berlubang-lubang laksana dipantek ratusan paku. Matanya telah buta dan darah membanjir membasahi mukanya yang mengerikan itu! Dia melolong laksana srigala haus darah. Kedua telapak tangan menekap muka. Tubuhnya kemudian jatuh terjerembab ke lantai, menggelepar-gelepar beberapa kali lalu menggeletak tiada nyawa lagi! Perempuan, kau lekas ikut! berseru si nenek kepala botak pada Wilarani. Wilarani yang masih dikungkung rasa terkejut dan ngeri tidak segera bergerak mengikuti kata-kata si nenek! Sementara itu di luar terdengar suara puluhan kaki datang berlari mendekati kamar itu! Ayo lekas! teriak si nenek. Nenek, kau siapakah? A... aaaku... Perempuan geblek! Sekarang bukan saatnya bertanya! Si nenek kepala botak segera sambar tubuh Wilarani, memondongnya di bahu kiri lalu lari ke pintu dengan cepat. Tapi begitu dia sampai di ambang pintu, kira-kira dua puluh orang anak buah rampok sudah menghadang dengan berbagai senjata di tangan! Ini dia kunyuk tua berkepala botak yang telah membunuh sebelas orang kawan-kawan kita! teriak rampok yang terdepan! Beberapa orang di barisan terdepan itu yang telah memandang ke dalam kamar sama berteriak kaget! Anjing tua ini juga telah

bunuh pemimpin kita! Serbu! Kalau mau mampus cepatlah maju! teriak si nenek. Dibarengi dengan suara tertawanya yang melengking-lengking maka sapu lidi di tangan kanannya disapukan ke muka! Lima rampok di barisan terdepan terpekik! Tubuhnya rebah dengan muka berlumuran darah! Kawan-kawannya yang lain menjadi tambah kalap dan laksana air bah menyerbu menerobos ambang pintu, dengan serentak kiblatkan senjata masing-masing ke arah si nenek yang sampai saat itu masih memondong tubuh Wilarani di atas pundak kirinya. Wilarani sendiri saat itu sudah tidak sadarkan diri alias pingsan! Rampok-rampok bejat! Kalian memang tak perlu dikasih hidup! seru si nenek! Didahului dengan tendangan kaki kanan yang mengeluarkan angin dahsyat si nenek putar sapunya sekeliling tubuh! Maka susul menyusullah suara pekik kematian belasan rampok! Yang masih hidup tidak punya nyali lagi meneruskan mengeroyok si nenek yang mereka anggap bukannya manusia tapi benar-benar iblis! Mereka yang masih hidup ini segera ambil langkah seribu. Tapi si nenek mana mau kasih ampun! Meski rampok-rampok itu sudah lari beberapa jauhnya, dengan kebutan sapu lidinya yang sakti itu semua perampok yang larikan diri jungkir balik berpelantingan dan menemui kematiannya! *** Sewaktu Wilarani siuman didapatinya dirinya berada dalam sebuah kamar yang bagus dan si nenek kepala botak berjubah putih dilihatnya duduk di sebuah kursi goyang, duduk asyik menggoyanggoyangkan tubuhnya sambil tertawa-tawa dan makan sepotong roti. Wilarani bangkit dari pembaringan di mana dia ditidurkan. Sewaktu dia meneliti dirinya ternyata dia telah mengenakan baju jubah putih yang bagus berenda-renda setiap tepinya. Si nenek terus juga bergoyang-goyang di kursi itu terus juga memakan rotinya. Nenek... Akh... kau sudah siuman Wilarani? Bagus-bagus! Wilarani terkejut sewaktu si nenek menyebut namanya. Dari mana perempuan tua ini tahu dirinya. Sedangkan dia sendiri baru

kali ini bertemu muka. Kau tidak perlu heran bila aku mengenal namamu. bicara lagi si nenek. Lalu dicampakkannya tepi roti yang keras lewat jendela kamar. Wilarani memandang sekilas lewat jendela itu. Di luar dilihatnya tembok putih yang sangat tinggi menghalangi pemandangan. Pada bagian atas tembok terdapat besi-besi berduri setinggi beberapa tombak. Kemudian perempuan ini alihkan kembali pandangannya pada si nenek yang duduk di kursi goyang, lalu berdiri dan melangkah ke hadapan si nenek. Di hadapan nenek kepala botak ini Wilarani menjura hormat dan berkata, Nenek, meski aku tidak kenal kau tapi kau telah selamatkan aku dari perbuatan terkutuk dan kebejatan! Aku yang buruk ini haturkan terima kasih sedalam-dalamnya... Si nenek tertawa gelak-gelak. Dari atas meja di sampingnya diambil lagi sepotong roti yang terletak di dalam piring. Wilarani menyadari betapa perutnya sangat lapar sewaktu dilihatnya roti yang di atas meja itu. Tapi si nenek tidak menawarkan kepadanya. Kau duduk saja kembali ke pembaringan itu. memerintah si nenek. Wilarani menurut dan duduk di tepi tempat tidur. Karena si nenek tidak berkata-kata dan asyik terus menggerogoti rotinya maka bertanyalah Wilarani. Nenek, apakah aku yang rendah ini boleh tahu siapa kau adanya dan di mana aku berada saat ini?! Si nenek habiskan dulu rotinya baru menjawab. Siapa aku?! He, itulah yang aku sendiri tidak tahu! Lalu nenek itu tertawa terlengking-lengking. Wilarani tak habis heran. Nenek kepala botak ini agaknya seorang sakti yang aneh misterius. Dalam pada itu si nenek membuka lagi mulutnya, berkata, Orang-orang juga sering bertanya seperti kau. Siapa aku?! Siapa aku?! Dan aku selalu bilang pada mereka aku sendiri tidak tahu! Kadang-kadang ada yang keliwatan mendesak, tanya terus, tanya terus! Lalu aku jawab aku adalah seorang nenek-nenek buruk berkepala botak! Kembali si nenek tertawa melengking-lengking! Mau tak mau Wilarani ikut pula tertawa! Ha... si nenek hela nafas. Kau bisa juga tertawa ya? Kata orang kalau banyak tertawa bisa awet muda! Tapi aku yang sudah tua semakin banyak tertawa semakin keriputan! Semakin jelek!

Wilarani tertawa cekikikan. Tapi tertawanya itu ditahan-tahan karena khawatir si nenek akan marah! Terhadap orang bersifat aneh musti berlaku hati-hati, demikian membatin Wilarani. Wilarani! berkata si nenek sesudah roti kedua dihabiskannya. Di mana kau berada saat ini pun, kau tak perlu tahu! Yang penting yang musti kau ketahui ialah bahwa kau harus diam di sini bersamaku selama dua puluh tahun! Kagetlah Wilarani. Nenek, apa maksudmu...?! tanya Wilarani. Lama si nenek berdiam diri, memandang lurus-lurus ke tembok kamar di hadapannya seakan-akan pandangannya itu hendak menembus ketebalan tembok itu. Selama dua puluh tahun itu kau sama sekali tidak boleh meninggalkan tembok ini, tidak boleh keluar dari tembok yang membatasi gedung ini! Jika kau melanggar pantangan itu, hukuman yang berat akan jatuh atas dirimu dan kau akan disekap selama empat puluh tahun di penjara di bawah tanah yang gelap gulita! Berubahlah paras Wilarani mendengar ucapan si nenek. Dia membatin, jika si nenek membawanya ke sini dengan maksud jahat mengapa dia telah ditolong dari tangan perampok-perampok itu? Tapi kini sesudah ditolong kenapa pula dia musti tinggal selama dua puluh tahun dalam gedung itu tak boleh keluar dan jika melanggar pantangan akan disekap di penjara bawah tanah selama empat puluh tahun?! Sungguh aneh! Aneh tapi diam-diam juga menggidikkan Wilarani! Kalau dia mengikuti kehendak si nenek, berarti dua puluh tahun kemudian dia sudah menjadi nenek-nenek pula dan dalam keadaan masih perawan, perawan tua! Sebaliknya bila dia membantah, dia akan disekap empat puluh tahun dalam penjara bawah tanah. Ini berarti pada saat dia dibebaskan nanti usianya sudah mencapai tujuh puluh tahun! Aku tahu apa yang kau pikirkan dalam benakmu! berkata tibatiba si nenek. Dan kau juga musti tahu banyak hal tentang dunia luar, tentang dunia persilatan! Apa yang kau ketahui tentang dunia luar, tentang dunia persilatan?! Banyak nenek... Coba sebutkan! Wilarani bungkam. Dia memang banyak mengetahui seluk-beluk dunia luar semenjak pengembaraannya meninggalkan kampung halaman dan tahu pula bahwa dunia luaran itu penuh dengan tokohtokoh persilatan kalangan hitam serta putih meskipun dia bukanlah

seorang yang telah mencemplungkan diri dalam dunia persilatan. Si nenek menyeringai. Kau bilang tahu banyak! Tapi kau tidak dapat menuturkannya! kata si nenek kepala botak yang sampai saat ini masih belum diketahui namanya oleh Wilarani. Kau tahu Wilarani, dunia yang sekarang ini tidak sama dengan sewaktu mula-mula Gusti Allah menjadikannya! Dulu dunia ini begitu suci! Tapi kini keindahan itu telah lenyap tak digubris manusiamanusia bertangan kotor berhati jahat! Kekotoran terjadi di manamana, kejahatan terjadi di mana-mana, kemesuman, ketidakadilan, penindasan, pembunuhan. Dunia kacau! Apalagi dalam kalangan persilatan. Dunia persilatan telah terpecah dua menjadi dua golongan. Golongan putih atau golongan yang mengutamakan kebaikan serta membantu sesama manusia, golongan yang bercitacita luhur demi menenteramkan bumi Tuhan ini! Sebaliknya golongan hitam mempunyai tindakan dan cita-cita yang berlawanan dengan golongan putih! Mereka membuat kejahatan, kemaksiatan, kemesuman, penindasan sampai kepada pembunuhan. Semakin hari semakin banyak juga jumlah golongan hitam ini baik yang menjadi perampok, maupun yang menjadi bergundal-bergundal kaum bangsawan atau kerajaan, atau yang bertindak malangmelintang seenaknya sendiri saja melakukan kejahatan tanpa pertanggungan jawab! Demikian banyaknya penganut golongan hitam hingga golongan putih menjadi terdesak dan kewalahan bahkan boleh dikatakan kini menjadi banyak yang tidak berdaya menghadapi bergajul-bergajul golongan hitam itu. Dan hampir keseluruhan tokoh-tokoh silat golongan hitam atau putih itu adalah laki-laki! Kaum laki-laki telah mencoba untuk menentramkan dunia ini tapi tidak berhasil. Golongan hitam telah membuat keonaran di mana-mana. Membuat ribuan manusia rakyat jelata hidup dalam kecemasan dan ketakutan dalam menghadapi hari besok dan besoknya lagi! Kaum laki-laki telah tidak berhasil menciptakan apapun di dunia ini demi keselamatan hidup bersama. Ketidakadilan, kekacauan, segala macam kejahatan, pokoknya seribu satu macam kegagalan telah dibuat kaum laki-laki! Melihat kepada kenyataan itu semua maka aku yang sudah pikun ini yang sudah tak selembar rambut pun tumbuh di batok kepalaku ini, merasa bahwa kini sudahlah saatnya bagi kaum perempuan untuk bangun, untuk bangkit menggantikan kedudukan kaum laki-laki yang

telah menemui kegagalan itu! Kaum perempuan harus bangun sebagai penegak keadilan, pembasmi kejahatan dan musti bisa menciptakan satu dunia yang aman tenteram dan damai! Lama si nenek terdiam, lama pula Wilarani termangu merenungkan ucapan-ucapan si nenek. Tapi nenek, berkata Wilarani, apakah cita-cita luhur itu mungkin berhasil..? Si nenek tertawa gelak-gelak dan menggoyang-goyangkan kursi yang didudukinya. Kenapa tidak mungkin katamu?! Apa selama ini cuma kaum lakilaki yang bisa menjagoi dunia persilatan? Apa cuma orang laki-laki yang bisa main silat dan memiliki ilmu kesaktian?! Apa cuma orang laki-laki yang becus mainkan pedang atau keris atau golok?! Kentut semua kalau orang berpikir begitu! Justru orang laki-laki kalau tidak dibrojotkan sama perempuan pasti tidak ada di dunia ini. Bukan begitu...?! Si nenek tertawa melengking-lengking. Wilarani tak dapat pula menahan rasa gelinya lalu tertawa cekikikan. Memang... memang untuk melaksanakan dan mewujudkan citacita itu tidak mudah, memakan waktu lama dan penuh pengorbanan! Kita haruslah menghubungi tokoh-tokoh silat wanita golongan putih yang masih hidup saat ini. Mereka pasti mau diajak bersama. Seperti si Sinto Weni yang diam di puncak Gunung Gede. Dulu dia menjagoi dunia persilatan selama puluhan tahun, ilmunya tinggi, dihormati kawan dan ditakuti lawan! Kabarnya kini dia sudah mengundurkan diri dari dunia persilatan dan membersihkan diri di puncak gunung itu. Namun jika aku menyambanginya dan tuturkan cita-citaku, pasti dia mau bergabung. Sifatnya sangat aneh, macam orang gila! Karena itu di dunia persilatan dia dikasih gelar si Sinto Gendeng! Nah, kalau kita punya tokoh-tokoh wanita macam Sinto Gendeng itu, masakan aku tak sanggup mewujudkan cita-citaku?! Si nenek kepala botak memalingkan kepalanya pada Wilarani. Bagaimana? Kau pilih dua puluh tahun tinggal di sini dan ikut bersamaku atau di sekap empat puluh tahun di bawah tanah?! Wilarani merenung lama sekali. Hidupnya di dunia luar sana sejak ditinggal kekasihnya memang sudah tak punya arti apa-apa. Di dunia ini dia hanya sebatang kara. Orang tua sudah meninggal, sanak saudara tidak punya. Dunia penuh dengan kekalutan dan kejahatan yang selalu memburu

manusia-manusia tak berdosa! Lagi pula sejak kekasihnya lari kawin itu keputusasaan yang mendalam membuat Wilarani kehilangan kepercayaan pada laki-laki! Baginya laki-laki tiada lain seorang penipu yang bercinta dengan mulut dan kemudian melarikan diri bila menemui perempuan lain yang lebih cantik! Yang keturunan orang baik-baik, bangsawan kaya raya! Diingatnya pula pertolongan serta jasa besar yang telah diberikan si nenek kepadanya! Setelah merenung lagi beberapa lama maka akhirnya Wilarani membuka mulut bersuara. Baiklah nenek tua, aku akan tinggal bersamamu di sini selama dua puluh tahun! Bagus! Si nenek kepala botak tertawa dengan gembiranya. Dia bergoyang-goyang beberapa lamanya di atas kursi goyangnya kemudian berkata, Besok pagi kau akan kumandikan dengan air kembang dua puluh rupa! Dan mulai besok kau kuangkat menjadi muridku! Kuakan didik kau selama dua puluh tahun! Bila otakmu cerdas dan rajin, punya kemauan, kau kelak kuangkat jadi murid kepala, mengepalai lima puluh janda-janda dan gadis-gadis yang sudah kukumpulkan di sini. Wilarani berdiri dari pembaringan dan menjura di hadapan si nenek kepala botak. Nenek, aku haturkan terima kasih karena menaruh kepercayaan padaku dan telah sudi mengambil aku jadi muridmu. Nenek itu manggut-manggut di kursi goyangnya. Dia bertepuk tiga kali. Pintu kamar terbuka. Seorang perempuan muda berparas ayu, berjubah dan bertutup (berkerudung) kain putih masuk ke dalam kamar itu, menjura di hadapan si orang tua. Biarawati Sembilan Belas siap menunggu perintah. kata perempuan ini. Umumkan pada seisi Biara Pensuci Jagat bahwa besok akan ada upacara pemandian biarawati baru yang akan kuangkat menjadi muridku secara resmi! Baik Eyang. menjura perempuan berjubah dan berkerudung kepala kain putih kemudian berlalu. Si nenek yang dipanggil Eyang oleh Biarawati Sembilan Belas tadi menepuk tangannya dua kali. Pintu terbuka lagi. Seorang perempuan muda yang berparas cantik dan juga mengenakan jubah serta kerudung kepala kain putih memasuki ruangan.

Seperti Biarawati Sembilan Belas dia menjura dan berkata, Biarawati Tiga Puluh Dua siap menunggu perintah. Dan si nenek berkata, Perintahkan biarawati-biarawati di bagian dapur menyediakan makanan untuk kawanmu yang baru ini! Biarawati Tiga Puluh Dua mengerling pada Wilarani sebentar kemudian mengangguk. Setelah menjura dia segera pula meninggalkan kamar itu.

***

WIRO SABLENG PENDEKAR TERKUTUK PEMETIK BUNGA

10

UA PULUH tahun sesudah Wilarani datang pertama kali di Biara Pensuci Jagat... Kamar itu diselimuti kesunyian. Hampir tak ada perbedaan dengan masa-masa di dua puluh tahun yang silam. Hanya dua manusia yang ada di dalam kamar itulah yang kelihatan banyak berubah. Nenek kepala botak kelihatan semakin tua. Kedua mata serta pipinya mencekung, keriput-keriput ketuaan sukar untuk dihitung berapa banyak menggores di mukanya. Umurnya sudah lebih dari sembilan puluh tahun. Namun suara dan tutur katanya tetap keras dan tegas dan pandangan matanya setajam ujung pedang! Di hadapan nenek tua kepala botak ini duduk seorang perempuan berusia setengah abad. Rambutnya hampir putih semuanya. Pada parasnya juga jelas kelihatan gurat-gurat ketuaan. Namun guratgurat ketuaan ini tiada sanggup memupus kecantikan yang dimilikinya sejak masa mudanya. Muridku Wilarani, berkata si nenek. Dua puluh tahun sudah berlalu, dua puluh tahun sudah lewat. Rasanya cepat sekali. Kalau tidak melihat kepada tampang-tampang dan perubahan yang terjadi di diri kita rasanya masa dua puluh tahun itu seperti hari kemarin saja. Dua puluh tahun mendidikmu dan memberi banyak tugas padamu tidak mengecewakanku! Sebagian besar dari cita-cita yang kita rintis sudah kelihatan buahnya. Telah banyak tokoh-tokoh golongan hitam dan rampok-rampok rimba hijau yang kita musnahkan. Cuma sayang beberapa tokoh silat perempuan golongan putih yang kita harapkan bantuannya hilang lenyap tiada kuketahui. Entah mati, entah sembunyi atau bertapa mempersuci diri! Eyang Sinto Gendeng, itu jago perempuan yang memiliki kesaktian luar biasa ketika kusambangi ke Gunung Gede, tak ada di pertapaannya! Tapi kita jangan kecewa. Cita-cita kita untuk menenteramkan dunia ini, untuk mensucikan jagat milik Tuhan ini agar kembali pada

keadaan sewaktu semulanya dulu, harus kita laksanakan! Beberapa tokoh silat perempuan sudah sepakat dengan kita untuk mengambil alih penenteram dunia ini dari tangan laki-laki. Mereka di antaranya Dewi Kerudung Biru dan Dewi Lembah Bulan Sabit. Sekalipun aku tak ada nanti usaha dan cita-cita kita musti terus dijalankan karena selama dunia ini berputar, selama itu pula kejahatan dan kekacaubalauan berlangsung! Sekarang jumlah biarawati yang ada di dalam Biara Pensuci Jagat ini sudah berjumlah seratus orang. Seratus satu dengan kau dan seratus dua dengan aku. Lima puluh dari biarawati-biarawati itu adalah angkatan tua yang seangkatan dengan kau tapi dibandingkan dengan kau, ilmumu jauh lebih tinggi. Kau sudah mewariskan seluruh ilmuku, Wilarani. Yang lima puluh lainnya adalah biarawati dari golongan baru, yang masih muda-muda. Kau dan kawan-kawanmu harus ajarkan ilmu kesaktian yang aku pernah ajarkan pada mereka. Bila tiba saatnya mereka harus disebar di seluruh pelosok guna menjalankan tugas yang dibebankan oleh cita-cita kita bersama! Si nenek kepala botak memandang ke langit-langit kamar. Ketika kepalanya diturunkan kembali dia bicara lagi maka suaranya bernada rawan. Wilarani, hari ini sudah tiba saatnya bagiku untuk menerangkan siapa namaku. Wilarani memandang serius pada gurunya. Selama ini kau memanggil aku dengan sebutan nenek. Biarawati-biarawati lainnya memanggilku dengan sebutan Eyang, namun siapa aku tetap tak satupun dari kalian yang tahu! Nenek ini terbatuk-batuk beberapa kali baru meneruskan, Namaku Supit Jagat. Nama Supit Jagat ini bukan ibu atau bapakku yang memberikannya tapi guruku sendiri, jadi nenek guru bagimu! Guruku itu sendiri namanya adalah Supit Jagat pula! Ketika dia mau meninggal dunia dia memberi pesan agar namanya itu kuambil sebagai nama..! Sebelumnya aku tiada bernama dan beliau cuma memanggilku dengan sebutan upik. Dan beliau juga berpesan agar jika aku mempunyai murid nanti, maka murid itu harus menukar namanya dengan Supit Jagat! Di samping aku, Biara Pensuci Jagat ini ada seratus orang muridku. Aku tidak membedakan mereka dengan kau! Tapi dari kenyataan kau adalah murid yang paling cerdas, rajin, patuh serta yang paling tinggi ilmunya! Karena itulah nama Supit Jagat kuwariskan kepadamu dan musti kau pakai mulai detik ini

juga. Kau mengerti? Wilarani mengangguk. Supit Jagat atau nenek berkepala botak itu berdiri dan melangkah ke dinding di mana tergantung sapu lidi yang merupakan senjatanya yang sangat sakti. Diambilnya sapu itu lalu dia melangkah ke hadapan Wilarani. Muridku, seikat sapu lidi ini bernama Sapu Jagat. Ini merupakan senjata sakti yang merupakan salah satu senjata utama di antara senjata yang termasyhur di dunia persilatan! Senjata ini kuwarisi dari guruku dan hari ini kuwariskan kepadamu! Tentu saja Wilarani hampir tak percaya mendengar ucapan gurunya itu. Ayo, terimalah! kata Supit Jagat yang berkepala botak. Dan Supit Jagat yang berambut putih (Wilarani) ulurkan kedua tangannya menerima seikat sapu lidi itu. Sewaktu telapak tangannya menyentuh sapu lidi itu Wilarani merasakan adanya satu keanehan. Pada kedua telapak tangannya menjalar hawa yang sangat sejuk, terus ke lengan, terus menjalar ke seluruh kakinya. Dan pada detik itu pula tubuhnya terasa ringan laksana mengapung di awan! Sapu Jagat ternyata telah memberikan satu kekuatan baru yang hebat pada Wilarani sewaktu kedua tangannya menyentuh senjata itu! Terima kasih, Guru. kata Wilarani dengan penuh khidmat dan menjura sampai beberapa kali. Si nenek tertawa perlahan. Ada kelainan pada tertawanya kali ini. Paras yang tua keriput dimakan umur sembilan puluh tahun itu kelihatan rawan, sepasang mata yang biasanya menyorot tajam kini kelihatan sedikit redup. Tiba-tiba Eyang Supit Jagat membentak. Sekarang tutup kedua matamu rapat-rapat, Supit! Supit Jagat atau Wilarani segera menutup kedua matanya sebagaimana yang diperintahkan. Dalam dia berpikir-pikir apa yang hendak dilakukan gurunya tiba-tiba laksana petir menyambar, satu tamparan keras melanda pipinya sebelah kiri! Tak ampun lagi Wilarani rebah ke lantai tiada sadarkan diri! Sewaktu dia sadarkan diri dan mengucek-ucek kedua matanya, Wilarani terkejut bukan main. Eyang Supit Jagat dilihatnya menggeletak di lantai. Kedua matanya terpejam dan nafasnya tiada lagi!

Guru! pekik Wilarani. Tapi mana sang guru bisa mendengar karena memang nyawanya sudah putus. Dan membuat Wilarani atau Supit Jagat baru ini lebih heran ialah ketika merasakan tubuhnya enteng luar biasa dan tenaga dalamnya berlipat ganda sampai beberapa kali! Urat-urat di dalam tubuhnya laksana kawat dan pemandangan serta pendengarannya menjadi tajam sekali! Ingatlah Wilarani kejadian sewaktu gurunya menyuruh dia memejamkan mata! Sang guru diam-diam melakukan satu tamparan dahsyat dan disertai dengan tamparan itu sekaligus dia telah menyalurkan seluruh tenaga dalam ke tubuhnya untuk kemudian dia sendiri menghembuskan nafas penghabisan, meninggal dunia! Supit Jagat mendukung tubuh Eyang Supit Jagat ke atas pembaringan. Pada waktu itulah di lantai dilihatnya segulung kertas. Supit Jagat mengambil gulungan kertas itu. Di situ ada sebarisan kalimat yang berbunyi, Surat ini baru boleh dibuka besok siang tengah hari tepat. Esok harinya tepat di tengah hari ketika sang surya bersinar terik di titik kulminasinya maka di dalam Biara Pensuci Jagat seratus satu biarawati berkumpul di ruangan besar. Sebelumnya pada pagi hari jenazah guru mereka telah dikuburkan di taman di bagian muka gedung biara. Suasana sunyi sepi dalam ruangan besar itu. Sunyi sepi serta masih diselimuti rasa duka cita karena berpulangnya guru mereka yang juga merupakan ketua biarawati. Wilarani yang kini sudah mewariskan nama Supit Jagat tapi belum diketahui oleh biarawati-biarawati di situ berdiri dari kursinya. Biarawati Satu. katanya, Harap datang ke sini dan bacakan surat yang ditinggalkan oleh ketua kita. Biarawati Satu, seorang yang sudah lanjut usianya berdiri. Dari Wilarani diterima segulung kertas. Dia melangkah ke mimbar dan membuka gulungan kertas itu. Kemudian terdengarlah suaranya membacakan isi surat yang dibuat Eyang Supit Jagat sebelum matinya. Muridku sekalian, Jika kalian membaca suratku ini maka aku sudah tidak ada, sudah dikubur di dalam tanah, kembali pada Tuhan yang mencipta

kanku dan kalian semua! Meski kini cuma kuburku yang kalian lihat, meskipun aku tidak berada lagi di antara kalian namun cita-cita kita yang luhur untuk menenteramkan dunia ini dari segala malapetaka dan kegagalan yang dibuat oleh kaum laki-laki, harus tetap kalian lanjutkan! Selama aku hidup di antara kalian, kita semua berada dalam keadaan rukun tenteram penuh persatuan. Bila kini aku sudah tidak ada, kerukunan dan ketenteraman serta persatuan itu harus kalian pupuk terus. Jika kalian pecah dan berselisih, berarti hancurnya citacita yang hendak kita laksanakan dan dalam kuburku aku akan mengutuk kalian sebagai murid-murid murtad! Suratku ini juga kutulis untuk menerangkan sedikit tentang diriku. Selama ini kalian memanggilku dengan sebutan eyang atau guru atau nenek. Puluhan tahun hidup bersamaku kalian tidak tahu siapa namaku. Namaku adalah Supit Jagat. Pada hari ini namaku itu kuwariskan kepada Biarawati Wilarani. Untuk selanjutnya dia berhak memakai nama itu dan di hari ini pula kuresmikan dia sebagai ketua kalian yang baru! Kepadanya telah kuwariskan senjata sakti bernama Sapu Jagat! Siapa-siapa di antara kalian yang kecewa dengan keputusanku ini, siapa-siapa di antara kalian yang tidak senang, sebelum kalian menjadi pengkhianat-pengkhianat, lebih baik kalian angkat kaki tinggalkan Biara Pensuci Jagat ini atau rohku akan keluar dari liang kubur untuk mencekik kalian semua! Surat itu selesai dibaca oleh Biarawati Satu kemudian diserahkan kembali kepada Wilarani atau yang kini bernama Supit Jagat dan menjadi Ketua Biara Pensuci Jagat! Supit Jagat menggulung surat itu baik-baik. Dia berdiri di mimbar, memandang berkeliling kemudian berkata, Mungkin ada di antara saudara-saudaraku yang ingin bicara atau mengeluarkan pendapatnya? Tak ada satu orangpun yang menjawab. Tapi di antara para biarawati-biarawati itu terdengar suara saling berbisik-bisik. Supit Jagat bertanya sekali lagi. Tidak ada yang mau bicara dan keluarkan pendapat? Terutama mengenai pengangkatanku oleh mendiang guru kita sebagai ketua biara? Boleh aku bicara?

Tiba-tiba terdengar suara dari balik gang besar yang menjadi salah satu ruangan luas itu. Semua biarawati termasuk Supit Jagat terkejutnya bukan main, karena suara itu adalah suara laki-laki! Dan seperti diketahui dalam Biara Pensuci Jagat itu, tak ada satu orang laki-laki pun yang ada atau diam di sana! Semua mata dengan sertamerta diarahkan ke belakang tiang besar. Dan seorang laki-laki melangkah seenaknya menuju ke mimbar!

***

WIRO SABLENG PENDEKAR TERKUTUK PEMETIK BUNGA

11

AKI-LAKI ini masih muda belia. Rambutnya gondrong menjelajela sampai ke bahu. Parasnya gagah, sikapnya waktu melangkah meski acuh tak acuh dan seenaknya namun mengandung kewibawaan dan keperkasaan. Enam langkah dari mimbar dia berhenti dan menjura pada Supit Jagat kemudian melayangkan senyuman pada puluhan biarawati-biarawati yang duduk di ruangan itu. Semua orang membatin siapakah adanya pemuda ini dan cara bagaimanakah dia bisa masuk ke dalam gedung Biara Pensuci Jagat? Pintu gerbang dikunci, seseorang yang tak tahu rahasia membuka pintu itu, meski bagaimanapun hebat serta tinggi ilmunya niscaya dia tak sanggup membukanya! Melompati tembok juga mustahil. Tembok halaman saja tingginya lima tombak dan ditambah besi-besi panjang berduri setinggi tiga tombak! Di samping itu apakah kedatangan pemuda asing tak dikenal ini membawa maksud baik atau niat jahat?! Akan tetapi Supit Jagat meski keterkejutannya serta rasa tidak enak menyelinapi hatinya, namun melihat si pemuda menjura hormat kepadanya dia balas menganggukkan kepala, tapi tetap tutup mulut menunggu sampai si pemuda bicara duluan. Apakah saat ini aku berhadapan dengan Ketua Biara Pensuci Jagat?! tanya pemuda itu. Melihat pada pertanyaan yang diajukan ini Supit Jagat segera mengetahui bahwa pemuda itu belum berada lama di ruangan tersebut. Paling lama sejak ketika Biarawati Satu membaca bagian terakhir dari surat mendiang Ketua Biara yang lama. Betul orang muda, kau memang berhadapan dengan Ketua Biara Pensuci Jagat. menjawab Supit Jagat. Ah... syukur. Syukur kalau begitu... Si pemuda garuk kepalanya dua kali. Orang muda harap terangkan siapa kau. Bagaimana caramu

bisa masuk ke gedung ini dan apakah membawa niat baik atau buruk? tanya Supit Jagat. Pemuda itu tertawa malu macam anak kecil. Namaku buruk, katanya, jadi tak usahlah aku beri tahu pada Ketua Biara Pensuci Jagat. Mohon maaf. Apalagi aku orang tolol dan banyak mencap aku ini berotak miring... Biarawati Lima, seorang nenek-nenek berbadan sangat gemuk yang punya penyakit darah tinggi lekas naik darah, berdiri dari kursinya dan membentak. Pemuda sedeng! Di sini bukan tempat melawak! Lekas katakan apa maksudmu menyelinap ke sini. Jika kau membawa niat jahat kupatahkan batang lehermu dan kulemparkan mayatmu ke luar tembok! Si pemuda naikkan kedua alis matanya. Galak betul! Galak betul! katanya. Aku datang ke sini bukan untuk melawak. Kau lihat sendiri ibu tua, tak ada satu hal lucu pun yang aku buat. Tak ada satu orang di sini yang tertawa! Bagaimana kau bisa bilang aku melawak?! Beberapa orang biarawati tertawa sembunyi-sembunyi. Biarawati Lima merah mukanya lalu berseru pada Supit Jagat, Ketua, harap izinkan aku menghajar pemuda edan ini! Ketua Biara Pensuci Jagat lambaikan tangan memberi isyarat agar mempersabar diri. Dia maklum kalau si pemuda bisa menyelinap masuk ke dalam gedung, pastilah dia bukan sembarang orang! Orang muda, kuharap kau bisa bicara seperlunya mengingat di mana kau berada saat ini dan mengingat pula kau adalah tamu yang tidak diundang. berkata Supit Jagat. Sekarang harap terangkan apa maksud kedatanganmu ke sini. Aku datang membawa maksud baik dan persahabatan. kata si pemuda. Hem, begitu? Maksud baik dan persahabatan macam manakah kiranya? tanya Ketua Biara Pensuci Jagat pula. Si pemuda memandang dulu berkeliling lalu kembali palingkan kepala pada Supit Jagat. Ketua, katanya, kau saksikan sendiri, sebagian besar dari biarawati-biarawati di sini adalah perempuan-perempuan muda dan cantik-cantik... Pemuda kurang ajar! Mulutmu pantas untuk disumpal dengan

ujung pedangku! bentak seorang biarawati. Tapi Ketua Biara Pensuci Jagat kembali lambaikan tangan memberi isyarat agar anak buahnya itu tidak bertindak kesusu dan duduk kembali ke kursinya. Kepada si pemuda sang Ketua berkata, Teruskan ucapanmu! Setelah terbatuk-batuk beberapa kali baru si pemuda membuka mulutnya kembali. Kerbau sekandang bisa dikurung! Harimau berlusin-lusin bisa disekap! Tapi kecantikan perempuan tak bisa dikurung, tak bisa disembunyikan, tak bisa disekap! Betul atau tidak...?! Diam-diam Ketua Biara yang baru ini menjadi gemas juga dalam hatinya. Orang muda, ucapanmu terlalu berbelit-belit! Bicara saja secara singkat tapi jelas! Si pemuda hela nafas dan garuk kepala beberapa kali. Beberapa orang biarawati dari golongan tua berdiri dari kursi dan berseru, Ketua, kehadiran pemuda ini lebih lama tidak menyenangkan kami! Harap beri izin kami untuk mengusirnya! Pemuda itu memandang pada beberapa orang biarawati itu. Kalian punya hak untuk mengusirku! Tapi alangkah memalukan bila nanti kalian tahu kedatanganku secara baik-baik ini disambut dengan pengusiran! Baik atau jahat maksud kedatanganmu, kami tidak suka kau hadir di sini. Eh, apakah kau yang menjadi ketua di sini? ejek si pemuda. Merahlah muka si biarawati. Dia segera hunus pedangnya dan melompat mengirimkan satu serangan ganas. Si pemuda sedikit pun tidak bergerak! Malahan dengan sikap acuh tak acuh dia berpaling pada Ketua Biara Pensuci Jagat. Sementara tebasan pedang datang menyerangnya dia berseru, Ketua! Sungguh penyambutan yang memalukan. Bukannya aku disuguhi minuman malah dikasih tebasan pedang! Angin pedang menyambar tanda senjata maut sudah berkelebat dekat sekali! Tapi si pemuda masih juga memandang pada Ketua Biara Pensuci Jagat seakan-akan tak perduli atau tak tahu apa-apa kalau dirinya diserang! Namun! Seruan tertahan bahkan kaget memenuhi ruangan itu. Seratus pasang mata melotot. Biarawati yang menyerang si pemuda kelihatan berdiri terhuyung-huyung sedang pedang yang tadi

dipakainya untuk menyerang kini kelihatan berada dalam tangan si pemuda! Jurus yang dimainkan Biarawati Tujuh Belas tadi adalah jurus yang cukup lihai dalam ilmu pedang Biara Pensuci Jagat. Tapi si pemuda menghancurleburkannya dalam satu gebrakan saja dan dengan sikap acuh tak acuh, sambil bicara dengan ketua mereka! Betul-betul hebat! Biarawati golongan muda yang sejak tadi tertarik akan kecakapan tampang si pemuda kini semakin tertarik melihat ketinggian ilmu pemuda itu. Dan dalam hati masing-masing mereka membatin siapakah gerangan pemuda ini?! Ketua Biara Pensuci Jagat, kata si pemuda, kedatanganku ke sini dengan maksud baik dan bersahabat, tapi orangmu telah menyerangku! Orang lain mungkin sudah kalap dan tak terima perlakuan ini! Tapi aku orang tolol dan rendah, tak apa-apa. Ini soal biasa! Perempuan kalau sudah beringas memang suka menyerang duluan! Dengan tertawa-tawa pemuda itu memutar tubuhnya dan melangkah ke hadapan biarawati yang tadi menyerangnya. Dia membungkuk sedikit lalu mengangsurkan senjata itu seraya berkata, Harap kau suka terima pedangmu kembali dan maaf kalau aku bikin kau jadi kalap. Biarawati itu tak berkata apa-apa. Diambilnya pedangnya kemudian berlalu dengan cepat. Orang muda, jika kau betul-betul datang dengan niat baik dan bersahabat, bicaralah seringkas mungkin! Pemuda itu mengangguk. Tadi aku sudah bilang bahwa kecantikan itu tak bisa disembunyisembunyikan, tak bisa dibendung dengan tembok setinggi apapun! Kecantikan sebagian besar biarawati-biarawati di sini telah diketahui oleh dunia luar dan tokoh-tokoh persilatan! Telah sampai ke telinga seorang tokoh golongan hitam bergelar Pendekar Pemetik Bunga... Si pemuda tak bisa teruskan keterangannya karena sampai di situ suasana di ruangan tersebut menjadi ribut! Terpaksa Ketua Biara memberi tanda untuk menenangkan suasana. Dan si pemuda meneruskan keterangannya pula. Jika kalian di sini pada gaduh mendengar nama Pendekar Pemetik Bunga berarti kalian sudah tahu manusia macam apa dia adanya! Pemuda itu palingkan kepalanya pada Supit Jagat. Ketua Biara, dia berkata lagi, aku mendapat kabar bahwa manusia

terkutuk itu berada di sekitar sini akhir-akhir ini. Dan kabarnya lagi, dia akan mendatangi biara ini untuk melaksanakan perbuatanperbuatan mesumnya selama ini! Suasana tegang dan sunyi laksana di pekuburan mencekam ruangan besar itu. Di dalam kesunyian yang tegang itu, diam-diam Biarawati Satu berkata kepada Ketua Biara Pensuci Jagat dengan ilmu menyusupkan suara, Ketua, hatiku tetap bercuriga pada pemuda ini. Aku yakin dia datang bukan dengan maksud baik. Apa yang diucapkannya cuma omong kosong belaka. Yang aku herankan ialah bagaimana dia bisa masuk ke sini. menyahuti Supit Jagat. Meski ilmu tinggi tapi selama puluhan tahun tak ada satu tokoh silatpun yang sanggup masuk ke biara ini, apalagi tanpa setahu kita! Biarawati satu bertanya, Apa perlu aku suruh beberapa orangorang kita untuk menyelidik sekeliling tembok dan pintu gerbang?! Lakukanlah! kata Supit Jagat pula. Maka sepuluh orang biarawati angkatan muda segera keluar meninggalkan ruangan itu. Pemuda rambut gondrong tersenyum. Matanya tidak buta. Dia telah melihat tadi mulut Biarawati Satu dan Ketua Biara Pensuci Jagat bergerak-gerak. Pasti ada yang dibicarakan kedua orang itu, dan pasti menyangkut dirinya. Ketua Biara Pensuci Jagat. kata si pemuda seraya rangkapkan kedua tangan di muka dada. Rupanya kau dan biarawati-biarawati di sini sangat bercuriga padaku. Tentu saja. sahut Supit Jagat. Kau datang tanpa diundang, masuk dan bicara seenaknya, tidak mau terangkan diri! Apakah kau tidak percaya kalau Pendekar Pemetik Bunga akan mendatangi tempatmu ini...? Dia boleh datang dengan maksud jahat. Tapi dia musti tinggalkan kepala di sini! Si pemuda tertawa bergelak. Nama Biara Pensuci Jagat memang sudah lama dikenal dalam dunia persilatan. Ketuanya Supit Jagat memang sakti luar biasa. Tapi jangankan kau, gurumu sendiripun tiada sanggup menghadapi Pendekar Pemetik Bunga! Kau menghina guru dan ketua kami! teriak beberapa biarawati. Mereka menyerbu si pemuda. Supit Jagat tidak berusaha menahan. Dia ingin lihat sampai di

mana kehebatan pemuda berambut gondrong itu. Sepuluh pedang menyambar dengan mengeluarkan suara angin bersiuran. Karena yang menyerang itu adalah biarawati-biarawati dari golongan tua yang ilmunya sudah sempurna maka kehebatan serangan itu tidak terkirakan dahsyatnya. Dalam sekejapan mata tidak bisa tidak tubuh si pemuda akan tersatai! Atau akan terputus berkeping-keping! Sungguh memalukan! seru si pemuda. Di sarang sendiri biarawati-biarawati yang katanya mau mensucikan dunia ini dari segala kekotoran, menyerang main keroyok! Bagi manusia-manusia edan tak tahu peradatan dan kurang ajar, tak perlu merasa malu! sentak salah seorang dari biarawati yang menyerang. Sekejap kemudian ruangan besar itu bergemuruh oleh suara beradunya sepuluh badan pedang yang menimbulkan bunga api yang terang sekali! Semua orang berseru kaget. Ketua Biara Pensuci Jagat membuka matanya lebar-lebar. Tapi si pemuda yang tadi hendak dikermus lenyap dari pemandangan, entah ke mana! Tiba-tiba terdengar suara salah seorang biarawati. Hei! Lihat! Manusia itu sudah bergantung pada kawat lampu! Semua kepalapun mendongak ke langit-langit di atas ruangan! Ternyata betul. Pemuda berambut gondrong itu bergantung di langitlangit ruangan dengan tangan kirinya memegangi kawat kecil lampu yang menerangi ruangan besar itu! Kalau dia tidak memiliki ilmu mengentengi tubuh yang tinggi luar biasa, pastilah kawat itu akan putus! Pemuda edan! pekik seorang biarawati. Jangan kira aku dan kawan-kawan tidak sanggup mengejar kau ke atas sana! Sepuluh tubuh berjubah putih laksana anak-anak panah melesat ke atas dan serentak itu pula kirimkan serangan pedang yang lebih ganas yaitu jurus Menabas Gunung Menusuk Rembulan. Terdengar suara bersuit-suit dan sedetik kemudian disusul oleh suara jatuhnya lampu minyak besar yang tergantung di langit-langit ruangan! Kacanya dan semprongnya pecah bertebaran, minyak tumpah membasahi lantai! Sepuluh pedang biarawati-biarawati tadi nyatanya telah menabas putus kawat lampu hingga jatuh pecah berantakan ke lantai. Dan hebatnya lagi saat itu si pemuda sudah berdiri lagi di tempatnya semula sebelum diserang pertama kali tadi. Berdiri di

antara pecahan kaca dan minyak lampu sambil tertawa-tawa rangkapkan tangan di muka dada! Penasaran sekali sepuluh biarawati segera menukik dan hendak lancarkan serangan untuk ketiga kalinya! Tapi kali ini Ketua Biara Pensuci Jagat cepat berseru. Tahan! Meski hati gusar tapi sepuluh biarawati hentikan serangan namun ketika turun ke lantai kembali tetap membentuk posisi mengurung si pemuda! Para biarawati harap kembali ke tempat! perintah Ketua Biara Pensuci Jagat. Sepuluh biarawati turuti perintah itu. Mereka sarungkan pedang masing-masing dan duduk kembali ke tempat semula. Di saat itu pula sepuluh biarawati yang tadi disuruh menyelidik keluar gedung kembali memasuki ruangan. Dengan ilmu menyusupkan suara Ketua Biara Pensuci Jagat hendak bertanya pada biarawati-biarawati itu, tapi mendadak si pemuda sudah mendahului! Bagaimana? tanyanya. Apa kalian menemui tembok pagar yang bobol atau pintu gerbang yang rusak?! Sepuluh biarawati itu tiada perdulikan pertanyaan si pemuda melainkan melangkah ke hadapan ketua mereka dan melaporkan bahwa tidak ada satu tanda yang mencurigakan pun di luar sana. Semuanya beres dan rapi! Ketua Biara Pensuci Jagat anggukkan kepala dan suruh sepuluh biarawati itu kembali ke tempat masingmasing. Pemuda. berkata sang Ketua. Ilmu yang barusan kau pamerkan... Ah...! memotong pemuda itu. Siapa yang pamerkan ilmu? tanyanya. Orang diserang toh musti mengelak. Siapa sih orangnya yang mau ditusuk-tusuk dengan pedang? Yang mau dicincang? Kucing buduk pun pasti larikan diri atau mengelak! Tenggorokan Supit Jagat turun naik beberapa kali. Kemudian dia berkata lagi. Meski ilmumu setinggi gunung sedalam lautan, meski pengalamanmu seluas bumi, tapi jika kau datang ke sini dengan membawa niat jahat, jangan harap kau bisa keluar hidup-hidup dari sini! Si pemuda menghela nafas. Apakah kalian di sini tuli semua? Apa aku sejak tadi cuma bicara dengan tonggak-tonggak mati?! katanya. Lalu dia meneruskan.

Pertama datang aku sudah bilang bahwa maksudku ke sini adalah membawa niat baik dan bersahabat! Bahkan aku kasih keterangan pada kalian di sini bahwa biara ini dan kalian semua sedang terancam bahaya! Bahaya itu datangnya belum tentu tapi pasti datang! Bahaya Pendekar Pemetik Bunga! Tapi kalian bukannya percaya, malah bercuriga padaku! Malah menyerang aku! Aku yang edan apa kalian yang keblinger! Kalau kau datang betul membawa niat baik dan bersahabat, mengapa datang tidak memberi tahu lebih dulu? Mengapa lancang masuk dengan diam-diam ke tempat orang?! Si pemuda tertawa. Kalian sedang rapat! Sedang adakan pertemuan! Kalau aku datang dengan mengetuk pintu gerbang sana atau berteriak-teriak memberi salam, pastilah akan mengganggu rapat kalian. Kau memang sudah mengganggu kami! semprot Biarawati Lima yang memang sejak tadi belum habis rasa penasarannya. Si pemuda angkat bahu. Dipalingkannya tubuhnya pada Ketua Biara Pensuci Jagat, dan berkata, Ketua, jika kau dan semua orang di sini menganggap aku telah mengganggu kalian dan mengacaukan suasana pertemuan ini mohon dimaafkan. Aku tak akan mengganggu lebih lama. Pemuda itu menjura dua kali di hadapan Supit Jagat. Cuma jangan menyesal kalau keteranganku nanti terbukti benar! Pemuda ini menjura satu kali pada barisan biarawati-biarawati yang duduk berjejer-jejer di kursi lalu segera hendak putar badan tinggalkan ruangan itu! Mendadak biarawati gemuk tadi berteriak. Ketua! Bukan mustahil pemuda ini sendiri Pendekar Pemetik Bunga itu! Supit Jagat tercekat hatinya. Ya, bukan tak mungkin. katanya membatin. Cepat-cepat dia bertepuk tiga kali dan keseluruhan biarawati yang duduk di kursi berdiri cepat, menyebar di seluruh tepi ruangan, menjaga jendela-jendela dan menjaga pintu-pintu! Tak mungkin bagi si pemuda untuk meninggalkan tempat itu kini! Lebih-lebih ketika terdengar suara. Sret... sret..., sret...! Suara pedang yang dicabut dari sarungnya! Seratus pedang kini melintang di tangan!

***

WIRO SABLENG PENDEKAR TERKUTUK PEMETIK BUNGA

12

I PEMUDA memandang berkeliling ruangan dengan kerenyitkan kulit kening. Apa-apaan ini?! tanyanya membentak. Jika kau tidak mengaku bahwa kau adalah Pendekar Pemetik Bunga sendiri, jangan harap kau bisa keluar hidup-hidup dari sini! hardik Ketua Biara Pensuci Jagat. Eeeeee... kenapa memaksa aku yang bukan-bukan?! Jangan banyak bacot! Mengaku atau mampus?! Yang membentak kali ini adalah Biarawati Lima. Si pemuda geleng-geleng kepala. Tidak sangka biarawatibiarawati yang berhati suci jujur bisa bicara membentak dan galak, serta agak kotor! Biarawati Lima melompat ke muka. Pedangnya diacungkan tepattepat ke arah hidung si pemuda. Dia berpaling pada Supit Jagat. Ketua, tunggu apa lagi?! Pemuda, kau sungguh tidak mau mengaku diri?! bertanya Ketua Biara Pensuci Jagat. Kalau aku tidak mengaku, aku mau dibikin mampus! Kalau aku mengaku bahwa aku Pendekar Pemetik Bunga, seribu kali lebih mampus! Kuharap kalian semua suka berpikir pakai otak dan jangan galak-galakan! Tak ada perlunya! Kalau aku Pendekar Pemetik Bunga sudah sejak tadi terjadi kemesuman di ruangan ini! Ketua Biara Pensuci Jagat menimbang ucapan si pemuda. Memang betul juga, kalau pemuda ini adalah Pendekar Pemetik Bunga tentu sudah sejak tadi terjadi hal-hal yang mengerikan! Sekarang, apakah kalian mau memberi jalan padaku untuk keluar dari sini?! terdengar si pemuda bertanya. Sebelum kau terangkan siapa kau punya nama, berasal dari mana dan juga terangkan gelarmu, baru kami akan izinkan kau berlalu dari sini! kata Supit Jagat pula. Pemuda itu garuk-garuk kepalanya. Tiba-tiba meledaklah tertawanya! Lantai, dinding, langit-langit dan tiang ruangan bergetar

oleh kumandang tertawanya yang panjang ini. Setiap hati manusia yang ada di situ, termasuk Ketua Biara Pensuci Jagat sendiri ikut tergetar oleh kehebatan suara tertawa si pemuda! Kenapa kau tertawa?! bentak Ketua Biara Pensuci Jagat. Siapa yang tidak bakal geli dan ketawa! menyahut si pemuda. Mula-mula kalian tanya siapa aku? Siapa namaku. Siapa gelarku dan sekarang tanya aku berasal dari mana atau tinggal di mana?! Persis pertanyaan-pertanyaan begitu macam muda-mudi yang sedang pacar-pacaran! Merahlah paras Ketua Biara Pensuci Jagat. Tak dapat dihindarkan lagi bahwa lantai ruangan ini akan basah oleh darahmu, pemuda bermulut kurang ajar! teriak sang Ketua. Dia gerakkan tangan memberi isyarat. Dan selangkah demi selangkah, seratus biarawati dari angkatan tua dan muda, dengan pedang di tangan masing-masing, maju mendekati si pemuda! Gilanya pemuda itu masih juga berdiri tertawa-tawa di tengah ruangan, memandang berkeliling dan garuk-garuk rambutnya yang gondrong! Tiba-tiba seratus pekikan laksana guntur yang hendak meruntuhkan gedung biara itu berkumandang! Seratus pedang berkiblat! Buset! Si pemuda membentak tak kalah nyaring. Diiringi dengan suitan yang memekakkan telinga dia melompat tinggi-tinggi ke atas, kepalanya hampir menyundul langit-langit. Dalam tubuh mengapung begitu rupa pemuda ini berseru, Ketua, harap kau sudi hentikan serangan ini dulu! Serang terus! sebaliknya Ketua Biara Pensuci Jagat berteriak. Aku tak mau kesalahan tangan dan cari permusuhan dengan kalian! Kita adalah sama-sama satu golongan! Jangan ngaco! tukas Biarawati Lima. Ketua Biara, aku betul-betul tidak mau bikin cilaka orang-orangmu! berseru lagi si pemuda. Tapi sang Ketua Biara tak mau ambil perduli malah membentak lebih keras agar orang-orangnya menggempur pemuda itu. Puluhan biarawati melesat ke atas, puluhan pedang berkelebat! Pemuda itu menggerendeng dalam hatinya. Kedua telapak tangannya dikembangkan dengan cepat kemudian dipukulkan ke bawah! Maka angin dahsyat laksana topan menderu ke bawah

memapasi serangan-serangan lawan. Betapapun puluhan biarawatibiarawati itu bersikeras menyerbu ke atas dan kerahkan tenaga dalam serta ilmu meringankan tubuh mereka namun tiada berhasil. Mereka laksana tertahan oleh satu dinding baja yang tak kelihatan. Setiap mereka melesat ke atas, tubuh mereka kembali mental ke bawah berpelantingan, banyak yang mendeprok jatuh duduk! Heranlah sang Ketua Biara Pensuci Jagat menyaksikan hal ini. Ilmu apakah gerangan yang dimiliki pemuda itu, demikian dia membatin. Melihat betapa orang-orangnya mengalami kesia-siaan, tiada hasil melakukan serangan mereka maka Supit Jagat sendiri segera turun dari mimbar dan berseru, Pemuda, turunlah! Hadapi aku! Ah... Ketua Biara, sungguh satu kehormatan yang kau sendiri juga mau turun tangan pada budak hina ini. dan sementara itu sepasang mata si pemuda melirik ke pintu di ujung kanan yang kini tiada terjaga lagi karena keseluruhan biarawati di ruangan itu ambil bagian menyerangnya. Tapi, melanjutkan si pemuda sementara kedua telapak tangannya masih terus juga dipukulkan berkali-kali ke bawah memapasi serangan-serangan lawan, harap maaf, saat ini aku tidak punya kesempatan untuk main-main dengan kau! Lagi pula aku anggap kita semua ini adalah orang satu golongan! Sampai jumpa Ketua Biara! Pemuda itu melompat ke samping lalu menukik ke arah pintu. Penasaran sekali Ketua Biara Pensuci Jagat lepaskan satu pukulan jarak jauh yang dahsyat! Braak! Sebagian tiang pintu yang besarnya lebih dari sepemeluk tangan hancur lebur. Tapi si pemuda sudah lenyap! Kejar! teriak Supit Jagat. Kita musti tangkap manusia itu hidup atau mati! Maka ruangan besar itupun kosong melomponglah kini. Semua biarawati termasuk Supit Jagat menghambur ke luar. Seluruh halaman diperiksa. Pintu gerbang dibuka dan belasan biarawati mengejar ke luar dan belasan lainnya melompat ke atas atap, namun si pemuda lenyap tiada bekas! Supit Jagat memerintahkan orang-orangnya untuk kembali masuk ke dalam biara. Dan waktu mereka memasuki ruangan pertemuan tadi, semuanya pun terkejutlah!

Di lantai ruangan, di kursi-kursi dan di beberapa bagian dinding ruangan sebelah bawah bertebaran puluhan deretan angka 212. Dua Satu Dua! desis Supit Jagat. Ketua Biara Pensuci Jagat ini memandang biarawati-biarawati angkatan tua. Ya, hanya mereka yang seumur dengan dialah yang mengerti apa arti angka 212 itu sedang biarawati-biarawati angkatan muda hanya melongo tak mengerti! Ketua Biara Pensuci Jagat memberi isyarat pada kira-kira sepuluh orang biarawati angkatan tua agar mengikutinya masuk ke dalam sebuah kamar. Ketua biara ini duduk di kursi goyang yang dulu menjadi kursi kesayangan ketua mereka yang telah meninggal dunia. Sekarang kita sudah tahu siapa adanya pemuda itu, berkata Supit Jagat. Dia bukan lain dari Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212, murid Eyang Sinto Gendeng di puncak Gunung Gede yang menurut guru kita tempo hari merupakan kawan baiknya! Kalau begitu, menyela Biarawati Lima yang bertubuh gemuk pendek dan yang tadi paling gemas terhadap pemuda itu, keterangan yang diberikannya bukan omong kosong belaka! Betul! Supit Jagat anggukkan kepala. Kalau dia memang golongan kita sendiri, sama-sama golongan putih, kata Biarawati Sembilan, kenapa tidak siang-siang dia terangkan diri...?! Pemuda itu memang aneh. menyahut Ketua Biara Pensuci Jagat. Kadang-kadang orang menganggapnya pemuda gila, edan kurang ingatan! Kalau kalian kenal pada gurunya, gurunya Eyang Sinto Gendeng itu lebih gila lagi! Gila dan edan, bicara seenaknya! Bahkan dalam bertempur menyabung nyawapun dia tertawa-tawa atau bersiul-siul seperti yang kalian lihat tadi! Sinto Gendeng ataupun muridnya yang tadi memang bukan orang-orang yang suka agulagulkan nama atau obral gelar di mana-mana. Kurasa itulah sebabnya pemuda tadi tidak mau kasih keterangan siapa dia sebenarnya! Sunyi beberapa lamanya. Ketua, bagusnya kita segera bersiap-siap menjaga segala kemungkinan atas datangnya Pendekar Pemetik Bunga itu! Ya. Biarawati Satu, kau atur semuanya. Perketat penjagaan! Tambah alat-alat rahasia di sekitar tembok dan pintu gerbang! Perintah akan kami jalankan, Ketua. sahut Biarawati Satu, lalu

bersama kawan-kawannya yang lain segera meninggalkan tempat itu setelah terlebih dahulu menjura memberi hormat. Sementara itu dua orang biarawati muda yang kelelahan mencaricari Wiro Sableng di luar tembok halaman dan yang bekerja di bagian dapur biara segera langsung menuju ke bagian dapur itu. Sesudah minum melepaskan dahaga mereka bermaksud akan meneruskan pekerjaan mereka sehari-hari di dapur. Namun betapa terkejutnya kedua biarawati sewaktu masuk ke dalam dapur, mereka mendapatkan seorang pemuda yang bukan lain Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 tengah duduk di sebuah kursi dengan angkat kaki dan melahap nasi! Asyik makan dan menggeragoti paha ayam goreng sisa malam tadi! Segera keduanya hendak berteriak. Ssst... Wiro Sableng letakkan jari telunjuknya di atas kedua bibirnya sedang mulutnya saat itu menggembung penuh nasi. Tapi mana mau dua biarawati berdiam diri. Keduanya sama hendak berteriak lagi dan menghambur dari dapur. Wiro tak dapat berbuat lain. Dia hantamkan dua jari tangan kanannya ke muka! Dengan serta merta tubuh kedua biarawati itu berhenti mematung, mulut mereka yang tadi hendak berteriak terbuka lebar-lebar tapi tak satu suara pun yang keluar! Itulah ilmu totokan jarak jauh yang lihay sekali telah dilepaskan oleh murid Eyang Sinto Gendeng! Dan selanjutnya seperti tak ada kejadian apa-apa, seperti di rumahnya sendiri Wiro Sableng meneruskan melahap makanannya! Selesai makan dan meneguk air, Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 ini segera tinggalkan dapur itu. Sewaktu empat orang biarawati yang juga bekerja di dapur memasuki dapur, keempatnya terkejut mendapatkan dua kawan mereka berdiri tak bergerak sedang mulut menganga. Nyatalah mereka telah ditotok. Segera totokan itu dilepaskan. Siapa yang menotok kalian?! Pemuda itu! Maksudmu Wiro Sableng?! Pendekar 212?! Ya! sahut yang seorang. Yang seorang lagi memberi keterangan, Kami haus dan mau minum lalu melanjutkan tugas sehari-hari. Tahu-tahu pemuda itu sudah nongkrong di kursi sana, melahap nasi dan makan daging ayam!

Pantas dicari-cari di luar gedung tidak ada! Tak tahunya nongkrong di dapur! Pemuda lapar! Ketika hal itu dilaporkan kepada Ketua Biara Pensuci Jagat mulamula dalam terkejutnya Supit Jagat setengah tak percaya. Namun kemudian tiba-tiba meledaklah suara tertawanya. Biarawati-biarawati yang datang melapor itupun akhirnya ikut-ikutan pula tertawa!

***

WIRO SABLENG PENDEKAR TERKUTUK PEMETIK BUNGA

13

ADIS berbaju kuning ringkas itu menghentikan larinya di tepi kali berair jernih dengan batu-batu besar di tengah-tengahnya bertebaran laksana pulau-pulau kecil. Disibakkannya rambutnya yang mengurai di kening dan disekanya keringat yang membasahi kuduknya. Dihelanya nafas dalam, nafas yang ditarik dengan disertai rasa keputusasaan dan kegemasan! Dua hari yang lalu dia sudah berhasil menemui jejak manusia yang dicarinya. Kemarin dia bahkan telah menguntit manusia itu tapi hari ini, sesampainya di tepi kali itu, bayangan manusia yang dikejarnya kembali lenyap laksana ditelan bumi, laksana amblas masuk ke dalam kali! Penuh letih akhirnya gadis ini dudukkan diri di tepi kali, di atas sebuah batu hitam. Dia memandang ke hulu sungai. Satu pemandangan yang indah untuk disaksikan. Sementara itu angin bertiup pula sepoi-sepoi basah. Di luar sepengetahuan gadis berbaju kuning ini, menyelam antara kelihatan dan tidak, berenang seekor ular kali sebesar lengan. Kakikaki si gadis yang berkulit putih mulus dan bagus, yang sebagiannya masuk ke dalam air, itulah yang telah menarik perhatian sang ular dan membuatnya segera berenang ke arah mangsanya ini! Setengah langkah ular itu berada dari kedua kakinya, barulah si gadis sadar. Cepat dia tarik kedua kaki dari dalam air. Sang ular dengan ganas terus mengejar naik ke atas batu. Tapi nasibnya malang. Kali ini gadis baju kuning pergunakan kaki kirinya untuk menendang! Binatang itu mencelat mental. Kepalanya hancur. Tubuhnya menggelepar-gelepar seketika lalu mati dan dihanyutkan arus sungai. Gadis baju kuning itu berumur sekitar 19 tahun. Sepasang matanya bening dan jeli. Parasnya bujur telur dan ayu, tak membosankan untuk dipandang. Di atas sepasang matanya yang

bening jeli itu berpeta dua buah alis laksana bulan sabit bagusnya! Namun di balik keayuan paras itu, di belakang kejelitaan wajah itu samar-samar kelihatan satu rasa duka derita yang berpaut dengan rasa dendam kesumat! Lima hari yang lalu dia masih berada di Goa Blabakan. Dan hari itu dia berhadap-hadapan dengan gurunya. Empu, murid minta diizinkan untuk meninggalkan pertapaan untuk beberapa waktu... Empu Tumapel memandangi paras muridnya beberapa lama. Pelajaran yang kuberikan padamu masih belum selesai, Sekar. berkata sang guru, Kau ingat bahwa lima tahun lagi baru kau boleh meninggalkan Goa Blabakan ini? Murid ingat, Guru. Murid tidak lupa, sahut Sekar. Tapi kabar yang murid terima dari orang desa yang datang kemarin siang... Guru tentu dapat memakluminya. Dan gadis itu menyeka air mata yang meleleh di pipinya. Aku tidak mengajarkan kau menangis, Sekar! Aku mengajarkan kau ilmu silat, ilmu kesaktian, ilmu batin, ilmu menguatkan jiwa, lahir dan batin! Bukan ilmu menangis! Sekar seka lagi sisa-sisa air matanya dan hentikan tangis. Murid tahu, Guru. Tapi Guru juga musti maklum. Ayahku dibunuh. Ibuku dan adik perempuanku diperkosa lalu dibunuh! Dapatkah hati seorang perempuan menghadapi semua ini tanpa air mata? Dan karena peristiwa itulah murid minta izin kepada Guru untuk meninggalkan pertapaan ini beberapa lamanya guna mencari manusia terkutuk itu! Empu Tumapel merenung dan setelah menghela nafas dalam diapun berkata, Sekalipun kuizinkan padamu pergi, sekalipun kau bertemu dengan manusia itu, belum tentu kau berhasil menghadapinya, Sekar. Belum tentu kau dapat membalaskan sakit hati dan dendam kesumatmu! Murid tahu, manusia itu sakti luar biasa! Tapi demi menuntut kebenaran, demi arwah orang tua dan adikku, dengan doa restu guru serta pertolongan Tuhan, murid yakin murid akan sanggup menghadapinya! Tapi Guru, apakah ilmu meskipun sakti luar biasa jika dipergunakan untuk kejahatan akan sanggup menghadapi kebenaran dan kekuatannya Tuhan?! Empu Tumapel yang berumur enam puluh tahun terdiam oleh ucapan muridnya itu.

Kau akan mati percuma di tangan manusia itu, Sekar. katanya setelah berdiam diri beberapa lama. Tidak, Guru. Sekalipun aku mati, aku akan mati dengan puas. Puas karena aku telah membela keadilan, menghancurkan kejahatan. Aku akan mati syahid, Guru! Baik... baiklah, muridku. kata Empu Tumapel. Dibelainya kepala muridnya itu. Dan dalam jubahnya dikeluarkan seuntai rantai baja yang panjangnya dua meter. Pada ujung rantai baja ini terdapat sebuah bola baja berduri. Keseluruhan senjata ini memancarkan sinar putih dan hawa dingin tanda senjata itu bukan senjata sembarangan. Kuizinkan kau pergi, Sekar. Dan bawalah senjata Rantai Petaka Bumi ini. Mudah-mudahan kau berhasil... Sekar berlutut di hadapan gurunya. Terima kasih, Guru... Terima kasih Guru juga mempercayakan dan meminjamkan senjata ini padaku... Lamunan tentang saat lima hari itu serta merta buyar sewaktu dari hulu sungai Sekar, si gadis berbaju kuning, melihat sesosok bayangan putih berlari cepat di atas kali, hanya sekali-sekali kakinya menjejak batu-batu yang banyak bertebaran di atas kali. Cepat Sekar berdiri dan menunggu penuh waspada. Orang yang berlari hentikan larinya dan berdiri di atas sebuah batu besar sejarak satu-dua meter di hadapan gadis itu. Eh, Saudari. Kau berada sendiri di tepi kali ini, ada apakah?! Sekar menatap paras pemuda yang tampan itu. Sewaktu dia memperhatikan rambut gondrong yang menjela sampai ke bahu si pemuda, berdetak hatinya! Bukan tidak mustahil manusia ini adalah Pendekar Pemetik Bunga yang tengah dicarinya dan kini telah bertukar pakaian. Dia sendiri memang tidak pernah melihat jelas tampang pendekar terkutuk itu! Menimbang begini, Sekar segera keluarkan Rantai Petaka Bumi dari balik pakaiannya, terus menyerang dengan ganas! Si pemuda terkejut! Gila betul! Ditanya baik-baik dijawab dengan serangan! Cepat-cepat dia menghindar. Angin dingin menyambar tubuhnya sewaktu Rantai Petaka Bumi lewat di depan dadanya! Saudari, itu senjata sakti! Jangan dibuat main-main! Tutup mulut! Justru dengan senjata inilah akan kuhancurkan kepalamu pemuda bejat! Si pemuda keluarkan siulan dan tertawa gelak-gelak. Inilah ciri-

ciri khas dari pendekar yang tak asing lagi yaitu Wiro Sableng si Pendekar 212! Kenal belum, ketemu pun baru kali ini sudah bisa menyumpahiku pemuda bejat! Kau mimpi atau apa?! Keparat, terima kematianmu dalam tiga jurus! Sekar menyerang dengan dahsyat. Rantai Petaka Bumi menyapu dengan mengeluarkan suara dahsyat laksana halilintar, menebarkan angin laksana topan hingga air kali bermuncratan dan batu-batu kali yang tersambar bola baja berduri itu hancur berantakan! Saudari! seru Wiro Sableng. Kau ini main-main atau bagaimana? Pemuda ini terpaksa jungkir balik di atas kali menghindari serangan senjata lawan yang dahsyat. Dan sebelum kedua kakinya menjejak di salah satu batu kali, Rantai Petaka Bumi itu sudah menyapu lagi ke arah kakinya! Hebat! seru Wiro Sableng benar-benar kagum. Ya, hebat! Memang hebat! Sebentar lagi kepalamu akan dibikin hebat oleh bola baja berduri ini! tukas Sekar. Wiro Sableng terpaksa jungkir balik sekali lagi. Seorang yang memiliki ilmu mengentengi tubuh sempurna biasa saja pasti tak akan sanggup melakukan dua kali jungkir balik itu. Tapi Pendekar 212 ilmu mengentengi tubuhnya sudah lebih tinggi dari kesempurnaan! Si gadis melihat serangannya melanda angin kosong jadi penasaran sekali. Saat itu jurus kedua. Tanpa tedeng aling-aling dia melompat ke muka lebih dekat pada si pemuda dan putar Rantai Petaka Bumi dengan jurus Bumi Dilanda Lindu! Jurus ini memang hebat luar biasa, padahal si gadis baru mewarisi setengahnya saja dari gurunya! Karena tak ingin melawan dan karena tak mau membuat si gadis cilaka, lagi pula merasa tidak ada permusuhan apa-apa, maka Wiro Sableng sejak tadi hanya mengelak, sekalipun tak balas menyerang. Gesit sekali Pendekar dari Gunung Gede ini melompat ke tepi kali. Saudari harap tahan dulu seranganmu! Jangan banyak rewel Pendekar Terkutuk Pemetik Bunga! Kau tetap musti kubunuh! Arwah orang tua dan adikku tak akan tenang di alam baka sebelum nyawa anjingmu kurenggut dari tubuh keparatmu! Lantas si gadis melompat pula ke tepi kali. Hai! Kalau begitu kau salah duga, gadis baju kuning! kata Wiro Sableng pula. Aku bukannya Pendekar Terkutuk Pemetik Bunga!

Tak perlu dusta! Kau kira bisa selamat dengan jual mulut begitu rupa?! Aku tidak dusta! Apa kau pernah lihat aku memetik bunga dan bunga apa? Bunga matahari atau bunga mawar atau... Bunga bola baja kematianmu ini, laknat! sentak Sekar. Dan kembali dia menyerang secara ganas. Pendekar kita terpaksa mengelak lagi dan lompat ke cabang sebatang pohon. Kalau keliwat kesusu bisa tidak beres, Saudari. Aku masih belum habis bicara! Kuharap kau suka simpan itu senjata dan mari kita bicara baik-baik... Bukannya si gadis baju kuning simpan senjata melainkan bola baja berduri itu diluncurkannya ke batang pohon di atas mana Wiro Sableng berada. Kraak! Batang pohon hancur dan tumbang. Pendekar 212 sendiri sudah lompat ke pohon yang lain! Gemas sekali Sekar segera melompat ke pohon itu! Dan di atas cabang pohon yang tak seberapa besar itu maka kini terjadilah pertempuran yang seru! Namun Wiro Sableng tetap tidak mengadakan perlawanan atau balas menyerang. Ini membuat si gadis jadi penasaran. Ayo, pemuda keparat! Kenapa diam saja?! Apa nyalimu sudah lumer?! Keluarkan senjatamu! Lama-lama diserang gencar demikian rupa Wiro Sableng kewalahan juga. Dia lompat ke bawah. Sekar sebatkan rantai baja ke pinggang si pemuda. Dengan gesit Wiro Sableng mengelak ke samping lalu gerakkan tangan kanannya! Sekar terpelanting dari cabang pohon akibat betotan Wiro Sableng pada rantai bajanya. Ketika dia turun ke tanah dengan jungkir balik, Rantai Petaka Bumi sudah berada di tangan Wiro Sableng! Kembalikan senjataku! teriak Sekar. Wiro Sableng tertawa dan bersiul-siul. Rantai baja yang panjangnya dua meter itu dililitkannya di pinggangnya. Lalu dengan bertolak pinggang dia berkata. Silahkan ambil sendiri, nona manis! Tiada terkirakan geramnya murid Empu Tumapel itu. Tapi dasar bernyali besar, dengan tangan kosong dia menerkam ke muka dan lancarkan satu jurus aneh bernama Kabut Pagi Menelan Embun.

Jurus ini dilakukan dengan gerakan yang sangat cepat hingga waktu menyerang itu tubuh Sekar lenyap laksana kabut tipis! Tapi mata Pendekar Sakti 212 tak dapat ditipu. Betapapun cepatnya gerakan lawan namun dalam kelebatan itu masih sanggup dilihatnya bagaimana kedua tangan lawan terkembang hendak mencengkeram muka sedang sepasang kaki menendang ke dada dan ke selangkangan! Murid Eyang Sinto Gendeng dari Gunung Gede itu dengan gerakan kilat miringkan tubuhnya ke samping. Sewaktu tumit lawan masih akan menyerempet pinggulnya dengan cepat ditangkapnya ujung kaki si gadis dan dibantingkan ke atas! Sekar jungkir balik di udara! Tapi jatuhnya tetap berdiri! Hidung gadis ini kembang kempis. Mukanya merah kelam karena marah! Hatinya geram karena sadar tiada akan sanggup menghadapi pemuda yang sangat tinggi ilmu silatnya itu! Kau letih eh?! Diam! lengking Sekar. Saudari, dalam hidup ini, dalam segala hal manusia itu tidak boleh serba kesusu... Jangan jual kentut! Juga jangan suka lekas marah penasaran... Diam! teriak Sekar hingga suaranya menggema di seantero kali. Si pemuda tertawa dan geleng-gelengkan kepala. Dia berpikir bagaimana caranya menghadapi gadis galak macam yang satu ini. Tiba-tiba dia dapat akal. Saudari, kalau kau tetap keras kepala tak bisa bicara baik-baik aku akan pergi dari sini dan larikan senjatamu! Ke ujung bumi pun kau lari aku akan kejar! Wiro Sableng angkat bahu dan garuk-garuk kepala! Tak pernah aku ketemu gadis yang keras kepala dan tak mau mengerti macammu ini, Saudari! Kembalikan senjataku! Aku akan kembalikan. Tapi kalau kau pergunakan lagi untuk menyerangku...? Kau tahu itu senjata milik siapa? Aku tidak tanya! Sekar memaki-maki! Kalau guruku Empu Tumapel tahu senjatanya dibuat main dan dihina, pasti nyawamu yang cuma selembar tak akan aman.

Heh... jadi kau muridnya Empu Tumapel?! Akh... orang tua itu adalah kawan main kelerengku sewaktu masih kecil. Dan kau tahu, dia suka main curang. He... He... he...! Marahlah Sekar. Dia menyerbu dengan kerahkan seluruh bagian tenaga dalamnya ke lengan. Tapi kali ini Wiro Sableng tidak tinggal diam. Lebih cepat dari serangan si gadis baju kuning, lebih cepat pula sepasang jari telunjuknya menotok jalan darah di tubuh si gadis! Maka mematunglah Sekar, tapi telinga masih bisa mendengar dan mulut masih bisa bicara! Wiro Sableng tertawa cengar-cengir. Sebetulnya aku tidak punya waktu banyak, tapi kau bikin perjalananku terhalang! Menyerang membabi buta tanpa alasan... Diam! Lekas lepaskan totokan ini! Sabar gadis manis! Kalau kau marah dan membentak begitu parasmu makin cantik, tahu...?! Wajah Sekar bersemu merah. Kau menyangka bahkan menuduh aku telah membunuh orang tua serta adikmu! Apakah kau punya alasan? Punya bukti! Sekar diam. Kau bilang aku Pendekar Pemetik Bunga! Kau yakin betul?! Sekar tetap diam. Wiro Sableng tertawa. Dengar Saudari, semua tuduhanmu salah belaka! Justru aku tengah dalam perjalanan mencari manusia yang bergelar Pendekar Pemetik Bunga itu. Kau dusta! tukas Sekar. Terserah. Tapi aku tak punya waktu lama melayanimu! Pertumpahan darah akan segera terjadi di Biara Pensuci Jagat! Aku tak boleh terlambat! Kembalikan dulu senjataku dan lepaskan totokan ini! Wiro Sableng buka lilitan Rantai Petaka Bumi dari pinggangnya. Dilepaskannya totokan di tubuh Sekar lalu diserahkan rantai baja itu kepada si gadis kemudian segera balikkan tubuh. Tunggu! seru Sekar. Wiro Sableng hentikan langkah. Tadi kau bilang bahwa kau dalam perjalanan mencari Pendekar Terkutuk Pemetik Bunga. Apa kau tahu di mana manusia itu berada...? Tahu atau tidak tahu memangnya kenapa?! Aku juga punya urusan yang harus diselesaikan dengan manusia

bejat itu... Ya, kau sudah bilang tadi. Jadi maksudmu mau sama-sama seperjalanan dengan aku, heh?! Untuk kesekian kalinya paras si gadis jadi bersemu merah. Kuharap kau jangan bicara keliwat kurang ajar, Saudara! bentak Sekar. Sudahlah, kita tak banyak waktu! Kalau mau sama-sama memburu itu manusia biang racun penimbul bahala, lekaslah! Kau jalan duluan. kata Sekar yang hatinya masih bimbang dan bercuriga terhadap si pemuda. Dia khawatir kalau Wiro Sableng adalah benar-benar Pendekar Terkutuk Pemetik Bunga yang hendak menipunya. Tak perlu tanya! Jalanlah! Pendekar 212 bersiul dan pencongkan hidungnya. Sekali dia berkelebat maka tubuhnya sudah melompat lima tombak ke muka. Sekar tidak tinggal diam, segera pula dia kerahkan ilmu larinya untuk mengikuti Wiro Sableng.

***

WIRO SABLENG PENDEKAR TERKUTUK PEMETIK BUNGA

14

ETUA Biara Pensuci Jagat terkejut ketika melihat jarum alat rahasia di dalam kamarnya bergerak-gerak! Segera ditekannya sebuah tombol di tepi tempat tidur. Dua buah pintu rahasia terbuka dan delapan orang biarawati muncul. Kedelapannya menjura lalu berpaling ke arah alat rahasia yang dituding oleh ketua mereka. Atur pengurungan! kata Ketua Biara itu pula. Lima puluh di dalam, lima puluh di luar! Yang datang ini mungkin orang yang kita tunggu-tunggu! Delapan biarawati menjura lagi lalu meninggalkan kamar ketua mereka. Supit Jagat, Ketua Biara memandang lagi ke jarum alat rahasia. Jarum itu kini kelihatan diam tak bergerak-gerak, tapi sesaat kemudian kelihatan bergerak lagi. Kali ini ketua biara itu segera membentak, Tamu di atas atap, silahkan turun unjukkan diri! Baru saja Supit Jagat berkata begini maka terdengarlah suara menggemuruh! Atap dan langit-langit kamar amblas roboh! Diiringi oleh suara tertawa bekakakan sesosok tubuh berjubah hitam melompat turun dalam gerakan yang sangat enteng! Yang datang ternyata betul Pendekar Pemetik Bunga! Ha... he... sungguh satu kehormatan dapat berkunjung ke biaramu ini, Supit Jagat! Baru saja Pendekar Pemetik Bunga berkata demikian empat dinding kamar amblas ke dalam lantai dan kini terbukalah satu ruangan besar. Di setiap tepi ruangan berbaris dua lapis biarawatibiarawati angkatan tua dan angkatan muda berseling-seling! Kesemuanya dengan pedang di tangan! Hem... Pendekar Pemetik Bunga memandang berkeliling. Tidak ada bayangan rasa terkejut pada parasnya. Rupanya sudah ada persiapan untuk menyambut kedatanganku! katanya. Ketua Biara Pensuci Jagat tertawa mengekeh. Nama kotormu sudah lama kami dengar. Noda busuk yang kau

tebar di mana-mana sudah sejak lama hendak kami putus! Nyawa bejatmu sudah sejak lama ingin kami kirim ke neraka jahanam! Tapi hari ini agaknya kami tak perlu susah-susah turun tangan ke luar biara! Malaekat maut rupanya telah membawamu ke sini! Pendekar Terkutuk Pemetik Bunga rangkapkan tangan di muka dada. Betapa indahnya susunan kata-katamu, Supit Jagat! berkata Pendekar Pemetik Bunga. Tapi ketahuilah, aku datang ke sini bukan dibawa oleh malaekat maut, sebaliknya justru mengantarkan malaekat maut yang ingin cepat-cepat merenggut nyawa kalian! Dan... Pendekar bertampang buas ini batuk-batuk beberapa kali. Dan menyedihkan sekali, rupanya hanya kroco-kroco tua macammu yang ditakdirkan mampus! Biarawati-biarawati muda belia musti dihadiahkan untukku! Kurasa matamu belum buta Pendekar Terkutuk! sahut Supit Jagat. Belum buta untuk melihat orang-orangku yang berdiri, dalam satu barisan maut, belum buta untuk melihat pedang-pedang yang melintang! Aku memang tidak buta! Pendekar Pemetik Bunga memandang lagi berkeliling. Tapi sebaiknya biarawati-biarawati muda itu tak usahlah ikut-ikutan bertempur! Mereka akan mati percuma sebelum merasakan betapa nikmatnya hidup di dunia ini! Betapa nikmatnya berada dalam pelukanku! Betapa nikmatnya tidur bersa... Sebilah pedang meluncur tepat di depan hidung Pendekar Pemetik Bunga, membuat pemuda ini tersurut satu langkah dan terputus kata-katanya! Apakah lidahmu kelu hingga tak bisa teruskan buka mulut? ejek Supit Jagat. Ketua Biara Pensuci Jagat! Kau adalah manusia yang musti mati pertama kali di dalam gedung ini! Darahmu akan mensucikan lantai biara ini! Habis berkata begitu Pendekar Pemetik Bunga buka gulungan sabuk mutiara di pinggangnya sedang tenaga dalam dialirkan tiga perempat bagiannya ke tangan kanan! Dua tangan itupun kemudian bergerak dengan serentak! Pukulan Tapak Jagat menggebu dahsyat dibarengi oleh gelombang angin yang keluar dari sabuk mutiara! Gedung bergoncang, bumi laksana dilanda lindu! Tapi di saat itu Ketua Biara Pensuci Jagat sudah berpindah tempat dan dengan satu lengkingan keras dia memberi isyarat agar lima puluh biarawati yang ada di

ruangan itu segera menyerang! Maka berkecamuklah pertempuran yang bukan olah-olah dahsyatnya! Lima puluh pedang menderu! Satu-satunya lawan yang diserang berkelebat ganas balas menyerang! Dan dalam setiap kelebatan musti ada jatuh korban di pihak biarawati. Yang menemui ajalnya ini justru biarawati-biarawati angkatan tua yang sudah berumur! Rupanya Pendekar Pemetik Bunga benar-benar hanya akan menumpas biarawati-biarawati tua sebaliknya membiarkan hidup biarawati-biarawati muda belia untuk kemudian akan dilalap dirusak kehormatannya! Ketika hampir separoh dari biarawati angkatan tua menemui ajalnya, ketika lantai di ruangan terbuka itu sudah licin dan amis oleh baunya darah, maka Supit Jagat segera membentak. Dia tak mau lebih banyak jatuh korban di pihaknya! Semuanya mundur! Perintah yang laksana geledek ini dipatuhi oleh setiap biarawati. Semuanya mundur ke tepi dan di tengah ruangan besar itu kini hanya Ketua Biara serta Pendekar Pemetik Bunga saja yang berdiri berhadap-hadapan dalam jarak delapan tombak. Di lantai bertebaran belasan tubuh biarawati-biarawati tua yang telah menemui ajalnya! Kebinatanganmu sudah lebih dari binatang! Kebejatanmu sudah melewati batas! Kebiadabanmu seluas lautan! Dosamu setinggi gunung! Segera keluarkan senjatamu, manusia terkutuk! Pendekar Pemetik Bunga menyeringai. Rupanya Ketua Biara sendiri yang hendak turun tangan?! Bagus! ujar Pendekar Pemetik Bunga. Tapi kalau tadi aku dikeroyok puluhan bergundal-bergundalmu aku hanya bertangan kosong, masakan menghadapi kau seorang diri musti pakai senjata segala?! Kau akan binasa bersama kecongkakanmu, manusia dajal! Marah sekali Ketua Biara Pensuci Jagat itu. Maka pada saat itu juga dikeluarkannya senjatanya yaitu seikat sapu lidi yang bernama Sapu Jagat, warisan dari ketua biara yang terdahulu! Melihat senjata yang dikeluarkan lawannya adalah seikat sapu lidi maka Pendekar Pemetik Bunga tertawa memingkal! Nenek Ketua, kau mau menyapu atau bertempur? Sapu lidi buruk itukah senjatamu?! Lucu sekali... betul-betul lucu! Supit Jagat maju tiga langkah. Tiba-tiba dia sapukan sapu lidinya ke arah lawan! Pendekar Pemetik Bunga berseru kaget. Berubahlah parasnya! Angin yang keluar dari sapu lidi itu dahsyatnya laksana

badai prahara, seperti menghancurleburkan sekujur tubuhnya! Secepat kilat dia segera melompat ke samping sampai empat tombak! Tapi Ketua Biara tidak kasih kesempatan, segera pula dia memapas dengan senjatanya! Ketika lima belas jurus dia terkurung rapat oleh sambaran Sapu Jagat yang dahsyat itu, menggeramlah Pendekar Pemetik Bunga. Pukulan-pukulan Tapak Jagat dan kebutan angin pengap tepi jubahnya sama sekali tidak mempan menerobos gulungan angin sapu lidi lawan! Pada jurus kedua puluh satu Pendekar Pemetik Bunga memekik tertahan sewaktu ujung sapu menyerempet dadanya dan membuat jubah hitamnya robek besar! Tidak tunggu lebih lama Pendekar Pemetik Bunga segera cabut kembang kertas kuning yang menancap di kepalanya. Semua tutup jalan nafas atau keluar dari sini! teriak Supit Jagat karena dia maklum bahwa kembang kertas itu mengandung racun yang sangat dahsyat! Biarawati-biarawati angkatan muda segera tinggalkan ruangan sedang biarawati-biarawati angkatan tua tetap di tempat. Pertempuran kini telah berjalan tiga puluh empat jurus dan yang memengkalkan Pendekar Pemetik Bunga ialah racun kuning yang setiap detik menggebu keluar dari bunga kertasnya sama sekali tidak sanggup menerobos angin sapu lidi sang ketua biara malahan kalau dia tidak berhati-hati, racun bunga kertas itu sering kali dihantam membalik ke dirinya sendiri! Di saat pertempuran berjalan semakin dahsyat, di saat tubuh kedua orang itu hanya merupakan bayang-bayang yang dibungkus oleh sinar kuning serta lingkaran-lingkaran angin Sapu Jagat maka tiba-tiba terdengarlah suara siulan-siulan nyaring yang tak menentu yang kemudian disusul oleh suara nyanyian seseorang! Hanya biarawati-biarawati di tepi kalangan pertempuran yang berani mendongak ke atas, ke arah datangnya suara nyanyian itu, sedang mereka yang bertempur meskipun hati masing-masing tercekat mendengar nyanyian ini namun tiada berani palingkan muka! Anak laki-laki hamil dalam perut perempuan Itu namanya anugerah Tuhan Anak laki-laki lahir dari rahim perempuan

Itu namanya kuasa Tuhan Anak laki-laki dibesarkan perempuan Itu namanya kasih sayang Laki membunuh perempuan Itu namanya dosa besar Laki-laki memperkosa perempuan Itu namanya terkutuk Menuntut ilmu buat kebaikan Itu namanya bijaksana Menuntut ilmu buat kejahatan Itu namanya kesetanan Dua tahun turun gunung Malang melintang kelantang-keluntung Di timur membunuh Di barat memperkosa Di selatan membunuh dan memperkosa Di utara memperkosa dan membunuh Dosa setinggi gunung Dosa di mana-mana Kejahatan sedalam lautan Kejahatan di mana-mana Guru sendiri turun gunung Dibunuh dengan kepala dingin Itu namanya laknat kualat Pendekar Pemetik Bunga yang merasa bahwa nyanyian itu ditujukan kepadanya mengerling sekilas dan di atas loteng yang bobol dari mana dia menerobos masuk tadi dilihatnya dua orang duduk berjuntai di atas tiang palang. Yang seorang laki-laki berpakaian putih, dialah yang menyanyi tadi. Yang seorang lagi gadis cantik berpakaian kuning! Biarawati-biarawati yang ada di tepi ruangan yang juga melihat ke atas loteng segera mengenali pemuda yang bernyanyi itu yakni bukan lain daripada Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni

212! Karenanya mereka tidak ambil perduli. Sementara itu dari kalangan pertempuran terdengar lagi pekik Pendekar Pemetik Bunga. Ujung Sapu Jagat telah melanda untuk kedua kalinya bagian dada, sehingga jubah yang sudah robek kini robek tambah besar. Kulit dada pemuda itu sendiri kelihatan tergurat merah, sakitnya bukan main! Di atas loteng, Sekar yang sudah sejak tadi tak dapat menahan melompat turun, tapi lengannya dicekal erat-erat oleh Wiro Sableng. Jangan bodoh! Jika kau mengetengahi pertempuran itu salahsalah kau bisa kena gebuk sapu Ketua Biara atau kena tersambar racun jahat bunga kertas Pendekar Pemetik Bunga! Aku tidak takut mati! Biar mati asalkan pemuda terkutuk itu mampus di tanganku! Sekar hendak melompat lagi tapi lengannya tetap dicekal Pendekar 212 dan Wiro tak perdulikan rutukan yang dikeluarkan gadis itu. Lihat saja dulu, Sekar! Sekarang belum saatnya kita turun tangan! Tapi kalau bangsat itu mampus di tangan Ketua Biara, aku akan menyesal percuma seumur hidup! Wiro tertawa. Pendekar terkutuk itu belum keluarkan ilmu simpanannya. Jangankan si Ketua, guru Ketua Biara itupun tak bakal sanggup menghadapinya! Sekar ingat akan ucapan Empu Tumapel yaitu tentang ilmu Jari Penghancur Sukma yang dimiliki Pendekar Pemetik Bunga! Karenanya dia terpaksa ikuti nasihat Wiro dan tetap duduk di samping pemuda itu di atas loteng. Pertempuran di bawah sana sudah berkecamuk enam puluh empat jurus! Crass! Pendekar Pemetik Bunga lompat ke luar dari kalangan pertempuran sewaktu sapu lidi senjata lawan membabat putus tangkai bunga kertas sedang bunganya sendiri robek-robek bertaburan! He... he... he... bersiaplah untuk menghadap setan kuburan, pemuda terkutuk! kata Ketua Biara Pensuci Jagat pula. Pendekar Pemetik Bunga yang biasanya menyahuti setiap ejekan lawannya dengan beringas kini bungkam seribu bahasa. Bola matanya bersinar tapi kelopak matanya kelihatan menyipit dan

mencekung sedang tampangnya buas dan mulutnya berkemik! Dia berdiri di tengah ruangan dengan sepasang kaki merenggang. Tiba-tiba kelihatanlah ibu jari dan jari telunjuk tangan kanannya memancarkan sinar hitam! Pendekar 212 yang berada di atas loteng tersentak kaget dan berseru keras. Ketua Biara Pensuci Jagat! Lekas menghindar! Kau tak bakal sanggup menghadapi ilmu Jari Penghancur Sukma itu! Tapi Supit Jagat tidak ambil peduli. Malah dengan tubuh laksana gunung karang dia tetap berdiri di tempat dan kerahkan seluruh tenaga dalamnya ke sapu lidi di tangan kanan! Ibu jari dan jari telunjuk Pendekar Pemetik Bunga mulai membentuk lingkaran. Sinar hitam jari-jari itu menggidikkan. Ketua Biara, lekas menghindar! seru Wiro sekali lagi. Namun tetap Supit Jagat tidak bergerak dan hadapi lawannya dengan penuh ketabahan! Edan betul! teriak Wiro Sableng! Pendekar 212 bersuit nyaring. Tak seorang pun yang melihat kalau tangannya sebelah kanan saat itu sudah berubah menjadi putih laksana perak menyilaukan! Di lain kejap Pendekar Pemetik Bunga jentikkan jari telunjuknya. Di hadapannya Supit Jagat hantamkan pula sapu lidinya dalam satu jurus tusukan yang dahsyat! Larikan sinar hitam yang dahsyat menggidikkan menggebu ke arah Supit Jagat. Sinar hitam ini dipapasi oleh angin membadai yang berwarna putih agak kelabu dari sapu sang Ketua Biara! Hebatnya, sebelum dua sinar maut itu sama-sama berbenturan, dari atas loteng satu sinar putih yang panas dan sangat menyilaukan memapaki di tengah-tengah kedua sinar tadi! Itulah Pukulan Sinar Matahari yang telah dilancarkan oleh pendekar 212 dari atas loteng! Tiga dentuman yang berkumandang secara serentak menggetarkan bumi. Dunia laksana mau kiamat! Dinding-dinding ruangan pecah-pecah, banyak yang ambruk! Tiang-tiang gedung biara beberapa di antaranya runtuh bergemuruh! Loteng amblas! Biarawati-biarawati yang ada di dalam gedung segera berlompatan ke luar termasuk Pendekar Pemetik Bunga dan Supit Jagat. Wiro Sableng sendiri sebelumnya telah melesat meninggalkan loteng bersama Sekar. Sewaktu kedua orang ini sampai di halaman muka, keduanya mendapatkan Ketua Biara dan Pendekar Pemetik Bunga telah berhadap-hadapan kembali!

Diam-diam Pendekar 212 berunding dengan Sekar. Kemudian Wiro berseru, Ketua Biara, harap kau suka memberi kesempatan padaku untuk turun tangan menjajal pemuda yang katanya berilmu setinggi gunung sedalam lautan dan congkak ini! Supit Jagat setelah melihat kehebatan ilmu Jari Penghancur Sukma lawannya menyadari bahwa dia tak akan sanggup menghadapi Pendekar Pemetik Bunga! Seruan Pendekar 212 tadi adalah kesempatan yang paling baik baginya untuk mengundurkan diri tanpa kehilangan muka. Pendekar 212, jika kau memang punya urusan tertentu dengan manusia keparat ini silahkan maju! Licik! teriak Pendekar Pemetik Bunga. Matanya beringas memandangi Wiro Sableng. Pendekar 212 sebaliknya tertawa mengejek! Dalam kamus kehidupanmu, rupanya kau masih kenal arti kata licik, heh? Apakah kau juga tahu apa artinya kebejatan? Apa arti terkutuk dan apa arti kualat serta dosa?! Merah padam paras Pendekar Pemetik Bunga! Kunyuk bermuka manusia, kau siapa? Apa kepentinganmu mencampuri urusan orang lain?! Apa kepentinganku? Banyak... banyak sekali, sobat! Kau bisa tanya nanti pada iblis-iblis penjaga kubur atau setan-setan di neraka... Habis berkata begini Wiro Sableng tertawa bekakakan. Anjing kurap yang tak tahu diri, makan jariku ini! Sinar hitam berkiblat melanda Wiro Sableng! Pendekar 212 yang sudah punya rencana tersendiri tidak memapasi serangan lawan dengan seluruh tenaga dalamnya. Dia tak ingin manusia terkutuk itu mati dalam tempo singkat! Sambil lancarkan Pukulan Sinar Matahari dia melompat setinggi enam tombak. Dari bawah Pendekar Pemetik Bunga kebutkan lengan jubahnya! Dua lusin bola-bola hitam menderu ke arah Wiro Sableng. Yang diserang menyambut dengan Pukulan Benteng Topan Melanda Samudera. Dua puluh empat bola-bola hitam itu meledak dan udara tertutup kabut hitam! Pendekar 212 yang tahu maksud licik lawannya, begitu kabut hitam menutupi pemandangan segera jungkir balik dua kali berturutturut. Bila dalam sekejapan mata kemudian dia sudah keluar dari kabut hitam itu maka kelihatanlah Pendekar Pemetik Bunga melarikan diri ke arah pintu gerbang biara. Lima orang biarawati yang

menjaga pintu itu sekali jentikkan jari saja segera dibikin meregang nyawa oleh Pendekar Pemetik Bunga. Pemuda ini kemudian bergerak cepat menekan tombol rahasia pembuka pintu. Tapi Pendekar 212 tahu-tahu menghadang di hadapannya! Mau lari ke mana, sobat?! bentak Wiro Sableng. Sebenarnya Pendekar Pemetik Bunga bukanlah seorang pengecut. Namun melihat ilmu Jari Penghancur Sukma yang dilancarkan terhadap Wiro Sableng tiada mempan sama sekali maka lumerlah nyalinya! Kegusaran membuat Pendekar Pemetik Bunga menjadi kalap, apalagi dalam keadaan kepepet begitu rupa. Dia menyerbu membabi buta! Tangan kiri mengebutkan sabuk mutiara sedang tangan kanan kembali lancarkan ilmu Jari Penghancur Sukma. Wiro tetap tak mau sambuti serangan dahsyat itu dengan kekerasan. Dia jatuhkan diri ke tanah, berguling cepat mendekati lawan sebelum larikan sinar hitam menyerempet tubuhnya untuk kemudian tahu-tahu dia sudah berada di belakang Pendekar Pemetik Bunga! Pendekar Pemetik Bunga membalikkan badan secepat kilat. Tapi begitu tubuhnya berbalik, begitu dua ujung jari melanda urat besar di pangkal lehernya! Tak ampun lagi pemuda terkutuk ini menjadi kaku tegang tubuhnya! He... he... Apakah kini kau bisa jual tampang pamerkan segala ilmu silat dan kesaktianmu, manusia terkutuk?! ejek Wiro Sableng. Bangsat rendah! Kelak kau akan rasakan pembalasanku...! Sementara itu Sekar yang melihat musuh besarnya berada dalam keadaan tertotok segera datang berlari dan keluarkan Rantai Petaka Bumi. Manusia bermuka iblis! Hari ini lunaslah hutang jiwa orang tua dan adikku! Wuut! Rantai baja dengan bola baja berduri menderu ke arah kepala Pendekar Pemetik Bunga! Pendekar ini membeliak besar kedua matanya, keringat dingin berbutir-butir di keningnya! Dari mulutnya keluar jerit ketakutan setinggi langit! Sesaat lagi bola berduri itu akan menghantam hancur remukan kepala Pendekar Pemetik Bunga, satu tangan memukul ke depan dan bola berduri lewat setengah jengkal di alas kepala si pemuda yang sudah ketakutan setengah mati. Wiro! Apa-apaan kau?! sentak Sekar karena Wirolah yang

membuat serangan mautnya tak mengenai sasaran! Jangan bodoh, Sekar! Mati dalam tempo yang singkat terlalu enak buat manusia macam dia! Wiro berpaling pada Ketua Biara Pensuci Jagat dan beberapa biarawati yang ada di situ. Bukankah demikian? ujarnya. Supit Jagat tertawa mengekeh. Kita jebloskan saja dia ke dalam sumur binatang berbisa! mengusulkan Supit Jagat. Wiro tertawa dan gelengkan kepala. Dipegangnya dagu Pendekar Pemetik Bunga lalu tanyanya, Sobat, apakah kau pernah memikirkan bagaimana sakitnya sekujur tubuhmu bila jalan darahmu menyungsang terbalik?! Pucat pasilah muka Pendekar Pemetik Bunga. Demi Tuhan, aku minta agar dibebaskan! Aku bertobat. Betulbetul tobat...! Aku betul-betul tobat...! Aku mohon keadilan! kata Pendekar Pemetik Bunga. Kepalanya dipalingkan pada Supit Jagat, mohon belas kasihan. Dan saat itu dia mulai menangis merengekrengek macam anak kecil! Kau mohon keadilan dan mohon pengampunan? tanya Supit Jagat dengan tertawa-tawa. Ya, dan aku akan bertobat. sahut Pendekar Pemetik Bunga. Baik, kami akan ampuni kau punya jiwa. Tapi ada syaratnya! Apapun syaratnya akan aku terima. kata Pendekar Pemetik Bunga tanpa ragu-ragu. Ketua Biara Pensuci Jagat tertawa. Syaratnya mudah saja. Cungkil sendiri kau punya jantung dan serahkan padaku! Pendekar Pemetik Bunga menangis meraung-raung minta diampuni. Matanya menjadi bengkak dan merah. Pendekar 212, sebaiknya lekas saja dimulai penjatuhan hukuman atas dirinya! kata Supit Jagat. Betul, makin cepat makin baik! Wiro membelai-belai rambut Pendekar Pemetik Bunga dengan senyum-senyum. Kasihan.., kasihan... katanya. Kemudian dua jari tangannya bergerak melakukan totokan di beberapa bagian tubuh Pendekar Pemetik Bunga. Semua orang menunggu apa yang bakal terjadi. Pendekar Pemetik Bunga sudah seputih kain kafan tampangnya, keringat mengucur mulai dari kulit kepala sampai ke kaki! Mula-mula dia tak merasakan apa-apa. Tapi kemudian kepalanya terasa sampai sakit. Rasa sakit menjalar ke seluruh tubuh! Peredaran darah dalam

tubuhnya tidak normal lagi. Berdenyut membalik! Dan lolonganlolongan yang mengerikan keluar tiada hentinya dari mulut laki-laki itu. Beberapa saat kemudian Wiro lepaskan totokan di tubuh pemuda terkutuk itu. Kini rasa sakit semakin menjadi-jadi. Dunia ini seperti menyungsang di mata Pendekar Pemetik Bunga. Dia lari sana lari sini, berteriak tak karuan, mencak-mencak, berguling di tanah! Beberapa menit berlalu darah mulai mengucur dari kedua lobang hidung, mata serta telinganya! Wiro berpaling pada gadis baju kuning di sebelahnya Sekar, jika kau mau turun tangan inilah saatnya. Tapi jangan bunuh dia sekaligus! Rahang-rahang Sekar bergemeletakkan. Dia maju satu langkah. Rantai Petaka Bumi diputar-putar. Melihat ini Pendekar Pemetik Bunga lari jauhkan diri. Tapi, wuutt! Bola baja berduri menderu. Pendekar Pemetik Bunga berteriak. Kupingnya yang sebelah kanan putus! Darah mengucur lebih banyak. Sekali lagi bola baja itu berdesing dan kali yang kedua ini sasarannya adalah telinga sebelah kiri Pendekar Pemetik Bunga! Keganasan dendam Sekar tidak sampai di situ saja. Bola bajanya menderu lagi menghantam hidung si pemuda hingga hidung itu hancur melesak dan tampang Pendekar Pemetik Bunga sungguh mengerikan untuk dipandang! Sudah cukup, Sekar?! tanya Wiro Sableng. Belum! jawab gadis itu pendek dan beringas. Sementara itu Pendekar Pemetik Bunga sudah terhampar di tanah dekat tembok, megap-megap dan masih menjerit-jerit! Di antara jeritan itu terdengar lagi deru bola baja berduri dua kali berturut-turut! Yang pertama menghantam tangan kanan Pendekar Pemetik Bunga, tangan yang telah puluhan kali melakukan kejahatan membunuh manusia-manusia tak berdosa! Hantaman yang kedua melanda tepat pada anggota rahasia di antara selangkangan Pendekar Pemetik Bunga yang selama dua tahun telah puluhan kali merusak kehormatan perempuan terutama gadis-gadis berparas cantik! Tubuh Pendekar Pemetik Bunga menggelepar-gelepar. Nyawanya masih belum putus, hampir di ambang sekarat! Ketua Biara Pensuci Jagat, bagaimana dengan kau? tanya Wiro.

Supit Jagat tertawa sedingin salju. Ingat dia pada orang-orangnya yang telah menemui ajal di tangan pemuda itu. Dia maju selangkah. Pendekar terkutuk! Apakah kau masih bias mendengar suaraku?! Uh... uh.. Hem, bagus... Meski matamu tak dapat melihat karena genangan darah, tapi dengarlah, aku akan lukis parasmu seindah mungkin dengan sapu lidiku ini! Habis berkata demikian, Supit Jagat tusukkan ujung sapu lidinya ke muka Pendekar Pemetik Bunga! Jeritan pemuda itu terdengar lagi, tapi tidak sekeras tadi. Suaranya sudah sember dan mukanya mengerikan lebih kini! Tusukan Sapu Jagat membuat mukanya itu laksana dipanteki dengan ratusan paku! Pendekar Pemetik Bunga menggelepar-gelepar. Berguling ke kiri dan ke kanan, bergelimang darah serta debu. Kematiannya sungguh mengerikan. Namun mungkin itu belum seimbang dengan kejahatankejahatan yang paling terkutuk yang pernah dilakukannya selama dua tahun.

TAMAT

BASTIAN TITO
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212

WIRO SABLENG

TIGA SETAN DARAH & CAMBUK API ANGIN


Ebook Oleh: kucinglistrik

WIRO SABLENG TIGA SETAN DARAH & CAMPUK API ANGIN

EMUDA baju biru itu berdiri dengan gagahnya di puncak bukit. Angin dari timur bertiup melambai-lambaikan rambutnya yang gondrong menjela bahu. Sepasang matanya sejak tadi hampir tiada berkesip memandang lekat-lekat ke arah utara di mana berdiri dengan megahnya pintu gerbang kotaraja. Sudah hampir setengah hari dia berada di puncak bukit itu. Sudah jemu dan letih matanya memandang terus-terusan ke arah pintu gerbang. Namun manusia-manusia yang ditunggunya belum juga kelihatan muncul. Sebetulnya dia bisa menuruni bukit itu dan langsung memasuki kotaraja. Tapi dia ingat pesan gurunya, di kotaraja penuh dengan hulubalang-hulubalang Baginda, bahkan tokoh-tokoh silat kelas satu pentolan-pentolan istana, banyak orang sakti berilmu tinggi sehingga menyelesaikan perhitungan di dalam kotaraja sama saja mencemplungkan diri ke dalam jebakan di mana dia tak mungkin lagi akan keluar. Kalaupun ada jalan keluar maka itu ialah jalan kepada kematian! Dia menunggu lagi. Sekali-sekali dia memandang ke jurusan lain untuk menghilangkan kejemuan dan kelesuan matanya. Kemudian bila dia memandang pada dirinya sendiri, memperhatikan tangan kirinya yang buntung sebatas siku maka di saat itu ingatlah dia akan ucapan gurunya sewaktu dia hendak meninggalkan pertapaan. Hari ini kuperbolehkan kau meninggalkan tempat ini, Pranajaya. Tapi kelak di kemudian hari kau musti kembali kemari untuk menuntut satu ilmu baru yang sekarang ini kugodok. Kau pergi dari sini dan musti berhasil mencari ketiga manusia yang telah membunuh kau punya bapak... Tempo hari aku sudah pernah terangkan. Kau masih ingat siapa nama julukan ketiga manusia itu? Mereka adalah Tiga Setan Darah, Guru. jawab Pranajaya. Betul. kata sang guru. Ketiganya berada di kotaraja. Sudah

sejak lama kuketahui hidup di sana sebagai bergundal-bergundalnya Baginda. Tapi ingat Prana! Sekali-kali jangan selesaikan perhitunganmu dengan mereka di dalam kotaraja. Itu berbahaya besar karena kotaraja penuh dengan tokoh-tokoh silat kelas satu yang menjadi kaki tangan Baginda... Dengan bekal ilmu yang Guru wariskan, serta Pedang Ekasakti yang Guru berikan tak satu lawan pun yang saya takutkan di atas bumi ini. Apalagi saya tahu bahwa saya berada di atas kebenaran! Empu Blorok tersenyum dan rangkapkan kedua tangannya di muka dada. Aku senang mendengar ucapan jantanmu. kata Empu Blorok pula. Tapi walau bagaimanapun membuat kegaduhan di dalam kotaraja sangat berbahaya bagi keselamatan jiwamu. Di samping itu aku mengingat pula akan tugas yang hendak kuberikan padamu. Jadi Prana, ringkas kata kau musti membereskan Tiga Setan Darah di luar kotaraja, bagaimana caranya terserah kau. Sang murid manggut-manggutkan kepalanya. Tadi guru menyebutkan satu tugas untukku... Mohon penjelasan lebih lanjut. kata Pranajaya. Bila perhitunganmu dengan Tiga Setan Darah telah selesai maka kau harus pergi ke Pulau Seribu Maut. Pranajaya tak pernah mendengar tentang pulau itu dan tidak pula tahu di mana letaknya. Maka diapun menanyakannya. Pulau itu, menjawab Empu Blorok, terletak di ujung timur Pulau Jawa. Di situ bercokol seorang manusia bernama Bagaspati. Dulunya dia adalah kawan baikku. Tapi kemudian mencuri sebuah senjata mustikaku dan melarikan diri. Dengan senjata mustika itu dia membuat keonaran di mana-mana dan berbuat kejahatan! Kau harus mengambil senjata mustika itu kembali dari tangannya, Pranajaya. Kalau dia banyak rewel, kau tahu apa yang musti dilakukan! Baik, Guru. kata Pranajaya lalu tanyanya, Senjata apakah yang telah dicuri oleh Bagaspati itu? Sebuah cambuk, Prana. Cambuk Api Angin namanya! Tugas dari Guru akan aku jalankan. Mohon doa restu. kata Pranajaya. Ketika dia hendak pamitan Empu Blorok berkata, Tunggu sebentar Prana. Masih ada yang hendak kuterangkan padamu. Soal apa, Guru?

Soal dirimu. Kau lihat tangan kirimu yang buntung itu...? Prana memperhatikan tangan kirinya lalu mengangguk. Aneh terasa baginya kalau saat itu gurunya bicara soal tangan itu, padahal sudah sejak belasan tahun dia berada bersama Empu Blorok dan sang guru tak pernah bicara apa-apa soal tangannya yang buntung itu. Waktu bapakmu dibunuh, berkata Empu Blorok, dia sedang tidur di atas balai-balai di sampingmu. Tiga Setan Darah menyerbu masuk dan salah seorang di antara mereka segera membacokkan sebilah pedang! Bapakmu seorang yang berilmu tinggi. Begitu dia merasakan sambaran angin senjata maut itu, dia segera melompat. Dia berhasil mengelakkan bacokan pedang namun akibatnya ujung pedang terus menyambar lenganmu dan membabat putus sikumu. Kau saat itu masih orok, Prana. Bapakmu kemudian dikeroyok bertiga dan menemui ajalnya. Sebelum Tiga Setan Darah mencincangmu, kakakku Empu Krapel berhasil menyelamatkanmu dan menyerahkanmu kepadaku. Sayang kakakku itu sudah menutup mata, kalau tidak tentu dia gembira melihat kau sudah dewasa dan gagah begini! Pranajaya terdiam seketika. Dendam membara di lubuk hatinya. Lalu tanyanya, Yang manakah di antara Tiga Setan Darah yang telah membacok bapakku sewaktu beliau sedang tidur itu, Empu...? Aku kurang tahu, Prana. sahut Empu Blorok. Keterangan kakakku waktu membawa kau ke sini kurang jelas. Karena tak ada lagi yang akan dibicarakan maka Pranajaya berkata, Murid minta diri, Guru. Mohon doa restumu... Empu Blorok mengangguk. Dipandanginya muridnya itu sampai akhirnya Pranajaya hilang di kejauhan. Pranajaya memandang lagi untuk kesekian kalinya ke arah pintu gerbang kotaraja. Suasana tidak berubah seperti tadi-tadi. Dua pengawal berdiri di sisi-sisi pintu gerbang, masing-masing memegang sebatang tombak. Tak ada yang lalu-lalang. Pintu gerbang itu diselimuti kesunyian. Sampai berapa lama lagi aku musti menunggu? tanya Pranajaya pada dirinya sendiri. Hatinya kesal. Sebenarnya dia tidak takut memasuki kotaraja untuk lekas-lekas membuat perhitungan dengan Tiga Setan Darah. Malah ini adalah satu permulaan baginya untuk menjajaki sampai di mana ketinggian ilmu silat dan kesaktiannya yang dimilikinya serta sampai di mana pula kehebatan

tokoh-tokoh silat di kotaraja itu! Namun dia musti patuh pada pesan gurunya dan tidak boleh bertindak gegabah. Empu Blorok lebih berpemandangan luas. Dan dia musti menunggu terus. Menunggu sampai Tiga Setan Darah keluar dari pintu gerbang kotaraja. Menurut keterangan yang didapat Pranajaya dari seorang pengawal istana yang disogoknya dengan sekeping emas, hari itu Tiga Setan Darah akan meninggalkan kotaraja, pergi ke satu tempat di selatan untuk satu keperluan penting. Atau mungkin pengawal istana itu telah menjual keterangan dusta kepadanya? Letih berdiri akhirnya Pranajaya duduk di tanah, bersandar ke sebatang pohon. Sepasang matanya senantiasa ditujukan ke pintu gerbang kotaraja itu.

***
Sementara itu di kotaraja. Orang itu berdiri di halaman belakang istana. Dia telah menyelidik ke kandang kuda dan tiga ekor kuda yang kulit serta bulu tengkuk dan ekornya dicelup merah telah dilihatnya di dalam kandang kuda istana yang besar itu. Hatinya lega. Ini satu pertanda bahwa Tiga Setan Darah masih berada di dalam istana. Orang ini menunggu sambil membayangkan hadiah apa yang kira-kira bakal diberikan Tiga Setan Darah kepadanya kelak. Dua pengawal di pintu belakang istana menjura hormat sewaktu tiga orang berjubah merah, berambut dan bermuka yang dicat merah melewati pintu itu, melangkah cepat menuju kandang kuda. Orang laki-laki tadi segera mendekati Tiga Setan Darah. Setelah menjura dia berkata, Bolehkah aku bicara dengan kalian...? Tiga Setan Darah yang paling tua menghentikan langkahnya dan hendak mendamprat. Saat itu bersama dua orang kawannya dia hendak berangkat untuk satu urusan panting tapi kini ada seseorang yang mengganggu. Ini sangat menggusarkannya. Sewaktu melihat bahwa laki-laki yang berkata tadi itu adalah seorang pengawal istana yang dikenalnya, Tiga Setan Darah tertua ini surut juga sedikit amarahnya. Ada perlu apa kau?! tanyanya kasar. Ada keterangan penting yang bakal kusampaikan, Tiga Setan Darah. Hemm... Coba katakan cepat! kata Setan Darah tertua sambil mengerling pada dua orang kawannya.

Seorang asing hendak berbuat jahat terhadap kalian bertiga... Hah... apa?! Malam tadi aku tengah makan di kedai, menuturkan pegawai istana itu. Namanya Camar Pawang. lalu ada seorang asing mendekatiku dan berkata jika aku bisa kasih keterangan tentang Tiga Setan Darah dia akan memberikan hadiah sekeping emas. Aku segera maklum bahwa orang asing itu bukan bermaksud baik-baik terhadap kalian bertiga. Kuambil emas itu dan kuberikan sedikit keterangan kepadanya. Keterangan palsu! Apa yang itu orang asing tanya dan apa yang kau terangkan padanya? tanya Tiga Setan Darah Kedua. Dia tanya kalau-kalau aku tahu bila kalian bertiga meninggalkan istana dan keluar dari kotaraja. Apa, jawabmu? tanya Setan Darah Ketiga. Kuberikan keterangan dusta. Kukatakan bahwa Tiga Setan Darah hari ini akan pergi ke satu tempat di selatan untuk satu urusan penting... Setan Darah Pertama melototkan mata. Saat itu dia dan kawankawannya memang hendak berangkat ke satu tempat untuk menjalankan tugas baginda, tapi bukan ke selatan melainkan ke daerah barat kotaraja. Aku tidak percaya! kata Setan Darah Pertama, Coba, mana emas itu, aku mau lihat! Camar Pawang mengeruk sakunya dan mengeluarkan sekeping kecil emas yang diterimanya dari orang asing itu. Setan Darah Pertama mengambil kepingan emas itu, memperhatikannya lalu sambil menimang-nimang emas itu dia bertanya, Bagaimana ciri-ciri orang asing itu?! Dia masih muda. Tampangnya cakap, berbaju biru dan tangan kirinya buntung. Di balik baju birunya, di sebelah punggung menyembul ujung gagang pedang... Hem... Setan Darah Pertama menggumam. Dia anggukanggukkan kepala beberapa kali. Ada lagi yang hendak kau katakan? Camar Pawang menggeleng. Kalau begitu kau tunggu apa lagi?! Cepat berlalu dari hadapan kami! bentak Setan Darah Pertama. Camar Pawang mundur satu langkah dan memandang pada kepingan emas yang masih ditimang-timang Setan Darah Pertama. Emas itu... kata Camar Pawang.

Emas bapak moyangmu! semprot Setan Darah Kedua. Sudah untung kau tidak kami gebuk, masih mau minta emas! Pergi! Camar Pawang memandang pada Setan Darah Pertama. Manusia bermuka merah ini tertawa mengekeh dan membalikkan badannya sambil memasukkan kepingan emas ke dalam saku jubahnya. Camar Pawang menelan ludah. Sudah dibayangkannya dia bakal mendapat hadiah dari Tiga Setan Darah, tapi malah emas yang diterimanya dari si orang asing kini diambil oleh manusia bermuka merah itu! Camar Pawang menyumpah habis-habisan dalam hatinya dan meninggalkan tempat itu. Di depan pintu kandang kuda, Setan Darah Pertama hentikan langkah dan bertanya pada kedua orang kawannya. Apa pendapat kalian? tanyanya. Setan Darah Kedua mengusap dagunya lalu berkata, Jika keterangan kunyuk kepala dua itu betul, pastilah orang asing itu menunggu kita di satu tempat di daerah selatan... Aku merasa heran juga, membuka mulut Setan Darah Ketiga, seingatku kita tak pernah bikin urusan dengan seorang pemuda bertangan buntung. Apa maksud manusia itu mencari keterangan tentang kita sebenarnya? Setan Darah Pertama merenung sejenak. Kalau mau, kita masih ada waktu untuk menyelidik ke selatan. Dua orang kawannya menyetujui hal itu. Ketiganya segera mengambil kudanya masing-masing.

***

WIRO SABLENG TIGA SETAN DARAH & CAMPUK API ANGIN

NGIN dari timur bertiup lagi melambai-lambaikan rambut dan lengan kiri baju biru yang dikenakan Pranajaya. Bila untuk kesekian kalinya pemuda ini memandang lagi ke arah utara maka membesilah parasnya. Air muka dan hatinya menjadi tegang. Tiga penunggang kuda kelihatan keluar dari pintu gerbang kotaraja. Kuda-kuda dan penunggangnya berwarna merah. Meski jauh sekali, namun melihat kepada jumlah penunggang-penunggang kuda itu dan melihat kepada warna pakaian mereka, Prana segera maklum bahwa mereka bukan lain daripada Tiga Setan Darah yang memang sedang ditunggu-tunggunya sejak tadi! Tiga manusia yang telah membunuh ayahnya! Waktu penantian berakhir sudah! Saat pembalasan kini tiba! Tanpa menunggu lebih lama Pranajaya segera berdiri. Kemudian sekali dia gerakkan kedua kakinya, maka pemuda ini sudah lenyap dari puncak bukit. Tubuhnya laksana angin topan berlari kencang menuruni lereng bukit ke arah liku jalan yang kelak bakal dilalui Tiga Setan Darah. Demikian cepat larinya hingga kedua kakinya laksana tak pernah menginjak bumi! Itu adalah berkat ilmu lari dan ilmu mengentengi tubuh hebat yang telah dikuasainya! Pranajaya sampai di tikungan jalan lebih dahulu dari Tiga Setan Darah. Pemuda ini menunggu dengan hati tegang tapi tetap tenang. Dia maklum Tiga Setan Darah adalah manusia-manusia berilmu tinggi, karenanya dia tidak boleh bertindak ceroboh. Suara derap kaki kuda terdengar semakin dekat dan akhirnya muncullah penunggang-penunggang kuda itu satu demi satu di tikungan jalan. Berhenti! teriak Pranajaya sambil angkat tangan kanannya. Tiga Setan Darah sama-sama hentikan kuda masing-masing dan memandang menyorot pada pemuda yang berdiri di tengah jalan di hadapan mereka. Keterangan Camar Pawang tidak dusta. Benar pemuda yang diterangkan ciri-cirinya itulah yang saat ini menghadang mereka. Parasnya cakap, rambut gondrong, berpakaian

biru dan tangan kirinya buntung sebatas siku sedang di balik punggung kelihatan menyembul gagang pedang. Pemuda tangan buntung! kata Setan Darah Pertama dengan suara keras, Apa-apaan ini?! Pranajaya menyapu tampang-tampang ketiga manusia itu. Lalu tanyanya dengan membentak, Kalian Tiga Setan Darah?! Prana bertanya untuk meyakinkan. Sompret! maki Setan Darah Kedua. Siapa kau yang berani menghalangi perjalanan kami! Apa sudah bosan hidup?! Aku Pranajaya! memberitahu si pemuda. Setan Darah tertua menyeringai dan mengeluarkan suara mengekeh. Orang muda, kami memang Tiga Setan Darah yang terkenal itu. Ada maksud apa kau menghadang kami! Dari pegawai istana yang kau sogok dengan sekeping emas itu kami mendapat keterangan yang kau mau cari urusan! Apa betul! Sebelum Pranajaya menjawab, Setan Darah Ketiga sudah membuka mulut, Orang hina! Lekas angkat kaki dari sini sebelum kupuntir kepalamu! Rupanya dia tidak tahu tengah berhadapan dengan siapa! kata Setan Darah Kedua. Pranajaya berdiri dengan sepasang kaki terkembang. Sinar di matanya semakin menyorot sedang di air mukanya membayangkan kebencian dan dendam yang meluap! Tiga Setan Darah! Kalian tentunya belum melupakan peristiwa beberapa belas tahun yang silam. Ingat waktu kalian mengeroyok dan membunuh secara pengecut seorang bernama Wijaya?! Tentu saja Tiga Setan Darah terkejut. Ketiganya saling mengerling, kemudian Setan Darah Ketiga menjawab, Manusia buntung, kami masih ingat. Apa sangkut-pautmu dengan peristiwa itu?! Aku adalah anak orang yang kau bunuh itu! jawab Pranajaya tanpa tedeng aling-aling. Oh... begitu?! desis Setan Darah Pertama. Kawan-kawan! seru Setan Darah Kedua, Tentunya pemuda buruk ini adalah bayi yang kita bacok buntung tangannya dulu itu! Betul! sahut Prana. Dia maju satu langkah. Yang mana di antara kalian yang membacokku?! Setan Darah Pertama tertawa bekakakan. Pemuda ingusan, apakah kemunculanmu kali ini hendak

menuntut balas atas kematian kau punya bapak dan karena kehilangan lengan kirimu itu?! Pranajaya menggeleng perlahan. Lantas?! tanya Setan Darah tertua dengan heran. Aku datang bukan buat menuntut balas, kata Pranajaya, tapi untuk meminta jiwa busuk kalian! Tiga Setan Darah sama-sama tertawa membahak. Pemuda buntung, ejek Setan Darah Kedua, kau mimpi di siang bolong! Setan Darah Pertama menimpali, Bapakmu yang punya dua tangan kami bikin mampus! Kau yang punya satu mau jual tampang! Setan Darah Ketiga tidak tinggal diam. Mungkin kau kepingin cepat-cepat ketemu bapakmu di neraka? tanyanya. Dan ketiga manusia bermuka merah itu tertawa lagi terbahakbahak. Manusia-manusia muka kepiting rebus, sentak Pranajaya dengan geram, silahkan turun dari kuda kalian. Atau mungkin kalian mau mampus di atas kuda masing-masing? Merahlah Tiga Setan Darah mendengar ucapan Pranajaya itu. Setan Darah Pertama kebutkan lengan jubah sebelah kanan. Serangkum sinar merah menyambar dahsyat ke arah Pranajaya. Pasir dan debu jalanan beterbangan saking hebatnya serangan ini. Pranajaya cepat menghindar ke samping dan begitu sinar merah lewat di sebelahnya segera pula pemuda ini hantamkan tinju kanannya ke arah Setan Darah Pertama. Satu gelombang angin yang padat dan keras menggumpal menyerang ke arah tenggorokan Setan Darah pertama. Ini adalah pukulan Angin Sewu. Setan Darah Pertama tidak mengelak, sebaliknya tetap berdiri di tempat dan lambaikan tepi jubah sebelah kiri. Sekali pukul saja maka buyarlah angin pukulan jarak jauh Pranajaya! Tapi betapa kagetnya si muka merah ini karena begitu buyar, buyaran angin pukulan itu kembali menyerangnya. Malah kini lebih dahsyat lagi dari yang pertama tadi karena kali ini pecahan angin pukulan itu sekaligus menyerang ke arah dua belas jalan darah yang mematikan di tubuhnya! Setan Darah Pertama berseru nyaring lalu melompat tiga tombak ke udara. Laksana seekor alap-alap tubuhnya menukik ke arah Pranajaya dan sedetik kemudian kedua orang itu sudah berhadapan

dalam jarak tiga langkah. Setan Darah Pertama, biar aku yang kermus pemuda keparat itu! teriak Setan Darah Ketiga. Setan Darah Pertama tidak ambil perduli. Dengan ganasnya dia menyerang. Jari telunjuk dan jari tengah tangan kanannya menusuk ke muka. Makan jariku ini, laknat! teriaknya. Serangan ilmu jari Pencungkil Karang memang hebat dan ganas. Jangankan tulang atau daging manusia, batu karang yang atos sekalipun akan berlobang dan hancur kalau ditusuk oleh sepasang jari itu! Dan kini sepasang jari itu menyerang ke mata kiri kanan Pranajaya! Pranajaya hanya melihat lawan menggerakkan tangan kanannya sedikit dan tahu-tahu sepasang jari lawan sudah di depan hidungnya! Pemuda ini cepat rundukkan kepala. Dia berhasil melewatkan tusukan dua jari yang berbahaya itu dan di saat yang bersamaan sekaligus pukulkan tinju kanannya ke muka! Setan Darah Pertama melihat serangannya yang mematikan tadi dapat dilewati segera pergunakan tepi telapak tangan kanannya untuk menghantam bahu Pranajaya! Kedua orang itu sama-sama mempunyai kesempatan untuk mengelak. Namun keduanya lebih menginginkan untuk meneruskan serangan masing-masing dan menghindar secara sambilan saja. Maka dalam kejap yang bersamaan tinju kanan Pranajaya melanda dada lawan sedang tepi telapak tangan kanan Setan Darah Pertama mendarat dengan kerasnya di bahu kiri Pranajaya! Kedua orang ini sama-sama mengeluh sakit. Pranajaya terguling di tanah. Setan Darah Pertama terjajar beberapa langkah ke belakang dan jatuh duduk! Mukanya pucat pasi. Dadanya sakit dan serasa melesak ke dalam membuat sesak nafasnya. Cepat-cepat manusia muka merah ini bersila di tanah dan kerahkan tenaga dalamnya serta atur jalan nafas. Diam-diam dia terkejut melihat Pranajaya dapat berdiri kembali meskipun dengan tubuh termiring-miring! Pukulan telapak tangan kanannya tadi mengandalkan lebih dari separoh tenaga dalamnya, tapi si pemuda masih sanggup berdiri dan masih hidup Di lain pihak Pranajaya merasakan tulang bahunya laksana patah! Badannya miring ke kiri sewaktu berdiri. Kalau saja dia tidak memiliki kekuatan tenaga dalam yang sempurna pastilah jiwanya sudah melayang! Prana memperhatikan Setan Darah Pertama yang

saat itu tegak kembali dengan pandangan mata menyorotkan maut! Manusia ini ternyata memiliki ilmu yang tinggi sekali! Pukulan Angin Sewu yang disangkakannya akan merenggut nyawa lawan kiranya cuma membuat manusia muka merah itu terhampar jatuh duduk di tanah! Dua orang Setan Darah lainnya yang sudah gatal-gatal tangan mereka untuk segera turun tangan mengurung Pranajaya dari kiri kanan. Biar aku yang pecahkan kepala bangsat ini sendirian! teriak Setan Darah Pertama beringas. Ah! Kunyuk buntung ini terlalu bagus untuk mampus di tanganmu sendirian, jawab Setan Darah Kedua, biar kami bantu! Maka tanpa menunggu lebih lama kedua orang itu segera menyerbu. Setan Darah Pertama tidak berkata apa-apa. Meski hatinya beringas tapi dia memaklumi dan melihat kenyataan sendiri bahwa pemuda rambut gondrong berbaju biru itu tidak berilmu rendah. Karenanya sewaktu dua kawannya itu menyerbu, Setan Darah Pertama diam saja. Menghadapi tiga lawan tangguh begitu rupa membuat Pranajaya harus bergerak dengan cepat dan berlaku lebih hati-hati. Tubuhnya hampir lenyap dalam telikungan bayangan jubah merah ketiga lawannya. Tiada terasa lima belas jurus telah berlalu. Setan Darah Pertama mengkal bukan main. Kawan-kawan, ternyata tikus buntung ini punya ilmu yang diandalkan juga! dia berseru. Bagaimana kalau kita bentuk barisan Tiga Bayangan Siluman?! Setan Darah yang dua orang lainnya menyetujui. Dan pada jurus yang ke enam belas itu maka ketiganya segera melancarkan serangan hebat yang dinamakan barisan Tiga Bayangan Siluman. Setan Darah Pertama setengah merunduk. Seranganserangannya selalu mengarah bagian kedua kaki lawan sedang Setan Darah Kedua menyerang bagian tengah tubuh Prana dan Setan Darah Ketiga seperti seekor burung elang melompat ke atas, menukik ke bawah dan selalu melancarkan serangan ke bagian kepala Pranajaya. Dalam setiap saat ketiganya bisa berganti tempat dan mengambil alih kedudukan masing-masing, terutama bila salah seorang dari mereka diserang oleh lawan! Begitulah, setiap Pranajaya mengelak atau menyerang salah seorang dari mereka, maka yang dua lainnya dengan cepat sekali datang memburu

mengirimkan serangan-serangan maut! Lima jurus pertama setelah bertempur dengan segala kehebatan yang ada maka sedikit demi sedikit mulai kendurlah perlawanan Pranajaya. Pemuda bertangan satu itu kini bertahan mati-matian, namun tetap dia terkurung rapat dan terdesak hebat! Tiba-tiba Prana ingat pedang di punggungnya. Dia adalah seorang pemuda berhati jantan kesatria, yang akan menghadapi lawan bertangan kosong dengan tangan kosong pula. Namun menghadapi pengeroyokan tiga musuh besar itu, di dalam keadaan yang kepepet pula, dia merasa bahwa mencabut pedangnya saat itu bukanlah suatu tindakan yang pengecut. Sambil berteriak, Lihat pedang! maka Pranajaya cabut pedangnya. Sedetik kemudian satu sinar putih menggebu membabat ke tiga jurusan, membuat dengan serta-merta buyarnya barisan Tiga Bayangan Siluman! Sambil bersurut mundur, Tiga Setan Darah memperhatikan Pedang Ekasakti yang memancarkan sinar putih di tangan Pranajaya. Setan Darah Kedua berbisik pada kawan-kawannya, Heh, pedang itu pasti senjata mustika! Kita musti dapat merampasnya! Jangan pikir soal senjata itu dulu, jawab Setan Darah Pertama, yang penting tangkap bangsat ini hidup-hidup. Aku ada rencana tersendiri untuk menamatkan riwayatnya. Kalian... Setan Darah Pertama tidak sempat mengakhiri ucapannya. Saat itu Pranajaya sudah menyerbu. Sinar putih dari pedang bertabur ganas. Ketiga manusia itu cepat menghindar dan masing-masing mereka segera cabut senjata. Setan Darah Pertama mengeluarkan sepasang tombak bermata dua. Setan Darah Kedua mengeluarkan sepasang gada sedang Setan Darah Ketiga mengeluarkan sepasang golok. Kesemua senjata ini berwarna merah dan kesemuanya merupakan senjata-senjata mustika sakti! Percaya akan kehebatan Pedang Ekasaktinya, Pranajaya teruskan menyerang ketiga lawan itu. Trang... trang... trang...! Tiga kali pedang putih itu beradu dengan senjata-senjata lawan. Bunga api bertebaran dan Pranajaya terkesiap kaget! Senjatasenjata lawan mempunyai kehebatan yang luar biasa. Untung saja Pedang Ekasakti dipegangnya erat-erat, kalau tidak dalam bentrokan tiga kali berturut-turut tadi itu pastilah senjatanya akan terlepas! Sementara itu Tiga Setan Darah sudah tegak memencar. Satu

lengkingan nyaring keluar dari tenggorokan Setan Darah Kedua. Maka, tiga manusia muka merah itu dengan serta merta menyerbu ke arah Pranajaya!

***

WIRO SABLENG TIGA SETAN DARAH & CAMPUK API ANGIN

ERTEMPURAN manusia tiga lawan satu itu, kecamukan enam senjata lawan satu pedang berlangsung penuh kehebatan dan mendebarkan. Sedikit saja seseorang membuat gerakan yang salah pastilah salah satu bagian tubuh mereka akan dimakan senjata. Sinar merah jubah dan senjata-senjata Tiga Setan Darah bergulung-gulung membungkus tubuh dan senjata Pranajaya. Berkali-kali pemuda ini nyaris kena tebasan golok atau tusukan tombak atau hantaman gada ketiga lawannya. Jika saja Pranajaya tidak memiliki ilmu mengentengi tubuh yang sempurna serta kegesitan yang luar biasa, sudah sejak tadi-tadi mungkin dia akan menjadi pecundang. Prana berkelebat laksana bayang-bayang. Pedang putihnya membabat kian kemari dalam rangkaian jurus-jurus lihai yang dipelajarinya secara sempurna dari Empu Blorok. Sepuluh jurus telah berlalu. Kemudian lima jurus lagi dan Tiga Setan Darah masih belum sanggup membuktikan kehebatan nama besar mereka selama ini. Malah pada jurus ke dua puluh satu, Setan Darah Ketiga berseru tertahan dan menyurut mundur! Ternyata jubah merahnya robek besar disambar ujung pedang lawan! Masih untung kulit dadanya tidak kena diserempet! Bedebah! rutuk laki-laki itu. Jangan harap kau bisa bernafas sampai tiga kali kejapan mata! Dengan amarah yang meluap Setan Darah Ketiga memutar sepasang goloknya dalam jurus yang aneh dan menyerbu Pranajaya. Ingat, Setan Darah Ketiga! teriak Setan Darah Pertama. Pemuda ini aku mau tangkap hidup-hidup! Lebih bagus kalau dicincang lumat saja! sahut Setan Darah Ketiga. Aku yang jadi pemimpin kalian! teriak Setan Darah Pertama marah. Kau harus ikut apa yang kukatakan!

Setan Darah Ketiga menindas kemarahannya sedapat-dapatnya. Menekan luapan amarah karena dia menyadari bahwa dia musti tunduk pada Setan Darah Pertama. Pertempuran seru berkecamuk lagi. Agaknya kini Tiga Setan Darah telah mengeluarkan pula jurus-jurus ilmu silat mereka yang lihai dan banyak tipu-tipu liciknya. Lima jurus berlalu maka Pranajaya mulai pula terdesak. Trang! Pranajaya tak bisa mengelakkan peraduan senjatanya dengan senjata Setan Darah Pertama. Sebelum bunga api yang bergemerlap lenyap, sebelum murid Empu Blorok itu sempat menarik senjatanya maka sepasang gada dan golok Setan Darah lain-lainnya sudah datang menjepit Pedang Ekasakti di tangan Pranajaya. Prana kerahkan tenaga dalamnya. Dengan sekuat tenaga dicobanya melepaskan pedang dari jepitan enam senjata lawan! Tapi sia-sia! Pedang Ekasakti meskipun pedang mustika namun tiada berdaya dijepit oleh enam senjata mustika lawan! Pedang itu laksana lengket. Prana keluar keringat dingin. Dia tahu, tak ada jalan lain baginya kecuali melepaskan pedangnya pada gagang pedang, menyerahkan bulat-bulat senjatanya ke tangan lawan! Setan Darah Pertama tertawa mengekeh. Sekarang kau baru tahu siapa kami, hah?! Tikus buntung hendak bernyali besar beginilah jadinya! ejek Setan Darah Ketiga. Tiba-tiba, tiada terduga dengan bergantungan pada gagang pedang yang dijepit lawan, tubuh Pranajaya melesat ke muka. Kaki kanannya menendang, dan karena tidak menyangka, Setan Darah Pertama tidak keburu menghindar! Setan Darah Pertama mengeluh tinggi. Tubuhnya mencelat beberapa tombak, terguling di tanah. Dua tulang iganya telah patah dilanda tendangan Pranajaya! Anjing buduk! maki Setan Darah Kedua begitu melihat kawannya kena dihantam lawan. Tanpa menunggu lebih lama manusia ini segera hantamkan gagang gadanya yang di tangan kanan ke pangkal leher. Ini adalah satu totokan yang dahsyat. Karena tak keburu menghindar, tak ampun lagi Pranajaya rebah ke tanah dalam keadaan tubuh kaku laksana patung! Setan Darah Pertama melangkah tertatih-tatih ke hadapan

Pranajaya. Bagaimana lukamu? tanya Setan Darah Kedua. Bangsat ini telah mematahkan dua tulang igaku, jawab Setan Darah Pertama setengah menggeram. Detik ini juga dia akan terima balasannya! Habis berkata begitu Setan Darah Pertama lancarkan satu tendangan ke arah tulang rusuk Pranajaya. Pemuda ini menggelinding beberapa tombak jauhnya. Tiga tulang iganya patah! Meski tubuhnya tertotok tiada berdaya namun perasaan masih tetap ada dan mulutnya masih bisa mengeluarkan suara erangan kesakitan! Setan Darah Pertama masih belum puas. Ini satu lagi! katanya. Dan untuk kedua kalinya kaki kanannya mengirimkan satu tendangan. Kali ini yang jadi sasaran adalah muka Pranajaya. Pemuda ini berusaha menahan jeritan yang hendak melesat dari tenggorokannya meski bibirnya pecah, dua buah giginya patah dan hidungnya mengucurkan darah kental panas! Setan Darah Pertama memburu lagi. Ketika dia hendak menendang sekali lagi, Setan Darah Kedua memegang bahunya. Kali ini dia bisa mampus! Apa kau lupa akan rencanamu sendiri?! Setan Darah Pertama menarik pulang kaki kanannya. Dirabanya sebentar tulang rusuknya yang patah kemudian dia berteriak, Setan Darah Ketiga, ambil tali! Setan Darah Ketiga melemparkan seutas tali kepada laki-laki itu. Pemuda edan! kata Setan Darah Pertama sambil berlutut di hadapan Pranajaya yang saat itu megap-megap. Sebentar lagi kau akan rasakan bagaimana enaknya meluncur di tanah! Kalau tubuhmu kuat kau akan hidup sampai ke kotaraja. Tapi kalau tidak, kau akan mampus di tengah jalan! Habis berkata begitu Setan Darah Pertama segera mengikat pergelangan tangan kanan Pranajaya dengan tali. Ujung tali yang lain diikatkannya ke leher kudanya. Pranajaya keluarkan keringat dingin. Dia tahu nasib apa yang bakal diterimanya! Pemuda ini berteriak, Setan Darah keparat! Bunuh aku sekarang juga! Setan Darah Pertama tertawa. Kau memang akan mampus, kunyuk buntung! jawab Setan Darah Pertama. Akan mampus, tapi dengan cara perlahan-lahan!

Sepanjang jalan menuju ke ajalmu kau dapat saksikan keindahan pemandangan daerah sekitar sini! Bukankah enak mati cara begitu?! Setan Darah Pertama naik ke atas kudanya. Tiba-tiba dia ingat sesuatu dan memandang berkeliling. Mana pedangnya?! Aku sudah ambil! jawab Setan Darah Ketiga. Bagus! Setan Darah pertama tepuk pinggul kuda merahnya dengan keras. Binatang itu meloncat ke muka siap untuk berlari kencang dan menyeret tubuh Pranajaya mulai dari liku jalan itu sampai ke kotaraja. Namun di saat itu dari muka kelihatan berkelebat sesosok bayangan putih disertai dengan suara tertawa lantang yang bernada mengejek. Kekejamanmu sangat keterlaluan Tiga Setan Darah! kata pendatang baru ini dengan membentak. Tiga Setan Darah Pertama dan kedua kawannya dengan serta merta menghentikan kuda masing-masing. Sepasang mata Setan Darah Pertama memandang ke muka dengan menyorot. Mulutnya terkatup rapat-rapat dan kedua rahangnya mengatup menonjol! Cindur Rampe! hardik Setan Darah Pertama. Setahuku kau ada tugas di selatan yang harus kau jalankan! Silahkan berlalu dan jangan ikut campur urusan kami! Cindur Rampe, seorang resi golongan hitam yang juga menjadi kaki tangan pembantu Baginda. Kekejamannya tiada banyak beda dengan Tiga Setan Darah namun antara resi ini dengan ketiga Setan Darah sejak lama terdapat perselisihan secara diam-diam. Perselisihan ini sebenarnya adalah akibat bersaing ingin menjilat Baginda. Dalam satu pertemuan pernah Cindur Rampe menantang Tiga Setan Darah. Hampir terjadi pertempuran hebat namun tokohtokoh istana lainnya berhasil mencegah mereka. Namun sejak itu pula di antara mereka semakin memuncak permusuhan, laksana api dalam sekam yang sewaktu-waktu bisa meledak! Cindur Rampe mengelus-elus janggutnya yang pendek macam janggut kambing. Sambil sunggingkan senyum mengejek dia berkata, Tentu pemuda malang itu akan kau seret ke kotaraja. Semua orang akan melihat kekejamanmu. Kau akan dapat nama dan kira-kira berapa puluh ringgit pula kau akan dapat upah dari Baginda?! Setan Darah Kedua penasaran sekali. Dia majukan kudanya satu langkah.

Soal kekejaman kau tidak lebih baik dari kami, resi muka kambing! sentak Setan Darah Kedua. Cindur Rampe tertawa dingin. Cindur Rampe, kuharap segera berlalu. Aku muak melihat tampangmu! menyambungi Setan Darah Ketiga. Resi itu tertawa lagi. Lalu katanya, Aku sendiri sudah sejak lama kepingin muntah melihat mukamu yang macam kepiting rebus! Setan Darah Pertama kertakkan geraham. Cindur Rampe, agaknya kau sengaja mencari-cari perselisihan terbuka! Mungkin masih belum puas dengan pertengkaran dalam pertemuan tempo hari?! Ah... rupanya kau masih belum lupakan hal itu! kata Cindur Rampe. Dia melirik sebentar pada Pranajaya yang megap-megap hampir kehabisan nafas. Selama matahari masih terbit di timur, selama air sungai masih mengalir ke laut. Tiga Setan Darah tak pernah melupakan hal itu! Bagus sekali jika demikian! menyahuti Cindur Rampe. Kuharap di lain kesempatan kita bisa menyelesaikannya! Setan Darah Pertama mengekeh. Menentang kami sama dengan menentang angin topan! Menentang Tiga Setan Darah sama dengan menentang gunung karang! Jangan terlalu pongah dan buta, resi muka kambing! Nama kalian memang sudah kesohor, apalagi kebejatan dan kekejaman kalian! Tapi kalau cuma cecunguk-cecunguk macammu, sepuluh orangpun aku akan layani! Naiklah darah Tiga Setan Darah. Rupanya kau mau mampus sekarang juga, resi keparat! bentak Setan Darah Kedua. Dia melompat ke muka dan kirimkan satu serangan tangan kosong! Cindur Rampe melompat ke samping sambil tertawa. Jangan terlalu kesusu monyet muka merah! Ini hari aku masih ada urusan. Di lain ketika aku tak akan sungkan-sungkan lagi untuk menerabas batang lehermu dan dua kambratmu itu! Ini kukembalikan seranganmu! Habis berkata begitu Cindur Rampe kebutkan lengan jubahnya. Selarik angin panas menggebu ke arah Setan Darah Kedua. Pukulan yang dilepaskan Cindur Rampe adalah pukulan Ireng Weliung yang kehebatannya sudah dimaklumi oleh Tiga Setan Darah. Karenanya Setan Darah Kedua melompat dua tombak ke atas.

Wuss! Angin pukulan menghantam pohon kayu di tepi jalan. Kejap itu juga batang kayu itu hangus hitam sampai ke ranting-rantingnya! Terkejutlah Tiga Setan Darah. Rupa-rupanya resi Cindur Rampe betul-betul inginkan jiwa mereka! Setan Darah Pertama dan Ketiga segera melompat dari kuda masing-masing, siap untuk mengeroyok resi itu. Tapi Cindur Rampe sudah berkelebat cepat dan meninggalkan tempat itu sambil berseru, Sampai nanti Tiga Setan Darah. Kuharap kalian suka bersabar menunggu saat kematian kalian! Anjing buduk! Jangan lari! teriak Setan Darah Kedua. Tapi Cindur Rampe sudah lenyap dari pemandangan. Setan Darah Pertama memaki dan menyumpah-nyumpah. Lain hari kita tak perlu kasih hati pada si muka kambing itu! katanya. Dia melompat kembali ke atas kudanya diikuti oleh dua orang kawankawannya. Ketika kuda Setan Darah Pertama bergerak, maka tubuh Pranajaya mulai terseret. Tubuh pemuda murid Empu Blorok ini akan terseret sepanjang perjalanan menuju kotaraja. Bila Pranajaya bernasib baik, dia akan tetap hidup sampai di kotaraja. Jika tidak, nyawanya akan lepas di tengah jalan dan dia akan menemui kematian dalam keadaan yang mengerikan. Sampai di manakah kekuatan tubuh manusia menahan siksaan yang kejam luar biasa itu?

***

WIRO SABLENG TIGA SETAN DARAH & CAMPUK API ANGIN

ALI Welangmanuk telah dua hari yang lalu mereka seberangi. Lembah Manukwilis di mana terletak Gedung Biara Pensuci Jagat telah jauh di belakang mereka. Kedua orang itu berlari dalam kecepatan yang luar biasa. Kadangkala menyeberangi kali-kali kecil, kadangkala mendaki dan menuruni bukit dan saat itu keduanya barusan saja keluar dari sebuah rimba belantara. Matahari telah sampai ke ubun-ubun mereka tatkala keduanya sampai di satu persimpangan jalan. Pemuda rambut gondrong hentikan larinya. Orang yang di sampingnya juga melakukan hal yang sama. Ketika pemuda itu membalikkan badannya maka sepasang mata merekapun saling bertemu. Si pemuda mengukir senyum di bibirnya dan berkata, Agaknya kita terpaksa berpisah di sini, Sekar. Si gadis berpakaian ringkas kuning tidak menjawab. Kedua matanya yang bening masih menatap pandangan si pemuda. Dan si pemuda segera bisa memaklumi. Dari sinar mata gadis itu diketahuinya bahwa perpisahan itu merupakan satu hal yang berat bagi si gadis. Sambil tertawa si pemuda berkata, Di lain ketika aku berharap kita bisa bertemu lagi, Sekar. Dia menjura sedikit dan berkata lagi, Jangan lupa sampaikan salam hormatku pada gurumu Empu Tumapel... Wiro... si gadis membuka mulut untuk pertama kalinya. Suaranya perlahan, setengah berbisik. Kau sendiri mau terus ke manakah? tanyanya. Aku... ah... Manusia macamku ini pergi membawa kakinya saja. Mengembara tiada tentu tujuan. Mengembara adalah satu hal yang kucita-citakan sejak aku berhasil menuntut balas kematian ibu bapak dan saudarasaudaraku. kata Sekar pula.

Tapi kau musti kembali ke tempat gurumu! Kau pernah bilang waktu di tepi sungai tempo hari. Ingat... Sekar ingat. Dalam perjalanan mereka meninggalkan Biara Pensuci Jagat suatu malam mereka berkemah di tepi sungai yang banyak sekali ikannya. Sambil menikmati ikan panggang, mereka bicara-bicara dan Sekar telah menceritakan tentang gurunya di Goa Blabak, tentang segala hal mengenai dirinya. Malam sejuk di tepi sungai itu tak akan pernah dilupakan oleh Sekar. Semenjak hidup, semenjak turun ke dunia luar pada malam itulah dia benar-benar merasakan bahwa dirinya adalah seorang gadis. Seorang gadis yang di saat itu untuk pertama kalinya merasakan betapa indahnya berada di samping seorang pemuda. Betapa romantisnya. Dan Sekar ingat sewaktu Wiro memegang dan meremas-remas jari tangannya. Waktu Pendekar 212 itu memeluknya, merangkulnya erat-erat dan sewaktu pemuda itu melumas bibirnya dengan ciuman yang mesra, hangat menyentak-nyentakkan darahnya! Ingat pula bagaimana dia bergayut dan tak mau melepaskan tubuh si pemuda dan seperti orang mabuk anggur mereka melakukan apa yang mereka bisa lakukan. Semuanya itu kemudian berakhir tanpa penjelasan karena semua itu dimulai dengan kesadaran yang berapi-api! Aku bisa menunda kembali ke pertapaan. kata Sekar. Keberatan kalau aku ikut sama-sama dengan kau...? Wiro Sableng tertawa. Tentu saja tidak, kata Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 ini meskipun hatinya tidak menyetujui hal itu, tapi kau musti ingat, Sekar. Mengembara dalam dunia persilatan bukan berarti berjalan-jalan melihat-lihat pemandangan! Pengembaraan di dunia persilatan adalah persoalan hidup atau mati! Aku toh juga orang persilatan, Wiro. Betul. Namun kini belum masanya kau memulai pengembaraan. Yang penting kau musti kembali ke tempat gurumu dulu. Sekar menggeleng. Wiro Sableng garuk-garuk kepalanya. Kemudian katanya, Sekar, jangan jadi anak kecil. Salah-salah kita bisa bertengkar. Aku berjanji akan menyambangimu di Goa Blabak. Nah, sekarang kau tempuh jalan yang sebelah kanan dan aku yang sebelah kiri, yang menuju ke kotaraja. Aku ikut dengan kau ke kotaraja. berkata Sekar. Busyet! kata Wiro Sableng dalam hati dan digaruknya lagi

kepalanya. Bisa berabe, Sekar. Bisa berabe! katanya pada gadis itu. Gadis secantikmu ini kalau masuk ke kotaraja pasti semua mata laki-laki akan melotot! Kalau terjadi apa-apa dengan dirimu bagaimana...?! Aku tidak takut. kata gadis sembilan belas tahun itu. Wiro menghela nafas dalam dan angkat bahu. Kotaraja penuh dengan tokoh-tokoh silat kelas satu! Aku tak ingin terjadi apa-apa dengan kau... Kalau kita tidak berbuat kejahatan kenapa musti takut masuk ke kotaraja? ujar si gadis. Kemudian tanpa berkata apa-apa lagi dia melangkah memasuki jalan sebelah kiri. Wiro Sableng geleng-gelengkan kepalanya. Segera dia hendak berlalu dari persimpangan jalan itu menempuh jalan sebelah kanan. Tapi hatinya menjadi bimbang. Dipandangnya punggung Sekar. Gadis itu melangkah dengan langkah tetap bahkan kini mulai berlari. Wiro Sableng akhirnya membalikkan langkah dan berlari menyusul Sekar. *** Pendekar 212 dan Sekar baru saja keluar dari sebuah kedai sehabis mengisi perut sewaktu di jalan di hadapan mereka menderu derap kaki tiga ekor kuda merah. Tiga penunggangnya laki-laki mengenakan jubah merah, berambut panjang merah dan bermuka merah. Yang membuat kedua orang ini terkejut bukanlah karena memandang muka-muka yang aneh serta lucu itu tapi adalah sewaktu menyaksikan bagaimana di belakang kuda yang paling depan ikut terseret sesosok tubuh laki-laki bertangan buntung! Pakaian birunya hancur robek-robek. Kulitnya mengelupas, mukanya tiada dapat dikenali lagi. Keseluruhan tubuh manusia itu bergelimang darah dan debu. Tak dapat dipastikan apakah dia masih hidup atau sudah mati! Biadab! desis Sekar sewaktu ketiga penunggang kuda itu berlalu. Aku tak bisa membiarkan kekejaman itu, Wiro! Sekar segera hendak melompat ke muka dan mengejar. Tapi Wiro Sableng cepat memegang lengan gadis ini. Jangan bodoh, Sekar! katanya. Kita tidak tahu siapa tiga manusia bermuka merah itu. Juga tidak kenal siapa itu laki-laki yang diseret. Mungkin laki-laki ini seorang jahat! Aku tidak yakin, justru manusia-manusia muka merah itulah

yang bertampang buas kejam! Aku tahu, tapi jangan bertindak gegabah, Sekar. Ini kotaraja! Persetan dengan kotaraja! tukas si gadis. Sudah, tak usah ngomel. Mari kita ikuti mereka! ujar Wiro pula. Keduanya segera meninggalkan tempat itu. Tiga penunggang kuda itu memasuki sebuah gedung tua tak berapa jauh dari istana. Laki-laki yang diseret dengan kuda tadi dibawa ke dalam. Kemudian gedung itupun sunyi senyap. Kita masuk ke dalam, Wiro. bisik Sekar. Kataku jangan gegabah. kata Pendekar 212 dengan pelototkan mata. Diseberanginya jalan dan ditemuinya seorang pejalan kaki di seberang jalan itu. Saudara, kau lihat tiga penunggang kuda tadi? tanya Wiro. Orang itu mengangguk. Bulu tengkuknya masih meremang mengingat apa yang disaksikannya tadi. Siapa ketiga manusia itu? tanya Wiro Sableng lagi. Mereka adalah Tiga Setan Darah. Tiga Setan Darah...? ujar Wiro. Pasti itu nama julukan mereka, pikir Wiro. Dan dari nama julukan ini nyatalah bahwa memang mereka bukan manusia baik-baik! Kemudian tanpa ditanya orang tadi berkata lagi, Mereka adalah kaki tangan pembantu-pembantu Baginda. Manusia kejam luar biasa...! Kenapa Baginda memelihara setan-setan macam mereka?! tanya Wiro. Untuk menjaga keamanan istana dan kerajaan. Tapi Baginda tidak tahu kebejatan pembantu-pembantunya itu... Kenapa rakyat tidak mau kasih tahu? Kalau mau mampus boleh saja! jawab laki-laki itu. Kau kenal siapa itu orang yang diseret dengan kuda? Laki-laki itu menggeleng. Wiro Sableng kembali menyeberang jalan menemui Sekar. Kau bicara apa dengan dia? Wiro menerangkan dengan cepat, lalu kedua orang ini segera hendak menyeberang memasuki halaman gedung tua, tapi mereka segera berlindung cepat-cepat di balik sebatang pohon besar karena dari samping gedung, ketiga penunggang kuda tadi kelihatan memacu kudanya masing-masing meninggalkan gedung! Begitu

mereka lenyap di kejauhan, Wiro dan Sekar segera memasuki halaman gedung. Mereka menuju ke samping dan berhenti di hadapan sebuah pintu kayu. Wiro memandang berkeliling. Suasana sepi sunyi. Tanpa raguragu Pendekar 212 ulurkan tangan mendorong pintu kayu itu. Aneh sekali! Meski pintu itu terbuat dari kayu namun Wiro tak berhasil mendorongnya dengan sekuat tenaga luar! Setelah mengerahkan seperempat dari tenaga dalamnya baru pintu kayu itu berkereketan dan terbuka sedikit demi sedikit. Begitu daun pintu kayu itu terbuka lebar maka tiba-tiba dari hadapan mereka berdesing lima buah senjata berbentuk anak panah berwarna merah! Sekar! Awas! teriak Pendekar 212. Cepat-cepat pemuda ini menarik lengan si gadis ke samping. Lima senjata rahasia berbentuk panah berdesing di atas kepala dan di muka hidung mereka. Dua dari panah merah itu menancap di batang sebuah pohon. Sesaat kemudian batang pohon itu sampai ke cabang-cabang, ranting, dan daun-daunnya menjadi merah! Nyatalah bahwa senjata-senjata rahasia itu mengandung racun yang amat jahat! Paras Sekar berubah pucat sedang Pendekar 212 dengan leletkan lidah berkata pelahan, Keparat betul! Tempat ini pasti penuh dengan senjata rahasia. Kita harus hati-hati, Sekar. Wiro menyuruh gadis itu berdiri lebih ke samping. Kemudian dengan kaki kirinya, pendekar ini menendang pintu kayu itu sekuat tenaga. Pintu bobol hancur berantakan dan pada detik itu pula selusin senjata rahasia yang sama bentuknya dengan tadi melesat di depan mereka. Beberapa di antaranya menancap lagi di batang pohon yang sama! Pendekar 212 menyeringai. Lihai juga. katanya pelahan. Sebaiknya kau tunggu di sini, Sekar... Aku ikut bersamamu! kata Sekar tegas. Di dalam gedung tua ini pasti lebih banyak bahaya. Jangan jadi orang tolol! Gadis berbaju kuning ini tidak ambil perduli ucapan si pemuda, melainkan tanpa tedeng aling-aling terus masuk melewati pintu yang tadi telah ditendang bobol. Mau tak mau Wiro juga melangkah mengikuti.

Seperti suasana di luar, di bagian belakang gedung itupun diselimuti kesunyian. Keseluruhan gedung tidak terpelihara. Tembok hijau berlumut. Halaman ditumbuhi semak-semak dan rumput liar. Dengan sikap berhati-hati kedua orang ini melangkah menuju ke tangga yang berhubungan dengan pintu belakang gedung. Wiro berjalan di depan. Ketika salah satu kakinya menginjak tanah di dekat anak tangga yang terbawah, tanah itu dirasakannya mencekung aneh dan lembut. Wiro cepat tarik kakinya dan melangkah mundur! Ada apa? tanya Sekar dengan berbisik. Pendekar 212 tidak menjawab melainkan melangkah menghampiri sebuah pot bunga besar yang bunganya sudah mati karena tak pernah disiram. Pot bunga yang besar itu dilemparkannya ke tanah di kaki anak tangga yang tadi dipijaknya. Pada detik itu juga terdengar satu ledakan. Tanah di kaki anak tangga bermuncratan ke atas. Anak tangga terbawah hancur berkeping-keping. Wiro meraih pinggang Sekar dan menjatuhkan diri ke tanah. Tubuh mereka kotor tersembur tanah dan kepingan batu tangga! Gedung setan apa ini?! rutuk Wiro sambil berdiri dan membersihkan pakaiannya. Dia berpaling pada Sekar dan berkata, Aku sudah bilang kau tak usah ikut-ikutan ke kotaraja. Kini kau lihat sendiri! Tak usah bertengkar terus-terusan, Wiro. menyahuti murid Empu Tumapel itu. Kita harus cepat mencari laki-laki tangan buntung berbaju biru yang tadi dibawa ke sini! Wiro garuk-garuk kepalanya. Dia memandang ke pintu di bagian belakang gedung itu dan berpikir-pikir bahaya apa lagi yang bakal dihadangnya bila dia menaiki anak tangga dan membuka pintu itu! Dalam dia berpikir-pikir demikian, tiba-tiba dilihatnya Sekar mengirimkan satu pukulan jarak jauh ke arah pintu belakang gedung. Angin pukulan menderu dahsyat, dan... Braak! Pintu itu pecah berantakan. Sekar dan Wiro menunggu. Tak ada terjadi apa-apa. Aku tak percaya kalau pintu itu tidak menyembunyikan rahasia maut! kata Wiro Sableng. Dijangkaunya sebuah arca kecil yang sudah puntung di dekat tangga sebelah kanan. Arca itu kemudian digelindingkannya di atas lantai yang menuju ke pintu. Begitu arca

mencapai pintu, lantai di muka pintu itu terbuka, arca lenyap jatuh ke dalam sebuah lobang dan lantai kembali menutup! Gedung edan! rutuk Wiro Sableng. Kau masih punya nyali untuk masuk ke dalamnya?! Mengapa tidak?! ujar Sekar. Aku kagum dengan keberanianmu. puji Wiro sejujurnya. Bersiaplah, kita melompat ke dalam lewat pintu itu. Kerahkan seluruh ilmu mengentengi tubuhmu. Lantai di dalam gedung itu bukan mustahil perangkap semua! Kedua orang ini bersiap-siap untuk menerobos pintu yang sudah bobol. Mendadak pada saat itu pula di halaman depan terdengar derap kaki kuda. Keduanya terkejut. Mereka kembali! bisik Sekar. Gadis ini segera keluarkan senjatanya yaitu besi berantai yang ujungnya diganduli bola besi berduri. Inilah senjata Rantai Petaka Bumi yang dahsyat. Wiro berpikir cepat. Dia mendapat satu akal lalu menggamit dan berbisik pada Sekar, Cepat lompat ke atas genteng! Si gadis melotot. Apa kau tidak punya nyali menghadapi mereka? Manusiamanusia terkutuk semacam itu harus dilenyapkan dari muka bumi, Wiro! Kalau kau takut pergilah sendiri ke loteng sana! Wiro menggerendeng. Kita belum tahu siapa yang datang itu! Kalau benar mereka, dari atas genteng kita bisa mengintai bagaimana mereka masuk ke dalam gedung! Sekar hendak mengatakan sesuatu. Tapi Wiro Sableng sudah membetot lengannya dan melompat ke atas genteng bersama-sama! Keduanya menunggu. Suara kaki-kaki kuda berhenti sebentar, lalu terdengar lagi memasuki halaman samping. Bukan mereka. desis Wiro dan Sekar memalingkan kepalanya ke halaman samping.

***

WIRO SABLENG TIGA SETAN DARAH & CAMPUK API ANGIN

ANG datang ternyata seorang penunggang kuda berkepala gundul. Sepasang matanya juling. Hidungnya sangat pesek, hampir sama rata dengan pipinya yang gembrot. Tangan dan kakinya sangat pendek sedang tubuhnya katai sekali. Yang lucunya manusia ini cuma memakai cawat, kulitnya hitam legam dan pada ketiak sebelah kirinya terkempit sebilah bambu berbentuk pikulan! Monyet terlepas dari mana ini?! bisik Wiro Sableng. Dia bukan manusia sembarangan, Wiro. desis Sekar. Kau kenal dia? tanya Wiro. Guruku pernah bilang manusia yang berciri-ciri macam dia. Melihat pada senjata yang dikempitnya aku yakin dia mustilah Si Setan Pikulan! Buset! Apa tidak ada gelaran yang lebih jelek dari Setan Pikulan itu?! seringai Wiro. Penunggang kuda yang datang itu memang Setan Pikulan. Nama sebenarnya Munding Sura. Dia hentikan kuda di depan lobang besar di muka tangga pintu belakang. Diperhatikannya lobang itu sebentar lalu dia memandang berkeliling. Diangguk-anggukannya kepalanya. Kemudian diperhatikannya pintu belakang yang hancur sambil mengusap-usap kepalanya yang botak. Tiga Setan Darah! Setan Pikulan berteriak. Apa kalian ada di dalam?! Suara teriakan Setan Pikulan kerasnya bukan main, menggetarkan seantero halaman belakang gedung tua itu, menggetarkan genteng di mana Wiro dan Sekar berada. Tenaga dalamnya hebat sekali. bisik Wiro pada Sekar. Ah, rupanya kalian tak ada di rumah! terdengar Setan Pikulan berkata. Sayang sekali! Sayang sekali! Ada dua orang tamu dari jauh, tuan rumah tidak ada! Sayang sekali! Wiro dan Sekar sama terkejut dan saling berpandangan. Mereka yakin, dua orang tamu yang dimaksudkan oleh manusia kate itu

pastilah diri mereka sendiri. Belum habis kejut kedua orang ini, di bawah terdengar bentakan Setan Pikulan. Cecunguk-cecunguk yang di atas genteng, lekas turun! Mataku yang juling tak bisa ditipu! Ayo turun! Sekar segera bergerak hendak melompat turun, tapi Wiro menarik bajunya. Biar aku yang turun. kata murid Eyang Sinto Gendeng ini. Kemudian murid Eyang Sinto Gendeng ini dengan cepat melompat turun. Mata juling Si Setan Pikulan memperhatikan cara dan gerakan melompat si pemuda dan juga memperhatikan ketika sepasang kaki Wiro menginjak tanah. Telinganya yang tajam sama sekali tiada mendengar sedikit suara pun dari beradunya kaki dan tanah. Wiro Sableng menjura sewajarnya dan dengan senyum ramah dia berkata, Kalau aku tak salah, bukankah saat ini aku berhadapan dengan orang gagah yang dijuluki Setan Pikulan? Setan Pikulan menyeringai. Rupanya matamu tajam juga, orang muda. Harap beritahu siapa kau. Ah..., aku ini seperti yang kau katakan tadi, cuma cecunguk biasa saja... jawab Wiro. Kenapa sembunyi di atas atap dan kenapa kawanmu cecunguk yang satu lagi itu tidak mau turun?! Wiro tertawa dan berseru, Sekar, turunlah. Sewaktu Sekar turun dan berdiri di samping Wiro Sableng maka menyeringailah Setan Pikulan. Ternyata seorang gadis cantik! katanya. Dibasahinya bibirnya dengan ujung lidah sedang kedua matanya yang juling semakin juling karena memandang dekat-dekat pada paras Sekar yang cantik jelita. Melihat kepada tindak tandukmu pastilah kalian datang ke sini bukan dengan maksud baik. Apalagi penghuni rumah tidak ada. Kalian tahu apa yang bakal dilakukan Tiga Setan Darah jika mereka mengetahui ada cecunguk-cecunguk yang sembunyi dan membuat kerusuhan di rumahnya? Harap jangan salah sangka, Setan Pikulan. Kami ke sini sebetulnya mengejar seorang pencuri. Tapi dia lenyap entah ke mana...! kata Wiro berdusta. Setan Pikulan tertawa mengekeh. Sama aku tak usah bicara dusta! Lekas terangkan siapa kalian dan apa maksud kalian ke sini! Kalian musti tahu bahwa Tiga Setan

Darah adalah kambratku dan aku berhak turun tangan menghukum kalian bila kalian ternyata bersalah! Kalau kau kawannya Tiga Setan Darah, tentu kau juga seorang tokoh istana! ujar Wiro. Apa aku tokoh istana atau bukan tak perlu tanya! sentak Setan Pikulan. Lekas jawab pertanyaanku tadi! Kami cecunguk! sahut Wiro. Kau sendiri tadi sudah bilang! Marahlah Setan Pikulan. Seharusnya kubetot putus lidahmu, pemuda hina dina! hardik Setan Pikulan. Tapi dengar... kalau kau mau tinggalkan gadis cantik ini buatku, aku tak mau bikin panjang urusan. Aku tak akan laporkan pada Tiga Setan Darah bahwa kalian telah mengobrak-abrik rumahnya ini...! Mendengar ini Sekar menjadi naik pitam. Biar aku betul-betul monyet sekalipun, aku tidak sudi menjadi mangsa bejatmu! Setan Pikulan tertawa. Wiro berpikir sebentar lalu dengan ilmu menyusupkan suara dia berkata pada si gadis, Sekar, aku ada akal. Kita tipu setan kate ini menunjukkan di mana laki-laki buntung itu disekap. Kau musti purapura marah... Pendekar 212 memandang pada Setan Pikulan lalu berkata, Aku akan tinggalkan gadis ini padamu. Dia memang tidak berguna. Tapi harus ada imbalannya...! Wiro! Apa kau sudah gila?! teriak Sekar pura-pura marah dan melototkan mata. Wiro tak ambil perduli. Bagaimana? tanyanya pada Setan Pikulan. Katakan maumu! Seorang kawanku telah dilarikan oleh Tiga Setan Darah dan disekap di gedung tua ini. Aku tak tahu di bagian mana. Gedung ini penuh senjata-senjata rahasia dan perangkap-perangkap! Kalau kau mau menunjukkan di mana kawanku itu dan mengeluarkannya dari sini, gadis tak berguna ini kuserahkan padamu! Baik! Setan Pikulan terima syarat itu. Untuk kesekian kalinya dibasahinya lagi bibirnya sebelah bawah. Sementara itu Sekar memaki-maki Wiro Sableng tiada hentinya. Setan Pikulan melompat dari kudanya. Bagaimana aku yakin kalau kalian tidak menipuku?! tanya manusia kate berkepala gundul ini.

Kau terlalu curiga, Setan Pikulan! Kalau aku menipumu berarti aku tak bisa menyelamatkan kawanku yang disekap oleh Tiga Setan Darah. jawab Wiro Sableng. Betul juga. kata Setan Pikulan. Tapi untuk benar-benar meyakinkan, biar kulakukan ini dulu... Dan dengan satu gerakan cepat luar biasa, Setan Pikulan menusukkan jari telunjuknya ke urat di pangkal leher Sekar. Saat itu juga tubuh si gadis menjadi kaku tegang tak bisa bergerak. Wiro memaki dalam hati. Ikut aku! Setan Pikulan berkata. Lalu melesat memasuki pintu belakang yang tadi sudah didobrak dengan pukulan jarak jauh oleh Sekar. Ruangan dalam ini penuh dengan alat dan senjata rahasia. Perhatikan langkahku! kata si kate kepala gundul. Dia melangkah enam tindak ke kanan, lalu menyusuri tepi dinding hingga akhirnya sampai di hadapan sebuah pintu berwarna hitam. Pada tepi pintu itu terdapat sebuah titik putih besar setengah kuku jari kelingking. Dengan ujung jarinya Setan Pikulan menunjuk. Cepat masuk! teriak Setan Pikulan. Wiro Sableng melompat masuk ke dalam kamar itu. Begitu masuk begitu pintu di belakangnya menutup kembali. Manusia kate itu berpaling pada Wiro. Kau lihat pintu dinding sana? Wiro mengangguk. Kalau kau melangkah sepanjang lantai ini ke sana, kau akan kejeblos masuk ke dalam liang batu! Kita harus bergerak sepanjang tepi dinding sebelah kiri! Mari... Sambil menyusuri lantai di tepi dinding sebelah kiri Wiro Sableng bertanya, Mengapa Tiga Setan Darah memasang demikian banyak alat dan senjata rahasia serta perangkap di gedung tua ini?! Itu tak perlu kau tanyakan. Bukan urusanmu! sahut Setan Pikulan. Setan Pikulan membuka pintu di hadapannya. Kamar kedua itu kosong lagi. Dan dinding sebelah muka mereka kelihatan sebuah pintu lain. Kali ini kita musti menyusuri tepi lantai di samping kanan. kata Setan Pikulan. Wiro mengikuti tanpa banyak bicara. Kamar ketiga, keempat dan kelima dalam gedung itu kosong semua. Mungkin sekali kawanmu itu disekap di ruang batu karang di

bawah tanah! kata Setan Pikulan. Apakah kau tahu tempat itu? tanya Wiro Sableng. Si kate merenung sejenak. Ikuti aku. katanya. Mereka keluar dari kamar nomer lima itu. Di kamar nomer enam mereka berhenti. Setan Pikulan meneliti lantai kamar dengan sepasang matanya yang juling. Kemudian dia mendongak ke atas. Pada langit-langit kamar kelihatan tergantung sebuah kawat yang ujungnya diganduli lampu minyak yang besar sekali. Setan Pikulan melompat ke atas dan menarik kawat itu satu kali. Aneh sekali, tiba-tiba lantai di samping kanan ruangan membuka dan sebuah tangga batu kelihatan. Keduanya melangkah ke tepi liang itu. Ruang di bawah sana agak gelap, hanya diterangi oleh sebuah pelita. Samar-samar Wiro Sableng melihat sesosok tubuh menggeletak di lantai ruangan. Pakaiannya tak kelihatan apa warnanya tapi tangan kirinya buntung. Itu kawanmu? tanya Setan Pikulan. Betul. Lekaslah turun. Sebelum Tiga Setan Darah kembali ke sini kita musti telah meninggalkan tempat ini! Tanpa pikir panjang Wiro Sableng segera menuruni anak tangga. Begitu dia menginjakkan kaki di lantai ruangan batu karang dia terkejut sewaktu di atas didengarnya suara tertawa bergelak Setan Pikulan. Manusia tolol geblek! Aku tahu kau mau menipu! Sekarang kau sendiri yang masuk perangkap! Kau akan mampus di ruang batu karang itu! Mayatmu akan busuk! Bedebah keparat! teriak Wiro. Dia melompat kembali ke atas. Tapi secepat kilat Setan Pikulan melesat ke udara, menarik kawat gantungan lampu dan dengan serta merta lantai di ruangan itu tertutup kembali! Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 masuk perangkap sudah!

***

WIRO SABLENG TIGA SETAN DARAH & CAMPUK API ANGIN

ETAN Pikulan melesat dari pintu menuju ke halaman belakang gedung. Ketika dia melangkah ke hadapan Sekar, gadis ini yang tubuhnya masih kaku tegang karena ditotok segera bertanya, Mana kawanku? Munding Sura alias Setan Pikulan tertawa buruk. Kalian kira aku ini kambing tolol yang bisa ditipu mentah-mentah? ujarnya. Dia berdiri dekat-dekat di hadapan Sekar. Kepalanya cuma sampai ke pinggang gadis itu. Dengar gadis molek. kata Setan Pikulan seraya usap perut Sekar dengan tangan kirinya. Manusia kurang ajar! maki Sekar. Lepaskan totokanku, cepat! Setan Pikulan tertawa gelak-gelak. Gadis molek, siapa-siapa manusia yang berani menipuku pasti kukirim ke akherat! Kawanmu telah kujebloskan ke dalam ruang batu karang...! Setan Pikulan tertawa lagi. Sekar kaget bukan main mendengar keterangan ini. Dia tahu sendiri bahwa Wiro Sableng bukan pemuda sembarangan. Ilmu silat dan kesaktiannya tinggi sekali. Dia bahkan telah menyaksikan kehebatan pemuda itu di Biara Pensuci Jagat sewaktu bertempur melawan Pendekar Terkutuk Pemetik Bunga, tapi kenapa kini dia bisa terjebak dan masuk ke dalam perangkap ruang batu? Apakah ilmu Setan Pikulan jauh lebih tinggi dari Wiro? Atau mungkin manusia kate bermuka buruk ini telah membokong dan menipu Wiro secara pengecut? Terhadapmu gadis molek..., berkata lagi si kate kepala gundul, dia berjingkat dan mengulurkan tangannya mengelus dagu Sekar. Gadis ini memaki habis-habisan. Setan Pikulan tertawa bergelak. Dan akhirnya Sekar meludahi muka manusia buruk itu. Sompret kau! bentak Setan Pikulan. Tapi dia tidak sebenarbenarnya marah. Dengan tertawa-tawa ditariknya ujung baju kuning Sekar dan disekanya mukanya yang disembur ludah itu. Kalau kau tidak secantik ini pasti sudah kuremas hancur kau punya muka! Kau

kuampuni tapi musti ikut ke tempatku! Untuk selanjutnya kau akan jadi perempuan peliharaanku! Bedebah keparat. Lekas lepaskan totokanku, kalau tidak kelak jiwamu tak akan kuampuni! Setan Pikulan tertawa gelak-gelak. Kau galak sekali. Aku mau lihat apakah di tempat tidur kau juga akan segalak ini. He... he... he... Sekar memaki dan meludahi lagi muka laki-laki kate itu. Setan Pikulan tak menunggu lebih lama. Dilakukannya lagi satu totokan yang membuat mulut Sekar menjadi bungkam bisu tak bisa mengeluarkan suara lagi! Kemudian secepat kilat manusia kate itu meraih pinggang Sekar, melompat ke atas kudanya dan meninggalkan tempat itu. *** SEMENTARA itu di ruang batu karang di bawah gedung kediaman Tiga Setan Darah... Begitu Wiro Sableng melompat dan sampai di anak tangga teratas, lantai di atasnya tertutup dengan cepat! Pendekar ini memaki habis-habisan. Diterjangnya lantai di atas tangga itu dengan satu tendangan keras yang disertai aliran tenaga dalam. Jangankan bobol, berbekas pun tendangannya itu tidak! Penasaran sekali Wiro Sableng alirkan separoh dari tenaga dalamnya ke kaki dan untuk kedua kalinya dia menendang lagi. Lantai karang yang merupakan langit-langit ruang batu itu keras dan atosnya bukan olah-olah. Tendangan Wiro Sableng hanya sanggup membuat langit-langit itu tergetar sedikit saja! Sialan! gerutu Pendekar 212. Kini seluruh tenaga dalamnya dialirkan ke kaki. Dengan bentakan dahsyat pendekar ini menendang ke atas. Ruang batu itu bergoncang! Tapi bagian yang ditendang tidak mengalami perubahan sedikitpun! Wiro menghela nafas dalam. Keringat dingin mengucur di keningnya. Penuh penasaran pemuda ini salurkan seluruh tenaga dalamnya ke tangan kanan sampai tangan itu tergetar. Kedua kakinya merenggang. Dalam keadaan seperti itu, bila dia berdiri di tanah pastilah kedua kakinya akan melesak sedalam lima atau sepuluh senti. Tapi di atas lantai karang yang atos itu, hal itu tidak

terjadi. Perlahan-lahan jari-jari tangan pendekar 212 menekuk membentuk tinju. Ciaaat! Didahului dengan bentakan menggeledek itu Wiro Sableng pukulkan tangan kanannya ke atas. Jari-jari yang terkepal membuka. Satu gumpalan angin keras laksana batu besar bergulung-gulung dan melesat menghantam bagian atas ruangan batu di dekat kepala tangga! Inilah Pukulan Kunyuk Melempar Buah! Ruang batu itu bergoncang dahsyat. Angin pukulan memantul kembali, memadamkan pelita yang terletak di lantai. Dan ruangan batu kurang itu dengan serta-merta menjadi gelap gulita. Tangan di depan mata pun tak kelihatan! Wiro Sableng menggerendeng, memaki diri sendiri, memaki akan ketololannya sendiri. Seharusnya dia memperhitungkan bahwa pukulannya itu tadi akan dapat memadamkan pelita di ruang batu itu. Dia berpikir-pikir untuk melepaskan pukulan Sinar Matahari. Tapi Wiro khawatir kalau-kalau pukulannya itu juga tidak mempan dan akan membalik menghantam dirinya sendiri serta manusia yang menggeletak di ruangan itu! Sejak masuk ke dalam ruang batu karang itu baru Wiro ingat pada laki-laki bertangan buntung yang tadi hendak ditolongnya. Wiro melangkah perlahan-lahan sampai akhirnya kedua kakinya menyentuh tubuh laki-laki itu. Dia berlutut. Digoyang-goyangnya tubuh laki-laki itu. Tiada suara. Tubuh itu basah oleh keringat dan gelimangan darah. Wiro meletakkan telapak tangan kanannya di dada laki-laki itu. Lama sekali baru dia berhasil merasakan degupan jantung yang sangat halus dan pelahan! Ternyata manusia itu masih hidup. Dengan cepat Wiro Sableng salurkan tenaga dalamnya melalui dada dan pergelangan tangan kanan laki-laki itu. Seperempat jam berlalu. Masih tak ada reaksi apa-apa. Mungkin manusia itu tak ada harapan lagi untuk diselamatkan jiwanya, pikir Wiro. Tubuhnya sudah keringatan. Mengerahkan tenaga dalam selama seperempat jam tanpa terputus-putus merupakan hal yang sangat berat, kurang hati-hati salah-salah bisa membuat diri sendiri menjadi rusak di dalam! Ketika sepeminuman teh lewat maka baru terasa laki-laki itu memberikan reaksi. Tubuhnya bergerak sedikit. Kemudian terdengar suara erangannya. Erangan yang hampir tak kedengaran. Wiro kerahkan lagi tenaga dalamnya sampai tubuhnya menjadi lemas. Dia

tersandar ke dinding dan mengatur jalan nafas serta darahnya. Kemudian telinganya mendengar erangan laki-laki itu lebih keras. Erangan kesakitan yang mengerikan! Di mana aku? lapat-lapat Wiro mendengar laki-laki itu bertanya. Sobat, kau sudah siuman? Kau siapa...? desis laki-laki itu. Apa kau bisa membuka matamu? Ya, sedikit. Tapi semua gelap sekali! Ya, ruangan ini memang gelap. Ruang batu karang yang tak beda dengan liang kubur! Kita sama-sama bernasib sial! Disekap di tempat terkutuk ini. Kenapa kita bisa disekap di sini... Siapa yang menjebloskan kita? Namaku Pranajaya... Meski kau terkurung di sini, nasibmu sebenarnya masih untung, Prana. kata Wiro. Pranajaya menghela nafas dalam. Kau kuat sekali. Kurasa jarang ada manusia yang sanggup bertahan dan masih hidup diseret dengan kuda seperti kau. Aku... aku diseret dengan kuda...? tanya Prana. Ya. Sudahlah, sebaiknya kau duduk bersila. Atur jalan nafas, aliran darah dan tenaga dalammu... Tidak mungkin..., desis Prana, seluruh tubuhku tidak punya tenaga sedikit pun. Tulang-tulangku serasa remuk! Kau begitu berbaring sajalah sementara aku mencari akal bagaimana kita bisa keluar dari tempat terkutuk ini! kata Pendekar 212. Kau masih belum menerangkan namamu. ujar Pranajaya. Panggil aku Wiro... Kau juga seorang dari dunia persilatan? Sudah, aku bilang berbaring sajalah. potong Wiro. Aku musti berpikir. Kita musti keluar dari tempat celaka ini! Pranajaya menutup mulutnya. Sekujur tubuhnya sakit tiada terkirakan. Sedikit demi sedikit dalam keadaan berbaring itu dicobanya mengatur jalan nafas, darah dan tenaga dalamnya. Plaak! Wiro memukul keningnya sendiri. Tangan kanannya mengeruk saku pakaiannya. Dari dalam saku ini diambilnya sebuah kantong kecil berisi beberapa buah pil. Diambilnya sebutir Aku sampai lupa Prana, ngangakan mulutmu. Telan obat ini. Seperempat jam mungkin kau bisa lebih kuatan...

Dalam gelap itu Pranajaya mengangakan mulutnya dan Wiro mencari-cari dengan tangannya mulut pemuda itu. Bila bertemu maka dimasukkannya pil itu ke dalam mulut Pranajaya. Beberapa menit kemudian... Rasa sakitku agak berkurang... kata Prana pelahan. Syukur... Saudara Wiro, bagaimana... Pranajaya tidak meneruskan pertanyaannya. Di dalam gelap itu dirasakannya Wiro berdiri. Kemudian tubuhnya didukung dan dibawa ke salah satu sudut ruangan. Apa yang hendak kau lakukan? tanya Pranajaya. Wiro tak menjawab. Dia melangkah ke tengah ruangan kembali. Dari balik pakaiannya dikeluarkannya sebuah batu hitam yang bertuliskan angka 212 serta Kapak Maut Naga Geni 212. Senjata sakti ini memancarkan sinar yang menerangi ruang batu itu. Meski tidak cukup terang tapi Wiro dapat melihat di mana pelita yang tadi padam terletak. Mata kapak dan batu hitam diadu satu sama lain. Lidah api menyembur ke arah pelita dan pelita itupun menyala kembali. Ruang batu karang menjadi terang benderang. Kini kedua manusia itu baru bisa meneliti paras dan diri masing-masing. Paras Pranajaya mengerikan untuk dipandang. Kulit mukanya hampir keseluruhannya mengelupas, demikian juga kulit sekujur badannya. Salah satu telinganya hampir sumplung, hidung lecet. Pakaian robek-robek. Kulit kepala ada yang mengelupas dan darah, keringat serta debu membungkus tubuh Pranajaya mulai dari ujung rambut sampai ke kaki! Pendekar 212 kertakkan rahang menahan hatinya yang seperti terbakar melihat keadaan tubuh laki-laki bertangan buntung itu. Kesalahan apakah yang telah dibuatnya sampai disiksa demikian biadabnya? Wiro tak mau berpikir lebih lama. Saat itu yang musti dilakukan ialah mencari jalan ke uar. Dengan Kapak Naga Geni 212 di tangan, Wiro Sableng melangkah menuju ke tangga batu paling atas. Dia memandang pada Pranajaya dan berkata, Kalau senjataku ini tiada sanggup menghancurkan langit-langit ruangan batu karang ini berarti kita akan mampus di sini, sobat. Pranajaya tak berkata apa-apa. Hatinya kecut, dan sedingin es. Wiro mengerahkan seluruh tenaga dalamnya. Kapak Naga Geni diputar-putar di atas kepala. Senjata itu mengeluarkan angin yang

deras dan suara mengaung laksana deru ribuan tawon. Angin senjata membuat api pelita mati lagi. Pada saat itu terdengar bentakan menggeledek dan di saat yang bersamaan pula terdengar suara, buumm! Ruang batu bergoncang keras. Wiro terhuyung-huyung, tubuhnya dihujani oleh guguran dan puing-puing batu karang. Pranajaya terpelanting dan terhampar di lantai ruang batu. Ketika Wiro memandang ke atas dia berseru girang, Prana, kita berhasil! Ternyata batu karang tebal yang atos keras yang menjadi atap ruang batu itu tiada sanggup menghadapi Kapak Naga Geni 212. Sekali Wiro menghantamkan senjata pemberian gurunya itu maka hancur leburlah atap batu karang. Lobang besar terbuka tepat di atas anak tangga paling atas. Pendekar 212 memasukkan kapaknya ke balik pinggang kemudian turun ke bawah kembali, mendukung tubuh Pranajaya dan meninggalkan ruangan batu karang itu dengan cepat. Tapi sewaktu mereka sampai di halaman belakang, seorang penunggang kuda bermuka merah, berambut dan berjubah merah tahu-tahu muncul menghadang mereka, Setan Darah Pertama!

***

WIRO SABLENG TIGA SETAN DARAH & CAMPUK API ANGIN

ADA waktu Setan Pikulan keluar dari pekarangan gedung tua membawa lari Sekar, maka di ujung jalan di belakangnya tiga penunggang kuda muncul. Mereka bukan lain Tiga Setan Darah yang baru saja kembali dari luar kotaraja. Hai, kalau aku tak salah lihat itu si kepala gundul Setan Pikulan! seru Setan Darah Pertama. Betul! menyahut Setan Darah Kedua. Dia memboyong perempuan dan keluar dari rumah kita! Apa yang telah terjadi?! Tiga Setan Darah sama memacu kuda masing-masing lebih cepat namun Setan Pikulan sudah lenyap dari pemandangan mereka sewaktu ketiganya sampai di depan pintu halaman gedung tua. Kalian berdua kejar manusia itu, perintah Setan Darah Pertama, aku akan menyelidiki tempat kita. Pasti terjadi apa-apa yang tak diingini! Setan Darah Kedua dan Ketiga segera meninggalkan tempat itu sedang Setan Darah Pertama dengan cepat memasuki halaman gedung kediamannya. Apa yang disangkakannya ternyata betul! Pintu samping ditemuinya melompong bobol. Belasan senjata rahasia berbentuk panah bertebaran di tanah dan beberapa lainnya menancap di batang pohon. Setan Darah Pertama memaki dalam hati. Apa ini si kate kepala gundul itu yang melakukannya? manusia bermuka merah ini membatin. Kalau betul kelak aku akan kasih pelajaran pada manusia keparat itu! Dilewatinya pintu yang telah bobol itu dan ketika sampai di halaman belakang kekagetannya bertambah-tambah sewaktu menyaksikan tanah dari anak tangga sebelah bawah pintu belakang hancur berantakan sedang pintu belakang itu sendiri juga bobol pecah! Setan alas! Setan alas! maki manusia muka merah itu. Dia memandang berkeliling dan merasa heran karena dia tidak melihat

arca yang seharusnya berada di halaman itu! Siapa yang melakukan ini semuanya? Apa yang sebenarnya telah terjadi. Dan Setan Pikulan yang tadi dilihatnya keluar dari pintu halaman, memboyong seorang perempuan?! Sudut mata Setan Darah Pertama menangkap satu gerakan. Cepat-cepat dia palingkan kepala. Sepasang mata Setan Darah Pertama melotot. Di hadapannya berdiri seorang pemuda berambut gondrong, berpakaian putih-putih. Dia tidak kenal dengan pemuda ini. Yang membuat Setan Darah Pertama begitu terkejut ialah karena pemuda ini memanggul Pranajaya yang sebelumnya telah disekapnya dalam ruang batu karang! Setan Darah Pertama berpikir cepat. Jika si pemuda asing ini adalah kawan Pranajaya dan menolong Prana keluar dari ruang batu karang, pastilah dia yang telah menghancurkan pintu samping dan pintu belakang gedung kediamannya. Dan di dalam gedung pasti pula dia telah membuat kerusakan yang lebih hebat lagi. Lantas, apa pula hubungan Setan Pikulan yang tadi dilihatnya keluar dari halaman gedung dengan memboyong seorang perempuan?! Setan Darah Pertama jadi bingung sendiri! Matanya menatap tajam. Kalau betul pemuda belia ini yang telah membebaskan Pranajaya dari dalam ruang batu maka ini adalah hal yang sangat tak bisa dipercaya oleh Setan Darah Pertama. Untuk masuk ke dalam gedung tua saja seseorang harus melalui rintangan-rintangan senjata rahasia yang bisa membawa maut! Kalaupun dia sanggup masuk ke dalam, belum tentu dia tahu rahasia bagaimana membuka pintu ruang batu karang. Mungkin dia mempergunakan ilmu kesaktian dan membobolkan pintu ruang batu? Selama bertahun-tahun tak ada satu kekuatan pun yang sanggup mendobrak pintu ruang batu karang itu. Apalagi manusia muda bertampang dogol seperti yang saat itu berdiri memanggul tubuh Pranajaya di hadapannya. Di lain pihak Pendekar 212 Wiro Sableng memandang pula tepattepat kepada Setan Darah Pertama. Dia ingat manusia inilah yang telah menyeret Pranajaya tadi sepanjang jalan. Dia tenang-tenang saja dan tidak perlu terkejut melihat si muka merah ini. Cuma yang diam-diam membuat dia khawatir ialah karena saat itu dia sama sekali tidak melihat Sekar! Tak ada dugaan lain selain bahwa gadis itu pasti sudah dilarikan oleh si kate Setan Pikulan! Pemuda asing, siapa kau?! bentak Setan Darah Pertama

dengan suara menggeledek. Sekaligus dia hendak menunjukkan bahwa dia bukan manusia sembarangan. Wiro Sableng cengar-cengir seenaknya. Jangan cengar-cengir tak karuan! Cepat beritahu siapa kau dan mengapa nyalimu begitu besar membuat keonaran di sini?! Wiro..., Pranajaya berbisik, manusia muka kepiting rebus ini adalah musuh besarku! Salah satu dari Tiga Setan Darah. Wiro tertawa mendengar ucapan kepiting rebus itu. Setan alas! sentak Setan Darah Pertama. Kau kira kau berhadapan dengan siapakah berani tertawa seenak perutmu?! Masakan orang tertawa saja tidak boleh! sahut Wiro Sableng. Darah Setan Darah Pertama naik ke kepala. Kalau kau masih bicara bertele, nyawamu akan kukirim menghadap setan neraka! ancam Setan Darah Pertama dan tangan kanannya dinaikkan ke atas, siap untuk melancarkan satu pukulan tangan kosong! Sabar... sabar sobat! kata Wiro. Aku adalah kawan pemuda ini. Sebagai kawan, sepantasnya aku menolong bila dia mendapat kesukaran... Bukan begitu Tiga Setan Darah?! Hemm... manusia buruk macammu rupanya sudah tahu juga berhadapan dengan siapa saat ini! ujar Setan Darah Pertama. Karena kau kawan pemuda itu, terpaksa kalian berdua kuseret kembali ke ruang batu karang! Habis berkata demikian Setan Darah Pertama lentingkan kelima jarinya ke muka. Lima larik sinar merah menyambar ke arah lima bagian tubuh Wiro Sableng! Inilah ilmu totokan jarak jauh bernama Totokan Lima Jari yang sangat lihai sekali! Pendekar 212 Wiro Sableng keluarkan suara bersiul. Sekali melompat ke samping, lima sinar totokan itu dapat dihindarkannya sekaligus! Ini membuat Setan Darah Pertama menjadi gusar. Punya sedikit ilmu saja hendak diandalkan! ejeknya. Aku mau lihat sampai di mana kedikdayaanmu bocah konyol! Serentak dengan itu Setan Darah Pertama melompat dari kudanya. Silahkan turunkan dulu kunyuk di bahumu itu! Tiga Setan Darah, meski kau seorang bejat yang sebenarnya tidak pantas hidup di dunia ini, tapi aku tak punya permusuhan denganmu. Harap minggir beri jalan...! Kentut bapak moyangmu! teriak Setan Darah Pertama. Lekas turunkan pemuda itu, dalam satu jurus nyawamu pasti akan minggat

dari badan! Sebenarnya Wiro bukan tak mau baku hantam dengan manusia terkutuk ini, tapi karena dia mengkhawatirkan keselamatan Sekar dan musti mencari gadis itu maka sekali ini diusahakannya untuk menghindari pertempuran. Tapi agaknya si muka kepiting rebus tak memberi kesempatan terhadapnya. Dan ini membuat murid Eyang Sinto Gendeng itu mulai luntur pula kesabarannya. Iblis muka merah! bentak Wiro Sableng. Untuk menghadapi kau kenapa musti susah-susah turunkan tubuh kawanku ini segala? Mendidihlah darah Setan Darah Pertama. Seumur hidupnya tak pernah dia mendapat hinaan demikian. Kalau begitu kalian akan mampus sama-sama! teriaknya lantang. Setan Darah Pertama kebutkan kedua lengan jubahnya. Dua angin merah yang amat dahsyat menderu ke arah Wiro Sableng. Dalam jarak dua tombak saja panasnya sudah memerihkan kulit. Awas Wiro, pukulan itu beracun! membisik Pranajaya. Lalu tambahnya, Manusia ini bukan sembarangan, ilmunya tinggi. Lebih baik kau sandarkan aku ke pohon sana! Ah, tak usah khawatir sobat. jawab Wiro. Satu tombak dua larikan sinar merah itu menyambar ke arahnya, dengan membentak nyaring Pendekar 212 berkelebat. Tubuhnya lenyap dari hadapan Setan Darah Pertama. Kaget Setan Darah Pertama bukan main-main. Tak tahu dia gerakan kilat apa yang dipergunakan oleh si pemuda lawannya hingga lebih cepat dari kejapan mata, pemuda itu sudah lenyap dari pemandangannya. Cepat-cepat dia membalik. Wiro dan Prana dilihatnya sudah berada di pintu samping. Kau mau lari ke mana bedebah?! bentak Setan Darah Pertama dan memburu dengan cepat seraya lancarkan satu jotosan jarak jauh yang hebat. Serangan ini membuat murid Eyang Sinto Gendeng melompat ke samping lalu membalik. Iblis muka merah, kali ini aku tidak ada waktu untuk melayanimu. Kelak di lain hari kita bakal berhadapan kembali! Cuma nyawamu yang bisa pergi dari sini keparat! teriak Setan Darah Pertama. Dia memburu lagi. Tapi langkahnya terhenti. Wiro telah melepaskan satu pukulan yang mendatangkan angin yang amat

hebat, membuat pasir di halaman itu menggebu laksana kabut tebal menderu ke arah Setan Darah Pertama membuat pemandangannya tertutup. Ketika dia menerobos kabut pasir itu dengan cepat, Wiro Sableng dan Pranajaya sudah lenyap! Setan Darah Pertama menyumpah habis-habisan. *** Orang-orang yang berada di tengah jalan cepat-cepat menghindar ke tepi sewaktu Setan Pikulan memacu kudanya dengan kecepatan yang luar biasa. Debu beterbangan di belakang diterpa oleh keempat kaki kuda tunggangan manusia bertubuh kate itu. Seorang pejalan kaki berkata pada kawannya di tepi jalan, Lihat, si kate kepala gundul itu membawa seorang perempuan lagi! Ya, parasnya cantik sekali! Sahut kawannya. Diangkatnya bahunya lalu berkata lagi, Manusia dajal itu rupa-rupanya tak pernah bosan dengan perempuan. Di gedungnya sudah belasan perempuan yang jadi peliharaannya! Kini satu lagi bakal menjadi korban kebejatan nafsunya. Kasihan perempuan itu... Aku sangat menyesalkan Baginda. Beliau... Laki-laki itu tak meneruskan kata-katanya karena di belakangnya terdengar derap kaki-kaki kuda. Keduanya berpaling. Ini lagi..., kata laki-laki tadi pelahan, bergundal-bergundal Baginda. Mereka tidak ada beda dengan Si Setan Pikulan! Dua penunggang kuda itu berlalu dengan cepat. Mereka bukan lain dari Setan Darah Kedua dan Ketiga yang tengah mengejar Setan Pikulan! Di sebuah gedung kecil di pinggiran kotaraja, Munding Sura alias Setan Pikulan menghentikan kudanya. Ah, manisku. Kita sudah sampai! katanya seraya mendukung Sekar dan melompat dari kudanya. Di ruang dalam tiga orang perempuan muda yang cantik-cantik tengah duduk berbicara. Mereka adalah sebagian dari peliharaanpeliharaan Setan Pikulan. Ketiganya memandang pada Setan Pikulan dan perempuan yang ada dalam dukungannya. Mereka tak berkata dan tak berbuat apa-apa selain hanya memandang. Dan di dalam hati masing-masing, mereka sudah tahu apa yang bakal dialami perempuan yang dibawa Setan Pikulan itu ketika mereka melihat laki-laki itu melangkah menuju ke kamar di ujung ruangan!

Kemudian pintu kamar itupun tertutuplah. Di dalam kamar... Setan Pikulan menutupkan pintu dengan tumit kakinya. Dengan tertawa mengekeh-ngekeh manusia ini membaringkan Sekar di atas tempat tidur. Kemudian dia melangkah ke meja dan meneguk tuak dari dalam sebuah kendi. Minuman keras ini dengan serta-merta menghangati tubuh dan menambah gelora nafsu terkutuk Setan Pikulan. Dengan memegang kendi itu di tangan dia melangkah kembali ke tempat tidur dan duduk di samping Sekar. Ah, parasmu yang cantik, basah oleh keringat dan debu. Biar aku bersihkan... kata Setan Pikulan. Lalu dengan tangan kirinya diusapnya kening serta pipi Sekar. Gadis ini memaki dalam hati. Hanya itu, yang bisa dilakukannya. Dia tak bisa membuka mulut ataupun menggerakkan anggota badannya karena telah ditotok. Cuma mimik mukanya yang menyatakan demikian. Setan Pikulan meneguk tuaknya kembali. Eh, kau tentu haus. Setan Pikulan mengedipkan matanya beberapa kali. Lalu dibukanya totokan pada tubuh Sekar. Gadis itu kini bisa bicara dan mendengar tapi tubuhnya tetap kaku tak bisa digerakkan. Ini, minumlah, kau tentu haus manisku! Manusia biadab! Lepaskan totokanku! Keluarkan aku dari sini! teriak Sekar. Kau masih saja galak. desis Setan Pikulan dan mencubit dagu Sekar. Ini minum! katanya. Bibir kendi didekatkannya ke bibir gadis itu. Sekar mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Tapi kemudian dia mendapat akal. Dibukanya mulutnya sedikit. Tuak di dalam kendi itu diteguknya dua kali. Setan Pikulan tertawa gembira. Tapi tiba-tiba! Tuak yang sudah diteguk tadi tiba-tiba disemburkan kembali oleh Sekar dan karena tidak diduga sama sekali oleh Setan Pikulan, lakilaki ini tak sempat lagi menghindar! Dia berteriak kesakitan dan melemparkan kendi di tangannya ke dinding. Kendi pecah berantakan isinya membasahi lantai! Untung saja Sekar dalam keadaan ditotok sehingga dia tak bisa mengalirkan tenaga dalamnya! Jika saja semburan tuak tadi disertai dengan aliran tenaga dalam niscaya hancur dan butalah mata Setan Pikulan. Namun demikian semburan tadi sudah cukup membuat matanya

sakit sekali dan untuk beberapa saat lamanya tak bisa membuka kedua matanya itu! Sambil mengeringi mukanya yang basah dan mengucek-ucek kedua matanya, Setan Pikulan memaki habis-habisan! Gadis gila! Kalau kau tidak sekurang ajar itu terhadapku pasti aku akan perlakukan kau baik-baik. Tapi kini kau akan rasakan sendiri! Setan Pikulan mengucek lagi kedua matanya. Pemandangannya sudah terang kini. Kedua matanya yang juling memandang dengan berapi-api. Tiba-tiba dibungkukkannya kepalanya. Maka habislah seluruh tubuh Sekar diciuminya. Gadis itu menjerit tiada henti. Menjeritlah sampai lidahmu copot! kata Setan Pikulan dengan tertawa mengekeh. Ciumannya datang lagi bertubi-tubi. Kemudian bukan hanya ciuman saja lagi. Sepasang tangan manusia kate ini membuat dua kali gerakan. Breet! Breet! Pakaian kuning yang dikenakan Sekar robek besar. Dadanya tersingkap lebar! Dadamu bagus dan putih sekali! seru Setan Pikulan seperti gila. Dan kemudian betul-betul macam orang gila muka dan bibirnya melumasi dada Sekar yang sampai saat itu masih menjerit-jerit. Sekar menjerit lagi lebih keras sewaktu sepasang tangan Setan Pikulan menggerayang meremasi dadanya! Braak! Pintu kamar terpentang lebar. Salah satu papannya pecah! Kaget Setan Pikulan bukan olah-olah! Sebelum dia berpaling, dari pintu sudah membentak satu suara. Munding Sura! Hentikan perbuatan kotormu itu!

***

WIRO SABLENG TIGA SETAN DARAH & CAMPUK API ANGIN

EGITU berpaling begitu Setan Pikulan alias Munding Sura hendak mendamprat marah. Tapi sewaktu melihat siapa yang berdiri di hadapannya dia hanya mengeluarkan suara menggerendeng. Di belakang laki-laki yang masuk ke dalam kamar itu masih ada seorang lainnya. Setan Pikulan bangkit dari tempat tidur. Kalau tidak memandang kepada nama besar serta hubungan kita sesama tokoh-tokoh pembantu Baginda, pasti aku sudah tendang kau keluar dari kamar ini, Setan Darah Kedua! Setan Darah Kedua tertawa bergumam. Dia rangkapkan tangan di muka dada sementara kawannya melangkah ke sampingnya. Sepasang mata Setan Darah Kedua menatap tubuh yang tergeletak di atas tempat tidur. Hatinya terkesiap juga memandangi paras cantik dengan tubuh dalam keadaan setengah telanjang itu! Seperti Setan Pikulan, dia pun seorang yang suka perempuan! Setan Darah, lekas katakan apa maksud kedatangan kalian! Sewaktu memasuki ujung jalan kau kelihatan keluar dari tempat kediaman kami membawa perempuan itu! kata Setan Darah Kedua. Kepalanya digoyangkannya sedikit ke arah Sekar. Ada perlu apa kau ke tempat kami dan siapa ini perempuan?! Siapa ini perempuan bukan urusanmu! jawab Setan Pikulan. Kalau kau memandang mukaku, aku juga masih mau memandang muka padamu, Setan Pikulan. kata Setan Darah Kedua. Kuharap kau tak usah bicara kasar! Setan Darah Kedua tertawa dingin. Setan Darah Ketiga buka mulut, Melihat caramu keluar dari gedung kami dan melarikan perempuan ini jelas sudah kau membuat apa-apa yang tak diingini di tempat kami! Setan Pikulan meludah ke lantai. Aku ke sana sebetulnya untuk menyambangi kalian...

Itu satu kehormatan. memotong Setan Darah Kedua dengan nada sinis. Kalian tidak ada. Pintu samping kutemui dalam keadaan hancur. Senjata-senjata rahasia bertancapan di pohon dan bertebaran di tanah. Halaman belakang kacau balau dan pintu belakang gedung kalian juga, kutemui dalam keadaan terpentang bobol... Hemmm..., gumam Setan Darah Ketiga, siapa yang melakukannya?! Mana aku tahu! sahut Setan Pikulan. Jangan dusta, Munding Sura! sentak Setan Darah Kedua. Hanya beberapa orang saja yang tahu rahasia masuk ke gedung itu, di antaranya kau! Jadi kau menuduh aku membuat kerusakan di gedung itu? Aku tanya siapa yang melakukan, bukan menuduh! sahut Setan Darah Kedua ketus. Aku sudah bilang tidak tahu! Dan sekali tidak tahu, tetap tidak tahu. Sekarang silahkan angkat kaki dari sini! Baik Munding Sura. Tapi ingat... ujar Setan Darah Ketiga, bila nanti terbukti kau berbuat... Tak usah mengancam, sompret! maki Setan Pikulan. Setan Darah Ketiga melangkah maju. Setan Darah Kedua menarik lengan jubahnya dan berkata pada Setan Pikulan, Sekarang memang baru cuma ancaman. Kelak kalau kami tahu bahwa kau betul-betul telah membuat keonaran di tempat kami, ancaman itu akan menjadi kenyataan, Munding! Munding Sura yang bergelar Setan Pikulan tertawa mencemooh. Dasar manusia-manusia tidak tahu diri! katanya, Kalian tahu, sewaktu aku datang ke sana ada dua cecunguk yang sembunyi di atas genteng! Satu di antaranya gadis ini, yang lain seorang pemuda! Aku paksa mereka turun dan paksa agar memberi keterangan. Mereka menerangkan tengah mencari seorang kawan yang kalian seret ke tempat kalian! Mereka bermaksud membebaskannya! Aku pikir kalau manusia itu adalah musuhmu maka pasti yang dua lainnya adalah kambratnya juga. Si gadis, kutotok dan kawannya kutipu kujebloskan dalam ruang batu karang di dasar gedung! Kalian dengar semua itu?! Seharusnya kalian berterima kasih padaku dan bukan mengoceh tak karuan! Sekarang berlalu dari hadapanku sebelum kesabaran habis! Setan Darah Kedua menarik lengan baju kawannya. Keduanya

sama-sama melangkah ke pintu. Tapi tiba-tiba Sekar berseru. Setan Darah! Jangan kena ditipu oleh bangsat kepala botak ini! Tentu saja kedua Setan Darah itu sama hentikan langkah dan balikkan badan! Apa yang diterangkannya semua adalah dusta! Heh, begitu...?! Gadis edan apa mulutmu mau kupecahkan?! bentak Setan Pikulan. Berani kau bicara lagi, betul-betul kupecahkan mulutmu! Biarkan dia bicara, Munding Sura! kata Setan Darah Kedua. Tapi kau lepaskan dulu totokanku! kata Sekar. Aku akan terangkan apa yang telah diperbuatnya di tempatmu! Dan bukan itu saja, aku akan bersedia ikut dengan kalian! Ah..., Setan Darah Kedua mengusap-usapkan kedua telapak tangannya satu sama lain, satu usul yang baik! Memang kau telah pantas bersamaku daripada kambratku yang kate buruk ini! Marahlah Setan Pikulan. Saat ini aku tidak memandang nama besar atau mukamu lagi Setan Darah keparat! Tidak perduli meski kita sama-sama orang istana! Gadis itu sudah membuka kedok kedustaanmu! Dia yang dusta! Bohong besar! Dusta atau tidak tapi aku percaya omongannya. Dan aku dengar dia sendiri yang mau ikut bersamaku! Setan Darah Kedua mengekeh. Mulut Setan Pikulan komat kamit. Boleh, katanya, silahkan bawa gadis itu. Tapi begitu tanganmu menyentuh tubuhnya, kepalamu akan hancur lebih dulu! Setan Darah Kedua tertawa bergelak. Nama besar Setan Pikulan memang sudah lama kami dengar. Tapi hendak menantang Tiga Setan Darah yang kesohor sama saja seperti biduk kecil yang hendak melawan gelombang sebesar gunung! Kini Setan Pikulan yang tertawa mengekeh. Orang sombong memang terlalu sering lupa diri! Kita walau bagaimanapun masih sama-sama manusia. Aku bukan biduk dan kalian bukan gunung! Bicara jangan ngaco! Agaknya jalan kekerasan tak bisa dihindarkan, Setan Pikulan! kata Setan Darah Ketiga sambil usut-usut lengan jubahnya. Kukira demikian. Lagipula memang sudah sejak lama aku ingin

membuktikan sampai di mana kehebatan nama Tiga Setan Darah itu. Jangan-jangan cuma bangsa kroco bau terasi saja! Apalagi sekarang cuma ada dua orang! Kita akan saksikan siapa yang kroco, manusia buruk! sahut Setan Darah Kedua. Dia berpaling pada kawannya dan berkata, Kau lepaskan totokan gadis itu, biar aku yang kasih pelajaran pada manusia jenis kacoak ini! Setan Darah Ketiga melompat ke arah tempat tidur. Dua jari tangannya siap untuk melepaskan totokan di tubuh Sekar, tapi dari samping Setan Pikulan tidak tinggal diam. Tubuhnya yang kate melesat ke muka. Satu tendangan yang dahsyat dilancarkannya ke arah tangan Setan Darah Ketiga. Tentu saja Setan Darah Ketiga tidak mau ambil resiko hancur tangannya. Cepat-cepat dia tarik pulang tangannya, menggeser kaki dan kebutkan lengan jubahnya sebelah kiri! Selarik sinar merah menyambar ke arah selangkangan Setan Pikulan! Ini adalah satu serangan yang benar-benar mematikan! Tapi si kate kepala gundul bukan manusia kemarin. Dia membentak dan melompat ke atas. Dari atas dia kirimkan satu jotosan dan satu tendangan! Setan Darah Ketiga merunduk sementara sinar pukulannya tadi telah melanda dan menghancurkan tembok kamar! Di ruang sebelah terdengar pekikan beberapa orang perempuan! Serangan gencar Setan Pikulan menjadi batal sewaktu dari samping Setan Darah Kedua tusukkan dua jari tangannya ke rusuk. Setan Pikulan yang tahu betul kehebatan dua jari itu cepat menghindar dan sekaligus dua tangannya dipukulkan ke muka! Setan Darah Kedua cepat-cepat buang diri ke samping sewaktu melihat dua gelombang angin hitam keluar dari jotosan-jotosan lawannya. Ilmu pukulan Sepasang Tinju Hitam-mu tiada berguna terhadapku manusia buruk! ejek Setan Darah Kedua. Sementara kawannya baku hantam dengan Setan Pikulan, Setan Darah Ketiga pergunakan kesempatan untuk membebaskan Sekar dari totokan. Namun kali yang kedua ini pun tidak berhasil karena saat itu Setan Pikulan sudah menyambar senjatanya yang ampuh yang menyebabkan dia sampai dijuluki Si Setan Pikulan dalam dunia persilatan. Senjatanya itu bukan lain ialah sebuah pikulan dari bambu! Meskipun dari bambu tapi karena merupakan senjata sakti maka kekuatannya lebih hebat dari baja!

Setan Darah Ketiga cepat-cepat buang diri ke samping sewaktu ujung pikulan menusuk ke kepalanya. Setan Darah Kedua mengomel. Tolol! makinya, Lepaskan dia dengan totokan jarak jauh! Habis berkata begitu Setan Darah Kedua segera keluarkan senjatanya yaitu sepasang gada. Dalam ilmu mengentengi tubuh dan tenaga dalam serta kegesitan bergerak, Setan Pikulan tidak di bawah kedua Setan Darah itu, apalagi saat itu pikulan saktinya sudah berada di tangan. Namun menghadapi dua lawan yang berada dalam jarak terpisah di mana dia musti pula melindungi Sekar agar jangan sampai gadis itu berhasil dibebaskan lawan dari totokannya maka ini adalah satu hal yang cukup menyulitkan bagi Si Setan Pikulan! Setiap saat dia harus membagi serangan pada kedua lawan dan melindungi Sekar! Setan Pikulan putar senjatanya laksana titiran. Pikulan itu dimainkan dalam jurus-jurus silat toya. Angin deras dan suara mengaung memenuhi kamar itu. Namun senjata lawan yang dihadapi Setan Pikulan bukan pula senjata biasa! Bagaimanapun dia mempercepat gerakannya dan mendesak Setan Darah Kedua dengan hebat namun pada jurus kesembilan belas, Setan Pikulan tak berhasil menghalangi Setan Darah Ketiga melepaskan satu pukulan tangan kosong jarak jauh yang membuat terlepasnya totokan di tubuh Sekar! Begitu bebas secepat kilat gadis itu merapikan pakaiannya. Saudari, kau menghindarlah ke sudut sana! Tunggu sampai kami membereskan monyet kontet ini! kata Setan Darah Kedua. Sekar merasa syukur bahwa hasutannya termakan oleh kedua Setan Darah sehingga kini dia lepas dari totokan. Dia tahu, baik Setan Pikulan maupun manusia-manusia bermuka dan berjubah merah itu tiada beda satu sama lain. Dia berpikir-pikir apakah akan masuk ke gelanggang pertempuran untuk turut mengeroyok Setan Pikulan yang telah membuat kekejian terhadapnya atau lebih baik menyingkir dulu dari situ sebelum timbul pula urusan baru dengan manusia-manusia iblis bermuka merah itu. Si gadis mengambil keputusan yang terakhir. Apalagi dia ingat bahwa sewaktu dibawa lari oleh Setan Pikulan dari gedung kediaman Tiga Setan Darah tadi, sahabatnya Wiro Sableng masih tertinggal di sana, dikurung dalam ruang batu karang. Maka gadis ini cepat-cepat melompat ke pintu.

Namun apa lacur! Bersamaan dengan itu sesosok tubuh melompat pula dari luar dan cepat berhadap-hadapan dengan Sekar di ambang pintu itu!

***

WIRO SABLENG TIGA SETAN DARAH & CAMPUK API ANGIN

ANUSIA ini berambut gondrong, bermuka dan berjubah merah persis seperti yang dikenakan dua orang Setan Darah yang tengah bertempur di dalam kamar. Pasti manusia ini adalah kawan dari dua Setan Darah lainnya itu pikir Sekar. Di lain pihak manusia yang berdiri di ambang pintu yang memang Setan Darah Pertama adanya menduga keras bahwa Sekar adalah perempuan yang tadi terlihat dilarikan oleh Setan Pikulan dari gedungnya. Meskipun dia tertarik sekali akan kecantikan si gadis di hadapannya, namun saat itu Setan Darah Pertama masih diliputi kemarahan yang meluap yaitu sesudah dia menyaksikan kerusakankerusakan di gedungnya serta dibikin seperti main-mainan sewaktu bertempur melawan Pendekar 212. Kalian tolol semua! bentak Setan Darah Pertama sewaktu menyaksikan dua kawannya yang mengeroyok Setan Pikulan tapi mendapat tekanan-tekanan yang hebat bahkan sesungguhnya sudah mulai terdesak. Menghadapi si kate keling ini saja tidak mampu! Di saat itu Setan Pikulan mengamuk dengan hebatnya. Senjatanya bersiur-siur. Dua ujung pikulan menyambar dan memapas, kadang-kadang menusuk ganas dalam jurus-jurus gencar yang penuh dengan tipu-tipu yang membahayakan keselamatan kedua Setan Darah. Mendengar bentakan Setan Darah Pertama, Setan Darah Ketiga segera cabut sepasang goloknya. Pertempuran dalam kamar itu bertambah hebat. Tapi sepasang mata Setan Darah Pertama bisa melihat bahwa kedua kambratnya itu masih berada di bawah angin. Si kate kepala gundul berkelebat ganas hampir tak kelihatan. Pikulannya menderu-deru bahkan anginnya sampai mengibarngibarkan jubah yang dipakainya! Tanpa tunggu lebih lama Setan Darah Pertama segera bergerak ke tengah ruangan. Kesempatan ini lekas dipergunakan olah Sekar untuk meninggalkan tempat itu.

Tapi Setan Darah Pertama berseru. Hai, gadis manis! Tunggu dulu! Kau mau ke mana?! Sekar tak menyahuti malah tancap gas larikan diri. Tapi satu sambaran angin menyapu kedua kakinya, membuat kaki gadis itu menjadi kaku tegang dan laksana dipakukan ke lantai tak dapat bergerak lagi! Setan Darah Pertama telah melepaskan totokan jarak jauh yang lihai sekali. Sekar sendiri tak tahu kalau dirinya akan diserang dari belakang begitu rupa maka kini dia terpaksa tegak di lantai tak berdaya! Dikerahkannya tenaga dalamnya ke kaki untuk membuyarkan totokan Setan Darah Pertama, tapi sia-sia belaka! Tahan dulu! Aku mau bicara! Setan Darah Pertama berseru. Kedua orang kawannya segera melompat ke tepi kamar. Dengan pandangan berapi-api Setan Darah Pertama memandang pada Setan Pikulan. Munding Sura kaukah yang membuat keonaran di tempatku?! Munding Sura alias Setan Pikulan tertawa tawar. Kau dan dua kambratmu ini sama saja menuduh seenaknya. Kau kira... Setan Darah Pertama, ujar Setan Darah Kedua, kita tak perlu banyak bicara dengan kunyuk hitam ini. Kami sudah tahu memang dia sengaja mencari urusan terhadap kita. Dia telah menyelundup ke tempat kita! Setan Pikulan tertawa lagi. Tentu saja nyalimu tambah besar karena satu kambratmu telah datang, lagi ke sini. katanya. Sebelum terlambat apakah kalian masih mau teruskan urusan gila ini?! Kunyuk hitam! hardik Setan Darah Pertama. Tiga Setan Darah tak pernah bikin urusan setengah-setengah! Kawan-kawan, bersiap membentuk barisan Tiga Bayangan Siluman! Maka Tiga Setan Darah-pun segera membentuk barisan yang sangat diandalkan mereka itu. Di lain pihak Setan Pikulan yang sudah memaklumi kehebatan ilmu silat lawan-lawannya itu segera pasang kuda-kuda baru. Dan sebelum barisan Tiga Bayangan Siluman bergerak, Setan Pikulan sudah berteriak keras dan berkelebat bersama senjatanya! Setan Darah Pertama bergeser ke samping mengelakkan sambaran senjata Setan Pikulan yang melanda ke arah pinggangnya. Manusia bermuka merah ini kemudian merunduk dengan cepat dan kirimkan serangan berantai ke arah kedua kaki lawan. Setan Darah

Ketiga melesat ke atas, menukik lagi dan laksana seekor burung elang tiada hentinya melancarkan pukulan-pukulan maut ke kepala Setan Pikulan! Barisan Tiga Bayangan Siluman ini memang cukup terkenal di kalangan tokoh-tokoh kotaraja. Setan Pikulan sendiri juga sudah tahu tapi baru kali ini menyaksikannya dan di saat itu dirinya pula yang menjadi bulan-bulanan! Namun Setan Pikulan bukan pula tokoh silat kemarin. Tubuhnya berkelebat laksana bayang-bayang, menerobos dan mengelak di antara hujan serangan lawan sedang senjatanya menderu kian kemari. Kegesitan ditambah dengan keampuhan jurus-jurus silat yang dimainkannya banyak sekali menolong Setan Pikulan sehingga meski dikeroyok tiga, dalam sepuluh jurus dia masih bisa bertahan bahkan dua tiga kali berturutturut membagi serangan pada ketiga lawannya. Lambat laun Tiga Setan Darah dibikin sibuk. Barisan Tiga Bayangan Siluman tiada berarti lagi. Ketiganya kini mulai terdesak! Setan Darah Pertama memaki dalam hati! Untung saja pertempuran itu tidak terjadi di tempat terbuka, tidak disaksikan umum! Kalau saja orang luar tahu, pasti nama besar Tiga Setan Darah akan menjadi luntur! Setan Darah Pertama keluarkan sepasang tombak bermata dua dari balik jubahnya. Melihat ini dua Setan Darah yang lain yang tadi sewaktu membentuk Tiga Bayangan Siluman telah memasukkan senjata mereka, kini segera pula mengeluarkan senjata masingmasing kembali! Setan Pikulan kertakkan rahang. Tiga pasang senjata di tangan musuh-musuhnya itu adalah senjata-senjata mustika sakti. Dia bersangsi apakah kini dia akan sanggup menghadapi manusiamanusia bermuka merah itu! Setan Pikulan coba memancing dengan ucapan agar musuhnya tidak bertempur secara mengeroyok. Maka dia-pun berkata, Nama Tiga Setan Darah memang tersohor! Tapi hari ini aku sendiri menyaksikan bahwa mereka cuma bangsa bunglon-bunglon bernyali rendah bangsa pengecut kelas wahid! Tokoh-tokoh silat yang beraninya main keroyok! Mengocehlah seenakmu manusia kontet! Sebentar lagi gadaku ini akan membuat otakmu bertaburan! hardik Setan Darah Kedua seraya putar-putarkan gadanya. Setan Darah Pertama, tunjukkanlah bahwa kau bukan seorang pengecut! Mari kita bertempur satu lawan satu sampai seribu jurus!

Setan Darah Pertama tertawa gelak-gelak. Sampai seribu jurus katamu?! Tiga jurus pun kau belum tentu bisa bertahan manusia kacoak! Huh! Betapa memalukan kalau dunia persilatan mengetahui bahwa Tiga Setan Darah beraninya cuma main keroyok! Persis macam anjing-anjing kurap yang mengeroyok seekor kucing yang ditakutinya! Marahlah Setan Darah Pertama mendengar cacian anjing kurap itu. Dia berikan isyarat pada dua kawannya. Serentak dengan itu ketiganya segera menyerbu Setan Pikulan. Enam senjata laksana taburan hujan menderu mencari sasaran di tubuh Setan Pikulan. Yang dikeroyok mempertahankan diri dengan sebat. Sepuluh jurus berlalu. Keringat telah membasahi tubuh Setan Pikulan yang cuma mengenakan cawat itu! Gerakan dan putaran pikulannya semakin sebat namun sesungguhnya daya pertahanan manusia ini jurus demi jurus semakin lemah. Beberapa kali ujung-ujung pikulannya beradu dengan salah satu senjata lawan membuat senjata itu kadangkadang hampir terlepas dari genggamannya yang licin oleh keringat! Ha... ha... ha...! Sampai berapa lama lagikah kau akan sanggup bertahan Munding Sura?! Mengejek Setan Darah Pertama. Sampai batok kepalamu hancur oleh ujung senjataku ini! sahut Setan Pikulan seraya tusukkan ujung pikulannya ke kepala lawan. Setan Darah Pertama sampokkan tombaknya yang di tangan kanan untuk menangkis tapi senjata lawan berputar cepat dan kini ujung yang lain menotok ke dadanya dengan sangat cepat! Setan Darah Pertama kertakkan rahang! Dia bersurut satu langkah dan dibantu oleh Setan Darah Kedua, keduanya menangkis serangan Setan Pikulan. Tiga senjata bentrokan satu sama lain mengeluarkan suara keras. Tiga tangan tergetar! Begitu senjatanya membentur senjata lawan, Setan Darah Pertama cepat pergunakan ujung tombaknya yang bermata dua untuk menjepit ujung pikulan. Dia berhasil. Segera tombak hendak diputarnya. Tapi Setan Pikulan tidak bodoh! Pikulan digerakannya dari atas ke bawah. Ujung yang lain menderu ke bawah perut Setan Darah Pertama. Di saat yang sama pula Setan Pikulan melompat ke atas kedua kakinya! Genap dua puluh jurus sudah! Setan Pikulan benar-benar sudah mandi keringat. Tiba-tiba dia menjerit keras. Senjatanya menyapu membuat satu lingkaran sedang dari balik cawatnya dikeluarkannya sejenis senjata rahasia berbentuk paku rebana!

Awas, paku rebana beracun! teriak Setan Darah Pertama. Tiga Setan Darah masing-masing kebutkan lengan jubah mereka. Sinar merah yang keluar dari ujung lengan jubah itu membuat mental sembilan buah paku-paku rebana yang dilepaskan Setan Pikulan! Licik! maki Setan Darah Pertama. Kalian kunyuk-kunyuk muka merah yang pengecut kelas wahid! semprot Setan Pikulan. Dan kembali diputarnya senjatanya dengan sebat. Namun serangan-serangannya tiada berarti. Daya tahannya semakin kendur. Pada jurus ke dua puluh sembilan kedua ujung senjatanya sekaligus beradu dengan gada serta tombak lawan. Di detik itu pula sepasang golok Setan Darah Ketiga membabat dari atas ke bawah hendak menetak pangkal lehernya dari dua jurusan. Tak ada cara lain yang paling baik untuk menghindarkan diri daripada menjatuhkan badan ke bawah. Dan memang inilah yang dilakukan oleh si kate Munding Sura. Sambil jatuhkan diri manusia yang berjuluk Setan Pikulan ini kirimkan satu tendangan ke arah bawah perut Setan Darah Ketiga! Setan Darah Ketiga keliwat yakin bahwa bacokan sepasang goloknya akan berhasil sehingga dia melupakan pertahanan dirinya sendiri! Kecepatan turun golok-golok itu tak dapat mendahului kecepatan jatuhnya tubuh Setan Pikulan. Golok Setan Darah Ketiga beradu satu sama lain sebaliknya tendangan Setan Pikulan cuma sedikit saja dapat dilaksanakannya. Buuk! Tendangan Setan Pikulan mendarat di pinggul kiri Setan Darah Ketiga. Manusia ini terpelanting beberapa tombak dan untuk beberapa lamanya tergelimpang di lantai kamar merintih kesakitan! Meski berhasil mengelakkan serangan golok-golok maut tadi dan membuat Setan Darah Ketiga melingkar di lantai namun posisi Setan Pikulan sendiri di saat itu tidak menguntungkan sama sekali! Salah satu ujung pikulannya telah dijepit sepasang tombak bermata dua dan dalam keadaan tubuh masih membungkuk di lantai begitu rupa sukar bagi Setan Pikulan untuk melepaskan jepitan senjata lawan atas senjatanya. Hanya ada dua keputusan yang harus diambil oleh Setan Pikulan. Melepaskan senjatanya atau memutar pikulan itu sambil mengerahkan tenaga dalam! Setan Pikulan merasa lebih baik memutar senjatanya sekalipun pikulan itu akan patah daripada menyerahkan senjata tersebut

mentah-mentah ke tangan lawan! Setan Pikulan gerakkan kedua tangannya! Kraak! Pikulannya benar-benar patah! Bedebah! maki Setan Pikulan. Salah satu dari patahan pikulan itu dihantamkannya ke arah Setan Darah Pertama tapi dapat dielakkan. Patahan yang kedua ditusukkannya ke muka Setan Darah Kedua, namun dia keliwat kesusu! Di saat melemparkan patahan senjata yang pertama kepada Setan Darah Pertama, Setan Pikulan tak dapat mengontrol posisinya, tak dapat melihat posisi lawan lainnya. Justru di waktu dia menyodokkan patahan pikulan maka Setan Darah Kedua lebih cepat dari itu hantamkan ujung gadanya ke dada Setan Pikulan. Buuuk! Setan Pikulan mengeluh tinggi. Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang, tersandar ke dinding lalu melosoh duduk ke lantai, muntahkan darah segar! Mukanya menjadi pucat laksana kain kafan dan nafasnya megap-megap! Setan Darah Pertama tertawa terkekeh-kekeh. Perlahan-lahan dia melangkah mendekati Setan Pikulan. Ha... ha... Nyatanya memang kau cuma manusia jenis kacoak! Apakah saat ini kau masih sanggup memperlihatkan kehebatanmu, huh! Setan alas, mampuslah! teriak Setan Pikulan. Tangan kanannya memukul ke muka. Seberkas sinar hitam menyambar ke arah Setan Darah Pertama, membuat manusia muka merah ini memaki dan cepat-cepat menghindar ke samping. Setan Pikulan sendiri kembali muntahkan darah segar. Dengan beringas Setan Darah Pertama angkat salah satu tombaknya tinggi-tinggi, siap untuk ditancapkan ke batok kepala Setan Pikulan! Tunggu dulu! Setan Darah Ketiga berseru. Penasaran Setan Darah Pertama membentak Tunggu apa lagi, sompret! Kematian yang begitu cepat terlalu bagus baginya, Setan Darah Pertama! Hem, kau punya rencana apa?! Kau bisa merasakan dan membayangkan bagaimana seorang jago silat yang ditakuti cacat seumur hidup, tak bisa lagi memainkan

silat dan ilmu kesaktiannya?! Cacat seumur hidup! Lebih mengerikan dari kematian, sobat! Cepat bilang terus terang rencanamu! tukas Setan Darah Pertama penasaran. Setan Darah Ketiga tertawa sedingin es. Dia melangkah ke hadapan Setan Pikulan yang tersandar di dinding antara sadar dan tiada. Inilah rencanaku, Setan Darah Pertama! seru Setan Darah Ketiga. Serentak dengan itu sepasang goloknya berkelebat. Craas! Buntunglah kedua tangan Setan Pikulan. Darah muncrat. Setan Pikulan meraung keras lalu rubuh di lantai bermandikan darah! Setan Darah Ketiga tertawa panjang-panjang. Dia memandang pada kedua koleganya dan berkata, Dia akan hidup terus! Tapi hidupnya akan dirongrong oleh rasa kenyerian! Dendam kesumat yang membara! Namun tak satu apapun yang akan bisa dilakukannya! Karena dia cacat selama-lamanya! Meledaklah tawa Tiga Setan Darah itu. Setan Darah Pertama menepuk-nepuk bahu Setan Darah Ketiga. Betul! Betul sekali katamu! Dia tidak mampus, tapi hidupnya lebih mengerikan daripada benar-benar mampus! Sekarang mari kita tinggalkan tempat sialan ini! Di luar ada seorang gadis jelita menunggu kita. Kita bawa dia ke gedung dan suruh dia membuka bajunya satu demi satu! Kalau tidak mau kita yang tolong membukanya...! Suara tertawa ketiga manusia itu meledak lagi di dalam kamar itu! Ketiganya menuju ke pintu! Setan Darah Pertama tanpa banyak cerita segera menotok tubuh Sekar, sehingga tubuh gadis ini kaku tegang tak bisa bergerak tak bisa buka suara! Tiba-tiba Setan Darah Kedua hentikan langkah. Tunggu dulu. katanya. Kita semua tahu di rumah ini Setan Pikulan punya banyak perempuan peliharaan! Cantik-cantik! Di mana mereka semua?! Heh?! Setan Darah Pertama yang memanggul tubuh Sekar kerenyitkan kening. Terserah kalau kau mau cari perempuanperempuan itu. Aku tetap yang ini! kata Setan Darah Pertama kemudian. Setan Darah Kedua memandang pada kambratnya yang seorang

lagi. Kau bagaimana? tanyanya. Aku tetap tinggal bersamamu di sini. jawab Setan Darah Ketiga. Setan Darah Pertama tertawa. Puaskan dirimu di sini sobatsobat, tapi jangan lupa untuk datang ke gedung kita. Kita masih ada tugas, mencari Pranajaya, anak si Wijaya keparat itu! Kedua Setan Darah anggukkan kepala. Begitu Setan Darah Pertama berlalu bersama Sekar, mereka segera memeriksa kamarkamar di dalam rumah itu. Dalam kamar yang paling belakang akhirnya mereka menemui juga perempuan-perempuan peliharaan Setan Pikulan. Semuanya masih muda-muda dan berparas rata-rata cantik, bertubuh montok molek! Kedua Setan Darah berdiri di ambang pintu, memandang kepada mereka dengan hidung kembang kempis dan mata bersinar-sinar. Perempuan-perempuan muda itu berjumlah empat orang semuanya. Mereka memandang dengan ketakutan pada manusia-manusia di ambang pintu itu. Setan Darah Kedua menyengir. Kalian tak usah takut pada kami. Kami jauh lebih baik daripada si kate kepala gundul itu! Setan Darah Ketiga yang sudah tak sabaran berbisik, Masingmasing kita kebagian dua orang. Kau pilih yang mana...? Setan Darah Kedua meneliti sebentar lalu menjawab, Yang baju ungu dan baju biru itu... Sompret kau pilih yang cantik semua! desis Setan Darah Ketiga. Begini saja, kau boleh ambil si baju ungu dan salah seorang lainnya, aku si baju biru dan satu orang lainnya pula. Atau sebaliknya! Baik. Setan Darah Kedua mengangguk. Dia melompat ke muka. Empat perempuan itu menjerit. Setan Darah Kedua segera merangkul perempuan baju ungu dan salah seorang kawannya sedang Setan Darah Ketiga menarik si baju biru bersama kawannya yang keempat. Di sini saja, sobat?! tanya Setan Darah Kedua Sinting kau! Kau pindah ke kamar sebelah sana! Dengan tertawa-tawa Setan Darah Kedua memboyong dua orang perempuan cantik itu dan membawanya ke kamar sebelah!

***

WIRO SABLENG TIGA SETAN DARAH & CAMPUK API ANGIN

10

ENDEKAR 212 Wiro Sableng membawa Pranajaya ke luar kotaraja sebelah tenggara. Dia berhenti di tepi sebuah telaga dan membaringkan tubuh pemuda itu di atas rerumputan. Dia sudah sejak lama siuman tapi keadaannya masih menyedihkan. Wiro memberikan sebutir pil lagi kepada pemuda itu kemudian menyandarkannya ke sebatang pohon. Dengan sehelai sapu tangan yang sudah dibasahkan dengan air telaga dibersihkannya seluruh luka-luka di tubuh Pranajaya. Setengah jam kemudian disuruhnya pemuda itu mengatur jalan nafas serta darah. Ketika disuruhnya mengatur tenaga dalam Pranajaya masih tak mampu. Wiro Sableng berlutut di belakang pemuda itu. Kedua telapak tangannya ditempelkannya di punggung pemuda itu. Lalu perlahan-lahan Wiro mulai alirkan tenaga dalamnya. Lima menit kemudian. Coba kerahkan lagi. kata Wiro. Pranajaya kerahkan tenaga dalamnya, memusatkannya ke pertengahan perut! Dia berhasil dan berseru gembira, Wiro, tenaga dalamku telah pulih! Murid Empu Blorok ini melompat ke udara berjungkir balik beberapa kali lalu turun kembali dengan kedua kaki lebih dahulu mencapai tanah! Gerakan dan ilmu mengentengi tubuhmu hebat sekali, Prana. puji Wiro. Pranajaya tersenyum jumawa. Ini semua adalah berkat pertolonganmu. Kalau kau tidak ada pasti aku sudah mampus! Aku berhutang budi dan berhutang nyawa padamu! Wiro Sableng bersiul. Hutang budi dan hutang nyawa itu sebetulnya tak pernah ada di dunia ini, saudara Prana. sahut Wiro Sableng. Kau tahu, budi baik itu Tuhan yang memasukannya ke dalam hati nurani kita. Dan nyawa

itu Tuhan yang punya! Jadi kepada Tuhanlah kita semua berhutang! Pranajaya tertawa. Walau bagaimanapun aku tetap merasa berhutang besar sekali padamu. Kuharap Tuhan memanjangkan umurku dan bisa membalas semua pertolonganmu... Wiro Sableng geleng-gelengkan kepalanya. Ditepuknya bahu Prana dan berkata, Di samping nasib baik dan pertolongan Tuhan, tentunya kau seorang tokoh silat yang sakti, Prana. Ah, aku cuma manusia biasa saja. Pemuda gunung yang tak tahu apa-apa. jawab Pranajaya rendahkan diri. Wiro tertawa. Seorang pemuda gunung yang dogol pasti sudah mampus diseret dengan kuda! Kau tidak dan masih hidup! Prana angkat bahu. Sekarang terangkan kenapa sampai kau mengalami nasib demikian. kata Wiro Sableng pula. Aku dilepas oleh guruku untuk mencari Tiga Setan Darah. Mereka telah membunuh bapakku dan salah seorang dari mereka membacok buntung lengan kiriku ini! Di samping itu, Empu Blorok juga menugaskanku mencari senjata mustika miliknya yang dicuri oleh seorang sahabatnya bernama Bagaspati. Senjata apa yang dicuri itu? kepingin tahu Wiro. Sebuah cambuk bernama Cambuk Api Angin. Namanya hebat, pasti itu senjata dahsyat sekali. ujar Wiro. Kau sudah tahu di mana itu si Bagaspati bercokol? tanya Wiro kemudian. Pranajaya mengangguk. Di Pulau Seribu Maut. jawab pemuda tangan buntung itu. Pulau Seribu Maut? Di mana itu? Aku tak pernah dengar! Menurut guruku terletak di ujung timur Pulau Jawa. Cukup jauh dari sini. kata Wiro. Prana mengangguk lagi. Aku bernasib sial. katanya. Tiga Setan Darah ternyata sangat tinggi ilmunya dan belum apa-apa aku sudah kena disikat mereka. Tapi demi arwah ayah, sampai serahkan jiwapun aku tetap musti bisa membereskan ketiga bangsat itu! Prana berdiri dari duduknya. Kau mau ke mana?! tanya Wiro. Kembali ke kotaraja untuk mencari Tiga Setan Darah! Wiro berdiri pula. Dengan pakaian macam ini kau mau masuk ke kotaraja?

Prana memandang ke dirinya. Seluruh pakaian birunya sudah hancur robek-robek, kotor oleh darah dan debu. Pemuda ini menggigit bibir. Wiro tertawa. Aku ada satu stel persediaan pakaian. katanya. Dari balik punggungnya Pendekar 212 mengeluarkan sebuntal pakaian. Ini, pakailah. Wiro melemparkan pakaian itu. Prana menyambutnya. Terima kasih. kata pemuda ini lalu cepat-cepat berganti pakaian di balik semak belukar. Aku juga akan ke kotaraja. kata Wiro. Seorang sahabatku lenyap tak tentu entah ke mana. Aku musti cari dia! Kalau begitu kita pergi sama-sama. ujar Pranajaya. Tiga Setan Darah musti mampus di tanganku! Murid Empu Blorok ini kepalkan tinju tangan kanannya. Salah seorang dari mereka telah merampas pedang warisan guruku! Mereka musti benar-benar mampus! Wiro menepuk bahu Pranajaya. Sudah sobat, mari kita berangkat! Kedua pendekar itu meninggalkan telaga. Dengan ilmu lari cepat masing-masing keduanya menuju kembali ke kotaraja. Di saat itu matahari telah menggelincir ke ufuk barat. Diam-diam Pranajaya memperhatikan gerak dan cara lari Wiro Sableng. Pemuda ini bermata tajam dan berpikiran cerdas. Dia segera mengetahui kalau saat itu Wiro hanya mengeluarkan setengah bagian saja dari kecepatan ilmu larinya sedang dia sendiri sudah mempergunakan keseluruhan kecepatan ilmu lari warisan Empu Blorok! Jika Wiro mau pastilah dia akan ketinggalan jauh di belakang. Diam-diam Pranajaya membatin siapa dan murid guru sakti dari manakah sesungguhnya Wiro? Empu Blorok pernah menerangkan tentang tokoh-tokoh silat ternama di rimba persilatan. Tapi tak pernah menyebut-nyebut seorang pendekar muda bernama Wiro. Dalam berpikir dan berlari itu akhirnya mereka telah sampai di pintu gerbang kotaraja. Wiro Sableng memperlambat larinya. Kulihat ada kelainan di pintu gerbang saat ini. kata Wiro. Pranajaya memperhatikan ke arah pintu gerbang. Apa yang diucapkan Wiro memang betul. Pada pintu gerbang kotaraja kelihatan sepuluh orang pengawal, padahal sebelumnya cuma ada dua orang yang berdiri di situ. Aku mendapat firasat mereka hendak membuat urusan dengan kita. kata Pranajaya.

Kita lihat saja. Jika betul, tak usah ragu-ragu untuk memberi sedikit hajaran pada mereka, Prana! Begitu sampai di pintu gerbang kerajaan, ke sepuluh pengawal pintu gerbang berjejer rapi, masing-masing memalangkan tombak. Salah seorang dari mereka maju membentak. Berhenti! Wiro Sableng dan Pranajaya hentikan lari masing-masing. Mereka memperhatikan, rata-rata tampang pengawal-pengawal itu bengis semua. Yang tadi membentak berpaling pada salah seorang kawannya dan bertanya, Apakah ini kunyuk-kunyuk yang tadi kau lihat melarikan diri dari kotaraja?! Pengawal yang ditanya mengangguk. Meski sudah berganti pakaian namun pengawal itu masih dapat mengenali Pranajaya dan juga Wiro Sableng. Pengawal yang tadi bertanya palingkan kepala kembali pada Wiro dan Prana. Dia segera hendak buka mulut berikan perintah namun Wiro Sableng dengan cengar-cengir mendahului. Pengawal, omongmu seenaknya saja! Kau kira kami ini apa pakai memaki kunyuk segala?! Coba kacakan mukamu di telapak kakiku ini dulu, baru nanti kau tahu apa kami yang kunyuk atau kau yang monyet! Habis berkata begitu Wiro Sableng angkat tinggi-tinggi kaki kanannya dan diajukan tepat-tepat ke muka si pengawal yang tadi memaki. Tentu saja marah pengawal ini bukan alang kepalang! Bangsat rendah! Kau lebih pantas mampus daripada ditangkap hidup-hidup! Pengawal ini secepat kilat tusukkan tombaknya kepada Wiro Sableng. Pendekar 212 ganda tertawa. Sompret betul! makinya kemudian. Orang suruh berkaca malah menyerang! Ini, makan kakiku! Hampir tak kelihatan bagaimana cepatnya gerakan kaki murid Eyang Sinto Gendeng itu, tahu-tahu tendangannya sudah mendarat di dagu si pengawal! Pengawal itu terpelanting jauh, tombaknya mental, mulutnya berdarah dan tubuhnya melingkar di muka pintu gerbang tanpa sadarkan diri! Melihat ini sembilan pengawal lainnya segera menyebar mengurung! Bedebah laknat! kata salah seorang dari mereka. Lebih baik kalian serahkan diri. Kalau tidak nyawa kalian pasti tidak

ketolongan! Siapa yang minta tolong soal nyawa padamu, tikus pintu gerbang! damprat Wiro. Ulurkan kedua tangan kalian! perintah pengawal yang seorang itu sambil mengeluarkan segulung tali besar. Kalian harus kami seret ke hadapan Tiga Setan Darah! Oh, jadi manusia-manusia muka kepiting rebus itu yang menyuruh kalian menghadang kami di sini?! bentak Pranajaya. Tak usah banyak bacot! Ulurkan kedua tangan kalian! Wiro Sableng palingkan kepala pada Prana dan kedipkan matanya. Lalu pada pengawal itu dia berkata, Kalau betul Tiga Setan Darah yang memerintahkan kalian untuk menangkap kami, kami tak bisa berbuat apa-apa selain serahkan diri... Dan Pendekar 212 ulurkan kedua tangannya pada pengawal itu seraya berkata, Tapi saudara, kawanku cuma punya satu tangan, apakah kau akan ikat juga dia...?! Aku bilang tak usah banyak mulut! sentak si pengawal. Tali yang di tangannya dengan cepat digulung dan mengikat kedua pergelangan tangan Wiro Sableng erat-erat. Mendadak sepasang lengan yang sudah terikat itu bergerak. Terdengar satu pekikan. Tubuh si pengawal mental ke udara, terbanting ke atas atap pintu gerbang kotaraja, mengeluh sebentar lalu merosot jatuh ke tanah dengan mengeluarkan suara bergedebuk! Delapan pengawal bergerak cepat ke arah Wiro Sableng. Delapan tombak berkiblat, berkilau kuning di bawah sorotan sinar matahari sore! Pendekar 212 Wiro Sableng tertawa aneh. Kedua tangannya bergerak cepat tiada henti. Di sekitarnya terdengar suara, plak... plak... plak dan hanya dalam tempo lebih dari sekejapan mata saja kedelapan pengawal itu sudah bertumpukan di tanah, pingsan dihantam tamparan Wiro Sableng! Pranajaya, si murid Empu Blorok, hampir tak percaya melihat apa yang disaksikannya itu. Delapan orang sekaligus dibikin roboh pingsan dalam tempo demikian singkatnya! Benar-benar dia kagum sekali! Dia berdiri terlongong-longong! Sobat! Wiro menepuk bahunya. Jangan jadi patung. Mari! Kau toh mau buru-buru ketemu dengan Tiga Setan Darah! Prana baru sadar. Tanpa banyak bicara segera dia berlari

menyusul Wiro Sableng. Tiba-tiba Wiro hentikan larinya. Kita bodoh. katanya, Di kotaraja ini kita tak boleh berlari. Semua orang tentu akan menujukan perhatiannya pada kita. Keduanya meneruskan perjalanan dengan melangkah cepat. Mereka sampai di hadapan gedung tua kediaman Tiga Setan Darah. Dan di saat itu pula Wiro Sableng ingat sesuatu. Dia berpaling pada Pranajaya. Sobat, aku baru ingat. Kawanku itu pasti tidak berada di sini! Waktu aku mendukungmu keluar dari ruang batu, dia telah lenyap. Musti si Setan Pikulan yang telah melarikannya! Keparat betul! Kau tahu ke mana kira-kira kawanmu itu dilarikan? tanya Prana. Wiro gelengkan kepala dan menggerendeng, Aku akan cari keterangan. katanya. Sementara itu coba kau selidiki dulu gedung tua ini. Dalam waktu kurang sepeminum teh aku pasti kembali ke sini! Prana menyetujui usul Wiro. Hati-hati! memperingatkan Wiro. Gedung tua ini banyak jebakan dan senjata rahasianya! Pranajaya mengangguk lalu cepat-cepat memasuki halaman gedung kediaman Tiga Setan Darah. Di pintu samping yang sebelumnya telah didobrak Wiro, Pranajaya berhenti dan merenung sejenak. Kalau gedung tua itu banyak jebakan dan alat-alat rahasianya, maka menurut dia jalan yang seaman-amannya untuk masuk ke dalam gedung itu ialah lewat genteng! Maka tanpa pikir lebih jauh lagi, murid Empu Blorok ini dengan ilmu mengentengi tubuhnya yang cukup sempurna segera melompat ke atas atap gedung tua! Kedua kakinya menginjak genteng gedung tanpa menimbulkan suara sedikitpun! Setan Darah durjana! Rupanya kau bukan cuma tukang jagal manusia tapi juga laknat terkutuk tukang rusak kehormatan perempuan! Habis berteriak begitu Pranajaya menyerbu turun ke dalam. Genteng pecah bertaburan, beberapa papan panglari patah!

***

WIRO SABLENG TIGA SETAN DARAH & CAMPUK API ANGIN

11

EPERTI telah dituturkan, Setan Darah Pertama dengan memboyong murid Empu Tumapel meninggalkan tempat kediaman Setan Pikulan. Manusia bermuka merah ini langsung membawa Sekar ke gedungnya, membaringkan gadis itu di lantai salah sebuah kamar. Gedung tua itu hampir tidak berperabotan bahkan satu tempat tidur pun tak terdapat di sana! Saat itu Sekar masih berada dalam keadaan tertotok. Tak satu pun yang dapat dibuat Sekar sewaktu dengan nafas kembang kempis dan nafsu menggelegak Setan Darah Pertama sambil menyeringai buruk membuka pakaian gadis itu satu demi satu! Gadis itu tertelentang di lantai kamar tanpa sehelai pakaian pun menutupi tubuhnya yang mulus itu kini. Senjata pemberian Empu Tumapel Rantai Petaka Bumi yang ditemui Setan Darah Pertama melilit di pinggang Sekar, diletakkan Setan Darah Pertama di sudut kamar. Setan Darah Pertama membasahi bibirnya dengan ujung lidah. Sepasang matanya laksana dikobari api, memandang tak berkedip pada tubuh Sekar yang menggeletak di lantai. Tubuh bagus... tubuh bagus! He... he... he... he...! Setan Darah Pertama menyeringai. Kemudian tanpa menunggu lebih lama manusia bermuka merah ini membuka jubahnya. Jubah itu dilemparkannya ke sudut kamar! Sepasang tombak bermata dua dan pedang milik Pranajaya diletakkannya dekat kepala Sekar. Manusia ini baru saja berbaring dan menggelungi tubuh Sekar dengan kaki dan tangannya sewaktu laksana halilintar di siang hari bolong dia mendengar suara bentakan menggeledek dan bobolnya genteng di atas kamar itu! Setan Darah durjana! Rupanya kau bukan cuma tukang jagal manusia tapi juga laknat terkutuk tukang rusak kehormatan perempuan! Seperti seekor singa Setan Darah Pertama melompat dan menyambar Pedang Ekasakti di atas lantai. Berdiri bulu kuduk

Pranajaya menyaksikan manusia yang berdiri tanpa pakaian di hadapannya itu! Berdiri bulu kuduk bukan karena ngeri tapi karena merasa sangat geramnya! Di lain pihak Setan Darah Pertama tidak pula kurang geramnya. Ternyata manusia yang menerobos masuk lewat genteng kamar bukan lain Pranajaya, pemuda tangan buntung yang memang tengah dicari-carinya! Budak bedebah! Dicari-cari tidak ketemu, sekarang datang sendiri antarkan nyawa! Iblis bejat! balas membentak Pranajaya. Bertiga dan mengero yok kau memang unggul, tapi sekarang kita satu lawan satu! Setan Darah Pertama tertawa buruk! Diacungkannya Pedang Ekasakti yang di tangan kanannya. Kau lihat pedang ini, huh?! Senjata milikmu ini sendiri yang akan menebas kau punya batang leher! Habis berkata begitu Setan Darah Pertama menerjang ke muka. Tangannya bergerak, pedang menderu ke arah Pranajaya. Cepatcepat si pemuda bertangan buntung melompat ke samping dan lepaskan pukulan Angin Sewu! Setan Darah Pertama yang tahu kehebatan ilmu pukulan tangan kosong ini buru-buru menyingkir dan menyambar jubah merahnya di sudut kamar! Kesempatan ini diper gunakan oleh Pranajaya untuk mengirimkan pukulan Angin Sewu lagi! Angin keras pukulan Pranajaya membuat jubah Setan Darah Pertama mental sehingga pemiliknya tak berhasil mengambilnya! Dengan memaki terpaksa Setan Darah Pertama melompat lagi ke samping! Sewaktu Pranajaya mengintip di atas genteng dan menginjakkan kaki di lantai kamar itu sekaligus dia mengetahui bahwa gadis yang menggeletak di lantai kamar berada dalam keadaan tertotok. Karenanya ketika Setan Darah Pertama melompat ke samping, pemuda ini cepat-cepat pergunakan tangan kirinya untuk melepas kan totokan di tubuh Sekar! Begitu tubuhnya lepas dari totokan begitu Sekar berteriak, Saudara awas! Pranajaya mendengar suara sambaran angin di belakangnya. Secepat kilat pemuda ini jatuhkan diri ke muka. Pedang Ekasakti membabat setengah jengkal di atas bahu kanannya! Prana terus menggulingkan diri dan dalam gerakan yang sudah diperhitungkan pemuda ini dalam berguling berhasil menyambar sepasang tombak

bermata dua milik Setan Darah Pertama! Di lain pihak Sekar dengan sangat cepat segera mengenakan pakaiannya yang tadi sudah dipereteli Setan Darah Pertama. Dia merasa heran melihat pemuda bertangan buntung itu masih hidup malah dalam keadaan segar bugar. Apakah Wiro telah berhasil menolong pemuda ini? Tapi Wiro sendiri di mana sekarang?! Sekar tidak bisa berpikir lama-lama. Begitu mengenakan pakaian, gadis ini segera mengambil Rantai Petaka Bumi miliknya yang diletakkan Setan Darah Pertama di sudut kamar! Sementara itu si pemuda tangan buntung terdengar membentak, Iblis muka merah! Prana acungkan sepasang tombak bermata dua yang keduanya sekaligus digenggamnya di tangan kanan. Kita sama-sama bersenjata sekarang! Mungkin senjata yang di tanganku ini yang akan lebih dulu mengambil nyawa pemiliknya sendiri! Setan Darah Pertama kertakkan geraham. Tubuhnya berkelebat. Pedang di tangan manusia ini menabur sinar putih. Jurus yang dikeluarkan Setan Darah Pertama hebatnya luar biasa sekali karena dalam saat itu juga Pranajaya segera terbungkus serangan-serangan Pedang Ekasakti miliknya sendiri! Pranajaya membentak keras. Gerakan murid Empu Blorok ini tak kalah sebat. Tubuhnya lenyap laksana bayang-bayang saja kini dan dua tombak bermata dua di tangannya menderu-deru. Dalam jurus pertama yang luar biasa hebatnya itu, senjata-senjata mereka beradu sampai empat kali berturut-turut dan memercikkan bunga api yang menyilaukan mata! Saudara! Kuharap kau suka mundur! tiba-tiba Pranajaya mendengar seruan gadis yang tadi dilepaskannya totokannya. Manusia iblis laknat terkutuk ini harus mampus di tanganku! Pranajaya mengerling dan melihat Sekar berdiri sambil memutarmutar sebuah senjata berbentuk rantai yang ujungnya diganduli bola besi berduri! Tanpa perdulikan seruan si gadis Prana terus kirimkan seranganserangan gencar terhadap Setan Darah Pertama. Dalam pertemuan nya pertama kali di luar kotaraja, Pranajaya memang tiada sanggup menghadapi Setan Darah Pertama, karena dia dikeroyok tiga. Namun kali ini pertempuran jauh berbeda, satu lawan satu! Dan keluar biasaannya lagi ialah karena mereka bertempur dengan memegang senjata milik lawan masing-masing! Saudara! Mundurlah! seru Sekar tidak sabar sewaktu pertem

puran gencar itu memasuki jurus ke tiga. Gadis ini sudah tak dapat menahan kesabaran dan dendam kesumatnya terhadap Setan Darah Pertama, manusia yang telah menelanjangi dan hampir saja merusak kehormatannya! Tidak bisa, Saudari! seru Pranajaya membalas. Bangsat yang satu ini musti mampus di tanganku! Nyawanya milikku! teriak Sekar dan dia melompat ke muka sambil menyabetkan Rantai Petaka Bumi. Senjata itu menderu laksana angin topan, membuat kedua orang yang bertempur terpaksa sama melompat mundur! Pranajaya penasaran sekali. Dia berpaling. Saudari, kuharap kau jangan mencampuri urusan ini. Kau telah selamat, sebaiknya lekaslekas berlalu tinggalkan tempat ini! Berlalu?! sahut Sekar ketus! Sebelum kupecahkan kepala bangsat bermuka iblis ini aku tak akan tinggalkan tempat ini! Aku tahu kebejatan yang telah dilakukannya yang membuat kau begitu inginkan jiwanya, kata Pranajaya, tapi itu tak seberapa... Tak seberapa katamu?! sentak Sekar dengan mata melotot! Manusia macam apa kau ini?! Perbuatan mesum terkutuk kau katakan hal yang tak seberapa! Sementara kedua orang itu berdebat, Setan Darah Pertama memutar otak. Dia cuma seorang diri di situ, menghadapi dua lawan yang sama-sama inginkan jiwanya. Meski kedua lawan itu kini saling bertengkar namun bukan tidak mustahil keduanya akan sama-sama menggempurnya bersirebut cepat mencabut jiwanya! Dalam pertempuran beberapa jurus tadi Setan Darah Pertama telah pula dapat mengukur kehebatan Pranajaya. Satu lawan satu memang sukar juga baginya untuk menghadapi pemuda tangan buntung itu! Satu-satunya jalan yang paling baik bagi Setan Darah Pertama saat itu ialah kabur dari situ dan kembali lagi bersama dua orang konco-konconya! Tanpa pikir panjang manusia bermuka merah ini segera me nyambar jubahnya dan melompat ke atas genteng! Tapi kejut Setan Darah Pertama bukan olah-olah sewaktu dari atas genteng dari mana Pranajaya menerobos tadi bersiur angin laksana badai, me landa ke arahnya membuat tubuhnya terhempas hampir jatuh duduk di lantai kamar jika dia tidak cepat melompat ke samping dan jungkir balik dua kali berturut-turut. Sebelum dia mendongak ke atas, sepa sang telinga Setan Darah Pertama mendengar suara tertawa gelak-

gelak! Sesosok tubuh muncul di atas atap dan duduk di palang kayu! Dua muda mudi bertengkar rebutkan jiwa manusia busuk! Si busuk cari kesempatan untuk larikan diri! Ha... ha... ha... ha! Prana dan Sekar menengadah ke atas genteng dan kedua orang ini sama-sama berseru, Wiro! Sekar terkejut sewaktu melihat Pranajaya kenal pada Wiro Sableng. Setan Darah Pertama memandang penuh amarah meluap ke atas genteng itu. Orang yang tertawa dan bicara serta duduk di atas itu bukan lain dari pemuda rambut gondrong yang sebelumnya telah membebaskan dan melarikan Pranajaya dari ruang batu karang yang kemudian bertempur sebentar dengan dia lalu larikan diri! Sambil kenakan jubahnya dengan cepat Setan Darah Pertama yang sebenarnya sudah semakin menciut nyalinya melihat kemun culan lawan baru ini, membentak keras, Bagus sekali! Semua musuh-musuhku sudah lengkap di sini! Silahkan turun pemuda sedeng! Mulutmu terlalu besar! Apakah kambrat-kambratmu yang dua orang lainnya juga ada di sini, heh?! Tak usah banyak mulut! Jika punya nyali silahkan turun. Kalau tidak lekas minggat dari sini! Mendengar ini Wiro Sableng tertawa gelak-gelak. Penasaran sekali Setan Darah Pertama berteriak memancing. Kalau kau tak berani baku hantam di sini, aku masih bersedia melayanimu di halaman luar! Bertempur di halaman luar lalu cari kesempatan untuk larikan diri lagi...?! Wiro Sableng tertawa lagi gelak-gelak! Setan Darah Pertama mendamprat dalam hati karena pancingannya diketahui lawan. Agaknya dia tak punya kesempatan lain daripada harus menghadapi ketiga musuh-musuhnya itu atau sekurang-kurangnya salah seorang dari mereka! Diam-diam Setan Darah Pertama salurkan seluruh tenaga dalamnya pada ke dua ujung tangannya. Tiba-tiba dia membentak garang! Satu tangan meninju ke atas, tangan yang lain menjentik ke arah Pranajaya dan Sekar! Selarik besar sinar merah yang sangat panas menderu ke arah Pendekar 212 yang duduk ongkang-ongkang di atas atap kamar sedang lima larikan kecil sinar merah yang merupakan totokan-totokan beracun menyambar laksana kilat ke arah Sekar dan Pranajaya. Sekar putar Rantai Petaka Bumi, Prana

menghindar ke samping sambil kiblatkan sepasang tombak bermata dua milik Setan Darah Pertama! Di atas genteng Wiro kelihatan gerakkan tangan kirinya. Satu angin dingin menderu memapasi angin merah panas Setan Darah Pertama dan membuat buyar serangan manusia muka merah itu. Penuh beringas Setan Darah Pertama melompat ke atas dan menyerang dengan Pedang Ekasakti milik Pranajaya! Kini Wiro Sableng gerakkan tangan kanannya. Gumpalan angin keras menyambar ke arah Setan Darah Pertama. Inilah pukulan Kunyuk Melempar Buah yang tak asing lagi dari Pendekar 212. Meski cuma mempergunakan setengah bagian saja dari tenaga dalamnya dalam melancarkan pukulan ini, namun tak urung Setan Darah Pertama terkejut hebat dan cepat-cepat menyingkir ke samping dan kembali turun ke lantai. Keringat dingin memercik di muka manusia yang berwarna merah itu. Nyalinya benar-benar menciut! Ilmu pukulan apakah yang dimiliki dan telah dilepaskan tadi oleh si pemuda di atas genteng itu yang demikian hebatnya sehingga dia tiada sanggup menerimanya?! Setan muka merah, apakah kau betul-betul tidak tahu di mana dua kambratmu yang lain berada?! tanya Wiro Sableng dari atas. Di mana mereka berada itu bukan urusanmu! jawab Setan Darah Pertama keras sekedar untuk melenyapkan rasa bergidiknya. Wiro tertawa. Rupanya kau sendiri kurang begitu tahu. Biar aku tunjukkan di mana mereka berada! kata Pendekar 212 pula. Kedua tangannya kelihatan keluar dari lowongan genteng. Sesaat kemudian bila tangan itu bergerak turun maka dua sosok tubuh manusia berjubah merah laksana dua batang pisang melesat ke bawah, jatuh dengan keras di atas lantai kamar di hadapan Setan Darah Pertama! Muka Setan Darah Pertama berubah pucat. Bulu kuduknya berdiri. Kedua kambratnya itu menggeletak di lantai dengan kepala pecah, darah dan otak bermuncratan! Sewaktu meninggalkan Pranajaya tadi, Wiro berhasil mencari keterangan di mana letak tempat kediaman Setan Pikulan. Karena lebih mengawatirkan keselamatan Sekar maka Pendekar 212 memutuskan lebih baik saat itu saja dia langsung ke tempat si Setan Pikulan. Tapi apa yang ditemuinya di situ mengejutkannya. Setan Pikulan menggeletak di sebuah kamar! Kedua tangannya buntung putus. Manusia ini tiada bergerak-gerak tapi masih hidup megap-

megap. Dalam berpikir-pikir apa yang telah terjadi dengan Setan Pikulan dan terus mencari di mana Sekar berada akhirnya dia mendobrak sebuah kamar dan menemui Setan Darah Kedua tengah merusak kehormatan dua orang perempuan muda! Setan alas benar! teriak Wiro. Hanya dalam dua jurus saja Setan Darah Pertama dibikin tak berdaya dimakan totokan Wiro. Mula-mula manusia ini tak mau menerangkan di mana kawannya yang lain berada tapi setelah dipaksa akhirnya Wiro mengetahui juga dan mendapatkan Setan Darah Ketiga di kamar sebelah, juga tengah merusak kehormatan dua orang perempuan muda! Nasib Setan Darah Ketiga tidak beda dengan kawannya yang terdahulu. Satu jurus bertempur manusia ini segera kena ditotok oleh Wiro dan sekaligus keduanya dibawa oleh Wiro ke gedung tua tempat kediaman Tiga Setan Darah. Keda tangannya di sana disambut oleh suasana yang tak terduga pula! Sekar dan Prana dilihatnya saling bertengkar sedang Setan Darah Pertama dalam keadaan telanjang bulat siap-siap hendak melarikan diri! Untuk beberapa lamanya muka Setan Darah Pertama masih memucat dan kedua lututnya goyah menyaksikan kematian dua orang koleganya itu di muka hidungnya sendiri. Putus asa karena mengetahui tak ada jalan untuk lari serta kalap melihat kematian kawan-kawannya, maka Tiga Setan Darah Pertama kiblatkan Pedang Ekasakti dan mengamuk menerabas Sekar serta Pranajaya! Maka pertempuran seru segera terjadi. Sekar, sebaiknya kau mundur saja! Wiro berseru dari atas genteng. Tidak bisa, Wiro. Bangsat ini hampir saja merusak kehormatanku! jawab Sekar seraya putar senjatanya dengan sebat. Aku mengerti. Tapi kau telah diselamatkan oleh Prana, sedang Prana mempunyai dendam kesumat belasan tahun terhadap bangsat itu! Ayahnya dibunuh oleh Setan Darah Pertama itu! Akhirnya Sekar mengalah juga dan keluar dari kalangan pertempuran. Keputusasaan, kekalapan dan nyali yang telah melumer itulah yang bersarang di diri Setan Darah Pertama. Laksana banteng terluka manusia berjubah merah ini mengamuk hebat dan ganas sekali. Serangan-serangannya berbahaya dan penuh tipu-tipu licik. Namun itu semua tiada arti bagi Pranajaya yang menghadapi

musuhnya itu dengan hati panas pula tapi kepala dingin penuh ketenangan! Sembilan belas jurus berlalu cepat. Wiro bersiul-siul seenaknya. Pertempuran hebat! seru pemuda dari gunung Gede itu. Ayo Prana! Lawanmu sudah mulai kewalahan! Satu dua jurus di muka pasti senjata milik iblis yang di tanganmu itu akan merenggut nyawanya! Apa yang dikatakan Pendekar 212 menjadi kenyataan. Dalam jurus ke dua puluh satu laksana seorang penari Pranajaya meliuk mengelakkan sambaran Pedang Ekasakti yang dibabatkan Setan Darah Pertama ke pinggangnya. Pedang itu membalik lagi dengan ganasnya. Prana geser kedua kaki dan tusukkan sekaligus kedua tombak yang dalam genggamannya ke muka Setan Darah Pertama. Iblis bermuka merah ini rundukkan kepala! Tapi tusukan tadi cuma tipu belaka, karena begitu pedang lawan lewat dan tusukan tombaknya tersorong ke muka dengan serta merta Pranajaya gebukkan sepasang tombak itu ke kepala Setan Darah Pertama! Setan Darah Pertama melompat ke samping! Tapi betapapun cepatnya dia tetap terlambat. Meski bisa selamatkan kepala namun dia tak sanggup menghindarkan bahunya dari hantaman senjata miliknya sendiri itu! Kraak! Tulang bahu Setan Darah Pertama yang sebelah kanan hancur remuk! Setan Darah Pertama melolong macam anjing! Tubuhnya miring dan terjerongkang ke lantai. Dalam keadaan seperti itu dia masih hendak menyapukan pedang di tangan kanannya ke kaki Prana, tapi senjata itu terlepas dari tangannya yang sudah tak ada daya kekuatan lagi! Empat mata tombak ditekankan oleh Pranajaya ke batang leher Setan Darah Pertama. Tenggorokan manusia muka merah ini kelihatan turun naik. Mukanya mengerenyit dan keringat membasahi sekujur tubuhnya. Setan Darah! desis Pranajaya. Apa kau masih ingat saat-saat sewaktu kau membunuh ayahku dulu?! Apa kau masih ingat sewaktu tangan kiriku ini kau buntungkan dulu?! Orang muda, ujar Setan Darah Pertama, kasihani diriku yang buruk ini! Kalau kau ampunkan jiwaku, kelak aku akan berikan hadiah besar serta jabatan tinggi di istana! Prana tertawa.

Wiro Sableng mengekeh. Jangan dengar mulut kentut iblis itu, Prana! memperingatkan Wiro. Pranajaya mengangguk. Manusia macam dia siapa yang mau percaya! menyahuti pemuda bertangan buntung itu. Prana lempar kan ke samping dua tombak milik Setan Darah Pertama dan mem bungkuk cepat mengambil pedangnya! Setan Darah Pertama gerakkan tubuhnya sedikit tapi ujung pedang kini menggantikan empat mata tombak yang menekan batang lehernya! Apa yang dulu kau lakukan terhadap bapakku, kini akan kau rasakan sendiri, Setan Darah! Craas! Setan Darah Pertama meraung setinggi langit. Pedang Ekasakti membabat buntung mengerikan! Setan Darah Pertama melejanglejang! Dia berteriak, Bunuh aku! Bunuh saja segera! Rupanya kunyuk muka merah itu tidak takut mampus, Prana! ejek Wiro dari atas genteng. Ya, karena dia akan ketemu dengan setan-setan yang jadi kambrat-kambratnya di neraka! sahut Pranajaya. Kemudian dengan tak ampun lagi pemuda itu tusukkan ujung pedangnya ke batang leher Setan Darah Pertama. Manusia ini mengeluarkan suara seperti ayam disembelih. Tubuhnya masih melejang-lejang beberapa lama kemudian diam tak bergerak-gerak lagi tanda nyawanya sudah lepas meninggalkan tubuh! Sobat-sobat, urusan kita di sini sudah selesai. Mari segera tinggalkan tempat sialan ini! seru Wiro Sableng. Sekar dan Prana saling berpandangan sebentar, kemudian si gadis melompat ke atas genteng disusul oleh Pranajaya. Namun baru saja ketiga orang itu sampai di halaman luar, terkejutlah mereka. Kira-kira lima puluh orang prajurit kerajaan telah mengurung tempat itu dan delapan manusia aneh berdiri memencar, memandang dengan pandangan yang menggidikkan ke arah mereka. Salah seorang dari yang delapan ini berteriak. Suaranya melengking macam perempuan. Tikus-tikus bermuka manusia! Jangan harap kalian bisa berlalu hidup-hidup dari sini!

***

WIRO SABLENG TIGA SETAN DARAH & CAMPUK API ANGIN

12

ANUSIA yang berteriak itu adalah seorang laki-laki berkepala sangat besar dan botak tapi berbadan kecil dan pendek. Namanya Gonggoseta. Pandangannya bengis dan membayangkan maut! Pranajaya, Sekar dan Wiro Sableng memandang berkeliling memperhatikan manusia-manusia itu satu demi satu. Celaka sobat, bisik Pranajaya, mereka pastilah tokoh-tokoh silat kelas satu, orang-orangnya istana! Kita memang lagi sial. gerendeng Pendekar 212. Sepasang matanya dengan tenang menyapu delapan sosok tubuh manusia-manusia aneh yang terpencar mengurung mereka. Orang kedua sesudah Gonggoseta ialah seorang kakek-kakek yang hanya mengenakan cawat dan keseluruhan tubuhnya mulai dari kaki sampai ke muka dicoreng-moreng dengan sejenis cat berbagai warna. Tampangnya mengerikan untuk dipandang. Namanya Bagulpraksa, tapi dia lebih dikenal dengan julukan Harimau Siluman. Manusia ketiga bernama Sangaji, bertubuh tinggi langsing kurus dan berjanggut biru. Di dunia persilatan dia dikenal dengan gelar Si Janggut Biru. Yang ke empat, yang berdiri di ujung kanan sendirian agak terpisah dari lain-lainnya ialah seorang nenek-nenek tua keriput bertelinga lebar. Telinganya yang lebar ini membuyut ke bawah dan kelihatan jadi tambah lebar karena diganduli oleh anting-anting aneh yang besar luar biasa dan berbentuk arit. Dia bukan lain tokoh silat istana yang dikenal dengan nama julukan Si Telinga Arit Sakti. Wiro sapukan pandangannya pada tokoh silat lain yang berada di sebelah kiri ini berdiri memencar empat orang lainnya. Yang pertama seorang laki-laki berjubah hitam tapi yang mukanya dicat putih sehingga tampangnya cukup menggidikkan untuk dipandang! Jika tidak salah menduga, menurut keterangan yang pernah didengar Pendekar 212 maka manusia ini adalah Hantu Hitam Muka Putih tokoh silat golongan hitam yang berhati sejahat iblis!

Orang yang selanjutnya berdiri dengan tubuh terbungkukbungkuk. Sepuluh kuku-kuku jarinya panjang sekali dan berwarna hitam legam. Dialah Si Cakar Iblis, tokoh silat yang merajai daerah selatan Jawa Timur! Manusia ke tujuh adalah satu-satunya manusia yang dikenal oleh Pranajaya yaitu Cindur Rampe, manusia yang muncul sewaktu dia hendak diseret oleh Tiga Setan Darah ke kotaraja beberapa waktu yang lalu! Cindur Rampe seorang resi kejam yang juga memelihara janggut kambing berwarna putih. Manusia terakhir ialah seorang laki-laki bermata picak dan berambut panjang macam perempuan, digulung di atas kepala! Namanya tidak satu orang pun yang tahu. Dia dikenal dengan julukan Si Picak dari Utara. Jelaslah bahwa ke delapan orang itu bukan manusia-manusia sembarangan. Ini segera diketahui oleh Wiro dan kawan-kawan. Bagi mereka yang delapan ini lebih berbahaya dari lima puluh prajuritprajurit kerajaan yang mengurung halaman gedung itu! Si kepala besar badan kecil pendek Gonggoseta maju selangkah ke hadapan ketiga orang itu dan membuka mulut lagi, Kalian semua musti mampus di sini! Kalian dengar tikus-tikus bermuka manusia?! Pendekar 212 Wiro Sableng memandang sebentar pada Sekar dan Pranajaya lalu kembali palingkan muka menghadapi Gonggoseta. Dan di saat itu Gonggoseta kembali membentak, Kalian hanya diberi kesempatan untuk menerangkan nama masing-masing agar tidak mampus secara penasaran! Wiro Sableng mengulum senyum dan buka mulut dengan suara lunak, Ah, rasa-rasanya kami yang disebutkan tikus-tikus bermuka manusia ini tidak mempunyai permusuhan dengan sobat-sobat semua. Sompret! semprot Gonggoseta. Jangan sebut kami sobatsobatmu! Wiro garuk-garuk kepala lalu manggut-manggut. Lantaran apakah yang membuat kalian semua ingin jiwa kami?! Kenal pun baru hari ini! Gonggoseta tertawa melengking dan memandang pada kawankawannya. Sobat-sobatku! serunya, Kalian dengar omongan tikus gondrong itu?! Mereka tak ada permusuhan dengan kita! Tidak mengerti mengapa kita semua inginkan jiwa mereka! Cuah!

Gonggoseta meludah ke tanah! Apa kalian masih belum tahu tengah berhadapan dengan siapa saat ini?! Ah, Wiro angkat bahu, justru itu memang yang kami kepingin tahu! Gonggoseta kembali keluarkan tertawa melengking. Aku Gonggoseta..., dia terangkan nama lalu satu demi satu menyebutkan nama atau gelar tujuh orang kawannya. Kami semua adalah tokoh-tokoh istana, hulubalang-hulubalang kerajaan! Wiro Sableng manggut-manggut. Tidak disangka-sangka... ujar pendekar ini. Setan alas, apa yang tidak kau sangka! sentak Gonggoseta sementara kambrat-kambratnya yang lain tetap menunggu dengan tenang. Tidak disangka-sangka kalau hari ini kami akan bertemu dengan tokoh-tokoh silat istana! Dengan tokoh-tokoh yang berjulukan hebat semua! Sungguh satu kehormatan bagi kami! Gonggoseta tertawa melengking. Kawan-kawannya terdengar menggerendeng. Cuma kami belum tahu, urusan apakah yang membuat kalian semua inginkan jiwa kami?! tanya Wiro. Tikus busuk! Jangan pura-pura tidak tahu! Kalian telah membunuh Setan Pikulan dan Tiga Setan Darah. Mereka adalah kawan-kawan kami! Kalian salah sangka! jawab Wiro cepat. Kami tidak membunuh Setan Pikulan... Jangan jual kentut! hardik Gonggoseta. Wiro Sableng tertawa, Siapa yang jual kentut! jawabnya. Kentut puteri yang paling cantik pun di jagat ini tak ada orang yang yang mau beli! Paras Gonggoseta dan tujuh kawannya menegang membesi. Ini adalah satu penghinaan! Mereka dipermain-mainkan! Di lain pihak Pranajaya menggigit bibir! Bagaimana Wiro masih bisa bergurau menghadapi bahaya macam begini?! Pemuda bertangan buntung ini sudah sejak tadi-tadi mengeluh dalam hati. Dia ingat pesan gurunya, kotaraja penuh dengan tokoh-tokoh silat berilmu tinggi. Berurusan dengan mereka berarti mati! Prana melirik pada Sekar. Gadis baju kuning ini dilihatnya juga berada dalam ketegangan. Gonggoseta maju lagi selangkah! Sret!

Dari balik punggungnya manusia kepala besar ini cabut sebilah golok empat persegi panjang yang lebarnya satu setengah jengkal! Senjata ini berkilauan ditimpa sinar matahari sore! Sebut nama kalian masing-masing cepat! Atau kalian mampus penasaran! Dengar Gonggoseta, menyahuti Wiro Sableng, kami tidak dusta. Kami sama sekali tidak membunuh Setan Pikulan. Jika bukan kalian, lantas siapa?! Juga siapa yang membunuh Tiga Setan Darah di dalam sana?! Wiro angkat bahu. Mana kami tahu? jawabnya. Dia memandang ke langit di sebelah barat. Gonggoseta, hari sudah sore. Matahari sebentar lagi mau tenggelam. Beri kami jalan. Sebaiknya kalian lekas mencari dan menyelidik siapa sebenarnya pembunuh kawankawanmu itu sebelum hari menjadi malam dan sebelum dia lari jauh... Tubuh Si Cakar Iblis kelihatan semakin membungkuk ke muka. Dari mulutnya terdengar suara menggerendeng. Lalu katanya, Gonggoseta, kuku-kuku jariku sudah tak sabar untuk cepat-cepat mengkermus manusia-manusia keparat ini! Kita semua sudah tahu bahwa mereka yang menamatkan riwayat Tiga Setan Darah. Tunggu apa lagi?! Habis berkata begitu Si Cakar Iblis menggerendeng keras. Kedua tangannya yang berkuku panjang menyambar ke muka Wiro Sableng! Cepat-cepat Pendekar 212 melompat ke samping! Wiro maklum, walau bagaimanapun kini pertempuran tak dapat dihindarkan. Tujuh orang tokoh-tokoh silat lainnya dilihatnya telah bergerak pula, masing-masing keluarkan senjata! Karenanya Pendekar 212 ini tidak sungkan-sungkan lagi! Tangan kiri menghantam ke muka ke arah Cakar Iblis sedang tangan kanan menyelinap mencabut Kapak Naga Geni 212. Sekar dan Prana tidak pula tinggal diam melainkan cabut Rantai Petaka Bumi dan Pedang Ekasakti! Begitu serangannya luput, penuh penasaran Si Cakar Iblis balikkan badan dan kembali menyerang dengan jurus yang lebih hebat dari pertama tadi. Namun betapa kagetnya manusia ini sewaktu tubuhnya menjadi limbung disambar serangkum angin yang keluar dari pukulan tangan kiri Wiro Sableng! Dua di antara tokoh-tokoh silat istana itu yakni Si Telinga Arit Sakti dan Hantu Hitam Muka Putih berseru kaget sewaktu melihat senjata yang digenggam Wiro Sableng.

Kapak Naga Geni 212! seru mereka hampir bersamaan. Yang lain-lainnya tersentak kaget! Mereka belum pernah melihat senjata yang pernah menggegerkan dunia persilatan itu, cuma mendengar-dengar saja! Sungguh tak dapat dipercaya kalau hari ini mereka menyaksikan senjata mustika sakti itu berada dalam tangan seorang pemuda berambut gondrong bertampang dogol anak-anak! Rasa heran tak percaya itu tidak berjalan lama dan berubah menjadi keterkejutan dan kemarahan yang amat sangat sewaktu Kapak Maut Naga Geni 212 berkiblat dan meminta korban pertama yaitu Si Picak Dari Utara! Si Picak Dari Utara menjerit keras dan tubuh dengan dada mandi darah dihantam kapak sakti itu laksana ratusan tawon mengaung, anginnya menderu-deru sedang dari mulut Pendekar 212 mulai terdengar suara siulan yang diseling dengan suara tertawa aneh dan bentakan-bentakan! Bila siulan itu terdengar, bila suara tertawa aneh menyeling inilah satu pertempuran besar yang dahsyat! Tubuhnya sudah lenyap ditelan kecepatan geraknya dan ditelan bayang-bayang gerakan tujuh pengeroyoknya. Sekar dan Pranajaya putar senjata masing-masing dan menghadapi tiga orang pengeroyok sementara Wiro yang berpunggung-punggungan dengan mereka menghadapi empat pengeroyok lainnya! Lima puluh prajurit kerajaan mengurung dalam bentuk lingkaran. Mereka memang sudah diberitahu untuk mengambil posisi demikian dan tidak turut menyerang! Rapatkan serangan! teriak Gonggoseta karena sampai lima jurus di muka tak satupun yang sanggup mereka lakukan untuk membobolkan pertahanan ketiga orang pendekar itu! Dalam jurus ke tujuh Harimau Siluman menggerung persis macam harimau dan dari mulutnya mengepul asap tujuh warna yang mengerikan! Tutup jalan nafas! teriak Wiro memberi ingat. Sekar dan Pranajaya segera melakukan hal itu. Tapi Sekar terlambat. Hidungnya keburu mengendus hawa beracun asap tujuh warna itu. Tak ampun pemandangannya menjadi gelap dan tubuhnya melosoh gontai. Di saat itu Si Janggut Biru secepat kilat tusukkan tongkat besinya ke perut gadis itu. Trang! Bunga api memercik!

Tusukan tongkat besi Si Janggut Biru terpapas ke samping karena dilanda badan Pedang Ekasakti di tangan Pranajaya! Jurus-jurus berikutnya semakin seru! Lima puluh prajurit hampir tak sanggup melihat dengan jelas gerakan-gerakan mereka yang bertempur itu saking cepatnya! Harimau Siluman masih juga mengeluarkan asap beracunnya dari mulut. Penasaran sekali Wiro Sableng berteriak, Harimau Siluman, silahkan makan asapmu sendiri! Habis berkata begitu Wiro pukulkan tangan kirinya. Pukulan Angin Puyuh yang dikerahkan dengan setengah bagian tenaga dalam itu hebatnya bukan main. Asap tujuh warna yang dihembuskan Harimau Siluman menjadi buyar berantakan untuk kemudian menyerang pemiliknya sendiri! Harimau Siluman menggerung. Tubuhnya jatuh duduk di tanah, hidung dan mulut serta matanya mengeluarkan darah akibat diterpa racun asap tujuh warna. Manusia ini keluarkan sebutir pil penawar racun, tapi sebelum pil itu sempat ditelannya, racun asap tujuh warna sudah merambas ke jantung dan paru-parunya. Tak ampun lagi Harimau Siluman menggeletak mati di tanah! Di saat yang sama Wiro Sableng mendengar suara jeritan Pranajaya! Ketika dia menoleh dilihatnya pemuda itu terhuyunghuyung dengan tangan terluka parah dihantam senjata berbentuk arit di tangan Si Telinga Arit Sakti! Mampuslah! teriak Telinga Arit Sakti. Aritnya menyambar ke leher Prana yang saat itu sudah tak bersenjata lagi karena tadi telah terlepas sewaktu lengannya dihantam ujung arit! Prana jatuhkan diri. Dia selamat. Tapi sewaktu arit itu berkiblat membalik kembali, murid Empu Blorok ini tiada sanggup lagi menghindar. Si Telinga Arit Sakti tertawa mengekeh. Wuss! Telinga Arit Sakti berseru kaget dan lompat tujuh tombak ke atas. Satu sinar putih telah melabrak ke arah tubuhnya. Panasnya bukan main dan menyilaukan mata. Belum lagi dia turun ke tanah di sebelah sana sebelas orang prajurit kerajaan terdengar menjerit dan rubuh ke tanah dengan tubuh hangus tiada nyawa! Pukulan Sinar Matahari! teriak Si Telinga Arit Sakti. Mukanya masih pucat. Yang lain-lainnya juga mendadak sontak menjadi ngeri!

Pemuda keparat, apakah kau muridnya Si Sinto Gendeng?! bentak Hantu Hitam Muka Putih! Tanya pada penjaga neraka! jawab Pendekar 212. Sekali Kapak Naga Geni di tangannya berkelebat maka terdengarlah pekik Hantu Hitam Muka Putih! Kepalanya hampir terbelah dua. Mukanya yang dicat putih kini menjadi merah ditelan noda darah! Tubuhnya angsrok saat itu juga ke tanah! Gonggoseta menerjang kalap. Golok empat seginya yang amat besar itu membabat empat kali berturut-turut! Sambil mengelak gesit Wiro berteriak, Prana, bawa Sekar dari sini! Tunggu aku di tepi telaga di luar kotaraja. Cepat! Tidak mungkin, Wiro... jawab Prana. Aku tak sanggup melakukannya. Racun arit perempuan keparat itu telah menyesakkan nafas dan melemahkan sekujur badanku! Sekar sendiri entah masih hidup entah tidak. Pendekar 212 kertakkan rahang. Dia melirik pada tubuh Sekar yang melingkar di tanah dan putar Kapak Naga Geninya untuk menerabas serangan tongkat Si Janggut Biru dan cakar maut Si Cakar Iblis! Meski cuma melirik sekilas namun mata Wiro Sableng yang tajam masih bisa memastikan bahwa Sekar saat itu masih bernafas, cuma keadaannya memang kritis akibat telah mencium asap beracun yang dihembuskan oleh Harimau Siluman. Dengan tangan kirinya Wiro cepat mengambil dua butir pil dari balik pakaian putihnya. Prana! serunya. Lekas telah pil ini dan berikan satu kepada Sekar. Melihat ini Gonggoseta segera berusaha untuk menghalang! Dua butir pil yang melesat ke arah Prana hendak ditendangnya dengan kaki kanan namun tangan kiri Wiro Sableng bergerak lebih cepat ke arah manusia pendek berkepala besar ini. Selarik sinar menyilaukan menyambar Gonggoseta! Pukulan Sinar Matahari! seru Si Telinga Arit Sakti. Gonggoseta, lekas lompat menghindar! memperingatkan perempuan sakti ini. Mendengar peringatan itu dan maklum akan kehebatan pukulan Sinar Matahari yang tadi sudah disaksikannya sendiri, Gonggoseta cepat menghindar ke samping, namun terlambat! Kaki kanannya kurang lekas ditarik pulang! Terdengar lolongan Gonggoseta, Kaki kanannya itu melepuh hangus dan mengeluarkan asap sewaktu

dilanda pukulan Sinar Matahari. Tubuhnya terpelanting tiga tombak. Dikerahkannya tenaga dalamnya, dikeluarkannya sejenis obat untuk menolak luka besar dan rangsangan racun yang menjalar dari kaki kanannya! Namun semua itu sia-sia. Tak satu kekuatan apapun agaknya yang sanggup mengobati kakinya yang hangus, tak ada satu obat penawar pun yang sanggup memusnahkan racun pukulan Sinar Matahari! Gonggoseta meraung-raung dan bergulingan di tanah, kemudian tubuhnya tak bergerak-gerak lagi tanda nyawanya lepas sudah! Kehebatan pukulan Sinar Matahari yang dilepaskan Wiro tidak saja hanya meminta korban jiwanya Gonggoseta, tapi juga seperti tadi, di seberang sana terdengar lagi pekik kematian enam orang prajurit yang tersambar pukulan Sinar Matahari! Keenamnya laksana daun-daun kering disambar angin keras, berpelantingan dan mati seketika itu juga! Meski dalam keadaan tangan terluka parah, bahkan kalau tidak hati-hati tangannya sendiri bisa tersambar pukulan Sinar Matahari namun dengan susah payah akhirnya Pranajaya berhasil juga menyambut dua butir pil yang dilemparkan Wiro. Obat itu segera ditelannya dan yang satu lagi dimasukkannya dengan cepat ke dalam mulut Sekar. Melihat kematian kawan mereka yang ke empat itu, semakin meluaplah kemarahan dan dendam maut tokoh-tokoh silat lainnya yaitu Si Telinga Arit Sakti, Cindur Rampe, Cakar Iblis serta Si Janggut Biru. Keempatnya mengurung Wiro dengan rapat. Tongkat besi Si Janggut Biru laksana taburan hujan menderu-deru menyambar ke seluruh tubuh Pendekar 212. Kuku-kuku jari Si Cakar Iblis yang mengandung racun yang sangat dahsyat tiada hentinya mencari sasaran di bagian-bagian tubuh Wiro yang berbahaya. Arit di tangan Si Telinga Arit Sakti berkelebat cepat memapas kian kemari sedang Cindur Rampe tiada hentinya lepaskan pukulan Ireng Weliung yang mendatangkan angin dahsyat berwarna hitam dan beracun! Dan bagaimana keempat tokoh-tokoh silat utama ini tidak menjadi dibikin tambah mengkal karena semua serangan maut mereka itu sampai sepuluh jurus di muka masih belum sanggup merubuhkan Pendekar 212. Jangankan merubuhkan, untuk melukai sedikit saja salah satu bagian tubuh murid Eyang Sinto Gendeng itu pun mereka tiada sanggup! Dan lebih membuat mereka penasaran

betul ialah karena dari mulut Pendekar 212 tiada hentinya keluar suara siulan yang sekali-sekali diselingi oleh suara tertawa bernada mengejek! Pil yang diberikan oleh Wiro Sableng kepada Prana memang mengandung khasiat yang luar biasa. Obat itu Eyang Sinto Gendeng sendiri yang meramunya. Pada waktu pertempuran di jurus ke sepuluh berkecamuk hebat-hebatnya maka Prana mulai merasakan keadaan tubuhnya pulih kembali. Lukanya tiada terasa sakit lagi dan darah yang mengucur berhenti. Ketika dia berpaling pada Sekar, dilihatnya gadis itu membuka kedua matanya dan menggerakkan kepala. Prana, lekas tinggalkan tempat ini! Bawa Sekar! seru Wiro lagi. Pranajaya mengambil Pedang Ekasakti yang tercampak di tanah lalu berdiri. Apa yang dilakukannya bukanlah mengikuti ucapan Wiro melainkan terus menyerbu ke dalam kalangan pertempuran! Pemuda tolol! damprat Wiro. Disuruh selamatkan diri malah bertempur! Prana tidak berkata apa-apa melainkan terus babatkan pedangnya ke arah Cakar Iblis di sebelah kiri Wiro. Kalau sendiri tadi empat tokoh silat istana itu tiada sanggup menghadapi Wiro maka ditambah dengan munculnya Pranajaya kini keempat tokoh silat itu menjadi terdesak total! Tubuh keempatnya terbungkus sinar pedang dan sinar kapak dan agaknya pertahanan mereka itu tak akan berjalan lebih lama. Dalam waktu singkat pasti sekurang-kurangnya salah seorang dari mereka akan menjadi korban lagi! Tahan! Hentikan pertempuran ini! teriak Cindur Rampe seraya melompat keluar dari kalangan. Sejak mulanya dia memang tak mau ikut-ikutan membela kematian Tiga Setan Darah, karena antara dia dengan Tiga Setan Darah sendiri mempunyai perselisihan yang belum terselesaikan. Namun karena tak ingin dicap pengecut terpaksa juga Cindur Rampe pergi bersama yang lain-lainnya itu untuk membuat perhitungan dengan Wiro dan kawan-kawannya. Apa maumu Cindur Rampe?! tanya Wiro dengan melintangkan kapak di muka dada sementara Sekar saat itu sudah berdiri di sampingnya dengan Rantai Petaka Bumi di tangan kanan. Antara kami dan kalian tak ada permusuhan. Karenanya tak perlu pertempuran gila ini diteruskan!

Wiro tertawa tawar. Tadi pun aku sudah bilang! Tapi kalian semua tidak mau dengar! Sayang empat orang kawan kalian sudah melayang jiwanya! Cindur Rampe berpaling pada kawan-kawannya dan memberi isyarat untuk berlalu. Si Janggut Biru sudah hendak mengikuti Cindur Rampe tapi tak jadi karena saat itu terdengar bentakan Si Telinga Arit Sakti. Cindur Rampe resi keparat! Apakah nyalimu sepengecut begini?! Apa kau relakan begitu saja empat kawan kita menemui kematian?! Paras Cindur Rampe menjadi merah. Perempuan edan! balasnya membentak, Jangan bicara seenak perutmu! Kalau kau dan yang lain-lainnya mau meneruskan pertempuran ini, silahkan! Kalian mencari mampus! Cindur Rampe langkahkan kedua kakinya. Kalau begitu biar kau yang mampus lebih dulu pengecut! teriak Telinga Arit Sakti dan perempuan ini segera melabrak Cindur Rampe. Kedua orang itupun terlibatlah dalam satu pertempuran seru. Wiro tertawa mengekeh. Dia berpaling pada Prana dan Sekar. Kawan-kawan mari kita tinggalkan tempat ini. katanya. Biar saja mereka baku hantam satu sama lain! Kalian tak akan berlalu dari sini tikus-tikus keparat! Wiro putar kepala. Yang membentak adalah Si Cakar Iblis. Tubuhnya merunduk, kedua tangannya yang berkuku-kuku panjang diulurkan ke muka. Di sampingnya Si Janggut Biru berdiri dengan hati bimbang, apakah akan berlalu dari situ atau meneruskan lagi pertempuran. Cakar Iblis menggerung dahsyat! Sepuluh kuku jari tangannya mengeluarkan sinar hitam dan sedetik kemudian sepuluh sinar hitam itu mencurah ke arah Wiro. Pendekar 212 sabetkan Kapak Naga Geni ke muka. Sepuluh larikan sinar hitam buyar tapi di lain kejapan sepuluh kuku-kuku jari Si Cakar Iblis tahu-tahu sudah berada di depan muka Pendekar 212! Wiro Sableng terkejut sekali dan menyurut ke belakang! Sepuluh kuku hitam itu memburu laksana kilat! Dan terdengar kekeh Si Cakar Iblis, Kau tak akan bisa selamatkan jiwamu dari jurus Sepuluh Ular Berbisa Berebut Buah ini! katanya. Wiro memaki. Dia melompat ke belakang tapi secepat lompatan nya itu begitu pula cepatnya sepuluh kuku itu memburunya lagi!

Mampuslah! Teriak Si Cakar Iblis dan kedua tangannya laksana kilat menggapai ke muka Pendekar 212. Terdengar satu jeritan! Pendekar 212 usap parasnya dan memperhatikan bagaimana Si Cakar Iblis berdiri terhuyung-huyung! Kedua lengannya terpapas buntung dilanda mata kapak di tangan Wiro dalam satu jurus serangan balasan yang amat luar biasa hebatnya! Manusia keparat! maki Si Cakar Iblis. Darah memancur dari kedua pergelangan tangannya. Sekalipun kau menang, jiwamu tidak akan aman! Aku akan mampus dan akan jadi setan! Akan mencekik batang lehermu... Sialan! Sudah mau mati masih omong besar! damprat Wiro Sableng. Sekali kaki kanannya bergerak maka mentallah Si Cakar Iblis! Wiro berpaling pada Si Janggut Biru. Bagaimana? Mau coba-coba rasanya mampus, sobat?! tanya Wiro pula. Si Janggut Biru meludah ke tanah. Tanpa berkata apa-apa segera ditinggalkannya tempat itu. Wiro memandang pada Si Telinga Arit Sakti yang tengah bertempur hebat dengan Cindur Rampe. Bertempurlah terus sampai salah seorang dari kalian mampus! seru Wiro. Lalu dengan cepat bersama Sekar dan Prana dia berlalu dari situ. Tak satu prajurit kerajaan pun yang berani dan bernyali menghalangi mereka! Sementara itu Si Telinga Arit Sakti berteriak keras, Cindur Ram pe! Hentikan pertempuran ini! Kita harus kejar ketiga bangsat itu! Cindur Rampe melompat mundur. Aku masih mau hidup, Arit Sakti! kata Cindur Rampe pula. Kalau kau mau mengejar mereka silahkan! Cindur Rampe berke lebat meninggalkan tempat itu. Si Telinga Arit Sakti memaki habis-habisan. Bila dia tinggal seorang diri dan menyaksikan lima mayat kawan-kawannya yang menggeletak mati di halaman gedung itu, diam-diam dia pun merasa kecut dan menyadari bahwa seorang diri tak akan ada gunanya dia mengejar ketiga manusia itu. Akhirnya perempuan sakti ini berkelebat dan lenyap ke jurusan timur!

***

WIRO SABLENG TIGA SETAN DARAH & CAMPUK API ANGIN

13

AKTU mereka menghentikan lari masing-masing, ketiganya telah berada jauh di luar kotaraja. Mereka saling pandang dan Wiro membuka pembicaraan dengan senyum di bibir. Sobat-sobat, ke mana kita sekarang? Sekar tidak memberikan jawaban. Pranajaya memperhatikan paras gadis ini sebentar lalu berkata, Aku akan terus ke timur. Ke Pulau Seribu Maut, mencari Cambuk Api Angin milik guruku yang telah dilarikan oleh Bagaspati! Wiro manggut-manggut. Dia merenung sejenak lalu berkata, Pulau Seribu Maut, Cambuk Api Angin, Bagaspati... nama-nama yang hebat. Perjalananmu ke ujung Jawa Timur pasti merupakan suatu hal yang menarik. Saudara Prana, kau keberatan bila aku ikut bersamamu...? Pranajaya berseru gembira. Memang itu yang aku harapharapkan, Wiro. Jalan jauh banyak dilihat, kawan seiring sukar didapat! Wiro Sableng tertawa. Bagaimana dengan kau, Sekar? tanya murid Eyang Sinto Gendeng itu. Prana memandang lekat-lekat pada gadis itu. Di balik pandangannya itu tersembunyi suatu perasaan kecemasan. Dan perasaan itu semakin jelas kelihatan sewaktu Wiro berkata, Kau musti kembali ke tempat gurumu... Tapi si gadis justru gelengkan kepala. Aku ikut bersamamu... bersama kalian... kata Sekar. Wiro Sableng kerenyitkan kening. Pengalamanmu di kotaraja kurasa cukup memberikan gambaran bagaimana penuhnya dunia ini dengan seribu satu macam bahaya dan kejahatan! Perjalanan ke Pulau Seribu Maut pasti lebih berbahaya dari pengalamanmu di kotaraja. Apakah kau terlalu menganggap aku ini orang perempuan bangsa kurcaci yang takut segala macam bahaya?! tukas Sekar.

Wiro berpaling pada Pranajaya yang sampai saat itu masih memandang pada Sekar. Dia memang pintar omong! kata Wiro pula. Adatnya keras. Maunya dia musti maunya juga! Urusan laki-laki mau disamakan dengan urusan perempuan... Sudah! potong Sekar seraya membalikkan badan memunggungi kedua pemuda itu. Wiro Sableng tertawa dan garuk-garuk kepalanya. Yang aku khawatirkan, kata Pendekar 212 pula, kalau-kalau gurumu kelak akan salah sangka dan menduga kami yang menjebloskan kau ke dalam persoalan rumit penuh bahaya ini! Soal guruku itu soalku dengan beliau. Yang penting sekarang kita sama-sama pergi ke Pulau Seribu Maut. Apa aku sebagai orang persilatan tidak boleh mencari pengalaman? Tentu saja boleh. sahut Wiro sementara Pranajaya sampai saat itu tak sepatah pun membuka mulut selain memandang seperti taditadi pada Sekar. Tapi sekarang belum saatnya. menyambungi Wiro. Kau tak berhak melarangku, Wiro. Siapapun tak berhak melarang ke mana aku mau pergi...! Berabe! Berabe! ujar Wiro Sableng. Bagaimana Prana, kita ajak dia...? Pranajaya angkat bahu. Terserah padamu, Wiro. Wiro Sableng tarik dan hembuskan nafas panjang. Baik Sekar, kau boleh ikut bersama kami! Tapi ingat, kalau terjadi apa-apa dengan kau dan kami tak sanggup menolongmu, jangan kelak menyesalkan kami berdua! Maka tak lama kemudian ketiga orang itupun kelihatan berkelebat dan dengan mengeluarkan ilmu lari masing-masing mereka tinggalkan tempat itu dengan sangat cepat. *** Malam itu malam yang ketiga bagi rombongan yang terdiri dari tiga orang itu dalam perjalanan mereka menuju Pulau Seribu Maut di ujung timur Pulau Jawa. Mereka berhenti di tepi sebuah anak sungai berair jernih. Langit bersih kebiruan. Bintang-bintang bertaburan dan bulan sabit memperindah suasana malam yang sejuk itu. Pranajaya memasukkan empat potong kayu kering ke dalam api unggun lalu melangkah perlahan ke tepi sungai. Dilihatnya gadis itu

duduk di sebuah batu besar, tengah melamun seorang diri. Prana datang mendekat. Untuk beberapa lamanya tidak satu pun dari mereka yang bicara. Si pemuda memandang ke langit lepas. Dia mendapat bahan untuk membuka pembicaraan, Bagus betul malam yang sekali ini. Sekar memandang ke atas, memperhatikan bulan sabit dan bintang-bintang yang bertaburan lalu menganggukkan kepalanya. Wiro belum kembali? tanya gadis itu. Belum. sahut Prana. Hatinya menciut. Sekar lebih banyak memperhatikan seorang lain yang tak ada di situ daripada kehadiran dirinya di sampingnya di atas batu itu. Dan Prana sendiri tidak tahu ke mana pula Wiro pergi. Dua malam yang lalu pun pemuda itu selalu pergi tanpa memberi tahu ke mana. Seakan-akan kepergiannya itu merupakan hal yang disengaja. Pranajaya berdehem beberapa kali untuk menghilangkan sekatan yang menyesakkan lehernya. Dipandanginya paras jelita Sekar dari samping. Betapa indahnya paras itu dipandang di bawah naungan malam yang disinari bulan sabit dan bintang gumintang. Kau masih belum memberikan jawaban apa-apa atas ucapanku malam pertama yang lalu, Sekar... berkata Pranajaya. Suaranya sekali ini tiada bernada ditelan sendiri oleh gema gemetar suaranya itu. Sekar memandang ke hulu sungai lalu menundukkan kepalanya. Apakah tak akan pernah ada balasan? tanya Pranajaya. Si gadis memandang lagi ke hulu sungai lalu membuka mulut, Dalam perjalanan ini bukan persoalan cinta yang musti dipikirkan, Prana... Suara Sekar pelahan, hampir seperti berbisik namun begitu mengiang telinga Pranajaya, paras pemuda ini membeku merah. Ditundukkannya kepalanya. Kurasa bukan di situ sesungguhnya dasar jawabanmu, Sekar. ujar pemuda itu pula Lalu...? Kau mencintai dia...? tanya Prana seberani mungkin. Dia siapa? Tak usah berpura-pura... Sekar memandang pemuda itu sebentar. Maksudmu Wiro? tanyanya. Si pemuda anggukkan kepala.

Sekar tertawa. Suara tertawamu aneh, Sekar. bisik Pranajaya. Seolah-olah membenarkan pertanyaanku tadi. Sekar diam. Aku memang bukan apa-apa jika dibandingkan dengan Wiro... Kau tak usah cemburu, Prana. Terus terang saja dalam persoalan ini aku cemburu padanya. Aku iri. kata Pranajaya dengan hati laki-laki. Tapi kecemburuan dan iri hatiku itu tidak menyebabkan aku menjadi buta atau lupa diri atau mempunyai maksud yang buruk-buruk terhadap kalian berdua. Aku cemburu dan iri pada Wiro, tapi aku menghormati dan menghargainya sebagai seorang sahabat. Sebagai seorang manusia kepada siapa aku berhutang budi serta nyawa. Bahkan lebih dari itu aku menganggap Wiro bukan orang lain, tapi sudah sebagai saudara kandung sendiri... Sekar masih diam dan Pranajaya meneruskan ucapanucapannya. Aku menyadari kenyataan Sekar. Kenyataan bahwa aku bukan apa-apa jika dibandingkan dengan dia. Ilmunya tinggi, parasnya gagah dan jasmaninya tidak mempunyai cacat apa-apa. Yang lebih utama dia adalah seorang laki-laki berhati jantan, luhur dan suci... Jika kau mau berterus terang Sekar, aku tak akan membuka-buka lagi persoalan ini. Aku akan lebih bahagia dan bangga jika kalian bisa hidup berdua dan berbahagia... Antara aku dan Wiro tak ada hubungan apa-apa, Prana. memotong Sekar. Tak sepantasnya kau bicara sampai sejauh itu. Pranajaya memandang ke langit di atasnya. Diperhatikannya bulan sabit dan dia berkata, Mungkin, tapi kau tak bisa menipu dirimu sendiri, Sekar. Kau tak bisa mendustai kata hatimu. Kau mencintai dia... Sekar tundukkan kepalanya memperhatikan jari-jari kakinya yang mungil bagus. Aku tak ingin membicarakan persoalan ini lebih lanjut, Prana. Jadi tak ada jawaban darimu? Tak ada jawaban berarti suatu penolakan Sekar... Sepi menyeling. Pranajaya menunggu sampai beberapa lamanya. Dipandanginya paras Sekar seketika. Dan bila tak ada juga jawaban dari gadis itu maka Prana memutar tubuh dan perlahan-lahan meninggalkan tempat itu.

Sekar memalingkan kepalanya. Dipandanginya tubuh yang berjalan itu, dipandanginya kaki yang melangkah itu, dipandanginya kepala yang tertunduk itu dan dipandanginya tangan kiri yang buntung itu. Hati gadis ini memukul-mukul. Suaranya serak parau sewaktu mulutnya memanggil, Prana... Panggilan itu laksana satu kekuatan gaib yang membuat kedua kaki Pranajaya berhenti melangkah dan tubuhnya berhenti berjalan. Si pemuda palingkan kepala. Di antara keputusasaan yang menyelimuti wajahnya di malam sejuk itu kelihatan sekelumit pengharapan. Dan matanya memandang sayu pada si gadis, menunggu ucapan selanjutnya. Prana... Ya, Sekar... Bersediakah kau menunda pembicaraanmu ini sampai berakhirnya tugasmu di Pulau Seribu Maut nanti...? Si pemuda merenung sejenak. Lalu jawabnya, Aku bersedia, Sekar. Meski aku tahu mungkin tak ada harapan sama sekali bagiku... Mungkin yang orang duga tak selalu mungkin pada kenyataan, Prana. kata Sekar. Pranajaya murid Empu Blorok coba merenungkan ucapan gadis itu. Kemudian sekelumit senyum tersungging di bibirnya. Kuharapkan saja demikian, Sekar. kata Prana. Lalu ditinggalkannya tempat itu.

***

WIRO SABLENG TIGA SETAN DARAH & CAMPUK API ANGIN

14

I PAGI hari yang ke sembilan, ketiga orang itu kelihatan berdiri di tepi pantai di ujung timur pulau Jawa. Di laut kelihatan gugusan pulau-pulau. Ada yang berkelompok-kelompok, ada yang terpisah menyendiri. Perahu-perahu nelayan kelihatan di manamana. Angin dari laut bertiup, melambai-lambaikan rambut serta pakaian mereka. Pranajaya menunjuk ke sebuah teluk sempit dan berkata, Di situ ada perkampungan nelayan. Kita bisa mencari keterangan di mana letak Pulau Seribu Maut dan sekalian menyewa perahu serta membeli perbekalan. Wiro mengangguk. Ketiganya segera menuju ke perkampungan itu. Seorang nelayan tua mereka temui tengah memperbaiki jala di teluk itu. Prana menyalaminya lalu bertanya, Bapak, yang manakah di antara pulau-pulau di tengah laut sana yang bernama Pulau Seribu Maut? Perlahan-lahan nelayan tua itu mengangkat kepalanya dan membuka topi pandannya. Dipandanginya Pranajaya, lalu Wiro dan Sekar. Kau bertanyakan Pulau Seribu Maut, Nak? ujar nelayan tua ini. Prana mengangguk. Kalau tak tahu jelasnya, kira-kira saja. berkata Wiro. Si nelayan hela nafas dalam. Umurku enam puluh tahun, Nak. Dan hari inilah baru kudengar ada seorang yang bertanya di mana letak Pulau Seribu Maut. Nelayan itu hela nafas dalam sekali lagi. Apakah kalian hendak menuju ke sana? Betul. sahut Prana. Mata yang sudah agak mengabur dari nelayan tua itu memperhatikan ketiga manusia itu dengan lebih teliti. Kalian tentunya orang-orang dunia persilatan. Tidak heran kalau kalian

bernyali menanyakan letak pulau itu. Urusan apakah gerangan yang membawa kalian begitu berniat menuju ke sana? Ah tak ada apa-apa, Pak. Cuma kepingin tahu saja. jawab Prana. Si nelayan tertawa. Kepingin tahu dan menemui kematian di sana...? Nak, dengar... hanya manusia-manusia yang mau lekaslekas mati saja yang berhajat pergi ke Pulau Seribu Maut... Namanya memang menyeramkan, kata Wiro sambil usap-usap dagu, tapi sebetulnya ada kehebatan apakah di sana sampai pulau itu demikian ditakuti orang-orang? Ah, kalian bukan orang-orang sini. Kalian tidak tahu, Nak. Di situ bersarang gerombolan bajak laut yang dipimpin oleh seorang bernama Bagaspati. Setiap perahu atau kapal yang lewat di Selat Madura ini pasti dirampok, manusia-manusianya dibunuhi. Kampungku ini pun tak urung menjadi korban kejahatan Bagaspati dan anak buahnya. Perempuan-perempuan kami diambil dan dibawa ke Pulau Seribu Maut. Satu kali seminggu kami musti menyiapkan dan memberikan bahan-bahan makanan kepada mereka. Kami tak bisa berbuat apa-apa, Nak. Kalau melawan berarti mati... Kenapa tidak pindah ke kampung lain? tanya Sekar. Lebih berabe lagi! jawab si nelayan. Kalau kami berani pergi dari sini, semua penghuni kampung dari yang kecil sampai tua macamku ini akan dibunuh! Begitu Bagaspati mengancam... Pernah berhadapan muka dengan manusia Bagaspati itu? tanya Prana. Pernah dan pernah ditampar. Tiga hari aku tak bisa meninggalkan tempat tidur karena masih pening dilanda tamparannya. Wiro Sableng mengulum senyum. Diperhatikannya beberapa buah perahu yang berada di tepi pantai itu. Perahu-perahu Bapak? tanya Wiro. Si nelayan mengangguk. Bisa kami sewa sebuah? Untuk pergi ke Pulau Seribu Maut?! Ya. Nelayan tua geleng-gelengkan kepalanya. Aku memang sudah tua dan hampir masuk liang kubur. Tapi walau bagaimanapun aku tak mau cari urusan yang bisa mempercepat kematianku! Tak ada satu orang pun yang mau menyewakan perahunya ke Pulau Seribu

Maut. Tak ada satu pemilik perahu pun yang akan mengantarkan kalian ke sana. Pulau Seribu Maut adalah pulau kematian! Kalau begitu Bapak terangkan saja letaknya. Tidak bisa, Nak. Tidak bisa... Si nelayan lalu cepat-cepat meninggalkan ketiga orang itu. Yang ditinggalkan saling berpandangan lalu pergi ke pusat kampung. Dan sebagaimana yang dikatakan nelayan tua tadi, tak ada seorang pemilik perahu pun yang mau menyewakan perahunya, apalagi mengantar mereka ke Pulau Seribu Maut. Juga ketiganya tak berhasil mencari keterangan di mana kira-kira letak pulau angker tersebut. Penduduk di sini sialan semua! gerutu Wiro Sableng. Pada mati ketakutan! Kurasa mencari dan pergi ke tempat seorang puteri cantik tidak sesukar ini! Cuma mencari kepala bajak saja begini susah! Geblek! Kita tak bisa salahkan penduduk, Wiro. ujar Prana. Kalau begini kita terpaksa bikin perahu sendiri atau rakit! kata Wiro mengalih pembicaraan. Prana mengangguk. Rakit kurasa lebih baik daripada perahu. Ombak di selat ini cukup besar... Menjelang tengah hari maka di tengah laut lepas di selat Madura itu kelihatanlah sebuah rakit yang laksana terbang memecah gelombang air laut, melaju dalam kecepatan yang luar biasa, semakin lama semakin jauh dari pantai! Beberapa nelayan yang perahu mereka kebetulan dilewati oleh rakit itu tersentak kaget. Mereka hampir-hampir tak dapat mempercayai pandangan mata mereka. Apakah mereka telah mimpi di siang bolong yang panas terik itu atau telah melihat jin-jin laut gentayangan di depan mereka?! Betapakah tidak! Tiga orang mereka lihat berada di atas rakit itu. Satu di antaranya gadis cantik jelita. Meski ombak tidak besar tapi untuk mengarungi lautan dalam kecepatan yang demikian rupa dan dengan sebuah rakit pula benar-benar mustahil, benar-benar tak bisa mereka percaya! Dan yang lebih tidak dapat mereka percayai ialah karena dua orang pemuda yang ada di atas rakit itu mempergunakan tangan-tangan mereka sebagai pendayung yang membuat rakit tersebut laksana terbang! Jangan-jangan jin-jin laut yang kita lihat ini, Warana. kata seorang nelayan pada kawannya yang berada dalam sebuah perahu

jauh di muka rakit itu. Dia dan kawannya sama-sama mengusap mata berkali-kali. Hai, lihat! Mereka menuju ke sini! seru Warana. Celaka kita! Kayuh yang cepat, Warana. Sebelum jin-jin laut itu datang mencekik kita! Warana dan kawannya segera menyambar pendayung. Tapi belum lagi kedua kayu pendayung mereka mencelup ke dalam air laut, rakit yang berisi tiga manusia itu sudah berhenti di hadapan mereka! Paras kedua nelayan itu pucat pasi. Meski yang mereka lihat adalah benar-benar manusia, namun rasa tak percaya tetap membuat mereka menyangka bawa tiga manusia di atas rakit itu adalah jin-jin laut yang datang mengganggu mereka! Saudara, yang manakah Pulau Seribu Maut? bertanya laki-laki muda yang bertangan buntung. Baik Warana maupun nelayan yang satu lagi hanya terduduk bermuka pucat dalam perahu mereka tanpa bisa membuka mulut. Wiro memandang keheranan, juga Sekar. Hai, apa kalian tak dengar orang bertanya?! seru Wiro Sableng. Warana membuka mulut tapi tak ada suara yang ke luar. Kalian seperti orang yang ketakutan! ujar Wiro. Prana juga melihat bayangan ketakutan itu pada wajah kedua nelayan tersebut. Dia tak tahu apa sebabnya dan dia tak mau perduli. Dia bertanya lagi, Di mana letak Pulau Seribu Maut?! Saudara-saudara... apa kalian... kalian... Warana tak berani meneruskan ucapannya. Ketika dilihatnya kawannya mencelupkan pendayung segera dilakukannya hal yang sama. Perahu mereka segera bergerak tapi kemudian terhenti dengan tiba-tiba. Kedua nelayan itu pergunakan seluruh tenaga untuk mendayung namun tetap saja perahunya hanya mengapung dan sedikitpun tak bisa bergerak. Ternyata Wiro Sableng telah memegang ujung belakang perahu mereka dan semakin menjadi-jadilah takut kedua orang itu. Mereka berteriakteriak dan lari sana lari sini dalam perahu mereka. Ikan-ikan yang berhasil mereka tangkap berhamburan kembali ke dalam laut! Nelayan-nelayan geblek! Apa kalian sudah gila semua teriakteriak tak karuan?! bentak Wiro. Tolong! Tolong...! teriak Warana. Kawannya meniru berteriak macam itu pula. Saudara-saudara, kami bukan rampok atau bajak! seru

Pranajaya. Wiro garuk-garuk kepalanya dan melangkah ke hadapan Warana. Keblinger betul! Orang tanya Pulau Seribu Maut kenapa jadi teriakteriak minta tolong?! Tolong... jin laut! Tolong...! Wiro, Prana dan Sekar saling berpandangan. Sekar kemudian berbisik pada Prana, Keduanya menyangka kita jin laut...! Wiro Sableng menjambak rambut Warana dan menepuk-nepuk pipi nelayan ini. Kau kira kami ini bukannya manusia, apa?! Sompret! Kami manusia-manusia macam kau, Saudara! Ayo jawab kenapa kalian teriak-teriak dan di mana letak Pulau Seribu Maut?! Dijambak demikian rupa Warana semakin memperkeras teriakannya. Manusia tak berguna, pergilah! sentak Wiro Sableng seraya melepaskan jambakannya. Begitu dilepas begitu Warana sambar pendayung dan bersama kawannya mengayuh cepat meninggalkan rakit itu. Meledaklah tertawa ketiga orang itu sewaktu Sekar berkata, Tentu saja, mana mereka mau percaya bahwa kita adalah manusiamanusia seperti mereka. Tak ada orang yang berakit di laut dan dengan kecepatan laksana angin! Wiro seka kedua matanya yang basah oleh air mata karena tertawa itu. Dia memandang berkeliling dan tarik nafas dalam. Agaknya tak ada satu manusia pun yang bisa kasih keterangan di mana letak pulau itu... kata Wiro. Kita musti cari sampai dapat! Prana kertakkan rahang. Wiro memandang pada Sekar. Gadis itu dilihatnya memandang ke arah utara tanpa berkesip. Apa yang kau perhatikan? tanya Wiro. Sekar tak menjawab dan dia masih memandang ke jurusan utara itu. Wiro putar kepala mengikuti pandangan Sekar. Jauh di tengah laut lepas dilihatnya dua buah pulau yang besarnya di pemandangan mata mereka cuma sebesar ujung jari kelingking saja. Bagaimana kalau kita arahkan rakit kita ke sana? mengusulkan Sekar. Wiro dan Prana saling pandang dan sama menyetujui. Dan rakit itupun menggebulah di atas air laut yang muncrat dibelah bagian muka rakit. Detik demi detik kedua pulau itu semakin dekat juga.

Salah satu dari pulau-pulau itu banyak elang-elang lautnya, Wiro. kata Prana. Wiro Sableng memandang pada pulau yang sebelah kanan. Di atas pulau itu memang kelihatan banyak beterbangan burungburung. Itu bukan burung elang, Prana. Tapi gagak hitam pemakan mayat! seru Wiro tiba-tiba ketika matanya yang tajam dapat mengenal burung-burung itu. Prana pelototkan mata. Sekar, putar kemudi ke arah pulau itu! kata Prana. Dan sesaat kemudian rakit itupun meluncur berputar ke arah pulau yang sebelah kanan. Semakin dekat semakin jelas keadaan pulau itu. Beberapa buah perahu besar dan kapal kelihatan berada di sekitar teluk yang sempit. Hai, benda apa itu?! mendadak sontak Sekar berseru. Wiro dan Prana berpaling ke arah yang ditunjuk Sekar. Sebuah benda hitam yang sangat besar meluncur pesat ke arah mereka. Ikan raksasa! seru Sekar pula. Wiro Sableng memandang tak berkesip. Benda hitam besar itu memang seperti kepala seekor ikan. Tapi bukan ikan betul-betul. Wiro masih coba meneliti dengan seksama ketika tiba-tiba sekali benda itu lenyap dari permukaan air. Aku merasa tidak enak. desis Prana. Kita musti waspada. kata Wiro. Baru saja dia habis berkata begini tahu-tahu benda hitam yang luar biasa besarnya itu sudah muncul di hadapan rakit mereka. Bagian tengahnya laksana seekor buaya raksasa membuka, dan... plup, sekaligus menelan rakit serta ketiga penumpangnya! Celaka! seru Prana. Tapi suaranya lenyap ditelan katupan yang menutup. Wiro memukul lengan tinjunya kian kemari. Terdengar suara bergetar tapi apa yang dipukulnya itu sama sekali tidak hancur! Gila, apa-apaan ini! teriak Pendekar 212. Dia tak bisa melihat Sekar ataupun Prana. Ruang di mana mereka terkurung sangat gelap bahkan tangan di depan mata pun tidak kelihatan. Pendekar 212 keluarkan Kapak Naga Geni dan batu hitam untuk membuat penerangan. Namun sebelum tangannya menyentuh senjata sakti itu tiba-tiba terdengar suara mendesis. Sekejap

kelihatan sinar biru. Prana dan Sekar berseru lalu terdengar suara jatuhnya tubuh kedua orang itu! Sinar biru lenyap. Wiro yakin itu adalah hawa beracun yang telah disemprotkan ke dalam ruangan gelap itu. Kepalanya terasa pusing dan pemandangannya tak karuan. Dia seperti melihat ribuan bintang bergemerlap, seperti melihat tali-tali yang melingkar-lingkar berkilauan dan menusuk-nusuk ke arah matanya. Pendekar 212 segera kerahkan tenaga dalam dan tutup semua inderanya. Satu menit kemudian dia berhasil menolak hawa beracun itu lalu dengan cepat keluarkan dua butir pil dan dengan merangkak dia berhasil mencari tubuh Sekar dan Prana lalu memasukkan pil anti racun ke dalam mulut keduanya. Mendadak terdengar suara berkereketan dan ruangan itu di mana Wiro berada seperti dihamparkan. Kemudian sebuah pintu terbuka. Pendekar 212 segera jatuhkan diri di antara tubuh Prana dan Sekar. Saat itu keduanya sudah mulai sadar. Wiro segera membisiki, Berbuatlah pura-pura pingsan terus! Jangan lakukan apa-apa sebelum kuberi tanda! Terdengar lagi suara berkereketan kemudian tubuh mereka terasa menggelinding dan jatuh di atas pasir yang panas dihangati oleh sinar matahari. Perlahan-lahan Wiro Sableng buka ke dua matanya. Saat itu terdengar suara seseorang tertawa bergelak. Surengwilis! Jadi inikah manusia-manusianya yang katamu kasakkusuk cari keterangan tentang pulau kita?! Betul pemimpin! terdengar jawaban seseorang. Wiro Sableng membuka matanya lebih lebaran. Dan di hadapannya, beberapa tombak jauhnya dilihatnya antara belasan manusia-manusia berbadan tegap, berdiri seorang laki-laki yang luar biasa tinggi dan besar badannya. Menurut taksiran Wiro manusia ini mungkin lebih dua meter tingginya! Tampangnya beringas buas dan amat menyeramkan, ditutupi oleh berewok yang lebat dan berangasan! Sepasang matanya besar dan merah. Hidung juga besar tapi picak. Dia mengenakan jubah hitam bergaris-garis putih. Di pinggangnya tergantung sebilah pedang panjang. Yang menarik perhatian Wiro ialah tengkorak kepala manusia yang menjadi kalung dan tergantung di leher laki-laki ini. Hem... si tinggi besar berkalung tengkorak manusia itu menggumam. Dia memandang berkeliling. Apa ada di antara kalian

yang kenal pada mereka?! Tak ada suara jawaban. Kalau begitu mereka adalah manusia-manusia tidak berguna! ujar si tinggi besar. Penggal kepala kedua laki-laki itu! Yang perempuan biarkan hidup! Dia cukup bagus untuk disuruh menari telanjang malam ini dan tidur bersamaku! Beberapa kaki kelihatan melangkah ke hadapan ketiga orang itu. Wiro berbisik pada kedua kawannya, Sekarang, sobat-sobat! Maka ketiga manusia yang berpura-pura pingsan itu segera melompat dari tanah di mana mereka menggeletak!

***

WIRO SABLENG TIGA SETAN DARAH & CAMPUK API ANGIN

15

EJUT semua orang yang ada di situ bukan kepalang! Tapi anehnya si tinggi kekar malah keluarkan suara tertawa mengekeh. Ha... ha! Kalian kira mataku bisa ditipu, huh?! Sadarlah Wiro dan kawan-kawannya bahwa ucapan si tinggi kekar memerintahkan anak-anak buahnya untuk memenggal kepala mereka adalah pancingan belaka. Pendekar 212 menggerendeng dalam hati. Sebelum kalian mati kuharap kalian mau kasih keterangan. berkata si tinggi besar yang berjubah hitam bergaris-garis putih. Tangan kanannya ditekankan ke ujung gagang pedang. Ada keperluan apa kau mencari tempat ini?! Apakah ini Pulau Seribu Maut?! balas menanya Pranajaya. Si tinggi kekar tertawa lagi. Kalian memang sudah berada di pulau yang kalian cari! Pulau di mana kalian akan melepas nyawa masing-masing. Tersiraplah darah Prana dan Sekar. Pendekar 212 tetap tenangtenang saja. Prana memandang lekat-lekat pada si tinggi kekar. Aku mencari manusia bernama Bagaspati. Apakah kau orangnya! Setan alas! Kowe berani sebut nama pemimpin kami seenak perutmu! Terima mampus! Satu hardikan datang dari samping dan satu sambaran angin menderu ke arah leher Prana. Pemuda ini cepat-cepat menyingkir ke samping. Ujung sebilah kelewang menderu di muka hidungnya! Tahan! seru laki-laki bertubuh tinggi kekar. Orang yang tadi menyerang dengan kelewang bersurut mundur. Si tinggi kekar pelototkan mata pada Pranajaya. Manusia tangan buntung! katanya. Aku memang Bagaspati! Menyebut namaku berarti mati! Tapi kau masih punya waktu untuk memberi keterangan ada keperluan apa kau dan kawan-kawanmu mencari pulau kami! Kedatanganku atas tugas guruku!

Hem... aku sudah duga bahwa kau dan kawan-kawanmu manusia-manusia dari dunia persilatan! Terangkan apa tugasmu dan siapa gurumu! ujar si tinggi besar Bagaspati. Aku diperintahkan untuk mengambil Cambuk Api Angin yang telah kau curi dari guruku! Bagaimanapun Bagaspati menekan rasa terkejutnya namun pada air mukanya jelas kelihatan perubahan. Apakah kau muridnya Empu Blorok?! tanyanya membentak. Prana anggukkan kepala. Mana cambuk itu?! Lekas serahkan padaku! Meledaklah tertawa bekakakan Bagaspati. Tanah yang dipijak bergetar saking hebatnya suara tertawa yang disertai tenaga dalam itu. Nyalimu sungguh besar tangan buntung! kata Bagaspati seraya melangkah ke hadapan Prana. Sreet! Tiba-tiba Bagaspati cabut pedang panjangnya. Senjata ini berwarna hitam legam bersinar yang menggidikkan. Dia hentikan langkahnya dua tombak di hadapan Prana lalu membentak, Lekas sebut kau punya nama! Aku tak biasa membunuh manusia dunia persilatan tanpa tahu namanya! Sebagai jawaban Pranajaya cabut pula Pedang Ekasaktinya. Sinar putih berkilau keluar dari senjata mustika itu. Aku datang hanya untuk mengambil Cambuk Api Angin. Kalau kau menghadapinya dengan kekerasan tak ada jalan lain daripada menabas batang lehermu! Bedebah sontoloyo! teriak Bagaspati marah. Pedang hitamnya berkelebat ganas, menderu ke arah tubuh Pranajaya, sekaligus merupakan tiga buah serangan berantai yang dahsyat! Murid Empu Blorok tidak tinggal diam. Prana segera kiblatkan senjatanya. Pedang putih dan pedang hitam beradu mengeluarkan suara keras dan memercikkan bunga api! Terdengar seruan Prana. Pedang Ekasakti terlepas dan mental dari tangannya. Sekejap kemudian senjata itu sudah berada di tangan kiri Bagaspati! Ha... ha... ha... Gurumu keliwat sembrono, manusia tangan buntung! Murid masih berilmu cetek disuruh mencari Bagaspati! Bagaspati angkat tangan kanannya tinggi-tinggi. Sebut namamu cepat! perintahnya. Pedang hitam di tangan kanan sementara itu perlahan-lahan mulai turun, siap diletakkan ke kepala Pranajaya.

Bagaspati, terdengar satu suara dari samping, sebelum kau bunuh kawanku ini, harap beri kesempatan padaku untuk bicara...! Bagaspati palingkan kepala dengan penuh kegusaran. Rambut gondrong, kau bakal terima mampus sesudah kematian kawanmu ini! Pendekar 212 Wiro Sableng tersenyum. Kami datang secara damai untuk meminta kembali pedang yang telah kau pinjam dari Empu Blorok. Apakah pantas seorang bernama besar sepertimu menyambut kedatangan kami dengan perlakuan seperti ini? Pemuda geblek! Pulau ini adalah Pulau Seribu Maut! Kematian bisa terjadi setiap detik! Siapa yang menyebut nama Bagaspati dengan kurang ajar berarti mati! kata Bagaspati dengan membentak marah dan muka merah. Ah... kau masih saja sebut-sebut perkara mati dan mampus. menukasi Pendekar 212 sambil cengar-cengir seenaknya. Kawanku sudah bilang bahwa kami datang ke sini untuk minta kembali Cambuk Api Angin. Soal mati atau mampus bisa diurus kemudian kalau kau sudah serahkan cambuk itu padanya! Malah-malah kini kau rampas pedang kawanku! Pemimpin! Yang satu ini biar aku yang bereskan! satu manusia bertubuh tegap maju dengan kapak besar di tangan kanan. Namanya Surengwilis. Dialah yang telah mengetahui kedatangan Prana dan kawan-kawan yang kemudian melaporkan pada Bagaspati. Bagaspati anggukan kepala. Lekas bereskan dia, Sureng! Sobat, kalau kau punya senjata silahkan keluarkan. Aku tak begitu senang membunuh manusia bertangan kosong! bentak Surengwilis yang saat itu sudah berdiri di hadapan Wiro Sableng. Wiro Sableng garuk kepala. Aku tak ada senjata. Bisa pinjam pedang hitammu, Bagaspati?! Tentu saja kemarahan Bagaspati si kepala bajak laut menjadi naik ke kepala. Sureng! Lekas bunuh manusia keparat itu! teriaknya. Kapak di tangan Surengwilis menderu laksana topan. Detik senjata itu berkiblat, detik itu pulalah terdengar jeritan Surengwilis. Tubuhnya mencelat mental beberapa tombak dan kapak yang tadi dipegangnya tahu-tahu sudah berada di tangan Wiro Sableng! Semua mata melotot besar seperti tak percaya melihat kejadian

itu. Di ujung sana Surengwilis mencoba bangun dari tanah. Dia berdiri gontai seketika sambil memegangi dadanya. Mulutnya membuka seperti hendak mengatakan sesuatu tapi yang keluar dari mulut itu bukan suara melainkan darah kental dan segar. Sesaat kemudian tubuh Surengwilis melosoh pingsan ke tanah! Anak-anak, tangkap hidup-hidup keparat ini! perintah Bagaspati penuh kemarahan. Habis berkata begitu dia segera menyerang Prana dengan pedang di tangan. Satu tusukkan cepat dikirimkannya kepada Prana. Ketika si pemuda bersurut ke samping kanan, Bagaspati membabat dengan Pedang Ekasakti yang di tangan kirinya. Namun saat itu satu senjata aneh berkelebat ke arah kepalanya, membuat Bagaspati cepat-cepat urungkan serangan. Ketika dia berpaling senjata aneh itu membalik lagi dan menderu ke perutnya! Yang menyerang pemimpin bajak ini bukan lain Sekar dengan senjata Rantai Petaka Bumi. Kegusaran dan kemarahan Bagaspati tiada terkirakan. Dia membentak keras dan sekaligus tebar serangan pada Prana dan Sekar! Sewaktu Bagaspati memerintahkan anak-anak buahnya menangkap Pendekar 212, maka lima manusia bertubuh katai maju ke muka. Masing-masing mereka memegang sebuah jala hitam. Satu di antara kelimanya berteriak memberi komando, maka lima pasang tangan bergerak dan lima buah jala hitam menebar mulai dari kaki sampai ke kepala Wiro Sableng. Pendekar 212 gerakkan kedua tangannya sekaligus! Angin deras memapasi lima buah jala itu tapi anehnya jala-jala itu tiada sanggup dibikin mental oleh pukulan dahsyat sang pendekar! Dengan kecepatan luar biasa salah satu dari jala menjerat tangan Wiro Sableng. Murid Eyang Sinto Gendeng ini betot tangannya untuk menarik jala dan si katai yang memegangnya namun tahu-tahu jala itu bergerak cepat dan kini menjirat sampai ke bahu! Dikejap yang sama jala kedua menjirat kaki kiri Wiro Sableng. Jala ke tiga melibat pinggang, jala ke empat membungkus kepala sampai ke dada, jala ke lima melingkar di betis kaki kanan. Terdengar lagi teriakan salah satu dari lima manusia katai itu dan semua mereka menggerakkan tangan masing-masing. Maka sekali tarik saja tubuh Pendekar 212 tergelimpang dan bergulingan di tanah. Seluruh tubuh mulai dari kaki sampai ke kepala terjerat jala! Pendekar 212 kerahkan tenaga dalam ke ujung dua tangannya. Tapi

kejut Wiro Sableng tidak terkirakan sewaktu menghadapi kenyataan bahwa dia tak sanggup merobek atau membobolkan jala itu dengan sepuluh jari-jari tangannya. Wiro lipat gandakan tenaga dalamnya. Tetap sia-sia belaka! Malah libatan jala semakin ketat. Tubuh Wiro terhempas ke sebuah pohon. Lima manusia katai anak buah Bagaspati segera mengurungnya. Masing-masing mereka siap membungkuk untuk menotok tubuh Pendekar 212. Wiro pejamkan mata. Mulutnya komat-kamit. Pada saat sepuluh ujung jari hendak melanda menotok badannya maka terdengarlah bentakan yang luar biasa kerasnya. Ciaat! Dua larik sinar putih yang panas dan sangat menyilaukan menderu! Lima manusia katai mencelat dan meraung. Ketika tubuh mereka terhempas ke tanah kelihatanlah bagaimana pakaian dan kulit mereka melepuh hangus dan hitam. Kelimanya tiada berkutik lagi tanda tak satupun saat itu dari manusia-manusia katai ini yang masih bernafas! Wiro telah lepaskan dua pukulan Sinar Matahari sekaligus! Melihat Lima Jala Sakti, demikian nama kelima manusia katai itu, menemui kematian, maka seluruh anak buah Bagaspati segera menggempur Pendekar 212. Di lain pihak Bagaspati sendiri saat itu tengah mendesak hebat Pranajaya yang bertangan kosong dan Sekar yang bersenjatakan Rantai Petaka Bumi. Paling lama kedua muda-mudi ini hanya akan sanggup bertahan sebanyak lima jurus! Pendekar 212 memandang berkeliling. Kira-kira enam puluh orang anak buah Bagaspati yang memegang berbagai macam senjata mengurungnya sangat rapat. Wiro tak dapat menduga sampai di mana kehebatan ilmu silat bajak-bajak laut ini. Jika mereka cuma mengandalkan ilmu silat luaran, jumlah mereka terlalu banyak untuk mengeroyok satu orang musuh. Salah-salah mereka bisa baku hantam membunuh kawan sendiri. Dengan pandangan tenang, Pendekar 212 menyapu muka-muka bajak laut yang semakin maju dan memperketat pengurungan. Kalian mau main keroyok?! kertas Wiro. Boleh! kedua telapak tangan dipentang ke muka. Tapi sebelum kalian mulai, aku kasih satu peringatan pada kalian! Jika kalian semua berjanji mau hidup menjadi orang baik-baik, menghentikan kerja sebagai bajak laut, niscaya aku ampuni jiwa kalian! Seorang bajak berbadan tegap yang cuma memakai celana dan

berbadan penuh bulu meludah ke tanah! Jangan mengigau pemuda keparat! semprotnya. Tubuhmu akan tercincang lumat! Wiro Sableng tertawa dan keluarkan siulan dari sela bibirnya. Pulau ini Pulau Seribu Maut! Berarti kalian yang keras-keras kepala akan mati dalam seribu cara! Majulah! Si dada berbulu memandang berkeliling. Kawan-kawan! Mari berebut pahala menghabiskan nyawa busuk manusia edan ini! Habis berkata begitu dia keluarkan suara melengking hebat dan enam puluh manusia laksana lingkaran air bah datang menyerang! Wiro membentak dahsyat. Pulau itu serasa bergoncang, liangliang telinga laksana ditusuk! Meskipun hati tergetar namun ke enam puluh bajak itu terus juga menyerang! Puluhan senjata berserabutan! Manusia-manusia tolol! Pergilah! teriak Wiro Sableng. Kedua tangannya diputar di atas kepala demikian cepatnya laksana titiran. Dari kedua telapak tangan Pendekar 212 menderuderu angin dahsyat. Pasir beterbangan, daun-daun pepohonan luruh gugur! Sembilan belas bajak laut yang paling muka merasakan tubuh mereka seperti ditahan oleh dinding keras yang tak dapat dilihat mata. Kejut mereka bukan main. Dan belum lagi habis kejut itu Wiro tiba-tiba membentak sekali lagi! Ke sembilan belas orang bajak laut itu berpelantingan laksana daun kering disapu angin! Pukulan yang dikeluarkan Pendekar 212 tadi adalah pukulan Angin Puyuh! Bajak-bajak yang lain dengan kalap melompat ke muka dan babatkan senjata masing-masing. Wiro Sableng membentak lagi. Dan belasan bajak kembali terpelanting! Suasana menjadi kacau balau kini. Mereka berteriak-teriak tapi tak berani maju ke muka sekalipun saat itu Wiro sudah hentikan pukulan Angin Puyuhnya! Kenapa pada teriak-teriak macam monyet terbakar ekor?! tanya Wiro mengejek. Ayo majulah! Bukankah kalian mau mencincang aku?! Mendadak Pendekar 212 mendengar suara beradunya senjata dan suara seruan Sekar. Sewaktu dipalingkannya kepalanya, Wiro masih sempat melihat bagaimana pedang hitam di tangan Bagaspati berhasil memapas putus Rantai Petaka Bumi yang menjadi senjata Sekar. Pedang hitam itu kemudian laksana kilat membabat ke perut si gadis. Sekar tak punya kesempatan mengelak karena saat itu perhatiannya telah terpukau oleh putusnya senjatanya serta rasa

sakit yang menjalari lengan kanannya akibat beradu senjata tadi! Pranajaya yang melihat bahaya itu dengan kalap dan dengan tangan kosong lepaskan pukulan Angin Sewu ke arah Bagaspati. Tapi tiada guna. Babatan pedang Bagaspati datang terlalu cepat dan Bagaspati sendiri masih sempat putar Pedang Ekasakti di tangan kirinya untuk melindungi dirinya dari pukulan Angin Sewu itu! Satu jari lagi pedang hitam di tangan kanan Bagaspati akan merobek perut dan membusaikan usus Sekar maka dari samping menderu selarik sinar putih yang dahsyat! Demikian dahsyatnya sehingga Bagaspati terpaksa tarik pulang tangan kanannya dan melompat ke belakang beberapa tombak! Wuss! Pukulan Sinar Matahari menggebu di depan hidung pemimpin bajak laut itu! Mata Bagaspati kelihatan tambah besar dan tambah merah tapi air mukanya pucat pasi! Dia sadar terlambat sedikit saja dia melompat tadi pastilah dia akan konyol dilanda sinar putih pukulan lawan! Kemarahan Bagaspati tiada terkirakan. Lebih-lebih melihat belasan anak buahnya bergeletakan pingsan di mana-mana dan yang masih hidup berdiri dengan muka pucat di tempat masingmasing, sama sekali tidak menyerang atau mengeroyok Wiro Sableng! Keparat! Kenapa kalian melongo semua?! Lekas bereskan setan alas yang satu ini! Anggota-anggota bajak laut itu bimbang seketika. Namun karena ngeri pada kemarahan serta hukuman yang kelak bakal mereka terima dari pimpinan mereka, dua puluh orang di antaranya segera maju dan serentak menyerang. Manusia tolol! Kalian minta mampus saja! teriak Wiro. Dengan serta merta dia pukulkan tangan kirinya. Sinar putih untuk kesekian kalinya menderu. Dan pukulan Sinar Matahari yang sekali ini meminta korban enam belas jiwa bajak-bajak laut itu. Pekik maut terdengar di mana-mana! Siapa yang mau mampus dan ikut perintah Bagaspati silahkan maju! teriak Wiro. Tak satu anggota bajakpun yang bergerak di tempatnya. Jangankan bergerak, berdiri pun lutut mereka sudah goyah! Sementara Bagaspati berpikir-pikir pukulan apakah yang telah dilepaskan Wiro Sableng, maka si pendekar dari Gunung Gede ini palingkan kepalanya pada pemimpin bajak laut itu.

Bagaspati, jika kau berjanji akan mengembalikan Cambuk Api Angin, dan berjanji membubarkan gerombolan bajak yang kau pimpin selama ini lalu kembali jadi manusia baik-baik, masih belum terlambat bagimu untuk kuberi ampun! Bagaspati tertawa mengejek. Kepongahanmu setinggi gunung! jawabnya. Meski ilmumu setinggi langit seluas lautan, Bagaspati tak akan sudi menyerah padamu kecuali kalau kau yang terlebih dulu serahkan jiwa padaku! Wiro Sableng bersiul dan tertawa gelak-gelak. Kau bisa juga bersyair Bagaspati. Kalau betul-betul hatimu sekeras batu tidak mempunyai kesadaran, kelak kau terpaksa bersyair di neraka! Silahkan mulai! Cabut senjatamu, setan alas! bentak Bagaspati. Ini senjataku, Bagaspati! Wiro acungkan kedua tangannya. Kalau begitu kau akan mampus penasaran! Bagaspati lemparkan Pedang Ekasakti yang di tangan kirinya. Pedang mustika milik Prana itu menderu laksana kilat ke arahnya. Wiro miringkan kepalanya sedikit. Pedang putih lewat di sampingnya dan menancap di batang pohon kelapa! Prana cepat mengambilnya. Wiro, biar aku yang bikin perhitungan dengan manusia ini! Ah, kau tak usah mengotori tangan dengan darah manusia maling ini, Prana. kata Wiro pula dengan suara keras lantang. Prana sadar bahwa Wiro telah menolongnya dari satu kedudukan yang merugikan. Dia tahu bahwa dia tak bakal sanggup menghadapi Bagaspati. Dengan berkata demikian Wiro bukan saja telah menolongnya tapi sekaligus membuat dia tidak kehilangan muka sama sekali! Ayo seranglah! teriak Wiro ketika Bagaspati masih dilihatnya berdiri tak bergerak. Kau terlalu cepat-cepat ingin mati rupanya setan alas! desis Bagaspati. Tubuhnya membungkuk ke muka. Kedua kakinya melesak ke dalam tanah sampai dua dim. Ini satu tanda bahwa dia tengah kerahkan tenaga dalam dan siap untuk melancarkan serangan yang dahsyat! Didahului dengan teriakan macam serigala melolong di malam buta maka Bagaspati melesat ke muka. Dua tendangan dahsyat menderu ke arah perut dan kepala Pendekar 212 sedang pedang hitam membuat satu jurus yang mengandung lima serangan berantai!

Ciaat! Wiro lepaskan pukulan Kunyuk Melempar Buah. Meski pukulan ini berhasil membuat tendangan lawan batal namun pukulan itu sendiri kemudian dibikin buyar oleh sambaran angin pedang Bagaspati! Penasaran sekali Wiro dalam jurus kedua membuka serangan dengan jurus Membuka Jendela Memanah Rembulan. Lengan kanan dipukulkan melintang dari atas ke bawah sedang tangan kiri meluncur ke atas dalam gerakan yang cepat laksana kilat sukar dilihat mata dan terdengarlah seruan tertahan Bagaspati! Betapa tidak. Detik itu juga dirasakannya pedang hitamnya telah terlepas dari tangan, ditarik oleh satu betotan yang dahsyat! Dan bila dia memandang ke depan dilihatnya senjata itu sudah berada di tangan Wiro Sableng! Ha... ha, bagaimana Bagaspati?! Akan kita lanjutkan pertempuran ini?! Muka Bagaspati mengelam merah. Setan alas. Kau datang ke sini untuk mencari Cambuk Api Angin bukan?! Baik! Aku akan keluarkan senjata itu. Tapi bukan untuk diberikan padamu huh! Tapi untuk bikin kau mati konyol! Bagaspati selinapkan tangan ke dalam jubahnya. Sesaat kemudian maka di tangannya tergenggam sebuah cambuk berhulu gading, berwarna merah. Bagaspati mengekeh. Ini ambillah! Cambuk Api Angin di tangan Bagaspati berkelebat mengeluarkan angin laksana topan dan semburan lidah api yang luar biasa panasnya! Prana, Sekar, lekas menyingkir! teriak Wiro seraya buang diri ke samping beberapa tombak! Cambuk Api Angin menderu dahsyat menghantam pohon kelapa di belakang Wiro. Pohon kelapa ini terbabat putus dan baik putusan yang mental di udara maupun yang masih tinggal tertanam di tanah, semuanya hangus ditelan api! Diam-diam Pendekar 212 leletkan lidah. Di saat itu pula Cambuk Api Angin menderu kembali. Wiro kiblatkan pedang hitam milik Bagaspati. Sementara itu dia melihat bagaimana anak-anak buah Bagaspati yang ada menyingkir sejauh mungkin! Pedang hitam dan Cambuk Api Angin saling bentrokan! Api menyembur! Wiro berseru kaget dan cepat-cepat lepaskan pedang hitam di tangannya! Pedang itu berubah menjadi merah, terbakar api cambuk sakti!

Keparat! maki Wiro dalam hati. Hebat sekali Cambuk Api Angin itu! Cambuk Api Angin datang bergulung-gulung. Suaranya seperti petir susul-menyusul! Pendekar 212 menjadi sibuk! Melompat kian kemari dengan cepat, jungkir balik di udara dan berguling di tanah! Semua itu untuk hindarkan diri dari serangan Cambuk Api Angin yang ganas! Pranajaya sendiri tiada menduga Cambuk Api Angin demikian hebatnya. Diam-diam pemuda ini merasa khawatir apakah Wiro akan sanggup bertahan sampai lima jurus di muka. Pakaian Wiro dilihatnya sudah kotor dan robek-robek. Rambutnya yang gondrong acak-acakan, mukanya berselemotan tanah! Dan cambuk sakti itu masih juga menderu-deru, mengejar ke mana Wiro berkelebat! Dua jurus di muka Pendekar 212 benar-benar dibikin sibuk sekali malah terdesak hebat dan dipaksa bertahan mati-matian! Di dalam ketegangan pertempuran yang menyesakkan dada itu tiba-tiba terdengarlah gelak tertawa yang aneh dan suara siulan menggidikkan tak menentu iramanya! Dalam kejap itu pula sinar putih kelihatan menabur angin yang memerihkan kulit menderu sedang suara seperti ratusan tawon terdengar datang dari segala jurusan dan tubuh Wiro Sableng sendiri lenyap dari pemandangan! Bagaspati putar Cambuk Api Angin lebih cepat. Dentuman macam suara petir terdengar tiada henti. Angin laksana topan menggebu dan lidah api hampir setiap saat menyembur ganas! Namun kini gerakangerakan yang dibuat cambuk sakti itu tidak leluasa seperti tadi lagi. Cambuk Api Angin tertahan dalam telikungan putih sinar Kapak Naga Geni 212 di tangan Wiro Sableng! Bagaimanapun Bagaspati rubah jurus-jurus silat dan percepat permainan cambuknya tetap saja dia merasa semakin kepepet. Terima jurus naga sabatkan ekor ini Bagaspati! seru Wiro. Bagaspati hanya mendengar suara Wiro saja. Serangan Wiro yang bernama jurus Naga Sabatkan Ekor itu sama sekali tidak sanggup dilihatnya karena cepatnya! Dan tahu-tahu... Craas! Lalu terdengar lolongan Bagaspati. Cambuk Api Angin terlepas dari tangan kanannya. Tangan kanan itu sendiri tercampak ke tanah, buntung dibabat Kapak Maut Naga Geni 212 sampai sebatas bahu!

Darah menyembur kental dan merah. Bagaspati macam orang gila menjerit-jerit dan lari sana lari sini, seradak-seruduk macam orang celeng! Racun Kapak Naga Geni mulai menjalari pembuluhpembuluh darahnya. Ketika pemandangannya berkunang dan lututnya goyah tak ampun lagi pemimpin bajak ini melosoh ke tanah, berguling-guling dan menjerit-jerit tiada henti! Semua anak buahnya memandang dengan penuh ngeri! Bunuh saja aku! Bunuh! teriak Bagaspati karena tidak sanggup merasakan sakit yang menggerogoti dirinya akibat serangan racun yang sudah menyusup ke seluruh tubuhnya! Bagaspati masih terus berteriak dan berguling-guling sampai beberapa saat di muka namun kemudian ketika nyawanya lepas, maka tubuh itupun menggeletak tak berkutik lagi! Bagaspati mati dengan tubuh menelentang mulut berbusa dan mata melotot ke langit! Sungguh menggidikkan memandang tampangnya! Pendekar 212 tarik nafas dalam. Sekali tiup saja maka lenyaplah noda darah pada mata Kapak Naga Geni 212. Dia melangkah dan mengambil Cambuk Api Angin. Senjata hebat. katanya sambil geleng kepala. Lalu Cambuk Api Angin itu diberikannya pada Pranajaya. Terima kasih Wiro. kata Prana dengan penuh gembira tapi juga haru. Di saat itu Wiro Sableng sudah melangkah ke hadapan anggotaanggota bajak yang masih hidup. Jumlah mereka tak lebih dari tiga puluh lima orang kini. Kalian semua sudah lihat sendiri betapa mengerikan kematian itu! seru Wiro dengan suara lantang. Kuharap ini menjadi pelajaran yang baik! Berjanjilah bahwa kalian mau meninggalkan pulau ini, berhenti jadi bajak laut dan hidup sebagai manusia baik-baik. Banyak pekerjaan baik seperti jadi nelayan, petani atau berdagang! Dan atas janji kalian itu kami bertiga akan ampunkan nyawa kalian! Hening sejenak. Salah seorang anggota bajak tiba-tiba jatuhkan diri berlutut. Kawan-kawannya juga kemudian menyusul berlutut. Wiro garuk-garuk kepala. Buset! Orang suruh berjanji kenapa pada berlutut? Memangnya aku ini Tuhan disembah-sembah! Bangun semua! teriak Wiro. Semua anggota bajak itu cepat bangkit berdiri. Pada paras mereka kelihatan rasa tunduk dan kesadaran serta niat untuk kembali hidup sebagai orang baik-baik.

Tampang-tampang kalian aku kenal semua! Ingat! Kalau kelak ada di antara kalian yang masih kutemui hidup dalam jalan jahat, kalian tahu hukuman apa yang bakal kalian terima! Wiro berpaling pada kedua kawannya. Sudah saatnya kita tinggalkan tempat ini, kawan-kawan. Prana dan Sekar mengangguk. Ketika ketiganya hendak berlalu salah seorang bekas anggota bajak berseru, Tunggu! Ada apa?! tanya Wiro. Di pulau ini ada satu gudang besar berisi timbunan barang dan uang. Apa yang akan kami lakukan dengan benda-benda itu?! Busyet, kenapa jadi tolol?! Kalian bagi-bagi saja sama rata dan jadikan modal buat hidup baik-baik! sahut Wiro. Seorang bekas anak buah Bagaspati lainnya berkata, Kami tidak keberatan memberikan separoh dari harta dan uang itu pada kalian bertiga! Pendekar 212 berpaling pada kedua kawannya lalu tersenyum. Terima kasih, sobat! Kami datang ke sini bukan buat cari harta atau uang, tapi Cambuk Api Angin. Senjata itu telah kami temui dan kami musti pergi! Ketika rakit mereka diseret ke tepi pantai, bekas-bekas anak buah Bagaspati itu menawarkan akan mengantarkan mereka ke pantai Jawa tapi mereka menolak. Rakit ini cukup baik dan lebih cepat jalannya. jawab Wiro. Dan betapa anehnya bagi bekas anak-anak buah Bagaspati itu sewaktu menyaksikan rakit tersebut meluncur dalam kecepatan luar biasa, padahal tenaga penggeraknya hanya tangan-tangan Wiro dan Prana yang dibuat sebagai pengganti dayung! *** Pantai Jawa telah berada di hadapan mereka, dan tak lama kemudian, di waktu sang surya mulai kemerahan warnanya di ufuk barat maka sampailah mereka di ujung timur Pulau Jawa. Kita telah sampai sobat-sobatku! seru Wiro. Dia yang pertama sekali melompat ke daratan. Dan ini adalah saat perpisahan kita. Prana dan Sekar sama-sama terkejut. Wiro sebaliknya tertawa. Tugasmu telah selesai bukan, Prana? Cambuk Api Angin sudah berhasil ditemui...

Tapi Wiro... Ucapan Prana ini dipotong oleh Wiro. Di lain hari kelak kita pasti akan jumpa lagi, sahabat-sahabat. Ada satu hal yang ingin kukatakan pada kalian. Wiro memandang Sekar dan Prana berganti-ganti dengan senyum-senyum. Kalian ingat malam bulan sabit waktu kita berhenti di tepi anak sungai dulu itu? Prana dan Wiro saling pandang mengingat-ingat dan begitu ingat masing-masing mereka sama memandang pada Wiro. Maaf saja, aku mencuri dengar apa yang kalian percakapkan saat itu... Paras Sekar dan Prana menjadi merah dengan serta merta. Keduanya sama tundukkan kepala. Mereka ingat malam di tepi sungai waktu mereka membicarakan soal cinta itu. Sobat-sobatku, kalian boleh saja buat seribu janji. Tapi kalian pertama-tama musti kembali ke tempat guru kalian! Urusan jodoh, guru kalian musti diberi tahu... Paras kedua orang itu semakin memerah. Wiro tertawa bergelak. Nah sobat-sobatku, selamat tinggal. Kudoakan agar kalian bahagia. Wiro, tunggu dulu! seru Prana dan Sekar hampir bersamaan. Namun tubuh Pendekar 212 sudah berkelebat. Prana merasakan tepukan pada bahunya sedang Sekar merasa cuilan pada dagunya! Sewaktu memandang berkeliling. Wiro Sableng sudah tiada lagi! Aku tak akan melupakan dia. desis Prana. Kelak, bila aku punya anak laki-laki, aku akan namakan dia Wiro. Prana putar kepalanya. Pandangannya bertemu dengan pandangan Sekar. Meski cuma pandang memandang, tapi semua itu menimbulkan satu kekuatan gaib yang membuat mereka saling melangkah mendekat untuk kemudian saling berpeluk. Laut, langit dan matahari sore menjadi saksi betapa mesranya pelukan itu.

TAMAT

BASTIAN TITO
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212

WIRO SABLENG

DEWI SILUMAN BUKIT TUNGGUL


Ebook Oleh: kalibening Scan: kelapalima

WIRO SABLENG DEWI SILUMAN BUKIT TUNGGUL

IRO Sableng menghentikan jalannya di tikungan itu. Matanya memandang ke muka memperhatikan beberapa buah gerobak besar ditumpangi oleh perempuanperempuan dan anak-anak. Gerobak-gerobak itu juga penuh dengan muatan berbagai macam perabotan rumah tangga. Belasan orang laki-laki kelihatan berjalan kaki dan membawa buntalan barangbarang. Jelaslah bahwa semua mereka itu tengah melakukan pindah besar-besaran. Saudara, hendak pergi ke manakah rombonganmu ini? bertanya Wiro sewaktu seorang anggota rombongan melangkah ke jurusannya. Orang itu memandang sebentar kepadanya dengan pandangan curiga. Demikian juga anggota rombongan yang lain. Kami terpaksa meninggalkan kampung, pindah ke tempat lain yang jauh dari daerah ini... Kenapa pindah? Seorang laki-laki tua yang mengemudikan gerobak, menghentikan gerobak itu dan menjawab pertanyaan Wiro Sableng. Kampung kami dilanda malapetaka! Malapetaka apakah? Kepala kampung dan lima orang pembantunya serta istrinya digantung. Beberapa orang gadis diculik! Beberapa penduduk dibunuh... Siapa yang melakukannya? tanya Wiro Sableng. Siapa lagi kalau bukan kaki tangannya Dewi Siluman. menyahuti laki-laki pengemudi kereta. Mulut Pendekar 212 tertutup rapat-rapat. Rahangnya bertonjolan. Lagi-lagi dia dihadapkan pada kejahatan yang dilakukan oleh orangorangnya Dewi Siluman. Kalau kami tidak meninggalkan kampung, kami semua akan dibunuh!

Anggota rombongan yang pertama tadi bertanya. Kau sendiri mau ke manakah, Saudara...? Maksudku ke arah sana. Ke kampung kalian... Sebaiknya batalkan saja niatmu. menasehati orang itu. Orangorangnya Dewi Siluman pasti akan datang lagi ke kampung kami. Jika kau ditemui mereka di sana, tiada harapan bagimu untuk hidup lebih lama! Terima kasih atas nasihatmu, Saudara! jawab Wiro. Tapi aku tetap musti menuju ke sana... Kau mencari mati, orang muda! kata pengemudi gerobak. Dilecutnya punggung lembu yang menarik gerobak itu kemudian diberinya aba-aba. Rombongan itupun bergerak kembali. Wiro Sableng mengikuti rombongan itu dengan pandangannya sampai akhirnya mereka lenyap di kejauhan. Hatinya kasihan sekali melihat orang-orang itu, terutama laki-laki tua dan perempuanperempuan tua serta anak-anak. Kemudian dibalikkannya badannya dan dengan cepat berlalu dari situ. Kira-kira dua kali sepeminum teh, Wiro Sableng menemui sebuah kampung yang berada dalam keadaan porak poranda. Pastilah ini kampung rombongan yang ditemuinya di tengah jalan tadi. Beberapa buah rumah hancur. Dua di antaranya musnah dimakan api. Empat orang laki-laki terkapar di hadapan sebuah rumah bagus, sedang di langkan rumah Pendekar 212 menyaksikan enam orang tergantung berayun-ayun tiada nyawa lagi. Yang pertama adalah kepala kampung, kemudian isterinya. Selebihnya adalah pembantu-pembantu kepala kampung. Di beberapa langkan rumah lainnya, Wiro menemukan pula beberapa orang yang mengalami nasib sama seperti kepala kampung, digantung sampai mati. Pendekar 212 menyandarkan punggungnya ke sebatang pohon dan membatin, kesalahan apakah yang telah dibuat penduduk kampung ini sebelumnya sampai mereka dibunuh sedemikian kejamnya? Termasuk anak-anak dan perempuan-perempuan tanpa perikemanusiaan sama sekali! Wiro ingat pada ucapan anggota rombongan tadi. Orang-orangnya Dewi Siluman pasti akan kembali ke kampung itu. Wiro memutuskan untuk menunggu. Jika manusia-manusia jahat itu muncul, dia akan buat perhitungan dengan mereka dan sekaligus mencari keterangan di mana letak Bukit Tunggul. Manusia macam Dewi Siluman tidak layak dibiarkan hidup lebih lama. Maka Wiro pun melompat ke

sebuah cabang pohon yang tinggi, duduk di situ dan memulai penungguannya. Sampai matahari condong ke barat tak seorang pun yang muncul. Dengan hati kesal murid Eyang Sinto Gendeng dari Gunung Gede itu turun dari atas pohon dan mengelilingi kampung. Bukan main geramnya Wiro sewaktu di salah satu dinding rumah penduduk ditemuinya barisan-barisan tulisan seperti yang dilihatnya sebelumnya di kampung yang terdahulu. Delapan penjuru angin adalah daerah kami Siapa menantang mesti diterjang Dunia persilatan boleh geger Tokoh-tokoh persilatan boleh turun tangan Kalau mau mempercepat kematian. Dan juga di bawah barisan-barisan kalimat itu tertera lukisan tengkorak kecil. Geram sekali Wiro Sableng pergunakan kaki kirinya untuk menendang dinding rumah itu. Dinding rumah hancur berantakan. Ditinggalkannya tempat itu. Hatinya bimbang dan meragu apakah orang-orangnya Dewi Siluman benar-benar akan kembali ke kampung itu. Tiba-tiba Wiro tersirap kaget. Di belakang rumah sebelah kirinya terdengar suara seseorang bicara. Heran, kenapa Dewi Siluman berbuat kekejaman yang tiada artinya ini? Sebagai jawaban terdengar suara helaan napas yang disusul dengan ucapan. Manusia punya seribu macam cara untuk cari nama di dunia persilatan! Ternyata ada dua orang di samping rumah sana. Yang mengherankan Wiro ialah mengapa dia sama sekali tidak mendengar sedikit pun kedatangan kedua manusia itu? Penuh rasa ingin tahu Wiro menyelinap ke bagian rumah yang lain dan melompat ke sebatang pohon berdaun rindang. Dari sini jelas sekali dia dapat memandang ke halaman samping rumah tadi. Dua sosok tubuh manusia dilihatnya berdiri di sana. Dan untuk kedua kalinya Pendekar 212 dibuat terkejut. Salah seorang dari dua manusia itu bukan lain dari nenek-nenek sakti yang pernah baku hantam sekitar dua bulan yang lewat dengan dia di kotaraja, nenek-nenek sakti yang dikenal dengan gelar Si Telinga Arit Sakti. Gerangan apakah yang membuat manusia ini berada pula di

Pulau Madura? Dan siapakah manusia yang berdiri di sampingnya saat itu? Manusia ini juga seorang perempuan tua renta, bermuka keriput. Salah satu matanya hanya merupakan rongga hitam yang mengerikan. Kepalanya tidak sedikit pun ditumbuhi rambut. Dia mengenakan jubah putih yang pada bagian dadanya tergambar dua buah arit saling bersilangan! Melihat kepada umur serta ciri-ciri manusia ini Wiro menduga mungkin sekali dia adalah guru Si Telinga Arit Sakti. Sekurang-kurangnya kakak seperguruannya. Dan apakah kemunculan mereka berdua di Pulau Madura ada sangkut pautnya dengan pertempuran di kotaraja dulu itu? Sangkut paut urusan dendam yang hendak dibalaskan? Atau mungkin untuk satu urusan lainnya? Wiro terus memperhatikan dari atas pohon berdaun lebat itu. Dilihatnya Si Telinga Arit Sakti memandang berkeliling. Tak ada tanda-tandanya bangsat yang kita kejar itu berada di sini... Perempuan tua berjubah putih buka suara. Si Telinga Arit Sakti memandang lagi berkeliling lalu menyahuti, Tapi rombongan yang kita papasi di tengah jalan itu mengatakan bahwa dia memang menuju ke sini. Mungkin dia sudah berlalu ke tempat lain. Kita harus mengejarnya dengan cepat. Kau hanya bikin aku repot saja Telinga Arit Sakti. Kalau tidak gara-garamu tentu sekarang ramuan obat yang kukerjakan itu sudah selesai! Telinga Arit Sakti perlihatkan wajah yang tidak senang. Kalau pemuda sialan itu tidak keliwat sakti mandraguna, pastilah aku tak akan mengemis minta tolong padamu, Guru! Nyatalah kini bagi Wiro Sableng bahwa perempuan tua berjubah putih itu adalah guru Si Telinga Arit Sakti! Dan nyata pula bahwa kemunculan mereka di Pulau Madura saat itu adalah dalam mencari dirinya sendiri. Rupanya kekalahan di kotaraja tempo hari sangat menggeramkan hati Si Telinga Arit Sakti hingga manusia itu mengadu kepada gurunya. Guru dan murid kemudian sama-sama mencarinya! Dalam berpikir-pikir apakah dia saat itu segera turun atau tetap saja diam di atas pohon maka Wiro mendengar perempuan berjubah putih berkata, Kita teruskan pengejaran ke timur! Kurasa orang yang kita cari masih belum berapa jauh! Telinga Arit Sakti mengangguk. Maka keduanyapun berkelebat hendak meninggalkan tempat itu. Tapi pada detik yang sama dari jurusan barat satu bayangan hitam laksana anak panah lepas dari

busurnya datang memapas ke arah mereka. Pendatang baru ini berseru nyaring. Suaranya menggetarkan delapan penjuru angin. Dua perempuan tua! Harap tetap di tempat kalian! Guru dan murid hentikan tindakan mereka dan berpaling ke arah barat. Bedebah! Siapa yang berani main perintah seenak cecongornya, huh?! dengus guru Si Telinga Arit Sakti dengan penuh kegusaran. Dalam sekejap itu pula si pendatang baru sudah sampai di hadapan mereka. Melihat siapa adanya manusia ini maka sirnalah kemarahan guru Si Telinga Arit Sakti. Malah dia menjura hormat dan lontarkan senyum. Ah, kiranya Sepuluh Jari Kematian! Tiada sangka akan bertemu di Pulau Madura ini! Manusia yang baru datang adalah seorang laki-laki berjubah hitam, berambut panjang sampai ke punggung. Sepuluh jari tangannya berwarna hitam legam. Dia berbatuk-batuk dan berkata. Setahuku Sepasang Arit Hitam tengah sibuk membuat sejenis ramuan obat sakti di pertapaannya. Tapi kini bersama muridnya berada di sini. Urusan apakah yang telah membawa kalian ke sini...? Sepasang Arit Hitam rangkapkan tangan di muka dada. Urusan biasa saja. Kami tengah mencari seekor anjing kecil yang telah membuat sedikit keonaran di kalangan kami... Sepuluh Jari Kematian manggut-manggut beberapa kali. Kalau aku boleh tahu, siapakah yang kau maksudkan dengan seekor anjing kecil itu? Ah... cuma seorang pemuda sinting geblek bernama Wiro Sableng bergelar Pendekar 212...! jawab Sepasang Arit Hitam. Di atas pohon Wiro Sableng memaki dalam hati. Dengan gusar dia memperhatikan terus dan mendengarkan percakapan orangorang itu. Pada waktu mendengar nama Wiro Sableng dan gelar Pendekar 212 tadi terkejutlah Sepuluh Jari Kematian. Kalau begitu kita mencari bangsat yang sama! serunya. Wiro terkejut. Dia coba menduga siapa adanya manusia berjuluk Sepuluh Jari Kematian yang juga tengah mencari dirinya itu. Betul-betul tidak diduga kita punya urusan yang sama di tempat yang sama! ujar Sepuluh Jari Kematian. Bangsat bernama Wiro Sableng bergelar Pendekar 212 itu telah membunuh muridku si Wirapati yang berjuluk Pendekar Pemetik Bunga beberapa bulan

yang lewat! Aku terpaksa turun gunung untuk cari itu manusia. Belakangan sekali aku mendapat keterangan bahwa bangsat itu berada di ujung Jawa Timur, tengah dalam perjalanan ke Madura ini! Sepasang Arit Sakti Hitam hela nafas panjang. Pertemuan memang aneh dan sukar diduga! Karena kita sama satu tujuan satu haluan tentu kau tak keberatan kalau meneruskan pencarian atas bangsat itu secara bersama-sama... Tentu saja tidak keberatan! sahut Sepuluh Jari Kematian dengan tertawa lebar. Laki-laki berjubah hitam ini layangkan pandangannya berkeliling. Di samping mencari pemuda keparat bernama Wiro Sableng itu, aku juga mendapat undangan dari Dewi Siluman di Bukit Tunggul. Bila ada kesempatan kurasa tak ada salahnya kalau kalian ikut berkunjung ke tempatnya. Itu bisa dipikirkan nanti, menyahuti Si Telinga Arit Sakti, yang penting kita harus mencari si Wiro Sableng itu dan mematahkan batang lehernya lebih dahulu! Sepuluh Jari Kematian tertawa mengekeh. Kau betul! katanya. Wiro Sableng memperhatikan kepergian ketiga orang itu. Kehadirannya di Pulau Madura itu kini bukan saja untuk berhadapan dengan Dewi Siluman dan orang-orangnya, tapi juga untuk berhadapan dengan tiga musuh sakti. Kalau Si Telinga Arit Sakti, ilmu silat dan ilmu kesaktiannya sudah demikian tinggi, tentu gurunya Si Sepasang Arit Hitam lebih hebat lagi dari itu. Dan ditambah pula dengan Guru Pendekar Terkutuk Pemetik Bunga yang berjuluk Sepuluh Jari Kematian. Benar-benar mereka merupakan lawan-lawan tangguh yang tak bisa dianggap enteng sama sekali. Diam-diam Pendekar 212 merenung. Mungkin kehadirannya di Pulau Madura adalah benar-benar untuk mencari kematiannya sendiri.

***

WIRO SABLENG DEWI SILUMAN BUKIT TUNGGUL

IRO Sableng memperhatikan kesibukan-kesibukan dalam warung itu dengan sikap acuh tak acuh. Teh manisnya baru satu kali diteguknya. Orang muda lekaslah habiskan minumanmu. Warung ini akan segera ditutup... Wiro heran mendengar ucapan orang tua pemilik warung. Siangsiang begini sudah ditutup? tanyanya. Kau tak tahu apa-apa orang muda. Habiskan saja teh itu, bayar cepat dan berlalu... Ada apakah sebenarnya? Pemilik warung tampak agak gusar. Dia menunjuk ke luar warung. Kau lihat penduduk yang berbondong-bondong itu? Wiro Sableng palingkan kepala ke luar warung. Di tengah jalan dilihatnya serombongan penduduk berjalan cepat menuju ke selatan membawa berbagai macam barang rumah tangga dan binatangbinatang peliharaan seperti kambing-kambing dan beberapa ekor sapi. Memangnya kenapa mereka itu...? bertanya lagi Wiro. Mereka mengungsi! Aku pun hendak menyertai rombongan mereka. Daerah sini sudah tidak aman! Malam kemarin seorang gadis telah diculik. Dua orang ditemui mati. Siapa yang melakukannya? tanya Wiro. Pemilik warung itu hendak menjawab tapi tak jadi. Di wajahnya nyata sekali kelihatan rasa ketakutan. Habiskan saja minumanmu. Aku tak bisa menunggu lebih lama. katanya pada Wiro. Wiro Sableng garuk-garuk kepalanya beberapa kali lalu meneguk teh manisnya sampai habis. Dari saku pakaiannya dikeluarkannya sebuah mata uang perak. Ditimang-timangnya sebentar uang itu lalu diletakkannya di atas meja di hadapan pemilik warung. Sewaktu pemilik warung mengambil uang itu, Wiro memegang tangannya dan berkata. Dengar orang tua. Kau tak usah kembalikan uangku asal

saja kau bisa kasih keterangan di mana letaknya Bukit Tunggul tempat bersarangnya Dewi Siluman... Si orang tua tersentak kaget. Parasnya yang keriputan sertamerta menjadi pucat pasi. Matanya membelalak memandang Wiro. Justru karena dialah penduduk kampung ini terpaksa pindah mengungsi. Kini kau malah mencari penyakit bertanyakan tempat kediamannya. Apa kau sudah bosan hidup, orang muda...?! Wiro Sableng tertawa. Mana ada orang yang bosan hidup. sahutnya Toh tidak ada salahnya kalau kau kasih sedikit keterangan di mana letak Bukit Tunggul itu... Si orang tua gelengkan kepala. Aku masih ingin hidup! Sekali aku membuka mulut kasih keterangan seluruh keluargaku akan mampus! Mungkin juga semua penduduk kampung ini! Pemilik warung itu segera mengambil uang di atas meja dan memberikan kembalinya pada Wiro. Lalu katanya. Nah, sekarang berlalulah. Wiro geleng-gelengkan kepala. Dia keluar dari warung itu. Agaknya seluruh Pulau Madura sudah digerayangi oleh rasa takut terhadap Dewi Siluman dan orang-orangnya. Tak ada satu kampung pun yang ditemuinya berada dalam keadaan tenang tenteram. Di setiap kampung mesti saja ada korban-korban yang jatuh akibat kejahatan yang dilakukan oleh orang-orangnya Dewi Siluman. Dan bukan itu saja, di setiap kampung orang-orangnya Dewi Siluman selalu menculik gadis-gadis. Entah dibawa ke mana dan entah apa yang menimpa diri gadis-gadis itu tak bisa diduga oleh Wiro. Dia mendongak ke langit. Sang surya tengah bersinar seterikteriknya. Dengan mempergunakan ilmu lari cepatnya, Wiro tinggalkan kampung itu. Di satu jalan kecil yang lurus pendekar ini memperlambat larinya. Di ujung sana dilihatnya seseorang duduk menjelepok di tengah jalan. Ketika dia sampai di hadapan orang itu ternyata manusia ini adalah seorang nenek tua bermuka cekung keriput. Dia duduk seenaknya di tengah jalan yang kecil itu. Di tangan kanannya ada sebatang ranting kering. Dia mengenakan jubah putih yang kotor. Dia begitu asyik menggurat-gurat tanah dengan ujung ranting kering di tangannya itu. Wiro tak dapat menduga siapa adanya nenek-nenek ini. Baginya adalah satu hal yang aneh seorang nenek-nenek berada di tengah jalan dan duduk menggurat-gurat tanah seperti dilihatnya saat itu.

Karena jalan itu kecil, tak mungkin Wiro Sableng untuk lewat begitu saja tanpa membentur tubuh sang nenek. Dia bisa melompat di atas kepala si nenek tapi tentu saja ini satu kekurangajaran. Maka Pendekar 212 pun menegurlah dengan hormat. Nenek, harap maafkan aku mengganggumu. Sudilah memberikan sedikit jalan bagiku. Si nenek anehnya terus saja asyik menggurat-gurat tanah dengan ranting kering di tangan kanannya. Seakan-akan tiada didengarnya teguran Wiro tadi. Mungkin nenek-nenek ini tuli, pikir Wiro. Tapi adalah mustahil kalau dia tidak melihat Wiro yang berdiri sedekat itu di sampingnya. Wiro menegur lagi dengan suara lebih dikeraskan. Nenek, harap suka memberi sedikit jalan untukku lewat. Si nenek tiba-tiba angkat kepalanya. Sepasang matanya memandang Wiro dari rambut sampai kaki, penuh meneliti dan penuh gusar. Kemudian kembali dia tundukkan kepala dan menggurat-gurat tanah dengan ujung ranting. Wiro memaki dalam hati. Kalau si nenek ini tidak sinting pastilah dia seorang aneh atau seorang yang sengaja cari sengketa, pikir Pendekar 212 Wiro Sableng. Nenek, aku mau lewat. Kuharap kau tak keberatan memberi jalan... Setan alas! Si nenek tiba-tiba mendamprat keras dan lantang. Wiro terkejut dan usap dadanya. Kapan aku kawin sama kakekmu, kau panggil aku nenek! Wiro perhatikan tampang si nenek yang menjadi sangat galak. Dan Pendekar dari Gunung Gede ini tak kuasa menahan rasa gelinya sewaktu mendengar ucapan perempuan tua itu. Dia tertawa gelakgelak sampai mukanya merah. Setan alas! Siapa yang suruh kau ketawa, huh?! Si nenek membentak lagi dengan suaranya yang keras. Wiro hentikan tawanya. Siapa yang suruh! sentak perempuan berjubah putih itu lagi. Memang tak ada yang suruh, Nek... eh... aku musti panggil apa terhadap kau...? Wiro Sableng garuk-garuk kepalanya. Kentut betul! Kalau tak ada yang suruh kenapa musti ketawa?! Apakah seseorang itu baru tertawa kalau disuruh? bertanya Pendekar 212. Sudah! Jangan banyak tanya! Kentutmu sebakul! Jawab kenapa

kau ketawa?! Kau menertawai aku ya?! Ayo jawab! Aku tidak menertawaimu Nek... eh... aku tertawa karena ucapanmu yang lucu tadi. Betul-betul setan alas! Kau anggap aku ini badut yang mau melucu di hadapanmu? Makan rantingku ini! Habis berkata begitu si nenek hantamkan ranting kering di tangannya! Wutt! Pendekar 212 tersentak kaget dan buru-buru menghindar ke belakang. Sambaran ranting yang di tangan si nenek mengeluarkan angin dingin dan keras. Nyatanya bahwa si nenek bukan perempuan sembarangan, tapi seorang yang memiliki tenaga dalam yang tinggi. Dan ini berarti bahwa dia adalah seorang tokoh silat berkepandaian hebat. Karena serangannya tidak mengenai sasaran, si nenek menjadi gusar sekali. Dia melompat dan ranting kering di tangannya menderu pulang balik tiada hentinya, membungkus tubuh Wiro Sableng dalam serangan-serangan yang sangat berbahaya. Pendekar 212 bersiul nyaring. Ah, nyatanya kau bukan nenek sembarang, Nenek! seru Wiro sambil gerakkan tubuhnya dengan cepat untuk menghindar dari serangan ganas si nenek. Mendengar ucapan itu si nenek jadi tambah buas. Serangannya tambah ganas. Meski senjatanya cuma sebuah ranting kering namun karena ranting itu mengandung aliran tenaga dalam maka bahayanya tiada beda dengan bahaya sebuah senjata tajam seperti golok atau sebilah pedang. Nenek! seru Wiro Sableng. Antara kita tak ada silang sengketa, mengapa kau menyerang aku sejahat ini?! Kalau kau tak lekas berlutut dan minta ampun niscaya kau akan kukirim ke akherat! teriak si nenek jubah putih. Serangan ranting keringnya semakin menggila. Dalam waktu lima jurus saja Pendekar 212 sudah terdesak hebat. Sampai jurus yang ke sembilan Wiro Sableng masih juga berkelebat dalam posisi bertahan, sama sekali tidak balas menyerang. Inilah yang menyebabkan dia saat demi saat semakin terdesak dan kepepet. Ruang gerak Pendekar 212 makin lama makin ciut. Ranting kering di tangan si nenek laksana ratusan buah banyaknya dan menyerangnya dari puluhan jurus.

Hampir tiada terasa lagi, saat itu mereka sudah memasuki jurus ke empat belas. Dalam jurus ini Wiro benar-benar dibikin mati kutu. Dia tak sanggup bertahan lebih lama. Dengan satu bentakan nyaring Pendekar 212 segera pergunakan kedua tangannya untuk mulai balas menyerang. Tapi justru pada jurus itu pula ranting kering di tangan si nenek membuat satu serangan yang sukar dikelit. Breet! Robeklah pakaian Pendekar 212. Dadanya tergores luka. Rasa sakit dan perih serta-merta menjalari sekujur tubuhnya. Dan tubuh itu kini menjadi panas dingin. Nyatalah ranting kering di tangan si nenek bukan ranting kering biasa, melainkan sebuah senjata sakti yang mengandung racun luar biasa. Cepat-cepat Wiro keluar dari kalangan pertempuran dan kerahkan tenaga dalamnya. Si nenek tertawa panjang. Jangan harap kau bisa hidup lebih dari satu jam, pemuda keparat! Rantingku ini mengandung racun yang jahat sekali! Wiro tetap tenang. Dia tidak yakin racun ranting si nenek akan menamatkan riwayatnya. Sewaktu digembleng di puncak Gunung Gede, tubuhnya telah diberi kekuatan oleh Eyang Sinto Gendeng, kekuatan yang membuat dia kebal terhadap segala racun yang bagaimanapun jahatnya. Apalagi saat itu dia sudah kerahkan tenaga dalamnya. Si nenek tertawa lagi. Selamat tinggal orang muda! Nasibmu ternyata sial di Pulau Madura ini! Nantikanlah saat kematianmu di depan mata! Habis berkata begini si nenek segera putar tubuh dan berkelebat meninggalkan tempat itu. Manusia keriput! Tunggu dulu! Aku tak sudi kau pergi sebelum menerima sedikit pembalasan hormat dariku! teriak Wiro Sableng. Sekali dia melesat maka tahu-tahu tubuhnya sudah berada di hadapan si nenek, menghalangi lari perempuan tua itu. Tentu saja kejut si nenek bukan tanggung-tanggung. Matanya melotot membeliak. Nyalimu keliwat besar! teriaknya. Apakah mau mampus saat ini juga, bedebah?! Wiro bersiul nyaring. Soal nyawa jangan diributkan perempuan keriput! Terima pukulanku ini! Wiro Sableng hantamkan tinju kanannya ke depan. Di saat itu

pula si nenek sapukan rantingnya ke muka. Maka tak ampun lagi tinju dan ranting pun beradulah. Wiro kerenyitkan kening menahan sakit. Kulit tangannya kelihatan lecet sedang ranting di tangan si nenek mental dan patah berantakan. Si nenek beringas sekali melihat ranting keringnya dimusnahkan lawan. Dia melompat ke muka dengan sepuluh jari tangan terpentang. Cengkeraman Garuda Sakti! seru Pendekar 212 begitu dia mengenali jurus serangan lawan. Sekali tubuh kena dicengkeram pastilah daging dan tulang-tulangnya akan hancur remuk. Cepatcepat Wiro menyurut mundur dan buat satu liukkan, kemudian hantamkan tangan kanan ke depan, melepaskan Pukulan Kunyuk Melempar Buah yang disertai hampir setengah bagian tenaga dalamnya. Si nenek melengking penasaran sewaktu serangannya tertahan oleh satu gelombang angin yang laksana satu gumpalan batu keras. Dengan kalap dia menyeruak dari samping dan begitu pukulan Pendekar 212 lewat dengan serta-merta dia lepaskan dua jotosan dan dua tendangan jarak jauh. Empat serangan ini hebatnya bukan main. Debu dan pasir jalanan menderu. Empat angin pukulan si nenek laksana air bah merambas tubuh Pendekar 212. Murid Eyang Sinto Gendeng ini terpaksa melompat beberapa tombak ke atas. Sambil turun ke bagian yang aman Wiro lepaskan Pukulan Angin Puyuh. Empat angin pukulan si nenek dan satu gelombang angin pukulan Wiro Sableng saling bentrok menimbulkan suara letusan nyaring, menggetarkan tanah tempat berpijak. Si nenek terpelanting sampai enam langkah sedang kedua kaki Wiro Sableng tenggelam ke tanah sampai sedalam tiga senti. Bukan main geramnya si nenek. Ternyata si pemuda memiliki ilmu yang tidak rendah sebagaimana yang disangkanya. Dalam luapan amarah, nenek keriput ini segera cabut batang belimbing di tepi jalan. Dengan mempergunakan pohon itu sebagai senjata dia segera menyerang Wiro Sableng. Hebat! seru Wiro sambil berkelit cepat. Pohon belimbing yang dibabatkan si nenek menderu menghantam pohon lain di belakangnya, membuat pohon ini tumbang bergemuruh. Dapat dibayangkan bagaimana kalau batang pohon belimbing itu melanda tubuh Wiro Sableng.

Laksana memegang sebuah sapu lidi, demikianlah si nenek pergunakan pohon belimbing itu untuk menyapu dan membabat lawannya. Wiro Sableng geleng-geleng dan garuk-garuk kepala. Belum pernah ia menghadapi lawan yang demikian kalapnya seperti si nenek ini sehingga mau mencabut sebatang pohon dan menyerang dengan pergunakan pohon itu sebagai senjata. Disamping kagum, Wiro juga kepingin tahu siapa sesungguhnya manusia ini. Nenek, sesuai dengan peradatan dunia persilatan harap kau terangkan siapa nama atau gelarmu! seru Wiro. Bakul kentut! Kau bisa tanya nanti pada cacing-cacing di liang kubur! Dan si nenek babatkan lagi pohon belimbing di tangannya. Buset! Wiro berkelebat cepat. Si nenek penuh penasaran memandang berkeliling. Lawannya lenyap seperti ditelan bumi. Setan alas, kau lari ke mana?! teriak nenek-nenek itu. Di belakangnya terdengar suara tertawa. Nenek-nenek kurasa matamu belum begitu kabur hingga tak tahu kalau aku berada di sini! Begitu putar tubuh begitu si nenek hantamkan batang belimbing ke pohon di belakangnya. Kraak! Pohon di tepi jalan patah dan tumbang. Wiro Sableng yang tadi memang melompat dan berdiri di salah satu cabang pohon itu, berkelebat ke pohon lain dan berdiri di salah satu cabangnya sambil tertawa-tawa mengejek. Setan alas! Apa kau kira aku tidak sanggup mengejarmu ke atas sana?! teriaknya seraya lemparkan pohon belimbing ke tepi jalan kemudian melompat sebat ke cabang pohon di mana Wiro berdiri. Tapi kemengkalannya jadi bertambah-tambah karena begitu ia menginjak cabang pohon, Wiro Sableng sudah lenyap dari cabang itu. Dan bila dia memandang ke bawah maka dilihatnya si pemuda berdiri bertolak pinggang di jalan kecil, cengar-cengir ke arahnya. Si nenek sampai melengking nyaring saking gemasnya. Dia keruk satu jubahnya dan berteriak. Pemuda keparat! Terima ini! Selusin senjata rahasia yang berbentuk paku hitam melesat ke arah Wiro Sableng dalam bentuk lingkaran. Wiro pukulkan tangan kanannya ke atas. Enam paku mental jauh sedang enam lainnya

amblas ke dalam tanah. Di saat itu pula si nenek sudah turun ke tanah kembali dan kirimkan serangan berantai ke arah Wiro. Nenek! Ilmumu memang tinggi. Tapi aku tak begitu suka bertempur dengan orang lain tanpa alasan! Apalagi kalau tidak tahu asal-usul dan namanya! Pemuda sialan, jangan jual kentut! Kau tak akan kulepaskan hidup-hidup! hardik si nenek. Kembali dia kirimkan selusin paku hitam dan susul dengan serangan berantai. Pendekar 212 angkat kedua tangannya. Saat itu pertempuran sudah berjalan tiga puluh jurus lebih. Wiro kini tak mau main-main lagi. Begitu kedua tangannya dipukulkan ke muka maka gelombang angin yang laksana topan menderu. Inilah Pukulan Benteng Topan Melanda Samudera yang kedahsyatannya bukan saja membuat selusin paku hitam itu mental tapi juga membuat si nenek terguling di tanah sampai enam tombak. Belum lagi sempat bangun Wiro memburu tak kasih ampun. Dua tangannya melesat ke pangkal leher si nenek, siap untuk menotok. Tapi lebih cepat dari itu si nenek keluarkan sebuah benda berbentuk bola berwarna hitam. Bola hitam ini dilemparkan ke arah Wiro. Satu letusan terdengar. Dalam kejap itu pula asap hitam tebal menggebu menutup pemandangan. Wiro Sableng tak dapat melihat apa-apa dan cepat-cepat melompat ke samping. Tapi dia masih juga terkurung oleh asap hitam yang gelap itu. Dia melompat sekali lagi, dua kali lagi dan barulah bisa keluar dari kurungan asap hitam yang membutakan pemandangannya. Beberapa saat kemudian ketika asap hitam itu sirna dengan perlahan maka si nenek sudah lenyap dari tempat itu. Dan betapa terkejutnya Pendekar 212 karena di seberangnya kini berdiri tiga manusia lain.

***

WIRO SABLENG DEWI SILUMAN BUKIT TUNGGUL

ETIGA manusia itu bukan lain Si Telinga Arit Sakti, Sepasang Arit Hitam dan Sepuluh Jari Kematian. Ketiganya memandang dengan mata ganas menyorot yang membayangkan maut. Ini dia bangsatnya! Si Telinga Arit Sakti buka suara. Apa yang dikerjakannya di sini! Bermain-main asap?! Sepuluh Jari Kematian menimpali. Wiro masih diam dan menyapu tampang ketiga orang itu dengan pandangan seenaknya. Pendekar 212! lengking Si Telinga Arit Sakti. Ketahuilah hari ini adalah hari kematianmu! Wiro Sableng senyum lalu keluarkan suara tertawa bergelak. Telinga Arit Sakti, kata Pendekar 212 pula, bacotmu besar amat! Mentang-mentang berada sama-sama gurumu! Kalau tahu aku gurunya mengapa tidak lekas berlutut dan bunuh diri?! sentak Sepasang Arit Hitam. Wiro tertawa lagi gelak-gelak. Orang gila pun disuruh bunuh diri tidak bakal mau! Dan kau lebih dari gila! damprat Sepasang Arit Hitam. Sepuluh Jari Kematian lambaikan tangannya dan berkata, Kau tak usah bicara panjang lebar kawan-kawan. Mari kita berebut cepat memisahkan kepala dan badannya! Ah... ah... ah! Wiro rangkapkan tangan di muka dada. Kalau tak salah penglihatanku bukankah kau yang berjuluk Sepuluh Jari Kematian, gurunya Si Pendekar Terkutuk Pemetik Bunga yang mampus tempo hari di tanganku?! Pemandanganmu memang tajam, pemuda gendeng! Muridku mati di tanganmu. Hari ini aku datang meminta jiwamu! Wiro geleng-gelengkan kepala. Katanya, Akhir ini banyak sekali manusia-manusia yang begitu inginkan jiwaku, sebut-sebut segala urusan jiwa... seakan-akan jiwanya sendiri adalah jiwa yang bersih polos!

Jangan pidato! bentak Sepasang Arit Hitam. Siapa bilang aku pidato! sahut Wiro ketus. Aku cuma bicara biasa! Kemudian Pendekar 212 berpaling pada Sepuluh Jari Kematian. Dengar Sepuluh Jari Kematian, katanya, muridmu seorang manusia bernafsu besar doyan perempuan kelas satu! Bagaimana kalau hari ini kuberikan seorang perempuan cantik padamu, apakah kau bersedia melupakan urusan kita?! Merahlah paras Sepuluh Jari Kematian. Darah di kepala mendidih mendengar ejekan itu. Dia maju satu langkah. Kau memang tak layak hidup lebih lama! bentaknya. Kelima jari-jari tangan kanannya dijentikkan ke muka. Lima sinar hitam yang menggidikkan melesat mengeluarkan suara menggaung. Inilah Ilmu Jari Penghancur Sukma yang dahsyat. Satu jentikkan saja ganasnya bukan main, apalagi sekaligus lima jentikan. Dan dilancarkan oleh tokoh penciptanya sendiri yang berilmu tinggi. Dengan cepat Pendekar 212 melompat ke udara. Empat larikan sinar hitam berhasil dihindarkannya, tapi sinar yang kelima tak sanggup dielakkan. Sinar ini menyapu kaki kiri Pendekar 212. Wuss! Kaki kiri itu dengan serta-merta menjadi hitam. Wiro Sableng terguling di tanah, merintih kesakitan. Meski tubuhnya kebal segala macam racun namun dia masih khawatir. Begitu jatuh dengan cepat Wiro totok jalan darah dan urat-urat di siku kaki kirinya. Dengan terpincang-pincang Pendekar 212 bangkit berdiri. Di saat itu Si Telinga Arit Sakti dan Sepasang Arit Hitam memburu dengan senjata di tangan sedang Sepuluh Jari Kematian melompat sebat menjambak rambut gondrong Wiro Sableng siap untuk memuntir kepala pendekar itu. Dengan berteriak nyaring Wiro gerakkan tangan kanan untuk cabut Kapak Maut Naga Geni 212. Tapi Si Telinga Arit Sakti yang tahu gelagat segera tendang tangan kanan Wiro Sableng. Kraak! Patahlah lengan Pendekar 212. Tubuhnya terhempas ke tanah. Tiga buah arit masing-masing dua di tangan sepasang Arit Hitam dan satu di tangan si Telinga Arit Sakti menderu siap untuk membuat tubuh Wiro Sableng menjadi terkutung empat sedang jambakan Sepuluh Jari Kematian akan menanggalkan kepalanya dari badan. Wiro Sableng hendak lepaskan Pukulan Sinar Matahari. Tapi sudah terlambat, sudah tak ada kesempatan lagi.

Tamatlah riwayatku! keluh pendekar ini. Dipejamkannya kedua matanya menanti saat kematian itu. Hanya beberapa detik lagi tubuh sang pendekar akan terkutung empat dibabat tiga buah arit sakti, hanya beberapa detik lagi kepalanya akan tanggal dipuntir, maka terdengarlah teriak lantang menggeledek. Setiap nyawa manusia di Pulau Madura ini adalah milik Dewi Siluman! Kalian tak berhak merampas jiwa pemuda itu! Kecuali kalau mau ikut-ikutan mampus! Terkejutlah Si Telinga Arit Sakti, Sepasang Arit Hitam dan Sepuluh Jari Kematian. Empat sosok tubuh berkelebat. Perlahan-lahan Wiro Sableng buka kedua matanya yang tadi dipejamkan! Dan hampir tak dapat dipercaya pemandangan matanya sendiri saat itu. Betapa tidak. Empat pendatang baru ini adalah gadis-gadis cantik berpakaian biru. Leher mereka digantungi tengkorak manusia yang besarnya sekepalan tangan. Meski tampang mereka cantik-cantik tapi membayangkan kebengisan. Dugaan Wiro Sableng pastilah mereka ini orang-orangnya Dewi Siluman dari Bukit Tunggul. *** Sehabis melemparkan bola yang meletuskan asap hitam dan tebal itu si nenek keriput cepat berguling dan lari meninggalkan jalan kecil. Dimasukinya rimba belantara kemudian menyeruak di antara semak belukar lebat. Dari luar semak belukar ini tiada beda dengan semak-semak yang lebat di sekitar tempat itu. Tapi siapa nyana kalau begitu semak belukar diseruak maka muncullah sebuah lobang besar setinggi manusia. Si nenek menyelusup memasuki lobang itu dan terus berlari. Meski penerangan dalam lobang itu tidak begitu terang namun karena sudah terlalu sering melewatinya si nenek sudah sangat hafal liku-likunya maka dia lari dengan sebat tanpa kurangi kecepatannya. Dalam waktu yang singkat dia sudah sampai di ujung lobang yang merupakan terowongan bawah tanah itu. Dia muncul di satu lamping bukit. Dari sini lari cepat ke bawah, masuk lagi ke sebuah terowongan rahasia dan akhirnya sampai di satu terowongan batu pualam. Sebelum memasuki sebuah ruangan besar si nenek gerakkan kedua tangannya ke muka. Sehelai selaput topeng yang amat tipis ditanggalkannya dari parasnya. Kini

kelihatanlah wajahnya yang asli. Dan nyatanya dia adalah seorang gadis jelita berkulit hitam manis, berhidung mancung dan berbibir tipis mungil. Gadis ini kemudian tanggalkan jubah putihnya. Di balik jubah putih si gadis kulit hitam manis ini ternyata mengenakan pakaian ringkas biru. Gadis ini kemudian berlari ke tengah ruangan besar. Salah satu tumitnya menekan ubin yang bergambar bunga mawar merah. Maka pada saat itu menggemalah suara bertanya dalam ruangan itu. Entah dari mana datangnya. Siapa yang mau masuk?! Aku, Nariti hendak menghadap Dewi! menjawab si gadis hitam manis. Silahkan masuk. Sebuah pintu besar yang tadinya hanya merupakan sebuah dinding ruangan belaka terbuka. Nariti cepat memasuki pintu itu. Ruangan di mana dia berada adalah sebuah ruangan yang jauh lebih besar dari yang pertama tadi. Seluruh lantai ditutupi permadani. Di samping kanan terdapat sebuah taman. Di tengah taman dihiasi dengan kolam berair biru. Beberapa gadis cantik asyik mandi-mandi dalam kolam itu, bersimbur-simburan air dan bergurau sesama mereka. Beberapa lainnya duduk di tepi kolam memperhatikan. Semuanya mengenakan pakaian ringkas biru. Hai, itu si Nariti dari mana baru kelihatan! seru seorang gadis baju biru. Nariti dari mana kau! berseru yang lain. Nariti hanya melambaikan tangan lalu cepat-cepat menaiki sebuah tangga yang juga beralaskan permadani. Di bagian atas terdapat tiga buah pintu yang dijaga oleh tiga orang gadis berpakaian biru. Kemani, aku mau bertemu dengan Dewi. berkata Nariti pada salah seorang gadis-gadis itu. Ada keperluan apakah?! Tak usah tanya. Katakan di mana Dewi saat ini, cepat! Ini penting sekali! Melihat keseriusan pada wajah Nariti maka Kemani segera menjawab. Dewi berada di anjungan ketiga. Mendengar itu maka Nariti segera memasuki pintu di samping kanannya. Pintu ini membawanya ke sebuah lorong yang kemudian

menghubunginya dengan sebuah pintu biru yang tertutup. Di belakang pintu itu didengarnya suara petikan-petikan kecapi yang merdu. Nariti mengetuk daun pintu tiga kali berturut-turut lalu dua kali lagi. Suara kecapi di ruang dalam berhenti. Siapa?! terdengar suara perempuan bertanya dari dalam. Suaranya halus tapi penuh wibawa dan ketegasan. Dewi, aku Nariti membawa laporan penting untukmu! Masuklah! Nariti mendorong daun pintu lalu masuk dengan cepat. Kamar yang dimasukinya selain bagus juga sangat luas. Lantai tertutup permadani biru yang tebal dan lembut. Tubuh serasa di awang-awang kalau menginjak kelembutan permadani itu. Di tengah ruangan terletak sebuah tempat tidur besar berseprai sutera putih. Di atas tempat tidur ini berbaringlah bermalas-malasan seorang perempuan muda. Umurnya paling banyak dua puluh tiga tahun. Dia berpakaian sutra biru yang bagus dan menjela ke permadani. Parasnya cantik sekali. Tapi di balik kecantikan yang mengagumkan itu nyata kelihatan bayangan kekejaman. Matanya yang berkilat menyoroti Nariti dengan teliti. Kemudian dia berpaling pada gadis tujuh belas tahun yang duduk di permadani, yang tadi memainkan kecapi menghiburnya. Gadis ini juga berparas jelita dan berkulit kuning langsat Perempuan di atas pembaringan yang bukan lain dari Dewi Siluman adanya anggukkan kepala. Maka gadis pemain kecapi yang mengerti isyarat ini segera mengambil kecapinya dari pangkuan dan meninggalkan tempat itu lewat sebuah pintu di samping kanan. Katakan berita apa yang kau bawa, Nariti. ujar Dewi Siluman. Nariti menjura dulu tiga kali baru menjawab. Ada beberapa pendatang baru di Pulau kita ini, Dewi. Semuanya dari Pulau Jawa... Hemmm... Dewi Siluman menggumam dan petik serenceng buah anggur lalu memasukkan buah itu satu demi satu ke dalam mulutnya. Teruskan keteranganmu! Yang pertama ialah Sepuluh Jari Kematian... Itu aku sudah tahu. Sepuluh Jari Kematian sobat lama yang sengaja kuundang kemari. Siapa yang lain-lainnya?! Yang lain-lainnya ialah dua orang nenek-nenek yaitu Sepasang Arit Hitam dan muridnya Si Telinga Arit Sakti...

Heh... perlu apa murid dan guru itu berada di pulau ini? Dewi Siluman memandang lewat jendela dari mana dia dapat melihat sebagian dari taman dan kolam yang tadi dilewati Nariti. Lalu tanyanya sambil mengunyah buah anggur dalam mulutnya, Apa masih ada pendatang yang lain? Ada, Dewi. Seorang pemuda sakti... Sepasang alis mata yang hitam dan bagus dari Dewi Siluman naik ke atas. Gerak-geriknya yang mencurigakan membuat aku menguntitnya selama dua hari. Ternyata dia tengah mencari keterangan di mana letak tempat kita ini... Begitu? Menurutmu apakah dia membawa maksud baik atau jahat?! tanya Dewi Siluman. Pasti maksud jahat, Dewi... Kalau begitu dia mencari jalan ke akhirat! kata Dewi Siluman pula sambil lemparkan tangkai anggur ke luar jendela. Tapi terangkan dulu segala sesuatunya tentang dia... Hampir di setiap tempat dia menanyakan pada penduduk di mana letak Bukit Tunggul, di mana letak sarang kita... Kurang ajar. Istanaku disebut sarang! maki Dewi Siluman. Teruskan Nariti! Tapi penduduk tak satu pun mau beri keterangan. Meski demikian karena jelas pemuda ini sangat berbahaya bagi kita maka dengan menyamar kunantikan dia di jalan kecil di tepi hutan. Sengaja aku duduk di tengah jalan menghalanginya untuk mencari sengketa. Kemudian terjadi pertempuran antara kami. Tapi nyatanya dia sakti sekali dan bukan tandinganku. Aku hampir saja dimakan totokannya kalau tidak lekas melemparkan bola asap hitam! Dewi Siluman merenung sejenak. Nariti adalah pembantunya yang memiliki ilmu tinggi. Kalau Nariti tiada sanggup melawan pemuda itu pastilah si pemuda memiliki ilmu yang hebat. Siapa nama pemuda itu? bertanya Dewi Siluman. Tak berhasil kuketahui, Dewi. Nariti, bawa tiga orang kawanmu. Cari pemuda itu dan tamatkan riwayatnya sebelum dia bikin susah pihak kita! Perintahmu aku jalankan, Dewi. sahut Nariti. Dia menjura tiga kali lalu melangkah ke pintu. Tunggu dulu, Nariti! berseru Dewi Siluman. Nariti hentikan langkah dan balikkan badan. Ya, Dewi...?

Apakah pemuda sakti itu berparas gagah? tanya Dewi Siluman. Nariti memandang ke jendela lalu tundukkan kepala. Kalau dia memberikan jawaban bahwa pemuda itu memang berparas gagah dia khawatir sang Dewi akan punya persangkaan yang bukan-bukan padanya. Karenanya Nariti tak berikan jawaban. Dewi Siluman tertawa merdu laksana taburan mutiara yang jatuh berderai di atas lantai pualam. Dari kebisuan anak buahnya itu dia segera maklum bahwa si pemuda yang mendatangi Pulau Madura adalah seorang berparas cakap. Kalau begitu tangkap saja dia hidup-hidup, Nariti. kata Dewi Siluman pula. Jika parasnya betul-betul gagah dia akan menjadi budakku. Tapi kalau tampangnya buruk dia akan mati percuma! Nariti mengangguk. Dia menjura lagi tiga kali lalu tinggalkan kamar itu. Dewi Siluman memandang keluar jendela memperhatikan anak buahnya bersimbur-simburan air di tengah kolam. Di sudut bibirnya mengelumit sekuntum senyum aneh. Gadis jelita ini kemudian bertepuk tiga kali. Inani, gadis yang tadi memainkan kecapi menghibur Dewi Siluman, masuk kembali ke dalam kamar itu. Mainkan satu lagu yang bagus untukku, Inani. Lagu bagus tentang apa, Dewi? tanya Inani. Apakah tentang lautan yang indah di waktu matahari terbenam atau tentang bungabunga yang tengah mekar, atau tentang kebahagiaan hidup di swarga loka? Atau pula tentang pemandangan gunung yang tinggi hijau, atau tentang binatang-binatang yang bagus lucu...? Dewi Siluman gelengkan kepala. Bukan... bukan tentang laut atau bunga-bunga atau binatang-binatang, Inani. Bukan tentang semua yang kau sebutkan itu. Tapi tentang cinta... kata Dewi Siluman pula. Terkejutlah Inani mendengar jawaban Dewinya itu. Selama ini sang Dewi sangat membenci segala sesuatu yang berbau cinta kasih. Dewi Siluman selalu marah dan mendamprat bila dia memainkan lagu-lagu cinta, sekalipun dia memetik kecapi itu seorang diri dalam kamarnya! Dan kini adalah aneh kalau sang Dewi minta dimainkan sebuah lagu cinta. Apakah telah berubah jalan pikiran dan lubuk hati sang Dewi. Ada sesuatu yang telah terjadi dengan Dewinya itu? Untuk lebih memastikan maka bertanyalah Inani. Lagu cinta yang bagaimana, Dewi? Apakah cinta kasih seorang ibu terhadap anaknya? Atau cinta kasih Tuhan kepada hamba-hambaNya...?!

Jangan sebut-sebut Tuhan! sentak Dewi Siluman. Yang ada di dunia ialah kekuatan! Siapa yang kuat dia akan berkuasa dan bisa berbuat sekehendak hatinya, menjadi Tuhan di dunia ini! Meski di dalam hatinya Inani membantah ucapan sang Dewi, tapi karena takut dia tak berani nyatakan pendapatnya itu. Kalau begitu mungkin Dewi ingin dengarkan lagu cinta antara seorang pemuda dengan seorang gadis? tanya Inani pula. Ya, lagu itulah yang kuinginkan. jawab Dewi Siluman. Maka dengan jari-jari tangannya yang bagus runcing itu Inani mulai memetik kecapinya menyanyikan sebuah lagu cinta.

***

WIRO SABLENG DEWI SILUMAN BUKIT TUNGGUL

ETIKAN kecapi yang membawakan lagu cinta itu menggema ke luar kamar, sampai ke kolam dan taman di mana anak-anak buah Dewi Siluman tengah mandi-mandi dan duduk-duduk beristirahat. Mereka saling berpandangan lalu memutar kepala ke arah jendela di anjungan ketiga yang tingginya empat puluh tombak lebih. Aneh, sejak kapankah Dewi kita menyenangi lagu cinta-cintaan? tanya salah seorang dari mereka. Tak ada yang memberikan jawaban. Semua mata diarahkan ke jendela anjungan. Semua telinga mendengarkan. Suara kecapi yang merdu itu memasuki liang-liang telinga para gadis, laksana air gunung yang sejuk terus mengalir ke hatinya. Betapa indahnya sesuatu yang dipengaruhi oleh cinta. Betapa indahnya bercinta. Cinta kasih antara laki-laki dan pemudi. Dan mereka semua adalah gadisgadis yang selama ini tidak mengenal apa artinya cinta. Di dalam Istana Dewi Siluman yang terletak di bawah Bukit Tunggul itu, hidup mereka hanyalah antara sesama gadis, sesama perempuan. Dan kini mendengar lagu cinta kasih itu, hati mereka laksana berontak, darah mereka menjadi panas. Walau bagaimanapun mereka adalah manusia-manusia biasa, gadis-gadis yang membutuhkan cinta kasih sayang seorang pemuda. Gadis-gadis yang selama ini hidup di alam suasana tertekan, dipaksakan untuk tidak mengenal cinta. Tapi kali itu melalui petikan kecapi yang dimainkan oleh Inani, tanpa disadari Dewi Siluman, secara tak langsung telah memberikan kenyataan pada anak-anak buahnya bahwa sesungguhnya di dunia ini memang ada cinta kasih antara laki-laki dan perempuan. Melalui petikan kecapi itu Dewi Siluman membuat anak-anak buahnya menjadi sadar bahwa mereka semua adalah makhluk-makhluk hidup, manusiamanusia, gadis-gadis yang membutuhkan kasih seorang laki-laki, membutuhkan peluk dekap dan ciuman mesra seorang pemuda. Lagu itu belum lagi sampai ke ujungnya. Tiba-tiba saja petikan

kecapi berhenti dan gadis-gadis yang di kolam serta di taman melihat tubuh Dewi Siluman muncul di ambang jendela. Kalian mendengarkan apakah?! bentak Dewi Siluman marah. Suaranya menggetarkan seluruh istana. Semua masuk ke kamar masing-masing! Jangan kalian berani memikirkan kehidupan dunia yang bukan-bukan! Siapa yang tak dengar perintah akan menerima hukuman berat! Penuh ketakutan maka gadis-gadis itu segera tinggalkan kolam dan taman. Sementara itu Nariti dan tiga orang kawannya dengan cepat meninggalkan Istana Dewi Siluman. Mereka mengambil jalan memotong yaitu melewati lorong-lorong di bawah bukit dan lamping gunung. Ketika Inani dan tiga kawan-kawannya itu sampai ke jalan kecil di tempat mana dia tadi bertempur dengan Pendekar 212 Wiro Sableng maka pada saat itu mereka melihat bagaimana pemuda itu terhampar di tanah. Tiga manusia berebut cepat untuk mengirimnya ke akhirat. Yang dua membacokkan senjata berbentuk arit sedang yang ketiga hendak memuntir dan menanggalkan kepala pemuda itu dari tubuhnya. Dengan serta-merta Nariti berteriak. Setiap nyawa manusia di Pulau Madura ini adalah milik Dewi Siluman! Kalian tak berhak merampas jiwa pemuda itu! Kecuali kalau mau ikut-ikutan mampus! Terkejutlah Si Telinga Arit Sakti, Sepasang Arit Hitam dan Sepuluh Jari Kematian. Pada saat itu empat bayangan biru melompat ke hadapan mereka. Keempatnya ternyata gadis-gadis berparas cantik. Wiro sendiri yang tadi pejamkan mata menunggu detik kematiannya, kali ini membuka kedua matanya itu dan menjadi heran melihat kemunculan empat gadis itu. Merekalah orangorangnya Dewi Siluman? Gadis-gadis cantik begini macam? Sungguh tak dapat dipercaya. Gadis-gadis begitu jelita bisa membuat kejahatan main bunuh di mana-mana. Membunuh manusia-manusia tak berdosa termasuk anak-anak dan orang-orang tua tak berdaya. Sepuluh Jari Kematian lepaskan kepala Wiro Sableng yang barusan hendak dipuntirnya itu. Sepasang Arit Hitam dan Si Telinga Arit Sakti batalkan bacokan arit mereka. Dengan kertakkan rahang penuh geram Sepuluh Jari Kematian membentak. Gadis-gadis baju biru! Kalian siapakah yang berani lancang ikut campur urusan orang lain?!

Nariti mendengus. Orang tua jelek! Jangan jual omong besar di hadapanku! Serahkan pemuda rambut gondrong itu dan kalian bertiga ikut kami! Sepuluh Jari Kematian tertawa dingin. Gadis jelita, meski kau seorang bidadari dari kahyangan, jangan kira aku yang tua ini berbelas kasihan untuk tidak merusak kecantikanmu itu! Jangan banyak bacot! bentak Nariti. Marahlah Sepuluh Jari Kematian. Tangan kanannya diangkat ke atas. Kau mau keluarkan Ilmu Jari Penghancur Sukma? Silahkan teruskan! mengejek Nariti. Terkejutlah Sepuluh Jari Kematian melihat si gadis mengetahui ilmu kesaktian yang hendak dilepaskannya. Gadis, sebaiknya lekas beritahu siapa kalian. Kalau tidak kau berempat akan mampus percuma! Keempat gadis itu tertawa bergelak. Nariti buka mulut. Dasar orang tua pikun! Masih tak tahu siapa kami! Delapan penjuru angin dunia persilatan mulai beberapa waktu yang lalu adalah di bawah kekuasaan Dewi Siluman! Oh, jadi kalian adalah orang-orangnya Dewi Siluman? tanya Sepasang Arit Hitam. Sudah tahu kenapa berlagak pikun?! sentak salah seorang kawan Nariti. Sepuluh Jari Kematian batuk-batuk. Untung kalian lekas beritahu siapa kalian. katanya. Kalau tidak hampir saja aku salah turun tangan! Nariti sunggingkan senyum mengejek. Setelah tahu siapa kami apakah kalian bertiga tidak mau turut apa yang kami katakan...? Sepuluh Jari Kematian batuk-batuk lagi. Sebetulnya kami masih belum jelas apakah yang kalian mau... ujarnya. Nariti menjawab, Pemuda yang melingkar di tanah itu serahkan pada kami dan kalian bertiga ikut ke Istana Dewi Siluman! Sepuluh Jari Kematian hela nafas panjang. Tak mungkin! katanya. Bakul kentut! Apa yang tidak mungkin! bentak Nariti. Mendengar makian bakul kentut itu Wiro Sableng terkejut. Dia ingat akan pertempurannya dengan si nenek muka keriput sebelumnya. Si nenek telah memakinya dengan ucapan itu. Apakah si nenek bukannya gadis jelita ini, pikir Wiro. Sementara itu dia

menunggu kesempatan yang sebaik-baiknya untuk melakukan sesuatu yang dirasakannya paling baik. Tak mungkin! mengulang Sepuluh Jari Kematian. Pemuda bangsat ini punya hutang jiwa terhadapku! Dia telah membunuh muridku! Di samping itu, menimpali Si Telinga Arit Sakti, antara aku dan dia terdapat dendam kesumat yang belum terselesaikan! Perduli dengan hutang nyawa! Persetan dengan segala dendam kesumat! Apakah di Pulau Madura ini ada bangsa kwaci yang berani menantang perintah Dewi Siluman dari Istana Bukit Tunggul?! Marahlah Sepasang Arit Hitam karena dirinya dicap bangsa kwaci itu. Dia mendengus dan buka suara. Kau terlalu pongah mengumbar mulut seenaknya, mencap aku dan dua kawanku manusia-manusia bangsa kwaci! Kau kira dunia persilatan ini, kau dan Dewimu itukah yang menguasainya?! Apa kau yang masih pitit hijau ini masih belum pernah mendengar nama gelarku, Sepasang Arit Hitam? Belum pernah tahu gelar muridku, Si Telinga Arit Sakti?! Juga memandang rendah pada Sepuluh Jari Kematian yang merupakan tokoh ternama di rimba persilatan?! Nariti tertawa panjang. Gelar kalian memang hebat-hebat, menyeramkan! Tapi bagi kami orang-orangnya Dewi Siluman itu bukan apa-apa! Katakan saja apakah kau bertiga bersedia ikut atau mati di tempat ini sekarang juga?! Sepasang Arit Hitam renggangkan kedua kaki. Matanya yang cuma satu menyorot marah. Namun dengan ilmu menyusupkan suara Sepuluh Jari Kematian segera memberi kisikan, Jangan teruskan niatmu, Sepasang Arit Hitam. Gadis-gadis ini rata-rata berkepandaian tinggi. Meskipun kau sanggup kalahkan mereka tapi kita tak bakal bisa keluar dari pulau ini dengan selamat! Kalau kau mau dicap manusia kwaci mentah, biarlah! Jangan perduli aku! bentak Sepasang Arit Hitam. Dia berpaling pada Nariti. Apakah kau akan maju sendirian atau sekali berempat?! Hem... jadi ini contoh manusianya yang minta cepat-cepat mampus?! menyahuti Nariti. Tikus tua renta bermata picak mau jual tampang di sarang macan?! Nariti dan ketiga kawannya tertawa gelak-gelak. Sepasang Arit Hitam berkobar amarahnya. Dia maju dengan cepat. Tapi muridnya Si Telinga Arit Sakti mendahului. Guru, biar aku yang kasih pelajaran pada gadis ingusan bermulut

besar ini! kata Telinga Arit Sakti. Bereskan dia dalam tiga jurus! perintah Sepasang Arit Hitam. Si Telinga Arit Sakti keluarkan senjatanya yaitu sebilah arit. Semua orang yang ada di situ boleh dikatakan telah melupakan Wiro Sableng. Pada saat Si Telinga Arit Sakti menyerbu ke depan dengan satu sambaran dahsyat ke arah leher Nariti maka Pendekar 212 Wiro Sableng melompat dari tanah seraya berseru. Kalian bertempurlah sampai mampus! Lain kesempatan kita bertemu lagi! Kawan-kawan! Kejar pemuda itu! teriak Nariti sambil mengelakkan serangan Telinga Arit Sakti. Tiga kawannya melompat ke muka, tapi Wiro Sableng sudah lenyap. Kemarahan Nariti tertumpah bulat-bulat pada Telinga Arit Sakti dan Sepasang Arit Hitam. Berserulah dia. Kawan-kawan, tangkap hidup-hidup perempuan tua mata picak itu! Ketiga gadis yang tadi melompat mengejar Wiro berbalik dan kini mengurung Sepasang Arit Hitam. Bagus, kalian majulah sekali bertiga biar cepat kumusnahkan! teriak Sepasang Arit Hitam. Serentak dengan itu dia keluarkan sepasang arit hitam yang memancarkan warna menggidikkan. Di lain pihak tiga orang anak buah Dewi Siluman keluarkan tiga buah jala berbentuk aneh. Jala ini besarnya hanya segumpalan tangan, terbuat dari sutera halus berwarna biru. Ketiganya memencar mengurung Sepasang Arit Hitam. Didahului dengan pekik yang dahsyat Sepasang Arit Hitam menyerbu dan bagikan serangan arit kepada tiga orang lawannya. Warna hitam dari kedua senjatanya menderu mengerikan. Memaklumi dua buah arit di tangan lawan adalah senjata-senjata mustika sakti, tiga orang anak buah Dewi Siluman tiada berani membuat jurus adu kekuatan. Mereka menyurut beberapa langkah ke belakang, begitu sepasang arit lewat maka ketiganya menyerbu ke muka. Secepat kilat tebarkan jala sutera biru. Sepasang Arit Hitam sewaktu melihat tiga tebaran warna biru menyungkupi bagian atas tubuhnya dengan cepat merunduk dan sepasang senjatanya kini menderu ke arah lengan-lengan tiga orang anak buah Dewi Siluman dari Bukit Tunggul. Tapi serangannya yang kedua ini kembali mengenai tempat kosong karena dengan sebat tiga gadis baju biru tarik lengan serta jalanya untuk kemudian menyerang lagi dengan tebaran jala ke arah pinggang dan kaki Sepasang Arit Hitam.

Naiklah amarah Sepasang Arit Hitam. Tiga gadis anak buah Dewi Siluman itu ternyata tidak mudah baginya untuk merubuhkan. Dia melompat ke udara setinggi empat tombak dan babatkan arit di tangan kanan ke arah tiga buah jala sedang arit di tangan kiri disapukan dengan ganas pada kepala ketiga gadis yang mengeroyoknya. Tiga gadis melengking keras. Tubuh mereka lenyap dan tahu-tahu Sepasang Arit Hitam merasakan bagaimana salah satu dari jala sutera lawan telah menjirat arit di tangan kanannya. Betapapun dia coba untuk menariknya dengan sekuat tenaga namun tak berhasil. Dia terpaksa serahkan arit yang satu itu kepada lawan untuk menyelamatkan lengannya dari sambaran dua jala sutera lainnya. Ketiga gadis tertawa mengejek. Seorang di antara mereka berkata. Inikah nenek-nenek sakti tokoh dunia persilatan terkenal yang bergelar Sepasang Arit Hitam itu? Huah! Nyatanya tak lebih dari bangsa kurcaci saja! Bola mata kiri Sepasang Arit Hitam kelihatan seperti berapi-api sedang mata kanannya yang berlobang besar tampak tambah cekung menggidikkan. Perempuan tua ini pindahkan arit yang di tangan kirinya ke tangan kanan. Gadis-gadis keparat! Kenalkah kalian akan jurus lain?! Tiga orang anak buah Dewi Siluman sunggingkan senyum mengejek. Tapi karena ingin tahu mereka menunggu dan memperhatikan. Sepasang Arit Hitam berdiri dengan kaki merenggang. Tangan kiri diangkat tinggi-tinggi agak ke belakang kepala sedang arit di tangan kanan diacungkan lurus-lurus ke muka. Kelihatannya acungan arit itu merupakan bulan-bulanan serangan yang empuk, namun jika seorang coba menyerang maka secepat kilat tangan kiri akan memukul ke muka, arit berkiblat dan kaki kiri menendang. Jika tiga serangan ini masih gagal maka dengan menjejakkan kaki kanan ke bumi, Sepasang Arit Hitam akan sanggup lancarkan serangan susulan yang lebih ganas dari yang pertama tadi. Karena memang tidak mengenali jurus apa yang bakal dikeluarkan si nenek, namun melihat sikap dan tampang si nenek yang demikian menggidikkan, tiga gadis itu diam-diam memaklumi bahwa lawan mereka hendak mengeluarkan satu jurus serangan yang dahsyat. Karenanya ketiga gadis ini bersiap siaga. Bagi pihak mereka sendiri jika lawan mereka itu salah-salah langkah dalam

lancarkan serangan akan segera pula menjadi mangsa mereka. Sementara itu pertempuran antara Nariti dan Si Telinga Arit Sakti berjalan sangat seru. Telinga Arit Sakti kirimkan jurus-jurus yang mematikan. Aritnya yang putih mengeluarkan sinar bergulung-gulung melanda ke arah Nariti. Namun Nariti sendiri bukanlah seorang lawan jenis murahan. Tubuhnya hampir lenyap dari pemandangan, cuma bayangan warna biru pakaiannya saja yang kelihatan berkelebat kian kemari. Mendadak sontak terdengar pekik menggidikkan keluar dari mulut Nariti. Belum habis pekik itu menyusul lengkingan Si Telinga Arit Sakti. Senjatanya kelihatan mental ke udara. Satu tangan menyambar senjata itu. Dan sekejap kemudian arit putih itu menderu laksana kilat ke arah batang leher pemiliknya sendiri. Tahan! teriak Sepuluh Jari Kematian yang menyaksikan bagaimana Si Telinga Arit Sakti tiada sanggup mengelakkan serangan maut itu. Tapi mana Nariti mau ambil perduli teriakan tokoh silat itu. Arit di tangannya terus menderu dan, cras! Putuslah leher Telinga Arit Sakti. Tubuh dan kepala terpisah. Darah menyembur mengerikan. Sepasang Arit Hitam pelototkan mata kirinya besar-besar sewaktu di hadapannya menggelinding kepala muridnya sendiri. Dari tenggorokannya keluar suara mengaum macam harimau lapar dan sekejap kemudian tubuhnyapun berkelebat ke muka, lancarkan satu jurus serangan yang sejak tadi disiapkannya yaitu jurus Tiga Naga Mengamuk di Atas Air Laut. Jurus ini memang bukan olah-olah dahsyat dan ganasnya. Arit di tangan kanan menderu berputar-putar macam kepala seekor naga. Tangan kiri memukul ke depan laksana kepala naga mematuk sedang kaki kiri menyapu laksana ekor naga mematil. Debu dan pasir jalanan beterbangan, daun-daun pohon bergetar dan banyak yang gugur karena untuk lancarkan jurus hebat itu Sepasang Arit Hitam kerahkan seluruh bagian tenaga dalamnya. Tiga anak buah Dewi Siluman dari Bukit Tunggul tidak tinggal diam. Masing-masing mereka berteriak nyaring dan tangan kiri dipukulkan ke depan. Tiga larik sinar biru kelihatan dengan ganas memapas jurus Tiga Naga Mengamuk di Atas Air Laut dari Sepasang Arit Sakti itu. Tobat! Tobat! seru Sepuluh Jari Kematian seraya pukul-pukul

keningnya sendiri. Demi setan hentikan pertempuran ini! Kalau tidak kalian sama saja dengan bunuh diri! Bakul kentut! semprot Nariti. Kau tak usah jual bacot! Jangan campuri urusan yang tak ada sangkut pautnya dengan dirimu! Rahang-rahang Sepuluh Jari Kematian kelihatan menonjol. Kedua tangannya mengepal. Gadis... desisnya, kalau tidak memandang muka Dewimu, aku tak akan terima ucapanmu itu! Nariti tertawa dingin dan mengejek. Kalau kau punya nyali, silahkan masuk ke dalam kalangan pertempuran! kata gadis itu seraya goyangkan kepalanya ke arah pertempuran yang berlangsung. Sepuluh Jari Kematian hendak buka mulut namun di saat itu terdengar pekikan salah seorang dari tiga gadis pengeroyok sepasang Arit Hitam. Tubuh gadis ini mental dan lengannya sebelah kanan patah dimakan tendangan kaki kiri sepasang Arit Hitam. Meski dapat mencelakakan salah seorang pengeroyoknya namun neneknenek sakti ini tiada sanggup mengelitkan libatan jala sutera biru salah seorang lawan lainnya pada kaki kirinya yang tadi menendang. Dalam dia bergulat untuk membebaskan kaki kiri itu, jala kedua menderu melibat bagian tubuhnya mulai dari dada sampai ke kepala. Betapapun tokoh silat ini bergulat untuk membebaskan diri namun sia-sia belaka. Jala yang terbuat dari sutera halus biru itu mempunyai kekuatan yang hebat sekali. Sepasang Arit Hitam menggerung, jatuhkan diri ke tanah dan berguling dalam masih berusaha membebaskan diri. Gulingan tubuhnya terhenti sewaktu Nariti injakkan kaki kanannya di perut tokoh silat tua itu. Tak satu kekuatan pun yang sanggup melepaskan jiratan jala itu! kata Nariti dengan nada bengis. Sekali kakinya menendang maka pingsanlah Sepasang Arit Hitam. Kau keterlaluan! teriak Sepuluh Jari Kematian marah sekali. Nariti tertawa dingin dan menjawab. Terhadapmu aku bisa berlaku lebih keterlaluan lagi, kakek-kakek bakul kentut! Tutup mulutmu setan alas! damprat Sepuluh Jari Kematian. Nariti mengekeh. Meski wajahnya jelita, tapi mimiknya waktu mengekeh itu menyeramkan sekali. Orang tua bakul kentut sialan! Kalau saja Dewi kami tidak memerintahkan membawamu hidup-hidup ke istananya niscaya tubuhmu sudah jadi bangkai saat ini! Penghinaan dan kesombonganmu sudah lewat batas, gadis

hijau! Di lain hari kelak kau akan rasakan akibatnya! Nariti tertawa gelak-gelak. Tubuh Sepasang Arit Hitam dipanggulnya di bahu kiri kemudian katanya pada Sepuluh Jari Kematian, Ikuti kami! Sekali kau berbuat yang tidak kuinginkan, kau akan menyesal sampai ke liang kubur! Meski kemarahan tidak tertahan lagi oleh tokoh silat yang namanya telah menggetarkan dunia persilatan itu, namun mau tak mau, karena mengingat hubungan baiknya selama ini dengan Dewi Siluman dan kedatangannya ke Pulau Madura itu justru atas undangan Sang Dewi maka akhirnya Sepuluh Jari Kematian mengikuti juga keempat gadis itu dari belakang.

***

WIRO SABLENG DEWI SILUMAN BUKIT TUNGGUL

IRO Sableng si Pendekar 212 dari Gunung Gede duduk bersandar ke batang pohon yang dikelilingi oleh semak belukar. Rimba belantara di mana dia berada sunyi senyap, berudara lembab dan teduh dari teriknya sinar matahari. Rasa sakit pada tangan kanannya yang patah kini agak berkurang. Dengan susah payah dia telah mengobati sendiri tangan yang patah itu dan menopangnya dengan sebuah ranting kemudian dibubuhi dengan param yang dibuatnya dari akar-akar pohon dan sejenis daun lalu dibungkusnya dengan sapu tangan. Cara mengobati seperti itu dipelajarinya dari gurunya Eyang Sinto Gendeng sewaktu dia digembleng di puncak Gunung Gede. Dalam waktu tiga hari bisa diharapkan lengan yang patah itu akan sembuh dan tulangnya bertaut kembali. Sambil duduk terperangah di bawah pohon besar dalam rimba belantara itu Wiro memandangi kaki kirinya yang hitam disambar pukulan Ilmu Jari Penghancur Sukma yang dilepaskan oleh Sepuluh Jari Kematian. Meski dia tahu bahwa racun pukulan tersebut tidak akan membahayakan dirinya karena tubuhnya kebal segala macam racun, namun yang mengherankan sang pendekar ialah karena sampai saat itu dia masih belum sanggup untuk melenyapkan warna hitam pada kulit kakinya itu. Dia telah menelan dua buah pil yang paling manjur khasiatnya juga berkali-kali telah mengerahkan tenaga ke telapak tangan kiri untuk mengusap kaki yang hitam itu, tapi hasilnya sia-sia belaka. Gila! maki Wiro. Kalau warna hitam itu tak bisa dilenyapkan pasti dia akan cacat seumur hidup. Pendekar ini memaki lagi. Hatinya geram sekali terhadap Sepuluh Jari Kematian. Selama turun gunung, puluhan musuh telah dihadapinya, berbagai ilmu silat kelas tinggi dan kesaktian-kesaktian luar biasa telah dijumpainya. Namun belum pernah dia menerima nasib sial seperti di hari itu. Kakinya hitam sedang lengannya patah. Di samping geram terhadap Sepuluh

Jari Kematian, Pendekar 212 juga geram pada Si Telinga Arit Sakti. Perempuan tua itulah yang telah menendang lengan kanannya sehingga patah. Untuk kedua manusia itu Wiro Sableng bertekad akan membalaskan sakit hatinya. Wiro tidak tahu kalau seperginya tadi Si Telinga Arit Sakti telah tewas di tangan anak buah Dewi Siluman. Kemudian Wiro teringat pada empat orang gadis jelita berpakaian biru-biru itu. Betulkah mereka orang-orangnya Dewi Siluman? Orang-orangnya Dewi Siluman yang telah berbuat kejahatan dan kekejaman tiada tara, membunuh manusia-manusia tidak berdosa, memusnahkan kampung-kampung? Betulkah gadisgadis cantik jelita itu yang melakukannya? Sungguh tak masuk di akal bahwa gadis-gadis semacam itu akan sanggup melakukan kejahatan tanpa perikemanusiaan demikian rupa. Hal ini membuat makin besarnya tekad Wiro Sableng untuk cepat-cepat mencari dan menemui Dewi Siluman itu. Jika anak-anak buahnya demikian kejam dan jahat, tentu Dewi Siluman sendiri jauh dan jauh lebih kejam. Tapi untuk mencari sarangnya Dewi Siluman dan membasmi kejahatannya Wiro musti menunggu sekurang-kurangnya tiga hari yaitu sampai tangannya yang patah sembuh. Dalam dia berpikir-pikir itu mendadak sontak dari atas pohon memancur air putih kekuning-kuningan yang tidak enak baunya. Air itu jatuh tepat membasahi kepala Pendekar 212. Di saat itu pula di atas pohon terdengar suara tertawa cekikikan yang menggetarkan seluruh rimba belantara. Suara cekikikan itu tiada ubahnya laksana ringkikan kuda di malam buta ketika melihat setan di hadapannya! Bedebah! maki Pendekar 212 seraya meloncat dan memandang ke atas pohon. Sekelebatan dilihatnya satu bayangan putih! Belum sempat Wiro memperhatikan siapa adanya bayangan putih itu, bahkan belum sempat dia meneliti paras makhluk itu, si bayangan putih lenyap laksana gaib. Wiro kemudian merasakan sekilas angin di mukanya. Pendekar ini pukulkan tangan kirinya ke depan. Tapi dia cuma memukul tempat kosong, sesudah itu dia tertegun sendirian dengan penuh rasa heran dan juga sedikit ngeri. Tak dapat diyakininya siapa adanya sosok bayangan putih tadi. Apakah manusia atau setan atau dedemit penghuni rimba belantara itu. Gerakannya luar biasa cepat dan sebatnya. Begitu cepat hingga Wiro tak dapat meneliti siapa adanya bayangan putih itu. Dan cekikikannya yang seperti kuda meringkik itu.

Kucuran air yang tadi jatuh di atas kepalanya kini turun ke kening. Wiro menyeka kening yang basah itu dengan belakang telapak tangan. Dia memaki tiada henti. Diperhatikannya telapak tangan yang ditempeli air itu. Hidungnya menghirup bau yang tidak enak. Penasaran sekali Wiro dekatkan belakang telapak tangannya ke lobang hidung. Pendekar ini kernyitkan kening. Kemudian terdengarlah makiannya. Keparat sialan! Aku dikencingi! Wiro meludah ke tanah. Caci maki keluar menyerapah dari mulutnya. Dengan beberapa helai daun disekanya kening dan telapak tangannya. Manusia apa dedemit! Perlihatkan dirimu! teriak Wiro. Rasa ngerinya tadi kini berubah menjadi kemarahan. Seumur hidupnya baru kali itu dia dikencingi manusia. Mungkin di dunia ini, cuma dia sendiri manusia yang dikencingi manusia. Tapi apa betul makhluk yang mengencinginya itu seorang manusia? Bukannya setan atau dedemit? Keparat yang mengencingiku! Perlihatkan dirimu! teriak Wiro gemas. Suaranya bergema dalam rimba belantara itu. Tiba-tiba terdengar dari samping kanan suara tertawa mengikik macam tadi. Dengan serta-merta Pendekar 212 memburu ke arah itu. Sekilas masih sempat dilihatnya satu sosok bayangan putih samar-samar karena bayangan itu bergerak luar biasa cepatnya. Tanpa pikir panjang Wiro Sableng gerakkan tangan kirinya lepaskan pukulan Kunyuk Melempar Buah. Semak belukar berpelantingan, sebuah pohon patah dilanda pukulan itu. Tapi si bayangan putih sudah lenyap dari pemandangan. Sialan betul! gerutu Wiro. Dia melompat ke arah lenyapnya bayangan itu lalu melesat ke sebuah pohon besar yang tinggi dari mana dia bisa melihat dengan jelas seantero rimba belantara. Namun si bayangan putih tetap tiada kelihatan seakan-akan sirna ditelan bumi. Dengan kertakkan geraham Wiro Sableng turun dari pohon itu. Mungkin sekali si bayangan putih tadi adalah Dewi Siluman. Tapi mengapa sang Dewi sengaja mempermainkan sedang dia telah mengutus empat orang anak buahnya untuk menangkapnya. Gila! gerendeng Pendekar 212. Belum pernah dia berhadapan dengan peristiwa begini rupa. Kemudian bila hidungnya sudah tak

sanggup lagi menghirup bau pesing kencing yang membasahi kepalanya pendekar ini segera tinggalkan tempat itu untuk mencari kali atau telaga guna mencuci kepalanya. Sewaktu dia melewati pohon besar tempat dia duduk tadi tanpa sengaja kedua matanya memperhatikan batang pohon itu. Bukan main terkejutnya Wiro Sableng sewaktu menyaksikan serentetan tulisan putih pada batang pohon besar itu. Ini lebih gila lagi! kata Wiro. Dia melompat ke hadapan pohon dan meneliti apa yang tertulis di situ. Perbuatan tangan manusia bukan suatu yang abadi. Manusia berilmu berpikir pendek berotak dangkal. Punya senjata dilupakan. Bukan untuk menebang kayu atau menebas kaki. Hanya tujuh warna pelangi yang abadi. Wiro tak dapat memastikan dengan apa tulisan putih itu dibuat. Cuma dia yakin bahwa yang menulisnya pastilah si bayangan putih tadi. Untuk beberapa lamanya dia masih berdiri di hadapan pohon itu merenung dan memikirkan apa arti serta tujuan rentetan tulisan itu. Namun tiada sanggup otaknya memecahkan. Perbuatan tangan manusia bukan suatu yang abadi, Wiro tahu akan kebenaran tulisan tersebut. Lalu, Manusia berilmu berpikir pendek berotak dangkal. Siapakah manusia yang dimaksudkan dalam rentetan tulisan yang kedua ini? Apakah tulisan itu ditujukan kepadanya? Punya senjata dilupakan. Hati Pendekar 212 tercekat sedikit. Di balik pakaiannya tersembunyi Kapak Maut Naga Geni 212. Apakah senjata ini yang dimaksudkan oleh penggurat tulisan pada batang pohon itu? Senjata itu selalu ada di tubuhnya dan tak pernah dilupakannya. Wiro membaca rentetan tulisan yang keempat, Bukan untuk menebang kayu atau menebas kaki. Tentu saja adalah keterlaluan kalau Kapak Maut Naga Geni 212 dipakai untuk menebang kayu. Tapi untuk menebas kaki lawan, sudah beberapa kali dilakukan Wiro dalam pertempuran-pertempurannya. Kaki siapakah yang dimaksudkan oleh tulisan itu?! Wiro menepekur dan putar otak. Pandangannya membentur kaki kirinya. Tersentaklah pendekar ini. Mungkin kakiku yang hitam ini yang dimaksud, pikirnya. Lalu diperhatikannya rentetan tulisan yang terakhir, Hanya tujuh warna pelangi yang abadi. Hanya tujuh warna

pelangi... Wiro garuk-garuk kepalanya. Karena kepalanya yang basah oleh air kencing itu belum dibersihkan maka dengan sendirinya kembali tangannya menjadi basah dan bau karena menggaruk itu. Dan Wiro menyerapah lagi. Hanya tujuh warna pelangi yang abadi, Wiro mengulang. Berarti selain warna pelangi, tak ada warna yang abadi. Sekali lagi Wiro memandang ke kaki kirinya berwarna hitam, dan warna hitam itu bukan warna pelangi, jadi tidak abadi. Berarti bisa sirna bisa dilenyapkan. Tapi bagaimana caranya?! Untuk ke sekian kalinya Wiro membaca lagi rentetan demi rentetan tulisan di kulit pohon. Tiba-tiba dipukulnya keningnya sendiri. Memang aku yang geblek! katanya. Lalu cepat-cepat dikeluarkannya Kapak Naga Geni 212. Ditimang-timangnya senjata itu beberapa lama. Dan Wiro menggerutu pula. Apa yang akan dilakukannya dengan senjata itu? Bukan untuk menebang kayu atau menebas kaki. Hanya tujuh warna pelangi yang abadi. Kini Wiro jadi bingung kembali. Buncah otaknya. Hampir sepeminum teh lamanya dia memutar otak memecahkan kalimat demi kalimat di batang pohon itu. Apa kini yang harus dilakukannya? Perlahan-lahan Wiro duduk kembali di bawah pohon itu. Kapak Naga Geni 212 diletakkannya di atas pangkuan paha kiri. Pada saat senjata itu menyentuh pahanya maka detik itu pula dirasakannya satu hawa dingin menjalar dari mata kapak ke dalam kakinya. Senjata mustika itu memberikan reaksi terhadap ketidakwajaran pada kaki sang pendekar. Tolol! Betul-betul aku tolol! Wiro memaki dirinya sendiri. Diambilnya kapak itu kembali dan ditempelkannya pada kaki kiri yang berwarna hitam. Hawa dingin semakin santer dan detik demi detik Wiro Sableng menyaksikan bagaimana kulit kakinya yang hitam kini berangsur-angsur kembali ke warna seperti biasanya. Ketika keseluruhan warna hitam itu lenyap, Pendekar 212 berseru gembira dan melompat dari duduknya. Lupa dia pada kegeraman hatinya karena dikencingi tadi. Wiro memandang berkeliling dan berteriak. Bayangan putih! Siapapun kau adanya, aku haturkan terima kasih atas petunjukmu! Begitu suara Wiro lenyap maka terdengarlah suara cekikikan macam ringkikan kuda. Suara itu dekat sekali di samping kanannya. Sang pendekar berpaling. Dia melompat dengan cepat sewaktu

melihat kelebatan bayangan putih di balik semak belukar. Dia kecewa karena ketika sampai di rerumpunan semak-semak itu si bayangan sudah lenyap lagi. Wiro geleng-gelengkan kepala. Betul-betul luar biasa gerakan makhluk itu. Ilmu apakah yang dimiliki si bayangan putih? Wiro tahu, seseorang yang memiliki ilmu mengentengi tubuh yang bagaimana pun tingginya seseorang yang memiliki ilmu lain yang bagaimana cepatnya, tak akan mungkin akan bisa berkelebat dan lenyap secepat itu. Cuma setan dan bangsa jin yang sanggup berbuat seperti itu. Meski agak kecewa tak dapat mengejar si bayangan putih namun Wiro gembira juga karena warna hitam pada kaki kirinya telah lenyap. Dimasukkannya Kapak Naga Geni 212 ke balik pakaiannya kembali. Betul-betul dia telah berbuat tolol, berpikir pendek berotak dangkal, melupakan senjata itu. Padahal sewaktu di puncak Gunung Gede gurunya pernah menerangkan bahwa kapak sakti itu bukan saja bisa dipergunakan sebagai senjata hebat, tapi juga bisa mengobati dan menyedot segala macam racun jahat yang mengindap di tubuh manusia baik bagian luar maupun bagian dalam. Wiro angsurkan kaki kirinya ke depan untuk memperhatikan kaki itu kembali. Di saat itulah matanya melihat lagi serentetan tulisan. Kali ini di tanah di hadapannya. Kalau mau tahu tingginya langit dalamnya lautan. Pada purnama empat belas hari Datanglah ke Goa Belerang. Pastilah si bayangan putih itu yang menulisnya. kata Wiro dalam hati. Nyatanya dunia ini bukan saja penuh dengan kekejaman dan kejahatan, tapi juga penuh keanehan.

***

WIRO SABLENG DEWI SILUMAN BUKIT TUNGGUL

UARA petikan kecapi terhenti sewaktu pintu kamar diketuk dari luar. Masuk! kata Dewi Siluman. Kepalanya dipalingkan ke pintu yang terbuka. Nariti masuk. Gadis ini menjura tiga kali di hadapan sang Dewi. Inani gadis pemetik kecapi berdiri dan meninggalkan kamar itu. Kau berhasil? tanya Dewi Siluman begitu dia tinggal berdua dengan Nariti. Aku dan kawan-kawan mohon ampunmu, Dewi. berkata Nariti. Hah?! Jadi kalian tak berhasil menangkap pemuda itu? Dewi Siluman bangkit dari pelaminannya. Matanya membeliak besar dan memandang lekat-lekat pada Nariti. Sebenarnya kami akan berhasil, Dewi. Tapi... Tapi apa?! sentak Dewi Siluman. Manusia-manusia itu mengacaukan tugas kami hingga si pemuda lolos! Manusia-manusia siapa maksudmu?! bertanya Dewi Siluman sambil sandarkan punggung ke bantal besar di belakangnya. Sepasang Arit Hitam dan muridnya Si Telinga Arit Sakti serta Sepuluh Jari Kematian. jawab Nariti. Lalu dia memberi penuturan atas apa yang telah terjadi. Si Telinga Arit Sakti yang berani menantang kekuasaanmu, telah kami penggal batang lehernya! Sepasang Arit Hitam kami tawan hidup-hidup dan Sepuluh Jari Kematian ikut bersama kami. Mereka berdua kini berada di ruang merah. Sepasang Arit Hitam pindahkan ke ruang gelap. Sepuluh Jari Kematian bawa ke ruang putih! Baik, Dewi. Nariti hendak menjura siap untuk tinggalkan kamar itu. Tunggu dulu! Suara Dewi Siluman keras dan lantang menggetarkan hati Nariti.

Dia membalik dengan kecut. Ternyata apa yang menjadi tugas utamamu tidak kau laksanakan dengan baik! Kau musti terima hukuman! Pucatlah paras Nariti. Tapi Dewi, aku sudah jelaskan semua pada kau. Tiga manusia itu mengacaukan tugasku dan kawan-kawan. Bahkan... Aku tidak perduli! potong Dewi Siluman. Dia bertepuk satu kali. Lima gadis berbaju biru masuk ke kamar itu melalui sebuah pintu rahasia. Kelimanya menjura. Siap menunggu perintahmu, Dewi. kata gadis baju biru paling depan. Nariti memandang kepada mereka ini dan tahu bahwa mereka adalah anak-anak buah Dewi Siluman yang diberi jabatan sebagai petugas penghukum. Seret dia ke ruang hitam! Sekap satu hari satu malam! Perintah segera dilaksanakan, Dewi! Lima gadis itu kemudian melangkah cepat ke hadapan Nariti. Menggigillah tubuh Nariti. Ruangan hitam adalah ruangan hukuman yang paling ditakuti oleh seluruh penghuni Istana Dewi Siluman. Ruangan ini khusus disediakan untuk mereka yang membuat kesalahan atau melalaikan tugas. Ruangan hitam merupakan sebuah ruangan sempit dan gelap luar biasa, tangan di depan mata pun tidak kelihatan. Seseorang yang dijebloskan di sana akan merasakan hawa panas keluar dari empat dinding sempit di sekelilingnya sedang dari langit-langit dan lantai ruangan mendera hawa dingin luar biasa. Hawa panas membuat tubuh hangus melepuh sedang hawa dingin membuat kaki dan muka kaku tegang. Nariti pernah menyaksikan keadaan seorang kawannya yang keluar dari ruang penyiksaan itu. Tubuhnya hitam legam, kakinya tak sanggup berdiri sedang parasnya rusak. Selama satu minggu dia diserang demam panas dingin, keadaannya antara hidup dan mati, mengigau siang malam tiada henti. Dua bulan kemudian baru penderitaan akibat hukuman itu lenyap dan parasnya berangsurangsur baik kembali sedang kulit tubuhnya yang hitam berangsurangsur mengelupas dan kembali ke bentuknya semula. Betapa mengerikannya. Dan kini dia sendiri yang akan dijebloskan ke dalam ruangan hitam itu. Beberapa pasang tangan memegang lengannya. Dewi... suara Nariti seperti tercekik dan tersendat.

Seret dia lekas! bentak Dewi Siluman. Maka kelima petugas itu segera membawa Nariti. Meskipun rasa takut memuncak menyelubungi dirinya namun Nariti tak bisa berbuat apa-apa. Melawan berarti akan lebih celaka lagi. Di dalam hati Nariti berkobar kebencian dan dendam kesumat terhadap Wiro Sableng. Gara-gara Pendekar 212 itulah dia sampai mendapat hukuman. Di dalam kamarnya Dewi Siluman memanggil Inani kembali. Kali ini tidak menyuruh gadis itu memainkan kecapi. Inani, kau bersama beberapa orang kawan segera pindahkan Sepasang Arit Hitam ke ruang gelap dan Sepuluh Jari Kematian bawa ke ruang putih. Perintah segera kujalankan Dewi. kata Inani. Gadis jelita ini menjura. Sebelum Inani berlalu, Dewi Siluman memberi perintah lagi yaitu agar menyuruh Kemani menghadap. Bila Kemani datang maka Dewi Siluman memberi keterangan singkat tentang pemuda yang dimaksudkan Nariti lalu memerintahkan agar Kemani bersama beberapa orang kawannya mencari si pemuda sampai dapat. Sebelum kau berhasil menangkap hidup-hidup pemuda itu dan membawanya ke hadapanku, jangan harap kau dan kawan-kawanmu diperbolehkan menginjak istana ini kembali! Meski hati tergetar kecut namun Kemani mengangguk menjura. *** Sementara itu di satu ruangan yang disebut ruangan putih... Sepuluh Jari Kematian duduk di sebuah kursi di kepala meja. Dia memandang seputar ruangan yang keseluruhan lantai, langit-langit dan dinding serta isinya berwarna putih bersih. Lima orang gadis jelita telah membawanya ke dalam ruangan itu dan meninggalkannya seorang diri. Kawannya yaitu Sepasang Arit Hitam entah dibawa ke mana oleh orang-orangnya Dewi Siluman. Sambil terus memandang seantero ruangan, tokoh silat itu berpikir-pikir hal apa pula yang bakal ditemuinya di tempat itu? Meski kehadirannya di Pulau Madura adalah atas undangan Dewi Siluman, namun sesudah peristiwa pertempuran di jalan kecil tadi, bukan tidak mustahil dia akan menemui nasib buruk pula. Dicobanya mempertenang hati dan menunggu. Telinga Sepuluh Jari Kematian yang terlatih dan tajam mendengar

suara benda bergeser. Tiba-tiba dinding di hadapannya membuka ke samping dan kelihatanlah tiga manusia berpakaian biru melangkah memasuki ruangan itu. Mereka bukan lain dari Dewi Siluman dan dua pengiringnya. Langkah yang dibuat sang Dewi tetap berwibawa. Kepala mendongak ke atas dan air muka yang jelita itu membayangkan pula sifat kekerasan kalau tak mau dikatakan kekejaman. Sepuluh Jari Kematian berdiri dari kursinya dan menjura dalam. Aku merasa bersyukur dapat memenuhi undanganmu, Dewi Siluman. Ini merupakan satu kehormatan besar darimu. Dewi Siluman naikkan hidung ke atas lalu menjawab. Cuma sayang, sikap hormatku itu di-balas dengan perbuatan sembrono hingga seorang yang hendak kutangkap berhasil meloloskan diri! Muka Sepuluh Jari Kematian kelihatan merah. Dia berbatukbatuk beberapa kali lalu berkata. Bukan maksudku untuk bertindak sembrono. Anak-anak buahmu terlalu bersikap keras dan ikuti kemauan sendiri. Dewi Siluman tertawa. Adakah cara yang lebih baik dari kekerasan dan mengikuti kemauan sendiri bagi seseorang yang hendak menguasai dunia persilatan? Bagi seseorang yang hendak memegang kendali delapan penjuru angin?! Terkejutlah Sepuluh Jari Kematian. Jadi betul rupanya dugaandugaan bahwa Dewi Siluman bermaksud hendak menguasai dunia persilatan dengan caranya sendiri yaitu menurut kehendak hatinya, berbuat kejam dan membunuh manusia-manusia tiada berdosa hingga namanya menjadi angker di kalangan rimba persilatan. Tentu saja kekerasan dan keteguhan hati sangat diperlukan, Dewi! berkata Sepuluh Jari Kematian. Apalagi bagi seorang yang punya maksud hendak merajai dunia persilatan. Bagus kalau kau berpendapat demikian. Sekarang terangkan mengapa kau dan kawan-kawan tidak mau menyerahkan pemuda itu sebagaimana yang diperintah oleh anak-anak buahku?! Sepuluh Jari Kematian hela nafas dalam. Anak-anak buahmu keliwat kesusu, Dewi... Hemm, begitu?! Lantas itu sebabnya kau bertindak ceroboh dan tidak memandang sebelah mata padaku?! Tidak begitu, Dewi. sahut Sepuluh Jari Kematian. Pada saat itu aku dan kawan-kawan tengah menempur habis-habisan pemuda itu.

Kami sama-sama punya dendam kesumat terhadapnya. Dia membunuh muridku... Aku sudah tahu semua! potong Dewi Siluman. Kau tak usah cari dalih! Sebenarnya aku punya rencana tertentu denganmu, tapi sesudah peristiwa itu terpaksa kubatalkan... Harap Dewi tidak berpikir yang bukan-bukan terhadapku. Sampai saat ini aku masih merupakan sahabat baikmu seperti di masa-masa lalu... Justru karena mengingat hubungan baik masa lalu aku tak sampai menjatuhkan hukuman terhadapmu. Dalam waktu yang singkat kau akan meninggal. Sloki emas berisi tuak masih juga mengapung di hadapan Sepuluh Jari Kematian yang mukanya sudah menjadi merah karena jengah. Tiba-tiba Dewi Siluman keluarkan tertawa mengekeh dan di saat itu pula sloki tuak bergerak perlahan ke muka Sepuluh Jari Kematian. Tokoh silat ini segera memegangnya. Ketika jari-jari tangannya menyentuh sloki itu, tuak di dalam sloki tumpah membasahi jari-jari tangan dan alas meja. Benar-benar ketinggian tenaga dalam sang Dewi tak sanggup dijajaki oleh Sepuluh Jari Kematian. Dalam waktu singkat pula kau harus angkat kaki dari Pulau Madura ini. Tapi sebelum pergi aku masih mau berbuat baik, menjamumu mencicipi tuak harum! Dewi Siluman berpaling pada gadis baju biru di samping kanannya. Gadis ini bertepuk dua kali. Dinding di belakang Dewi Siluman membuka. Seorang pelayan perempuan masuk membawa sebuah baki. Di atas baki ini terletak sebuah poci dan dua buah sloki besar yang juga terbuat dari emas. Tuak di dalam poci yang sangat harum segera dituang ke dalam kedua gelas itu. Selesai menjalankan pekerjaannya si pelayan segera berlalu. Dewi Siluman memegang salah sebuah sloki emas itu dan mengacungkannya ke hadapan Sepuluh Jari Kematian yang duduk di kepala meja di seberangnya. Silahkan menikmatinya. kata Dewi Siluman pula. Dan habis berkata begitu sloki emas itu dilepaskannya. Anehnya sloki itu tidak jatuh ke atas meja melainkan perlahan-lahan terbang ke arah Sepuluh Jari Kematian. Nyatalah bahwa sang Dewi memiliki tenaga dalam yang luar biasa hebatnya.

Sepuluh Jari Kematian tak berani menyambuti sloki berisi tuak itu secara biasa. Setelah kerahkan setengah bagian dari tenaga dalamnya ke lengan kanan sampai ke ujung-ujung jari, baru dia berani ulurkan tangan kanan untuk menyambuti sloki berisi tuak itu. Tapi sewaktu ujung-ujung jari Sepuluh Jari Kematian hampir menyentuh sloki tersebut, anehnya benda ini menjauh sehingga dia tak dapat memegangnya. Diam-diam Sepuluh Jari Kematian berjingkat sedikit dari kursi yang didudukinya. Sekali lagi dia hampir menyentuh sloki tuak itu, sang sloki menjauh kembali. Nyatalah bahwa dengan kekuatan tenaga dalamnya Dewi Siluman telah mempermainkan benda itu. Penuh penasaran Sepuluh Jari Kematian lipat gandakan tenaga dalamnya. Pertempuran tenaga dalam terjadi secara diam-diam. Dewi Siluman kelihatan duduk di kursinya dengan tenang dan sambil senyum-senyum. Sebaliknya Sepuluh Jari Kematian sudah keluarkan butir-butir keringat dingin di keningnya. Tenaga dalam tokoh silat utama ini yang sudah mencapai puncak tertinggi dan sempurna ternyata tak sanggup melayani kehebatan tenaga dalam yang luar biasa tingginya. Silahkan diminum tuak harum itu, Sepuluh Jari Kematian! kata Dewi Siluman masih senyum dan sambil menjangkau sloki tuak yang terletak di meja di hadapannya. Sepuluh Jari Kematian menyeka dulu mukanya yang keringatan baru menempelkan tepi sloki ke bibirnya. Begitu sloki itu berada di bawah hidungnya, di antara keharuman bau tuak di dalam sloki dia mencium bau lain yang aneh. Hati tokoh silat ini bercuriga dan sepasang matanya memandang ke ujung meja di mana saat itu Dewi Siluman tengah mengangkat sloki tuak perlahan-lahan ke bibirnya. Sepasang mata mereka berperang pandang. Sepuluh Jari Kematian turunkan sloki yang dipegangnya. Ada apa, Sepuluh Jari Kematian? tanya Dewi Siluman. Nada suaranya berubah lain. Dewi, aku tak dapat menerima kehormatanmu untuk minum bersama. Sebenarnya aku ada urusan lain yang sangat penting. Aku minta diri, harap dimaafkan. Tapi sebelum Sepuluh Jari Kematian berdiri, Dewi Siluman telah tegak lebih cepat. Kedua bola matanya membesar dan menyorot. Sepuluh Jari Kematian! sentaknya. Kau anggap aku ini siapakah?! Ini adalah satu penghinaan besar bagiku.

Tak ada maksudku untuk menghina demikian, Dewi... Kenapa tuak itu tidak kau minum? Pasti kau mempunyai pikiran yang bukan-bukan terhadapku! Mulut Sepuluh Jari kematian terkunci rapat-rapat. Hatinya tergetar melihat pandangan yang mengerikan dari sang Dewi. Dewi Siluman, kuharap kau tidak melupakan hubungan baik kita sebagai dua sahabat sejak dulu. berkata pada akhirnya tokoh kawakan itu. Justru karena mengingat hubungan baik kitalah aku mengundangmu ke sini! Dan kini kau menaruh prasangka yang bukan-bukan terhadapku. Menghinaku! Apa kau kira tuak harum itu beracun hingga kau tidak bernyali meminumnya? Jawab! Sepuluh Jari Kematian gelengkan kepala perlahan-lahan. Kalau tuak itu beracun, aku akan mati duluan! ujar Dewi Siluman. Habis berkata begini, gadis jelita ini teguk tuak dalam sloki sampai habis. Sloki emas dibantingkannya ke atas meja. Dia berteriak dengan suara keras marah. Apakah kau lihat aku mati saat ini karena minum tuak itu?! Sepuluh Jari Kematian telan ludahnya. Perlahan-lahan sloki yang dipegangnya ditempelkannya ke bibirnya kembali. Tiga kali teguk saja lenyaplah semua tuak di dalam sloki ke dalam perutnya. Dewi Siluman duduk kembali ke kursinya. Dia memandang dengan tersenyum aneh pada Sepuluh Jari Kematian. Apakah tuak itu beracun? Sepuluh Jari Kematian gelengkan kepala. Atau kau merasa ada kelainan di dirimu saat ini? Sepuluh Jari Kematian kembali gelengkan kepala meski saat itu sesungguhnya memang dia merasakan ada satu kelainan yang tak dimengertinya. Dewi Siluman tertawa mengekeh. Suara tertawa mengekeh yang sesungguhnya tak pantas kalau keluar dari seorang gadis jelita macam dia. Dan suara kekehan ini bernada yang mencurigakan bagi Sepuluh Jari Kematian. Hatinya mulai dirayapi kepastian bahwa Dewi Siluman telah memasukkan racun jahat ke dalam minuman itu. Tapi yang mengherankannya Dewi Siluman sendiri juga telah minum tuak itu, malah lebih dulu dari dia. Dewi Siluman berpaling pada pengiring di samping kanannya dan berkata. Tambahkan tuak untuk tamu kita itu. Terima kasih Dewi. Kurasa satu sloki sudah cukup. jawab

Sepuluh Jari Kematian. Saat itu semakin terasa adanya kelainan dalam tubuhnya. Sepuluh Jari Kematian, berkata sang Dewi dengan nada mengandung ancaman, pernahkah kau bercita-cita untuk merajai dunia persilatan? Sepuluh Jari Kematian memandang sebentar paras jelita di hadapannya. Setelah merenung beberapa ketika lamanya lalu anggukkan kepala dan menjawab. Memang pernah Dewi. Tapi itu bukan satu hal yang mudah. Di dunia ini penuh dengan tokoh-tokoh silat sakti luar biasa. Kalau sekarang aku belum dapat merajai dunia persilatan, tapi delapan penjuru angin telah mengetahui siapa diriku. Dan itu merupakan hal lumayan. Tepat sekali ucapanmu bahwa untuk merajai dunia persilatan bukan satu hal yang mudah. Tapi jika tahu caranya pasti dalam waktu yang singkat cita-cita itu bisa dilaksanakan! Sepuluh Jari Kematian berpikir-pikir, kira-kira apakah tujuan Dewi Siluman mengajaknya bicara demikian. Dia juga memikirkan apa sebenarnya yang menjadi alasan gadis sakti itu tempo hari mengundangnya untuk datang ke Pulau Madura. Dalam dia berpikir-pikir itu Dewi Siluman berkata pula. Kau tentunya punya cara sendiri. Aku juga punya cara sendiri. Dan aku yakin caraku itu akan lebih berhasil dari padamu. Sang Dewi tertawa mengekeh. Ketahuilah Sepuluh Jari Kematian, mulai hari ini kau kuambil sebagai pembantuku dalam melaksanakan cita-cita untuk merajai dunia persilatan... Sepuluh Jari Kematian kernyitkan kening. Pembantu macam manakah maksudmu, Dewi? tanya tokoh silat ini. Kau harus tunduk padaku dan turut perintah! Berubahlah paras Sepuluh Jari Kematian. Dia seorang tokoh silat terkenal dan ditakuti di ujung timur Pulau Jawa kini disuruh tunduk dan ikut perintah. Benar-benar satu penghinaan besar yang menusuk hati dan tiada memandang muka serta nama besarnya. Kalau saja bukan berhadapan dengan Dewi Siluman, pastilah saat itu tokoh silat ini sudah melabrak gadis itu. Mungkin ini satu hal yang tidak enak bagimu, berkata lagi Dewi Siluman, tapi ini sudah menjadi takdirmu, Sepuluh Jari Kematian! Kau musti tetap di sini bersama orang-orangku dan menjalankan segala apa yang kuperintahkan! Kau dengar...?!

Sepuluh Jari Kematian menggeram dalam hatinya. Terima kasih atas kepercayaanmu serta hormatmu padaku, Dewi Siluman. Namun kuharap kau bisa maklum. Manusia macamku ini tidak suka terikat, ingin hidup bebas dan malang melintang di delapan penjuru angin dunia persilatan. Kuharap kau tak usah gusar kalau aku terpaksa menolak permintaanmu itu. Apalagi aku orang buruk yang sudah tua renta ini. Tak ada guna dan untungnya mengambilku jadi pembantu... Dewi Siluman tertawa. Kau pandai sekali merendahkan diri. katanya. Namun rupanya tak ada jalan lain bagimu. Kau harus tetap di sini, dan jadi pembantuku. Tenagamu sangat kuperlukan! Mohon maaf Dewi. Aku tak bisa menerimanya... Bola-bola mata Dewi Siluman menyorot. Kuharap kau tahu di mana kau berada saat ini, Sepuluh Jari Kematian! Ucapan ini benar-benar menandakan ancaman bagi Sepuluh Jari Kematian. Dan dia mulai berpikir-pikir bahwa dalam waktu yang singkat akan terjadi perselisihan serta bentrokan antara dia dan Dewi Siluman. Melihat kenyataan tadi bahwa Dewi Siluman memiliki tenaga dalam yang luar biasa tingginya, Sepuluh Jari Kematian maklum bahwa bertempur dengan gadis itu sukar baginya untuk menang, apalagi dia saat itu berada pula di sarang sang Dewi, di mana terdapat belasan orang-orangnya Dewi Siluman yang berkepandaian tinggi yang kehebatan mereka telah disaksikannya sendiri tadi. Kalau kau suka Dewi, aku bersedia carikan tokoh silat lain untukmu... Aku bisa mencarinya sendiri! sahut Dewi Siluman pula. Yang kuperlukan sekarang adalah kau! Menyesal Dewi, aku... Kalimat Sepuluh Jari Kematian itu dipotong oleh ucapan keras Dewi Siluman seraya menggebrak meja. Jadi kau berani membangkang terhadapku?! Sepuluh Jari Kematian coba tertawa. Jawabnya, Sampai saat ini aku masih tetap mengingat hubungan baik kita. Sebelum aku minta diri, aku ucapkan terima kasih atas jamuanmu ini. Di samping itu kuharap pula kau suka membebaskan kawanku Sepasang Arit Hitam yang telah ditawan oleh orang-orangmu.

Sepuluh Jari Kematian berdiri dari kursinya. Kau tetap berkeras kepala untuk menolak kemauanku?! Aku sama sekali tidak menolak, tapi belum bisa. Di lain hari mungkin baru aku bisa memenuhi keinginanmu... Berubahlah paras Dewi Siluman. Perlahan-lahan dia berdiri dari kursinya. Mukanya mengelam Senyumnya lebih tepat kalau dikatakan seringai bengis. Baik Sepuluh Jari Kematian, kau boleh pergi. Bahkan Sepasang Arit Hitam boleh kau bawa serta. Tapi... Dewi Siluman tak meneruskan kata-katanya. Dia memandang tepat-tepat pada tokoh silat tua di hadapannya itu lalu pecahlah suara tertawanya di ruangan putih itu. Sepuluh Jari Kematian merasa tak enak. Kemudian cepat-cepat dia membalik dan menuju ke pintu. Sebelum pintu itu sempat dibukanya, di belakangnya didengarnya suara Dewi Siluman. Sebelum kau pergi masih ada satu hal yang rasanya perlu kuberitahukan, Sepuluh Jari Kematian! Sambil memegang daun pintu, Sepuluh Jari Kematian palingkan kepala. Nyawamu cuma tinggal cuma satu minggu saja Sepuluh Jari Kematian! Dan Dewi Siluman tertawa lagi panjang-panjang seperti tadi. Apa maksudmu?! tanya Sepuluh Jari Kematian dengan muka membesi. Apakah kau tuli kalau kukatakan bahwa nyawamu tinggal cuma satu minggu lagi?! Lewat satu minggu ususmu akan hancur, perutmu akan meledak dan seluruh isi perutmu akan berbusaian akibat racun yang telah kau teguk bersama tuak tadi! Terkejutlah Sepuluh Jari Kematian. Tapi kau sendiri juga telah meminumnya. buka suara tokoh silat itu. Dewi Siluman tertawa lagi. Aku memang telah meminumnya. Tapi aku tak akan mampus macam kau! Dalam sloki itu, pelayanku telah memasukkan sejenis bubuk yang mematikan racun yang ada di dalam tuak! Maka marahlah Sepuluh Jari Kematian. Perempuan laknat! teriaknya menggeledek. Sebelum aku mampus, kau akan kubikin minggat ke neraka lebih dulu! Dewi Siluman tertawa mengumandang. Tua bangka tak tahu diri!

Kau andalkan apakah berani melawan kekuasaan Dewi Siluman?! bentak Dewi Siluman. Aku andalkan ini, perempuan iblis! sahut Sepuluh Jari Kematian. Dan serentak dengan itu lima jari-jari tangan kanannya dijentikkan ke muka.

***

WIRO SABLENG DEWI SILUMAN BUKIT TUNGGUL

EGITU lima jari menjentik maka lima larik sinar hitam yang menggidikkan menderu dengan amat panasnya ke arah lima bagian tubuh Dewi Siluman. Yang diserang keluarkan suara mendengus yang disusul dengan bentakan nyaring. Tua bangka edan! Apakah tidak tahu tingginya gunung dalamnya lautan?! Tubuh Dewi Siluman kelihatan bergerak. Gerakan yang dibuatnya ini cepat luar biasa, benar-benar laksana siluman berkelebat. Detik itu pula tubuhnya lenyap dari hadapan Sepuluh Jari Kematian. Lima larik sinar hitam yang menyerangnya menderu menghantam dinding ruangan. Ruangan itu bergoncang seperti dilanda lindu. Dinding yang putih di sebelah sana kelihatan hitam hangus dan mengeluarkan kepulan asap. Dua orang pengiring Dewi Siluman yang ada di ruangan itu berseru nyaring dan berkelebat cepat. Dewi! teriak salah seorang dari mereka. Bangsat tua hina dina ini biar kami yang bereskan! Kalian tetap di tempat! perintah Dewi Siluman. Tubuhnya melesat laksana kilat dan tahu-tahu dua jari tangan kanannya menotok ke urat besar di pangkal leher sebelah kiri Sepu luh Jari Kematian. Demikian cepatnya totokan ini sehingga tokoh silat tua itu tak sempat menangkis ataupun menghindar selamatkan lehernya. Satu-satunya jalan ialah mengalirkan dengan cepat seluruh tenaga dalamnya ke bagian pangkal leher itu untuk menolak totokan. Namun karena tenaga dalam Sepuluh Jari Kematian berada jauh di bawah Dewi Siluman, maka ketika totokan itu mendarat di pangkal lehernya, dengan serta-merta sekujur tubuhnya menjadi kaku tegang tak bisa lagi digerakkan. Tapi mulut Sepuluh Jari Kematian masih bisa bersuara. Maka memakilah tokoh silat kawakan ini. Gadis keparat! Lekas bebaskan totokan ini! Kalau tidak kau akan menyesal seumur hidup!

Dewi Siluman tertawa mengekeh. Tikus tua! Sudah tak ada daya masih bisa besarkan mulut! Kau minta dilepaskan totokan? Baik! Tapi rasakan dulu ini! Tangan kanan Dewi Siluman bergerak. Plaaak! Tamparan yang keras mendarat di pipi Sepuluh Jari Kematian. Tokoh silat itu meraung kesakitan. Dua buah giginya tanggal dan melompat dari mulutnya. Bibirnya pecah berdarah. Pemandangannya gelap. Sesaat kemudian tubuhnya limbung dan tergelimpang ke lantai. Dewi Siluman menyeringai. Dia berpaling pada kedua orang anak buahnya dan memerintah, Seret babi tua ini ke Ruang Penyiksaan! Dua gadis baju biru segera bergerak untuk laksanakan tugas sang Dewi. Namun belum lagi keduanya menyentuh tubuh Sepuluh Jari kematian tiba-tiba pintu Ruangan Putih terpentang lebar dan dua manusia aneh menerobos ke dalam. Terkejutlah Dewi Siluman dan kedua anak buahnya. Begitu sang Dewi kenali dua manusia aneh ini dia segera membentak. Tiga Aneh Gila! Bagaimana kalian bisa sampai ke sini?! Apakah sudah bosan hidup?! Kedua manusia itu saling pandang satu sama lain lalu tertawa gelak-gelak sambil melompat-lompat seperti anak kecil. Manusia-manusia gila keblinger! Nama besarmu memang pernah kudengar! Setahuku kalian berjumlah tiga orang? Mana kambratmu yang satu lagi, biar aku sekaligus dengan lekas mengirim kalian menghadap penunggu neraka! Dua manusia aneh itu jingkrak-jingkrakkan lagi dan tertawa gelakgelak hingga mata mereka menjadi berair. Yang satu tiba-tiba hentikan tertawanya dan menepuk bahu kawannya, lalu berkata, Baju Gombrong! Diamlah! Apa kau tidak dengar si jelita itu tanyakan kawan kita yang satu lagi?! Ah... ah... ah! kata manusia aneh yang dipanggil Baju Gombrong itu. Biar aku panggilkan dia, Dewi Siluman. Kau tunggulah sebentar, kambratku yang kau tanyakan itu ada membawa oleh-oleh untukmu! Habis berkata begitu Baju Gombrong keluarkan suara bersiul. Maka dari pintu yang terpentang lebar itu masuklah seorang aneh yang berpakaian cabik-cabik. Yang mengejutkan Dewi Siluman serta anak-anak buahnya ialah ketika menyaksikan bagaimana pada

bahunya manusia ini membawa dua orang anak buahnya yang saat itu tidak bernyawa lagi karena leher mereka terkulai patah akibat dipelintir kepalanya. Manusia aneh yang ketiga ini tertawa gelak-gelak sewaktu melihat Dewi Siluman. Dewi Siluman, rupanya kau begitu tak sabar tanyakan aku! Ini aku datang dan bawa oleh-oleh buatmu! Serentak dengan itu manusia ini gerakkan tubuhnya dengan perlahan dan tahu-tahu dua orang anak buah Dewi Siluman yang berada di bahunya berpelantingan ke kiri kanan, menghantam dinding dan mental kembali, jatuh tepat di hadapan Dewi Siluman. Jelas terdengar suara geraham-geraham Dewi Siluman bergemeletukan karena amarah yang amat sangat. Dewi cantik! kata Baju Rombeng. Menyesal sekali kami terpaksa lepaskan tangan jahat pada dua orang anak buahmu. Kami tengah keluyuran di kaki bukit sana, tahu-tahu mereka menyerang. Kawan-kawan, bukankah begitu ceritanya?! Ketiga manusia aneh itu kemudian tertawa gelak-gelak ramai sekali dan tak lupa mereka dalam tertawa itu melonjak-lonjak seperti tadi. Dua anak buahmu itu inginkan nyawa kami! Padahal mereka cukup pantas untuk jadi... Si Baju Rombeng tak teruskan ucapannya karena saat itu kembali dia tertawa lagi. Dan sewaktu kami sampai di sini, nyatanya kejahatanmu tiada beda dengan kami... Si Baju Rombeng memandang pada sosok tubuh Sepuluh Jari Kematian yang menggeletak pingsan, lalu gelenggelengkan kepala. Tamparan yang hebat, katanya. Dua orang anak buah Dewi Siluman yang ada di ruangan itu mulamula terkesiap saksikan dua kawan mereka yang dilemparkan tanpa nyawa, tapi kini tak dapat lagi menahan kemarahan mereka dan melompat ke muka. Dewi! Izinkan kami merampas nyawa anjing-anjing buruk ini! Tangkap mereka hidup-hidup! Sebelum mampus mereka musti disiksa dulu! teriak Dewi Siluman. Maka dua orang gadis baju biru itu segera menyerbu ke muka. Tiga manusia yang diserang anehnya melihat serangan ini malah tertawa gelak-gelak dan jingkrak-jingkrakkan. Dan lebih aneh lagi begitu mereka gerakkan tangan kiri mereka maka tegang kakulah kedua anak buah Dewi Siluman itu. Ternyata ketiganya telah

lepaskan totokan jarak jauh yang lihai luar biasa. Dan ini membuat sang Dewi terkejut bukan main. Melihat kelihaian ketiga manusia ini Dewi Siluman tidak mau bertindak sembrono. Jika dua orang anak buahnya sanggup ditamatkan riwayat mereka dan dua orang lagi dibuat tak berdaya di muka hidungnya maka tiga manusia itu sudah tentu mengandalkan ilmu yang tinggi sekali. Siapakah ketiga manusia itu? Orang yang masuk pertama ke dalam Ruangan Putih itu ialah seorang yang bermata besar juling berbadan katai. Bajunya sangat besar hingga kegombrangan di badannya yang pendek kecil itu. Karena pakaiannya yang gombrong inilah maka di dunia persilatan dia dikenal dengan julukan Baju Gombrong. Yang kedua juga bertubuh kecil pendek. Kepalanya botak penuh kudis yang baunya busuk. Pakaiannya penuh tambalan-tambalan. Karena itulah di dunia persilatan dia dikenal dengan gelar Baju Tambalan. Manusia aneh ketiga yang masuk paling akhir dengan membawa mayat dua orang anak buah Dewi Siluman juga berbadan katai. Rambutnya yang hitam berkilat diikat kuncir ke atas. Karena seumur hidupnya dia selalu mengenakan pakaian robek-robek dan cabik tak karuan maka di rimba persilatan dia dikenal dengan julukan Baju Rombeng. Sejak lima tahun yang lalu ketiga manusia ini telah bergabung dalam satu kelompok. Karena kesemua mereka mempunyai penyakit kurang ingatan alias gila maka kelompok mereka itu dinamakan Tiga Aneh Gila. Meski mereka gila namun hati mereka polos jujur dan suka berbuat baik di mana-mana. Ketiganya pernah melabrak bebe rapa tokoh-tokoh silat golongan hitam. Dengan sendirinya dimusuhi oleh golongan hitam. Beberapa tokoh silat dan satu perguruan silat golongan hitam pernah coba membuat perhitungan dengan mereka. Namun Tiga Aneh Gila menyapu lawan-lawan mereka itu. Satu bulan yang lewat dalam petualangan mereka ketiganya telah mendengar tentang keganasan Dewi Siluman di Pulau Madura. Sebagai tiga tokoh silat yang tak suka melihat kejahatan dan kekejaman maka Tiga Aneh Gila segera berangkat ke Pulau Madura. Dalam mencari-cari di mana letak sarangnya Dewi Siluman, dua orang anak buah Dewi Siluman memergoki mereka. Tiga Aneh Gila mulanya menegur dengan baik-baik dan menanya

di mana letak tempat Dewi Siluman pada kedua gadis itu. Anak-anak buah Dewi Siluman tentu saja merasa curiga. Tanpa banyak cerita keduanya segera menyerang Tiga Aneh Gila dengan jurus-jurus yang mematikan. Ketiga manusia aneh itu jadi penasaran sekali. Setelah bertempur delapan jurus maka dua orang anak buah Dewi Siluman berhasil mereka tangkap hidup-hidup. Namun salah seorang dari mereka yaitu Baju Rombeng merasa kasihan dan atas perintahnya kedua gadis itu dilepaskan kembali. Tapi apa lacur, begitu dilepas segera dua orang anak buah Dewi Siluman ini menyerang lagi dengan lebih ganas. Maka Tiga Aneh Gila kali ini tak memberi hati lagi. Dalam empat jurus saja maka kedua orang anak buah Dewi Siluman terpaksa pasrahkan jiwa kepada mereka. Dengan muka membesi menahan kegeraman. Dewi Siluman memandang ketiga manusia katai di depannya lalu buka mulut. Ucapannya setengah mendesis, Dengan datang kemari dan pembunuhan atas kedua orang anak buahku, berarti kalian telah menentukan kematian sendiri Tiga Aneh Gila! Tiga Aneh Gila kembali tertawa gelak-gelak. Tidak lupa pula mereka berloncat-loncatan. Namun demikian, melanjutkan Dewi Siluman, masih ada keampunan bagi kalian jika kalian bersedia menjadi pembantupembantuku dan ikut segala perintah! Ah! menyahuti Baju Gombrong. Kedatangan kami ke sini justru untuk meminta kau menjadi pembantu kami bertiga! Dan Baju Gombrong bersama dua kawannya kemudian tertawa kembali. Dengan menekan kemarahannya Dewi Siluman bertanya. Apa maksud kalian sebenarnya?! Masakan kau tidak tahu. jawab Baju Rombeng. Kau cocok sekali untuk menjadi utusan kami ke neraka! Dan sekalian tolong menyampaikan salam kami bertiga pada setan-setan neraka! menimpali Baju Tambalan. Tiga Aneh Gila lalu tertawa lagi. Dewi Siluman menggerendeng. Kalian bertiga memang pantas untuk jadi puntung neraka! Serentak dengan itu Dewi Siluman bersuit nyaring. Maka empat buah dinding membuka dan sepuluh gadis berbaju biru membanjiri Ruangan Putih itu. Tangkap tiga orang gila kesasar ini? perintah Dewi Siluman. Maka kesepuluh gadis baju biru itu segera keluarkan jala sutera

mereka kemudian dengan serentak menyerbu Tiga Aneh Gila. Sepuluh jala mengembang mengurung mereka. Tiga Aneh Gila hentikan tertawa mereka dan ganti dengan suara berteriak-teriak tak karuan memekakkan telinga sedang tubuh mereka berlompatan kian kemari. Lompatan-lompatan ini kelihatannya juga tidak karuan, acakacakan. Tapi anehnya gerakan mereka menimbulkan angin yang luar biasa dahsyatnya. Demikian dahsyatnya sehingga tebaran jala sutera biru sepuluh anak buah Dewi Siluman laksana terbendung. Kesepuluh gadis itu amat terkejut. Selama ini tak pernah mereka mengeroyok sepuluh orang atau beberapa orang lawan. Selama ini tak satu kehebatan pun yang dapat melepaskan diri dari jala-jala sutera mereka. Tapi sekali ini benar-benar mereka dibikin bingung oleh jurus-jurus aneh yang acak-acakan yang dikeluarkan tiga orang manusia katai itu. Lima jurus berlalu, sepuluh anak buah Dewi Siluman malah kini kena didesak Tiga Aneh Gila. Melihat ini Dewi Siluman segera berseru. Bentuk Barisan Seratus Siluman Keluar dari Sarangnya! Mendengar seruan sang Dewi, sepuluh gadis baju biru itu undurkan diri ke tepi kalangan. Kemudian dengan tiba-tiba sekali kesepuluhnya menyerbu ke muka. Masing-masing keluarkan suara berteriak mengerikan. Jala sutera biru kini digulung dan dibuat sebagai senjata penggebuk. Serangan mereka ini benar-benar tak ubahnya seperti seratus siluman keluar dari sarangnya. Dalam waktu yang sangat singkat ke sepuluh gadis baju biru sudah mengurung Tiga Aneh Gila dengan rapat dan dalam satu jurus di muka mereka mendesak ketiga manusia katai itu dengan hebat. Tiga Aneh Gila yang melihat bahaya besar ini tidak tinggal diam. Mereka berkelebat cepat dan rubah permainan silat mereka. Dari mulut mereka tidak pula henti-hentinya terdengar suara teriakan yang sekali-sekali diselingi oleh tertawa haha-hihi sehingga Ruangan Putih itu menjadi hiruk pikuk dan laksana dilanda lindu. Lima jurus berlalu. Seorang anak buah Dewi Siluman menjerit dan mental ke luar kalangan pertempuran, rubuh muntah darah. Kemudian menyusul lagi korban yang kedua. Marahlah Dewi Siluman melihat hal ini. Anak-anak, kalian semua mundurlah! seru Dewi Siluman. Maka delapan gadis baju biru segera turut perintah dan keluar dari kalangan pertempuran. Tiga Aneh Gila tertawa gelak-gelak dan jingkrak-jingkrakkan.

Kadal-kadal betina beginikah yang hendak merajai dunia persilatan?! ejek Baju Gombrong yang bermata juling. Bagusnya biangnya saja yang maju! menimpali Baju Tambalan seraya garuk-garuk kepalanya yang gatal penuh kudis busuk. Dewi Siluman kertakkan geraham. Dia berpaling pada delapan muridnya yang masih hidup. Kurung yang rapat! Setan-setan buruk ini tidak boleh satu pun yang lepas! Tiga Aneh Gila tertawa bekakakan. Siluman berteriak setan! ujar Baju Rombeng. Aku jadi ingat pada pencuri yang berteriak maling! Cukup! bentak Dewi Siluman menggeledek. Air mukanya yang jelita benar-benar menunjukkan kebengisan dan kekejaman yang mengerikan kini. Kalian boleh keluarkan seluruh ilmu simpanan! Tapi dalam tiga jurus kalian akan kutangkap hidup-hidup! Kecap! teriak Baju Tambalan dan bersama dua kawannya dia tertawa kembali gelak-gelak. Dewi Siluman loloskan kalung tengkorak kecil dari lehernya dan memegang benda itu di tangan kanan. Kalian lihat tengkorak ini?! Kami masih belum buta! jawab Baju Rombeng. Tentu saja! Kalian memang belum buta! Tapi apa kalian tahu bahwa jika kalian sudah mampus, tengkorak-tengkorak kalian akan dimasukkan ke dalam dapur penggodok, dibikin kecil ciut macam begini untuk jadi kalung anak-anak buahku?! Ah, hebat sekali! seru Baju Gombrong. Tapi apakah kau juga tahu kalau kau mampus daging tubuhmu akan kami suruh gerogoti oleh anak-anak buahmu sendiri agar kau dan mereka benar-benar jadi siluman?! Tiga Aneh Gila tertawa membahak. Dewi Siluman tak dapat menahan diri lagi. Tangan kirinya menyelinap ke balik jubah untuk mengeluarkan sebuah jala biru yang terbuat dari sutera yang sangat halus laksana jaring laba-laba. Sambil putar-putar kalung bermata tengkorak di tangan kanannya Dewi Siluman maju mendekati Tiga Aneh Gila. Tiga Aneh Gila sambil terus tertawa-tawa, secara acuh tak acuh melangkah berpencar dan diam-diam sudah mengurung sang Dewi dari tiga jurusan.

***

WIRO SABLENG DEWI SILUMAN BUKIT TUNGGUL

Gila. Tiba-tiba dari mulut sang Dewi keluar suara seperti orang menangis. Eh... eh... eh! ujar Baju Rombeng. Siluman ini disamping teriakteriak dan membentak rupanya pandai pula menangis! Tiga Aneh Gila kemudian tertawa memingkal. Namun kali ini tawa mereka terhenti dengan tiba-tiba. Tengkorak yang berputar mendadak sontak menebarkan asap biru yang tebal sekali menutupi pemandangan Tiga Aneh Gila. Kawan-kawan cepat mundur! teriak Baju Rombeng. Dalam buta pemandangan itu ketiganya berlompatan ke belakang. Namun di saat itu pula jala sutera halus di tangan kiri Dewi Siluman menebar berputar laksana kitiran. Celaka! seru Baju Tambalan. Dirasakannya sesuatu benda melibat pinggangnya kemudian sepasang lengan dan kakinya. Pastilah itu jala sutera Dewi Siluman. Dalam gelapnya kepulan asap biru Baju Tambalan coba lepaskan diri tapi tak berhasil sedang kemudian dia mendengar susul menyusul seruan kedua kawannya. Dewi Siluman kini memutar kalung tengkoraknya pada arah yang berlawanan dari tadi. Asap putih mendesis dari mulut tengkorak kecil itu dan dalam sekejap saja lenyaplah asap biru yang gelap. Ruangan Putih kembali berada dalam keadaan terang benderang. Dan saat itu kelihatanlah bagaimana Tiga Aneh Gila berdiri di tengah ruangan dengan sekujur badan terjirat jala biru, tak sanggup lepaskan diri. Dewi Siluman tertawa mengekeh. Kalung tengkoraknya digantungkannya kembali ke leher. Nyatanya Tiga Aneh Gila hanya tokoh-tokoh silat picisan belaka! ejek Dewi Siluman. Sekarang kalian akan tahu siapa Dewi Siluman!

EWI Siluman perhatikan posisi ketiga lawannya sementara kalung tengkorak di tangannya menderu-deru berputar dan keluarkan angin yang mengibar-ngibarkan pakaian Tiga Aneh

Anak-anak, seret tiga puntung neraka ini dan Sepuluh Jari Kematian ke Ruang Penyiksaan! Sebelum mereka merasakan siksaan neraka ada baiknya lebih dulu harus dijebloskan ke dalam siksaan dunia! Maka Tiga Aneh Gila dan Sepuluh Jari Kematian segera diseret dari Ruangan Putih dimasukkan ke dalam Ruang Penyiksaan. *** Sekarang marilah kita ikuti perjalanan Kemani bersama tiga orang kawannya dalam mencari Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212. Mereka keluar dari terowongan di sebelah selatan Bukit Tunggul. Setengah harian menyelidik keempatnya masih belum berhasil mendapatkan jejak orang yang mereka cari. Sebaiknya kita memencar! kata Kemani memberi usul pada ketiga kawannya. Dengan memencar kita bisa bergerak lebih luas. Jika salah satu dari kita berhasil melihat manusia itu segera lepaskan tanda ke udara! Tiga gadis baju biru lainnya menyetujui. Jika sampai senja kita tak berhasil menemuinya, kita harus kembali ke tempat ini untuk berkumpul dan menentukan langkah selanjutnya. Maka keempat anak buah Dewi Siluman itu pun memencarlah. Hari pertama itu, sesenja-senja hari keempatnya tak berhasil menemui orang yang mereka cari. Keempatnya berkumpul di tempat yang telah ditentukan dan membuat kemah di situ. Paginya mereka meneruskan lagi pencarian. Meskipun Madura cuma sebuah pulau namun penuh dengan rimba belantara serta bukit-bukit dan pegunungan-pegunungan liar yang jarang ditempuh manusia. Inilah yang menyukarkan bagi keempat anak buah Dewi Siluman itu untuk mencari Wiro Sableng. Dan pada hari yang kedua itu mereka masih belum berhasil. Keempatnya berkumpul di satu lamping gunung kapur. Ke manapun mereka memandang hanya warna putih yang mereka lihat. Menjelang senja seorang dari mereka melihat kelapkelip nyala api di sebelah utara. Mungkin dia. desis Kemani. Setelah berunding singkat, keempatnya segera tinggalkan lamping gunung kapur. Empat kali sepeminuman teh mereka sampai ke tempat nyala api itu. Ternyata yang mereka lihat itu ialah nyala api unggun. Tak jauh dari api unggun ini terletak satu buntalan. Pastilah

di tempat itu ada yang berkemah. Tapi tak satu orang pun yang kelihatan. Kemani dan kawan-kawan menunggu sampai dua kali sepeminuman teh. Tetap tak ada satu orang pun yang muncul. Keempatnya berunding lagi lalu dengan penuh waspada melangkah untuk mendekat dan memeriksa isi buntalan di dekat api unggun. Baru saja keempatnya bergerak sejauh tiga langkah entah dari mana datangnya berkelebatlah satu bayangan putih. Demikian cepatnya sehingga keempat anak buah Dewi Siluman tak dapat memastikan bayangan apakah itu. Dan tahu-tahu mereka merasakan satu totokan pada pangkal leher mereka yang membuat diri mereka kaku tegang tak bisa bergerak, tak bisa buka suara. Sekali lagi bayangan putih itu berkelebat dan sesaput angin aneh menyambar mata mereka. Keempatnya mendadak sontak merasa berat kelopak mata masing-masing. Kantuk aneh tak tertahankan lagi sehingga dalam keadaan tubuh tertotok itu keempatnya kemudian pejamkan mata tertidur nyenyak. Suara tertawa aneh menyeramkan macam ringkikan kuda, menggeletar di seantero tempat. Satu bayangan putih berkelebat lagi dan sekaligus memboyong keempat gadis berbaju biru itu. *** Dewi Siluman berdiri di belakang jendela di anjungan ketiga. Dipandangnya kolam dan taman bagus di bawah sana. Tapi pikirannya tidak tertuju pada apa yang dilihatnya melainkan pada empat orang anak buahnya yang telah dikirimnya untuk mencari dan menangkap pemuda yang tak berhasil ditawan oleh Nariti dan kawan-kawannya, sampai-sampai Nariti sendiri dihukum dan disiksa di Ruang Hitam. Dan kini sudah memasuki hari yang kelima, empat orang anak buahnya itu masih belum muncul. Mungkin keempatnya belum berhasil mencari si pemuda. Tapi mungkin juga keempatnya telah menjadi korban. Mengingat ini Dewi Siluman menjadi sedikit khawatir. Tiba-tiba pintu di belakangnya diketuk. Masuk! ujar Dewi Siluman. Pintu terbuka. Seorang gadis berkulit putih yang rambutnya disanggul ke atas menjura tiga kali di hadapan Sang Dewi. Ada keperluan apa kau menghadap, Sarinten? Gadis yang bernama Sarinten menjawab. Ketika aku meronda tak berapa jauh dari daerah kapur, aku menemui tusuk kundai ini, Dewi. Sarinten mengacungkan tangan kirinya yang menggenggam

sebuah tusuk kundai dari perak. Lalu katanya meneruskan. Benda ini kutemukan di satu tempat di mana ada bekas-bekas perapian. Dan Dewi, aku yakin betul ini adalah tusuk kundainya Kemani... Sepasang mata Dewi Siluman kelihatan mengecil. Aku khawatir Kemani dan kawan-kawan menemui hal-hal yang tak kita ingini. ujar Sarinten lagi. Apakah ada tanda-tanda bekas perkelahian? tanya Dewi Siluman. Tak bisa kupastikan Dewi. Dewi Siluman merenung sejenak. Kemudian. Baik Sarinten, kau boleh tinggalkan kamar ini. Aku akan memikirkan apa yang bakal dilakukan! Sarinten menjura tiga kali lalu meninggalkan anjungan itu. Dewi Siluman kembali putar badan dan memandang ke luar jendela. Ketika melihat tusuk kundai yang diacungkan oleh Sarinten tadi, sebenarnya Dewi Siluman merasa pasti bahwa telah terjadi apa-apa dengan Kemani dan kawan-kawannya. Dan kalau memang pemuda yang tengah dicari-cari itu yang punya pekerjaan, yakinlah Dewi Siluman bahwa si pemuda sungguh-sungguh berilmu tinggi. Nariti adalah anak buahnya yang berilmu tinggi sedang Kemani dua tingkat lebih tinggi dari Nariti dan tetap tugas yang mereka laksanakan tidak membawa hasil bahkan semakin menimbulkan kekhawatiran. Yang membuat Dewi Siluman tambah penasaran ialah karena sampai sebegitu jauh dia masih belum tahu siapa adanya pemuda itu. Siapa namanya, siapa julukan atau gelarannya. Tiba-tiba dia ingat pada Sepuluh Jari Kematian yang telah dijebloskan ke dalam Ruang Penyiksaan. Mungkin dia tahu siapa pemuda itu. Dewi Siluman tepukkan tangannya dua kali. Pintu terbuka, seorang gadis baju biru masuk. Selagi gadis ini menjura maka sang Dewi sudah buka mulutnya. Apakah Sepuluh Jari Kematian masih hidup?! Akan aku periksa Dewi. Kemarin dia masih bernafas satu-satu... Jika dia masih hidup, lekas bawa ke Ruangan Putih. Aku menunggu di sana! Baik, Dewi. dan gadis ini menjura lagi lalu keluar dengan cepat. Dia adalah anak buah Dewi Siluman yang bertugas di Ruang Penyiksaan. Begitu gadis itu berlalu, Dewi Siluman segera tinggalkan kamar di anjungan ketiga itu.

Tak lama menunggu maka sebuah kerangkeng dari besi yang beroda didorong memasuki Ruangan Putih. Di dalamnya menggeletak Sepuluh Jari Kematian. Keadaannya seperti sudah mati dan mengerikan sekali. Dia tak mengenakan jubah hitam lagi tapi hanya bercawat kecil. Sekujur badannya penuh bengkak-bengkak hijau merah yang mengandung nanah. Di antara bengkak-bengkak itu banyak yang telah pecah mengeluarkan nanah campur darah yang baunya busuk laksana merurutkan bulu hidung. Rambutnya yang panjang acak-acakan. Mukanya hampir tak bisa lagi dikenali karena penuh dengan bengkak-bengkak menggembung berselomotan nanah dan darah. Kedua matanya kini hanya merupakan rongga-rongga besar yang menggidikkan. Penyiksaan yang dialami tokoh silat ini benar-benar luar biasa. Di dalam Ruang Penyiksaan dia mula-mula digantung kaki ke atas kepala ke bawah. Satu hari berlalu maka dia dibawa ke Ruangan Putih dan dihadapkan pada Dewi Siluman. Tapi sewaktu Sepuluh Jari Kematian tetap tidak mau tunduk pada kemauan sang Dewi untuk masuk menjadi pengikutnya maka dia dijebloskan kembali ke Ruang Penyiksaan, digantung lagi kaki ke atas kepala ke bawah. Dua hari kemudian darah mulai menggusur dari mata, telinga serta hidung dan mulutnya sedang kepalanya saat demi saat makin gembung seperti balon. Hari berikutnya Dewi Siluman membebaskannya dan ditanyai apakah bersedia merubah pikirannya dan masuk ke pihak Dewi Siluman. Tapi jawabannya Sepuluh Jari Kematian adalah caci maki bahkan tokoh silat itu telah meludahi muka Dewi Siluman. Kemarahan Dewi Siluman tiada terkirakan. Sepuluh Jari Kematian dijebloskan kembali ke Ruang Penyiksaan dan dimasukkan ke sebuah ruangan kaca tertutup. Ke dalam ruangan kaca ini dimasukkan puluhan binatang-binatang berbisa. Sepuluh Jari Kematian tak bisa berbuat apa-apa. Tangan dan kakinya diikat dengan benang sutera halus yang aneh dan kuat luar biasa sedang kekuatannya lumpuh karena ditotok. Dalam tempo satu hari saja maka habislah bengkak-bengkak sekujur tubuhnya disengat oleh puluhan binatang berbisa. Kedua belah matanya membusuk dan digerogoti sehingga hanya tinggal merupakan dua buah lobang yang mengerikan. Kalau saja Sepuluh Jari Kematian tidak memiliki kekuatan yang luar biasa, pastilah nyawanya sudah lepas karena siksaan yang sangat hebat itu. Namun sampai saat itu, meskipun tak ada harapan untuk hidup, Sepuluh Jari Kematian masih bisa

bernafas, sekalipun nafas itu tak lebih dari nafas-nafas terakhir yang akan mengantarkannya kepada titik kematian. Dewi Siluman tutup indra penciumannya sewaktu bau busuk keluar dari tubuh Sepuluh Jari Kematian merambas hidungnya. Diperhatikannya tubuh tokoh silat itu seketika. Ternyata masih bernafas. Sepuluh Jari Kematian! seru Dewi Siluman. Tubuh yang menggeletak di dalam kerangkeng besi itu tiada bergerak. Sepuluh Jari Kematian! seru Dewi Siluman lebih keras. Tetap tak ada reaksi apa-apa. Dewi Siluman berpaling kepada Sarinten yang tadi mendorong kerangkeng beroda itu. Semprot dia dengan air biru! Sarinten tinggalkan Ruangan Putih. Ketika dia masuk kembali maka di tangan kanannya ada sebuah tabung kaca berbentuk kendi yang berisi sejenis cairan berwarna biru. Sarinten mendekati kerangkeng besi. Bagian atas dari tabung kaca itu ditekannya dengan ujung jari telunjuk. Terdengar suara mendesis. Dari sebuah lubang pada badan tabung menyemprotlah air biru ke sekujur tubuh Sepuluh Jari Kematian yang menggeletak di dalam kerangkeng. Bau busuk dengan serta-merta lenyap. Lewat sepeminum teh, terjadilah hal yang aneh. Dari mulut Sepuluh Jari Kematian terdengar suara erangan. Kemudian tubuhnya kelihatan bergerak perlahan. Semprotan air biru tadi nyatanya bukan saja telah melepaskan Sepuluh Jari Kematian dari totokan sejak beberapa hari yang lalu, tapi sekaligus juga memberikan satu kekuatan aneh kepadanya. Namun karena sekujur tubuhnya menderita luar biasa maka tetap saja dari mulutnya keluar suara erangan kesakitan. Sepuluh Jari Kematian! seru Dewi Siluman. Erangan tokoh silat itu terhenti seketika, kepalanya bergerak. Agaknya dia tengah meneliti suara siapa yang memanggilnya. Sepuluh Jari Kematian, kau dengar aku bicara?! Uh... uuuuu... uuh... gadis iblis. Baiknya kau bunuh saja aku saat ini! Rupanya Sepuluh Jari Kematian sudah mengetahui siapa yang bicara dengan dia. Dengar, nyawamu akan kuselamatkan jika... Iblis laknat, kau bunuh aku cepat! Biar aku jadi setan dan mencekikmu...!

Dewi Siluman tahan amarahnya yang mulai meluap. Kau tak akan mati Sepuluh Jari Kematian. Aku datang justru untuk selamatkan jiwamu... Sepuluh Jari Kematian mendengus. Dia coba untuk bangun dan duduk, tapi tak berhasil. Apakah kau juga bisa kembalikan dua mataku yang kini buta ini, gadis siluman laknat?! sentak Sepuluh Jari Kematian. Jika kau tak mau dengar ucapanku terpaksa kau kukirim kembali ke Ruang Penyiksaan! Aku tidak takut! Aku ingin lekas mampus biar cepat jadi setan dan memuntir batang lehermu! tukas Sepuluh Jari Kematian. Penasaran sekali Dewi Siluman memerintah pada Sarinten. Ambil besi menyala! Sarinten tinggalkan Ruangan Putih dan kembali lagi dengan sepotong besi besar yang ujungnya merah menyala karena dibakar dengan api. Dewi Siluman mengambil besi itu, ujungnya kemudian didekatkan ke muka Sepuluh Jari Kematian. Tokoh silat golongan hitam ini tampak menyeringai kesakitan akibat panasnya besi yang terbakar itu. Sepuluh Jari Kematian, jangan jadi orang tolol! Bagaimanapun keadaanmu sekarang, kau tetap akan bisa selamat dan hidup terus. Lekas katakan siapa adanya pemuda yang tempo hari melarikan diri sewaktu anak-anak buahku mendatangi kau! Siapa namanya, gelar dan asal dari mana! Cepat! Sepuluh Jari Kematian kelihatan tercenung. Tiba-tiba dari mulutnya mengumandang rendah suara tertawa mengekeh. Kalau aku sudah mampus dan jadi setan, baru aku kasih tahu padamu! jawab laki-laki itu. Ujung besi yang merah terbakar didekatkan kembali ke muka Sepuluh Jari Kematian. Kembali manusia ini kernyitkan muka karena hawa yang panas. Lekas terangkan! sentak Dewi Siluman. Dia sudah tidak sabar sekali. Sepuluh Jari Kematian hentikan kekehannya. Gadis iblis, yang perlu kukatakan pada kau... ialah... kau bakal tak sanggup menghadapi pemuda itu! Ilmu silatnya lebih tinggi... dan... dan kesaktiannya lebih hebat dari kau! Kau akan mampus di tangannya... Kau... akan... Ucapan Sepuluh Jari Kematian cuma sampai di situ. Dari

mulutnya kini keluar lolongan yang mengerikan karena saat itu Dewi Siluman menusukkan ujung besi yang merah menyala ke pipi kanannya. Bukan saja pipi itu terpanggang hangus tapi juga menjadi bolong besar. Masukkan manusia tak berguna ini ke Ruang Penyiksaan kembali! perintah Dewi Siluman. Maka Sarinten kemudian mendorong kerangkeng besi setelah menerima besi merah menyala dari tangan sang Dewi.

***

WIRO SABLENG DEWI SILUMAN BUKIT TUNGGUL

INGGAL sendirian di kamar pada anjungan ke tiga itu Dewi Siluman kembali memikirkan tentang keempat orang anak buahnya. Mungkin sekali mereka telah menjadi korban si pemuda sakti yang sampai saat itu tiada diketahuinya siapa adanya. Keesokan harinya tiada kabar tentang Kemani maka Dewi Siluman segera memanggil anak buahnya yang bernama Laruni. Laruni adalah anak buah Dewi Siluman yang paling tinggi ilmunya. Tiga perempat bagian ilmu silat Dewi Siluman sudah dikuasainya dengan sempurna. Waktu Laruni datang menghadap, Dewi Siluman menunggunya bersama Sarinten, Inani dan seorang gadis lainnya bernama Wakania. Dewi Siluman tidak membuang-buang waktu, segera dia berkata, Laruni, aku percayakan satu tugas kepadamu yang harus kau laksanakan dengan baik. Kau tentu sudah tahu bahwa empat kawanmu di bawah pimpinan Kemani telah kuperintahkan untuk mencari seorang pemuda berkepandaian tinggi. Pemuda itu kini malang-melintang di pulau kita dan merupakan bahaya besar bagi kita serta setiap rencana kita. Keempat kawanmu itu tidak kembali sampai hari ini. Aku khawatir bahwa mereka menemui hal-hal yang tak diingini. Kuharap kau bisa menyelidiki apa yang telah terjadi dengan mereka dan paling penting ialah mencari serta menangkap hidup-hidup pemuda itu, membawanya kemari. Tugasmu siap kulaksanakan, Dewi. kata Laruni menyahuti. Apakah aku akan pergi seorang diri?! Seorang diri aku percaya kau akan mampu melaksanakan tugasmu. jawab Dewi Siluman. Namun kurasa akan lebih baik jika kawan-kawanmu yang tiga orang ini ikut bersamamu. Dewi Siluman kemudian palingkan kepala pada Inani. Setelah menatap gadis jelita berkulit kuning langsat itu sejurus maka berkatalah dia, Inani, kau pergi bersama Laruni dan bawa

kecapimu. Bukan saja Inani, tapi Sarinten, Laruni dan Wakania menjadi heran mendengar ucapan sang Dewi. Adakah seorang yang hendak ditugaskan mencari musuh lawan hebat disuruh membawa kecapi? Sungguh tak dapat dimengerti mengapa sang Dewi menyuruh demikian. Kalian mungkin heran. ujar Dewi Siluman sambil pandangi paras keempat anak buahnya. Tapi justru suara petikan kecapi di rimba belantara yang sunyi atau di lamping gunung atau di tepi jurang yang curam, akan menarik perhatian setiap telinga manusia yang kebetulan mendengarnya! Dengan kerahkan tenaga dalammu maka suara kecapi itu akan menggema jauh. Ini akan mengundang datangnya pemuda yang tengah kalian cari. Dan kalian akan mudah menangkapnya! Diam-diam keempat orang gadis itu memuji kecerdasan Dewi mereka. Setelah mengatur persiapan untuk perjalanan maka berangkatlah Laruni dan kawan-kawannya. Di kaki sebuah bukit, mereka mengatur rencana dan berpencaran. Laruni ke utara, Sarinten ke selatan, Wakania ke timur dan Inani ke barat. *** Wiro Sableng, si Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 berdiri di muka goa batu, memandang ke arah pedataran liar di bawahnya. Sinar matahari yang baru naik di ufuk timur membuat pemandangan lebih bagus dan indah. Anak sungai yang membujur di sebelah tenggara kelihatan berkilau-kilau disaputi sinar matahari itu. Batubatu cadas hitam bergemerlap. Wiro menarik nafas dalam, menghirup udara pagi yang segar. Diperhatikannya lengan kanannya. Dia gembira sekali karena lengan yang tempo hari patah itu kini sudah sembuh. Berarti hari itu adalah hari di mana dia kembali memulai menyelidiki di mana letaknya sarang Dewi Siluman. Sebenarnya pendekar ini ingin lebih dahulu mencari Goa Belerang, yaitu goa yang diterangkan secara misterius dalam tulisan manusia aneh yang telah mengencingi kepalanya dulu itu. Namun karena waktu yang disebutkan dalam tulisan itu ialah bulan purnama empat belas hari maka dia musti menunggu, kira-kira empat lima hari di muka. Wiro tak suka menunggu, untuk menghabiskan waktunya dia memutuskan mulai menyelidiki tentang Dewi Siluman. Demikianlah, setelah menikmati pemandangan indah serta puas

menghirup udara pagi yang segar maka Pendekar 212 ini segera tinggalkan goa. Suara siulannya menggema di keheningan pagi membawakan lagu tak menentu, membuat takut binatang-binatang kecil membuat burung-burung terkejut dan menghentikan kicau lalu terbang ketakutan. Di antara suara siulannya yang tak menentu itu mendadak lapatlapat Wiro Sableng menangkap suara sesuatu di kejauhan. Pendekar ini hentikan langkah serta siulannya. Suara di kejauhan itu adalah suara bunyi-bunyian. Tak dapat dipastikan suara bunyi-bunyian apa. Dipertajamnya telinganya, tapi karena suara bunyi-bunyian itu jauh sekali tetap saja sukar dikenalinya. Penuh rasa ingin tahu maka Wiro Sableng kemudian langkahkan kakinya ke arah datangnya suara tersebut. Lewat sepeminum teh suara bunyi-bunyian itu tambah jelas tapi agaknya masih jauh. Maka dari melangkah biasa, Wiro Sableng mulai berlari dengan cepat. Lewat lagi sepeminum teh, suara bunyibunyian itu tambah jelas tapi sumbernya masih jauh. Rasa aneh menjalari diri Pendekar 212. Jangan-jangan pendengarannya telah menipu diri sendiri. Atau mungkin suara bunyi-bunyian itu adalah suara setan atau bangsa dedemit penghuni rimba belantara?! Kalau tidak mengapa setelah demikian lamanya sumber suara tersebut masih belum berhasil dicapainya?! Ketika lewat lagi satu kali peminum teh maka barulah Wiro Sableng mengenali suara bunyi-bunyian itu. Suara petikan kecapi. Dia tak tahu lagu apa yang dibawakan, tapi suaranya demikian merdu dan menyayat hati. Mungkin itu lagu seorang gadis yang ditinggal kekasih, pikir sang Pendekar 212! Mendekati sumber bebunyian itu Wiro bertindak hati-hati. Rasa aneh yang menggerayangi tubuhnya menjadi satu peringatan baginya. Jarak antara dia pertama kali mendengar suara itu tadi jauh sekali, berkilokilo meter. Suara kecapi biasa tak akan mungkin bisa terdengar sampai demikian jauhnya. Kemudian siapa pulakah yang memetik kecapi itu? Tanpa menimbulkan suara sedikit pun Wiro menyeruak semak belukar lebat. Dilewatinya segerombolan pohon-pohon yang tumbuh dengan rapat. Kemudian di sebelah depan dilihatnya sinar terang dari matahari yang menyeruak di antara kerapatan pohon-pohon dan semak belukar. Ternyata di bagian muka sana itu adalah ujung dari sebuah lembah subur yang ditumbuhi rumput hijau. Pemandangan dari tempat ketinggian itu indah sekali karena di bawah lembah

kelihatan sebuah telaga. Namun Pendekar 212 sama sekali tidak tertarik dan perhatikan keindahan pemandangan itu. Dia bergerak ke samping kiri dari mana suara kecapi terdengar santer sekali. Dia masih belum melihat manusia dan kecapi itu. Mungkin terlindung di balik semak-semak rapat di dekat pohon beringin besar. Maka Wiro dengan langkah cepat tanpa suara menuju ke balik pohon beringin. Matanya memandang tajam menembus di antara celah-celah semak belukar. Dan terkejutlah Pendekar 212 Wiro Sableng. Betapa tidak. Apa yang disaksikannya hampir tak bisa dipercayanya. Di balik semak belukar itu terhampar sebuah batu hitam besar laksana pelaminan, menghadap di lembah subur. Dan di atas batu besar hitam itu duduklah seorang dara jelita sekali, berbaju biru. Rambutnya diriap lepas, bergerai di bahu dan di punggungnya sampai ke pinggang. Sinar matahari membuat rambut yang hitam itu berkilauan. Di pangkuan sang dara terletak sebuah kecapi yang kayunya bagus diukir-ukir. Jari-jari si gadis menari-nari dengan lincahnya di atas sinar-sinar kecapi itu. Dan dia memainkannya tanpa matanya memandang pada kecapi itu tapi memperhatikan keindahan lembah di bawahnya. Betapa ahlinya dia memainkan kecapi itu dan betapa indahnya lagu yang dibawakannya. Untuk beberapa lamanya Pendekar 212 dibikin terpesona, bukan saja oleh kepandaiannya dan keindahan permainan kecapi si dara baju biru, tapi juga oleh kejelitaan parasnya. Beberapa lama kemudian barulah Wiro Sableng menyadari bahwa cara si gadis memainkan kecapi itu bukanlah cara biasa seperti yang dimainkan oleh orang. Buktinya petikan kecapinya itu telah terdengar oleh Wiro Sableng di tempat yang sangat jauh. Pastilah si gadis baju biru memetiknya dengan disertai aliran tenaga dalam yang hebat pada jari-jari tangannya. Dan pastilah bahwa gadis jelita ini bukan gadis sembarangan. Ketika si gadis baju biru menggeser badannya sedikit maka saat itulah Wiro dapat melihat kalung tengkorak kecil yang tergantung di lehernya. Terkesiaplah pendekar ini. Baju biru, kalung tengkorak kecil, itulah ciri-ciri dandanannya anak buah Dewi Siluman dari Bukit Tunggul. Karena memaklumi bahwa si gadis meskipun masih belia tapi berilmu tinggi dan memiliki tenaga dalam sempurna maka Wiro Sableng tak mau bertindak sembrono. Dia menunggu sampai beberapa lama, tapi si gadis agaknya masih belum mau

menghentikan petikan kecapinya. Akhirnya pendekar kita putuskan untuk keluar dari balik pohon beringin tanpa menunggu sampai si baju biru itu menyudahi permainan kecapinya. Sambil mendehem maka Wiro Sableng munculkan diri. Meskipun dia memainkan kecapi adalah sengaja untuk mengundang datangnya orang yang tengah dicari, namun suara deheman tadi membuat Inani gadis yang memainkan kecapi itu jadi terkejut juga. Belum dia berpaling, didengarnya suara laki-laki berkata. Petikan kecapimu sedap sekali, Saudari. Lagunya pun indah! Inani hentikan permainannya dan putar kepala dengan cepat. Di hadapannya kini berdiri seorang pemuda berambut gondrong bertampang gagah. Pakaiannya putih-putih dan tubuhnya tegap kekar. Meskipun sudah dewasa namun pandangan matanya seperti mata anak-anak, membayangkan kepolosan dan kejujuran hati. Meski terkesiap beradu pandangan dengan Pendekar 212, namun begitu ingat tugasnya, maka membentaklah Inani. Siapa kau? Wiro Sableng sunggingkan senyum. Ah kenapa kau hentikan permainan kecapimu, Saudari? Rupanya aku mengganggumu saja. Harap maafkan. Aku... Jangan banyak bicara! Lekas terangkan siapa kau! Tadinya tengah menggembalakan kerbau di sebelah timur lembah ini. Kemudian kudengar suara petikan kecapimu lalu datang ke sini... Jadi kau gembala, huh? Betul! sahut Wiro. Jangan dusta! Kau pasti pemuda yang tempo hari larikan diri ketika mau ditangkap! Habis membentak begitu maka Inani segera gerakkan tangan kanannya ke balik pakaian. Sebuah benda terbentuk bola hendak dilemparkannya ke udara. Bola ini adalah tanda yang harus dilepaskannya ke udara, untuk memberitahukan kepada kawankawannya bahwa dia telah berhasil menemukan orang yang mereka cari. Di udara bola itu akan pecah dan memancarkan warna merah hingga mudah dilihat. Tapi sebelum tangannya sempat melemparkan bola itu, Pendekar 212 Wiro Sableng sudah tangkap pergelangan tangan kanan Inani. Keduanya saling tarik menarik dan saling pandang menyorot. Betapa pun si gadis kerahkan tenaganya tetap

saja dia tak sanggup lepaskan pegangan Wiro. Lepaskan tanganku! teriak Inani. Rasa aneh menjalari dirinya. Seumur hidup itulah pertama kali seorang laki-laki menyentuh kulit tubuhnya. Aku akan lepaskan, kata Wiro sambil tersenyum. Tapi benda ini harus kau berikan dulu padaku. Kurang ajar. Lepaskan tanganku! sentak Inani. Wiro gelengkan kepala. Berikan dulu benda ini, Saudari. Baru kulepaskan. katanya. Dengan mengkal Inani lepaskan bola itu yang segera diambil dengan tangan kiri Wiro Sableng. Kemudian baru dilepaskannya lengan si gadis. Tengah Wiro meneliti benda berbentuk bola itu tibatiba Inani berdiri dan lemparkan kecapinya ke arah si pemuda. Cepat-cepat Wiro Sableng berkelit. Kecapi lewat menderu di atas kepalanya. Ketika benda itu hampir menghantam pohon beringin dan pasti akan hancur, Wiro cepat melompat dan menangkap kecapi itu. Lalu sambil geleng-gelengkan kepala dia berkata. Saudari, gerakanmu melemparkan benda ini hebat sekali. Tapi sungguh sayang kalau kecapi yang bagus ini hancur berantakan! Perlahan-lahan Wiro Sableng letakkan kecapi di kaki pohon beringin. Baru saja itu dilakukannya maka si gadis sudah menerjang menyerangnya. Kalau tidak lekas si pemuda menyingkir pastilah sebuah tendangan akan mendarat di perutnya. Eh, Saudari. Apa-apaan ini! Tak ada hujan tak ada angin, tak ada pasal tak ada lantaran, kenapa kau menyerang aku?! Sebagai jawaban Inani keluarkan jala sutera biru. Benda ini segera diputar menderu di atas kepalanya. Didahului dengan lengkingan keras, Inani lancarkan pukulan tangan kiri dan kirimkan satu tendangan. Angin serangan ini demikian hebatnya membuat pakaian dan rambut Pendekar 212 sampai berkibaran, sementara dia mengelakkan dua serangan ini, maka jala biru berkelebat dan menebar ke arah kepalanya. Wiro cepat tundukkan kepala tapi jala sutera biru terus memapas hendak melibat pinggangnya. Sekali lagi Wiro mengelak dan sekali lagi pula jala itu menyusup laksana kilat ke arah kedua kakinya. Hebat! seru Wiro memuji seraya melompat dua tombak. Penasaran sekali Inani kembali memburu dengan gempuran serangan yang lebih hebat. Tapi walau bagaimanapun Pendekar 212 bukanlah semudah yang diduganya untuk dirubuhkan. Sedang

sampai saat itu Wiro sama sekali mengambil sikap mengelak, tak sekalipun balas menyerang. Kenapa mengelak terus, tak berani menyerang?! bentak Inani penuh penasaran. Dia berharap-harap salah seorang kawannya muncul di situ agar bisa membekuk si pemuda. Hentikan seranganmu, Saudari. Kita toh tidak punya permusuhan. Mari bicara dulu baik-baik. Kalau kau mau bicara, bicaralah nanti di hadapan Dewi Siluman! Oh, jadi kau anak buahnya Dewi Siluman? Kau tahu Saudari, Dewimu itu kawan baikku! Karena merasa dipermainkan dengan ucapan itu maka Inani menyerang lagi dengan lebih ganas. Dia keluarkan jurus-jurus yang mengandung tipu berbahaya. Tiada terasa, dua puluh jurus telah berlalu. Jika Wiro mengadakan perlawanan pastilah tidak semudah dan sebanyak itu jurus yang bisa dilewati Inani. Saudari! Jika kau tak mau hentikan seranganmu terpaksa aku turunkan tangan kasar! memperingatkan Wiro. Kalau kau memang punya kepandaian silahkan balas seranganku! Kukira kau bukan pemuda banci yang cuma pandai berkelit dan mengelak saja! Wiro panas sekali dikatakan pemuda banci. Harap kau jangan menyesal, Saudari! katanya seraya pasang kuda-kuda. Pukulan tangan kosong yang menimbulkan angin keras melanda ke arah Wiro. Di saat yang sama jala sutera menderu dari atas ke bawah dalam satu gerakan yang luar bisa cepatnya. Gadis cantik! seru Wiro. Lihat baik-baik. Ini jurus Menepuk Gunung Memukul Bukit. Pegang kuat-kuat jalamu, kalau tidak akan kurampas! Habis berkata begitu Wiro hantamkan dengan perlahan telapak tangan kirinya ke muka sedang tangan kanan membuat gerakan cepat ke samping sesuai dengan sambaran jala. Tubuhnya sedikit menekuk. Pemuda sombong! maki Inani. Kau akan terima nasib sial di dalam jalaku! Dan si gadis lipat gandakan tenaga dalamnya. Tiba-tiba dia terkesiap karena pukulan tangan kosongnya dipapasi oleh satu sambaran angin deras yang keluar dari telapak tangan kiri lawan. Belum lagi habis rasa terkesiap ini sekejap

kemudian dirasakannya jala sutera birunya yang tadi telah menebar kini menciut lagi ujungnya. Ketika kejapan berikutnya berlalu, Inani merasakan tangannya yang memegang jala laksana dipelintir dan tahu-tahu jala sutera itu terlepas dari tangannya, kena dirampas oleh Wiro Sableng. Pendekar 212 tertawa dan main-mainkan jala sutera biru yang berhasil dirampasnya. Apakah kau masih belum mau menghentikan pertempuran dan bicara dulu baik-baik? tanya Wiro pula. Sebagai jawaban malah Inani loloskan kalung tengkorak dari lehernya. Kemudian dengan sebat menyerang ke arah sang pendekar. Di antara suara menderu kerasnya sambaran kalung tengkorak maka terdengar pula suara mendesis. Dari mata dan hidung tengkorak kecil itu mengebul asap biru yang tebal gelap dan menebarkan bau aneh menusuk hidung. Pendekar 212 terkejut bukan main. Dia masih mempermainkan jala sutera sewaktu asap biru yang sangat pekat itu telah membungkus dirinya.

***

WIRO SABLENG DEWI SILUMAN BUKIT TUNGGUL

10

ENDEKAR 212 Wiro Sableng segera maklum bahwa asap biru pekat yang membungkus diri dan membuat matanya tak bisa melihat apapun adalah sangat berbahaya dan mengandung obat jahat yang bisa melemahkan tubuh. Dengan cepat pendekar ini tutup jalan nafas lalu melompat ke samping. Tapi anehnya lompatan itu tidak membuat dia keluar dari kurungan asap. Di sekelilingnya masih gelap gulita. Wiro Sableng pusatkan tenaga dalamnya pada kedua kaki. Dengan membentak nyaring pendekar ini membuat gerakan yang dinamakan Gunung Meletus Batu Melesat ke Luar Kawah. Gerakan ini membuat tubuhnya mencelat laksana anak panah lepas dari busurnya. Di lain pihak Inani begitu melihat lawannya terbungkus asap biru segera pergunakan tangan kiri untuk mengambil segulung benang yang sangat halus, sehalus jaring laba-laba. Sekali menyentakkan maka gulungan benang yang terbuat dari sutera itu menerobos asap biru gelap laksana seekor ular. Inani gembira sekali sewaktu benang suteranya dirasakannya melibat sasarannya di dalam asap gelap itu. Setelah yakin betul-betul bahwa Wiro Sableng tidak berdaya lagi dilibat benang sakti tersebut maka Inani semprotkan asap putih dari mulut kalung tengkorak. Sekejapan kemudian maka sirnalah asap biru gelap dan suasana menjadi terang benderang kini. Dan betapa terkejutnya gadis jelita berbaju biru ini. Yang dilibat oleh benang suteranya bukanlah tubuh lawannya, melainkan pohon beringin besar yang terletak kita-kira sepuluh langkah di hadapannya. Inani memandang berkeliling dengan cepat. Di belakangnya Wiro Sableng tertawa gelak-gelak. Sejak kapan ada manusia yang bermusuhan dengan pohon beringin?! ejek Wiro. Penuh geram Inani gulung dengan cepat benang suteranya.

Dengan kalung tengkorak di tangan kembali dia menyerang Wiro Sableng. Sang pendekar sendiri menyambut kedatangan si gadis dengan putaran jala biru. Sekali-sekali kau musti merasakan juga bagaimana kalau jala ini melibat dirimu sendiri! ujar Wiro. Inani tidak percaya bahwa si pemuda akan sanggup gunakan jala itu karena untuk memakainya mempunyai cara tersendiri yang hanya anak-anak buah Dewi Siluman yang mengetahuinya. Karenanya tanpa ada keraguan sedikit pun Inani sama sekali tidak batalkan serangannya. Kalung tengkorak yang kekuatannya lebih keras dari bola baja itu menyambar ganas siap untuk menghancurkan kepala lawannya. Tapi betapa terkejutnya gadis ini sewaktu di kejap yang sama jala sutera biru di tangan lawan membuka dan menebar menyungkupi tangan kanan terus kepala dan tubuhnya. Wiro Sableng adalah seorang yang. bermata tajam. Sewaktu Inani mengeluarkan jala biru itu dia merasa sangat tertarik dan memperhatikan dengan seksama bagaimana si gadis memainkan senjata tersebut. Sehingga pada saat jala itu berada di tangannya, dengan mudah dia bisa pula mempergunakannya. Inani coba berontak dan lepaskan diri dari sekapan jala. Tapi sudah terlambat. Seluruh jala telah membungkus tubuhnya sampai ke lutut. Membuat dia tak bisa lepaskan diri lagi. Wiro tertawa gelak-gelak dan berdiri tolak pinggang. Lepaskan jala ini! teriak Inani. Enak betul. sahut Wiro. Kalau kulepaskan pasti kau akan serang diriku lagi! Dan Pendekar 212 lalu melangkah ke hadapan Inani. Kau mau bikin apa?! Pergi! Eh, aku cuma mau lihat parasmu apa tidak boleh! Pergi! teriak Inani. Wiro Sableng menyengir. Dia melangkah lagi dan jarak mereka cuma terpisah dua jengkal saja. Inani dapat merasakan hembusan nafas pemuda itu di parasnya yang jelita. Sepasang mata mereka untuk kesekian kalinya beradu pandang. Pergi! Saudari, kau betul-betul inginkan aku pergi? Baik! Tapi biar kutotok dirimu dulu! Wiro lantas totok tubuh Inani sehingga si gadis kini berdiri mematung. Aku akan pergi dan kau akan sendirian di sini untuk selama-lamanya. Kalau tidak ada binatang liar buas yang

menggerogoti dirimu, kau akan mati kelaparan di sini! Lalu Pendekar 212 balikkan badan berpura-pura hendak pergi. Apa yang dikatakan Wiro terasa benar dan mengerikan bagi Inani. Ketika dilihatnya pemuda itu berlalu dia cepat berseru, Saudara, tunggu dulu! Wiro jual mahal dan terus melangkah. Saudara, kembalilah! seru Inani lagi. Wiro berpaling, Ada apa? Dengan rasa jengah dan paras merah Inani berkata, Kembalilah dulu! Lucu! Tadi kau bentak aku agar pergi! Sekarang malah menyuruh kembali! Lepaskan jala ini. Juga totokanku! Tidak bisa. jawab Wiro seraya menggeleng. Marahlah Inani. Kalau kawan-kawanku datang kau pasti akan mereka bekuk! Wiro tertawa sinis. Kau bisa berteriak memanggil mereka. katanya. Inani buka mulut betul-betul hendak berteriak. Tapi entah mengapa hal ini kemudian tak jadi dilakukannya. Malah dia berkata. Jangan kira dengan kehebatan yang kau miliki kau bisa menghadapi Dewi Siluman! Tak satu ketinggian ilmu silat, tak satu kesaktian pun yang sanggup mengalahkan Dewi Siluman! Hemm begitu...? Wiro garuk-garuk rambutnya. Aku tidak mengerti, apakah Dewi Siluman itu benar-benar seorang manusia atau seorang siluman? Apakah parasnya secantik Dewi ataukah mengerikan seperti Siluman?! Pemuda kurang ajar! Jangan kau berani lancang mulut menghina Dewi kami! bentak Inani. Eh, siapa yang menghina? Aku cuma tanya?! Jika kulepaskan kau mau berjanji memetik kecapi memainkan sebuah lagu untukku! Inani memaki-maki dalam hati. Rahang-rahangnya bertonjolan. Wiro Sableng dudukkan dirinya di atas batu besar. Sambil memandang ke lembah di hadapannya pendekar ini berkata, Dunia sungguh aneh. Siapa yang akan menyangka kalau gadis-gadis berparas cantik sanggup melakukan kejahatan luar biasa? Membunuh manusia-manusia tiada berdosa, bahkan anak-anak dan orang tua renta? Inani memandang tajam-tajam pada Pendekar 212. Aku tak

pernah membunuh manusia! Jangan main tuduh sembarangan! Wiro palingkan kepala dan memandang dengan tersenyum pada si gadis. Kau toh anak buahnya Dewi Siluman, biang penebar kematian dan kejahatan di Pulau Madura ini? Yang kabarnya, mau menguasai dunia persilatan di delapan penjuru angin?! Tapi tidak semua anak buah Dewi Siluman yang jadi pembunuh! Lantas kau jadi apa? tanya Wiro Sableng. Jadi tukang rias atau tukang kipasnya?! Sudah! Tutup mulutmu dan lekas lepaskan jala serta totokanku ini! Bersekutu dengan orang-orang jahat, menjadi anak buah orang jahat tiada beda dengan berbuat kejahatan itu sendiri! Masa muda yang begini indah, yang cuma sekali saja dalam kehidupan, dipakai untuk mengabdi pada kejahatan! Sungguh sayang. Kebahagiaan dunia tiada dapat, dan kelak di akhirat akan menerima siksaan... Aku tak perlu nasihatmu! Dengar Saudari. Aku akan bebaskan kau kalau kau berjanji mau menunjukkan di mana sarangnya Dewimu itu. Kau paksa pun aku tidak akan beritahu. jawab Inani. Sekalipun kau sampai ke sana, kau cuma akan mengantar nyawa! Wiro tersenyum. Kau tak akan bisa hidup dalam cara begini terus-terusan Saudari. Satu hari kebenaran akan datang menumpas. Kebenaran kadangkala tidak memandang bulu. Siapa yang berserikat dengan kejahatan pasti akan ditumpas, termasuk kau! Apakah gunanya hidup begitu rupa? Hidup percuma mati tiada harga? Padahal dunia ini begini indah dan semua keindahan itu untuk kita semua...? Tergetar hati Inani mendengar ucapan Pendekar 212. Mulutnya terkatup rapat-rapat. Inilah kali pertama dia bertemu dengan seorang pemuda dan ini pula pertama kali dia mendengar ucapan demikian rupa. Walau bagaimanapun Inani adalah seorang perempuan yang berperasaan halus dan lekas tersentuh lubuk hatinya. Namun demikian kehidupan di tengah-tengah anak buah Dewi Siluman telah sangat meresap dan mempengaruhi dirinya sehingga sesaat kemudian kembali gadis ini membentak agar dirinya dilepaskan. Pendekar 212 geleng-gelengkan kepala. Sayang. katanya. Dibukanya jala yang melibat tubuh Inani. Digulungnya jala sutera itu dan diletakkannya di atas bahu si gadis. Kau akan kubebaskan, kau bisa pergi dengan aman. Jangan kira

kau kubebaskan karena takut pada Dewimu itu. Aku kasihan padamu... Aku tak minta dikasihani. Kuharap kau masih mau berpikir! ujar Wiro. Kemudian dilepaskannya totokan di tubuh Inani. Di lain hari kita akan bertemu lagi, Saudari. Saat itu mungkin dalam suasana yang lain. Jangan menyesal jika nanti aku turun tangan jahat terhadapmu. Selagi masih ada kesempatan, tinggalkanlah pulau ini. Kau bisa memulai hidup baru yang jauh lebih baik... Inani tak berkata apa-apa. Dia berkelebat meninggalkan tempat itu. Saudari tunggu dulu! seru Wiro. Kecapimu ketinggalan! Si gadis baru ingat akan kecapi itu. Dia berbalik dan cepat-cepat menyambar benda itu. Sewaktu dia hendak berlalu, tiga sosok tubuh berkelebat dari arah timur. Terdengar satu seruan nyaring. Inani! Perjanjian apakah yang kau buat Sehingga kau hendak meninggalkan musuh besar kita begitu saja?! Inani terkejut sekali. Juga Wiro Sableng. Dan sedetik kemudian tiga sosok tubuh itu sudah berada di hadapan mereka!

***

WIRO SABLENG DEWI SILUMAN BUKIT TUNGGUL

11

ETIGA pendatang baru ini bukan lain daripada Sarinten, Wakania dan Laruni. Yang berseru tadi ialah Laruni. Ketiganya segera mengurung Pendekar 212. Tanpa melepaskan pandangannya yang menyorot pada Wiro Sableng Laruni bertanya pada Inani. Inani! Kenapa kau hendak tinggalkan manusia ini begitu saja?! Apa kau lupa tugas kita?! Ilmunya tinggi sekali Laruni. jawab Inani. Aku tak sanggup menghadapinya. Tapi kau bisa lepaskan tanda agar kami datang! ujar Sarinten. Sudah kulakukan. Dia berhasil merampas bola pemberi tanda itu! Lantas kau kenapa tidak berteriak...? tanya Laruni. Mulutku disekapnya. jawab Inani berdusta. Lalu dia biarkan kau pergi seenaknya? Sungguh lucu! kata Wakania menyindir. Kau tetap di tempat, Inani! Kau harus pertanggungjawabkan kesalahanmu di hadapan Dewi! bentak Laruni. Kecutlah hati Inani. Sementara itu Laruni, Sarinten dan Wakania loloskan kalung tengkorak masing-masing dan juga keluarkan jala sutera biru. Wiro hela nafas dan geleng-gelengkan kepala. Ketiga gadis itu cantik-cantik, meskipun menurut pandangannya Inani adalah lebih cantik dari kesemuanya. Dan gadis-gadis cantik beginilah yang jadi anak buah Dewi Siluman. Yang harus dihadapinya. Sungguh mereka menyia-nyiakan kecantikan mereka. Pemuda, apakah kau sudi menyerah secara baik-baik atau terpaksa kami turun tangan?! Wiro Sableng keluarkan siulan mendengar ucapan Laruni itu. Benar-benar aneh! Benar-benar aneh! kata Pendekar 212 pula. Gadis-gadis begini cantik menjadi anak buah Dewi Siluman biang

racun kejahatan kelas satu! Pemuda bermulut lancang ceriwis! Kau memilih cara kasar rupanya! Laruni memekik. Diikuti oleh Sarinten dan Wakania maka ketiganya pun berkelebat. Tiga kalung tengkorak menyambar dari tiga jurusan. Tiga kepulan asap biru menderu mengerikan dan tiga buah jala sakti menebar sebat dari kiri kanan dan sebelah belakang. Wiro Sableng yang sudah tahu kehebatan kalung tengkorak serta jala sutera biru tidak ayal lagi segera keluarkan jurus Menepuk Gunung Memukul Bukit yang disusul dengan lompatan Gunung Meletus Batu Melesat ke Luar Kawah. Tiga gadis anak buah Dewi Siluman terkejut dan penasaran bukan main sewaktu mereka menebarkan jala biru dan ternyata mereka tiada berhasil meringkus si pemuda. Mereka menyadari dan menyaksikan sendiri sekarang bahwa lawan mereka memang bukan manusia sembarangan. Laruni berikan isyarat kedipan mata kiri. Serentak dengan itu bersama Sarinten dan Wakania segera membentuk satu barisan aneh dan bertiga mereka lancarkan serangan yang bukan olah-olah dahsyatnya. Angin serangan membuat daun-daun berguguran, semak belukar beterbangan sedang akar gantung pohon beringin bergoyang-goyang kian ke mari. Wiro berteriak nyaring dan berkelebat cepat. Tapi gerakangerakan lawan, jurus-jurus silat yang dimainkan sangat aneh baginya, sukar untuk diduga dan diikuti sehingga dalam waktu lima jurus saja Pendekar 212 mulai terdesak hebat. Untungnya Wiro memiliki ilmu meringankan tubuh yang lebih tinggi dari ketiga lawan itu sehingga sampai lima jurus lagi dia masih bisa bertahan dengan gigih. Di antara ketiga lawannya Wiro mulai memaklumi bahwa Laruni adalah yang paling tinggi ilmunya. Di samping itu Wiro tahu pula bahwa ketiga lawannya itu tidak benar-benar bermaksud mencelakai dirinya tapi cuma berniat meringkus hidup-hidup. Karenanya, meskipun kemudian dia kembali terdesak hebat, Wiro Sableng tak mau balas menyerang dan menurunkan tangan jahat. Dia sengaja mengambil sikap mengelak terus-terusan. Sementara itu Inani berdiri mematung di tempatnya, tak tentu apa yang dibuat selain cuma menyaksikan jalannya pertempuran yang seru itu. Dan diam-diam melihat si pemuda terdesak, hati gadis ini menjadi khawatir. Melihat gelagat, Wiro tak akan sanggup bertahan lebih dari sepuluh jurus lagi jika dia terus-terusan mengambil sikap tidak mau

balas menyerang itu. Dan apa yang diduga Inani menjadi kenyataan. Di jurus sembilan belas, dalam satu gebrakan yang luar biasa hebatnya Wiro Sableng dipaksa berkelit cepat untuk menghindarkan serangan Sarinten dan Wakania. Pada waktu gebrakan ini terjadi Wiro Sableng masih sempat memperhatikan posisi Laruni yang tengah berdiri dengan komat-kamit, entah membaca mantera apa. Karena merasa posisi Laruni tidak berbahaya maka Wiro Sableng tidak begitu ambil perhatian terhadapnya. Begitu serangan Sarinten dan Wakania lewat, Wiro segera pasang kuda-kuda baru karena di saat itu dilihatnya kedua penyerangannya tadi membalik dengan cepat. Tapi betapa terkejutnya Pendekar 212 sewaktu dari belakang terasa sambaran angin yang luar biasa dahsyatnya. Dia tak melihat kelebatan tubuh Laruni dan tahu-tahu anak buah terpandai dari Dewi Siluman ini sudah berada di belakangnya, lancarkan satu jotosan tangan kiri. Buk! Pendekar 212 mencelat limbung ke muka tak sanggup imbangi diri dan terguling di tanah. Tulang punggungnya serasa hancur. Belum sempat dia bangun maka tiga jala sutera biru telah menebar ke arah tiga bagian tubuhnya yaitu kepala sampai ke bahu, pinggang dan kedua kaki. Celaka! keluh Pendekar 212. Dia tahu bahwa dia tak punya kesempatan lagi untuk selamatkan diri. Satu-satunya jalan ialah lepaskan pukulan Sinar Matahari untuk menghancurkan jala. Guna mencabut Kapak Naga Geni 212 mungkin tidak keburu. Namun belum lagi Wiro sempat pukulkan kedua tangannya yang mulai menjadi putih memerak itu, jala lawan yang pertama turun ke bawah dan melibat keseluruhan tangannya. Betapapun dia kerahkan tenaga dalam dan menyentakkan lengan-lengannya tetap tiada gunanya sementara jala kedua telah menyungkup kepalanya. Dan dalam sedetik lagi akan menyusul jala ketiga. Sialan... sialan! maki Wiro. Dia cuma terima nasib diringkus hidup-hidup kini. Jala kedua telah menyungkup kepalanya sampai ke bahu. Jala ketiga datang menyambar kaki. Tapi sebelum hal ini terjadi menda dak Wiro Sableng merasakan sambaran angin yang luar biasa deras nya. Matanya yang tertutup jala sutera biru samar-samar melihat kelebatan satu sosok bayangan putih. Dalam detik itu pula Pendekar 212 mendengar suara keluhan ketiga penyerangnya, disusul oleh

keluhan Inani. Dia sendiri kemudian merasakan tubuhnya terseret beberapa tombak, terangkat ke atas dan ketika tiba-tiba tiga buah jala yang melibat tubuhnya putus maka tubuhnya terbanting ke tanah dengan keras, jatuh melintang di akar pohon beringin. Perlahan-lahan Wiro Sableng merangkak bangun. Bekas pukulan pada punggungnya sakit sekali tapi tidak dirasakannya karena waktu itu dia dikesiapkan oleh rasa terkejut yang amat sangat. Sewaktu dia memandang berkeliling dengan cepat tak seorang anak buah Dewi Siluman pun yang dilihatnya. Ke mana mereka? Apa yang telah terjadi?! Satu-satunya benda yang dilihat Wiro ialah kecapi kepunyaan Inani. Dalam dia coba memandang berkeliling sekali lagi dengan rasa penuh tak percaya tiba-tiba matanya membentur tulisan putih di batang pohon beringin. Pendekar ini coba berdiri, tapi tubuhnya terhuyung-huyung, punggungnya yang bekas dihantam jotosan Laruni kumat sakitnya, rasa sakit ini menusuk ke bagian dada. Dan sebelum dia sanggup bergerak satu langkah, lututnya menekuk, dia serasa mau batuk tapi sewaktu mulutnya dibuka darahlah yang menyembur dari tenggorokannya. Wiro mengeluh. Sebelum jatuh pingsan Pendekar 212 ini masih sanggup dan sempat mengambil sebutir pil dari balik pakaiannya lalu menelannya dengan cepat. Wiro Sableng tak tahu berapa lama dia tergeletak pingsan di tempat itu. Ketika dia siuman matahari telah condong ke barat. Punggung masih terasa sakit tapi kekuatannya tidak sedikit pun berkurang. Ini adalah berkat pil yang masih sempat ditelannya tadi sebelum pingsan. Wiro bangun, duduk bersila, meramkan mata, atur jalan nafas serta aliran darah dan kerahkan tenaga dalam ke bagian tubuh yang masih terasa sakit. Lima menit kemudian Pendekar ini melompat dari duduknya, tubuhnya terasa segar bugar. Begitu dia teringat pada tulisan di batang pohon beringin Wiro segera melangkah ke hadapan pohon itu. Di batang pohon besar yang angker ini tergurat tulisan. Segala rencana tidak akan sampai, sebelum tahu tingginya langit dalamnya lautan. Bulan purnama empat belas hari di Goa Belerang, seribu rencana akan sampai. Pasti manusia yang mengencingiku dulu! kata Wiro Sableng

pada dirinya sendiri. Dia tak habis mengerti, heran dan geleng-gelengkan kepala. Manusia itu gerakannya luar biasa cepatnya sehingga hanya bayangan putih pakaiannya saja yang kelihatan. Dalam satu kelebatan tadi dia telah berhasil melarikan empat anak buah Dewi Siluman dan juga dalam kecepatan yang sukar diukur, manusia itu masih sempat menggurat tulisan di batang pohon beringin. Tak sanggup Wiro mengukur kehebatan manusia itu. Jika dia betul-betul manusia, tentulah ilmunya jauh lebih tinggi dari gurunya sendiri yaitu Eyang Sinto Gendeng di Puncak Gunung Gede. Wiro mengamati lagi tulisan di batang pohon beringin itu. Jika dihubungkannya rangkaian tulisan ini dengan tulisan yang lalu nyatalah mengandung satu keterangan dan satu nasihat, yang bagi Wiro kira-kira berarti dia harus datang ke Goa Belerang pada bulan purnama empat belas hari guna mengetahui segala maksudnya tak akan kesampaian. Siapa sebenarnya manusia itu? pikir Wiro. Mengapa dia membawa lari anak-anak buah Dewi Siluman, mengencingi kepalaku dan menuliskan keterangan serta nasihat itu...? Dalam pikiran yang tak kunjung mengerti dan juga didorong oleh rasa ingin tahu akhirnya Wiro memutuskan untuk mencari Goa Belerang lebih dahulu, baru kemudian mencari di mana letaknya Bukit Tunggul tempat kediaman Dewi Siluman. Sampai senja hari, telah puluhan kilo daerah diselidiki Wiro Sableng. Dua buah goa ditemuinya tapi keduanya bukanlah Goa Belerang karena kedua goa itu kosong tiada berpenghuni. Keesokan harinya, satu hari suntuk lagi dia menjelajahi berbagai daerah, sampai lagi senja datang, usahanya tiada berhasil. Pagi yang kedua dari penyelidikannya, dia sampai ke sebuah sungai berair kehitaman tanda sungai itu dalam sekali. Arus air sungai cepat bukan main. Setangkai ranting kering yang jatuh, dihanyutkan arus dan menghilang di kejauhan dalam waktu yang singkat. Wiro mengikuti sungai itu ke arah hilir. Perjalanannya terhenti sewaktu sungai itu sampai di sebuah air terjun yang sangat dalam. Air sungai yang memancur dan jatuh menimpa batu-batu besar di sebelah bawah menimbulkan suara yang menggidikkan. Tempat itu dan daerah sekitarnya berudara redup dan angker, tampaknya jarang didatangi manusia. Lebih dari sepeminum teh Wiro berada di tempat itu. Sebelum

pergi dia bermaksud mencuci mukanya yang lengket oleh debu dan keringatan lalu membasahi tenggorokannya. Dengan kedua belah telapak tangannya Wiro menciduk air sungai lalu membasahi mukanya. Sesuatu bau yang agak lain menusuk hidung sang pendekar sewaktu air sungai itu membasahi mukanya. Wiro berpikir-pikir. Rasanya dia pernah mencium bau yang seperti itu sebelumnya. Diciduknya kembali air sungai itu lalu didekatkannya ke hidungnya. Mendadak hatinya menciut. Air sungai itu berbau belerang. Wiro tahu betul bau belerang karena dia pernah beberapa kali berada di sekitar kawah gunung yang mengepulkan asap belerang. Dan ketika bau belerang itu dihubungkannya dengan Goa Belerang maka berdebarlah hati Pendekar 212. Dia memandang berkeliling dengan penuh teliti. Tak ada satu bagian pun dari tempat sekitar situ yang lepas dari penelitiannya, namun sampai sebegitu jauh tak ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa di situ terdapat sebuah goa. Tapi air sungai yang berbau belerang?! Untuk kesekian kalinya Wiro kembali meneliti dengan pandangan mata yang tajam. Tetap tak ada tanda-tanda adanya goa. Wiro memaki-maki dalam hatinya. Diperhatikannya batu-batu besar yang jauh di bawahnya. Diperhatikannya air terjun yang jatuh menimpa batu-batu itu, membalik kembali ke atas sampai beberapa tombak laksana asap atau kabut tipis. Tapi Wiro terkejut. Matanya memandang lekat-lekat kepada batu-batu yang jatuh ditimpa air terjun. Apa yang dilihatnya bukan cuma air yang muncrat kembali ke atas laksana asap atau kabut, tapi di balik air yang membalik ke atas itu benar-benar Wiro melihat samar-samar namun pasti adanya kepulan asap. Mulanya Wiro merasa agak bimbang. Mana mungkin di dasar yang penuh dengan air terdapat asap karena setiap asap pastilah bersumber pada hawa panas atau api. Wiro gosok kedua matanya. Yang mengepul di antara muncratan air itu memang benar-benar asap. Dan ketika diperhatikannya lebih seksama lagi, ketika dia berpindah tempat dan memandang ke bagian bawah air terjun dari jurusan lain, tersentaklah Wiro karena di belakang air terjun itu tampak sebuah goa. Dari mulut goa ini jelas kelihatan gelung-gelung kepulan asap. Tanpa menunggu lebih lama Wiro melompat ke sebuah batu. Dari sini dengan andalkan ilmu meringankan tubuhnya melompat lagi ke batu yang lain, yang terletak di sebelah bawah. Untuk menuju ke dasar air terjun bukan pekerjaan mudah. Kurang-kurang pandai kaki

akan terpeleset dan tubuh akan terhempas ke bawah sejauh puluhan tombak, disambut oleh batu-batu besar keras. Meskipun berkepandaian tinggi serta memiliki ilmu meringankan tubuh yang sempurna, untuk sampai ke dasar air terjun Wiro membutuhkan waktu hampir tiga kali sepeminum teh. Akhirnya pendekar ini sampai juga ke dasar air terjun. Dia berdiri di hadapan air terjun, bergerak ke bagian samping dengan sangat hati-hati. Sekali tubuhnya terserempet atau tersambar air terjun, tak perduli bagaimanapun tinggi ilmunya, pasti tubuhnya akan terhempas dan hancur ditimpa air terjun yang ribuan kilo beratnya itu.

***

WIRO SABLENG DEWI SILUMAN BUKIT TUNGGUL

12

ENDEKAR 212 sampai di hadapan mulut goa. Asap putih menampar-nampar wajahnya dan bau belerang yang santer menusuk hidung, memerihkan mata. Setelah meneliti seperlunya maka tanpa ragu-ragu Wiro melangkah masuk. Ternyata semakin ke dalam goa itu semakin menanjak sedang bau belerang makin keras dan asap semakin banyak. Kedua mata Wiro menjadi perih, nafasnya sesak dan dia mulai batuk-batuk. Pemuda ini tutup indera penciumannya, kerahkan tenaga dalam pada kedua matanya dan melangkah terus. Kira-kira seratus langkah berlalu kepulan asap putih yang berbau belerang bertambah tebal menutup pemandangan. Meski dia sudah tutup indra penciumannya tetap saja hidungnya membaui hawa belerang itu sedang tenaga dalamnya tiada mampu menolak sambaran asap yang memerihkan mata. Dengan kuatkan diri Wiro maju terus. Nafasnya tersengal, pemandangannya gelap tertutup asap tebal. Untuk kembali sudah kepalang tanggung. Suara batuk-batuknya menggema di sepanjang goa, membuat bulu kuduknya sendiri berdiri. Pada langkah yang ke tiga ratus dua puluh, Pendekar 212 merasa kekuatannya mulai lumer, kakinya tak sanggup lagi melangkah. Wiro jatuhkan diri dan terus memasuki goa itu dengan merangkak. Sebutir pil untuk menolak keracunan dan menjaga agar tidak pingsan dikeluarkan dan ditelannya. Dua ratus langkah di muka maka perlahan-lahan asap belerang itu mulai menipis hingga akhirnya lenyap sama sekali dan di hadapan Wiro kelihatan sebuah tangga batu pualam yang putih bersih dan berkilat. Setelah menelan lagi sebutir pil, mengatur jalan nafas dan darah, memeriksa aliran tenaga dalam dan membuang hawa jahat asap belerang yang meresap di paru-parunya maka Wiro Sableng berdiri lalu melangkah menaiki tangga batu pualam. Bagian atas tangga berhubungan dengan sebuah pintu dan pintu ini berhubungan lagi

dengan sebuah ruangan empat persegi. Di dalam ruangan ini kelihatan delapan gadis berbaju biru yang bukan lain adalah anak-anak buah Dewi Siluman. Di antaranya empat orang yang sebelumnya telah baku hantam dengan Wiro di tepi lembah. Kedelapan gadis ini duduk bersila dengan mata meram di hadapan seorang berpakaian selempang putih yang duduk membelakang ini panjangnya sampai ke bahu. Wiro belum dapat memastikan apakah dia seorang perempuan atau bukan. Tanpa menoleh ke pintu tiba-tiba manusia berambut putih panjang itu membentak dan lambaikan tangan kanannya lewat bahu. Pemuda tidak tahu diri! Disuruh datang bulan purnama empat belas hari berani unjuk tampang hari ini! Wiro terkejut sekali. Dan sewaktu dia menyadari bahwa lambaian tangan si rambut putih panjang itu menyambarkan angin yang sangat deras, maka segala sesuatunya telah kasip. Mendadak sontak detik itu juga Wiro merasakan tubuhnya menjadi kaku laksana patung batu. Dia berseru, tapi mulutnya terkunci tak bisa keluarkan suara. Karena otaknya masih tetap bisa berjalan Wiro memaklumi bahwa dirinya telah ditotok secara lihai luar biasa hingga tak bisa bicara dan bergerak. Yang membuat Pendekar 212 menjadi penasaran sekali ialah karena sesudah menotok dirinya, si rambut panjang kemudian keluarkan suara seperti lebah membuat sarang, rupanya dia tengah membaca mantera tapi tiada jelas entah mantera apa yang dilafatkannya. Di samping itu Wiro merasa aneh pula melihat kedelapan gadis baju biru itu duduk bersila meramkan mata tiada bergerak. Apakah mereka semuanya juga kena ditotok dan apa yang tengah dilakukan si rambut putih panjang itu terhadap mereka? Wiro saat itu merasakan dirinya seperti seekor lalat yang sesudah dipukul dibiarkan tak perduli begitu saja! Tiba-tiba si rambut putih angkat kedua tangannya. Suara lafat manteranya semakin keras. Kedua tangan kemudian turun lagi untuk mengangkat sebuah panci tanah besar yang berisi air putih dan kembang tujuh rupa. Aneh sekali air yang di dalam baskom itu kemudian memancur delapan dan setiap pancuran jatuh ke atas kepala masing-masing gadis baju biru. Wiro terlongong-longong saking kagumnya. Kehebatan tenaga dalam manusia rambut putih itu benar-benar luar biasa. Seorang yang tenaga dalamnya sudah mencapai tingkat sempurna bisa saja

membuat air di dalam panci tanah itu muncrat ke atas, tetapi untuk membaginya dalam delapan pancuran itu bukan satu hal yang mudah, tidak sembarang manusia bisa melakukannya. Eyang Sinto Gendeng sendiri mungkin belum tentu dapat. Begitu air dalam panci tanah habis, si rambut putih turunkan panci itu. Kembali terdengar suara lafat manteranya yang seperti lebah bersarang itu. Kemudian sunyi sebentar lalu menyusul suaranya berkata dan ternyata adalah suara seorang laki-laki. Delapan gadis, kalian telah minum obatku, kalian telah kusiram dengan air kembang. Kini otak kalian telah bersih, hati kalian telah putih. Kalian telah bisa memulai hidup baru yang lurus dan baik. Sekarang kubukakan mata kalian kembali yang telah terpicing selama beberapa hari ini. Si rambut panjang putih sapukan tangan kirinya dari samping kanan ke samping kiri. Aneh sekali maka kedelapan gadis itu yang tadi pejamkan mata kini membuka mata masing-masing satu demi satu, tak ubahnya seperti barusan bangun tidur. Jelas mereka terkejut sewaktu melihat tubuh Wiro Sableng yang berdiri mematung di ambang pintu. Namun terhadap si rambut putih mereka tiada berani bertanya dan sama tundukkan kepala. Tundukkan kepala ini membuat Wiro tak mengerti. Apa hubungan ke delapan gadis itu dengan si rambut putih. Apa sebenarnya yang telah terjadi dengan mereka sehingga gadis-gadis yang galak dan kejam itu kini kelihatannya seperti gadis-gadis pingitan yang paling patuh?! Dengar Kiai... jawab delapan gadis bersamaan. Kiai! desis Wiro Sableng dalam hati. Laki-laki berambut putih itu dipanggil dengan sebutan Kiai Dan Wiro heran padahal kedelapan gadis itu tadi meramkan mata seperti orang tidur, mengapa mereka menjawab bahwa mereka telah mendengar segala ucapan sang kiai? Sekarang kalian kuperkenankan meninggalkan tempat ini. Pergilah dan jangan kembali lagi. Dunia baru yang indah suci menyambut kalian. Menurut penglihatanku, hidup kalian semua akan menemui keberuntungan. Nah sekarang pergilah dan kuharap kalian tidak usah mengajukan pertanyaan-pertanyaan. Tinggalkan Pulau Madura, jangan kembali lagi untuk selama-lamanya! Delapan gadis itu saling pandang satu sama lain lalu serentak mereka berdiri. Setelah menjura berulang kali di hadapan laki-laki berambut putih panjang, mengucapkan terima kasih dan berpamitan maka semuanya melangkah ke pintu dengan menundukkan kepala.

Setiap mereka melirik ke samping sewaktu mereka melewati Pendekar 212 yang berdiri mematung di ambang pintu itu. Setelah kedelapan gadis itu berlalu, laki-laki berambut putih untuk pertama kalinya balikkan badan dan berdiri. Ternyata dia adalah seorang tua renta yang bermuka licin klimis. Menurut Wiro umurnya lebih tua dari Eyang Sinto Gendeng. Langkah orang tua yang masih berbadan tegap ini begitu enteng sewaktu dia maju ke hadapan Wiro. Pemuda tolol! desis sang kiai. Belum saatmu untuk datang kemari! Apa kau lupa bulan purnama empat belas hari?! Tolol! Kau akan kaku tegang di ambang pintu ini selama tiga hari tiga malam! Rasakan sendiri! Wiro menggerutu dalam hati. Orang tua di hadapannya berkelebat dan sukar sekali untuk dapat dilihat dengan jelas tahu-tahu tubuhnya sudah lenyap dari hadapan Wiro Sableng. Benar-benar luar biasa gerakannya. kata Wiro dalam hati. Tapi bila dia ingat bahwa dia musti berdiri di situ dalam keadaan kaku tegang selama tiga hari tiga malam, maka kembali pendekar ini menggerutu habis-habisan. Setelah berjam-jam berdiri di tempat itu Wiro yakin bahwa di luar goa hari telah malam. Seumur hidupnya baru kali inilah dia ditotok orang. Meski totokan itu tidak membuat dia terluka di dalam tapi mematung demikian rupa selama tiga hari tiga malam sungguh merupakan siksaan bagi Wiro Sableng. Hatinya kembali memakimaki sewaktu perutnya mulai mengeluarkan suara bergereokkan tanda minta diisi. Diamlah perut sialan! rutuk Wiro. Selama tiga hari tiga malam kau tak akan mendapat isi! Mendadak, baru saja dia habis memaki demikian sesosok bayangan biru berkelebat dan tahu-tahu Inani berada di hadapan Wiro Sableng. Sang Pendekar memandang tak berkedip pada gadis jelita berkulit kuning langsat ini, dan berpikir-pikir mengapa pula gadis ini muncul di dalam goa kembali, padahal dia sudah disuruh pergi oleh laki-laki tua tadi dan tidak diizinkan kembali lagi? Saudara, aku akan tolong lepaskan totokanmu. kata Inani pula setelah mereka berperang pandang beberapa ketika lamanya. Bagus! ujar Wiro dalam hati. Dia gembira. Inani maju satu tindak. Tangan kanannya dengan cepat bergerak untuk membebaskan totokan di tubuh Wiro Sableng.

Tapi apa lacur. Sebelum hal itu sempat dilakukan Inani tiba-tiba di ruangan itu mengumandang suara tertawa macam ringkikan kuda dan tahu-tahu laki-laki tua berambut putih sudah berada di hadapan mereka. Bagus betul perbuatanmu Inani! Inani berubah pucat parasnya. Kepalanya ditundukkan tak berani memandang si orang tua. Apa kau lupa ucapanku bahwa kau musti pergi meninggalkan Pulau Madura ini dan tidak boleh kembali kemari? Jawab! Mohon maaf Kiai. Aku... Kau juga tolol! sentak sang kiai. Apa perlu kau kembali datang kemari?! Apa perlu kau tolong pemuda ini?! Jawab! Maaf Kiai... Apa dia kekasihmu?! Merah paras Inani. Kepalanya semakin ditundukkan. Apa dia gendakmu?! Tambah merah paras gadis berbaju biru itu. Jawab! Kenapa kau mau membebaskan itu. Aku... aku merasa berhutang budi padanya, Kiai. sahut Inani. Hutang budi macam mana? Apa dia pernah menolongmu? Inani menggigit bibirnya. Dia kembali ke situ karena merasa kasihan melihat Wiro Sableng ditotok. Tapi apa yang menyebabkan dia kasihan pada pemuda itu dia sendiri tak bisa mengerti. Dia kembali ke Goa Belerang seperti ada yang mendorong-dorongnya. Gadis tolol! Kau musti terima hukuman seperti pemuda tolol ini! Laki-laki tua itu lambaikan tangan kirinya. Mendadak sontak maka kaku teganglah tubuh Inani. Dia berdiri mematung tepat berhadap-hadapan dan dekat sekali di muka Pendekar 212. Si orang tua sendiri begitu menotok tubuh Inani berkelebat pula lenyap dari ruangan itu.

***

WIRO SABLENG DEWI SILUMAN BUKIT TUNGGUL

13

IRO Sableng dan Inani tak tahu sudah berapa lama atau sudah berapa hari mereka berada di dalam Goa Belerang itu. Yang mereka rasakan ialah bahwa mereka seperti sudah bertahun-tahun tersekap di situ, tak bisa bicara, tak bisa gerakkan badan. Selama puluhan jam mereka berdiri berpandang-pandangan sehingga dalam hati masing-masing timbul perasaan-perasaan aneh. Meski mereka tidak bisa membuka mulut untuk bersuara dan bicara tapi pandangan mata mereka satu sama lain sudah lebih daripada ucapan yang bagaimana pun panjangnya. Sinar mata mereka sudah lebih daripada pengutaraan perasaan yang bagaimana pun mendalamnya. Berpandangan dan berpandangan hanya itulah yang bisa dilakukan kedua orang itu. Dan ini adalah satu-satunya hiburan bagi mereka selama puluhan jam berada di situ. Kedua orang itu tiba-tiba kernyitkan mata. Lapat-lapat terdengar suara tertawa meringkik. Dan sesaat kemudian sosok tubuh laki-laki tua yang dipanggilkan kiai itu sudah muncul di ruangan tersebut. Dia masih tertawa meringkik macam kuda begitu untuk beberapa lama sambil pandangi paras kedua orang di hadapannya. Kemudian ketika suara tertawanya berhenti mulutnya bertanya, Apa kalian sudah puas tegak berpandang-pandangan? Inani menjadi merah mukanya sedang Wiro memaki dalam hati. Apakah waktu yang tiga hari itu sudah berlalu? Apakah sekarang malam bulan purnama empat belas hari? Apakah sekarang saatnya si orang tua membebaskan totokan di tubuhnya dan di tubuh gadis yang bernama Inani itu? Inani dan Wiro memperhatikan si orang tua duduk di tengah ruangan, di atas sebuah bantalan berumbai-umbai yang dikeluarkannya dari balik kain selempang putihnya. Setelah memandangi paras kedua orang itu beberapa lama baru si orang tua lambaikan tangannya kiri kanan. Dua larik angin tipis menyambar ke tubuh Inani dan Wiro Sableng. Dengan serta-merta lenyaplah totokan

yang telah membuat kedua orang ini tak berdaya selama puluhan jam. Si orang tua tertawa mengekeh dan manggut-manggutkan kepalanya beberapa kali. Meski selama ini Wiro di dalam hati tiada hentinya memaki serta menggerutui si orang tua, namun begitu totokannya lepas dan menyadari bahwa manusia berambut putih yang duduk di hadapannya itu bukan manusia sembarangan maka Pendekar 212 menjura memberi hormat. Orang tua, dunia ini banyak dengan tokoh-tokoh aneh sakti luar biasa yang aku manusia tolol ini tidak tahu siapa-siapa mereka adanya. Kuharap kau sudi memberitahu siapa kau, orang tua. Si orang tua mengusap rambutnya yang panjang putih beberapa kali. Setelah batuk-batuk jumawa maka menjawablah dia. Namaku kau tak usah tahu, orang muda. Sebaliknya aku banyak tahu tentang dirimu! Terkejutlah Wiro. Ditelitinya paras orang tua itu lalu sekilas mengerling pada Inani. Si orang tua tertawa mengekeh kembali. Aku berasal dari Bangkalan. Diusapnya lagi rambutnya baru meneruskan, Sembilan puluh tahun hidup di dunia ini sudah terlalu cukup lama. Sembilan puluh tahun sudah cukup untuk menyaksikan berbagai hal dalam dunia, menyaksikan kejahatan dan kebaikan, menyaksikan kebaikan yang selalu ditentang oleh kejahatan. Pertentangan antara kebaikan dan kejahatan di jagat ini tak akan pernah habis-habisnya karena memang begitulah sifatnya alam yang dijadikan Tuhan, segala sesuatunya mempunyai lawan-lawannya, mempunyai pasangpasangannya masing-masing. Karena aku dan kau adalah manusiamanusia dari golongan putih, maka adalah tugas kita untuk membasmi golongan hitam. Membasmi golongan hitam tentu saja bukan hal yang mudah. Aku sendiri sebenarnya telah tertipu dalam hidupku sehingga tidak bisa berbuat banyak untuk membasmi kejahatan dari muka bumi ini... Kiai dari Bangkalan memandang jauh ke depan seperti tengah merenung masa lampaunya sedang nada suaranya tadi jelas sekali mengandung satu penjelasan yang mendalam. Kalian duduklah, jangan berdiri saja. ujar Kiai Bangkalan. Setelah Wiro Sableng dan Inani duduk di hadapan orang tua itu maka Kiai Bangkalan meneruskan bicaranya, Delapan penjuru angin dunia persilatan kini dibikin gempar oleh kejahatan yang

bersumber di Pulau Madura ini. Sumber kejahatan itu bukan lain daripada Dewi Siluman dan anak-anak buahnya. Beberapa perguruan dan sebuah partai persilatan telah dihancurkan oleh mereka. Belasan tokoh-tokoh silat golongan putih serta beberapa lainnya yang hebat-hebat dari golongan hitam mereka bunuh. Yang tertangkap hidup-hidup mereka siksa secara buas. Ringkas kata siapa saja pihak yang tidak mau tunduk dan masuk dalam golongannya akan ditumpas musnah oleh Dewi Siluman. Dan aku yang sudah tua ini hanya bisa makan hati, tak mungkin turun tangan menumpas sumber kejahatan yang ada di pulauku ini... Lagi-lagi nada suara Kiai Bangkalan membayangkan penjelasan. Penuh rasa ingin tahu dan tidak mengerti maka Wiro Sableng beranikan diri bertanya. Mengapa tidak mungkin, Kiai Bangkalan. Mengapa tidak bisa? Menurut penglihatanku ilmumu tinggi luar biasa. Bagimu tentu mudah saja untuk menumpas Dewi Siluman dan gerombolannya. Kiai Bangkalan tertawa tawar. Banyak orang yang menduga sepertimu itu. katanya. Tapi di jagat yang luas ini ilmu manusia manakah yang benar-benar sempurna, yang benar-benar tinggi? Semakin tinggi ilmu seseorang semakin harus disadari bahwa di atasnya masih banyak lagi ilmu-ilmu yang tinggi yang tak bakal sanggup dicapainya. Kemampuan dan pikiran manusia mempunyai titik batas. Bila dia coba untuk melampaui titik batas itu di luar kemampuannya, dirinya akan rusak, malapetaka akan datang! Dan itu kemudian akan mudah menjadi sarang atau sumbernya kejahatan! Kejahatan muncul di mana-mana akibat manusia berusaha melampaui titik batasnya, melewati garis yang telah ditentukan. Kemudian bila datang kebaikan, walau bagaimanapun kuatnya kejahatan itu, di satu hari dia akan kena ditumpas juga. Aku yang sudah tua menyesalkan hidup badanku yang rongsokan ini karena di saat mau mampus begini tidak bisa berbuat banyak menumpas kejahatan. Tapi aku masih bergembira sedikit. Sebelum ajal datang aku telah bertemu dengan kau, orang muda! Menurut penglihatanku, kau satu-satunya manusia saat ini yang sanggup menumpas kejahatan Dewi Siluman! Ingat kejahatannya, bukan orangnya! Kiai Bangkalan, aku yang muda tolol ini bisa apakah? kata Wiro Sableng pula. Terus terang aku tak mengerti mengapa kau mengatakan tak bisa berbuat banyak menumpas kejahatan.

Bukankah ilmumu tinggi sekali. Dewi Siluman tentu akan mudah kau tumpas. Kiai Bangkalan hela nafas dan geleng-gelengkan kepalanya. Aku hanya memiliki dua macam ilmu, orang muda. Dua macam ilmu itu saja tak sanggup untuk menumpas kejahatan Dewi Siluman. Di samping itu seperti aku terangkan tadi, sebenarnya aku yang sudah tua ini telah kena tertipu... Setelah menghela nafas dalam sekali lagi baru Kiai Bangkalan meneruskan, Dua macam ilmu yang kumiliki ialah kecepatan bergerak dan ilmu pengobatan. Mana mungkin dua macam ilmu itu bisa diandalkan untuk menghadapi Dewi Siluman yang sakti luar biasa?! Tapi kau juga memiliki ilmu totokan yang teramat lihai! ujar Wiro. Kiai Bangkalan tertawa. Setiap ilmu totokan dasarnya adalah sama, sama seperti yang dimiliki oleh kau dan Inani. Cuma karena aku memiliki ilmu kecepatan bergerak maka orang tidak bisa menduga dan tak sempat berkelit ketika aku menotok tubuhnya. Itu telah kau saksikan dan rasakan sendiri! Kalau kau bisa bergerak luar biasa cepatnya, tentu kau bisa menotok Dewi Siluman, kemudian menjatuhkan hukuman yang setimpal terhadapnya. kata Wiro Sableng pula. Betul, tapi justru hal itulah yang tak bisa kulakukan. sahut Kiai Bangkalan. Kenapa tidak bisa? Aku telah tertipu. Ah... biarlah aku terangkan pada kalian agar jelas. Tubuh tua rongsokan ini tak guna lagi menyimpan segala rahasia hidupnya! Kiai Bangkalan merenung sejenak baru membuka mulut kembali. Sesungguhnya guru dari Dewi Siluman adalah adik seperguruanku sendiri. Namanya Lara Permani. Dari guru, aku menuntut dua macam ilmu yang kusebutkan tadi yaitu ilmu pengobatan dan ilmu gerakan cepat. Sebaliknya sebagai murid yang dikasihi oleh guru, Lara Permani diwariskan banyak ilmu yang hebat-hebat. Di antaranya Ilmu Jala Sutera Sakti, Ilmu Racun Biru dan yang paling hebat Ilmu Seribu Siluman Mengamuk. Sebegitu jauh tak ada satu ilmu di dunia ini pun yang sanggup mengalahkan Ilmu Seribu Siluman Mengamuk itu. Tapi walau bagaimanapun setiap ilmu di dunia ini tak ada yang maha sempurna, selalu saja ada kelemahannya, demikian juga dengan Ilmu Seribu Siluman Mengamuk...

Apakah kelemahannya, Kiai? tanya Wiro. Itu tidak bisa kuberitahu. Aku telah bersumpah! Inani dan Wiro kernyitkan kening keheranan. Sebelum salah seorang dari mereka bertanya maka Kiai Bangkalan sudah berkata, Antara aku dan Lara Permani karena demikian eratnya hubungan kami, kami saling mencinta. Namun malapetaka tiba. Lara Permani sewaktu turun ke dunia persilatan telah tergoda oleh segala macam urusan duniawi sehingga dia menempuh jalan salah. Aku yang mencintainya dengan amat sangat tak bisa berbuat apa-apa, tak bisa melarangnya agar meninggalkan segala urusan kotor dunia. Malah entah bagaimana aku menjadi tolol dan suatu hari di hadapannya aku bersumpah atas nama Tuhan bahwa aku tak akan ikut campur, tak akan turun tangan terhadap segala perbuatannya, juga terhadap segala perbuatan muridnya bila kelak dia mempunyai murid! Sekarang Lara Permani sudah mati. Dan Dewi Siluman itu adalah muridnya! Aku tak bisa berbuat apa-apa secara langsung terhadap kejahatan Dewi Siluman karena aku terikat sumpah! Wiro dan Inani termangu sejurus. Wiro kemudian berkata. Lara Permani kini sudah tiada. Berarti sumpah yang Kiai buat terhadapnya batal, tak berlaku lagi! Kiai Bangkalan geleng-gelengkan kepala. Sumpah seorang manusia terhadap manusia sekaligus terikat pada Tuhan. Meskipun salah seorang dari mereka sudah mati, tapi yang masih hidup tetap terikat pada Tuhan yang telah menyaksikan sumpahnya itu! Kalau begitu kejahatan Dewi Siluman tak akan bisa dibasmi. kata Wiro. Kaulah yang akan membasminya! jawab Kiai Bangkalan. Tapi ilmuku sangat dangkal sekali, Kiai. Kalau kau bisa memberikan sedikit petunjuk... Kiai Bangkalan tersenyum. Di Goa Belerang ini telah kujanjikan padamu untuk datang mengetahui tingginya gunung dalamnya lautan. Meski aku terikat sumpah dan tak bisa turun tangan secara langsung, namun ada cara lain bagiku untuk berbuat kebaikan. Jika cara ini dianggap melanggar sumpah, biarlah badan yang tua renta ini rela menerima hukumannya! Dari balik pakaiannya Kiai Bangkalan mengeluarkan secarik kertas putih. Kertas itu disodorkannya ke hadapan Wiro Sableng

seraya berkata. Dengan inilah kau bakal bisa menumpas kejahatan Dewi Siluman. Wiro menerima kertas itu dan menelitinya. Di atas kertas putih ini ternyata ada dua bait tulisan yang berbunyi. Ilmu Seribu Siluman Mengamuk teramat sakti. Hanya suara yang sanggup mengalahkannya. Kiai, aku tak mengerti maksud tulisan ini. Mohon petunjukmu... Kiai Bangkalan hela nafas dan gelengkan kepala. Tak mungkin orang muda. Aku terikat dengan sumpah. Aku tak bisa menerangkan langsung kelemahan Ilmu Seribu Siluman Mengamuk kepadamu. Kau harus pecahkan sendiri rahasia yang ada di dalam dua bait tulisan itu. Kuharap kau tak bertanya lebih jauh. Wiro membaca lagi dua bait tulisan itu lalu memasukkan kertas tersebut ke balik pakaiannya. Kiai Bangkalan berpaling pada Inani. Dia tersenyum dan berkata, Meski tempo hari aku marah sekali melihat kau datang kemari tapi sebenarnya diam-diam aku merasa gembira karena kau bisa membantuku untuk melaksanakan cita-cita baikku. Kau ingat bagaimana aku telah membersihkan otakmu serta kawan-kawanmu dengan sejenis obat? Ingat Kiai. Kiai Bangkalan keluarkan sebuah botol berisi cairan hitam. Aku telah meramu lagi sejenis obat baru. katanya dan meletakkan botol kecil itu di hadapannya. Kau harus ikut bersama Wiro ke Bukit Tunggul dan menolong kawan-kawanmu yang sudah dikotori otaknya oleh Dewi Siluman. Bagaimana caranya terserah padamu, yang penting kau harus dapat meminumkan setetes obat ini ke dalam mulut kawan-kawanmu sehingga mereka kembali menjadi bersih otaknya dan kembali ke jalan yang benar! Aku tak mengizinkan kau membunuh seorang pun dari mereka! Semua kawan-kawanmu tersesat karena tidak sadar! Tapi mana mungkin aku sanggup, Kiai? Setiap kawan-kawanku sakti semua dan jumlah mereka banyak! kata Inani. Kau tak usah khawatir. Aku akan turunkan ilmu gerakan cepat padamu sehingga kau dengan mudah bisa menotok mereka lalu memasukkan setetes obat ini ke dalam mulut mereka! Inani gembira sekali. Buru-buru dia menjura dan mengucapkan

terima kasih. Kiai Bangkalan memandang pada Wiro. Orang muda, kuharap kau jangan kecewa karena saat ini aku tidak memberikan ilmu apaapa padamu. Tapi di lain hari, bila tugasmu sudah selesai di Bukit Tunggul kuharap kau suka datang kemari untuk menerima pelajaran ilmu pengobatan dariku. Gembiralah Wiro Sableng dan buru-buru dia menjura serta mengucapkan terima kasih. Sebelum kalian pergi, kata Kiai Bangkalan pula, ada satu hal yang harus kalian ingat, terutama kau orang muda, karena kaulah yang bakal berhadapan dengan Dewi Siluman. Musti disadari bahwa sesungguhnya kejahatan yang dibuat oleh manusia itu adalah karena dipengaruhi oleh suasana sekitarnya, dipengaruhi oleh keadaan duniawi di sekelilingnya. Pada dasarnya semua manusia adalah baik. Karena itu kuharap kau jangan menurunkan tangan maut terhadap Dewi Siluman. Tapi Kiai, perempuan itu telah membuat kejahatan yang tak bisa diampunkan. Puluhan manusia tak berdosa telah dibunuhnya! kata Wiro pula. Betul. Itu memang betul. Namun demikian soal nyawa manusia bukanlah urusan kita. Nyawa orang lain bukan milik kita. Soal nyawa adalah hak dan kuasanya Tuhan. Kita manusia sekali-kali tidak diperbolehkan membunuh, kecuali dalam perang atau pertempuran di mana kita benar-benar sudah terdesak. Karena itu usahakanlah dulu untuk menyadari Dewi Siluman dari segala kejahatannya, bersihkanlah otaknya dengan obat ini! Lalu Kiai Bangkalan mengeluarkan sebutir pil hitam dan diberikan kepada Wiro. Bila nanti ternyata usahamu gagal, baru kau boleh menurunkan tangan maut. Itupun bila kau terdesak dan tak punya jalan lain lagi! Nah, sekarang pergilah! Terima kasih atas segala petunjukmu, Kiai. kata Wiro Sableng sambil menjura dalam. Inani juga melakukan hal yang sama. Sewaktu mereka mengangkat kepala kembali ternyata Kiai Bangkalan telah lenyap. Bukan main terkejutnya mereka. Benar-benar luar biasa cepatnya gerakan orang tua itu. Wiro geleng-gelengkan kepala. Sementara itu Inani berdiri dengan paras berubah. Ada apa? tanya Wiro. Waktu aku menjura tadi, kurasa ada yang menepuk bahu

kananku dengan keras. Sekarang tubuhku terasa ringan sekali macam kapas! Wiro Sableng kerenyitkan kening. Tiba-tiba dia ingat akan ucapan Kiai Bangkalan bahwa dia hendak menurunkan ilmu kecepatan gerak pada gadis itu. Mungkin itulah cara dia menepati janjinya! kata Wiro. Coba kau berkelebat! Inani tekankan kedua kakinya ke lantai. Tubuhnya bergerak dan kejap itu pula lenyap dari pandangan mata Wiro Sableng, sedetik kemudian muncul lagi di hadapannya. Saudara! Aku benar-benar tak mengerti bagaimana gerakanku bisa sehebat ini! seru Inani gembira. Wiro Sableng geleng-gelengkan kepala. Benar-benar aneh sekali cara Kiai Bangkalan menurunkan ilmunya kepadamu. kata Wiro pula. Kau beruntung Inani, eh, bukankah namamu Inani...? Si gadis anggukkan kepalanya malu-malu. Kau sendiri siapa? Panggil aku, Wiro. jawab Pendekar 212. Bagaimana kalau kita berangkat ke Bukit Tunggul sekarang? tanya Inani. Memang lebih cepat lebih baik. Tapi untuk membuat urusan dengan Dewi Siluman kita tunggu sampai besok pagi. Nah, ayolah! Kedua orang itupun dengan segera meninggalkan Goa Belerang. Meskipun malam itu bulan purnama bersinar terang namun dengan susah payah baru akhirnya Inani dan Wiro bisa keluar dari dasar air terjun.

***

WIRO SABLENG DEWI SILUMAN BUKIT TUNGGUL

14

I UFUK timur fajar kelihatan sudah menyingsing. Sebentar lagi sang surya penerang jagat akan memunculkan diri, merenggutkan malam menggantikannya dengan pagi hari yang kemudian disusul oleh kedatangan siang. Dua titik putih dan biru kelihatan remang-remang bergerak sangat cepat dari arah tenggara. Ternyata dua titik ini adalah sosok tubuh Inani dan Pendekar 212 Wiro Sableng. Tengah malam tadi mereka berkemah di tepi rimba belantara dan menjelang pagi baru meneruskan perjalanan ke Bukit Tunggul. Satu keuntungan bagi Wiro karena dia bersama Inani sehingga tak usah bersusah payah mencari di mana letaknya Bukit Tunggul. Tepat pada saat matahari munculkan diri di ufuk timur maka kedua orang itu sudah berada di kaki bukit sebelah timur. Sementara keduanya mencari mulut terowongan yang akan membawa mereka ke Istana Dewi Siluman, tiga sosok bayangan biru muncul menghadang mereka. Hai Inani! Kau rupanya! seru salah seorang dan ketiga gadis baju biru yang bukan lain dari anak-anak buah Dewi Siluman yang habis melakukan perondaan. Hai! seru Inani sambil lambaikan tangan kanan. Dan saat itu juga ketiga gadis baju biru itu merasakan tubuh mereka kaku tegang tak sanggup lagi bergerak maupun bicara. Hebat sekali totokanmu, Inani! kata Wiro memuji dengan tersenyum. Inani cepat-cepat keluarkan botol obat hitam lalu dimasukkannya cairan itu masing-masing setetes ke dalam mulut ketiga gadis itu, kemudian bersama Wiro dia segera tinggalkan tempat itu Sementara itu di sebuah kamar yang bagus luar biasa di anjungan pertama, Dewi Siluman masih berbaring bermalas-malasan di atas pembaringan yang hangat lembut. Hari telah siang tapi malas sekali dia turun dari tempat tidur. Dia tahu bahwa anak-anak buahnya telah menyiapkan segala sesuatunya untuk keperluan

mandi pagi di kolam dan mereka baru akan muncul jika dia sudah memanggil. Dewi Siluman memperhatikan tubuh dan parasnya di kaca dalam kamar itu. Kemudian dia teringat pada Inani. Jika gadis itu tidak sedang menunaikan tugas, pagi-pagi seperti itu biasanya dia telah memetik kecapi memberikan hiburan. Dewi Siluman menghitunghitung hari. Kekhawatiran untuk kesekian kalinya menyamaki hatinya. Kepergian Inani bersama Sarinten, Wakania dan Laruni sampai pagi itu tiada kabar beritanya. Apakah telah terjadi pula halhal yang tak diinginkan dengan mereka? Tapi kekhawatirannya itu agak berkurang sedikit kalau dia ingat bahwa Laruni adalah anak buahnya yang paling tinggi kepandaiannya. Akhirnya Dewi Siluman juga berbaring berlama-lama. Dia bangun dan duduk sebentar di tepi tempat tidur, memandang ke kaca, lalu sambil melangkah ke kaca besar itu ditanggalkannya pakaian tidurnya yang terbuat dari sutera biru halus berbunga-bunga hitam. Tanpa selembar benangpun menutupi badannya, sang Dewi berdiri di muka kaca. Betapa indah potongan tubuhnya, betapa halus mulus kulitnya. Tapi betapa rindunya seluruh tubuh itu akan sentuhan tangan seorang laki-laki. Tiba-tiba pintu kamar diketuk orang. Dewi Siluman memperhatikan kaca dari mana sekaligus dia dapat melihat pintu kamar itu. Siapa pula yang mengganggunya, pikir sang Dewi. Mungkin Laruni atau seorang anak buahnya yang datang membawa kabar tentang Laruni dan kawan-kawannya. Maka Dewi Siluman mengenakan pakaian tidurnya kembali dan berkata, Masuk! Pintu kamar terbuka. Dan kagetlah Dewi Siluman. Yang masuk bukanlah Laruni, bukan pula salah seorang anak buahnya, melainkan seorang pemuda berpakaian putih-putih, berambut gondrong dan berparas gagah. Walau bagaimanapun kejam dan jahatnya hati seorang perempuan, namun dalam hal-hal tertentu dia tak dapat menyembunyikan gerak refleks keperempuanannya. Dewi Siluman segera rapatkan pakaian tidurnya yang tipis lalu membentak marah, meski tidak seratus persen marah. Orang muda? Siapa kau yang berani berlaku lancang masuk ke kamarku?! Pemuda itu sunggingkan seulas senyum. Apakah aku berhadapan dengan Dewi Siluman Dari Bukit

Tunggul? tanyanya. Betul! Lekas terangkan siapa kau! Bagaimana kau bisa masuk ke istanaku ini?! Kalau aku tidak salah, bukankah Dewi selama ini mencaricariku...? Berdebarlah hati Dewi Siluman. Jadi kau adalah pemuda yang tempo hari melarikan diri sewaktu mau ditangkap?! Betul sekali, Dewi. Barangkali kau bisa menerangkan salah apa yang kubuat sampai diriku hendak ditawan oleh orang-orangmu? Dewi Siluman tertawa. Sungguh merdu suara tertawanya, laksana taburan mutiara yang berderai di lantai batu pualam. Sebelum kujawab pertanyaanmu harap terangkan dulu apa yang telah kau lakukan terhadap delapan orang anak buahku hingga mereka tidak kembali sampai saat ini. Lalu bagaimana kau bisa masuk ke tempat ini! Soal delapan anak buahmu itu mana aku tahu. Bagaimana aku sampai ke sini, biasa saja. Kau mencari-cariku berarti aku sama saja diundang datang ke mari. Malah anak buahmu mengantar dan menunjukkan kamarmu ini. Kembali Dewi Siluman tertawa merdu. Orang gagah, kuharap kau tahu di mana berada dan dengan siapa kau bicara... Pemuda berambut gondrong yang bukan lain dari Pendekar 212 adanya angguk-anggukkan kepala. Nama besarmu sudah lama kudengar, Dewi. Namun sayang kebesaran namamu itu bukan karena pekerjaan baik, tapi akibat kejahatan luar biasa yang tiada taranya! Dewi Siluman naikkan hidungnya. Apakah maksud kedatanganmu ke Pulau Madura ini sengaja mencari dan menantangku?! Kau bisa katakan demikian... Dewi Siluman tertawa panjang. Kau andalkan apakah maka berani membuat rencana demikian? Wiro menjawab dengan balas tertawa. Di atas sebuah meja di dalam kamar itu terletak sebuah patung perempuan menjunjung kendi yang terbuat dari emas. Beratnya kirakira tiga kilogram. Dewi Siluman menunjuk pada patung itu dan

berkata. Kau lihat patung emas itu, orang muda?! Jika kau sanggup melakukan seperti yang akan kuperbuat baru kau pantas bermulut besar di hadapanku! Habis berkata begitu Dewi Siluman gerakkan tangan kanannya ke atas, telapak tangan menghadap ke patung emas di atas meja. Perlahan-lahan patung di atas meja bergerak, lalu laksana ada sebuah tangan yang tiada kelihatan mengangkatnya, patung yang beratnya tiga kilo itu naik ke atas, melayang mendekati tangan Dewi Siluman, berhenti tegak di ujung jari tengah Dewi Siluman, lalu melayang lagi kembali ke tempatnya di atas meja. Dengan senyum di bibir Dewi Siluman berpaling pada Wiro Sableng. Bagaimana? Sanggupkah kau melakukannya? Jika tidak sebaiknya kau lekas-lekas berlutut minta ampun kepadaku! Kau tidak terlalu buruk untuk jadi hamba sahayaku! Wiro Sableng garuk-garuk kepalanya. Dewi Siluman tertawa melihat tingkah pemuda ini. Diam-diam memang Wiro Sableng mengagumi sekali kehebatan tenaga dalam Dewi Siluman. Meski demikian mana Pendekar 212 mau diremehkan begitu saja. Memang meniru seperti yang kau lakukan itu aku tidak bisa, Dewi Siluman. Tapi coba kau lihat. Kau kurang teliti hingga patung itu kembali ke tempatnya dalam keadaan terbalik! Dewi Siluman palingkan kepala dengan rasa tak percaya. Ketika matanya membentur patung di atas meja, terkejutlah sang Dewi. Patung perempuan menjunjung kendi memang berdiri di atas meja tapi dengan kaki ke atas dan kepala serta kendi di sebelah bawah. Dewi Siluman putar kepalanya kembali pada Wiro Sableng. Sedikitpun dia tidak melihat pemuda itu gerakkan tangannya. Tapi bagaimana patung itu bisa terbalik demikian. Tiba-tiba sang Dewi keluarkan tertawanya yang merdu. Tenaga dalammu boleh juga orang muda! Ilmumu cukup tinggi! Aku ada usul bagus untukmu! Dewi Siluman melangkah ke tempat tidur. Dalam pakaian yang tipis itu Wiro dapat melihat jelas sekali sekujur tubuh Dewi Siluman. Sang Dewi kemudian duduk di tepi tempat tidur. Aku yakin kau akan menyetujui usulku ini. Tapi harap kau terangkan namamu lebih dulu. Apakah namaku itu perlu betul bagimu? tanya Wiro. Tentu! jawab Dewi Siluman seraya matanya memandang penuh gairah ke paras Wiro. Di mulutnya bermain seulas senyum. Dan dia

menambahkan, Seorang gagah dan berilmu sepertimu ini musti diketahui dulu namanya! Wiro tersenyum. Manusia dilahirkan tidak bernama, katanya, karenanya tak perlu kuterangkan siapa namaku. Kau boleh panggil aku semaumu. Sekarang coba kau terangkan usul bagus yang kau katakan itu! Orang muda, kau terlalu jual mahal namamu! Tapi tak apa, aku senang pada laki-laki yang berhati keras, betul-betul bernyali jantan! Dengar orang muda, walau kau tidak mau beri tahu nama, namun aku maklum bahwa kau memiliki ilmu yang cukup diandalkan. Setiap orang berilmu tinggi mempunyai cita-cita besar. Bagaimana kalau kita berdampingan satu sama lain dalam menguasai dunia persilatan?! Wiro merenung macam orang tua lalu manggut-manggut. Usulmu memang bagus... katanya. Paras Dewi Siluman kelihatan gembira. Tapi, sambung Wiro pula yang membuat Dewi Siluman kembali berubah parasnya, aku datang ke sini bukan untuk menerima segala macam usul atau membuat segala macam perjanjian... Paras Dewi Siluman menegang. Lalu? sentaknya seraya berdiri dari tempat tidur. Wiro menatap paras jelita itu beberapa lamanya. Pandangan ini membuat sang Dewi bergetar hatinya. Segala sesuatu di dunia ini musti ada akhirnya. Wiro Sableng membuka pembicaraan kembali. Diakhiri atau berakhir sendiri. Demikian pula dengan kejahatan... Dewi Siluman hendak membentak memotong ucapan Wiro Sableng. Tapi di bawah sorotan mata si pemuda mulutnya tak kuasa dibukanya. Dia tegak tak bergerak di tempatnya. Setiap tokoh silat adalah wajar kalau mempunyai cita-cita untuk menguasai dunia persilatan. Namun caranya juga musti cara wajar. Bukan dengan kejahatan tanpa perikemanusiaan. Bukan dengan jalan membunuh anak-anak atau perempuan-perempuan atau manusia-manusia tak berdaya dan tak berdosa. Bukan dengan menipu tokoh-tokoh silat, mengundang mereka kemari lalu menjebloskannya di Ruang Penyiksaan... Dewi Siluman terkejut amat sangat. Dari mana si pemuda tahu akan hal itu? Tapi untuk bertanya lagi-lagi mulutnya takluk membisu di bawah pandangan mata Pendekar 212.

Bukan pula dengan menculik gadis-gadis cantik, lalu meracunnya dengan obat kesetanan! Hendak menguasai dunia persilatan dengan cara seperti itu bukan saja tak akan berhasil, tapi akan membawa pelakunya pada satu kehancuran yang mengerikan. Kehancuran itulah suatu akhir. Hancur sendiri atau dihancurkan. Dan kurasa kau tak mau menemui kehancuran atau dihancurkan, Dewi Siluman. Bukankah begitu...? Tenggorokan Dewi Siluman turun naik. Tiba-tiba meledaklah kemarahannya. Orang muda! Bicaramu keliwat pandai! Apakah kau juga pandai menerima pukulanku ini?! Laksana kilat Dewi Siluman hantamkan tangan kanannya ke arah Wiro. Satu larik sinar biru yang amat panas menderu. Di seberang sana Pendekar 212 berkelebat dan, brak! Dinding kamar di belakangnya hancur lebur, runtuh merupakan satu lobang besar kini. Kau menghancurkan dirimu sendiri, Dewi Siluman. desis Wiro Sableng disertai lontaran senyum. Tidak sukar untuk kembali ke jalan yang baik. Di jalan yang baik itu kau akan melihat satu jalan lurus yang wajar untuk menguasai dunia persilatan ini! Dewi Siluman melotot besar sewaktu melihat Pendekar 212 berhasil mengelakkan diri dari serangan Angin Birunya tadi. Orang muda, pintu masih terbuka bagimu untuk menguasai dunia persilatan ini bersamaku menurut caraku! Menyesal sekali, Dewi... Kau yang akan menyesal jika kau menolaknya! tukas Dewi Siluman. Meski ilmumu setinggi langit tapi tak satu manusia pun yang bisa menghancurkanku! Bukan orang lain yang akan menghancurkanmu, tapi kau sendiri. sahut Pendekar 212. Dewi Siluman tertawa aneh. Dia kembali duduk di tepi tempat tidur. Jangan kelewat memandang sebelah mata terhadap Dewi Siluman, orang muda. Kalau aku tidak melihat bahwa kau bakal mempunyai peruntungan baik bersamaku, siang-siang aku sudah hancurkan kepalamu! Dewi Siluman tertawa lagi lalu rebahkan dirinya perlahan-lahan di atas tempat tidur. Pakaian tidurnya tersibak dan menjulai ke lantai yang ditutupi permadani tebal. Mata Pendekar 212 mengecil, sejenak hatinya digelorai oleh darah muda. Orang gagah, kemarilah! panggil Dewi Siluman. Suaranya

berubah merdu tidak membentak lagi. Wiro tetap berdiri di tempatnya. Kemarilah... Dewi Siluman lambaikan tangannya. Pendekar 212 melangkah. Dia berhenti satu tombak dari samping tempat tidur. Gelora darah mudanya semakin menyentaknyentak. Dewi Siluman menopang dagunya dengan telapak tangan kanan, memandang gairah pada si pemuda lalu berkata, Seluruh isi istana ini akan menjadi milikmu, orang muda. Dunia persilatan akan berada di tanganmu. Dan kita hidup berdua di sini. Bukankah indah sekali...? Dewi Siluman menggerak-gerakkan kakinya. Kedengarannya memang begitu, sahut Wiro, tapi akan lebih indah lagi bila kau mau menelan pil ini... Dewi Siluman kerenyitkan kening sipitkan mata dan memandang pada sebuah benda kecil hitam di tangan Wiro Sableng. Pil apa itu? tanya Dewi Siluman acuh tak acuh. Pada dasarnya manusia itu semuanya berhati dan berpikir baik. Tapi kekotoran duniawi meracuni hati dan pikirannya. Obat ini akan sanggup membersihkan kembali racun hati dan racun pikiran yang jahat itu, Dewi Siluman! Dewi Siluman tertawa berderai. Maksudmu kau mau mengobati diriku, orang muda? Wiro anggukkan kepala. Dewi Siluman tertawa lagi panjang-panjang. Hanya orang sakit yang minum obat. Aku tidak sakit. Kau memang sakit Dewi Siluman, sudah sejak lama. kata Wiro pula. Dewi siluman luruskan kedua kakinya yang mulus bagus. Aku akan telan pil itu, kata Dewi Siluman, tapi dengan satu syarat. Apa? Berbaringlah di sampingku. Bergelegar dada Pendekar 212. Darah muda di tubuhnya laksana hempasan ombak yang memukul batu karang di pantai curam. Kau perlu istirahat, orang gagah. Kau perlu tidur. kata Dewi Siluman penuh genit. Kegenitan yang mengandung racun. Soal tidur soal gampang Dewi. kata Wiro dengan menahan kobaran darah mudanya. Kebaikan adalah yang paling dulu musti dikerjakan. Kuharap kau bersedia menelan obat ini...

Dewi Siluman tersenyum. Aku ingin sekali menghiburmu, tapi sayang, gadis pemetik kecapi itu tak ada di sini... Inani maksudmu? Aku telah bertemu dengan dia. Kagetlah Dewi Siluman. Dan bukan dia sendiri, Dewi. Tapi juga tujuh orang lainnya... Kau apakan mereka? Mereka gadis-gadis cantik yang kini menjadi kawan-kawanku. Otaknya telah dicuci! Kau yang melakukannya?! Kiai Bangkalan! Membesilah paras Dewi Siluman. Dadanya menggemuruh. Tapi gelora amarah ini kemudian mengendur sedikit. Dia duduk di tepi tempat tidur kembali. Aku tak perduli dengan mereka. Aku bisa melupakan mereka, juga kakek-kakek keparat bernama Kiai Bangkalan itu. Tapi kau musti menjadi milikku, orang muda, musti! Dan habis berkata begitu Dewi Siluman buka pakaian tidurnya lalu dalam keadaan tanpa pakaian selembar benang pun dia melangkah ke hadapan Wiro Sableng. Mulut Pendekar 212 komat-kamit. Digaruknya kepalanya. Dia bergerak ke samping sewaktu Dewi Siluman melompatnya. Orang muda, apakah aku tak boleh memelukmu? Apakah aku tak boleh menyentuh tubuhku pada tubuhmu...? Boleh saja tapi sekarang bukan saatnya. Justru sekarang inilah saatnya. dan Dewi Siluman menerjang ke muka hendak meraih tubuh Wiro Sableng. Sekali lagi Wiro berkelit. Kau keterlaluan orang muda! Apakah aku harus mengemis terhadapmu?! Peluk aku orang muda. Cium parasku, bibirku, dadaku... semuanya... Buset! ujar Wiro Sableng dalam hati sementara Dewi Siluman melangkah mendekatinya. Dengar Dewi, aku akan cium kau mulai dari ubun-ubun sampai ke telapak kaki. Tapi telan pil ini... Wiro acungkan tangan kanannya, Tiba-tiba Dewi Siluman berseru nyaring. Tubuhnya berkelebat laksana kilat. Pendekar 212 terkejut hebat sewaktu lengannya dipukul oleh Dewi Siluman hingga pil hitam yang dipegangnya mental ke udara. Sebelum dia bisa berbuat suatu apa, pil itu sudah berada

dalam genggaman Dewi Siluman. Sekali tangan itu meremas maka hancurlah pil pembersih otak dan hati itu. Sekarang tidak ada lagi segala macam obat terkutuk! Yang ada kau dan aku! Mari orang muda... mari...! Pendekar 212 mulai beringasan dan penasaran. Aku telah datang membawa kebaikan untukmu, Dewi Siluman! Tapi kejahatan di dalam dirimu memang sudah sedalam lautan setinggi langit! Aku tunggu kau di taman istana! Kau mencari mati, orang muda?! Dan kau mencari mampus! Bedebah! maki Dewi Siluman. Dia tepukkan tangannya tiga kali berturut-turut dan memandang berkeliling dengan heran. Aha... kau memanggil anak-anak buahmu Dewi Siluman? Mereka tak akan muncul! Semuanya telah dicekok dengan obat pembersih otak! Kaget Dewi Siluman bukan main. Manusia tolol! Diberi kesenangan malah minta mati percuma! Aku akan siksa kau di Ruang Penyiksaan! Aku akan rebus tubuhmu! Wiro tertawa gelak-gelak. Ruang Penyiksaan hanya tinggal nama saja lagi! sahutnya. Tiga tokoh silat yang masih hidup sudah kubebaskan dan ruangan itu hanya merupakan puing-puing hancur, satu pertanda bagi kehancuranmu sendiri! Aku tunggu kau di taman! Jika otakmu masih diracuni oleh kejahatan, taman itu akan menjadi kuburmu! Dan jangan coba-coba larikan diri, Dewi. Setiap jalan rahasia sudah dijaga! Setan alas! Mampuslah! teriak Dewi Siluman. Kedua tangannya dipukulkan ke muka. Wuss! Dua sinar biru menderu ganas. Tapi Wiro Sableng sudah tendang pintu dan keluar dari kamar itu.

***

WIRO SABLENG DEWI SILUMAN BUKIT TUNGGUL

15

UASANA di taman istana yang indah itu kini diselimuti kesunyian yang menggidikkan. Pendekar 212 Wiro Sableng duduk di atas batu rata, di hadapan sebuah arca. Di setiap sudut taman berdiri berkelompok-kelompok gadis-gadis berbaju biru. Mereka adalah bekas anak buah Dewi Siluman yang telah dibersihkan otaknya oleh Inani dengan obat yang diberikan Kiai Bangkalan. Kalung tengkorak yang biasanya tergantung di leher mereka kini tak kelihatan lagi. Kesunyian itu dipecahkan oleh suara siulan yang keluar dari mulut Pendekar 212. Inani geleng-gelengkan kepala. Di saat yang penuh ketegangan itu Wiro masih bisa bersiul seperti seorang yang tengah menunggu saat gembira. Dia melangkah mendekati arca di mana Wiro duduk. Apakah kau sudah berhasil memecahkan rahasia kelemahan Dewi Siluman dalam dua bait tulisan yang diberikan Kiai Bangkalan? tanya Inani. Wiro gelengkan kepala. Dia terus juga bersiul-siul. Kau belum tahu rahasia kelemahannya! Dan kau telah berani menantangnya di sini! ujar Inani dengan paras tegang. Semuanya telah kasip Inani. Ini adalah saat penentuan. Kalau tidak dia, aku yang bakal meregang nyawa. Mudah-mudahan saja itu perempuan bisa menyadari kejahatannya sebelum datang ke sini dan bertobat! Jangan harapkan hal itu, Wiro! desis Inani. Kau bersiaplah Inani. Sesuai dengan rencana kau baru turun tangan dalam jurus ketiga... Jika aku gagal, semua kawan-kawanmu harus menyerbu! Inani mengangguk. Dia hendak mengatakan sesuatu tapi mulutnya mendadak sontak terkancing. Matanya memandang ke arah tangga batu pualam yang menghubungi langkan istana di hadapan taman dengan anjungan pertama. Sepasang kaki yang

bagus kelihatan melangkah menuruni anak tangga demi anak tangga. Orang yang melangkah ini sampai ke langkan dan dia bukan lain dari Dewi Siluman. Dewi Siluman telah berganti pakaian. Pakaian biru ringkas yang dikenakannya dihiasi dengan manik-manik bergemerlapan. Sikapnya melangkah begitu agung dan penuh wibawa. Hidungnya naik ke atas dan Dewi Siluman hentikan langkahnya di tepi kolam. Wiro Sableng hentikan suara siulannya. Kedua manusia ini beradu pandang sesaat lalu Dewi Siluman memandang berkeliling, menyapu para anak buahnya satu demi satu. Kemudian sang Dewi menengadah ke langit. Dan dari mulutnya keluarlah suara. Langit pagi begini cerah, Sang surya bersinar terang, Udara segar melapangkan dada, Tapi sungguh berubah, Semua apa yang kupandang. Dewi Siluman turunkan kepalanya lalu kembali memandangi anak buahnya satu demi satu. Anak-anakku, katanya dengan suara lantang. aku perintahkan kalian untuk menangkap manusia yang duduk di depan arca itu! Tapi tak satu orang pun yang bergerak dari tempatnya. Paras Dewi Siluman kini berubah. Apa semua kalian sudah tuli atau mulutku yang tak bisa bersuara lagi...?! Dewi Siluman memerintah lagi dengan suara menggeledek. Tapi tetap saja tak ada yang bergerak. Apa yang telah terjadi dengan kalian?! teriak Dewi Siluman. Suaranya bergetar dahsyat. Mana kalung tengkorak kalian?! Dewi, mulai saat ini kami di sini bukan lagi anak-anak buahmu! Yang bicara adalah Inani. Dewi Siluman palingkan kepalanya. Kau yang bicara Inani? Alangkah bagusnya! Hebat! Rahang Dewi Siluman menggembung. Mukanya bermimik bengis. Jadi semua kalian di sini bukan lagi anak buahku?! Dewi Siluman tertawa panjang. Semua kalian akan menerima hukuman! Dan kau Inani! Kau yang bakal kupancung pertama kali!

Pendekar 212 Wiro Sableng perlahan-lahan berdiri dan bergerak sejauh tiga langkah. Kembali antara pendekar ini dan Dewi Siluman terjadi bentrokan pandangan. Dewi Siluman, apakah kau masih belum melihat jalan kebaikan? Apakah hatimu begitu kotor keras laksana gumpalan batu karang? Apakah pikiranmu begitu tumpul...?! Dewi Siluman mendengus. Delapan penjuru angin dunia persilatan negeri menyebut dan mendengar namaku! Apa aku musti takut terhadap manusia macammu?! Wiro Sableng tertawa pelahan. Dewi Siluman berdiri berkacak pinggang tapi diam-diam dia salurkan seluruh tenaga dalamnya pada telapak tangan kiri kanan. Tiba-tiba, didahului oleh lengkingan dahsyat laksana mau membelah langit, Dewi Siluman membungkuk dan pukulkan kedua tangannya sekaligus ke muka. Tanah yang diinjaknya melesak lima senti. Wiro yang sejak tadi juga telah siap waspada tidak terkejut melihat datangnya dua gelombang angin biru yang sangat panas menyerang ke arahnya. Pendekar ini sama sekali tidak mengelak dari tempatnya berdiri malah balas memukulkan kedua tangannya ke muka lepaskan dua pukulan Benteng Topan Melanda Samudera. Sekaligus dia hendak menjajaki sampai di mana ketinggian tenaga dalam lawannya. Dan terkejutlah Pendekar 212. Begitu terdengar suara menggelegar akibat beradunya pukulan yang bertenaga dalam dahsyat itu maka tubuh Wiro Sableng terhuyung keras ke belakang. Dia hampir saja jatuh duduk di tanah kalau tidak lekas mengimbangi diri. Di hadapannya Dewi Siluman keluarkan suara tertawa panjang. Ternyata tenaga dalam Pendekar 212 lebih rendah dari Dewi Siluman. Diam-diam pemuda berambut gondrong ini tergetar hatinya tapi dia tidak takut. Kalau kehebatanmu cuma sebegitu, tak sukar bagiku untuk meringkusmu, pemuda tolol! kata Dewi Siluman. Dan segera dia loloskan kalung tengkorak di lehernya sedang tangan kiri keluarkan segulung benang sutera halus berwarna biru. Jurus kedua ini adalah jurus terakhirmu! kata Dewi Siluman. Dengan ilmu menyusupkan suara, Inani peringatkan Wiro Sableng. Cepat keluarkan senjatamu. Kau tak bakal kuat menghadapinya dengan tangan kosong! Benang sutera itu lihai

sekali! Di saat Wiro merasa ragu-ragu untuk keluarkan senjata maka Dewi Siluman melangkah sambil acungkan kalung tengkorak. Kau lihat tengkorak ini? Nasib tengkorak kepalamu tidak lebih baik dari ini! Tengkorakmu cukup bagus untuk diramu sampai kecil dan dijadikan kalung! Lalu dengan sebuah jurus bernama Petir Menyambar Naga Berenang, Dewi Siluman menyerbu. Kalung tengkorak di tangan kanannya laksana bola baja menyambar ganas ke kepala Wiro sedang benang sutera biru di tangan kirinya melesat ke muka untuk melibat bagian tubuh Pendekar 212 yang menjadi sasaran. Wiro! Keluarkan senjatamu cepat! teriak Inani. Tapi Wiro menyambut serangan lawan dengan Pukulan Sinar Matahari. Kalung tengkorak di tangan Dewi Siluman hancur lebur. Suaranya laksana letusan meriam sewaktu dihajar Pukulan Sinar Matahari Pendekar 212, tapi di lain pihak sang pendekar sendiri dibikin kaget karena pada detik itu benang sutera biru lawan telah melibat pergelangan tangan kanannya sampai ke ujung-ujung jari. Wiro coba menyentakkan tapi tiada guna, libatan benang sutra semakin ketat. Pendekar 212 lepaskan Pukulan Sinar Matahari ke arah Dewi Siluman, kali ini dengan tangan kiri, tapi sebelum kesampaian sang Dewi sudah hantam lengan kiri itu dengan lengan kanannya. Masingmasing merasa sakit namun Wiro lebih menderita, sedang libatan benang di tangan kanannya belum terlepas. Inani tak menunggu lebih lama. Segera gadis ini berkelebat dan laksana kilat lepaskan totokan jarak jauh yang lihai ke arah Dewi Siluman. Dewi Siluman yang tengah hendak melibat sekujur tubuh Wiro dengan benang suteranya ternyata betul-betul luar biasa. Dia masih sempat merasakan datangnya bahaya yang mengancam. Padahal kecepatan gerakan Inani tadi tidak seorang pun yang melihatnya. Sang Dewi rundukkan tubuh untuk hindarkan sambaran angin yang dirasakannya menyerang ke urat lehernya. Tapi anehnya sambaran angin itu mengikuti gerakannya. Mau tak mau Dewi Siluman terpaksa lepaskan gulungan benang dan pergunakan tangan kirinya untuk menangkis angin serangan lawan. Bukan saja angin totokan Inani buyar berantakan, tapi pukulan Dewi Siluman terus melanda tubuhnya. Karena tenaga dalam Inani

jauh lebih rendah tak ampun lagi gadis ini mencelat sampai delapan tombak, terguling di tanah, masuk ke dalam kolam. Inani kelihatan seperti hendak berenang tapi tubuhnya kemudian tenggelam sedang air kolam tampak merah oleh darah yang muntah dari mulutnya. Melihat ini Laruni segera melompat, ceburkan diri keadaan kolam lalu menyeret Inani keluar. Tubuh Inani dibaringkannya di satu tempat yang aman dan diberi pertolongan sedapat-dapatnya. Sebenarnya Dewi Siluman merasa terkejut akan kehebatan angin pukulan aneh yang tadi dilepaskan Inani. Namun kini terdengar suara tertawanya mengekeh. Itu contoh pertama buat manusia-manusia murtad yang berkhianat terhadap Dewi Siluman! berkata sang Dewi dengan seringai bengis. Dia lalu cepat-cepat palingkan kepala ke arah Wiro Sableng. Kegusarannya tiada tara sewaktu melihat Pendekar 212 berhasil melepaskan benang sutra yang melibat sebagian tangan kanannya. Benangmu ini cukup lihai, Dewi. Aku mau lihat apakah kau sendiri sanggup menghadapinya! kata Wiro. Dewi Siluman ganda mendengus. Dia mundur beberapa langkah lalu berlutut di atas rumput. Mata dipejamkan sedangkan kedua tangan bersidekap di muka dada. Saudara! seru Laruni terkejut. Hati-hati! Dia hendak keluarkan Ilmu Seribu Siluman Mengamuk! Pendekar 212 yang memang sudah diberi tahu kehebatan Ilmu Seribu Siluman Mengamuk itu segera lesatkan benang sutera biru di tangannya. Laksana seekor ular, benang itu meluncur ke arah Dewi Siluman, tapi anehnya satu tombak dari hadapan sang Dewi, benang itu tak mau lagi meluncur, melainkan membelok-belok kian ke mari menjauhi sasarannya. Sialan! maki Pendekar 212. Gulungan benang di tangannya dilemparkan ke kolam. Sementara itu dari ubun-ubun Dewi Siluman Wiro melihat asap hitam mengepul bergulung-gulung. Waktu dia memandang berkeliling, tak seorang gadis baju biru pun dilihatnya. Pasti mereka telah sembunyikan diri karena takut akan ilmu sang Dewi. Sepasang mata Pendekar 212 tidak berkesip dan memandang ke arah Dewi Siluman penuh waspada. Kepulan asap semakin tebal. Seluruh tubuh Wiro Sableng sudah tergetar oleh aliran tenaga dalam. Kedua kaki merenggang. Hatinya tegang sekali menunggu detik demi

detik. Tiba-tiba dari mulut Dewi Siluman terdengar suara seperti orang menangis. Dan suara seperti tangisan ini kemudian berganti dengan lengking-lengking jeritan yang merobek langit mengerikan. Kepulan asap sudah menebar di mana-mana. Dewi Siluman ganti suara lengkingannya dengan teriakan macam lolongan serigala lapar. Anehnya, gumpalan-gumpalan asap kini kelihatan memecah cepat dalam ratusan gumpalan kecil yang kemudian mengembang tambah besar - tambah besar. Ketika Wiro memperhatikan gumpalangumpalan asap hitam ini terkejutlah dia. Setiap gumpalan telah berubah menjadi sosok-sosok tubuh makhluk-makhluk yang mengerikan. Tubuhnya hanya sebatas dada ke atas dan lima kali tubuh manusia besarnya. Makhluk-makhluk aneh ini bermuka sangat mengerikan, rambutnya awut-awutan, mata merah besar, lidah menjulur lebar keluar sedang taring dan gigi-giginya menjorok besarbesar. Dewi Siluman menjerit. Ratusan makhluk jadi-jadian itu balas menjerit dan masingmasing angkat tangan mereka. Ternyata masing-masing mempunyai enam pasang tangan. Dan setiap tangan berkuku hitam. Bunuh manusia itu! teriak Dewi Siluman. Matanya masih meram, tangan masih mendekap dada dan tubuhnya masih berlutut di rumput. Ratusan makhluk siluman menjerit dahsyat dan menyerbu berserabutan ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng. Tak ayal lagiPendekar 212 segera cabut Kapak Naga Geni 212. Dari mulutnya keluar bentakan keras dan sekali kapak diputar terus melanda ke arah makhluk-makhluk siluman yang datang menyerbu. Belasan makhluk yang tersambar Kapak Naga Geni 212 menjerit, darah muncrat dari tubuh masing-masing. Tapi anehnya makhluk-makhluk ini tidak musnah malah dari setiap tetes muncratan darah berubah menjadi makhluk siluman baru sehingga dalam sekejap saja jumlahnya telah bertambah ratusan bahkan mungkin sudah ribuan kini. Sewaktu makhluk-makhluk itu dengan ganasnya menyerang kembali, Wiro Sableng tak berani menghantam dengan Kapak Naga Geni. Tubuhnya berkelebat dan lenyap. Untuk beberapa lamanya dengan gesit dia berhasil mengelakkan setiap serangan yang dilancarkan oleh ratusan makhluk siluman itu. Dari samping, dari

atas dan dari bawah tiada kunjung hentinya datang serangan. Sampai berapa lamakah Pendekar 212 sanggup pertahankan diri? Sementara itu dalam keadaan yang mulai terjepit itu Wiro masih juga belum berhasil memecahkan rahasia kelemahan ilmu seribu siluman mengamuk yang tersembunyi di balik dua rangka kalimat: Ilmu Seribu Siluman mengamuk teramat sakti. Hanya suara yang sanggup mengalahkannya! Telinga Pendekar 212 mulai sakit oleh kedahsyatan luar biasa jeritan-jeritan ratusan makhluk siluman yang datang menyerangnya. Meski dia sudah tutup indera pendengarannya tetap saja suara jerit lengking yang mengerikan itu masuk menerobos liang-liang telinga dan pada jurus pertempuran ke dua belas, kedua telinga Pendekar 212 mulai keluarkan darah. Mampuslah aku! keluh Wiro dalam hati. Baru saja dia mengeluh demikian, satu sambaran tangan lawan tak bisa dielakkannya. Breet! Robeklah pakaian Wiro Sableng. Dadanya tergurat luka disambar kuku dari makhluk siluman dan tubuhnya dengan serta-merta menjadi panas. Wiro cepat telan sebutir pil lalu melompat enam tombak dan tekan gagang Kapak Naga Geni 212 di bagian leher kepala naga-nagaan. Ratusan jarum hitam menderu ke arah makhluk-makhluk siluman. Tapi laksana seseorang menepuk air hujan, makhluk-makhluk itu sekali kebutkan enam pasang tangan maka mentallah semua senjata rahasia yang dilepaskan Wiro. Pendekar 212 sambil melayang turun kirimkan pukulan Benteng Topan melanda Samudera sedang kapak diputar dengan gerakan Orang Gila Mengebut Lalat! Dua gelombang angin yang dahsyat luar biasa melanda tubuh makhluk-makhluk siluman. Tapi tak ada gunanya serangan itu karena makhluk-makhluk ini seperti tiada merasakan apa-apa malah dengan cepat menyerbu tambah dekat. Sewaktu Wiro dalam keadaan yang sudah kepepet lepaskan Pukulan Sinar Matahari dengan tangan kiri, makhluk-makhluk siluman itu meniup ke muka dan menjerit-jerit lebih dahsyat. Pukulan Sinar Matahari membalik menyerang Pendekar 212 sendiri. Wiro menjerit keras. Untuk melompat kembali ke atas tidak mungkin. Terpaksa dia buang diri ke samping dan bertabrakan dengan salah satu makhluk siluman. Untung saja Wiro masih sanggup jatuhkan diri dan berguling di tanah, kalau tidak pasti

tubuhnya akan dihantam empat pasang tangan makhluk siluman. Ketika dia berdiri kembali, empat makhluk siluman menerjang ke arahnya. Tak ada jalan lain daripada hantamkan Kapak Naga Geni 212 ke muka. Empat makhluk meraung keras dan mandi darah. Muncratkan darah hanya menambah banyaknya jumlah makhluk siluman itu saja. Sedang empat makhluk yang tadi disambar kapak kembali menyerbu dengan lebih buas. Pendekar 212 bersiul nyaring lalu lancarkan satu tendangan pada makhluk yang terdekat. Makhluk ini mental tiga tombak, yang lainnya berhamburan ke muka. Di saat itu Wiro Sableng terkurung di tepi kolam. Darah dari kedua liang telinganya telah membasahi pipi. Pakaiannya robek-robek sedang kulit tubuhnya berselomotan darah bekas cakaran makhluk-makhluk siluman. Satu-satunya tempat untuk selamatkan diri ialah patung perempuan telanjang yang terdapat di tengah kolam. Tanpa menunggu lebih lama Wiro melompat ke atas kepala patung itu. Ketika puluhan makhluk siluman melayang ke arahnya maka Pendekar 212 segera keluarkan batu api dari balik pakaian. Begitu makhluk-makhluk itu menyerbu, Wiro adu batu api dengan mata kapak. Satu gelombang angin menggebu ke arah makhluk-makhluk siluman. Gerakan puluhan siluman itu terhenti sejenak. Api menyambar tubuh mereka tapi sedikitpun tak membawa akibat apaapa, malah bersama puluhan kawan-kawannya makhluk-makhluk yang kena disambar api ini cepat teruskan serbuan mereka. Wiro Sableng lompat dari atas patung, melesat ke bagian lain dari kolam. Boleh dikatakan seluruh taman telah dipenuhi oleh makhlukmakhluk siluman. Sebentar saja Wiro berdiri di tepi kolam itu maka puluhan makhluk kembali menyerbunya, memaksa dia berkelebat cepat kian kemari untuk hindarkan diri Tamatlah riwayatku! keluh Wiro Sableng sewaktu satu tangan makhluk siluman menghantam punggungnya dengan keras, membuat dia berguling di rumput dan bangun dengan megap-megap, bergerak lagi dengan cepat untuk hindarkan serangan makhlukmakhluk siluman yang kembali datang menyerbu. Pendekar 212 merasa tiada perlu lagi dia memegang Kapak Naga Geni 212 karena tidak bisa digunakan. Segera dia selipkan batu hitam ke balik pakaian dan hendak simpan Kapak Naga Geni 212. Tapi dia ingat bahwa masih ada satu kehebatan kapak itu yang belum dikeluarkannya. Dengan hati meragu apakah kehebatan

terakhir ini akan sanggup selamatkan dirinya, Pendekar 212 balikkan senjata itu dan tempelkan mulut kepala naga-nagaan ke bibirnya. Maka terdengarlah suara tiupan seruling. Mula-mula perlahan, kemudian melengking keras, tinggi dan tajam, bergema ke setiap penjuru. Ratusan makhluk siluman tampak tertegun. Suara jeritan-jeritan mereka mulai pelahan dan semakin tinggi nyaring suara seruling, jeritan-jeritan makhluk itu semakin berkurang dan akhirnya lenyap sama sekali. Wiro kerahkan seluruh tenaga dalamnya. Tiupan seruling laksana deru ribuan tawon. Makhluk-makhluk siluman kelihatan bingung dan mundur, lalu menjerit dan berteriak-teriak aneh. Sekelompok demi sekelompok tubuh mereka kembali menjadi kepulan asap hitam untuk kemudian sirna tiada bekas. Ketika keseluruhan makhluk siluman itu lenyap menjadi asap dan asap lenyap pula dari pemandangan maka kelihatan Dewi Siluman di tengah taman. Mukanya pucat pasi, dari telinga, hidung, mata serta mulut keluar darah kental. Sekujur badannya tergetar hebat. Sewaktu Pendekar 212 tiup suling Kapak Naga Geni, Dewi Siluman tersentak kaget. Bagaimanapun dia kerahkan tenaga dalam dan tutup pendengarannya namun suara seruling tak berhasil ditolaknya, terus menyeruak ke dalam liang telinga, mengacaukan jalan pikirannya serta menyentak-nyentak pembuluh darah, membuat aliran darahnya tidak teratur lagi. Dewi Siluman coba bertahan dengan sekuat tenaga dan kesaktian yang dimilikinya, tapi kini dia telah ketemu batunya. Tiupan seruling Pendekar 212 yang sangat dahsyat telah membongkar kelemahan ilmu siluman yang dimilikinya. Bukan saja ilmu siluman itu musnah berantakan tapi juga tiupan seruling terus membungkus dirinya tiada sanggup ditolak lagi. Sambil terus tiup senjatanya Wiro Sableng memaki dalam hati. Sungguh tolol sekali dia. Kiai Bangkalan telah menuliskan dua kalimat yang bisa membongkar rahasia kehebatan ilmu Dewi Siluman tapi dia tak berhasil memecahkannya. Masih untung dalam keadaan sangat terjepit dia tiup senjata itu, padahal itupun tadi dilakukannya dengan hati bimbang karena khawatir akan sia-sia. Tubuh Dewi Siluman makin lemah. Darah keluar semakin banyak. Kini di bawah tiupan seruling itu tampak tubuhnya terhuyung kian kemari dan kira-kira setengah peminuman teh kemudian tubuh itu tak sanggup lagi bertahan. Dewi Siluman meraung. Raungan yang

keluar disertai muntahan darah berbuku-buku. Tubuhnya rebah menelungkup ke tanah, masih bergerak-gerak beberapa ketika kemudian diam untuk selama-lamanya. Pendekar 212 masukkan Kapak Maut Naga Geni ke balik pakaiannya lalu bersila dan meramkan mata. Luka di bagian luar serta dalam tubuhnya cukup parah. Sepeminuman teh baru Pendekar ini buka kedua matanya lalu telan sebutir pil dan berdiri. Gadis-gadis berbaju biru dilihatnya bermunculan kembali di sudutsudut taman. Wiro melangkah ke tempat di mana Inani duduk tersandar. Dia sudah sadar dari pingsannya dan memandang kepada pemuda itu sewaktu Wiro melangkah ke hadapannya. Wiro tersenyum dan berlutut di hadapan gadis ini. Inani membalas senyumnya. Matanya yang tadi sayu kini kelihatan bersinar. Kau hebat Wiro... Aku manusia tolol geblek! sahut Wiro Sableng. Sudah hampir mau kojor baru bisa pecahkan rahasia yang diberikan Kiai Bangkalan. Itu pun secara tak sengaja! Inani tersenyum. Wiro memegang tangan gadis ini. Kau tak apa? Gadis itu menggeleng. Terima kasih atas pertolonganmu. bisik Wiro. Dia memandang berkeliling lalu kembali berpaling pada gadis itu dan berkata. Sudah saatnya kita meninggalkan tempat ini, Inani! Inani mengangguk. Dibantu oleh Wiro gadis ini berdiri. Mereka saling pandang sejenak, sama-sama mengulas senyum dan mulai melangkah ke arah langkan istana Dewi Siluman di mana kawankawan Inani menunggu. Di langit sang surya bersinar cerah. Satu kejahatan telah musnah tapi Pendekar 212 Wiro Sableng tahu bahwa masih banyak lagi manusia-manusia jahat yang musti ditumpas.

TAMAT

BASTIAN TITO
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212

WIRO SABLENG

RAHASIA LUKISAN TELANJANG


Ebook Oleh: kiageng80 Kitab: Pendekar212

WIRO SABLENG RAHASIA LUKISAN TELANJANG

ANGIT terang cerah tiada berawan. Matahari bersinar megah. Serombongan burung-burung pipit berarak dari arah tenggara lalu lenyap di langit sebelah barat. Seorang pemuda gagah berjalan lenggang kangkung seenaknya di satu lamping gunung. Keterikan sinar matahari tiada diperdulikannya. Bahkan sambil berjalan itu dia bersiul-siul entah membawakan lagu apa. Suara siulannya menggema sepanjang jalan seantero lamping gunung. Bila seorang tokoh silat dunia persilatan mendengar suara siulan yang keras tiada menentu itu, segera dia akan maklum bahwa orang yang mengeluarkan siulan itu bukan lain daripada Wiro Sableng, pemuda gagah yang bergelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212. Di satu tempat Wiro hentikan langkahnya. Dia memandang ke bawah. Luar biasa sekali keindahan alam yang dilihatnya. Pohonpohon menghijau di kejauhan. Di utara dua buah gunung menjulang tinggi laksana raksasa penjaga negeri. Di barat sebuah sungai laksana seekor ular besar meliuk-liuk memantulkan cahaya putih perak karena ditimpa sinar matahari. Wiro menyeka peluh yang mencucur di keningnya dengan ujung sapu tangan putih penutup kepalanya. Setelah puas menikmati pemandangan yang indah itu dia melanjutkan perjalanan kembali dan kali ini dengan mempergunakan ilmu lari Seribu Kaki sehingga dalam sekejap saja puluhan tombak sudah dilewatinya. Dia berharap akan sampai sesenja-senjanya hari, ke tempat tujuan yaitu Goa Belerang. Kiai Bangkalan telah menyuruhnya datang. Orang tua sakti itu telah menjanjikan akan menurunkan semacam ilmu pengobatan kepadanya. Memasuki satu tikungan jalan di dekat kaki gunung, Wiro memperlambat larinya. Jalan di tikungan itu sempit sekali. Di sebelah kanan terdapat jurang batu yang curam terjal serta luas dan dalam. Seseorang yang jatuh ke sana jangan harap akan hidup sampai di dasar jurang. Kalaupun dia hidup, ke luar dari dasar jurang pasti

akan sia-sia! Dari memperlambat larinya, tiba-tiba Wiro Sableng berhenti. Tepat di tikungan jalan itu dilihatnya duduk mencangkung seorang laki-laki tua berambut putih. Badannya kurus sekali. Demikian kurusnya hingga keadaannya tak ubah seperti tengkorak atau jerangkong hidup! Yang membuat Wiro Sableng heran ialah apa yang tengah dikerjakan si orang tua tak dikenal itu. Sambil duduk mencangkung, orang tua ini menghadapi sebuah pigura kain putih yang lebarnya satu meter sedang panjangnya hampir satu setengah meter. Pigura kain putih itu disandarkan pada sebuah batu. Di atas terletak sehelai daun pisang. Di sebuah daun pisang ini terdapat cairan kental berkelompok-kelompok beraneka ragam warnanya. Si orang tua membetulkan letak pigura kain putih di hadapannya. Kemudian dengan ujung jari telunjuk tangan kanan diaduk-aduknya kelompok-kelompok cairan berwarna di atas daun pisang. Dengan jari yang berselomotan cairan berwarna itu, si orang tua mulai menggurat-gurat di atas kain putih. Demikian asyiknya sehingga dia tidak mengetahui agaknya bahwa dia tidak sendirian berada di situ. Wiro terus memperhatikan dengan tak bersuara. Guratan-guratan yang dibuat si orang tua kelihatannya dilakukan seenaknya dan asalasalan saja. Tapi betapa terkejutnya Pendekar 212. Lewat setengah jam kemudian di atas kain putih itu, meski belum begitu jelas, terlihat gambaran seorang perempuan tengah berbaring di atas tempat tidur dalam sebuah kamar yang bagus. Ternyata si orang tua adalah seorang pelukis yang lihai tetapi juga aneh! Lihai dan aneh karena dia melukis dengan ujung jari telunjuk, dengan cairan-cairan berwarna yang diletakkan di atas daun pisang dan di tempat sepi begitu rupa, di bawah teriknya sinar matahari! Agar bisa memperhatikan lebih jelas, tapi juga untuk tidak mengganggu si orang tua, maka Wiro Sableng melompat ke satu batu tinggi dan duduk di situ. Si orang tua berdiri dan mundur beberapa langkah untuk meneliti lukisannya. Ah... bagus sekali... bagus sekali! Bocah itu tentu akan senang melihatnya! Suara orang tua ini kecil halus seperti perempuan. Wiro Sableng leletkan lidahnya. Ternyata si orang tua telah melukis seorang perempuan telanjang yang berbaring di atas sebuah tempat tidur dalam kamar yang bagus. Perempuan itu cantik sekali, rambutnya panjang menjela ke lantai kamar yang ditutupi

permadani. Tubuhnya yang tiada tertutup pakaian demikian bagus dan mulusnya. Mau tak mau berdebar juga hati Pendekar 212 melihat lukisan itu. Aneh orang yang demikian tua mempunyai daya cipta yang merangsang begitu rupa. Dan siapa pula bocah yang dimaksudnya dalam ucapannya tadi, yang katanya akan senang melihat lukisan itu? Seorang bocah hendak melihat lukisan perempuan telanjang? Betul-betul keblinger, pikir Wiro. Dalam pada itu siapakah manusia ini? Sementara itu si orang tua kelihatan menambah beberapa guratan pada lukisannya. Wiro Sableng memperhatikan terus. Si orang tua tengah menuliskan serangkaian kalimat pada sudut kanan sebelah bawah lukisannya. Karena jauh Wiro tak dapat membacanya. Penuh rasa ingin tahu akan apa yang ditulis si orang tua, Wiro Sableng hendak melompat turun. Tapi niatnya dibatalkan karena di kejauhan didengarnya suara gemeletak roda kereta meningkahi derap kaki-kaki kuda. Sesaat kemudian kelihatanlah sebuah kereta putih yang ditarik oleh dua ekor kuda meluncur ke arah tikungan. Di bagian depan dan sisi kereta ada empat penunggang kuda yang berpakaian keprajuritan. Mendekati tikungan rombongan itu bergerak perlahan. Si orang tua masih juga asyik dengan lukisannya. Apakah dia tidak mendengar suara kedatangan kereta dan derap kaki-kaki kuda itu? Bahkan ketika rombongan tersebut berhenti di tikungan, si orang tua masih saja tidak berpaling. Apakah dia tuli? Penunggang kuda di sebelah muka kereta turun dari kudanya. Dia memandang sejenak pada lukisan yang tersandar di batu lalu dengan sikap hormat menegur si orang tua. Bapak, kuharap kau sudi ke pinggir sedikit agar kereta bisa lewat. Orang tua itu mencelupkan jari telunjuk tangan kanannya ke cairan berwarna putih di daun pisang lalu melanjutkan menulis rentetan kalimat di sudut bawah sebelah kanan lukisan. Prajurit itu menduga si orang tua tuli. Maka dia melangkah ke samping dan menegur lagi lebih keras disertai isyarat-isyarat tangan. Tapi tetap saja si orang tua tidak mau perduli, bahkan palingkan kepala sedikitpun tidak! Dari dalam kereta terdengar suara seseorang. Pengawal, ada apakah kereta berhenti? Kita mendapat sedikit rintangan Raden Mas Cokro, jawab

prajurit yang turun dari kuda. Dari jendela kereta kemudian keluar kepala seorang laki-laki berparas gagah, berkumis rapi dan mengenakan belangkon yang bagus. Begitu sepasang mata laki-laki ini membentur lukisan di tepi jalan di tikungan itu, maka tertariklah hatinya. Dengan segera dia turun dari kereta. Digeleng-gelengkan kepalanya. Lukisanmu luar biasa bagusnya, orang tua, kata laki-laki ini. Untuk pertama kalinya orang tua bertubuh jerangkong itu palingkan kepala. Dia tersenyum sedikit pada laki-laki berpakaian dan berbelangkon bagus lalu meneruskan lagi pekerjaannya. Orang tua, aku tertarik sekali dengan lukisanmu ini. Apakah kau sudi menjualnya? Meski pekerjaannya belum selesai, tapi melihat sikap orang demikian jumawa maka si orang tua hentikan pekerjaannya, menyeka ujung jarinya lalu berdiri dan tersenyum lagi. Terima kasih atas rasa kagummu Raden Mas. Tapi sayang, lukisan ini bukan untuk dijual... Raden Mas Cokro menatap paras orang tua itu. Aku sanggup membayar mahal. Kau tetapkan saja harganya... Orang tua itu gosok-gosokkan kedua telapak tangannya. Mohon dimaafkan Raden Mas. Lukisan ini tidak dijual. Kalau kau sudi, aku bersedia buatkan yang lain. Tapi aku sangat tertarik pada yang satu ini, kata Raden Mas Cokro. Menyesal sekali... Akan kubeli lima puluh ringgit. Maaf Raden Mas... Seratus ringgit! Ah... sungguh penghargaanmu besar sekali. Namun tak dapat kukabulkan Raden Mas... Kalau begitu biar kubeli dua ratus ringgit! Raden Mas Cokro mengeluarkan sebuah kantong kain dari sakunya sementara keempat pengawalnya saling pandang dan kerenyitkan alis keheranan. Meski lukisan itu bagus luar biasa tapi dua ratus ringgit betul-betul harga yang gila! Dan bila mereka ingat gaji mereka yang tak sampai setengah ringgit satu minggu, menciut hati keempat prajurit itu! Gilanya pula ditawar semahal itu si orang tua kurus kering tidak mau menjual lukisannya!

Ini terimalah. kata Raden Mas Cokro seraya mengacungkan kantong yang dipegangnya. Dua ratus uang ringgit di dalam kantong itu bergemerincingan suaranya. Tapi lagi-lagi si orang tua gelengkan kepala. Walau dibeli seberapa mahalpun, lukisan ini tak dapat kujual Raden Mas. Mohon maafmu... Raden Mas Cokro kelihatan kurang senang dengan sikap si orang tua. Maka berkatalah dia, Apa dengan harga semahal itu kau tetap tak mau menjualnya pada Adipati Pamekasan? Ah... Si orang tua menjura dalam-dalam. Tak tahunya aku tengah berhadapan dengan Adipati Pamekasan, katanya. Dihelanya nafas panjang lalu sambungnya, Benar-benar ini satu kehormatan besar bagiku Adipati Cokro. Namun benar-benar pula aku mohon dimaafkan, lukisan ini kubuat bukan untuk mau dijual. Aku akan buatkan lukisan lain yang lebih bagus untukmu. Dan kau tak perlu membayar mahal... Kau pasti tak akan kecewa Raden Mas... Tapi Raden Mas Cokro memang sudah kecewa. Dibalikkannya tubuhnya lalu melangkah masuk kembali ke dalam kereta. Lain kali kalau ada kesempatan aku akan temui kau, orang tua. Di mana tempat tinggalmu? tanya Raden Mas Cokro lewat jendela kereta. Si orang tua menghela nafas lagi. Sambil tersenyum dia menjawab, Aku seorang pengembara luntang-lantung, Raden Mas. Aku tak punya tempat kediaman yang tetap. Bila lukisan yang kubuat untukmu nanti sudah selesai, aku akan antarkan sendiri ke Pamekasan... Raden Mas Cokro betul-betul kecewa dan juga penasaran. Ditutupkannya tirai jendela kereta. Lalu diperintahkannya anak buahnya melanjutkan perjalanan! Si orang tua kembali duduk mencangkung melanjutkan pekerjaannya. Di atas batu tinggi Wiro Sableng tak habis pikir dan garuk-garuk kepalanya. Dua ratus ringgit! Bukan sedikit! Harga tawaran yang semahal itu ditolak oleh si orang tua. Betul-betul manusia ini aneh sekali! Mendadak Wiro Sableng mendengar suara kaki yang berlari cepat. Belum lagi sempat dia berpaling sesosok tubuh tahu-tahu telah berdiri di samping si orang tua. Hebat sekali gerakan orang ini. Begitu terdengar suaranya begitu dia muncul di depan mata. Karena

manusia ini tentunya memiliki kepandaian tinggi, maka Wiro Sableng memperhatikan dengan seksama. Orang ini berbadan sangat gemuk tapi pendek. Demikian gemuknya hingga dagu dan dadanya menjadi satu. Manusia tak berleher ini berambut gondrong yang dikuncir ke atas. Pakaiannya bagus dan di bagian dada terdapat sebuah saku besar empat persegi. Yang tidak sedap dipandang ialah wajahnya. Mukanya yang berminyak itu bermata lebar merah, hidung besar, bibir tebal dan tak bisa mengatup hingga gigi-giginya yang besar serta kuning kelihatan menjorok ke luar. Ha... ha... ha. Ini betul-betul satu lukisan yang bagus luar biasa! berkata si gemuk yang baru datang ini. Bola matanya yang merah berkilat-kilat meneliti lukisan yang tersandar di batu. Si orang tua yang tengah meneruskan pekerjaannya tidak berpaling. Terus saja dia menuliskan rentetan kata-kata pada bagian bawah kanan lukisan itu. Orang tua! Lukisan ini harus kau berikan padaku! kata si gemuk dengan suara keras lantang hingga mengumandang di seantero lamping gunung dan memantul ke dalam jurang batu. Hebat sekali tenaga dalam manusia ini! Namun kehebatan ini seperti tiada terasa dan tiada diperdulikan oleh si orang tua. Si gemuk pendek melangkah mendekati orang tua itu. Dia gusar karena kemunculannya di situ dianggap sepi. Bahkan apa yang dikatakannya tadi tiada diambil perhatian oleh si orang tua! Orang tua! Apa kau tidak dengar ucapanku tadi?! bentak si gemuk. Barulah orang tua itu berpaling. Sepasang alis matanya yang putih dan agak jarang naik ke atas. Ketika kedua alis itu turun maka sekelumit senyum tersungging di bibirnya. Ah, kalau mataku tak salah lihat... bukankah saat ini aku tengah berhadapan dengan salah seorang Dua Iblis Dari Selatan?

***

WIRO SABLENG RAHASIA LUKISAN TELANJANG

I GEMUK terkesiap karena tiada menyana kalau orang tua kurus kering itu mengetahui dirinya. Menurut taksirannya, pastilah si orang tua itu bukan manusia sembarangan. Bagus sekali kau kenali aku! kata si gemuk. Ini membuat aku tak banyak cerewet untuk meminta lukisan itu padamu! Si orang tua tertawa panjang. Siapakah manusia gemuk itu? Dalam dunia persilatan di daerah selatan pada masa itu dikenal dua orang sakti bersaudara yang berkepandaian tinggi. Yang seorang berbadan kurus kerempeng bermuka jelek menyeramkan. Dia berjuluk Iblis Kurus. Yang kedua berbadan gemuk pendek juga bermuka buruk seram dan bergelar Iblis Gemuk. Dan Iblis Gemuk inilah yang tengah berhadapan dengan si orang tua itu! Iblis Gemuk dan Iblis Kurus kedua-duanya lebih dikenal dengan sebutan Dua Iblis Dari Selatan. Di mana ada Iblis Kurus biasanya di situ juga hadir Iblis Gemuk. Entah mengapa sekali ini cuma seorang yang muncul. Dan dalam dunia persilatan keduanya adalah tokoh-tokoh golongan hitam yang berhati jahat sehingga pantas sekali julukan Iblis itu bagi keduanya! Di samping berhati jahat, Iblis Gemuk mempunyai kesukaan mengumpulkan barang-barang antik seperti senjata-senjata kuno, patung-patung dan lukisan. Pada waktu dia melihat lukisan yang dibuat si orang tua maka hatinyapun tertariklah dan dia musti mendapatkan lukisan itu. Tentu saja bukan dengan jalan membeli, tapi menurut caranya sendiri yaitu kekerasan. Setelah meneliti paras Iblis Gemuk sebentar, maka menjawablah si orang tua, Lukisan ini tak bisa kuberikan padamu, atau pada siapapun. Setelah tahu siapa aku apakah kau berani menolak?! ujar Iblis Gemuk. Ah sudahlah pekerjaanku masih belum selesai. Kuharap kau jangan ganggu aku, Iblis Gemuk. Si orang tua memutar kepalanya

kembali dan hendak meneruskan pekerjaannya. Tapi Iblis Gemuk segera membentak keras. Suka atau tidak suka lukisan itu musti kau serahkan padaku! Kalau tidak kau akan menyesal orang tua...! Si orang tua menarik nafas dalam. Lalu tanpa mengacuhkan Iblis Gemuk lagi dia hendak meneruskan kembali pekerjaannya. Marahlah Iblis Gemuk. Dengan tumit kaki kirinya hendak didorongnya orang tua itu ke samping. Tapi belum lagi tumit itu sampai, si orang tua sudah berkelit dan berdiri. Iblis Gemuk terkejut Meski acuh tak acuh tapi gerakannya untuk mengesampingkan orang tua tadi adalah salah satu jurus yang dinamakan Menggeser Bukit yang tidak mudah untuk dikelit. Ini membuat Iblis Gemuk tambah marah dan serta merta pukulkan tangan kirinya ke arah dada orang tua yang kurus kering macam jerangkong itu! Manusia tidak tahu diri! bentak si orang tua mulai marah, Lekas kau pergi dari sini...! Aku akan pergi tapi sesudahnya menghadiahkan satu pukulan padamu dan mendapatkan lukisan itu! Si orang tua menggerendeng lalu papasi jotosan lawan dengan lambaikan tangan kanannya ke muka! Iblis Gemuk menjadi kaget sewaktu merasakan bagaimana sambaran angin yang keluar dari tangan si orang tua membuat bukan saja pukulannya membelok ke samping tapi sekaligus membuat tubuhnya terhuyung-huyung sampai empat langkah ke belakang! Orang tua badan tengkorak! Cepat terangkan siapa kau sesungguhnya?! bentak Iblis Gemuk. Si orang tua tertawa pendek. Tak perlu kau tahu namaku. Lekas tinggalkan tempat ini sebelum aku betul-betul marah! Manusia jerangkong sialan! Terpaksa tulang-tulang di badanmu kubikin berantakan! Habis berkata begitu Iblis Gemuk segera menyerbu ke muka dan kirimkan serangan yang ganas. Dalam tempo yang singkat maka terjadilah pertempuran yang hebat di tikungan jalan yang sempit itu. Di samping mereka, menunggu jurang batu yang luas dan dalam. Salah saja membuat gerakan atau terpukul oleh lawan atau terpeleset, tak ampun lagi pasti akan jatuh ke dalam jurang! Pertempuran telah berjalan delapan jurus.

Wiro geleng-gelengkan kepala. Tak dinyana si orang tua yang kurus kering itu memiliki gerakan yang demikian sebat dan entengnya. Beberapa kali dia melihat bahwa orang tua ini mempunyai peluang untuk menjatuhkan tangan jahat terhadap lawannya, namun tiada dipergunakan. Nyatalah bahwa orang tua ini berhati demikian polosnya sehingga menghadapi lawan yang terangterangan hendak bermaksud buruk kepadanya, dia masih belum mau lepaskan tangan keras! Iblis Gemuk! Apakah kau masih belum mau angkat kaki dari sini?! Kunyuk kurus kering! Terima jurus Memukul Gunung Menentang Bukit ini! teriak Iblis Gemuk. Tinju kanannya menderu ke arah batok kepala lawan sedang kaki kanan serentak dengan itu menendang ke arah dada! Belum lagi pukulan dan tendangan itu sampai, anginnya saja sudah menderu dahsyat! Buukk! Terdengar menyusul suara keluhan tinggi. Tubuh Iblis Gemuk terbanting ke belakang, punggungnya menghantam gundukan batu di atas mana Wiro Sableng duduk, kemudian melosoh jatuh duduk di tanah. Nafasnya megap-megap ketika berdiri. Masih untung dia terbanting ke samping kanan, kalau ke samping kiri pastilah akan terlempar masuk jurang dan tamat riwayatnya. Masih belum cukup peringatan yang kuberikan padamu Iblis Gemuk?! tanya si orang tua. Iblis Gemuk berkemak-kemik. Mukanya pucat. Nyatalah dia telah menderita luka di dalam yang cukup parah akibat pukulan lawan yang tadi menghantam dada kirinya! Bangsat tua! Kau tunggu di sini! Hari ini juga Dua Iblis Dari Selatan akan menunjukkan jalan ke akhirat padamu! Si orang tua tertawa mengekeh. Kau mau panggil kambratmu si Iblis Kurus...? Silahkan... silahkan! Masa ada tamu yang bakal datang aku hendak pergi tinggalkan tempat ini? Pekerjaanku pun belum selesai! Iblis Gemuk meludah ke tanah lalu berkelebat tinggalkan tempat itu, sedang si orang tua seperti tiada terjadi apa-apa kembali meneruskan pekerjaannya! Di atas batu yang tinggi Wiro Sableng memutar otaknya berusaha mengingat-ingat siapa adanya orang tua yang berkepandaian tinggi itu. Belum lagi berhasil mendadak entah dari mana datangnya, tahu-

tahu Wiro Sableng melihat di bawahnya telah berdiri seorang neneknenek berbadan bungkuk berambut putih yang mukanya buruk sekali. Karena Wiro sama sekali tiada mendengar kedatangan perempuan ini nyata sekali dia memiliki ilmu kepandaian yang tinggi luar biasa! Setelah memperhatikan sejenak lukisan yang tersandar di atas batu maka perempuan tua renta ini menegur bertanya, Orang tua, apakah kau melihat dua orang kawanku lewat di sini...? Tidak seperti biasanya, sekali ini begitu ditegur maka orang tua itu hentikan pekerjaannya dan berpaling. Matanya yang sudah dimakan umur itu meneliti dengan seksama sedang keningnya berkerenyit. Hanya ada seorang yang lewat di sini barusan, jawab si orang tua. Iblis Gemuk, apakah dia yang kau maksudkan? Bukan! jawab perempuan tua itu. Dia melirik pada lukisan yang tersandar di batu. Itu kau yang membuatnya? Betul. Bagus sekali! Kuharap pada tanggal satu bulan muka lukisan itu harus kau bawa ke Gunung Sumpang dan menyerahkannya padaku! Kau dengar? Tentu saja dengar. Tapi menyesal sobat, lukisan ini tak bisa kuberikan pada siapa-siapa! Aku tak perduli! sentak si perempuan bongkok. Umurmu memang kulihat sudah lanjut! Tapi tentu kau tak ingin buru-buru mampus! Karenanya jangan banyak mulut! Lukisan ini harus kau bawa ke Gunung Sumpang pada tanggal satu bulan di muka! Tidak mungkin! Kau membantah?! Orang tua berbadan kurus gelengkan kepala. Jangankan diminta, dibeli pun aku tidak sudi! Kalau begitu kau ingin cepat-cepat mati! Sobat, Iblis Gemuk meminta lukisan ini. Aku tidak berikan. Adipati Pamekasan berniat membelinya dua ratus ringgit, aku tidak jual. Sekarang kau juga menghendakinya. Tetap saja aku tak bisa memberikan! Kalau begitu kau berikanlah nyawamu! sahut si perempuan tua seraya mundur satu langkah dan siap-siap untuk kirimkan satu pukulan. Tahan dulu sobat! ujar si orang tua berbadan kurus.

Sesungguhnya ada apakah hingga kau begitu menginginkan lukisan itu?! Itu kau tak perlu tanya! Aku mau lukisanmu habis perkara! Ayo, kau mau serahkan apa tidak?! Lucu! Sungguh lucu! Apa yang lucu?! sentak si perempuan bungkuk bermuka keriput. Lukisan begini rupa banyak orang yang menginginkannya, apa itu bukan lucu?! Orang tua, jangan kau banyak cingcong. Lekas serahkan lukisan itu kalau tidak nasibmu akan seperti ini! Habis berkata begitu perempuan tersebut pukulkan tangan kirinya ke arah batu di atas mana Wiro Sableng duduk sembunyi sejak tadi! Byur! Sekali pukul saja maka hancurlah bagian dasar batu besar yang tinggi itu. Bagian atasnya laksana pohon tumbang, rubuh ke bawah dan menggelinding ke dalam jurang dengan suara menggemuruh. Wiro sendiri begitu merasa bagian bawah batu hancur segera melesat dan berpindah ke puncak batu yang lain! Si orang tua tarik nafas panjang-panjang dan geleng-gelengkan kepala. Pukulan yang bagus luar biasa! Pukulan yang hebat! katanya memuji. Kemudian dipandanginya paras perempuan di hadapannya. Sungguh mataku yang telah tua ini tidak bisa mengenali orang! Mulanya aku masih bersangsi, tapi melihat pukulan Penghancur Baja yang kau lepaskan itu tadi kini aku yakin bahwa aku betul-betul berhadapan dengan Nenek Rambut Putih yang terkenal itu! Jika si orang tua kenali nama gelarannya ini tidak mengherankan si perempuan bungkuk berambut putih. Tapi adalah membuat dia diam-diam merasa kaget sewaktu si orang tua mengetahui nama pukulan yang tadi dilepaskannya! Kalau kau sudah tahu tingginya langit luasnya lautan, apakah kau masih banyak cerewet tak mau serahkan lukisan itu?! Langit memang tinggi, laut memang luas! Tapi apakah semua itu dapat melebihi tinggi dan luasnya budi manusia yang berhati luhur? Terkejut Nenek Rambut Putih mendengar ucapan itu. Lekas beri tahu siapa kau! sentaknya. Si orang tua geleng-gelengkan kepala. Manusia tetap manusia sekalipun dia punya seribu nama!

Manusia tak perlu agul-agulkan nama terhadap sesama manusia. Karena dia dilahirkan tiada bernama...! Cacing kurus! Aku tak punya waktu lama! Terpaksa lukisan itu kuambil sekarang juga! kata Nenek Rambut Putih. Habis berkata demikian laksana kilat dia melompat menyambar lukisan perempuan telanjang yang tersandar di batu. Namun mendadak sontak perempuan tua itu merasakan lengan kanannya nyeri seperti orang kesemutan! Ternyata si orang tua telah melepaskan satu sentilan ujung jari ke arahnya! Jadi kau punya ilmu yang diandalkan hah?! lengking Nenek Rambut Putih. Tanpa sungkan-sungkan lagi dia segera menyerang. Maka untuk kesekian kalinya di jalan menikung yang sempit itu terjadi lagi pertempuran. Kini lebih seru dari pertempuran antara si orang tua dengan Iblis Gemuk sebelumnya. Sepuluh jurus berlalu sangat cepat. Tubuh kedua orang yang bertempur boleh dikatakan lenyap berubah menjadi bayang-bayang. Batu-batu kerikil berhamburan, debu jalanan beterbangan. Wiro Sableng memperhatikan dengan mata tak berkedip. Nenek Rambut Putih gerakannya sangat gesit. Setiap pukulan atau tendangan yang dilancarkannya hebat luar biasa serta mendatangkan angin yang bersiuran. Tapi lawannya juga tak kalah hebat, malah sesudah lewat sepuluh jurus Nenek Rambut Putih berhasil didesaknya ke tepi jurang! Perempuan tua, jika kau tak mau tinggalkan tempat ini secara baik-baik pasti riwayatmu akan tamat di dasar jurang sana! Nenek Rambut Putih kertakan rahang-rahangnya. Dia melompat ke sebuah batu datar dan dari sini lancarkan satu tendangan ganas. Lawannya berkelit gesit ke samping. Akibatnya tendangan itu melanda sebuah batu di hadapan Nenek Rambut Putih. Batu itu hancur berkeping-keping! Si orang tua badan jerangkong terkejut melihat hal ini. Rupa-rupanya lawan benar-benar inginkan jiwanya. Maka segera dirubah permainan silatnya. Dalam sekejap saja tubuhnya lenyap dan membuat Nenek Rambut Putih kebingungan sendiri! Bret! Si nenek tersurut mundur. Pakaiannya di pinggang robek besar dan kulit badannya terasa dingin sedang di hadapannya manusia yang menjadi lawannya tertawa-tawa dan menegur, Kita tak ada permusuhan. Sebaiknya lekas tinggalkan tempat ini!

Tenggorokan Nenek Rambut Putih kelihatan turun naik. Kegemasan nyata sekali terlihat pada parasnya yang tua keriputan. Dia menyadari bahwa manusia itu bukan tandingannya. Meski demikian untuk menutupi rasa malunya, Nenek Rambut Putih berkata, Sayang aku tengah mencari dua orang sahabatku. Kalau tidak, sampai seribu jurus pun aku akan ladeni kau. Si orang tua ganda tertawa. Permusuhan tanpa alasan bisa dicari, sahutnya Berlalulah...! Tanggal satu di bulan muka lukisan itu harus sudah kau sampaikan ke Gunung Sumpang! Kalau tidak aku dan kawan-kawan tak akan memberi ampun padamu, orang tua! Aku tidak punya kesalahan apa-apa padamu. Perlu apa mintaminta ampun segala?! menyahuti si orang tua. Tapi Nenek Rambut Putih telah berkelebat dan menghilang dari tempat itu! Baru saja Nenek Rambut Putih lenyap di balik tikungan sebelah kanan, maka dari tikungan sebelah kiri terdengar seruan nyaring, Orang tua keparat! Aku datang untuk menagih jiwamu!

***

WIRO SABLENG RAHASIA LUKISAN TELANJANG

ERNYATA yang datang bukan lain daripada Iblis Gemuk yang tadi telah bertempur dengan si orang tua berbadan kurus. Kali ini dia datang bukan sendirian, tapi bersama seorang laki-laki berbadan tinggi yang kurus luar biasa, lebih kurus dari si orang tua sendiri. Keadaan tubuhnya serta tampangnya yang mengerikan persis seperti jerangkong hidup. Seperti Iblis Gemuk, manusia ini pun menguncir ke atas rambutnya yang gondrong dan dia bukan lain daripada Iblis Kurus, kakak kandung dan kakak seperguruan Iblis Gemuk. Iblis Kurus memang memiliki ilmu kepandaian yang jauh lebih tinggi daripada Iblis Gemuk. Karena itulah Iblis Gemuk telah mencari kakaknya itu di kaki gunung dan membawanya ke tempat si orang tua melanjutkan pertempuran yang telah terjadi sebelumnya! Si orang tua yang tadi sudah hendak mencangkung untuk melanjutkan pekerjaannya, mendengar suara seruan nyaring itu segera berdiri. Hem... kau betul-betul datang menepati janji, Iblis Gemuk! kata si orang tua sambil melirik pada Iblis Kurus. Iblis Kurus memandang mencemooh. Adikku, apakah ini manusianya yang telah berani turunkan tangan lancang terhadapmu?! Betul, memang dia bangsatnya! sahut Iblis Gemuk. Iblis Kurus memperhatikan lukisan di belakang si orang tua. Lukisan itu memang bagus sekali serta merangsang. Tidak salah kalau adiknya demikian tertarik dan menginginkannya. Manusia kurus cacingan macam ini saja kau tidak sanggup menghadapi. Betul-betul membuat nama besarku menjadi luntur! Si orang tua tertawa dingin. Tampang dan tubuhmu jauh lebih buruk dari aku, Iblis Kurus. Karenanya tak perlu mencela orang lain... Kakakku, kurasa tak perlu kita bicara panjang lebar dengan bangsat tua ini. Mari kita musnahkan dia! ujar Iblis Gemuk.

Si orang tua tertawa mengekeh. Nyalimu melembung besar kembali Iblis Gemuk! Tentu kau mengandalkan kakakmu ini, bukan?! Orang tua keparat! Ajal sudah di depan mata masih bisa bicara sombong! Si orang tua berpaling pada Iblis Kurus lalu berkata, Sobat, nama besar kalian berdua sudah lama kudengar. Antara kita tak ada permusuhan... Sesudah kau berani berlaku lancang terhadap adikku, apakah itu bukan berarti permusuhan?! potong Iblis Kurus. Itu salah adikmu sendiri! sahut orang tua itu dengan nada sabar. Dia inginkan lukisanku. Aku menolak. Dia memaksa malah lakukan kekerasan. Salahkah kalau aku memberi sedikit pelajaran padanya?! Tapi tidak seorangpun yang boleh turun tangan seenaknya terhadap Dua Iblis Dari Selatan! tukas Iblis Gemuk. Si orang tua tertawa mengejek. Sifat manusia memang banyak yang aneh, katanya. Ingin menggebuk orang lain, tapi digebuk tidak mau! Iblis Kurus rangkapkan tangan di muka dada. Orang tua, sebaiknya kau serahkan saja lukisan itu pada adikku. Niscaya kami Dua Iblis Dari Selatan tidak akan bikin urusan menjadi panjang! Orang tua itu geleng-gelengkan kepala. Heran, katanya, mengapa di dunia ini masih banyak manusiamanusia yang ingin memaksakan kehendaknya terhadap orang lain... Kau mau serahkan lukisan itu atau tidak?! bentak Iblis Kurus. Kalau begitu lekas terangkan namamu! Aku tidak pernah membunuh manusia tanpa tahu nama atau julukannya sekalipun manusia tak berguna macam kau! Si orang tua tertawa panjang tapi kali ini tawanya bernada rawan. Seharian ini banyak sekali orang-orang yang ingin tahu namaku, katanya. Padahal semua manusia dilahirkan tidak bernama... Jangan ngaco! Lekas beritahu namamu! hardik Iblis Kurus sambil maju satu langkah. Sebagai jawaban maka kali ini orang tua aneh itu keluarkan serangkaian nyanyian:

Puluhan tahun mengembara Tiada berumah tiada bertempat tinggal Delapan penjuru angin penuh dengan keindahan Bukankah pekerjaan baik, melukis segala yang indah? Mendengar suara nyanyian itu terkejutlah Dua Iblis Dari Selatan. Mereka saling pandang sejenak. Jadi rupanya kaulah Si Pelukis Aneh yang selama ini malang melintang dalam dunia persilatan?! ujar Iblis Kurus. Hatinya berdebar juga mengetahui siapa adanya manusia di hadapannya, tapi dia tidak takut Si orang tua yang memang Si Pelukis Aneh adanya mengusapusap dagunya. Sungguh tiada diduga hari ini Dua Iblis Dari Selatan akan berhadapan dengan Si Pelukis Aneh akan pasrahkan jiwanya di tanganku! Si pelukis Aneh tertawa panjang-panjang. Rupanya hari ini aku terpaksa mencabut pantangan membunuh yang sejak lama kulakukan. Orang lain hendaki jiwaku, mana mungkin aku berpangku tangan...?! Bagus! Sekarang terima jurus pertama ini kunyuk tua! teriak Iblis Kurus dan dengan serta merta menyerang ke muka. Dibandingkan dengan Iblis Gemuk yang kepandaiannya sudah tinggi maka Iblis Kurus jauh lebih tinggi lagi ilmu silatnya. Tahu menghadapi lawan yang tangguh maka Iblis Kurus keluarkan jurusjurus terhebat dari ilmu silatnya sehingga dalam waktu yang singkat serangannya laksana hujan bertubi-tubi melanda tubuh Si Pelukis Aneh! Dalam lima jurus pertama Si Pelukis Aneh dibikin terdesak hebat. Kesempatan ini dipergunakan oleh Iblis Gemuk untuk bergerak mengambil lukisan perempuan telanjang yang tersandar di batu! Meski dalam keadaan terdesak, si Pelukis Aneh masih sempat melihat gerakan lawannya yang satu itu. Maka dengan melengking tinggi orang tua ini melompat sejauh dua tombak lalu menukik laksana kilat dan lancarkan satu tendangan ke arah Iblis Gemuk. Iblis Gemuk terpaksa batalkan niatnya untuk mengambil lukisan itu dan buru-buru menyingkir karena angin tendangan lawan deras dan bahayanya bukan olah-olah! Baru saja Si Pelukis Aneh jejakkan kakinya di tanah, maka Iblis Kurus telah menyerbunya dengan dua tendangan, dua pukulan!

Namun kali ini Si Pelukis Aneh telah rubah permainan silatnya. Matanya yang tajam dan penuh pengalaman itu sudah melihat kelemahan-kelemahan ilmu silat lawan. Maka sekali tubuhnya berkelebat, Iblis Kurus merasakan desakan serangan yang hebat sekali membuat dia selangkah demi selangkah dan jurus demi jurus terdesak hebat. Dia sama sekali tak dapat melihat gerakan lawan dan tahu-tahu tangan atau kaki orang tua itu sudah berada dekat kepala atau tubuhnya! Hanya dengan mengandalkan ilmu meringankan tubuhnya yang sempurnalah maka dia masih sanggup elakkan semua serangan lawan itu! Tapi sampai beberapa lama dia sanggup bertahan?! Iblis Kurus menjadi gemas sekali. Semakin lama seakan terdesak dia. Gerakan lawan yang campur aduk tak bisa dilihatnya mengacaukan serangan serta jurus-jurus pertahanannya yang terlihai. Iblis Kurus keluarkan keringat dingin sewaktu dirinya didesak hebat ke tepi jurang! Setiap dicobanya untuk melompat ke samping selalu dia berhadapan dengan tendangan-tendangan atau jotosanjotosan lawan yang menyambar di muka hidungnya hingga dia terpaksa membatalkan niatnya untuk melompat ke samping! Dalam pada itu, detik demi detik tepi jurang semakin dekat juga. Dalam jurus pertempuran yang kelima belas tepi jurang yang terjal itu hanya tinggal beberapa langkah saja lagi di belakangnya! Gemuk! Lekas bantu aku! teriak Iblis Kurus. Mendengar ini Iblis Gemuk yang memang sejak tadi sudah punya niat untuk mengeroyok si orang tua yang sebelumnya telah menghajarnya segera cabut senjata dari balik pakaian. Senjatanya ini berbentuk pedang tapi bergerigi seperti gergaji. Karena senjata ini ditimpa dan dilapisi emas murni maka sinar kuning kelihatan menderu sewaktu pedang itu membabat ke arah punggung Si Pelukis Aneh! Si Pelukis Aneh yang tengah mendesak gencar Iblis Kurus menjadi terkejut sewaktu merasakan sambaran angin yang deras datang menerpanya dari belakang! Didahului dengan satu lambaian tangan kanan yang mendatangkan angin keras, maka Si Pelukis Aneh dengan cepat memutar badan menghadapi serangan pedang berbentuk gergaji di tangan Iblis Gemuk! Kesempatan ini dipergunakan oleh Iblis Kurus untuk melompat ke samping menjauhi tepi jurang batu lalu dengan cepat mencabut pula senjatanya yang bentuknya sama dengan yang di tangan Iblis

Gemuk. Melihat pengeroyokan curang ini, Wiro Sableng menjadi penasaran. Segera dia hendak melompat dari atas puncak batu untuk membantu si orang tua. Tapi tindakannya tak jadi dilakukan karena pada saat itu dilihat si kakek telah berkelebat dan kini di tangannya memegang pelepah pisang yang berdaun lebar di mana sebelumnya dia meletakkan cairan-cairan aneka warna yang dipergunakan untuk melukis! Dengan mempergunakan benda ini sebagai senjata maka si orang tua menghadapi kedua lawannya dengan hebat luar biasa! Karena daun pisang itu lebar sekali, ditambah dengan saluran tenaga dalam yang tinggi maka setiap benda itu berkilat menderulah angin deras luar biasa yang menerpa setiap serangan pedang Iblis Gemuk dan Iblis Kurus! Dua sinar kuning senjata pengeroyok bergulung-gulung ganas. Agaknya Dua Iblis Dari Selatan itu mulai mengeluarkan jurus-jurus terlihai dari ilmu pedang mereka. Bagus! Bagus! Keluarkan seluruh kepandaianmu! Aku mau lihat! seru Si Pelukis Aneh. Daun pisang di tangannya bergerak kian kemari melumpuhkan sama sekali setiap jurus serangan yang dilancarkan. Yang membuat Pendekar 212 Wiro Sableng jadi leletkan lidah ialah karena tak sekalipun pedang-pedang di tangan lawan sanggup membuat satu goresan pada daun pisang. Dan yang paling luar biasa ialah meski digerakkan demikian cepatnya dan dipergunakan sebagai senjata namun cairan-cairan aneka warna yang ada di daun pisang itu tidak satu tetespun yang tumpah atau meleleh! Benarbenar luar biasa kehebatan Si Pelukis Aneh! Dalam mengagumi kehebatan orang tua itu tiba-tiba terdengar pekikan setinggi langit. Ternyata daun pisang di tangan Pelukis Aneh telah menerpa dada Iblis Kurus. Pedangnya mental sedang tubuhnya terpelanting sampai beberapa tombak dan celakanya terus terguling ke tepi jurang! Dengan salah satu tangannya Iblis Kurus coba memegang sebuah batu runcing yang menonjol di tepi jurang. Tapi pukulan daun pisang yang dialiri tenaga dalam yang tadi menghantam dadanya telah melumpuhkan sama sekali kekuatan Iblis Kurus. Meski dia berhasil memegang batu runcing itu dan menahan dirinya agar tidak jatuh ke dalam jurang namun sia-sia saja. Sesaat kemudian pegangannya terlepas dan tak ampun lagi tubuhnya melayang masuk jurang. Batu-batu runcing menantinya di

dasar jurang! Untuk kedua kalinya terdengar jeritan Iblis Kurus. Yang sekali ini lebih mengerikan! Melihat kakaknya yang berilmu lebih tinggi menemui kematian begitu rupa, Iblis Gemuk jadi bergidik. Berdua dia tak sanggup menghadapi Si Pelukis Aneh, apalagi seorang diri! Maka tanpa pikir panjang dan tanpa tunggu lebih lama Iblis Gemuk segera ambil langkah seribu! Si Pelukis Aneh tertawa mengekeh. Diambilnya pedang Iblis Kurus yang menggeletak di tanah. Orang jahat, matamu sudah tak layak hidup lebih lama, Iblis Gemuk! teriak Si Pelukis Aneh lalu lemparkan pedang ke arah Iblis Gemuk yang tancap gas larikan diri! Pedang itu menancap tepat di pertengahan punggung Iblis Gemuk terus menembus sampai di luar ujung pada dadanya! Tamatlah riwayat Dua Iblis Dari Selatan! Si Pelukis Aneh mengusap mukanya. Ditariknya nafas dalamdalam lalu dia duduk menjelepok di tanah dan memandangi lukisannya. Kemudian tanpa palingkan kepala dari lukisan itu, dia berseru, Orang yang sembunyi di atas batu tinggi harap turun! Kagetlah Wiro Sableng. Pendekar ini garuk-garuk kepalanya. Lalu tanpa sungkan-sungkan lagi keluar dari persembunyiannya dan melompat turun.

***

WIRO SABLENG RAHASIA LUKISAN TELANJANG

ENDEKAR 212 Wiro Sableng jejakkan sepasang kaki di tanah tanpa keluarkan sedikit pun suara. Begitu dia berdiri di hadapan si orang tua segera dia menjura dan berkata, Aku yang muda merasa beruntung sekali dapat bertemu dengan tokoh silat terkenal di delapan penjuru angin. Pelukis Aneh tidak palingkan kepalanya dari lukisan yang tengah dipandangnya. Siapa namamu...? Wiro. Apa kau punya gelar? Wiro Sableng yang tak mau tonjolkan diri menjawab dengan gelengan kepala. Lantas Si Pelukis Aneh bertanya lagi, Kenapa kau sembunyi di atas batu sana? Aku tak ingin mengganggumu, orang tua. Bagus, kau tahu peradatan juga rupanya. Untuk pertama kalinya Si Pelukis Aneh palingkan wajah dan meneliti Wiro Sableng sejurus. Lalu dia memandang lagi pada lukisannya dan menggoyangkan kepala. Menurutmu apakah lukisanku ini bagus? tanya Si Pelukis Aneh. Bagus luar biasa, jawab Wiro Sableng. Si Pelukis Aneh tertawa pendek. Kalau lukisan ini kuberikan padamu, apakah kau mau menerimanya...? Wiro berpikir sejenak. Adipati Pamekasan telah menawar lukisan itu sampai dua ratus ringgit, Si orang tua tidak menjualnya. Iblis Gemuk dan Iblis Kurus menemui kematian karena inginkan lukisan itu. Nenek Rambut Putih dibikin kelabakan sewaktu memaksakan kehendaknya atas lukisan itu. Maka adalah mustahil kalau kini Si Pelukis Aneh hendak berikan lukisan perempuan telanjang itu kepadanya!

Wiro menjawab, Ah, hatimu terlalu baik orang tua. Aku yang rendah ini mana berani menerima buah ciptaanmu yang bagus luar biasa ini?! Si Pelukis Aneh tertawa dan usap-usap dagunya. Manusia kerap kali tertipu oleh pandangan matanya, berkata Si Pelukis Aneh. Apa yang kelihatan bagus itu belum tentu betul-betul bagus. Bukankah begitu...? Wiro anggukkan kepala. Kau mengangguk! Tapi apa kau bisa beri satu contoh daripada sesuatu yang kelihatan bagus namun nyatanya buruk? Pertanyaan si orang tua yang tiada terduga membuat Wiro Sableng jadi garuk-garuk kepalanya. Di kejauhan dilihatnya sebuah gunung hijau membiru. Dia kemudian menunjuk ke arah gunung itu. Kau lihat gunung yang jauh itu, orang tua? Ya... ya..., aku lihat. Dari sini kelihatannya bagus sekali. Biru kehijauan. Tapi coba kita mendekatinya. Gunung yang bagus itu tak lebih daripada pohonpohon besar liar, semak-semak belukar, tanah, batu-batu dan lain sebagainya. Pelukis Aneh tertawa. Kau betul! Otakmu cerdik. Tentu kau murid seorang yang bijaksana. Siapakah gurumu orang muda? Wiro Sableng tak menjawab. Dia tak bisa menjawab. Dia tahu betul kalau gurunya Eyang Sinto Gendeng akan marah sekali bila namanya digembar-gembor di luaran. Maka akhirnya pemuda ini menjawab dengan senyum-senyum, Pengalaman adalah guru yang paling baik dan bijaksana bagi setiap manusia... Si Pelukis Aneh kerenyitkan kening dan menatap paras si pemuda lekat-lekat. Sesaat kemudian mengumandanglah suara tertawa orang tua ini di seantero lamping gunung dan jurang batu. Tong kosong selalu berbunyi nyaring. Tong penuh tak akan mengeluarkan suara nyaring! Orang berilmu tinggi akan bersikap rendah bijaksana, orang berilmu sedikit sering jual tampang, jual pamer dan bermulut besar. Kuharap saja bocah itu kelak akan mempunyai sifat macammu, Wiro! Telah dua kali dengan ini si orang tua menyebut bocah. Maka bertanyalah Wiro, Pelukis Aneh, siapakah yang kau maksudkan dengan bocah itu? Calon muridku! jawab Si Pelukis Aneh. Kemudian ditelitinya lukisan di hadapannya.

Wiro memperhatikan pula dengan seksama. Lukisan perempuan telanjang itu betul-betul bagus luar biasa. Betul-betul seperti melihat manusia hidup di depan mata. Memandang lama-lama Wiro Sableng menjadi jengah juga. Tadi kulihat Adipati Pamekasan hendak membeli lukisan ini sampai dua ratus ringgit. Kenapa kau tidak menjualnya? tanya Wiro. Si Pelukis Aneh tertawa. Bacalah tulisan di sudut kanan bawah. katanya. Wiro Sableng baru ingat pada tulisan itu. Tadi waktu memandang lukisan matanya hanya terpukau pada tubuh telanjang si perempuan cantik saja. Kini diperhatikannya bagian yang dikatakan si orang tua. Pada sudut bawah sebelah kanan lukisan terdapat tulisan berbunyi: Lukisan ini kuwariskan kepada calon muridku: Wira Prakarsa. Wiro manggut-manggut Calon muridmu itu, di manakah sekarang? Tentu saja di rumahnya. sahut Si Pelukis Aneh. Umurnya baru sepuluh tahun. Kelak pada umur duabelas tahun baru dia kuambil jadi murid. Lalu apa perlu lukisan perempuan telanjang ini hendak kau serahkan padanya? tanya Wiro tak mengerti, Ah... itu satu hal yang aku tak bisa terangkan, orang muda. Wiro maklum tentu ada apa-apanya. Namun demikian, pendekar ini berkata pula, Begitu selesai apakah lukisan ini akan kau berikan pada calon muridmu itu? Pelukis Aneh gelengkan kepala, Aku tidak terlalu bodoh. jawabnya. Sekarang saja orang-orang jahat sudah pada memaksa dengan kekerasan untuk inginkan lukisan ini. Kalau diberikan saat ini pada bocah itu pasti bisa berabe. Nanti pada dua tahun di muka baru kuberikan. Dua tahun di muka calon muridmu itu baru berumur duabelas tahun. Bagaimanapun dia tetap masih disebut anak-anak. Apakah memberikan lukisan yang begini macam ke padanya bukan merupakan satu hal yang tidak pada tempatnya...?! Si Pelukis Aneh tertawa. Aku sudah bilang segala sesuatu yang bagus itu seringkali menipu kita. Dan di dalam seribu satu keanehan dunia, kita manusia ini tahu apa?! Wiro maklum kalau si orang tua adalah seorang yang pandai dan bijaksana. Di samping itu mempunyai sifat aneh sehingga tak salah

kalau dunia persilatan memberi gelar Si Pelukis Aneh kepadanya! Wiro. berkata Pelukis Aneh. Kalau aku tak salah raba agaknya kau tengah dalam satu perjalanan atau pengembaraan. Tengah menuju ke manakah kau sebetulnya? Wiro Sableng merasa bimbang untuk mengatakannya terus terang bahwa sesungguhnya saat itu dia tengah menuju Goa Belerang untuk menemui Kiai Bangkalan. Maka pendekar ini menjawab, Manusia macamku ini berjalan hanya sepembawa kaki saja, orang tua. Setelah bicara-bicara beberapa lamanya akhirnya Wiro Sableng minta diri dan meneruskan perjalanan. Sampai di kaki gunung, matahari bersinar semakin terik. Tanpa perdulikan keterikan yang membakar jagat itu, Pendekar 212 Wiro Sableng teruskan perjalanannya dengan mempergunakan ilmu lari cepatnya, dan sambil bersiul-siul. Ketika dia berada di sebuah kaki bukit, mendadak di puncak bukit dilihatnya dua titik kuning laksana bintang malam bergerak cepat ke arah selatan. Wiro hentikan larinya guna dapat meneliti lebih jelas. Dua buah titik itu sangat jauh, tapi Wiro yakin itu adalah dua orang manusia yang tengah berlari cepat. Wiro memperhatikan terus. Dua titik kuning itu menuruni bukit di sebelah selatan terus laksana terbang menuju ke daerah berbatu-batu dan terus lagi ke pegunungan di mana sebelumnya Wiro berada. Akhirnya dua titik kuning itu lenyap di batas pemandangan Pendekar 212 Wiro Sableng. Sewaktu Wiro ingat akan Si Pelukis Aneh yang ditemuinya di lamping pegunungan itu, mendadak hatinya menjadi berdesir, lebih cepat kalau dikatakan berdebar! Dua titik kuning itu pasti dua orang berkepandaian tinggi yang mempergunakan ilmu lari cepat. Dan keduanya mungkin pula orang-orang jahat yang sengaja pergi ke gunung itu untuk melakukan perbuatan yang tidak baik terhadap Si Pelukis Aneh. Wiro merutuki dirinya sendiri karena sampai berpikir begitu jauh. Diputarnya badannya hendak melanjutkan perjalanan namun langkah yang dibuatnya tertahan-tahan oleh rasa kebimbangan. Akhirnya Pendekar 212 membalikkan diri lalu berlari cepat ke jurusan selatan. Dua kali peminum teh baru Wiro Sableng sampai ke tikungan jalan di lamping gunung. Dan betapa terkejutnya Pendekar 212 sewaktu dia sampai di tempat itu!

Larinya dengan serta merta terhenti. Sepasang kakinya laksana dipakukan ke bumi! Matanya menyipit, dada menggemuruh, kedua tinju terkepal sedang rahang terkatup rapat-rapat! Terkutuk! desis Pendekar 212. Dia berlutut di hadapan tubuh Si Pelukis Aneh yang menggeletak di tikungan jalan. Tubuh orang tua ini mengerikan sekali. Mulai dari kepala sampai ke kaki ditancapi oleh puluhan paku berwarna kuning yang terbuat dari besi berlapiskan emas. Benda-benda yang merupakan senjata rahasia hebat ini pastilah mengandung racun yang luar biasa jahatnya karena saat itu Wiro melihat tubuh Si Pelukis Aneh berada dalam keadaan gembung membiru. Yang mengerikan ialah apa yang tercengkeram di tangan kanan Si Pelukis Aneh yang sudah tidak bernyawa itu. Pada jari-jari tangan kanannya tergenggam sebuah kutungan lengan yang tertutup kain kuning! Warna lain ini mengingatkan Wiro pada dua titik kuning yang dilihatnya sebelumnya. Melihat kepada bentuknya pastilah potongan lengan jubah seseorang. Tidak dapat tidak rupanya telah terjadi lagi pertempuran di tempat itu antara Si Pelukis Aneh dan dua orang berpakaian kuning yang dilihat Wiro di kejauhan yaitu sewaktu di kaki bukit sebelah utara. Meski menemui kematian di tangan dua pengeroyok namun Si Pelukis Aneh masih sanggup membetot putus lengan kiri salah seorang lawannya hingga tanggal dan dalam matinya masih mencengkeram lengan itu! Wiro Sableng tersentak sewaktu dia ingat pada lukisan perempuan telanjang. Tapi lukisan itu telah lenyap dari situ! Pasti dua manusia berpakaian kuning pengeroyok Si Pelukis Aneh itulah yang telah mencurinya! Wiro berdiri perlahan. Dia tak berani menyentuh tubuh Si Pelukis Aneh meski dirinya kebal terhadap segala macam racun. Dia harus menggali sebuah lubang dan mengubur orang tua itu. Tengah dia memandang berkeliling mencari tempat yang baik mendadak Wiro melihat sepasang kaki kecil tersembul di balik unggukan batu yang terletak tak berapa jauh dari tepi jurang. Cepat-cepat Pendekar 212 melangkah ke batu itu. Di sini ditemuinya seorang anak kecil berpakaian compang-camping, menggeletak tak bergerak. Kepalanya ada benjut besar. Sewaktu diperiksa ternyata dia cuma pingsan. Setelah ditolong dan diurut-urut dadanya akhirnya anak ini siuman. Begitu siuman begitu dia menangis. Tampangnya tolol sekali! Namamu tentu Wira. tegur

Pendekar 212. Anak itu hentikan tangis dan seka kedua matanya lalu memandang pada Wiro Sableng. Sewaktu dia melihat tubuh Si Pelukis Aneh maka anak ini kembali menangis lebih keras. Setelah reda Wiro menanyakan bagaimana dia sampai berada di tempat itu. Dengan terhenti-henti oleh sesenggukan maka si anak memberi penuturan. Namanya memang Wira Prakarsa, calon murid Si Pelukis Aneh. Katanya dia tengah bermain-main di depan rumah sewaktu dua orang berpakaian kuning bertampang mengerikan mendatanginya. Salah seorang dari mereka langsung mendukungnya dan membawanya lari luar biasa cepatnya. Sepanjang jalan orang yang mendukungnya itu tiada henti menanyakan di mana letak pegunungan yang biasanya didatangi oleh calon gurunya. Karena tak tahan dipukuli akhirnya dia memberi tahu. Dan sewaktu sampai di tempat Si Pelukis Aneh maka langsung saja kedua orang berpakaian kuning itu menyerang calon gurunya. Menurut penuturan si anak lama sekali ketiga orang itu bertempur. Kemudian ada sambaran angin yang menyerempetnya hingga membuat dia terpelanting. Kepalanya membentur batu lalu dia tak ingat apa-apa lagi! Wiro maklum kini apa yang telah terjadi. Apa kau pernah melihat kedua orang itu sebelumnya? Wira Prakarsa menggeleng. Tadi kau katakan muka kedua orang itu mengerikan sekali. Bisa kau mengatakan apa-apa yang mengerikan itu? Si anak seka lagi sepasang matanya lalu menjawab dengan masih sesenggukan. Yang mendukungku matanya cuma satu, berewokan. Kawannya juga berewokan, bermata besar merah dan tak punya kuping... Wiro Sableng merenung. Tak pernah dia bertemu dengan dua manusia macam itu, juga tak pernah mendengar tentang ciri-ciri mereka sebelumnya. Apakah kau tahu apa yang dibuat gurumu di sini sebelum dia meninggal? Dia melukis. Katanya lukisan itu untukku. Di dalam lukisan itu ada... Si anak tarik kembali lidahnya dan tak teruskan bicara. Ada apa...? tanya Wiro ingin tahu. Tidak, tak ada apa-apanya. Menyahuti si anak, lalu kembali dia menangis. Pendekar 212 Wiro Sableng semakin yakin bahwa di dalam

lukisan itu musti ada apa-apanya. Ada tersembunyi satu rahasia besar yang cuma Si Pelukis Aneh dan calon muridnya itu yang tahu. Apakah beberapa tokoh silat tahu rahasia itu sehingga mereka menginginkan lukisan tersebut? Ataukah cuma tertarik pada kebagusan lukisan perempuan bertelanjang itu belaka? Tapi agaknya dua manusia berpakaian kuning yang telah membunuh Si Pelukis Aneh bukan cuma tertarik pada kebagusan lukisan. Mungkin sekali mereka telah mengetahui rahasia apa yang terkandung dalam lukisan itu! Setelah menggali sebuah lobang besar dan mengubur Si Pelukis Aneh maka Wiro Sableng mendukung Wira Prakarsa lalu membawanya berlari kembali pulang ke rumahnya. Ternyata anak ini adalah anak seorang petani miskin yang saat itu masih belum kembali dari ladangnya. Wira, kata Pendekar 212 sambil pegang kepala si anak. Karena pemilik sah lukisan itu adalah kau, maka aku akan mencarinya sampai dapat dan mengembalikannya padamu... Anak itu manggut-manggut dengan tampangnya yang tolol. Sewaktu meninggalkan si anak, Pendekar 212 tak habis pikir bagaimana Si Pelukis Aneh telah memilih anak yang begitu tolol untuk calon muridnya. Tapi bila dia ingat pula bahwa dia sendiri dulunya adalah seorang anak yang tolol geblek maka segala pikiran yang bukan-bukan tentang Si Pelukis Aneh maupun anak tadi segera lenyap. Kalau dia tolol karena dia masih anak-anak, ujar Wiro dalam hati. Aku yang sudah dedengkot begini rupa masih sableng! Masih mending anak itu! *** Satu bulan kemudian dunia persilatan dilanda kehebohan. Tokohtokoh silat terkenal dari delapan penjuru angin dan partai-partai persilatan berusaha keras untuk mendapatkan sebuah lukisan telanjang yang mengandung rahasia besar. Siapa yang berhasil mendapatkan lukisan itu dan memecahkan rahasia besar yang tersembunyi pasti akan sangat beruntung karena di dalam lukisan itu terkandung semacam ilmu silat dan ilmu kesaktian yang hebat luar biasa dan sukar dicari tandingannya di delapan penjuru angin! Mula-mula lukisan itu jatuh ke tangan sepasang Elmaut Kuning. Lalu berpindah tangan pada beberapa orang tokoh silat. Terakhir

sekali kabarnya kembali jatuh ke tangan sepasang Elmaut Kuning. Dan dalam tempo satu bulan itu telah belasan tokoh silat menjadi korban. Satu partai besar hancur lebur semua gara-gara lukisan perempuan telanjang yang mengandung rahasia besar itu!

***

WIRO SABLENG RAHASIA LUKISAN TELANJANG

ENDEKAR 212 Wiro Sableng tengah berlari di antara rapatnya pohon-pohon dan semak belukar di dalam sebuah rimba belantara sewaktu satu suara dengan santar menggeledek membentaknya. Berhenti! Wiro terkesiap dan hentikan larinya. Belum lagi dia sempat berpaling tahu-tahu sesosok tubuh telah berdiri di hadapannya. Orang ini berjanggut putih yang panjangnya sampai ke dada. Selempang kain putih menutupi badannya. Pada sisi kiri kanan tergantung dua buah bumbung bambu. Dewa Tuak! seru Pendekar 212. Hatinya gembira tapi juga bersangsi. Manusia di hadapannya kelihatan tambah tua dari dulu pertama sekali ditemuinya. Tapi meski demikian masih tetap tegap kuat. Wiro Sableng menjura dalam-dalam. Orang tua di hadapannya tertawa gelak-gelak lalu mengangkat salah satu bumbung bambu dan meneguk tuak di dalamnya sampai lepas dahaganya. Setelah menyeka mulutnya yang berselomotan tuak maka Dewa Tuak berkata, Beratus hari mencarimu, saat ini baru bertemu! Diam-diam Wiro mengeluh. Apakah orang tua ini masih hendak melaksanakan niatnya tempo hari yaitu memaksa menjodohkannya dengan muridnya?! Untuk mengetahuinya maka Wiro cepat-cepat bertanya, Apakah kau masih juga hendak memaksakan niatmu tempo hari, Dewa Tuak...? Dewa Tuak angkat lagi bumbung tuak dan meneguknya beberapa kali. Kemudian digelengkan kepalanya perlahan-lahan. Mukanya kelihatan merah oleh hangatnya minuman yang diteguknya itu. Melihat gelengan kepala ini Pendekar 212 merasa lega sedikit. Namun demikian apa pula gerangan yang membuat si orang tua berkata bahwa telah beratus hari dia mencari-cari dirinya? Aku tahu... aku tahu dulu itu aku telah berlaku picik! Soal jodoh

mana bisa dipaksakan?! Dewa Tuak tertawa gelak-gelak. Kalau begitu tengah menuju ke manakah kau saat ini, Dewa Tuak? Kau sendiri tengah menuju ke mana Wiro? Wiro tak mau menceritakan bahwa dia sedang mencari lukisan perempuan telanjang yang tengah dihebohkan dunia persilatan waktu itu. Namun demikian Dewa Tuak telah mengetahuinya dan berkata, Ah, rupanya kau juga telah ikut-ikutan terlibat dalam mencari lukisan itu, orang muda? Wiro terkejut. Kunasihatkan padamu agar segera mengundurkan diri saja. Lukisan itu hanya mendatangkan malapetaka, lain tidak! Belasan tokoh silat telah menemui ajalnya. Satu partai besar telah musnah gara-gara lukisan itu! Apa kau juga ingin mati percuma hanya karena lukisan telanjang itu?! Tapi lukisan itu ada sangkut pautnya dengan diriku, Dewa Tuak... Eh, sangkut paut bagaimana? tanya Dewa Tuak heran. Maka Wiropun menuturkan pertemuannya dengan Si Pelukis Aneh serta janjinya terhadap Wira Prakarsa yaitu calon murid Si Pelukis Aneh itu. Dewa Tuak menarik nafas panjang. Memang, itu sudah menjadi tugasmu orang muda. Dunia persilatan tak akan tenteram sebelum lukisan itu kembali pada pemiliknya yang sah... Keduanya berdiam diri sebentar. Dewa Tuak, apakah kau sudah mendengar tentang muridmu? tanya Wiro. Sudah... sudah! Aku gembira melihat dia kini berada dan bertapa di Goa Dewi Kerudung Biru. Dia beruntung sekali bertemu dan ditolong bahkan diambil murid oleh Dewi Kencana Wungu tempo hari. Terakhir sekali aku bertemu katanya dia hendak mempersuci diri, mengundurkan diri dari segala urusan duniawi. Wiro Sableng termenung mendengar keterangan Dewa Tuak itu. Ingat dia akan masa beberapa tahun yang lewat, berdua-duaan dengan Anggini, murid Dewa Tuak itu. Sekarang marilah ikut aku, kata Dewa Tuak. Ikut ke mana Dewa Tuak?

Ikut sajalah. Terima kasih. Tapi aku ada urusan yang penting. Kau sendiri sudah maklum. Justru aku ajak kau untuk pergi ke satu tempat yang ada sangkut pautnya dengan lukisan yang tengah kau cari itu! ujar Dewa Tuak. Mendengar ini maka Wiro tidak membantah. Keduanya segera meninggalkan tempat itu memasuki lebih dalam rimba belantara yang jarang didatangi manusia! Menjelang tengah hari kedua orang ini sampai di bagian rimba belantara yang paling lebat. Pohon-pohon sangat besar dan rapat tumbuhnya. Suasana lengang sunyi sedang sinar matahari tak sanggup menembus lebatnya daun-daun pohon yang tumbuh di situ. Udara sejuk seperti di malam hari layaknya! Dewa Tuak melompat ke cabang sebuah pohon yang tinggi. Wiro sampai di cabang dan berdiri di samping Dewa Tuak, terkejutlah dia. Sekira dua puluh tombak di bawah sebelah sana dilihatnya sebuah pondok kayu yang beratap rumbia. Pondok siapakah itu? tanya Wiro. Dewa Tuak palangkan jari telunjuk di atas bibir lalu dengan suara perlahan dia berbisik, Ikut aku dan jangan keluarkan suara! Dewa Tuak lantas melompat ke cabang pohon yang lain. Melompat lagi, melompat lagi dan akhirnya mendarat di atas wuwungan atap rumbia tanpa keluarkan suara sedikitpun. Dalam pada itu Wiro Sableng sudah berada pula di sampingnya. Meskipun atap rumbia itu cukup kuat namun tanpa mereka mengandalkan ilmu meringankan tubuh pastilah atap itu akan roboh! Dewa Tuak membungkuk dan dengan hati-hati membuat sebuah lubang di atas atap. Dia memberi isyarat agar Wiro melakukan hal yang sama. Maka Wiro pun buat satu lubang di atas atap itu. Keduanya kemudian mengintai ke dalam pondok. Karena di dalam pondok agak gelap maka mula-mula Wiro tak melihat apa-apa. Kemudian matanya yang mengintai itu melihat seorang perempuan tua berambut hitam legam berdiri terbungkukbungkuk di sudut pondok. Kedua matanya meram tapi mulutnya yang kempot berkomat-kamit. Wiro hendak menanyakan kepada Dewa Tuak siapa adanya nenek-nenek itu tapi dia khawatir suaranya terdengar oleh si nenek maka lantas dia pergunakan ilmu menyusupkan suara. Namun

belum sempat dia ajukan pertanyaan mendadak pintu pondok terpentang lebar dan dua orang masuk ke dalam. Keduanya ternyata nenek-nenek keriputan berbadan bongkok. Yang satu berambut biru, yang kedua berambut putih. Di bahu masing-masing memanggul dua sosok tubuh yang agaknya telah ditotok kaku tidak berdaya. Melihat si nenek berambut putih kagetlah Wiro Sableng karena perempuan tua ini bukan lain Nenek Rambut Putih yang sebelumnya telah dilihatnya di puncak gunung melawan Si Pelukis Aneh. Dan lainnya itu pastilah Nenek Rambut Biru dan Nenek Rambut Hitam! Pemimpin! ujar Nenek Rambut Biru, Inilah bangsat-bangsat yang kau inginkan itu! Nenek Rambut Hitam yang rupanya menjadi pemimpin kedua nenek lainnya itu memandang dingin pada kedua laki-laki yang menggeletak di muka kakinya. Buka jalan suara mereka! perintahnya. Nenek Rambut Biru lepaskan totokan pada jalan suara kedua orang itu. Begitu jalan suaranya terbuka maka salah seorang dari dua lakilaki itu membentak, Iblis betina, kau rupanya yang jadi biang racun! Lekas lepaskan totokanku dan kawan-kawanku! Nenek Rambut Hitam tertawa melengking-lengking. Ketua Partai Angin Timur, aku akan bebaskan kalian berdua jika kau beritahu di mana sarangnya Sepasang Elmaut Kuning! Terkejutlah Wiro Sableng. Kalau laki-laki yang seorang itu adalah ketua sebuah partai, pastilah ilmunya tinggi sekali! Dan dari situ dapat pula diukur tingginya ilmu Nenek Rambut Biru dan Rambut Putih yang telah berhasil menawan ketua partai itu bersama seorang kawannya. Ada apa kau tanyakan sarang kambratku itu?! balas menanya Ketua Partai Angin Timur. Bedebah! Aku tak suruh kau bertanya setan?! bentak Nenek Rambut Hitam. Plaak! Tamparan Nenek Rambut Hitam melayang melanda sang Ketua, membuatnya tergelimpang dan terguling di lantai pondok. Dua buah giginya mencelat mental sedang bibirnya pecah! Paras Ketua Partai Angin Timur membesi. Nyata kemarahan menggelegak dalam dirinya, tapi karena ditotok maka yang bisa dilakukannya ialah memaki habis-habisan! Nenek Rambut Putih menjambak rambut Ketua Partai

Angin Timur dan menyentakkannya hingga laki-laki itu berdiri kembali di hadapan, pemimpinnya! Lekas terangkan di mana sarang Sepasang Elmaut kuning! hardik Nenek Rambut Hitam. Ketua Partai Angin Timur mendengus! Maksudmu untuk mencari lukisan telanjang itu tak akan berhasil, iblis betina! Keparat betul! Kau mau bilang apa tidak?! Lagi-lagi Ketua Partai Angin Timur mendengus. Aku tidak tahu! sahutnya. Sekalipun tahu aku tak akan bilang padamu! Nenek Rambut Hitam marah sekali. Diulurkannya tangannya. Sekali remas saja maka hancurlah telapak dan jari-jari tangan kanan sang Ketua! Laki-laki itu menjerit kesakitan dan memaki habishabisan! Kawannya keluarkan keringat dingin. Itu masih belum apa-apa, ujar Nenek Rambut Hitam. Kalau kau tetap membangkang tak mau kasih keterangan, seluruh tubuhmu akan kubikin hancur! Lekas katakan! Nenek Rambut Hitam, kawanku itu betul-betul tidak tahu letak sarangnya Sepasang Elmaut Kuning, berkata kambrat Ketua Partai Angin Timur. Kau tak usah berbacot! bentak sang nenek. Kalau dia tak tahu kau tentu tahu ya?! Pucatlah wajah laki-laki itu. Ayo lekas kalian katakan! Kalau tidak kalian akan disiksa sampai setengah mampus! teriak Nenek Rambut Biru. Nenek Rambut Hitam! Kalian dan kami masing-masing satu golongan, kenapa berbuat sejahat ini? Nenek Rambut Hitam tertawa melengking, Kalau kau dan kambratmu tidak mau binasa percuma lekas beri keterangan! Kalian penggal pun kami berdua, tetap aku tak bisa kasih keterangan! Aku mau lihat! ujar Nenek Rambut Hitam. Sekali dia gerakkan tangan kanannya maka tanggallah lengan kiri Ketua Partai Angin Timur! Laki-laki ini melolong laksana srigala lapar, mengerikan sekali! Pendekar 212 Wiro Sableng bergidik. Dewa Tuak, aku tak bisa melihat kekejaman terkutuk itu berjalan lebih lama! kata Wiro. Dia bergerak cepat hendak menerobos atap. Tapi lebih cepat dari itu si orang tua yang memanggul dua buah bumbung bambu memegang lengannya dan menjawab dengan ilmu menyusupkan suara seperti yang dilakukan oleh Wiro waktu berkata

padanya tadi. Biarkan, kita lihat saja! Ketua Partai Angin Timur tidak beda dengan tiga orang nenek serta seorang kawannya itu! Mereka samasama dari golongan hitam tukang bikin kejahatan di dunia persilatan! Biar saja mereka saling bunuh! Kita menonton saja! Tapi Ketua Partai Angin Timur berada dalam keadaan tak berdaya! tukas Wiro Sableng. Perduli amat! Sudahlah kita lihat saja! bentak Dewa Tuak pula. Wiro Sableng menggerutu dalam hati lalu dia mengintai lagi lewat lobang. Ayo! Apa kau masih tidak mau kasih keterangan?! Si Nenek Rambut Hitam membentak. Jawaban Ketua Partai Angin Timur adalah suara raungan yang mengerikan! Nenek Rambut Hitam berpaling pada kawan Ketua Partai Angin Timur. Jaliwarsa! Kau tentu tak ingin menerima nasib macam kambratmu itu, bukan?! Pucatlah wajah laki-laki yang bernama Jaliwarsa. Apa maksudmu Nenek Rambut Hitam...? Kau tentu tahu! Lekas katakan di mana tempat kediaman Sepasang Elmaut Kuning! Demi setan aku tidak tahu sama sekali Nenek Rambut Hitam... Nenek Rambut Hitam mendengus marah. Dia berpaling pada anak buahnya. Rambut Biru! Cungkil mata kirinya! perintah Nenek Rambut Hitam. Tobat! Jangan...! teriak Jaliwarsa. Kalau begitu lekas buka mulut! sentak Nenek Rambut Hitam. Jaliwarsa menangis macam anak kecil. Meratap mengatakan bahwa dia betul-betul tidak tahu di mana letak sarang Sepasang Elmaut Kuning. Tak ada ampun bagimu! Cungkil matanya! bentak Nenek Rambut Hitam. Maka Nenek Rambut Biru melompat ke muka. Dua buah jarinya menusuk lurus ke mata kiri Jaliwarsa. Terdengar suara mengerikan sewaktu biji mata laki-laki itu mencelat bersama semburan darah yang disusul oleh suara melolong Jaliwarsa yang laksana gila karena kesakitan!

***

WIRO SABLENG RAHASIA LUKISAN TELANJANG

EREMPUAN iblis! teriak ketua Partai Angin Timur yang menggeletak di lantai pondok. Kalian bunuhlah kami! Biar kami bisa jadi setan dan mencekik batang leher kalian! Nenek Rambut Hitam tertawa mengekeh. Nyalimu boleh juga, kunyuk sialan! Kalian minta mampus cepat-cepat, baiklah! Kalian memang tidak berguna hidup lebih lama! Nenek Rambut Hitam pegang kedua kaki Ketua Partai Angin Timur dan Jaliwarsa. Sekali kedua tangannya bergerak maka mencelatlah tubuh kedua orang laki-laki itu ke atas atap. Serentak dengan itu si nenek berseru, Tukang-tukang intip keparat, terima ini! Pendekar 212 Wiro Sableng terkejut bukan main. Tak sangka kalau si nenek begitu lihai sehingga sudah mengetahui kehadirannya bersama Dewa Tuak di atas atap! Wiro dan Dewa Tuak cepat melompat ke samping. Pada saat itu pula atap pondok bobol dihantam dua tubuh yang dilemparkan Nenek Rambut Hitam! Tubuh Ketua Partai Angin Timur menghantam sebuah pohon, pinggangnya hancur dan jatuh ke tanah tanpa nyawa! Kawannya menyangsang sebentar di sebuah pohon lain, lalu jatuh bergedebuk di tanah dengan kepala pecah! Maklum kalau tiga perempuan tua berbadan bungkuk itu sudah mengetahui kedatangannya bersama Wiro, maka Dewa Tuak segera melompat turun, masuk ke dalam pondok lewat atap yang bobol. Wiro menyusul dan berdiri di sampingnya. Kelima orang itu saling menyapu dengan pandangan mata masing-masing. Diam-diam ketiga nenek itu mengagumi kegagahan tampang Wiro Sableng meskipun kegagahan itu agak dibayangi oleh mimik ketololan! Sedang masingmasing mereka sama kerenyitkan kening sewaktu melihat Dewa Tuak membawa dua buah bumbung bambu yang agaknya berisi cairan. Cairan apa mereka tak bisa menduga. Siapa kau?! tanya Nenek Rambut Hitam. Dan kau juga?!

katanya sambil goyangkan kepala pada Wiro Sableng. Dewa Tuak tak segera menjawab melainkan mengangkat salah satu dari bumbung bambu dan meneguk isinya beberapa kali. Perlu diketahui kedua bumbung itu tidak ditutup. Meski dibawa berlari bagaimanapun kencangnya atau dibawa melompat namun satu tetes pun tuak itu tidak tumpah. Ini adalah berkat kehebatan tenaga dalam Dewa Tuak yang sudah mencapai tingkat kesempurnaannya! Nenek Rambut Hitam merasa gusar sekali karena pertanyaannya tak segera dijawab. Tapi karena maklum bahwa si orang tua berjanggut itu bukan seorang yang bisa dianggap remeh maka dia cuma memandang saja dengan mata mendelik! Sobat-sobatku, kata Dewa Tuak kepada tiga orang nenek, Sebelum kita bicara-bicara apakah tidak lebih bagus kalau kalian mencicipi tuakku ini dulu? Nenek Rambut Hitam terkesiap seketika. Diperhatikannya orang tua di hadapannya lebih teliti. Kemudian, Kalau aku tak salah duga, apakah kau manusia yang bergelar Dewa Tuak?! Dewa Tuak usut-usut janggutnya yang panjang sampai ke dada lalu tertawa dan meneguk lagi tuaknya beberapa kali. Aku memang doyan tuak, tapi aku bukan dewa! Sejak puluhan tahun belakangan ini kau lenyap dari dunia persilatan! Tahu-tahu kini muncul unjukkan tampang! Tentu ada yang menyebabkannya! Apakah kau yang sudah tua karatan ini telah terlibat pula dalam urusan mencari lukisan perempuan telanjang itu?! Dewa Tuak tertawa gelak-gelak. Rupanya di dalam otakmu hanya lukisan itu saja yang teringat nenek bangkotan! Kita yang sudah tua-tua begini bukan tempatnya lagi mengurus segala macam persoalan duniawi! Lantas perlu apa kau datang ke sini dan mengintip tak tahu adat?! Dan cecunguk hijau ini apamu?! Wiro Sableng keluarkan suara bersiul sewaktu dirinya disebut cecunguk hijau lalu tertawa geli! Orang muda! Nyalimu cukup besar untuk berani tertawa di hadapanku! Tertawa saja apa susahnya?! ujar Wiro lalu tertawa lagi lebih keras hingga pondok itu terdengar hebat! Kagetlah Nenek Rambut Hitam dan kedua anak buahnya. Tiada dinyana kalau si anak muda memiliki tenaga dalam yang sehebat itu!

Kau tanyakan dia? ujar Dewa Tuak seraya tuding Wiro dengan ibu jarinya. Dia adalah calon mantuku yang tidak jadi! Lalu orang tua ini tertawa bekakakan sampai kedua matanya berair. Wiro cuma cengar-cengir mendengar ucapan Si Dewa Tuak. Cepat terangkan mengapa kau berada di daerah ini?! Saat itu untuk pertama kalinya Nenek Baju Biru buka suara, Pemimpin, bukan tak mungkin bangsat-bangsat ini tengah mencuri dengar percakapan kita tadi dengan Ketua Partai Angin Timur dan Jaliwarsa. Disangkanya mereka akan dapat diam-diam mencuri dengar keterangan sarang Sepasang Elmaut Kuning! Nenek Rambut Putih menimpali, Bukan tak mungkin pula mereka tahu banyak tentang soal lukisan itu, pemimpin! Ucapan-ucapan anak buahnya itu termakan oleh Nenek Rambut Hitam. Maka segera dia memerintah, Rambut Biru! Kau ringkus si tua bangka itu! Dan kau Rambut Putih, bekuk cecunguk hijau itu! Nenek Rambut Biru memang lebih tinggi kepandaiannya dari Rambut Putih maka dia disuruh meringkus Dewa Tuak. Perempuan-perempuan keriputan! Kalian betul-betul tidak tahu adat! gerutu Dewa Tuak lalu cepat-cepat menyingkir ke samping kanan, mengelakkan totokan yang dilancarkan Nenek Rambut Biru! Sambil mengelak Dewa Tuak angkat bumbung bambunya hingga ujungnya dengan tiada terduga menyerang ke arah pinggang lawan! Tapi Nenek Rambut Biru tidak berkepandaian rendah! Penasaran melihat totokannya lewat, dengan satu jeritan keras dia menyerang kembali! Maka terjadilah pertempuran yang hebat. Nenek Rambut Putih di lain pihak maju menghadapi Wiro Sableng. Dengan memandang enteng dia lakukan serangan dan sekali menyerang dia yakin akan sanggup meringkus si pemuda hidup-hidup. Tapi alangkah terkejutnya ketika sambil tertawa lawannya berkelit dengan mudah bahkan berkata mengejek, Ah, jurus seperti ini telah kulihat kau pergunakan untuk menyerang Si Pelukis Aneh! Bocah hijau! Ada hubungan apa kau dengan Si Pelukis Aneh?! tanya Nenek Rambut Putih. Wiro tertawa. Bukan dia menjawab pertanyaan si nenek malah berkata, Orang tua semacammu ini sepantasnya banyak bikin ibadat dan sucikan diri! Bukannya malang melintang bikin kejahatan dan ikut campur segala macam urusan duniawi! Kentut ingusan. Atas nasihatmu itu aku akan hadiahkan jurus

Ekor Naga Mematuk Cakar Garuda Berkiblat! Terimalah! Gerakan si nenek sebat sekali. Tubuhnya tinggal bayangan dan tahu-tahu tiga jari tangan kanannya menotok ke dada, sedang lima jari kiri mencakar ke arah muka. Cakaran yang datangnya lebih dulu itu sebenarnya hanya tipuan belaka karena serangan yang sebenarnya ialah totokan pada dada! Bila lawan coba hindarkan mukanya dari cakaran maka kecepatan totokan tangan akan ditambah dua kali lipat! Dan celakanya Pendekar 212 kini kena tertipu! Begitu melihat lima jari mencakar di depan hidung dia segera buang kepala ke belakang dan kaki kanan menderu ke arah si nenek. Namun di saat itu si nenek sudah melesat ke samping, sedang tiga jari tangannya dengan kecepatan luar biasa menderu ke arah dada Wiro Sableng! Penasaran sekali karena dia tahu bahwa totokan yang lihai itu tak mungkin dikelit maka Wiro hantamkan tangan kanannya dari atas ke bawah! Dua lengan pun beradu! Si nenek berseru keras. Dia tersurut sampai dua tombak, mukanya pucat bahkan terkejut. Nenek Rambut Hitam segera maklum bahwa tenaga dalam anak buahnya itu jauh rendahnya dari si pemuda. Ini adalah satu hal yang tak pernah disangkanya. Dan ketika dia memandang ke lengan Si Rambut Putih, lengan nenek-nenek itu kelihatan bengkak membiru sedang lengan Wiro Sableng hanya berbekas merah sedikit! Kemudian dilihatnya pula pertempuran si rambut biru dengan Dewa Tuak. Anak buahnya itu tengah dibikin sibuk bahkan dipermainkan malah! Gusarlah Nenek Rambut Hitam. Segera dia berseru, Kalian berdua jangan bikin malu aku! Kuberi kesempatan tiga jurus lagi! Jika kalian tak bisa meringkus kunyuk-kunyuk itu, kalian akan tahu rasa! Mendengar seruan Si Rambut Hitam, Rambut Putih dan Rambut Biru jadi takut sekali. Keduanya segera loloskan setagen yang melilit di pinggang masing-masing lalu menyerang dengan lebih sebat! Dua setagen yang merupakan senjata ampuh itu tak ubahnya laksana dua ekor ular besar yang meliuk-liuk sebat kian kemari, kadang-kadang bergerak cepat membelit pinggang, kadang-kadang menotok jalan darah bahkan kadang-kadang mematuk ke arah kedua mata! Dan semua itu terjadi bertubi-tubi laksana kilat. Betapapun Wiro dan Dewa Tuak percepat gerakan silat mereka, namun tetap saja keduanya dibikin terdesak dan tak sanggup ke luar

dari gulungan setagen lawan! Setagen sialan, gerendeng Pendekar 212. Baik dia maupun Dewa Tuak kini segera merubah sikap. Kalau tadi mereka cuma main-main dan mengejek lawan mereka, maka setelah terdesak hebat dan terkurung setagen yang berbahaya itu, mereka mulai lancarkan serangan-serangan balasan sehingga pertempuran berjalan semakin hebat! Dalam tempo yang singkat lima jurus telah lewat. Nenek Rambut Hitam penasaran sekali melihat kedua anak buahnya tiada sanggup meringkus lawan masing-masing, padahal tiga jurus yang ditentukannya telah berlalu! Kalian berdua mundurlah! bentaknya marah. Nenek Rambut Biru segera melompat mundur. Namun karena agak gugup ketakutan oleh bentakan pemimpinnya, dia menjadi sedikit lengah dan akibatnya ujung selendangnya berhasil ditarik oleh Dewa Tuak sehingga robek! Dewa Tuak tertawa gelak-gelak! Di lain pihak Nenek Rambut Putih begitu melompat begitu dirasakannya sekujur tubuhnya tak sanggup digerakkan. Ketika ditelitinya ternyata lawannya telah melibat sekujur badannya dengan setagennya sendiri! Pucatlah paras nenek tua ini. Dia maklum bahwa pemuda itu berilmu tinggi sekali dan kalau bermaksud jahat pastilah sudah sejak tadi dia kena celaka! Nenek Rambut Hitam maju ke hadapan kedua orang itu. Bagus! katanya. Rupanya kalian memiliki ilmu yang diandalkan! Aku mau lihat! Apakah kalian maju berdua atau seorang-seorang?! Dewa Tuak mendengus. Bagusnya berdua sekaligus biar lekas kubereskan! Dewa Tuak tertawa lagi dan meneguk tuaknya beberapa kali. Dengar Rambut Hitam, kata Dewa Tuak pula. Main-main dengan dua orang anak buahmu itu sudah cukup. Lain kali saja kau kami hadapi...! Kentut tua bangka! Katakan saja kau tidak punya nyali menghadapi Nenek Rambut Hitam! Dewa Tuak ganda tertawa. Dia berpaling pada Wiro Sableng dan berkata, Mari kita pergi! Tapi baru saja dia bergerak Nenek Rambut Hitam sudah melompat ke hadapannya dan kirimkan satu serangan yang luar biasa dahsyatnya. Kalau saja si orang tua tidak bersikap waspada pastilah dadanya akan kena jotosan keras dan mukanya disambar

cakaran dahsyat! Marahlah Dewa Tuak melihat kenekatan si nenek. Dasar tua bangka geblek! Masih saja mengikuti amarah membabi buta! Jangan banyak ribut setan tua! Makan jariku ini! Dengan lebih ganas lagi Nenek Rambut Hitam menyerbu ke muka. Lima jari tangan kanan bergerak ke perut sedang lima jari tangan kiri mencengkeram ke muka Dewa Tuak. Angin serangan ini bukan main derasnya. Dewa Tuak memaklumi bahwa dibandingkan dengan kedua anak buahnya sekaligus, si nenek yang satu ini jauh lebih berbahaya! Dewa Tuak melompat ke belakang dan putar kedua bumbung tuaknya. Maka punahlah kedua serangan Nenek Rambut Hitam! Sebelum si nenek menyerang lagi Dewa Tuak berseru, Wiro kau layanilah perempuan bongkok jelek ini! Terkejutlah Nenek Rambut Hitam dan dua nenek lainnya sewaktu Dewa Tuak menyebut nama si pemuda. Manusia-manusia keparat! Kau berani main-main terhadapku?! sentak Nenek Rambut Hitam. Siapa yang main-main? Kau tanya aku jawab! sahut Dewa Tuak. Apakah kau manusianya yang bernama Wiro Sableng?! Yang bergelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212?! tanya Nenek Rambut Hitam. Ah, perlu apa segala macam nama, segala macam gelar! Majulah! Kuharap kau yang tua mau memberikan sedikit pelajaran padaku si bocah hijau! sahut Wiro pula. Meski Wiro tidak mengaku terus terang siapa dia adanya namun Nenek Rambut Hitam yakin bahwa pemuda itu memang Wiro Sableng si Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212! Sejak berbulanbulan belakangan ini dia telah mendengar tentang munculnya seorang pemuda gagah di dunia persilatan, yang bernama Wiro Sableng berjuluk Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212. Banyak tokoh silat golongan hitam yang berilmu tinggi mati konyol di tangannya. Bahkan terakhir sekali, Dewi Siluman Dari Bukit Tunggul, kabarnya juga telah menemui kematian di tangan pendekar muda ini! Mau tak mau si Nenek Rambut Hitam menjadi gentar juga. Untuk mengelakkan baku bantam dengan si pemuda tapi tanpa kehilangan muka maka Nenek Rambut Hitam berpaling pada Dewa Tuak dan berkata lantang, Kalau kau tak punya nyali untuk menghadapiku, sebaiknya segera angkat kaki dari sini! Dewa Tuak yang sudah dapat menduga hati perempuan itu

tertawa dan berkata, Aku yang tak punya nyali atau kau yang takut hadapi kawanku itu? Nenek Rambut Hitam tertawa bergetar. Orang muda! Tadinya aku hanya berniat untuk meringkusmu hidup-hidup! Tapi karena kau begitu berani menantangku, terpaksa umurmu cuma sampai hari ini saja! Sesudah berkata begitu si nenek menerjang ke muka. Wiro bergerak cepat. Mengelak dan lancarkan serangan balasan yang anginnya saja membuat si nenek mengeluh! Tenaga dalam si pemuda jauh lebih tinggi dari yang dimilikinya. Dalam tempo dua jurus Nenek Rambut Hitam tak sanggup lagi lancarkan seranganserangan bahkan musti mempertahankan diri dan dalam jurus keempat terdesak hebat ke pojok pondok! Tiba-tiba si nenek melengking dahsyat! Tubuhnya lenyap dan jurus permainan silatnya berubah sama sekali. Serangannya gencar tiada terduga. Gerakan kaki dan tangannya mendatangkan angin bersiuran dan tipu-tipunya berbahaya mematikan! Inilah ilmu silat tangan kosong yang dinamakan Ilmu Silat Delapan Kaki Delapan Tangan yang telah dipelajari Nenek Rambut Hitam dari mendiang gurunya! Ilmu Silat Delapan Kaki Delapan Tangan memang patut dikagumi. Nyatanya selama lima jurus Wiro Sableng dibikin bingung dan musti berhati-hati. Meski ilmu meringankan tubuh serta tenaga dalamnya jauh di atas si nenek namun gerakan lawan yang tiada terduga-duga itu mematahkan pertahanannya! Dan dua jurus di muka satu hantaman telapak tangan si nenek berhasil mampir di dada Pendekar 212! Wiro merasakan dadanya sakit dan nafasnya sesak. Dia maklum kalau saja dia tidak lebih tinggi tenaga dalamnya dari si nenek pastilah dia akan mendapat luka di dalam yang amat berbahaya! Di lain pihak Nenek Rambut Hitam tidak kepalang tanggung. Dia menyerbu lagi dengan lebih gencar! Tangan dan kakinya laksana bertambah menjadi beberapa pasang lagi! Dan kembali Wiro Sableng terdesak! Dewa Tuak kerenyitkan kening. Hanya sebegitukah kehebatan Pendekar 212 sehingga menghadapi ilmu silat si nenek dia sudah dibikin kewalahan demikian rupa?! Si nenek sendiri juga tiada menyangka bahwa dia akan berhasil memukul lawannya. Diamdiam dia merasa berada di atas angin kini! Tiba-tiba Wiro menyurut sejauh satu tombak.

Ha... ha! Apakah nyalimu sudah lumer orang muda?! ejek Nenek Rambut Hitam. Ah, jangan lekas-lekas berbesar hati sobat tua! Kau rasakan dulu pukulanku ini! sahut Wiro. Serentak dengan itu dia sudah alirkan sebagian tenaga dalamnya ke ujung tangan kanan. Tangan itu dikepal dan diangkat ke atas. Didahului oleh satu bentakan nyaring, Wiro Sableng pukulkan tangannya ke arah si nenek. Begitu memukul begitu jari-jari tangan yang mengepal membuka kembali! Inilah Pukulan Kunyuk Melempar Buah yang tak asing lagi! Nenek Rambut Hitam terkejut sekali sewaktu merasakan gelombang angin keras laksana batu besar melanda ke arahnya. Sambil pukulkan kedua tangannya sekaligus untuk menangkis dia cepat-cepat jungkir balik lalu membuang diri ke samping! Braaak! Dinding pondok di belakang si nenek pecah dan berhamburan! Tergetarlah hati Nenek Rambut Hitam melihat kehebatan pukulan itu. Setelah tenangkan hatinya dia maju menghadapi lawannya kembali. Dan pada saat itu untuk pertama kalinya Wiro Sableng membuka jurus pertempuran dengan menyerang lebih dahulu! Si nenek dibikin gelagapan kini. Serangannya selalu mengenai tempat kosong sedang pertahanannya saat demi saat semakin mengendur. Bila dia tidak kuat lagi menghadapi pemuda itu maka tanpa malumalu Nenek Rambut Hitam lepaskan setagen dan cabut tusuk konde emas dari rambutnya! Dengan kedua senjata itu dia menyerang Wiro Sableng. Setelah bertempur dua jurus maka Wiro segera mengetahui bahwa tusuk konde yang kecil di tangan kanan si nenek jauh lebih berbahaya daripada setagen di tangan kanannya! Semakin lama pertempuran semakin seru. Tiba-tiba si nenek hentikan gerakannya dan memandang bingung karena lawannya lenyap seperti ditelan bumi! Aku di sini, Rambut Hitam! Terdengar suara Wiro di belakangnya! Nenek Rambut Hitam kertakkan geraham dan secepat kilat membalikkan tubuh. Tapi begitu tubuhnya membalik maka, plaaak...! Telapak tangan kanan Wiro Sableng menghantam keningnya! Perempuan tua itu melengking kesakitan. Tubuhnya mencelat menghantam dinding pondok. Pemandangannya gelap, kepalanya terasa pening sedang keningnya sakit bukan main!

Kedua anak buah Nenek Rambut Hitam terkejut! Belum pernah mereka melihat pemimpin mereka dihajar demikian rupa! Selama ini tak pernah seorang pun yang sanggup menghadapi Nenek Rambut Hitam tanpa mendapat celaka! Dan yang membuat mereka lebih terkejut lagi ialah sewaktu melihat kening pemimpin mereka. Pemimpin, keningmu! seru Nenek Rambut Biru. Nenek Rambut Hitam usap keningnya. Kening itu sakit sekali dan panas, tapi tidak terluka. Namun apakah yang menyebabkan Rambut Biru demikian terkejutnya? Tak lain karena akibat pukulan telapak tangan kanan Wiro tadi kini di kening Nenek Rambut Hitam tertera tiga deretan angka yaitu 212! Dewa Tuak tertawa gelak-gelak dan cegluk... cegluk... cegluk, dia lalu teguk tuaknya. Rambut Hitam, sobatku telah hadiahkan tiga buah angka di keningmu! Apakah kau masih belum mau mengaku kalah?! Berubahlah paras Nenek Rambut Hitam! Dia maklum apa yang telah terjadi kini. Pukulan 212 yang mengguratkan angka telah menimpa keningnya. Tiga deretan angka itu tak akan bisa dihilangkan seumur hidupnya! Nenek Rambut Hitam menggerutu macam singa lapar! Anak haram jadah mampuslah! lengking si nenek. Tangan kanannya diangkat tinggi-tinggi ke atas dan mulutnya berkomatkamit. Seluruh pondok itu dengan tiba-tiba dilanda hawa yang amat dingin menyembilu. Wiro sendiri yang tak mengerti apa yang tengah terjadi sampai-sampai bergeletar tubuhnya dilanda hawa dingin itu. Geraham-gerahamnya bergemeletukan. Melihat ada kelainan ini secepat kilat Dewa Tuak berseru, Wiro cepat menghindar! Bangsat keriput ini mau lepaskan pukulan Salju Kematian! Habis berteriak begitu Dewa Tuak secepat kilat meneguk tuaknya. Dalam pada itu Nenek Rambut Hitam melengking nyaring dan hantamkan tangan kanannya ke arah Wiro dan Dewa Tuak! Satu gelombang benda putih yang bentuknya putih seperti salju, menderu amat dingin ke arah kedua orang itu. Dewa Tuak runcingkan mulutnya yang menggembung lalu menyembur ke muka! Terdengar suara laksana air bah sewaktu semburan tuak dan pukulan salju kematian saling beradu. Bumi seperti mau kiamat. Dewa Tuak cepat tarik lengan Wiro Sableng lalu melompat ke atas atap menerobos melewati lobang besar. Dari sebuah cabang pohon

kemudian Wiro melihat bagaimana pondok itu hancur lebur dan setengahnya tertimbun oleh lapisan salju putih! Wiro memandang berkeliling dengan cepat. Ketiga nenek itu tidak kelihatan. Pendekar 212 lalu putar kepala ke cabang di samping. Dia terkejut sewaktu melihat Dewa Tuak duduk bersila di atas cabang dengan pejamkan mata. Wajah orang tua ini pucat sekali. Rupanya bentrokan ilmu pukulan tadi telah membuat si orang tua menderita luka di dalam yang parah juga. Lama Dewa Tuak bersila seperti itu. Sewaktu dia buka kedua matanya kembali, cepat-cepat diambilnya sebutir pil dan ditelannya. Sesaat kemudian wajahnya yang pucat telah normal lagi seperti biasa! Dewa Tuak tarik nafas panjang, geleng-gelengkan kepala dan leletkan lidah sewaktu memandang ke pondok yang kini tertimbun salju kematian itu! Ternyata benar perempuan busuk itu telah mendapatkan ilmu Pukulan Salju Kematian! kata Dewa Tuak seakan-akan pada dirinya sendiri. Kelihatannya masih kurang sempurna. Tapi sudah demikian luar biasa...! Wiro sendiri diam-diam bergidik juga melihat pukulan yang bernama Salju Kematian itu. Tenaga dalam Dewa Tuak berada jauh di atas Nenek Rambut Hitam, tapi pukulan Salju Kematian yang dilepaskan si nenek membuat Dewa Tuak menderita luka yang cukup hebat! Meski seseorang memiliki tenaga dalam yang sepuluh kali lebih tinggi, tapi jangan coba-coba berani adu kekuatan dengan pukulan salju kematian itu. Dewa Tuak geleng-geleng kepala kembali. Aku tak mengerti, bagaimana keparat betina itu berhasil memiliki ilmu Salju Kematian. Itu adalah salah satu dari beberapa ilmu pukulan yang pernah menggetarkan dunia persilatan dan menjadi raja-raja ilmu pukulan! Jika ilmu semacam itu dipergunakan untuk kejahatan bisa berbahaya, kata Wiro pula. Itulah yang aku kuatirkan, desis Dewa Tuak. Diam-diam Wiro ingin sekali menghadapi Nenek Rambut Hitam itu kembali. Apakah ilmu pukulan Sinar Matahari-nya sanggup menghadapi ilmu pukulan Salju Kematian itu? Dewa Tuak, apa yang kita buat sekarang? tanya Wiro. Aku bermaksud meneruskan perjalanan mencari lukisan telanjang itu... Tak ada jawaban.

Wiro berpaling. Astaga! Dewa Tuak tak ada lagi di sampingnya. Dia mencari-cari tapi orang tua itu tiada kelihatan. Dewa Tuak! Di mana kau?! teriak Wiro memanggil. Tetap tak ada jawaban. Wiro hendak melompat turun. Tapi tiba-tiba pada batang pohon di mana dia berada dilihatnya sebaris tulisan, Pergilah ke utara! Pasti itu adalah tulisan Dewa Tuak. Maka tanpa menunggu lebih lama Wiro segera melompat dari atas pohon.

***

WIRO SABLENG RAHASIA LUKISAN TELANJANG

ATA yang cuma sebuah itu memandang tanpa berkedip pada lukisan perempuan telanjang yang terletak di atas meja. Digelengkannya kepalanya lalu dirobahnya letak lukisan itu dan ditelitinya kembali. Dirobahnya lagi, ditelitinya lagi, demikian sampai satu jam lebih. Akhirnya dia menjadi penasaran sekali dan memaki habis-habisan. Keparat betul! Keparat betul! Mata Picak! satu suara menegur laki-laki yang memaki-maki itu. Lama-lama kau bisa jadi gila! Elmaut Kuning Mata Picak palingkan kepala dan mendelikkan matanya yang cuma satu. Kuping Sumplung! Kau bisanya mengejek saja! kata si Mata Picak. Perlu apa tergesa-gesa? Toh lukisan itu sudah ada di tangan kita. Dan lambat laun pasti kita akan berhasil membongkar rahasia yang terkandung di dalamnya! Tolol betul kau Kuping Sumplung! sentak Mata Picak. Apa kau tidak tahu dunia persilatan kalang kabut? Tokoh-tokoh persilatan kasak-kusuk mencari-cari lukisan ini? Ingat waktu lukisan ini dirampas oleh Awan Langit tempo hari? Aku khawatir lukisan yang mengandung ilmu silat hebat ini akan dirampas orang lain lagi sebelum kita berhasil memecahkan rahasianya! Tapi marah-marah dan memaki begitu mana mungkin kau bakal bisa memecahkannya! ujar Elmaut Kuning Kuping Sumplung. Keduanya bukan lain daripada dua tokoh silat golongan hitam yang bergelar Sepasang Elmaut Kuning. Merekalah yang telah membunuh Si Pelukis Aneh dan melarikan lukisan perempuan telanjang. Lukisan itu telah lama berada di tangan mereka namun tak seorang pun dari mereka yang berhasil memecahkan rahasianya. Lukisan itu telah berpuluh-puluh jam mereka teliti mereka jungkir balikkan, namun tetap saja tak dapat mereka membongkar rahasia ilmu silat yang

menurut keterangan terkandung dalam lukisan itu! Jangan-jangan Si Pelukis Aneh hanya menipu saja! Lukisan ini tak ada apa-apanya! Elmaut Kuning Kuping Sumplung perhatikan lengan kirinya yang buntung akibat dibetot putus oleh Si Pelukis Aneh sewaktu bertempur beberapa bulan yang lalu! Dia kemudian tertawa dingin dan berkata, Kau sekarang yang jadi orang tolol! Kalau lukisan ini tak ada apa-apanya masakan orang tua keparat itu sampai-sampai mau mengadu jiwa! Elmaut Kuning Mata Picak jambak-jambak rambutnya. Tapi sialan sekali! Masakan sampai saat ini kita tak bisa memecahkan rahasianya?! Kuping Sumplung duduk di sebuah bangku batu. Ditatapnya sebentar lukisan di hadapannya. Dia sendiri sebenarnya heran juga karena sampai sedemikian lama tak sanggup membongkar rahasia lukisan tersebut. Apakah kau sudah meneliti kayu pigura lukisan itu?! bertanya Elmaut Kuning Kuping Sumplung. Setiap sudut lukisan ini sudah kuteliti. Juga bagian belakangnya! sahut Mata Picak. Agaknya kita membutuhkan seseorang yang bisa membuka rahasia lukisan ini... desis Kuping Sumplung. Tapi siapa manusianya?! tanya Mata Picak. Satu-satunya manusia yang tahu rahasia lukisan ini adalah Si Pelukis Aneh sendiri! Dan dia sudah mampus di tangan kita! Siapa tahu calon muridnya juga mengetahui... kata Kuping Sumplung pula. Elmaut Kuning Mata Picak tertegun. Mungkin juga... desisnya. Kalau begitu kita datangi anak itu kembali dan paksa dia memberi keterangan! ujar Kuping Sumplung seraya berdiri dari duduknya. Tempat anak itu ratusan kilo dari sini... Soal jauh bukan halangan! potong Kuping Sumplung. Ada hal lain yang aku khawatirkan, ujar Mata Picak. Apa? Kalau kita pergi berarti kita harus membawa lukisan ini. Dan kau tahu sendiri! Puluhan orang-orang persilatan mengincar-incar lukisan ini! Kita bisa konyol sendiri dikeroyok beramai-ramai! Elmaut Kuning Kuping Sumplung tertawa dingin. Apa nyalimu sudah keropok?! ejeknya dengan pencongkan hidung.

Mata Picak menjadi gusar. Mulutmu kelewat tekebur, Kuping Sumplung! Meski kita berilmu tinggi namun aku tak mau terlibat dengan manusia-manusia yang membikin kita jadi berabe dan tambah urusan! Di lain hal kita musti mengakui bahwa di atas kita masih ada tokoh-tokoh persilatan yang benar-benar lihai dan kosen! Apakah kau mau kehilangan satu lenganmu lagi?! Merahlah paras Elmaut Kuning Kuping Sumplung. Dia balikkan badannya dengan cepat hendak tinggalkan tempat itu. Tapi mendadak di ambang pintu goa langkahnya tertahan dan parasnya berubah. Mata Picak! Lekas ke sini! seru Kuping Sumplung. Mata Picak heran mendengar nada seruan kawannya itu. Dia melangkah cepat ke pintu goa dan terkejut. Goa di mana mereka berada itu terletak di satu dasar lembah yang penuh dengan batubatu besar. Di balik batu-batu yang bertebaran di lembah kelihatan banyak sekali orang laki-laki yang berseragam hitam. Di tangan masing-masing tergenggam sebatang golok besar berbentuk empat segi seperti golok penjagal babi! Menurut taksiran Mata Picak, orangorang yang ada di lembah itu semuanya berjumlah sekitar duapuluh orang! Melihat kepada golok-golok besar empat persegi di tangan mereka yang berkilau-kilau ditimpa sinar matahari, melihat pula kepada pakaian seragam hitam yang mereka kenakan, Sepasang Elmaut Kuning segera mengenali siapa mereka itu adanya. Kroco-kroco sialan ini pasti hendak membalaskan sakit hati ketua mereka, desis Mata Picak. Kurasa demikian. Agaknya mereka belum tahu letak tempat kita ini. Apakah perlu kita segera bertindak...? tanya Kuping Sumplung. Mata Picak manggut-manggut. Dengan tersenyum aneh dia melangkah ke luar dari goa. Kuping Sumplung mengikut di belakang. Tiba-tiba Elmaut Kuning Mata Picak melesat ke balik sebuah batu besar. Dalam kejap itu pula terdengar suara keluhan pendek. Di lain kejap dari balik batu itu melesatlah sesosok tubuh berpakaian hitam, laksana terbang ke udara dan kemudian jatuh di atas sebuah batu besar dalam keadaan tulang belulang hancur berantakan! Belasan manusia berpakaian hitam-hitam yang ada di lembah batu itu terkejut dan lari ke batu besar di mana kawan mereka menggeletak mengerikan tanpa nyawa! Semuanya terkejut dan berubah paras masing-masing. Dan darah mereka tersirap sewaktu

di lembah batu itu mengumandang dua buah suara tertawa yang menggidikkan! Ketika mereka palingkan kepala, semuanya melihat dua orang berjubah kuning berewokan berdiri di atas sebuah batu yang menjulang lima tombak tingginya! Sepasang Elmaut Kuning! seru mereka hampir serentak. Elmaut Kuning Mata Picak dan Kuping Sumplung tertawa lagi cekakakan. Tiba-tiba Mata Picak hentikan tawanya dan bertanya membentak, Siapa yang menjadi pemimpin rombongan tikus-tikus busuk ini?! Seorang laki-laki berbadan tegap, berkumis melintang, dada berbulu, melompat ke muka dan menuding keren. Kalian berdua turunlah untuk menerima kematian! Sepasang Elmaut Kuning saling pandang lalu untuk kesekian kalinya tertawa lagi gelak-gelak. Apakah kau mimpi atau mengigau di siang bolong?! sentak Kuping Sumplung. Ketuamu sudah mampus di tangan kami! Ketua Perguruan Seberang Kidul boleh lenyap. Tapi Perguruan Seberang Kidul tak dapat dimusnahkan dari muka bumi ini...! Kalau begitu kami Sepasang Elmaut Kuning akan menggusur Perguruan Seberang Kidul hari ini juga hingga cuma tinggal nama! Tak usah bermulut besar! Lekas turun! teriak si kumis melintang. Dia dan kawan-kawannya adalah anak-anak murid Perguruan Seberang Kidul. Ketua mereka telah menemui kematian di tangan Sepasang Elmaut Kuning gara-gara terlibat dalam perebutan lukisan perempuan telanjang! Tikus-tikus busuk! Ketahuilah kalian akan melepas jiwa di sini! teriak Mata Picak dan serentak dengan itu, diikuti oleh kambratnya si Kuping Sumplung dia melompat ke bawah. Belasan laki-laki bersenjata golok besar dan berpakaian seragam hitam segera mengurung dan dengan serempak menyerbu Sepasang Elmaut Kuning! Maka terjadilah pertempuran yang amat hebat di lembah berbatu-batu itu. Kalian mencari mati! seru Mata Picak. Bangkai kalian akan membusuk di sini! Akan digerogoti burungburung pemakan mayat! bentak Kuping Sumplung! Lalu keduanya dengan berbarengan hantamkan tangan kanan ke muka. Dua larik sinar kuning menderu. Puluhan benda berwarna kuning yang berbentuk paku beterbangan gencar ke arah anak-anak murid Perguruan Seberang Kidul yang hendak menuntut balas

kematian ketua mereka. Paku Emas Beracun! pekik anak-anak murid Perguruan Seberang Kidul. Yang berkepandaian tinggi putar golok mereka dengan sebat menangkis. Yang lain-lain berserabutan menghindar. Tapi serangan senjata rahasia paku emas beracun dari kedua tokoh silat golongan hitam itu luar biasa sekali, tak sanggup ditangkis, sukar dikelit! Dua kelompok anak-anak murid Perguruan Seberang Kidul roboh bertumpukan. Mereka berkelojotan sebentar lalu diam meregang jiwa! Tubuh masing-masing penuh ditancapi paku-paku emas beracun! Dua belas orang yang masih hidup dengan kalap membabi-buta menyerang Sepasang Elmaut Kuning. Dua belas golok besar menderu bersirebut cepat! Laksana hujan menerpa ke arah dua manusia yang diserang! Sepasang Elmaut Kuning ganda tertawa. Keduanya hantamkan tangan kembali ke muka. Dan terdengar lagi pekikan-pekikan manusia yang dilanda serangan senjata rahasia itu. Delapan orang menggeletak roboh! Delapan jiwa melayang! Kawan-kawan larilah! seru seorang dari empat anak murid Perguruan Seberang Kidul yang masih hidup. Maka serentak dengan itu keempatnya keluar dari kalangan pertempuran dan melarikan diri. Mau lari ke mana?! bentak Mata Picak. Kalian musti ikut sama-sama kawan kalian ke neraka! Lalu menyusul selarik sinar kuning menderu ke punggung keempat orang yang lari menyelamatkan jiwa itu. Sinar kuning menyambar! Keempatnya mencelat mental dan menjerit, lalu roboh menyusul kawan-kawan mereka! Seperti yang dikatakan oleh Elmaut Kuning Kuping Sumplung tadi, maka kini Perguruan Seberang Kidul betul-betul hanya tinggal nama saja lagi! Manusia-manusia tolol! desis Mata Picak seraya sapukan pandangannya pada mayat-mayat yang bertebaran di atas dan di antara batu-batu di lembah itu. Kuping Sumplung sebaliknya bertanya, Bagaimana? Kurasa makin cepat kita berangkat ke tempat anak itu, makin baik! Anak mana maksudmu? tanya Mata Picak. Calon muridnya si Pelukis Aneh! Ah, rencanamu itu perlu dipikirkan masak-masak dulu! sahut

Mata Picak seraya melangkah ke goa. Dengan hati penasaran Kuping Sumplung melangkah di belakangnya. Baru saja Mata Picak sampai di mulut goa tiba-tiba meledaklah suaranya, Celaka! Lukisan itu lenyap! Kedua orang itu melesat masuk ke dalam goa! Lukisan perempuan telanjang yang sebelumnya terletak di atas meja kini tak ada lagi di tempat itu! Bangsat kurang ajar! Siapa yang berani-beranian jadi maling di sarangku?! teriak Mata Picak lari ke luar goa dan melompat ke atas sebuah batu yang tinggi. Sewaktu dia sampai di atas batu dan memandang berkeliling, di jurusan timur dilihatnya sesosok tubuh berlari cepat sekali. Dan sosok tubuh itu memboyong sebuah benda empat persegi yang bukan lain daripada lukisan perempuan telanjang adanya!

***

WIRO SABLENG RAHASIA LUKISAN TELANJANG

ANUSIA yang melarikan lukisan perempuan telanjang itu bertubuh kecil katai. Dia mengenakan jubah merah yang panjang sekali hingga menjela-jela sepanjang larinya. Debu, pasir, dan batu-batu kerikil beterbangan dilanda angin jubah manusia katai ini. Hebatnya manusia ini larinya luar biasa cepatnya. Dalam sekejap mata, dia sudah ke luar dari dalam lembah batu. Pohon-pohon di kiri kanan yang dilaluinya laksana terbang! Tiba-tiba dia merasa ada yang mengejar di belakangnya. Dia berpaling dan melihat dua manusia berjubah kuning laksana kilat berlari ke arahnya. Si katai terkesiap dan tancap gas, berlari lebih cepat. Lewat sepeminum teh seketika dia menoleh lagi ke belakang, kedua pengejarnya ternyata hanya tinggal beberapa puluh langkah saja lagi! Manusia katai ini merutuk. Celaka! Kedua bangsat itu betul-betul lihai! Dan bila kedua pengejar yang bukan lain daripada Sepasang Elmaut Kuning adanya hanya tinggal lima belas langkah di belakangnya maka si katai segera robah ilmu larinya. Gerakan kakinya menjadi lambat dan tidak teratur, tapi anehnya bagaimana pun sepasang Elmaut Kuning mempercepat lari mereka, tetap jarak mereka tak berobah dari lima belas langkah! Itulah ilmu lari yang disebut Seribu Kaki Menipu Jarak yang telah dikeluarkan oleh manusia katai. Ilmu lari semacam ini hanya beberapa tokoh silat saja yang memilikinya! Heran! kata Elmaut Kuning Kuping Sumplung. Jarak kita demikian dekatnya tapi kenapa tidak bisa mengejar bangsat itu?! Kurasa dia memiliki ilmu lari Seribu Kaki Menipu Jarak, sahut Mata Picak yang berpengalaman lebih luas dan berpemandangan tajam. Berhenti! teriak Kuping Sumplung.

Tapi mana si katai mau hentikan larinya! Marahlah Mata Picak. Hilang kesabarannya. Berhenti! Kalau tidak aku akan lepaskan pukulan Paku Emas Beracun! Tergetarlah hati si katai. Tapi untuk berhenti dia juga tidak mau. Dia lari terus dan berusaha memperlebar jarak! Bedebah laknat! maki Mata Picak. Tangan kanannya diangkat ke atas dan dihantamkan ke muka. Si katai menoleh sewaktu dirasakannya sambaran angin dingin menyambar di belakangnya. Melihat selarik sinar kuning dan pakupaku emas menderu ke arahnya dengan segera dia jatuhkan diri. Sambil bergulingan dia membalas dengan satu pukulan tangan kosong yang mendatangkan angin panas yang luar biasa dahsyatnya! Sepasang Elmaut Kuning tersirap kaget dan buru-buru menghindar. Badan kate, jubah merah panjang dan pukulan angin panas! Pastilah maling ini Si Katai Bisu! teriak Mata Picak. Dan ketika dia memandang ke muka, manusia katai itu sudah dua puluh tombak jauhnya. Bersama Kuping Sumplung dia mengejar kembali! Di satu pendakian, mendadak si katai hentikan larinya dan kaget sekali. Jalan buntu dan di depannya kini terbentang sebuah jurang yang lebar dan tak mungkin untuk dilompati. Selain lebar juga dalam dan curam! Ha-ha! Kau mau lari ke mana maling laknat?! teriak Kuping Sumplung. Tapi Si Katai Bisu tidak kehilangan akal. Laksana seekor burung walet dia melompat ke cabang sebuah pohon. Turun! teriak Mata Picak. Serahkan lukisan itu dan berlutut! Niscaya kuselamatkan jiwamu! Ha-hu... ha-hu... ha-hu! Si Katai Bisu keluarkan suara. Ayo turun lekas! teriak Kuping Sumplung. Ha-hu... ha-hu... ha-hu! Kurang ajar! Kalau begitu kau mampuslah! Mata Picak angkat tangan kanannya. Ha-hu! Si Katai Bisu menunjuk ke dadanya lalu menunjuk ke lukisan perempuan telanjang kemudian tertawa dan mencibir! Mata Picak yang tak mengerti apa maksud manusia itu siap untuk memukulkan tangannya ke atas. Tiba-tiba Si Katai Bisu lindungi dirinya dengan lukisan perempuan telanjang! Mata Picak terkesiap kaget dan batalkan serangannya. Kini dia

maklum apa maksud dari gerak-gerik dan sikap Si Katai Bisu tadi. Yaitu jika dia meneruskan melancarkan pukulan Paku Emas Beracun maka paku-paku itu akan merusak lukisan perempuan telanjang karena Si Katai Bisu mempergunakan lukisan itu untuk melindungi dirinya! Mata Picak memaki hahis-habisan. Tiba-tiba Kuping Sumplung melompat ke muka dan memukul. Braak! Pohon di mana Si Katai Bisu berada patah dan tumbang. Tapi Si Katai Bisu sudah melompat ke pohon lain! Setan alas! Mata Picak melesat ke depan dan lancarkan satu serangan dari jarak satu tombak. Si Katai Bisu dengan ha-hu-ha-hu menghindarkan diri sambil pergunakan lukisan perempuan telanjang untuk menangkis serangan lawan. Mau tak mau Elmaut Kuning Mata Picak tak berani lancarkan serangan yang terlalu ganas terhadap lawannya karena khawatir akan merusak lukisan! Kuping Sumplung! Serang bangsat itu dari belakang! teriak Mata Picak marah sekali. Elmaut Kuning Kuping Sumplung segera berkelebat dan menyerang Si Katai Bisu dari belakang, sedang dari muka Mata Picak kembali menyerbu! Namun Si Katai Bisu tidak menjadi gugup! Tanpa tedeng aling-aling dia putar lukisan perempuan telanjang seputar badannya. Karena lukisan itu kini dialiri tenaga dalam oleh Si Katai Bisu maka bukan saja putaran lukisan mengeluarkan angin dahsyat sekali, tapi juga merupakan serangan balasan yang sekaligus memapaki serangan Sepasang Elmaut Kuning! Dalam waktu yang singkat sepuluh jurus telah berkecamuk! Sepasang Elmaut Kuning menyumpah-nyumpah tak ada hentinya. Tiba-tiba Elmaut Kuning Mata Picak mendapat akal. Sewaktu pertempuran berjalan seru-serunya dia memukul ke bawah ke arah kaki lawan. Pukulan ini membuat Si Katai Bisu melompat ke udara. Melihat ini dengan cepat Mata Picak menyusul dengan satu serangan ke arah selangkangan tapi lukisan lebih cepat lagi menerpa ke arah kedua tangannya kemudian berputar lagi ke belakang menyambar lengan kiri Kuping Sumplung yang hendak menotok punggung Si Katai Bisu! Hampir tiga puluh jurus berlalu maka berserulah Elmaut Kuning Mata Picak pada kambratnya. Keluarkan jurus Elmaut Menggila!

Kedua manusia berjubah kuning itu mundur setombak lalu dibarengi dengan jerit pekik dahsyat yang laksana merobek gendanggendang telinga keduanya menyerbu kembali dalam satu jurus aneh! Lambat laun suara pekik dan jerit yang datangnya dari pelbagai penjuru itu membuat Si Katai Bisu menjadi gugup dan panik gerakan-gerakan silatnya! Tiba-tiba tangan kanan Elmaut Kuning Mata Picak memukul ke muka. Si Katai Bisu sambut serangan itu dengan sambaran lukisan. Tapi gerakan lawan nyatanya hanya tipuan belaka. Karena begitu lukisan menderu secepat kilat Mata Picak tarik pulang serangannya dan ganti dengan satu tendangan ke arah pinggang. Pada saat yang sama dari belakang Elmaut Kuning Kuping Sumplung lancarkan pula satu serangan ganas ke arah kepala. Si Katai Bisu menggerung lalu membuang diri ke samping kanan. Lukisan disabetkan dengan cepat ke bawah sedang dengan tangan kanan dia kebutkan bagian bawah jubahnya. Serangkum angin merah menyambar ke arah Kuping Sumplung membuat manusia ini batalkan serangan dan terpaksa melompat selamatkan diri! Di lain pihak Elmaut Kuning Mata Picak yang tidak berani adu kekuatan dengan lukisan yang menyambar kakinya, terpaksa tarik pulang tendangannya. Namun Mata Picak menjadi gugup sewaktu melihat bagaimana ujung pigura lukisan menyambar ganas ke arah matanya tak sanggup dikelit! Satu-satunya jalan untuk menyelamatkan matanya hanyalah dengan pergunakan lengan untuk menangkis. Ini berarti dia akan merusakkan lukisan itu di samping lengannya yang dipakai menangkis tentu akan terluka pula! Tapi walau bagaimanapun Elmaut Kuning Mata Picak lebih baik melihat lukisan itu rusak, toh nanti bisa diperbaiki lagi. Juga merasa lebih baik lengannya mendapat luka daripada harus kehilangan matanya yang cuma tinggal satu-satunya! Maka diapun angkat lengan kirinya dengan cepat. Braak! Kayu pigura lukisan perempuan telanjang patah dan sudutnya menganga. Lengan kiri Elmaut Kuning Mata Picak juga patah! Dia mengeryitkan kesakitan kemudian dengan kalap menyerbu ke muka kirimkan pukulan Paku Emas Beracun! Rasa sakit membuat dia tidak perduli lagi apakah pukulannya yang dahsyat itu akan menghancurkan lukisan di tangan lawan!

Melihat datangnya serangan yang dahsyat dari lawan, Si Katai Bisu melompat empat tombak dan dari atas kebutkan jubah merahnya. Segelombang sinar merah laksana topan prahara memapasi serangan Elmaut Kuning Mata Picak. Belasan paku kuning beracun yang melesat ke arah manusia katai itu luruh, bahkan beberapa di antaranya ada yang membalik menyerang Mata Picak sendiri, membuat manusia ini dengan cepat menghindar ke samping selamatkan diri! Si Katai Bisu membalikkan badan dengan cepat sewaktu di belakangnya terasa sambaran angin dingin. Namun kasip! Belasan paku kuning telah dilepaskan Kuping Sumplung! Jaraknya sudah dekat sekali, tak mungkin ditangkis tak bisa dikelit! Si Katai Bisu menggerung. Dia ambil keputusan untuk berjibaku dan tendangan kaki kanannya ke kepala Kuping Sumplung sedang tangan kanan mendorong ke muka! Sedetik kemudian terdengar jerit tercekik dari Si Katai Bisu! Sembilan paku emas beracun menancap di dadanya. Tiga di antaranya langsung menembus jantung! Tak ampun lagi begitu jatuh di tanah, nafasnya lepas sedang sekujur badannya kelihatan menggembung biru! Di lain pihak meski dia dapat menyelamatkan kepalanya dari tendangan maut Si Katai Bisu namun Elmaut Kuning Kuping Sumplung tak sempat menghindarkan diri dari sambaran angin pukulan yang dilepaskan Si Katai Bisu. Tubuhnya mencelat beberapa tombak. Kalau saja tubuh itu tidak membentur patahan pohon yang tadi dipukulnya, pasti Elmaut Kuning Kuping Sumplung akan melayang ke dasar jurang batu! Kuping Sumplung muntahkan darah segar lalu roboh pingsan! Mata Picak segera menyambar lukisan yang rusak piguranya lalu memanggul tubuh Kuping Sumplung dan meninggalkan tempat itu dengan cepat.

***

WIRO SABLENG RAHASIA LUKISAN TELANJANG

I SEBELAH utara kelihatan Gunung Merapi menjulang tinggi penuh kemegahan. Hari itu adalah hari ke duapuluh satu bulan kedua perjalanan Wiro Sableng dalam mencari lukisan perempuan telanjang. Saat itu dia tengah menuju ke sebuah kota kecil yang terletak di selatan kaki Gunung Merapi. Di satu jalan yang sepi Pendekar 212 hentikan larinya dan berjalan seperti biasa. Jauh di hadapannya dilihatnya seorang laki-laki tua berpakaian compangcamping berjalan melenggang-lenggok dengan seenaknya. Di tangannya ada sebuah kaleng berisi batu yang setiap saat diguncang-guncangnya hingga mengeluarkan suara bergerontangan. Di ketiak kirinya terkempit sebuah tas daun pandan. Yang membuat Wiro diam-diam jadi tertegun ialah karena dalam dua kejapan mata saja tahu-tahu orang tua berpakaian compangcamping itu sudah berada di hadapannya. Wiro sunggingkan senyum. Tapi orang tua aneh itu terus saja melangkah seenaknya dan hendak memapasi Wiro. Maka Pendekar 212 pun menegur bertanya, Orang tua, apakah ini jalan yang menuju ke kota Paritsala? Orang tua itu hentikan langkahnya. Tanpa menoleh pada si pemuda dia membuka mulut, Siapa tanya siapa? Lalu tangannya digoyangkan dan kaleng berisi batu berbunyi berkerontangan. Wiro tersenyum lagi. Namaku Wiro. Aku dalam perjalanan ke Paritsala. Apakah aku menempuh tujuan yang betul? Perlahan-lahan orang tua itu putar kepalanya dan memandang Wiro Sableng dari atas sampai ke kaki. Ah... melihat kepada air mukamu rupanya kau tengah mengkhawatirkan tentang suatu barang yang hilang... Dan habis berkata begitu orang tua ini kerontang-kerontangkan lagi kaleng di tangan kanannya. Tentu saja Wiro Sableng terkejut mendengar ucapan si orang tua dan menduga-duga siapa adanya manusia ini.

Coba ulurkan telapak tangan kirimu! si orang tua tiba-tiba memerintah. Wiro Sableng meragu seketika. Dia tidak kenal dengan orang tua itu dan disuruh ulurkan telapak tangan kirinya. Mau apakah? Namun akhirnya karena ingin tahu Wiropun ulurkan telapak tangan kirinya. Si orang tua memperhatikan telapak tangan itu lalu dengan telunjuk tangan kirinya diikutinya guratan-guratan garis pada telapak tangan pemuda itu. Wiro Sableng terkejut sewaktu jari telunjuk itu menyentuh telapak tangannya, telapak tangan itu seperti ditindih oleh sebuah batu besar yang ratusan kati beratnya! Tahu kalau orang hendak mencoba kekuatannya maka Wiro segera kerahkan tenaga dalamnya ke telapak tangan kiri itu. Si orang tua terus juga mengikuti garis-garis pada telapak tangannya dan Wiro merasa tangannya tergetar hebat. Dia lipat gandakan tenaga dalamnya. Keringat dingin berpercikan di keningnya dan sedikit tenaga dalamnya ditindih hebat oleh tenaga dalam si orang tua. Bagaimanapun dia mempertahankan pastilah telapak tangannya akan terpukul ke bawah! Namun di saat itu untunglah si orang tua menarik ujung jarinya dan sambil batuk-batuk dia berkata, Orang muda, masa depanmu penuh rintangan dan kesulitan-kesulitan. Kulihat garis-garis di telapak tanganmu itu penuh dengan garis-garis bahaya yang selalu mengikuti perjalanan nasibmu! Tapi kau tak perlu khawatir. Bagaimanapun sulitnya, bagaimanapun besar bahaya kau kelak akan berhasil melewati semuanya. Orang tua aneh kerontangkan kalengnya beberapa kali lalu meneruskan, Garis percintaanmu tidak begitu bagus. Ini disebabkan karena kau punya sedikit sifat mata keranjang, tidak boleh lihat perempuan cantik... Kaleng berisi batu berkerontang lagi. Wajah Pendekar 212 kelihatan merah menjengah! Dan si orang tua bertanya, Kau tengah menuju ke Paritsala? Betul orang tua, jawab Wiro. Kunasihatkan agar dibatalkan saja... Memangnya ada apakah? Kesulitan. Kesulitan! Kau selalu ditunggu kesulitan dan bahaya di mana-mana... Tapi seorang kawanku menganjurkan agar pergi ke utara..., kata Wiro yang ingat akan petunjuk yang diberikan Dewa Tuak. Orang tua itu tertawa tawar sambil kerontang-kerontangkan kalengnya lalu hendak menindak meninggalkan tempat itu.

Orang tua, kuucapkan terima kasih atas petunjukmu. Sebelum berpisah sudilah kau terangkan namamu... Orang tua itu kerontang-kerontangkan kalengnya dan dengan melangkah acuh tak acuh dia meninggalkan Wiro Sableng sambil bernyanyi: Orang-orang menyebutku Si Segala Tahu. Tapi betapa tololnya aku, namaku sendiri aku tidak tahu... Dua kalimat dalam lagu yang dibawakan orang tua aneh itu terus diulang-ulangnya sampai akhirnya dia lenyap di kejauhan. Wiro Sableng berdiri terlongong-longong. Orang persilatan mana yang tak tahu dan tak pernah mendengar tentang orang tua aneh yang bernama Segala Tahu itu? Ilmu silatnya tinggi tapi jarang dipergunakan. Dia mengembara ke mana-mana tapi jarang bisa ditemui orang. Jika dia berpapasan dengan seseorang pastilah dia akan mengatakan sesuatu. Dan apa yang dikatakannya itu selalu betul. Itulah sebabnya dia diberi nama Segala Tahu oleh orang-orang dunia persilatan. Wiro merasa beruntung sekali dapat bertemu dengan orang tua itu. Dia segera melanjutkan perjalanan. Di satu persimpangan jalan dia hendak membelok ke kanan yaitu sesuai dengan petunjuk Si Segala Tahu agar jangan terus ke Paritsala. Belum lagi dia sempat membelok ke kanan, di belakangnya terdengar derap kaki-kaki kuda dan gemeletak suara kereta. Wiro berpaling, sepuluh orang penunggang kuda hitam memacu kuda masing-masing dengan cepat, mengawal sebuah kereta putih yang ditarik oleh dua ekor kuda putih. Debu mengepul sepanjang jalan. Rombongan itu terdiri dari penunggang-penunggang kuda berpakaian hitam. Pada bagian dada baju mereka terpampang gambar kepala burung garuda. Pada bagian samping kereta putih juga terdapat gambar semacam itu. Dan sewaktu Wiro memperhatikan jendela kereta, sekilas dilihatnya seraut wajah perempuan muda berparas cantik sekali. Kereta lewat dengan cepat tapi Wiro masih terkesiap melihat paras jelita itu. Mata perempuan itu laksana sinar bintang timur di malam cerah! Wiro memandang ke jurusan lenyapnya kereta. Dan lupalah Pendekar 212 akan ucapan Si Segala Tahu tadi. Tanpa disadarinya dia telah menempuh jalan yang ditempuh rombongan itu. Hari telah petang sewaktu Wiro Sableng memasuki Paritsala. Di hadapan sebuah bangunan berbentuk panjang dilihatnya kereta putih tadi. Sepuluh ekor kuda hitam pun tertambat di halaman.

Karena bangunan itu adalah rumah penginapan maka Wiro Sableng pun segera menuju ke sana. Baru saja Pendekar 212 berdiri di tangga bawah pintu penginapan, seorang pelayan muncul. Umurnya sudah agak lanjut. Orang muda, apakah kau berniat menginap di sini? Betul sahut Wiro. Sayang sekali. Seluruh kamar sudah disewa orang... Seluruh kamar? ujar Wiro heran. Dia menggoyangkan kepalanya ke arah kereta dan kuda-kuda hitam di halaman. Apakah rombongan pemilik kereta itu yang telah menempatinya? Ya. Berapakah jumlah kamar di penginapan ini? Enam belas... Mengapa? Rombongan itu jumlahnya tidak sampai enam belas orang, kata Wiro. Pasti ada kamar yang masih kosong untukku... Sudah kubilang semua kamar diambil oleh rombongan itu. Majikanku memerintahkan agar menolak siapa saja yang hendak menginap di sini... Wiro Sableng garuk-garuk kepalanya, Kalau begitu aku musti cari penginapan lain, katanya setengah menggerutu. Di sini tak ada lagi penginapan lain. Hem... Wiro menggumam. Terpaksa kau menolong menyediakan satu kamar buatku. Gudang buruk-pun tak jadi apa. Tak mungkin orang muda. Seluruh penginapan ini sampai ke gudang telah disewa oleh rombongan itu! Wiro Sableng jadi penasaran. Apa kau kira aku tak sanggup membayar sewa untuk sebuah gudang tua? Atau kau minta sogok agaknya heh?! Paras orang tua pelayan penginapan itu berubah kesal. Kuharap kau tak usah memaksa-maksa dan bicara lantang. Salah-salah kau bisa berabe! Wiro keluarkan suara bersiul. Kenapa bisa jadi berabe, Bapak? tanya pemuda ini Ah! Tak usah kau banyak tanya! Pelayan itu putar tubuh hendak masuk kembali tapi Wiro mencekal bahunya hingga dia tak bisa bergerak. Katakan dulu kenapa bisa jadi berabe! desis Wiro ke telinga pelayan itu. Dan si pelayan mendadak merasa kecut sewaktu merasakan

bagaimana telapak tangan Wiro yang berada di bahunya membuat tubuhnya seperti mau amblas ke lantai! Orang muda, seluruh penginapan ini telah disewa oleh Ketua Perguruan Garuda Sakti. Dia dan rombongannya tengah menuju ke puncak Gunung Merapi. Di sana akan dilangsungkan perkawinan anak gadisnya dengan seorang pemuda, anak Ketua Perguruan Merapi... Wiro angguk-anggukkan kepalanya. Dia ingat pada sekilas bayangan raut wajah gadis jelita yang dilihatnya lewat jendela kereta. Sekarang kau lekaslah berlalu dari sini. Kau tahu, Ketua Perguruan Garuda Sakti galak luar biasa! Sekali dilihatnya ada yang bikin ribut di hadapannya pasti akan kena tamparannya. Dan manusia tampangmu ini sekali tampar saja pasti kepalamu menggelinding! Wiro tertawa gelak-gelak. Kurang ajar! Siapa yang berani bikin ribut di sini! Tiba-tiba satu suara garang membentak dan sesaat kemudian seorang laki-laki berbadan tinggi tegap sudah berdiri di ambang pintu. Dia berpakaian hitam dan di bagian dada bajunya ada gambar kepala burung garuda putih. Dia berdiri bertolak pinggang dan beliakkan mata kepada Wiro. Pelayan penginapan berdiri dengan muka pucat! Pemuda hina dina! Lekas angkat kaki dari sini! Kalau tidak, kupuntir kepalamu sampai putus! Hak apakah kau mengusirku?! tanya Wiro dengan senyum mengejek. Marahlah si tinggi besar. Tangan kanannya dengan cepat diulurkan menjambak rambut Wiro Sableng. Begitu terjambak segera hendak dipuntirnya. Tapi terkejut si tinggi besar ini bukan alang kepalang sewaktu jari-jari tangannya yang menjambak itu dirasakannya laksana memegang sebuah area batu yang ratusan kati beratnya dan keras luar biasa, tak sanggup tangannya memuntir! Mampus! teriak si tinggi besar itu seraya sentakkan tangannya! Sekali menyentak maksudnya hendak ditanggalkannya kepala Wiro dari badannya, sekurang-kurangnya rambut pemuda itu akan berserabutan dari batok kepalanya. Tapi apa yang terjadi kemudian betul-betul tak diduga oleh si tinggi besar. Belum lagi dia sempat menyentakkan tangannya tahu-tahu satu totokan melanda jalan darah di dadanya! Si tinggi besar mengeluh tertahan. Sebelum tubuhnya roboh tergelimpang dalam keadaan kaku, Wiro cekal kuduk

laki-laki itu dan melemparkannya ke sebuah pohon di halaman penginapan. Tubuh si tinggi besar menyangsrang di antara cabang pohon, tak bisa bergerak, tak dapat turun! Orang itu memaki-maki. Wiro sebaliknya tertawa gelak-gelak dan tinggalkan tempat itu! Sepasang mata yang bersinar-sinar mengintai di balik jendela sebuah kamar penginapan dan mengikuti kepergian Pendekar 212.

***

WIRO SABLENG RAHASIA LUKISAN TELANJANG

10

ETIKA dia menempuh jalan yang menuju ke luar kota, Wiro mendengar suara derap kaki kuda datang mendekatinya dari arah belakang. Menyangka bahwa yang datang ini adalah kawan-kawan si tinggi besar tadi segera Wiro berlindung di balik sebatang pohon. Nyatanya si penunggang kuda adalah pelayan penginapan tadi. Pelayan ini hentikan kudanya di tengah jalan dan memandang kian ke mari. Jelas dilihatnya tadi Wiro berada di jalan itu. Tapi tiba-tiba lenyap entah ke mana. Hai! Kau mencari aku?! tanya Wiro dari balik pohon. Si pelayan tergagap kaget Wiro keluar dari balik pohon. Lekas ikut bersamaku! kata si pelayan. Ikut ke mana? tanya Wiro heran. Jangan bertanya dulu. Kita tak punya banyak waktu. Sebentar lagi anak-anak murid Perguruan Garuda Sakti pasti akan datang ke sini! Lekas naik di belakangku! Aku tak percaya padamu. Mungkin kau mau menipu?! Di kejauhan terdengar derap kaki kuda banyak sekali! Lekaslah! kata si pelayan lagi. Parasnya pucat tanda cemas. Akhirnya Wiro melompat juga ke atas punggung kuda di belakang si pelayan. Bapak, bisik Wiro waktu mereka berlalu dengan cepat, Kalau kau menipuku, aku akan gantung kau, kaki ke atas kepala ke bawah! Sesaat kemudian keduanya meninggalkan jalan itu dengan cepat. Lewat sepeminum teh pelayan penginapan hentikan kudanya di satu tempat. Hari telah senja dan berangsur gelap. Wiro Sableng memandang berkeliling. Ternyata dia berada di bagian belakang bangunan penginapan. Melihat ini Wiro menjadi curiga dan segera cekal tangan si pelayan. Jika bukan bermaksud jahat, kenapa kau ajak aku ke sini?! desis Wiro Sableng. Kalau aku betul-betul menipumu kau boleh betot batang

leherku! jawab si pelayan. Wiro hendak buka suara kembali tapi tak jadi. Pintu belakang penginapan terbuka dan dua orang berpakaian hitam-hitam dengan gambar kepala burung garuda pada dadanya melangkah cepat ke kandang kuda. Dengan menunggangi dua ekor kuda, keduanya meninggalkan bagian belakang penginapan dan lenyap ditelan kegelapan malam. Suara kaki-kaki kuda mereka juga menyusul lenyap ditelan hembusan angin malam di kejauhan! Ikut aku! kata pelayan itu. Tunggu! jawab Wiro. Terangkan dulu apa arti semua ini! Orang muda, aku sendiri tidak tahu apa-apa. Aku cuma diperintahkan. Percayalah aku tidak menipumu! Siapapun tak ada yang bermaksud jahat padamu! Dari siapa kau terima perintah! Dan apa saja perintah itu?! tanya Wiro Sableng lagi, Kita tak punya waktu banyak. Lekas ikuti aku! Wiro Sableng di belakang si pelayan. Sepasang bola matanya berputar liar waspada kian kemari sambil melangkah. Mereka masuk lewat dapur penginapan. Suasana sunyi senyap. Satu-satunya makhluk hidup yang kelihatan ialah seekor kucing yang tengah menggerogoti sebuah tulang ayam. Si pelayan dengan hati-hati membuka sebuah pintu yang berhubungan dengan ruangan lain di bagian belakang penginapan. Ternyata ruangan itu adalah sebuah gudang tempat menyimpan segala macam perabotan rongsok. Dari sini, pelayan itu membawa Wiro Sableng melewati sebuah ruangan lagi dan akhirnya mereka sampai di sebuah gang. Pelayan memberi isyarat agar Wiro lebih cepat melangkah mengikutinya. Lima langkah dari ujung gang yang di kiri kanannya terdapat deretan pintu-pintu kamar, si pelayan berhenti dan berpaling pada Wiro. Bukalah pintu kamar di ujung sebelah kanan itu dan masuk ke dalam! Orang yang kau temui di dalam kamar itu adalah orang yang memerintah aku! Wiro Sableng hendak menanyakan. Wiro memaki dalam hati. Sambil garuk-garuk kepala dia melangkah mendekati pintu kamar di ujung kanan. Ketika didorongnya ternyata pintu itu tak terkunci. Wiro masuk ke dalam dengan cepat dan merapatkan pintu kembali. Begitu sampai di dalam kamar, terkesiaplah Pendekar 212! Di hadapannya berdiri seorang dara berkulit kuning langsat,

berparas cantik sekali. Kedua matanya bersinar laksana bintang timur. Dia berpakaian biru berbunga-bunga merah yang bagus sekali potongannya. Pada rambutnya yang digulung ke atas itu tersisip tusuk konde dari emas yang berukir-ukir kepala burung garuda. Sang dara melangkah ke dekat Wiro. Dikuncinya pintu kamar. Berada sedekat itu Wiro Sableng kembang-kempis hidungnya mencium bau harum yang keluar dari sekujurnya tubuh sang dara! Dara jelita ini kemudian melangkah kembali ke tengah kamar. Saudari apakah artinya ini? tanya Wiro Sableng. Betapapun dia tidak mengerti tapi berdiri di hadapan si jelita itu hatinya senang sekali. Tadinya dia menyangka akan menemui seorang laki-laki bertampang galak tapi tak dinyana kini dia berhadapan seorang gadis jelita. Dan Wiro ingat, dara jelita ini adalah gadis dalam kereta putih yang dilihatnya di tengah jalan tadi sore! Saudara, apakah kau bisa bicara dengan ilmu menyusupkan suara? si gadis bertanya perlahan. Wiro Sableng terkejut Apaan pula ini? tanyanya dalam hati. Tapi kepalanya dianggukkannya juga. Kemudian dengan ilmu menyusupkan suara si gadis berkata, Aku telah saksikan apa yang kau lakukan terhadap anak murid ayahku di depan penginapan ini tadi. Kurasa kau adalah orang yang bisa menjadi tuan penolongku... Hem..., Wiro garuk-garuk kepalanya. Pertolongan apakah yang bisa kulakukan untukmu? Kalau aku tidak salah duga kau adalah anak gadisnya Ketua Perguruan Garuda Sakti. Si gadis anggukkan kepala. Aku dan ayah serta sepuluh orang anak-anak muridnya tengah dalam perjalanan ke puncak Gunung Merapi... Pelayan itu mengatakan bahwa kau hendak melangsungkan perkawinan di sana dengan anak laki-laki Ketua Perguruan Merapi. Betul, bagus kalau dia mengatakan hingga aku tak perlu panjang lebar menerangkannya padamu, jawab si jelita. Lalu sambungnya, Perkawinanku dengan anak laki-laki Ketua Perguruan Merapi adalah secara paksa! Ayahku yang memaksa. Aku tak kuasa menolak paksaan itu di samping aku tak ingin pula menjatuhkan nama besar ayah! Di lain hal aku sama sekali tidak mencintai anak Ketua Perguruan Merapi. Aku ingin perkawinan ini dibatalkan tanpa memberi malu pada ayah dan juga untuk menghindarkan agar jangan sampai ada pertumpahan darah antara perguruan ayahku

dengan Perguruan Merapi. Kalau kau tak suka pada anak laki-laki Ketua Perguruan Merapi dan tak berdaya menolak paksaan ayahmu, kenapa tidak larikan diri saja?! tanya Pendekar 212 pula. Kau lihat sendiri. Selama satu bulan terakhir ini akan-anak murid ayah menjagaku dengan keras. Ayah sendiri bersikap waspada karena mungkin dia sudah dapat meraba maksudku hendak lari. Di samping itu aku khawatir pihak Perguruan Merapi menuduh ayahkulah yang telah sengaja menyembunyikanku. Sebenarnya ayah sendiri mendapat tekanan dari mereka. Wiro merenung sejenak. Apakah kau punya kekasih? Seorang pemuda yang kau cinta?! tanya Wiro seenaknya, Anak Ketua Perguruan Garuda Sakti itu kelihatan merah parasnya. Tapi dengan terus terang dia kemudian anggukkan kepala. Parasnya kemudian berubah sedih. Dia berkata, Kekasihku telah ditangkap. Disiksa dan dikurung di sebuah goa batu... Dan di mata yang bersinar seperti bintang timur itu Wiro Sableng kini melihat dua butir air mata laksana berlian mengambang di kelopak mata si gadis. Lantas apakah yang bisa kutolong padamu, Saudari? tanya Wiro. Menolong agar perkawinanku bisa batal! Aku orang tolol, mana mungkin sanggup melakukan itu? tanya Wiro seraya garuk-garuk kepala. Sekarang bukan saatnya berpura-pura, Saudara. Pertolongan dan budi baikmu tak akan kulupakan seumur hayat. Wiro berpikir, lalu, Kau ingin kularikan sekarang?! tanya Wiro mengambil keputusan pendek. Jangan. Ketua Perguruan Merapi akan salah sangka dan curiga pada ayah. Bukan mustahil mereka akan mengambil jalan kekerasan! Di samping itu nama besar ayah akan luntur karena berilmu tinggi dan punya anak buah banyak tapi tak sanggup menjaga anak. Apalagi menjelang hari-hari perkawinan itu... Berabe juga kalau begini, kata Wiro. Dipijit-pijitnya keningnya. Kapan upacara perkawinanmu dilakukan di puncak Merapi? Lusa siang. Jam dua belas tepat! jawab si gadis. Wiro berpikir-pikir lagi. Baiklah, kata Pendekar 212 kemudian. Aku sudah dapat satu

cara yang baik untuk membatalkan perkawinanmu. Aku akan muncul tepat pada saat upacara pernikahanmu. Mudah-mudahan kita berhasil. Sebelum pergi apakah aku boleh tahu namamu...? Sang dara belum sempat menjawab tiba-tiba pintu kamar diketuk orang dengan keras dan di luar terdengar suara lantang. Permani! Buka pintu cepat. Kedua orang di dalam kamar terkejut. Paras si gadis pucat pasi. Wiro Sableng memandang berkeliling. Agaknya tak mungkin untuk bersembunyi di kamar itu. Tapi begitu matanya membentur jendela, Wiro segera melompat. Tanpa suara dibukanya jendela itu dan dalam detik itu juga dia sudah lenyap di luar sana setelah terlebih dulu menutupkan daun jendela kembali! Permani! Ketukan pada pintu kini berganti dengan gedoran-gedoran. Sang dara cepat-cepat membuka pintu kamar. Seorang laki-laki bermuka klimis bermata merah dan berbadan tinggi tegap masuk ke dalam. Sepuluh kuku-kuku jari tangannya berwarna putih dan panjang sekali! Inilah Ketua Perguruan Garuda Sakti yang bernama Manik Tunggul. Dia memandang sekeliling kamar dengan matanya yang besar penuh teliti. Permani berdiri di hadapan laki-laki dengan hati berdebar. Kau menyembunyikan seseorang di sini, Permani?! tanya Manik Tunggul. Permani tertawa. Kecurigaan ayah terhadap anak sendiri keterlaluan sekali! kata gadis itu. Siapa dan untuk apa pula aku menyembunyikan seseorang dalam kamar ini?! Manik Tunggul memandang ke loteng lalu memeriksa setiap sudut kamar bahkan memeriksa kolong tempat tidur! Sepuluh orang anak murid ayah mengawalku siang malam. Mereka berkepandaian tinggi! Jika seseorang masuk ke sini masa mereka tidak tahu? ujar Permani. Manik Tunggul masih belum percaya akan ucapan anaknya itu. Dia melangkah ke jendela dan membukanya. Di luar suasana sunyi dan gelap. Dua orang anak muridnya tampak berdiri di bawah sebuah pohon. Mereka tengah berjaga-jaga. Laki-laki ini menutupkan jendela kembali. Permani, menjelang hari perkawinanmu ini kuharap kau jangan bikin hal yang bukan-bukan. Jangan beri malu ayahmu! Kecuali kalau

kau ingin melihat pecahnya permusuhan antara aku dengan Ketua Perguruan Merapi! Ayah, meski aku tidak suka pada calon suamiku itu, tapi mengingat kepadamu aku tak bisa berbuat lain daripada patuh atas segala kemauanmu... kata Permani dengan tundukkan kepala. Manik Tunggul tepuk bahu anaknya. Kau anak yang berbakti, kata Ketua Perguruan Garuda Sakti itu kemudian melangkah ke pintu meninggalkan kamar. *** Malam itu di sebuah dangau tua di tengah sawah, Wiro Sableng duduk termenung! Usahanya mencari lukisan perempuan telanjang masih belum selesai. Mengapa dia kini sengaja melibatkan diri dalam urusan orang lain? Mengapa dia telah menerima permintaan tolong gadis anak Ketua Perguruan Garuda Sakti itu? Bukankah ini berarti dia mencari sengketa, menghadapi dua buah Perguruan sekaligus?! Wiro Sableng merutuki dirinya sendiri. Tiba-tiba dia ingat pada nasihat Si Segala Tahu. Orang tua itu telah melarangnya pergi ke Paritsala. Dia tak menghiraukannya. Dan kini dia terjerumus dalam persoalan rumit penuh bahaya yang sengaja di cari-carinya sendiri! Paras jelita dan senyum menggiurkan anak gadis Ketua Perguruan Garuda Sakti itulah mungkin yang telah memukaunya hingga bersedia turun tangan berikan bantuan! Dan Pendekar 212 teringat pada ucapan Si Segala Tahu, kau punya sifat mata keranjang, tidak boleh lihat perempuan cantik... Wiro menyeringai dan sambil garuk-garuk kepala, direbahkannya badannya di lantai dangau.

***

WIRO SABLENG RAHASIA LUKISAN TELANJANG

11

I PUNCAK Gunung Merapi. Sebuah panggung kayu jati yang diberi berukir-ukir serta hiasan gaba-gaba dikelilingi oleh sebuah panggung besar yang lebih rendah dan berbentuk lingkaran, mengelilingi panggung kayu jati tadi. Pada bagian sebelah utara panggung berbentuk lingkaran terdapat sebuah podium. Di depan podium ini terletaklah sebuah pelaminan. Seorang pemuda berpakaian bagus duduk di pelaminan ini. Pakaiannya yang bagus, topi tingginya yang bertaburan berlian, segala apa yang dipakainya, semua itu tak dapat menyembunyikan parasnya yang buruk dan cekung. Dialah Sokananta, anak Ketua Perguruan Merapi, calon suami Permani! Tamu-tamu yang banyak hadir di situ rata-rata adalah orang-orang dunia persilatan dan beberapa di antara mereka merupakan tokoh-tokoh yang disegani! Sebentar lagi, pengantin perempuan akan dibawa naik ke atas podium dan upacara perkawinan segera akan dilangsungkan. Sementara menunggu munculnya sang pengantin maka Tunggul Manik bicara-bicara dengan calon besannya yaitu Bogananta, Ketua Perguruan Merapi. Bila upacara pernikahan selesai, para tamu akan dijamu makan minum dan sambil menyaksikan pertandingan-pertandingan silat yang sengaja diadakan sebagai kebiasaan di atas panggung besar kayu jati! Tiba-tiba terdengar suara tiupan seratus buah seruling. Dari sebuah bangunan keluarlah pengantin perempuan, diiringi oleh dayang-dayang. Semua mata yang memandang kepada sang pengantin ini tak satupun yang tak memuji kecantikan paras Permani! Dilihat kepada rupa memang ada juga di antara para tamu yang merasa kurang cocoknya kedua pengantin itu. Tapi memandang kepada nama besar Ketua Perguruan Merapi maka ketidakcocokan itu menjadi sirna. Siapa yang tak kenal dengan Bogananta? Siapa yang tak kenal dengan Sokananta yang berilmu tinggi?! Begitu pengantin perempuan menginjakkan kaki di atas

panggung di depan podium maka pengantin laki-laki pun berdiri dan suara seruling berhenti. Serentak para hadirin pun berdiri pula. Upacara pernikahan segera akan dilangsungkan, dipimpin oleh seorang tua bernama Wararayan. Di kalangan dunia persilatan di masa itu Wararayan sangat terkenal dan telah puluhan kali memimpin upacara perkawinan. Siapa-siapa yang dinikahkan di bawah pimpinannya pastilah kedua mempelai akan hidup bahagia! Satu menit telah berlalu. Wararayan belum juga muncul. Para hadirin terutama Bogananta dan Manik Tunggul serta Sokananta kelihatan gelisah. Permani yang berdiri dengan menundukkan kepala juga tampak gelisah. Tapi apa yang digelisahkannya tidak sama dengan apa yang digelisahkan orang-orang di situ. Dia gelisah karena sampai saat itu orang yang hendak menolongnya belum juga kelihatan! Apakah pemuda itu tidak datang? Atau terlambat atau sesat di jalan? Atau mendapat celaka?! Telah lewat sepeminum teh. Para hadirin mulai berbisik-bisik. Rasa malu yang amat sangat membuat kulit muka Manik Tunggul merah laksana saga. Apalagi karena dialah yang bertanggung jawab mengatur kelancaran upacara pernikahan itu. Di lain pihak Bogananta juga kelihatan merah parasnya, tapi bukan karena malu melainkan merasa terhina! Dalam suasana tegang gelisah itu tiba-tiba dari balik sebuah batu karang besar di tepi kawah kelihatan muncul seorang berjubah biru. Manik Tunggul tersirap kaget. Jubah biru adalah pakaian yang biasa dikenakan oleh Wararayan! Apakah manusia ini Wararayan? Tapi kenapa dia muncul dari balik batu karang itu? Dan waktu diperhatikan langkah si jubah biru ini, terkejutlah Manik Tunggul serta para hadirin. Langkah si jubah biru demikian enteng, laksana kapas diterbangkan angin! Kemudian bila si jubah biru sudah berada dekat, maka tersiraplah darah Manik Tunggul dan semua orang. Si jubah biru ternyata bukan Wararayan! Tapi anehnya jubah yang dipakainya itu dikenali sekali oleh Manik Tunggul sebagai milik Wararayan? Apakah yang telah terjadi dengan Wararayan? Di mana orang tua itu berada dan siapa pula manusia yang datang ini?! Si jubah biru memiliki paras yang dilapisi dengan tanah liat. Rambutnya yang gondrong acak-acakan diikat dengan robekanrobekan kain berbagai bentuk dan warna. Di tangan kirinya ada sebuah pecahan kaca rias bersudut runcing sedang di tangan kanannya menggenggam sebatang tombak pendek dari batu hitam

yang banyak terdapat di sekitar kawah gunung. Si jubah biru langsung menuju ke podium. Anak-anak murid Perguruan Merapi dan Perguruan Garuda Sakti segera hendak turun tangan, tapi ketua masing-masing memberi isyarat. Semuanya mundur kembali namun dalam posisi mengurung si jubah biru. Akan tetapi Permani begitu dia melihat si jubah biru ini, meskipun parasnya kotor bercelemongan tanah liat dan rambut awut-awutan tak karuan, namun dia masih bisa mengenali. Si jubah biru ini bukan lain pemuda gagah yang dua hari lalu telah bicara dengan dia di dalam kamar penginapan, bukan lain orang yang diharapkannya sebagai tuan penolongnya! Hati dara ini lega sedikit. Tapi apa-apaan dia berbuat macam orang gila begini rupa? Tiba-tiba si jubah biru alias Wiro Sableng alias Pendekar 212 keluarkan suara macam orang tua dan menggigil, Uh... uh... dinginnya! Dingin sekali! Dan kedua tangannya didekapkan di dada sedang geraham-gerahamnya bergemeletukan persis macam orang kedinginan! Di samping itu karena suaranya sengaja dialiri tenaga dalam yang hebat, maka suaranya itu menggetarkan liang telinga para hadirin, menggetarkan lantai panggung yang mereka injak! Semua orang heran campur terkejut! Hari sepanas itu. Matahari bersinar terik. Bagaimana manusia satu ini menggigil begitu rupa dan bilang dingin?! Jubah biru! bentak Manik Tunggul. Manusia atau setankah kau?! Hai... aku bicara soal dinginnya hari. Apakah kau tidak merasa? Apakah kalian semua di sini tidak kedinginan? Uh.. uh...! Semua orang saling pandang. Jubah biru, lekas terangkan siapa kau. Dan dari mana kau dapatkan jubah milik Wararayan itu?! Kembali Manik Tunggul buka suara keras. Wiro Sableng dengan menahan geli di dalam hati pura-pura meneliti parasnya di dalam kaca di tangan kiri. Kemudian sambil tuding-tudingkan tombak batu hitam di tangan kanan dia berkata, Anak-anakku... kalian semua dengarlah! Persetan manusia edan! hardik Bogananta beringas. Kau kira kami ini apamu sampai memanggil kami anak-anakmu?! Si jubah biru tidak ambil perduli. Malah dia tudingkan tepat-tepat tongkat hitamnya ke hidung Ketua Perguruan Merapi itu.

Kalian dengar dulu... jangan ganggu bicaraku. Siapa yang bertindak lancang akan celaka seumur hidup. Akan dirundung malang selama hayat! Akan dikutuk dewa-dewa di khayangan! Lalu Wiro Sableng pura-pura menggigil kedinginan lagi! Dingin... uh... dingin sekali! Di dasar kawah udara hangat tapi di atas sini dingin bukan main! Uh...! Manusia gila! Kalau kau tak segera angkat kaki dari sini kutekuk batang lehermu! ancam Manik Tunggul. Aku bukan manusia... bukan manusia! kata Wiro lantang keras hingga setiap orang yang mendengar tergetar dadanya! Aku adalah titisan dewa di khayangan! Aku penghuni Gunung Merapi ini. Segala sesuatu yang ada dan terjadi di gunung ini di bawah pengawasanku! Kalian tahu hai manusia-manusia ceroboh, pesta perkawinan yang kalian rayakan di sini tanpa meminta izin pada dewa-dewa di khayangan telah membuat dewa-dewa marah semua! Kalian hendak dikutuk! Hendak disapu dengan angin topan dari puncak Gunung Merapi ini. Tapi dengan memandang aku, dewa-dewa masih sanggup beri ampun pada kalian... Keparat pendusta! bentak Manik Tunggul. Kau kira kami bisa dikelabuhi oleh orang gila macammu?! Wiro Sableng menyeringai dan keluarkan suara mengekeh. Dalam hatinya dia memaki! Aku pendusta katamu?! Aku orang gila bilangmu...?! Kau akan lihat... akan lihat! kata Wiro pula dengan suara keras. Dia melangkah seringan kapas ke tepi kawah yang terletak dua puluh tombak dari panggung. Jarak yang duapuluh tombak itu dicapainya dengan beberapa kali gerakan kaki saja hingga semua orang menjadi tertegun! Di tepi kawah Wiro komat-kamitkan mulut. Dalam hati dia geli sekali. Kemudian tongkat pendek batu hitam di tangan kanannya di acung-acungkan ke udara dan pecahan kaca rias diputar-putarnya kian kemari! Kemudian terdengarlah kumandang suaranya yang menggelegar ke dasar kawah dan dipantulkan kembali ke atas. Wahai dewa-dewa di khayangan! Kalian telah menyaksikan sendiri bagaimana hari ini di hadapanku ada manusia-manusia yang hendak mengotori tempatmu yang ada di bawah pengawasanku. Kalian dengar sendiri bagaimana manusia-manusia itu mengatakan aku sebagai pendusta, sebagai tukang kelabuh, sebagai orang gila! Demi memandang mukaku, demi menjaga kesucian tempat ini dan

demi kebesaran namamu, kuharap perlihatkanlah kekuatanmu! Hukumlah mereka...! Wiro putar-putarkan kedua tangannya ke udara. Hukumlah mereka wahai dewa! seru Wiro lagi dan seluruh tenaga dalamnya dialirkan ke ujung kedua tangan. Diam-diam Pendekar ini lepaskan pukulan Angin Puyuh. Maka mengaunglah suara angin makin keras. Para tamu yang bukan orang-orang persilatan tak ampun lagi jatuh berpelantingan. Bogananta, Manik Tunggul dan mereka yang mengerti silat segera kerahkan tenaga dalam agar tidak ikut terpelanting. Tapi makin lama deru angin semakin dahsyat dan keras! Hiasan-hiasan dan gaba-gaba di atas panggung serta podium tanggal beterbangan, tak ketinggalan kain penutup pelaminan. Topi tinggi yang dikenakan pengantin laki-laki tak urung mental dan kelihatanlah kepalanya yang berambut jarang! Tahan! teriak Manik Tunggul seraya melompat ke muka dan lepaskan satu pukulan tangan kosong ke arah si jubah biru! Tapi terkejutnya bukan main dan melabrak dirinya sendiri! Dia melompat ke samping dan sesaat kemudian dia sudah berada di hadapan Wiro. Pakaiannya berkibar-kibar, tubuhnya tergetar dilanda angin puyuh yang keluar dari tangan sang Pendekar 212! Jubah biru, hentikan semua ini! Aku mau bicara padamu! Berada sedemikian dekat Manik Tunggul melihat bagaimana gerakan kedua tangan dan posisi kedua kaki si jubah biru bukan lain daripada sikap seorang ahli silat! Maka hatinya yang tadi sedikit tergetar kini menjadi curiga. Walau bagaimanapun si jubah biru ini adalah manusia biasa seperti dia, bukan dewa atau titisan dewa! Tahan! teriak Manik Tunggul sekali lagi. Aku mau bicara! Wiro tertawa mengekeh dan mendongak ke langit. Dewa-dewa, aku mohon hentikanlah kemurkaanmu. Maka sesaat kemudian deru angin yang dahsyat itu mengendur perlahan dan akhirnya sirna. Tanpa perdulikan Manik Tunggul yang ada di sampingnya Wiro melangkah kembali ke atas panggung di depan podium sambil tertawa mengekeh-ngekeh! Masih untung, masih untung dewa mau mengampuni kalian manusia-manusia sombong! kata Wiro. Dia melirik ke samping. Manik Tunggul berada di dekatnya. Dan Wiro buka mulut kembali, Itu baru sepersepuluh dari kekuatan dewa. Kalau sampai seperlimanya saja pasti kalian semua sudah tak ada di sini! Sudah terbang laksana daun kering dan

mampus! Wiro komat-kamit dan acungkan pecahan kaca ke muka. Sekarang kalian dengar semua! serunya menggeledek. Dewa telah mengampuni kalian orang-orang sombong! Tapi dewa juga minta imbalan pengampunan itu. Telah lima ratus tahun lebih kawah Gunung Merapi tempat dewa yang suci ini tak pernah dibersihkan dengan darah suci seorang dara! Telah lima ratus tahun lebih khayangan tidak menerima korban suci! Maka hari ini dewa memerintahkan aku, dan aku memerintahkan kamu semua di sini untuk menyerahkan pengantin perempuan kepadaku! Wiro memandang berkeliling. Semua orang dilihatnya terkejut. Bogananta, Manik Tunggul dan Sokananta mendelik memandang kepadanya. Cuma seorang yang kelihatan tenang dan berlega hati. Orang ini bukan lain Permani. Si gadis sudah maklum kini akan rencana pemuda yang menyamar itu. Kalian dengar? Pengantin perempuan harus diserahkan padaku...! Wiro melangkah mendekati Permani. Tapi baru satu langkah, Manik Tunggul sudah memapasinya. Jubah biru! Aku tidak percaya kau titisannya dewa! Kau tidak bisa lain daripada manusia dajal keparat! Kalau kau maukan anakku, silahkan! Tapi makan dulu sepuluh kuku ini! Habis berkata begitu Ketua Perguruan Garuda Sakti melompat ke muka. Kedua tangannya berkelebat cepat!

***

WIRO SABLENG RAHASIA LUKISAN TELANJANG

12

IRO Sableng terkejut melihat datangnya serangan dua tangan yang mencengkeram dengan dahsyat itu. Buru-buru dia melompat ke belakang dan kiblatkan tombak batu hitam di tangan kanannya memapasi serangan lawan! Kini Manik Tunggullah yang terkejut! Serangan yang dilancarkannya tadi adalah jurus Sepuluh Jari Sakti Menggarap Gunung, merupakan satu jurus serangan yang lihai dari ilmu silatnya. Tapi si jubah biru mengelakkannya dengan cepat bahkan kalau dia tidak cepat menarik pulang kedua tangannya pastilah akan dihantam oleh tombak batu di tangan si jubah biru! Wiro tertawa mengekeh. Manusia sombong dan kotor hendak melawan titisan dewa?! ejeknya. Kau akan tahu rasa! Malu bercampur amarah yang meluap Manik Tunggul siap menyerang kembali. Tapi di saat itu sesosok tubuh melompat ke depan dan satu seruan terdengar, Ketua Perguruan Garuda Sakti, biar aku calon mantumu tunjukkan bakti padamu! Biar aku yang ringkus manusia kentut dewa itu! Sreet! Sokananta, anak Ketua Perguruan Merapi, si pengantin laki-laki yang akan jadi suami Permani cabut pedangnya lalu tanpa tedeng aling-aling menyerbu kirimkan satu tusukan satu babatan! Pendekar 212 tertawa gelak-gelak dan elakkan serangan pedang dengan satu putaran tombak batu. Dengan penasaran Sokananta susul dua tusukan kilat dan dua tebasan sekaligus! Wiro putar lagi tombak hitamnya dalam jurus Titiran Terbang Ke Langit. Melihat gerakan lawan yang memapasi mentah-mentah serangannya bukan main dongkolnya Sokananta. Dia ambil keputusan untuk adu senjata dan adu tenaga dalam sekaligus! Trang! Trak!

Tombak batu hitam di tangan kanan Wiro Sableng patah dua. Sebaliknya pedang di tangan Sokananta terlepas mental, tangannya tergetar hebat dan pedas membuat dia mengerenyit kesakitan. Di lain kejap ketika dia hendak melompat menyambar pedangnya terkejutlah putera Ketua Perguruan Merapi ini. Pedangnya yang tadi terlepas mental ternyata sudah berada di tangan lawannya! Gelaplah muka Sokananta ditelan rasa malu dan kegeraman yang menyala! Bogananta mungkin orang yang paling terkejut di antara semua orang! Sokananta adalah anak kandung gemblengannya sendiri. Meski tenaga dalamnya masih belum mencapai tingkat kesempurnaannya tapi tak bisa dianggap ringan, dan di samping itu seluruh ilmu silatnya telah dikuasai oleh Sokananta! Bagaimana kini dia bisa dipecundangi dalam satu gebrakan itu saja? Untuk tidak membuat anaknya kehilangan muka maka Bogananta berseru memerintahkan anak-anak buahnya menyerang si jubah biru. Di lain pihak Manik Tunggul segera pula memerintahkan anak-anak buahnya. Enam belas orang berlomba ke depan podium bukan saja mengurung Wiro tapi dengan serentak menyerangnya! Pendekar 212 tertawa dan keluarkan suara bersiul. Begitu gelombang serangan datang menggempurnya, pemuda ini melompat ke udara dan sewaktu menukik turun, kembali terdengar jerit empat orang pengeroyok. Keempatnya menggelinding ke tanah dalam keadaan pingsan. Dan di depan podium, empat orang lainnya berdiri mematung karena ditotok oleh Wiro dengan bagian belakang yang tumpul dari patahan tombak batu hitamnya! Melihat ini baik Bogananta maupun Manik Tunggul segera maklum bahwa si jubah biru bukanlah tandingan anak-anak murid mereka. Bahkan ketinggian ilmu silatnya belum tentu berada di bawah mereka! Bangsat! bentak Bogananta marah. Rupanya kau sengaja datang mengacau ke sini! Lekas berlutut atau aku akan urus jalan ke akhirat bagimu! Wiro tertawa gelak-gelak. Terhadap titisan dewa kau berani main perintah seenaknya! Makan pukulanku ini! bentak Wiro pura-pura marah lalu lancarkan satu pukulan yang sebenarnya hanya satu kepura-puraan saja. Dia tiada permusuhan dengan semua orang di situ, karenanya dia tak punya niat untuk turun tangan jahat! Maklum bahwa tenaga dalam lawan hebat luar biasa, Bogananta

cepat-cepat menghindar sewaktu angin pukulan menyambar ke arahnya dan dengan jurus Naga Menyelinap Dari Balik Rimba Belantara, Ketua Perguruan Merapi ini kembali menyerbu! Wiro tak melihat gerakan lawan tahu-tahu tubuhnya sudah berada dekat sekali dan tinju kiri kanan sudah berada di depan hidung! Hanya sedetik Pendekar 212 terkesiap melihat jurus serangan yang tak terduga dari lawan. Sekejap kemudian tangan kirinya sudah bergerak dan pecahan kaca rias bersudut-sudut runcing melesat ke arah tenggorokan Bogananta! Keparat! maki Bogananta. Dia pergunakan tangan kanan memukul kaca itu hingga hancur lebur, sebaliknya tinju kiri diteruskannya ke arah muka lawan! Namun serangan ini telah berkurang kecepatannya karena gerakan yang dibuatnya waktu memukul hancur kaca tadi! Dan dengan sendirinya tangan kiri Bogananta menjadi makanan yang empuk bagi Pendekar 212. Namun karena dia tak punya niat turun tangan jahat maka Wiro cuma tarik lengan laki-laki itu, memuntirnya dengan cepat! Begitu tubuh Bogananta terputar, Wiro segera menotok punggungnya. Keluh kesakitan yang hendak keluar dari mulutnya Bogananta sirna di tenggorokannya karena tubuhnya keburu kaku dilanda totokan Pendekar 212! Tercekatlah hati Manik Tunggul. Ilmu silat dan kepandaian calon besannya itu dua tingkat lebih tinggi dari dia! Berarti adalah mencari konyol kalau dia coba pula turun tangan! Tapi agar tidak dicap pengecut, Ketua Perguruan Garuda Sakti ini segera lompat ke depan Wiro. Begitu menyerang dia keluarkan jurus ilmu silatnya yang paling hebat yaitu Seribu Garuda Mengamuk! Kedua tangan Manik Tunggul terkembang ke samping laksana sayap burung garuda. Sekali tubuh kena terpukul pasti hancur remuk! Dari mulutnya keluar suara berkuik-kuik macam suara garuda sedang di samping memukul, kedua tangannya secepat kilat bisa berobah mencengkeram setiap bagian tubuh lawan! Satu jurus Pendekar 212 kena dirangsak ke sudut panggung dekat para tamu duduk. Tapi memasuki jurus kedua sekali berkelebat terdengarlah keluhan Ketua Perguruan Garuda Sakti itu. Tubuhnya terhuyung-huyung ke muka. Sepasang kakinya laksana tiada bertulang. Tubuhnya tergelimpang di panggung. Wiro telah menotok kedua urat kakinya sekaligus sehingga Manik Tunggul laksana lumpuh tak sanggup berdiri!

Wiro memandang berkeliling dengan tawa berderai. Tamu-tamu dilihatnya dicekam oleh rasa kejut dan takut. Inilah saatnya untuk melarikan Permani, pikir Wiro. Segera dia hendak melompat ke tempat sang dara. Namun dari panggung sebelah timur melesat sesosok tubuh berjubah hitam. Lesatannya sangat ringan luar biasa dan tanpa suara tahu-tahu dia sudah di atas panggung kayu jati! Manusia berjubah hitam ini ternyata seorang perempuan separuh baya yang berparas cantik sekali. Namun sekali melihat sinar matanya, Wiro segera maklum bahwa manusia ini di samping tinggi ilmu silatnya juga mempunyai hati jahat! Tiba-tiba jubah hitam menunjuk cepat-cepat ke arah Wiro Sableng! Manusia yang mengaku titisan dewa, harap datang ke hadapanku! Suara perempuan ini besar parau dan menggetarkan liang telinga. Wiro mengagumi kehebatan tenaga dalam perempuan ini. Siapakah dia pikir Wiro dan tahu bahwa dia berhadapan dengan seorang yang tak boleh dibuat main-main, Pendekar 212 segera melompat ke panggung kayu jati! Semua mata kini ditujukan ke panggung, pada kedua orang itu! Aku tak suka bikin urusan dengan manusia yang sembunyikan tampangnya di balik penyamaran! Lekas perlihatkan mukamu yang sebenarnya dan buka jubah biru itu! Wiro kaget namun dia tertawa. Kupuji ketajaman matamu! Tapi harap kau suka terangkan siapa kau dan apa maksudmu jual lagak di atas panggung ini! Tentu saja Si Jubah Hitam marah sekali. Dia tahan kemarahannya dan berkata datar, Ketahuilah, aku datang untuk menagih hutang jiwa! Ohh... kukira kau berdiri di sini hendak membela kedua ketua perguruan itu. Aku tak ada sangkut paut dengan mereka! Aku adalah kakak seperguruan Dewi Kala Hijau yang kau bunuh beberapa tahun yang lalu! (Tentang siapa adanya Dewi Kala Hijau harap baca serial Wiro Sableng yang berjudul Neraka Lembah Tengkorak). Kaget Wiro Sableng bukan alang kepalang! Dewi Kala Hijau yang pernah dibunuhnya tempo hari ilmunya tinggi luar biasa. Dan kini kakak seperguruannya datang menuntut balas! Tentu ilmunya lebih hebat lagi! Tapi meskipun demikian mana

pemuda ini merasa jerih. Malah dia tertawa dan berkata, Kau datang kurang cocok waktunya, perempuan gagah. Sekarang bukan saatnya menagih segala macam hutang, apalagi hutang jiwa! Dengan acuh tak acuh Wiro bertindak mendekati Permani, tapi dari samping Sokananta telah memapasi. Di tangannya kiri-kanan kini tergenggam dua bilah pedang mustika yang berkilauan ditimpa sinar matahari! Begitu memapas begitu anak Ketua Perguruan Merapi ini kiblatkan kedua senjatanya. Wiro yang maklum bahwa dua batang pedang itu bukan pedang biasa tak mau bertindak ceroboh. Anginnya saja sudah memerihkan kulitnya. Dia melompat mundur mengelak dan pada saat dia berada dekat Bogananta secepat kilat Wiro mencabut pedang yang tergantung di pinggang kiri Ketua Perguruan Merapi itu! Kini sibuklah Sokananta. Dia terdesak hebat ketika salah satu pedangnya dibikin mental. Muka pemuda berambut jarang ini pucat lesu sewaktu ujung pedang ayahnya yang di tangan Wiro menyambar laksana kilat dan merobek besar pakaian di bagian dadanya! Dalam dia terkesiap kaget dan kecut itu, Wiro lepaskan pukulan tangan kosong. Tak sempat mengelak tahu-tahu Sokananta telah merasakan tubuhnya kaku tegang tak bisa bergerak lagi! Sudah cukup aku melihat pertunjukanmu! kata satu suara di samping Wiro. Sekarang kau hadapi Si Jubah Hitam. Sekali mengusap mukanya maka semua orangpun gegerlah. Muka yang tadi cantik menawan hati itu kini berubah menjadi muka tengkorak yang membuat bulu kuduk menggerinding! Didahului oleh satu lengkingan dahsyat, Si Jubah Hitam pukulkan tangan kanannya ke depan. Gelombang angin keras melanda Pendekar 212. Wiro bersuit nyaring dan berkelebat dengan cepat tapi dari samping Si Jubah Hitam susul dengan pukulan tangan kiri! Pendekar 212 terkurung di antara dua angin pukulan sekaligus! Sialan! maki Wiro. Dengan serta merta pendekar ini angkat kedua tangannya dan dorongkan ke muka dalam jurus pukulan yang bernama Benteng Topan Melanda Samudera! Dua pukulan dahsyat yang mengandung tenaga dalam hebat luar biasa saling bergulat tindih menindih! Semua orang yang menyaksikan adu kekuatan tenaga dalam ini menahan nafas dengan tegang. Jarang sekali pertempuran yang begini hebat mereka saksikan! Si Jubah Hitam kernyitkan kening tengkoraknya.

Di kening Wiro sebaliknya kelihatan butiran-butiran keringat. Braak! Lantai kayu jati yang diinjak oleh Pendekar 212 hancur roboh! Celaka! keluh Pendekar 212. Ternyata tenaga dalam lawan tidak berada di bawahnya, malah satu dua tingkat berada di atasnya! Dengan bersuit nyaring Wiro melompat mundur sejauh dua tombak lalu jungkir balik sampai tiga kali berturut-turut dan jatuhkan diri di lantai dan seterusnya berguling cepat! Dengan demikian baru dia berhasil menolak dan melebur serangan tenaga dalam Si Jubah Hitam yang sangat dahsyat itu! Gila betul! maki Wiro dalam hati. Kalau dihadapi terus manusia bermuka tengkorak ini meski belum tentu dia bisa dikalahkan dengan mudah tapi bisa berabe! Maka dengan cepat Wiro melompat menyambar tubuh Permani! Tapi celaka, begitu tubuh sang dara berada di atas bahu kirinya, enam orang telah mengurungnya. Mereka adalah tokoh-tokoh silat yang menjadi tamu dan bersahabat baik dengan kedua Ketua Perguruan yang kini berada dalam keadaan ditotok tak berdaya! Dengan demikian manusia yang mengeroyok Wiro berjumlah tujuh ditambah dengan Si Jubah Hitam! Si Jubah Hitam tertawa panjang. Enam manusia tak tahu diri! Kalian mundur semua! Nyawa pemuda itu hak milikku! Perempuan muka tengkorak! jawab seorang di antara yang enam sambil melintangkan senjatanya yaitu sebuah ruyung perak. Urusanmu, urusanmu! Kami juga punya kewajiban untuk membunuh manusia yang hendak menculik anak gadis sahabat kami! Di hadapan Iblis Tengkorak kalian berani jual tampang petantang-petenteng! Pergilah semua! Si Jubah Hitam yang mengaku bergelar Iblis Tengkorak dorongkan kedua tangannya ke muka! Gelombang angin yang dahsyat menyambar. Laksana daun-daun kering keenam tokoh silat itu terpelanting ke luar panggung! Dua orang muntah darah. Empat lainnya melingkar pingsan di tanah! Sewaktu orang-orang itu bertengkar mulut dan sewaktu Iblis Tengkorak menggempur keenam tokoh silat, maka kesempatan ini dipergunakan oleh Wiro untuk berlalu dengan cepat. Tapi lebih cepat lagi, tahu-tahu Si Jubah Hitam Iblis Tengkorak sudah berada di

depannya! Dan sekaligus lancarkan sejurus serangan ganas! Wiro berkelit gesit dan selundupkan satu tendangan ke perut lawan! Tapi dengan sigap Iblis Tengkorak hantamkan tangan kanannya ke bawah. Karena tenaga dalam lawan lebih tinggi, Wiro terpaksa tarik pulang tendangannya dan sebagai gantinya kirimkan serangan Kunyuk Melempar Buah. Apakah tak ada ilmu pukulanmu yang lebih berguna?! ejek Iblis Tengkorak. Dan sekali dia kebutkan lengan jubah hitamnya maka buyarlah serangan Wiro Sableng yang berkekuatan dua per tiga tenaga dalamnya itu! Hebat sekali iblis betina ini! rutuk Wiro. Tubuh Permani diturunkannya, kemudian diiringi oleh satu bentakan nyaring dia menyerbu ke muka. Tubuhnya hanya merupakan bayang-bayang! Dua gelombang angin pukulan melanda Iblis Tengkorak, masingmasing pukulan Orang Gila Mengebut Lalat dan pukulan Angin Es. Angin besar menderu-deru, mengibarkan jubah hitam Iblis Tengkorak. Sedang udara mendadak sontak menjadi dingin luar biasa. Semua orang menggigil bergemeletukan geraham mereka! Tapi Iblis Tengkorak ganda tertawa. Dua tangan memukul ke muka. Dua larik sinar hitam menggebu! Wiro meraung! Tubuhnya mental sampai empat tombak, pakaiannya robek hampir di setiap bagian sedang dari hidung dan sela bibirnya kelihatan darah ke luar! Tak ayal lagi Wiro segera telan dua butir pil. Matanya beringas galak. Dan sewaktu Iblis Tengkorak datang mendekat dengan tertawa, Pendekar 212 segera sambut dengan pukulan Sinar Matahari. Aha! Pukulan Sinar Matahari! seru Iblis Tengkorak. Inilah yang kutunggu! Tangan kanannya bergerak membuat lingkaran, kemudian laksana kilat dihantamkan ke muka! Terdengar suara laksana guntur! Satu gelombang angin hitam bergerak berputar bergulunggulung lalu menghantam ke muka laksana topan prahara! Sinar putih perak pukulan Sinar Matahari yang dilepaskan Pendekar 212 tiada berdaya dan terbuntal dalam gelungan-gelungan angin hitam pukulan lawan untuk kemudian melesat kembali menyerang dirinya sendiri, sekaligus bersama serangan angin pukulan lawan! Itulah pukulan Raja Angin Mengamuk yang telah dilepaskan oleh Iblis Tengkorak!

Tobat. keluh Pendekar 212! Tangan kanannya bergerak sebat! Selarik sinar putih yang menyilaukan mata berkiblat dan,... Buum! Satu letusan yang luar biasa kerasnya terdengar! Puncak Gunung Merapi bergetar! Suara letusan yang dipantulkan kembali oleh dasar kawah tak kalah hebatnya sehingga semua orang di situ merasakan dunia laksana mau kiamat! Iblis Tengkorak terkejut besar. Jantungnya mendenyut sakit sedang kedua lututnya agak tertekuk! Ketika dia memandang ke depan dilihatnya pemuda itu berdiri dengan tubuh bergetar, muka pucat pasi dan sepasang mata merah sedang di tangan kanannya tergenggam sebuah kapak bermata dua, yang gagangnya terbuat dari gading dan berbentuk kepala naga-nagaan! Terkesiaplah Iblis Tengkorak melihat kehebatan senjata lawan! Kapak Maut Naga Geni 212 nyatanya bukan senjata kosong belaka! Pukulan Raja Angin Mengamuk yang dilepaskan tadi adalah pukulan paling hebat dan ganas yang dimilikinya! Selama sepuluh tahun memiliki ilmu pukulan itu tak satu lawan gagah pun yang sanggup menghadapinya! Tapi kini seorang lawan berusia muda sekali dengan Kapak Naga Geni 212 berhasil memusnahkan pukulannya itu! Kedua mata Pendekar 212 terbuka perlahan. Satu seringai maut tersungging di bibirnya. Parasnya yang selama ini macam paras anak-anak dan tolol kini berubah total menggidikkan! Sinar matanya laksana menembus tembok baja! Iblis Tengkorak! desis Wiro Sableng. Kalau hari ini aku tak sanggup memisahkan kepala dan badanmu, biarlah aku mengundurkan diri dari dunia persilatan selama-lamanya! Sebenarnya pemuda ini sudah terluka di dalam. Tapi begitu Kapak Naga Geni 212 berada di tangannya satu aliran sejuk keluar dari gagang kapak dan memberi kekuatan baru padanya meskipun luka di dalam yang dideritanya tidak bisa dikatakan sembuh! Perempuan muka tengkorak tertawa dingin. Keluarkan semua ilmu simpananmu. Kalau kau punya sepuluh senjata cabut sekaligus agar tidak mati penasaran! Sekali Iblis Tengkorak inginkan nyawa seseorang pasti tak bisa lepas. Tak perduli apakah kau punya tiga kepala enam tangan!

Manusia sombong! Kalaupun aku mampus di tanganmu tapi kejahatan tak akan sanggup menumbangkan kebenaran! Jangan mengigau di siang bolong! Hari ini gelar Pendekar Kapak Maut Geni 212 akan kuhapus dari dunia persilatan! Iblis Tengkorak menggembor macam kerbau marah. Tubuhnya lenyap dan tahu-tahu dua belas serangan telah menyerbu Wiro Sableng! Yang diserang tak tinggal diam. Begitu Kapak Naga Geni 212 berkiblat maka suara menderu laksana suara ribuan tawon merangsang telinga! Sedang dari mulut sang pendekar melengking suara siutan nyaring yang tak menentu dan menusuk gendanggendang telinga! Kejut Iblis Tengkorak bukan alang kepalang. Putaran angin kapak tak sanggup diterobos oleh pukulan-pukulan yang dilancarkannya. Sebaliknya angin kapak itu memerihkan mata serta kulitnya. Dan ditambah pula oleh suara mengaung serta siulan yang tiada henti-hentinya menusuk liang telinganya, membuat gerakan-gerakannya kacau-balau! Dengan penasaran dan kalap, dalam jarak sedekat itu Iblis Tengkorak lepaskan pukulan Raja Angin Mengamuk. Tapi cepatcepat dia tarik pulang tangan kanannya karena jurus putaran kapak yang bernama Pecut Sakti Menabas Tugu yang dilancarkan oleh Pendekar 212 hampir saja membuat tangan kanannya terbabat putus! Semua orang yang menyaksikan tak dapat lagi melihat wujud tubuh kedua manusia yang bertempur itu. Menyaksikan lama-lama mata mereka menjadi sakit dan kepala masing-masing menjadi pusing! Telah dua kali Iblis Tengkorak tukar ilmu silatnya namun tetap saja dia kena didesak! Tubuhnya telah mandi keringat dingin. Tibatiba dengan licik manusia muka tengkorak ini menyelundup ke belakang tubuh Pendekar 212 dan dari belakang ini lancarkan satu serangan maut yang ganas! Tapi Wiro sudah lebih dahulu rasakan datangnya angin serangan yang dingin di punggungnya. Dengan lancarkan jurus Di Balik Gunung Memukul Halilintar Wiro balikkan badan! Iblis Tengkorak tak mengira lawannya akan mengetahui posisinya dan bisa menyerang secepat itu. Dengan gugup dia mengelak. Wiro susul dengan jurus Membuka Jendela Memanah Rembulan yang tak

asing lagi. Tangan kirinya membabat ke pinggang lawan. Jubah hitam masih bisa berkelit tapi serangan yang lebih ganas tak dapat dihindarkannya yaitu serangan kapak yang laksana anak panah melesat menyambar ke arah batang lehernya! Craas! Darah memancur. Tubuh Iblis Tengkorak roboh ke lantai panggung. Kepalanya menggelinding mengerikan! Semua orang menjadi gempar! Dan ketika mereka memandang lagi ke atas panggung, Wiro Sableng sudah tak ada. Bahkan kemudian mereka menyadari bahwa Permani pun tak ada lagi di hadapan podium! Untuk kedua kalinya semua orang menjadi gempar!

***

WIRO SABLENG RAHASIA LUKISAN TELANJANG

13

NIKAH Goanya? tanya Wiro seraya melompat turun dari punggung kuda. Dalam perjalanan melarikan diri bersama Permani mereka berhasil mendapatkan dua ekor kuda hitam milik anak-anak murid Perguruan Garuda Sakti. Permani anggukkan kepala lalu turun pula dari kudanya. Sebuah batu yang sangat besar menyumpal mulut goa. Wiro Sableng kerahkan tenaga dalam. Setelah bekerja keras beberapa lamanya baru batu besar itu bisa disingkirkan. Didahului oleh Permani keduanya masuk ke dalam. Ternyata goa itu cuma delapan tombak dalamnya. Kanda Panuluh! Tiba-tiba mengumandang pekik Permani. Dara ini laksana diburu setan lari ke depan dan meraung keras. Menangis sambil tiada hentinya menyebut nama tadi! Wiro Sableng berdiri termangu. Seorang pemuda yang berada dalam keadaan menyedihkan tersandar ke dinding goa. Tangan dan kakinya diikat dengan rantai besi yang dipakukan ke dinding kuat sekali. Dia hanya mengenakan sehelai cawat. Sekujur tubuhnya penuh oleh guratan-guratan merah yang dalam bekas cambukan. Mukanya babak belur. Bibir pecah, pipi lecet, sedang kedua mata bengkak menggembung. Pada bawah mata dan hidung kelihatan noda-noda darah yang telah membeku! Dan Permani menangis memeluki tubuh pemuda itu. Wiro menggigit bibir. Dia maklum kalau pemuda itu sudah tiada bernafas lagi. Tiba-tiba Wiro berteriak, Jangan! Dan secepat kilat melompat ke muka menangkap tubuh Permani. Bunuh diri tak ada gunanya! seru Wiro. Menyadari bahwa pemuda kekasihnya telah mati maka tadi Permani hendak benturkan kepalanya ke dinding goa. Untung Wiro masih sempat menghalanginya. Tenanglah Permani, bisik Wiro coba menghibur.

Tidak! Lepaskan aku Wiro! Lepaskan! teriak sang dara keras dan meronta-ronta laksana orang gila! Jangan mengambil jalan sesat! Tak perlu aku hidup lebih lama! Orang yang kukasihi telah tiada! Lengking Permani. Lepaskan! Biar aku bunuh diri Wiro! Lepaskan! Karena Permani adalah seorang gadis yang mendapat didikan ilmu silat dari ayahnya maka dengan susah payah baru Wiro berhasil menotok tubuhnya hingga dia lemas dan disandarkan ke dinding. Suara tangisnya menyayat hati. Wiro melepaskan dengan paksa rantai-rantai yang mengikat tangan serta kaki Panuluh lalu membaringkan pemuda itu di lantai goa. Permani tutupkan kedua matanya, tak tahan melihat keadaan kekasihnya itu. Apakah ayahmu yang melakukan kekejaman ini? tanya Wiro. Sokananta! Dia dan orang-orangnyalah yang melakukan! Bangsat itu akan dapat ganjaran dariku kelak! desis Wiro Sableng. Dia memandang ke luar goa. Masih ada waktu untuk menguburkan jenazahnya petang ini sebelum senja datang. Apakah kau bisa menahan hati? Kalau tidak, aku tak bisa melepaskan totokanmu... Permani tak menjawab. Suara tangisnya memenuhi seluruh goa. Wiro Sableng memanggul mayat Panuluh dan membawanya ke luar goa. Satu jam kemudian ketika dia masuk, Permani masih juga menangis meskipun kedua matanya yang seperti bintang timur itu kini telah menjadi bengkak. Wiro duduk bersandar di hadapannya, tak berkata apa-apa. Kalau sudah letih tentu dia akan hentikan sendiri tangisnya, pikir Wiro. Senja telah turun dan malam pun tiba. Di luar angin malam yang dingin merambas masuk ke dalam goa. Wiro merasakan perutnya yang sudah lapar menjadi tambah perih oleh hembusan angin dingin itu. Bila tangis Permani sudah mereda maka Wiro berkata, Aku akan cari makanan buat kita. Kau tunggulah di sini! Berteriak keras-keras kalau ada apa-apa! Kemudian Wiro berdiri dan melangkah. Belum lagi dia mencapai mulut goa mendadak di luar sana, dalam kegelapan malam didengarnya suara semak belukar bergesekan dan suara langkahlangkah kaki yang banyak sekali. Sesaat kemudian kelihatanlah beberapa sosok manusia bergerak ke arah goa. Wiro yang maklum

akan datangnya bahaya segera menyongsong ke luar goa. Jika terjadi pertempuran satu lawan banyak di dalam goa dia bisa kepepet! Yang datang berjumlah lima belas orang. Orang pertama dikenali Wiro adalah bukan lain dari Sokananta, kemudian Bogananta, menyusul Manik Tunggul. Yang lain-lainnya adalah anak-anak murid Perguruan Merapi dan Perguruan Garuda Sakti. Semuanya mencekal pedang! Ketika Wiro Sableng memandang ke ujung kanan, samarsamar di kegelapan malam dilihatnya orang yang keenam belas! Orang ini tak dikenal dan tak dilihat sebelumnya waktu di puncak Gunung Merapi. Tubuhnya gemuk luar biasa seperti bola api, lucunya celana panjang dan bajunya sangat kecil sekali, hampir-hampir tak dapat menutupi tubuhnya yang macam kerbau buntak itu. Manusia berkepala botak ini memegang seuntai tasbih di tangan kirinya dan mulutnya senantiasa komat-kamit tak bisa diam! Tiba-tiba Manik Tunggul melangkah besar-besar ke hadapan Wiro dan membentak nyaring, Mana anakku?! Wiro sunggingkan senyum sinis lalu menunjuk pada kuburan baru yang tanahnya masih merah. Tanyakanlah pada makam baru itu! Terkejutlah Manik Tunggul serta yang lain-lainnya. Bangsat rendah! Anakku kau bunuh?! Manik Tunggul menggeram dan sepuluh kuku-kuku tangannya menyambar ke muka tapi dielakkan dengan gesit oleh Wiro. Mari kita satai beramai-ramai jahanam ini! teriak Bogananta seraya kiblatkan pedang dan kirimkan satu tusukan ke leher Wiro. Sokananta dan dua belas orang lainnya segera menyerbu! Empat belas batang pedang berserabutan dan sepuluh jari berkuku panjang mencakar dengan ganas! Satu-satunya orang yang tak ikut menyerang ialah si gemuk pendek yang memegang tasbih. Dia memperhatikan saja sambil mulutnya terus berkomat-kamit! Tahan! teriak Wiro sambil melompat mundur ke pintu goa. Tapi yang menyerangnya terus memburu! Sialan! Kalau kalian tak mau hentikan serangan ini jangan menyesal! Bogananta dan yang lain-lainnya tak ambil perduli. Wiro cabut Kapak Maut Naga Geni 212 dari pinggangnya. Wuut! Sinar putih menyilaukan menderu, suara laksana ribuan tawon menggerung dan empat anak buah Perguruan Merapi menjerit roboh

mandi darah. Yang lain-lainnya tersurut mundur sampai lima langkah! Mereka menjadi kecut dan bimbang untuk menyerbu kembali! Manik Tunggul! kata Wiro dengan suara keras sehingga semua orang mendengar. Anakmu masih hidup. Tapi kehancuran hati yang dideritanya membuat nasibnya lebih buruk daripada seseorang yang telah mendahuluinya! Kalau masih hidup di mana dia sekarang? tanya Sokananta lantang. Durjana cacingan tak usah buka mulut! Aku tidak bicara pada kau! tukas Wiro. Kelamlah paras Sokananta ditelan kemarahan! Lalu ini kuburan siapa?! tanya Manik Tunggul. Jangan pura-pura tidak tahu, Manik Tunggul! Masa kau lupa pada seorang pemuda bernama Panuluh, yang ditawan dan disiksa setengah mati oleh durjana cacingan itu lalu disekap di goa ini sampai akhirnya menemui kematian dalam cara yang mengerikan?! Kagetlah Manik Tunggul. Dia berpaling pada Sokananta. Tapi saat itu Sokananta sudah membentak Wiro kembali, Lekas katakan di mana calon istriku! Wiro tertawa gelak-gelak. Kekasihnya kau tawan, kau siksa sampai mati! Apakah kau masih punya muka untuk mengawini gadis itu?! Rahang Sokananta kelihatan terkatup rapat-rapat. Manik Tunggul masih memandang pada Sokananta, lalu bertanya, Calon menantuku, apakah yang diucapkan bedebah ini betul?! Sokananta tertawa. Namanya saja manusia bedebah. Masa bicaranya bisa dianggap betul? Setelah dia melarikan Permani di depan hidung kita apakah bangsat ini masih bisa dipercaya?! Dia hendak mengelabuhi kita dan mengadu domba kita satu sama lain! Wiro menggerendeng. Keparat, dosamu sudah lewat takaran! Lekas kau dan kambrat-kambratmu angkat kaki dari sini! Kalau tidak kau bakal menjadi manusia pertama yang bakal kubelah kepalanya sesudah empat krocomu itu! Bangsat rendah! Jangan kira kali ini kau bisa lolos dari liang kubur yang telah kau gali sendiri! Sokananta palingkan kepala ke arah laki-laki gemuk yang memegang tasbih. Tasbih Kumala, kau tunggu apalagi?!

Manusia gemuk pendek kepala botak menyeringai. Mulutnya dalam menyeringai itu masih terus juga berkomat-kamit! Sekali dia bergerak, tubuhnya sudah berada di samping Sokananta. Inikah tampang manusianya yang kau minta aku untuk membereskannya, Soka? tanya Tasbih Kumala dengan mata menyelidik dari atas ke bawah. Sokananta mengangguk. Tasbih Kumala tertawa gelak-gelak. Hebat sekali suara tertawanya, laksana merobek langit di malam hari itu! Tasbih Kumala melirik pada senjata yang di tangan Wiro lalu membentak, Pemuda bau pupuk! Betul kau orangnya yang bergelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212?! Sobat, sahut Wiro, melihat kepada gelarmu pastilah kau seorang tokoh silat yang ternama. Aku hormati kau. Tapi harap jangan ikut campur urusan orang! Karena kau tak kuundang untuk datang ke sini, sebaiknya segera angkat kaki! Bapak moyangmu! bentak Tasbih Kumala, dia melangkah ke muka. Tunggu dulu! seru Manik Tunggul. Sebelum kita mengeremus budak keparat ini, aku harus tahu dulu beberapa hal! Ah, kau hanya menambah panjang umurnya beberapa detik saja, Manik Tunggul! kata Bogananta. Sokananta, betul kau yang menangkap dan menyiksa Panuluh, lalu menyekapnya sampai mati di dalam goa ini?! Sokananta jadi beringasan! Kenapa antara kita musti berprasangka yang bukan-bukan?! Wiro menengahi, Manik Tunggul, kau juga ikut bertanggung jawab atas kematian Panuluh! Kau yang memaksa anak gadismu untuk kawin dengan jahanam cacingan ini! Kau gila nama besar! Kau pengecut kelas satu yang mau menjual anak sendiri karena ditekan oleh Ketua Perguruan Merapi... Tutup mulutmu! teriak Manik Tunggul marah. Tiba-tiba Sokananta berteriak beri komando. Maka Bogananta, Tasbih Kumala dan anak-anak murid Perguruan Merapi segera menyerbu. Manik Tunggul tetap berdiri dengan bimbang. Dua orang anak buahnya karena melihat Ketua mereka berdiam diri, tidak berani masuk ke dalam pertempuran! Mendadak dari dalam goa terdengar seruan perempuan, Wiro! Wiro! Kaukah yang bertempur itu? Wiro...! Mengenali bahwa itu adalah suara anaknya yang ternyata masih

hidup, legalah hati Manik Tunggul dan pikiran jernih menyeruak di dalam kepalanya kini. Tiba-tiba dia melompat ke muka dan berteriak, Sokananta bajingan! Kaulah yang jadi biang racun! Kau harus mampus di tanganku! Sepuluh kuku-kuku jari dengan ganas menyambar Sokananta! Karena tak diduga akan diserang sehebat itu dan secara tiba-tiba oleh calon mertuanya sendiri maka Sokananta yang mengeroyok Wiro Sableng tak punya kesempatan untuk mengelak!

***

WIRO SABLENG RAHASIA LUKISAN TELANJANG

14

EKEJAP lagi sepuluh kuku jari Manik Tunggul akan mengeremus hancur muka Sokananta, tiba-tiba, Wuut! Sebuah pedang menyambar dahsyat ke arah kedua lengan Ketua Perguruan Garuda Sakti itu! Manik Tunggul manusia ular kepala dua! Akulah lawanmu! Ketika berpaling ke kanan ternyata yang menyampokkan pedang tadi adalah Bogananta! Mendidihlah darah di kepala Manik Tunggul! Bogananta keparat! Kau sama saja dengan anakmu! Maka kedua orang itupun bertempurlah satu lawan satu dengan hebatnya. Tapi di samping tenaga dalamnya lebih rendah dan lawan bersenjatakan pedang pula maka lima jurus kemudian Manik Tunggul-pun kena didesak! Di lain pihak Wiro yang dikeroyok oleh Sokananta dan Tasbih Kumala serta tujuh orang lainnya berkelebat cepat, bertahan dengan hebat dan sekali-sekali lancarkan serangan balasan yang ganas! Meski dia telah merobohkan dua orang anak murid Perguruan Merapi, namun keadaannya tak bisa dikatakan di atas angin. Sokananta dan yang lain-lainnya bukan apa-apa. Tasbih Kumala-lah yang tak bisa dianggap remeh! Setiap senjatanya berkelebat, satu gelombang angin yang laksana gunung beratnya menerpa Pendekar 212! Dapat dibayangkan bagaimana jadinya kalau tubuh seseorang kena dilanda oleh tasbih sakti itu! Dua jeritan terdengar. Dua anak murid Manik Tunggul yang ikut mengeroyok Bogananta mandi darah dilanda pedang. Pada jurus keenam tadi dalam pertempuran satu lawan satu, Manik Tunggul telah didesak hebat oleh Bogananta. Kedua anak buahnya turun membantu dalam jurus kesembilan mereka kena dihantam Bogananta. Dan kini dalam jurus kesepuluh kembali Manik Tunggul didesak hebat! Pada saat Wiro Sableng berhasil merobohkan lagi dua orang pengeroyoknya, maka pada saat itu pula terdengar jeritan Manik

Tunggul! Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang dengan kedua tangan memegangi dada yang robek besar dibabat ujung pedang. Darah membanjir. Pada saat tubuhnya melingkar di tanah, detik itu pula nyawanya lepas! Jahanam! teriak Pendekar 212. Dari mulutnya terdengar suara bentakan menggeledek. Tubuhnya melesat enam tombak ke samping. Kapak Naga Geni 212 berkiblat memancarkan sinar putih dan menebar suara bergaung. Ayah, awas! teriak Sokananta. Bogananta memang sudah melihat datangnya sambaran senjata lawan. Dengan cepat dia angsurkan pedang mustikanya ke depan untuk menangkis! Trang! Terdengar suara senjata beradu. Pedang di tangan Bogananta patah dan mental. Di kejap itu pula terdengar lolongannya macam kerbau disembelih! Batang lehernya hampir putus terbabat mata kapak, tubuhnya roboh ke tanah! Wuut! Satu sambaran angin mendera ke arah punggung Pendekar 212. Wiro melompat ke muka dan balikkan badan, sekaligus kiblatkan kapak. Yang menyerangnya ternyata Tasbih Kumala! Manusia-manusia keparat! kertak Wiro. Satu nyawa Manik Tunggul harus dibayar dengan nyawa kalian semua! Dari mulut Pendekar 212 kemudian terdengarlah kumandang suara siulan yang menggidikkan bulu roma! Jurus-jurus silatnya dengan serta merta berubah total. Tiga pekikan terdengar, menyusul kemudian dua pekikan lagi! Lima korban terhampar di tanah! Kecutlah nyali Tasbih Kumala dan lebih-lebih Sokananta. Hanya mereka berdua kini yang masih hidup! Dan itupun tak lama. Dua jurus di muka si gemuk pendek Tasbih Kumala keluarkan seruan kesakitan. Lengan kanannya yang memegang tasbih terbabat buntung. Buntungan bersama tasbih mencelat ke udara! Kapak Naga Geni 212 berbalik dan, cras! Terpisahlah kepala dan badan Tasbih Kumala! Lumerlah nyali Sokananta! Tanpa tunggu lebih lama pemuda ini balikkan tubuh dan ambil langkah seribu! Jahanam cacingan! Kau mau minggat ke mana?! Tempatmu toh

di neraka! Wiro gerakkan tangan kirinya. Siap untuk lepaskan pukulan Sinar Matahari. Tapi dibatalkannya. Sebagai gantinya dia lepaskan satu totokan jarak jauh yang ampuh! Tak ampun lagi tubuh Sokananta yang lari kencang itu mendadak sontak menjadi kaku tegang! Permani meratap memeluki mayat ayahnya. Wiro telah melepaskan totokan gadis itu. Kegelapan malam, angin dingin yang mencucuki tulang-tulang sungsum, tebaran mayat di mana-mana serta suara tangis Permani merupakan hal-hal yang tidak enak bagi Wiro Sableng. Setelah menunggu beberapa lamanya Wiro kemudian berkata, Tak ada gunanya tangis itu, Permani. Tak ada gunanya membuangbuang air mata lebih banyak! Kejadian begini sudah ditakdirkan menjadi nasibmu oleh Yang Kuasa. Masuklah ke dalam goa... Gadis itu sadar. Perlahan-lahan dia berdiri dan menyeka kedua matanya. Setindak dia hendak melangkah ke mulut goa, pandangannya membentur Sokananta yang tegak kaku akibat totokan Wiro. Maka menggemuruhlah amarah Permani. Dengan segera dia mencabut sebilah keris yang tersisip di pinggang ayahnya dan berlari ke arah Sokananta seraya berteriak, Bangsat! Kaulah yang jadi biang racun segala-galanya! Permani! seru Sokananta dengan keras tapi gemetar. Ampunilah selembar nyawaku ini. Ini ampun untukmu! teriak Permani garang dan keris bereluk tujuh di tangan kanannya dihunjamkannya keras-keras ke dada pemuda itu. Sekejap lagi ujung keris akan menembus dada Sokananta, sebuah tangan yang kuat mencekal lengan Permani! Lepaskan tanganku! teriak si gadis kalap. Karena Permani seorang yang mempelajari ilmu silat serta memiliki tenaga dalam yang cukup ampuh agak sukar juga bagi Wiro menahan gadis itu. Dengar Permani! Kematian dengan tusukan keris seperti ini terlalu enak baginya! kata Wiro. Bangsat ini musti diberi ganjaran yang setimpal...! Gelora amarah Permani menyurut. Dua bola matanya memandang besar-besar ke arah Wiro. Dan dia kemudian maklum apa yang dikatakan Wiro adalah benar. Dilemparkannya keris di tangan kanan. Lalu dijambaknya rambut Sokananta dan diseretnya

ke dalam goa. Dengan rantai-rantai besi yang dulu pernah mengikat Panuluh, Permani membelenggu kedua tangan dan kaki Sokananta. Permani, kau mau bikin apa...?! tanya Sokananta. Keringat dingin membasahi sekujur badannya. Gadis itu tak menjawab. Dia lari ke luar goa. Sewaktu masuk lagi di tangannya ada seutas akar gantung sepanjang satu setengah tombak. Permani putar-putarkan akar gantung itu di atas kepalanya. Permani... Suara seruan Sokananta putus dilanda bunyi akar gantung yang mendera dadanya. Pakaiannya yang bagus robek, kulit dadanya tergurat lecet dan berdarah! Puluhan kali di dalam goa itu terdengar suara cambukan-cambukan yang dahsyat! Sokananta telah lama pingsan. Parasnya hancur tak dapat dikenali lagi dan bergelimang darah. Pakaiannya robek-robek, sekujur kulit badannya pecah-pecah bermandi keringat dan darah! Bila matahari mulai naik di pagi keesokannya, maka di depan mulut goa itu kelihatan sebuah kuburan baru lagi. Kuburan Manik Tunggul yang berdampingan dengan kuburan Panuluh. Di bagian kepala kedua kuburan itu diletakkan dua buah batu besar dan pada batu itu dengan dua ujung jari-jari tangannya Wiro telah menggurat nama kedua orang itu. Kau akan kembali ke kota? tanya Wiro Sableng yang berdiri di samping Permani dan tengah memandangi dua kuburan bertanah merah itu. Si gadis gelengkan kepalanya. Memang tak ada gunanya ke Paritsala. Lebih baik terus langsung pulang ke kota kediamanmu... Tidak, aku tak akan kembali pulang. Wiro kernyitkan kening. Lalu...? Aku akan tinggal di sini. Akan bertapa di goa... Wiro hendak tertawa tapi tak jadi. Dia berkata, Ibumu akan susah bila kau tak kembali... Setelah ayah meninggal, aku cuma sebatang kara di dunia ini... Jadi ibumu juga sudah meninggal? Permani mengangguk. Kau tak punya kerabat atau saudara? Tidak... Tapi hendak bertapa dalam umur semudamu ini betul-betul belum masanya, Permani. Kau menyia-nyiakan masa mudamu dan

juga masa depanmu! Masa muda dan masa depanku tak ada lagi sejak orang yang kucintai masuk di bawah tumpukan tanah merah itu... sahut Permani dan butir-butir air mata berjatuhan melewati kelopak kedua matanya. Wiro Sableng menghela nafas. Sungguh sayang dara secantik ini memutuskan untuk jadi pertapa. Tapi bagaimana dia bisa melarang? Diam-diam diperhatikannya paras Permani dari samping dan ketika gadis itu memutar kepala ke arahnya, pandangan mereka saling beradu untuk beberapa lamanya. Dunianya Panuluh berakhir sampai di tempat ini, Wiro, bisik Permani. Aku akan tinggal di sini sampai akhirnya nanti pada suatu ketika duniaku pun akan berakhir pula di sini, di hadapan kuburnya... Wiro Sableng merasa terharu sekali. Betapa agungnya nilai-nilai cinta sejati, pikir pemuda ini. Di samping bertapa, aku akan memperdalam ilmu silat yang pernah diwariskan ayah... Itu sudah semestinya... kata Wiro perlahan. Hatinya tetap menyayangkan keputusan gadis itu untuk tinggal di goa itu dan bertapa sekalipun sambil memperdalam ilmu silatnya. Dunia ini penuh dengan orang-orang jahat. Setiap kejahatan kadangkala dibarengi dengan ilmu yang tinggi-tinggi. Aku khawatir tinggal di sini kau bakal menemui nasib buruk... Permani menatap paras pemuda itu sebentar lalu tundukkan kepalanya dan untuk beberapa lamanya suasana diliputi kesunyian. Aku akan mencuci tangan di anak sungai tak jauh dari sini. Sebentar aku kembali... kata Wiro.

***

WIRO SABLENG RAHASIA LUKISAN TELANJANG

15

ETIKA berjalan kembali ke goa sehabis membersihkan tangan dan beberapa bagian tubuhnya Wiro tersentak kaget. Telinganya yang tajam mendengar suara ribut-ribut seperti suara orang berkelahi yang diselingi suara tertawa gelak-gelak! Tanpa membuang waktu dia berlari cepat. Begitu sampai di depan goa, terkejutlah murid Eyang Sinto Gendeng ini! Dilihatnya Permani tengah bertempur melawan seorang laki-laki berjubah kuning yang tangannya cuma satu. Sebenarnya tak bisa dikatakan pertempuran. Lebih tepat kalau dikatakan bahwa Si Jubah Kuning bertangan buntung itu tengah mempermain-mainkan Permani serta kurang ajar dan sambil tertawa-tawa. Setiap kali dia bergerak tangan kanannya meraba ke bagian-bagian tubuh Permani yang terlarang hingga gadis ini mengamuk penuh amarah. Tapi semua serangannya luput! Tak jauh dari tempat terjadinya perkelahian tegak berdiri orang kedua, juga berjubah kuning dan cuma punya satu mata alias picak! Dia menyaksikan perkelahian itu dengan gelak tawa gembira. Ayo Sumplung! Robek saja pakaiannya! Biar mataku yang cuma satu ini bisa lihat kebagusan tubuhnya! Ah...! Sudah lama mataku tak melihat tubuh telanjang! Ha... ha... ha! Di samping si mata picak ini, tersandar ke sebatang pohon, kelihatan sebuah lukisan perempuan telanjang. Lukisan itu sudah agak kotor dan kayu pigura bagian bawahnya ada bekas sambungan! Seperti kawannya, diapun memelihara berewok. Kalau tadi Wiro sudah demikian terkejutnya melihat pertempuran antara Permani dan si tangan buntung maka melihat lukisan telanjang itu puluhan kali dia lebih terkejut! Tak bisa tidak kedua manusia berjubah kuning ini adalah Sepasang Elmaut Kuning yang telah membunuh Si Pelukis Aneh dan mencuri lukisan perempuan telanjang itu! Ditambah dengan menyaksikan apa yang diperbuat si tangan buntung terhadap

Permani maka menggemuruhlah amarah Wiro Sableng. Iblis-iblis kesasar! Dicari-cari tidak ketemu! Sekarang tahu-tahu kalian muncul di depan hidungku! Serentak dengan itu Wiro Sableng segera melompat ke hadapan si tangan buntung! Kedua manusia berjubah kuning itu memang bukan lain dari Sepasang Elmaut Kuning adanya. Bagaimana mereka bisa sampai ke tempat itu? Seperti telah diceritakan sebelumnya, mereka diam di sebuah goa yang terletak di lembah berbatu-batu. Karena sebegitu jauh mereka belum juga bisa membongkar rahasia yang tersembunyi di dalam lukisan perempuan telanjang maka keduanya akhirnya memutuskan untuk pergi ke kampung tempat kediaman calon murid Si Pelukis Aneh yaitu Wira Prakarsa. Mereka menduga anak itu pasti mengetahui rahasia tersebut dan kemudian memaksanya untuk memberi keterangan! Di samping itu, diam lama-lama di lembah batu sudah terasa tidak aman bagi Sepasang Elmaut Kuning. Anak-anak murid Perguruan Seberang Kidul dan Si Katai Bisu telah mengetahui tempat persembunyian mereka tersebut. Meski orang-orang itu telah berhasil mereka kirim ke akhirat namun bukan tak mustahil banyak lagi tokoh-tokoh silat akan mendatangi mereka untuk menuntut balas ataupun mencuri lukisan yang ada di tangan mereka. Maka keduanya pun berangkatlah meninggalkan lembah batu. Dalam perjalanan mereka melewati tempat di mana Permani berada dan yang saat itu tengah berdiri di depan makam Panuluh dan ayahnya. Melihat gadis cantik di tengah daerah liar begitu rupa, tentu saja Sepasang Elmaut Kuning jadi tertarik. Nafsu bejat merangsang keduanya dan Elmaut Kuning Kuping Sumplung turun tangan lebih dulu hingga akhirnya terjadilah pertempuran! Sepasang Elmaut Kuning bukan kepalang terkejut mereka sewaktu mendengar bentak memaki Wiro Sableng. Lebih-lebih Kuping Sumplung yang saat itu tengah menjamahi tubuh Permani sambil tertawa mengekeh! Dia dengan cepat menyurut mundur sewaktu merasa satu angin mendorongnya dengan hebat hingga kalau saja dia tidak lekas-lekas kerahkan tenaga dalamnya pastilah akan dibuat mencelat mental! Pemuda gondrong hina dina! bentak Kuping Sumplung. Siapa kau?! Kau dan kambratmu yang bermata satu itu pastilah Sepasang Elmaut Kuning!

Hem... matamu cukup tajam untuk mengenali kami. Lekas terangkan siapa kau dan apakah mau mencari mampus sengaja membuat kericuhan di sini?! Wiro tertawa mengejek. Mataku bukan cuma cukup tajam mengenali tampang-tampang kalian, tapi juga mengetahui bahwa kalianlah bangsat-bangsatnya yang telah membunuh Si Pelukis Aneh lalu melarikan lukisan perempuan telanjang itu! Dan kini kau yang berkuping sumplung bertangan buntung berani bikin kurang ajar terhadap kawanku! Ho... ho, jadi kau adalah kawannya si cantik ini?! Kalau begitu biar kau kubikin mampus lebih dulu agar kami berdua tak banyak rintangan untuk menikmati tubuhnya nanti! Elmaut Kuning Kuping Sumplung tutup ucapannya dengan serangan tangan kanan yang hebat dan berkekuatan sepertiga tenaga dalamnya. Satu kali pukul dia berharap akan dapat membuat pemuda itu menemui ajalnya, sekurang-kurangnya luka parah dan cacat seumur hidup! Tapi bukan main kejut Kuping Sumplung ketika melihat bagaimana pemuda itu bukan saja berhasil mengelakkannya tapi juga ganti membalas dengan satu serangan yang ganas! Elmaut Kuning Kuping Sumplung melompat ke samping. Tangan kanannya kirimkan jotosan angin keras sedang kaki kanan serentak dengan itu menendang ke pinggang. Inilah jurus yang dinamakan Dua Palu Sakti Melanda Mega. Angin serangannya saja hebatnya bukan olah-olah! Pendekar 212 Wiro Sableng melompat satu setengah tombak ke udara. Tendangan maut lawan lewat, sebaliknya dengan tangan kirinya Wiro sengaja memapasi lengan lawan. Elmaut Kuning Kuping Sumplung kertakkan rahang! Seluruh tenaga dalamnya dialirkan ke tangan kanan! Sebagai seorang tokoh silat yang ditakuti di delapan penjuru angin, Kuping Sumplung merasa bahwa tenaga dalamnya jauh lebih tinggi dari lawan. Dia sengaja mengambil keputusan untuk bentrokan lengan dengan lengan dan memastikan lengan lawannya akan patah! Di lain pihak memang bentrokan inilah yang dikehendaki Wiro Sableng! Sekejap kemudian lengan kedua orang yang bertempur itupun beradu! Wiro Sableng mengerenyit. Lengannya tergetar sakit. Kulitnya keriputan dengan serta merta. Sebaliknya dari mulut Elmaut Kuning

Kuping Sumplung terdengar suara pekik setinggi langit. Dia melompat dua tombak ke belakang. Lengannya yang beradu kelihatan terkulai bergoyang-goyang! Ternyata tulang lengannya telah patah! Untung daging lengan itu hanya sebagian saja yang hancur, kalau tidak pasti di saat itu juga lengan kanan Kuping Sumplung akan putus dua! Namun demikian keadaan Kuping Sumplung adalah parah sekali! Tak mungkin baginya untuk meneruskan pertempuran! Bahkan mungkin lengannya itu tak bisa dipergunakan lagi untuk selama-lamanya! Dengan menggigit bibir menahan rasa sakit, Kuping Sumplung totok beberapa urat di pangkal bahunya. Rasa sakitpun hilang. Melihat kambratnya dibikin demikian rupa marahlah Elmaut Kuning Mata Picak! Berewoknya meranggas kaku karena luapan amarah itu! Di samping marah dia juga terkejut karena tidak menyangka bahwa pemuda bertampang tolol itu berkepandaian sedemikian tingginya! Dengan langkah-langkah besar Mata Picak maju ke hadapan Pendekar 212 Wiro Sableng! Budak anjing hina dina! bentaknya, Aku tak begitu senang membunuh manusia yang aku tidak tahu siapa adanya! Lekas terangkan namamu! Wiro tertawa bergelak dan bertolak pinggang. Bicaramu keren sekali, Mata Picak, sahut Wiro. Dia melirik pada Elmaut Kuning Kuping Sumplung yang duduk menjelepok di tanah sambil berusaha mengobati lengannya yang patah. Namaku kau tak perlu tahu. Tapi apakah kau kenal dengan tiga buah angka ini?! Habis berkata begitu Wiro pukulkan telapak tangan kanannya ke arah dada Mata Picak. Selarik angin menyambar panas! Kurang ajar! maki Mata Picak seraya menyingkir ke samping. Dia terkejut ketika mendengar suara jeritan di belakangnya. Sewaktu berpaling dilihatnya Kuping Sumplung yang menjelepok di tanah terjerongkang ke belakang, menggeletak di tanah tanpa bergerak lagi! Dan di keningnya yang saat itu menjadi hitam jelas kelihatan tiga buah angka putih 212! Tergetarlah hati Elmaut Kuning Mata Picak! Sejak hampir satu tahun belakangan ini dia telah mendengar tentang munculnya seorang pendekar yang berjuluk Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212! Belasan tokoh silat golongan hitam menemui ajal di tangannya! Bahkan banyak pula partai-partai silat yang hancur diobrak-abrik

Pendekar 212! Pendekar itu sudah merupakan momok paling ditakuti oleh tokoh-tokoh silat golongan hitam. Dan kini tiada dinyana dia sendiri berhadap-hadapan dengan Pendekar 212 itu! Lebih tidak dinyana lagi ialah bahwa Pendekar 212 itu adalah seorang pemuda belia bertampang tolol! Dan telah merampas jiwa kawannya, di depan mata kepalanya sendiri! Mata Picak yang berotak cerdik dan tahu bahwa pemuda itu bukan lawan enteng serta mengkhawatirkan pula akan lukisan perempuan telanjang, sambil tertawa dan berbatuk-batuk berkata, Ah... ah... dengan seorang gagah! Nama besarmu sudah sejak lama kudengar, Pendekar 212! Lalu dengan rangkapkan tangan di muka dada dia meneruskan, Sebenarnya antara kita tak ada permusuhan, tak ada silang sengketa bahkan di hari ini baru bertemu muka. Gerangan apakah yang membuatmu sampai demikian tega merampas nyawa sahabatku?! Wiro tertawa gelak-gelak. Kalau tak ada hujan masakan ada geledek! kata Wiro. Kambratmu itu telah berani berlaku kurang ajar terhadap sahabatku... Hem..., Mata Picak menggumam dan tarik nafas panjang. Sahabatku itu memang ceriwis dan tak boleh lihat perempuan cantik! Tapi kurasa dia sudah menebus kekurangajarannya itu dengan nyawanya sendiri? Sekarang antara kita tak ada apa-apa lagi. Aku akan pergi dan di lain hari kuharap bisa bertemu dengan kau lagi! Mana bisa kau pergi seenaknya! Terkejutlah Mata Picak mendengar ucapan Wiro. Kau telah membunuh Si Pelukis Aneh dan mencuri lukisan yang tersandar di pohon itu! Untuk itu kau patut menerima hukuman! Paras Mata Picak berubah membesi. Agaknya kau punya sangkut paut dan hubungan tertentu dengan Si Pelukis Aneh... Ada hubungan atau tidak, kau tak usah ambil perduli. Yang penting kau musti serahkan lukisan itu kepadaku! Sedang sebagai hukuman karena telah membunuh Si Pelukis Aneh, kau harus cungkil biji matamu yang tinggal satu itu! Elmaut Kuning Mata Picak tertawa terbahak-bahak. Aku sudah relakan kematian sobatku. Sekarang kau minta barang yang bukan milikmu. Menyuruh aku mencungkil mataku sendiri! Sungguh

keterlaluan! Nama besarmu terpaksa kulenyapkan dari muka bumi hari ini juga! Begitu selesai bicara Mata Picak menggembor dan menerjang ke muka. Dalam sekejap saja kedua orang ini sudah terlibat dalam satu pertempuran dahsyat. Gerakan Mata Picak hebat sekali, tubuhnya lenyap. Hanya bayangan sinar kuning jubahnya saja yang kelihatan menelikung mengurung tubuh Pendekar 212! Di lain pihak begitu diserang lawan Wiro segera maklum bahwa Mata Picak ilmu silat dan kesaktiannya lebih tinggi dari Kuping Sumplung. Karenanya dengan berhati-hati Wiro melayani lawannya ini. Dalam tempo yang singkat sepuluh jurus sudah berlalu! Elmaut Kuning Mata Picak membentak nyaring dan tukar permainan silatnya dengan jurus-jurus yang disebut Elmaut Menggila. Untuk lima jurus lamanya Wiro Sableng bertahan mati-matian. Lima jurus kemudian Pendekar 212 mulai terdesak! Sambil keluarkan suara bersiul Wiro percepat gerakannya tapi dia terkejut ketika di sekelilingnya terdengar suara, wutt... wutt... wutt... wutt! Selarik sinar hijau melingkarinya dan mengeluarkan angin dingin yang menyembilu sekujur tubuh Pendekar 212! Wiro tak tahu senjata apa yang di tangan lawan, karena gerakan yang dibuat Mata Picak sangat cepat luar biasa! Dalam pada itu detik demi detik kekuatan tubuhnya semakin mengendur sedang setiap serangannya senantiasa terbendung oleh lingkaran sinar hijau! Breet! Wiro merasa dadanya laksana dipalu! Dia melompat mundur. Parasnya berubah. Pakaian putih di bagian dadanya robek besar. Belum sempat dia berbuat sesuatu apa, tiba-tiba Mata Picak sudah menyerangnya lagi. Meski sekilas tapi Wiro berhasil melihat senjatasenjata di tangan lawannya. Senjata itu ternyata adalah sebuah kebutan yang terbuat dari bulu-bulu halus berwarna hijau! Wuuut! Kebutan itu menderu lagi dengan hebatnya. Dua tiga kali Wiro lepaskan pukulan yang mengandung tenaga dalam hebat tapi senjata sakti di tangan lawan benar-benar mematikan dan membuyarkan pukulan-pukulan tangguhnya itu. Wiro mulai memaki-maki dalam hati. Suara siulan mengumandang aneh dari sela bibirnya! Tangan kanan menyelinap datar kian kemari. Tibatiba jari-jari tangan itu telah berubah menjadi putih dan kukukukunya laksana kilauan perak mendidih!

Mata Picak ayo tangkis pukulan Sinar Matahari-ku ini! teriak Wiro Sableng. Mendengar nama pukulan itu, Elmaut Kuning Mata Picak lipat gandakan tenaga dalamnya dan mendahului menyerang. Tapi di saat itu pula Wiro sudah turunkan tangan kanannya! Wuss! Mata Picak terpekik! Kebutan di tangannya mental dan hancur bertaburan sedang tangan kanannya hangus hitam laksana terbakar! Buru-buru manusia ini alirkan tenaga dalamnya ke tangan yang terluka, telan sebutir pil dan atur jalan darah! Untuk menolak racun pukulan dia kemudian menotok urat besar di bahunya! Diam-diam Wiro memuji kehebatan daya tahan manusia ini. Seseorang yang tersambar pukulan Sinar Matahari biasanya tak ada ampun lagi, pasti akan menggeletak mati! Anjing hina dina! Bersiaplah untuk mampus! teriak Mata Picak. Mulutnya berkomat-kamit, kedua tangan diangkat ke atas dan memancarkan sinar kekuning-kuningan. Melihat ini Wiro segera cabut Kapak Maut Naga Geni 212. Lalu Elmaut Kuning Mata Picak pukulkan kedua tangannya ke muka. Terdengar suara menderu laksana topan prahara. Dua gelombang sinar kuning melesat. Puluhan Paku Emas Beracun bertaburan menyambar ke arah tubuh Pendekar 212 Wiro Sableng! Kapak Naga Geni 212 berkiblat membuat gerakan setengah lingkaran! Sinar putih menyilaukan menggebu ke muka memapasi dua gelombang sinar kuning yang melesatkan puluhan paku-paku emas beracun. Laksana daun kering dihembus angin puting-beliung demikianlah bermentalannya senjata rahasia sakti Elmaut Kuning Mata Picak itu! Mata Picak tersirat kaget. Mukanya pucat laksana mayat! Selama sepuluh tahun ini tak satu kekuatan lawanpun yang sanggup menumbangkan pukulan Paku Emas Beracunnya itu demikian hebatnya! Apalagi serangan itu tadi dengan mengerahkan seluruh tenaga dalamnya! Melihat ini dan memaklumi bahwa naga-naganya dia akan mencari penyakit jika meneruskan pertempuran maka tak ayal lagi Mata Picak segera melompat mundur, menyambar lukisan perempuan telanjang dan larikan diri dengan cepat! Hai! Jalan ke neraka bukan ke situ Mata Picak! seru Wiro

Sableng. Dia mengejar dengan sebat. Enam langkah di belakang lawan Wiro buat gerakan Burung Walet Menembus Awan. Tubuhnya melesat di udara dan ketika turun tahu-tahu sudah menghadang larinya Mata Picak! Keparat! Mampuslah! hardik Mata Picak dan lepaskan pukulan Paku Emas Beracun dengan tangan kirinya! Tapi sekali ini dia terlambat! Belum lagi paku-paku itu berlesatan, Kapak Naga Geni 212 sudah membabat dan, cras! Putuslah lengan kiri Mata Picak! Manusia ini meraung kesakitan. Tubuhnya terasa panas. Dari buntungan tangannya mengalir hawa aneh yang menggidikkan bulu kuduknya. Pasti racun Kapak Naga Geni 212 telah mulai menggerayangi tubuhnya! Dengan kalap Mata Picak hantamkan lukisan perempuan telanjang ke kepala Wiro Sableng. Wiro menangkis. Braak! Kayu lukisan itu hancur berantakan. Bagian bawah dari lukisan robek sepanjang setengah jengkal! Mata Picak makin penasaran dan kirimkan satu tendangan kilat ke bawah perut lawan! Kapak Naga Geni menderu turun. Untuk kedua kalinya terdengar suara cras! Untuk kedua kalinya pula terdengar raungan Mata Picak. Betisnya telah terbabat putus. Tak ampun lagi tubuhnya tergelimpang ke tanah. Beberapa saat lamanya dia menggelepar-gelepar macam ikan meregang nyawa. Kemudian tubuhnya tak bergerak lagi tanda rohnya melayang sudah! Wiro Sableng usap-usap lengannya yang dihantam pigura lukisan. Lengan itu lecet dan bengkak, tapi tidak mengkhawatirkan. Diambilnya lukisan yang terhampar di tanah dan kembali ke depan goa. Permani tak kelihatan di situ. Tentu di dalam goa, pikir Wiro. Dia masuk ke dalam. Tapi sang dara juga tak kelihatan. Diperhatikannya Sokananta yang terbelenggu di dinding. Sekujur tubuhnya bergelimang darah. Mukanya hancur. Ketika didekati dan diperhatikan oleh Wiro, ternyata manusia itu sudah tak bernafas lagi! Pembalasan yang setimpal telah didapatnya! Wiro keluar dari goa dan berseru memanggil Permani. Tak ada jawaban. Dia memandang kian kemari. Pada saat itulah dilihatnya sederet tulisan di atas tanah. Wiro terkejut dan membacanya: Permani berjodoh untuk jadi muridku, pengganti Anggini. Sampai

jumpa, Dewa Tuak. Membaca tulisan di atas tanah itu, legalah hati Wiro Sableng. Dia bersyukur Dewa Tuak melakukan hal itu. Bukan saja Permani kelak bakal mendapat pelajaran ilmu silat dan ilmu kesaktian yang tinggi, tapi yang lebih penting bagi Wiro ialah bahwa gadis itu tak jadi meneruskan niatnya untuk hidup sebagai pertapa! Wiro mendongak ke langit. Matahari telah tinggi, hampir mencapai titik kulminasinya. Wiro kemudian memperhatikan lukisan di tangan kirinya. Kayu piguranya telah hancur bagian bawah. Wiro berpikir, apakah perlu dia memperbaiki kayu pigura yang hancur itu dan menjahit bagian lukisan yang robek, kemudian baru membawanya ke tempat kediaman Wira Prakarsa, calon murid Si Pelukis Aneh itu? Dia menimbang-nimbang. Lukisan itu selama dua bulan belakangan ini telah diperebutkan oleh belasan tokoh silat dan beberapa buah partai serta perguruan. Membawanya secara terangterangan pastilah akan mencari kesulitan karena lukisan diincar oleh hampir semua tokoh-tokoh silat, terutama mereka dari golongan hitam! Pendekar 212 garuk-garuk kepala. Akhirnya Wiro Sableng mendapat akal. Dibukanya keempat sisi kayu pigura lukisan itu satu demi satu. Dengan menggulung lukisan itu dan menyimpannya di balik pakaian pasti akan aman dalam perjalanan. Ketika kayu pigura sudah dilepaskan, ketika Wiro hendak menggulung lukisan itu, jari-jari tangannya merasakan kain lukisan itu bergeser-geser. Diperhatikannya dengan teliti. Ternyata di bawah kain lukisan perempuan telanjang itu, terdapat lagi sebuah kain lain yang putih bersih. Tentunya ini sebagai alas saja pikir Wiro. Tapi tak sengaja tiba-tiba kain putih di bagian bawah itu menjulai ke bawah dan tersingkap. Terkesiaplah Wiro Sableng sewaktu melihat bagian pada kain yang disangkanya cuma sebagai alas itu ternyata terdapat tulisantulisan banyak sekali dan juga gambar-gambar orang bermain silat! Dan ketika diteliti ternyata semua tulisan dan gambar-gambar itu adalah sebuah ilmu silat aneh yang mengandung jurus-jurus luar biasa hebatnya! Wiro geleng-gelengkan kepala. Rupanya inilah rahasia besar yang disembunyikan Si Pelukis Aneh dalam lukisan perempuan telanjang itu. Pantas saja Si Pelukis Aneh tak mau menjualnya tempo hari pada Adipati Pamekasan meskipun sudah ditawar duaratus ringgit. Sungguh cerdik sekali orang tua itu menyembunyikan ilmu silat yang

hendak diwariskannya pada calon muridnya! Wiro meneliti lagi pelajaran silat yang tertulis di kain putih itu. Si Pelukis Aneh menamakan ilmu silatnya itu Ilmu Silat Selusin Jurus Aneh. Sesuai dengan namanya, maka seluruh pelajaran berjumlah dua belas jurus tapi bisa dipecah-pecah sampai puluhan anak jurus! Wiro harus mengakui kehebatan ilmu silat yang ditulis oleh Si Pelukis Aneh itu. Tak dapat tidak, siapa yang mempelajarinya pasti akan menjadi seorang tokoh besar yang dikagumi dalam dunia persilatan! Sebagai seorang pendekar berhati polos jujur, Wiro tak mau mencuri mempelajari ilmu silat itu. Perlahan-lahan digulungnya kedua kain itu sekaligus. Sesaat kemudian diapun sudah berlalu dari situ.

TAMAT

BASTIAN TITO
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212

WIRO SABLENG

BANJIR DARAH DI TAMBUN TULANG


Ebook Oleh: Dewi Tirai Kasih Scan: kelapalima

WIRO SABLENG BANJIR DARAH DI TAMBUN TULANG

IAI Bangkalan menggeletak di lantai batu dalam Goa Belerang. Sedikitpun tubuh itu tidak bergerak lagi karena nafasnya sudah sejak lama meninggalkan tubuh! Orang tua itu menggeletak menelentang. Dua buah keris kecil yang panjangnya hanya tiga perempat jengkal berhulu gading menancap di tubuh Kiai Bangkalan. Darah bercucuran menutupi seluruh wajahnya. Dalam jari-jari tangan kiri Kiai Bangkalan tergenggam secarik kertas tebal empat persegi. Sedang tepat di ujung jari telunjuk tangan kanannya, yaitu pada lantai batu tergurat tulisan: TAMBUN TULANG. Pendekar 212 Wiro Sableng yang berdiri di dekat tubuh tak bernyawa Kiai Bangkalan tidak mengetahui apa arti dua buah kata itu. Apakah nama seseorang yaitu manusia yang telah membunuh orang tua itu, ataukah nama sebuah tempat. Yang diketahuinya ialah bahwa si orang tua telah menuliskan dua buah kata itu pada saatsaat menjelang detik kematiannya karena ujung jari tangan yang dipakai menulis masih terletak kaku di atas huruf terakhir kata yang kedua. Diam-diam Wiro Sableng memaki dirinya sendiri. Seharusnya dia datang lebih cepat ke Goa Belerang itu sehingga nasib malang begitu tidak terjadi atas diri si orang tua. Kiai Bangkalan tempo hari telah menyuruhnya datang dan menjanjikan akan memberi pelajaran tentang ilmu pengobatan. Kini dia datang terlambat. Kiai Bangkalan hanya tinggal tubuh kasarnya saja lagi! Perlahan-lahan pendekar muda ini berlutut di samping tubuh Kiai Bangkalan. Diperhatikannya kertas tebal empat persegi yang tergenggam di tangan kiri Kiai Bangkalan. Ternyata kertas tebal ini adalah robekan kulit sebuah buku. Dan pada kertas itu tertulis: SERIBU MACAM ILMU PENGOBATAN. Wiro Sableng tarik nafas panjang yang mengandung penyesalan. Satu kesimpulan lagi dapat ditarik oleh pendekar ini. Yaitu bahwa

Kiai Bangkalan menemui kematiannya dalam mempertahankan sebuah buku ciptaannya. Buku tentang pengobatan itu tentulah sebuah buku yang sangat berguna bagi dunia persilatan hingga seseorang telah mengambilnya dengan jalan kekerasan. Dan Wiro lalu ingat kembali janji Kiai Bangkalan yang hendak mengajarkan ilmu pengobatan kepadanya. Rupanya orang tua itu telah membukukan seluruh macam cara pengobatan yang diketahuinya. Sepasang mata Wiro Sableng kemudian berputar memperhatikan dua buah keris kecil yang menancap di tubuh Kiai Bangkalan. Menurutnya kedua keris itu pasti mengandung racun jahat, karena seseorang yang ditusuk bahkan yang dicungkil kedua matanya belum tentu menemui kematian. Tak pernah dia sebelumnya melihat keris semacam itu. Kiai Bangkalan bukan seorang berilmu rendah. Dan melihat pada keanehan bentuk senjata yang menancap itu Wiro sudah dapat menduga, siapapun pembunuh Kiai Bangkalan adanya, manusianya pastilah bukan orang sembarangan! Dan siapakah kirakira yang telah melakukan perbuatan terkutuk ini? Untuk beberapa lamanya Pendekar 212 masih berlutut di situ. Akhirnya dia sadar bahwa dia harus menguburkan jenazah Kiai Bangkalan. Didukungnya tubuh tiada bernyawa itu dan melangkah menuju ke pintu. Untuk terakhir kalinya, sebelum meninggalkan ruangan itu, Wiro memandang berkeliling. Dan saat itulah sepasang matanya membentur sebuah benda. Benda itu tadi tidak kelihatan karena tertindih oleh tubuh Kiai Bangkalan yang menggeletak di lantai. Wiro melangkah mendekatinya. Benda yang mulanya disangkanya cabikan pakaian ternyata adalah kulit harimau. Bulunya bagus berkilat, kuning berbelang-belang hitam. Apakah Kiai Bangkalan telah bertempur melawan harimau? Mana mungkin seekor harimau bisa menancapkan dua buah keris aneh di mata orang tua itu? Atau mungkin harimau siluman? Kulit itu kering dan bersih. Ini membawa pertanda, bahwa itu bukan kulit harimau hidup! Pendekar 212 Wiro Sableng masukkan robekan kulit harimau itu ke dalam saku pakaian lalu meninggalkan ruangan batu tersebut dengan cepat. *** Langit di ufuk timur mulai terang disorot sinar merah kekuningan sang matahari yang hendak keluar dari peraduannya. Katulistiwa detik demi detik kelihatan dengan jelas. Di bawah sorotan sinar

matahari, air laut laksana hamparan permadani yang indah sekali. Kemudian mataharipun keluarlah tersembul di ufuk timur itu, merupakan sebuah bola raksasa seolah-olah muncul dari dalam lautan luas! Sepasang mata Pendekar 212 tiada berkedip memandang ke arah timur itu. Telah lima kali dia melihat kemunculan sang surya di tengah lautan. Betapa indahnya. Sukar dilukiskan dengan kata-kata. Dan setiap dia memperhatikan keindahan alam ciptaan Yang Maha Kuasa itu, teringatlah dia pada Si Pelukis Aneh. Dengan keahliannya melukis, tentu orang tua itu akan sanggup menuang segala keindahan yang ada di depan mata itu ke atas kain lukisannya. Perahu besar itu meluncur laju di lautan yang tenang, dihembus angin barat. Ke manapun mata memandang hanya air laut yang kelihatan. Itulah batas kemampuan penglihatan manusia yang menandakan bahwa sesungguhnya dia hanyalah makhluk lemah belaka dibandingkan dengan kehebatan alam! Angin dari barat bertiup lagi dengan keras. Layar perahu besar menggembung dan perahu meluncur lebih pesat. Di kejauhan kelihatan serombongan burung terbang di udara. Ini satu pertanda bahwa terdapat daratan di sekitar situ. Namun demikian daratan itu agaknya masih terlalu jauh hingga pandangan mata tak kuasa menangkapnya. Puas memandangi keindahan laut di waktu pagi itu maka Wiro Sableng memutar tubuh. Dia melangkah ke buritan. Seorang laki-laki berbaju hitam berdiri di buritan itu dan memandang tajam-tajam ke arah langit di sebelah tenggara. Wiro tak tahu apa yang tengah diperhatikan laki-laki pemilik perahu ini. Ada apakah, Bapak? tanya Wiro. Tanpa alihkan pandangan matanya pemilik perahu menjawab, Orang muda, perhatikan baik-baik. Adakah terlihat olehmu sekumpulan awan kelabu dari kejauhan sana...? Awan semacam itu biasanya membawa pertanda tidak baik. Tidak baik bagaimana? tanya Wiro yang tak tahu apa-apa segala soal pelayaran ataupun keadaan di laut. Akan timbul angin ribut. kata pemilik perahu pula. Lalu dia pergi ke haluan dan menyuruh anak buahnya merubah arah menjauhi awan kelabu itu. Wiro Sableng angkat bahu. Awan kelabu itu sangat jauh sekali. Udara sekitar mereka bagus dan indah. Perlu apa dikhawatirkan awan kelabu itu? Kalaupun terjadi angin ribut, tentu terjadinya di

sebelah tenggara itu! Maka karena segala sesuatunya dianggap tak perlu dikhawatirkan oleh Wiro, diapun duduk di buritan itu sambil bersiul-siul. Tapi menjelang tengah hari kecemasan mulai membayangi hati pemuda ini. Di sebelah tenggara, awan yang tadinya kelabu kini kelihatan menjadi hitam dan bergerak cepat sekali ke arah perahu. Dan awan itu bukan hanya satu kelompok saja lagi melainkan berkelompok-kelompok dan menyebar di mana-mana. Pemandangan yang serba indah kini menjadi diselimuti kemendungan. Anginpun bertiup keras dan tak tentu arahnya. Kelompok awan hitam semakin banyak dan semakin tebal. Cuaca semakin buruk. Air laut bergelombang dan berputar-putar tak menentu. Jalannya perahu tersendat-sendat. Kemudian hujan rintik-rintik mulai turun. Arahkan perahu ke pulau itu! teriak pemilik perahu pada pemegang kemudi. Jauh di sebelah barat kelihatan sebuah titik hitam. Kemudi diputar. Perahu menjurus ke barat, ke arah titik hitam itu. Didahului oleh sabungan kilat yang disusul oleh gelegar guntur, maka hujan yang tadinya rintik-rintik kini berubah menjadi hujan lebat yang mendera seluruh perahu! Angin seperti suara ribuan seruling yang ditiup bersama karena derasnya, laut marah menyabung gelombang, menghempaskan perahu kian ke mari sementara udara telah berubah laksana malam hari, gelap pekat! Sekali-sekali kilat menyambar menerangi perahu. Tapi ini hanya menambah rasa ketakutan orang-orang yang ada di dalam perahu itu. Gulung layar besar! teriak pemimpin perahu. Namun baru saja perintahnya itu diucapkan satu angin dahsyat menerpa perahu. Kraak! Tiang layar utama perahu patah. Perahu condong tajam mengikuti arah tumbangnya bagian atas tiang layar. Dalam pada itu dari samping datang pula satu gelombang yang luar biasa besarnya. Perahu yang tidak berdaya itupun ditelan bulat-bulat. Di antara deru angin dan deru hujan, di antara sambaran kilat dan di antara menggeledeknya suara guntur, di antara semua itu maka terdengarlah suara jerit pekik manusia yang mengerikan. Tapi suara jerit pekik itu hanya sebentar saja karena sedetik kemudian perahu itu telah amblas digulung gelombang! Sewaktu perahu itu muncul kembali maka keadaannya hanya merupakan hancuran dan kepingan-kepingan papan dan balok-balok

belaka yang tersebar kian kemari untuk kemudian dipermainkan gelombang lagi secara ganas. Setiap manusia yang ada dalam perahu itu, dengan segala daya yang ada berusaha menyelamatkan diri. Tapi apakah daya manusia dalam melawan keganasan alam yang maha dahsyat itu?! Pendekar 212 Wiro Sableng bergulat sekuat tenaga untuk keluar dari bencana maut yang mengerikan itu. Dia berusaha berenang mencapai kayu pecahan-pecahan perahu, namun mana mungkin berenang dalam gelombang yang menggila seperti itu. Baru saja kepalanya muncul telah disapu kembali oleh air laut! Wiro mulai megap-megap kehabisan nafas sewaktu dia melihat sebuah papan besar kira-kira dua belas tombak di hadapannya. Dengan sisa-sisa tenaga yang terakhir pemuda ini berusaha berenang mencapai benda itu. Baru saja satu tombak, sebuah gelombang mendera tubuhnya. Pendekar itu amblas lagi masuk ke dalam laut. Sewaktu kepalanya muncul lagi papan besar tadi telah lenyap! Celaka! Tamatlah riwayatku! kata Pendekar 212 dalam hati. Baru saja dia mengeluh begitu sebuah gelombang datang dengan ganas dari muka. Dia menyelam dengan cepat untuk menghindarkan pukulan gelombang. Namun tetap saja tubuhnya diterpa sampai puluhan tombak membuat pemandangannya menjadi gelap! Ketika dia memunculkan kepalanya kembali di permukaan air laut dalam keadaan setengah hidup setengah mati, sesuatu melanda keningnya dengan keras. Kulit keningnya robek dan mengucurkan darah! Wiro tak tahu benda apa yang telah menghajar keningnya itu karena dia tak bisa membuka kedua matanya. Namun demikian otaknya masih terang untuk berpikir. Apapun benda itu adanya mungkin bisa dipakai untuk menyelamatkan jiwanya! Maka dalam mata terpejam dan muka berlumuran darah dengan membabi buta Wiro Sableng gerakkan tangannya untuk menangkap benda itu. Pertama kali dia cuma menangkap angin. Yang kedua kali dia cuma menampar air laut di sampingnya. Ketiga kalinya juga tak berhasil apa-apa namun kali yang keempat baru dia berhasil menangkap benda itu dan dipegangnya erat-erat. Beberapa saat kemudian ketika kedua matanya sudah bisa dibuka ternyata benda itu adalah sebuah balok pendek yang terpaku pada sepotong papan yang lumayan besarnya. Wiro Sableng bersyukur. Dengan benda itu dia bisa

mempertahankan diri agar tidak tenggelam untuk kemudian berusaha berenang mencari daratan. Belum lama pemuda ini berpegang pada papan itu, terombangambing dipermainkan ombak, satu benda meluncur di hadapannya, sebentar timbul sebentar tenggelam. Ketika diperhatikan ternyata tubuh seorang anak kecil. Wiro tahu betul anak kecil itu adalah anak laki-laki yang dibawa oleh seorang penumpang perahu. Ditangkapnya tangannya. Sewaktu diperiksa ternyata anak itu dalam keadaan pingsan, perutnya gembung. Wiro Sableng menyadari bahwa papan yang didapatnya tidak cukup besar untuk menolong mereka berdua sekaligus! Berarti kalau dia mau selamat terus, dia musti meninggalkan anak kecil itu! Pertentangan terjadi di lubuk hati Pendekar 212. Akhirnya pemuda itu membuka bajunya. Dengan baju itu diikatnya anak yang pingsan pada papan lalu didorongnya ke tempat yang agak tenang. Mudah-mudahan kau selamat, Anak. kata Wiro dalam hati. Dia memandang berkeliling. Tak sepotong papan atau balokpun yang kelihatan. Laut yang tadi menggila kini mulai tenang sedikit. Wiro mengeluh dalam hati. Rupanya sudah ditakdirkan bahwa dia harus mati hari itu, di tengah lautan! Berdiri bulu kuduknya! Inilah untuk pertama kalinya dia merasa ngeri! Ngeri menghadapi kematiannya sendiri! Ingin dia memekik, berteriak setinggi langit. Namun siapa yang akan mendengar? Siapa yang akan menolongnya? Lagi pula mulutnya serasa terkancing. Dicobanya berenang. Namun kekuatannya sudah sampai ke batas terakhir. Kaki dan tangannya kaku tak sanggup digerakkan lagi. Sedikit demi sedikit, perlahan-lahan tetapi pasti, tubuhnya mulai tenggelam. Sebelum kepalanya lenyap ditelan air laut pemuda ini merasa seperti melihat sesuatu jauh di hadapannya, meluncur di atas air laut menuju ke arahnya. Dia tak tahu benda apa itu. Kelihatannya seorang manusia berjubah putih, tapi mungkin juga malaekat maut yang hendak mencabut nyawanya! Pada detik dia menyebut nama Tuhan dan memanggil nama gurunya pada detik itu pula tubuh pendekar 212 lenyap keseluruhannya dari permukaan air laut.

***

WIRO SABLENG BANJIR DARAH DI TAMBUN TULANG

ETIKA dia siuman tubuhnya terasa panas. Kepalanya berdenyut sakit. Matanya berat sekali untuk dapat dibuka. Di manakah aku sekarang, apakah sudah berada di alam akhirat, berada di neraka?! Wiro Sableng membuka kedua matanya dengan perlahan. Yang pertama sekali dilihatnya ialah atap rumbia. Dia berusaha memutar bola matanya dan memandang berkeliling. Sesungguhnya sudah mati atau masih hidup aku ini, pikir Wiro. Ingatannya merayap pada saat dia berada di atas perahu tengah menyeberangi Selat Sunda, meninggalkan Pulau Jawa menuju ke Pulau Andalas! Kemudian datang angin topan dan hujan lebat. Perahunya amblas ditelan gelombang. Lalu setelah mengikatkan seorang anak laki-laki pada sebuah papan, tubuhnya tenggelam di dalam laut dan tak tahu apaapa lagi! Tapi kini dilihatnya atap rumbia itu. Dilihatnya dinding kayu, dilihatnya isi pondok kecil itu, bermimpikah dia?! Digigitnya bibirnya. Terasa sakit. Tidak, dia tidak bermimpi! Tapi sukar untuk bisa menerima kenyataan yang ada di hadapannya saat itu. Untuk memastikan dicobanya bangun dan duduk di tepi balai-balai kayu di mana dia terbaring. Tapi tubuhnya yang lemah tiada berdaya itu terhempas kembali ke atas balai-balai. Wiro mengeluh kesakitan. Dan dia pingsan lagi. Kedua kali dia sadarkan diri, hawa panas dari demam yang menyerangnya telah berkurang tapi tubuhnya masih lemas, tenggorokannya kering dan sendat. Lapat-lapat didengarnya suara anak kecil. Tapi mungkin itu cuma desau angin yang meniup telinganya. Rasa haus menyerang tenggorokannya. Tapi kepada siapa dia minta air, sedang untuk mengeluarkan suarapun dia tiada sanggup? Didengarnya suara berkeretekan di belakang kepalanya. Dia tak bisa berpaling. Dia tak tahu suara apa itu. Namun kemudian seorang

laki-laki tua berpakaian putih tahu-tahu sudah berdiri di samping balai-balai. Rambutnya jarang sekali hingga kulit kepalanya kelihatan jelas. Orang tua ini memelihara kumis dan janggut. Baik rambut maupun kumis serta janggutnya, seluruhnya berwarna putih. Yang membuat Wiro jadi menahan nafas ialah sewaktu menyaksikan keangkeran muka orang tua tak dikenal ini! Manusia ini berpipi dan bermata yang sangat lebar dan cekung. Mukanya tiada beda dengan tengkorak karena tiada berdaging. Hanya selembar kulit pucat saja yang menutupi parasnya. Hidungnya kecil, panjang dan bengkok seperti paruh burung kakaktua. Dia tersenyum, tapi senyumnya ini justru lebih menambah keangkeran pada parasnya. Diam-diam Wiro Sableng merasa bulu kuduknya berdiri. Manusia atau setankah yang berdiri di hadapannya itu? Kalau manusia, tak pernah dia menyaksikan yang seseram ini tampangnya. Si orang tua mengedipkan matanya yang lebar luar biasa dan menyeringai. Sudah sadar, hah?! bentaknya menggeledek. Wiro terkejut. Dirasakannya balai-balai di mana dia terbaring bergetar hebat dan pondok itu mengeluarkan suara berkereketan. Empat hari empat malam mendengkur terus-terusan. Enak betul! orang tua bermuka angker itu berkata lagi. Wiro membuka mulut hendak berkata. Tapi tak sedikit suarapun yang sanggup dikeluarkannya. Dalam kengerian melihat orang tua itu dia masih terus berpikir siapa adanya manusia ini. Dilihatnya timbul kepastian bahwa orang tua itu adalah orang yang telah menyelamatkan jiwanya. Tapi setelah menolong mengapa sikapnya demikian keras serta menunjukkan hati jahat?! Apa yang kau pikirkan! tiba-tiba orang tua itu membentak lagi. Balai-balai serta pondok kembali bergetar. Hebat sekali tenaga dalam orang tua ini. Wiro buka lagi mulutnya. Kali ini dia bisa bersuara meskipun perlahan, Air... Apa?! Air... desis Wiro. Air?! Kau minta air?! Kau kira aku ini pelayanmukah?! Sialan betul! Kedua mata si orang kelihatan tambah lebar. Wiro terkesiap mendengar jawaban orang tua bertampang angker itu. Diam-diam dia menggerutu dalam hati. Dicobanya meminta air kembali. Dan kembali si orang tua mendampratnya.

Tiba-tiba seorang anak kecil masuk ke dalam pondok itu. Ah... anakku! kata si orang tua seraya mendukung anak yang baru masuk. Wiro terkejut. Anak yang dalam dukungan orang tua itu bukan lain daripada anak kecil yang tempo hari ditolongnya di tengah laut sewaktu badai mengamuk. Semakin jelas bahwa orang tua itulah yang telah menolongnya dan juga menolong anak laki-laki itu. Tapi mengapa sikapnya demikian aneh dan galak? Anakku, apakah kau dengar si tukang tidur ini minta air...? Gila betul dia! Disangkanya bapakmu ini budaknya! Habis berkata begitu si orang tua tertawa gelak-gelak. Tiba-tiba dia hentikan tawanya dan membentak si anak, Hai! Kau dengar apa tidak?! Dibentak keras begitu, si anak berumur dua tahun menangis dan meluncur turun dari dukungan si orang tua, lalu meninggalkan tempat itu. Si orang tua kembali tertawa gelak-gelak. Orang gila. katanya kemudian pada Wiro, Kalau kau mau minum, itu di atas meja ada kendi berisi air. Ambil sendiri. Aku bukan pelayanmu! Bukan budak, bukan kacung! Lalu dia keluar dari pondok. Edan! desis Wiro. Eh, apa?! Kau memakiku edan?! Kau yang edan! Tiba-tiba si orang tua bertampang angker masuk kembali. Meskipun cuma mendesis tapi ucapan Wiro tadi telah didengarnya. Braak! Orang tua aneh itu tendang kaki balai-balai yang ditiduri Wiro Sableng. Tak ampun lagi balai-balai itu roboh dan Wiro terguling ke lantai, lalu pingsan lagi! Si orang tua tertawa gelak-gelak, lalu mendengus dan tinggalkan pondok itu. Pagi itu Wiro merasakan badannya berangsur baik dan segar. Sesudah duduk bersila mengatur jalan nafas serta darah dan mengalirkan tenaga dalamnya ke bagian-bagian tubuh yang perlu maka dia turun dari balai-balai. Di atas meja reyot di sudut pondok ada sebuah kendi berisi air putih. Diteguknya air ini beberapa kali. Terasa dingin dan segar. Dengan air itu juga dicucinya mukanya. Kemudian sewaktu melihat sepiring ubi rebus di atas meja, tanpa pikir lagi Wiro segera menyambarnya. Mendadak di luar didengarnya suara si orang tua. Ah... salah! Salah! Kaki kananmu majukan lagi... nah. Eee... itu tangan kananmu musti begini. Bagus... Sekarang coba memukul ke muka... ah salah! Salah! Dasar bocah geblek!

Sedang mengapa orang tua itu, pikir Wiro Sableng. Dia bergerak ke pintu pondok. Langkahnya berat dan pemandangannya berkunang waktu dibawa berjalan itu. Di pintu pondok dia berdiri dengan bersandar dan memandang ke halaman. Orang tua berwajah angker itu dilihatnya tengah berjongkok di hadapan anak laki-laki yang berumur dua tahun. Dari gerak-gerik dan apa-apa yang dikatakannya nyatalah bahwa dia tengah mengajarkan ilmu pukulan tangan kosong pada anak itu. Wiro Sableng tertawa geli. Mana mungkin anak sekecil itu diajar ilmu silat langsung disuruh memukul! Dan si anak sendiri kelihatannya tidak senang dipaksa-paksa seperti itu. Kelihatan dia menggeleng-gelengkan kepala. Apa?! bentak si orang tua, Kau tak mau diajar silat?! Bocah geblek! Kalau besar kau mau jadi apa?! Mau jadi laki-laki banci pengecut?! Si anak menangis. Dan Wiro bukan cuma sekali itu mendengar anak itu menangis. Sebaliknya melihat anak tersebut menangis si orang tua menjadi marah dan memaki-maki. Tapi kemudian dia sendiri ikut-ikutan nangis! Wiro Sableng garuk-garuk kepalanya. Aneh sekali orang tua ini. katanya dalam hati. Mungkin otaknya kurang waras. Tapi agaknya kepandaiannya tinggi sekali. Dan Wiro lantas ingat pada gurunya yaitu Eyang Sinto Gendeng. Sifatnya hampir sama dengan orang tua ini. Bocah tolol! Kalau kau tak mau belajar silat pergilah sana mainmain! Nanti kalau ada yang mengatakan kau laki-laki pengecut jangan salahkan aku! Habis berkata demikian si orang tua pukulpukul keningnya sendiri sambil membalikkan badan dan melangkah ke pondok. Mendadak dia hentikan langkahnya dan memandang mendelik ke pintu pondok. Orang edan! Siapa yang suruh kau bangun dan berdiri di situ?! bentak si orang tua begitu melihat Wiro Sableng. Dia marah sekali dan banting-banting kedua kakinya di tanah. Dan bukan main terkejutnya Wiro Sableng sewaktu melihat bagaimana tanah yang kena bantingan kaki orang tua itu amblas sampai setengah jengkal! Tiba-tiba Wiro ingat bahwa siapapun adanya orang tua bertampang angker itu dia adalah orang yang telah menyelamatkan jiwanya. Maka dengan segera Pendekar 212 menjura dalam-dalam. Betul-betul kau sudah gila! sentak si orang tua. Apa-apaan

menjura segala?! Orang tua aku berhutang nyawa padamu, juga berhutang budi. Aku... Hutang nyawa?! Hutang budi...?! Kau gila! Bukankah kau yang telah menolongku sewaktu perahu yang kutumpangi tenggelam di lautan? Kemudian merawatku di sini?! Orang tua itu urut-urut keningnya. Mimiknya seperti seorang yang tengah berpikir-pikir atau mengingat-ingat. Tidak! katanya kemudian dengan keras. Aku tak pernah menolong orang gila macam kau! Meski Wiro menjadi gusar karena dimaki orang gila namun dia bertanya juga, Lantas bagaimana aku bisa berada di tempatmu ini? Mana aku tahu! Tanya dirimu sendiri! menyahuti orang tua bertampang angker. Meski kau tak mau mengakui terus terang tapi aku yakin bahwa engkaulah yang telah menyelamatkan diriku, juga anak kecil tadi. Aku mengucapkan terima kasih. Di lain waktu kuharap akan bisa membalas hutang jiwa dan budi kebaikan itu. Sudilah kau memberitahukan namamu, orang tua... Buat apa?! Agar dapat kuingat selama hidupku. jawab Wiro pula. Hanya sekedar diingat? tukas orang tua itu. Wiro tak tahu harus berkata apa. Orang tua itu kemudian dilihatnya duduk di bawah sebuah pohon kelapa dan bernyanyi. Wiro tak tahu apa yang dinyanyikannya, bahasanya sama sekali tidak dimengerti. Bahkan suara menyanyinya itu tak ubahnya seperti suara orang mengigau! Tiba-tiba orang tua itu hentikan nyanyiannya dan pukulkan tangan kanan ke atas pohon kelapa. Terdengar suara berkeresek lalu suara benda meluncur. Ternyata pukulan tadi telah menjatuhkan sebuah kelapa muda. Dua tombak lagi kelapa itu akan jatuh menimpa tubuh si orang tua, tiba-tiba orang tua ini ambil sebutir kerikil dan melemparkannya ke arah kelapa yang melayang turun! Buah kelapa itu berlubang dan dari lubang itu memancurlah airnya. Si orang tua buka mulutnya. Air kelapa memancur masuk ke mulut orang tua sampai akhirnya habis! Wiro sampai ternganga dan melotot melihat hal ini. Luar biasa hebatnya apa yang disaksikannya itu. Gurunya sendiri belum tentu sanggup berbuat seperti itu. Dan sementara itu buah kelapa yang

airnya sudah habis itu terkatung-katung di udara seperti ada tangan yang tak terlihat memegangnya! Orang tua itu gerakkan tangan kanannya. Wuuut! Kelapa itu tiba-tiba sekali melesat ke arah pintu pondok dalam kecepatan yang luar biasa! Wiro melompat ke samping. Tubuhnya hampir tersungkur karena masih lemah. Dan di dalam pondok didengarnya suara pecah berantakan. Buah kelapa telah menghantam kendi air terus membobolkan dinding pondok! Wiro memaki dalam hati habis-habisan. Sebaliknya orang tua itu malah tertawa gelak-gelak sampai keluar air mata! Orang gila! Kemari kau! Orang tua itu memanggil Wiro. Dia melototkan mata sewaktu Wiro dilihatnya tak bergerak di tempatnya. Sebaliknya Wiro juga memandang tak berkedip pada orang tua itu. Maka menggeramlah si tampang angker ini. Bah, kau berani menantangku, hah?! Dari balik pakaiannya orang tua ini mengambil sesuatu. Saking cepatnya Wiro tak mengetahui benda apa itu dan tiba-tiba benda itu sudah dilemparkan ke arahnya. Untuk kedua kalinya Pendekar 212 dipaksa melompat dalam keadaan tubuh lemah demikian rupa. Kali ini dia tak sanggup lagi mengimbangi dirinya. Meski benda yang dilemparkan itu lewat di atas kepalanya namun tubuhnya tersungkur di tanah dan keningnya yang baru saja sembuh lukanya kini berdarah kembali! Pendekar 212 kaget sekali karena sewaktu dia berpaling ternyata benda yang dilemparkan orang tua tadi adalah senjata miliknya sendiri yaitu Kapak Maut Naga Geni 212! Pantas saja anginnya membuat tubuhnya laksana dilanda badai! Senjata itu menancap di tiang pondok sebelah kiri. Sambil menyeka darah yang mengalir turun ke dekat alisnya Wiro berdiri. Dia melangkah untuk mengambil Kapak Naga Geni, tapi baru saja tangan kanannya diulurkan, dari samping datang serangkum angin halus. Ketika dia berpaling dilihatnya sebuah benang aneh berwarna putih dan berkilauan melayang ke arah tangannya. Wiro cepat-cepat tarik tangan kanannya tapi terlambat. Benang putih itu telah melibat lengannya! Si orang tua tertawa gelak-gelak. Sekali dia menyentakkan benang tersebut maka Wiro tertarik keras ke arahnya. Wiro

merasakan tangannya seperti mau copot! Dia memaki lagi. Kalau saja tidak mengingat bahwa orang tua itu telah menyelamatkan jiwanya maulah dia mengirimkan sebuah serangan biar si orang tua tahu rasa! Ha... ha! Orang gila macam begini yang hendak membangkang kepadaku?! ejek orang tua itu begitu Wiro sampai di hadapannya. Wiro coba lepaskan lipatan benang tapi sukar sekali. Orang gila, siapa namamu?! Orang tua, kuharap kau jangan panggil aku orang gila terusterusan! kata Wiro dengan kesal. Ah... kau memang gila! tukas si muka angker. Ayo katakan siapa namamu! Wiro. sahut Pendekar 212 meskipun dengan hati agak gusar. Wiro apa?! bertanya lagi si muka angker. Pendekar 212 katupkan rahang rapat-rapat menahan kesal. Hai! Apa kau tuli?! Wiro apa?! Wiro Sableng. menyahuti juga pemuda itu akhirnya. Wiro Sableng?! Nah... itu buktinya kau memang orang gila. Kalau bukan orang gila mana ada manusia yang memakai nama sableng! Sableng sama saja artinya dengan edan alias gila! Tapi itu bukan mauku memakai nama demikian... Aku tahu, orang tuamu yang memberikan nama itu padamu... Bukan, tapi guruku! potong Wiro Sableng. Ah... kalau begitu berarti gurumu juga sableng alias keblinger! Marahlah Pendekar 212. Dia melangkah ke hadapan si muka angker dan menghardik, Orang tua, jangan hina guruku! Wiro kerahkan tenaga dalamnya dan menyentak dengan keras. Selain tubuhnya masih lemah, benang aneh yang melibat lengannya kuat sekali hingga tak sanggup diputuskan oleh sentakan itu! Si muka angker sebaliknya tertawa melihat perbuatan Wiro dan berkata, Jangankan kau! Gurumu dan nenek gurumu sekalipun belum tentu sanggup memutuskan benang kahyangan ini! Eh orang gila! Aku sudah tahu namamu, sekarang lekas beri tahu kau punya gelar! Aku tak punya gelar apa-apa. jawab Wiro. Tangannya yang tadi disentakkan untuk melepaskan libatan benang kahyangan terasa sakit dan pedas. Jangan berani dusta terhadapku orang gila! Sekali kusentakkan benang ini dalam Jurus Kilat Menyambar Puncak Gunung pasti

lenganmu akan putus! Kalau hatimu memang jahat begitu rupa mengapa tidak segera dilaksanakan?! tukas Wiro Sableng menantang. Orang tua itu mendelikkan matanya sehingga kelopaknya yang merah membuka lebar dan tampangnya jadi tambah mengerikan! Tiba-tiba dia tertawa gelak-gelak. Orang gila! Kau memang pandai bicara! Pertanyaanku tadi anggap saja-tidak ada. Tapi sebagai gantinya lekas kau beri tahu nama gurumu! Aku bukan seorang yang suka agul-agulkan nama guru. Jadi kau tidak mau beri tahu?! Tidak. jawab Wiro Sableng tegas. Si muka angker mendelik. Hidup delapan puluh tahun, kau adalah orang yang kedua yang pernah membangkang terhadap perintah si Tua Gila ini! Habis berkata begitu si muka angker yang menyebut dirinya Tua Gila itu goyangkan benang kahyangan yang dipegangnya. Pendekar 212 menjerit kesakitan dan tubuhnya mencelat ke atas sampai beberapa tombak!

***

WIRO SABLENG BANJIR DARAH DI TAMBUN TULANG

UA GILA tertawa gelak-gelak dan diam-diam perhatikan gerakan jungkir-balik yang dibuat Wiro Sableng sewaktu melayang turun dan menjejakkan kedua kakinya di tanah. Ah gerakan Kincir Padi Memutar yang belum sempurna hendak dipamerkan di depan hidungku! ejek Tua Gila lalu tertawa lagi gelakgelak. Wiro Sableng terkesiap kaget. Baru hari itulah seseorang mengenali gerakan yang dibuatnya. Memang sewaktu dia jungkir balik tadi dia telah mengeluarkan gerakan yang dinamakan Kincir Padi Memutar yaitu yang dipelajarinya dari Eyang Sinto Gendeng sewaktu dia digembleng di puncak Gunung Gede. Sebenarnya gerakan tersebut sudah dikuasai Wiro dengan sempurna namun karena gugup, terkejut dan ditambah dalam keadaan tubuh lemah maka gerakannya itu menjadi tidak sempurna. Jika sekiranya Tua Gila menyusul dengan satu serangan lagi pastilah Pendekar 212 Wiro Sableng akan mendapat celaka. Untung saja si muka angker itu hanya terus duduk dan tertawa gelak-gelak. Wiro berdiri dengan nafas sesak dan muka pucat. Matanya tiada berkesip memandang si orang tua. Jika dia diperlakukan begitu terus-terusan, dicaci maki, diserang dan ditertawakan, sampai berapa lama dia akan sanggup menahan kesabarannya? Sampai berapa lama dia akan menghormati orang tua itu sebagai tuan penolongnya? Kepada siapa dia telah berhutang budi dan nyawa?! Kau masih mau membangkang?! Wiro tak menjawab. Tua Gila berkata, Mengingat bahwa kau telah menyelamatkan seorang anak laki-laki yang bakal kuambil jadi muridku maka kuampuni jiwamu, orang gila. Orang tua, aku tak bisa menerima perlakuanmu yang keterlaluan... Perlakuanku apa yang keterlaluan?! bentak Tua Gila marah

sekali. Manusia tidak tahu diri! Sudah diampuni jiwanya malah mengomel! Ayo lekas katakan siapa nama gurumu! Kaubunuh pun aku tak akan memberi tahu! Apa kau tidak takut mati?! Kenapa musti takut?! jawab Wiro pula. Tua Gila tertawa pendek dan berkata, Apa di dunia ini betul-betul ada manusia yang tidak takut mati?! Semua manusia akan mati, orang tua. Juga kau! Tua Gila tersentak oleh ucapan Wiro Sableng itu. Selama puluhan tahun hidup tak pernah dia ingat tentang kematian sekalipun sudah berpuluh kali melihat manusia-manusia lain menemui kematian. Ucapan Wiro tadi menyentakkan hati dan mengingatkan pikirannya pada hal kematian itu. Betapa mengerikannya kematian itu dan tiada terasa dua butir air mata menuruni kelopak matanya yang lebar, turun menetes pipinya yang cekung! Wiro Sableng merasa heran melihat hal ini! Si orang tua yang begitu keras adat, galak, tertawa tak karuan dan aneh itu nyatanya juga bisa menangis keluarkan air mata. Suasana menjadi sunyi untuk beberapa lamanya. Tiba-tiba Tua Gila acungkan telunjuk tangan kirinya ke dada kanan Pendekar 212 Wiro Sableng. Apa arti angka 212 di dadamu itu?! Wiro baru sadar bahwa waktu itu dia cuma mengenakan celana panjang saja sedang tubuhnya bagian atas tiada berbaju karena sewaktu peristiwa perahu terbalik dia telah mempergunakan bajunya untuk mengikat anak laki-laki yang ditolongnya. Guruku yang menuliskannya. kata Wiro. Dasar tolol! Aku tanya apa arti angka itu! Bukan siapa yang menulisnya. Sekalipun setan atau jin yang menulisnya aku tak perduli! Tak bisa kuterangkan orang tua. jawab Wiro. Paras Tua Gila tampak kembali menjadi marah. Pembangkanganmu sudah keterlaluan! Kau betul-betul tidak memandang sebelah mata terhadapku! Kau akan kubunuh saat ini juga. Lalu Tua Gila tarik benang yang dipegangnya, Wiro tersentak ke muka. Bersiaplah untuk mati, orang gila! Dan Tua Gila lalu angkat tangan kirinya. Begitu tangan hendak dipukulkan, tiba-tiba ditariknya kembali. Dia menyeringai. Ah... sebetulnya aku sudah muak melihat kematian! Orang gila, jika kau

bisa menjawab sebuah pertanyaanku aku akan ampunkan jiwamu. Tapi kalau kau tak bisa menjawabnya, terpaksa kau kubunuh juga! Wiro Sableng kertakkan rahang. Dan Tua Gila lantas ajukan pertanyaan, Menurutmu orang tua manakah yang paling celaka hidupnya di dunia ini?! Wiro terkesiap dan merenung. Pertanyaan aneh yang sukar dijawab kata hati pendekar ini. Ditatapnya wajah angker orang tua itu. Kalau kau tak bisa menjawab kau akan kubunuh! Tua Gila menyeringai. Dia lalu menunjuk ke atas pohon kelapa dan berkata, Aku akan jatuhkan sebuah kelapa. Sebelum buah itu mencapai tanah kau musti sudah bisa menjawab pertanyaanku tadi! Tua Gila memukul ke atas. Wiro kerutkan kening. Terdengar suara berkeresekan dan sebuah kelapa lepas dari tangkainya lalu melayang turun dengan cepat! Bumm! Buah kelapa jatuh dan pecah di atas tanah! Tua Gila menghela nafas panjang dan tertawa rawan. Jiwamu kuampuni, orang gila. katanya. Jawabanmu memang betul. Kemudian dari balik pakaian putihnya Tua Gila mengeluarkan sebuah benda dan diacungkannya di hadapan Wiro. Benda ini kutemui di dalam saku pakaianmu yang dibuat pengikat anak lakilaki yang kau tolong itu. Dari mana kau dapatkan benda ini?! Ketika diperhatikan ternyata benda itu adalah potongan kulit harimau yang tempo hari ditemui Wiro di Goa Belerang di mana Kiai Bangkalan menemui ajalnya dibunuh. Saat itu ternyatalah di hati Wiro untuk meminta beberapa keterangan kepada Tua Gila. Maka diapun menuturkan riwayat Kiai Bangkalan sampai peristiwa terbunuhnya orang tua itu. Jadi perjalananmu itu adalah untuk mencari buku Seribu Macam Pengobatan, ha? Wiro mengangguk. Kalau kau berhasil menemuinya apakah buku itu akan kau ambil sebagai milikmu?! Berarti kau maling besar karena Kiai Bangkalan tak pernah mengatakan bahwa buku itu akan diwariskannya kepadamu! Aku tidak mengatakan hendak mengambil atau memiliki buku itu. Tapi aku merasa punya kewajiban untuk mencarinya dan

merampasnya kembali dari manusia yang telah mencuri buku itu. Kau tak punya hak melakukan itu, orang gila. Kau bukan muridnya Kiai Bangkalan! Sekalipun demikian buku itu tidak layak berada di tangan orang yang bukan pemiliknya. Lalu kalau sudah kau temui kau mau bikin apa dengan buku itu? Aku akan pelajari isinya,..., Berarti kau mencuri ilmu kepandaian orang lain! potong Tua Gila. Mana mungkin! Kiai Bangkalan pernah mengatakan bahwa dia akan mengajarkan ilmu pengobatan padaku. Kini dia sudah tiada dan kalau aku mempelajari ilmu pengobatan itu dari bukunya bukan berarti aku mencuri kepandaian orang lain! Tua Gila tertawa. Apapun alasannya, mempelajari ilmu orang lain dari buku tulisannya tanpa izin orang itu sama saja dengan mencuri. Kiai Bangkalan berkata akan memberikan pelajaran ilmu pengobatan padamu. Langsung dari dia sendiri, bukan dari bukunya. Jangan mengada-ada, orang gila! Wiro Sableng menjadi penasaran sekali. Dalam pada itu Tua Gila berkata lagi, Karenanya kau tak usah teruskan perjalananmu mencari buku itu. Pulang saja. Kau akan siasia mengerjakan apa-apa yang bukan jadi hakmu! Apakah menjadi hakmu melarang aku?! tukas Wiro. Tua Gila usut-usut janggutnya yang putih dan panjang. Perjalananku semata-mata bukan cuma untuk mencari buku itu. Tapi juga sekaligus mencari manusia yang telah membunuh Kiai Bangkalan! Kau bukan muridnya. Kau tak berhak menuntut balas! Kau dengar orang gila?! Tapi aku berhutang budi yang besar padanya. Hutang budi itu tak akan lunas sebelum aku berhasil membekuk si pencuri dan si pembunuh! Kau mau membunuh orang yang telah membunuh Kiai Bangkalan...? ejek Tua Gila. Kalau keadaan memaksa. sahut Wiro. Tapi di hatinya dia yakin bahwa dia kelak betul-betul akan membunuh manusia itu. Dasar gila! Apa kau kira nyawa orang lain itu milikmu hingga kau bisa main bunuh seenaknya?!

Wiro sunggingkan senyum sinis dan menjawab, Tadi kaupun berniat membunuhku. Apa nyawaku milikmu?! Tua Gila tertegun. Lalu tertawa membahak. Kau meskipun gila nyatanya pintar bicara! Sekarang kau kembalilah masuk ke dalam pondok. Lama-lama aku jadi muak melihat tampangmu! Wiro menggerendeng. Tua Gila gerakkan tangan kanannya. Dan hebat sekali, satu aliran angin aneh menjalar di benang yang mengikat lengan Wiro terus memukul tubuhnya dengan hebat! Laksana sebuah bola yang diikat dan dilemparkan, tubuh Pendekar 212 mencelat masuk ke dalam pondok!

***

WIRO SABLENG BANJIR DARAH DI TAMBUN TULANG

ARI Tua Gila, Wiro berusaha mendapat keterangan di mana letaknya bukit Tambun Tulang. Dulu sewaktu berangkat meninggalkan Pulau Jawa, dari seorang pelaut dia mendapat tahu bahwa Tambun Tulang adalah nama sebuah bukit yang terletak di Pulau Andalas. Namun Tua Gila mengejeknya, malah mendamprat dan memakimakinya. Orang gila! Bagusnya kau tak usah pergi ke situ. Kalaupun kau berhasil sampai ke sana, kau cuma datang mengantar nyawa... Setiap bahaya maut adalah tantangan hidup yang harus kita hadapi. kata Wiro pula. Tua Gila tertawa sinis. Jangan bicara sombong. Orang gila, apa kau tahu artinya Tambun Tulang? Kalau aku kasih tahu baru bulu kudukmu merinding. Kalau tidak pingsan pasti kau terkencingkencing karena ketakutan. Kalau aku begitu pengecutnya masakan aku berani ambil keputusan untuk mengadakan perjalanan. sahut Wiro karena merasa dihina sekali. Tua Gila membelai janggutnya sebentar lalu berkata, Nyalimu memang besar, orang gila. Tapi percuma saja keberanian yang luar biasa kalau kau tidak punya ilmu yang diandalkan! Wiro Sableng tertawa. Untuk kesekian kalinya, meskipun Tua Gila marah-marah dan mendampratnya, namun Wiro mengucapkan terima kasih kepada orang tua aneh berwajah angker itu dan minta diri. Apa?! Kau mau pergi?! Tidak bisa! Kau tetap berada di pulau ini sampai kau ada kemampuan untuk membuat urusan di Tambun Tulang. Dua hal membuat Wiro Sableng terkejut. Yang pertama ucapan Tua Gila yang mengatakan bahwa dia tak boleh meninggalkan pulau itu. Selama berhari-hari bersama si orang

tua aneh, baru hari itu dia tahu kalau dia berada di sebuah pulau. Pantas saja seringkali didengarnya suara menderu seperti ombak sedang angin keras sekali. Hal kedua yang mengejutkan Pendekar 212 ialah bahwa dia musti tinggal di pulau itu sampai dia ada kemampuan untuk ini, berarti bahwa Tua Gila si orang aneh bertampang angker itu hendak memberinya pelajaran ilmu silat? Melihat sikap dan ucapan-ucapannya agaknya Tua Gila mengetahui banyak hal tentang Tambun Tulang! Tengah Pendekar 212 Wiro Sableng berpikir-pikir begitu rupa tibatiba Tua Gila membentaknya, Coba perlihatkan beberapa jurus ilmu silatmu yang kau anggap paling hebat! Apa maksudmu sebenarnya, orang tua? tanya Wiro Sableng dengan hati meragu. Tak usah banyak tanya! Lekas perlihatkan! bentak Tua Gila. Wiro Sableng yang saat itu sudah sembuh dan berada dalam keadaan normal seperti sedia kala segera maklum bahwa orang tua aneh itu mempunyai maksud tertentu terhadapnya. Maka dia segera mainkan beberapa jurus ilmu silat tangan kosong yang dipelajarinya dari Eyang Sinto Gendeng! Mula-mula dikeluarkannya jurus yang dinamakan Segulung Ombak Menerpa Karang, menyusul Ular Naga Menggelung Bukit, lalu Wiro balikkan badan dan lancarkan jurus Di Balik Gunung Memukul Halilintar dan yang keempat kalinya jurus yang dinamai Membuka Jendela Memanah Rembulan. Semua gerakan itu dilakukannya dengan cepat hingga dalam sesaat saja dia sudah menyelesaikannya. Tua Gila tertawa gelak-gelak. Sambil batuk-batuk kemudian dia berkata, Coba kau ulangi lagi keempat jurus itu. Lalu dia mematahkan sebatang ranting dan berdiri empat langkah di hadapan Wiro Sableng. Tahu kalau dirinya hendak diuji maka sewaktu bergerak kembali Wiro Sableng sengaja lipat gandakan tenaga dalam dan berkelebat dengan ilmu mengentengi tubuh yang sudah mencapai tingkat kesempurnaannya! Tubuh Pendekar 212 Wiro Sableng lenyap ditelan oleh gerakannya sendiri yang berkelebat merupakan bayang-bayang! Pada waktu Wiro Sableng mengeluarkan jurus Segulung Ombak Menerpa Karang maka kedua tangannya kiri kanan memukul sebat sampai mengeluarkan suara angin yang deras, betul-betul laksana ombak dahsyat memukul karang. Debu dan pasir serta batu-batu

kerikil beterbangan. Semak belukar bergoyang-goyang! Anehnya Si Tua Gila menyerangnya. Wiro Sableng lipat gandakan daya gerakannya. Jurus yang dinamai Segulung Ombak Menerpa Karang itu mengeluarkan angin pukulan yang laksana ganas mencari sasaran di kepala dan dada Tua Gila. Tua Gila mendengus. Ranting di tangan kanannya lenyap dan gerakan memutar sedang tubuhnya sendiri jingkrak-jingkrakkan tak menentu macam monyet terbakar ekor! Anehnya meski gerakan si orang tua bertampang angker jingkrak-jingkrakkan tak karuan dan dilakukan sambil cengar-cengir mengejek namun jurus Segulung Ombak Menerpa Karang secara aneh dapat dielakkannya dengan mudah! Wiro Sableng penasaran sekali. Tak pernah selama ini jurus yang dikeluarkannya itu sanggup dielakkan lawan demikian mudahnya! Karenanya dengan satu bentakan keras Wiro susul dengan jurus Ular Naga Menggelung Bukit. Jurus ini didahului oleh satu tendangan dahsyat ke arah bawah perut. Namun ini hanyalah gerak tipu belaka. Bila lawan menangkis atau mengelak akan menyusul sambaran sepasang lengan ke arah leher atau pinggang. Sekali leher atau pinggang kena digelung oleh lengan yang berisi kekuatan tenaga dalam luar biasa itu, tak ampun lagi pasti akan putus dan orangnya akan konyol! Dengan gerakan gerabak-gerubuk Tua Gila hindarkan tendangan ke arah bawah perutnya. Juga dengan gerakan aneh macam begitu dia berhasil pula mengelakkan gelungan tangan lawan yang mengincar leher lalu turun ke arah pinggang! Edan! maki Pendekar 212. Dalam lain kejap dia sudah melompat ke muka dan lancarkan jurus Membuka Jendela Memanah Rembulan. Tapi dia cuma menyerang tempat kosong karena si orang tua sudah lenyap di hadapannya dan terdengar suara dengus mengejeknya di belakang! Wiro bersuit nyaring. Balikkan badan dengan cepat sambil lancarkan serangan dalam jurus Di Balik Gunung Memukul Halilintar! Tapi lagi-lagi dengan gerakan aneh gerabak-gerubuk macam monyet mabuk si orang tua berhasil mengelakkan jurus serangan terakhir yang dilancarkan Wiro Sableng itu! Wiro melompat mundur. Orang tua, aku mengaku kalah! kata Wiro sejujurnya. Dia

kagum sekali melihat kelihayan orang tua ini. Tua Gila tertawa mengekeh dan sambil membuang ranting kering yang di tangannya dia berkata, Aku tidak memikirkan soal menang atau kalah! Hanya tukang-tukang judilah yang memikirkan kalah menang! Kemudian dia duduk di bawah pohon kelapa dengan masih tertawa mengekeh. Dengan ilmu silat picisan itu kau mau pergi ke Tambun Tulang...? He... he... he... he... Belum sampai, mungkin kau sudah kojor! Wiro Sableng panas sekali hatinya. Ilmu silat warisan Eyang Sinto Gendeng yang selama ini dianggapnya hebat dan lihay kini dikatakan sebagai ilmu silat picisan! Betul-betul Pendekar 212 jadi mengenas hatinya. Namun demikian adalah satu kenyataan bahwa dia tak sanggup menghadapi si orang tua dalam keempat jurus tadi! Ini membuktikan bahwa sepandai-pandainya manusia, masih ada manusia lain yang lebih pandai dari dia. Bahwa di luar langit ada langit lagi! Diam-diam Wiro menggerendeng sambil tundukkan kepala. Tapi ketika kepalanya ditundukkan, astaga, membeliaklah matanya karena terkejut! Betapakah tidak! Baju putih yang dikenakannya ternyata robek besar di empat bagian! Wiro angkat kepala dan memandang tak berkesip pada si orang tua! Kalau saja benda di tangan Tua Gila tadi adalah sebatang pedang dan benar-benar dipakai untuk mencelakai dirinya, pastilah sudah sejak tadi nyawanya melayang ke akhirat! Betul-betul bahwa di luar langit ada langit lagi! Tua Gila sementara itu tertawa terkekeh-kekeh sambil usap-usap janggutnya yang putih panjang. Sia-sia orang gila! Sia-sia kalau dengan ilmu yang kau miliki sekarang ini kau hendak pergi ke Tambun Tulang! Kau akan mampus percuma! Kalau begitu aku mohon petunjukmu, orang tua. kata Wiro Sableng pula. Apa? Siapa sudi kasih petunjuk pada orang gila macam kau! damprat Tua Gila membuat Wiro untuk kesekian kalinya memaki dalam hati! Aku sudah lihat jurus-jurus silatmu yang tak berguna itu! bicara lagi Tua Gila. Sekarang coba keluarkan ilmu-ilmu pukulan saktimu! Aku mau lihat apakah juga tak ada artinya?! Penasaran sekali Wiro menyurut mundur delapan langkah. Kedua kakinya direnggangkan. Tenaga dalam segera dialirkan ke lengan

kanan. Orang tua! Berdirilah! seru Wiro Sableng ketika dilihatnya Tua Gila masih duduk di bawah pohon kelapa sambil cengar-cengir seenaknya. Ah, untuk menerima pukulanmu yang tak berguna kenapa musti berdiri segala?! Silahkan memukul, orang gila! Wiro kertakkan rahang dan lipat gandakan tenaga dalamnya. Kalau kau mendapat celaka, jangan salahkan aku! gerendeng Wiro. Tangan kanannya diangkat tinggi-tinggi ke atas. Begitu tinju dihantamkan ke muka maka kelima jari membuka dan satu gumpalan angin keras menderu ke arah Tua Gila yang masih saja duduk tertawa-tawa. Ah! Cuma pukulan Kunyuk Melempar Buah! Tak ada gunanya bagiku! ejek tua Gila. Tangan kirinya dilambaikan ke arah gumpalan angin yang hendak melabraknya. Terdengar suara berdentum. Wiro tersurut tiga langkah ke belakang! Ketika dia memandang ke muka, si orang tua dilihatnya tertawa mengekeh dan masih tetap duduk di bawah pohon kelapa itu! Wiro merutuk setengah mati. Kedua tangan diangkat ke atas. Tua Gila! Terima pukulanku yang kedua ini! Kemudian tanpa tunggu lebih lama Wiro putar-putarkan kedua tangannya di udara. Gelombang angin yang tiada tara dahsyatnya menderu. Debu dan pasir beterbangan. Batu-batu kerikil mental. Semak belukar luruh, daun-daun pohon berguguran bahkan banyak cabang-cabang dan rantingnya yang patah! Pakaian, rambut dan janggut Tua Gila kelihatan berkibar-kibar! Tapi anehnya dia tetap saja duduk di tempatnya, malah berkata, Ah, sejuknya pukulan Angin Puyuh ini. Mataku sampai-sampai mengantuk! Dia menguap lalu letakkan kepalanya di atas lutut seperti sikap orang yang hendak tidur mencangkung! Edan! maki Wiro Sableng. Pukulan Angin Puyuh segera diganti dengan pukulan Angin Es. Udara di atas pulau itu mendadak sontak menjadi dingin tiada terperikan. Binatang-binatang kecil seperti burung, jatuh menggelepar kaku. Sebaliknya si orang tua mendongak ke langit dan berkata seakanakan pada dirinya sendiri, Ah, panas sekali hari ini! Tubuhku sampai keringatan! Lalu Tua Gila kibas-kibaskan pakaian putihnya. Dengan serta merta lenyaplah pengaruh pukulan Angin Es yang telah

dilepaskan oleh Wiro Sableng! Orang gila! Apakah kau masih punya ilmu simpanan yang lain?! seru Tua Gila dengan nada mengejek! Wiro jambak-jambak rambutnya saking gemas. Ayo! Pukulan Sinar Matahari belum kau keluarkan! Sudah lama aku tidak melihat pukulan itu! Sebenarnya sudah sejak tadi Wiro Sableng terkejut karena Tua Gila mengetahui setiap jurus pukulan yang hendak dilepaskannya. Bahkan kini kejutnya itu bertambah lagi sewaktu Tua Gila menyuruhnya mengeluarkan pukulan Sinar Matahari! Siapa sesungguhnya orang tua aneh ini, pikir Wiro tiada henti! Ayo! Kenapa jadi macam orang pikun?! Keluarkan pukulan Sinar Matahari! berseru lagi Tua Gila. Penasaran sekali Wiro alirkan seluruh tenaga dalamnya ke tangan kanan. Mulutnya komat-kamit. Sekejap kemudian tangannya itu mulai dari siku sampai ke ujung-ujung jari berubah menjadi putih sekali! Lima kuku-kuku jarinya memijar menyilaukan laksana perak ditimpa sinar matahari! Tua Gila untuk pertama kalinya berdiri dengan cepat. Matanya yang lebar memandang ke muka tak berkedip. Tubuhnya sedikit dibungkukkan dan pada saat dilihatnya Wiro memukulkan tangan kanan ke muka, orang tua ini dorongkan telapak tangan kanannya ke depan! Dari tangan Wiro Sableng menderu satu larik besar sinar putih yang tiada terkirakan panasnya! Sebaliknya dari tangan Tua Gila berkiblat tujuh sinar pelangi yang menderu ganas dan memapasi sinar putih berkilau! Terdengar suara berdentum yang teramat dahsyat! Langit laksana robek! Pulau itu laksana tenggelam ke dasar laut! Dunia seperti mau kiamat! Wiro Sableng mencelat sampai tiga tombak. Ketika dia berdiri mengimbangi badan, dadanya terasa sakit. Tenggorokannya gatal. Dia terbatuk tapi darah yang menyembur! Cepat-cepat Wiro telan sebutir pil! Lalu atur jalan darah dan nafasnya! Di seberangnya dilihat sepasang kaki Tua Gila amblas ke dalam tanah sedalam betis! Sambil batuk-batuk dan tertawa-tawa, orang tua itu cabut kedua kakinya. Ah... baru pukulanmu yang satu itu yang agak berguna di mataku! kata Tua Gila. Perlahan-lahan dia duduk kembali di bawah

pohon kelapa. Tiba-tiba dia berpaling ke kiri dan mendamprat keras, Bocah sialan! Kau berani mengintai urusan orang! Pergi! Ternyata yang dibentak dan diusirnya itu adalah anak kecil yang tempo hari ditolong oleh Wiro di tengah lautan. Si anak dengan takut segera lari meninggalkan tempat itu. Tua Gila mendongak ke langit. Saat itu sang surya telah menggelincir ke arah barat. Hem... sudah rembang petang. Tentu pasang sudah naik. Dia berpaling pada Wiro dan berdiri. Lalu katanya, Mari ikut aku ke pantai! Mula-mula Wiro merasa bimbang dan tetap berdiri di tempatnya. Tapi ketika Tua Gila membentaknya dengan mata melotot marah, maka dengan rasa ingin tahu apa yang hendak diperbuat orang tua aneh itu akhirnya Wiro mengikut juga!

***

WIRO SABLENG BANJIR DARAH DI TAMBUN TULANG

EPERTI yang dikatakan Tua Gila tadi ternyata memang kini mereka sampai di tepi pantai. Orang tua itu melangkah sepanjang tepi pasir menuju ke sebuah teluk sempit yang penuh dengan batu-batu karang serta batu-batu cadas hitam. Wiro memperhatikan bagaimana Tua Gila melangkah seenaknya di atas pasir yang basah tanpa meninggalkan sedikit jejak pun! Sebaliknya ketika dia memandang ke belakang, meski tak begitu kentara namun tetap saja matanya bisa melihat bekas-bekas telapak kedua kakinya! Bagaimana dia bisa menganggap ilmunya sudah tinggi dan sempurna? Wiro garuk-garuk kepalanya. Dalam hati dia merasa malu sendiri! Di teluk sempit itu terdapat dua buah batu karang yang menonjol tinggi. Lebih tinggi dari batu-batu di sekelilingnya. Jika pasang naik meskipun kedua batu karang itu tidak terendam air laut namun hampir setiap saat ombak yang sebesar-besar rumah menderanya dengan dahsyat! Setiap pasang naik, setiap hari, entah sudah berapa ratus tahun, entah sudah berapa juta kali ombak mendera kedua batu karang itu! Namun sampai saat itu keduanya masih tetap berdiri dengan kukuh dan megah laksana dua raksasa yang tiada terkalahkan sepanjang masa! Dengan gesit dan sambil menyanyi-menyanyi membawakan lagu tak menentu Tua Gila melompat-lompat di atas batu-batu cadas, sampai akhirnya dia berada di puncak salah satu batu karang yang tinggi itu. Dia memandang ke bawah dan berteriak pada Wiro, Kau melompatlah ke batu karang yang di sebelah sana! Kau gila! teriak Wiro. Kalau ombak dalang kau pasti dihantam dan terpelanting ke batu-batu karang yang runcing menonjol itu. Kirakira dua puluh tombak! Dan baru saja Wiro habis berteriak begitu sebuah ombak sebesar rumah bergulung dan menerpa ke arah puncak batu karang! Wiro berseru memberi ingat agar Tua Gila lekas melompat turun!

Tapi gilanya, malah Tua Gila memutar tubuh menghadapi datangnya ombak. Kedua tangannya diangkat tinggi-tinggi dan dia berjingkrakjingkrak di atas puncak karang itu seperti seorang anak yang gembira sekali di kala keluar rumah mandi hujan! Begitu ombak mendera begitu si orang tua dorongkan kedua tangannya menyongsong ke muka! Byuur! Ombak menerpa. Batu karang bergoyang keras. Tapi Tua Gila masih berdiri di atas puncak karang itu. Bajunya basah kuyup. Dan dia berteriak-teriak gembira. Ayo ombak! Ayo ombak datanglah lagi! Datanglah lagi lebih besar! Manusia aneh gila! desis Wiro, tapi diam-diam dia kagum sekali! Sedangkan batu karang itu waktu dilanda ombak kelihatan jelas bergoyang hebat! Sebaliknya seorang manusia yang berada di puncaknya tiada sanggup disapu oleh ombak! Benar-benar tak bisa dipercaya kalau dia tak menyaksikannya sendiri. Hai! Melompatlah. Kau tunggu apa lagi?! teriak Tua Gila sewaktu dilihatnya Wiro Sableng masih berdiri bengong melompong di bawah sana! Tobat! Aku masih mau hidup orang tua! sahut Wiro. Tua Gila memaki lalu gerakkan tangan kanannya. Wiro tak tahu apa yang dikerjakan orang tua itu tahu-tahu sebuah benda halus putih yang berkilauan telah melibat pinggangnya. Benang kahyangan! Belum sempat Wiro berbuat suatu apa tahu-tahu tubuhnya sudah tersentak dan melesat ke atas puncak karang yang kedua. Dengan kerahkan ilmu meringankan tubuh Wiro menjejakkan kedua kakinya di atas puncak karang yang sempit runcing, serta licin berlumut itu! Bila dia memandang ke muka, Wiro terkejut. Segulung ombak sebesar rumah menderu ke arah kedua puncak batu karang di mana dia berada bersama Tua Gila. Bagi dua tenaga dalammu ke kaki dan tangan! teriak Tua Gila. Begitu ombak datang songsong dengan pukulan kedua telapak tangan! Karena khawatir tubuhnya akan disapu dan dihempaskan ombak ke batu-batu cadas di teluk yang sempit itu, dengan sedapatdapatnya Wiro mengikuti ucapan Tua Gila! Tapi percuma saja! Begitu ombak menyapu begitu tubuhnya mencelat mental! Tobat! Tamatlah riwayatku! keluh Wiro Sableng.

Satu tombak lagi tubuhnya akan menghantam sebuah batu cadas tiba-tiba dirasakannya badannya tersentak membal dan mencelat lagi ke udara! Kiranya Tua Gila telah menyentakkan benang kahyangan yang menjerat pinggangnya. Untuk kedua kalinya Wiro berdiri lagi di puncak batu karang itu! Ayo orang gila! Jangan takut! seru Tua Gila sambil tertawa gelak-gelak. Nah ini ombak besar datang lagi! Ayo, sambutlah! Byuuur! Ombak menggulung menerpa bagian atas puncak-puncak karang. Untuk kedua kalinya tubuh Wiro Sableng mencelat mental. Seperti tadi, sebelum jatuh ke atas batu-batu cadas, kembali Tua Gila menariknya dan melemparkannya ke puncak karang! Berkali-kali hal itu terjadi hingga Wiro merasakan sekujur tubuhnya laksana tiada bertulang lagi, laksana hancur lebur dan orang tua gila itu masih juga melemparkannya ke atas batu karang setiap ombak menerjangnya jatuh! Tiada terasa senjapun datang. Senja segera pula berganti dengan malam. Entah sudah berapa puluh kali Wiro disapu ombak dan dipermainkan oleh Tua Gila. Lambat laun timbullah rasa penasaran di hati Wiro Sableng. Dengan menguatkan diri dan menabahkan hati, ketika untuk kesekian kalinya ombak datang lagi menderu maka pemuda ini coba berbuat seperti yang dilakukan Tua Gila. Sebagian tenaga dalamnya dikerahkan ke kaki, sebagian lain ke tangan. Begitu ombak datang tubuhnya dibungkukkan sedikit dan kedua telapak tangan didorongkan ke muka! Byuur! Wiro mencelat mental. Tapi kali ini tidak sejauh seperti sebelumnya. Dan bila hal itu dicobanya lagi berulang-ulang, maka menjelang tengah malam akhirnya Wiro sanggup juga beberapa kali tetap berdiri di puncak batu karang itu meskipun tubuhnya tergoyang gontai dengan hebat! Namun karena kekuatannya telah habis, akhirnya pemuda ini roboh pingsan! Dari mata, telinga, hidung dan mulut keluar darah. Ini adalah akibat tubuh lemah yang dipaksakan mengerahkan tenaga untuk melakukan pekerjaan yang tak pernah dilakukan sebelumnya! Sebaliknya Tua Gila tertawa gelak-gelak penuh gembira. Ditariknya benang sakti di tangannya. Sekali menyentakkan kemudian tubuh Wiro Sableng sudah berada di atas bahu kirinya.

Tua Gila mendongak ke langit, memandang ke arah bulan sabit. Sambil melompat turun dan tertawa-tawa dia berkata, Tidak percuma... tidak percuma Si Sinto Gendeng itu punya murid macam ini! Tidak percuma! Kalau saja Wiro Sableng tidak pingsan, kalau saja Wiro Sableng mendengar ucapan Tuan Gila itu, pastilah dia akan heran dan terkejut sekali. Karena Eyang Sinto Gendeng adalah guru Wiro Sableng yang telah menggembleng pemuda ini selama tujuh belas tahun di puncak Gunung Gede! Ternyata Tua Gila dengan mengajak Wiro Sableng ke puncak batu karang di teluk sempit itu, telah mengajarkan sebuah ilmu pukulan yang amat hebat kepada si pemuda. Wiro sendiri begitu menyadari bahwa Tua Gila memberikan pelajaran ilmu pukulan sakti kepadanya segera hendak berlutut mengucapkan terima kasih. Tapi dengan tertawa-tawa Tua Gila berkata, Meski kau kuberi pelajaran satu ilmu pukulan yang hebat, tapi jangan sangka bahwa aku telah jadi guru dan kau telah jadi murid. Antara kita tak ada hubungan apa-apa...! Terima kasih orang tua! Terima kasih! kata Wiro. Tapi mengapa kau sampai demikian bermurah hati mengajarkan ilmu pukulan itu? Tua Gila tertawa gelak-gelak. Pertama sebagai ucapan terima kasihku karena di tengah laut kau telah menyelamatkan seorang anak yang bakal menjadi muridku! Kedua karena mengingat... ah... Agaknya tak perlu kuteruskan... Wiro Sableng merasa tak enak. Karena mengingat apa, orang tua...? Sudah! Tak usah banyak tanya! kata Tua Gila tak senang. Ilmu pukulan yang telah kau pelajari itu bernama Dewa Topan Menggusur Gunung. Merupakan satu di antara tujuh pukulan hebat yang ada di dunia persilatan! Sekarang, untuk menambah bekalmu ke Tambun Tulang, aku akan ajarkan padamu beberapa jurus silat ciptaanku yang bernama Ilmu Silat Orang Gila. Sekarang kau seranglah aku selama tiga jurus. kata Tua Gila. Wiro segera menyerang orang tua itu dengan gencar! Bagaimanapun hebat dan cepat gerakannya tetap saja dia tak bisa menyentuh tubuh Tua Gila. Sebaliknya dia kena didesak dan akhirnya dipaksa makan sebuah jotosan pada dadanya! Padahal ilmu silat yang dimainkan oleh Tua Gila kelihatannya gerabak-

gerubuk tidak teratur! Tapi justru di situlah letak kehebatan ilmu silat orang gila yang diciptakan oleh Tua Gila! Dalam waktu yang singkat Wiro Sableng telah dapat meyakinkan jurus-jurus silat itu. Meskipun belum sempurna, tapi bila dia terus melatih diri, pastilah kepandaiannya akan mencapai tingkat kesempurnaan. Di pagi hari keesokannya setelah bersemedi hampir setengah malam Tua Gila memanggil Wiro Sableng. Hari ini adalah hari yang paling memuakkan bagiku untuk melihat tampangmu! kata si orang tua. Wiro terkejut. Belum sempat dia bertanya Tua Gila sudah menyambung, Karenanya hari ini pula kau harus angkat kaki! Nah berlalulah sebelum aku betul-betul muntah melihatmu! Wiro berpikir sejenak lalu dengan tertawa lebar dia duduk di hadapan Tua Gila. Dia tahu orang tua ini bersifat aneh. Karenanya meski disuruh pergi dia tak mau angkat kaki dari situ. Sebelum pergi, pertama sekali aku akan mengucapkan terima kasih sekali lagi. Terima kasih karena kau juga telah mewariskan ilmu pukulan sakti dan menurunkan ilmu silat yang hebat padaku... Lalu apa lagi? tanya Tua Gila. Ah, sudahlah! Perutku sudah mual melihatmu! Ayo berlalu cepat! Tua Gila lambaikan tangannya. Angin yang hebat mendorong Wiro hingga terjajar beberapa langkah ke pintu pondok. Aku butuh beberapa petunjuk darimu, Tua Gila. kata Wiro. Eh, petunjuk apa?! Kau sudah tahu bahwa aku akan pergi ke Tambun Tulang. Dan aku sudah berikan beberapa ilmu sebagai bekalmu. Apa itu masih belum cukup?! Maksudku bukan minta ilmu lagi, tapi beberapa keterangan. Keterangan apa?! tanya Tua Gila cepat seperti orang yang tidak sabar. Aku tak tahu banyak tentang letak dan apa artinya Tambun Tulang itu... Dan juga tidak tahu bahwa ajal mungkin menantimu di situ?! Tua Gila tertawa mengekeh. Ajal menunggu manusia di mana-mana, orang tua. sahut Wiro. Betul! Sedang tidur pun bisa mampus! Tapi mati yang paling mengenaskan dan mengecewakan ialah mati percuma dalam tak berhasil melakukan sesuatu yang kita rasakan sebagai kewajiban! Orang tua itu tertawa lagi seperti sebelumnya. Setelah memijit-mijit

kedua pipinya yang cekung, Tua Gila membuka mulut lagi, Tempat tujuanmu itu terletak di sebelah utara, kira-kira di pertengahan Pulau Andalas. Cukup jauh dari sini! Tapi kau pasti bisa sampai di situ karena bukankah kuburmu memang terletak di sana? Tua Gila tertawa kembali. Lalu meneruskan lagi, Tambun Tulang artinya Timbunan Tulang. Bukan timbunan tulang binatang tapi timbunan tulang ratusan, mungkin ribuan manusia! Demikian banyak hingga merupakan sebuah bukit yang kelihatan putih dari jauh! Bila didekati, pemandangan di sana mengerikan sekali! Bukit Tambun Tulang daerah kekuasaannya Datuk Sipatoka, seorang jago silat dan sakti mandraguna. Dia memiliki anak buah dan pembantu-pembantu yang lihay. Di samping itu memelihara puluhan harimau! Sekali kau masuk ke daerahnya itu, tipis harapan kau bakal keluar hidup-hidup, orang gila! Nah, apa bukan lebih bagus kau membatalkan saja niatmu pergi ke situ?! Wiro gelengkan kepalanya. Kau masih muda, orang gila. Mati muda mati yang sia-sia! kata Tua Gila pula. Wiro tak menghiraukan ucapan orang tua itu, malah dia bertanya, Menurutmu, apakah mungkin manusia bernama Sipatoka itu yang telah membunuh Kiai Bangkalan dan mencuri kitab Seribu Macam Ilmu Pengobatan? Dasar orang gila! Masakan hal itu kau tanyakan padaku! Aku tidak tahu dan kalaupun tahu belum tentu kuberi tahu padamu! Wiro mendumel dalam hati. Orang bernama Sipatoka itu, apakah dia termasuk tokoh silat golongan hitam? Itu urusanmu untuk menyelidikinya! jawab Tua Gila Mengenai bukit tulang manusia itu... apakah itu manusiamanusia korban keganasan Datuk Sipatoka dan orang-orangnya? tanya Wiro lagi. Tua Gila tertawa dingin. Kau akan melihat dan mengetahuinya sendiri nanti, orang gila! Kalau nasibmu baik, kau akan mati berkubur! Tapi kalau tidak, tulang-tulangmu akan turut menambah tingginya bukit Tambun Tulang itu! Nah sekarang kau tunggu apa lagi! Cepat angkat kaki! Sekali lagi Wiro Sableng ucapkan terima kasih lalu setelah menjura berulang kali pendekar ini melangkah dengan cepat ke pintu.

Orang gila! Tunggu dulu! seru Tua Gila memanggil. Wiro Sableng membalikkan badan. Sampai hari ini, sudah sejak beberapa lamakah kau turun meninggalkan puncak Gunung Gede?! Kagetlah Wiro Sableng mendengar pertanyaan orang tua itu. Bagaimana si Tua Gila tahu kalau dia berasal dari Gunung Gede?! Jawab sejujurnya orang gila! Aku tahu banyak tentang kau tapi tidak tentang orang lain itu! Orang lain siapa, Tua Gila? tanya Wiro. Gurumu si Sinto Gendeng! Lebih empat puluh tahun aku tak mendengar kabar beritanya! Keterkejutan Wiro Sableng makin bertambah-tambah. Kau... kau kenal dengan guruku?! Jawab dulu, sudah berapa lama kau turun gunung?! Wiro berpikir-pikir. Kurasa ada satu tahun. sahutnya. Ada apakah orang tua? Sejak satu tahun itu tak pernah ketemu-ketemu dengan si Sinto Gendeng?! Melihat Tua Gila menyebut nama gurunya dengan Si Sinto Gendeng nyatalah bahwa Tua Gila mempunyai hubungan akrab. Atau mungkin sebaliknya?! Tidak. Wiro menjawab pertanyaan Tua Gila tadi. Sebetulnya ada hubungan apakah kau dengan guruku, Tua Gila? Orang tua itu tertawa rawan. Dia memandang jauh-jauh ke muka seakan-akan sesuatu di masa lampau kini terbayang di ruang matanya. Tiba-tiba Wiro Sableng melihat butiran-butiran air mata menetes dan turun ke pipi cekung si orang tua. Aneh, pikir Wiro. Lalu tiba-tiba lagi sambil seka air mata itu tua Gila tertawa gelakgelak. Kadang-kadang orang yang sudah tua berlaku seperti anak kecil. Menangis macam anak kecil! Tua Gila kemudian hela nafas panjang. Sebenarnya aku dan gurumu itu adalah saudara satu guru... Tentu saja ini tak diduga sama sekali oleh Wiro Sableng! Kagetnya bukan olah-olah! Tapi begitu sadar cepat-cepat dia menjura dalam-dalam di hadapan Tua Gila. Betul-betul aku tidak menduga kalau kau adalah saudara seperguruan dari Eyang Sinto Gendeng. Ah... pantas saja kau sakti dan lihay sekali!

Kembali Tua Gila tertawa rawan. Aku lima tahun lebih tua dari dia, orang gila... Dan dia memandang lagi jauh-jauh ke muka. Gurumu itu sekarang tentu sudah tua renta, bungkuk dan buruk keriputan! Tapi dulu dia seorang dara yang cantik sekali! Dan aku yang kini begini buruk macam mayat hidup dulu pun punya tampang keren, tegap gagah! Tapi itu dulu...! Semua yang dulu-dulu itu tak bakal kembali lagi! Untuk kedua kalinya Tua Gila menghela nafas dalam. Lalu meneruskan penuturannya, Orang gila, aku naksir pada gurumu di masa kami muda-muda dulu. Dia juga senang padaku. Kami saling mencintai! Bahkan sewaktu turun gunung, guru kami merestui kalau benar-benar kami hendak bergabung dalam satu perkawinan! Tapi celakanya sesudah turun gunung aku tertipu oleh kecantikan dunia luar! Aku terjebak dan mati kutu di tangan seorang janda muda anak seorang Adipati di Plered! Aku kawin dengan janda itu dan meninggalkan gurumu! Gila! Betul-betul gila perbuatanku! Dan Tua Gila memukul-mukul keningnya sendiri! Ketika janda itu sakit dan mati, baru aku sadar! Aku cari gurumu dan bertemu. Tapi dia tak sudi lagi padaku! Sekalipun aku menangis air mata darah, dia tak bersedia menerimaku dan hidup bersama! Gurumu patah hati, orang gila! Memang aku yang salah! Gila! Aku jadi putus asa lalu bertualang dan membuat keonaran di mana-mana! Seluruh tokoh-tokoh silat di Pulau Jawa tunduk dan takut padaku! Dua puluh tahun lebih aku merajai dunia persilatan! Orang-orang menjulukiku berbagai rupa. Ada yang memberi gelar Pendekar Gila Patah Hati. Ada pula yang menjuluki Iblis Gila Pencabut Jiwa. Banyak lagi gelar-gelar yang lain, tapi persetan dengan semua gelaran itu! Di akhir hayatku ini aku memakai gelar yang kuciptakan sendiri yaitu Tua Gila! Orang tua yang gila! Kurasa itu cocok bagiku! Dan selama bertualang membuat keonaran itu tahukah kau sudah berapa manusia yang menjadi korban di tanganku? Wiro angkat bahu. Tua Gila hela nafas lagi. Tiga ratus lebih. katanya mendesis. Tiga ratus lebih nyawa manusia yang harus kupertanggungjawabkan di akhirat nanti! Betul-betul gila! Tapi semua mati dalam pertempuran yang jujur! Meski demikian kurasa itu tetap gila! Dan di hari tua ini datanglah penyesalan. Tapi apa gunanya lagi? Sudah nasib! Apakah selama bertualang itu kau tak pernah bertemu dengan

guruku? tanya Wiro ingin tahu. Pernah... memang pernah, orang gila! Waktu itu keadaan diriku menyedihkan sekali. Pakaian compang-camping penuh tambalan. Rambut gondrong, lebih gondrong darimu dan acak-acakan. Badanku kurus kering, muka tak terpelihara dan kalau aku tak salah, waktu itu aku tak pernah mandi-mandi! Dan waktu itu kami berumur kira-kira empat puluh tahunan! Rupanya gurumu kasihan juga melihat aku! Lalu dia berkata kalau aku menghentikan membuat keonaran, kembali ke jalan yang benar, maka kelak di tiga puluh tahun mendatang dia bersedia untuk kawin denganku! Gila tidak?! Di tiga puluh tahun mendatang aku dan dia sudah jadi kakek nenek tua renta keriputan! Dan kawin di umur setua macam begini, betul-betul gila dan tak pantas sekali! Atau menurutmu pantaskah orang setuaku dan setua gurumu itu melangsungkan perkawinan?! Wiro Sableng garuk-garuk kepala. Hatinya geli sekali. Aku tak tahu, Tua Gila. Kalau suka sama suka kurasa tak ada halangannya... Tua Gila tertawa gelak-gelak sampai keluar air mata. Memang tak ada halangan dan tak ada yang melarang! Tapi semua orang tentu akan menertawai dan menganggap kami berdua pada gila dan memang aku dan gurumu itu memang sudah gila! Sesudah bertemu dengan gurumu lantas aku mengundurkan diri dari dunia persilatan dan tinggal di sini selama tiga puluh tahun lebih, mendalami ilmu silat ciptaanku dan memperyakin beberapa ilmu pukulan sakti sambil berharap-harap sebelum mampus bisa mendapatkan seorang murid! Dan nyatanya harapanku terkabul! Kau orang gila telah menyelamatkan seorang anak yang telah kuambil jadi murid! Lama kedua orang itu sama berdiam diri. Kalau kelak kau mengunjungi gurumu, jangan lupa sampaikan salamku padanya. kata Tua Gila. Wiro mengangguk. Tapi kurasa lebih baik lagi bila kau sendiri yang datang menyambanginya... Ah... hatiku memang rindu! Tapi aku malu sekali! Kau tahu orang gila, rasa malu lebih kukuh dari dinding baja! Liku hidup ini banyak ragam dan keanehannya. kata Wiro. Dan Tua Gila menyambungi, Segala liku keanehan itu akan berakhir pada satu hal yakni kematian. Nah Wiro, sekarang kau pergilah! Jangan tunggu sampai aku muntah! Wiro Sableng tertawa dan berkata, Aku tetap berharap kau sudi menyambangi guruku di puncak Gunung Gede!

Paras tua itu kelihatan memerah. Tua Gila membentak, Sialan! Aku tak butuh nasihatmu! Ayo pergi! Wiro Sableng keluarkan suara bersiul. Setelah menjura cepatcepat dia tinggalkan tempat itu. Di tepi pantai pulau ditemuinya dua buah perahu lengkap dengan kayu pendayungnya. Tanpa pikir panjang Wiro masuk ke dalam salah satu perahu itu dan mulai mendayung menuju ke utara!

***

WIRO SABLENG BANJIR DARAH DI TAMBUN TULANG

I TENGAH pasar yang ramai itu kelihatanlah banyak orang berkerumun dalam bentuk lingkaran. Dalam lingkaran berdiri dua orang, yang pertama seorang laki-laki separuh baya berpakaian dan berdestar hitam. Tampangnya gagah dan senyum senantiasa terbayang di bibirnya. Orang kedua seorang dara yang juga berbaju dan berikat kepala hitam. Kulitnya putih rambutnya menjulai panjang di punggung dan parasnya jelita. Seperti laki-laki tadi, di bibirnya yang segar juga selalu mengulum senyum yang diberikan pada orang ramai di sekelilingnya. Laki-laki berpakaian hitam melangkah ke tengah lingkaran, memandang berkeliling lalu menjura ke segala penjuru. Suaranya keras dan enak didengar ketika dia bicara. Saudara-saudara sekalian! Banyak terima kasih saudarasaudara sudah sudi berkumpul di sini. Kita bukanlah orang-orang yang baru berjumpa kali ini. Sudah seringkali aku dan anakku berkunjung ke pasar ini sekedar memberi hiburan tak berguna untuk mencari uang. Hari ini kita berjumpa lagi. Kuharap saja saudarasaudara tidak bosan melihat pertunjukan kami! Juga tidak keberatan bermurah hati memberi beberapa ketip sebagai sumbangan. Kami ayah dan anak mengucapkan terima kasih... Sampai di situ ucapan laki-laki ini terhenti sejenak. Yang menghentikannya ialah karena dua buah matanya melihat kedatangan seorang penunggang kuda bertubuh tegap, berkumis melintang, berpakaian dan berikat kepala serba hitam. Di bagian dada pakaiannya kelihatan lukisan kepala harimau berwarna kuning! Penunggang kuda itu berhenti dan ikut bergerombol di belakang orang banyak. Laki-laki separuh baya yang ada di tengah lingkaran merasa tak enak. Demikian juga anaknya kelihatan berubah air mukanya sewaktu melihat kemunculan si penunggang kuda berkumis melintang. Sedang orang banyak yang berjubalan, begitu mengetahui

kedatangan penunggang kuda ini segera bersibak menjauh dengan muka yang membayangkan ketakutan. Banyak di antara mereka yang tak punya minat lagi untuk meneruskan melihat pertunjukan kedua beranak itu dan berlalu dengan cepat! Laki-laki separuh baya meskipun dengan hati tidak enak kembali meneruskan ucapannya. Saudara-saudara sekalian. Maksud kami melakukan pertunjukan ini bukan untuk memamerkan ilmu kepandaian kami yang tak seberapa tapi semata-mata hanyalah untuk mencari uang guna membeli sesuap nasi. Kami tahu pula, di antara saudarasaudara yang hadir di sini tentu ada yang memiliki kepandaian dan kesaktian yang jauh lebih tinggi, karenanya kami minta maaf terlebih dahulu dan sudilah untuk tidak berlaku keras terhadap kami dan menahan pertunjukan kami nanti. Sekali lagi maaf. Sekarang kami akan mulai... Laki-laki itu mencabut sebilah keris dari pinggangnya. Senjata itu dibawanya berkeliling, diperlihatkannya dekat-dekat pada penonton. Lalu diambilnya sepotong kayu jati dan kayu itu ditusuknya dengan keris! Kayu itupun berlubanglah! Ini untuk menunjukkan bahwa keris itu betul-betul senjata tajam bukan keris palsu yang terbuat dari kayu atau kertas tebal! Kemudian laki-laki ini menganggukkan kepalanya pada si dara jelita. Anak gadis itu mengambil sebuah gendang dan mulai memukulnya. Ayahnya membuka baju. Kelihatanlah dadanya yang bidang dan berbulu. Kemudian mengikuti irama pukulan gendang, laki-laki ini menari sambil menghunjam-hunjamkan keris di tangan kanannya ke dada! Jelas sekali kelihatan ujung senjata itu menusuk kulit daging tubuhnya, namun kulit itu jangankan luka, tergores pun tidak! Semakin cepat irama pukulan gendang semakin cepat tarian yang dimainkannya dan semakin gencar pula tusukan-tusukan ujung keris ke dadanya! Lewat sepeminum teh maka irama gendang kembali perlahan dan akhirnya berhenti. Laki-laki itu hentikan pula permainannya lalu menjura kepada orang banyak yang disambut dengan tepuk sorak yang riuh! Saudara-saudara sekalian, pertunjukan berikutnya dilakukan oleh seorang yang bukan lain adalah anak saya sendiri. Sementara itu ayahnya mengeluarkan sebatang golok tajam putih berkilat ditimpa sinar matahari. Untuk membuktikan bahwa benda itu

sebenarnya golok maka diambilnya kayu jati tadi lalu dibacoknya. Kayu jati terbelah dua! Gendang mulai dipalu. Dengan langkah ringan si dara baju hitam menuju tengah lingkaran. Dia tersenyum berkeliling lalu mulai menari mengikuti irama gendang. Tariannya bagus sekali dan lemah gemulai membuat, semua orang terpesona. Ketika ayah sang dara melangkah mendekati anaknya dengan golok terhunus semua orang merasa ngeri meskipun pertunjukkan demikian sudah sering mereka saksikan. Laki-laki itu mulai pula menari mengelilingi anaknya. Kemudian wuut, goloknya dibacokkan ke punggung si gadis. Terdengar suara buuk! Gadis itu tersenyum! Aneh! Hantaman mata golok yang tajam bukan saja tidak melukai punggung sang dara tapi bahkan juga tidak merobek pakaiannya! Dan dengan senyum simpul si gadis terus menari seakan-akan tak ada terjadi apa-apa sementara golok menderu bertubi-tubi membacok bagian atas tubuhnya dan suara Buuk... buuk... buuk, terdengar tak kunjung henti! Kengerian orang banyak berubah menjadi tepuk sorak kagum! Lewat sepeminum teh pula maka pertunjukan yang kedua itupun berakhirlah! Orang banyak bertepuk riuh dan bersorak gembira. Beberapa di antara mereka ada yang melemparkan uang logam ke tengah lingkaran yang segera dikumpulkan oleh anak laki-laki lalu dimasukkan ke dalam kotak. Sekarang pertunjukan yang ketiga, saudara-saudara. kata lakilaki berpakaian hitam. Dia melirik sekilas pada penunggang kuda berkumis melintang yang sampai saat itu masih berada di situ dan menyaksikan pertunjukan. Saudara-saudara sekalian, kata laki-laki itu selanjutnya, saudara lihat kuali besar di belakang itu? Kuali itu berisi air yang dijerang hingga mendidih! Saudara-saudara akan melihat bagaimana saya akan masuk ke dalamnya dan mandi! Lalu laki-laki itu melangkah mendekati sebuah kuali yang besar sekali. Bagian bawah kuali yang ditopang oleh tiga buah batu besar itu berkobar api besar. Air yang ada di dalam kuali berbunyi mendidih dan mengepulkan asap panas. Tapi, berkata laki-laki tadi seraya palingkan muka ke segala penjuru, mungkin saudara-saudara mengira air yang mendidih dan api yang berkobar ini hanyalah tipuan belaka! Aku akan buktikan bahwa aku Pagar Alam bukanlah seorang penipu! Dari dalam sebuah kotak, laki-laki yang mengaku bernama Pagar

Alam itu mengeluarkan seekor tikus. Tikus itu kemudian dimasukkannya ke dalam api! Binatang itu mencicit dan meregang nyawa di situ juga. Bau dagingnya yang terbakar meranggas hidung! Pagar Alam mengeluarkan seekor tikus lagi lalu dicemplungkannya ke dalam air yang mendidih. Tikus itu mencicit sebentar dan menggelepar-gelepar lalu mati matang! Setelah mengeluarkan tikus itu dari dalam kuali Pagar Alam berkata, Sekarang saudara-saudara saksikan sendiri bahwa aku tidak menipu kalian! Nah, aku akan masuk ke dalam kuali ini! Semua penonton menahan nafas penuh tegang sebaliknya di sudut bibir penunggang kuda berkumis melintang tersungging senyum penuh arti! Pagar Alam mencelupkan kaki kanannya ke dalam air mendidih di kuali. Lalu kaki kirinya. Dan kini dia berdiri di atas kuali berair mendidih yang di bawahnya berkobar api besar! Hebat dan aneh, kakinya tidak melepuh, seakan-akan air di dalam kuali itu adalah air dingin biasa! Bahkan laki-laki ini memutar tubuhnya berkeliling sambil tersenyum! Orang banyak bertepuk riuh rendah! Saudara-saudara, sekarang aku akan duduk dalam kuali ini dan akan mandi! Sudah lama badan buruk ini tak pernah mandi-mandi. Daki telah tebal di sekujur tubuhku! Semua orang tertawa gelak-gelak. Mata masing-masing dibentangkan lebih lebar. Kemudian Pagar Alam membungkuk, siap untuk duduk di dasar kuali. Tapi baru saja dia bergerak sedikit tiba-tiba laki-laki ini menjerit keras dan melompat keluar dari kuali. Tubuhnya terguling di tanah. Kedua kakinya sebatas lutut kelihatan putih matang laksana daging direbus! Semua orang menjerit dan terbeliak kaget! Anak gadis Pagar Alam memburu dengan cepat. Dari balik baju hitamnya dikeluarkannya sejenis bubuk lalu ditebarkannya di kedua kaki ayahnya yang merintih kesakitan di tanah! Rupanya seseorang berilmu lebih tinggi diam-diam telah menahan dan memunah ilmu yang dimiliki Pagar Alam dan akibatnya kedua kaki itu terebus matang! Setelah mengobati kaki ayahnya, sang dara berdiri dan memandang beringas ke segala penjuru. Saudara-saudara, siapakah di antara kalian yang begitu tega mencelakai ayahku? Ayah tiada punya permusuhan dengan siapapun di sini. Pertunjukan ini bukan untuk jual lagak atau memamerkan

kepandaian, tapi hanyalah untuk mencari makan! Sungguh keterlaluan kalau ada yang demikian jahatnya mencelakai ayahku! Sekali lagi gadis itu memandang beringas berkeliling. Sepasang matanya beradu pandang dengan penunggang kuda berkumis melintang! Hatinya berdetak! Kemudian dengan suara lantang sambil memandang berkeliling gadis ini berteriak keras, Siapa yang telah mencelakai ayah silahkan maju ke hadapanku! Siapapun dia adanya aku tidak takut! Aku Mayang akan mengadu jiwa padanya! Orang banyak memandang pula berkeliling. Dan rata-rata pandangan mereka tertuju pada satu sasaran yaitu laki-laki berpakaian hitam yang duduk di atas punggung kuda! Bangsat yang telah mencelakai ayahku tapi tak berani unjuk muka adalah pengecut terkutuk! teriak Mayang lantang! Sementara itu dengan merintih kesakitan Pagar Alam coba duduk dan bersandar ke sebuah peti. Sepasang matanya menyorot penuh amarah, memandang berkeliling. Bila matanya itu menyapu paras laki-laki yang duduk di atas kuda maka Pagar Alam pun membuka mulut dengan suara bergetar, Gempar Bumi, kaukah yang melakukan kejahatan ini?! Si penunggang kuda tertawa bergumam. Sekali dia gerakkan badan maka tubuhnya ringan sekali melesat dan tahu-tahu sudah berdiri di hadapan Pagar Alam yang duduk di tanah bersandar ke peti! Dengan bertolak pinggang laki-laki bernama Gempar Bumi ini berkata, Sudah berulang kali kuperingatkan bahwa kau tidak boleh mengadakan pertunjukan dan minta sumbangan rakyat dengan seenaknya! Tapi itu tidak kau pedulikan! Dan pajak yang musti kau berikan pada atasanku penguasa negeri ini tak pernah kau serahkan! Penghasilan kami tak ada artinya! teriak Mayang. Dan pajak yang kau minta melewati batas besarnya! Lagi pula hak apakah atasanmu memungut pajak dari kami? Semua rakyat bebas mencari penghasilan. Rakyat tidak merasa atasanmu itu sebagai pemimpin dan penguasa negeri ini! Aha... Mayang. Cakapmu terlalu berani. Kalau Datuk mendengarnya pasti kau akan celaka! Mayang meludah ke tanah. Aku tidak takut pada Datukmu itu! Gempar Bumi menyeringai dan puntir-puntir kumisnya. Aku tahu Gempar Bumi! tiba-tiba Pagar Alam berkata. Kau

mencelakai diriku bukan karena soal pajak ataupun soal yang lain! Tapi karena aku dan anakku telah menolak lamaranmu dua minggu yang lalu! Gempar Bumi tertawa dingin. Di negeri ini rupanya mulai ada keledai-keledai tolol yang hendak coba-coba menentang kekuasaan Datuk dan pembantu-pembantunya! Dan ketika dia diberi hajaran baru menyesal! Aku tidak menyesal telah menolak lamaran manusia macammu! sentak Pagar Alam. Kalau saja dia bisa berdiri mungkin sudah diserangnya laki-laki itu! Gempar Bumi memandang berkeliling dan berkata dengan suara nyaring. Siapa-siapa yang coba menantang kekuasaan Datuk dan menghina pembantu-pembantunya sama saja dengan mencari mati! Bangsat terkutuk! damprat Mayang. Aku lebih baik mampus daripada jadi istrimu. Aku lebih baik mati berkalang tanah daripada tunduk kepada Datuk keparatmu! Habis berteriak begitu anak gadis Pagar Alam ini menyambar sebilah golok dan menyerang Gempar Bumi!

***

WIRO SABLENG BANJIR DARAH DI TAMBUN TULANG

UASANA di pasar itu pun hebohlah! Golok di tangan Mayang berkiblat kian kemari dengan suara menderu. Dalam tempo yang singkat kelihatanlah bagaimana Gempar Bumi terbungkus sambaran golok yang menyerangnya ke seluruh bagian tubuh! Gempar Bumi sendiri tiada menyangka kalau si gadis memiliki kehebatan begitu rupa. Tapi dia tidak jerih. Dengan senyum mengejek Gempar Bumi menghadapi si gadis dengan tangan kosong dan buka jurus pertahanan. Senjata lawan lewat di depan pinggangnya. Jurus pertahanan diganti kini dengan jurus serangan. Tangan kanan dengan cepat menyelusup ke dada Mayang, siap untuk menjamah buah dadanya yang padat montok! Wuuut! Tersirap darah Gempar Bumi sewaktu golok di tangan sang dara membalik laksana kilat! Kalau saja dia tidak cepat-cepat menarik pulang tangannya, pastilah akan terbabat putus! Mayang sendiri dengan gigih terus menyerbu. Sambaransambaran goloknya laksana hujan mencurah! Gempar Alam tidak mau main-main lagi. Hatinya heran dari mana si gadis memiliki ilmu kepandaian begini rupa! Jika ditinjau jelas sekali ilmu silatnya lebih tinggi satu dua tingkat dari ayahnya sendiri! Tentu dia telah berguru pada seorang jago silat, pikir Gempar Bumi. Dalam waktu singkat sepuluh jurus telah berlalu dan Gempar Bumi masih berada di bawah angin. Laki-laki ini mengomel dalam hati. Dia membentak keras dan sekejap saja berubahlah jurus-jurus ilmu silatnya. Tubuhnya berkelebat kian kemari membuat bayangbayang hitam. Satu jurus kemudian terdengar pekik Mayang. Lengan kanannya kena dipukul oleh lawan. Golok terlepas mental dan di saat itu pula, dara ini merasakan tubuhnya kaku tegang tak kuasa digerakkan. Ternyata sewaktu memukul lengan kanan lawan, sekaligus Gempar Bumi menotok dada Mayang dengan jari-jari tangan kirinya!

Manusia haram jadah! Beranimu hanya sama perempuan! bentak Pagar Alam yang tergeletak duduk di tanah bersandar ke peti. Gempar Bumi tertawa mengekeh! Anakmu hebat juga, Pagar Alam! Walau kau menolak lamaranku tempo hari, tapi saat ini terpaksa kau harus menyerahkan Mayang bulat-bulat ke tanganku! Laki-laki berpakaian hitam ini tertawa lagi. Keparat! Kau mau bikin apa?! hardik Pagar Alam seraya hendak berdiri. Tapi tubuhnya terduduk kembali. Sepasang kakinya yang terebus matang tak kuasa untuk ditegakkan! Darah laki-laki ini bergejolak marah. Pelipisnya mengembung! Bikin apa lagi kalau bukan mau membawanya ke tempatku! jawab Gempar Bumi seraya melangkah ke arah Mayang. Anjing baju hitam! Kalau kau berani menjamah tubuhnya kupecahkan kepalamu! Gempar Bumi menyeringai! Berdiripun kau tak mampu! Bagaimana mau membunuh aku?! Dan dia melangkah lagi mendekati Mayang. Tapi begitu tangannya diulurkan untuk meraih pinggang sang dara tiba-tiba, buuk! Punggungnya dihantam orang dari belakang yang kerasnya cukup membuat Gempar Bumi mengerenyitkan kulit kening kesakitan! Dia berpaling dengan cepat dan berkeretekanlah geraham-gerahamnya! Ternyata yang meninju punggungnya tadi bukan lain anak laki-laki kecil adik Mayang! Buyung! Berlalulah dari hadapanku kalau tak ingin kena tempelak! bentak Gempar Bumi. Orang jahat! Kalau kau berani membawa lari kakakku, aku akan... Akan apa?! tanya Gempar Bumi seraya bertolak pinggang. Si anak menjawab dengan menyerang marah. Tinjunya yang kecil tapi cukup keras dihantamkan ke perut Gempar Bumi. Tapi tentu saja Gempar Bumi bukan tandingan si buyung kecil ini. Ditangkapnya lengan anak itu lalu dipuntirnya ke belakang hingga si anak menjeritjerit kesakitan dan coba menendang paha Gempar Bumi dengan tumitnya! Gempar Bumi mendorongnya ke muka hingga hampir saja dia jatuh menyungkur tanah! Tiba-tiba si anak melihat golok yang dipakai kakaknya untuk menyerang Gempar Bumi. Dengan cepat dia membungkuk dan mengambil senjata itu lalu membalik menyerang Gempar Bumi kembali!

Tikus cilik tak tahu diuntung! maki Gempar Bumi dan sebelum senjata itu sampai ke dekat tubuhnya, tangan kanannya sudah bergerak. Plaak! Si anak terpekik. Bibirnya pecah dan berdarah. Dua buah giginya mencelat mental. Tubuhnya terpelanting satu tombak dan menggelusur di tanah tanpa sadarkan diri! Bangsat rendah! Terima ini! teriak Pagar Alam dengan amarah mendidih. Dijangkaunya keris yang terletak di atas peti lalu dilemparkannya ke arah Gempar Bumi. Senjata itu melesat mencari sasaran di batang leher Gempar Bumi! Yang diserang ganda tertawa. Setengah jengkal lagi ujung keris akan menembus tenggorokannya, laki-laki ini gerakkan tangan kanannya! Dan sesaat kemudian kelihatanlah bagaimana dengan mudahnya senjata itu dijepit di antara jari tengah dan jari telunjuk! Itulah ilmu menjepit senjata yang lihay! Semua orang yang menyaksikan hal ini sama leletkan lidah kagum, tapi bila mereka ingat siapa Gempar Bumi adanya, maka kekaguman itu mendadak sontak berubah menjadi kebencian! Gempar Bumi timang-timang beberapa kali keris itu. Tiba-tiba tangannya itu digerakkan dan, cup! Senjata itu menancap di peti di mana Pagar Alam duduk bersandar, hanya setengah senti dari telinga kirinya! Gempar Bumi tertawa gelak-gelak! Jika tidak mengingat kau bapaknya Mayang pasti sudah kutembus keningmu dengan senjata itu! katanya. Lalu dia menambahkan, Tapi di lain hari jika kau masih tidak tahu tingginya Gunung Merapi dan dalamnya Ngarai Sianok, aku tak akan ampuni jiwamu! Habis berkata demikian Gempar Bumi melompat ke hadapan Mayang. Dan kini tak satu orang pun yang bisa atau berani menolong gadis yang hendak dilarikan itu! Tangan kanan bergerak meraih pinggang Mayang dengan ketat! Tapi mendadak raihan itu terlepas kembali. Dari balik gerombol orang banyak di tepi jalan melesat sebuah benda kecil menghantam sambungan siku Gempar Bumi. Kulit di lengan siku itu lecet. Sekujur lengan kanan Gempar Bumi tergetar dan rasa sakit membuat dia

melepaskan raihannya! Tak seorangpun agaknya yang mengetahui kejadian itu selain Gempar Bumi sendiri! Laki-laki ini memandang berkeliling dengan geram, mencari-cari siapakah manusia yang telah melemparkan benda itu! Tapi siapa yang hendak diduga di antara orang sebanyak itu?! Dan ketika ditelitinya ternyata benda kecil yang dipakai untuk menghantam tangannya itu adalah hanya sebutir kerikil yang besarnya tak sampai seujung jari kelingking! Nyatalah ada seorang pandai yang telah turun tangan. Sementara itu semua orang termasuk Pagar Alam dan Mayang sendiri merasa heran kenapa Gempar Bumi tak jadi meneruskan niatnya melarikan dara itu! Gempar bumi berdiri bimbang seketika. Tiba-tiba laksana kilat tubuh Mayang sudah disambarnya dan dengan cepat membawa gadis itu ke atas kuda! Dengan tangan kiri Gempar Bumi menepuk pinggul binatang itu. Rasanya sekali tepuk saja kuda itu akan segera melompat dan lari! Tapi kali ini kuda itu jangankan melompat dan lari, bergerak pun tidak! Gempar Bumi menepuk sekali lagi lebih keras. Ayo! Larilah! Tapi binatang itu tetap berdiri di tempatnya. Keempat kakinya tak bergeser sedikitpun! Hanya kepala dan lehernya saja yang digerakgerakkan. Kemudian binatang ini meringkik beberapa kali! Ayo lari! bentak Gempar Bumi. Tetap saja kuda itu tegak di tempatnya! Di samping rasa heran dan penasaran kekejutan juga timbul di hati Gempar Bumi. Ketika diperiksanya dengan cepat ternyata keempat kaki kudanya telah ditotok! Dan empat butir kerikil kelihatan tak jauh dari kaki-kaki binatang ini! Tanpa tunggu lebih lama Gempar Bumi melompat dari punggung kuda terus lari. Namun sekali inipun dia tak mampu lari jauh karena sebutir kerikil lagi menyelusup menembus kaki pakaiannya terus menghantam belakang lutut kaki kanannya! Dengan serta-merta kaki kanan itu kesemutan dan lemas sukar digerakkan! Gempar Bumi yang tahu gelagat bahwa dia benar-benar berhadapan dengan seorang lihay yang tersembunyi di antara manusia banyak di tengah pasar itu perlahan-lahan turunkan tubuh Mayang. Orang ramai masih tak tahu apa yang telah terjadi. Sementara itu sepasang mata Mayang memandang ke tanah. Dilihatnya sebutir kerikil dekat kaki kanan Gempar Bumi. Gadis bermata tajam dan memiliki ilmu yang cukup tinggi ini untuk pertama kalinya mengetahui apa yang sebenarnya telah terjadi. Dan bila dia

memandang paras laki-laki itu sangat berubah! Gempar Bumi menyadari kalau diteruskannya niat untuk melarikan Mayang, pasti orang pandai yang tersembunyi di antara manusia banyak di pasar itu akan turun tangan dan lebih mencelakainya lagi! Lemparan-lemparan batu kerikil tadi bukan lain merupakan peringatan keras terhadapnya! Perlahan-lahan Gempar Bumi berpaling pada Pagar Alam dan berkata dengan suara lantang, Pagar Alam, biarlah hari ini aku berlaku baik hati padamu! Anakmu kubebaskan! Tapi ingat, aku akan datang kembali untuk mengambilnya! Gempar Bumi lepaskan totokan pada keempat kaki kudanya lalu naik ke punggung binatang itu. Sebelum berlalu dilepaskannya totokan di dada Mayang kemudian cepat-cepat menghilang dari tempat itu. *** Di jalan yang buruk penuh dengan lobang-lobang demikian rupa bendi itu tak dapat berjalan cepat. Apalagi barang-barang. Ketiga penumpang itu bukan lain daripada Pagar Alam, Mayang dan adik gadis ini. Mereka dalam perjalanan pulang. Karena nasib buruk yang menimpa Pagar Alam, orang-orang di pasar telah bermurah hati memberi sumbangan uang lebih banyak kepadanya hingga pendapatannya hari itu tiga kali lipat lebih besar dari biasanya! Namun uang yang sedemikian banyak tidak menggembirakan hati Pagar Alam. Pikirannya risau bila dia ingat si Gempar Bumi keparat itu. Cepat atau lambat pasti dia akan datang kembali untuk mengambil Mayang dengan paksa lalu melarikannya! Dimakluminya bahwa Gempar Bumi bukan tandingannya, juga bukan lawan anaknya. Sekalipun mereka mengeroyok laki-kaki itu, tetap saja mereka tak akan mampu mengalahkannya! Ini hal pertama yang merisaukan hati Pagar Alam. Hal kedua ialah keadaan kakinya itu. Meski sudah diobati oleh anak gadisnya tapi dalam seminggu dua minggu pasti tak akan sembuh! Sementara itu bendi yang mereka tumpangi berjalan juga menempuh jalan buruk dan sunyi. Kedua tepi jalan ditumbuhi semak belukar lebat dan di belakang semak belukar itu berderetan pohon-pohon besar tinggi. Bendi bergerak terus dan mereka bicara-bicara juga. Kusir bendi sudah sejak lama tak mencampuri lagi pembicaraan kedua beranak itu. Tali kekang kuda dipegangnya dengan terkantuk-kantuk.

Hembusan angin yang sejuk di tengah hari itu memang menimbulkan rasa kantuk. Tiba-tiba Pagar Alam dan Mayang hentikan pembicaraan mereka. Di kejauhan terdengar derap kaki kuda, makin lama makin keras. Dari balik tikungan di hadapan mereka muncul seorang penunggang kuda berpakaian serba hitam. Pada bagian dada bajunya terpampang lukisan kepala harimau berwarna kuning. Ketika penunggang kuda itu tambah dekat, berubahlah paras seisi bendi itu! Pagar Alam meraba hulu keris yang tersisip di pinggangnya. Mayang mengeluarkan golok dari dalam peti sedang kusir bendi bersiap-siap dengan sebatang besi yang tergeletak di lantai bendi dekat kakinya! Si penunggang kuda bukan lain dari Gempar Bumi adanya! Gempar Bumi hentikan kudanya. Kusir bendi pun telah pula menghentikan kendaraannya. Sekarang kuharap kau tak usah banyak rewel, Pagar Alam! kata Gempar Bumi dengan nada keren. Anakmu akan kuambil! Kau manusia yang paling tidak bermalu di dunia ini, Gempar Bumi! Pinanganmu ditolak! Aku kau celakai dan kini kembali kau memaksa untuk melarikan anakku! Gempar Bumi tertawa sinis. Mulutmu masih tetap besar! Aku hargai nyalimu! Tapi agar tidak lebih celaka, kuharap kau serahkan anakmu secara baik-baik! Kalau tidak terpaksa aku memberi hajaran yang lebih keras padamu! Kau boleh bawa anakku, Gempar Bumi. desis Pagar Alam. Tapi... langkahi dulu mayatku! Dan Pagar Alam menghunus kerisnya! Gempar Bumi tertawa bergelak dan menyentakkan tali kekang kudanya. Sesaat kemudian kuda dan bendipun telah bersisi-sisian. Turun dari bendi itu, Mayang! perintah Gempar Bumi. Pagar Alam beringsut ke samping kereta sebelah kanan. Dalam jarak yang cukup dekat itu tanpa banyak bicara lagi keris di tangan kanannya dihunjamkan cepat-cepat ke muka Gempar Bumi! Manusia tolol! maki Gempar Bumi. Sekali dia gerakkan tangan kanan memukul lengan Pagar Alam, mentallah keris laki-laki itu sedang lengan yang kena dipukul kelihatan bengkak matang biru! Pagar Alam merintih kesakitan. Dalam pada itu dari samping menderu satu sambaran golok ke arah batok kepala Gempar Bumi. Ternyata Mayang telah

melancarkan serangan yang pertama sambil melompat dari bendi. Adiknya juga tak tinggal diam. Dengan sebatang kayu anak laki-laki ini mengemplang ke arah bahu kanan Gempar Bumi sementara Pagar Alam mengambil sebuah lembing dari dalam peti. Si Malin, kusir bendi meski tak ada sangkut paut dalam urusan itu, tapi memang sudah sejak lama membenci terhadap Gempar Bumi tak ayal lagi segera mengambil batang besi dari lantai bendi dan menyerang Gempar Bumi dari belakang! Diserang begitu rupa Gempar Bumi marah bukan main! Dia berteriak, Jangan menyesal kalau kalian kuhajar babak belur! Lalu dia melompat dengan cepat dan gerakkan kedua tangannya. Dua orang terpekik! Yang pertama anak laki-laki Pagar Alam. Kayu di tangan anak itu mental. Tangannya yang kecil laksana tanggal dari persendiannya. Tubuhnya mencelat dan terguling di tanah, kepalanya terbentur roda kereta terus pingsan! Orang kedua yang terpekik ialah Malin si kusir bendi. Gempar Bumi yang merasakan sambaran angin di belakangnya sudah maklum kalau dia mendapat serangan dari arah itu. Karenanya begitu melompat dari punggung kuda Gempar Bumi laksana kilat hantamkan sikut kanannya ke belakang! Kraak! Suara kraak itu hampir tak kedengaran karena pekik setinggi langit yang keluar dari tenggorokan Malin! Tulang iganya sebelah kanan patah dua buah. Tubuhnya mental sampai satu tombak. Begitu jatuh dia sudah tak sadarkan diri lagi! Pertempuran kini berjalan jauh dari kereta. Meskipun Pagar Alam memegang sebuah lembing namun dia tak bisa berbuat suatu apa karena dia tak bisa berdiri apalagi berjalan dan turun dari kereta. Otomatis pertempuran itu kini hanya berjalan satu lawan satu yaitu Gempar Bumi menghadapi Mayang. Tingkat kepandaian Mayang jauh lebih rendah dari lawannya. Maka dalam setengah jurus saja gadis berparas jelita yang telah membuat Gempar Bumi tergila-gila itu terdesak hebat. Gadis cantik! kata Gempar Bumi dengan senyum mengejek. Kalau saja kau serahkan dirimu secara baik-baik, pastilah... Wuuut! Gempar Bumi tak bisa melanjutkan ucapannya. Sebuah benda panjang berdesing ke arahnya. Ternyata lembing yang dilemparkan dengan sebat oleh Pagar Alam dari atas bendi! Gempar Bumi rundukkan kepala. Lembing itu lewat di alas kepalanya. Pada saat

yang sama kaki kanan Mayang menderu ke arah dadanya. Mayang! Terpaksa kuakhiri segala kehebatannya ini! kata Gempar Bumi. Ditangkapnya kaki kanan dara itu. Dengan kalap Mayang membacok ke bawah. Gempar Bumi angkat kaki sang dara. Akibatnya Mayang terpaksa tarik pulang bacokan goloknya karena kalau diteruskan pasti akan membabat kaki kanannya sendiri! Begitu serangan ditarik, begitu Gempar Bumi gerakkan tangan kiri. Maka terampaslah golok di tangan Mayang. Gempar Bumi lepaskan kaki kanan lawan. Dengan tangan itu dia segera hendak menotok tubuh Mayang. Tapi secepat kilat si gadis jatuhkan diri di tanah lalu berguling. Ketika bangun lagi di tangannya sudah tergenggam lembing yang tadi dilemparkan ayahnya! Batang lehermu dulu kutambus baru aku larikan diri! jawab Mayang lalu kirimkan satu tusukan kilat ke leher lawannya! Gempar Bumi bergerak untuk merampas senjata itu tapi tusukan lembing kini berubah menjadi satu kemplangan yang ganas ke arah batok kepalanya! Penasaran Gempar Bumi sambut hantaman lembing dengan pukulan lengan kiri. Lembing patah dua! Bagian yang runcing mental ke udara sedang yang lainnya masih tergenggam di tangan Mayang dan dengan patahan lembing itu si gadis bertahan mati-matian. Tapi sampai beberapa lamakah dia dapat mempertahankan diri?!

***

WIRO SABLENG BANJIR DARAH DI TAMBUN TULANG

IRO Sableng Si Pendekar 212 murid Eyang Sinto Gendeng dari puncak Gunung Gede tengah menempuh rimba belantara, mengambil jalan memotong agar lebih lekas sampai di tempat tujuan yaitu antara Gunung Merapi dan Gunung Singgalang. Lapat-lapat didengarnya suara orang membentak beberapa kali yang diselingi suara seseorang yang tertawa gelakgelak. Wiro yang sudah banyak pengalaman segera mengetahui bahwa biasanya bentakan-bentakan itu keluar dari mulut seseorang yang marah dan geram. Sebaliknya tertawa mengekeh keluar dari mulut orang yang mengejek kemarahan dan kegeraman orang pertama tadi. Dan suasana seperti itu hanya ditemui dalam satu perselisihan yang kemudiannya akan berkelanjutan dengan perkelahian atau pertempuran! Karena pohon-pohon sangat rapat, semak belukar sangat lebat, agak sukar bagi Wiro untuk bergerak. Dalam pada itu didengarnya dua jeritan sekaligus! Wiro mempercepat langkahnya dan tak perduli lagi pakaiannya yang cabik robek dikait ranting semak belukar! Dia yakin bahwa di tempat yang hendak didatanginya itu telah terjadi perkelahian. Yang mengherankannya ialah karena satu dari dua jeritan itu kedengarannya seperti jeritan anak kecil! Ketika dia sampai di satu tepi jalan kecil yang sangat buruk terkejutlah pendekar ini menyaksikan pemandangan yang terbentang di depan matanya. Adalah tidak dinyananya kalau yang bertempur adalah seorang laki-laki tegap melawan seorang dara jelita. Keduanya sama berpakaian hitam cuma pada bagian dada baju lakilaki terpampang gambar kepala harimau warna kuning! Yang lebih mengejutkan Wiro Sableng ialah karena laki-laki itu bukan lain manusia berkumis melintang yang tadi di pasar hendak melarikan gadis itu. Dan si gadis sendiri adalah orang yang telah ditolongnya secara diam-diam ketika mau dilarikan! Rupanya si kumis melintang yang bernama Gempar Bumi itu sudah nekad untuk membawa lari si

jelita hingga dalam perjalanan pulang, si gadis telah dihadang! Di tengah jalan kecil berhenti sebuah bendi. Seorang anak kecil menggeletak dekat roda bendi. Kemudian seorang lainnya tak berapa jauh dari situ, agaknya dia adalah kusir bendi. Dan di atas bendi tampak duduk laki-laki bernama Pagar Alam. Mukanya pucat dan cemas sekali! Betapakan tidak, anak gadisnya tengah bertempur mati-matian mempertahankan diri dari tangan laki-laki yang hendak melarikannya, sedang dia sendiri tak dapat berbuat suatu apa! Di atas bendi tak ada lagi benda-benda yang bisa dijadikan senjata untuk dilemparkan kepada Gempar Bumi. Dalam kecemasan yang memuncak melihat anaknya terdesak hebat itu dan tak ada harapan lagi untuk menyelamatkan diri maka tiba-tiba dia melihat sesosok tubuh menyeruak dari semak-semak. Ternyata yang muncul adalah seorang pemuda bertubuh tegap, bertampang seperti anak-anak dan berambut gondrong! Hentikan pertempuran! teriak Wiro Sableng. Suara teriakannya yang menggeledek mengiang anak telinga mengejutkan orang-orang yang ada di situ, terutama mereka yang sedang bertempur! Pagar Alam merasakan dadanya bergetar karena kerasnya teriakan itu. Kalau tidak memiliki ilmu kepandaian tinggi pasti hal itu tak mungkin terjadi, pikir Pagar Alam seraya menenangkan dirinya kembali. Kemunculan pemuda ini memberikan sekelumit harapan padanya. Tapi apakah pemuda ini bukan seorang bangsa jahat terkutuk pula? Melihat kepada potongan pakaian dan ciri-cirinya nyata sekali dia bukan penduduk setempat! Akan Gempar Bumi begitu mendengar bentakan yang menggeledek tadi dengan cepat melompat mundur. Padahal saat itu dia sudah hampir dapat meringkus Mayang. Ketika dia berpaling di depan semak belukar dilihatnya seorang pemuda tak dikenal berdiri dengan bertolak pinggang! Orang sinting! Siapa kau?! hardik Gempar Bumi. Siapa aku tak kau usah perduli! Lekas angkat kaki dari sini atau kutekuk batang lehermu! Paras Gempar Bumi membesi. Pelipisnya mengembung. Sepuluh tahun malang melintang di Pulau Andalas baru hari ini ada bangsa kucing dapur yang bicara hendak menekuk batang leherku! Mengetahui bahwa si pemuda menunjukkan sikap demikian maka legalah sedikit hati Pagar Alam dan Mayang. Jika berani

membentak demikian berarti dia memiliki ilmu yang diandalkan. Namun Gempar Bumi seorang yang berilmu sangat tinggi, akan sanggupkah pemuda belia yang bertampang tolol itu menghadapinya?! Diam-diam kedua ayah dan anak itu jadi gelisah harap-harap cemas! Manusia kumis melintang! Aku tidak main-main. Lekas angkat kaki dari sini! Syukur aku bersedia mengampuni kekejianmu! Lekas pergi sebelum aku berubah pikiran! Gempar Bumi bertolak pinggang. Matanya melotot meneliti Wiro Sableng dari kepala sampai ke kaki. Lalu dia tertawa gelak-gelak. Kucing dapur, apakah kau lihat gambar kepala harimau yang ada di dada bajuku ini?! Itu bukan gambar kepala harimau! sahut Wiro. Gempar Bumi beliakkan mata. Dan Wiro menyambung, Kalau kau mau tahu, itulah gambar kepala kucing dapur! Lalu Pendekar 212 tertawa gelak-gelak. Marahlah Gempar Bumi. Seumur hidup baru hari itu dia mendapat hinaan dan ejekan demikian rupa! Anak setan! Tidak tahukah kau dengan siapa berhadapan? Buset kau bisa memaki aku anak setan! jawab Wiro dengan sunggingkan senyum. Kalau aku anak setan, apakah kau lantas merasa jadi bapak moyangnya setan?! Mayang dan Pagar Alam meski geli mendengar ucapan itu namun terheran-heran melihat sikap dan tindak-tanduk si pemuda yang agak aneh! Bicaranya seperti orang main-mainan saja! Sebaliknya dengan nada mendesis karena mendidih hawa amarah yang menggejolakkan darahnya Gempar Bumi berkata, Melihat kepada tampangmu agaknya kau bukan orang sini! Pantas kau tak dapat membedakan mana tikus dan mana singa jantan... Oh... jadi kau adalah seekor singa jantan? Pantas! Pantas! Kau memang punya tampang seperti singa jantan! kata Wiro pula memotong ucapan Gempar Bumi lalu tertawa gelak-gelak! Kemarahan Gempar Bumi tak dapat dikendalikan lagi. Dia melompat ke hadapan Wiro dan hantamkan tinju kanannya ke kepala pemuda itu! Sekali menghantam dia berharap akan menghancurkan kepala si pemuda! Karena itu sengaja dikeluarkannya jurus ilmu silatnya yang hebat yang bernama Palu Sakti Memukul Genta! Tapi tidak semudah itu untuk menghancurkan kepala Pendekar

212. Pada saat serangan lawan baru bergerak setengah jalan dia sudah menyingkir ke samping dan dari samping kirimkan satu tempelak untuk menanggalkan sambungan sikut lawan! Terkejutlah Gempar Bumi. Serangannya yang hebat itu bukan saja dapat dielakkan lawan tapi malah kebalikannya, kini dia sendiri yang kena diserang! Kedua kakinya dijejakkan ke tanah. Tubuhnya melesat ke atas membuat tempelakan Wiro Sableng lewat. Dengan cepat kemudian Gempar Bumi kirimkan satu tendangan ke perut lawan sedang tangan kanan untuk kedua kalinya turun menghantam batok kepala Wiro Sableng! Pendekar 212 bersiul! Meskipun gerakan ilmu silat Gempar Bumi agak aneh tapi dasarnya tiada beda dengan ilmu silat yang dimainkan tokoh-tokoh silat di Pulau Jawa! Begitu bersiul Wiro kelebatkan badannya! Untuk kedua kalinya Gempar Bumi dibikin kaget. Dia tak mengerti bagaimana pemuda bertampang tolol sanggup mengelakkan sekaligus kedua serangannya. Sedangkan dalam pada saat itu tahu-tahu tangan kirinya sudah menyelinap menampar ke arah dada dalam satu gerakan kilat yang mendatangkan angin keras! Penuh penasaran Gempar Bumi pergunakan lengan kanannya untuk memapasi serangan lawan. Kalau ilmu silat lawan boleh diandalkan, dalam tenaga dalam tentu si pemuda tak akan menang, begitulah pikiran Gempar Bumi! Wiro sendiri yang melihat datangnya serangan memapas ini, meski tamparannya pada dada tadi pasti akan mengenai sasarannya, tapi karena ingin menjajaki tenaga dalam lawan sengaja melintangkan tangan kirinya! Buuk! Maka beradulah kedua lengan itu! Gempar Bumi keluarkan seruan tertahan! Tubuhnya terjajar sampai tujuh langkah ke belakang sedang lengannya yang beradu dengan lengan lawan bukan saja tergetar hebat tapi juga sakit bukan main! Ketika ditelitinya lengan itu tampak kemerah-merahan! Menciutlah hati laki-laki berkumis melintang ini. Nyatanya tenaga dalam si pemuda tidak berada di bawahnya! Menurut taksiran Gempar Bumi tenaga dalam lawan berada dua atau tiga tingkat di atasnya! Sebenarnya dugaan Gempar Bumi ini meleset. Kalau waktu bentrokan lengan tadi dia mengerahkan seluruh tenaga dalamnya maka Wiro Sableng cuma mengandalkan tiga perlima bagian saja

dari tenaga dalamnya! Lengannya pedas kesemutan sedang tubuhnya tergontai nanar beberapa detik lamanya! Menyadari bahwa lawan lebih unggul dalam tenaga dalam maka Gempar Bumi segera mengeluarkan ilmu silat simpanannya yang paling diandalkan, yang telah diyakininya selama delapan tahun yaitu Ilmu Silat Harimau. Kedua kakinya menjejak bumi laksana batu karang. Tubuhnya setengah merunduk sedang kedua tangan terpentang ke muka dengan jari-jari membuka. Pendekar 212 Wiro Sableng memperhatikan bahwa ke sepuluh kuku jari laki-laki itu panjang-panjang. Tubuh Gempar Bumi semakin merunduk sedang dari mulutnya keluar suara menggerang macam harimau hendak menerkam mangsanya dan kedua matanya menyorot ganas! Keseluruhan paras manusia ini membayangkan maut! Tiba-tiba gerangan di mulutnya berubah keras menyeramkan! Dan di kejap itu pula tubuhnya melesat ke muka persis seperti seekor harimau lapar menerkam mangsanya! Dua tangan yang tadi terpentang berkelebat tak kelihatan saking cepatnya. Hanya suara siurannya yang terdengar menyambar! Wiro dengan mengandalkan setengah bagian tenaga dalamnya bergerak ke muka menyambut dengan Jurus Segulung Ombak Menerpa Karang. Jurus ini mengeluarkan sambaran angin laksana topan prahara. Kedua lengan Wiro menghantam ke depan sekaligus! Melihat lawan memapaki serangannya dengan cara begitu rupa dan sudah tahu kalau Wiro memiliki tenaga dalam yang lebih tinggi, maka Gempar Bumi tak berani bentrokan untuk kedua kalinya! Dengan cepat dia membuyarkan jurus serangannya tadi dan laksana kilat pula menyerbu kembali dalam jurus yang dinamakan Harimau Sakti Melompati Gunung Menukik Ngarai! Tubuhnya mencelat ke udara. Kedua kaki mencari sasaran di perut dan dada lawan. Namun ini hanya serangan sambilan saja karena begitu Wiro mengelak dan begitu Gempar Bumi berada dua tombak di udara tiba-tiba dia menukik ke bawah dengan kedua tangan diacungkan siap untuk mencengkeram kepala Wiro Sableng! Wiro bersiul nyaring. Setengah merunduk dia lepaskan pukulan Kunyuk Melempar Buah ke arah lawan di atasnya! Laksana berpegang pada sebuah tiang yang tak kelihatan Gempar Bumi berkelit ke samping. Angin pukulan Kunyuk Melempar Buah lewat di sebelahnya dan sedetik kemudian tubuhnya meliuk lalu berputar dengan kedua kaki meluncur deras ke dada serta kepala Wiro

Sableng! Gerakanmu hebat juga, Gempar Bumi! seru Wiro. Sesaat kedua kaki lawan akan mendarat di dada dan kepalanya, Pendekar 212 membentak keras. Tangan kanannya didorongkan ke atas! Angin sedahsyat badai mengamuk menggebu! Inilah pukulan Benteng Topan Melanda Samudera yang dilancarkan dengan mengandalkan setengah bagian tenaga dalam! Mula-mula Gempar Bumi merasakan serangannya laksana ditahan oleh tembok baja yang tak kelihatan. Dia terkejut sekali dan belum habis kejutnya ini mendadak tubuhnya terdorong keras ke udara, mencelat sampai beberapa tombak! Sambil jungkir balik tiga kali berturut-turut Gempar Bumi keruk saku pakaiannya. Sebelum kedua kakinya menginjak tanah maka dari tangan kanannya melesat puluhan benda hitam yang berdesing mendenging seperti suara nyamuk! Benda ini bukan lain senjata rahasia jarum hitam yang direndam dalam racun jahat! Sekali seseorang kena dihantam sebuah saja dari jarum ini, pasti dalam tempo dua puluh empat jam nyawanya akan lepas ke akhirat! Dari bunyi yang mendesing dan warna jarum-jarum Wiro sudah maklum kalau itu adalah senjata rahasia yang ampuh sekali! Tanpa menunggu lebih lama dia pukulkan tangan kanannya ke depan yang disusul dengan pukulan tangan kiri. Dua angin deras menderu susul menyusul. Inilah yang dinamakan ilmu pukulan Dinding Angin Berhembus Tindih Menindih! Bukan saja puluhan jarum-jarum itu mental dan luruh ke tanah tapi beberapa di antaranya kembali melesat menyerang tuannya sendiri! Dengan kertakkan rahang Gempar Bumi kebutkan lengan baju hitamnya! Jarum-jarum yang menyerangnya luruh ke tanah! Dan kedua lawan itu saling pandang memandang. Yang satu dengan mata membeliak beringas sedang yang lain dengan cengar-cengir seenaknya! Orang muda! kata Gempar Bumi. Antara aku dan kau tidak saling mengenal! Urusanku tidak ada sangkut pautnya dengan dirimu! Mengapa kau mau mencampurinya? Wiro tertawa dingin. Bagiku terhadap manusia jahat semacam kau tentu ada urusan yang musti diperhitungkan! Kecuali kalau kau mau angkat kaki dari sini sekarang juga! Gempar Bumi mendengus. Apakah bukan lebih baik kau saja yang cepat-cepat berlalu dari

hadapanku sebelum aku betul-betul menghajarmu? Ilmumu boleh juga! Percuma kalau kau mampus dalam usia muda begini rupa! Wiro keluarkan satu siulan. Terima kasih atas nasihatmu, Gempar Bumi! Nah, kau pergilah! Sikap tenang Gempar Bumi tadi kini menjadi marah yang mendidihkan darahnya. Kau orang rantau, sungguh mengenaskan mampus di negeri orang! Belum tentu pula angin akan membawa pulang namamu ke kampung halaman! Ah, jangan bersajak sobat! tukas Wiro Sableng. Aku tidak bersajak! sahut Gempar Bumi. Aku hanya akan mengukir nyawamu di pintu akhirat! Lalu laki-laki ini cabut sebilah keris dari pinggangnya! Senjata itu berhulu gading, bereluk dua belas dan berwarna sangat hitam! Sinar yang memancar dari keris ini menggidikkan sekali! Manusia yang akan mampus! Keris ini bernama Keris Si Penyingkir Jiwa! Delapan puluh dua jiwa telah musnah ditelannya! Apakah kau berniat untuk menjadi korban yang ke delapan puluh tiga...?! Wiro tertawa gelak-gelak. Apapun nama keris di tanganmu itu aku tidak perduli! Juga berapa korban yang dimakannya aku tidak tanya! Sebaliknya bagaimana kalau keris itu kurebut, lantas kupergunakan untuk membuat konyol kau sendiri...?! Boleh, boleh kau coba untuk merebutnya! jawab Gempar Bumi dengan hati geram. Nah ini, kau rebutlah! Secepat kilat Gempar Bumi tusukkan senjata itu ke dada Wiro Sableng. Sinar hitam terasa dingin menyambar dada sang pendekar. Awas orang muda! seru Pagar Alam dari atas kereta. Keris itu mengandung racun jahat! Diam-diam laki-laki ini merasa cemas. Jika Gempar Bumi sudah mengeluarkan senjata itu, biasanya lawan tak akan sanggup bertahan lama. Sekali saja tergores kulit, dalam tempo dua puluh empat jam pasti menemui kematian. Terima kasih atas nasihatmu, Bapak! kata Wiro sambil cepatcepat berkelit. Ketika kelihatannya serangan Gempar Bumi hanya mengenai tempat kosong tiba-tiba keris Si Penyingkir Jiwa membelok ke iga kanan, hampir-hampir akan melanda iga meliuk pula ke perut dan tiba-tiba laksana kilat, menusuk ke arah lekuk dagu dekat ujung leher! Di samping itu angin yang keluar dari Keris Si Penyingkir Jiwa dinginnya menyembilui tulang-tulang sumsum, membuat darah

Pendekar 212 laksana beku dan berhenti mengalir. Untuk mencegah agar dirinya tidak terpengaruh oleh hawa jahat senjata lawan cepatcepat Wiro Sableng alirkan hawa panas dari pusarnya ke seluruh bagian tubuh! Sesudah itu diapun menghadapi serangan lawan tanpa main-main lagi. Tiga jurus yang berlalu Wiro tak bisa berbuat apa-apa selain bertahan dengan gigih. Keris di tangan lawan laksana curahan hujan dan berubah jadi puluhan banyaknya. Menusuk, menyambar dan memapak ke pelbagai bagian tubuh Wiro Sableng. Jurus ke empat dan ke lima sampai seterusnya keadaan Wiro semakin buruk. Bagaimanapun dia berkelebat cepat tapi sia-sia saja! Sinar hitam senjata lawan laksana jaring atos yang tak sanggup ditembusnya! Pagar Alam yang menyaksikan pertempuran itu menjadi pusing karena tak dapat lagi menyaksikan gerakan-gerakan mereka yang bertempur saking cepatnya! Mayang sendiri yang lebih tinggi ilmu kepandaiannya mengedipkan matanya beberapa kali! Diam-diam gadis ini leletkan lidah melihat hebatnya pertempuran yang berjalan! Siapakah pemuda berambut gondrong yang bersedia mengorbankan keselamatan dan jiwanya itu untuk menolong dia bersama ayahnya?! Ilmunya tinggi, tapi apakah sanggup bertahan menghadapi Gempar Bumi yang ganas dan bertubi-tubi itu? Setahunya tak satu orang pun yang sanggup menghadapi Gempar Bumi bila Keris Si Penyingkir Jiwa itu sudah berada dalam tangannya! Dan melihat kenyataan bagaimana si pemuda terdesak hebat maka mengeluhlah sang dara. Pagar Alam sendiri kembali menjadi cemas! Saudara! Ambil golok ini sebagai senjatamu! seru Mayang sambil melemparkan goloknya yang tadi telah dirampas oleh Gempar Bumi, tapi kemudian oleh Gempar Bumi dibuang begitu saja ke tanah. Terima kasih Saudari, aku tak perlu senjata menghadapi tikus berkumis melintang ini! jawab Wiro. Tapi kau terdesak, Saudara! seru Pagar Alam dari atas kereta. Dan pertempuran ini tidak adil! menyambungi Mayang. Dia pakai senjata, kau bertangan kosong! Maka meski Wiro tidak mau diberikan senjata namun sang dara melemparkan juga golok itu kepadanya. Wiro Sableng mau tak mau segera menyambut senjata itu. Tapi, traang! Keris Si Penyingkir Jiwa lebih cepat. Golok yang dilemparkan

mental ke udara dalam keadaan patah dua! Sialan! maki Wiro. Kalau tidak cepat-cepat dia menarik tangannya pasti senjata lawan menyambar tangan itu! Sesaat kemudian terjadi lagi pertempuran seru dan Wiro makin kepepet! Tiba-tiba Pendekar 212 bersuit nyaring! Tubuhnya lenyap dalam satu kelebatan yang sukar dilihat mata. Dengan merobah jurus-jurus ilmu silatnya maka dia mulai membuka serangan. Dari sela bibirnya terus menerus melesat suara siulan yang nyaring tak menentu dan menyakitkan telinga! Permainan silat Gempar Bumi agak mengendur sedikit akibat pengaruh siulan Pendekar 212. Tapi begitu dia tutup jalan pendengarannya maka pengaruh yang mengacaukan itupun lenyap dan kembali dengan gencar laki-laki ini mendesak lawannya! Di samping memaki habis-habisan Wiro juga mengagumi keampuhan senjata sakti di tangan lawan. Setiap serangannya selalu kandas laksana menghadang tembok kukuh yang tak kelihatan! Tubuh lawan seperti terbungkus oleh satu kekuatan yang tidak nampak! Dan Pendekar 212 dalam keadaan kepepet itu mulai pikirpikir untuk keluarkan Kapak Maut Naga Geni 212! Tapi sebelum maksudnya itu kesampaian tiba-tiba dia ingat! Bagaimana kalau dia mengeluarkan jurus-jurus silat yang diajarkan Tua Gila kepadanya?! Ah, benar-benar tolol sekali dia! Mengapa tidak dari tadi dia mengeluarkan Ilmu Silat Orang Gila dan sekaligus untuk menjajaki sampai di mana kehebatan ilmu silat yang diajarkan oleh Tua Gila itu?! Pendekar 212 membentak nyaring. Tubuhnya lenyap. Gempar bumi mengiringi gerakan lawan itu dengan tawa mengejek, Keluarkan seluruh ilmu kepandaianmu! Dalam tiga jurus di muka nyawamu tak bisa diselamatkan lagi, tikus busuk! Dan sebelum Wiro bergerak dia telah menyerang lebih dulu dengan satu tusukan yang ganas cepat! Wiro Sableng gerakan kedua kakinya dalam gerakan yang aneh dan tak teratur kelihatannya. Tubuhnya diliukkan ke samping laksana batang padi dihembus angin sedang kedua tangan bergerak ke kiri ke kanan juga dalam gerakan yang tak teratur! Tapi justru gerakan yang acak-acakan ini berhasil melewatkan tusukan senjata lawan! Dengan gemas Gempar Bumi kirimkan lagi satu serangan yang lebih cepat dan lebih ganas! Suara keris menderu. Sinar hitam berkiblat! Wiro mencak-mencak kian kemari! Wuut! Ujung keris di

tangan Gempar Bumi menderu ke muka pemuda itu dan kelihatannya dalam kejap itu juga akan menghunjam di wajahnya! Pagar Alam mengeluarkan seruan tertahan. Mayang menutup wajahnya, tak berani menyaksikan bagaimana keris itu akan menancap di muka pemuda yang diharapkan bakal menolong dirinya! Tapi aneh! Sedetik lagi ujung senjata Gempar Bumi akan menemui sasarannya, dalam satu gerakan tak menentu kelihatan kepala Pendekar 212 seperti disentakkan oleh satu tenaga besar ke belakang. Dan ini membuat tusukan keris Gempar Bumi hanya menghantam tempat kosong! Gempar Bumi kertakkan rahang. Segera dia lipat gandakan tenaga dalam serta keluarkan seluruh tipu-tipu serangan ilmu silatnya! Wiro bergerak cepat. Jingkrak kiri lompat kanan. Mundur terhuyung-huyung dan maju laksana babi celeng! Tangan dan kaki menyambar tiada menentu dan tiada terduga! Bagaimanapun Gempar Bumi percepat serangan dan keluarkan segala jurus yang terlihay dari ilmu silatnya, tetap saja dia tak sanggup mendesak lawan seperti yang sudah-sudah. Beberapa kali dia menusuk dengan seluruh tenaga tapi cuma menghantam tempat kosong hingga tubuhnya tersaruk ke muka dan beberapa kali hampir membuatnya kena dihantam kaki dan tangan lawan! Diam-diam sambil mundur Gempar Bumi perhatikan ilmu silat aneh yang dimainkan si pemuda. Buuk! Gempar Bumi tertatih-tatih sampai sembilan langkah ke belakang. Diusapnya dadanya yang kena dipukul lawan dengan tangan kiri dan pada sela bibirnya kelihatan darah kental berlelehan! Gempar Bumi seka darah itu dengan ujung lengan baju. Nafasnya sesak, cepat-cepat diaturnya jalan darah dan pernafasan. Kedua matanya menyorot ganas. Tikus busuk! Kalau aku tidak salah lihat kau telah memainkan jurus-jurus silat orang gila. Apakah kau muridnya Tua Gila! Kau tak ada hak bertanya, monyet berkumis! jawab Wiro Sableng! Keparat! Kau dengarlah! Hari ini kuampuni jiwamu! Tapi jika kau berani muncul lagi di depan hidungku jangan harap ada ampunan yang kedua kalinya!

Wiro tertawa mengejek. Gempar Bumi berpaling pada Pagar Alam dan berkata, Pada tanggal tiga bulan mendatang kudengar kau akan meresmikan berdirinya Perguruan Kejora! Hari itu aku akan datang untuk mengambil anakmu! Dan jangan harap belas kasihan dariku kalau kau berani berlaku seperti yang sudah-sudah! Niscaya kau akan mampus berdarah! Manusia anjing tidak bermaki! Apakah hajaran yang kau terima hari ini tidak membuat kau insyaf?! hardik Pagar Alam. Gempar Bumi tidak menyahuti hardikan itu tapi berpaling pada Wiro Sableng dan berkata, Apa yang kuterima hari ini kelak akan kubayar berikut bunganya dalam waktu singkat! Sekarang katakan kau punya nama agar tidak susah aku mencarimu! Mau tahu namaku? Baiklah. Ini... Tiba-tiba Wiro Sableng hantamkan tangan kanannya ke muka. Karena tiada menduga. Gempar Bumi tak sempat berkelit Tapi anehnya pukulan jarak jauh lawan itu tidak mencelakakannya sekalipun dirasakannya angin itu menyambar dadanya. Tapi sewaktu dia memandang ke dadanya terkejutlah laki-laki ini. Pada dada kiri baju hitamnya terpampang tiga buah angka. Angka 212! Gempar Bumi tidak tahu apa artinya tiga deretan angka tersebut. Namun kepandaian untuk membuat angka-angka seperti itu dalam jarak jauh demikian rupa bukan kepandaian sembarangan. Nyali Gempar Bumi menciut lumer. Tanpa banyak bicara lagi dia segera berkelebat meninggalkan tempat itu!

***

WIRO SABLENG BANJIR DARAH DI TAMBUN TULANG

EGITU Gempar Bumi lenyap maka Mayang segera menjura di hadapan Wiro Sableng dan mengucapkan terima kasih atas pertolongannya. Wiro senyum-senyum malu kemudian menganggukkan kepala pada Pagar Alam. Orang muda, kata Pagar Alam, pertolonganmu sangat besar terhadap kami ayah dan anak! Kami mengucapkan terima kasih. Boleh aku tahu nama dan dari mana kau datang? Namaku Wiro. Aku datang dari Pulau Jawa. Ah... ternyata kau orang perantauan. Pantas permainan silatmu hebat! Tapi melihat kau tadi mengeluarkan ilmu silat orang gila aku jadi heran. Setahuku pencinta ilmu silat itu adalah seorang tua aneh yang diam di satu pulau di sebelah barat Pulau Andalas ini, jadi bukan dari Pulau Jawa. Wiro Sableng menuturkan riwayat perjalanannya secara singkat. Pagar Alam angguk-anggukkan kepala. Kau beruntung, Wiro. Tak sembarang orang diberi anugerah ilmu kepandaian seperti itu oleh Tua Gila si orang aneh. Bahkan jarang sekali dia memperlihatkan diri, dicari pun sukar! Wiro Sableng memandang ke kaki Pagar Alam yang terebus air mendidih sewaktu mengadakan pertunjukan mencari uang di pasar tadi. Lalu dikeluarkannya sebutir pil dan diberikannya pada laki-laki itu. Telanlah, mungkin bisa menolong lukamu itu. Pagar Alam menerima pil itu, menelitinya sebentar lalu menelannya tanpa ragu-ragu. Setengah menit kemudian rasa sakit pada kedua kakinya lenyap sama sekali, meskipun keadaan kedua kaki itu di luarnya tidak ada perubahan apa-apa. Terima kasih Wiro. kata Pagar Alam sementara Mayang mengangkat adiknya yang mulai siuman ke atas kereta. Malin si Kusir bendi juga sudah sadarkan diri dan duduk menjelepok di tanah sambil mengurut-urut tulang iganya yang patah

dan merintih kesakitan. Wiro memeriksa keadaan kusir bendi ini, mengurut dadanya di beberapa bagian lalu memberikan sebutir pil. Kalau saja dia dulu sudah mempelajari ilmu pengobatan pada Kiai Bangkalan pastilah dalam waktu yang singkat dia sanggup mengobati penderitaan Pagar Alam dan si kusir bendi. Kalau aku boleh tanya, urusan apakah yang telah membuatmu sampai menginjakkan kaki di Pulau Andalas ini? tanya Pagar Alam. Hanya sekedar ingin berkelana saja. jawab Wiro tak mau menerangkan maksud perjalanannya. Tapi kemudian dia ingat tanpa mencari keterangan dari penduduk setempat tak mungkin perjalanannya mencari pembunuh Kiai Bangkalan akan mudah dilakukan. Maka bertanyalah Pendekar 212, Aku berniat pergi ke bukit Tambun Tulang. Mungkin kau bisa memberi petunjuk jalan mana yang musti kutempuh agar bisa lekas sampai di situ?! Pagar Alam, Mayang dan si kusir bendi sama-sama terkejut. Kau mau pergi ke Tambun Tulang, Wiro...? Ya. Menurut si Tua Gila, orang yang tengah kucari mungkin berada di situ... tanpa disadari oleh Wiro walau tadi dia menyembunyikan maksud perjalanannya tapi kini diungkapkannya sendiri. Siapakah orang yang kau cari itu? tanya Pagar Alam. Aku sendiri tak tahu siapa orangnya. Tapi dia telah membunuh seseorang dan mencuri sebuah kitab penting! Tambun Tulang adalah bukit maut bagi penduduk sekitar sini. kata Malin. Dan Pagar Alam menyambungi, Tak ada seorangpun yang berani berada dekat-dekat ke bukit itu. Bukit Tambun Tulang dan daerah sekitarnya di bawah kekuasaan Datuk Sipatoka. Seorang manusia bermuka setan berhati iblis! Sejak usia belasan tahun dia telah menebar kejahatan dan membunuh ratusan manusia tanpa dosa! Setiap manusia yang jadi korbannya atau anak-anak buahnya dikumpulkan di satu tempat hingga lambat laun, bertahun-tahun kemudian tempat itu telah menjadi sebuah bukit putih yang terdiri dari timbunan tulang-belulang manusia! Tua Gila ada menerangkan hal itu padaku. ujar Wiro. Dan manusia yang kau hajar tadi adalah tangan kanan pembantu utama Datuk Sipatoka. Di samping dia, Datuk Sipatoka masih mempunyai beberapa pembantu berkepandaian tinggi, memiliki beberapa puluh anak buah yang kerja mereka bukan lain

daripada merampok dan memeras penduduk, melarikan perempuanperempuan desa tak perduli apakah istri orang, apalagi anak-anak gadis! Kemudian dari itu Datuk Sipatoka memelihara pula puluhan ekor harimau yang taat dan tunduk pada segala perintahnya! Beberapa tokoh dunia persilatan pernah turun tangan dan datang ke sana. Sampai saat ini mereka tidak kembali. Kabar beritapun tidak diketahui. Apalagi kalau bukan meregang nyawa di bukit Tambun Tulang? Dua buah partai silat belum tiga bulan yang lalu secara serempak menyerbu ke Tambun Tulang. Hasilnya? Ratusan manusia mati percuma di sana! Kau saksikan sendiri kehebatan keparat bernama Gempar Bumi itu! Dan Datuk Sipatoka mungkin sepuluh kali dari itu tinggi ilmunya! Kejahatan Datuk Sipatoka dan orangorangnya sudah lewat batas, tak bisa dibiarkan lebih lama lagi. Tapi siapa manusianya yang sanggup menghadapi dia dan anak-anak buah serta harimau-harimau peliharaannya itu?! Kehidupan penduduk sekitar sini selalu dicekam rasa ketakutan setiap hari! Wiro Sableng menghela nafas dalam. Kalau kejahatan di atas dunia sudah demikian besarnya, mengapa tokoh utama seperti Tua Gila tidak mau turun tangan atau mungkin pernah tapi tidak membawa hasil? Tengah Wiro berpikir-pikir begitu Pagar Alam berkata, Kurasa memang ada kemungkinan bahwa Datuk Sipatoka pembunuh dan pencuri yang kau maksudkan. Dan sesudah kau tahu siapa dia, apakah kau masih hendak meneruskan niat pergi ke Tambun Tulang? Wiro Sableng garuk-garuk kepalanya. Sekali pergi pantang bagiku untuk kembali pulang. Pagar Alam mengagumi keberanian pemuda ini. Kami hendak meneruskan perjalanan. Kuharap kau sudi ikut sama-sama dan mampir di rumahku. Kita bisa bicara banyak hal dan siapa tahu aku dapat membantumu dalam usahamu pergi ke Tambun Tulang. Wiro menimbang sebentar. Kemudian dia ingat akan ucapan Gempar Bumi sebelum pergi tadi yaitu bahwa laki-laki itu akan kembali pada tanggal tiga bulan di muka pada hari peresmian berdirinya Perguruan Kejora. Maka diapun menerima permintaan Pagar Alam lalu naik ke atas bendi. Karena Malin masih sakit, terpaksa Wiro yang pegang tali kekang kuda penarik bendi. Seumur hidupnya baru kali itulah Pendekar 212 menjadi kusir bendi!

Ketika hari menjelang petang, Wiro minta diri pada Pagar Alam dan keluarganya untuk meneruskan perjalanan. Sebenarnya Pagar Alam ingin menahan pemuda ini sampai tanggal tiga bulan di muka yaitu pada hari dia meresmikan berdirinya Perguruan Kejora yang dipimpinnya. Namun sebagai seorang laki-laki berhati jantan yang tidak ingin memaksakan diri untuk mengandalkan orang lain, Pagar Alam membatalkan niatnya itu. Pendekar 212pun meneruskan perjalanan. Belum lagi seratusan meter dia meninggalkan rumah Pagar Alam, disadarinya bahwa dia tidak sendirian. Telinganya yang tajam telah sejak lama mendengar suara orang mengikutinya dengan sembunyi-sembunyi. Karena khawatir orang itu adalah Gempar Bumi yang berniat hendak membokongnya maka Wiro pun berhenti dan memutar tubuh seraya berseru, Manusia tukang kuntit, tak usah sembunyi! Segera perlihatkan tampangmu! Suara Pendekar 212 bergema di seantero rimba belantara. Tapi tak satu orang pun yang muncul! Wiro jadi penasaran. Sekali meneliti saja dia sudah tahu di mana si penguntit berada yaitu di belakang sebatang pohon jati yang besarnya tiga pemeluk tangan. Ayo lekas keluar! Kalau tidak jangan menyesal! Tetap saja orang yang sembunyi di balik pohon tidak mau keluar. Tanpa menunggu lebih lama Wiro segera hantamkan tangan kanannya ke pohon jati itu. Satu gelombang angin besar menderu laksana topan. Kraak! Batang jati yang besarnya tiga pelukan tangan manusia itu patah lalu tumbang dengan mengeluarkan suara dahsyat ribut! Dan pada kejap patahnya pohon itu sesosok tubuh melompat sebat! Ah... kau! seru Wiro ketika dia melihat siapa adanya orang itu. Untung saja kau tidak kena celaka. Nyatanya dia bukan lain dari Mayang, anak gadis Pagar Alam. Kenapa kau ikuti aku?! tanya Wiro. Paras sang dara memerah jengah. Aku tidak mengikutimu, Saudara Wiro. kata Mayang. Lalu?! tanya Wiro dan dia tahu kalau si gadis berdusta. Aku ingin balas dendam pada si keparat Gempar Bumi! Wiro angguk-anggukkan kepala macam orang tua. Kau memang seorang gadis berhati jantan! Kupuji keberanianmu! Tapi kau pergi dalam keadaan ayahmu masih sakit

begitu rupa...? Ibu bisa merawat ayah sendirian. Lagipula lukanya tidak berat... Soalnya bukan adanya ibumu atau luka ayahmu yang tidak berat itu. Tapi apa kau lupa bahwa walau bagaimanapun ilmu kepandaianmu tak sebanding dengan Gempar Bumi? Sekali kau mencarinya bukankah itu sama saja dengan sengaja mengantarkan diri?! Apalagi seminggu di muka ayahmu akan meresmikan Perguruan Kejora! Kau tentu sangat dibutuhkannya...! Tapi... tapi... Wiro tertawa dan melangkah ke hadapan gadis itu, Kembalilah pulang... Tapi apakah... apakah kau tidak akan kembali lagi... maksudku tidak akan mampir lagi ke rumah? Wiro kembali tertawa. Tentu aku akan mampir lagi. sahut Wiro. Dia maklum akan perasaan gadis ini. Dan gadis yang diamuk perasaan seperti Mayang bukan baru sekali ini ditemui oleh Pendekar 212. Soalnya apakah dia bersedia melayani dan menurutkan kata hatinya. Diam-diam Wiro Sableng ingat pada Permani. Mayang tidak kalah kecantikannya dengan Permani, dan juga telah banyak Pendekar 212 menemui gadis-gadis cantik tapi entah mengapa dia tak bisa melupakan Permani! Aku berjanji akan kembali. kata Wiro meyakinkan Mayang. Tapi dara itu tak beranjak dari hadapannya. Wiro mengeluh dalam hati. Kalau lama-lama berdiri berhadap-hadapan seperti ini bisa celaka pikirnya. Ditepuknya bahu Mayang seraya berkata, Pulanglah. Di lain hari aku akan mampir menyambangimu. Habis berkata begitu Wiro berkelebat dan lenyap dari hadapan Mayang. Sang dara hela nafas panjang. Gemuruh hatinya kini berubah menjadi satu kekecewaan, namun juga satu harapan.

***

WIRO SABLENG BANJIR DARAH DI TAMBUN TULANG

10

ULUTNYA terkatup rapat-rapat sehingga kedua rahangnya menonjol dan pelipisnya menggembung. Sepasang matanya memandang menyorot tak berkedip ke bawah bukit kecil, ke arah sebuah kampung yang kini hanya tinggal musnahannya saja berupa reruntuhan rumah-rumah yang telah jadi debu! Jelas dilihatnya mayat-mayat yang bergelimpangan di sana sini, mayatmayat manusia dan binatang-binatang yang mati tertambus hiduphidup di dalam api! Dan yang paling menusuk matanya ialah mayat anak-anak yang menemui kematian mereka secara mengenaskan dalam pelukan ibu mereka! Tak ada lagi tanda-tanda kehidupan dalam landasan kemusnahan itu! Kemusnahan yang telah dilakukan oleh manusiamanusia jahat tanpa rasa belas kasihan sama sekali! Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng ingat akan kampung-kampung yang dimusnahkan Dewi Siluman di Pulau Madura tempo hari. Dan kemusnahan kampung yang hari ini disaksikannya tidak ada beda, malah lebih membuat luapan amarah menggejolak, darahnya laksana api disiram dengan minyak! Siapakah manusia-manusia keparat yang membuat kebiadaban begini rupa?! tanya Wiro Sableng pada dirinya sendiri. Untuk menjawab pertanyaan itu, pemuda ini segera menuruni bukit dan memasuki kampung yang telah musnah itu. Penyelidikannya tak membawa hasil apa-apa. Dan hati kemanusiaannya memaksa dia untuk menggali beberapa buah lubang lalu menguburkan mayatmayat yang bergeletakan di sana sini. Rata-rata semua menemui kematian akibat tusukan atau bacokan senjata tajam! Wiro melanjutkan perjalanan sewaktu matahari tergelincir ke barat. Kalau daerah sekitar situ berada di bawah kekuasaan Datuk Sipatoka, pastilah yang berbuat ganas itu Datuk Sipatoka atau anakanak buahnya! Dan ini mendorong Wiro Sableng untuk mempercepat perjalanannya.

Menjelang senja dia berhenti di sebuah anak sungai dangkal berair jernih. Wiro membuka pakaian dan langsung masuk ke dalam sungai. Betapa sejuknya air sungai itu. Tengah dia asyik-asyik mandi mendadak sepasang telinganya mendengar suara hiruk pikuk pekik manusia banyak sekali di kejauhan! Ketika dia memandang ke arah datangnya suara itu maka tampaklah langit di arah itu kemerahanmerahan! Kebakaran. pikir Wiro. Disudahinya mandinya lalu naik ke darat dan berpakaian dengan cepat. Sesaat kemudian dia sudah berlari sekencang angin ke jurusan langit malam yang merah menyala! Ketika Pendekar 212 sampai ke tempat kejadian itu, yang dilihatnya bukan cuma kebakaran! Beberapa orang berpakaian hitam bertempur melawan penduduk kampung. Perempuan dan anak-anak berpekikan dan lari menyelamatkan diri. Kira-kira setengah lusin mayat telah bergelimpangan di tanah! Wiro segera maklum apa yang terjadi. Kebakaran itu adalah kebakaran yang disengaja dan pelakunya adalah manusia-manusia berseragam hitam. Mereka bukan saja membakar rumah-rumah penduduk dan membunuh sewenang-wenang tetapi juga merampok! Dan ketika Wiro memandang berkeliling, dari dalam sebuah rumah yang telah setengahnya dimakan api kelihatan seorang laki-laki berpakaian hitam tengah menyeret seorang perempuan muda yang meronta dan menjerit-jerit! Mendidihlah amarah Pendekar 212! Keparat betul! bentak Wiro. Dia melompat dan menghantam dengan tinju kanan! Laki-laki berpakaian hitam yang tengah menyeret perempuan muda tiada menyangka akan mendapat serangan begitu rupa! Karenanya dia tak sanggup mengelak sama sekali! Tubuhnya mencelat! Pekiknya setinggi langit! Begitu jatuh di tanah dia tak berkutik lagi sebab kepalanya yang kena hantam rengkah bermandikan darah dan air otak! Wiro menyerbu ke tengah-tengah manusia-manusia berseragam pakaian hitam lainnya yang tengah menempur habis-habisan penduduk yang coba mempertahankan hak dan harta serta nyawa dan keselamatan pribadi serta keluarga mereka! Dua orang tergelimpang dihantam tendangan dan tinju kirinya. Yang lima orang lainnya terkejut! Bedebah! Siapa kau?! teriak salah seorang dari mereka. Begitu habis berteriak orang ini melihat sesuatu menyambar di hadapannya.

Awas! teriak kawan-kawannya. Tapi orang itu tak keburu berkelit ataupun menangkis. Yang dilihatnya berkelebat ialah pukulan tangan kanan Wiro Sableng yang melayang tepat-tepat ke keningnya! Praak! Orang itu menjerit! Keningnya pecah! Nyawanya lepas! Bukan saja empat kawannya menjadi kaget tapi juga tergetar hati masing-masing! Setelah memberi tanda serempak mereka menyerbu! Pendekar 212 Wiro Sableng diserang dari empat penjuru! Setan-setan kesasar! Keganasan kalian cukup sampai hari ini! Makan ini! Wiro kirimkan dua pukulan dua tendangan! Wutt... wutt... wutt... wutt! Keempat serangannya hanya mengenai tempat kosong! Wiro terkejut! Bangsat, apakah mereka ini punya ilmu melenyapkan diri?! maki Wiro dan memandang berkeliling! Dalam pada itulah empat angin pukulan tahu-tahu melanda ke arahnya dengan ganas! Pendekar 212 menggereng macam harimau lapar! Kedua tangannya kiri kanan menghantam berkeliling! Dua gelombang angin pukulan yang dahsyat membadai berputar! Dua orang pengeroyok terpekik! Tubuh mereka berpelantingan. Satu menghantam pohon, pinggangnya patah, nyawanya lepas! Yang satu lagi begitu jatuh di tanah coba berdiri tapi terus muntah darah dan kojor di situ juga! Dua orang lainnya seputih kertas pucat paras mereka. Yang satu tanpa pikir panjang segera ambil langkah seribu. Kawannya melompat ke balik sebatang pohon dan keluarkan satu suitan nyaring! Monyet hitam! Tempat larimu adalah ke akhirat! teriak Wiro seraya hantamkan tangan kanannya ke arah laki-laki yang ambil langkah seribu! Belum lagi angin pukulan Wiro sampai orang itu telah memekik macam dihadang setan! Kemudian pekiknya lenyap dan tubuhnya mencelat beberapa tombak. Terguling di tanah tanpa nyawa lagi! Wiro Sableng segera pula hendak kirimkan pukulan maut ke arah laki-laki yang bersembunyi di balik pohon. Sekaligus dia hendak hantam pohon dan orangnya! Tapi baru tangan kanan diangkat, tahutahu empat bayangan hitam melompat di hadapannya dan serentak mengurungnya.

Wiro memandang berkeliling dengan cepat. Keempat manusia berpakaian dan berdestar serba hitam itu rata-rata berbadan tegap dan bertampang ganas. Keempatnya memelihara kumis melintang. Dan pada dada pakaian masing-masing terpampang gambar kepala harimau warna kuning! Wiro teringat pada manusia bernama Gempar Bumi, pembantu utama Datuk Sipatoka. Ada perbedaan gambar harimau yang terpampang di dada pakaian keempat orang ini dengan yang dilihatnya pada dada pakaian yang dikenakan Gempar Bumi. Perbedaannya ialah pada besar kecilnya. Gambar kepala harimau di pakaian Gempar Bumi besar sedang pada keempat manusia ini agak kecil! Ini mungkin berarti bahwa keempatnya adalah pembantu-pembantu Datuk Sipatoka juga tapi dari tingkat yang lebih rendah dari Gempar Bumi! Pemuda keparat! Melihat tampangmu nyata kau bukan penduduk sini! Lekas katakan siapa kau?! membentak salah seorang dari empat manusia berkumis melintang. Wiro mendengus. Kau tak layak bertanya! Lebih bagus kau tanyakan bagaimana caranya cepat-cepat pergi ke neraka! Dan habis berkata begitu Wiro pukulkan tangan kanannya dalam jurus serangan Kunyuk Melempar Buah yang diperbawa dua perlima tenaga dalamnya! Yang diserang terkejut melihat datangnya angin keras ke arahnya dan dengan serta-merta pukulkan pula tangan kanannya ke depan memapasi serangan lawan! Dalam pada itu ketiga kawannya tidak tinggal diam. Serentak ketiganya menyerbu Pendekar 212 dari tiga jurusan! Seorang di antaranya mencengkeram dengan kedua tangan dari belakang! Sekali melihat bagaimana pukulan Kunyuk Melempar Buahnya sanggup dipapasi lawan dan melihat pula gerakan tiga orang lainnya dalam melancarkan serangan itu Wiro segera maklum bahwa keempatnya berkepandaian tinggi yang tak bisa dianggap remeh! Kalau dinilai masing-masing setiap dua manusia yang mengeroyoknya itu sebanding dengan kepandaian Gempar Bumi. Dengan kata lain saat itu dia menghadapi dua lawan berkepandaian setinggi Gempar Bumi. Pertempuran hebat berkecamuk! Wiro andalkan ilmu meringankan tubuhnya untuk mengelit serangan-serangan lawan yang sangat ganas dan bertubi-tubi. Tubuhnya merupakan bayangan-bayang putih yang coba didesak

oleh keempat manusia berpakaian hitam-hitam itu! Karena telah pernah bertempur melawan Gempar Bumi maka sedikit banyaknya Wiro mengerti gerakan-gerakan lawan! Dan ini banyak menolongnya. Meski pada empat jurus pertamanya dia kena didesak namun jurusjurus selanjutnya dia mulai berada di atas angin. Seranganserangannya membuat keempat pengeroyok mundur terus-terusan dan dalam jurus ke delapan salah seorang dari mereka terjungkal keluar kalangan pertempuran dengan tulang dada dan beberapa tulang iga ringsek dilanda tendangan kaki kanan Wiro Sableng! Nafasnya sesak, mulutnya megap-megap. Dari kerongkongannya terdengar suara seperti orang tercekik dan sesaat kemudian tubuhnya tak bergerak lagi! Kematian seorang kawan mereka membuat tiga manusia baju hitam lainnya menjadi tergetar. Apalagi sesudah dalam jurus-jurus selanjutnya mereka dipaksa bertahan mati-matian dalam desakan hebat serangan berantai Pendekar 212! Salah seorang berseru memberi tanda. Wiro menyangka mereka hendak melarikan diri maka dia siapkan pukulan jarak jauh untuk melabrak ketiganya bila mereka benar-benar hendak kabur! Tapi dugaannya meleset! Ketiga anak buah Datuk Sipatoka itu dalam gerakan yang aneh yaitu lompatan-lompatan macam katak menyerbunya dari tiga jurusan! Wiro pukulkan kedua tangannya berkeliling! Tiga lawan gerakkan kedua kaki dan dalam keadaan tubuh melayang di udara mereka membuat satu lompatan lagi, begitu-Wiro hendak menghantam ke atas, ketiganya tahu-tahu sudah melesat ke bawah dan entah kapan mereka menggerakkan tangan mereka tahu-tahu tiga bilah keris hitam menderu ke arahnya! Satu menusuk ke kepala, yang dua lainnya membabat dari dua jurusan yang berlawanan! Wiro terkesiap kaget melihat serangan yang hebat ini! Dengan cepat segera dia keluarkan jurus pertahanan yang terlihay dari Ilmu Silat Orang Gila yaitu yang dinamakan jurus Orang Gila Melenggang ke Awan! Kedua tangannya dikembangkan ke atas sedang kedua kakinya menjejak ke tanah mengandalkan tenaga dalam dan ilmu meringankan tubuh! Laksana panah lepas dari busurnya, tubuh Wiro Sableng melesat melenggang-lenggok ke atas, dua kembangan tangan yang mendatangkan angin bukan saja sanggup menangkis tusukan keris yang datang dari atas tapi sekaligus membuat lawan terpelanting

laksana daun kering dihembus angin! Meskipun tubuhnya selamat namun tak urung pakaiannya masih sempat dirobek oleh ujung keris salah seorang lawan yang menyerang dari samping! Edan! maki Wiro. Segera dia siapkan jurus serangan Kunyuk Melempar Buah yang mengandalkan setengah bagian tenaga dalamnya! Sementara itu salah seorang dari lawan-lawannya yang bermata awas berseru, Kawan-kawan! Kulihat bangsat ini mengeluarkan jurus ilmu silat Orang Gila! Pastilah dia muridnya Si Tua Gila! Ingat bahwa Datuk kita punya dendam kesumat terhadap Tua Gila pada empat puluh tahun yang lalu?! Kalau kita musnahkan muridnya ini pasti kita mendapat pahala besar dari Datuk! Mari! Serentak dengan itu dan diikuti oleh kedua kawannya maka menyeranglah dia! Tapi kali ini ketiganya dibikin terkejut. Karena begitu mereka bergerak Wiro hantamkan tangan kanannya ke depan! Dua orang berseru keras dan melompat ke samping! Yang seorang lagi terlambat untuk selamatkan diri. Kedua tangannya diletakkan ke muka dada laksana seorang yang berusaha menahan tindihan benda berat yang tak kelihatan di depan dadanya! Wiro putar sedikit telapak tangannya! Laki-laki di depan sana menjerit keras! Tubuhnya mental dan ketika menggeletak di tanah kelihatan bagaimana seluruh tubuh laki-laki ini terutama dari bagian dada ke atas hancur memar laksana buah pepaya dibantingkan ke batu! Pucat pasilah wajah dua anak buah Datuk Sipatoka lainnya! Mereka saling memberi isyarat. Lalu mengeruk saku pakaian masingmasing dan sedetik kemudian enam puluh batang jarum hitam yang mengandung bisa jahat beterbangan ke arah Pendekar 212! Jarumjarum ini bentuknya sama dengan senjata rahasia milik Gempar Bumi. Wiro gerakkan tangan kanannya! Sebagian dari jarum-jarum itu mental yang sebagian lagi berbalik ke arah pemiliknya! Salah seorang dari mereka tiada menduga hal ini hingga terlambat untuk selamatkan diri! Akhhh... Jerit maut keluar dari mulutnya. Belasan jarum menembus tubuh dan jantungnya. Nyawanya lepas saat itu juga! Yang seorang lagi masih untung! Begitu lolos dari bahaya maut segera putar tubuh untuk ambil langkah seribu! Tapi perbuatannya ini sia-sia saja karena lebih cepat dari itu satu totokan telah menyambar punggungnya, membuat dirinya tegak kaku kejap itu

juga! Monyet hitam, sekarang kau akan jadi penunjuk jalanku! Kau musti antarkan aku ke sarang majikanmu yang bernama Datuk Sipatoka itu! Mendadak terdengar jeritan perempuan yang disusul oleh teriakan seorang laki-laki. Tolong! Anakku... anakku! Wiro berpaling cepat! Masih sempat dilihatnya sesosok bayangan hitam memboyong lari seorang gadis dan lenyap di kegelapan malam! Wiro kerenyitkan kening, gigit bibir. Hatinya memaki. Dia berpaling pada laki-laki di hadapannya dan berkata, Monyet hitam! Keadaan memaksaku membuat nasibmu lebih baik dari kambratkambratmu yang lain! Kau kulepaskan hidup-hidup! Tapi jangan lupa sampaikan pesanku pada Datukmu bahwa di satu hari dalam waktu yang singkat aku akan membuat perhitungan dengan dia! Bila dia menanyakan siapa aku, ini kutuliskan namaku di keningmu! Kemudian dengan ujung jarinya Wiro menggurat angka 212 di kulit kening laki-laki itu! Lalu tanpa tunggu lebih lama dia berkelebat ke jurusan lenyapnya laki-laki yang memboyong gadis tadi! Namun satu teriakan memanggil membuat dia hentikan lari! Wiro!

***

WIRO SABLENG BANJIR DARAH DI TAMBUN TULANG

11

IRO Sableng membalik dengan cepat. Terkejutlah dia! Yang berseru memanggil namanya bukan lain daripada Pagar Alam. Laki-laki ini berdiri terhuyung-huyung dengan sebatang pedang pendek menancap di dadanya! Wiro melompat dan dengan cepat membopong tubuh laki-laki itu ke langkan sebuah rumah. Darah membasahi pakaian hitam Pagar Alam dan menodai pakaian Wiro sendiri! Melihat kepada keadaannya tak mungkin tertolong lagi. Nafas Pagar Alam tinggal satu-satu. Parasnya pucat tanpa darah. Sedang kedua matanya mulai mengabur. Bagaimana kau bisa sampai di sini, Bapak? tanya Wiro. Kemudian pendekar ini mengutuki dirinya sendiri. Dalam keadaan begitu masakan dia ajukan pertanyaan demikian rupa. Wiro, tolonglah selamatkan anakku... Mayang dilarikan oleh... Gempar Bu... mi... Bedebah itu lagi! desis Wiro dengan geraham-geraham bergemeletukan! Kej... kejar dia, Wiro... Tapi kau sendiri, Pak... Pagar Alam kumpulkan sisa-sisa tenaganya yang ada untuk dapat membuka mulut dan mengeluarkan suara. Diriku tak... usah kau pikirkan Nak. Tak ada harapan... Yang perlu Mayang. Nasib dan... dan dirinya kuserahkan padamu. Kuharap kalian... Pagar Alam tak dapat meneruskan kata-katanya. Kepalanya terkulai. Kedua matanya terbalik dan nafasnya lepas meninggalkan tubuh. Perlahan-lahan Wiro membaringkan jenazah Pagar Alam di langkan rumah. Dipandanginya tubuh tanpa nafas itu beberapa ketika. Nasib dan dirinya kuserahkan padamu. Kuharap kalian... Meski Pagar Alam tak sempat menyelesaikan ucapannya, tapi Wiro tahu apa kelanjutan kata-kata yang hendak disampaikan laki-laki itu.

Tanpa menunggu lebih lama pemuda ini segera meninggalkan tempat itu dengan cepat, lenyap di jurusan perginya manusia yang telah melarikan Mayang! Hampir satu jam lamanya Wiro melakukan pengejaran. Tapi siasia belaka. Di malam gelap begitu rupa mana mungkin mencari dan mengejar seseorang yang tak diketahui ke mana perginya! Akhirnya di satu pesawangan yang gelap gulita Wiro menghentikan larinya. Di sekitarnya hanya suara jangkrik yang kedengaran, yang sekali-sekali ditimpali oleh suara ketekung kodok. Lapat-lapat terdengar pula suara burung hantu mengerikan sementara angin malam bertiup dingin mencucuk sampai ke tulang-tulang sumsum. Wiro Sableng garuk-garuk kepala, menghela nafas kesal. Kemana dia harus meneruskan pengejaran? Jika menunggu sampai siang pasti Mayang sudah tertimpa celaka dan tak ada artinya menyelamatkan dara itu! Mungkin Gempar Bumi melarikan Mayang langsung ke Tambun Tulang. Ini berarti dia musti lekas-lekas melakukan pengejaran ke sana. Dan sekaligus untuk membuat perhitungan dengan Datuk Sipatoka. Tapi bagaimana kalau Gempar Bumi tidak membawa gadis itu ke sana? Dan merusak kehormatan Mayang di tengah jalan?! Pendekar 212 banting-banting kaki karena gemas! Gemas karena tak bisa berbuat apa-apa, sedangkan dia tahu gadis itu pasti akan mendapat celaka malam ini juga! Dirusak kehormatannya oleh Gempar Bumi! Dan apakah lagi yang lebih berharga bagi seorang gadis kalau bukan kehormatannya?! Wiro Sableng memandang ke langit di atasnya yang hitam gelap. Tak ada bulan, tak ada satu bintang pun yang kelihatan. Dan tubuh pemuda ini bergetar bila dia membayangkan apa yang bakal dilakukan oleh Gempar Bumi terhadap Mayang. Atau apakah kebejatan itu telah dilakukan oleh Gempar Bumi?! Kalau betul-betul itu dilakukannya, akan kupatahkan batang lehernya! Akan kupatahkan! kata Wiro dengan hati menggeram! Dihantamkan tinjunya dan, brak! Sebatang pohon yang tak punya dosa apa-apa patah tumbang ke bumi! *** Di malam sunyi dan gelap itu sesosok tubuh berlari laksana angin kencangnya. Di bahu kanannya terpanggul seorang dara berpakaian hitam dalam keadaan tak berdaya. Dara ini bukan lain Mayang. Dan laki-laki yang tengah memboyongnya lari itu adalah Gempar Bumi!

Beberapa jam berlari, menjelang tengah malam baru dia berhenti hanya sekedar untuk beristirahat kemudian dia lari lagi hingga akhirnya memasuki sebuah lembah yang dialiri sebatang anak sungai. Sepanjang anak sungai ini penuh dengan pohon tembakau. Di salah satu bagian tepinya kelihatan sebuah pondok. Setengah dari dasar pondok ini berada di tebing sungai, setengahnya lagi di atas sungai, ditopang oleh dua buah tiang yang terbuat dari kayu yang tahan air. Gempar Bumi membawa Mayang ke pondok ini. Dua puluh tombak dia akan mencapai pondok, pintu pondok tiba-tiba terbuka. Dan diterangi oleh sinar pelita yang ada di dalam pondok, kelihatan sesosok tubuh berpakaian hitam berdiri di ambang pintu dengan rangkapkan kedua tangan di muka dada. Ketika melihat orang yang datang dengan membawa sesosok tubuh pada bahunya, laki-laki ini kerenyitkan kening. Gempar Bumi, siapakah yang kau bawa ini?! orang itu bertanya begitu Gempar Bumi sampai di hadapannya. Gempar Bumi menyeringai. Sati! Malam ini biarlah aku yang menghuni pondokmu! Ketika mengetahui yang dipanggul Gempar Bumi adalah tubuh seorang dara berparas jelita, laki-laki bernama Sati menelan ludahnya. Dari mana kau dapat, Gempar Bumi? tanya Sati dan matanya meneliti tubuh dan paras Mayang penuh arti. Semprul! Dari mana aku dapat bukan urusanmu! Lekas pergi! Mata Sati tidak berpindah dari paras Mayang. Perintah Gempar Bumi tidak diperdulikannya malah dia melangkah lebih dekat kemudian membisikkan sesuatu ke telinga Gempar Bumi. Marahlah Gempar Bumi mendengar bisikan Sati. Kalau kau tak lekas berlalu dari hadapanku, kupatahkan batang lehermu! Sati menjadi takut. Dengan langkah berat akhirnya ditinggalkannya tempat itu. Gempar Bumi masuk ke dalam pondok yang berlantai papan. Sebagian dari lantai ditutup dengan tikar pandan. Mayang dibaringkannya di atas tikar. Setelah menutup pintu dan memeriksa isi pondok. Gempar Bumi duduk di hadapan Mayang lalu membuka jalan suara gadis ini. Begitu jalan suaranya dibuka maka mendampratlah Mayang, Manusia keparat! Lepaskan totokanku...! Ah, kau masih saja bersikap galak, kata Gempar Bumi.

Bedebah! Lepaskan totokanku! Kalau kau masih keras kepala terpaksa kutotok jalan suaramu kembali! mengancam Gempar Bumi dan diulurkannya tangan kanannya. Jangan sentuh! teriak Mayang. Gempar Bumi ganda tertawa. Dibelainya pipi gadis itu. Mayang memaki habis-habisan sampai suaranya serak. Dengar Mayang, kalau kau mau bersikap lunak aku akan kawini kau secara baik-baik, tapi... Siapa sudi kawin dengan manusia anjing macammu! potong Mayang. Tapi kalau kau berkeras kepala macam ini jangan menyesal akan kuperlakukan secara kasar! Manusia anjing, lebih bagus kau bunuh aku siang-siang! Saat ini juga... Eh, apakah kau tidak takut mati?! Lebih baik mati daripada jadi korban kebejatanmu! Gempar Bumi tertawa mengekeh. Mati muda adalah mati yang paling rugi! Kalau kau inginkan mati biarlah nanti terserah pada putusan Tuhan! Yang penting kau harus hidup dulu bersama-samaku... Kau akan merasakan betapa indahnya hidup ini nanti. Betapa nikmatnya... betapa... Tutup mulutmu bedebah! Bila kau menyentuh tubuhku lalu membiarkan aku hidup, niscaya sampai ke lautan apipun akan kucari kau! Akan kupenggal batang lehermu! Gempar Bumi tertawa gelak-gelak. Kurasa nanti itu kau mencariku bukan untuk membunuh tapi untuk mengajak kembali menikmati segala keindahan hidup itu! Ha... ha... ha... ha! Keparat! Kalau aku betul-betul panjang umur akan kupancung lehermu! Akan kucincang seluruh tubuhmu sampai lumat! Ilmu silatmu ilmu silat kampungan! ejek Gempar Bumi. Menghadapiku beberapa jurus saja sudah tak sanggup, bagaimana mungkin kau hendak mencincangku?! Kalau tidak aku ada orang lain yang akan melenyapkanmu dari muka bumi ini! Aha... siapa kira-kira orangnya?! tanya Gempar Bumi sambil puntir-puntir ujung kumisnya yang tebal melintang. Guruku!

Gurumu?! Gempar Bumi tertawa membahak. Perempuan tua renta yang bernama Inyak Nini itu? Kepandaiannya cuma lima enam kali saja lebih tinggi dari kau! Dalam sepuluh jurus, mungkin kurang, pasti sudah jadi mayat dia kalau berani berhadapan denganku! Mayang mendengus. Kalaupun guruku kalah masih banyak orang-orang sakti berilmu tinggi yang sewaktu-waktu sanggup membunuhmu! Juga melabrak majikanmu yang bernama Datuk Sipatoka itu! Begitu? Aku ingin tahu siapa saja orang-orang sakti itu?! ujar Gempar Bumi. Di antaranya pemuda berambut gondrong yang mempecundangimu tempo hari! sahut Mayang. Berubahlah paras Gempar Bumi. Dia memang tak pernah melupakan pemuda itu. Selama menjadi pembantu utama Datuk Sipatoka yang ditakuti di delapan penjuru angin Pulau Andalas, belum pernah dia menghadapi lawan yang setangguh itu, bahkan memaksa dia untuk mengundurkan diri dengan muka tebal karena malu. Ah, kalau cuma bangsat muda itu siapa takutkan dia? Tempo hari aku sengaja menghentikan pertempuran karena ada urusan yang lebih penting! Kalau diteruskan niscaya tidak kuampunkan jiwanya... Justru pemuda itulah yang masih memberi kelonggaran padamu untuk ambil langkah seribu! Gempar Bumi menggeram dalam hati. Tiba-tiba tangannya diulurkan kembali dan kali ini dengan cepat menyelusup ke balik baju hitam yang dikenakan Mayang! Gadis ini berteriak dan memaki! Sebaliknya dengan seringai nafsu yang mengembang-kempiskan cuping hidungnya, jari-jari tangan Gempar Bumi menggila di atas dada sang dara! *** Bagaimana Mayang dan ayahnya sampai di kampung yang tengah dimusnahkan anak-anak buah Datuk Sipatoka itu? Dan sampai Gempar Bumi berhasil melaksanakan niatnya melarikan si gadis? Seperti telah diceritakan sebelumnya, Pagar Alam hendak meresmikan berdirinya satu perguruan yang dinamakannya Perguruan Kejora. Tapi karena adanya maksud Gempar Bumi untuk

datang pada hari peresmian itu dan mengadakan kekacauan serta terutama sekali hendak melarikan Mayang, mau tak mau Pagar Alam mengundurkan peresmian berdirinya Perguruan Kejora. Dia harus mencari seorang yang dapat diandalkan yang sanggup menghadapi Gempar Bumi dan kawan-kawannya. Karena itu sesudah luka pada kedua kakinya sembuh, bersama Mayang laki-laki ini dengan mengendarai dua ekor kuda berangkat ke Danau Maninjau, tempat kediaman Inyak Ninik, guru Mayang. Di tengah jalan mereka berhenti dan menginap di sebuah kampung. Justru pada malam itu pula anak-anak buah Datuk Sipatoka di bawah pimpinan Gempar Bumi mendatangi kampung itu, merampok dan membakar serta melarikan gadis-gadis dan istri penduduk kampung! Gempar Bumi tidak menduga kalau di kampung itu terdapat pula Mayang dan Pagar Alam di tengah-tengah penduduk. Tentu saja ini sangat menggembirakan Gempar Bumi. Gadis itu berada di depan matanya kini, tak perlu dia menunggu berlama-lama! Ketika dia hendak menyergap Mayang mendadak didengarnya suara suitan nyaring di sebelah barat kampung! Gempar Bumi kaget, demikian juga empat anak buahnya! Suitan itu adalah tanda bahaya! Bersama keempat orang itu Gempar Bumi cepat menuju ke barat kampung. Mayang bisa diringkusnya nanti. Itu soal mudah. Dia ingin tahu bahaya apakah yang tengah dihadapi anakanak buahnya di bagian barat sana! Dan sewaktu dia sampai di bagian barat kampung, berubahlah parasnya. Untung saja malam itu gelap hingga keempat anak buahnya tak dapat melihat perubahan parasnya itu! Seorang pemuda berpakaian putih berambut gondrong tengah mengamuk dengan hebat. Dan pemuda ini bukan lain pemuda yang telah mempecundanginya tempo hari! Meski dia membawa anakanak buah yang berkepandaian tinggi namun untuk menghadapi Wiro Sableng saat itu Gempar Bumi tidak mempunyai nyali! Di lain hal kalau dia melibatkan diri menempur si pemuda, mungkin tak akan kesampaian lagi sekali ini niatnya untuk melarikan Mayang. Maka tanpa tunggu lebih lama Gempar Bumi segera perintahkan keempat anak buahnya untuk menyerang Wiro Sableng. Bunuh bangsat itu! demikian dia memerintah! Dan dari tempat gelap dia memperhatikan jalannya pertempuran. Dan bukan main terkejutnya Gempar Bumi ketika dalam tempo yang singkat Wiro berhasil mempereteli anak-anak buahnya satu demi satu! Padahal

keempat anak buahnya itu berkepandaian hanya dua tingkat saja di bawah kepandaiannya! Nyali Gempar Bumi jadi tambah mencair! Ketika anak buahnya yang ketiga jatuh menjadi korban Wiro Sableng, tidak tunggu lebih lama saat itu juga Gempar Bumi segera tinggalkan tempat itu. Mayang dan ayahnya ditemuinya tengah bertempur melawan beberapa anak buahnya dari tingkatan yang lebih rendah. Akan Pagar Alam, begitu melihat kemunculan Gempar Bumi, tersiraplah darahnya! Dia tahu apa artinya ini, maka segera saja dengan sebilah pedang pendek laki-laki ini melompat ke hadapan Gempar Bumi dan menyerangnya dengan satu tebasan yang dahsyat! Walau bagaimanapun Gempar Bumi bukan tandingan Pagar Alam, meski dia bersenjata golok dan lawan bertangan kosong namun Pagar Alam dalam dua jurus saja sudah kena didesak oleh Gempar Bumi. Melihat ayahnya terdesak. Mayang segera memberikan bantuan! Tetap saja pertempuran tidak berjalan seimbang. Gempar Bumi berhasil merampas pedang di tangan Pagar Alam dan dengan senjata itu dia mendesak kedua beranak! Dalam satu gebrakan yang hebat Gempar Bumi berhasil menyelundupkan pedangnya dan menancap dengan tepat di dada Pagar Alam. Sesaat kemudian Mayang berhasil ditotoknya hingga tak bisa bersuara tak bisa bergerak. Dengan memboyong Mayang, Gempar Bumi kemudian meninggalkan tempat itu. Pagar Alam dalam keadaan tak berdaya dan bergumul dengan maut hanya bisa berteriak minta tolong! Dan teriakannya ini terdengar oleh Pendekar 212 Wiro Sableng yang kemudian segera melakukan pengejaran. *** Darah di tubuh Gempar Bumi laksana air mendidih bergejolak. Tangannya menggerayang di sekujur tubuh Mayang yang tak bisa berbuat suatu apa selain berteriak dan menangis. Sementara itu Sati yang disuruh meninggalkan pondoknya berlari di kegelapan malam tanpa tujuan. Ingatannya masih tertuju pada gadis itu. Tak dapat dilupakannya parasnya yang jelita, kulitnya yang mulus kuning langsat dan potongan tubuhnya yang montok padat! Ingatan kepada Mayang membuat larinya kadang-kadang terteguntegun. Hatinya mendorong-dorong agar kembali ke pondok itu. Siapa tahu Gempar Bumi berubah haluan dan berbaik hati mau memberikan sedikit bagian kepadanya! Kalaupun tak dapat bagian

mengintip pun jadilah. Dan semakin besar rasa yang mendorongdorong di hati Sati, Akhirnya laki-laki ini memutar tubuhnya, dan kembali lari menyusuri jalan yang sebelumnya telah ditempuhnya. Kembali ke pondok di tepi sungai itu! Ketika sampai di pondok itu segera Sati mencari sebuah lobang tempat mengintip dengan hati-hati sekali. Sekujur tubuhnya menggigil, lututnya goyah, darahnya memanas dan seperti menyungsang mengalirnya ketika dari lobang di dinding pondok dia menyaksikan pemandangan yang terpampang di depan matanya, di bawah penerangan pelita. Gadis itu terhampar di atas tikar, menangis serak. Sebagian tubuhnya tak kelihatan, tertutup oleh tubuh Gempar Bumi yang mandi keringat! Dan keduanya tanpa selembar pakaian pun! Berkalikali Sati meneguk ludahnya. Seperti hendak diterjangnya saja dinding pondok di hadapannya dan menerobos masuk ke dalam, menggulung tubuh gadis itu. Ah, tentu dia sudah tidak gadis lagi! desis Sati. Keparat betul si Gempar Bumi ini! Mendadak Gempar Bumi menghentikan segala gerak yang dibuatnya lalu membalik dengan cepat. Sepasang matanya memandang liar berkeliling dan tiba-tiba tangan kanannya dipukulkan ke dinding pondok sebelah kanan. Braak! Dinding itu berlobang besar. Di luar pondok seseorang terdengar berteriak, Keterlaluan kau Gempar Bumi! Kawan sendiri diserang! Sati keparat! Kau berani kembali dan mengintip? Kau akan terima hukuman berat dariku! teriak Gempar Bumi marah sekali. Dengan cepat dia mengenakan pakaian hitamnya lalu melompat ke pintu. Namun sebelum pintu itu sempat dibukanya, di atasnya terdengar suara sesuatu yang ambruk dan ketika Gempar Bumi memandang ke atap pondok, sesosok tubuh melayang turun dan satu sinar putih berkiblat melanda ke arahnya!

***

WIRO SABLENG BANJIR DARAH DI TAMBUN TULANG

12

ERKEJUT Gempar Bumi bukan alang-kepalang! Di hadapannya berdiri seorang perempuan tua renta berpakaian putih. Tubuhnya sangat bongkok sedang di tangan kanannya tergenggam sebilah pedang yang terbuat dari perak dan berkilauan ditimpa sinar pelita. Begitu melihat perempuan ini, Mayang berseru, Guru! Si perempuan tua lemparkan sebuah mantel untuk menutupi tubuh Mayang. Mendengar seruan Mayang tadi Gempar Bumi maklum kini bahwa perempuan tua di hadapannya bukan lain Inyak Nini, guru gadis yang barusan saja dirusak kehormatannya! Nama Inyak Nini sudah sering didengarnya, tapi baru kali ini dia berhadapan. Tak bisa dia menduga sampai di mana kehebatan perempuan ini walau sebelumnya di hadapan Mayang dia telah menganggap Inyak Nini seorang lawan enteng yang bisa dirobohkannya di bawah sepuluh jurus! Manusia bejat! suara Inyak Nini bergetar. Kau harus bayar dengan kau punya jiwa atas perbuatan yang kau telah lakukan terhadap muridku! Gempar Bumi tertawa sedingin angin malam. Apa kau masih belum tahu berhadapan dengan siapa, neneknenek bongkok?! Inyak Nini meludah ke lantai. Ludahnya merah karena susur yang senantiasa menyumpal di mulutnya. Nama Gempar Bumi terlalu sering kudengar! Terlalu memuakkan untuk didengar! Dan malam ini aku akan menumpas segala kemuakan itu! Tanpa banyak cakap lagi Inyak Nini melompat ke muka. Pedang perak di tangan kanannya berkiblat. Angin tebasan menderu! Gempar Bumi mengelak dengan sebat lalu selipkan satu serangan balasan, tapi senjata lawan membalik ganas membuat dia melompat

mundur dan memasang kuda-kuda baru! Ternyata Inyak Nini bukan lawan yang bisa dibuat main-main. Tiba-tiba sesosok bayangan hitam muncul di ambang pintu. Gempar Bumi, biar aku yang hadapi setan tua ini! kata orang yang di ambang pintu. Dia bukan lain daripada Sati. Sati keparat! bentak Gempar Bumi. Kau tetap di tempatmu dan awas kalau berani lari! Kau akan terima hukuman dariku! Menciut hati Sati. Maksudnya hendak menghadapi Inyak Nini adalah sebagai penebus kesalahannya. Ternyata Gempar Bumi tidak mau ambil perduli dan tetap akan menjatuhkan hukuman terhadapnya. Dia berpikir-pikir untuk lari tapi itu tentu membuat Gempar Bumi akan bertambah-tambah kemarahannya! Karenanya Sati berdiri di ambang pintu itu dengan hati yang tidak enak dan serba salah! Pondok itu tidak seberapa besar, karenanya tanpa senjata agak sukar juga bagi Gempar Bumi menghadapi amukan Inyak Nini. Pedang perak bersiuran kian kemari, memapas dan membacok, sedang tusukan-tusukan ganas meluncur berulang kali! Namun mata Gempar Bumi yang tajam segera melihat kelemahan-kelemahan jurus ilmu pedang yang dimainkan oleh lawannya. Segera dia menggempur tempat-tempat pertahanan yang lemah ini hingga pertempuran berjalan berimbang beberapa lamanya! Tua renta sialan! Makan ini! teriak Gempar Bumi. Tangannya mengeruk saku, sedetik kemudian puluhan jarum mendengung laksana tawon, menyambar ke arah Inyak Nini! Inyak Nini terkejut! Serta merta dia putar pedangnya. Belasan jarum hitam mental dan luruh ke lantai. Tapi beberapa di antaranya tak sanggup dipapasinya dengan pedang, dan terus menembus dagingnya! Inyak Nini menggerung macam serigala dan menyerbu dengan dahsyat! Dia sudah tahu keganasan racun yang terendam di jarum hitam itu. Meski dia telah kerahkan tenaga dalamnya untuk menutup beberapa jalan darah yang penting agar racun jahat itu tidak merambas ke jantungnya namun tetap saja rangsangan jarum membobolkan jalan darah, terus mengalir menuju jantung! Inyak Nini sadar bahaya besar yang mengidap dalam dirinya. Dalam tempo dua puluh empat jam jika tidak terdapat pertolongan pasti jiwanya melayang! Gempar Bumi tertawa sewaktu mengetahui senjata rahasianya

berhasil menemui sasaran di beberapa bagian tubuh lawan. Perempuan tua! Lebih baik kau bunuh diri sebelum racun jarum itu menghancurkan kau punya jantung! Manusia dajal, kau musti menyertaiku ke akhirat! teriak Inyak Nini lalu menggembor dan menyerang dengan dahsyat. Braak! Sambaran pedang Inyak Nini mengenai tempat kosong dan menghantam dinding pondok hingga hancur bobol! Gempar Bumi pergunakan kesempatan ini untuk menyerang dari samping! Tapi, buuk! Tahu-tahu tendangan kaki kanan Inyak Nini bersarang di bahunya! Tubuhnya terhuyung-huyung beberapa langkah dan bahunya sakit bukan main! Perempuan bedebah! maki Gempar Bumi. Mulutnya komat kamit, tubuhnya membungkuk hampir sebungkuk Inyak Nini sedang kedua tangan terkembang ke muka dengan sepuluh jari-jari menekuk! Inyak Nini maklum kalau lawan hendak keluarkan jurus ilmu silat yang hebat. Maka tidak menunggu lebih lama dia mendahului menyerang dengan pedang di tangan! Dalam detik itu pula Gempar Bumi keluarkan suara keras macam harimau meraung dan tubuhnya berkelebat ke depan! Gerakan kedua tangannya asing sekali bagi Inyak Nini, suara seperti harimau meraung yang keluar dari mulut Gempar Bumi membuat perempuan tua itu terkesiap dan bergidik! Kemudian terdengarlah pekik perempuan tua itu! Dan menyusul pula pekik Mayang yang melihat paras gurunya berlumuran darah mengerikan! Inyak Nini terhuyung-huyung sampai lima langkah ke belakang. Kulit mukanya terkelupas dalam lima guratan yang dahsyat, parasnya berselomotan darah sedang pedang perak di tangan kanannya sudah berpindah ke dalam tangan kanan Gempar Bumi! Sungguh dahsyat jurus Mencakar Kepala Ular Naga, Merampas Busur Pemanah yang telah dilancarkan Gempar Bumi tadi. Jurus itu adalah salah satu jurus terhebat dari Ilmu Silat Harimau. Apakah masih belum mau bunuh diri?! ejek Gempar Bumi. Inyak Nini tidak menjawab. Lututnya menekuk dan tubuhnya perlahan-lahan turun ke bawah macam orang hendak roboh. Tapi mendadak diiringi satu lengkingan dahsyat perempuan ini melompat ke muka, hantamkan kedua tinju kiri kanan dan lancarkan dua tendangan susul-menyusul! Ini adalah satu serangan percuma saja.

Rasa marah dendam kebencian yang bertumpuk di hati Inyak Nini membuat dia lupa memperhitungkan bahwa lawannya tidak lagi bertangan kosong saat itu, tapi menggenggam pedang perak miliknya sendiri! Sekali Gempar Bumi memutar pedang maka terdengarlah raungan Inyak Nini. Kedua lengannya terbabat putus, salah satu kakinya luka parah! Mayang menjerit lalu menangis tersedu-sedu! Inyak Nini terhampar di lantai pondok. Tubuhnya berkelojotan beberapa detik kemudian diam tak berkutik lagi. Gempar Bumi melangkah cepat-cepat ke hadapan tubuh Mayang dan memanggul gadis yang telah hilang keperawanannya itu. Bunuh aku! Bunuh aku keparat! Kau terlalu banyak rewel! hardik Gempar Bumi dan menotok jalan darah di leher Mayang hingga Mayang disamping kaku tak bisa bergerak kini juga tak dapat keluarkan suara! Di ambang pintu Gempar Bumi hentikan langkahnya dan memandang dengan sorot mata melotot pada Sati yang berdiri dengan paras pucat. Kesalahanmu terlalu besar Sati...! Sati menjatuhkan dirinya dan menangis macam anak kecil. Harap kau sudi mengampuni aku. Gempar Bumi, pintanya. Aku ampuni jiwamu! Tapi lekas korek salah satu matamu yang suka mengintip itu! Lekas! Gempar Bumi! Sati menggerung dan bersujud. Keparat! Lekas korek matamu! bentak Gempar Bumi. Atau aku sendiri yang akan mengorek kedua-duanya sekaligus?! Sati maklum tak ada lagi keringanan baginya. Daripada hilang dua mata atau hilang jiwa lebih baik dia cepat-cepat mengorek salah satu matanya! Dengan jari-jari tangan kanan Sati kemudian menusuk mata kirinya. Craas! Biji mata itu mencelat keluar bersama busaian darah. Sati terduduk di ambang pintu, merintih-rintih menahan sakit yang tiada taranya! Itu lebih bagus bagimu daripada mampus! kata Gempar Bumi pula. Lalu dengan tubuh Mayang di bahunya dia segera hendak tinggalkan tempat itu. Namun langkahnya terhenti. Kedua kakinya laksana dipakukan ke tanah! Di Timur pondok terdengar suara orang

membentak. Manusia jahanam! Berani bergerak satu langkah saja kupecahkan batok kepalamu! Waktu suara teriakan orang di malam buta itu belum habis gemanya ketika tahu-tahu sesosok tubuh sudah berdiri tujuh langkah di hadapan Gempar Bumi! Paras Gempar Bumi mendadak sontak berubah pucat putih laksana kain kafan! Mayang dengan susah payah coba putar mata memandang ke muka! Satu harapan muncul di hatinya sewaktu melihat bahwa yang datang itu benarlah orang yang diduganya. Kalau saja mulutnya sanggup bersuara pastilah dia akan berseru memanggil nama orang itu! Turunkan gadis itu...! Cepat! Bangsat! Dia milikku! Kalau kau inginkan dia silahkan ambil sendiri! jawab Gempar Bumi. Lalu tak ayal lagi segera dia cabut Keris Si Penyingkir Jiwa. Dajal bermuka manusia, kali ini jangan harap ada ampun bagimu! Orang ini hantamkan tangan kanannya ke arah kaki Gempar Bumi. Satu gumpalan angin yang bertenaga tiga perempat tenaga dalam menyambar dengan cepat! Gempar Bumi buru-buru melompat. Tengkuknya terasa dingin ketika memandang ke bawah dan melihat bekas angin pukulan lawan! Tanah dan pasir bermuncratan. Sebuah lobang besar kelihatan di tanah! Itulah akibat pukulan Kunyuk Melempar Buah yang telah dilepaskan oleh si pendatang tadi yang bukan lain Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng adanya! Menghadapi lawan tangguh berkepandaian tinggi dengan memanggul tubuh Mayang tentu saja sangat berbahaya bagi Gempar Bumi. Maka sebelum Wiro kembali lancarkan serangan, Gempar Bumi sudah meletakkan tubuh Mayang di tanah. Sesaat kemudian terjadilah pertempuran yang hebat! Kalau dalam pertempuran pertama dulu kelihatannya agak seimbang itu adalah karena Wiro masih memberi hati terhadap Gempar Bumi. Tapi hari ini tak ada lagi segala macam belas kasihan di hati Pendekar 212 Wiro Sableng. Melihat tubuh Mayang yang hanya tertutup sehelai mantel dia sudah tahu apa yang dilakukan Gempar Bumi terhadap gadis itu! Sebenarnya, di satu tempat pada malam itu Wiro sudah berniat

menghentikan pengejarannya terhadap Gempar Bumi. Sementara dia mencari tempat yang baik untuk tidur tapi lapat-lapat didengarnya suara teriakan, suara pekik raungan. Suara itu didengarnya sampai berulang kali dan dari arah yang sama! Penuh curiga Wiro laksana terbang segera lari ke jurusan sumber suara. Dia berada beberapa puluh tombak di satu pedataran tinggi sewaktu di ambang pintu sebuah pondok yang diterangi oleh pelita dilihatnya berdiri seorang laki-laki berpakaian hitam, memanggul sesosok tubuh! Meski dalam jarak sejauh itu Wiro tak dapat melihat jelas tampang manusia itu namun dia yakin, orang ini pastilah Gempar Bumi! Keris hitam di tangan Gempar Bumi laksana puluhan buah banyaknya. Serangannya mencurah seperti hujan deras! Tak jarang sekaligus dia mengirimkan beberapa buah tusukan dalam satu jurus serangan! Betapapun hebatnya Gempar Bumi, namun segala kehebatannya itu hanya sepuluh jurus saja sanggup diperlihatkannya. Jurus-jurus berikutnya dia telah kena didesak hebat oleh permainan silat Orang Gila yang mulai dikembangkan Wiro. Dalam keadaan terdesak Gempar Bumi lepaskan senjata rahasianya. Tapi tiada guna. Sekali Wiro hantamkan telapak tangan kirinya ke muka, jarum-jarum hitam itu bermentalan kian ke mari! Aku minta tangan kirimu dulu, Gempar bumi! kata Wiro. Tubuhnya maju cepat ke muka dalam gerakan yang terhuyunghuyung. Gerakan ini bagi Gempar Bumi merupakan suatu gerakan yang sangat mudah untuk diserang! Segera dia tusukkan Keris Penyingkir Jiwa ke dada lalu setengah jalan robah menusuk ke kepala! Namun dalam gerakan yang tak teratur Wiro berhasil mengelit tusukan itu. Dan Gempar Bumi memekik keras sewaktu tahu-tahu tangan lawan telah mencengkeram lengan kirinya! Gempar Bumi menusuk lagi dengan kalap. Tapi tubuhnya terbanting ke kanan dan, kraak! Suara kraak itu disusul dengan suara pekikan setinggi langit dari mulut Gempar Bumi! Lengan kirinya sebatang bahu tanggal, daging dan urat-urat berbusaian! Darah memancur! Laki-laki ini menjerit-jerit kesakitan! Berteriaklah memanggil majikanmu Datuk Sipatoka! ejek Wiro. Tiga jari tangan kirinya menyusup ke depan. Kraak!

Untuk kedua kalinya terdengar lagi pekik Gempar Bumi. Dua buah tulang iganya yang sebelah kanan patah! Kau akan mampus dengan menderita lebih dulu, Gempar Bumi keparat! Kau akan terima imbalan atas dosa-dosa kejimu! Kembali dengan mengeluarkan jurus-jurus silat Orang Gila yang dipelajarinya dari Tua Gila, Wiro tusukkan lagi dua jari tangan kanannya. Craas! Gempar Bumi melolong. Biji matanya yang sebelah kanan berbusaian keluar. Tubuhnya terhuyung nanar. Sati! Bantu aku! teriak Gempar Bumi. Tapi Sati sudah sejak lama terhampar di muka pintu pondok dalam keadaan pingsan! Kenapa tidak minta bantuan pada setan-setan penghuni sekitar tempat ini?! Bukankah kau manusia turunan iblis juga hah?! bentak Wiro dan melangkah mendekati Gempar Bumi. Gempar Bumi mundur terus. Tiba-tiba kakinya menginjak sesuatu dan tak ampun lagi tubuhnya tergelimpang jatuh punggung menimpa sesosok tubuh. Mulanya disangkanya, tubuh yang terhimpit badannya itu adalah tubuh Sati tapi ketika ditolehnya ternyata tubuh Mayang. Satu pikiran terlintas di kepala Gempar Bumi. Meski bagaimanapun dia tak ada harapan untuk hidup! Pemuda keparat! Kau inginkan perempuan ini! Ambillah! teriak Gempar Bumi dan serentak dengan itu dihunjamkannya Keris Si Penyingkir Jiwa ke dada Mayang! Laksana orang kemasukan setan Wiro Sableng meraung! Seantero bergetar! Sinar putih melesat menyambar ke arah Gempar Bumi! Laki-laki ini coba membuang diri ke samping untuk menghindarkan Pukulan Sinar Matahari itu tapi sia-sia saja! Sebagian dari tubuhnya kena tersambar dan hangus hitam! Gempar Bumi menjerit. Terguling di tanah sampai enam tombak dan mengerang kesakitan. Meski dalam beberapa kejap mata lagi Gempar Bumi akan segera menghembuskan nafas penghabisan namun Wiro masih belum puas. Dia melompat ke muka, mencengkeram rambut dan dada Gempar Bumi. Terdengar suara patahnya tulang leher manusia terkutuk itu! Tamatlah riwayat kedurjanaan Gempar Bumi! Wiro Sableng lari menghampiri Mayang. Dipangkunya gadis ini.

Darah telah membasahi dada yang tiada tertutup apa-apa. Wiro tak memperdulikan darah yang membasahi pula pakaiannya. Mayang... bisiknya. Mayang. panggil Wiro lebih keras. Diusapnya kening dan rambut perempuan itu. Sepasang mata Mayang membuka sedikit. Yang kelihatan lebih banyak putihnya daripada hitamnya. Wi... ro... Mata yang sudah mengabur itu masih sanggup juga mengenali wajah di depannya. Sakit sekali rasa... nya... Kau... kau akan kuobati. Kau akan sembuh. kata Pendekar 212 tersendat-sendat karena dia tahu kata-katanya itu tak bakal menjadi kenyataan. Mayang juga tahu ajalnya akan sampai. Seulas senyum muncul di bibirnya. Dan pada kejap matanya ditutupkan, nafasnya berhenti. Malaekat maut telah mengambil nyawanya. Dia mati dengan senyum masih membayang di bibirnya yang mungil dan agak membuka sedikit. Wiro tak tahu entah sudah berapa lama dia merangkuli tubuh yang tidak bernafas dan mulai mendingin itu. Dia baru sadar ketika di ufuk timur kelihatan sinar terang. Ternyata fajar telah menyingsing. Dipandanginya lagi wajah Mayang di keheningan pagi yang segar. Perlahan-lahan ditundukkannya kepalanya dan diciumnya bibir yang membuka itu dengan segala rasa kasih dan mesra. Kemudian diangkatnya tubuh Mayang, dibawanya ke pondok. Di pintu pondok tergelimpang tubuh Sati yang masih dalam keadaan pingsan. Wiro gerakkan kaki kanannya. Tubuh Sati mencelat mental, dadanya remuk. Dan kalau tadi tubuhnya tak bergerak karena pingsan maka kali ini tubuh itu tak berkutik lagi tanpa nafas! Di dalam pondok Wiro menemui mayat seorang perempuan tua. Dia tak tahu siapa perempuan tua ini adanya tapi sepintas lalu saja Wiro sudah maklum bahwa perempuan tua itu seorang yang berilmu tinggi dan dari golongan putih. Karenanya sesudah menggali kubur untuk Mayang, digalinya lagi sebuah kubur lain untuk perempuan tua itu. Dan bila sang surya muncul menerangi jagat raya maka di muka pondok di tepi sungai itu kelihatanlah dua buah kuburan saling berdampingan.

***

WIRO SABLENG BANJIR DARAH DI TAMBUN TULANG

13

ATAHARI berada di titik tertingginya tanda saat itu tengah hari tepat. Angin dari barat bertiup keras, menggoyang dan melambai-lambaikan segala daun-daun pepohonan hingga menimbulkan suara gemerisik yang keras. Pendekar 212 Wiro Sableng berdiri di satu pedataran tinggi. Tak diperdulikannya keterikan sinar matahari. Tak diacuhkannya butir-butir keringat yang turun mendekati alis matanya yang tebal. Juga tak diperdulikannya hembusan angin yang keras. Seperti tak terdengar di telinganya suara gemerisik daun-daun pepohonan. Sepasang mata dan perhatian Pendekar 212 tertuju lurus-lurus ke muka. Jauh di hadapannya menjulang sebuah bukit putih. Di sebelah timur kaki bukit putih tampak sebuah bangunan besar yang juga berwarna putih, dikelilingi oleh pagar tinggi putih. Wiro memandang lagi ke bukit putih itu. Dia tahu, bukit itu kalau didekati bukan lain dari tumpukan tulang-belulang dan tengkorak manusia yang jadi korban Datuk Sipatoka dan anak buahnya! Berapa ribukah manusia yang telah menjadi korban keganasan itu?! Berapa ribukah tulang-belulang dan tengkorak manusia ditumpuk demikian rupa hingga kemudian menjadi sebuah bukit yang mengerikan? Bukit Tambun Tulang?! Wiro memperhatikan baik-baik rumah besar dan sekitarnya. Rumah besar ini beratap seperti tanduk kerbau. Pada masing-masing ujung terdapat sebuah tangga, sedang di bagian samping terdapat lagi empat buah tangga yang menghubungkan tanah dengan pintu rumah besar. Yang membuat Wiro Sableng merasa aneh ialah karena matanya tidak melihat seorang manusia pun baik di dalam atau di luar pagar putih yang tinggi itu! Kenapa suasana begini tenangnya di tempat yang dikabarkan paling mengerikan dan membawa maut?! Atau mungkin itu bukan Bukit Tambun Tulang yang di hadapannya?! Wiro tak mau membuang waktu lebih lama untuk tenggelam

dalam segala macam pikiran begitu rupa. Diperbaikinya letak Kapak Maut Naga Geni 212 yang tersisip di pinggang di balik baju putihnya. Kemudian diambilnya buntalan yang terletak dekat kakinya dan sekali berkelebat dia sudah melompat sejauh delapan tombak, terus lari laksana tiupan angin menuruni lereng pedataran tinggi. Ketika dia sampai ke pagar putih itu suasana masih tenangtenang saja seperti sediakala. Dan waktu memandang ke muka terkejutlah Wiro. Ternyata pagar putih itu terbuat dari susunan tulang-belulang dan tengkorak manusia! Wiro tekankan telapak tangan kirinya ke pagar tulang-belulang dan mendorong. Astaga! Pagar itu kokoh luar biasa! Wiro lipat gandakan tenaga dalamnya! Tetap saja pagar itu tak bergerak apalagi bobol! Wiro memandang berkeliling lalu mendongak ke atas. Menurut taksirannya pagar itu setinggi dua puluh tombak lebih. Bagian atasnya rata oleh susunan tengkorak kepala manusia. Wiro melompat ke cabang sebuah pohon besar. Dia melompat-lompat di atas cabang itu beberapa kali untuk menambah daya lenting cabang lalu dengan satu gerakan yang lebih keras maka tubuhnya terlempar melesat ke atas susunan tengkorak. Setelah meneliti beberapa saat lamanya baru Wiro melayang turun ke halaman dalam. Begitu kakinya menginjak tanah kembali dia meneliti keadaan sekitarnya. Rasa ngeri menyelinap di hati pendekar ini sewaktu mengetahui bahwa rumah besar yang terletak tiga puluh tombak di hadapannya ternyata dari tiang-tiang sampai ke atapnya terbuat dari tulang-belulang dan tengkorak manusia! Belum lagi Pendekar 212 sempat menindas rasa ngeri ini mendadak semua pintu dan jendela-jendela rumah besar terpentang lebar! Terdengar suara mengaum dahsyat laksana halilintar! Tanah yang dipijak Wiro Sableng bergetar hebat! Sekejap kemudian dari pintu-pintu dan jendela-jendela rumah besar berserabutan keluar puluhan ekor harimau besar, mengaum memperlihatkan taringnya yang besar runcing lalu serempak menyerbu ke arah Wiro Sableng! Wiro sadar kalau dia telah masuk ke dalam perangkap kematian! Segera dia songsong serangan harimau itu sekaligus dengan dua pukulan Kunyuk Melempar Buah! Belasan harimau terdorong dan terpelanting tapi sesaat kemudian dengan serempak mereka telah menyerang kembali! Dan sewaktu sekilas Wiro memandang berkeliling kejutnya bukan olah-olah! Seluruh halaman itu telah penuh dengan harimau! Dia merasa laksana berada di tengah lautan

harimau! Dan kesemua binatang itu sama-sama menyerbu, bersirebut cepat untuk merobek atau menerkam tubuhnya! Melihat gelagat maut ini Wiro segera cabut Kapak Naga Geni 212. Kapak di tangan kanan dan Pukulan Sinar Matahari siap di tangan kiri maka Wiro Sableng mulai bergerak menghadapi puluhan harimau! Melihat kilauan dan angin deras ganas yang keluar dari Kapak Naga Geni 212, binatang-binatang itu tampak tertegun dan bersurut mundur. Tapi cuma beberapa ketika saja. Sesaat kemudian mereka sudah menggerung dan menyerbu kembali. Wiro kiblatkan Kapak Naga Geni 212 dan hantamkan tangan kiri! Lima ekor harimau mengaum dahsyat dan rebah bermandikan darah kena disambar Kapak Naga Geni 212. Kira-kira selusin lainnya mati hangus dilanda Pukulan Sinar Matahari! Jika dia menghadapi seorang manusia mungkin dia sudah bertempur seratus jurus lebih! Puluhan ekor harimau telah ditewaskannya! Namun yang masih tinggal menyerang lebih ganas lagi laksana kemasukan roh gaib karena melihat genangan darah kawan-kawan mereka! Wiro putar terus Kapak Naga Geni 212 dan tangan kirinya tiada henti memukul ke depan atau ke belakang. Akhirnya lima belas ekor harimau yang masih hidup yang menjadi ngeri melihat amukan pemuda ini bersurut mundur. Setelah sama-sama menggerung kesemuanya melompat masuk ke dalam rumah besar dan di saat itu pula semua jendela serta pintu tertutup kembali! Melihat ini Wiro segera tahu bahwa seseorang telah menggerakkan alat rahasia untuk membuka dan menutup pintu! Tapi di mana orangnya sembunyi dia tidak tahu. Dan agaknya Wiro tidak memperdulikan lagi hal itu. Tubuhnya terasa letih! Keringat membasahi pakaiannya. Tulang-tulangnya laksana bertanggalan dari persendian. Ke jurusan mana saja dia memandang hanya bangkai-bangkai harimau yang kelihatan. Dan suasana yang diliputi kesunyian itu membuat Wiro benar-benar jadi bergidik! Keletihan membuat dia duduk terhenyak di tanah. Sambil mengatur jalan nafas dan darah serta mengembalikan tenaganya kedua matanya senantiasa berlaku awas. Entah perangkap apa lagi yang bakal menghadangnya! Bila dirasakannya kekuatannya sudah pulih maka Wiro segera menyelidiki keadaan rumah besar tempat sarang harimau-harimau itu. Tak kelihatan tanda-tanda adanya manusia di situ, tapi Wiro

yakin bahwa setiap gerak pasti tengah diawasi orang dari tempat yang tersembunyi! Sementara itu kedua kakinya telah kotor oleh genangan darah harimau dan tanah yang sudah menjadi lumpur akibat darah binatang-binatang itu! Wiro Sableng akhirnya hentikan penyelidikan. Dia mendongak ke atas, dengan kerahkan tenaga dalam dia berteriak, Datuk Sipatoka! Beginikah caranya kau menyambut tamu yang datang untuk menyelesaikan urusan? Harap keluar perlihatkan dirimu...! Baru saja Wiro berteriak begitu tiba-tiba dirasakannya tanah berlumpur yang dipijaknya bergetar. Kedua kakinya laksana disedot! Wiro melompat ke salah sebuah tangga rumah besar yang terbuat dari tulang! Kejutnya bukan alang kepalang. Halaman di mana bergelimpangan puluhan harimau itu kelihatan mencekung memanjang dari utara ke selatan dan pada pusatnya membentuk sebuah lobang besar. Telinganya menangkap suara berkereketan. Astaga rumah besar di mana dia berada sedikit demi sedikit amblas sedang bangkai-bangkai harimau bergelindingan ke pusat cekungan. Gendeng betul! maki Wiro. Cepat-cepat dia melompat ke atas atap rumah yang berbentuk tanduk kerbau dan dari sini melompat lagi ke puncak pagar tengkorak! Sewaktu dia sampai di atas puncak pagar dan memandang ke bawah, seperti mimpi dia rasanya. Rumah besar dan bangkai-bangkai harimau lenyap! Yang kelihatan kini ialah sebuah halaman rata yang tertutup rumput hijau! Wiro menggosok matanya. Digigitnya bibirnya. Terasa sakit. Dia tidak bermimpi! Tapi bagaimana keanehan ini bisa terjadi?! Dalam selubungan rasa heran dan terkejut itu tiba-tiba dia melihat sebuah pintu di kaki pagar sebelah timur. Tadi sama sekali tidak dilihatnya pintu itu, kini kenapa tahu-tahu sudah terpampang begitu rupa! Lagi-lagi, keanehan yang tak bisa dimengerti oleh Wiro. Dan mendadak pintu itu terbuka. Wiro cepat raba Kapak Naga Geni 212-nya. Ampun! Yang muncul bukan bahaya yang dikhawatirkannya tapi dua orang gadis jelita berpakaian kuning bergemerlapan ditimpa sinar matahari. Keduanya melangkah di halaman berumput dan berhenti cepat di tengah-tengah. Mereka mendongak ke arah ujung pagar tempat Wiro berdiri dengan bantalan di tangan kiri lalu salah seorang di antaranya berseru. Tamu berpakaian putih-putih silahkan turun! Kalian siapa?! tanya Wiro. Kami adalah pesuruh-pesuruh Datuk Sipatoka!

Kalau begitu katakan padanya bahwa aku hendak bertemu dengan dia. Turunlah! Kami antarkan kau padanya! Wiro berpikir sejenak. Seruan dara jelita itu kerasnya bukan main, menggetarkan pagar tulang-belulang di mana dia berada. Bukan mustahil dengan mengandalkan kedua dara berbaju kuning ini musuh hendak memasang perangkap baru baginya! Suruh saja Datuk Sipatoka datang ke sini! ujar Wiro. Jelas kelihatan perubahan pada wajah kedua dara berpakaian kuning. Nyalimu besar sekali! Tapi mengapa disuruh turun untuk diantar menghadap Datuk Sipatoka kau tak mempunyai keberanian sama sekali?! Sialan! Kalau aku tak punya keberanian masakan mau datang kemari?! Lekas panggil Datukmu! Katakan aku membawa oleh-oleh bagus untuknya! Kedua dara berpakaian kuning kerutkan kening. Yang seorang, yang sejak tadi berdiam diri saja tiba-tiba buka mulut keluarkan suara, Sekali kau bisa datang ke sini jangan kira sanggup keluar hidup-hidup! Wiro Sableng tertawa. Setiap ada datang musti ada pergi! Setiap ada masuk musti ada keluar! Si dara baju kuning mendengus. Apa matamu buta, tidak melihat keadaan sekitarmu?! Wiro tersentak dan memandang berkeliling. Tak ada hal-hal yang mencurigakan yang dilihatnya. Tapi hidungnya mencium hawa aneh yang membuat sendi-sendi di sekujur tubuhnya menjadi linu kesemutan dan jantungnya bergetar. Ditelitinya lagi keadaan sekelilingnya. Dan kali ini terkejutlah dia! Sekeliling pagar tinggi itu terselimut semacam asap tipis yang tak akan kelihatan bila tidak diperlihatkan sungguh-sungguh. Asap tipis aneh inilah yang mengeluarkan hawa yang tercium oleh Wiro. Di bawahnya terdengar suara bergelak sang dara baju kuning. Sekali kau berani melompat coba menerobos Asap Seribu Tulang itu, kau akan lumpuh cacat seumur hidup! Lekas turun! Wiro tahu bahwa ucapan itu bukan sekedar untuk menakutnakutinya. Dia telah rasakan sendiri kehebatan asap itu. Pemandangannya agak berkunang-kunang sedang debaran jantungnya bertambah keras! Heran, padahal dia telah digembleng demikian rupa hingga kebal terhadap segala macam racun, tapi

mengapa Asap Seribu Tulang itu masih sanggup mempengaruhinya?! Dengan kertakkan rahang Wiro Sableng melompat turun. Untuk beberapa detik lamanya dia saling pandang memandang dengan kedua dara baju kuning. Dan dalam hatinya Wiro berkata, Buset, gadis-gadis begini cantik jadi pesuruh Datuk Sipatoka! Geblek betul! Agaknya kedua gadis pun telah terpesona melihat kegagahan tampang Pendekar 212. Namun yang seorang segera membentak, Lekas ikut kami! Awas! Kalau kalian menjebakku, kalian akan mampus percuma! peringatkan Wiro. Kedua gadis tak berkata apa-apa dan melangkah menuju pintu di sebelah timur, Wiro mengikuti di belakang penuh waspada. Tangan kanannya senantiasa siap dekat hulu Kapak Naga Geni 212 untuk menjaga segala kemungkinan yang ada! Mereka memasuki pintu di sebelah timur pagar tulang-belulang. Begitu masuk begitu pintu tertutup dengan sendirinya. Wiro melipatgandakan kewaspadaannya. Sepuluh langkah meninggalkan pintu terdapat tangga tulang yang menurun ke bawah, disusul oleh sebuah lorong sepanjang dua puluh tombak. Lorong itu kemudian bercabang dua. Kedua dara baju kuning membelok ke kiri. Wiro mengikuti. Tengkuknya terasa dingin sewaktu memasuki lorong ini. Lorong ini baik bagian lantai maupun atas serta samping dilapisi dengan tulang-tulang manusia, dihias dengan beberapa tengkorak kepala yang dibuat sedemikian rupa hingga seperti bunga! Lewat sepeminum teh Wiro merasa tambah tidak enak. Ini ke mana?! tanyanya. Jangan banyak tanya! Ikut sajalah! sentak dara baju kuning paling muka. Tak lama kemudian lorong itu sampai juga ke ujungnya. Sebuah pintu gerbang kelihatan di depan, dikawal oleh dua orang dara berbaju kuning dan dua ekor harimau yang luar biasa besarnya, jauh lebih besar dari harimau-harimau yang telah dihadapi Wiro sebelumnya! Ketika Wiro memandang ke bagian atas pintu gerbang tulang-belulang itu, di situ terdapat rentetan huruf-huruf yang terbuat dari tulang-tulang iga manusia yang berbunyi: ISTANA SIPATOKA. Pintu gerbang itu diberi hiasan gaba-gaba untaian tulang-tulang manusia. Kedua gadis menyibakkan gaba-gaba ini lalu memberi jalan pada Wiro Sableng. Pendekar 212 tak segera masuk. Dia memandang ke dalam

dengan mata menyelidik dan terkesiap. Di hadapan pintu gerbang itu terhampar sebuah halaman berumput yang dihias arca-arca besar yang terbuat dari tulang-belulang! Di seberang halaman berumput kelihatan bagian depan sebuah bangunan yang sangat indah yang atapnya berbentuk tanduk kerbau. Seluruh bangunan terbuat dari tulang putih, diukir-ukir. Meskipun indah tapi keindahan itu dibayangi kengerian bagi Pendekar 212. Ayo masuk! seru dara baju kuning. Wiro menggigit bibir. Meski hatinya bimbang untuk masuk tapi sudah terlambat untuk kembali. Dengan kuatkan hati besarkan nyali tapi juga penuh waspada Pendekar 212 memasuki pintu gerbang Istana Sipatoka.

***

WIRO SABLENG BANJIR DARAH DI TAMBUN TULANG

14

AMPAI di hadapan tangga gedung besar dari tulang-belulang kedua gadis baju kuning hentikan langkahnya. Terus masuk ke ruang tengah. Datuk Sipatoka telah menanti kedatanganmu! kata salah seorang dari dara-dara baju kuning. Kalian sendiri mau ke mana? Apa urusanmu?! Wiro memaki dalam hati. Sepasang matanya meneliti suasana sebentar lalu menaiki tangga. Dilewatinya ruangan muka dan sesaat kemudian dia sudah berada di satu ruangan tengah yang amat luas. Kira-kira dua puluh orang kelihatan duduk di ujung dalam ruangan, di atas kursi-kursi yang terbuat dari tulang-tulang kaki, tulang iga dan tulang punggung manusia! Semuanya berpakaian hitam, hanya seorang yang berpakaian lain dari yang lain. Orang yang berpakaian lain dari yang lain ini duduk di deretan terdepan sebelah tengah. Tubuhnya cebol sekali, demikian cebolnya hingga kedua kakinya tidak mencapai lantai ruangan! Tidak berpadanan dengan tubuhnya yang cebol itu, kepalanya amat besar sekali, demikian juga telinganya. Rambutnya panjang menjulai bahu, kumis tebal melintang dan janggut macam janggut kambing! Sepasang matanya yang merah menyorot tajam, keseluruhan air muka manusia ini membayangkan kebengisan! Inikah Datuk Sipatoka? Pikir Wiro. Kalau betul maka melesetlah dugaannya. Sebelumnya dia menduga manusia bernama Datuk Sipatoka itu bertubuh tinggi kekar, tapi nyatanya cebol begitu rupa. Di samping potongan tubuh dan raut wajahnya yang bengis itu ada beberapa hal yang menjadi perhatian Wiro Sableng. Yang pertama ialah pakaian manusia cebol ini. Dia mengenakan jubah pendek macam rok bertangan panjang yang terbuat dari kulit harimau, kuning berbelang hitam. Di seluruh pakaiannya ini bergantungan puluhan keris-keris emas berhulu gading, tanpa sarung dan panjangnya kira-kira tiga perempat jengkal! Itulah hal

kedua yang menarik perhatian Wiro. Hal ketiga ialah kedua tangan manusia ini yang berwarna hitam legam tanda dia memiliki semacam ilmu pukulan yang hebat dan mengandung racun jahat! Wiro berdiri di tengah ruangan besar itu, sejauh dua puluh tombak dari deretan kursi terdepan. Suasana sesunyi di pekuburan. Tak ada yang bergerak, tak ada yang buka suara. Hanya pandanganpandangan mata yang saling bentrokan dengan pandangan mata Wiro Sableng! Ketika hampir setengah peminum teh suasana masih sunyi juga, Wiro akhirnya berkata, Apakah aku berhadapan dengan Datuk Sipatoka dari Tambun Tulang?! Si tubuh cebol kepala besar memandang lekat-lekat pada Wiro lalu tengadahkan kepala dan tertawa gelak-gelak! Suara tertawanya demikian dahsyat hingga menggetarkan sekujur tubuh Wiro Sableng dan menyendat-nyendat jalan darahnya. Buntalan di tangan kirinya kalau saja tidak dipegangnya erat-erat pastilah akan terlepas! Wiro kaget bukan main! Cepat-cepat dia kuasai jalan darah dan kerahkan tenaga dalam untuk menolak gempuran suara tawa yang dahsyat itu. Istana Sipatoka di bawah Bukit Tambun Tulang! Siapa datang jangan harap bisa pulang! si cebol kepala besar tiba-tiba keluarkan suara. Kata demi kata yang diucapkannya itu laksana genta yang memukul jalan pendengaran Wiro Sableng hingga kembali pendekar ini merasa tergetar sekujur tubuhnya. Cepat-cepat pula Wiro lipat gandakan tenaga dalamnya kembali. Dan di hadapan sana Datuk Sipatoka kembali buka suara. Ucapan-ucapannya laksana bait-bait pantun. Delapan puluh lima harimau pengawal Istana Sipatoka telah musnah! Halaman luar banjir darah! Entah apa pangkal sebabnya. Hingga tamu tak dikenal berbuat demikian rupa?! Wiro kerenyitkan kening mendengar ucapan-ucapan berpantun ini. Setelah merenung sejenak maka dia pun menjawab dengan ucapan berpantun pula! Jauh berjalan menyeberangi samudera. Mengarung maut mengadu jiwa. Kalau tidak ada pangkal sebabnya. Masakan mau berbuat sedemikian rupa? Semua orang kelihatan saling berpandangan sedang Datuk Sipatoka sendiri naikkan sepasang alis matanya. Dan saat itu Wiro berkata pula, Delapan puluh lima harimau mati percuma! Pemiliknya bertanya berpura-pura. Kenapa tamu tak dikenal berbuat

begitu rupa? Padahal dia yang memulai silang sengketa?! Datuk Sipatoka berbatuk-batuk lalu menjawab, Silang sengketa apa gerangan adanya! Berhadapan pun baru hari ini! Kalau sudah bosan hidup katakan saja! Mengapa datang sengaja mencari mati?! Wiro tertawa mengekeh. Datuk Sipatoka! Aku muak bicara berpantun-pantun macam orang main sandiwara tapi untuk mengusut urusan yang telah kau buat di Pulau Madura! Urusan apa, hai orang gila?! tanya Datuk Sipatoka yang saat itu masih merah mukanya karena ucapan Wiro tadi. Di Pulau Madura kau telah membunuh seorang bernama Kiai Bangkalan dan mencuri sebuah kitab miliknya! Paras Datuk Sipatoka berubah. Lalu dia tertawa gelak-gelak untuk melenyapkan perubahan paras itu! Jangan bicara tak karuan di sini! Apa kau punya bukti atas tuduhanmu itu?! Dua buah keris yang menancap di mata Kiai Bangkalan sama dengan keris-keris yang bergelantungan di pakaianmu! sahut Wiro Sableng. Ocehanmu bagus sekali! tukas Datuk Sipatoka. Wiro menyeringai. Kita akan lihat aku yang mengoceh atau kau yang berkicau macam burung kehilangan sarang! Habis berkata begitu Wiro keruk saku bajunya dengan tangan kanan dan melemparkan sebuah benda ke hadapan kaki Datuk Sipatoka. Benda itu adalah robekan kulit harimau yang ditemui Wiro di pertapaannya Kiai Bangkalan di Pulau Madura tempo hari. Itu adalah robekan pakaianmu yang kutemui di tempat Kiai Bangkalan! Apakah kau masih mau mungkir? Terlalu pengecut seorang sepertimu mencoba untuk mungkir! Air muka Datuk Sipatoka membesi. Katakan siapa namamu dan apa sangkut pautnya dengan Kiai Bangkalan?! Namaku telah kusampaikan beberapa hari yang lalu lewat seorang anak buahmu. sahut Wiro seraya memandang berkeliling lalu menunjuk pada seorang laki-laki yang di keningnya tertera tiga buah angka 212. Laki-laki inilah yang memiliki pondok di tepi sungai yang telah dipergunakan Gempar Bumi untuk memperkosa Mayang. Datuk Sipatoka tidak palingkan kepala. Dia memang telah

mendapat laporan dari anak buahnya itu tapi tidak menyangka kalau inilah pemudanya yang telah mengukir tiga buah huruf itu di kening anak buahnya! Dan tentang sangkut pautnya dengan Kiai Bangkalan, bukan urusanmu untuk menanyakan! Pemuda, nyalimu setinggi gunung! Kau toh tidak mempunyai tiga kepala enam tangan?! Mungkin hendak mengandalkan ilmu silat dan kesaktian? Jauh-jauh datang kemari hanya untuk mencari mati! Wiro tertawa dingin. Ini membuat Datuk Sipatoka menjadi naik darah. Dia memandang berkeliling. Namun sebelum dia memerintah anak buahnya untuk turun tangan Wiro Sableng memotong, Datang jauh-jauh aku tidak bertangan kosong, Datuk. Sengaja aku membawa oleh-oleh untukmu! Setelah berkata begitu Wiro lemparkan buntalan yang sejak tadi dipegangnya di tangan kiri. Apa ini?! sentak Datuk Sipatoka. Silahkan buka sendiri! jawab Wiro seenaknya. Meski hatinya teramat geram namun Datuk Sipatoka berikan isyarat pada seorang anak buahnya. Anak buahnya ini segera berdiri dari kursi, melangkah dan membungkuk membuka ikatan buntalan yang terletak di hadapan kaki Datuk Sipatoka. Begitu buntalan terbuka maka gemparlah seisi ruangan! Yang terbungkus dalam buntalan itu ternyata adalah kepala manusia! Matanya sebelah kanan hanya merupakan rongga besar yang tergenang darah beku dan serabutan urat-urat. Seluruh muka berselimutkan darah yang mengering! Meski kepala itu sudah demikian rusak dan busuk namun tak ada satu orang pun di ruangan tersebut yang tak mengenalinya! Kepala itu adalah kepala Gempar Bumi! Pembantu utama Datuk Sipatoka! Datuk Sipatoka dikungkung pelbagai macam rasa. Marah, heran, dan entah apa lagi! Mungkin juga dirinya dirayapi rasa ketakutan! Gempar Bumi adalah pembantu utamanya yang berkepandaian sangat tinggi di antara anak buahnya! Tapi toh dia mati demikian rupa! Dan siapa lagi kalau bukan pemuda di hadapannya itu yang telah membunuh Gempar Bumi! Bedebah bernama 212! Tak ada jalan lain! Kematianmu terpaksa kupercepat! Datuk Sipatoka memandang berkeliling lalu memerintah dengan suara menggeledek, Semua yang ada di sini

serbu bedebah itu! Hancur lumatkan tubuhnya hingga jadi debu! Maka dua puluh orang laki-laki berseragam hitam berlompatan dari kursi masing-masing. Enam orang di antaranya adalah pembantu-pembantu kelas satu dengan gambar kepala harimau kuning besar di dada pakaiannya. Selebihnya pembantu-pembantu biasa tetapi yang tingkat kepandaiannya tak bisa dianggap sepele! Ketika menyerbu pembantu-pembantu biasa dan pembantupembantu kelas dua langsung mencabut keris. Pembantu-pembantu kelas satu hanya mengandalkan tangan kosong! Melihat serbuan yang laksana air bah ini Wiro Sableng bersuit nyaring dan cabut Kapak Naga Geni 212 sedang tangan kiri sudah memutih laksana perak oleh aji Pukulan Sinar Matahari! Begitu lawan menyerbu Wiro segera bergerak. Terdengar suara pekikan! Dua orang pembantu kelas satu terhuyung-huyung, muntah darah dan rubuh! Tiga orang pembantu kelas dua terduduk di lantai dan rebah tak berkutik lagi. Empat orang pembantu-pembantu biasa mencelat mental dan jatuh bergelimpangan di lantai tanpa nafas! Datuk Sipatoka kaget luar biasa. Anak-anak buahnya demikian juga, bahkan Pendekar 212 Wiro Sableng ikut terkejut! Waktu lawan-lawan menyerbu, Wiro memang sudah gerakkan kedua tangan tapi sama sekali belum menghantam! Dirasakannya satu sambaran angin luar biasa dahsyatnya di atas kepalanya lalu beberapa penyerangnya roboh! Datuk Sipatoka keluarkan sebuah lonceng kecil dan menggoyanggoyangnya beberapa kali. Empat puluh dara-dara jelita berseragam kuning muncul dengan pedang di tangan. Mereka adalah pesuruhpesuruh istana tapi yang sekaligus merangkap peliharaan Datuk Sipatoka! Lepaskan Asap Seribu Tulang! Tutup semua jalan keluar! perintah Datuk Sipatoka pada dara-dara itu. Begitu perintah dikatakan begitu keempat puluh gadis itu lenyap dari pemandangan Wiro Sableng. Datuk Sipatoka memandang ke langit-langit ruangan di belakang Wiro lalu membentak, Orang yang sembunyi di atas loteng silahkan turun perlihatkan diri! Wiro Sableng kerenyitkan kening sewaktu dari atas loteng terdengar suara tertawa bergelak. Dia rasa-rasa pernah mendengar tawa macam begitu tapi tak bisa menduga dengan pasti siapa

orangnya! Sipatoka, kau belum layak melihat diriku! kata orang yang di atas loteng. Datuk Sipatoka mendelik. Dia berpaling pada keempat jago kelas satu dan memberi isyarat! Keempat anak buahnya ini segera melompat ke langit-langit. Tangan kanan memegang keris sedang tangan kiri menghantam. Empat larik angin pukulan yang dahsyat menderu ke atas! Langit-langit yang terbuat dari tulang bobol hancur berantakan! Tapi bersamaan dengan jatuhnya hancuran tulangtulang itu, keempat jago kelas satu itupun terhempas ke lantai, mengeluh panjang lalu muntah darah dan konyol! Geraham-geraham Datuk Sipatoka bergemeletakan. Anak-anak buahnya saling pandang dengan muka pucat! Dan di loteng, tepat di atas kepala Datuk Sipatoka, kembali terdengar suara tertawa bergelak! Kurang ajar! geram Datuk Sipatoka. Tangan kanannya bergerak mencabut sepuluh keris emas kecil yang bergantungan di jubah kulit harimaunya! Sekejap kemudian senjata-senjata itu laksana kilat melesat ke loteng di atas kepalanya!

***

WIRO SABLENG BANJIR DARAH DI TAMBUN TULANG

15

API betapa terkejutnya Datuk Sipatoka. Masih setengah jalan tahu-tahu laksana ranting-ranting kering dilanda angin putingbeliung ke sepuluh keris itu berpelantingan ke bawah. Dua buah melesat ke arah Datuk Sipatoka, selebihnya bermentalan ke arah pembantu-pembantunya yang duduk di kursi! Sekali mengebutkan jubah kulit harimaunya maka mentallah kedua keris yang menyerang Datuk Sipatoka. Tapi tidak demikian dengan pembantu-pembantunya! Suara pekik melengking raungan laksana hendak meruntuhkan langit-langit. Delapan orang terkulai di kursi masing-masing tanpa bisa bergerak lagi. Mereka adalah dua orang pembantu kelas satu, empat orang pembantu kelas dua dan dua orang pembantu biasa! Tubuh-tubuh mereka ditancapi keris kuning milik datuk mereka sendiri! Ada yang menancap tepat di ubun-ubun, ada yang di muka, di dada dan di perut! Paras Datuk Sipatoka kelam membesi. Mulutnya berkomat-kamit. Janggut dan kumisnya laksana kawat meranggas karena amarah! Kedua tangannya yang hitam saling digosok-gosokkan satu sama lain. Sedetik kemudian dari kedua tangannya itu mengepullah asap hitam yang berbau busuk! Manusia di atas loteng tahukah kau pukulan apa yang sebentar lagi hendak kulepaskan jika kau tetap berkeras kepala tidak mau unjukkan diri?! Orang di atas loteng tertawa gelak-gelak. Dari tempatku ini aku dapat melihat jelas, Sipatoka! Cuma Ilmu Pukulan Hawa Neraka, siapa yang takutkan? Sayang ilmu itu adalah ilmu kesaktian paling hebat yang terakhir kau miliki. Sayang... dan orang itu tertawa lagi gelak-gelak lalu menyambungi, Tapi jika kau mau mengadakan perjanjian aku bersedia muncul unjukkan diri! Perjanjian macam mana?! tanya Datuk Sipatoka seraya hentikan menggosok-gosok kedua telapak tangannya. Sampai saat

itu dia masih tetap duduk di kursi kebesarannya! Kau bertempur sampai seratus jurus melawan pemuda pakaian putih rambut gondrong itu...! Wiro Sableng tersentak kaget. Lalu?! bentak Datuk Sipatoka. Jika pemuda itu menang, kau harus bunuh diri! Sebelum bunuh diri kau harus pesankan pada anak-anak buahmu, pada seluruh isi Istana Sipatoka ini untuk memusnahkan semua bangunan yang ada di sini dan agar mereka semua kembali ke jalan yang benar! Jika dia yang kalah apa imbalannya? tanya Datuk Sipatoka. Pertama kau boleh bunuh pemuda itu, juga boleh tamatkan riwayatku. Kedua, buku Seribu Macam Ilmu Pengobatan yang kini ada padaku silahkan kau miliki untuk selama-lamanya! Berubahlah paras Datuk Sipatoka. Dia tidak terkejut pada syaratsyarat perjanjian yang dikatakan. Tapi begitu mengetahui bahwa buku Seribu Macam Ilmu Pengobatan berada di tangan orang yang di atas loteng itu kagetlah dia! Wiro Sableng sendiri terkesiap karena justru kedatangannya ke Tambun Tulang adalah untuk mencari buku itu! Kurang ajar! terdengar makian Datuk Sipatoka menggeledek. Dari mana kau ambil buku itu?! Dari dalam kamarmu tentu! sahut orang di atas loteng dan tertawa mengekeh. Bagaimana?! Dalam hati Datuk Sipatoka mengutuk habis-habisan. Jika orang itu dapat masuk ke dalam Istana Sipatoka dan mencuri kitab Seribu Macam Ilmu Pengobatan dari dalam kamarnya, nyatalah kepandaiannya luar biasa sekali dan dia telah saksikan sendiri tadi! Menurut pandangan Datuk Sipatoka kalau bertempur melawannya belum tentu dia bisa dikalahkan oleh orang sakti itu. Tapi untuk mengalahkan lawan bukan hal yang mudah pula bagi Datuk Sipatoka. Dan karena menganggap Wiro Sableng seorang pemuda yang tak perlu begitu ditakutkan maka diapun mendongak ke loteng dan berseru, Aku terima perjanjianmu! Bagus! Tapi harap kau sampaikan dulu pesanmu pada seluruh isi istana ini! sahut orang yang masih bersembunyi di balik loteng. Kentut, apa kau kira pemuda tengik itu pasti akan mengalahkan aku?! teriak Datuk Sipatoka marah. Belum tentu, memang! Tapi kalau kau tak bersedia menerima persyaratan berarti perjanjian batal. Dan terpaksa buku Seribu

Macam Ilmu Pengobatan kubawa pergi! Kurang ajar! maki Datuk Sipatoka geram. Tapi dia kerahkan juga tenaga dalam dan berteriak hingga mengumandang ke seluruh pelosok Istana Sipatoka. Seluruh isi Istana Sipatoka,. kalian dengarlah pesan datukmu ini! Aku akan bertempur melawan seorang pemuda tengik yang kesasar datang ke tempat kita! Jika aku kalah maka kalian harus memusnahkan segala apa yang ada di sini dan kalian kembali ke dunia luar, ke dalam jalan yang benar. Sekian! Datuk Sipatoka memandang ke atas dan berseru, Nah orang di atas loteng, puaskah kau sekarang?! Puas... puas! sahut orang itu. Sekejap kemudian diiringi dengan suara tertawa gelak-gelak maka bobollah langit-langit ruangan dan sesosok tubuh berpakaian putih berkelebat dan hampir tak dapat disaksikan oleh mata saking cepatnya tahu-tahu orang ini sudah duduk menjelepok seenaknya di sudut ruangan! Di pangkuannya ada sebuah kitab. Seisi ruangan terkejut. Wiro sampai ternganga dan garuk-garuk kepala! Tua Gila... desis Pendekar 212 lalu cepat-cepat menjura hormat. Ah! Kau masih saja pakai segala macam peradatan yang membikin muak perutku! kata orang yang duduk di sudut ruangan yang memang Tua Gila adanya! Hadapi si cebol itu! Kalau nasibmu baik kau menang tapi kalau tidak kau akan mampus, aku akan konyol! Sehabis berkata keras begitu Tua Gila pergunakan ilmu menyusupkan suara memberi bisikan pada Wiro. Kapak di tangan kanan. Pukulan Sinar Matahari di tangan kiri! Sekali-kali jangan pukul bagian tubuhnya! Jika dia pergunakan Ilmu Pukulan Hawa Neraka, tangkis dengan Pukulan Sinar Matahari dan hantam dengan Pukulan Dewa Topan Menggusur Gunung yang kuajarkan padamu! Ayo Sipatoka kau tunggu apa lagi?! Tua Gila membentak. Dan Datuk Sipatoka melompat turun dari kursinya. Gerakannya seringan kapas! Setelah meneliti Wiro sejenak dia bertanya, Maumu dengan tangan kosong atau pakai senjata?! Wiro ingat nasihat Tua Gila. Maka diapun menjawab, Kalau kau punya senjata silahkan dikeluarkan! Datuk Sipatoka tertawa sinis dan cabut sebilah keris hitam yang bercabang tiga! Sinar senjata ini hitam menggidikkan!

Mulailah! kata Datuk Sipatoka. Wiro tertawa. Kau tuan rumah silahkan mulai lebih dulu! Lalu Wiro cabut Kapak Naga Geni 212. Datuk Sipatoka sunggingkan seringai mengejek. Meski dia belum bisa mengukur ketinggian ilmu lawannya namun dia merasa yakin akan membereskan si pemuda di bawah dua puluh jurus! Tubuhnya dibungkukkan hingga makin tambah cebol kelihatannya. Dari mulutnya terdengar suara menggereng macam suara harimau. Mulamula perlahan lalu mendadak sontak keras menggeledek, menggetarkan seantero ruangan! Baiknya Wiro Sableng sudah kerahkan tiga perempat dari tenaga dalamnya hingga suara bentakan dahsyat itu tidak mempengaruhinya! Tiba-tiba tubuh Datuk Sipatoka berkelebat lenyap! Tahu-tahu keris hitam bercabang tiga sudah berkelebat hanya tinggal satu jengkal dari muka Wiro Sableng! Wiro terkejut lekas-lekas melompat ke samping. Meski tangan kirinya mempunyai kesempatan leluasa menjotos tubuh lawan tapi karena ingat akan ucapan Tua Gila tadi maka hal itu tidak dilakukannya! Hampir keris bercabang tiga itu lewat di sampingnya tiba-tiba dengan sebat Datuk Sipatoka menusuk ke perut sedang tangan kiri lepaskan satu pukulan yang hebat! Wiro geser kaki kanan. Sambil miringkan badan, Kapak Naga Geni 212 dibabatkan ke bawah! Meski senjatanya adalah senjata mustika sakti namun melihat kapak lawan yang agaknya bukan sembarang senjata pula maka Datuk Sipatoka tak berani ambil keputusan untuk adu senjata! Tarik pulang tangan kanan Datuk Sipatoka lipat gandakan pukulan tangan kirinya hingga angin pukulan yang keluar laksana topan prahara! Di lain pihak Wiropun sudah menangkis dengan pukulan Kunyuk Melempar Buah yang mengandalkan seluruh bagian tenaga dalamnya! Terdengar suara seperti letusan sewaktu kedua angin pukulan itu saling beradu dengan segala kehebatannya. Istana Sipatoka bergetar. Wiro Sableng terhuyung-huyung sampai tujuh langkah. Datuk Sipatoka jika tidak lekas-lekas pergunakan ilmu mengentengi tubuhnya, meski dia tak sempat terhuyung ke belakang namun mungkin akan terhenyak jatuh duduk di lantai tulang! Terkejutlah manusia cebol ini. Tidak disangkanya tenaga dalam lawan begitu hebat, lebih tinggi sekitar satu dua tingkat dari tenaga

dalamnya sendiri! Dan diam-diam dia mulai menyangsikan apakah dia akan sanggup mengalahkan pemuda itu di bawah dua puluh jurus sebagaimana yang dipastikan semula! Jurus kedua dibuka kembali oleh Datuk Sipatoka dengan serangan yang lebih ganas dari pertama tadi. Dia meraung macam harimau ketika serangannya yang sekali inipun berhasil dielakkan lawan. Jurus ketiga, Datuk Sipatoka keluarkan ilmu silat yang paling diandalkannya yaitu ilmu Silat Harimau! Wiro telah pernah menghadapi ilmu Silat Harimau yang dimainkan Gempar Bumi. Waktu itu kalau dia tidak mengeluarkan ilmu Silat Orang Gila yang diajarkan Tua Gila pastilah dia kena dicelakai. Dan kini Datuk Sipatoka memainkan Ilmu Silat Harimau yang jurus-jurusnya aneh berbahaya dan lima kali lebih hebat dari yang dimainkan Gempar Bumi! Dan dari mulut Pendekar 212 Wiro Sableng keluar suara suitan keras yang disusul dengan siulan tinggi tak menentu luar biasa Wiro mulai keluarkan jurus-jurus pertahanan dari ilmu Silat Orang Gila! Dalam tempo yang singkat lima belas jurus sudah berlalu. Datuk Sipatoka merutuk dalam hati dan perhebat serangannya! Tiba-tiba mengiang suara halus laksana suara nyamuk di telinga Wiro Sableng. Goblok! Mengapa cuma bertahan? Apa tidak mampu menyerang?! Itulah dampratan yang dilontarkan Tua Gila yang duduk enak-enak di sudut ruangan. Wiro juga sadar. Meski dia bisa bertahan tapi kalau tak membalas serangan lawan lama-lama dirinya bisa dicelakai juga. Dia pegang hulu Kapak Naga Geni 212 di tangan kanan lebih erat. Lalu memasuki jurus ke enam belas untuk pertama kalinya dia menyerang dengan mempergunakan Jurus Kepala Naga Menyusup Awan. Kapak Naga Geni 212 mendengus laksana suara ribuan tawon. Sinar pulih berkiblat. Kepala kapak menderu ke bawah lalu laksana seekor naga yang memunculkan kepalanya dari dalam lautan senjata itu melesat ke arah batang leher Datuk Sipatoka! Sang Datuk sengaja tidak berkelit. Keris cabang tiga ditusukkannya ke depan, ke arah bawah ketiak lawan karena dia berkeyakinan bahwa tusukan senjatanya akan lebih cepat menemui sasarannya daripada senjata lawan! Pendekar 212 tidak bodoh. Dia sudah memperhitungkan kerugian posisinya bila dia meneruskan serangannya. Karenanya

dengan cepat Wiro geser kedua kaki dan berkelit. Begitu berkelit begitu dia susul dengan jurus serangan baru yang dinamakan Kincir Padi Memutar! Kapak Naga Geni 212 mengaung dahsyat dan berkiblat dalam bentuk putaran yang sangat kecil! Datuk Sipatoka berseru keras dan tundukkan kepala untuk menghindarkan diri dari sambaran senjata lawan. Tapi sedetik kemudian mata kapak telah menyambar ke bahu kirinya! Sang Datuk melompat ke kanan dan dia memaki keras sewaktu sesaat kemudian senjata lawan telah memapas ke pinggul terus ke arah kedua kakinya! Satu-satunya jalan untuk mengelakkan serangan yang berputar itu ialah melompat keluar dari kalangan pertempuran. Meskipun ini akan memberi pandangan pada orang-orangnya bahwa dia mulai kewalahan menghadapi si pemuda berambut gondrong tapi Datuk Sipatoka terpaksa melompat keluar dari kalangan pertempuran. Bila dia sudah lepas dari serangan yang berputar itu dia akan segera balas menyerang. Tapi kejutnya bukan alang kepalang karena ketika baru saja dia keluar dari kalangan pertempuran tahu-tahu senjata lawan memburu dalam jarak yang sangat dekat dan sangat cepat. Mengelak pasti kasip! Tiada jalan lain daripada menangkis. Datuk Sipatoka palangkan keris mustikanya Traang! Bunga api memercik. Datuk Sipatoka tersurut tiga langkah. Salah satu cabang kerisnya patah dan mental! Tangannya tergetar hebat! Wiro sendiri merasakan tangan kanannya yang memegang gagang Kapak Naga Geni 212 menjadi pedas sekali. Dia tidak perduli, malah dengan mempergunakan tiga perempat tenaga dalamnya dia lepaskan Pukulan Sinar Matahari! Beberapa orang anak buah Datuk Sipatoka menyingkir seketika melihat selarik sinar pulih yang silau dan luar biasa panasnya menderu di depan mereka! Meski dalam keadaan kepepet, Datuk Sipatoka tidak kehilangan akal! Serta merta dia jatuhkan diri sama rata dengan lantai dan berbarengan dengan itu tangan kirinya cabut sepuluh keris-keris emas yang bergantungan di pakaiannya lalu dilemparkan ke muka! Pukulan Sinar Matahari menyambar ke atas tubuh Datuk Sipatoka. Keris emas melesat di bawah sinar pukulan yang dilepaskan Wiro lalu menyambar dengan ganas ke arah sepuluh

bagian tubuh Pendekar 212. Wiro Sableng kiblatkan Kapak Naga Geni 212 dalam Jurus Tameng Sakti Menerpa Hujan. Trang... trang... trang! Suara itu terdengar berturut-turut sampai sepuluh kali. Dan ke sepuluh senjata mustika yang dilemparkan Datuk Sipatoka mental patah tersambar Kapak Naga Geni 212! Dikejap yang hampir bersamaan Pukulan Sinar Matahari yang tak berhasil menerpa tubuh Datuk Sipatoka terus melanda dinding Istana Sipatoka. Dinding yang terbuat dari tulang yang kokoh itu bobol berkeping-keping. Atap istana turun ke bawah hampir runtuh! Kurang ajar! rutuk Datuk Sipatoka seraya melompat bangun. Seluruh ilmu simpanannya telah dikeluarkannya. Mereka telah bertempur hampir enam puluh jurus dan ternyata dia tak sanggup menumbangkan lawannya malah nyawanya hampir saja dilalap mentah-mentah! Kematianmu dalam saat ini juga, keparat! desis Datuk Sipatoka. Kerisnya dimasukkan ke balik pinggang. Kedua tangannya yang hitam digosok-gosokkan satu sama lain. Sedetik kemudian asap hitam mengepul dari kedua tangan itu. Asap hitam yang berbau busuknya bangkai manusia! Wiro tutup indera penciumannya. Sesuai dengan ucapan Datuk Sipatoka, Kapak Naga Geni 212 dimasukkan kembali ke dalam pakaiannya. Pukulan Sinar Matahari disiapkan di tangan kiri sedang telapak tangan kanan sudah terisi aji pukulan Dewa Topan Menggusur Gunung. Kepulan asap hitam yang busuk luar biasa itu semakin banyak memenuhi ruangan. Anak-anak buah Datuk Sipatoka yang ada di tempat itu sudah sejak tadi menyingkir karena mereka maklum akan kedahsyatan Pukulan Hawa Neraka yang hendak dilepaskan pemimpin mereka. Kalaupun lawan tak sampai mati oleh pukulan itu tapi tubuhnya akan berbau busuk seumur hidup! Orang muda, sekalipun kau punya seribu macam ilmu kesaktian, jangan harap kali ini kau bisa larikan diri dari liang neraka! Wiro berdiri dengan siap saja. Meski kewaspadaan penuh tapi suara siulan tak teratur dari sela bibirnya sampai saat itu masih mengumandang, membuat Datuk Sipatoka merasa dirinya dianggap sepi saja! Suasana sehening di pekuburan sewaktu perlahan-lahan Datuk Sipatoka angkat kedua tangannya ke atas. Kemudian suara

menggeledek keluar dari mulutnya. Serentak dengan itu kedua tangan dipukulkan ke muka, dua larik sinar hitam pekat yang busuk, menggidikkan menyambar ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng! Sewaktu Datuk Sipatoka memukul ke depan, Wiro juga telah memukulkan tangan kirinya ke muka. Sinar putih menyilaukan melesat ke depan, sekaligus memapasi dua sinar hitam. Terdengar letupan yang dahsyat! Masing-masing pihak tersurut lima langkah ke belakang. Sinar putih dan sinar hitam masih kelihatan di udara karena kedua orang yang bertempur masih belum turunkan tangan masing-masing. Tiga sinar itu laksana tiga ekor naga yang berpalunpalun, berkelahi dan saling gempur dengan dahsyat! Masing-masing sudah keluarkan keringat dingin dan urat-urat leher menegang biru! Wiro membentak dan dorongkan lagi tangan kirinya. Tubuh Datuk Sipatoka tergontai-gontai. Wiro membentak lagi sampai beberapa kali. Datuk Sipatoka laksana ditekan dinding baja. Dia mundur terus menerus dan bertahan dengan sekuat tenaga. Ketika untuk ke lima kalinya Wiro membentak lagi dan dorongkan kembali tangan kirinya, Datuk Sipatoka tak sanggup bertahan lebih lama. Tubuhnya terhampar jatuh duduk di lantai. Ilmu Pukulan Hawa Nerakanya buyar dan lenyap sedang Pukulan Sinar Matahari Wiro terus menyerampang salah satu kakinya! Datuk Sipatoka meraung terguling-guling. Wiro tidak memberi hati. Tangan kanan didorongkan kini. Dan satu gelombang angin yang luar biasa hebatnya menyapu tubuh Datuk Sipatoka membuat tubuh itu terguling-guling di halaman berumput Istana Sipatoka. Tangan dan kaki tanggal dari persendiannya sedang kepala hancur memar! Itulah kehebatan ilmu Pukulan Dewa Topan Menggusur Gunung yang telah dilepaskan Wiro Sableng tadi! Suasana yang hening menggidikkan itu dirobek oleh suara tertawa Tua Gila. Orang tua ini berdiri dari duduknya dan berkata, Pertempuran hebat! Luar biasa sekali untuk disaksikan! Kemudian Tua Gila memandang berkeliling dan berseru, Empat puluh perempuan-perempuan muda yang ada di luar istana harap segera masuk! Sesaat kemudian ke empat puluh pesuruh Datuk Sipatoka yang terdiri dari perempuan-perempuan muda belia itu masuk ke dalam istana. Melihat kolega-kolega mereka yang ada di dalam istana, yaitu sisa-sisa pembantu Datuk Sipatoka pada berlutut di lantai maka ke empat puluh perempuan-perempuan ini pun berlutut pula di hadapan

Tua Gila dan Wiro Sableng. Berdiri semua! bentak Tua Gila. Serempak semua orang itu berdiri. Kalian semua sudah dengar pesan perjanjian datuk keparat itu? Semua orang mengiyakan. Begitu kami pergi, kalian segera memusnahkan istana bejat ini. Hancurkan semua yang ada rata dengan tanah. Lalu tinggalkan tempat ini dan pergi ke mana kalian mau asal saja menempuh jalan kehidupan yang benar! Kalau kelak kutemui atau kudengar ada di antara kalian yang coba-coba untuk kembali jadi orang jahat atau memperhamba diri pada orang jahat, pasti tak ada ampunan bagi kalian! Tua Gila berpaling pada Pendekar 212 dan menyodorkan buku Seribu Macam Ilmu Pengobatan yang kulitnya sudah robek. Ambillah. Kau rupanya memang berjodoh dengan kitab ini... Wiro menerima kitab itu lalu menjura sambil berkata, Banyak terima kasih atas segala bantuanmu, Tua Gila. Kemudian ketika dia angkat kepalanya ternyata si orang tua sudah lenyap dari hadapannya! Hanya kumandang suara tertawanya yang terdengar di kejauhan! Wiro Sableng hela nafas dalam dan garuk-garuk kepala.

TAMAT

You might also like